Selasa, 11 Februari 2025

riwayat hidup nabi muhammad 7

 


alkan kita, berangkat ke perbatasan Siria. Lasykar itu 

menghadapi musuh dan bertempur. Mula-mula Zaid, lalu Jafar dan 

kemudian Abdullah bin Rawaha memegang panji perang. Ketiga-tiganya 

gugur bergantian dalam pertempuran dengan gagah berani. Doakanlah 

mereka itu semua. Sesudah mereka panji dipegang oleh Khalid bin 

Walid. Ia mengangkat dirinya sendiri. Ia yaitu  pedang di antara segala 

pedang Allah . Dengan demikian ia menyelamatkan lasykar Islam dan 

pulang kembali” (Zad al Ma'ad, jilid l, dan Zurqani). 

Gambaran Rasulullah s.a.w. mengenai Khalid itu menjadi 

termasyhur. Khalid menjadi terkenal sebagai Saifullah - Pedang Allah. 

Sebagai salah seorang yang masuk Islam belakangan, Khalid 

sering diejek oleh orang-orang Islam lainnya. Sekali peristiwa ia dan 

'Abd al-Rahman bin Auf berbantah-bantah mengenai sesuatu. 'Abd al-

Rahman bin Auf mengadukan Khalid kepada Rasulullah s.a.w.. 

Rasulullah s.a.w. menegur Khalid dan bersabda, “Khalid, engkau telah 

menyinggung perasaan seseorang yang telah berbakti kepada Islam sejak 

zaman Badar. Aku katakan kepadamu bahwa walaupun kamu telah 

membaktikan emas seberat bukit Uhud untuk mengkhidmati Islam, kamu 

tidak akan menjadi berhak atas ganjaran dari Allah  seperti 'Abd al-

Rahman.” 

“namun mereka mengejekku,” kata Khalid, “dan aku terpaksa 

menjawab.” Atas keterangan itu Rasulullah s.a.w. menghadap kepada 

orang-orang lainnya dan bersabda, “Kamu jangan menghina Khalid. Ia 

yaitu  pedang di antara segala pedang Allah yang senantiasa terhunus 

menghadapi kaum kafir.” 

Gambaran Rasulullah s.a.w. menjadi kenyataan beberapa tahun 

kemudian. 

Pada waktu Khalid kembali bersama lasykar Muslim, beberapa 

Anshar menggambarkan lasykar yang pulang dari medan itu sebagai 

pasukan yang kalah perang dan kurang semangat. Yang menjadi celaan 

umum ialah, mereka seharusnya mati dalam pertempuran. Rasulullah 

s.a.w. menyesali celaan-celaan itu, Khalid dan lasykarnya bukan orang-

orang kalah perang atau kurang semangat, sabda beliau. Mereka itu 

prajurit yang pulang untuk kembali lagi menyerang. Kata-kata itu 

mengandung arti lebih banyak dari pada yang nampak pada permukaan. 

Kata-kata itu memberi khabar ghaib tentang peperangan yang akan 

dilakukan kaum Muslimin dengan Siria. 

 

Rasulullah Berderap Maju Ke Mekkah Dengan 

Sepuluh Ribu Sahabat 

Pada tahun kedelapan Hijrah pada bulan Ramadhan (Desember 

629 M) Rasulullah s.a.w. berangkat dengan gerakan pasukan terakhir 

yang secara pasti menegakkan Islam di Arabia. 

Di Hudaibiya telah tercapai persetujuan antara kaum Muslimin 

dan kaum kufar bahwa suku-suku Arab akan diberi kebebasan 

menggabungkan diri kepada kaum kufar atau kepada Rasulullah s.a.w.. 

Disepakati juga bahwa selama sepuluh tahun kedua pihak tidak akan 

berperang yang satu terhadap yang lain, kecuali jika satu pihak 

melanggar perjanjian dengan menyerang yang lain. Atas persetujuan itu, 

Banu Bakr bergabung kepada kaum Mekkah, sedangkan suku Khuza'a 

bersekutu dengan kaum Muslimin. 

Kaum kufar Arab jarang sekali menghormati perjanjian, lebih-

lebih dengan kaum Muslimin. Kebetulan Banu Bakr dan Khuza'a 

memiliki  perselisihan yang sengit. Banu Bakr meminta pertolongan 

kaum Mekkah membereskan perselisihan yang sudah lama dengan suku 

Khuza'a. Mereka membuktikan bahwa perjanjian Hudaibiya telah 

ditandatangani. Suku Khuza'a merasa aman oleh persekutuannya dengan 

Rasulullah s.a.w.. Maka sekaranglah saatnya bagi mereka untuk 

menyerang suku Khuza'a. Kaum Mekkah setuju. Atas pertetujuan itu 

kaum Mekkah dan Banu Bakr pada suatu malam bersama-sama 

mengadakan serangan terhadap suku Khuza'a dan membunuh banyak 

prajurit mereka. Suku Khuza'a mengirim empat puluh prajurit berunta 

mereka ke Medinah untuk melaporkan pelanggaran perjanjian itu kepada 

Rasulullah s.a.w.. Mereka mengatakan bahwa menjadi kewajiban kaum 

Muslimin bergerak ke Mekkah untuk membalas serangan ini. 

Perutusan itu menghadap Rasulullah s.a.w. dan beliau 

mengatakan dengan tegas bahwa beliau memandang musibah mereka 

sebagai musibah beliau sendiri. Beliau menunjuk ke awan yang 

membubung ke angkasa seraya bersabda, “Seperti butir-butir air hujan 

yang kamu lihat nun di sana, prajurit-prajurit Muslim akan turun 

membantumu.” Kaum Mekkah gelisah atas berita delegasi Khuza'a ke 

Medinah. Mereka mengutus Abu Sufyan pergi secepatnya ke Medinah 

untuk mencegah kaum Muslimin dari melakukan serangan. Abu Sufyan 

tiba di Medinah dan mencoba meminta dengan sangat bahwa, sebab  ia 

tidak hadir di Hudaibiya, suatu perjanjian perdamaian baru harus 

ditandatangani oleh kaum Muslimin. Rasulullah s.a.w. memandang tidak 

bijaksana untuk menjawab usul itu. Abu Sufyan menjadi tersinggung, 

lalu pergi ke mesjid dan mengumumkan: 

“Wahai Saudara-saudara, Aku memperbaharui, atas nama kaum 

Mekkah, jaminan damai kami dengan kalian “ (Zurqani). 

Kaum Medinah tak mengerti akan arah pidato itu. Maka, mereka 

hanya tertawa. Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Abu Sufyan, 

“Pernyataan anda hanya sepihak dan kami tidak dapat menyetujuinya.” 

Dalam pada itu, Rasulullah s.a.w. berkirim surat kepada semua suku. 

Yakin bahwa mereka siap dan telah berangkat, beliau minta kaum 

Muslimin di Medinah untuk mempersenjatai diri dan bersiap-siap. 

Pada tanggal 1 Januari lasykar Muslim bergerak maju. Di 

berbagai tempat dalam perjalanan mereka digabungi suku-suku Muslim 

lainnya. Baru beberapa hari perjalanan telah ditempuh, lasykar itu tiba di 

belantara Faran. Jumlahnya - tepat seperti Nabi Sulaeman a.s. telah 

menubuatkan lama sebelum itu - sekarang telah membengkak menjadi 

sepuluh ribu. saat  lasykar itu bergerak maju ke Mekkah, kesunyian di 

sekitar tampak lebih mencekam orang-orang Mekkah. Mereka mendesak 

Abu Sufyan untuk keluar lagi dan menyelidiki apa rencana kaum 

Muslimin itu. 

 Ia baru sampai kurang dari satu hari dalam perjalanan dari 

Mekkah, saat  ia pada malam hari melihat seolah-olah seluruh belantara 

diterangi oleh api-api unggun. Rasulullah s.a.w. telah memerintahkan 

menyalakan api unggun di hadapan tiap-tiap kemah. Kesan gemuruhnya 

api dalam kesunyiaan dan kegelapan malam itu dahsyat lagi mengerikan. 

“Apa gerangan itu?” Abu Sufyan bertanya kepada kawan-

kawannya. “Apakah ada bala-tentara turun dari langit? Aku tak pernah 

tahu ada bala-tentara Arab yang begitu besar.” Mereka menyebut nama 

beberapa suku dan pada tiap-tiap nama Abu Sufyan berkata, “Tidak ada 

suku Arab atau kaum dapat memiliki  bala-tentara yang begitu besar.” 

Abu Sufyan dan kawan-kawannya masih menebak-nebak saat  suara 

dalam kegelapan malam berseru, “Abu Hanzala!” (Hanzala yaitu  nama 

seorang anak Abu Sufyan). 

“Abbas, engkaukah di situ?” kata Abu Sufyan. 

“Ya, lasykar Nabi telah dekat. Bertindaklah cepat atau kehinaan 

dan kekalahan sedang menunggumu,” jawab Abbas. 

Abbas dan Abu Sufyan yaitu  dua orang yang telah lama 

bersahabat. Abbas mendesak supaya Abu Sufyan menyertainya dengan 

menunggang bagalnya* dan menghadap Rasulullah s.a.w. Ia mencekal 

tangan Abu Sufyan, menariknya dan membuatnya naik di atas bagalnya. 

Memacu bagal mereka segera tiba di kemah Rasulullah s.a.w.. Abbas 

takut kalau-kalau Umar, yang menjaga tenda Rasulullah s.a.w., akan 

menyergap dan membunuh Abu Sufyan. namun , Rasulullah s.a.w. telah 

mengambil persiapan-persiapan dengan mengumumkan bahwa siapa 

juga yang menjumpai Abu Sufyan tidak boleh berupaya membunuhnya. 

