Tampilkan postingan dengan label ilmu ketuhanan ilmu kalam 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu ketuhanan ilmu kalam 4. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Januari 2025

ilmu ketuhanan ilmu kalam 4


 ng diperbuat daripada jakut 

dan luluk dan marzan, ' sampai kemudian kepada melukiskan badju 

Nabi dalam pengertian sufi, suatu tjeritera jang digambarkan setjara 

luas oleh Donaldson dalam kitabnja : ,.,Aqidah Sji'ah'' (Mesir 1933, 

hal 146-149). 

Saja dapati tjeritera Nur Muhammad ini dengan keterangan jang 

lebih luas dan riwajatnja jang lebih teratur dalam kitab Sji'ah jang 

paling penting, bernama „Isbatul wasijah fil Imam Ali bin Abi Tha-

lib" , karangan Al-Mas'udi, pengarang .,Murudjuz Zahab" (mgl. 346 

H) , jang berisi riwajat-riwajat dan petundjuk bagi golongan Sji'ah 

mengenai Imam Al i dan imam-imam jang lain. Kitab ini ditjetak di 

Nedjeb, kota sutji Sji'ah dalam tahun 1374 H atau 1955 M. sebagai 

tjetakan jang keempat, bagi mereka jang akan mempeladjari djiwa 

berpikir dan kehidupan Sji'ah, kitab ketjil ini sangat penting artinja. 

PENGARU H MU'TAZILA H DA N FIQ H 

Ulama-ulama fiqh dalam masa-masa pertama dapat kita bagi atas 

dua rombongan. Rombongan pertama bernama Ahlul Hadis, mereka 

jang dalam menetapkan sesuatu hukum Islam jang kurang djelas da-

lam Qur'an berpegang lebih dahulu kepada Sunnah Nabi. Sebelum 

mereka menggunakan akal dan perbandingan. Golongan ini kebanja-

kan ada  di Hedjaz, terutama kota Madinah dan Mekkah, dima-

na Nabi sesudah kembali dari perang Hunain meninggalkan dua be-

las ribu orang sahabatnja, jang sesudah mati kira-kira sepuluh ribu, 

masih ada  dua ribu orang, bertaburan diseluruh negara Islam. 

Rombongan kedua dinamakan Ahli Ra'ji,  golongan ulama jang ba-

njak ada  disekitar Irak, Kufah dan Basrah, jang karena sedikit 

mengetahui tentang Sunaah Nabi, karena tidak banjak ada  saha-

bat-sahabat disana, dalam penetapan-penetapan hukum banjak meng-

gunakan akal dan pikiran serta perbandingan dengan kedjadian-ke« 

djadian dalam masa Nabi. Hal ini lebih sesuai dengan tempat dan 

keadaan, karena ditempat-tempat itu banjak ada  orang-orang 

jang baru memejuk agama Islam dan banjak menggunakan pikiran. 

Lain daripada itu mereka banjak berguru kepada beberapa sahabat, 

dan oleh karena itu tidak dapat dengan mudah memberikan penghar-

gaannja kepada sahabat-sahabat Nabi ditempat-tempat lain, jang be-

lum mereka kenal. Orang-orang Irak ini terlalu bangga dengan Ab-

dullah bin Mas"ud, Al i bin Abi Thalib, Sa'ad bin Abi W&qqas, Am-

mar bin Jasir, Abu Musa Al-Asj'ari , dll. Kedua-duanja mengakui ke-

kurangannya masing-masing, tidak tjukup nas sadja untuk menetap-, 

kan dan tidak pula tjukup akal dan perbandingan sadja, karena ba-

njak diantara hukum-hukum dalam mengatasi akal manusia, jang 

mesti diturut oleh orang Islam. Misalnja Islam mewadjibkan qadha 

puasa bagi orang wanita jang datang bulan, tetapi tidak mewadjibkan 

qadha ketinggalan sembahjang, sedang sembahjang lebih penting le-

h\h dahulu dipelihara. Begitu djuga umpamanja Islam mengharamkan 

melihat tubuh terbuka dari seorang wanita merdeka jang sudah tua 

bangka, dan membolehkan melihat tubuh terbuka daripada seorang 

budak wanita jang muda dan tjantik djelita. Mengapa untuk mene-

tapkan pembunuhan dua orang saksi, mengapa untuk zina tidak? Me-

ngapa seorang perempuan jang sudah ditjerai dengan tiga talak tidak 

boleh dirudju sebelum kawin lagi dengan seorang laki-laki lain, me-

ngapa seorang laki-laki dibolehkan dengan empat orang wanita, me-

ngapa wanita hanja dibolehkan mempunjai seorang laki sadja?.' 

Mengapa seorang pentjuri dipotong tangannja, jang dianggap di-

gunakan sebagai alat berbuat ma'siat, mengapa tidak dipotong lidah, 

jang digunakan djuga sebagai alat untuk mengadjak seorang wanita 

berzina, dan mlengapa Islaim mewadjibkan zakat dalam djumlah lima 

ekor unta, dan tidak memungut zakat dari djumlah beribu kuda?. 

Djik a semua pekerdjaan buruk dan baik dapat diukur dengan akal 

bagaimana mengukur buruk dan baik dari semua pekerdjaan tersebut 

diatas itu. Memang ada dasar-dasar hukum, jang harus dipetik dari-

pada Qur'an dan Sunnah sadja diluar kekuatan akal. Tetapi sebalik-

nja dalam banjak hal harus pula dipergunakan akal dalam menetap-

kan sesuatu ketentuan mengenai hukum jang tidak djelas dalam Qur'-

an dan Hadis dan hukum menetapkan buruk baik untuk menjelamat-

kan pergaulan manusia. 

Sebagaimana kita katakan diatas ulama-ulama Irak karena keku-

rangan hadis banjak sekali menggunakan akal untuk menetapkan se-

suatu. Demikian banjaknja mereka menggunakan akal ini sehingga 

ulama-ulama Hedjaz mentjemoohkan mereka dan menuduh, bahwa 

orang-orang Irak itu melebih-lebihkan hukum daripada hadis-hadis 

jang sahih dan memperbanjak tjiptaan hadis-hadis maudhu'. Imam 

Malik sendiri pernah menamakan orang-orang Kufah itu penempa hadis, 

karena di Kufah itu banjak diperbuat orang hadis-hadis palsu untuk 

digunakan sebagai dasar hukum, sebagaimana seorang penempa men-

tjiptakan dirham dan dinar-dinar baru. Ibn Sjihab menerangkan : „Dji -

ka sebuah hadis keluar dari Hedjaz sedjengkal pandjangnja maka se-

sudah sarapai di Irak hadis itu akan pandjang satu hasta". 

Lain daripada itu masih ada  pula suatu kesukaran besar di 

Irak, jang tidak ada  di Hedjaz, dimana hidup orang-orang jang 

masih mendalam imannja kepada agama masih takut mentjampur 

adukkan hadis-hadis Nabi dengan sesuatu pendapat akal jang berlain-

an. Di Irak ada  banjak sekali matjam pemeluk-pemeluk Islam da-

ri berbagai pokok kejakinan, jang lebih memerlukan keterangan jang 

berdasarkan akal dan pikiran daripada hanja berdasarkan ajat Qur'-

an dan Hadis. Di Irak dan sekitarnja lahir suatu pertemuan antara 

Islam dengan kejakinan-kejakinan lain, dan oleh karena itu lahir pu-

la disana golongan-golongan seperti Mu'tazilah, Murdji'ah dan gera-

kan-gerakan ahli ilmu kalam jang lain, dengan pembitjaraan dan pe-

ngupasan masalah-masalah agama jang tidak pernah dilakukan di 

Hedjaz, karena luas pengetahuan penduduknja tentang kehidupan dan 

kejakinan Islam Orang-orang Islam di Irak terpaksa mentiari djalan 

lain, jaitu djalan pikiran untuk mempertahankan Islam daripada se-

rangan-serangan golongan itu. Sebagaimana orang-orang Hedjaz da-

lam penetapan hukum terpaksa mtelihat lebih dahulu kepada hadis, 

begitu djuga orang-orang Arab dalam tugasnja jang sama, untuk me-

njempurnakan bahan-bahan nas jang ada padanja, lari kepada dasar 

akal, rafji atau qijas, terutama dalam persoalan dan kedjadian-kedja-

dian jang baru mengenai ekonomi, pidana, urusan tawanan, jang ti-

dak banjak ada  di Hedjaz. Maka terdjadilah penggunaan qijas 

ini dalam beberapa tjabang ilmu Islam dalam usul fiqh, dalam hukum 

fiqh, dalam bahasa dan sastera, dalam pramasastra dalam ilmu manthi', 

dll. jang banjak sedikitnja mempengaruhi djuga hukum agama de-

ngan tidak langsung. Pengertian jang pertama mengenai qijas, bahwa 

qijas itu ialah mengetahui sesuatu hukum jang diterangkan atau jang 

terdjadi dengan penetapan NaBi, kemudian diperbandingkan hukum ini 

dengan kedjadian-kedjadian dibelakang untuk ditetapkan. 

