Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 14. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 14. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 14


 t Konsul Jenderal Pemerintah 

asing (Turki) untuk mendukung maksudnya dengan membawanya dari 

satu tempat ke tempat lain. Aksi mereka pastinya mendukung kebenaran 

pernyataan saya bahwa Pemerintah peduli pada gerakan Al-Irsjad.

D.S.  [dengan mendesak] Anda tidak boleh berkata begitu.

B.A.  Apa gunanya Anda mendesak agar saya tidak mengatakan sebuah fakta 

yang diketahui oleh ratusan ribu orang?

Pada Juni 1920 Dunn menasihati Lord Curzon bahwa meski tak ada 

pengganti yang sudah ditunjuk untuk Hazeu, tiga Ajun Penasihat sudah 

dicalonkan; Kern, Hoesein Djajadiningrat, dan Schrieke. Dari ketiganya, Dunn 

menyatakan Djajadiningrat-lah “yang paling menarik”, mengingat dia dididik 

di Leiden, seorang doktor bahasa-bahasa oriental, dan terkenal sangat cakap. 

Namun, sayangnya Dunn mendapat informasi keliru mengenai kesetiaan 

Djajadiningrat. Sebagai “saudara Bupati Bantam yang merupakan turunan 

langsung para Raja Jawa Barat”, dia “sangat tidak menyukai Belanda”.

Barangkali akan lebih adil jika dikatakan bahwa dia sangat tidak 

tertarik pada berubahnya sifat rezim yang akan berkuasa selama dua dekade 

lagi, sementara kebangkitan kembali Wahhabiyyah akan memberi amunisi 

tambahan bagi para sayyid yang menentang al-Irsyad dan bagi banyak 

pembaharu yang bersekutu dengan mereka. Perselisihan ini akhirnya menjadi 

begitu panas sehingga Schrieke ditugaskan mengawasi konflik ini  di 

surat kabar serta menyusun sebuah laporan mengenai negara Hasyimi yang 

tengah berjuang yang umumnya didukung oleh para sayyid.

Jabatan Penasihat untuk Urusan Pribumi menyiratkan bahwa seseorang 

memberi Pemerintah—Hindia Belanda dengan demikian Gubernur Jenderal—

nasihat mengenai segala urusan, jika Gubernur Jenderal berkenan menerimanya. 

Apalagi pada hari-hari yang berhubungan dengan gerakan nasionalis dan segala 

manifestasinya serta berbagai urusan yang sepenuhnya muslim. Kita bisa 

membayangkan bahwa seorang gubernur jenderal dengan pemahaman dan 

simpati terhadap nasionalisme menganggap patut menerima nasihat demikian, 

sementara, di sisi lain, seorang gubernur jenderal lain, yang menganggap bahwa 

cara kerja yang tepat yaitu  dengan menjalankan negeri ini sebagai sebuah 

negara polisi sehingga tidak akan merasa perlu berkonsultasi dengan sang 

penasihat. Pada masanya sebagai penasihat, Gobée mengetahui kebenaran hal 

ini. Secara pribadi, dia selalu mendapat kepercayaan dari penduduk pribumi. 

Orang kaya maupun miskin tahu cara mendatangi kantornya. Dia selalu siap 

untuk mendengarkan keluhan dan cerita mereka untuk membantu mereka pada 

masa-masa sulit atau menunjukkan jalan bagi mereka.21 (R.A. Kern, obituari 

untuk E. Gobée, 1954)

