Upah dalam bahasa Arab disebut al-ujrah. dari segi bahasa al-ajru
yang berarti „iwad (ganti) kata ‚al-ujrah‛ atau al-ajru‟ yang
menurut bahasa berarti al-iwad (ganti), dengan kata lain imbalan
yang diberikan sebagai upah atau ganti suatu perbuatan. Metode
yang dianjurkan oleh Islam dalam menentukan standar upah
diseluruh negeri yaitu dengan benar-benar memberi kebebasan
dalam bekerja. Setiap orang bebas memilih pekerjaan apa saja
sesuai dengan kemampuan atau keahlian yang dimiliki serta tidak
ada pembatasan yang mungkin dapat menciptakan kesulitan-
kesulitan bagi para pekerja dalam memilih pekerjaan yang sesuai.
Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kecenderungan besar
dalam memenuhi bisnis dengan pihak lain. Berbagai pilihan model-model
bisnis mendorong manusia untuk memilih yang terbaik baginya, lebih
mudah prosesnya dan tidak mengandung resiko tinggi. Kecenderungan
ini lebih dianut oleh golongan masyarakat kelas menengah kebawah
dan mereka yaitu yang tidak setiap saat memiliki modal besar untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sering sekali manusia melakukan
suatu perjanjian dalam melakukan suatu perjanjian dalam melakukan
kegiatannya sehari hari. jika dua orang atau pihak saling berjanji untuk
melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau
pihak itu mengikat diri kepada yang lauin untuk melakukan atau
memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan.1
Upah menurut keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi
Nomor 102 Tahun 2004 yaitu hak yang diterima pekerja dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja yang dibayarkan
berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sebab jasa yang diberikannya.
Majikan sebagai pemberi kerja bertanggung jawab sepenuhnya untuk
membayar upah pekerjanya, baik dalam kondisi untung ataupun sedang
merugi.
Model upah seperti ini telah dikenal lama jauh sebelum masuknya
agama islam. Dalam banyak cerita tarikh islam, Muhammad semasa kecil
pernah bekerja sebagai pengembala kambing bagi warga Mekah dengan
imbalan upah. Bahkan, sesudah dewasa Muhammad beberpa kali melakukan
transaksi untuk menjalankan barang dagangan Khodijah dengan imbalan
upah seekor unta yang masih muda dalam setiap kali perjalan ke kota-kota
dagang. sesudah Muhammad dikenal oleh warga Mekah dengan
kerajinan dan kejujuran serta integritasnya yang tinggi, maka reputasinya
sebagai pedagnag menjadi semakin baik. Reputasi ini telah menarik minat
Khodijah untuk lebih mempercayakan barang dagangannya kepada
Muhammad. Al-Allamah Adz-Dzahabi telah meriwayatkan dari cerita
Muhammad: “... Saya telah dua kali melakukan perjalanan dagang untuk
Khodijah dan mendapatkan upah dua ekor unta betina dewasa.“
Dalam al-Qur‟an dijelaskan dalam surat ath-Thalaq ayat 6 tentang
upah:
Artinya: …lalu jika mereka menyusukan anak-anakmu
untukmu.Maka berikanlah kepada mereka upahnya...2
Adapun mengenai ayat di atas upah itu harus diberikan kepada
orang yang telah bekerja. Upah seperti itulah yang disebut ujrah yang
sesungguhnya.
Selain model hubungan pekerja-majikan dengan sistem upah
sebagaimana telah di uraikan, waktu itu dikenal pula model yang
menggabungkan upah dengan bonus prestasi kerja. Dalam suatu
kesempatan, Khadijah setuju mempekerjakan Muhammad untuk membawa
barang-barang dagangannya ke Syam dengan upah yang telah ditentukan.
sebab prestasi dan kejujurannya, Muhammad berhasil menjual barang-
barang Khadijah dengan memberi lebih banyak keuntungan dibandingkan
yang pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Dari prestasinya ini ,
Khadijah lalu memberikan sebagian keuntungan yang lebih banyak
dibandingkan yang telah disepakati sebelumnya
1. Pengertian Upah (Ujrah)
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang tidak
bisa hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain. salah satu
bentuk kegiatan manusia dalam lingkup muamalah ialah upah-
mengupah, yang dalam fiqih islam disebut ujrah.
