ya menjelaskan terkait dengan metode dan
tidak termasuk ranah sains seperti sains yaitu sebuah metode untuk mendapatkan pengetahuan dimana hipotesis dapat diuji baik
secara instrumental maupun eksperimental melalui pengalaman
serta dapat diuji kembali kebenarannya. Definisi ini tidak
membedakan ranah sains fisika atau metafisika. Jika sains hanya
dibatasi ranah empiris-fisik, maka matematika, logika, psikologi
dan sosiologi tidak ilmiah karena objek atau ranahnya bukan
empiris dan bukan fisik. Matematika dapat diuji bukan dengan
panca indera, tapi dengan bukti koherensi proposisi logis dan
mental. Oleh karena itu, teori kebenaran matematika yaitu teori
koherensi bukan korespondensi sehingga ia dapat dikatakan
ilmiah.111
Perkembangan sains yang luar biasa menghasilkann
kebenaran ilmiah yang bebas nilai. Sains memberi kebenaran
tapi tidak tahu bagaimana memakai kebenaran ini
dengan bijak. Sains yaitu kebenaran tanpa kebijaksanaan dan
nilai. Pada saat inilah agama tampil. Manusia pada dasarnya
berupaya mencari dan menuntut makna, nilai, dan perhatian yang
tidak dapat diberikan oleh sains. Agama dapat memenuhi harapan
dan tuntutan manusia ini .
Kegagalan upaya integrasi sains dan agama selama ini
karena sains empiris menolak semua dimensi interior berdasarkan
dua alasan utama. Pertama, adanya anggapan bahwa semua jenis
pengetahuan yang masuk pada ranah interior seperti transendental,
mistik dan lain sebagainya tidak ada yang riil dan tidak dapat
dijelaskan serta direduksi oleh pengetahuan objektif (sains) yang
bersifat atomistik atau holistik. Kedua, validasi hanya dapat
dilakukan oleh sains empiris, sedangkan jenis pengetahuan lain
tidak dapat divalidasi karena bersifat subjektif, personal, dan
emosional. Kedua alasan ini bagi Wilber yaitu salah dan
tidak dapat diverifikasi. Keduanya menjadi penghalang yang besar
untuk integrasi sains dan agama.11
Menurut Fehige, salah seorang figur sentral dalam filsafat
analitik yaitu Hillary Putnam berupaya mengembangkan sebuah
rekonsiliasi sains dan agama dengan cara menghilangkan dimensi
metafisik dari agama. Pandangan Putnam yang bersifat
kontradiktif ini yaitu sebagai upayanya menghindari apa yang disebut Fehige dengan metafisika analitik dan saintistik
(analytic and scientistic metaphysics).11
Menurut Wilber, eksistensi empat kuadran dapat
dibuktikan dengan banyak data baik itu empiris, fenomenologis,
lintas budaya, maupun kontemplatif. Oleh karena itu, pada
dasarnya penolakan sains empiris terhadap validitas dan semua
bentuk pengetahuan ranah interior yaitu penolakan terhadap
dirinya sendiri. Metode ilmiah pada dasarnya secara umum terdiri
dari tiga bentuk dasar pengetahuan yaitu perintah, pencerapan,
dan pembenaran atau penolakan. jika ranah pengetahuan
interior juga dapat memberi tiga bentuk dasar cara
memperoleh pengetahuan ini , maka tentu saja alasan
penolakan validitas pengetahuan interior terbantahkan dengan
sendirinya.11
Struktur ranah interior mencakup tidak hanya latar
belakang konteks kultural yang mendalam, struktur linguistik
intersubjektif, konsensus norma dan etika, tapi juga analisis data
objektif yang memakai logika, statitika, dan matematika.
Semua struktur ini tidak dapat ditemukan dalam ranah
pengetahuan eksterior, empiris dan sensoris. Oleh karena itu,
pengetahuan interior, subjektif dan intersubjektif, dan ranah sisi
kiri tidak dapat direduksi ke dalam ranah eksterior dan empiris.11
Sains empiris pada dasarnya tergantung dengan ranah
interior seperti subjektitas dan intersubjektifitas. Ranah interior
tidak dapat diakses dengan metode monologis, objektif dan
sensoris sehingga sains empiris menolaknya secara keseluruhan11
Menurut Wilber, hanya sedikit filsuf sains dan saintis yang
mempercayai ranah interior dapat direduksi kepada objek-objek
inderawi. Bagi saintis yang memakai matematika telah
mengetahui bahwa realitas tidak hanya objek inderawi. Pandangan
empirisme klasik, positivisme, behaviourisme, modernitas dan
saintisme yang mereduksi ranah interior ke ranah eksterior, objektanpa subjek, permukaan tanpa kedalaman, kuantitas tanpa
kualitas, peradaban tanpa nilai telah dibantah oleh banyak saintis
dan filsuf dewasa ini.11 Sains dalam pengertian yang paling luas
yaitu tidak hanya dibatasi terkait dengan pengalaman inderawi,
tapi juga terkait dengan pengalaman mental dan pengalaman
spiritual.
11
Wilber membagi empirisme yang terkait dengan
pengalaman menjadi dua bentuk yaitu empirisme dalam
pengertian yang sangat luas dan empirisme dalam pengertian
sangat sempit. Empirisme sangat luas meliputi semua jenis
pengalaman yaitu pengalaman inderawi, pengalaman mental, dan
pengalaman spiritual. Pengalaman inderawi mengunakan bukti
berdasarkan sudut pandang badani (the eye of flesh), pengalaman
mental memakai bukti berdasarkan sudut pandang pikiran
(the eye of mind) dan pengalaman spiritual memakai bukti
beradasarkan sudut pandang kontemplasi (the eye of
contemplation). Berbeda dengan empirisme sangat luas,
empirisme sangat sempit hanya mengakui kebenaran berdasarkan
pengalaman inderawi saja. Oleh karena itulah, makna ganda
empirisme ini berdampak terhadap kebingungan yang luas
terhadap persoalan apakah metode ilmiah harus empiris atau tidak
terkait dengan bukti dan pengalaman. Pengalaman inderawi
yaitu salah satu dari sekian banyak jenis pengalaman.
Matematika yaitu salah satu contoh yang memakai bukan
pengalaman inderawi (the eye of flesh) melainkan memakai
sudut pandang pikiran (the eye of mind) dan masih dipandang
ilmiah.11
Ketiga tingkatan sains ini tentu saja bersifat hirarkis.
Tingkatan yang lebih rendah tidak dapat membuktikan tingkatan
yang lebih tinggi. Sains konvensional yang didasarkan pada
pengalaman inderawi tidak dapat membuktikan sains yang
berdasarkan pengelaman mental. Sains yang berdasarkan
pengalaman mental tidak dapat membuktikan sains yang
berdasarkan pengalaman spiritual.1
Wilber mengkritik dengan keras bahwa sains hanya terkait
dengan hal-hal yang bersifat materi semata, padahal hidup manusia tidak hanya terbatas materi dan fisik saja melainkan
ada unsur-unsur lain yaitu pikiran, jiwa, dan roh. Wilber telah
menghabiskan masa hidupnya untuk mendalami sains yang pada
dasarnya tidak salah namun sains secara brutal telah membatasi
dan mempersempit ruang lingkup kehidupan. Oleh karena itu, bagi
Wilber, ia tidak ingin hanya memahami materi dan tubuh saja,
namun lebih yang lebih penting ia ingin memahami pikiran, jiwa
dan roh secara lebih komprehensif.1 1
Bagi Wilber, pembahasan tentang sains dan agama dan
segala sesuatu yang terkait dengan agama mesti dipahami terlebih
dahulu makna agama itu sendiri. Ia membedakan antara agama
eksoteris dan esoteris. Agama eksoteris cenderung bersifat formal
dan memiliki seperangkat aturan yang harus dilaksanakan serta
dipahami secara hitam putih, salah benar dan bersifat dogmatis.
Pada sisi lain, agama esoteris berbeda dengan agama eksoteris.