Sejauh ini kita sudah mempertimbangkan berbagai tindakan yang diambil 

di Leiden, di bawah Snouck, menuju institusionalisasi kajian Islam. Tujuan 

Snouck yaitu  membekali para pejabat dengan sebuah pengetahuan dasar yang 

kukuh mengenai bahasa, hukum, dan mistisisme agar mereka bisa berperan 

sebagai penyokong yang murah hati terhadap hak-hak pribumi di negara 

kekuasaan Belanda. Snouck hanya mampu menghasilkan beberapa salinan 

pucat dirinya isebab  bekerja melawan arus resmi. Yang berbaris mengadang 

dirinya dan para pakarnya yaitu  para kritikus tangguh yang percaya bahwa 

kaum Etisis telah melahirkan mimpi buruk yang mengancam imperium tropis 

mereka. Dalam sebuah esai tuduhan yang melantur dan mengambil judulnya 

dari De stille kracht—(Kekuatan Tersembunyi), novel karya Louis Couperus 

mengenai ketakutan akan Islam dan orang-orang pribumi—mantan Konsul 

Jeddah yang sakit hati, Henny, menyiarkan berbagai spekulasinya yang dulu 

diabaikan mengenai Syattariyyah sebagai bukti bahayanya nasionalisme 

Islam seperti yang disokong Snouck. Dia bahkan menuduh Snouck tidak 

menyadari bahaya yang dimunculkan oleh para tokoh seperti Kiai Krapyak, 

atau setidaknya orang-orang yang terdorong mengikutinya secara membuta 

seolah dia yaitu  seorang syekh Sufi. Di antara banyak tuduhannya, kadang 

berdasar  pembacaan selektif atas Mekka dan De Atjèhers, Henny lebih 

jauh menuduh bahwa sang penasihat kerap lebih memercayai orang-orang 

pribumi dan Arab yang meragukan ketimbang para Pamong Praja yang sudah 

lama dibuat prihatin oleh bahaya-bahaya yang mereka hadapi, pertama dari 

berbagai persaudaraan dan kemudian dari Afdeling B Sarekat Islam.

Pada pertengahan ‘20-an kaum yang menyebut dirinya Etisis menerima 

kritik yang lebih banyak lagi. Di Belanda, pembalikan reaksioner menyaksikan 

pendirian sebuah sekolah pelatihan di Utrecht pada 1925 sebagai tandingan 

bagi kemapanan Leiden yang dianggap berada di bawah kendali seorang 

Arabis yang nyaris menjadi orang Arab. Sementara itu, beberapa pihak di 

Hindia menganggap putusan ‘Abd al-Ghaffar, yang dulu tanpa cacat, untuk 

menikahi Ida Maria van Oort (1873–1958) sebagai bukti ketidaktulusannya, 

atau setidaknya sebagai langkah kembali ke agama Eropa-nya. Seorang 

koresponden untuk Djawa Tengah menyatakan bahwa Snouck mengaku 

menjadi seorang muslim sekadar untuk menulis buku-buku mengenai Islam. 

Sewaktu kembali ke Belanda, Snouck menikah sesuai ritual Kristen. “Dan, 

itu sudah benar,” katanya, “setiap orang sudah seharusnya mengangkat agama 

mereka sendiri.” Sebagai tanggapan, Darmo Kondo menyatakan, “Sekarang 

kita bertanya kepada diri kita sendiri, agama apa yang benar-benar sejati untuk 

orang Jawa? Menurut S.I. dan orang-orang pada umumnya, yaitu  Islam!”

Selalu akan ada orang yang kegiatannya seolah hendak membuktikan 

bahwa Snouck sejak semula memang condong pada Kristen. sesudah  

menyelesaikan studi doktor di bawah bimbingan Snouck pada 1921 

(mendiskusikan kembali teks Sufi dari abad keenam belas yang kali pertama 

diedit oleh Gunning), Hendrick Kraemer (1888–1965) dipercaya oleh 

warga  Injil Belanda untuk menyiapkan Injil terjemahan bahasa Jawa 

yang baru dan mengkaji berbagai perkembangan terbaru dalam Islam. 

Usaha pertamanya berbentuk laporan yang dikirimkan dari Kairo berisi 

tentang berbagai perkembangan terbaru di sana, termasuk manifestasi nada 

antikolonial yang lebih nyaring di kalangan para siswa. Laporan-laporan 

demikian tentu saja ditujukan untuk membantu misi. saat  menduduki 

jabatan penasihat bagi Jong Java, dia memberikan kuliah-kuliah mengenai 

agama Kristen. Sebagian siswa mengungkapkan keinginan untuk mendapat 

lebih banyak kuliah mengenai Islam. Hal ini menimbulkan perpecahan dan 

terbentuknya Jong Islamieten Bond (JIB), yang surat kabarnya, Het Licht, 

mendaulat si orang Sumatra, Agoes Salim, sebagai penasihat utama. Surat 

kabar ini sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan gerakan Ahmadiyah di India 

dan memanfaatkan karya-karya kesarjanaan Barat. Meski banyak hal bisa 

disimpulkan dari fakta bahwa karya Snouck Hurgronje dikutip dalam artikel-

artikel yang dikirim ke Het Licht, tak ada penerimaan yang pasif terhadap apa 

yang disampaikan olehnya dan para penirunya.