Upah dalam bahasa Arab disebut al-ujrah. dari segi bahasa al-
ajru yang berarti „iwad (ganti) kata ‚al-ujrah‛ atau al-ajru‟ yang menurut
bahasa berarti al-iwad (ganti), dengan kata lain imbalan yang diberikan
sebagai upah atau ganti suatu perbuatan.
Pengertian upah dalam kamus bahasa negara kita yaitu uang
dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai
pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.
Dalam hukum upah, ada beberapa macam upah, agar kita dapat
mengerti sampai mana batas-batas sesuatu upah dapat diklasifikasikan
sebagai upah yang wajar. Maka seharusnya kita mengetahui terlebih
dahulu beberapa pengertian tentang upah atau al-ujrah : Idris Ahmad
berpendapat bahwa upah yaitu mengambil manfaat tenaga orang lain
dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.6
Nurimansyah Haribuan mendefinisikan bahwa upah yaitu
segala macam bentuk penghasilan yang diterima buruh (pekerja) baik
berupa uang ataupun barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu
kegiatan ekonomi.
Yang dimaksud dengan al-ujrah yaitu pembayaran (upah kerja)
yang diterima pekerja selama ia melakukan pekerjaan. Islam
memberikan pedoman bahwa penyerahan upah dilakukan pada saat
selesainya suatu pekerjaan. Dalam hal ini, pekerja dianjurkan untuk
mempercepat pelayanan kepada majikan sementara bagi pihak majikan
sendiri disarankan mempercepat pembayaran upah pekerja.
Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa upah
atau al-ujrah yaitu pembayaran atau imbalan yang wujudnya dapat
bermacam-macam, yang dilakukan atau diberikan seseorang atau suatu
kelembagaan atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan
prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah dilakukannya.
Pemberian upah (al-ujrah) itu hendaknya berdasarkan akad
(kontrak) perjanjian kerja, sebab akan menimbulkan hubungan
kerjasama antara pekerja dengan majikan atau pengusaha yang berisi
hak-hak atas kewajiban masing-masing pihak. Hak dari pihak yang satu
merupakan suatu kewajiban bagi pihak yang lainnya, adanya kewajiban
yang utama bagi majikan yaitu membayar upah.
Penetapan upah bagi tenaga kerja harus mencerminkan keadilan,
dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan, sehingga
pandangan Islam tentang hak tenaga kerja dalam menerima upah lebih
terwujud. Sebagaimana di dalam Al-Qur‟an juga dianjurkan untuk
bersikap adil dengan menjelaskan keadilan itu sendiri.
Upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding
dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan, seharusnya cukup
juga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar. Dalam
hal ini baik sebab perbedaan tingkat kebutuhan dan kemampuan
seseorang ataupun sebab faktor lingkungan dan sebagainya.