Untuk penetapan itu digunakan idjtihad jang mempengaruhi tjara 

berpikir, ra'ji, dan mempengaruhi tjara memperbandingkan sesuatu, qi-

jas, sehingga terdjadilah perbedaan paham dan terdjadilah perbedaan 

pendapat antara seorang ulama dengan ulama jang lain sedjak zaman 

Bani Umaijah. Ada ulama jang tidak mau memberikan fatwanja, ke-

tjuali berdasarkan nas dari Qur'an atau Hadis, seperti Abdullah bin 

Umar, ada ulama jang berani mengeluarkan pendapatnja dalam sesua-

tu kedjadian menurut pertimbangan idjtihadnja, seperti Chalifah Umar, 

Abdullah ibn Mas'ud, dll. Hal ini sudah terdjadi sedjak wafat nabi dan 

pimpinannja diganti oleh sahabat-sahabatnja. Maka kita lihatlah per-

bedaan ini lebih dibesar-besarkan oleh keadaan di Irak, sehingga la-

hirlah persoalan penetapan baik dan buruk dengan akal tahsin dan 

taqbih, kedua-duanja adalah pokok pendirian Mu'tazilah, jang lahir 

karena pernjataan, adakah pada afal Tuhan ada  buruk dan ba-

ik, hasan dan qabih, jang sengadja didjadikan Tuhan dsb. 

Dengan sendirinja mazhab Hanafi, jang lahir disekitar Irak, jang 

dipengaruhi hanja oleh paham-paham Mu'tazilah, memberikan ke-

sempatan terdahulu kepada akal, karena pendapat mereka akal itu 

dapat menetapkan mana jang baik dan mana jang buruk, sehingga 

lata lihat, bahwa ukuran ini soedah  lahir pada bangsa-bangsa manusia 

jang primitip, sebelum mereka mengenai da'wah dan agama Tuhan. 

Tjara berpikir jang merdeka dari Hanafi ini mempengaruhi ulama-

ulama besar jang lain dari aliran Hanbali, Maliki dan kemudian Sja-

fi'i . Meskipun dengan nama jang lain mereka menggunakan tjara 

menggunakan akal jang lahir dalam kalangan Hanafi, seperti istihsan, 

memilih jang terbaik, mulabatul mursalah, mengemukakan dalam se-

suatu hal lebih dahulu kemaslahatan umum. 

Meskipun misalnja Imam Sjafi'i menolak istihsan tjara Hanafi, de-

ngan katanja : „Barangsiapa melakukan istihsan, sama dengan me-

ngadakan sesuatu sjari'at baru"  (Ghazali, Mustafa, I : 274). Begitu 

djuga tidak tjukup alasan untuk mendjadikan istilah (Muslahatul mur-

salah) mendjadi sumber hukum untuk memelihara agama dalam lima 

pokok, jaitu agama, pribadi, akal, keturunan dan harta benda. Ulama-

ulama Hedjaz tidak dapat menggunakan dua sumber diatas untuk 

a keadilan d^lam hukum Islam, dengan mengabaikan Qur'an 

dan Hadis. Kit a ketahui bahwa umumnja ulama-ulama Hedjaz itu 

berturut-turut menggunakan sumber hukum sesudah Qur'an ialah Sun-

nah Nabi, perkataan dan perbuatan sahabat, fatwa sahabat, fatwa 

Tabi'in dan pendapat Tabi'in dan tidak sekali-kali mendjatuhkan se-

suatu hukum keluar daripada sumber-sumber itu (tachridj). 

Sesudah Rasulullah wafat ia meninggalkan Qur'an, disamping Ha-

disnja atau utjapan-utjapannja dan perbuatan-perbuatannja jang di-

saksikan oleh sahabat-sahabatnja atau didengar sambung-menjambung 

setjara terang. Ada sahabat jang mendengar seluruhnja atau melihat 

perbuatan Nabi seluruh kedjadiannja, sahabat-sahabat ini kemudian 

berpisah satu sama lain dan bertaburan hidupnja dimana-mana, sete-

ngah tinggal di Irak, setengah mengambil tempat di Sjam, dan sete-

ngah lagi berdiam di Mesir. 

Semuanja mentjeriterakan utjapan dan perbuatan jang dilihat pada 

Rasulullah dikala jang lampau. Tidak ada kitab jang ditulis, ketera-

ngan hanja disampaikan dari mulut kemulut, sedikit sekali jang mentja-

tat perkataan dan kedjadian itu karena kesibukannja, 

Kemudian datang pula sahabat-sahabat besar jang kadang-kadang 

tidak mengalami seluruhnja kedjadian dalam masa Nabi tetapi me-

merlukan penetapan sesuatu hukum dengan pendapatnja sendiri I a 

pernah berbuat demikian karena dalam masa Nabi pernah kedjadian,. 

bahwa Mu'az bin Djabal dikirim Nabi ke Jaman dan ditanjakan kepa-

danja, bagaimana tjara ia menetapkan hukum disana. Mu'az mendja-

wab, bahwa ia mentjari lebih dahulu dalam Qur'an, djika tidak terda-

pat disana akan ditjari didalam Hadis, dan djika tidak ada  Sun-

nah Nabi akan digunakan akal pikirannja. Nabi membenarkan tjara 

bertindak Mu'az bin Djabal itu. 

Sebagaimana Mu'az, sahabat-sahabat jang lainpun berbuat demiki-

an. Tjara begini dikerdjakan Chalifah Abu Bakar, dikerdjakan oleh 

Umar bin Chatffiab, dilakukan oleh Usman bin Affan dan dilaksanakan 

oleh Al i bin Abi Thalib. Begitu djuga oleh sahabat-sahabat jang lain 

tidak dilupakan digunakan akal dan pikiran, djika sesuatu sumber hu-

kum tidak ada  dalam Qur'an dan Sunnah. Sebagai tjontoh kita 

lihat Abdullah bin Mas'ud pernah ditanjakan orang tentang seorang 

perempuan jang kematian lakinja, jang belum menunaikan mas kawin 

kepadanja sebagaimana didjandjikan. Ibn Mas'ud berkata, bahwa ia 

belum pernah melihat perkara jang seperti itu dihadapkan kepada Na-

bi, oleh karena itu ia lalu beridjtihad dan memerintahkan pembajaran 

mas kawin dari harta pusaka. 

Kemudian datang menemuinja Maqqal bin Jassar dan mentjeritera-

kan, bahwa kedjadian sematjam itu pernah berlaku dimasa Nabi, dan 

Nabi memutuskan perkara seperti jang diputuskan oleh Ibn Mas'ud. 

Alangkah gembiranja ibn Mas'ud itu mendengar laporan ibn Jassar, 

belum pernah kelihatan ia segembira itu sesudah memeluk Agama Is-

lam (hadis H asa'i). 

