Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 9


 ya menjelaskan terkait dengan metode dan 


tidak termasuk ranah sains seperti sains yaitu  sebuah metode untuk mendapatkan pengetahuan dimana hipotesis dapat diuji baik 


secara instrumental maupun eksperimental melalui pengalaman 


serta dapat diuji kembali kebenarannya. Definisi ini  tidak 


membedakan ranah sains fisika atau metafisika. Jika sains hanya 


dibatasi ranah empiris-fisik, maka matematika, logika, psikologi 


dan sosiologi tidak ilmiah karena objek atau ranahnya bukan 


empiris dan bukan fisik. Matematika dapat diuji bukan dengan 


panca indera, tapi dengan bukti koherensi proposisi logis dan 


mental. Oleh karena itu, teori kebenaran matematika yaitu  teori 


koherensi bukan korespondensi sehingga ia dapat dikatakan 


ilmiah.111


Perkembangan sains yang luar biasa menghasilkann 


kebenaran ilmiah yang bebas nilai. Sains memberi  kebenaran 


tapi tidak tahu bagaimana memakai  kebenaran ini  


dengan bijak. Sains yaitu  kebenaran tanpa kebijaksanaan dan 


nilai. Pada saat inilah agama tampil. Manusia pada dasarnya 


berupaya mencari dan menuntut makna, nilai, dan perhatian yang 


tidak dapat diberikan oleh sains. Agama dapat memenuhi harapan 


dan tuntutan manusia ini .


Kegagalan upaya integrasi sains dan agama selama ini 


karena sains empiris menolak semua dimensi interior berdasarkan 


dua alasan utama. Pertama, adanya anggapan bahwa semua jenis 


pengetahuan yang masuk pada ranah interior seperti transendental, 


mistik dan lain sebagainya tidak ada yang riil dan tidak dapat 


dijelaskan serta direduksi oleh pengetahuan objektif (sains) yang 


bersifat atomistik atau holistik. Kedua, validasi hanya dapat 


dilakukan oleh sains empiris, sedangkan jenis pengetahuan lain 


tidak dapat divalidasi karena bersifat subjektif, personal, dan 


emosional. Kedua alasan ini  bagi Wilber yaitu  salah dan 


tidak dapat diverifikasi. Keduanya menjadi penghalang yang besar 


untuk integrasi sains dan agama.11 


Menurut Fehige, salah seorang figur sentral dalam filsafat


analitik yaitu Hillary Putnam berupaya mengembangkan sebuah 


rekonsiliasi sains dan agama dengan cara menghilangkan dimensi 


metafisik dari agama. Pandangan Putnam yang bersifat 


kontradiktif ini  yaitu  sebagai upayanya menghindari apa yang disebut Fehige dengan metafisika analitik dan saintistik 


(analytic and scientistic metaphysics).11 


Menurut Wilber, eksistensi empat kuadran dapat 


dibuktikan dengan banyak data baik itu empiris, fenomenologis, 


lintas budaya, maupun kontemplatif. Oleh karena itu, pada 


dasarnya penolakan sains empiris terhadap validitas dan semua 


bentuk pengetahuan ranah interior yaitu  penolakan terhadap 


dirinya sendiri. Metode ilmiah pada dasarnya secara umum terdiri 


dari tiga bentuk dasar pengetahuan yaitu perintah, pencerapan, 


dan pembenaran atau penolakan. jika  ranah pengetahuan 


interior juga dapat memberi  tiga bentuk dasar cara 


memperoleh pengetahuan ini , maka tentu saja alasan 


penolakan validitas pengetahuan interior terbantahkan dengan 


sendirinya.11 


Struktur ranah interior mencakup tidak hanya latar 


belakang konteks kultural yang mendalam, struktur linguistik 


intersubjektif, konsensus norma dan etika, tapi juga analisis data 


objektif yang memakai  logika, statitika, dan matematika. 


Semua struktur ini  tidak dapat ditemukan dalam ranah 


pengetahuan eksterior, empiris dan sensoris. Oleh karena itu, 


pengetahuan interior, subjektif dan intersubjektif, dan ranah sisi 


kiri tidak dapat direduksi ke dalam ranah eksterior dan empiris.11 


Sains empiris pada dasarnya tergantung dengan ranah 


interior seperti subjektitas dan intersubjektifitas. Ranah interior


tidak dapat diakses dengan metode monologis, objektif dan 


sensoris sehingga sains empiris menolaknya secara keseluruhan11 


Menurut Wilber, hanya sedikit filsuf sains dan saintis yang 


mempercayai ranah interior dapat direduksi kepada objek-objek 


inderawi. Bagi saintis yang memakai  matematika telah 


mengetahui bahwa realitas tidak hanya objek inderawi. Pandangan 


empirisme klasik, positivisme, behaviourisme, modernitas dan 


saintisme yang mereduksi ranah interior ke ranah eksterior, objektanpa subjek, permukaan tanpa kedalaman, kuantitas tanpa 


kualitas, peradaban tanpa nilai telah dibantah oleh banyak saintis 


dan filsuf dewasa ini.11  Sains dalam pengertian yang paling luas 


yaitu  tidak hanya dibatasi terkait dengan pengalaman inderawi, 


tapi juga terkait dengan pengalaman mental dan pengalaman 


spiritual.


11 


Wilber membagi empirisme yang terkait dengan 


pengalaman menjadi dua bentuk yaitu empirisme dalam 


pengertian yang sangat luas dan empirisme dalam pengertian 


sangat sempit. Empirisme sangat luas meliputi semua jenis 


pengalaman yaitu pengalaman inderawi, pengalaman mental, dan 


pengalaman spiritual. Pengalaman inderawi mengunakan bukti 


berdasarkan sudut pandang badani (the eye of flesh), pengalaman 


mental memakai  bukti berdasarkan sudut pandang pikiran 


(the eye of mind) dan pengalaman spiritual memakai  bukti 


beradasarkan sudut pandang kontemplasi (the eye of 


contemplation). Berbeda dengan empirisme sangat luas, 


empirisme sangat sempit hanya mengakui kebenaran berdasarkan 


pengalaman inderawi saja. Oleh karena itulah, makna ganda 


empirisme ini berdampak terhadap kebingungan yang luas 


terhadap persoalan apakah metode ilmiah harus empiris atau tidak 


terkait dengan bukti dan pengalaman. Pengalaman inderawi 


yaitu  salah satu dari sekian banyak jenis pengalaman. 


Matematika yaitu  salah satu contoh yang memakai  bukan 


pengalaman inderawi (the eye of flesh) melainkan memakai  


sudut pandang pikiran (the eye of mind) dan masih dipandang 


ilmiah.11 


Ketiga tingkatan sains ini  tentu saja bersifat hirarkis. 


Tingkatan yang lebih rendah tidak dapat membuktikan tingkatan 


yang lebih tinggi. Sains konvensional yang didasarkan pada 


pengalaman inderawi tidak dapat membuktikan sains yang 


berdasarkan pengelaman mental. Sains yang berdasarkan 


pengalaman mental tidak dapat membuktikan sains yang 


berdasarkan pengalaman spiritual.1  


Wilber mengkritik dengan keras bahwa sains hanya terkait 


dengan hal-hal yang bersifat materi semata, padahal hidup manusia tidak hanya terbatas materi dan fisik saja melainkan 


ada  unsur-unsur lain yaitu pikiran, jiwa, dan roh. Wilber telah 


menghabiskan masa hidupnya untuk mendalami sains yang pada 


dasarnya tidak salah namun sains secara brutal telah membatasi 


dan mempersempit ruang lingkup kehidupan. Oleh karena itu, bagi 


Wilber, ia tidak ingin hanya memahami materi dan tubuh saja, 


namun lebih yang lebih penting ia ingin memahami pikiran, jiwa 


dan roh secara lebih komprehensif.1 1


Bagi Wilber, pembahasan tentang sains dan agama dan 


segala sesuatu yang terkait dengan agama mesti dipahami terlebih 


dahulu makna agama itu sendiri. Ia membedakan antara agama 


eksoteris dan esoteris. Agama eksoteris cenderung bersifat formal 


dan memiliki seperangkat aturan yang harus dilaksanakan serta 


dipahami secara hitam putih, salah benar dan bersifat dogmatis. 


Pada sisi lain, agama esoteris berbeda dengan agama eksoteris. 