2. Dasar Hukum Upah (Ujrah)
Pada penjelasan di atas mengenai ujrah telah dituangkan secara
eksplisit, oleh sebab itu yang dijadikan landasan hukum. Dasar yang
membolehkan upah yaitu firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
a. Landasan Al-Qur'an
Surat Az- Zukhruf ayat 32:
Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
(Q. S. Az- Zukhruf: 32).9
Ayat di atas menegaskan bahwa penganugerahan rahmat
Allah, apalagi pemberian waktu, semata-mata yaitu wewenang
Allah, bukan manusia. Allah telah membagi-bagi sarana
penghidupan manusia dalam kehidupan dunia, sebab mereka
tidak dapat melakukannya sendiri dan Allah telah meninggikan
sebagian mereka dalam harta benda, ilmu, kekuatan, dan lain-lain
atas sebagian yang lain, sehingga mereka dapat saling tolong-
menolong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. sebab itu
masing-masing saling membutuhkan dalam mencari dan mengatur
kehidupannya.dan rahmat Allah baik dari apa yang mereka
kumpulkan walau seluruh kekayaan dan kekuasan duniawi,
sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.10
Surat Al-Qashas ayat 26-27 :
Artinya : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), sebab Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah
orang yang Kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah
dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua
anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun
Maka itu yaitu (suatu kebaikan) dari kamu, Maka
Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya
Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang
baik". (Q. S Al-Qashas: 26-27).11
b. Landasan Sunnah
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu
Hurairah mengatakan bahwa Nabi Saw. memusuhi tiga golongan di
hari kiamat yang salah satu golongan ini yaitu orang yang
tidak membayar upah pekerja.
Telah menceritakan kepada saya Yusuf bin Muhammad
berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya bin Sulaim dari
Isma'il bin Umayyah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Allah Ta'ala berfirman: Ada tiga jenis orang yang aku berperang
melawan mereka pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah
atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang
merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang
memperkerjakan pekerja lalu pekerja itu menyelesaikan
pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya.‛ (H.R. Bukhari).12
Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
bahwa pemberian upah diberikan kepada pekerja sebelum kering
keringatnya.
“Al-„Abbas ibn al-Walid al-Dimasyqiy telah memberitakan kepada
kami, (katanya) Wahb ibn Sa‟id ibn „Athiyyah al-Salamiy telah
memberitakan kepada kami, (katanya) „Abdu al-Rahman ibn Zaid
ibn Salim telah memberitakan kepada kami, (berita itu berasal)
dari ayahnya, dari „Abdillah ibn „Umar dia berkata: Rasulullah
Saw. telah berkata: “Berikan kepada bawahanmu upahnya sebelum
kering keringatnya”. (H.R Ibnu Majah)13
Pemberian upah atas tukang bekam dibolehkan, sehingga
mengupah atas jasa pengobatan pun juga diperbolehkan.
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dari Ibnu „Abbas.
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah
menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada
kami Ibnu Thowus dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas radliallahu
'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbekam
dan memberi upah tukang bekamnya”.
Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh
Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) yaitu saudaramu, Allah
menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang
siapa memiliki saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan
memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan
tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat
berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu,
maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR.
Muslim).
Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah
yaitu imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam
bentuk imbalan materi di dunia (Adildan Layak) dan dalam bentuk
imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
3. Rukun dan Syarat Upah
a. Rukun Upah (Ujrah)
Rukun yaitu unsur-unsur yang membentuk sesuatu,
sehingga sesuatu itu terwujud sebab adanya unsur-unsur ini
yang membentuknya. Misalnya rumah, terbentuk sebab adanya
unsur-unsur yang membentuknya, yaitu pondasi, tiang, lantai,
dinding, atap dan seterusnya. Dalam konsep Islam, unsur-unsur
yang membentuk sesuatu itu disebut rukun.15
Ahli-ahli hukum madzhab Hanafi, menyatakan bahwa
rukun akad hanyalah ijab dan qabul saja, mereka mengakui bahwa
tidak mungkin ada akad tanpa adanya para pihak yang
membuatnya dan tanpa adanya obyek akad. Perbedaan dengan
madzhab Syafi‟i hanya terletak dalam cara pandang saja, tidak
menyangkut substansi akad.
Adapun menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada (4)
empat, yaitu:
1) Aqid (orang yang berakad).
Yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau
upah mengupah. Orang yang memberikan upah dan yang
menyewakan disebut mu‟jir dan orang yang menerima upah
untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu disebut
musta‟jir.16
sebab begitu pentingnya kecakapan bertindak itu sebagai
persyaratan untuk melakukan sesuatu akad, maka golongan
Syafi‟iyah dan Hanabilah menambahkan bahwa mereka yang
melakukan akad itu harus orang yang sudah dewasa dan tidak
cukup hanya sekedar mumayyiz saja.
2) Sigat
Pernyataan kehendak yang lazimnya disebut sigat akad
(sigatul-„aqd), terdiri atas ijab dan qabul. Dalam hukum
perjanjian Islam, ijab dan qabul dapat melalui: 1) ucapan, 2)
utusan dan tulisan, 3) isyarat, 4) secara diam-diam, 5) dengan
diam semata.23 Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab dan
qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan qabul dalam ijarah
harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.
3) Upah (Ujrah)
Yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta‟jir atas jasa
yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu‟jir.
Dengan syarat hendaknya:
a) Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. sebab itu ijarah
tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
b) Pegawai khusus seperti seorang hakim tidak boleh
mengambil uang dari pekerjaannya, sebab dia sudah
mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia
mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji
dua kali dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.
c) Uang sewa harus diserahkan bersamaan dengan
penerimaan barang yang disewa. Jika lengkap manfaat yang
disewa, maka uang sewanya harus lengkap.18 Yaitu,
manfaat dan pembayaran (uang) sewa yang menjadi obyek
sewa-menyewa.
4) Manfaat
Untuk mengontrak seorang musta‟jir harus ditentukan
bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Oleh sebab itu,
jenis pekerjaannya harus dijelaskan, sehingga tidak kabur.
sebab transaksi ujrah yang masih kabur hukumnya yaitu
fasid.18
b. Syarat Upah (Ujrah)
Dalam hukum Islam mengatur sejumlah persyaratan yang
berkaitan dengan ujrah (upah) sebagai berikut:
a. Upah harus dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan
konsultasi terbuka, sehingga dapat terwujudkan di dalam diri
setiap individu pelaku ekonomi, rasa kewajiban moral yang tinggi
dan dedikasi yang loyal terhadap kepentingan umum.
b. Upah harus berupa mal mutaqawwim dan upah ini harus
dinyatakan secara jelas. Konkrit atau dengan menyebutkan kriteria-
kriteria. sebab upah merupakan pembayaran atas nilai manfaat, nilai
ini disyaratkan harus diketahui dengan jelas. Mempekerjakan orang
dengan upah makan, merupakan contoh upah yang tidak jelas sebab
mengandung unsur jihalah (ketidak pastian). Ijarah seperti ini menurut
jumhur fuqaha‟, selain malikiyah tidak sah. Fuqaha malikiyah
menetapkan keabsahan ijarah ini sepanjang ukuran upah yang
dimaksudkan dan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan.
c. Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya. Mengupah suatu pekerjaan
dengan pekerjaan yang serupa, merupakan contoh yang tidak memenuhi
persyaratan ini. sebab itu hukumnya tidak sah, sebab dapat
mengantarkan pada praktek riba. Contohnya: memperkerjakan kuli
untuk membangun rumah dan upahnya berupa bahan bangunan atau
rumah.
d. Upah perjanjian persewaan hendaknya tidak berupa manfaat dari jenis
sesuatu yang dijadikan perjanjian. Dan tidak sah membantu seseorang
dengan upah membantu orang lain. Masalah ini tidak sah sebab
persamaan jenis manfaat. Maka masing-masing itu berkewajiban
mengeluarkan upah atau ongkos sepantasnya sesudah menggunakan
tenaga seseorang ini .
e. Berupa harta tetap yang dapat diketahui.
Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka
akadnya tidak sah sebab ketidak jelasan menghalangi penyerahan dan
penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad ini . Kejelasan
objek akad (manfaat) terwujud dengan penjelasan, tempat manfaat,
masa waktu, dan penjelasan, objek kerja dalam penyewaan para
pekerja.