Agama esoteris lebih menekankan pada pemahaman dan
pengamalan yang bersifat batiniah dan spiritual. Konsep agama
esoteris ini mengakui hal-hal yang bersifat universal dan berbagai
persamaan dalam pengalaman spiritual.1 Agama eksoterik dalam
filsafat perennial yaitu bentuk-bentuk eksternal agama yang
dikaitkan dengan kekuatan symbol yang besar.1
Untuk lebih mudah memahami dan mengembangkan sifat
paradigma komprehensif baru menurut Wilber yaitu dengan cara
terlebih dahulu mengkaji dan memahami sifat dan makna sains
empiris, pengetahuan filosofis, dan esensi pengetahuan spiritual
transendental serta hubungan ketiganya.1 Dengan kata lain,
paradigma komprehensif yaitu secara ideal sintesis atau integrasi
rasionalisme, empirisme, dan transendentalisme.1
Bagi Wilber, untuk menghidari saintisme dan empirisme
ekslusif yaitu dengan cara perlunya dibangun kesadaran dan
konsep bahwa pengetahuan empiris bukanlah satu-satunya bentuk
pengetahuan, melainkan ada pengetahuan bentuk lain saintisme
yaitu pengetahuan mental-rasional dan pengetahuan spiritual-
kontemplatif.1 Saintisme yaitu sebuah tragedi besar karena
berpandangan bahwa makna tidak tidak ada disebabkan sains
tidak dapat mengukur dan membuktikannya.1
Wilber mendukung Firjouft Schoun dan Huston Smith
serta pemikir lainnya bahwa konsep dan pemikiran saintisme
secara fundamental tidak benar. Makna, nilai, tujuan, dan kualitas
harus ada dalam sains.1 Saintisme tidak hanya berdampak
negatif terhadap agama, tapi juga terhadap sains itu sendiri karena
saitisme ini merupakan pandangan yang salah terhadap sains
dan masa depan sains.1
Ketika fakta empiris, logika, dan wahyu sama-sama
dijadikan sebagai sebagai satu-satunya kebenaran, maka akan
menyebabkan terjadinya dua hal. Filsafat masuk dan
menghacurkan sisi rasional dari agama, sains masuk dan
menghancurkan sisi empiris dari agama. Teologi di Barat sangat
terikat dan terpengaruh dengan rasionalisme dan fakta-fakta
empiris serta sangat lemah dalam spiritualitas. Oleh karena itu,
ketika sisi spiritualitas dan kontemplatif Barat diserang oleh
filsafat dan sains, maka spiritualiitas (agama) di Barat menjadi
pudar, dan hanya filsafat dan sains yang tetap eksis.1
Menurut Wilber, fisika modern sejauh ini telah dipahami
dan digunakan oleh banyak kalangan baik untuk menguatkan
maupun membantah prinsip-prinsip metafisika, spiritualitas, dan
agama. Dengan kata lain, fisika modern ibarat pisau bermata dua
yang dapat digunakan untuk membuktikan atau membantah segala
bentuk yang di luar benda fisik (forms beyond physics). Fisika
Newton membuktikan kemestian mutlak adanya Sang Pencipta
(Devine Creator). Sementara itu, teori Relativitas dipahami secara
berbeda oleh tokoh agama Kristen. Cardinal O. Connell
berpendapat bahwa teori ini menimbulkan keraguan terhadap
Tuhan dan ciptaan-Nya, sementara Rabbi Goldstein menganggap
teori ini bentuk ilmiah dari monoteisme.1 Wilber berpendapat bahwa sains tidak mesti dipahami
terkait dengan empirisme sempit yang memandang bahwa metode
ilmiah itu harus empiris sesuai dengan pengalaman inderawi.
Logika, matematika, psikologi, sejarah, antropologi, sosiologi dan
lainnya yaitu sains dalam pengertian empirisme yang luas. Bagi
Wilber, sains dapat berdasarkan pengalaman inderawi,
pengalaman mental, dan pengalaman spiritual yang disebutnya
dengan sains monologis, sains dialogis, dan sains translogis.1
Dalam konteks metode ilmiah, Wilber mengakui tiga
langkah dari kebenaran semua pengetahuan (three strands of all
valid knowing) yaitu perintah instrumental (instrumental
injunction), penangkapan langsung (direct apprehension), dan
konfirmasi atau penolakan umum (communal confirmation/
rejection). Langkah yang pertama yaitu berupa praktek aktual
berupa contoh, paradigma, percobaan, dan aturan seperti jika ingin
melihat bintang dan planet, gunakan teleskop. Langkah kedua
yaitu berupa pengalaman langsung dan tiba-tiba dalam
memperoleh data. Langkah ketiga yaitu pengujian hasil berupa
data dan bukti dengan cara lain sebagai penyempurna kedua model
sebelumnya.1
Tiga langkah validitas pengetahuan ini sejalan
dengan tiga aliran besar filsafat sains dewasa ini yaitu empirisme,
Thomas Kuhn, dan Karl Popper. Pengetahuan yang sah yaitu
yang didasarkan pada pengalaman inderawi bagi empirisme,
paradigma bagi Thomas Kuhn, dan falsifikasi menurut Karl
Popper. Ketiga aliran filsafat sains ini cenderung terjebak
pada data empiris atau data yang didasarkan pada pengalaman
inderawi. Bagi Wilber, secara ideal, ketiga aliran ini
mestinya tidak mereduksi bahwa validitas pengetahuan hanya
dalam ranah sains empiris dalam pengertian sempit (inderawi) tapi
harus diperluas ke empirisme dalam pengertian sangat luas yang
meliputi pengalaman inderawi, mental, dan spiritual.
1
Konsep filsafat sains sangat menentukan analisis relasi
sains dan agama apakah sains dan agama sebagai patner atau
pesaing. Konflik sains dan agama cenderung didasarkan pada
pandangan filsafat sains yang problematik, dan hal ini
banyak ditolak oleh pemikiran kontemporerIntegrasi sains dan agama dapat diwujudkan tanpa
merusak sains dan agama dengan melalui dua langkah. Pertama,
sains harus memperluas cakupannya dalam konteks empirisme
yang sangat luas yang tidak hanya mengakui pengalaman langsung
dari inderawi tapi juga pengalaman mental dan spiritual. Kedua,
agama harus membuka klaim-klaim kebenarannya ke arah
verifikasi langsung ataupun penolakan berdasarkan bukti yang
diperoleh dari pengalaman. Ia harus mengikutsertakan tiga
langkah validitas pengetahuan seperti pada sains.1
Agama menurut Wilber memiliki berbagai definisi dan
makna. Terminologi diaplikasikan dalam berbagai hal meliputi
kepercayaan, pengalaman mistik, mitologi, fondasionalisme serta
keyakinan. Terlepas dari itu, para ahli cenderung membedakan
konten agama dan fungsi agama.1 Ajaran agama yang bersifat
mitologis cenderung dogmatis yang berasal dari kebenaran literal
tanpa diperkuat dengan bukti yang kuat. Dogma agama biasanya
tidak dapat dibenarkan dengan memakai tiga model validitas
pengetahuan. Modernitas pada dasarnya menolak segala bentuk
dogma agama dan kebenaran literal seperti mujizat. Oleh karena
itu, jika agama ingin tetap bertahan dalam era modern, maka ia
harus menghilangkan klaim-klaim kebenaran yang bersifat
dogmatis dan literal ini seiring dengan sains dalam
pengertian sempit menghilangkan imperialisme reduksionistik.1
Rasionalisasi sebagai karakter utama modernitas telah
menggantikan prinsip dan kekuatan agama dengan hal-hal yang
bersifat teknis dan kuantitatif. Situasi ini telah menggiring
agama mereduksi nilai-nilai kebenaran yang dipandang tidak
cocok dengan karakter positivistik, rasional dan sistimatis dari
sains modern.1 Bagi Wilber, spiritualitas yang otentik bukanlah
yang bersifat mitos, imajinal, mitologis, ataupun mitopotik,
melainkan mesti didasarkan atas bukti yang dapat difalsifikasi.