Agama esoteris lebih menekankan pada pemahaman dan 


pengamalan yang bersifat batiniah dan spiritual. Konsep agama 


esoteris ini mengakui hal-hal yang bersifat universal dan berbagai 


persamaan dalam pengalaman spiritual.1   Agama eksoterik dalam 


filsafat perennial yaitu  bentuk-bentuk eksternal agama yang 


dikaitkan dengan kekuatan symbol yang besar.1  


 Untuk lebih mudah memahami dan mengembangkan sifat 


paradigma komprehensif baru menurut Wilber yaitu  dengan cara 


terlebih dahulu mengkaji dan memahami sifat dan makna sains 


empiris, pengetahuan filosofis, dan esensi pengetahuan spiritual


transendental serta hubungan ketiganya.1   Dengan kata lain, 


paradigma komprehensif yaitu  secara ideal sintesis atau integrasi


rasionalisme, empirisme, dan transendentalisme.1  


Bagi Wilber, untuk menghidari saintisme dan empirisme 


ekslusif yaitu  dengan cara perlunya dibangun kesadaran dan 


konsep bahwa pengetahuan empiris bukanlah satu-satunya bentuk 


pengetahuan, melainkan ada pengetahuan bentuk lain saintisme 


yaitu pengetahuan mental-rasional dan pengetahuan spiritual-

kontemplatif.1   Saintisme yaitu  sebuah tragedi besar karena 


berpandangan bahwa makna tidak tidak ada disebabkan sains


tidak dapat mengukur dan membuktikannya.1  


Wilber mendukung Firjouft Schoun dan Huston Smith 


serta pemikir lainnya bahwa konsep dan pemikiran saintisme 


secara fundamental tidak benar. Makna, nilai, tujuan, dan kualitas 


harus ada  dalam sains.1   Saintisme tidak hanya berdampak 


negatif terhadap agama, tapi juga terhadap sains itu sendiri karena 


saitisme ini  merupakan pandangan yang salah terhadap sains 


dan masa depan sains.1  


Ketika fakta empiris, logika, dan wahyu sama-sama 


dijadikan sebagai sebagai satu-satunya kebenaran, maka akan 


menyebabkan terjadinya dua hal. Filsafat masuk dan 


menghacurkan sisi rasional dari agama, sains masuk dan 


menghancurkan sisi empiris dari agama. Teologi di Barat sangat 


terikat dan terpengaruh dengan rasionalisme dan fakta-fakta 


empiris serta sangat lemah dalam spiritualitas. Oleh karena itu, 


ketika sisi spiritualitas dan kontemplatif Barat diserang oleh 


filsafat dan sains, maka spiritualiitas (agama) di Barat menjadi 


pudar, dan hanya filsafat dan sains yang tetap eksis.1  


Menurut Wilber, fisika modern sejauh ini telah dipahami 


dan digunakan oleh banyak kalangan baik untuk menguatkan 


maupun membantah prinsip-prinsip metafisika, spiritualitas, dan 


agama. Dengan kata lain, fisika modern ibarat pisau bermata dua 


yang dapat digunakan untuk membuktikan atau membantah segala 


bentuk yang di luar benda fisik (forms beyond physics). Fisika 


Newton membuktikan kemestian mutlak adanya Sang Pencipta 


(Devine Creator). Sementara itu, teori Relativitas dipahami secara 


berbeda oleh tokoh agama Kristen. Cardinal O. Connell 


berpendapat bahwa teori ini  menimbulkan keraguan terhadap 


Tuhan dan ciptaan-Nya, sementara Rabbi Goldstein menganggap 


teori ini  bentuk ilmiah dari monoteisme.1 Wilber berpendapat bahwa sains tidak mesti dipahami 


terkait dengan empirisme sempit yang memandang bahwa metode 


ilmiah itu harus empiris sesuai dengan pengalaman inderawi. 


Logika, matematika, psikologi, sejarah, antropologi, sosiologi dan 


lainnya yaitu  sains dalam pengertian empirisme yang luas. Bagi 


Wilber, sains dapat berdasarkan pengalaman inderawi, 


pengalaman mental, dan pengalaman spiritual yang disebutnya 


dengan sains monologis, sains dialogis, dan sains translogis.1  


Dalam konteks metode ilmiah, Wilber mengakui tiga 


langkah dari kebenaran semua pengetahuan (three strands of all 


valid knowing) yaitu perintah instrumental (instrumental 


injunction), penangkapan langsung (direct apprehension), dan 


konfirmasi atau penolakan umum (communal confirmation/


rejection). Langkah yang pertama yaitu  berupa praktek aktual 


berupa contoh, paradigma, percobaan, dan aturan seperti jika ingin 


melihat bintang dan planet, gunakan teleskop. Langkah kedua 


yaitu  berupa pengalaman langsung dan tiba-tiba dalam 


memperoleh data. Langkah ketiga yaitu  pengujian hasil berupa 


data dan bukti dengan cara lain sebagai penyempurna kedua model 


sebelumnya.1  


Tiga langkah validitas pengetahuan ini  sejalan 


dengan tiga aliran besar filsafat sains dewasa ini yaitu empirisme, 


Thomas Kuhn, dan Karl Popper. Pengetahuan yang sah yaitu  


yang didasarkan pada pengalaman inderawi bagi empirisme, 


paradigma bagi Thomas Kuhn, dan falsifikasi menurut Karl 


Popper. Ketiga aliran filsafat sains ini  cenderung terjebak 


pada data empiris atau data yang didasarkan pada pengalaman 


inderawi. Bagi Wilber, secara ideal, ketiga aliran ini  


mestinya tidak mereduksi bahwa validitas pengetahuan hanya 


dalam ranah sains empiris dalam pengertian sempit (inderawi) tapi 


harus diperluas ke empirisme dalam pengertian sangat luas yang 


meliputi pengalaman inderawi, mental, dan spiritual.


1  


Konsep filsafat sains sangat menentukan analisis relasi 


sains dan agama apakah sains dan agama sebagai patner atau 


pesaing. Konflik sains dan agama cenderung didasarkan pada 


pandangan filsafat sains yang problematik, dan hal ini  


banyak ditolak oleh pemikiran kontemporerIntegrasi sains dan agama dapat diwujudkan tanpa 


merusak sains dan agama dengan melalui dua langkah. Pertama, 


sains harus memperluas cakupannya dalam konteks empirisme 


yang sangat luas yang tidak hanya mengakui pengalaman langsung 


dari inderawi tapi juga pengalaman mental dan spiritual. Kedua, 


agama harus membuka klaim-klaim kebenarannya ke arah 


verifikasi langsung ataupun penolakan berdasarkan bukti yang 


diperoleh dari pengalaman. Ia harus mengikutsertakan tiga 


langkah validitas pengetahuan seperti pada sains.1  


Agama menurut Wilber memiliki berbagai definisi dan 


makna. Terminologi diaplikasikan dalam berbagai hal meliputi 


kepercayaan, pengalaman mistik, mitologi, fondasionalisme serta 


keyakinan. Terlepas dari itu, para ahli cenderung membedakan 


konten agama dan fungsi agama.1  Ajaran agama yang bersifat 


mitologis cenderung dogmatis yang berasal dari kebenaran literal


tanpa diperkuat dengan bukti yang kuat. Dogma agama biasanya 


tidak dapat dibenarkan dengan memakai  tiga model validitas 


pengetahuan. Modernitas pada dasarnya menolak segala bentuk 


dogma agama dan kebenaran literal seperti mujizat. Oleh karena 


itu, jika agama ingin tetap bertahan dalam era modern, maka ia 


harus menghilangkan klaim-klaim kebenaran yang bersifat 


dogmatis dan literal ini  seiring dengan sains dalam 


pengertian sempit menghilangkan imperialisme reduksionistik.1  


Rasionalisasi sebagai karakter utama modernitas telah 


menggantikan prinsip dan kekuatan agama dengan hal-hal yang 


bersifat teknis dan kuantitatif. Situasi ini  telah menggiring 


agama mereduksi nilai-nilai kebenaran yang dipandang tidak 


cocok dengan karakter positivistik, rasional dan sistimatis dari 


sains modern.1  Bagi Wilber, spiritualitas yang otentik bukanlah 


yang bersifat mitos, imajinal, mitologis, ataupun mitopotik, 


melainkan mesti didasarkan atas bukti yang dapat difalsifikasi. 