Pertemuan itu sangat dalam berkesan kepada Abu Sufyan. Ia terkesiap 

oleh kemajuan dalam kemenangan-kemenangan Islam. Di situ duduk 

Nabi yang kaum Mekkah pernah mengusirnya dari Mekkah dengan 

hanya ditemani oleh seorang sahabat. Jarak waktu belum genap tujuh 

tahun sejak peristiwa itu, sekarang ia mengetuk-ngetuk pintu gerbang 

Mekkah dengan sepuluh ribu khadimnya. Kartu sudah sama sekali 

terbalik. Nabi yang tujuh tahun berselang pernah melarikan diri dari 

Mekkah untuk menyelamatkan jiwanya itu sekarang telah kembali ke 

Mekkah dan Mekkah tak sanggup melawannya.  

 

Mekkah Jatuh 

Abu Sufyan tentu telah berpikir keras. Bukankah suatu 

perubahan besar yang sukar dipercayai telah terjadi dalam waktu hanya 

tujuh tahun? Dan, sekarang, sebagai pemimpin Mekkah, apa pula yang 

harus diperbuatnya? Apakah ia akan melawan ataukah lebih baik 

menyerah? Diharu-biru oleh pikiran-pikiran demikian ia tampak lupa ada 

orang yang memperhatikannya. Rasulullah s.a.w. melihat keresahan 

pemimpin Mekkah itu. Beliau mengatakan kepada Abbas untuk 

                                                     

* Bagal = blasteran kuda dan keledai (Red). 

 168 

membawanya dan menjamunya malam itu sambil menjanjikan akan 

berjumpa lagi pagi hari keesokan harinya. Abu Sufyan melewatkan 

malam bersama Abbas. Pagi-pagi mereka menghadap Rasulullah s.a.w. 

lagi. Waktu itu saat sembahyang subuh. Hiruk-pikuk dan kesibukan yang 

disaksikan Abu Sufyan di keremangan pagi sangat tidak biasa di dalam 

pengalamannya. Ia tidak pernah mengetahui - tak seorang warga Mekkah 

pun mengetahui - ada orang-orang yang dapat bangun begitu dini seperti 

kaum Muslimin di bawah disiplin Islam. Ia melihat semua orang Muslim 

keluar dari kemah mereka untuk menjalankan shalat subuh. Beberapa 

orang masih berjalan kian-kemari mencari air untuk mengambil air 

sembahyang, dan lain-lainnya mengatur shaf-shaf. Abu Sufyan tak 

mengerti kegiatan di pagi buta itu. Ia menjadi takut. Apakah ada rencana 

baru untuk menakut-nakutinya? 

“Apa gerangan yang sedang mereka lakukan?” ia bertanya 

dengan kaget. 

 “Tidak ada yang perlu kautakuti,” jawab Abbas. “Mereka hanya 

sekedar bersiap-siap untuk mengerjakan shalat subuh. 

“Abu Sufyan kemudian menyaksikan ribuan orang Muslim 

berbanjar dalam shaf-shaf di belakang Rasulullah s.a.w. melakukan 

gerakan-gerakan dan kebaktian-kebaktian yang telah ditetapkan menurut 

perintah Rasulullah s.a.w. - rukuk, sujud, bangkit lagi, dan seterusnya. 

Abbas bertugas menjaga sehingga bebas untuk mengajak Abu Sufyan 

bercakap-cakap. 

“Apa yang mereka lakukan sekarang?” Abu Sufyan bertanya. 

”Segala gerak-gerik Rasulullah s.a.w. diikuti oleh lain-lainnya.” 

“Apakah yang kaukira?” Itu hanya shalat orang Muslim, Abu 

Sufyan. Orang-orang Muslim biasa melaksanakan segala sesuatu atas 

perintah Rasulullah s.a.w. - berpuasa umpamanya.” 

“Benar,” kata Abu Sufyan, “aku telah melihat istana-istana 

besar. Aku telah melihat istana Kisra dan istana Kaisar, namun aku tak 

 169 

pernah melihat pengabdian kepada pemimpinnya seperti kaum Muslimin 

mengabdi kepada Nabi mereka” (Halbiyya, jilid 2, hlm. 90). 

Diliputi oleh rasa gentar dan rasa bersalah, Abu Sufyan terus 

bertanya-tanya kepada Abbas, apa ia sudi mengajukan permohonan 

kepada Rasulullah s.a.w. untuk memberi maaf kepada kaumnya, 

maksudnya kepada kaum Mekkah. 

Seusai shalat subuh, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap 

Rasulullah s.a.w.. Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Abu Sufyan, 

“Apakah belum juga jelas bagi engkau bahwa tak ada yang layak 

disembah kecuali Allah?” 

“Ayahku dan ibuku jadi korban untuk engkau. Anda senantiasa 

baik terhadap kaum kerabat anda.” Sekarang aku yakin bahwa andaikata 

ada sesuatu yang lain patut disembah, kami tentu telah mendapat 

pertolongan dari dia terhadap anda.” 

“Apakah belum juga datang kesadaran kepada anda bahwa aku 

Rasulullah?” 

“Ayahku dan ibuku jadi kurban untuk engkau, mengenai hal ini 

aku masih sedikit ragu-ragu.” 

Sementara Abu Sufyan ragu-ragu untuk mengakui Rasulullah 

s.a.w. sebagai Utusan Allah, dua orang kawannya yang telah berangkat 

dari Mekkah bersama-sama dengan dia dalam rangka tugas penyelidikan 

untuk kaum Mekkah telah masuk Islam. Seorang di antaranya bernama 

Hakim bin Hizam. Tak lama kemudian, Abu Sufyan juga masuk Islam, 

namun secara batiniah agaknya masih ditangguhkan sampai Mekkah 

berhasil direbut. Hakim bin Hizam menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. 

kalau-kalau orang-orang Muslim akan membinasakan kaum kerabatnya. 

“Orang-orang itu,” sabda Rasulullah s.a.w., “sangat kejam 

dahulunya. Mereka telah melakukan pelanggaran-pelanggaran dan 

membuktikan diri mereka tidak dapat dipercaya. Mereka melanggar 

perjanjian perdamaian yang telah mereka tandatangani di Hudaibiya dan 

menyerang suku Khuza'a dengan buas. Mereka telah berperang di tempat 

yang telah disucikan oleh Allah .” 

“Sungguh benar, ya Rasulullah, kaum kami telah berbuat segala 

yang anda sebut, namun daripada menyerang Mekkah seharusnya anda 

menggempur suku Hawazin,” kata Hakim mengusulkan. 

“Kaum Hawazin juga kejam dan buas. Semoga Allah  memberi 

taufik kepadaku untuk melaksanakan tiga tujuan: merebut Mekkah, 

kemenangan Islam, dan mengalahkan kaum Hawazin.” 

Abu Sufyan yang mendengar percakapan itu bertanya kepada 

Rasulullah s.a.w., “Jika kaum Mekkah tidak mengangkat senjata, adakah 

mereka akan aman?”  

“Ya,” ujar Rasulullah s.a.w., “setiap orang yang tinggal di dalam 

rumah akan aman.” 

“namun , ya Rasulullah,” Abbas menimpali, “Abu Sufyan sangat 

prihatin mengenai dirinya sendiri. Ia ingin mengetahui apa kiranya 

kedudukan dan harkatnya di tengah-tengah kaum Mekkah akan 

dihormati.” 

“Baiklah,” sabda Rasulullah s.a.w., “siapa saja berlindung dalam 

rumah Abu Sufyan akan aman. Siapa masuk ke dalam Masjidil Haram 

akan aman. Mereka yang meletakkan senjatanya akan aman. Mereka 

yang tinggal di rumah Hakim bin Hizam akan aman.” Sambil bersabda 

demikian Abu Ruwaiha dipanggil dan kepadanya diserahkan panji Islam. 

Abu Ruwaiha telah mengikat persaudaraan dengan Bilal, budak Negro. 

Sambil menyerahkan panji itu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Siapa berdiri 

di bawah panji itu akan aman.” Pada saat itu juga beliau memerintahkan 

kepada Bilal untuk berjalan di muka Abu Ruwaiha dan mengumumkan 

kepada semua yang berkepentingan bahwa keamanan terjamin di bawah 

panji yang dipegang oleh Abu Ruwaiha. 

Rasulullah Memasuki Mekkah 

Pengaturan itu sarat dengan kebijakan. saat  kaum Muslimin 

dianiaya di Mekkah, Bilal, salah seorang dari bulan-bulanan mereka, 

dihela di sepanjang jalan dengan tali diikatkan pada kakinya. Mekkah 

tidak memberi keamanan kepadanya melainkan hanya derita jasmani, 

kenistaan, dan kehinaan. 

Alangkah besarnya pasti dendam Bilal merasa pada hari 

pembebasan itu. Membiarkannya mengadakan pembalasan terhadap 

kekejaman-kekejaman yang buas seperti dideritanya di Mekkah itu 

memang sangat perlu, namun harus dalam batas-batas yang diiizinkan 

oleh ajaran Islam. Sebagai pengganti pelampiasan rasa dendam itu, 

Rasulullah s.a.w. menyerahkan kepada saudara Bilal panji Islam dan 

menugasi Bilal untuk menawarkan keamanan kepada semua yang dahulu 

menganiayanya, di bawah panji yang dipegang oleh saudaranya. Ada 

keindahan dan daya pesona di dalam cara pembalasan ini. Kita dapat 

membayangkan Bilal berjalan di hadapan saudaranya dan menyerukan 

tawaran keamanan kepada musuh-musuhnya. Nafsu pembalasan 

dendamnya tidak mungkin dapat bertahan lama. Rasa itu akan buyar 

saat  ia melangkah sambil mengajak damai kepada kaum Mekkah di 

bawah panji yang dipegang tinggi oleh saudaranya. 

