alkan kita, berangkat ke perbatasan Siria. Lasykar itu
menghadapi musuh dan bertempur. Mula-mula Zaid, lalu Jafar dan
kemudian Abdullah bin Rawaha memegang panji perang. Ketiga-tiganya
gugur bergantian dalam pertempuran dengan gagah berani. Doakanlah
mereka itu semua. Sesudah mereka panji dipegang oleh Khalid bin
Walid. Ia mengangkat dirinya sendiri. Ia yaitu pedang di antara segala
pedang Allah . Dengan demikian ia menyelamatkan lasykar Islam dan
pulang kembali” (Zad al Ma'ad, jilid l, dan Zurqani).
Gambaran Rasulullah s.a.w. mengenai Khalid itu menjadi
termasyhur. Khalid menjadi terkenal sebagai Saifullah - Pedang Allah.
Sebagai salah seorang yang masuk Islam belakangan, Khalid
sering diejek oleh orang-orang Islam lainnya. Sekali peristiwa ia dan
'Abd al-Rahman bin Auf berbantah-bantah mengenai sesuatu. 'Abd al-
Rahman bin Auf mengadukan Khalid kepada Rasulullah s.a.w..
Rasulullah s.a.w. menegur Khalid dan bersabda, “Khalid, engkau telah
menyinggung perasaan seseorang yang telah berbakti kepada Islam sejak
zaman Badar. Aku katakan kepadamu bahwa walaupun kamu telah
membaktikan emas seberat bukit Uhud untuk mengkhidmati Islam, kamu
tidak akan menjadi berhak atas ganjaran dari Allah seperti 'Abd al-
Rahman.”
“namun mereka mengejekku,” kata Khalid, “dan aku terpaksa
menjawab.” Atas keterangan itu Rasulullah s.a.w. menghadap kepada
orang-orang lainnya dan bersabda, “Kamu jangan menghina Khalid. Ia
yaitu pedang di antara segala pedang Allah yang senantiasa terhunus
menghadapi kaum kafir.”
Gambaran Rasulullah s.a.w. menjadi kenyataan beberapa tahun
kemudian.
Pada waktu Khalid kembali bersama lasykar Muslim, beberapa
Anshar menggambarkan lasykar yang pulang dari medan itu sebagai
pasukan yang kalah perang dan kurang semangat. Yang menjadi celaan
umum ialah, mereka seharusnya mati dalam pertempuran. Rasulullah
s.a.w. menyesali celaan-celaan itu, Khalid dan lasykarnya bukan orang-
orang kalah perang atau kurang semangat, sabda beliau. Mereka itu
prajurit yang pulang untuk kembali lagi menyerang. Kata-kata itu
mengandung arti lebih banyak dari pada yang nampak pada permukaan.
Kata-kata itu memberi khabar ghaib tentang peperangan yang akan
dilakukan kaum Muslimin dengan Siria.
Rasulullah Berderap Maju Ke Mekkah Dengan
Sepuluh Ribu Sahabat
Pada tahun kedelapan Hijrah pada bulan Ramadhan (Desember
629 M) Rasulullah s.a.w. berangkat dengan gerakan pasukan terakhir
yang secara pasti menegakkan Islam di Arabia.
Di Hudaibiya telah tercapai persetujuan antara kaum Muslimin
dan kaum kufar bahwa suku-suku Arab akan diberi kebebasan
menggabungkan diri kepada kaum kufar atau kepada Rasulullah s.a.w..
Disepakati juga bahwa selama sepuluh tahun kedua pihak tidak akan
berperang yang satu terhadap yang lain, kecuali jika satu pihak
melanggar perjanjian dengan menyerang yang lain. Atas persetujuan itu,
Banu Bakr bergabung kepada kaum Mekkah, sedangkan suku Khuza'a
bersekutu dengan kaum Muslimin.
Kaum kufar Arab jarang sekali menghormati perjanjian, lebih-
lebih dengan kaum Muslimin. Kebetulan Banu Bakr dan Khuza'a
memiliki perselisihan yang sengit. Banu Bakr meminta pertolongan
kaum Mekkah membereskan perselisihan yang sudah lama dengan suku
Khuza'a. Mereka membuktikan bahwa perjanjian Hudaibiya telah
ditandatangani. Suku Khuza'a merasa aman oleh persekutuannya dengan
Rasulullah s.a.w.. Maka sekaranglah saatnya bagi mereka untuk
menyerang suku Khuza'a. Kaum Mekkah setuju. Atas pertetujuan itu
kaum Mekkah dan Banu Bakr pada suatu malam bersama-sama
mengadakan serangan terhadap suku Khuza'a dan membunuh banyak
prajurit mereka. Suku Khuza'a mengirim empat puluh prajurit berunta
mereka ke Medinah untuk melaporkan pelanggaran perjanjian itu kepada
Rasulullah s.a.w.. Mereka mengatakan bahwa menjadi kewajiban kaum
Muslimin bergerak ke Mekkah untuk membalas serangan ini.
Perutusan itu menghadap Rasulullah s.a.w. dan beliau
mengatakan dengan tegas bahwa beliau memandang musibah mereka
sebagai musibah beliau sendiri. Beliau menunjuk ke awan yang
membubung ke angkasa seraya bersabda, “Seperti butir-butir air hujan
yang kamu lihat nun di sana, prajurit-prajurit Muslim akan turun
membantumu.” Kaum Mekkah gelisah atas berita delegasi Khuza'a ke
Medinah. Mereka mengutus Abu Sufyan pergi secepatnya ke Medinah
untuk mencegah kaum Muslimin dari melakukan serangan. Abu Sufyan
tiba di Medinah dan mencoba meminta dengan sangat bahwa, sebab ia
tidak hadir di Hudaibiya, suatu perjanjian perdamaian baru harus
ditandatangani oleh kaum Muslimin. Rasulullah s.a.w. memandang tidak
bijaksana untuk menjawab usul itu. Abu Sufyan menjadi tersinggung,
lalu pergi ke mesjid dan mengumumkan:
“Wahai Saudara-saudara, Aku memperbaharui, atas nama kaum
Mekkah, jaminan damai kami dengan kalian “ (Zurqani).
Kaum Medinah tak mengerti akan arah pidato itu. Maka, mereka
hanya tertawa. Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Abu Sufyan,
“Pernyataan anda hanya sepihak dan kami tidak dapat menyetujuinya.”
Dalam pada itu, Rasulullah s.a.w. berkirim surat kepada semua suku.
Yakin bahwa mereka siap dan telah berangkat, beliau minta kaum
Muslimin di Medinah untuk mempersenjatai diri dan bersiap-siap.
Pada tanggal 1 Januari lasykar Muslim bergerak maju. Di
berbagai tempat dalam perjalanan mereka digabungi suku-suku Muslim
lainnya. Baru beberapa hari perjalanan telah ditempuh, lasykar itu tiba di
belantara Faran. Jumlahnya - tepat seperti Nabi Sulaeman a.s. telah
menubuatkan lama sebelum itu - sekarang telah membengkak menjadi
sepuluh ribu. saat lasykar itu bergerak maju ke Mekkah, kesunyian di
sekitar tampak lebih mencekam orang-orang Mekkah. Mereka mendesak
Abu Sufyan untuk keluar lagi dan menyelidiki apa rencana kaum
Muslimin itu.
Ia baru sampai kurang dari satu hari dalam perjalanan dari
Mekkah, saat ia pada malam hari melihat seolah-olah seluruh belantara
diterangi oleh api-api unggun. Rasulullah s.a.w. telah memerintahkan
menyalakan api unggun di hadapan tiap-tiap kemah. Kesan gemuruhnya
api dalam kesunyiaan dan kegelapan malam itu dahsyat lagi mengerikan.
“Apa gerangan itu?” Abu Sufyan bertanya kepada kawan-
kawannya. “Apakah ada bala-tentara turun dari langit? Aku tak pernah
tahu ada bala-tentara Arab yang begitu besar.” Mereka menyebut nama
beberapa suku dan pada tiap-tiap nama Abu Sufyan berkata, “Tidak ada
suku Arab atau kaum dapat memiliki bala-tentara yang begitu besar.”
Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih menebak-nebak saat suara
dalam kegelapan malam berseru, “Abu Hanzala!” (Hanzala yaitu nama
seorang anak Abu Sufyan).
“Abbas, engkaukah di situ?” kata Abu Sufyan.
“Ya, lasykar Nabi telah dekat. Bertindaklah cepat atau kehinaan
dan kekalahan sedang menunggumu,” jawab Abbas.
Abbas dan Abu Sufyan yaitu dua orang yang telah lama
bersahabat. Abbas mendesak supaya Abu Sufyan menyertainya dengan
menunggang bagalnya* dan menghadap Rasulullah s.a.w. Ia mencekal
tangan Abu Sufyan, menariknya dan membuatnya naik di atas bagalnya.
Memacu bagal mereka segera tiba di kemah Rasulullah s.a.w.. Abbas
takut kalau-kalau Umar, yang menjaga tenda Rasulullah s.a.w., akan
menyergap dan membunuh Abu Sufyan. namun , Rasulullah s.a.w. telah
mengambil persiapan-persiapan dengan mengumumkan bahwa siapa
juga yang menjumpai Abu Sufyan tidak boleh berupaya membunuhnya.