Spiritualitas ini  bersifat transendental, meditatif, 


kontemplatif. Ia yaitu  berupa kesadaran transendetal,transpersonal, transmental, dan transensual. Dengan kata lain, 


spiritualitas otentik didasarkan atas pengalaman spiritual langsung 


dan mesti sesuai dengan tiga model validitas pengetahuan yaitu 


perintah (injunction), pencerapan (apprehension), dan konfirmasi


(confirmation), atau contoh, data, dan falsifikasi.1  


Kontemplasi yaitu  kekuatan unik yang menjadi dasar 


bagi agama pada masa modern dan posmodern. Untuk melihat dan 


memahami agama yang jauh dari mitos perlu agama dikaji dan 


ditelusuri berdasarkan konsep dan pemikiran pendirinya, bukan 


dengan melihat penganutnya secara umum. Para pendiri agama 


umumnya memiliki rangkaian pengalaman spiritual yang luar 


biasa. jika  ranah kontemplasi agama hilang, maka agama 


hanya sebatas ranah pemikiran yang menjadi ciri khas filsafat, dan 


ranah empiris yang menjadi ciri khas sains. Wilber menilai bahwa 


kontemplasi menjadi ciri khas dan kekuatan dari saintifik


pengalaman spiritual. Oleh karena itu, sains yang menjauhkan 


empirisme sempit dan agama yang membuang mitos akan 


menjadikan sains dan agama seperti saudara kembar dan bukan 


musuh. Dengan kata lain, integrasi sains dan agama yaitu  


integrasi antara sains yang ril dengan agama yang ril.1 1


Wilber meyakini bahwa praktek-praktek kehidupan 


spiritual dan kontemplatif yaitu  bentuk dari sains yang 


berdasarkan pengalaman spiritual. Praktek-praktek kehidupan 


spiritual ini  antara lain Zen Budha, Vedanta, kontemplasi 


Kristen, meditasi Taoisme, Neo Konfusionisme, dan sufisme. 


Wilber secara khusus mendalami dan mengaplikasikan praktek 


spiritualitas Zen dalam agama Budha. Untuk mengetahui 


eksistensi Spirit secara jelas mesti memakai  pendekatan dan 


pengalaman spiritual yang bersifat kontemplatif sebagaimana 


untuk mengetahui eksistensi batu dengan pengetahuan inderawi 


dan geometri dengan pengetahuan akal.1   Pandangan ini  


jelas menunjukkan bahwa pengalaman tidak hanya pengalaman 


inderawi saja, tapi juga termasuk pengalaman mental dan 


pengalaman rohani/spiritual.


Menurut Wilber, apa yang telah dilakukan Kant yang 


berupaya untuk memaksakan akal (the eye of mind) mengetahui 


dan memahami metafisika menyebabkan metafisika itu sendiri 


runtuh. Hal itu disebabkan memang metafisika tidak dapat diketahui dengan pikiran melainkan hanya dengan kontemplasi 


(the eye of contemplation). Bagi Wilber, pengalaman inderawi, 


akal murni, akal praktis ataupun kombinasi dari semuanya tidak 


dapat mengetahui Tuhan dengan tepat. Oleh karena itu, 


pengalaman inderawi dengan empirisme, pengalaman mental 


dengan rasionalisme harus dilengkapi dengan pengalaman spiritual 


dengan empirisme. Dengan kontemplasi, manusia dapat 


mengetahui Tuhan sebagaimana Tuhan mengetahui manusia.1  


Empirisme dan sains sama-sama memiliki makna sempit 


dan luas. Empirisme sempit sejalan dengan sains sempit. 


Keduanya hanya mengakui peagalaman inderawi sebagai sumber 


pengetahuan dan dasar metode ilmiah. Pada sisi lain, empirisme 


dan sains dalam makna luas sama-sama mengakui tiga jenis 


pengalaman yaitu pengalaman inderawi, mental, dan spiritual atau 


semua pengalaman langsung, bukti, dan data.1   Pandangan ini 


jelas bertolak belakang dengan aliran empirisme yang hanya 


mengakui secara epistemologis bahwa sumber pengetahuan yang 


dapat diterima yaitu  yang diperoleh melalui pengalaman 


inderawi.


Wilber berpandangan bahwa ranah interior pada dasarnya 


dapat diterima oleh sains dalam pengertian luas (broad science) 


atau sains dengan makna dalam (deep science) bukan sains dalam 


pengertian sempit (narrow science). Semua ranah interior dapat 


ditelusuri, diteliti, dilaporkan, diterima atau ditolak dengan 


memakai  tiga jenis pengetahuan yang benar. Dengan kata 


lain, empat kuadran dalam konsep Wilber sesuai dengan sains 


dalam makna luas ini . Tiga aspek besar yaitu seni, sains dan 


moral dapat dibawa bersama dengan memakai  metodologi 


empirisme dan sains yang dalam (deep empiricism and science). 1  


Integrasi dan penyatuan empat kuadran atau tiga 


komponen besar yang sesungguhnya dibantu oleh sains mendalam 


(deep science) seperti cara kerja seperti pengalaman mistis dengan 


geologi, aspirasi moral dan praktis dengan biologi, keunggulan 


hermeneutik sama halnya dengan keunggulan fisika. Semua ranah 


sains ini  tidak harus direduksi, dipaksa dengan paradigm 


baru, ataupun dirubah agar sesuai dengan skema integrasi. Setiap 


ranah keilmuan memiliki keunggulan, logika, konsep, struktur, 


dan konten tersendiri. Kekhasan mereka diintegrasikan melalui bukti dan pengalaman langsung dalam empirisme mendalam (deep 


empiricism) yang menjadi landasan semua jenis pengalaman dan 


tuntutan verifikasi. Integrasi seperti itulah yang dapat 


memberi  harapan kesatuan dalam keragaman (unity-in￾diversity) semua kuadran dan komponen besar keilmuan dan 


kehidupan manusia.1  


Tiga model pengetahuan dari sains mendalam (three 


strands of deep science) jika  digunakan pada kuadran kanan 


atas (Upper-Right Quadrant) akan menghasilkan sains ranah 


eksterior individu seperti fisika, kimia, geologi, biologi, neorologi, 


kedokteran, dan sebagainya. Pada sisi lain, jika  model ini  


digunakan untuk kuadran kanan bawah (Lower-Right Quadrant) 


akan menghasilkan sains eksterior komunal seperti ekologi, teori


sistem, sosiologi dan sebagainya. Sementara bila model ini  


diterapkan pada kuadran kiri atas (Upper-Left quadrant) akan 


menghasilkan pengetahuan interior individu seperti matematika, 


psikologi introspektif dan psikologi yang mendalam, seni, 


estetika, dan sebagainya. Bila digunakan untuk kuadran kiri 


bawah (Lower-Left Quadrant) melahirkan pandangan interior 


komunal yang mempunyai intersubjektif makna seperti ilmu 


budaya. Oleh karena itu, tiga model pengetahuan sains mendalam 


pada dasarnya menghasilkan paradigma dan model sains yang 


beragam bila diterapkan pada kuadran yang berbeda. Untuk 


kuadran ranah interior akan menghasilkan keilmuan yang bersifat 


interpretatif, hermeneutik, dan kesadaran, sedangkan bagi kuadran 


eksterior menghasilkan keilmuan yang bersifat monologis, empiris


dan positivistik serta memiliki bentuk. Suatu hal yang sangat 


menarik yaitu  bahwa model pengetahuan dalam sains mendalam 


yang diaplikasikan pada ranah kuadran yang berbeda 


menghasilkan jenis kebenaran (type of truth) yang berbeda pula 


yaitu kebenaran objektif, kebenaran subjektif, kebenaran 


interobjektif, dan kebenaran intersubjektif. Semua jenis kebenaran 


ini  sama-sama dapat diandalkan.1  


Ranah spiritual yang didasarkan oleh metode tiga validitas 


pengetahuan sains mendalam (deep science) menghasilkan 


beragam tradisi yang bersifat meditatif dan kontemplatif sebagai 


kerangka dasar yang lebih tinggi dari tingkat spiritual manusia. 


Jenis pengalaman spiritual langsung ini  yaitu  mistisisme 


alam (natural mysticism), mistisime ketuhanan (deity mysticism), mistisisme tanpa bentuk (formless mysticism), dan mistisisme 


tunggal (nondual mysticism).1  


Agama dan berbagai keyakinan mistis lainnya sebelum 


modernitas (The Great Chain of Being) yang merupakan bagian 


dari kuadran kiri atas (upper-left quadrant) menganggap dirinya 


meliputi seluruh realitas, padahal berdasarkan analisis sains 


mendalam, ia hanya mencakup seperempat dari seluruh realitas 


atau kosmos yaitu dimensi interior individu. Oleh karena itulah, ia 


tidak dapat bertahan lama pada masa modernitas yang begitu 


beragam. Masing-masing kuadran yang lain seperti fisika pada 


kuadran kiri bawah menyerangnya. Oleh karena inti agama


sebelum modern yaitu  Rantai Besar (the Great Chain) sebagai 


salah satu kuadran dari empat kuadran, maka untuk 


mengintegrasikan agama dan sains yaitu  dengan cara menelusuri 


integrasi antara agama dengan keempat kuadran ini . Bagi 


Wilber, integrasi ini  sangat mungkin karena ada  data 


yang begitu banyak dari sains spiritual tradisional (agama) yang 


dapat dihubungkan dan diintegrasikan dengan berbagai sains 


modern objektif (fisika, biologi, kimia), sains kultural 


(hermeneutik dan semiotika), dan sains sosial (sosiologi dan 


ekologi). Semua kuadran saling berhubungan dan saling 


ketergantungan sehingga agama tidak dapat berada tanpa mereka. 