Sementara kaum Muslim bergerak menuju Mekkah, Rasulullah 

s.a.w. telah menyuruh Abbas membawa Abu Sufyan dan kawan-

kawannya ke titik yang dari tempat itu mereka mudah dapat 

menyaksikan segala kelakuan dan sikap lasykar Islam. Abbas 

melaksanakan perintah itu, dan dari tempat yang agak tinggi Abu Sufyan 

dan kawan-kawannya menyaksikan lasykar Muslim berjalan melewati 

suku-suku Arab yang atas kekuatan mereka kaum Mekkah selama 

bertahun-tahun mengandalkan segala persekongkolan mereka terhadap 

Islam. Pada hari itu mereka berbaris bukan sebagai prajurit-prajurit kufar 

melainkan sebagai prajurit-prajurit Muslim. Mereka sekarang 

menyerukan semboyan-semboyan ala Islam, bukan semboyan-semboyan 

yang dahulu diserukan pada waktu mereka masih biadab dan musyrik. 

Mereka berbaris dalam formasi bukan untuk membinasakan Rasulullah 

s.a.w., namun untuk mempertaruhkan nyawa mereka dalam membela dan 

menjaga jiwa beliau; bukan untuk menumpahkan darah beliau, 

melainkan menumpahkan darah mereka sendiri demi kepentingan beliau. 

Ambisi mereka pada hari itu bukan untuk menentang seruan yang justru 

sampai saat itu mereka, kaum Mekkah, menolaknya. Ambisi mereka 

sekarang ialah menegakkan kesatuan dan solidaritas umat manusia. 

Pasukan demi pasukan berderap maju sampai suku Asyja tampak pada 

Abu Sufyan. Pengabdian kepada Islam dan semangat pengorbanan 

mereka tampak pada wajah mereka dan tersimak dalam nyanyian-

nyanyian serta semboyan-semboyan mereka.  

“Siapa gerangan mereka itu?” tanya Abu Sufyan. 

“Mereka itu suku Asyja.” 

Abu Sufyan nampak tercengang. “Di seluruh Arabia, tidak ada 

yang lebih memusuhi Muhammad selain mereka.” 

“Kami bersyukur atas kemurahan Allah . Dia mengubah hati 

orang-orang yang memusuhi Islam segera sesudah Dia memandang 

waktunya tepat,” kata Abbas. 

Pada akhirnya, datanglah Rasulullah s.a.w. dikelilingi oleh 

pasukan-pasukan Anshar dan Muhajirin. Kekuatan mereka itu kira-kira 

dua ribu dengan berpakaian baju besi. Umar yang gagah perkasa 

memimpin barisan itu. Pandangan itulah yang paling berkesan. 

Pengabdian orang-orang Muslimin itu, keteguhan dan semangat mereka 

itu tampak menyala-nyala. saat  Abu Sufyan melihat mereka, amatlah 

ia terkesima. 

“Siapakah mereka itu?” ia bertanya. 

“Kaum Anshar dan Muhajirin melindungi Rasulullah,” jawab 

Abbas. 

“Tidak ada kekuasan di dunia sanggup melawan lasykar ini,” 

kata Abu Sufyan, dan seraya mengalamatkan kata-katanya kepada Abbas 

secara lebih khusus, ia berkata, “Abbas, kemenakanmu telah menjadi 

raja yang paling perkasa di dunia.” 

“Kamu masih jauh dari kebenaran, Abu Sufyan. Beliau bukan 

raja, beliau yaitu  Rasul, Utusan Allah ,” kata Abbas lagi. 

“Ya, ya, jadilah seperti yang kau katakan, seorang Rasul, bukan 

seorang raja,” ujar Abu Sufyan. 

saat  bala tentara Muslim bergerak melewati Abu Sufyan, 

panglima Anshar, Sa'd bin 'Ubada kebetulan melihat Abu Sufyan dan tak 

dapat menahan diri mengatakan bahwa hari itu mereka berhak memasuki 

Mekkah dengan kekuatan senjata dan bahwa kaum Quraisy akan 

mendapat kehinaan. 

saat  Rasulullah s.a.w. lewat, Abu Sufyan berseru keras, 

ditujukan kepada Rasulullah s.a.w., “Adakah anda telah mengizinkan 

pembantaian terhadap kaum-kerabat anda? Aku mendengar panglima 

Anshar, Sa'd dan kawan-kawannya mengatakan demikian. Mereka 

mengatakan bahwa hari ini yaitu  hari pembantaian. Kesucian Mekkah 

tak akan bisa menghindarkan pertumpahan darah dan Quraisy akan 

dihinakan. Ya Rasulullah, anda yaitu  orang terbaik, paling pengampun, 

paling menaruh belas kasihan. Tidak maukah anda memaafkan dan 

melupakan apa yang telah diperbuat oleh kaum anda?” 

Imbauan Abu Sufyan itu terbalik. Justru orang-orang Muslim 

itulah yang pernah dinistakan dan dipukuli di lorong-lorong Mekkah dan 

harta mereka disita serta diusir dari rumah mereka. Mereka itu pula 

mulai menaruh belas kasihan terhadap penganiaya mereka dahulu. 

“Ya Rasulullah,” kata mereka, “riwayat-riwayat yang didengar 

kaum Anshar tentang pelanggaran-pelanggaran peri kemanusiaan, 

kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan kaum Mekkah terhadap kita, 

dapat mendorong mereka untuk menuntut balas. Kita tak mengetahui apa 

yang hendak mereka perbuat.” 

Rasulullah s.a.w. mengerti akan semua hal itu. Menghadap 

kepada Abu Sufyan beliau bersabda, “Apa yang dikatakan oleh Sa'd itu 

salah sekali. Bukan hari pembantaian. Hari ini yaitu  hari pengampunan. 

Kaum Quraisy dan Ka'bah akan dimuliakan Allah .” 

Maka Sa'd dipanggil dan diperintahkan untuk menyerahkan 

bendera Anshar kepada anaknya, Qais (Hisyam, jilid 2). Pimpinan 

Anshar berpindah dari tangan Sa'd kepada Qais. Putusan itu sangat 

bijaksana. Kaum Mekkah merasa puas dan kaum Anshar dihindarkan 

dari rasa kecewa. Qais, seorang pemuda yang mukhlis, dipercaya penuh 

oleh Rasulullah s.a.w.. Suatu peristiwa di dalam akhir hidupnya 

melukiskan ke-mukhlisan-nya. Berbaring di atas tempat tidurnya dalam 

keadaan sakit yang mengantarnya ke ambang kematian, Qais menerima 

sahabat-sahabatnya. Beberapa orang datang menengok, beberapa lainnya 

tidak. Ia tidak mengerti apa sebabnya dan bertanya, mengapa beberapa 

sahabatnya tidak datang menengok. “Kemurahanmu sangat banyak,” 

kata salah seorang. 

“Engkau telah menolong mereka yang dihimpit kesusahan 

dengan pinjaman-pinjaman dari kamu. Banyak di dalam kota yang 

berhutang kepadamu. Beberapa dari antara mereka ragu-ragu untuk 

datang, sebab  khawatir jangan-jangan engkau akan menagih hutang 

mereka.” 

“Jika demikian aku sendiri yang menyebabkan sahabat-

sahabatku menjauh. Umumkanlah bahwa tidak ada seorang jua pun yang 

masih berhutang kepada Qais.” Sesudah pengumuman itu Qais 

menerima begitu banyak kunjungan pada hari-hari akhir kehidupannya 

sehingga tangga rumahnya rebah. 

saat  lasykar Islam telah lewat, Abbas menyuruh Abu Sufyan 

supaya lekas-lekas pergi ke Mekkah dan mengumumkan bahwa 

Rasulullah s.a.w. telah tiba dan menjelaskan dengan cara bagaimana 

mereka akan memperoleh jaminan keamanan. Abu Sufyan tiba di 

Mekkah dengan membawa berita gembira untuk seluruh warga kotanya; 

namun istrinya yang terkenal dengan rasa permusuhan dan kebenciannya 

terhadap kaum Muslimin, menjumpainya. Ia seorang kafir yang pekat, 

namun juga wanita pemberani, Abu Sufyan dipegang olehnya pada 

janggutnya dan dipanggilnya orang-orang Mekkah supaya membunuh 

suaminya yang pengecut itu. Daripada menggerakkan warga kota untuk 

mengorbankan jiwa demi pembelaan dan kehormatan kotanya, ia 

mengajak mereka kepada perdamaian dan keamanan. namun , Abu 

Sufyan mengetahui bahwa istrinya bertindak amat bodoh. “Saat itu telah 

lampau,” katanya, “kamu lebih baik pulang dan menutup pintu. Aku 

telah melihat bala tentara Muslim itu. Seluruh Arabia pun tak dapat 

melawannya sekarang ini.” 

Kemudian ia menerangkan syarat-syarat keamanan yang 

dijanjikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada kaum Mekkah. Mendengar 

syarat-syarat itu kaum Mekkah berlari-lari untuk berlindung di tempat-

tempat yang disebut dalam pengumuman Rasulullah s.a.w.. Dari 

pengumuman itu dikecualikan sebelas orang laki-laki dan empat 

perempuan. Kejahatan yang telah mereka lakukan terlalu besar. Dosa 

mereka bukan lantaran kekafiran mereka atau keikut-sertaan mereka 

dalam peperangan melawan Islam; dosa-dosa mereka ialah lantaran 

mereka telah melakukan pelanggaran di luar batas peri kemanusiaan 

yang tak dapat dibiarkan begitu saja. namun , sebenarnya, hanya empat 

orang yang menjalani hukuman mati. 