Pertemuan itu sangat dalam berkesan kepada Abu Sufyan. Ia terkesiap
oleh kemajuan dalam kemenangan-kemenangan Islam. Di situ duduk
Nabi yang kaum Mekkah pernah mengusirnya dari Mekkah dengan
hanya ditemani oleh seorang sahabat. Jarak waktu belum genap tujuh
tahun sejak peristiwa itu, sekarang ia mengetuk-ngetuk pintu gerbang
Mekkah dengan sepuluh ribu khadimnya. Kartu sudah sama sekali
terbalik. Nabi yang tujuh tahun berselang pernah melarikan diri dari
Mekkah untuk menyelamatkan jiwanya itu sekarang telah kembali ke
Mekkah dan Mekkah tak sanggup melawannya.
Mekkah Jatuh
Abu Sufyan tentu telah berpikir keras. Bukankah suatu
perubahan besar yang sukar dipercayai telah terjadi dalam waktu hanya
tujuh tahun? Dan, sekarang, sebagai pemimpin Mekkah, apa pula yang
harus diperbuatnya? Apakah ia akan melawan ataukah lebih baik
menyerah? Diharu-biru oleh pikiran-pikiran demikian ia tampak lupa ada
orang yang memperhatikannya. Rasulullah s.a.w. melihat keresahan
pemimpin Mekkah itu. Beliau mengatakan kepada Abbas untuk
* Bagal = blasteran kuda dan keledai (Red).
168
membawanya dan menjamunya malam itu sambil menjanjikan akan
berjumpa lagi pagi hari keesokan harinya. Abu Sufyan melewatkan
malam bersama Abbas. Pagi-pagi mereka menghadap Rasulullah s.a.w.
lagi. Waktu itu saat sembahyang subuh. Hiruk-pikuk dan kesibukan yang
disaksikan Abu Sufyan di keremangan pagi sangat tidak biasa di dalam
pengalamannya. Ia tidak pernah mengetahui - tak seorang warga Mekkah
pun mengetahui - ada orang-orang yang dapat bangun begitu dini seperti
kaum Muslimin di bawah disiplin Islam. Ia melihat semua orang Muslim
keluar dari kemah mereka untuk menjalankan shalat subuh. Beberapa
orang masih berjalan kian-kemari mencari air untuk mengambil air
sembahyang, dan lain-lainnya mengatur shaf-shaf. Abu Sufyan tak
mengerti kegiatan di pagi buta itu. Ia menjadi takut. Apakah ada rencana
baru untuk menakut-nakutinya?
“Apa gerangan yang sedang mereka lakukan?” ia bertanya
dengan kaget.
“Tidak ada yang perlu kautakuti,” jawab Abbas. “Mereka hanya
sekedar bersiap-siap untuk mengerjakan shalat subuh.
“Abu Sufyan kemudian menyaksikan ribuan orang Muslim
berbanjar dalam shaf-shaf di belakang Rasulullah s.a.w. melakukan
gerakan-gerakan dan kebaktian-kebaktian yang telah ditetapkan menurut
perintah Rasulullah s.a.w. - rukuk, sujud, bangkit lagi, dan seterusnya.
Abbas bertugas menjaga sehingga bebas untuk mengajak Abu Sufyan
bercakap-cakap.
“Apa yang mereka lakukan sekarang?” Abu Sufyan bertanya.
”Segala gerak-gerik Rasulullah s.a.w. diikuti oleh lain-lainnya.”
“Apakah yang kaukira?” Itu hanya shalat orang Muslim, Abu
Sufyan. Orang-orang Muslim biasa melaksanakan segala sesuatu atas
perintah Rasulullah s.a.w. - berpuasa umpamanya.”
“Benar,” kata Abu Sufyan, “aku telah melihat istana-istana
besar. Aku telah melihat istana Kisra dan istana Kaisar, namun aku tak
169
pernah melihat pengabdian kepada pemimpinnya seperti kaum Muslimin
mengabdi kepada Nabi mereka” (Halbiyya, jilid 2, hlm. 90).
Diliputi oleh rasa gentar dan rasa bersalah, Abu Sufyan terus
bertanya-tanya kepada Abbas, apa ia sudi mengajukan permohonan
kepada Rasulullah s.a.w. untuk memberi maaf kepada kaumnya,
maksudnya kepada kaum Mekkah.
Seusai shalat subuh, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap
Rasulullah s.a.w.. Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Abu Sufyan,
“Apakah belum juga jelas bagi engkau bahwa tak ada yang layak
disembah kecuali Allah?”
“Ayahku dan ibuku jadi korban untuk engkau. Anda senantiasa
baik terhadap kaum kerabat anda.” Sekarang aku yakin bahwa andaikata
ada sesuatu yang lain patut disembah, kami tentu telah mendapat
pertolongan dari dia terhadap anda.”
“Apakah belum juga datang kesadaran kepada anda bahwa aku
Rasulullah?”
“Ayahku dan ibuku jadi kurban untuk engkau, mengenai hal ini
aku masih sedikit ragu-ragu.”
Sementara Abu Sufyan ragu-ragu untuk mengakui Rasulullah
s.a.w. sebagai Utusan Allah, dua orang kawannya yang telah berangkat
dari Mekkah bersama-sama dengan dia dalam rangka tugas penyelidikan
untuk kaum Mekkah telah masuk Islam. Seorang di antaranya bernama
Hakim bin Hizam. Tak lama kemudian, Abu Sufyan juga masuk Islam,
namun secara batiniah agaknya masih ditangguhkan sampai Mekkah
berhasil direbut. Hakim bin Hizam menanyakan kepada Rasulullah s.a.w.
kalau-kalau orang-orang Muslim akan membinasakan kaum kerabatnya.
“Orang-orang itu,” sabda Rasulullah s.a.w., “sangat kejam
dahulunya. Mereka telah melakukan pelanggaran-pelanggaran dan
membuktikan diri mereka tidak dapat dipercaya. Mereka melanggar
perjanjian perdamaian yang telah mereka tandatangani di Hudaibiya dan
menyerang suku Khuza'a dengan buas. Mereka telah berperang di tempat
yang telah disucikan oleh Allah .”
“Sungguh benar, ya Rasulullah, kaum kami telah berbuat segala
yang anda sebut, namun daripada menyerang Mekkah seharusnya anda
menggempur suku Hawazin,” kata Hakim mengusulkan.
“Kaum Hawazin juga kejam dan buas. Semoga Allah memberi
taufik kepadaku untuk melaksanakan tiga tujuan: merebut Mekkah,
kemenangan Islam, dan mengalahkan kaum Hawazin.”
Abu Sufyan yang mendengar percakapan itu bertanya kepada
Rasulullah s.a.w., “Jika kaum Mekkah tidak mengangkat senjata, adakah
mereka akan aman?”
“Ya,” ujar Rasulullah s.a.w., “setiap orang yang tinggal di dalam
rumah akan aman.”
“namun , ya Rasulullah,” Abbas menimpali, “Abu Sufyan sangat
prihatin mengenai dirinya sendiri. Ia ingin mengetahui apa kiranya
kedudukan dan harkatnya di tengah-tengah kaum Mekkah akan
dihormati.”
“Baiklah,” sabda Rasulullah s.a.w., “siapa saja berlindung dalam
rumah Abu Sufyan akan aman. Siapa masuk ke dalam Masjidil Haram
akan aman. Mereka yang meletakkan senjatanya akan aman. Mereka
yang tinggal di rumah Hakim bin Hizam akan aman.” Sambil bersabda
demikian Abu Ruwaiha dipanggil dan kepadanya diserahkan panji Islam.
Abu Ruwaiha telah mengikat persaudaraan dengan Bilal, budak Negro.
Sambil menyerahkan panji itu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Siapa berdiri
di bawah panji itu akan aman.” Pada saat itu juga beliau memerintahkan
kepada Bilal untuk berjalan di muka Abu Ruwaiha dan mengumumkan
kepada semua yang berkepentingan bahwa keamanan terjamin di bawah
panji yang dipegang oleh Abu Ruwaiha.
Rasulullah Memasuki Mekkah
Pengaturan itu sarat dengan kebijakan. saat kaum Muslimin
dianiaya di Mekkah, Bilal, salah seorang dari bulan-bulanan mereka,
dihela di sepanjang jalan dengan tali diikatkan pada kakinya. Mekkah
tidak memberi keamanan kepadanya melainkan hanya derita jasmani,
kenistaan, dan kehinaan.
Alangkah besarnya pasti dendam Bilal merasa pada hari
pembebasan itu. Membiarkannya mengadakan pembalasan terhadap
kekejaman-kekejaman yang buas seperti dideritanya di Mekkah itu
memang sangat perlu, namun harus dalam batas-batas yang diiizinkan
oleh ajaran Islam. Sebagai pengganti pelampiasan rasa dendam itu,
Rasulullah s.a.w. menyerahkan kepada saudara Bilal panji Islam dan
menugasi Bilal untuk menawarkan keamanan kepada semua yang dahulu
menganiayanya, di bawah panji yang dipegang oleh saudaranya. Ada
keindahan dan daya pesona di dalam cara pembalasan ini. Kita dapat
membayangkan Bilal berjalan di hadapan saudaranya dan menyerukan
tawaran keamanan kepada musuh-musuhnya. Nafsu pembalasan
dendamnya tidak mungkin dapat bertahan lama. Rasa itu akan buyar
saat ia melangkah sambil mengajak damai kepada kaum Mekkah di
bawah panji yang dipegang tinggi oleh saudaranya.