1) Penjelasan tempat manfaat
Disyaratkan bahwa manfaat itu dapat dirasakan, ada harganya, dan
dapat diketahui.
2) Penjelasan Waktu
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk menetapkan awal waktu
akad, sedangkan ulama Syafi‟iyah mensyaratkannya, sebab bila tidak
dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib
dipenuhi. Di dalam buku karangan Wahbah zuhaili Sayafi‟iiyah sangat
ketat dalam mensyaratkan waktu. Dan bila pekerjaan ini sudah
tidak jelas, maka hukumnya tidak sah.22
3) Penjelasan jenis pekerjaan
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan
ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan
atau pertantangan.
4) Penjelasan waktu kerja
Tentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan
kesepakatan dalam akad. Syarat-syarat pokok dalam al-Qur‟an
maupun as-Sunnah mengenai hal pengupahan yaitu para musta‟jir
harus memberi upah kepada mu‟ajir sepenuhnya atas jasa yang
diberikan, sedangkan mu‟ajir harus melakukan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya, kegagalan dalam memenuhi syarat-syarat ini
dianggap sebagai kegagalan moral baik dari pihak musta‟jir maupun
mu‟ajir dan ini harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.23
D. Macam-macam dan Jenis Upah (Ujrah)
Upah diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:
a. Upah yang sepadan (ujrah al-misli)
Ujrah al-misli yaitu upah yang sepadan dengan kerjanya serta sepadan
dengan jenis pekerjaannya, sesuai dengan jumlah nilai yang disebutkan
dan disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pemberi kerja dan penerima
kerja (pekerja) pada saat transaksi pembelian jasa, maka dengan itu untuk
menentukan tarif upah atas kedua belah pihak yang melakukan transaksi
pembeli jasa, tetapi belum menentukan upah yang disepakati maka
mereka harus menentukan upah yang wajar sesuai dengan pekerjaannya
atau upah yang dalam situasi normal biasa diberlakukan dan sepadan
dengan tingkat jenis pekerjaan ini . Tujuan ditentukan tarif upah
yang sepadan yaitu untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak, baik
penjual jasa maupun pembeli jasa, dan menghindarkan adanya unsur
eksploitasi di dalam setiap transaksi-transaksi dengan demikian, melalui
tarif upah yang sepadan, setiap perselisihan yang terjadi dalam transaksi
jual beli jasa akan dapat terselesaikan secara adil.24
b. Upah yang telah disebutkan (ujrah al-musamma)
Upah yang disebut (ujrah al-musamma) syaratnya ketika disebutkan harus
disertai adanya kerelaan (diterima) kedua belah pihak yang sedang
melakukan transaksi terhadap upah ini . Dengan demikian, pihak
musta‟jir tidak boleh dipaksa untuk membayar lebih besar dari apa yang
telah disebutkan, sebagaimana pihak ajir juga tidak boleh dipaksa untuk
mendapatkan lebih kecil dari apa yang yang telah disebutkan, melainkan
upah ini merupakan upah yang wajib mengikuti ketentuan syara‟.
jika upah ini disebutkan pada saat melakukan transaksi, maka
upah ini pada saat itu merupakan upah yang disebutkan (ajrun
musamma). jika belum disebutkan, ataupun terjadi perselisihan
terhadap upah yang telah di sebutkan, maka upahnya bisa diberlakukan
upah yang sepadan (ajrul misli).