Rasulullah s.a.w. telah memberi perintah kepada Khalid bin 

Walid untuk tidak mengizinkan berperang kecuali jika diserang dan 

kaum Mekkah yang mulai lebih dahulu. Bagian kota yang dimasuki 

Khalid belum lagi mendengar syarat-syarat keamanan dan perdamaian. 

Prajurit-prajurit Mekkah yang ditempatkan di sana menantang Khalid 

berkelahi. Terjadilah suatu pertandingan yang membawa korban dua 

belas atau tiga belas orang yang tewas (Hisyam, jilid, 2 hlm. 217). 

Khalid seorang yang berwatak darah panas. Ada seseorang yang, 

sesudah  diberi tahu terjadinya peristiwa itu, lari menghadap Rasulullah 

s.a.w. dengan permohonan supaya menghentikan Khalid bertempur. Jika 

Khalid tidak berhenti, kata orang itu, seluruh Mekkah akan mati 

terbunuh. Rasulullah s.a.w. segera memanggil Khalid dan bersabda, 

“Bukankah aku telah melarang bertempur?” 

“Benar, ya Rasulullah, namun orang-orang itu lebih dahulu 

menyerang kami dan melepaskan panah-panah kepada kami. Untuk 

beberapa saat kami tidak berbuat apa-apa, dan kami menyatakan tidak 

berniat berkelahi, namun mereka tidak mau mendengar dan tidak mau 

berhenti. Oleh sebab  itu kami balas dan mencerai-beraikan mereka.” 

Itulah satu-satunya peristiwa yang kurang enak. Perebutan 

Mekkah telah dilaksanakan hampir tanpa pertumpahan darah. Rasulullah 

s.a.w. memasuki kota Mekkah. Mereka bertanya, di mana beliau akan 

singgah. 

“Apakah Aqil menyisakan suatu rumah untuk tempat 

tinggalku?” tanya Rasulullah s.a.w.. Aqil yaitu  saudara sepupu 

Rasulullah s.a.w., anak paman beliau. saat  Rasulullah s.a.w. hijrah ke 

Medinah, keluarga beliau telah menjual semua milik beliau. Tak ada 

suatu rumah pun yang dapat disebut milik beliau pribadi. Oleh sebab  itu 

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Aku akan singgah di Khif Bani Kinana.” 

Tempat itu tempat terbuka. Kaum Quraisy dan kaum Kinana pada suatu 

peristiwa berkumpul di sana dan bersumpah bahwa, kecuali dengan 

syarat bahwa Banu Hasyim dan Banu Abdul Muthalib menyerahkan 

Rasulullah s.a.w. kepada mereka untuk memperlakukan beliau 

sekehendak hati mereka, mereka tidak akan mengadakan perhubungan 

lagi dengan kedua suku itu. Mereka tidak akan menjual sesuatu atau 

membeli sesuatu dari mereka itu. yaitu  sesuai dengan pernyataan resmi 

itulah Rasulullah s.a.w., paman beliau Abu Thalib, keluarga dan para 

pengikut beliau terpaksa mencari perlindungan di lembah Abu Thalib 

dan menderita akibat blokade dan biokot selama tiga tahun. 

Tempat yang dipilih Rasulullah s.a.w. untuk tempat tinggal itu 

jadi memiliki  arti istimewa. Kaum Mekkah pernah berkumpul di sana 

dan angkat sumpah bahwa, sebelum Rasulullah s.a.w. diserahkan kepada 

mereka, mereka tidak akan damai dengan sukunya. Sekarang Rasulullah 

s.a.w. datang ke tempat itu juga. Seolah-olah beliau mau mengatakan 

kepada kaum Mekkah, “Kamu menghendaki aku di sini. Inilah aku, 

namun tidak seperti cara yang kamu inginkan. Kamu menghendaki aku 

sebagai mangsa, sama sekali tergantung pada belas kasihanmu. namun 

aku datang dengan kekuasaan. Bukan saja kaumku sendiri, bahkan 

seluruh Arabia sekarang besertaku. Kamu menghendaki kaumku 

menyerahkan aku kepadamu. Alih-alih itu mereka menyerahkan kamu 

kepadaku.” 

Hari kemenangan itu hari Senin. Hari itu, saat Rasulullah s.a.w. 

dan Abu Bakar meninggalkan gua Tsaur untuk menempuh perjalanannya 

ke Medinah, yaitu  hari Senin pula. Pada hari itu, sambil berdiri di bukit 

Tsaur, Rasulullah s.a.w. menghadap ke Mekkah dan bersabda, “Mekkah, 

engkau lebih berharga bagiku daripada tempat lain mana pun, namun 

penghunimu tidak memperbolehkan aku tinggal di sini.” 

saat  Rasulullah s.a.w. memasuki Mekkah beliau mengendarai 

unta, dan Abu Bakar berjalan di samping beliau sambil memegangi 

sanggurdi. Sambil berjalan, Abu Bakar membaca ayat-ayat Surah Al-

Fatah yang di dalamnya perebutan Mekkah dinubuatkan beberapa tahun 

sebelumnya. 

Ka'bah Dibersihkan Dari Berhala-Berhala 

Rasulullah s.a.w. langsung menuju Ka'bah dan mengelilingi 

tempat suci itu tujuh kali dengan berkendaraan unta. Dengan tongkat di 

tangan, beliau mengelilingi rumah yang dibuat oleh Datuk Ibrahim dan 

puteranya Ismail a.s. untuk beribadah kepada Allah  Yang Maha Esa, 

namun oleh anak-cucunya yang sesat telah dijatuhkan derajatnya menjadi 

tempat penyimpanan berhala-berhala. Rasulullah s.a.w. menghancurkan 

satu demi satu berhala-berhala yang berjumlah tiga ratus enam puluh 

buah yang tersimpan di dalam rumah itu.  

Jika sebuah berhala jatuh, Rasulullah s.a.w. membaca ayat, 

“Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya 

kebatilan pasti akan lenyap.” Ayat itu diwahyukan sebelum Rasulullah 

s.a.w. meninggalkan Mekkah, berhijrah ke Medinah, dan merupakan 

bagian Surah Bani Israil. Dalam Surah itu dinubuatkan hijrah Rasulullah 

s.a.w. dan penaklukan Mekkah. Surah itu Surah Makkiyyah, satu 

kenyataan yang diakui juga oleh penulis-penulis Eropa. Ayat-ayat yang 

mengandung khabar-ghaib mengenai hijrah dan Mekkah, dan 

penaklukan Mekkah kemudian hari bunyinya seperti berikut: 

Dan katakanlah, “Ya Allah -ku, masukanlah daku dengan cara 

masuk yang baik dan keluarkanlah daku dengan cara keluar yang baik. 

Dan jadikanlah bagiku dari hadirat Engkau kekuatan yang menolong.” 

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. 

Sesungguhnya kebatilan itu pasti akan lenyap” (17:81-82). 

Penaklukkan Mekkah itu di sini diramalkan dalam bentuk doa 

yang diajarkan kepada Rasulullah s.a.w.. Kepada Rasulullah s.a.w. 

diajarkan mendoa untuk memasuki Mekkah dan untuk berangkat dari 

situ dalam perlindungan baik; dan untuk memperoleh pertolongan Allah  

dalam meraih kemenangan terakhir bagi kebenaran atas kepalsuan. 

Khabar-ghaib itu benar-benar telah menjadi kenyataan secara harfiah. 

Pembacaan ayat-ayat oleh Abu Bakar itu tepat pula. Hal itu menambah 

keimanan kaum Muslimin dan memperingatkan kaum Mekkah tentang 

kesia-siaan perkelahian mereka melawan Allah  dan tentang kebenaran 

janji Allah  kepada Rasulullah s.a.w.. 

Dengan bertekuk-lututnya Mekkah, Ka'bah dikembalikan lagi 

kepada fungsi-fungsi asalnya yang beberapa ribu tahun sebelumnya 

diwakafkan oleh Datuk Ibrahim a.s.. Ka'bah sekali lagi dipergunakan 

untuk beribadah kepada Allah  Yang Maha Esa. Berhala-berhala telah 

hancur. Satu di antaranya yaitu  Hubal. saat  Rasulullah s.a.w. 

menghancurkannya dengan tongkat beliau dan jatuh berantakan, Zubair 

menengok kepada Abu Sufyan dan dengan senyum yang setengah 

tertahan mengenangkan kembali peristiwa di Perang Uhud. 

“Masih ingatkah engkau pada hari saat  orang-orang Muslim 

luka-luka dan letih dan engkau melukai hati mereka lagi dengan teriakan, 

'Hidup Hubal, hidup Hubal?' Apakah Hubal memberi kemenangan 

kepada engkau pada hari itu? Jika memang Hubal, maka engkau dapat 

melihat kesudahannya telah tiba pada hari ini. Abu Sufyan sangat 

terkesan dan mengakui bahwa memang benar sekali, jika ada Allah  

selain Allah nya Muhammad s.a.w., mereka akan terhindar dari kehinaan 

dan kekalahan yang mereka jumpai pada hari itu. 