Sementara kaum Muslim bergerak menuju Mekkah, Rasulullah
s.a.w. telah menyuruh Abbas membawa Abu Sufyan dan kawan-
kawannya ke titik yang dari tempat itu mereka mudah dapat
menyaksikan segala kelakuan dan sikap lasykar Islam. Abbas
melaksanakan perintah itu, dan dari tempat yang agak tinggi Abu Sufyan
dan kawan-kawannya menyaksikan lasykar Muslim berjalan melewati
suku-suku Arab yang atas kekuatan mereka kaum Mekkah selama
bertahun-tahun mengandalkan segala persekongkolan mereka terhadap
Islam. Pada hari itu mereka berbaris bukan sebagai prajurit-prajurit kufar
melainkan sebagai prajurit-prajurit Muslim. Mereka sekarang
menyerukan semboyan-semboyan ala Islam, bukan semboyan-semboyan
yang dahulu diserukan pada waktu mereka masih biadab dan musyrik.
Mereka berbaris dalam formasi bukan untuk membinasakan Rasulullah
s.a.w., namun untuk mempertaruhkan nyawa mereka dalam membela dan
menjaga jiwa beliau; bukan untuk menumpahkan darah beliau,
melainkan menumpahkan darah mereka sendiri demi kepentingan beliau.
Ambisi mereka pada hari itu bukan untuk menentang seruan yang justru
sampai saat itu mereka, kaum Mekkah, menolaknya. Ambisi mereka
sekarang ialah menegakkan kesatuan dan solidaritas umat manusia.
Pasukan demi pasukan berderap maju sampai suku Asyja tampak pada
Abu Sufyan. Pengabdian kepada Islam dan semangat pengorbanan
mereka tampak pada wajah mereka dan tersimak dalam nyanyian-
nyanyian serta semboyan-semboyan mereka.
“Siapa gerangan mereka itu?” tanya Abu Sufyan.
“Mereka itu suku Asyja.”
Abu Sufyan nampak tercengang. “Di seluruh Arabia, tidak ada
yang lebih memusuhi Muhammad selain mereka.”
“Kami bersyukur atas kemurahan Allah . Dia mengubah hati
orang-orang yang memusuhi Islam segera sesudah Dia memandang
waktunya tepat,” kata Abbas.
Pada akhirnya, datanglah Rasulullah s.a.w. dikelilingi oleh
pasukan-pasukan Anshar dan Muhajirin. Kekuatan mereka itu kira-kira
dua ribu dengan berpakaian baju besi. Umar yang gagah perkasa
memimpin barisan itu. Pandangan itulah yang paling berkesan.
Pengabdian orang-orang Muslimin itu, keteguhan dan semangat mereka
itu tampak menyala-nyala. saat Abu Sufyan melihat mereka, amatlah
ia terkesima.
“Siapakah mereka itu?” ia bertanya.
“Kaum Anshar dan Muhajirin melindungi Rasulullah,” jawab
Abbas.
“Tidak ada kekuasan di dunia sanggup melawan lasykar ini,”
kata Abu Sufyan, dan seraya mengalamatkan kata-katanya kepada Abbas
secara lebih khusus, ia berkata, “Abbas, kemenakanmu telah menjadi
raja yang paling perkasa di dunia.”
“Kamu masih jauh dari kebenaran, Abu Sufyan. Beliau bukan
raja, beliau yaitu Rasul, Utusan Allah ,” kata Abbas lagi.
“Ya, ya, jadilah seperti yang kau katakan, seorang Rasul, bukan
seorang raja,” ujar Abu Sufyan.
saat bala tentara Muslim bergerak melewati Abu Sufyan,
panglima Anshar, Sa'd bin 'Ubada kebetulan melihat Abu Sufyan dan tak
dapat menahan diri mengatakan bahwa hari itu mereka berhak memasuki
Mekkah dengan kekuatan senjata dan bahwa kaum Quraisy akan
mendapat kehinaan.
saat Rasulullah s.a.w. lewat, Abu Sufyan berseru keras,
ditujukan kepada Rasulullah s.a.w., “Adakah anda telah mengizinkan
pembantaian terhadap kaum-kerabat anda? Aku mendengar panglima
Anshar, Sa'd dan kawan-kawannya mengatakan demikian. Mereka
mengatakan bahwa hari ini yaitu hari pembantaian. Kesucian Mekkah
tak akan bisa menghindarkan pertumpahan darah dan Quraisy akan
dihinakan. Ya Rasulullah, anda yaitu orang terbaik, paling pengampun,
paling menaruh belas kasihan. Tidak maukah anda memaafkan dan
melupakan apa yang telah diperbuat oleh kaum anda?”
Imbauan Abu Sufyan itu terbalik. Justru orang-orang Muslim
itulah yang pernah dinistakan dan dipukuli di lorong-lorong Mekkah dan
harta mereka disita serta diusir dari rumah mereka. Mereka itu pula
mulai menaruh belas kasihan terhadap penganiaya mereka dahulu.
“Ya Rasulullah,” kata mereka, “riwayat-riwayat yang didengar
kaum Anshar tentang pelanggaran-pelanggaran peri kemanusiaan,
kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan kaum Mekkah terhadap kita,
dapat mendorong mereka untuk menuntut balas. Kita tak mengetahui apa
yang hendak mereka perbuat.”
Rasulullah s.a.w. mengerti akan semua hal itu. Menghadap
kepada Abu Sufyan beliau bersabda, “Apa yang dikatakan oleh Sa'd itu
salah sekali. Bukan hari pembantaian. Hari ini yaitu hari pengampunan.
Kaum Quraisy dan Ka'bah akan dimuliakan Allah .”
Maka Sa'd dipanggil dan diperintahkan untuk menyerahkan
bendera Anshar kepada anaknya, Qais (Hisyam, jilid 2). Pimpinan
Anshar berpindah dari tangan Sa'd kepada Qais. Putusan itu sangat
bijaksana. Kaum Mekkah merasa puas dan kaum Anshar dihindarkan
dari rasa kecewa. Qais, seorang pemuda yang mukhlis, dipercaya penuh
oleh Rasulullah s.a.w.. Suatu peristiwa di dalam akhir hidupnya
melukiskan ke-mukhlisan-nya. Berbaring di atas tempat tidurnya dalam
keadaan sakit yang mengantarnya ke ambang kematian, Qais menerima
sahabat-sahabatnya. Beberapa orang datang menengok, beberapa lainnya
tidak. Ia tidak mengerti apa sebabnya dan bertanya, mengapa beberapa
sahabatnya tidak datang menengok. “Kemurahanmu sangat banyak,”
kata salah seorang.
“Engkau telah menolong mereka yang dihimpit kesusahan
dengan pinjaman-pinjaman dari kamu. Banyak di dalam kota yang
berhutang kepadamu. Beberapa dari antara mereka ragu-ragu untuk
datang, sebab khawatir jangan-jangan engkau akan menagih hutang
mereka.”
“Jika demikian aku sendiri yang menyebabkan sahabat-
sahabatku menjauh. Umumkanlah bahwa tidak ada seorang jua pun yang
masih berhutang kepada Qais.” Sesudah pengumuman itu Qais
menerima begitu banyak kunjungan pada hari-hari akhir kehidupannya
sehingga tangga rumahnya rebah.
saat lasykar Islam telah lewat, Abbas menyuruh Abu Sufyan
supaya lekas-lekas pergi ke Mekkah dan mengumumkan bahwa
Rasulullah s.a.w. telah tiba dan menjelaskan dengan cara bagaimana
mereka akan memperoleh jaminan keamanan. Abu Sufyan tiba di
Mekkah dengan membawa berita gembira untuk seluruh warga kotanya;
namun istrinya yang terkenal dengan rasa permusuhan dan kebenciannya
terhadap kaum Muslimin, menjumpainya. Ia seorang kafir yang pekat,
namun juga wanita pemberani, Abu Sufyan dipegang olehnya pada
janggutnya dan dipanggilnya orang-orang Mekkah supaya membunuh
suaminya yang pengecut itu. Daripada menggerakkan warga kota untuk
mengorbankan jiwa demi pembelaan dan kehormatan kotanya, ia
mengajak mereka kepada perdamaian dan keamanan. namun , Abu
Sufyan mengetahui bahwa istrinya bertindak amat bodoh. “Saat itu telah
lampau,” katanya, “kamu lebih baik pulang dan menutup pintu. Aku
telah melihat bala tentara Muslim itu. Seluruh Arabia pun tak dapat
melawannya sekarang ini.”
Kemudian ia menerangkan syarat-syarat keamanan yang
dijanjikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada kaum Mekkah. Mendengar
syarat-syarat itu kaum Mekkah berlari-lari untuk berlindung di tempat-
tempat yang disebut dalam pengumuman Rasulullah s.a.w.. Dari
pengumuman itu dikecualikan sebelas orang laki-laki dan empat
perempuan. Kejahatan yang telah mereka lakukan terlalu besar. Dosa
mereka bukan lantaran kekafiran mereka atau keikut-sertaan mereka
dalam peperangan melawan Islam; dosa-dosa mereka ialah lantaran
mereka telah melakukan pelanggaran di luar batas peri kemanusiaan
yang tak dapat dibiarkan begitu saja. namun , sebenarnya, hanya empat
orang yang menjalani hukuman mati.