Kadang-kadang terdjadi pula seorang sahabat memutuskan hukum 

tidak sesuai dengan Sunnah Nabi. Abu Hurairah pernah menetapkan, 

bahwa seorang jang djunub tidak diperkenankan berkuasa siang hari, 

dan pendirian ini baru diubahnja sehingga ia mendengar keterangan-

keterangan dari beberapa isteri Nabi jang sebaliknja Ahmad Amin, 

Dalam bahagian pertama sudah kita bajangkan, bahwa pendapat 

antara satu sahabat dengan sahabat jang lain mungkin berbeda, kare-

na perbedaan pengetahuannja mengenai utjapan dan perbuatan Nabi, 

bergantung kepada mereka jang melihat dan mengetahuinja atau ti-

dak melihat dan mengetahui, mungkin kemudian mendapat keterang-

an dari sahabat jang melihatnja. Maka dengan demikian kita djumpai 

dalam suatu penetapan hukum fatwa sahabat jang berbeda-beda. Begi-

tu djuga kita dapati, bahwa meskipun sesuatu hadis sudah diakui sah-

nja dan dapat diterima, masih ada  pandangan sahabat jang ber-

lain-lain tentang hadis itu. Djelas kelihatan tentang paham sahabat 

jang berbeda-beda ini dikala mereka menafsirkan dan menta'wilkan 

ajat-ajat Qur'an, sebab-sebab turunnja, mengenai nasich dan man-

such, dll, sebagaimana nasich dan mansuch dalam hadis Nabi, karena 

ada jang mereka ketahui dan ada jang' mereka tidak ketahui, misalnja 

mengenai hukum berlari dan tawaf, hukum nikah muth'ah dan hukum 

berdiri untuk menghormati djenazah. 

Dalam masa Tabi'in bertambah pula fatwa dalam kedjadian-kedja-

dian jang tidak berlaku dalam masa Nabi dan Sahabat, baru didjum-

pai sekarang dalam masa Tabi'in. Maka Tabi'in jang besar-besar ini-

pun mempunjai pikiran sendiri-sendiri dalam menafsirkan ajat-ajat 

Al-Qur'an dan dalam menta'wiilkan hadis-hadis Nabi, dalam menilai 

fatwa-fatwa sahabat jang sudah dikemukakan, dan bahkan dalam me-

milih dan menguatkan sesuatu fatwa sahabat itu. Kit a lihat misalnja 

ada Tabi'in jang lebih mengutamakan perkataan Abdullah ibn Mas'-

ud daripada fatwa orang lain, ada jang lebih menghargakan pikiran-

pikiran Al i bin Abi Thalib dan pendapat-pendapat Ibn Abbas daripada 

orang lain. Maka terdjadilah suatu tjara pemilihan, tardjih, untuk di-

kuatkan sesuatu fatwa, terutama mengenai sahabat dan Tabi'in dalam 

sesuatu negeri tertentu, dimana ada  banjak murid-muridnja atau 

orang-orang berguru kepadanja. 

Murid-murid jang beladjar kepada Tabi'in ini dinamakan Tabi'in 

tabi'in, diantaranja ada  orang-orang besar jang diharapkan fat-

wa dan pendapatnja. 

Djik a kita selidiki kepada sedjarah perkembangan idjtihad dan meng-

gunakan pikiran dalam menegapkan sesuatu hukum, k'ta terpaksa kem-

bali dahulu kepada zaman pertama. Jang merupakan guru ulama-ula-

ma di Madinah itu ialah Umar bin Chatab, Usman bin Affan, Abdul-

lah bin Umar, Siti Aisjah, Ibn Abas dan Zaid bin Sabit. Sebagai mu-

rid-muridnja ialah diantaranja jang terkenal Sa'id bin Musajjab, Sa-

lim bin Abdullah bin Umar, dan murid-murid mereka ini dalam ge-

nerasi berikutnja ialah Az-Zuhri, Jahja bin Sa'id, Rabi'ah Ar-Raji , se-

dang dalam generasi dibelakang ini terkenal Malik, kepala rombong-

an ahli hadis, salah seorang jang banjak mengetahui tentang peneta-

pan hukum Umar bin Chatab, tentang utjapan-utjapan Abdullah Ibn 

Umar dan keterangan-keterangan dari Sitti Aisjah. 

Sementara itu di Kufah djuga ada  sahabat-sahabait besar, se-

perti Abdullah bin Mas'ud dan Al i bin Abi Thalib, jang dalam gene-

rasi berikutnja disusul oleh Sjura'ih dan Asju'bi, dalam generasi beri-

kutnja oleh Al -Qamah dan Ibrahim An-Nacha'i, disambung kemudian 

oleh Abu Hanifah, kepala ahli Raji , jang kemudian membentuk suatu 

mazhab fiqh tertentu, jang banjak menggunakan aqal dan fikiran da-

lam menetapkan sesuatu hukum, sebagai akibat dan pengaruh perkem-

bangan paham Mu'tazilah disekitarnja. Ahmad Amin dalam kitab-

nja jang kita sebutkan diatas (178) membenarkan, bahwa paham-

paham ilmu kalam banjak mempengaruhi tjara berpikir Abu Ha-

nifah. I a mentjeriterakan dalam halaman tersebut, bahwa pada ha-

ri-hari pertama ia beladjar dalam ruang Mutakallimin dalam mesdjid 

Kufah, disamping ia mengikuti djuga sebagai murid ruang fiqh, ru-

ang sja'ir dan sastera dan ruang nachu, dimana orang membitjarakan 

tentang qadha dan qadar, tentang kufur dan iman dll. massalah ilmu 

kalam. Al-Makk i mentjeriterakan dalam „Manaqib Abi Hanifah" (55), 

bahwa Abu Hanifah rapat sekali hubungannja dengan Hummad bin 

Abi Sulaiman, dan dalam kitab itu djuga (59) dikutip perkataan Abu 

Hanifah sendiri, jang pernah mengutjapkan : „Ak u ini seorang jang 

dikurniai Tuhan kesenian berdebat dalam ilmu kalam, lama masanja 

aku menjerang dan menampik tangkisan orang-orang besar, kebanja-

kan dari Basrah. Ak u memasuki kota Basrah tidak kurang dari duapu-

puluh kali diantaranja aku pernah tinggal disana setahun lamanja. Ak u 

pernah bertengkar dengan golongan-golongan ilmu kalam, dan oleh 

karena itu memahami perbedaan antara Chawaridj, Abadhijah, Suf-

rijah dll jang kutentangnja Ak u menganggap ilmu kalam 

itu suatu ilmu jang utama, tetapi kemudian aku ketahui, djika banjak-

lah kebaikan didalamnja, tentu ilmu ini ada  pada golongan-go-

longan salaf dan salih, maka kutinggalkan pertengkaran ini' ' (lih. dju-

ga Ahmad Amin, Dhuhal Islam, Mesir 1952 178-179). Tidak sadja 

berhubung dengan lingkungan tempat kelahirannja, tetapi djuga ke-

turunannjapun Abu Hanifah banjak sedikit mendorong dia kepada 

menggunakan aqal lebih banjak sebagai alat berdjuang dalam kalang-

an bangsa Persi jang dihadapinja di Kufah, tempat lahirnja dan di 

Irak atau Basrah tempat ia berdjuang. 

Terutama disekitar I rak pengaruh Abu Hanifah besar, sebagaimana 

Malik dengan ilmunja pernah beroleh pengaruh penghargaan kepada 

guru-gurunja, dan melekatkan penghargaan kepada mereka lebih dari 

pada kepada jang lain. Pernah Abu Hanifah dalam feuatu sidang perde-

batan mengatakan, bahwa Ibrahim An-Nacha'i (di Kufah) lebih ma-

hir dalam ilmu piqh daripada Salim bin Abdullah bin Umar (di Me-

dinah), dan djika tidak karena keutamaan sahabat katanja, ia akan 

mengatakan Alqamah lebih utama daripada Ibn Umar. Demikianlah 

kita lihat, bahwa sebagaimana Malik adalah seorang jang alim dan me-

ngetahui sungguh-sungguh tentang hadis-hadis di Madinah, tentang 

pfenetapan-penetapan hukum oleh sahabat-sahabat disana, tentang fat-

wa dan perkembangan pikiran mereka. Kit a lihat Abu Hanifah adalah 

seorang jang alim dan mengetahui sungguh-sungguh pula tentang pe-

netapan-penetapan hukum-hukum oleh Abdullah bin Mas'ud, Al i bin 

Abi Thalib dll sahabat jang pernah ada di Irak, begitu djuga seorang 

jang mengikuti dari dekat paham-paham Tabi'in jang besar-besar jang 

ada  di Kufah. Dikala datang masanja meletakkan hukum-hukum 

itu dalam karangan tertulis, terutama dalam masa Abbasijah, kita li-

hat segera Malik menuliskan kitabnja jang terkenal, bernama Al-Mu-

watta, dan ulama-ulama Irakpun mentjatat fatwa-fatwanja dalam ki-

tab-kitab jang tidak ketjil. 