Kemudian Rasulullah s.a.w. memerintahkan menghapus segala 

gambar yang terlukis pada dinding-dinding Ka'bah. Sesudah memberi 

perintah itu, Rasulullah s.a.w. sembahyang dua rakaat sebagai ungkapan 

rasa syukur kepada Allah . Kemudian beliau pergi ke pelataran terbuka 

dan sembahyang lagi dua rakaat. Kewajiban penghapusan gambar-

gambar diberikan kepada Umar. Semua gambar telah dihilangkan, 

kecuali gambar Nabi Ibrahim a.s.. saat  Rasulullah s.a.w. kembali 

memeriksa dan melihat bahwa gambar itu masih ada, beliau menanyakan 

kepada Umar, mengapa gambar yang satu itu dibiarkan. Apakah ia tidak 

ingat akan kesaksian Al-Qur’an bahwa Nabi Ibrahim a.s. bukan Yahudi 

dan bukan pula Kristen, melainkan seorang Muslim yang berpegang 

kepada Tauhid dan patuh? (3:68). Hal itu akan merupakan penghinaan 

kepada Nabi Ibrahim a.s., seorang yang memegang teguh prinsip Tauhid, 

dengan membiarkan gambarnya terlukis di dinding Ka'bah. Hal itu 

seolah-olah Nabi Ibrahim a.s. dapat disembah seperti Allah . 

Hari itu hari bersejarah, suatu hari penuh dengan tanda-tanda 

Samawi. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Allah  kepada Rasulullah 

s.a.w., pada saat penyempurnaannya nampak tidak mungkin telah 

menjadi kenyataan, pada akhirnya. Rasulullah s.a.w. menjadi pusat 

pengabdian dan keimanan. Dalam diri dan dengan perantaraan beliau 

Allah  telah menjelmakan Diri, dan seolah-olah telah menampakkan 

wajah-Nya. Rasulullah s.a.w. meminta air Zam Zam. Beliau meminum 

sebagian dan dengan sisanya beliau berwudhu. Demikian besarnya 

pengabdian orang-orang Islam kepada Rasulullah s.a.w. sehingga mereka 

tidak membiarkan air setetes pun jatuh di tanah. Air itu mereka tampung 

di dalam kedua lekuk tangan mereka untuk dipakai membasahi badan 

mereka sendiri; begitu rupa keramatnya mereka menganggap air itu. 

Orang-orang musyrik yang menyaksikan peragaan-peragaan pengabdian 

ini lagi-lagi mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat seorang 

raja duniawi sekalipun yang begitu dicintai oleh rakyatnya (Halbiyya, 

Jilid 3, hlm. 99). 

Rasulullah Mengampuni Musuh-Musuh 

Sesudah segala upacara dan kewajiban usai, Rasulullah s.a.w. 

berbicara kepada orang-orang Mekkah, “Kalian telah menyaksikan 

betapa benar janji Allah  itu telah terbukti. Sekarang, katakanlah, 

hukuman apa yang kalian harapkan atas kekejaman dan kekejian yang 

telah kalian lakukan terhadap mereka yang bersalah sebab  mengajak 

kalian beribadah kepada Allah  Yang Maha Esa?” 

Dijawab oleh kaum Mekkah, “Kami mengharapkan anda akan 

memperlakukan kami seperti Nabi Yusuf memperlakukan saudara-

saudaranya yang bersalah.” 

Sangat kebetulan, kaum Mekkah memakai kata-kata pembelaan 

mereka, kata-kata yang dipakai Allah  dalam Surah Yusuf yang 

diwahyukan sepuluh tahun sebelum penaklukan Mekkah. Dalam Surah 

itu Rasulullah s.a.w. dianjurkan untuk memperlakukan penganiaya-

penganiaya dari Mekkah itu seperti Nabi Yusuf a.s. memperlakukan 

saudara-saudaranya. Dengan meminta perlakuan yang diterapkan oleh 

Nabi Yusuf a.s. terhadap saudara-saudaranya, kaum Mekkah mengakui 

bahwa Rasulullah s.a.w. yaitu  tokoh persamaannya. Beliau seperti Nabi 

Yusuf a.s., dan seperti Nabi Yusuf a.s. telah diberi kemenangan atas 

saudara-saudaranya, Rasulullah s.a.w. juga telah dikaruniai kemenangan 

atas kaum Mekkah. Mendengar permohonan kaum Mekkah itu, 

Rasulullah s.a.w. segera mengucapkan, “Demi Allah, hari ini kamu tidak 

akan mendapat hukuman dan celaan” (Hisyam). 

Sementara Rasulullah s.a.w. larut dalam ungkapan rasa syukur 

kepada Allah  dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya di Ka'bah, dan 

tengah beliau mengajak bicara kepada kaum Mekkah serta 

mengumumkan keputusan memaafkan dan melupakan, timbullah 

kekhawatiran dalam pikiran kaum Anshar, orang-orang Islam dari 

Medinah. 

Beberapa di antara mereka menjadi risau oleh peristiwa pulang-

kampung dan peristiwa rujuk kembali yang mereka saksikan saat 

kedatangan para Muhajirin ke Mekkah. Apakah Rasulullah s.a.w. akan 

berkenan menetap di Mekkah yang dari kota itu beliau dahulu terpaksa 

pergi untuk menyelamatkan jiwa? Kekhawatiran demikian nampaknya 

tidak begitu jauh sekarang, sesudah  Mekkah ditaklukkan dan suku beliau 

sendiri masuk Islam. Mungkin Rasulullah s.a.w. akan berkenan menetap 

lagi di situ. Allah  mengabarkan Rasulullah s.a.w. tentang adanya 

kekhawatiran para Anshar demikian. Beliau mengangkat kepala,

memandang kepada orang-orang Anshar dan bersabda, “Agaknya kamu 

menyangka bahwa Muhammad bimbang oleh cinta kepada kotanya dan 

oleh tali kekeluargaan yang mengikatnya kepada sukunya.” 

“Benar,” kata seorang Anshar, “kami berpikiran demikian.” 

“Tahukah kamu,” sabda Rasulullah s.a.w., siapa aku ini? Aku 

yaitu  abdi Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana aku dapat meninggalkan 

kamu? Kamu berdiri di dekatku dan mengorbankan jiwamu saat  

Agama Allah  rawan bantuan duniawi. Bagaimana aku dapat 

meninggalkan kamu dan menetap di tempat lain? Tidak, hai Anshar, hal 

itu tidak mungkin. Aku tinggalkan Mekkah sebab  Allah dan aku tidak 

mungkin kembali lagi. Aku akan tinggal beserta kamu dan mati beserta 

kamu pula.” 

Kaum Anshar sangat terharu atas pernyataan cinta dan setia yang 

mandiri ini. Mereka menyesali keragu-raguan mereka kepada Allah dan 

Rasulullah s.a.w., mereka menangis dan memohon ampunan. Mereka 

menerangkan bahwa mereka tak akan merasa aman jika Rasulullah s.a.w. 

meninggalkan mereka dan menetap di kota lain. Rasulullah s.a.w. 

menjawab bahwa kekhawatiran mereka dapat dimengerti dan bahwa, 

sesudah adanya keterangan dari mereka, Allah  dan Rasul-Nya merasa 

puas atas kebeningan hati mereka dan mengakui ketulusan hati dan 

kesetiakawanan mereka. 

Bagaimana perasaan kaum Mekkah pada waktu itu? Benar 

mereka tidak mencucurkan air mata, namun hati mereka niscaya sarat 

dengan penyesalan dan sakit hati. Sebab, bukankah mereka telah 

mencampakkan dengan tangan mereka sendiri permata yang ada  di 

kota mereka sendiri? Lebih-lebih lagi mereka memiliki  alasan untuk 

penyesalan sebab  Rasulullah s.a.w., yang sekarang telah tiba kembali di 

Mekkah, telah mengambil keputusan untuk meninggalkannya lagi untuk 

pergi ke Medinah. 

Ikrima Menjadi Muslim 

Dan diantara mereka yang termasuk dikecualikan dari 

pengampunan umum, beberapa orang telah diberi maaf juga atas usul 

para Sahabat. Di antara mereka termasuk orang-orang yang diampuni 

yaitu  Ikrima, anak Abu Jahal. Istrinya seorang Muslim dalam hati 

(belum berikrar terang-terangan). Ia mohon kepada Rasulullah s.a.w. 

agar mengampuni suaminya. Rasulullah s.a.w. berkenan memberi 

ampunan. Pada saat itu Ikrima tengah berusaha melarikan diri ke 

Abessinia. Istrinya mengejar dia dan dilihatnya bahwa dia hampir naik 

kapal. Ia memarahi suaminya, “Engkau mau melarikan diri dari orang 

yang begitu baik hati dan halus seperti Rasulullah s.a.w.?” 

Ikrima ternganga keheranan dan bertanya, kalau istrinya benar 

menyangka Rasulullah s.a.w. akan mengampuninya. Bahkan istrinya 

meyakinkan bahwa orang seperti dia pun akan diampuni oleh Rasulullah 

s.a.w.. Sesungguhnya, ia telah mendapatkan janji dari Rasulullah s.a.w.. 

Ikrima melepaskan niat melarikan diri ke Abessinia dan kembali ke 

Mekkah lalu menjumpai Rasulullah s.a.w.. “Aku mendapat kabar dari 

istriku bahwa anda telah memberi ampunan bahkan kepada orang seperti 

diriku,” katanya. 

“Apa yang dikatakan oleh istrimu benar. Aku sungguh-sungguh 

telah mengampunimu,” sabda Rasulullah s.a.w. 

Ikrima menyimpulkan bahwa orang yang sanggup memaafkan 

musuh-musuhnya yang paling besar tidak mungkin palsu. Oleh sebab  

itu, sesaat  itu juga ia menyatakan bai’at, “Asyhadu allailaha illallahu 

wahdahu Ia syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah.” 