Rasulullah s.a.w. telah memberi perintah kepada Khalid bin
Walid untuk tidak mengizinkan berperang kecuali jika diserang dan
kaum Mekkah yang mulai lebih dahulu. Bagian kota yang dimasuki
Khalid belum lagi mendengar syarat-syarat keamanan dan perdamaian.
Prajurit-prajurit Mekkah yang ditempatkan di sana menantang Khalid
berkelahi. Terjadilah suatu pertandingan yang membawa korban dua
belas atau tiga belas orang yang tewas (Hisyam, jilid, 2 hlm. 217).
Khalid seorang yang berwatak darah panas. Ada seseorang yang,
sesudah diberi tahu terjadinya peristiwa itu, lari menghadap Rasulullah
s.a.w. dengan permohonan supaya menghentikan Khalid bertempur. Jika
Khalid tidak berhenti, kata orang itu, seluruh Mekkah akan mati
terbunuh. Rasulullah s.a.w. segera memanggil Khalid dan bersabda,
“Bukankah aku telah melarang bertempur?”
“Benar, ya Rasulullah, namun orang-orang itu lebih dahulu
menyerang kami dan melepaskan panah-panah kepada kami. Untuk
beberapa saat kami tidak berbuat apa-apa, dan kami menyatakan tidak
berniat berkelahi, namun mereka tidak mau mendengar dan tidak mau
berhenti. Oleh sebab itu kami balas dan mencerai-beraikan mereka.”
Itulah satu-satunya peristiwa yang kurang enak. Perebutan
Mekkah telah dilaksanakan hampir tanpa pertumpahan darah. Rasulullah
s.a.w. memasuki kota Mekkah. Mereka bertanya, di mana beliau akan
singgah.
“Apakah Aqil menyisakan suatu rumah untuk tempat
tinggalku?” tanya Rasulullah s.a.w.. Aqil yaitu saudara sepupu
Rasulullah s.a.w., anak paman beliau. saat Rasulullah s.a.w. hijrah ke
Medinah, keluarga beliau telah menjual semua milik beliau. Tak ada
suatu rumah pun yang dapat disebut milik beliau pribadi. Oleh sebab itu
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Aku akan singgah di Khif Bani Kinana.”
Tempat itu tempat terbuka. Kaum Quraisy dan kaum Kinana pada suatu
peristiwa berkumpul di sana dan bersumpah bahwa, kecuali dengan
syarat bahwa Banu Hasyim dan Banu Abdul Muthalib menyerahkan
Rasulullah s.a.w. kepada mereka untuk memperlakukan beliau
sekehendak hati mereka, mereka tidak akan mengadakan perhubungan
lagi dengan kedua suku itu. Mereka tidak akan menjual sesuatu atau
membeli sesuatu dari mereka itu. yaitu sesuai dengan pernyataan resmi
itulah Rasulullah s.a.w., paman beliau Abu Thalib, keluarga dan para
pengikut beliau terpaksa mencari perlindungan di lembah Abu Thalib
dan menderita akibat blokade dan biokot selama tiga tahun.
Tempat yang dipilih Rasulullah s.a.w. untuk tempat tinggal itu
jadi memiliki arti istimewa. Kaum Mekkah pernah berkumpul di sana
dan angkat sumpah bahwa, sebelum Rasulullah s.a.w. diserahkan kepada
mereka, mereka tidak akan damai dengan sukunya. Sekarang Rasulullah
s.a.w. datang ke tempat itu juga. Seolah-olah beliau mau mengatakan
kepada kaum Mekkah, “Kamu menghendaki aku di sini. Inilah aku,
namun tidak seperti cara yang kamu inginkan. Kamu menghendaki aku
sebagai mangsa, sama sekali tergantung pada belas kasihanmu. namun
aku datang dengan kekuasaan. Bukan saja kaumku sendiri, bahkan
seluruh Arabia sekarang besertaku. Kamu menghendaki kaumku
menyerahkan aku kepadamu. Alih-alih itu mereka menyerahkan kamu
kepadaku.”
Hari kemenangan itu hari Senin. Hari itu, saat Rasulullah s.a.w.
dan Abu Bakar meninggalkan gua Tsaur untuk menempuh perjalanannya
ke Medinah, yaitu hari Senin pula. Pada hari itu, sambil berdiri di bukit
Tsaur, Rasulullah s.a.w. menghadap ke Mekkah dan bersabda, “Mekkah,
engkau lebih berharga bagiku daripada tempat lain mana pun, namun
penghunimu tidak memperbolehkan aku tinggal di sini.”
saat Rasulullah s.a.w. memasuki Mekkah beliau mengendarai
unta, dan Abu Bakar berjalan di samping beliau sambil memegangi
sanggurdi. Sambil berjalan, Abu Bakar membaca ayat-ayat Surah Al-
Fatah yang di dalamnya perebutan Mekkah dinubuatkan beberapa tahun
sebelumnya.
Ka'bah Dibersihkan Dari Berhala-Berhala
Rasulullah s.a.w. langsung menuju Ka'bah dan mengelilingi
tempat suci itu tujuh kali dengan berkendaraan unta. Dengan tongkat di
tangan, beliau mengelilingi rumah yang dibuat oleh Datuk Ibrahim dan
puteranya Ismail a.s. untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Esa,
namun oleh anak-cucunya yang sesat telah dijatuhkan derajatnya menjadi
tempat penyimpanan berhala-berhala. Rasulullah s.a.w. menghancurkan
satu demi satu berhala-berhala yang berjumlah tiga ratus enam puluh
buah yang tersimpan di dalam rumah itu.
Jika sebuah berhala jatuh, Rasulullah s.a.w. membaca ayat,
“Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya
kebatilan pasti akan lenyap.” Ayat itu diwahyukan sebelum Rasulullah
s.a.w. meninggalkan Mekkah, berhijrah ke Medinah, dan merupakan
bagian Surah Bani Israil. Dalam Surah itu dinubuatkan hijrah Rasulullah
s.a.w. dan penaklukan Mekkah. Surah itu Surah Makkiyyah, satu
kenyataan yang diakui juga oleh penulis-penulis Eropa. Ayat-ayat yang
mengandung khabar-ghaib mengenai hijrah dan Mekkah, dan
penaklukan Mekkah kemudian hari bunyinya seperti berikut:
Dan katakanlah, “Ya Allah -ku, masukanlah daku dengan cara
masuk yang baik dan keluarkanlah daku dengan cara keluar yang baik.
Dan jadikanlah bagiku dari hadirat Engkau kekuatan yang menolong.”
Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap.
Sesungguhnya kebatilan itu pasti akan lenyap” (17:81-82).
Penaklukkan Mekkah itu di sini diramalkan dalam bentuk doa
yang diajarkan kepada Rasulullah s.a.w.. Kepada Rasulullah s.a.w.
diajarkan mendoa untuk memasuki Mekkah dan untuk berangkat dari
situ dalam perlindungan baik; dan untuk memperoleh pertolongan Allah
dalam meraih kemenangan terakhir bagi kebenaran atas kepalsuan.
Khabar-ghaib itu benar-benar telah menjadi kenyataan secara harfiah.
Pembacaan ayat-ayat oleh Abu Bakar itu tepat pula. Hal itu menambah
keimanan kaum Muslimin dan memperingatkan kaum Mekkah tentang
kesia-siaan perkelahian mereka melawan Allah dan tentang kebenaran
janji Allah kepada Rasulullah s.a.w..
Dengan bertekuk-lututnya Mekkah, Ka'bah dikembalikan lagi
kepada fungsi-fungsi asalnya yang beberapa ribu tahun sebelumnya
diwakafkan oleh Datuk Ibrahim a.s.. Ka'bah sekali lagi dipergunakan
untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Esa. Berhala-berhala telah
hancur. Satu di antaranya yaitu Hubal. saat Rasulullah s.a.w.
menghancurkannya dengan tongkat beliau dan jatuh berantakan, Zubair
menengok kepada Abu Sufyan dan dengan senyum yang setengah
tertahan mengenangkan kembali peristiwa di Perang Uhud.
“Masih ingatkah engkau pada hari saat orang-orang Muslim
luka-luka dan letih dan engkau melukai hati mereka lagi dengan teriakan,
'Hidup Hubal, hidup Hubal?' Apakah Hubal memberi kemenangan
kepada engkau pada hari itu? Jika memang Hubal, maka engkau dapat
melihat kesudahannya telah tiba pada hari ini. Abu Sufyan sangat
terkesan dan mengakui bahwa memang benar sekali, jika ada Allah
selain Allah nya Muhammad s.a.w., mereka akan terhindar dari kehinaan
dan kekalahan yang mereka jumpai pada hari itu.