Memang perbedaan menjolok sangat terhadap penggunaan akal. 

Ulama-ulama Madinah, seperti Sa'id bin Musajjab dan Az-Zuhri, 

membentji Ra'ji atau pendapat akal dalam hukum, mendjauhi fatwa 

tjara demikian, jang dihitungnja sebagai suatu kesukaran tetapi ahli 

Irak tidak ada djalan lain karena kekurangan bahan hadis dalam pe-

netapan hukum. Kekurangan ini terasa bagi ulama-ulama Kufah dan 

Irak, dan oleh karena itu digerakkanlah usaha untuk merantau keda-

lam banjak negara, jang didatangi oleh sahabat-sahabat Nabi, untuk 

mentjatat hadis-hadis jang tidak ada  di Madinah dan di Irak. 

Maka berangkatlah orang-orang itu, baik dari Irak maupun dari Ma-

dinah, ke Sjam dan ke Mesir serta ketempat-tempat jang lain, men-

tjatat dan membukukan hadis-hadis jang tersimpan pada sahabat-sa-

habat Nabi jang soedah  bertaburan dimana-mana. 

Salah satu daripada Usaha untuk mengurangi pertentangan paham 

ialah menjelidiki orang-orang jang menjampaikan hadis itu, jang di-

namakan rawi, hendaknja lengkap ilmunja dan benar mengenai per-

soalan dari kedua tempat itu masih kembali berpegang kepada perka-

taan sahabat dan Tabi'in, bagaimanapun sederhananja, djika tidak pu-

la ada  jang demikian itu, maka mereka kembali kepada sumber 

jang tidak pernah dipertengkarkan, jaitu Qur'an dan Sunnah, meski-

pun berbeda tafsirnja dan ta'wilnja. 

Dari uraian jang kita sebutkan diatas kelihatan kepada kita, bahwa 

ulama-ulama Irak ini memberi tjorak filsafat manthik kepada ilmu pi-

<jhnja, berluas-luas dalam penetapan hukum dsb., bahkan ada ahli-

ahli hukum mereka jang lebih banjak menggunakan raga keadilan hu-

kum, zauq qanuni, untuk lebih mendekati keadilan dan melaksanakan 

kemaslahatan, sehingga mereka seolah-olah keluar dari pada hukum nas 

jang ada, jang oleh Ahli Hadis dinamakan „tachridf. 

Ternjata ada menjolok dua aliran paham dalam fiqh. Pertama orang 

sangat kuat memegang hadis, sehingga mereka menolak qijas sama se-

kali dan berbitjara dengan pikiran atau ra'ji, memutuskan sesuatu de-

ngan fatwa jang ada  nasnja dalam Qur'an dan hadis; tidak mau 

membitjarakan masaalah-masaalah jang tidak ada nasnja, Dapat kita 

katakan mazhab ini dikepalai oleh Malik di Madinah. Kedua mereka 

jang lebih menengah tjaranja, membolehkan bekerdja dengan pikiran, 

dalam batas-batas jang tertentu. Pada kepalanja berdiri Abu Hanifah. 

Ada satu golongan lain jang tidak begitu meletakkan penghaigaan ke-

pada hadis, kariena katanja riwajatnja itu ditjurigai. Dengan demikian 

terpaksalah dalam masa Abbasijah mengadakan suatu peraturan jang 

dapat mengatasi semua aliran dalam daerahnja, dan terus-menerus ber-

ichtiar untuk mentjari kedekatan diantara mazhab-mazhab jang ber-

tentangan itu, jang baru ditjapai dalam abad jang ke V Hidjrah. 

Mazhab-mazhab jang banjak ketika itu ialah mazhab Hasan Al-Basri, 

mazhab Abu Hanifah, mazhab Auza'i, mazhab Sufjan As-Sauri, mazhab 

Al-Lai s bin Sa'ad, mazhab Malik, mazhab Sufjan bin Ujainah, mazhab 

Sjafi'i, mazhab Ishak bin Rahawiah, mazhab Abu Saur, mazhab Ahmad 

bin Hanbal, mazhab Dawud Az-Zahari dan mazhab Ibn Djarir Ath-

Thabari, dll., jang bagi tiap-tiap aliran ini mempunjai pendapat-penda-

pat dan djalan-djalan beridjtihad jang berlain-lainan. Jang mau me-

njesuaikan pahamnja dengan pemerintah, selamatlah ia, jang tidak mau 

bekerdja sama dengan pemerintah terkenalah hukuman. Kit a lihat, ba-

gaimana ulama-ulama beroleh kedudukan selama ia ta'at kepada pe-

merintahan Abbasijah dan bagaimana siksaan atau hukuman jang di-

djatuhkan kepada mereka jang tidak mau kerdja sama, seperti Malik, 

Abu Hanifah, Sufjan As-Sauri, Ahmad ibn Hanbal dll. 

Begitu djuga kita lihat, bahwa tempat dan keadaanpun sangat mem-

pengaruhi penetapan hukum dari ulama-ulama itu. Ulama-ulama di 

Hedjaz banjak membitjarakan tentang urusan hadji dan sembahjang, 

sementara ulama-ulama di Madinah dimana ada  kebun-kebun jang 

subur mendalam membitjarakan urusan tanah, urusan buah-buahan, 

urusan zakat buah dan lain-lain, sedang ulama Irak banjak membitjara-

kan soal-soal rampasan, soal-soal perkawinan tjampur, dan soal-soal 

bea tjukai, sedang ulama-ulama di Mesir, termasuk Sjafi'i mengambil 

sebagai pembitjaraan banjak persoalan-persoalan jang berlaku disana. 

Kit a ketahui bahwa Sjafi'i pernah mempeladjari aliran Malik dan 

pernah djuga mempeladjari tjara Abu Hanifah berpikir. Maka dalam 

kehidupan Sjafi'i dapat kita pisahkan pada mula pertama dua aliran 

dan tjara berpikir, pertama tjara Irak, terdekat kepada paham Abu 

Hanifah, disebut „Qjaul  Qadim" dan kedua tjara Malik berpikir, jang 

dapat berpegang kepada hadis sadja, dan dengan pengalaman daripada 

kedua gelombang pikiran ini kemudian di Mesir ia mentjiptakan suatu 

pendekatan tjara berpikir jang dinamakan „Qaul  Djadid". D i Irak ià 

dibantu oleh Az-Za'farani, Al-Karabasi, Bu Saur, Ibn Hanbal, Al-Lag-

hawi, dan di Mesir ia dibantu oleh Al-Buwaithi, Al-Mazani, Rabi al-

Muradi. Di Irak ia berdjuang dalam kemiskinan dan kesukaran, kemu-

dian ia berangkat ke Mesir untuk mengubah nasibnja, agar kehidupan-

nja lebih baik dan perdjuangannja lebih sempurna. Di Irak orang meng-

gunakan pikiran, di Mesir ada  lapangan imam lebih luas. Oleh 

karena itu tatkala ia hendak berangkat ia bertanja dalam sjairnja : 

Dirik u hendak melajang ke Mesir, 

Dari bumi miskin dan fakir, 

Atau tak tahu hatiku berdesir, 

Djajakah aku atau tersingkir. 

Djajakah aku atau kalah, 

Tak ada bagiku suatu gambaran 

Menang dengan pertolongan Allah, 

Atau miskin ma)suk kuburan. 