Spiritualitas ini bersifat transendental, meditatif,
kontemplatif. Ia yaitu berupa kesadaran transendetal,transpersonal, transmental, dan transensual. Dengan kata lain,
spiritualitas otentik didasarkan atas pengalaman spiritual langsung
dan mesti sesuai dengan tiga model validitas pengetahuan yaitu
perintah (injunction), pencerapan (apprehension), dan konfirmasi
(confirmation), atau contoh, data, dan falsifikasi.1
Kontemplasi yaitu kekuatan unik yang menjadi dasar
bagi agama pada masa modern dan posmodern. Untuk melihat dan
memahami agama yang jauh dari mitos perlu agama dikaji dan
ditelusuri berdasarkan konsep dan pemikiran pendirinya, bukan
dengan melihat penganutnya secara umum. Para pendiri agama
umumnya memiliki rangkaian pengalaman spiritual yang luar
biasa. jika ranah kontemplasi agama hilang, maka agama
hanya sebatas ranah pemikiran yang menjadi ciri khas filsafat, dan
ranah empiris yang menjadi ciri khas sains. Wilber menilai bahwa
kontemplasi menjadi ciri khas dan kekuatan dari saintifik
pengalaman spiritual. Oleh karena itu, sains yang menjauhkan
empirisme sempit dan agama yang membuang mitos akan
menjadikan sains dan agama seperti saudara kembar dan bukan
musuh. Dengan kata lain, integrasi sains dan agama yaitu
integrasi antara sains yang ril dengan agama yang ril.1 1
Wilber meyakini bahwa praktek-praktek kehidupan
spiritual dan kontemplatif yaitu bentuk dari sains yang
berdasarkan pengalaman spiritual. Praktek-praktek kehidupan
spiritual ini antara lain Zen Budha, Vedanta, kontemplasi
Kristen, meditasi Taoisme, Neo Konfusionisme, dan sufisme.
Wilber secara khusus mendalami dan mengaplikasikan praktek
spiritualitas Zen dalam agama Budha. Untuk mengetahui
eksistensi Spirit secara jelas mesti memakai pendekatan dan
pengalaman spiritual yang bersifat kontemplatif sebagaimana
untuk mengetahui eksistensi batu dengan pengetahuan inderawi
dan geometri dengan pengetahuan akal.1 Pandangan ini
jelas menunjukkan bahwa pengalaman tidak hanya pengalaman
inderawi saja, tapi juga termasuk pengalaman mental dan
pengalaman rohani/spiritual.
Menurut Wilber, apa yang telah dilakukan Kant yang
berupaya untuk memaksakan akal (the eye of mind) mengetahui
dan memahami metafisika menyebabkan metafisika itu sendiri
runtuh. Hal itu disebabkan memang metafisika tidak dapat diketahui dengan pikiran melainkan hanya dengan kontemplasi
(the eye of contemplation). Bagi Wilber, pengalaman inderawi,
akal murni, akal praktis ataupun kombinasi dari semuanya tidak
dapat mengetahui Tuhan dengan tepat. Oleh karena itu,
pengalaman inderawi dengan empirisme, pengalaman mental
dengan rasionalisme harus dilengkapi dengan pengalaman spiritual
dengan empirisme. Dengan kontemplasi, manusia dapat
mengetahui Tuhan sebagaimana Tuhan mengetahui manusia.1
Empirisme dan sains sama-sama memiliki makna sempit
dan luas. Empirisme sempit sejalan dengan sains sempit.
Keduanya hanya mengakui peagalaman inderawi sebagai sumber
pengetahuan dan dasar metode ilmiah. Pada sisi lain, empirisme
dan sains dalam makna luas sama-sama mengakui tiga jenis
pengalaman yaitu pengalaman inderawi, mental, dan spiritual atau
semua pengalaman langsung, bukti, dan data.1 Pandangan ini
jelas bertolak belakang dengan aliran empirisme yang hanya
mengakui secara epistemologis bahwa sumber pengetahuan yang
dapat diterima yaitu yang diperoleh melalui pengalaman
inderawi.
Wilber berpandangan bahwa ranah interior pada dasarnya
dapat diterima oleh sains dalam pengertian luas (broad science)
atau sains dengan makna dalam (deep science) bukan sains dalam
pengertian sempit (narrow science). Semua ranah interior dapat
ditelusuri, diteliti, dilaporkan, diterima atau ditolak dengan
memakai tiga jenis pengetahuan yang benar. Dengan kata
lain, empat kuadran dalam konsep Wilber sesuai dengan sains
dalam makna luas ini . Tiga aspek besar yaitu seni, sains dan
moral dapat dibawa bersama dengan memakai metodologi
empirisme dan sains yang dalam (deep empiricism and science). 1
Integrasi dan penyatuan empat kuadran atau tiga
komponen besar yang sesungguhnya dibantu oleh sains mendalam
(deep science) seperti cara kerja seperti pengalaman mistis dengan
geologi, aspirasi moral dan praktis dengan biologi, keunggulan
hermeneutik sama halnya dengan keunggulan fisika. Semua ranah
sains ini tidak harus direduksi, dipaksa dengan paradigm
baru, ataupun dirubah agar sesuai dengan skema integrasi. Setiap
ranah keilmuan memiliki keunggulan, logika, konsep, struktur,
dan konten tersendiri. Kekhasan mereka diintegrasikan melalui bukti dan pengalaman langsung dalam empirisme mendalam (deep
empiricism) yang menjadi landasan semua jenis pengalaman dan
tuntutan verifikasi. Integrasi seperti itulah yang dapat
memberi harapan kesatuan dalam keragaman (unity-indiversity) semua kuadran dan komponen besar keilmuan dan
kehidupan manusia.1
Tiga model pengetahuan dari sains mendalam (three
strands of deep science) jika digunakan pada kuadran kanan
atas (Upper-Right Quadrant) akan menghasilkan sains ranah
eksterior individu seperti fisika, kimia, geologi, biologi, neorologi,
kedokteran, dan sebagainya. Pada sisi lain, jika model ini
digunakan untuk kuadran kanan bawah (Lower-Right Quadrant)
akan menghasilkan sains eksterior komunal seperti ekologi, teori
sistem, sosiologi dan sebagainya. Sementara bila model ini
diterapkan pada kuadran kiri atas (Upper-Left quadrant) akan
menghasilkan pengetahuan interior individu seperti matematika,
psikologi introspektif dan psikologi yang mendalam, seni,
estetika, dan sebagainya. Bila digunakan untuk kuadran kiri
bawah (Lower-Left Quadrant) melahirkan pandangan interior
komunal yang mempunyai intersubjektif makna seperti ilmu
budaya. Oleh karena itu, tiga model pengetahuan sains mendalam
pada dasarnya menghasilkan paradigma dan model sains yang
beragam bila diterapkan pada kuadran yang berbeda. Untuk
kuadran ranah interior akan menghasilkan keilmuan yang bersifat
interpretatif, hermeneutik, dan kesadaran, sedangkan bagi kuadran
eksterior menghasilkan keilmuan yang bersifat monologis, empiris
dan positivistik serta memiliki bentuk. Suatu hal yang sangat
menarik yaitu bahwa model pengetahuan dalam sains mendalam
yang diaplikasikan pada ranah kuadran yang berbeda
menghasilkan jenis kebenaran (type of truth) yang berbeda pula
yaitu kebenaran objektif, kebenaran subjektif, kebenaran
interobjektif, dan kebenaran intersubjektif. Semua jenis kebenaran
ini sama-sama dapat diandalkan.1
Ranah spiritual yang didasarkan oleh metode tiga validitas
pengetahuan sains mendalam (deep science) menghasilkan
beragam tradisi yang bersifat meditatif dan kontemplatif sebagai
kerangka dasar yang lebih tinggi dari tingkat spiritual manusia.