Adapun jenis upah pada awalnya terbatas dalam beberapa jenis saja, tetapi
sesudah terjadi perkembangan dalam bidang muamalah pada saat ini, maka
jenisnya pun sangat beragam, diantaranya:
a. Upah perbuatan taat
Menurut mazhab Hanafi, menyewa orang untuk shalat, atau puasa, atau
menunaikan ibadah haji, atau membaca al-Qur‟an, atau pun untuk azan,
tidak dibolehkan, dan hukumnya diharamkan dalam mengambil upah
atas pekerjaan ini . sebab perbuatan yang tergolong taqarrub
jika berlangsung, pahalanya jatuh kepada si pelaku, sebab itu tidak
boleh mengambil upah dari orang lain untuk pekerjaan itu.26
b. Upah mengajarkan Al-Qur'an
Pada saat ini para fuqaha menyatakan bahwa boleh mengambil upah dari
pengajaran Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu syariah lainnya, sebab para guru
membutuhkan penunjang kehidupan mereka dan kehidupan orang-
orang yang berada dalam tanggungan mereka. Dan waktu mereka juga
tersita untuk kepentingan pengajaran al-Qur‟an dan ilmu-ilmu syariah
ini , maka dari itu diperbolehkan memberikan kepada mereka
sesuatu imbalan dari pengajaran ini.27
c. Upah sewa-menyewa tanah
Dibolehkan menyewakan tanah dan disyaratkan menjelaskan kegunaan
tanah yang disewa, jenis apa yang ditanam di tanah ini , kecuali jika
orang yang menyewakan mengizinkan ditanami apa saja yang
dikehendaki. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ijarah
dinyatakan fasid (tidak sah).
d. Upah sewa-menyewa kendaraan
Boleh menyewakan kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya,
dengan syarat dijelaskan tempo waktunya, atau tempatnya. Disyaratkan
pula kegunaan penyewaan untuk mengangkut barang atau untuk
ditunggangi, apa yang diangkut dan siapa yang menunggangi.
e. Upah sewa-menyewa rumah
Menyewakan rumah yaitu untuk tempat tinggal oleh penyewa, atau si
penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara
meminjamkan atau menyewakan kembali, diperbolehkan dengan syarat
pihak penyewa tidak merusak bangunan yang disewanya. Selain itu pihak
penyewa memiliki kewajiban untuk memelihara rumah ini ,
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.28
f. Upah pembekaman
Usaha bekam tidaklah haram, sebab Nabi Saw. pernah berbekam dan
beliau memberikan imbalan kepada tukang bekam itu, sebagaimana
dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu
„Abbas. Jika sekiranya haram, tentu beliau tidak akan memberikan upah
kepadanya.
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan
kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thowus
dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berbekam dan memberi upah tukang
bekamnya.
g. Upah menyusui anak
Dalam al-Qur‟an sudah disebutkan bahwa diperbolehkan memberikan
upah bagi orang yang menyusukan anak, sebagaimana yang tercantum
dalam surah al-Baqarah ayat 233.
dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
Maka tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada
Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan.
h. Perburuhan
Disamping sewa-menyewa barang, sebagaimana yang telah diutarakan di
atas, maka ada pula persewaan tenaga yang lazim disebut perburuhan.
Buruh yaitu orang yang menyewakan tenaganya kepada orang lain
untuk dikaryakan berdasarkan kemampuannya dalam suatu pekerjaan.
E. Sistem pemberian Ujrah/Upah di negara kita
Dalam hukum perupahan, ada beberapa macam perupahan, agar kita
mengerti sampai mana batas-batas sesuatu upah dapat diklasifikasikan sebagai
upah yang wajar. Ada beberapa pengertian upah atau ujrah :
1. Idris Ahmad berpendapat bahwa upah yaitu mengambil manfaat tenaga
orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.
2. Nurumansyah Haribuan mendefinisikan bahwa upah yaitu segala macam
bentuk penghasilan yang diterima buruh baik berupa uang ataupun
barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ujrah yaitu akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Transaksi
ujrah didasarkan pada adanya perpindahan manfaat. Pada prinsipnya hampir
sama dengan jual beli.