Demikian Imam Sjafi'i bersja'ir, tatkala ia hendak melangkahkan 

kakinja ke Mesir. Sja'ir Arab ini berasal dari temannja Az-Za'farani, 

jang mendjawab bahwa kedua-duanja ditjapai oleh Muhammad Idris 

Asj-Sjafi'i, baik kekajaan jang menghilangkan kemiskinannja, maupun 

kedjajaan jang membuat penganut mazhabnja ratufean kali lipat ganda 

daripada jang terdjadi didaerah Mu'tazilah itu. Untuk mentjegah dan 

menjalurkan perselisihan paham Sjafi'i segera menuk's Usul Fiqh, 

jang mengatur tjara menetapkan sesuatu hukum fiqh menurut fcumber-

sumbernja, sehingga dengan buku ini nama Asj-Sjafi'i mendjadi harum 

sekali diantara nama-nama mudjtahid dan ahli mazhab ketika itu. 

Orang memperbandingkan djasanja dengan usaha Aristoteles, dalam 

mentjiptakan ilmu manthiek altau Chailil bin Ahmad dalam karyanja il -

mu 'Arudh. Meskipun ada orang sebutkan usul fiqh pernah dikarang 

oleh Muhammad bin Hasan, dari mazhab Manafi, tetapi karya ini ti-

dak beroleh nama jang populer seperti usul fiqh karangan A^j-Sjafi'i , 

jang termuat djuga garis-garis besarnja dalam kitab Al'Umm. 

Pada lain tempat akan kita bitjarakan perbandingan mazhab-mazhab 

ini antara satu sama lain, tetapi dfcini kita tjukupkan dengan mengemu-

kakan, betapa pengaruh tjara berpikir Mu'tazilah masuk kedalam ilmu 

fiqh. 

S E B A B - S E B A B P E R T I K A I A N D A L A M I S L A M 

Kit a sudah djelaskan, bahwa aliran-aliran dalam Islam jang pendiri-

annja berbeda antara satu sama lain, dapat dibahagi atas tiga golongan 

golongan i'tikad, golongan siasat dan golongan fiqh atau hukum. Sebab-

sebab umum mengenai perbedaan dalam tjara berpikir manusia djuga 

sudah kita perkatakan. Dalam bahagian ini akan kita djelaskan sebab-

sebab husus jang melahirkan perbedaan paham dalam kalangan umat 

Islam, sehingga mendjadi beberapa banjak aliran, meskipun dalam po-

kok-pokok agamanja mereka bersatu dan tidak berbeda. 

Diantara sebab-sebab itu, .sebagaimana jang dikatakan oleh Abu Zah-

rah dalam kitabnja Al-Mazahibul Islamijah (Mesir, t. th . ), ialah jang 

dinamakan asabijah al-'arabijah, tjinta bangsa jang sempit atau chau-

vinisme dan tjinta kabilah atau suku keturunan, jang terdjadi dalam 

ma,sa djahilijah sedjak berabad-ahad sebelum Islam dan jang dibasmi 

oleh Nabi Muhammad dengan adjaran Islam. Ingat sadja pertentangan 

antara Bani Hasjim dan Bani Umaj jah di Mekkah dan pertentangan 

antara kabilah Aus dan Chazradj di Madinah. Djuga kejakinan bangsa 

Arab bahwa mereka lebih mulia daripada lain, lebih tinggi ni-

lainnja dari Adjam, memainkan rol jang penting dalam pertentangan. 

Dalam masa h 'dup Nabi semua itu tidak ada  lagi. Usman-bin 

Affan dari Bani Umaj jah dipungut m'endjadi menantunja dan Quraisj 

diperangi sampai Abu Sufjan tunduk kepada Islam, nama Aus dan 

Chazradj tidak terdengar ,lagi, diganti dengan nama Anshar, begitu 

djuga orang-orang Bani Hasjim dan Bani Umaj jah jang soedah  turut 

bersama Nabi diberi bernama Muhadjirin, jang dapat menghilangkan 

perbedaan satu sama lain. Muhammad membawa adjaran : „Bu -

kan golongan kami mereka jang chauvinistiis. Semua kamu dari Adam 

dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab atas 

orang Adjam ketjuali karena taqwa kepada Tuhan". Qur 'an menerang-

kan : „Wahai manusia. Kami djadikan kamu laki-laki dan perem-

puan, dan kami djadikan kamu bersuku-suku dan berkabilah-kabilah 

agar kamu berkenalan .satu sama lain"  (Qur'an): 

Oleh karena itu tiidak ada  pertentangan jang menjolok dalam 

masa Nabi diantara semua golongan umat Islam. Tetapi sesudah Nabi 

wafat, terutama dalam masa pemerintahan Usman bin Affan, perasaan 

kesukuan Arab ini timbul' kembali, dan rasa kesukuan ini mendjadi sa-

lah satu sebab pertentangan paham dikemudian hari. Perbedaan pa-

ham antara Bani Hasjim dan Bani Umaj jah kemudian merupakan 

perbedaan paham antara Chawaridj dan aliran-aliran lain. Aliran Cha-

waridj ini paling banjak tersiar dalam kalangan kabilah Rabi 'ah, tidak 

ada dalam kabilah Mudhribah, dan permusuhan antara dua suku ini 

dikenal oleh sedjarah dalam masa djahilijah. Dalam masa Islam terpen-

dam, tetapi sesudah wafat Nabi, lahir kembali dalam bentuk Chawaridj. 

Diantara sebab pertentangan politik ialah rebutan chalifah sesudah 

Nabi wafat. Persoalan ialah siapa jang berhak mendjadi chalifah sesu-

dah Nabi wafat, orang Ansharkah (Aus atau Chazradj), orang Muha-

djirinkah (Bani Hasjim atau Bani Umajjah), atau sembarang orang Is-

lam? Orang Anshar berkata : „Kami jang memberikan tempat kalian 

berdjuang, kami turut merebut kemenangan, dan oleh karena itu kami-

lah orang jang berhak mendjadi chalifah". Orang Muhadjirin mendja-

wab : „Kami lebih dahulu memeluk agama Islam dan oleh karena itu 

kami jang lebih berhak". 

Njaris terdjadi pertumpahan darah jang berarti hantjurnja Islam. 

Untunglah orang Anshar imannja kuat dan mengalah, sehingga terpi-

lihlah Abu Bakar sebagai chalifah pertama. Tetapi persoalan tidak ha-

bis sekian. Aliran-aliran membitjarakan, siapakah jang berhak mendja-

di chalifah pertama itu, dari orang Quraisjkah, dari keturunan Al i bin 

Abi Thalibkah atau dari sembarang orang jang tjakap tidak memandang 

kabilah dan keturunan? Lalu lahirlah Chawaridj, lahirlah Sji'ah dll. 

Pengaruh agama lama, baik Jahudi, Nasrani atau Madjusi, tidak se-

dikit membawa perbedaan paham dalam Islam. Ada dua matjam pe-

nganut agama lama jang masuk kedalam Islam. 

Pertama mereka jang kemudian jakin sungguh-sungguh akan kebe-

naran Islam. Tetapi meskipun demikian bekas-bekas kejakinan agama 

lama tidak mudah ditinggalkan, baik jang berupa tjeritera-tjeritera 

maupun kebiasaan dalam bergaul dan beribadat, dengan tidak sengadja 

mereka selundupkan kedalam adjaran Islam. Terutama pengaruh mere-

ka, jang kemudian dalam Islam mempunjai kedudukan sebagai sahabat, 

tidak sedikit, seperti Wahab bin Munabbih, Ibn Djuraidj, Suhaib dan 

Salman Farisi. Banjak tjeritera-tjeritera jang kemudian terkenal de-

ngan Israilijat Nasranijat dan Madjusiat, berasal dari mereka sematjam 

itu. Sedang utjapan-utjapan dan perbuatan sahabat itu merupakan ke-

terangan-keterangan penting bagi pengulasan hukum-hukum Islam se-

landjutnja. 

Kedua disamping mereka jang datang memeluk Islam dengan ichlas 

ada  mereka jang masuk kedalam Islam tidak dengan kejakinan, te-

tapi dengan maksud hendak memetjah-belahkan umat Islam dari da-

lam. Mereka jang masuk Islam dengan terpaksapun bergerak kedjuru-

san memetjah-belahkan Islam. Keturunan-keturunan Jahudi jang per-

nah dihukum atau merasa dirugikan dalam masa Nabi, sesudah melihat 

kelemahan Islam, turut berusaha menghantjurkan Islam dari dalam, 

seperti jang terdjadi dengan Abdullah bin Saba' jang mendirikan aliran 

Sji'ah Saba'ijah dan mempropagandakan bahwa Ali bin Abi Thalib le-

bih berhak mendjadi Nabi daripada Nabi Muhammad. 