Jenis pengalaman spiritual langsung ini yaitu mistisisme
alam (natural mysticism), mistisime ketuhanan (deity mysticism), mistisisme tanpa bentuk (formless mysticism), dan mistisisme
tunggal (nondual mysticism).1
Agama dan berbagai keyakinan mistis lainnya sebelum
modernitas (The Great Chain of Being) yang merupakan bagian
dari kuadran kiri atas (upper-left quadrant) menganggap dirinya
meliputi seluruh realitas, padahal berdasarkan analisis sains
mendalam, ia hanya mencakup seperempat dari seluruh realitas
atau kosmos yaitu dimensi interior individu. Oleh karena itulah, ia
tidak dapat bertahan lama pada masa modernitas yang begitu
beragam. Masing-masing kuadran yang lain seperti fisika pada
kuadran kiri bawah menyerangnya. Oleh karena inti agama
sebelum modern yaitu Rantai Besar (the Great Chain) sebagai
salah satu kuadran dari empat kuadran, maka untuk
mengintegrasikan agama dan sains yaitu dengan cara menelusuri
integrasi antara agama dengan keempat kuadran ini . Bagi
Wilber, integrasi ini sangat mungkin karena ada data
yang begitu banyak dari sains spiritual tradisional (agama) yang
dapat dihubungkan dan diintegrasikan dengan berbagai sains
modern objektif (fisika, biologi, kimia), sains kultural
(hermeneutik dan semiotika), dan sains sosial (sosiologi dan
ekologi). Semua kuadran saling berhubungan dan saling
ketergantungan sehingga agama tidak dapat berada tanpa mereka.
Upaya integrasi agama pra modern dan sains modern hanya dapat
diwujudkan dengan mengakui, menghargai, dan menerima semua
kuadran.1 Rantai Besar Wujud (Great Chain of Being) ini
bergerak dari hal yang bersifat materi sampai kepada non materi
(spirit). Dengan kata lain, pergerakan dan perubahannya dimulai
dari yang terendah (materi dan badan) menuju kepada yang paling
tertinggi (jiwa dan kemutlakan).1
Wilber mengungkapkan bahwa pandangan umum
menganggap modernitas yang diawali dengan revolusi ilmiah dan
disempurnakan oleh pencerahan (enlightenment) menolak
sepenuhnya spiritualitas, ketuhanan, sakralitas alam, makna dan
nilai. Pandangan demikian umumnya dikembangkan oleh ekolog,
ekofeminisme, neo paganisme, teosofis, dan para pemikir teoriteori paradigma baru. Bagi Wilber, penolakan modernitas terhadap
spiritualitas harus dibedakan antara pandangan tentang adanya
keutamaan modernitas dan bencana modernitas. Esensikebangkitan modernitas di Barat yaitu adanya pembedaan
(differentiation) tiga ranah kebudayaan yaitu seni, moral dan
sains, sedangkan bencana modernitas yaitu akibat dari
pemisahan (dissociation) ketiga ranah ini . Pembedaan ketiga
ranah ini justru memberi poin penting bagi
perkembangan kebudayaan manusia. Bencana modernitas
diperparah lagi dengan berkembangnya empirisme sempit yang
hanya mengakui pengalaman iderawi sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan dan landasan sains. Pembedaan tiga ranah yang telah
dikembangkan modernitas tidak dapat ditarik kembali, sedangkan
pemisahan tiga ranah yang menjadi bencana modernitas dapat
diatasi dengan melakukan integrasi ketiga ranah atau empat
kuadran. Oleh karena itu, bagi Wilber, integrasi antara agama dan
sains yaitu upaya menyatukan dan mengakui eksistensi tiga
ranah budaya ini atau empat kuadran atau dengan kata lain
mengintegrasikan spiritualitas dengan keutamaan modernitas.
Esensi agama pra modern yaitu the Great Chain, sedangkan
esensi modernitas yaitu pembedaan ranah budaya, maka integrasi
agama dan sains yaitu integrasi kedua esensi ini .1 1
Integrasi sains dan agama tidak berupaya mereduksi
agama yang bersifat translogis menjadi paradigma monologis
baru. Upaya yang harus dilakukan yaitu dengan menemukan inti
(core) dari semua tradisi keagamaan meliputi monologis, dialogis,
dan translogis dan mensinergikannya dengan nilai-nilai
modernitas yang meliputi seni, moral, dan sains.1 Pandangan
ini tentu saja dalam beberapa hal memang merupakan
representasi dari pandangan posmodernisme.
Kajian masalah ranah atau domain sains termasuk aspek
ontologi dalam filsafat sains. Oleh karena itu yang menjadi
pertanyaan yaitu apa saja yang menjadi ranah atau objek sains.
Dalam aspek ontologi, Wilber lebih cenderung memakai
ontologi dasar filsafat perenial. Ontologi ia gambarkan sebagai
‚Great Chain of Being‛ atau ‚Rantai Besar Wujud.‛ Dalam rantai
ini ia menggambarkan posisi beberapa wujud yaitu materi,
hidup, jiwa, soul, dan spirit. Lebih jauh ia menjelaskan, materi
yaitu objek fisika, hidup yaitu objek biologi, jiwa yaitu objek
psikologi, soul yaitu objek teologi, dan spirit yaitu objek mistisisme.1 Ia membagi objek ontologi menjadi lima tingkat.
Tingkat pertama yaitu materi-fisika, kedua yaitu hidup-biologi,
ketiga yaitu jiwa-psikologi, keempat yaitu soul-teologi, dan
kelima yaitu spirit-mistisisme. Tingkat yang lebih tinggi
memiliki fungsi, kapasitas dan struktur yang tidak dapat
ditemukan pada tingkat di bawahnya seperti jiwa memiliki hidup
dan materi, sedangkan materi tidak memiliki jiwa dan hidup,
demikian seterusnya.1 Masing-masing tingkat mengalami
transendensi. Transendensi suatu tingkat meliputi tingkat yang
lebih rendah. Hidup mengalami transendensi termasuk dengan
materi, jiwa mengalami transendensi termasuk dengan hidup, soul
bertransendensi meliputi jiwa, dan spirit bertransendensi meliputi
soul.
1
Spirit yaitu tingkat yang tertinggi sebagai Wujud
meliputi semua wujud. Spirit bersifat transenden sekaligus
immanen. Agama menyebutnya spirit sebagai wujud mutlak dan
tertinggi dengan Tuhan. Paham filsafat seperti ini disebut dengan
pantheisme. Dalam konteks ini, sains dan agama tidak hanya
sesuai tapi juga lebih dari itu sains yaitu bagian dari agama.
Semakin banyak manusia mengetahui tentang segala sesuatu
(sains), maka semakin banyak mengetahui Tuhan seperti dalam
konsep ketuhanan Spinoza.1
Untuk mengatasi persoalan paradoks dan membedakan
konteks transenden dan imanen, Wilber membedakan penulisan
spirit dengan hurup kecil dan kapital. Spirit yang diawali dengan
hurup kecil menggambarkan aspek trasendental. Setiap tingkatan
bertransendensi meliputi tingkatan di bawahnya. Jika tingkat yang
dimaksud dengan sains maka ia berlaku untuk sains itu sendiri.
Dengan kata lain hal itu berarti objek fisika yaitu materi, objek
biologi yaitu makhluk hidup, objek psikologi yaitu jiwa, objek
teologi yaitu soul, dan objek mistisisme yaitu spirit. Penulisan
Spirit dengan huruf kapital bermakna Spirit dalam aspek
immanen. Spirit yaitu tingkat atau Wujud tertinggi dan tidak ada
yang melampauinya.Persoalan apakah sains mental dan spiritual dengan sains
fisik memiliki kesamaan metode. Wilber menjelaskan jika
berdasarkan kriteria metodologi yang utama, maka sains
mental/spiritual dan sains fisik memiiki kesamaan yaitu
berdasarkan pengalaman langsung. Sebaliknya, jika dilhat
berdasarkan ranah keilmuan, maka keduanya memiliki perbedaan
karakteristik dalam penerapan metode keilmuannya. Sains fisik
mempunyai satu karakteristik utama yaitu keluasan ruang-waktu
dengan memakai ukuran yang tepat. Sementara untuk sains
psikologis-mental dan spritual, ukuran kuantitatif bukan yang
utama dan hanya diterapkan pada hal-hal tertentu saja. Hal yang
paling penting bagi sains jenis ini yaitu pencarian makna dengan
memakai salah satunya lingkaran hermenutik. Dengan kata
lain, sains mental-psikolgis-spiritual dengan sains-fisik-biologis
yaitu satu dalam keberagaman (unity in diversity) yaitu satu
dalam kriteria metodologis atau pengetahuan itu sendiri, dan
beragam dalam objek dan penerapan tertentu.1
Dalam melakukan analisis dan pandangan terhadap relasi
sains dan agama harus didasarkan oleh dua sikap yaitu kritis
terhadap sains dan kritis terhadap agama.1 Sikap ini sangat
penting bagi setiap pemikir, pemuka, agama, maupun ilmuwan.
Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari kesalahpahaman
atau bahkan pengaburan makna sains maupun agama itu sendiri.
Sementara setiap pembicaraan tentang relasi sains dan agama
cenderung mengaburkan kompleksitas dan pluralitas yang
sebenarnya dari kedua terma penting ini .1 Agama dan sains
ditinjau dari sudut pandang apapun memang memiliki
keberagaman makna.
Perkembangan sains modern yang luar biasa menghasilkan
kebenaran ilmiah yang bebas nilai. Sains memberi kebenaran
tapi tidak memberi bagaimana cara memakai sains
ini dengan bijak. Kebenaran sains tanpa kebijaksanaan, nilai
dan kelayakan. Sementara agama menyediakan makna, nilai,
perhatian, dan kedalaman yang semua itu dibutuhkan manusiaRekonsiliasi sains dan agama yang pada akhirnya integrasi
keduanya yaitu suatu upaya yang tidak mudah. Untuk
merumuskan integrasi sains dan agama harus ditemukan terlebih
dahulu inti kesamaan semua agama. Jika tidak, intergrasi sains
dan agama yang dimaksudkan tidak akan tercapai melainkan
hanya integrasi sains dan agama tertentu saja atau bahkan
integrasi sains dengan versi sempit dari suatu agama.1
Sains mengembangkan pengalaman yang bersifat rasional
dan analitik terhadap dunia, sedangkan agama mempraktekan
pengalaman yang bersifat sintetik dan kesadaran tentang dunia.
Pengalaman keagamaan secara individu berupaya mencapai
‚Pengalaman Kesatuan Tak Terbatas Waktu‛ (Timeless
Experience of Oneness). Pemahaman dan pencapaian kepada
Oneness, bagi agama disebut dengan Tuhan, membuat manusia
memahami dunia ini sebagai suatu kesatuan sehingga manusia
akan memelihara kedamaian dan keseimbangan kehidupan di
dunia ini. Proses ini memiliki peran yang menentukan bagi
terwujudnya integrasi sains dan agama. Integrasi sains dan agama
yaitu upaya untuk mengatasi perbedaan pengetahuan teoretis
(science) dan pengalaman praktis tentang Yang Tak Terbatas.1
Pada bagian lain, Wilber menyebut bahwa kesatuan sains
dan agama yaitu kesatuan antara evolusi dan involusi. Evolusi
yang dipahami Wilber yaitu manusia merupakan makhluk hidup
yang lebih dari kera sebagai hewan yang lebih dahulu ada di bumi
sebelum manusia. Evolusi tidak dipahami sebagai manusia berasal
dari kera. Konsep evolusi ini merupakan ranah sains. Pada sisi
lain, agama cenderung memahami manusia secara involusi.
Manusia yang diciptakan dan menghuni surga sebelumnya dengan
segala kesempurnaannya, kemudian diturunkan ke bumi karena
adanya kesalahan. Dalam konteks ini, manusia mengalami
kemunduran dibandingkan dengan keadaannya di surga. Inilah
yang dinamakan dengan involusi.1
Dengan merujuk pemikiran Huston Smith, Ananda
Coomaraswamy, Rene Guenon, Frijof Schuon, Nicholas Berdyaev,
Michael Murphy, Roger Walsh, Sayyid Hossein Nasr, dan Lex Nihon, Wilber berkesimpulan bahwa titik temu dan inti
pandangan dunia agama-agama sebelum modern dapat ditemukan
yang disebutnya dengan konsep Rantai Besar Wujud (The Great
Chain of Being).1
Rantai Besar Wujud ini hampir seluruhnya lenyap
seiring dengan munculnya modernitas di Barat. Modernitas
dibangun atas dasar epistemologi Newtonian-Cartesian, dominasi
patriarki, kapitalisme, dan nilai-nilai kehidupan yang cenderung
anti-Tuhan. Oleh karena itu, integrasi sains modern dan agama
pramodern harus menyatukan kembali berbagai pandangan dunia
modernitas ini di atas dengan nilai-nilai utama agama-agama
yang ada pada Rantai Besar Wujud (the Great Chain of Being). 1
Modernitas pada dasarnya berkembang akibat adanya
renaisans mulai akhir abad ke-1 , reformasi Protestan pada abad
ke-1 , dan adanya perkembangan sains serta pencerahan
(enlightenment) pada abad ke-1 dan 1 .1 Wilber lebih jauh
menguraikan makna modernitas. Modernitas dapat dipahami
secara negatif maupun positif. Secara negatif, modernitas
cenderung dikaitkan dengan ateisme, kapitalisme, komodifikasi
kehidupan, kuantifikasi, kehilangan makna dan nilai, fragmentasi
dunia, materialisme vulgar, dan sebagainya. Di samping konotasi
negatif ini , nilai-nilai positif dari modernitas yaitu
demokrasi, kesetaraan, kebebasan, keadilan, penghilangan
perbedaan ras, kelas, dan gender, kemajuan sains kealaman,
penghapusan perbudakan, dan penghargaan terhadap hak azazi
manusia.1 Di tengah perbedaan nilai-nilai modernitas, baik
negatif maupun positif, pandangan dunia modernitas yang paling
dominan dan banyak diakui oleh berbagai ahli yaitu saintismematerialisme saintifik dan imperialisme saintifik.1
Nilai-nilai modern terdiri dari kepercayaan pada sains,
kemajuan, kebebasan dan hak-hak individu, keuntungan, dan
individualisme. Berbeda dengan modern, posmodernisme
mengandung nilai-nilai seperti pluralitas, egalitarianisme,
kesetaraan radikal, feminisme, dan keberlangsungan serta pemeliharaan lingkungan.1 Modernitas berawal dari renaisans
dan berkembang pada masa pencerahan meliputi beberapa bidang
yaitu filsafat, seni, sains, budaya, identitas personal, politik, dan
teknologi. Dengan mengutip Will dan Ariel Durrant, modernitas
yaitu abad akal dan revolusi. Setelah modernitas, posmodernitas
memiliki beberapa makna yang luar biasa yang pada dasarnya
menolak kebenaran mutlak dan reaksi serta serangan terhadap
modernitas. Secara singkat, Wilber menyebut ‚dunia modern‛
yaitu berbagai macam perkembangan terbaru terkait dengan pra
modern, modern, dan posmodern.1 1
Menurut Wilber, para pemikir paradigma baru tidak dapat
memahami nilai dan makna sebenarnya dari modernitas. Yang
paling penting bagi mereka yaitu menyerang dan mengganti
modernitas yang dianggap sebagai paradigma lama dengan
paradigma baru yang revolusioner. Wilber membagi pemikir
paradigma baru ini menjadi tiga kelompok yaitu revivalis
pramodern, pandemonium (kekacauan) posmodern, dan sistem
global. Pertama, paradigma revivalis pramodern yaitu
mempertahankan kebudayaan yang memiliki kesadaran yang
menyatu yang berbeda dengan modernitas dengan kesadaran
parsial. Pandangan dunia yang ingin dibangun kembali yaitu
matrifokal, holistik, ketuhanan, dan jaringan kehidupan yang
utuh/menyatu. Mereka menolak pandangan dunia yang bersifat
patriarkat, fragmentasi (terpisah), analitik, dan jaringan kehidupan
yang pecah. Kedua, paradigma posmodernis bersifat penolakan
kebenaran mutlak, otoritas sains, dan segala makna modernitas.