Upaya integrasi agama pra modern dan sains modern hanya dapat 


diwujudkan dengan mengakui, menghargai, dan menerima semua 


kuadran.1   Rantai Besar Wujud (Great Chain of Being) ini  


bergerak dari hal yang bersifat materi sampai kepada non materi 


(spirit). Dengan kata lain, pergerakan dan perubahannya dimulai 


dari yang terendah (materi dan badan) menuju kepada yang paling 


tertinggi (jiwa dan kemutlakan).1  


Wilber mengungkapkan bahwa pandangan umum 


menganggap modernitas yang diawali dengan revolusi ilmiah dan 


disempurnakan oleh pencerahan (enlightenment) menolak 


sepenuhnya spiritualitas, ketuhanan, sakralitas alam, makna dan 


nilai. Pandangan demikian umumnya dikembangkan oleh ekolog, 


ekofeminisme, neo paganisme, teosofis, dan para pemikir teori￾teori paradigma baru. Bagi Wilber, penolakan modernitas terhadap 


spiritualitas harus dibedakan antara pandangan tentang adanya 


keutamaan modernitas dan bencana modernitas. Esensikebangkitan modernitas di Barat yaitu  adanya pembedaan 


(differentiation) tiga ranah kebudayaan yaitu seni, moral dan 


sains, sedangkan bencana modernitas yaitu  akibat dari 


pemisahan (dissociation) ketiga ranah ini . Pembedaan ketiga 


ranah ini  justru memberi  poin penting bagi 


perkembangan kebudayaan manusia. Bencana modernitas 


diperparah lagi dengan berkembangnya empirisme sempit yang 


hanya mengakui pengalaman iderawi sebagai satu-satunya sumber 


pengetahuan dan landasan sains. Pembedaan tiga ranah yang telah 


dikembangkan modernitas tidak dapat ditarik kembali, sedangkan 


pemisahan tiga ranah yang menjadi bencana modernitas dapat 


diatasi dengan melakukan integrasi ketiga ranah atau empat 


kuadran. Oleh karena itu, bagi Wilber, integrasi antara agama dan 


sains yaitu  upaya menyatukan dan mengakui eksistensi tiga 


ranah budaya ini  atau empat kuadran atau dengan kata lain 


mengintegrasikan spiritualitas dengan keutamaan modernitas. 


Esensi agama pra modern yaitu  the Great Chain, sedangkan 


esensi modernitas yaitu  pembedaan ranah budaya, maka integrasi 


agama dan sains yaitu  integrasi kedua esensi ini .1 1


Integrasi sains dan agama tidak berupaya mereduksi 


agama yang bersifat translogis menjadi paradigma monologis 


baru. Upaya yang harus dilakukan yaitu  dengan menemukan inti 


(core) dari semua tradisi keagamaan meliputi monologis, dialogis, 


dan translogis dan mensinergikannya dengan nilai-nilai 


modernitas yang meliputi seni, moral, dan sains.1   Pandangan 


ini  tentu saja dalam beberapa hal memang merupakan 


representasi dari pandangan posmodernisme.


Kajian masalah ranah atau domain sains termasuk aspek 


ontologi dalam filsafat sains. Oleh karena itu yang menjadi 


pertanyaan yaitu  apa saja yang menjadi ranah atau objek sains. 


Dalam aspek ontologi, Wilber lebih cenderung memakai  


ontologi dasar filsafat perenial. Ontologi ia gambarkan sebagai 


‚Great Chain of Being‛ atau ‚Rantai Besar Wujud.‛ Dalam rantai 


ini  ia menggambarkan posisi beberapa wujud yaitu materi, 


hidup, jiwa, soul, dan spirit. Lebih jauh ia menjelaskan, materi 


yaitu  objek fisika, hidup yaitu  objek biologi, jiwa yaitu  objek 


psikologi, soul yaitu  objek teologi, dan spirit yaitu  objek mistisisme.1   Ia membagi objek ontologi menjadi lima tingkat. 


Tingkat pertama yaitu  materi-fisika, kedua yaitu  hidup-biologi, 


ketiga yaitu  jiwa-psikologi, keempat yaitu  soul-teologi, dan 


kelima yaitu  spirit-mistisisme. Tingkat yang lebih tinggi 


memiliki fungsi, kapasitas dan struktur yang tidak dapat 


ditemukan pada tingkat di bawahnya seperti jiwa memiliki hidup 


dan materi, sedangkan materi tidak memiliki jiwa dan hidup, 


demikian seterusnya.1   Masing-masing tingkat mengalami 


transendensi. Transendensi suatu tingkat meliputi tingkat yang 


lebih rendah. Hidup mengalami transendensi termasuk dengan 


materi, jiwa mengalami transendensi termasuk dengan hidup, soul


bertransendensi meliputi jiwa, dan spirit bertransendensi meliputi 


soul.


1  


Spirit yaitu  tingkat yang tertinggi sebagai Wujud 


meliputi semua wujud. Spirit bersifat transenden sekaligus 


immanen. Agama menyebutnya spirit sebagai wujud mutlak dan 


tertinggi dengan Tuhan. Paham filsafat seperti ini disebut dengan 


pantheisme. Dalam konteks ini, sains dan agama tidak hanya 


sesuai tapi juga lebih dari itu sains yaitu  bagian dari agama. 


Semakin banyak manusia mengetahui tentang segala sesuatu 


(sains), maka semakin banyak mengetahui Tuhan seperti dalam 


konsep ketuhanan Spinoza.1  


Untuk mengatasi persoalan paradoks dan membedakan 


konteks transenden dan imanen, Wilber membedakan penulisan 


spirit dengan hurup kecil dan kapital. Spirit yang diawali dengan 


hurup kecil menggambarkan aspek trasendental. Setiap tingkatan 


bertransendensi meliputi tingkatan di bawahnya. Jika tingkat yang 


dimaksud dengan sains maka ia berlaku untuk sains itu sendiri. 


Dengan kata lain hal itu berarti objek fisika yaitu  materi, objek 


biologi yaitu  makhluk hidup, objek psikologi yaitu  jiwa, objek 


teologi yaitu  soul, dan objek mistisisme yaitu  spirit. Penulisan 


Spirit dengan huruf kapital bermakna Spirit dalam aspek 


immanen. Spirit yaitu  tingkat atau Wujud tertinggi dan tidak ada 


yang melampauinya.Persoalan apakah sains mental dan spiritual dengan sains 


fisik memiliki kesamaan metode. Wilber menjelaskan jika 


berdasarkan kriteria metodologi yang utama, maka sains 


mental/spiritual dan sains fisik memiiki kesamaan yaitu 


berdasarkan pengalaman langsung. Sebaliknya, jika dilhat 


berdasarkan ranah keilmuan, maka keduanya memiliki perbedaan 


karakteristik dalam penerapan metode keilmuannya. Sains fisik 


mempunyai satu karakteristik utama yaitu keluasan ruang-waktu 


dengan memakai  ukuran yang tepat. Sementara untuk sains 


psikologis-mental dan spritual, ukuran kuantitatif bukan yang 


utama dan hanya diterapkan pada hal-hal tertentu saja. Hal yang 


paling penting bagi sains jenis ini yaitu  pencarian makna dengan 


memakai  salah satunya lingkaran hermenutik. Dengan kata 


lain, sains mental-psikolgis-spiritual dengan sains-fisik-biologis 


yaitu  satu dalam keberagaman (unity in diversity) yaitu satu 


dalam kriteria metodologis atau pengetahuan itu sendiri, dan 


beragam dalam objek dan penerapan tertentu.1  


Dalam melakukan analisis dan pandangan terhadap relasi 


sains dan agama harus didasarkan oleh dua sikap yaitu kritis 


terhadap sains dan kritis terhadap agama.1   Sikap ini  sangat 


penting bagi setiap pemikir, pemuka, agama, maupun ilmuwan. 