Pemisahan kepentingan antara Belanda dan rakyat Muslim-nya semakin 

mengeras. Kraemer semakin tenggelam dalam tradisi tekstual Sufisme, 

menggambarkan Islam sebagai entitas Timur Tengah yang darinya orang-orang 

Indonesia secara efektif terasingkan. Dia melihat kaum Muslim Indonesia 

sebagai sebuah persoalan misi. Kraemer yakin bahwa para pemimpin elite 

kaum Muslim Indonesia—bahkan yang terdidik ala Belanda—menjelajahi 

asal usul agama mereka untuk menguatkannya di sebuah panggung yang 

mereka anggap berjangkauan global serta memperbaiki kegagalan mereka 

yang mencolok untuk memenuhi standar-standar yang sebenarnya. Tak 

diragukan lagi, para anggota muda Jong Islamieten Bond tidak antusias 

terhadap berbagai    yang dicapai dalam volume pertama kuliah-

kuliah Kraemer untuk para guru Kristen, saat  dia mengatakan bahwa Islam 

yang terikat aturan dirancang untuk mendominasi dunia, sedangkan Kristen 

ditakdirkan untuk memperbaruinya.

Para anggota Jong Islamieten Bond melaporkan dengan penuh semangat 

pendirian berbagai surat kabar persaudaraan, seperti Seruan Azhar di Kairo. Di 

sisi lain, mereka tetap tertarik pada apa yang disampaikan orang-orang seperti 

Kraemer mengenai evolusi mereka dari Sarekat Islam dan Muhammadiyah.

Sebuah tajuk rencana Kasman menunjukkan bahwa berbagai asosiasi Islam 

sudah lama mengusahakan sebuah pendidikan yang didasarkan pada Islam 

sekaligus sejarah nasional yang juga memperhatikan “ilmu pengetahuan dan 

berbagai tuntutan zaman modern”.

Jika sekadar mengambil pandangan objektif terhadap sejarah kita, kita akan 

melihat bahwa tidak di mana pun, terlebih di pulau kita, Islam dipaksakan 

kepada rakyat melalui sebuah penaklukan. Begitu pula Islam tidak dibawa 

kepada kita oleh para imigran. Tak lebih dari sembilan orang yang membawa 

Islam ke sini. Berkat teladan mereka yang luar biasa, rakyat terbawa ke agama 

mereka yang membebaskan orang dari ketakutan serta penyembahan banyak 

roh dan dewa, yang membuat orang bebas dari sistem kasta yang membuat 

rakyat pribumi melihat diri mereka digolongkan sebagai kasta paling rendah, 

sementara dua kasta tertinggi disediakan untuk mereka yang datang dari 

seberang laut dan meraih kedudukan penguasa.

Bagi Kasman, yaitu  tentara Jawa yang meruntuhkan kerajaan-kerajaan 

Hindu sebelum membanjirnya hegemoni Barat, bukan orang-orang Arab 

yang menurutnya tidak patut mendapat penghormatan istimewa. Akan jauh 

lebih baik bagi orang-orang Indonesia, pikirnya, mempelajari penyebab yang 

telah mengubah sebuah bangsa padang pasir setengah liar menjadi bangsa 

yang menguasai dunia, dan menjawab tuduhan bahwa Islam melumpuhkan 

perempuan. Jauh lebih banyak ruang dalam Het Licht ditujukan untuk 

membela yang oleh para editor dirasa sebagai agama yang banyak difitnah, 

terutama dalam kaitannya dengan fatalisme yang dianggap dikandungnya. 

Seperti yang ditulis oleh seorang Tidar pada Juni 1926:

Orang Islam disebut fatalis. Wahai betapa sebuah kata yang hebat! Betapa 

sebuah kesalahan yang besar! Mereka lupa bahwa fatalisme tidak berada dalam 

Islam, namun  dalam sang pribadi. Islam murni dan bebas dari fatalisme. Mereka 

masih mengacaukan Islam dengan sisa Hinduisme. Ya, orang-orang ini tidak 

ingin melihat Islam secara saksama. Mereka hanya tahu sedikit mengenai Islam, 

dan itu pun dari orang non-Islam yang sepenuhnya dikenal sebagai Islamolog 

seperti Snouck Hurgronje dan rekan-rekan. Orang-orang terpelajar ini tidak 

mengetahui kebenaran mengenai Islam, meski menguasai bahasa Arab.