Pandangan ini bersifat dekonstruktif dan revolusioner. Ketiga,
sistem global yaitu penyerangan terhadap atomisme dan
mengganti dengan sistem berfikir. Mereka menolak pandangan
yang bersifat newtonian-cartesian yang bersifat atomistik analitik
serta monologis. Ketiga pola ini menurut Wilber memiliki
kontradiksi yang bersifat performatif.1
Menurut Wojciech J. Cynarski, paradigma sains pada abad
ke-1 dan tidak cocok lagi dengan perkembangan sains dan
pemikiran manusia abad ke- 1. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan paradigma sains baru yang cocok untuk abad ke-
ini. Paradigma sains yang baru ini mesti bersifat humanistik, kultural, sistemik dan holistik. Pendekatan keilmuan yang
mendukung paradigma ini yaitu sains interdispliner.1
Munculnya modernitas dan runtuhnya Kerangka Besar
Wujud (The Great Nest of Being) menjadikan sains dan agama
seperti tarian antagonis bahkan seperti perang yang menakutkan
dan rumit.1
Pluralisme epistemologi pada sikap yang ketiga yaitu
salah satu upaya yang tidak cukup kuat untuk integrasi sains dan
agama. Dalam tiga ranah sumber pengetahuan yaitu ranah panca
indera/jasmaniah (the eye of flesh), ranah mental (the eye of
mind), dan ranah spiritual (the eye of contemplation), sains berada
dalam ranah jasmaniah. Oleh karena itulah, sains sulit untuk
bekerja sama dengan agama karena secara epistemologi ranahnya
berbeda dan sains berada pada tingkat yang terendah.1 Pola
ini jika dilihat berdasarkan dua pendekatan yaitu spiritualitas
dan modernitas. Spiritualitas yang digambarkan dalam bentuk
sebuah rantai besar (the Great Chain), sains menempati mulai dari
posisi terendah sampai tertinggi yaitu sains inderawi, sains
mental, dan sains spiritual. Spiritualitas tidak menyisihkan sains
melainkan bersama-sama menemukan realitas dan hal ini
menunjukkan kesesuaian antara sains dan agama.
1
Paradigma sebagai salah satu interpretasi terhadap realitas
menjadi penentu perkembangan sains. Upaya integrasi sains dan
agama pada pola paradigma posmodernisme ini yaitu yang paling
berpengaruh. Paradigma secara kultural dikonstruksi sehingga
otoritas sains menjadi hilang. Terlepas dari itu semua, pada era
mendatang diperlukan membangun sebuah paradigma baru yang
sesuai dengan pandangan dunia holistik dan spiritual dan
mendukung integrasi sains dan agama.1
Sains menemukan kepastian dalam manifestasi kualitas
dan kuantitas yang dapat direproduksi. Hal itu bukan berarti
penganut agama tidak dapat menjadi saintis atau sebaliknya. Pada
level paradigma, kedua ranah ini , sains dan agama, mennyempurnakan sebagai suatu ko eksistensi yang fantastis
yaitu ‚bebas nilai‛ dan ‚sarat nilai‛. Keduanya tidak saling
percaya dan mencoba secara agresif untuk menguasai dunia.
Wilber berupaya secara utuh untuk mengharmonikan agama dan
sains dengan cara menemukan kesesuaian dari kedua paradigma.1
Menurut Wilber, buku Thomas Kuhn yang berjudul The
Structure of Scientific Revolutions yaitu buku yang paling
berpengaruh, namun banyak orang salah memahami kesimpulan
utama dari buku ini . Buku ini banyak dirujuk dan
dipakai dalam bidang filsafat sains dan hampir tidak berpengaruh
terhadap bidang sejarah sains. Dengan mengutip Frederick Crews,
kesalahpahaman yang paling dominan terhadap buku Kuhn yaitu
tentang paradigma. Paradigma dipahami sebagai penentu dan
pengatur sains, oleh karena itu jika seseorang tidak menyukai
suatu paradigma sains, maka ia akan dengan mudah mengganti
dan membangun paradigma baru. Hal ini merupakan bentuk dari
narsisme terhadap sains.
Pada dasarnya, krisis epistemologis dalam masalah
ketuhanan dan hubungannya dengan sains modern tidak hanya
terjadi pada Islam namun juga terjadi dalam tradisi Kristiani.
Pemahaman immanensi dalam Kristen dipandang sebagai salah
satu upaya mengatasi krisis epistemologis ini . Tuhan berbuat
sesuai dan sejalan dengan hukum alam yang telah Dia ciptakan
tanpa merusaknya. Perdebatan ini boleh jadi juga terjadi
dalam perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan
sains modern.1
Alexander J.B. Hampton salah satu poin penting
pemikiran ketuhanan Spinoza yaitu konsep tentang prinsip
kemutlakan immanen. Konsep ini dapat menjadi solusi terhadap
keretakan antara sains dan agama ataupun akal dan wahyu.
Pengetahuan terhadap substansi Tuhan dapat diperoleh dari
berbagai perspektif baik melalui meditasi filosofis terhadap Tuhan maupun kontemplasi ilmiah tentang alam. Konsep ketuhanan
Spinoza ini disebut dengan monism. Tuhan tidak hanya diketahui
dan dipahami secara supranatural, wahyu dan mujizat tapi juga
melalui alam sebagai perwujudan Tuhan.1 Aliran realisme
berpandangan bahwa yang real yaitu wujud, sedangkan aliran idealisme
berpendapat bahwa yang real itu yaitu esensi. Dengan kata lain, aliran
pertama menganggap eksistensi yang lebih penting sementara aliran
kedua menganggap esensi yang lebih penting. Kedua pandangan ini
sulit untuk dipertemukan karena perbedangan pandangan ontologisnya.
Kesalahpahaman lain terhadap Kuhn yaitu sains
dianggap sewenang-wenang, relatif, konstruksi sosial, interpretatif, kekuatan tersembunyi, dan non progresif. Menurut Wilber,
Kuhn tidak menyetujui semua pandangan ini tentang sains.
Bahkan ia berupaya menentang pandangan ini . Akibat
kesalahpahaman ini telah mengakar, maka bukti dan
kelebihan sains dapat terabaikan dengan satu-satunya cara
membangun paradigma baru. Paradigma baru ini yaitu
antara lain neoastrologi, eko feminisme, ekologi, kuantum, filsafat
proses, kesehatan holistik, psikoterapi quantum, psikologi neoJungian, dan sebagainya. Sepanjang sejarah sains, sains ini
memiliki ratusan paradigma dan secara garis besar memiliki dua
komponen yaitu praktis dan sosial. Oleh karena itu, apapun
bentuknya yang benar-benar menghasilkan data baru disebut
revolusi atau paradigma baru termasuk X-Ray dan baterai. Segala
sesuatu yang memiliki dampak penting terhadap riset praktis
dapat saja dikatakan sebagai paradigma baru.1 1
Secara umum, posmodernisme integrasional memandang
bahwa sains tidak dapat dipersempit fokusnya hanya pada alam
yang dapat dicerap dengan indrawi, namum pada saat yang sama
sains tidak boleh lepas dari aspek dan refleksi moral dan filsafat.
Dalam konteks ini , Wilber sepakat dengan Kuhn yang
memandang bahwa paradigma memiliki perintah secara implisit
yang boleh jadi diekspesikan dalam sebuah pengembangan
sains.1 Dalam konteks epistemologi, Wilber menyatakan bahwa kontempolasi harus digunakan untuk melengkapi sains dan
filsafat. Lebih jauh ia membagi membagi sumber epistemologi
yaitu pengalaman inderawi, intelek atau simbol, dan
kontemplasi. Setiap bentuk pengetahuan ini memiliki
kekhasan dan ranah masing-masing, meskipun secara parsial
ada tumpang tindih di antara ketiganya. Kegagalan dan
kesalahan dalam memahami ketiga bentuk epistemologi ini
pada dasarnya dapat menghasilkan kerancuan dan konflik di
antara saintis, filsuf, dan teolog.1
Integrasi sains dan agama dapat dilakukan jika dapat
ditemukan titik temu yang benar dari kedua klaim yaitu antara
transendental dan empiris atau antara interior dan eksterior.
Dengan kata lain, integrasi sains dan agama dapat dilakukan jika
terjadi integrasi antara The Great Chain of Being dengan klaimklaim modernitas.1 Bagi Bellah, seperti yang dikutip oleh Hanan
Reiner, sains bukan satu-satunya faktor yang dapat menjelaskan
dunia. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hubungan yang
terbuka antara agama dan sains yang didasarkan atas pertukaran
ide-ide yang berkualitas terhadap realitas termasuk realitas
sosia Diagram ini jelas menunjukkan bahwa konsep relasi
sains dan agama menurut Wilber sangat ditentukan oleh konsep
epistemologi, pendekatan, pandangan dunia dari Wilber itu
sendiri.