Hal ini  dimaksudkan agar terhindar dari kesalahpahaman 


atau bahkan pengaburan makna sains maupun agama itu sendiri. 


Sementara setiap pembicaraan tentang relasi sains dan agama 


cenderung mengaburkan kompleksitas dan pluralitas yang 


sebenarnya dari kedua terma penting ini .1   Agama dan sains 


ditinjau dari sudut pandang apapun memang memiliki 


keberagaman makna. 


Perkembangan sains modern yang luar biasa menghasilkan 


kebenaran ilmiah yang bebas nilai. Sains memberi  kebenaran 


tapi tidak memberi  bagaimana cara memakai  sains 


ini  dengan bijak. Kebenaran sains tanpa kebijaksanaan, nilai 


dan kelayakan. Sementara agama menyediakan makna, nilai, 


perhatian, dan kedalaman yang semua itu dibutuhkan manusiaRekonsiliasi sains dan agama yang pada akhirnya integrasi 


keduanya yaitu  suatu upaya yang tidak mudah. Untuk 


merumuskan integrasi sains dan agama harus ditemukan terlebih 


dahulu inti kesamaan semua agama. Jika tidak, intergrasi sains 


dan agama yang dimaksudkan tidak akan tercapai melainkan 


hanya integrasi sains dan agama tertentu saja atau bahkan 


integrasi sains dengan versi sempit dari suatu agama.1  


Sains mengembangkan pengalaman yang bersifat rasional 


dan analitik terhadap dunia, sedangkan agama mempraktekan 


pengalaman yang bersifat sintetik dan kesadaran tentang dunia. 


Pengalaman keagamaan secara individu berupaya mencapai 


‚Pengalaman Kesatuan Tak Terbatas Waktu‛ (Timeless 


Experience of Oneness). Pemahaman dan pencapaian kepada 


Oneness, bagi agama disebut dengan Tuhan, membuat manusia 


memahami dunia ini sebagai suatu kesatuan sehingga manusia 


akan memelihara kedamaian dan keseimbangan kehidupan di 


dunia ini. Proses ini  memiliki peran yang menentukan bagi 


terwujudnya integrasi sains dan agama. Integrasi sains dan agama 


yaitu  upaya untuk mengatasi perbedaan pengetahuan teoretis 


(science) dan pengalaman praktis tentang Yang Tak Terbatas.1  


Pada bagian lain, Wilber menyebut bahwa kesatuan sains 


dan agama yaitu  kesatuan antara evolusi dan involusi. Evolusi 


yang dipahami Wilber yaitu  manusia merupakan makhluk hidup 


yang lebih dari kera sebagai hewan yang lebih dahulu ada di bumi 


sebelum manusia. Evolusi tidak dipahami sebagai manusia berasal 


dari kera. Konsep evolusi ini merupakan ranah sains. Pada sisi 


lain, agama cenderung memahami manusia secara involusi. 


Manusia yang diciptakan dan menghuni surga sebelumnya dengan 


segala kesempurnaannya, kemudian diturunkan ke bumi karena 


adanya kesalahan. Dalam konteks ini, manusia mengalami 


kemunduran dibandingkan dengan keadaannya di surga. Inilah 


yang dinamakan dengan involusi.1  


Dengan merujuk pemikiran Huston Smith, Ananda 


Coomaraswamy, Rene Guenon, Frijof Schuon, Nicholas Berdyaev, 


Michael Murphy, Roger Walsh, Sayyid Hossein Nasr, dan Lex Nihon, Wilber berkesimpulan bahwa titik temu dan inti 


pandangan dunia agama-agama sebelum modern dapat ditemukan 


yang disebutnya dengan konsep Rantai Besar Wujud (The Great 


Chain of Being).1  


Rantai Besar Wujud ini  hampir seluruhnya lenyap 


seiring dengan munculnya modernitas di Barat. Modernitas 


dibangun atas dasar epistemologi Newtonian-Cartesian, dominasi 


patriarki, kapitalisme, dan nilai-nilai kehidupan yang cenderung 


anti-Tuhan. Oleh karena itu, integrasi sains modern dan agama


pramodern harus menyatukan kembali berbagai pandangan dunia 


modernitas ini  di atas dengan nilai-nilai utama agama-agama 


yang ada pada Rantai Besar Wujud (the Great Chain of Being). 1  


Modernitas pada dasarnya berkembang akibat adanya 


renaisans mulai akhir abad ke-1 , reformasi Protestan pada abad 


ke-1 , dan adanya perkembangan sains serta pencerahan 


(enlightenment) pada abad ke-1  dan 1 .1   Wilber lebih jauh 


menguraikan makna modernitas. Modernitas dapat dipahami 


secara negatif maupun positif. Secara negatif, modernitas 


cenderung dikaitkan dengan ateisme, kapitalisme, komodifikasi 


kehidupan, kuantifikasi, kehilangan makna dan nilai, fragmentasi 


dunia, materialisme vulgar, dan sebagainya. Di samping konotasi 


negatif ini , nilai-nilai positif dari modernitas yaitu  


demokrasi, kesetaraan, kebebasan, keadilan, penghilangan 


perbedaan ras, kelas, dan gender, kemajuan sains kealaman, 


penghapusan perbudakan, dan penghargaan terhadap hak azazi 


manusia.1   Di tengah perbedaan nilai-nilai modernitas, baik 


negatif maupun positif, pandangan dunia modernitas yang paling 


dominan dan banyak diakui oleh berbagai ahli yaitu  saintisme￾materialisme saintifik dan imperialisme saintifik.1  


Nilai-nilai modern terdiri dari kepercayaan pada sains, 


kemajuan, kebebasan dan hak-hak individu, keuntungan, dan 


individualisme. Berbeda dengan modern, posmodernisme 


mengandung nilai-nilai seperti pluralitas, egalitarianisme, 


kesetaraan radikal, feminisme, dan keberlangsungan serta pemeliharaan lingkungan.1   Modernitas berawal dari renaisans


dan berkembang pada masa pencerahan meliputi beberapa bidang 


yaitu filsafat, seni, sains, budaya, identitas personal, politik, dan 


teknologi. Dengan mengutip Will dan Ariel Durrant, modernitas


yaitu  abad akal dan revolusi. Setelah modernitas, posmodernitas 


memiliki beberapa makna yang luar biasa yang pada dasarnya 


menolak kebenaran mutlak dan reaksi serta serangan terhadap 


modernitas. Secara singkat, Wilber menyebut ‚dunia modern‛ 


yaitu  berbagai macam perkembangan terbaru terkait dengan pra 


modern, modern, dan posmodern.1 1


Menurut Wilber, para pemikir paradigma baru tidak dapat 


memahami nilai dan makna sebenarnya dari modernitas. Yang 


paling penting bagi mereka yaitu  menyerang dan mengganti 


modernitas yang dianggap sebagai paradigma lama dengan 


paradigma baru yang revolusioner. Wilber membagi pemikir 


paradigma baru ini menjadi tiga kelompok yaitu revivalis 


pramodern, pandemonium (kekacauan) posmodern, dan sistem 


global. Pertama, paradigma revivalis pramodern yaitu  


mempertahankan kebudayaan yang memiliki kesadaran yang 


menyatu yang berbeda dengan modernitas dengan kesadaran 


parsial. Pandangan dunia yang ingin dibangun kembali yaitu  


matrifokal, holistik, ketuhanan, dan jaringan kehidupan yang 


utuh/menyatu. Mereka menolak pandangan dunia yang bersifat 


patriarkat, fragmentasi (terpisah), analitik, dan jaringan kehidupan 


yang pecah. Kedua, paradigma posmodernis bersifat penolakan 


kebenaran mutlak, otoritas sains, dan segala makna modernitas. 