Seraya mengucapkan Kalimah Syahadat ia, sebab  rasa malu, 

menundukkan kepalanya. Rasulullah s.a.w. menghiburnya. “Ikrima,” 

sabda beliau, aku bukan saja telah memberi maaf kepadamu, namun 

sebagai bukti penghargaanku kepadamu, aku telah mengambil keputusan 

untuk menanyakan kepadamu, apa kiranya yang dapat kuberikan 

kepadamu.” 

 183 

Ikrima menjawab, “Tidak ada yang lebih baik dapat kuminta 

kecuali doa anda kepada Allah  untuk memberikan ampunan kepadaku 

mengenai segala keterlajakan* dan kekejaman yang telah kuperbuat 

terhadap anda.” 

Mendengar permohonan itu, Rasulullah s.a.w. segera mendoa, 

“Ya Allah , ampunilah kiranya sikap tak bersahabat Ikrima yang sudah-

sudah terhadapku. Ampunilah kiranya ucapan-ucapan kotor yang pernah 

terlontar dan mulutnya.” 

Kemudian Rasulullah s.a.w. bangkit dan mengenakan jubah 

beliau kepada Ikrima dan bersabda, “Siapa pun yang datang kepadaku 

dan beriman kepada Allah , ia bersamaku. Rumahku yaitu  rumahnya 

dan rumahku.” 

Bai’at Ikrima menyempurnakan khabar-ghaib Rasulullah s.a.w. 

selang beberapa tahun sebelum kejadian itu. Dalam suatu percakapan 

dengan para Sahabat, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, “Aku melihat 

dalam kasyaf bahwa aku berada di dalam surga. Kulihat di sana ada 

setandan anggur. saat  kutanyakan untuk siapa anggur itu, ada orang 

yang menjawab, “Untuk Abu Jahal.'“ Sambil mengisyaratkan kepada 

kasyaf itu pada peristiwa bai’at Ikrima, Rasulullah s.a.w. mengatakan 

bahwa mula-mula beliau tidak mengerti kasyaf tersebut. Betapa pula Abu 

Jahal, seorang musuh Islam, dapat masuk surga dan betapa ia dapat 

memperoleh setandan anggur yang disediakan baginya. 

“namun sekarang,” sabda Rasulullah s.a.w., “aku mengerti kasyaf 

itu; setandan anggur itu dimaksudkan untuk Ikrima. Hanya di tempat 

anaknya kulihat ayahnya, suatu penukaran yang lazim dalam kasyaf dan 

rukya” (Halbiyya, jilid 3, hlm. 104). 

Di antara orang-orang yang diperintahkan mendapat hukuman 

mati, sebagai pengecualian atas pengampunan umum itu, ada  

                                                     

* Keterlajakan = Tindakan yang berlebihan (Red.) 

seorang Mekkah yang bertanggung-jawab atas pembunuhan terhadap 

Zainab, puteri Rasulullah. Orang itu Habbar namanya; ia pernah 

memutuskan tali-tali pelana unta Zainab, yang sebab nya Zainab jatuh. 

Oleh sebab  beliau sedang mengandung, beliau keguguran kandungan 

dan meninggal dunia tak lama kemudian. Itulah salah satu dari 

pelanggaran terhadap peri kemanusiaan yang telah dilakukan, dan untuk 

itu ia patut dihukum mati. Orang itu sekarang menghadap kepada 

Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Ya, Rasulullah, aku melarikan diri dan 

pergi ke Iran. namun timbullah pikiran dalam diriku bahwa Allah  telah 

membersihkan kita dari kepercayaan musyrik kita dan menyelamatkan 

kita dari kematian rohani. Dari pada pergi kepada orang-orang lain untuk 

mencari perlindungan kepada mereka, bukankah lebih baik menghadap 

Rasulullah sendiri, mengakui dan menyesali segala kesalahan dan dosa-

dosaku dan kemudian mohon ampunan?” 

Rasulullah s.a.w. terharu dan bersabda, “Habbar, jika Allah  

telah menanamkan dalam hatimu kecintaan kepada Islam, bagaimana 

mungkin aku menolak memberi ampunan kepadamu? Aku maafkan 

segala sesuatu yang telah kau perbuat sebelum ini.” Kita tidak dapat 

melukiskan dengan terinci ihwal kekejaman-kekejaman yang telah 

diperbuat orang-orang ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. namun , 

alangkah mudahnya Rasulullah s.a.w. mengampuni mereka! Jiwa 

pengampunan ini telah mengubah musuh-musuh yang hatinya paling 

keras sekalipun menjadi khadim-khadim Rasulullah s.a.w.. 

Perang Hunain 

Masuknya Rasulullah s.a.w. ke Mekkah itu secara tiba-tiba. 

Suku-suku di daerah sekitar Mekkah, terutama mereka yang di daerah 

Selatan, tidak mengetahui peristiwa itu sebelum beberapa waktu 

kemudian. sesudah  kabar itu sampai kepada mereka, mereka mulai 

mengerahkan kekuatan mereka dan bersiap untuk berperang dengan 

kaum Muslimin. 

Ada dua suku Arab Hawazin dan Tsaqif yang biasa 

membanggakan tradisi mereka yang gagah perwira. Mereka bersama-

sama mengadakan rembukan, dan atas beberapa pertimbangan, 

mengangkat Malik ibn Auf sebagai panglima. Kemudian mereka 

menyerukan kepada suku-suku di sekitar untuk menggabungkan diri 

kepada mereka. Di antara suku-suku yang mendapat undangan termasuk 

juga Banu Sa'd; ibu inang Rasulullah s.a.w., Halimah, termasuk suku itu 

dan Rasulullah s.a.w. telah hidup di tengah-tengah mereka di masa kecil. 

Orang-orang dari suku itu bergabung menjadi suatu angkatan bersenjata 

dan berangkat ke Mekkah dengan menyertakan keluarga dan membawa 

harta benda mereka Atas pertanyaan mengapa mereka berbuat hal 

demikian, mereka menjawab bahwa supaya para prajurit sadar bahwa 

jika mereka melarikan diri, wanita dan anak-anak mereka akan ditawan 

dan harta-benda disita. Demikian bulatnya tekad mereka, untuk 

bertempur dan membinasakan kaum Muslimin. Pasukan itu turun ke 

lembah Autas, suatu basis yang sangat cocok untuk olah tempur dengan 

bantuan perlindungan-perlindungan alam, banyaknya persediaan rumput 

dan air untuk binatang-binatang tunggangan, dan begitu juga banyak 

fasilitas untuk mengatur gerakan-gerakan pasukan berkuda. saat  

Rasulullah s.a.w. mendapat kabar itu, beliau mengutus Abdullah ibn Abi 

Hadrad untuk sekembalinya melaporkan keadaan. Abdullah membawa 

laporan bahwa ada pemusatan-pemusatan militer, dan mereka bertekad 

membunuh atau dibunuh. Suku itu termasyhur mengenai keahlian 

memanah, dan tempat yang mereka pilih memberi keuntungan sangat 

besar kepada mereka. Rasulullah s.a.w. menemui Safwan, seorang 

pemimpin Mekkah yang kaya-raya untuk meminjami perlengkapan 

perang dan senjata. 

Safwan menjawab, “Anda agaknya menekanku dan menyangka 

bahwa aku akan gentar oleh kekuasaan anda yang kian besar dan akan 

menyerahkan kepada anda segala yang anda minta?” 

Rasulullah s.a.w. menjawab, “Kami tidak ingin merampas 

sesuatu. Kami hanya ingin meminjam barang-barang itu dan bersedia 

memberikan imbalan yang pantas.” 

Safwan merasa puas dan menyetujui untuk meminjami alat-alat 

itu. Seluruhnya yang diberikan yaitu  seratus perangkat perlengkapan 

perang dan sejumlah senjata. Rasulullah s.a.w. meminjam tiga ribu 

tombak dari ipar beliau, Naufal bin Harits, dan uang kira-kira tiga ribu 

dirham dari Abdullah bin Rabia (Mu'atta, Musnad, dan Halbiyya). saat  

lasykar Muslim berangkat menghadapi suku Hawazin, kaum Mekkah 

menyatakan keinginan ikut serta membantu kaum Muslimin. Mereka 

bukan-Muslim, namun mereka rela hidup dalam kekuasaan Islam. Oleh 

sebab  itu, dua ribu kaum Mekkah bergabung kepada kaum Muslimin. 

Dalam perjalanan mereka sampai ke tempat keramat yang terkenal, Dzat 

Anwat. Di sana ada pohon Jujub yang oleh kaum Arab dipandang 

keramat. Jika orang Arab membeli senjata, mereka pertama-tama 

membawa senjata itu ke Dzat Anwat dan menggantungkannya di kuil itu 

untuk mendapatkan berkat bagi senjata-senjata mereka. saat  kaum 

Muslimin lewat ke kuil itu, beberapa prajurit berkata, “Ya Rasulullah, 

hendaknya diadakan semacam Dzat Anwat juga untuk kita.” 

Rasulullah s.a.w. memarahi mereka dan bersabda, “Kamu 

berkata seperti pengikut Nabi Musa a.s.. saat  beliau pergi ke Kanaan, 

di perjalanan pengikut-pengikut beliau melihat orang sedang 

menyembah berhala-berhala dan berkata kepada Nabi Musa a.s., “Hai 

Musa, buatkanlah untuk kami sembahan seperti mereka memiliki  

sembahan-sembahan” (7:139). 