Kemudian Rasulullah s.a.w. memerintahkan menghapus segala
gambar yang terlukis pada dinding-dinding Ka'bah. Sesudah memberi
perintah itu, Rasulullah s.a.w. sembahyang dua rakaat sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Allah . Kemudian beliau pergi ke pelataran terbuka
dan sembahyang lagi dua rakaat. Kewajiban penghapusan gambar-
gambar diberikan kepada Umar. Semua gambar telah dihilangkan,
kecuali gambar Nabi Ibrahim a.s.. saat Rasulullah s.a.w. kembali
memeriksa dan melihat bahwa gambar itu masih ada, beliau menanyakan
kepada Umar, mengapa gambar yang satu itu dibiarkan. Apakah ia tidak
ingat akan kesaksian Al-Qur’an bahwa Nabi Ibrahim a.s. bukan Yahudi
dan bukan pula Kristen, melainkan seorang Muslim yang berpegang
kepada Tauhid dan patuh? (3:68). Hal itu akan merupakan penghinaan
kepada Nabi Ibrahim a.s., seorang yang memegang teguh prinsip Tauhid,
dengan membiarkan gambarnya terlukis di dinding Ka'bah. Hal itu
seolah-olah Nabi Ibrahim a.s. dapat disembah seperti Allah .
Hari itu hari bersejarah, suatu hari penuh dengan tanda-tanda
Samawi. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Allah kepada Rasulullah
s.a.w., pada saat penyempurnaannya nampak tidak mungkin telah
menjadi kenyataan, pada akhirnya. Rasulullah s.a.w. menjadi pusat
pengabdian dan keimanan. Dalam diri dan dengan perantaraan beliau
Allah telah menjelmakan Diri, dan seolah-olah telah menampakkan
wajah-Nya. Rasulullah s.a.w. meminta air Zam Zam. Beliau meminum
sebagian dan dengan sisanya beliau berwudhu. Demikian besarnya
pengabdian orang-orang Islam kepada Rasulullah s.a.w. sehingga mereka
tidak membiarkan air setetes pun jatuh di tanah. Air itu mereka tampung
di dalam kedua lekuk tangan mereka untuk dipakai membasahi badan
mereka sendiri; begitu rupa keramatnya mereka menganggap air itu.
Orang-orang musyrik yang menyaksikan peragaan-peragaan pengabdian
ini lagi-lagi mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat seorang
raja duniawi sekalipun yang begitu dicintai oleh rakyatnya (Halbiyya,
Jilid 3, hlm. 99).
Rasulullah Mengampuni Musuh-Musuh
Sesudah segala upacara dan kewajiban usai, Rasulullah s.a.w.
berbicara kepada orang-orang Mekkah, “Kalian telah menyaksikan
betapa benar janji Allah itu telah terbukti. Sekarang, katakanlah,
hukuman apa yang kalian harapkan atas kekejaman dan kekejian yang
telah kalian lakukan terhadap mereka yang bersalah sebab mengajak
kalian beribadah kepada Allah Yang Maha Esa?”
Dijawab oleh kaum Mekkah, “Kami mengharapkan anda akan
memperlakukan kami seperti Nabi Yusuf memperlakukan saudara-
saudaranya yang bersalah.”
Sangat kebetulan, kaum Mekkah memakai kata-kata pembelaan
mereka, kata-kata yang dipakai Allah dalam Surah Yusuf yang
diwahyukan sepuluh tahun sebelum penaklukan Mekkah. Dalam Surah
itu Rasulullah s.a.w. dianjurkan untuk memperlakukan penganiaya-
penganiaya dari Mekkah itu seperti Nabi Yusuf a.s. memperlakukan
saudara-saudaranya. Dengan meminta perlakuan yang diterapkan oleh
Nabi Yusuf a.s. terhadap saudara-saudaranya, kaum Mekkah mengakui
bahwa Rasulullah s.a.w. yaitu tokoh persamaannya. Beliau seperti Nabi
Yusuf a.s., dan seperti Nabi Yusuf a.s. telah diberi kemenangan atas
saudara-saudaranya, Rasulullah s.a.w. juga telah dikaruniai kemenangan
atas kaum Mekkah. Mendengar permohonan kaum Mekkah itu,
Rasulullah s.a.w. segera mengucapkan, “Demi Allah, hari ini kamu tidak
akan mendapat hukuman dan celaan” (Hisyam).
Sementara Rasulullah s.a.w. larut dalam ungkapan rasa syukur
kepada Allah dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya di Ka'bah, dan
tengah beliau mengajak bicara kepada kaum Mekkah serta
mengumumkan keputusan memaafkan dan melupakan, timbullah
kekhawatiran dalam pikiran kaum Anshar, orang-orang Islam dari
Medinah.
Beberapa di antara mereka menjadi risau oleh peristiwa pulang-
kampung dan peristiwa rujuk kembali yang mereka saksikan saat
kedatangan para Muhajirin ke Mekkah. Apakah Rasulullah s.a.w. akan
berkenan menetap di Mekkah yang dari kota itu beliau dahulu terpaksa
pergi untuk menyelamatkan jiwa? Kekhawatiran demikian nampaknya
tidak begitu jauh sekarang, sesudah Mekkah ditaklukkan dan suku beliau
sendiri masuk Islam. Mungkin Rasulullah s.a.w. akan berkenan menetap
lagi di situ. Allah mengabarkan Rasulullah s.a.w. tentang adanya
kekhawatiran para Anshar demikian. Beliau mengangkat kepala,
memandang kepada orang-orang Anshar dan bersabda, “Agaknya kamu
menyangka bahwa Muhammad bimbang oleh cinta kepada kotanya dan
oleh tali kekeluargaan yang mengikatnya kepada sukunya.”
“Benar,” kata seorang Anshar, “kami berpikiran demikian.”
“Tahukah kamu,” sabda Rasulullah s.a.w., siapa aku ini? Aku
yaitu abdi Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana aku dapat meninggalkan
kamu? Kamu berdiri di dekatku dan mengorbankan jiwamu saat
Agama Allah rawan bantuan duniawi. Bagaimana aku dapat
meninggalkan kamu dan menetap di tempat lain? Tidak, hai Anshar, hal
itu tidak mungkin. Aku tinggalkan Mekkah sebab Allah dan aku tidak
mungkin kembali lagi. Aku akan tinggal beserta kamu dan mati beserta
kamu pula.”
Kaum Anshar sangat terharu atas pernyataan cinta dan setia yang
mandiri ini. Mereka menyesali keragu-raguan mereka kepada Allah dan
Rasulullah s.a.w., mereka menangis dan memohon ampunan. Mereka
menerangkan bahwa mereka tak akan merasa aman jika Rasulullah s.a.w.
meninggalkan mereka dan menetap di kota lain. Rasulullah s.a.w.
menjawab bahwa kekhawatiran mereka dapat dimengerti dan bahwa,
sesudah adanya keterangan dari mereka, Allah dan Rasul-Nya merasa
puas atas kebeningan hati mereka dan mengakui ketulusan hati dan
kesetiakawanan mereka.
Bagaimana perasaan kaum Mekkah pada waktu itu? Benar
mereka tidak mencucurkan air mata, namun hati mereka niscaya sarat
dengan penyesalan dan sakit hati. Sebab, bukankah mereka telah
mencampakkan dengan tangan mereka sendiri permata yang ada di
kota mereka sendiri? Lebih-lebih lagi mereka memiliki alasan untuk
penyesalan sebab Rasulullah s.a.w., yang sekarang telah tiba kembali di
Mekkah, telah mengambil keputusan untuk meninggalkannya lagi untuk
pergi ke Medinah.
Ikrima Menjadi Muslim
Dan diantara mereka yang termasuk dikecualikan dari
pengampunan umum, beberapa orang telah diberi maaf juga atas usul
para Sahabat. Di antara mereka termasuk orang-orang yang diampuni
yaitu Ikrima, anak Abu Jahal. Istrinya seorang Muslim dalam hati
(belum berikrar terang-terangan). Ia mohon kepada Rasulullah s.a.w.
agar mengampuni suaminya. Rasulullah s.a.w. berkenan memberi
ampunan. Pada saat itu Ikrima tengah berusaha melarikan diri ke
Abessinia. Istrinya mengejar dia dan dilihatnya bahwa dia hampir naik
kapal. Ia memarahi suaminya, “Engkau mau melarikan diri dari orang
yang begitu baik hati dan halus seperti Rasulullah s.a.w.?”
Ikrima ternganga keheranan dan bertanya, kalau istrinya benar
menyangka Rasulullah s.a.w. akan mengampuninya. Bahkan istrinya
meyakinkan bahwa orang seperti dia pun akan diampuni oleh Rasulullah
s.a.w.. Sesungguhnya, ia telah mendapatkan janji dari Rasulullah s.a.w..
Ikrima melepaskan niat melarikan diri ke Abessinia dan kembali ke
Mekkah lalu menjumpai Rasulullah s.a.w.. “Aku mendapat kabar dari
istriku bahwa anda telah memberi ampunan bahkan kepada orang seperti
diriku,” katanya.
“Apa yang dikatakan oleh istrimu benar. Aku sungguh-sungguh
telah mengampunimu,” sabda Rasulullah s.a.w.
Ikrima menyimpulkan bahwa orang yang sanggup memaafkan
musuh-musuhnya yang paling besar tidak mungkin palsu. Oleh sebab
itu, sesaat itu juga ia menyatakan bai’at, “Asyhadu allailaha illallahu
wahdahu Ia syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah.”