Pandangan ini bersifat dekonstruktif dan revolusioner. Ketiga, 


sistem global yaitu  penyerangan terhadap atomisme dan 


mengganti dengan sistem berfikir. Mereka menolak pandangan 


yang bersifat newtonian-cartesian yang bersifat atomistik analitik 


serta monologis. Ketiga pola ini  menurut Wilber memiliki 


kontradiksi yang bersifat performatif.1  


Menurut Wojciech J. Cynarski, paradigma sains pada abad 


ke-1  dan    tidak cocok lagi dengan perkembangan sains dan 


pemikiran manusia abad ke- 1. Oleh karena itu, perlu 


dikembangkan paradigma sains baru yang cocok untuk abad ke-  


ini. Paradigma sains yang baru ini  mesti bersifat humanistik, kultural, sistemik dan holistik. Pendekatan keilmuan yang 


mendukung paradigma ini  yaitu  sains interdispliner.1  


Munculnya modernitas dan runtuhnya Kerangka Besar 


Wujud (The Great Nest of Being) menjadikan sains dan agama


seperti tarian antagonis bahkan seperti perang yang menakutkan 


dan rumit.1  


Pluralisme epistemologi pada sikap yang ketiga yaitu  


salah satu upaya yang tidak cukup kuat untuk integrasi sains dan 


agama. Dalam tiga ranah sumber pengetahuan yaitu ranah panca 


indera/jasmaniah (the eye of flesh), ranah mental (the eye of 


mind), dan ranah spiritual (the eye of contemplation), sains berada 


dalam ranah jasmaniah. Oleh karena itulah, sains sulit untuk 


bekerja sama dengan agama karena secara epistemologi ranahnya 


berbeda dan sains berada pada tingkat yang terendah.1   Pola 


ini  jika dilihat berdasarkan dua pendekatan yaitu spiritualitas 


dan modernitas. Spiritualitas yang digambarkan dalam bentuk 


sebuah rantai besar (the Great Chain), sains menempati mulai dari 


posisi terendah sampai tertinggi yaitu sains inderawi, sains 


mental, dan sains spiritual. Spiritualitas tidak menyisihkan sains 


melainkan bersama-sama menemukan realitas dan hal ini 


menunjukkan kesesuaian antara sains dan agama.


1  


Paradigma sebagai salah satu interpretasi terhadap realitas


menjadi penentu perkembangan sains. Upaya integrasi sains dan 


agama pada pola paradigma posmodernisme ini yaitu  yang paling 


berpengaruh. Paradigma secara kultural dikonstruksi sehingga 


otoritas sains menjadi hilang. Terlepas dari itu semua, pada era 


mendatang diperlukan membangun sebuah paradigma baru yang 


sesuai dengan pandangan dunia holistik dan spiritual dan 


mendukung integrasi sains dan agama.1  


Sains menemukan kepastian dalam manifestasi kualitas 


dan kuantitas yang dapat direproduksi. Hal itu bukan berarti 


penganut agama tidak dapat menjadi saintis atau sebaliknya. Pada 


level paradigma, kedua ranah ini , sains dan agama, mennyempurnakan sebagai suatu ko eksistensi yang fantastis 


yaitu ‚bebas nilai‛ dan ‚sarat nilai‛. Keduanya tidak saling 


percaya dan mencoba secara agresif untuk menguasai dunia. 


Wilber berupaya secara utuh untuk mengharmonikan agama dan 


sains dengan cara menemukan kesesuaian dari kedua paradigma.1  


Menurut Wilber, buku Thomas Kuhn yang berjudul The 


Structure of Scientific Revolutions yaitu  buku yang paling 


berpengaruh, namun banyak orang salah memahami kesimpulan 


utama dari buku ini . Buku ini  banyak dirujuk dan 


dipakai dalam bidang filsafat sains dan hampir tidak berpengaruh 


terhadap bidang sejarah sains. Dengan mengutip Frederick Crews, 


kesalahpahaman yang paling dominan terhadap buku Kuhn yaitu  


tentang paradigma. Paradigma dipahami sebagai penentu dan 


pengatur sains, oleh karena itu jika seseorang tidak menyukai 


suatu paradigma sains, maka ia akan dengan mudah mengganti 


dan membangun paradigma baru. Hal ini merupakan bentuk dari 


narsisme terhadap sains. 


Pada dasarnya, krisis epistemologis dalam masalah 


ketuhanan dan hubungannya dengan sains modern tidak hanya 


terjadi pada Islam namun juga terjadi dalam tradisi Kristiani. 


Pemahaman immanensi dalam Kristen dipandang sebagai salah 


satu upaya mengatasi krisis epistemologis ini . Tuhan berbuat 


sesuai dan sejalan dengan hukum alam yang telah Dia ciptakan 


tanpa merusaknya. Perdebatan ini  boleh jadi juga terjadi 


dalam perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan 


sains modern.1  


Alexander J.B. Hampton salah satu poin penting 


pemikiran ketuhanan Spinoza yaitu  konsep tentang prinsip 


kemutlakan immanen. Konsep ini dapat menjadi solusi terhadap 


keretakan antara sains dan agama ataupun akal dan wahyu. 


Pengetahuan terhadap substansi Tuhan dapat diperoleh dari 


berbagai perspektif baik melalui meditasi filosofis terhadap Tuhan maupun kontemplasi ilmiah tentang alam. Konsep ketuhanan 


Spinoza ini disebut dengan monism. Tuhan tidak hanya diketahui 


dan dipahami secara supranatural, wahyu dan mujizat tapi juga 


melalui alam sebagai perwujudan Tuhan.1   Aliran realisme 


berpandangan bahwa yang real yaitu  wujud, sedangkan aliran idealisme


berpendapat bahwa yang real itu yaitu  esensi. Dengan kata lain, aliran 


pertama menganggap eksistensi yang lebih penting sementara aliran 


kedua menganggap esensi yang lebih penting. Kedua pandangan ini  


sulit untuk dipertemukan karena perbedangan pandangan ontologisnya.


Kesalahpahaman lain terhadap Kuhn yaitu  sains 


dianggap sewenang-wenang, relatif, konstruksi sosial, interpre￾tatif, kekuatan tersembunyi, dan non progresif. Menurut Wilber, 


Kuhn tidak menyetujui semua pandangan ini  tentang sains. 


Bahkan ia berupaya menentang pandangan ini . Akibat 


kesalahpahaman ini  telah mengakar, maka bukti dan 


kelebihan sains dapat terabaikan dengan satu-satunya cara 


membangun paradigma baru. Paradigma baru ini  yaitu  


antara lain neoastrologi, eko feminisme, ekologi, kuantum, filsafat 


proses, kesehatan holistik, psikoterapi quantum, psikologi neo￾Jungian, dan sebagainya. Sepanjang sejarah sains, sains ini  


memiliki ratusan paradigma dan secara garis besar memiliki dua 


komponen yaitu praktis dan sosial. Oleh karena itu, apapun 


bentuknya yang benar-benar menghasilkan data baru disebut 


revolusi atau paradigma baru termasuk X-Ray dan baterai. Segala 


sesuatu yang memiliki dampak penting terhadap riset praktis 


dapat saja dikatakan sebagai paradigma baru.1 1


Secara umum, posmodernisme integrasional memandang 


bahwa sains tidak dapat dipersempit fokusnya hanya pada alam 


yang dapat dicerap dengan indrawi, namum pada saat yang sama 


sains tidak boleh lepas dari aspek dan refleksi moral dan filsafat. 


Dalam konteks ini , Wilber sepakat dengan Kuhn yang 


memandang bahwa paradigma memiliki perintah secara implisit 


yang boleh jadi diekspesikan dalam sebuah pengembangan 


sains.1   Dalam konteks epistemologi, Wilber menyatakan bahwa kontempolasi harus digunakan untuk melengkapi sains dan 


filsafat. Lebih jauh ia membagi membagi sumber epistemologi 


yaitu  pengalaman inderawi, intelek atau simbol, dan 


kontemplasi. Setiap bentuk pengetahuan ini  memiliki 


kekhasan dan ranah masing-masing, meskipun secara parsial 


ada  tumpang tindih di antara ketiganya. Kegagalan dan 


kesalahan dalam memahami ketiga bentuk epistemologi ini  


pada dasarnya dapat menghasilkan kerancuan dan konflik di 


antara saintis, filsuf, dan teolog.1  


 


Integrasi sains dan agama dapat dilakukan jika dapat 


ditemukan titik temu yang benar dari kedua klaim yaitu antara 


transendental dan empiris atau antara interior dan eksterior. 


Dengan kata lain, integrasi sains dan agama dapat dilakukan jika 


terjadi integrasi antara The Great Chain of Being dengan klaim￾klaim modernitas.1   Bagi Bellah, seperti yang dikutip oleh Hanan 


Reiner, sains bukan satu-satunya faktor yang dapat menjelaskan 


dunia. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hubungan yang 


terbuka antara agama dan sains yang didasarkan atas pertukaran 


ide-ide yang berkualitas terhadap realitas termasuk realitas 


sosia Diagram ini  jelas menunjukkan bahwa konsep relasi 


sains dan agama menurut Wilber sangat ditentukan oleh konsep 


epistemologi, pendekatan, pandangan dunia dari Wilber itu 


sendiri. 