Rasulullah Memanggilmu 

Rasulullah s.a.w. meminta dengan sangat kepada kaum Muslimin 

agar selamanya ingat bahwa Allah s.w.t. itu Maha Agung dan mendoa 

kepada Dia untuk menyelamatkan mereka dari ketakhayulan-

ketakhayulan kaum-kaum yang terdahulu. Sebelum lasykar Muslim tiba 

di Hunain, Kaum Hawazin dan sekutunya telah menyiapkan beberapa 

tempat penghadangan yang dari di situ dapat menyerang kaum Muslimin, 

seperti lubang perlindungan dan kedudukan-kedudukan penembak yang 

disamarkan seperti pada perang modern. Mereka telah mendirikan 

dinding-dinding di sekeliling tempat-tempat itu. Di belakang dinding-

dinding itu para prajurit bertiarap menunggu kedatangan kaum Muslimin. 

Suatu jalan sempit dibiarkan untuk jalannya kaum Muslimin. Bagian 

terbesar lasykar ditempatkan dalam penghadangan-penghadangan itu, 

sedangkan hanya sedikit dijajarkan di hadapan unta-unta mereka. Kaum 

Muslimin menyangka jumlah musuh tidak lebih banyak daripada yang 

mereka lihat. Maka mereka menyerbu dan menyerang. saat  mereka 

sudah maju jauh ke muka, dan musuh yang ditempatkan di dalam 

persembunyian memandang jangkauannya cukup dekat untuk menyerang 

dengan mudah, prajurit yang membentuk deretan di hadapan unta 

menyerbu pusat kekuatan lasykar Muslim, sedang penembak-penembak 

tersembunyi menghujani sayap samping dengan panah. Kaum Mekkah, 

yang telah ikut serta hendak memamerkan keberanian mereka tidak 

dapat bertahan terhadap serangan gabungan musuh. Mereka kalang kabut 

lalu melarikan diri ke Mekkah. Kaum Muslimin sudah biasa menghadapi 

keadaan-keadaan yang pelik, namun saat  dua ribu prajurit berkuda dan 

unta menerobos lasykar Muslim, binatang-binatang kaum Muslimin pun 

ikut panik. Timbullah kekacauan dalam lasykar Muslim. Tekanan datang 

dan tiga jurusan dan mengakibatkan kekacauan umum. Dalam panik itu 

hanya Rasulullah s.a.w. dengan dua belas Sahabat tetap tegar. Ini tidak 

berarti bahwa semua Sahabat melarikan diri dari medan perang. Kira-

kira seratus orang masih tetap berada di medan pertempuran, namun 

mereka itu ada pada jarak yang agak jauh dari Rasulullah s.a.w.. Hanya 

dua belas yang ada di sekitar Rasulullah s.a.w.. Seorang Sahabat 

meriwayatkan bahwa ia dan kawan-kawannya memeras tenaga untuk 

memacu tunggangan mereka ke medan pertempuran. namun , binatang 

mereka telah dikejutkan oleh paniknya binatang-binatang orang-orang 

Mekkah. Tak ada usaha tampaknya dapat mengatasi situasi. Mereka 

menyentak-nyentak kendali binatang tunggangan, namun binatang-

binatang itu tidak mau kembali. Kadang-kadang mereka sentakkan 

begitu kerasnya kepala binatang mereka sehingga hampir-hampir 

kepalanya menyentuh ekor mereka. namun , saat  mereka pacu binatang 

itu dengan taji sepatu, binatang itu tak mau bergerak ke muka. Malahan 

sebaliknya, mereka bergerak mundur. “Hati kami berdebar-debar dalam 

ketakutan, khawatir akan keselamatan Rasulullah,” kata Sahabat itu, 

“namun tidak ada yang dapat kami perbuat.” 

Demikianlah keadaan para Sahabat saat  itu.  

Rasulullah s.a.w. sendiri, berdiri dengan sekelompok kecil 

prajurit, menjadi sasaran hujan panah dari tiga jurusan. Tinggal hanya 

satu jalan sempit di belakang mereka untuk dapat dilalui oleh beberapa 

orang pada satu waktu. Pada saat itu Abu Bakar turun dari 

tunggangannya dan memegangi kendali bagal Rasulullah s.a.w. sambil 

berkata, “Ya Rasulullah, marilah kita mengundurkan diri untuk 

sementara dan menunggu lasykar Muslim berkumpul kembali. 

“Lepaskan kendali bagalku, hai Abu Bakar,” sabda Rasulullah 

s.a.w. 

Sambil berkata demikian, beliau memacu binatang itu dan 

memasuki jalan sempit yang di kanan-kirinya terletak penghadangan-

penghadangan musuh yang dari sana para penembak melepaskan panah. 

saat  Rasulullah s.a.w. memacu binatang tunggangannya, beliau 

bersabda, “Aku seorang Nabi. Aku bukan pendusta. Aku anak Abdul-

Muthalib” (Bukhari). Kata-kata yang diucapkan pada saat sangat 

berbahaya bagi diri beliau sendiri itu, sarat dengan arti. Kata-kata itu 

menekankan kenyataan bahwa Rasulullah s.a.w. itu benar-benar seorang 

Nabi, seorang Rasul yang benar. Dengan menekankan hal itu, beliau 

bermaksud mengatakan bahwa beliau tidak takut mati atau takut misi 

beliau akan gagal. namun , kendati pun dihujani panah oleh para pemanah 

musuh, beliau selamat dan terpelihara, kaum Muslimin tidak boleh 

membanggakan kepada beliau menyandang sifat-sifat uluhiyyat. Sebab, 

beliau hanyalah manusia biasa, anak Abdul Muthalib. Alangkah hati-hati 

Rasulullah s.a.w. senantiasa mengesankan kepada para pengikut beliau 

mengenai perbedaan antara iman dan ketakhayulan. Sesudah 

mengucapkan kata-kata bersejarah itu, Rasulullah s.a.w. memanggil 

Abbas. Abbas memiliki  suara yang kuat. Rasulullah s.a.w. bersabda 

kepadanya, “Abbas, kumandangkan suaramu dan peringatkan kaum 

Muslimin akan sumpah di bawah pohon di Hudaibiya dan apa yang 

diajarkan kepada mereka pada saat turun Surah Al-Baqarah. Katakan 

kepada mereka, Rasulullah memanggil mereka”, Abbas mengerahkan 

suaranya yang kuat itu. Seruan Rasulullah s.a.w. membahana bagaikan 

guntur, bukan mengenai telingga yang pekak namun telinga yang peka. 

Pengaruhnya laksana sentakan listrik. Sahabat-sahabat yang merasa 

dirinya tidak berdaya untuk memacu binatang mereka ke arah medan 

pertempuran, sekonyong-konyong merasa seolah-olah tidak ada lagi di 

dunia ini namun di akhirat di hadapan Allah  di Hari Pembalasan. Suara 

Abbas tak kedengaran seperti suaranya sendiri, melainkan suara malaikat 

memanggil mereka mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan 

mereka. Maka tiada sesuatu yang dapat menahan mereka untuk kembali 

ke medan pertempuran. Banyak di antara mereka yang turun dari 

binatang tunggangan mereka, dan hanya dengan pedang dan perisai di 

tangan terjun ke medan pertempuran, dan membiarkan binatang 

tunggangannya pergi ke mana mereka suka. Yang lainnya turun dari 

tunggangan mereka, memenggal kepala binatang mereka dan menuju 

Rasulullah s.a.w. dengan berjalan kaki. Diriwayatkan bahwa kaum 

Anshar pada waktu itu berlari menuju Rasulullah dengan kecepatan 

seperti seekor induk unta atau induk sapi berlari ke arah anaknya sebab  

mendengar jeritannya. Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w. telah 

dikerumuni oleh para Sahabat yang besar jumlahnya, kebanyakan 

Anshar. Musuh mengalami kekalahan lagi. 

Hadirnya Abu Sufyan di samping Rasulullah s.a.w. pada hari ini 

merupakan suatu tanda agung. Tanda kekuasaan Allah  di satu pihak, 

dan contoh daya pensucian Rasulullah s.a.w. di pihak lain. Beberapa hari 

sebelumnya, Abu Sufyan, musuh Rasulullah s.a.w., si panglima yang 

haus darah, bertekad bulat membinasakan kaum Muslimin. namun di sini, 

pada hari ini, Abu Sufyan itu juga berdiri di samping Rasulullah s.a.w., 

selaku seorang kawan dan pengikut, pula Sahabat. saat  unta-unta 

musuh dan lawan menjadi kalang-kabut, Abu Sufyan, seorang panglima 

bijaksana dan berpengalaman, melihat bahwa kudanya juga telah 

kehilangan akal dan akan lari tak terkendalikan. Segera ia turun, dan 

sambil memegang sanggurdi bagal Rasulullah s.a.w. ia maju dengan 

berjalan kaki. 

Dengan pedang terhunus di tangannya, ia berjalan di samping 

Rasulullah s.a.w. dengan tekad bulat tidak akan membiarkan siapa pun 

mendekati pribadi Rasulullah s.a.w. tanpa lebih dahulu menyerang dan 

membunuh dirinya. Rasulullah s.a.w. mengamati perubahan dalam diri 

Abu Sufyan itu dengan rasa gembira dan heran. Ia mencerminkan bukti 

baru dan segar mengenai kekuasaan Allah s.w.t.. Hanya sepuluh atau 

lima belas hari sebelum itu, orang tersebut membina sebuah pasukan 

untuk mengakhiri dan memusnahkan Gerakan Islam. namun , suatu 

perubahan telah terjadi. Seorang panglima musuh sebelum itu, sekarang 

berdiri di samping Rasulullah s.a.w., sebagai seorang prajurit biasa yang 

berjalan kaki, memegang kendali bagal tuannya dan bertekad baja untuk 

mati dalam membela kepentingan tuannya. Abbas melihat pandangan 

heran Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Ya, Rasulullah, itulah Abu Sufyan, 

anak paman anda jadi saudara anda juga. Tidakkah anda merasa senang 

kepadanya?” 