F. Berakhirnya Ujrah
Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya ujrah, yaitu :
1. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.33
2. Pembatalan akad.
G. Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti sholat, puasa, haji dan
membaca Al-Qur‟an di perselisihkan kebolehannya oleh para ulama, sebab
berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti
menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-Qur‟an yang
pahalanya di hadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak
dari yang menyewa, adzan, komat, dan menjadi imam, haram hukumnya
mengambil upah dari pekerjaan ini sebab Rasulallah SAW. Bersabda:
“Bacalah olehmu Al-Qur‟an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.
“Jika kamu mengangkat seseorang menjadi Mu‟adzin, maka janganlah kamu
pungut dari adzan itu suatu upah”.
Perbuatan seperti adzan, komat, shalat, haji, puasa, membaca Al-Qur‟an
dan dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrab kepada Allah sebab nya tidak
boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di Negara negara kita , jika
salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati
(keluarga) memerintah kapada para santri atau yang lainnya yang pandai
membaca Al-Qur‟an di rumah atau di kuburan secara bergantian selama tiga
malam bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang
meninggal sudah dewasa dan adapula bagi orang-orang tertentu mencapai
empat puluh malam. sesudah selesai pembacaan Al-Qur‟an pada waktu yang
telah ditentukan, mereka diberi upah alakadarnya dari jasanya ini .
Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum Islam sebab yang membaca
Al-Qur‟an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya.
Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun membaca Al-Qur‟an
niat sebab Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur‟an untuk dirinya sendiri
dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, sebab Allah berfirman: “Mereka
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan” (Al-Baqarah: 282).
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, para ulama
memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai
perbuatan baik, seperti para pengajar Al-Qur‟an, guru-guru di sekolah dan yang
lainnya dibolehkan mengambil upah sebab mereka membutuhkan tunjangan
untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat
mereka tidak semapat melakukan pekerjaan lain seperti dagang, bertani dan
yang lainnya dan waktunya tersita untuk mengajarkan Al-Qur‟an.
Menurut Mazhab Hanbali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan
adzan, komat, mengajarkan Al-Qur‟an, fiqh, hadits, badal haji dan puasa qodo
yaitu tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah
ini . Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan ini jika
termasuk kapada mashalih, seperti mengajarkan Al-Qur‟an, hadits dan fiqh,
dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca
Al-Qur‟an, shalat, dan yang lainnya.
Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah
sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu sebab itu termasuk
jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai imbalan
mengajar Al-Qur‟an dan pengajarna ilmu, baik secara bulanan maupun
sekaligus sebab nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawah Al-
Qur‟an dan mengajarkannya bila kaintan pembacaan dan pengajarannya
dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil
imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur‟an, adzan dan badal haji.
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran
berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqh, hadits, membangun masjid, menggali
kuburan, memandikan mayit, dan membangun madrasah yaitu boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali
kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan
mayit tidak boleh.
Untuk mempertahankan upah pada suatu standar yang wajar, islam
memberikan kebebasan sepenuhnya dalam mobilitas tenaga kerja. Mereka
bebas bergerak untuk mencari penghidupan di bagian mana saja di dalam
negara atau tempat tinggal di suatu daerah. Tidak pembatasan sama sekali
terhadap perpindahan seseorang dari satu daerah ke daerah yang lain guna
mencari upah yang lebih tinggi.
Metode yang dianjurkan oleh islam dalam menentukan standar upah
diseluruh negeri yaitu dengan benar-benar memberi kebebasan dalam
bekerja. Setiap orang bebas memilih pekerjaan apa saja sesuai dengan
kemampuan atau keahlian yang dimiliki serta tidak ada pembatasan yang
mungkin dapat menciptakan kesulitan-kesulitan bagi para pekerja dalam
memilih pekerjaan yang sesuai.
Sebagai hasilnya, kekuatan tenaga kerja didistribusikan ke seluruh
bidang bidang pekerjaan dan ke seluruh pelosok daerah sesuai dengan proporsi
yang dikehendaki, dan jarang terjadi suatu kelebihan atau kekurangan tenaga
kerja di mana-mana.