E. Kritik terhadap Pemikiran Ken Wilber 


Menurut Moritz Deecke, Wilber tidak terlalu 


diperhitungkan dalam humaniora, kecuali dalam studi agama, 


meskipun ia sangat banyak melakukan riset humaniora dan hard 


sciences. Wilber telah banyak membangun sintesis yang menarik 


dari kedua jenis keilmuan ini . Khusus tentang sains dan 


agama, keduanya ibarat dua sisi uang koin. Batas antara sains dan 


agama tidak dapat dilihat secara jelas.1   Analisis Wilber tentang 


relasi sains dan agama termasuk filsafat sangat normatif, bahkan 


sama sangat normatifnya dengan kajiannya terhadap persoalan 


lain.1  


Wilber meskipun mendalami psikologi humanistik tentang 


kesadaran manusia, dengan penguasaan filsafat Barat dan Timur 


yang cukup dalam mampu memadukan dan mengintegrasikan 


nilai-nilai spiritualitas timur dengan sains modern. Penekanannya 


untuk mengkaji dan memahami kembali dimensi esoteris dari 


agama-agama besar dan konsep integralismenya dalam 


menganalisis semua dimensi kehidupan termasuk sains perlu 


menjadi perhatian tersendiri baik bagi kaum intelektual maupun 


pemuka agama. 


Pandangan integrasi Wilber di atas yang menekankan 


bahwa agama yang dimaksud yaitu  sisi esoteris atau spiritualitas. 


Berdasarkan penelitian Eukland, salah satu model relasi sains dan 


agama menurut saintis di Amerika yaitu  model integrasi. Hal 


yang menarik dari model integrasi ini yaitu  perlunya 


mendefinsikan kembali agama, salah satunya yaitu  penekanan 


pada aspek spiritualitas agama, meskipun sebagian besar 


cenderung kembali kepada bentuk agama yang asli.Menurut Segura, konsep integrasi sains dan agama Wilber 


memiliki kerancuan kategori dan kontradiksi metode dengan cara 


pengetahuan sekular dan tradisional. Integrasi sains dan agama 


Wilber yaitu  integrasi sains modern dengan agama pra modern. 


Agama pra modern cenderung menentukan dan mengatur sains 


dan seni, sedangkan sains modern cenderung mengatur agama dan 


seni. Oleh karena itu, istilah integrasi tidak tepat digunakan 


Wilber. Konsep Wilber tentang relasi sains dan agama lebih tepat 


disebut dengan regressi. Sains modern dan agama pra modern 


yaitu  dua ranah dan elemen yang memang berbeda dan 


sepenuhnya tidak sesuai.1  


Berbeda dengan Segura, Dustin Diperna memandang 


bahwa kacamata integral yang digunakan Wilber, setidaknya 


dalam tulisannya bersama Sean Esbjörn-Hargens, mengajukan 


suatu proposal yang sukses dan sangat berkesan bagi integrasi 


komprehensif antara sains dan agama.1   Dari beberapa pandangan 


ini  jelas bahwa pendekatan integral merupakan pendekatan 


utama yang digunakan Wilber termasuk dalam menganalisis 


potensi integrasi sains dan agama.


Wilber sebagai seorang posmodernis tentu saja memiliki 


kesamaan dengan para pemikir posmodenisme lainnya yang 


cenderung mengkritik atau bahkan mendekonstruksi modernitas. 


Salah satu kecenderungan posmodernisme yang lain yaitu  sangat 


menonjolkan nilai-nilai spiritualitas dan tidak begitu memberi  


apresiasi kepada agama yang telah diakui eksistensinya. Teosofi 


yaitu  salah satu contoh spiritualitas ini  


Teosofi (Theosophy) sebagai sebuah tradisi esoterik dan 


new age tidak mengabaikan sains, bahkan menganggap dirinya 


sebagai sebuah agama yang saintifik (a scientific religion) dan 


sains yang religius (a religious science). Dengan kata lain, teosofi yaitu  sinkritisme antara sains dan agama.1  Menurut Wilber, 


agama dalam pengertian agama yang telah memiliki kemapanan 


cenderung sulit untuk menerima sains. Sementara itu, spiritualitas 


sangat mudah menerima sains. Pandangan ini  tentu saja 


memiliki kelemahan, karena sesungguhnya, menurut hemat 


penulis, Wilber tidak begitu memahami semua agama termasuk 


Islam. Hal ini  terbukti ketika ia mengkritik pertentangan 


kitab suci dengan penemuan sains. Ia tidak menyinggung 


sedikitpun al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Ia hanya 


merujuk Injil dan kitab suci agama Budha serta Hindu. Inilah 


kelemahan Wilber yang dalam analisisnya mengenaralisasikan 


semua agama. 


Pandangan yang berbeda spiritualitas agama baru (new 


age spirituality) dikemukakan oleh Steve Bruce. Ia lebih 


cenderung berpendapat bahwa new age lebih dekat kepada agama 


dari pada sains. Ia beralasan bahwa sains abad baru (new age 


science) ini  yaitu  sebagai pengetahuan esoteris dan mistis. 


jika  dilihat secara sepintas, sains abad baru memang sejalan 


dengan sains secara konvensional. Hal ini  tentu saja akan 


berbeda, jika sains dipahami tidak sebagai seperangkat kesimpulan 


tentang fenomena alam tapi juga merupakan serangkaian dari 


prinsip-prinsip penemuan dan pengujian.1   Spiritualitas memang 


pada dasarnya terfokus kepada makna, kebenaran subjektif, 


kebahagiaan, transendensi. Ia lebih mengutamakan pengetahuan 


yang bersifat internal. Pada sisi lain, sains lebih fokus pada 


objektivitas, pengetahuan dunia eksternal, penemuan empiris, dan 


informasi. Berdasarkan teori integralnya Wilber, kedua ranah 


inilah yang menjadi objek integrasinya yaitu ranah esoteris 


spiritual dengan ranah eksetoris material. Sebagai sebuah 


pemikiran, konsep Wilber tentang integrasi sains memang patut 


untuk dipertimbangkan dan dijadikan rujukan meski tentu saja 


tidak luput dari kelemahan


























Pernyataan Albert Einstein (1   -1   )1

 yang sangat 

terkenal yaitu ‚Science without religion is lame, religion without 

science is blind‛ merupakan inti dari filsafat agamanya. 

Pernyataan ini  lebih kuat dari pernyataan Ralph Waldo 

Emerson yang mengungkapkan bahwa ‚the religion that fears 

science, insults God and commits suicide.‛

 

 Kedua pernyataan 

ini  menunjukkan bahwa persoalan relasi sains 

 dan agama merupakan masalah yang menarik dan penting dalam kehidupan 

dan peradaban manusia. Manusia tidak dapat terlepas dari agama 

beserta problematikanya dan juga tidak dapat mengabaikan sains 

dengan segala dinamikanya dalam kehidupan. Ungkapan Einstein 

ini  menurut Varadaraja V. Raman, bahkan sama populernya

dengan teori relativitasnya Einstein. Pandangan Einstein tentang 

sains dan agama menjadi faktor penting terhadap peningkatan 

diskusi terhadap relasi sains dan agama sebagai upaya untuk

menjembatani hubungan keduanya pada abad ke-  . Hal ini  

ditandai dengan munculnya beberapa jurnal dan lembaga yang 

menjadikan tema relasi sains dan agama sebagai fokus 

pembahasannya.

 

Mengapa perdebatan sains dan agama terjadi lebih intens 

dan hangat dibandingkan perdebatan agama dengan yang lain?

karena kedua hal ini  cenderung bersaing untuk menemukan 

kebenaran tentang alam. Sains dalam banyak hal telah dapat 

menyanggah beberapa klaim kebenaran agama, sedangkan agama 

tidak mampu menyanggah klaim kebenaran sains. Sains dan 

agama setidaknya memiliki klaim yang saling tumpang tindih 

terhadap kebenaran (overlapping claims for the truths). 

Pandangan ini  cenderung menempatkan sains dan agama 

bertentangan atau konflik.

Diskursus tentang relasi sains dan agama telah 

berkembang dalam berbagai perspektif seperti sosio-historis, 

filosofis, dan teologis. Perdebatan sains dan agama di Barat 

khususnya, pada awal abad modern banyak terjadi dan cukup 

populer. Berbeda dengan di Barat, para intelektual Muslim secara 

umum kurang begitu berkenan untuk memasuki wilayah 

perdebatan sains dan Islam.