Dalam pada itu penduduk daerah jang dahulu dikalahkan oleh orang 

Islam dikäla mereka tidak bersenang hati dengan radja-radja Arab, se-

perti Pcrsi, berusaha mengadakan gerakan dibawah tanah atau gerakan 

bathin, untuk menggulingkan radja-radja keturunan asing itu. Lalu 

masuklah hasrat ini kedalam beberapa aliran tasawwuf jang hidup di 

Persi itu. 

Aliran Sji'ah Saba'ijah jang dibangkitkan oleh Abdullah bin Saba', 

seorang Jahudi jang berkejakinan akan merobohkan Islam dari dalam, 

membawa adjaran, bahwa Al i bin Abi Thalib adalah orang jang sebe-

namja beroleh nur Tuhan dan berhak mendjadi Nabi, sedang Nabi Mu-

hammad hanja merupakan hudjdjah atau bukti kenabian Al i bin Abi 

Thalib itu. Mengtenai aliran-aliran jang menjeleweng ini Ibn Hazm 

mentjeriterakan dalam kitabnja jang terkenal „Al'Fisal  fil Milal wan 

Nihal" setjara pandjang lebar dan djika kesempatan ada akan kita petik 

djuga hal-hal jang perlu untuk risalah ini. 

Lain daripada itu ada faktor lain djuga jang mendjadi sebab timbul-

nja pertentangan pikiran dalam kalangan umat Islam, jaitu terdjemah 

kitab-kitab filsafat kedalam bahasa Arab dari karangan ahli-ahli pikir 

Rumawi dan Junani. Penerdjemahan ini membawa banjak pikiran-pi-

kiran baru dalam Islam, mengenai alam, mengenai benda dan menge-

nai persoalan-persoalan alam jang tidak dapat ditjapai oleh pikiran dan 

perasaan manusia. Pendirian-pendirian ahli-ahli pikir Junani jang- hi-

dup sebelum maupun jang hidup sesudah Nabi Isa dibitjarakan kembali 

oleh ulama-ulama Islam. Pemikiran setjara filsafat itu memang ada 

jang mendorongnja, jaitu untuk memetjahkan persoalan-persoalan jang 

ada  dalam Islam, terutama jang mengatasi pikiran manusia, setja-

ra filsafat. Tetapi ada pula kerugiannja karena banjak anak-anak Islam 

jang mula-mula mempeladjari filsafat Junani itu sebagai suatu ilmu, 

kemudian lama-kelamaan mendjadi kejakinan dan melahirkan tjara-

tjara tertjentu dalam pemetjahan soal agama. Maka lahirlah suatu go-

longan ahli pikir jang membahas i'tikad Islam setjara filsafat, seperti 

jang kita lihat dalam kalangan Mu'tazilah, jang menggunakan sumber-

sumber filsafat dalam menguraikan persoalan-persoalan kejakinan da-

lam Islam. 

- Maka terdjadilah pertentangan paham antara aliran-aliran Mu'tazi-

lah dengan ulama-ulama Sunnah, jang kadang-kadang demikian dja-

uhnja sampai merupakan permusuhan dan bunuh-membunuh. Kit a da-

pat melihat kekatjauan ini terutama dalam masa Chalifah Ma'mun, 

jang memberikan kemerdekaan luas sekali dalam bidang pemikiran akal 

dan filsafat itu, sebagaimana jang kita kenal dalam sedjarah Ilmu Ka-

lam. Ma'mun sendiri sepandjang jang dapat diketahui orang adalah 

penganut Mu'tazilah jang berkejakinan, jang dalam perselisihan paham 

selalu dia mengambil tindakan-tindakan jang menguntungkan Mu'tazi-

lah. Memang penggunaan filsafat dan manthiek serta tjara berpikir akal 

ini menimbulkan suasana perpetjahan dalam kalangan umat Islam, 

meskipun tidak dapat disangkal bahwa keadaan itu menguntungkan se-

djarah Islam dalam bidang filsafat, jang kemudian dapat dinamakan 

filsafat ketuhanan dalam Islam, jang merupakan sendjata baru dalam 

menentang serangan-serangan terhadap adjaran Islam dari luar. 

Pemikiran-pemikiran filsafat mengenai pokok-pokok persoalan jang 

mendalam digunakan oleh ulama-ulama Islam dalam masalah-masalah 

aqa'id jang tidak dapat dipetjahkan dengan akal manusia, untuk men-

tjapai sesuatu pendirian jang kokoh, jang dapat diakui kebenarannja 

oleh Islam, seperti masaalah mengakui adanja atau tidak adanja sifat 

Allah, masaalah kesanggupan manusia melakukan sesuatu disamping 

kodrat Tuhan dll., dan pembahasan-pembahasan ini membuka pintu 

luas untuk pertentangan paham, karena berlain-lainan pendapat dan 

pandangan, berlain-lainan djalan dan tjara jang ditempuh, dan berlain-

lainan tudjuan dan hasil jang akan diperoleh. Persoalan-persoalan ini 

kita dapati dalam ilmu kalam. 

Tidak boleh kitaVupakan pula, bahwa kissah-kissah dan tjeritera-tje-

ritera jang mendjadi pokok pembahasan, setengahnja berasal dari aga-

ma dan kejakinan lain, setengahnja berasal dari tachjul dan churafat 

dari nenek mojang, jang dimasukkan kedalam Islam dan diterangkan 

kepada umum dalam mesdjid-mesdjid disamping adjaran agama. Tjara 

bertjeritera ini timbulnja dalam masa pemerintahan Usman bin Affan. 

Al i bin Abi Thal ib menentang sangat adanja tjara penjampaian kisah-

kisah ini sebagai keterangan agama dan pernah mengusir muballigh-

muballigh dari mesdjid, jang menggunakan tjara ini. Dalam masa Bani 

Umaj jah tukang-tukang tjeritera sematjam itu bertambah banjak, dian-

taranja ada jang baik dan ada jang tidak baik, dan dengan adanja kis-

sah-kissah itu termasuklah kedalam tafsir-tafsir dan kitab-kitab tarich, 

apa jang dinamakan Israilijat dan Nasranijat, kadang-kadang oleh 

orang-orang jang terpenting, jang dikemudian hari dianggap sebagai 

agama. Tjeritera-tjeritera ini kemudian tersiar kepada umum dengan 

akibat jang tidak baik, diantara lain, jang mentjampur adukkan antara 

hadis dengan dongeng-dongeng itu. 

Kit a ketahui, bahwa dalam Al-Qur'a n disamping ajat-ajat hukum 

ada  ajat'aj.at mutasjabihat, jaitu ajat-ajat Qur 'an jang kebanj.akan-

nja m(entjeriterakan keadaan Tuhan dan keadaan hari kemudian, jang 

ada keserupaannja dengan manusia sekarang ini. Penafsiran ajat-ajat ini 

dan penta'wilannja menumbuhkan pertikaian paham dalam kalangan 

ulama, masing-masing menggunakan akalnja untuk mentjapai hakikat 

maknanja. Maka terdjadilah perbedaan paham dalam tafsir dan Ta'wil, 

jang satu berlainan dengan jang lain. Segolongan ingin memberi T a '-

wil , agar dapat diterima pengertiannja oleh akal manusia, segolongan 

lagi tidak mau mengutik-utik ajat itu dengan ta'wil dan tidak berpan-

djang tutur dalam menjampaikannja, karena memang tidak dapat di-

tjapai oleh otak manusia. Memang Qur 'an sudah memperingatkan ada-

nja perpetjahan ini dengan firman Tuhan : „ Ialah Tuhan jang menu-

runkan kepadamu kitab, setengahnja. mengandung ajat-ajat hukum, 

jang merupakan pokok-pokok isi kitab itu, dan jang lain ajat-ajat kese-

rupaan. Mereka jang dalam hatinja ada keragu-raguan mengikuti ajat 

ajat keserupaan itu, dan dengan demikian menimbulkan fitnah dan 

membangkitkan matjam-matjam ta'wil, sedang tidak ada jang menge-

tahui ta'wil jang sebenarnja melainkan Allah djua. Orang-orang jang 

mendalam ilmunja dalam hal ini hanja berkata: „Kami pertjaja ten

tang ajat-ajat itu dan kami pertjaja bahwa semuanja datang dari Tu-

han kami, tidak ada jang mengingatkan demikian itu ketjuali orang-

orang jang mempunjai pengetahuan". (Qur'an, Al-Imran, ajat 7). 