Seraya mengucapkan Kalimah Syahadat ia, sebab rasa malu,
menundukkan kepalanya. Rasulullah s.a.w. menghiburnya. “Ikrima,”
sabda beliau, aku bukan saja telah memberi maaf kepadamu, namun
sebagai bukti penghargaanku kepadamu, aku telah mengambil keputusan
untuk menanyakan kepadamu, apa kiranya yang dapat kuberikan
kepadamu.”
183
Ikrima menjawab, “Tidak ada yang lebih baik dapat kuminta
kecuali doa anda kepada Allah untuk memberikan ampunan kepadaku
mengenai segala keterlajakan* dan kekejaman yang telah kuperbuat
terhadap anda.”
Mendengar permohonan itu, Rasulullah s.a.w. segera mendoa,
“Ya Allah , ampunilah kiranya sikap tak bersahabat Ikrima yang sudah-
sudah terhadapku. Ampunilah kiranya ucapan-ucapan kotor yang pernah
terlontar dan mulutnya.”
Kemudian Rasulullah s.a.w. bangkit dan mengenakan jubah
beliau kepada Ikrima dan bersabda, “Siapa pun yang datang kepadaku
dan beriman kepada Allah , ia bersamaku. Rumahku yaitu rumahnya
dan rumahku.”
Bai’at Ikrima menyempurnakan khabar-ghaib Rasulullah s.a.w.
selang beberapa tahun sebelum kejadian itu. Dalam suatu percakapan
dengan para Sahabat, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, “Aku melihat
dalam kasyaf bahwa aku berada di dalam surga. Kulihat di sana ada
setandan anggur. saat kutanyakan untuk siapa anggur itu, ada orang
yang menjawab, “Untuk Abu Jahal.'“ Sambil mengisyaratkan kepada
kasyaf itu pada peristiwa bai’at Ikrima, Rasulullah s.a.w. mengatakan
bahwa mula-mula beliau tidak mengerti kasyaf tersebut. Betapa pula Abu
Jahal, seorang musuh Islam, dapat masuk surga dan betapa ia dapat
memperoleh setandan anggur yang disediakan baginya.
“namun sekarang,” sabda Rasulullah s.a.w., “aku mengerti kasyaf
itu; setandan anggur itu dimaksudkan untuk Ikrima. Hanya di tempat
anaknya kulihat ayahnya, suatu penukaran yang lazim dalam kasyaf dan
rukya” (Halbiyya, jilid 3, hlm. 104).
Di antara orang-orang yang diperintahkan mendapat hukuman
mati, sebagai pengecualian atas pengampunan umum itu, ada
* Keterlajakan = Tindakan yang berlebihan (Red.)
seorang Mekkah yang bertanggung-jawab atas pembunuhan terhadap
Zainab, puteri Rasulullah. Orang itu Habbar namanya; ia pernah
memutuskan tali-tali pelana unta Zainab, yang sebab nya Zainab jatuh.
Oleh sebab beliau sedang mengandung, beliau keguguran kandungan
dan meninggal dunia tak lama kemudian. Itulah salah satu dari
pelanggaran terhadap peri kemanusiaan yang telah dilakukan, dan untuk
itu ia patut dihukum mati. Orang itu sekarang menghadap kepada
Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Ya, Rasulullah, aku melarikan diri dan
pergi ke Iran. namun timbullah pikiran dalam diriku bahwa Allah telah
membersihkan kita dari kepercayaan musyrik kita dan menyelamatkan
kita dari kematian rohani. Dari pada pergi kepada orang-orang lain untuk
mencari perlindungan kepada mereka, bukankah lebih baik menghadap
Rasulullah sendiri, mengakui dan menyesali segala kesalahan dan dosa-
dosaku dan kemudian mohon ampunan?”
Rasulullah s.a.w. terharu dan bersabda, “Habbar, jika Allah
telah menanamkan dalam hatimu kecintaan kepada Islam, bagaimana
mungkin aku menolak memberi ampunan kepadamu? Aku maafkan
segala sesuatu yang telah kau perbuat sebelum ini.” Kita tidak dapat
melukiskan dengan terinci ihwal kekejaman-kekejaman yang telah
diperbuat orang-orang ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. namun ,
alangkah mudahnya Rasulullah s.a.w. mengampuni mereka! Jiwa
pengampunan ini telah mengubah musuh-musuh yang hatinya paling
keras sekalipun menjadi khadim-khadim Rasulullah s.a.w..
Perang Hunain
Masuknya Rasulullah s.a.w. ke Mekkah itu secara tiba-tiba.
Suku-suku di daerah sekitar Mekkah, terutama mereka yang di daerah
Selatan, tidak mengetahui peristiwa itu sebelum beberapa waktu
kemudian. sesudah kabar itu sampai kepada mereka, mereka mulai
mengerahkan kekuatan mereka dan bersiap untuk berperang dengan
kaum Muslimin.
Ada dua suku Arab Hawazin dan Tsaqif yang biasa
membanggakan tradisi mereka yang gagah perwira. Mereka bersama-
sama mengadakan rembukan, dan atas beberapa pertimbangan,
mengangkat Malik ibn Auf sebagai panglima. Kemudian mereka
menyerukan kepada suku-suku di sekitar untuk menggabungkan diri
kepada mereka. Di antara suku-suku yang mendapat undangan termasuk
juga Banu Sa'd; ibu inang Rasulullah s.a.w., Halimah, termasuk suku itu
dan Rasulullah s.a.w. telah hidup di tengah-tengah mereka di masa kecil.
Orang-orang dari suku itu bergabung menjadi suatu angkatan bersenjata
dan berangkat ke Mekkah dengan menyertakan keluarga dan membawa
harta benda mereka Atas pertanyaan mengapa mereka berbuat hal
demikian, mereka menjawab bahwa supaya para prajurit sadar bahwa
jika mereka melarikan diri, wanita dan anak-anak mereka akan ditawan
dan harta-benda disita. Demikian bulatnya tekad mereka, untuk
bertempur dan membinasakan kaum Muslimin. Pasukan itu turun ke
lembah Autas, suatu basis yang sangat cocok untuk olah tempur dengan
bantuan perlindungan-perlindungan alam, banyaknya persediaan rumput
dan air untuk binatang-binatang tunggangan, dan begitu juga banyak
fasilitas untuk mengatur gerakan-gerakan pasukan berkuda. saat
Rasulullah s.a.w. mendapat kabar itu, beliau mengutus Abdullah ibn Abi
Hadrad untuk sekembalinya melaporkan keadaan. Abdullah membawa
laporan bahwa ada pemusatan-pemusatan militer, dan mereka bertekad
membunuh atau dibunuh. Suku itu termasyhur mengenai keahlian
memanah, dan tempat yang mereka pilih memberi keuntungan sangat
besar kepada mereka. Rasulullah s.a.w. menemui Safwan, seorang
pemimpin Mekkah yang kaya-raya untuk meminjami perlengkapan
perang dan senjata.
Safwan menjawab, “Anda agaknya menekanku dan menyangka
bahwa aku akan gentar oleh kekuasaan anda yang kian besar dan akan
menyerahkan kepada anda segala yang anda minta?”
Rasulullah s.a.w. menjawab, “Kami tidak ingin merampas
sesuatu. Kami hanya ingin meminjam barang-barang itu dan bersedia
memberikan imbalan yang pantas.”
Safwan merasa puas dan menyetujui untuk meminjami alat-alat
itu. Seluruhnya yang diberikan yaitu seratus perangkat perlengkapan
perang dan sejumlah senjata. Rasulullah s.a.w. meminjam tiga ribu
tombak dari ipar beliau, Naufal bin Harits, dan uang kira-kira tiga ribu
dirham dari Abdullah bin Rabia (Mu'atta, Musnad, dan Halbiyya). saat
lasykar Muslim berangkat menghadapi suku Hawazin, kaum Mekkah
menyatakan keinginan ikut serta membantu kaum Muslimin. Mereka
bukan-Muslim, namun mereka rela hidup dalam kekuasaan Islam. Oleh
sebab itu, dua ribu kaum Mekkah bergabung kepada kaum Muslimin.
Dalam perjalanan mereka sampai ke tempat keramat yang terkenal, Dzat
Anwat. Di sana ada pohon Jujub yang oleh kaum Arab dipandang
keramat. Jika orang Arab membeli senjata, mereka pertama-tama
membawa senjata itu ke Dzat Anwat dan menggantungkannya di kuil itu
untuk mendapatkan berkat bagi senjata-senjata mereka. saat kaum
Muslimin lewat ke kuil itu, beberapa prajurit berkata, “Ya Rasulullah,
hendaknya diadakan semacam Dzat Anwat juga untuk kita.”
Rasulullah s.a.w. memarahi mereka dan bersabda, “Kamu
berkata seperti pengikut Nabi Musa a.s.. saat beliau pergi ke Kanaan,
di perjalanan pengikut-pengikut beliau melihat orang sedang
menyembah berhala-berhala dan berkata kepada Nabi Musa a.s., “Hai
Musa, buatkanlah untuk kami sembahan seperti mereka memiliki
sembahan-sembahan” (7:139).