E. Kritik terhadap Pemikiran Ken Wilber
Menurut Moritz Deecke, Wilber tidak terlalu
diperhitungkan dalam humaniora, kecuali dalam studi agama,
meskipun ia sangat banyak melakukan riset humaniora dan hard
sciences. Wilber telah banyak membangun sintesis yang menarik
dari kedua jenis keilmuan ini . Khusus tentang sains dan
agama, keduanya ibarat dua sisi uang koin. Batas antara sains dan
agama tidak dapat dilihat secara jelas.1 Analisis Wilber tentang
relasi sains dan agama termasuk filsafat sangat normatif, bahkan
sama sangat normatifnya dengan kajiannya terhadap persoalan
lain.1
Wilber meskipun mendalami psikologi humanistik tentang
kesadaran manusia, dengan penguasaan filsafat Barat dan Timur
yang cukup dalam mampu memadukan dan mengintegrasikan
nilai-nilai spiritualitas timur dengan sains modern. Penekanannya
untuk mengkaji dan memahami kembali dimensi esoteris dari
agama-agama besar dan konsep integralismenya dalam
menganalisis semua dimensi kehidupan termasuk sains perlu
menjadi perhatian tersendiri baik bagi kaum intelektual maupun
pemuka agama.
Pandangan integrasi Wilber di atas yang menekankan
bahwa agama yang dimaksud yaitu sisi esoteris atau spiritualitas.
Berdasarkan penelitian Eukland, salah satu model relasi sains dan
agama menurut saintis di Amerika yaitu model integrasi. Hal
yang menarik dari model integrasi ini yaitu perlunya
mendefinsikan kembali agama, salah satunya yaitu penekanan
pada aspek spiritualitas agama, meskipun sebagian besar
cenderung kembali kepada bentuk agama yang asli.Menurut Segura, konsep integrasi sains dan agama Wilber
memiliki kerancuan kategori dan kontradiksi metode dengan cara
pengetahuan sekular dan tradisional. Integrasi sains dan agama
Wilber yaitu integrasi sains modern dengan agama pra modern.
Agama pra modern cenderung menentukan dan mengatur sains
dan seni, sedangkan sains modern cenderung mengatur agama dan
seni. Oleh karena itu, istilah integrasi tidak tepat digunakan
Wilber. Konsep Wilber tentang relasi sains dan agama lebih tepat
disebut dengan regressi. Sains modern dan agama pra modern
yaitu dua ranah dan elemen yang memang berbeda dan
sepenuhnya tidak sesuai.1
Berbeda dengan Segura, Dustin Diperna memandang
bahwa kacamata integral yang digunakan Wilber, setidaknya
dalam tulisannya bersama Sean Esbjörn-Hargens, mengajukan
suatu proposal yang sukses dan sangat berkesan bagi integrasi
komprehensif antara sains dan agama.1 Dari beberapa pandangan
ini jelas bahwa pendekatan integral merupakan pendekatan
utama yang digunakan Wilber termasuk dalam menganalisis
potensi integrasi sains dan agama.
Wilber sebagai seorang posmodernis tentu saja memiliki
kesamaan dengan para pemikir posmodenisme lainnya yang
cenderung mengkritik atau bahkan mendekonstruksi modernitas.
Salah satu kecenderungan posmodernisme yang lain yaitu sangat
menonjolkan nilai-nilai spiritualitas dan tidak begitu memberi
apresiasi kepada agama yang telah diakui eksistensinya. Teosofi
yaitu salah satu contoh spiritualitas ini
Teosofi (Theosophy) sebagai sebuah tradisi esoterik dan
new age tidak mengabaikan sains, bahkan menganggap dirinya
sebagai sebuah agama yang saintifik (a scientific religion) dan
sains yang religius (a religious science). Dengan kata lain, teosofi yaitu sinkritisme antara sains dan agama.1 Menurut Wilber,
agama dalam pengertian agama yang telah memiliki kemapanan
cenderung sulit untuk menerima sains. Sementara itu, spiritualitas
sangat mudah menerima sains. Pandangan ini tentu saja
memiliki kelemahan, karena sesungguhnya, menurut hemat
penulis, Wilber tidak begitu memahami semua agama termasuk
Islam. Hal ini terbukti ketika ia mengkritik pertentangan
kitab suci dengan penemuan sains. Ia tidak menyinggung
sedikitpun al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Ia hanya
merujuk Injil dan kitab suci agama Budha serta Hindu. Inilah
kelemahan Wilber yang dalam analisisnya mengenaralisasikan
semua agama.
Pandangan yang berbeda spiritualitas agama baru (new
age spirituality) dikemukakan oleh Steve Bruce. Ia lebih
cenderung berpendapat bahwa new age lebih dekat kepada agama
dari pada sains. Ia beralasan bahwa sains abad baru (new age
science) ini yaitu sebagai pengetahuan esoteris dan mistis.
jika dilihat secara sepintas, sains abad baru memang sejalan
dengan sains secara konvensional. Hal ini tentu saja akan
berbeda, jika sains dipahami tidak sebagai seperangkat kesimpulan
tentang fenomena alam tapi juga merupakan serangkaian dari
prinsip-prinsip penemuan dan pengujian.1 Spiritualitas memang
pada dasarnya terfokus kepada makna, kebenaran subjektif,
kebahagiaan, transendensi. Ia lebih mengutamakan pengetahuan
yang bersifat internal. Pada sisi lain, sains lebih fokus pada
objektivitas, pengetahuan dunia eksternal, penemuan empiris, dan
informasi. Berdasarkan teori integralnya Wilber, kedua ranah
inilah yang menjadi objek integrasinya yaitu ranah esoteris
spiritual dengan ranah eksetoris material. Sebagai sebuah
pemikiran, konsep Wilber tentang integrasi sains memang patut
untuk dipertimbangkan dan dijadikan rujukan meski tentu saja
tidak luput dari kelemahan
Pernyataan Albert Einstein (1 -1 )1
yang sangat
terkenal yaitu ‚Science without religion is lame, religion without
science is blind‛ merupakan inti dari filsafat agamanya.
Pernyataan ini lebih kuat dari pernyataan Ralph Waldo
Emerson yang mengungkapkan bahwa ‚the religion that fears
science, insults God and commits suicide.‛
Kedua pernyataan
ini menunjukkan bahwa persoalan relasi sains
dan agama merupakan masalah yang menarik dan penting dalam kehidupan
dan peradaban manusia. Manusia tidak dapat terlepas dari agama
beserta problematikanya dan juga tidak dapat mengabaikan sains
dengan segala dinamikanya dalam kehidupan. Ungkapan Einstein
ini menurut Varadaraja V. Raman, bahkan sama populernya
dengan teori relativitasnya Einstein. Pandangan Einstein tentang
sains dan agama menjadi faktor penting terhadap peningkatan
diskusi terhadap relasi sains dan agama sebagai upaya untuk
menjembatani hubungan keduanya pada abad ke- . Hal ini
ditandai dengan munculnya beberapa jurnal dan lembaga yang
menjadikan tema relasi sains dan agama sebagai fokus
pembahasannya.
Mengapa perdebatan sains dan agama terjadi lebih intens
dan hangat dibandingkan perdebatan agama dengan yang lain?
karena kedua hal ini cenderung bersaing untuk menemukan
kebenaran tentang alam. Sains dalam banyak hal telah dapat
menyanggah beberapa klaim kebenaran agama, sedangkan agama
tidak mampu menyanggah klaim kebenaran sains. Sains dan
agama setidaknya memiliki klaim yang saling tumpang tindih
terhadap kebenaran (overlapping claims for the truths).
Pandangan ini cenderung menempatkan sains dan agama
bertentangan atau konflik.
Diskursus tentang relasi sains dan agama telah
berkembang dalam berbagai perspektif seperti sosio-historis,
filosofis, dan teologis. Perdebatan sains dan agama di Barat
khususnya, pada awal abad modern banyak terjadi dan cukup
populer. Berbeda dengan di Barat, para intelektual Muslim secara
umum kurang begitu berkenan untuk memasuki wilayah
perdebatan sains dan Islam.