  Di kalangan pemikir Islam

kontemporer, perdebatan relasi sains dan agama lebih dominan 

memasuki perdebatan Islamisasi sains, sains Islam, dan nilai-nilai 

Islam yang mendorong perkembangan sains, serta integrasi sains 

dan agama.

Diskursus Islam dan sains modern, menurut Ibrahim Kalin 

terbagi dalam tiga kategori besar yaitu pandangan terhadap sains 

secara etis, epistemologis, dan ontologis atau metafisis. 

 Ketiga 

kategori ini  pada dasarnya yaitu  unsur-unsur filosofis 

terhadap suatu persoalan. Persoalan dalam konteks ini yaitu  

tentang relasi Islam dan sains modern.

Perdebatan ‘ilm dan di>n (sains dan agama) di dunia Islam 

mulai muncul pada beberapa dekade awal abad ke-1 . Perdebatan 

ini  muncul sebagai reaksi terhadap modernisme Barat, yang 

secara langsung maupun tidak, memasuki dunia Islam. Sampai 

pada pertengahan abad ke-   polarisasi sains dan agama dalam 

bentuk polarisasi antara ilmu rasional (‘aql) dan wahyu (naql) atau 

antara aqliyah dan naqliyah terus berlangsung.

  Munculnya para 

pemikir Islam yang mulai bersentuhan dengan peradaban Barat 

seperti yang dijelaskan di atas membuat perdebatan tentang peran 

akal dan wahyu menjadi lebih banyak berlangsung. Muhammad 

Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani serta Abul ‘Ala al￾Maududi yaitu  di antara para pemikir Islam yang banyak terlibat 

dalam diskursus akal dan wahyu, baik secara teologis maupun

filosofis serta kaitannya dengan perkembangan sains modern. 

Keengganan dan keberatan intelektual Muslim terhadap 

perdebatan relasi sains dan Islam seperti yang diuraikan 

sebelumnya mempunyai argumen yang cukup kuat seperti yang 

dikemukakan oleh Nidhal Guessoum.1  Relasi sains dan agama

terutama dalam bentuk konflik yang terjadi di Barat tidak begitu 

tepat dibawa ke dalam relasi sains dan Islam. Hal ini  

disebabkan karena sains yang berkembang pada masa kejayaan 

Islam memiliki dasar filosofis yang berbeda dengan sains modern. 

Dalam epistemologi Islam, sains dan agama pada dasarnya 

memiliki hubungan yang harmonis. Sains menggambarkan tentang 

alam dan Islam memberi  prinsip dan arah penelusuran sifat dan 

makna alam sebagai sebuah realitas.

1 Pandangan di atas pada 

dasarnya memiliki kesamaan dengan pandangan para pemikir 

Muslim lainnya meskipun dengan konsep dan penjelasan yang 

beragam.

Pada sisi lain, menurut Ken Wilber,1 

 perkembangan sains

modern di Barat yang luar biasa menghasilkan sains yang bebas 

nilai. Sains memberi  kebenaran namun tidak tahu bagaimana 

memakai  kebenaran ini . Sains yaitu  kebenaran tanpa 

kebijaksanaan, nilai, dan kelayakan. Dalam konteks ini, sains 

paling tidak memiliki persoalan filosofis terutama dari aspek 

aksiologis. Di sinilah peran dan pentingnya agama. Agama 

mengisi kekosongan nilai, makna, kedalaman, dan perhatian pada 

sains. Upaya mengisi kekosongan nilai pada sains memang tidak 

mudah. Konsep ini  memerlukan rancangan dan sistem yang 

jelas sehingga agama dan sains tidak hanya sebatas terekonsiliasi 

tapi sampai kepada terintegrasi.1 

Pandangan yang agak berbeda dikemukakan oleh Sadik J. 

Al-Azm. Ia berpendapat bahwa dalam warisan dan tradisi Islam￾Kristen-Yahudi, perdebatan dan kontroversi tentang adanya 

konflik antara sains dan agama atau otonomi akal dan peran 

wahyu berawal dan akan terus berlangsung pada warga  yang 

lemah dari sisi keilmuan dan kuat dari sisi keagamaan. Pada 

warga  yang telah maju dan kuat perkembangan sainsnya, 

mereka lebih cenderung memahami sains dan agama sebagai dua 

hal yang terpisah. Kesimpulan ini  didasarkan pada sejarah 

sains di Barat pada masa sebelum dan awal renaisans, konflik 

sains dan agama berlangsung sangat sering terjadi, namun 

kemudian seiring dengan perkembangan sains yang begitu pesat, 

konflik antara sains dan agama cenderung menurun. Sebaliknya, 

pada masa kontemporer, diskursus tentang konflik antara sains 

dan agama terus berlangsung di dunia Islam yang perkembangan 

sainsnya di wilayah ini  tidak terlalu pesat seperti di Turki

dan Lebanon. Sementara pada masa kejayaan Islam, perbincangan 

tentang konflik sains dan agama tidak banyak terjadi.1 

Penolakan umat Islam terhadap sains yang dimaksudkan 

yaitu  sains yang didasarkan pada epistemologi yang berbeda 

dengan sains yang berkembang di dunia Islam pada masa 

kejayaannya. Sains modern yang berkembang di Barat baik 

langsung maupun tidak langsung, juga berkembang dan diajarkan 

di dunia Islam, meski cenderung ada  perbedaan yang 

mendasar antara sains yang berkembang pada masa kejayaan 

Islam dan sains modern. Umat Islam tidak dapat mengelak dari 

implikasi perkembangan sains modern ini . Oleh karena itu, 

perdebatan relasi sains dan Islam juga juga turut mewarnai 

perkembangan pemikiran Islam modern dan kontemporer terlepas 

dari perbedaan konsep sains yang dimaknai oleh peradaban Islam 

maupun Barat.

Sebelum dilanjutkan lebih jauh tentang persoalan relasi 

sains dan Islam, perlu dilihat pemetaan dan tipologi relasi sains 

dan agama. Pola relasi sains dan agama memiliki empat bentuk 

yaitu konflik, independensi, dialog, dan integrasi.

1  Pola Barbour

ini  banyak dirujuk oleh para penulis dan akademisi yang 

memiliki perhatian terhadap relasi sains dan agama. Pola relasi

lain yaitu  pandangan yang dikemukakan oleh John F. Haught. Ia 

mengemukakan empat pola yaitu konflik, kontras, kontak, dan 

konfirmasi.1  Tipologi relasi Haught ini secara garis besar 

memiliki prinsip dan pemaknaan yang kurang lebih sama dengan 

Barbour. Haught lebih banyak menguraikan tipologi ini  

dengan memberi  beberapa contoh konkrit. 

Christina Legare dan Aku Visala menjelaskan hubungan 

agama dan sains dengan bertitik tolak dari teori relasi agama dan 

sains menurut Stenmark. Stenmark merumuskan tipologi relasi 

agama dan sains yaitu konflik total (total conflict), independensi

(independence), dan rekonsiliasi (reconciliation). Model konflik 

total (total conflict) mengklaim bahwa penjelasan sains dan 

agama tidak dapat dipertemukan karena materi (content) dari 

agama dan sains sangat bertentangan satu sama lain. Model 

independensi (independence) berbeda dengan model konflik total

(total conflict). Model independensi ini mengklaim bahwa agama 

dan sains hanya memiliki cara yang berbeda, masing-masing 

berdiri sendiri tapi tidak bertentangan. Berbeda dengan kedua 

model sebelumnya, model rekonsiliasi (reconciliation) meng￾anggap agama dan sains tidak berdiri sendiri sepenuhnya dan tidak 

juga bertentangan secara total satu sama lain. Ranah sains dan 

agama boleh jadi overlapp atau tumpang tindih, sehingga 

keduanya dapat saja harmoni atau dapat juga konflik. Jika 

harmoni, agama dan sains saling melengkapi, namun jika konflik 

baik konsep pemahaman agama maupun makna dan eksistensi

sains harus dikaji ulang secara kritis.

1  Sains pada dasarnya dapat 

membantu dalam mempertahankan kekuatan agama.1 

Michael J. Reiss menawarkan konsep yang berbeda 

tentang hubungan antara agama dan sains. Ia menempatkan 

pengetahuan ilmiah (sains) terletak di dalam pengetahuan agama, 

namun tidak berarti pengetahuan ilmiah dapat diperoleh 

sumbernya dari agama. Jika terjadi konflik antara sains dan agama 

dalam konteks pengetahuan, ia lebih memilih atau cenderung 

mengakui kebenaran sains. Ia mengakui pandangan ini tentu saja berbeda dengan pandangan penganut agama, baik Islam, Kristen, 

Hindu dan sebaga