“Aku senang,” sabda Rasulullah s.a.w., “dan aku mendoa, 

semoga Allah  mengampuni segala kesalahan yang telah diperbuatnya.” 

Kemudian, sambil berpaling kepada Abu Sufyan, beliau 

bersabda, “Saudara!” Abu Sufyan tidak dapat menahan keharuan cinta 

yang menggumpal di dalam hatinya. Ia membungkuk dan mencium kaki 

Rasulullah s.a.w. pada sanggurdi yang dipegangnya (Halbiyya). 

Seusai Perang Hunain, Rasulullah s.a.w. mengembalikan alat-

alat perang yang diterima beliau sebagai sewaan. Pada waktu 

mengembalikan, beliau memberikan imbalan berlipat kali kepada orang-

orang yang meminjamkannya. Mereka yang meminjamkannya sangat 

terharu oleh perhatian dan kemurahan yang ditunjukkan Rasulullah 

s.a.w. waktu pengembalian alat-alat itu dan memberikan imbalan kepada 

orang-orang yang meminjamkannya. Mereka merasakan benar-benar 

bahwa Rasulullah s.a.w. bukan orang biasa, melainkan seorang yang 

derajat akhlaknya jauh lebih tinggi daripada orang lain. Tidak 

mengherankan kalau Safwan segera masuk Islam. 

Musuh Kental Menjadi Pengikut Yang Mukhlis 

Peran Hunain senantiasa mengingatkan para ahli sejarah kepada 

suatu peristiwa lain yang sangat menarik, terjadi saat pertempuran 

sedang berkecamuk. Syaiba, seorang penduduk Mekkah dan pengurus 

Ka'bah, ikut dalam pertempuran di pihak musuh. Ia mengatakan bahwa 

ia hanya memiliki  satu tujuan dalam pertempuran itu, ialah, saat nanti 

kedua pasukan bertemu, ia akan mencari kesempatan membunuh 

Rasulullah s.a.w.. Ia bertekad bulat bahwa seandainya seluruh dunia pun 

menjadi pengikut Rasulullah s.a.w. (jangan dikata seluruh Arabia). ia 

akan tetap ada di luar Islam dan terus menentangnya. saat  

pertempuran bertambah sengit, Syaiba menghunus pedangnya dan mulai 

bergerak ke arah Rasulullah s.a.w.. saat  ia tiba sangat dekat, 

keberaniannya hilang sirna. Tekadnya mulai goyah. “saat  aku sangat 

dekat kepada Rasulullah,” kata Syaiba, “aku seperti melihat nyala api 

mengancam akan membakarku. Kemudian kudengar suara Rasulullah 

s.a.w. bersabda, 'Syaiba, kemari datang kedekatku.” saat  aku telah 

mendekat, Rasulullah s.a.w. mengusap-usap tangannya pada dadaku 

dengan penuh kasih sayang. Sambil berbuat demikian, beliau bersabda, 

“Ya Allah , lepaskan Syaiba dari pikiran-pikiran setannya.” Dengan 

secercah senAllah  cinta itu Syaiba berubah. Rasa permusuhannya 

menguap, dan sejak saat itu Syaiba memandang Rasulullah s.a.w. lebih 

berharga dari apa pun di dunia ini. sesudah  Syaiba berubah, Rasulullah 

s.a.w. mengajak tampil dan ikut berjuang. 

“Pada saat itu,” kata Syaiba, “aku hanya memiliki  satu niat, 

ialah mati untuk membela Rasulullah s.a.w.. Malah, andaikata ayahku 

sendiri merintangi, aku tidak akan ragu-ragu sejenak pun untuk 

menusukkan pedangku ke dalam dadanya” (Halbiyya). 

Rasulullah s.a.w. kemudian berderap maju menuju Ta’if, kota 

yang pernah melempari beliau dengan batu dan mengusir beliau. 

Rasulullah s.a.w. mengepung kota itu, namun kemudian menerima saran 

beberapa kawan untuk menghentikan pengepungan itu. Kemudian, kaum 

Ta’if dengan suka rela masuk Islam. 

Rasulullah Membagi-Bagi Rampasan Perang 

Sesudah Mekkah jatuh dan kaum Muslimin meraih kemenangan 

di Hunain, Rasulullah s.a.w. dihadapkan kepada kewajiban membagi-

bagikan uang yang diperoleh sebagai uang tebusan dan harta-benda yang 

ditinggalkan oleh musuh di medan pertempuran. Jika adat diikuti, uang 

dan harta-benda itu harus dibagi-bagikan di antara prajurit-prajurit 

Muslim yang ikut dalam pertempuran-pertempuran itu. namun , kali ini 

tidak dibagikan kepada orang-orang Muslim, malah Rasulullah s.a.w. 

membagi-bagikannya kepada kaum Mekkah dan orang-orang yang 

tinggal di sekitar Mekkah. Mereka masih harus dibujuk untuk mengenal 

keimanan yang sebenarnya. Banyak di antara mereka dahulunya keras 

menentang. Mereka yang telah bai’at masih merasa canggung. Tidak 

terpikir oleh mereka bagaimana seseorang dapat meniadakan 

kepentingan diri sendiri sesudah menerima dan masuk Islam. namun , 

daripada meniru dan mengikuti contoh pengorbanan harta-benda dan 

pengorbanan diri yang mereka lihat, daripada membalas budi baik yang 

diperlihatkan oleh orang-orang mukmin, mereka menjadi lebih kikir, 

lebih loba dan serakah daripada yang sudah-sudah. Tuntutan mereka 

mulai menjadi-jadi. Mereka mengerubuti Rasulullah s.a.w., dan 

mendorong beliau ke suatu tempat di bawah pohon sehingga jubah beliau 

terkoyak pada bagian bahunya. 

Akhirnya, Rasulullah s.a.w. berseru kepada khalayak itu, “Aku 

tak dapat memberikan apa-apa lagi. Jika aku punya, tentu aku telah 

memberikannya kepadamu. Aku bukan orang kikir dan tidak loba” 

(Bukhari, Bab Faradh al-Khums). 

Kemudian beliau menghampiri unta dan mencabut sehelai 

bulunya, lalu beliau bersabda kepada khalayak itu, “Dan semua uang dan 

harta-benda itu aku tidak membutuhkan sedikit pun walau sehelai bulu 

ini sekalipun. namun aku harus menyisihkan hanya seperlimanya untuk 

negara. Itulah bagian yang diizinkan oleh adat kebiasaan Arab yang telah 

senantiasa diakui sebagai adil dan benar. Seperlima itu bukan untuk 

diriku sendiri. Harta itu akan dibelanjakan untuk kamu dan kebuAllah mu 

juga. Ingatlah, seseorang yang menyalah-miliki dan menyalah-gunakan 

harta umum akan dihinakan di hadapan Ilahi pada Hari Pembalasan. 

“Dikatakan oleh para ahli kritik yang keji bahwa Rasulullah 

s.a.w. mendambakan jadi raja dan memiliki kerajaan. namun bayangkan, 

bagaimana beliau berhadapan dengan khalayak rakyat jelata, padahal 

beliau sudah menjadi raja. Seandainya beliau berhasrat menjadi raja dan 

memiliki  kerajaan, adakah beliau akan memperlakukan khalayak 

ramai yang berubah bagai pengemis itu sama seperti beliau 

memperlakukan khalayak orang-orang Mekkah itu? Adakah beliau akan 

mengizinkan dirinya sendiri dikerubut bagai orang kebanyakan? Adakah 

beliau akan mengemukakan penjelasan dan keterangan? Hanya nabi-nabi 

yang dapat menunjukkan teladan serupa itu. Segala rampasan perang, 

berupa uang dan benda-benda berharga yang harus dibagi-bagikan - telah 

dibagi-bagikan kepada mereka yang mustahak dan kepada fakir-miskin. 

Walaupun demikian, masih ada juga orang-orang yang tidak merasa puas 

dan mengerubuti Rasulullah s.a.w., memprotes pembagian itu dengan 

menuduh Rasulullah s.a.w. telah berbuat tidak adil. 

Seorang yang bernama Dzul-Khuwaisira mendekati Rasulullah 

s.a.w. dan berkata, “Muhammad, aku menyaksikan apa yang sedang 

engkau perbuat.”  

“Dan, apakah yang kulakukan itu?” Rasulullah s.a.w. bertanya. 

“Engkau sedang melakukan ketidak-adilan,” katanya. 

“Celakalah engkau,” sabda Rasulullah s.a.w., “jika aku dapat 

berbuat tidak adil, maka tak seorang juga di atas bumi yang dapat 

berbuat adil.” (Muslim, Kitab al-Zakat). 

Orang-orang mukmin sejati menjadi marah sekali. saat  orang 

itu meninggalkan kumpulan itu, beberapa dari antara mereka berkata, 

“Orang itu harus dihukum mati. Izinkanlah kami membunuhnya.” 

“Jangan,” sabda Rasulullah, “jika ia menaati hukum kita dan 

tidak melakukan pelanggaran yang nyata, bagaimana kita dapat 

membunuhnya?” 

“namun ,” jawab orang-orang mukmin itu, “jika seseorang 

mengatakan sesuatu dan berbuat sesuatu, namun berkepercayaan dan 

berkeinginan lain sama sekali, apakah tidak selayaknya ia dip