Di kalangan pemikir Islam
kontemporer, perdebatan relasi sains dan agama lebih dominan
memasuki perdebatan Islamisasi sains, sains Islam, dan nilai-nilai
Islam yang mendorong perkembangan sains, serta integrasi sains
dan agama.
Diskursus Islam dan sains modern, menurut Ibrahim Kalin
terbagi dalam tiga kategori besar yaitu pandangan terhadap sains
secara etis, epistemologis, dan ontologis atau metafisis.
Ketiga
kategori ini pada dasarnya yaitu unsur-unsur filosofis
terhadap suatu persoalan. Persoalan dalam konteks ini yaitu
tentang relasi Islam dan sains modern.
Perdebatan ‘ilm dan di>n (sains dan agama) di dunia Islam
mulai muncul pada beberapa dekade awal abad ke-1 . Perdebatan
ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme Barat, yang
secara langsung maupun tidak, memasuki dunia Islam. Sampai
pada pertengahan abad ke- polarisasi sains dan agama dalam
bentuk polarisasi antara ilmu rasional (‘aql) dan wahyu (naql) atau
antara aqliyah dan naqliyah terus berlangsung.
Munculnya para
pemikir Islam yang mulai bersentuhan dengan peradaban Barat
seperti yang dijelaskan di atas membuat perdebatan tentang peran
akal dan wahyu menjadi lebih banyak berlangsung. Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani serta Abul ‘Ala alMaududi yaitu di antara para pemikir Islam yang banyak terlibat
dalam diskursus akal dan wahyu, baik secara teologis maupun
filosofis serta kaitannya dengan perkembangan sains modern.
Keengganan dan keberatan intelektual Muslim terhadap
perdebatan relasi sains dan Islam seperti yang diuraikan
sebelumnya mempunyai argumen yang cukup kuat seperti yang
dikemukakan oleh Nidhal Guessoum.1 Relasi sains dan agama
terutama dalam bentuk konflik yang terjadi di Barat tidak begitu
tepat dibawa ke dalam relasi sains dan Islam. Hal ini
disebabkan karena sains yang berkembang pada masa kejayaan
Islam memiliki dasar filosofis yang berbeda dengan sains modern.
Dalam epistemologi Islam, sains dan agama pada dasarnya
memiliki hubungan yang harmonis. Sains menggambarkan tentang
alam dan Islam memberi prinsip dan arah penelusuran sifat dan
makna alam sebagai sebuah realitas.
1 Pandangan di atas pada
dasarnya memiliki kesamaan dengan pandangan para pemikir
Muslim lainnya meskipun dengan konsep dan penjelasan yang
beragam.
Pada sisi lain, menurut Ken Wilber,1
perkembangan sains
modern di Barat yang luar biasa menghasilkan sains yang bebas
nilai. Sains memberi kebenaran namun tidak tahu bagaimana
memakai kebenaran ini . Sains yaitu kebenaran tanpa
kebijaksanaan, nilai, dan kelayakan. Dalam konteks ini, sains
paling tidak memiliki persoalan filosofis terutama dari aspek
aksiologis. Di sinilah peran dan pentingnya agama. Agama
mengisi kekosongan nilai, makna, kedalaman, dan perhatian pada
sains. Upaya mengisi kekosongan nilai pada sains memang tidak
mudah. Konsep ini memerlukan rancangan dan sistem yang
jelas sehingga agama dan sains tidak hanya sebatas terekonsiliasi
tapi sampai kepada terintegrasi.1
Pandangan yang agak berbeda dikemukakan oleh Sadik J.
Al-Azm. Ia berpendapat bahwa dalam warisan dan tradisi IslamKristen-Yahudi, perdebatan dan kontroversi tentang adanya
konflik antara sains dan agama atau otonomi akal dan peran
wahyu berawal dan akan terus berlangsung pada warga yang
lemah dari sisi keilmuan dan kuat dari sisi keagamaan. Pada
warga yang telah maju dan kuat perkembangan sainsnya,
mereka lebih cenderung memahami sains dan agama sebagai dua
hal yang terpisah. Kesimpulan ini didasarkan pada sejarah
sains di Barat pada masa sebelum dan awal renaisans, konflik
sains dan agama berlangsung sangat sering terjadi, namun
kemudian seiring dengan perkembangan sains yang begitu pesat,
konflik antara sains dan agama cenderung menurun. Sebaliknya,
pada masa kontemporer, diskursus tentang konflik antara sains
dan agama terus berlangsung di dunia Islam yang perkembangan
sainsnya di wilayah ini tidak terlalu pesat seperti di Turki
dan Lebanon. Sementara pada masa kejayaan Islam, perbincangan
tentang konflik sains dan agama tidak banyak terjadi.1
Penolakan umat Islam terhadap sains yang dimaksudkan
yaitu sains yang didasarkan pada epistemologi yang berbeda
dengan sains yang berkembang di dunia Islam pada masa
kejayaannya. Sains modern yang berkembang di Barat baik
langsung maupun tidak langsung, juga berkembang dan diajarkan
di dunia Islam, meski cenderung ada perbedaan yang
mendasar antara sains yang berkembang pada masa kejayaan
Islam dan sains modern. Umat Islam tidak dapat mengelak dari
implikasi perkembangan sains modern ini . Oleh karena itu,
perdebatan relasi sains dan Islam juga juga turut mewarnai
perkembangan pemikiran Islam modern dan kontemporer terlepas
dari perbedaan konsep sains yang dimaknai oleh peradaban Islam
maupun Barat.
Sebelum dilanjutkan lebih jauh tentang persoalan relasi
sains dan Islam, perlu dilihat pemetaan dan tipologi relasi sains
dan agama. Pola relasi sains dan agama memiliki empat bentuk
yaitu konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
1 Pola Barbour
ini banyak dirujuk oleh para penulis dan akademisi yang
memiliki perhatian terhadap relasi sains dan agama. Pola relasi
lain yaitu pandangan yang dikemukakan oleh John F. Haught. Ia
mengemukakan empat pola yaitu konflik, kontras, kontak, dan
konfirmasi.1 Tipologi relasi Haught ini secara garis besar
memiliki prinsip dan pemaknaan yang kurang lebih sama dengan
Barbour. Haught lebih banyak menguraikan tipologi ini
dengan memberi beberapa contoh konkrit.
Christina Legare dan Aku Visala menjelaskan hubungan
agama dan sains dengan bertitik tolak dari teori relasi agama dan
sains menurut Stenmark. Stenmark merumuskan tipologi relasi
agama dan sains yaitu konflik total (total conflict), independensi
(independence), dan rekonsiliasi (reconciliation). Model konflik
total (total conflict) mengklaim bahwa penjelasan sains dan
agama tidak dapat dipertemukan karena materi (content) dari
agama dan sains sangat bertentangan satu sama lain. Model
independensi (independence) berbeda dengan model konflik total
(total conflict). Model independensi ini mengklaim bahwa agama
dan sains hanya memiliki cara yang berbeda, masing-masing
berdiri sendiri tapi tidak bertentangan. Berbeda dengan kedua
model sebelumnya, model rekonsiliasi (reconciliation) menganggap agama dan sains tidak berdiri sendiri sepenuhnya dan tidak
juga bertentangan secara total satu sama lain. Ranah sains dan
agama boleh jadi overlapp atau tumpang tindih, sehingga
keduanya dapat saja harmoni atau dapat juga konflik. Jika
harmoni, agama dan sains saling melengkapi, namun jika konflik
baik konsep pemahaman agama maupun makna dan eksistensi
sains harus dikaji ulang secara kritis.
1 Sains pada dasarnya dapat
membantu dalam mempertahankan kekuatan agama.1
Michael J. Reiss menawarkan konsep yang berbeda
tentang hubungan antara agama dan sains. Ia menempatkan
pengetahuan ilmiah (sains) terletak di dalam pengetahuan agama,
namun tidak berarti pengetahuan ilmiah dapat diperoleh
sumbernya dari agama. Jika terjadi konflik antara sains dan agama
dalam konteks pengetahuan, ia lebih memilih atau cenderung
mengakui kebenaran sains. Ia mengakui pandangan ini tentu saja berbeda dengan pandangan penganut agama, baik Islam, Kristen,
Hindu dan sebaga