Rasulullah Memanggilmu
Rasulullah s.a.w. meminta dengan sangat kepada kaum Muslimin
agar selamanya ingat bahwa Allah s.w.t. itu Maha Agung dan mendoa
kepada Dia untuk menyelamatkan mereka dari ketakhayulan-
ketakhayulan kaum-kaum yang terdahulu. Sebelum lasykar Muslim tiba
di Hunain, Kaum Hawazin dan sekutunya telah menyiapkan beberapa
tempat penghadangan yang dari di situ dapat menyerang kaum Muslimin,
seperti lubang perlindungan dan kedudukan-kedudukan penembak yang
disamarkan seperti pada perang modern. Mereka telah mendirikan
dinding-dinding di sekeliling tempat-tempat itu. Di belakang dinding-
dinding itu para prajurit bertiarap menunggu kedatangan kaum Muslimin.
Suatu jalan sempit dibiarkan untuk jalannya kaum Muslimin. Bagian
terbesar lasykar ditempatkan dalam penghadangan-penghadangan itu,
sedangkan hanya sedikit dijajarkan di hadapan unta-unta mereka. Kaum
Muslimin menyangka jumlah musuh tidak lebih banyak daripada yang
mereka lihat. Maka mereka menyerbu dan menyerang. saat mereka
sudah maju jauh ke muka, dan musuh yang ditempatkan di dalam
persembunyian memandang jangkauannya cukup dekat untuk menyerang
dengan mudah, prajurit yang membentuk deretan di hadapan unta
menyerbu pusat kekuatan lasykar Muslim, sedang penembak-penembak
tersembunyi menghujani sayap samping dengan panah. Kaum Mekkah,
yang telah ikut serta hendak memamerkan keberanian mereka tidak
dapat bertahan terhadap serangan gabungan musuh. Mereka kalang kabut
lalu melarikan diri ke Mekkah. Kaum Muslimin sudah biasa menghadapi
keadaan-keadaan yang pelik, namun saat dua ribu prajurit berkuda dan
unta menerobos lasykar Muslim, binatang-binatang kaum Muslimin pun
ikut panik. Timbullah kekacauan dalam lasykar Muslim. Tekanan datang
dan tiga jurusan dan mengakibatkan kekacauan umum. Dalam panik itu
hanya Rasulullah s.a.w. dengan dua belas Sahabat tetap tegar. Ini tidak
berarti bahwa semua Sahabat melarikan diri dari medan perang. Kira-
kira seratus orang masih tetap berada di medan pertempuran, namun
mereka itu ada pada jarak yang agak jauh dari Rasulullah s.a.w.. Hanya
dua belas yang ada di sekitar Rasulullah s.a.w.. Seorang Sahabat
meriwayatkan bahwa ia dan kawan-kawannya memeras tenaga untuk
memacu tunggangan mereka ke medan pertempuran. namun , binatang
mereka telah dikejutkan oleh paniknya binatang-binatang orang-orang
Mekkah. Tak ada usaha tampaknya dapat mengatasi situasi. Mereka
menyentak-nyentak kendali binatang tunggangan, namun binatang-
binatang itu tidak mau kembali. Kadang-kadang mereka sentakkan
begitu kerasnya kepala binatang mereka sehingga hampir-hampir
kepalanya menyentuh ekor mereka. namun , saat mereka pacu binatang
itu dengan taji sepatu, binatang itu tak mau bergerak ke muka. Malahan
sebaliknya, mereka bergerak mundur. “Hati kami berdebar-debar dalam
ketakutan, khawatir akan keselamatan Rasulullah,” kata Sahabat itu,
“namun tidak ada yang dapat kami perbuat.”
Demikianlah keadaan para Sahabat saat itu.
Rasulullah s.a.w. sendiri, berdiri dengan sekelompok kecil
prajurit, menjadi sasaran hujan panah dari tiga jurusan. Tinggal hanya
satu jalan sempit di belakang mereka untuk dapat dilalui oleh beberapa
orang pada satu waktu. Pada saat itu Abu Bakar turun dari
tunggangannya dan memegangi kendali bagal Rasulullah s.a.w. sambil
berkata, “Ya Rasulullah, marilah kita mengundurkan diri untuk
sementara dan menunggu lasykar Muslim berkumpul kembali.
“Lepaskan kendali bagalku, hai Abu Bakar,” sabda Rasulullah
s.a.w.
Sambil berkata demikian, beliau memacu binatang itu dan
memasuki jalan sempit yang di kanan-kirinya terletak penghadangan-
penghadangan musuh yang dari sana para penembak melepaskan panah.
saat Rasulullah s.a.w. memacu binatang tunggangannya, beliau
bersabda, “Aku seorang Nabi. Aku bukan pendusta. Aku anak Abdul-
Muthalib” (Bukhari). Kata-kata yang diucapkan pada saat sangat
berbahaya bagi diri beliau sendiri itu, sarat dengan arti. Kata-kata itu
menekankan kenyataan bahwa Rasulullah s.a.w. itu benar-benar seorang
Nabi, seorang Rasul yang benar. Dengan menekankan hal itu, beliau
bermaksud mengatakan bahwa beliau tidak takut mati atau takut misi
beliau akan gagal. namun , kendati pun dihujani panah oleh para pemanah
musuh, beliau selamat dan terpelihara, kaum Muslimin tidak boleh
membanggakan kepada beliau menyandang sifat-sifat uluhiyyat. Sebab,
beliau hanyalah manusia biasa, anak Abdul Muthalib. Alangkah hati-hati
Rasulullah s.a.w. senantiasa mengesankan kepada para pengikut beliau
mengenai perbedaan antara iman dan ketakhayulan. Sesudah
mengucapkan kata-kata bersejarah itu, Rasulullah s.a.w. memanggil
Abbas. Abbas memiliki suara yang kuat. Rasulullah s.a.w. bersabda
kepadanya, “Abbas, kumandangkan suaramu dan peringatkan kaum
Muslimin akan sumpah di bawah pohon di Hudaibiya dan apa yang
diajarkan kepada mereka pada saat turun Surah Al-Baqarah. Katakan
kepada mereka, Rasulullah memanggil mereka”, Abbas mengerahkan
suaranya yang kuat itu. Seruan Rasulullah s.a.w. membahana bagaikan
guntur, bukan mengenai telingga yang pekak namun telinga yang peka.
Pengaruhnya laksana sentakan listrik. Sahabat-sahabat yang merasa
dirinya tidak berdaya untuk memacu binatang mereka ke arah medan
pertempuran, sekonyong-konyong merasa seolah-olah tidak ada lagi di
dunia ini namun di akhirat di hadapan Allah di Hari Pembalasan. Suara
Abbas tak kedengaran seperti suaranya sendiri, melainkan suara malaikat
memanggil mereka mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan
mereka. Maka tiada sesuatu yang dapat menahan mereka untuk kembali
ke medan pertempuran. Banyak di antara mereka yang turun dari
binatang tunggangan mereka, dan hanya dengan pedang dan perisai di
tangan terjun ke medan pertempuran, dan membiarkan binatang
tunggangannya pergi ke mana mereka suka. Yang lainnya turun dari
tunggangan mereka, memenggal kepala binatang mereka dan menuju
Rasulullah s.a.w. dengan berjalan kaki. Diriwayatkan bahwa kaum
Anshar pada waktu itu berlari menuju Rasulullah dengan kecepatan
seperti seekor induk unta atau induk sapi berlari ke arah anaknya sebab
mendengar jeritannya. Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w. telah
dikerumuni oleh para Sahabat yang besar jumlahnya, kebanyakan
Anshar. Musuh mengalami kekalahan lagi.
Hadirnya Abu Sufyan di samping Rasulullah s.a.w. pada hari ini
merupakan suatu tanda agung. Tanda kekuasaan Allah di satu pihak,
dan contoh daya pensucian Rasulullah s.a.w. di pihak lain. Beberapa hari
sebelumnya, Abu Sufyan, musuh Rasulullah s.a.w., si panglima yang
haus darah, bertekad bulat membinasakan kaum Muslimin. namun di sini,
pada hari ini, Abu Sufyan itu juga berdiri di samping Rasulullah s.a.w.,
selaku seorang kawan dan pengikut, pula Sahabat. saat unta-unta
musuh dan lawan menjadi kalang-kabut, Abu Sufyan, seorang panglima
bijaksana dan berpengalaman, melihat bahwa kudanya juga telah
kehilangan akal dan akan lari tak terkendalikan. Segera ia turun, dan
sambil memegang sanggurdi bagal Rasulullah s.a.w. ia maju dengan
berjalan kaki.
Dengan pedang terhunus di tangannya, ia berjalan di samping
Rasulullah s.a.w. dengan tekad bulat tidak akan membiarkan siapa pun
mendekati pribadi Rasulullah s.a.w. tanpa lebih dahulu menyerang dan
membunuh dirinya. Rasulullah s.a.w. mengamati perubahan dalam diri
Abu Sufyan itu dengan rasa gembira dan heran. Ia mencerminkan bukti
baru dan segar mengenai kekuasaan Allah s.w.t.. Hanya sepuluh atau
lima belas hari sebelum itu, orang tersebut membina sebuah pasukan
untuk mengakhiri dan memusnahkan Gerakan Islam. namun , suatu
perubahan telah terjadi. Seorang panglima musuh sebelum itu, sekarang
berdiri di samping Rasulullah s.a.w., sebagai seorang prajurit biasa yang
berjalan kaki, memegang kendali bagal tuannya dan bertekad baja untuk
mati dalam membela kepentingan tuannya. Abbas melihat pandangan
heran Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Ya, Rasulullah, itulah Abu Sufyan,
anak paman anda jadi saudara anda juga. Tidakkah anda merasa senang
kepadanya?”