Penetapan-penetapan hukum sjari'at djuga merupakan pokok perbe-

daan paham, bukan dalam Qur'an dan Sunnah, tetapi dalam memper-

djelas perintjiannja atau dalam mentjari suatu penjelesaian hukum 

jang tidak ada  dalam kedua sumber Islam, Qur'an dan Sunnah. 

Dalam menetapkan sesuatu hukum memang digunakan ajat Qur'an atau 

Sunnah, tetapi orang berbeda dalam memahami ajat Qur'an itu dan 

sahabat-sahabat berbeda pula dalam menjampaikan sesuatu mengenai 

sunnah jang dialaminja. Maka terdjadilah perbedaan dalam mendja-

tuhkan sesuatu hukum mengenai perintjian itu, terutama mengenai per-

soalan-persoalan baru dalam kehidupan manusia jang tumbuh disana-

sini dalam daerah Islam jang sudah meluas itu. Sudah kita katakan, 

bahwa dalam pokok-pokok agama, jang dinamakan usuluddin atau hu-

kum jang sudah djelas dalam sumber pokok, ulama-ulama tidak berse-

lisih paham satu sama lain, tetapi dalam pendjelasan lebih landjut, da-

lam tjabang-tjabang hukum, jang dinamakan furu'uddin, mengenai ha-

lal dan haram, wadjib dan sunat dsb. ulama-ulama menggunakan idj-

ma', qijas, pikiran dan akal dsb. dan oleh karena itu penetapan hukum-

nja berbeda-beda satu sama lain, dan dengan demikian lahirlah golo-

ngan-golongan dalaim hukum, jang dinamakan mazhab fiqh, peperti Ha-

nafi, Sjafi'i, Maliki, Hambali, d.U. 

Setengah orang jang besar tasamuhnja atau luas dadanja, perbedaan 

pendapat dalam hukum furu' itu tidak mendjadikan kegelisahan, kare-

na Nabipun sudah pernah mengatakan, bahwa : perselisihan pendapat 

antara umatku adalah merupakan rachmat. 

Umar bin Abdul Aziz dalam menghadapi pertikaian paham antara 

sahabat-sahabat dalam persoalan furu', berkata : „Ak u tidak suka, bah-

wa sahabat-sahabat Nabi itu tidak berselisihan paham satu sama lain, 

karena djikalau semua tjeritera itu sama dan bersamaan, maka bidang 

bergerak manusia mendjadi sempit. Sahabat-sahabat itu adalah imam-

imam jang lajak diikuti, dan oleh karena itu, djika seorang mengguna-

kan utjapan untuk amalnja, adalah merupakan sunnah djuga"  (Al-

Ftisham, karangan Sjathibi, dj. II , hal. 11). 

P E R P E T J A H AN DALA M ISLA M 

Dalam masa Nabi tidak ada perpeitjahan dalam kalangan umat Islam, 

begitu djuga dalam masa Salaf, jaitu masa sahabat dan tabi'in dalam 

pimpinan Nabi. Pengikut Nabi ta'at dan melakukan adjaran-adjaran 

Islam dengan tjara jang sederhana, sebagaimana jang diterangkan oleh-

nja. Apa jang tidak diketahui mudah ditanjakan kepadanja atau kepa-

da sahabat-sahabat jang masih ada  dimana-mana. 

Perpetjahan terdjadi dihari-hari kemudian, dan perpetjahan ini atau 

lebih tepat kalau kita namakan perselisihan paham dalam Islam pernah 

digambarkan oleh Nabi dalam beberapa utjapannja. Maka terdjadilah 

sekitar abad kedua dan ketiga Hidjrah golongan-golongan dan aliran-

aliran dalam Islam, jang biasa dinamakan mazhab, jang satu berlainan 

pendiriannja daripada jang lain. 

Golongan-golongan ini dapat kita bahagi atas tiga bahagian, pertama 

mazhab i'tikad, jang satu sama lain berlainan pendiriannja mengenai 

aqidah atau kejakinan, seperti persoalan djabar, manusia terpaksa ber-

buat sesuatu karena sudah ditakdirkan Tuhan, seperti ichtiar, manusia 

mempunjai kemauan jang bebas dalam mengerdjakan sesuatu perbua-

tannja, karena Tuhan hanja mendjadikan manusia, tidak mendjadikan 

perbuatannja, dan persoalan-persoalan lain sekitar perselisihan paham, 

ulama Kalam atau Mutakallimin. Tetapi dalam kesemuanja tidak ter-

dapat perlainan pendapat dalam pokok-pokok kejakinan Islam, seperti 

bahwa Allah itu satu tunggal, Muhammad itu Rasul Tuhan, Qur'an itu 

diturunkan daripada Allah dsb. 

Kedua mazhab siasat, jang mempunjai plendirian-pendirian berbeda 

dalam persoalan chalifah atau orang-orang jang akan memimpin umat 

Islam sesudah wafat Nabi. Meskipun persoalan ini adalah persoalan 

idjtihad, tetapi beberapa .golongan meletakkan persoalan chalifah itu 

dalam kejakinan jang harus dianut oleh pengikut-pengikutnja. 

Dalam pada itu golongan mazhab jang ketiga dinamakan mazhab-

fiqh, jaitu golongan jang menumpahkan perhatian kepada membuat 

peraturan-peraturan antara manusia dan Tuhan, jang dinamakan iba-

dat, merupakan pendjelasan jang terperintji daripada Qur'an dan Sun-

nah Nabi, dan peraturan-peraturan jang mengatur hidup antara manu-

sia dengan manusia, jang dinamakan mu'amalat. Dengan adanja ali-

ran-aliran ini banjak orang menjangka ada perpetjahan dalam Islam, 

tetapi sebenarnja perpetjahan dalam arti kata jang sesungguhnja tidak 

ada. Karena seperti jang kita katakan diatas semua pertikaian paham 

antara satu dan lain mazhab tidak mengenai pokok-pokok agama, lub-

buddln, tetapi mengenai pengulasan atau perbedaan tjara berpikir jang 

terdjadi karena sebab-sebab jang memang sudah ada pada manusia. 

Kit a ketahui bahwa manusia itu tidak dapat berpikir dalam satu tjara 

jang sama menghadapi sesuatu persoalan. Sedjak ia lahir manusia itu 

sudah mempunjai suatu pandangan filsafat jang tertentu terhadap du-

nia ini, jang berlainan tjoraknja antara satu sama lain.

Perlainan tjara berpikir manusia itu melahirkan pendapat jang ber-

lain-lainan dalam satu soal jang sama, ada jang mendekati filsafat, ada 

jang mendekati masjarakat, perekonomian d.U. Lalu terdjadilah tin-

djauan manusia jang berbeda-beda. 

Sebagaimana dalam filsafat, dalam agamapun persoalan jang dihada-

pi tidak terlepas daripada tiga pokok, manusia, alam dan Tuhan. Per-

soalan ini adalah persoalan jang sulit jang sudah menimbulkan banjak 

ahli pikir dari zaman kezaman dalam mentjari hakikatnja terutama me-

ngenai persoalan-persoalan mendalam jang bersangkut-paut dengan ke-

tuhanan, jang mengatasi tjara berpikir manusia, sangatlah sukarnja akan 

dapat membawa manusia itu kepada hakikat kebenarannja. 