“Aku senang,” sabda Rasulullah s.a.w., “dan aku mendoa,
semoga Allah mengampuni segala kesalahan yang telah diperbuatnya.”
Kemudian, sambil berpaling kepada Abu Sufyan, beliau
bersabda, “Saudara!” Abu Sufyan tidak dapat menahan keharuan cinta
yang menggumpal di dalam hatinya. Ia membungkuk dan mencium kaki
Rasulullah s.a.w. pada sanggurdi yang dipegangnya (Halbiyya).
Seusai Perang Hunain, Rasulullah s.a.w. mengembalikan alat-
alat perang yang diterima beliau sebagai sewaan. Pada waktu
mengembalikan, beliau memberikan imbalan berlipat kali kepada orang-
orang yang meminjamkannya. Mereka yang meminjamkannya sangat
terharu oleh perhatian dan kemurahan yang ditunjukkan Rasulullah
s.a.w. waktu pengembalian alat-alat itu dan memberikan imbalan kepada
orang-orang yang meminjamkannya. Mereka merasakan benar-benar
bahwa Rasulullah s.a.w. bukan orang biasa, melainkan seorang yang
derajat akhlaknya jauh lebih tinggi daripada orang lain. Tidak
mengherankan kalau Safwan segera masuk Islam.
Musuh Kental Menjadi Pengikut Yang Mukhlis
Peran Hunain senantiasa mengingatkan para ahli sejarah kepada
suatu peristiwa lain yang sangat menarik, terjadi saat pertempuran
sedang berkecamuk. Syaiba, seorang penduduk Mekkah dan pengurus
Ka'bah, ikut dalam pertempuran di pihak musuh. Ia mengatakan bahwa
ia hanya memiliki satu tujuan dalam pertempuran itu, ialah, saat nanti
kedua pasukan bertemu, ia akan mencari kesempatan membunuh
Rasulullah s.a.w.. Ia bertekad bulat bahwa seandainya seluruh dunia pun
menjadi pengikut Rasulullah s.a.w. (jangan dikata seluruh Arabia). ia
akan tetap ada di luar Islam dan terus menentangnya. saat
pertempuran bertambah sengit, Syaiba menghunus pedangnya dan mulai
bergerak ke arah Rasulullah s.a.w.. saat ia tiba sangat dekat,
keberaniannya hilang sirna. Tekadnya mulai goyah. “saat aku sangat
dekat kepada Rasulullah,” kata Syaiba, “aku seperti melihat nyala api
mengancam akan membakarku. Kemudian kudengar suara Rasulullah
s.a.w. bersabda, 'Syaiba, kemari datang kedekatku.” saat aku telah
mendekat, Rasulullah s.a.w. mengusap-usap tangannya pada dadaku
dengan penuh kasih sayang. Sambil berbuat demikian, beliau bersabda,
“Ya Allah , lepaskan Syaiba dari pikiran-pikiran setannya.” Dengan
secercah senAllah cinta itu Syaiba berubah. Rasa permusuhannya
menguap, dan sejak saat itu Syaiba memandang Rasulullah s.a.w. lebih
berharga dari apa pun di dunia ini. sesudah Syaiba berubah, Rasulullah
s.a.w. mengajak tampil dan ikut berjuang.
“Pada saat itu,” kata Syaiba, “aku hanya memiliki satu niat,
ialah mati untuk membela Rasulullah s.a.w.. Malah, andaikata ayahku
sendiri merintangi, aku tidak akan ragu-ragu sejenak pun untuk
menusukkan pedangku ke dalam dadanya” (Halbiyya).
Rasulullah s.a.w. kemudian berderap maju menuju Ta’if, kota
yang pernah melempari beliau dengan batu dan mengusir beliau.
Rasulullah s.a.w. mengepung kota itu, namun kemudian menerima saran
beberapa kawan untuk menghentikan pengepungan itu. Kemudian, kaum
Ta’if dengan suka rela masuk Islam.
Rasulullah Membagi-Bagi Rampasan Perang
Sesudah Mekkah jatuh dan kaum Muslimin meraih kemenangan
di Hunain, Rasulullah s.a.w. dihadapkan kepada kewajiban membagi-
bagikan uang yang diperoleh sebagai uang tebusan dan harta-benda yang
ditinggalkan oleh musuh di medan pertempuran. Jika adat diikuti, uang
dan harta-benda itu harus dibagi-bagikan di antara prajurit-prajurit
Muslim yang ikut dalam pertempuran-pertempuran itu. namun , kali ini
tidak dibagikan kepada orang-orang Muslim, malah Rasulullah s.a.w.
membagi-bagikannya kepada kaum Mekkah dan orang-orang yang
tinggal di sekitar Mekkah. Mereka masih harus dibujuk untuk mengenal
keimanan yang sebenarnya. Banyak di antara mereka dahulunya keras
menentang. Mereka yang telah bai’at masih merasa canggung. Tidak
terpikir oleh mereka bagaimana seseorang dapat meniadakan
kepentingan diri sendiri sesudah menerima dan masuk Islam. namun ,
daripada meniru dan mengikuti contoh pengorbanan harta-benda dan
pengorbanan diri yang mereka lihat, daripada membalas budi baik yang
diperlihatkan oleh orang-orang mukmin, mereka menjadi lebih kikir,
lebih loba dan serakah daripada yang sudah-sudah. Tuntutan mereka
mulai menjadi-jadi. Mereka mengerubuti Rasulullah s.a.w., dan
mendorong beliau ke suatu tempat di bawah pohon sehingga jubah beliau
terkoyak pada bagian bahunya.
Akhirnya, Rasulullah s.a.w. berseru kepada khalayak itu, “Aku
tak dapat memberikan apa-apa lagi. Jika aku punya, tentu aku telah
memberikannya kepadamu. Aku bukan orang kikir dan tidak loba”
(Bukhari, Bab Faradh al-Khums).
Kemudian beliau menghampiri unta dan mencabut sehelai
bulunya, lalu beliau bersabda kepada khalayak itu, “Dan semua uang dan
harta-benda itu aku tidak membutuhkan sedikit pun walau sehelai bulu
ini sekalipun. namun aku harus menyisihkan hanya seperlimanya untuk
negara. Itulah bagian yang diizinkan oleh adat kebiasaan Arab yang telah
senantiasa diakui sebagai adil dan benar. Seperlima itu bukan untuk
diriku sendiri. Harta itu akan dibelanjakan untuk kamu dan kebuAllah mu
juga. Ingatlah, seseorang yang menyalah-miliki dan menyalah-gunakan
harta umum akan dihinakan di hadapan Ilahi pada Hari Pembalasan.
“Dikatakan oleh para ahli kritik yang keji bahwa Rasulullah
s.a.w. mendambakan jadi raja dan memiliki kerajaan. namun bayangkan,
bagaimana beliau berhadapan dengan khalayak rakyat jelata, padahal
beliau sudah menjadi raja. Seandainya beliau berhasrat menjadi raja dan
memiliki kerajaan, adakah beliau akan memperlakukan khalayak
ramai yang berubah bagai pengemis itu sama seperti beliau
memperlakukan khalayak orang-orang Mekkah itu? Adakah beliau akan
mengizinkan dirinya sendiri dikerubut bagai orang kebanyakan? Adakah
beliau akan mengemukakan penjelasan dan keterangan? Hanya nabi-nabi
yang dapat menunjukkan teladan serupa itu. Segala rampasan perang,
berupa uang dan benda-benda berharga yang harus dibagi-bagikan - telah
dibagi-bagikan kepada mereka yang mustahak dan kepada fakir-miskin.
Walaupun demikian, masih ada juga orang-orang yang tidak merasa puas
dan mengerubuti Rasulullah s.a.w., memprotes pembagian itu dengan
menuduh Rasulullah s.a.w. telah berbuat tidak adil.
Seorang yang bernama Dzul-Khuwaisira mendekati Rasulullah
s.a.w. dan berkata, “Muhammad, aku menyaksikan apa yang sedang
engkau perbuat.”
“Dan, apakah yang kulakukan itu?” Rasulullah s.a.w. bertanya.
“Engkau sedang melakukan ketidak-adilan,” katanya.
“Celakalah engkau,” sabda Rasulullah s.a.w., “jika aku dapat
berbuat tidak adil, maka tak seorang juga di atas bumi yang dapat
berbuat adil.” (Muslim, Kitab al-Zakat).
Orang-orang mukmin sejati menjadi marah sekali. saat orang
itu meninggalkan kumpulan itu, beberapa dari antara mereka berkata,
“Orang itu harus dihukum mati. Izinkanlah kami membunuhnya.”
“Jangan,” sabda Rasulullah, “jika ia menaati hukum kita dan
tidak melakukan pelanggaran yang nyata, bagaimana kita dapat
membunuhnya?”
“namun ,” jawab orang-orang mukmin itu, “jika seseorang
mengatakan sesuatu dan berbuat sesuatu, namun berkepercayaan dan
berkeinginan lain sama sekali, apakah tidak selayaknya ia dip