Plato melukiskan perumpamaan manusia dalam mentjari sesuatu ha-

kikat seperti beberapa orang buta jang hendak mengetahui bagaimana 

rupa seekor gadjah. Ada seorang jang meraba belalainja, lalu mengata-

kan, bahwa gadjah itu seperti ular. Jang lain terpegang telinganja, la-

lu mengambil keputusan bahwa gadjah itu seperti tampan. Pendapat-

pendapat itu disangkal oleh seorang buta jang kebetulan memegang ka-

ki gadjah, dan ia lalu berkejakinan, bahwa gadjah itu seperti sebatang 

pohon. Jang lain memegang punggungnja dan mengatakan bahwa ga-

djah itu seperti gunung. Demikianlah terdjadi perselisihan pendapat 

diantara mereka jang mentjari kebenaran dengan alat-alat jang keku-

rangan itu. 

Socrates mengatakan : „Apabila sudah diketahui tempat pertikaian 

paham, hilanglah pertikaian paham itu". Mengetahui tempat pertika-

ian paham itulah jang sangat sukar, lebih sukar lagi bagi manusia jang 

penuh dengan perasaan. 

Kegemaran dan sjahwat manusia merupakan sebab utama djuga da-

lam terdjadinja perbedaan paham, karena kegemparan dan sjahwat ma-

nusia itu atjapkali mempengaruhi tjara berpikirnja, dengan lain perka-

taan menimbulkan pendapat jang berbeda-beda. Spinoza berkata: „Ke -

gemaranlah jang memperlihatkan kepada kita sesuatu itu tjantik, bukan 

akal kita". Kegemaran dan sjahwat itu merupakan anak timbangan jang 

berat dalam menentukan sesuatu baik dan buruk dalam keadaan dan 

pikiran. William James berkata : „Sedjarah filsafat adalah sedjarah 

pertentangan dan perlainan tabiat manusia, perlainan ini menimbulkan 

tjorak jang berlain-lainan dalam bitiang peradaban, kesenian, dan hu-

kum". 

Diantara sebab perbedaan paham manusia ialah berlainan haluan, 

jang mienjebabkan manusia itu berlain-lainan pula tjoraknja dalam ke-

hidupan, dalam menindjau sesuatu perkara. Sesuatu jang dianggap ba-

ik oleh ahli hukum belum tentu dianggap baik oleh tabib, belum tentu 

dianggap baik oleh ahli bintang, belum tentu dianggap baik oleh ahli 

bahasa, oleh ahli ilmu kalam dan oleh ahli filsafat. Meskipun pokok 

persoalan satu, pembahasan dan penindjauan mereka berbeda-beda ka-

rena tudjuan mereka berbeda-beda. Dengan demikian terdjadilah per-

bedaan paham antara ulama ilmu kalam dan ulama ilmu fiqh dalam 

persoalan Qur'an, karena berlainan maksud jang akan ditudjunja. 

Ada suatu sebab jang sangat sukar untuk mempersatukan manusia 

dalam satu tjara berpikir, sehingga mereka menangkap satu hakikat jang 

sama, jaitu tjinta nenek mojang. Tjeritera nenek mojang berpindah dari 

Mulut kemulut kepada manusia, tidak hanja untuk didengar tetapi 

djuga lama-lama mendjadi kejakinan dan mendjadi darah daging 

bagi keturunannja dari masa kemasa. Dongeng-dongeng dan tjeritera 

itu, meskipun kemudian ternjata tidak benar, sudah mendjadi kejakin-

an, sudah Mendjadi tachjul jang sukar dikikis dari hati dihilangkan 

pengaruhnja dari tjara berpikir manusia. Atjapkali kejakinan-kejakinan 

sematjam itu mendorong akal seseorang untuk menjatakan baik buruk-

nja sesuatu. Maka terdjadilah sifat ta'assub atau chauvinisme, pende-

waan orang-orang tua dan utjapannja jang sukar dihilangkan daripada 

tjara berpikir jang objektif. 

Perlainan dalam menangkap persoalan djuga mempengaruhi hakikat 

kebenaran jang ditjari. Sebuah uraian jang didengar bersama tidak sa-

ma dapat ditangkap oleh pikiran-pikiran jang mendengar itu. Tingkat 

ketjerdasan mempengaruhi tjara menangkap persoalan dengan pikiran 

itu. Oleh karena penangkapannja berlain-lain, maka tjara berpikirpun 

berlain-lainan pula dan tindjauan persoalan serta hasilnja tidak semua 

sama. 

Kedudukan dan tjinta kekuasaan sangat besar pengaruhnja dalam 

mengambil sesuatu keputusan. Apa jang dianggap benar oleh suatu ke-

kuasaan belum tentu dianggap demikian oleh kekuasaan jang lain, ka-

rena jang demikian itu berlainan kepentingannja, berlainan maksud-

maksud jang mendorongnja. Suatu persoalan jang dianggap baik oleh 

rakjat belum tentu dianggap baik oleh suatu kekuasaan, jang memper-

hitungkan keamanan negara dan kepentingan sesuatu golongan ketjil. 

Demikian pula sebaliknja. 

Perbedaan-perbedaan umum ini banjak sedikitnja mempengaruhi ali-

ran-aliran dalam Islam, jang tumbuh sekitar abad ketiga dimana daerah 

Islam sudah mendjadi demikian luasnja, sehingga ia menghadapi per-

soalan-persoalan jang aneka rupa dan aneka kepentingannja. Hukum-

hukum fiqh jang tadinja sangat sederhana di Mekkah dan di Madinah 

dengan persoalan shalat, hadji dan puasa, soedah  mendjadi sukar bagi 

daerah Irak dan Persia umumnja, jang harus membahas hukum tawan-

an, hukum perdagangan, hukum perkawinan dan warisan jang sesuai 

dengan daerah itu. Sementara sahabat-sahabat Nabi tidak banjak me-

ngeluarkan pernjataan mengenai perkara-perkara dalam tjeritera hari 

kemudian, orang-orang lain agama jang memeluk Islam mengorek-

ngorek persoalan ini, jang memaksakan ulama-ulama harus mentjari 

alasan-alasan jang dapat menguatkan dalil-dalil Qur'an dan sunnah 

Nabi. Demikianlah selandjutnja persoalan-persoalan itu, sehingga ter-

djadilah kemadjuan dalam tjara berpikir, jang membuahkan lahirnja 

perbedaan paham dan pendapat didalam Islam. 

ALIRA N SALA F 

Aliran Salaf ini lahir kembali dalam abad ke I V H., digerakkan oleh 

penganut-penganut Hanbali, jang mengaku bahwa kejakinan berda-

sarkan pendirian Ahmad bin Hanbal, jang mula-mula ingin menghidup-

kan kembali adjaran Islam menurut kejakinan Salaf dan membasmi 

aliran-aliran jang bertentangan dengan itu. 

Aliran Salaf ini digerakkan kembali dalam abad jang ke VI I H. oleh 

Ibn Taimijah, jang mendjadikan aliran itu bahan terpenting dalam 

penjiaran agamanja. Kejakinan ini mendapat sambutan dalam abad ke-

XI I H. dari Muhammad bin Abdulwahab, jang dengan bantuan ke-

luarga radja Alßa'ud menjiarkan agama ini dengan kekerasan. 

Pembitjaraannja berputar sekitar tauhid, perkara penta'wilan ajat>-

ajat! muitasjabihat dalam Qur'an, perkara berdo'a dikuburan, masaalah" 

masaalah jang sebenarnja sudah pernah lahir dalam abad jang ke I V H. 

Dengan ringkas orang menjebutkan, bahwa persoalan antara Asj'ari 

dan Salaf beredar sekitar pendidikan menjatukan Tuhan (wahdanijat') 

jang sebulat-bulatnja. Orang-orang Salaf menganggap persoalan wah-* 

danijat ini adalah dasar pertama dari Islam. Persoalan ini dibagi atas 

tiga pembitjaraan, pertama wahdanijat zat dan sifat Tuhan, kedua wah-

danijat machluk dan ijiptaan, dan ketiga wahdanijat dalam ibadat. 

1. Wahdanijat zat dan sifat. 

Semua aliran Islam sependapat, bahwa Allah Ta'ala itu satu tung-

gal, tidak dapat diperbandingkan dengan sesuatu dan dia mendengar 

serta melihat. Adapun istilah tauhid, tanzih, iasjbih dan tadjsim jang 

masing-masi