Lagi pula, seperti yang juga dicatat Tidar, musuh Nabi yaitu  para 

penutur bahasa Arab yang sempurna, namun  mereka pun tidak mengenal 

karakter Islam yang sebenarnya. Para pemeluk Islam bukanlah hamba siapa 

pun, seperti yang ditunjukkan oleh contoh orang-orang Turki dan Maroko. 

Namun, ini tak berarti bahwa orang-orang Islam elite memutuskan semua 

komunikasi dengan Belanda, atau bahkan dengan para Islamolog. Sebuah 

ulasan mengenai ulang tahun pertama Jong Islamieten Bond secara antusias 

mencatat kehadiran Penasihat untuk Urusan Pribumi yang diundang selain 

banyak asosiasi—termasuk Jong-Java, Jong-Sumatranen Bond, Jong-Ambon, 

Studie-Club “Indonesia”, Muhammadiyah, Partij Sarekat Islam, Jam’iyyat al-

Khayr, dan Studie-fonds Kota Gedang—yang berkumpul untuk merayakan 

berbagai usaha mereka untuk memberikan manfaat bagi “Indonesia kita 

tercinta”

Pada 1926 terdapat partai-partai yang penting di panggung, bukan 

sekadar klub-klub. Kelompok komunis dan nasionalis sekuler perlahan-

lahan membangkitkan harapan rakyat dan memenangkan bagian terbesar 

dari perhatian mereka—dan, akibatnya, bagian terbesar pula dari perhatian 

pemerintah. Persidangan-persidangan pun digelar, dan mereka yang diputuskan 

bersalah melakukan penghasutan atau pelanggaran aturan sensor yang keras 

dipenjara atau diasingkan ke kamp-kamp seperti Boven Digul, di Nugini 

Belanda. Sedangkan bagi Islam dan pemerintah Hindia, kejutan terbesar 

barangkali muncul sesudah  usaha pemberontakan Komunis di Sumatra Barat 

dan Banten pada 1926–27. sesudah nya, ratusan orang akan kembali dapat 

melaksanakan ibadah haji secara relatif aman. Dalam kasus pemberontakan 

Sumatra Barat, Schrieke dipanggil lagi dan, pada 1928, memberikan sebuah 

penilaian mengenai berbagai peristiwa ini. Namun, Mekah yang didatangi 

para pelarian pemberontak telah berubah. Dengan meninggalnya al-Zawawi, 

mengungsinya para syarif, dan kembalinya Wahhabi di bawah pimpinan Ibn 

Sa‘ud, terdapat ancaman yang jelas baik terhadap wibawa sayyid maupun 

praktik tarekat di segala sisi. Selain itu, banyak makam yang disucikan dari 

masa lalu rencananya akan dihancurkan. Di Hindia, kabar ini  disambut 

dengan ketidakpercayaan. Penghapusan kekhalifahan oleh Majelis Nasional 

Turki telah menimbulkan jauh lebih banyak diskusi dan kampanye, berujung 

pada pembentukan utusan-utusan tandingan menuju Mekah dan Kairo 

untuk mewakili umat Muslim Hindia yang, ternyata, lebih bersatu daripada 

sebelumnya, meski hanya dalam arti bahwa mereka ingin memetakan masa 

depan tanpa kepemimpinan Arab.

Sebagai bagian dari pergeseran ini, dan reaksi atas klaim kaum reformis 

bahwa mereka mewakili keseluruhan kepentingan Indonesia di Mekah, dan 

juga klaim Sayyid Bin ‘Aqil dan Hasan al-‘Attas bahwa mereka mewakili seluruh 

bangsa Asia Tenggara di Kairo, sebuah aliansi para kiai Jawa mulai membentuk 

sebuah komite mereka sendiri untuk dikirimkan ke Mekah. Maka, sebuah 

lembaga baru, “Nahdlatul Ulama” (NU), lahir di bawah bimbingan Hasyim 

Asy‘ari dari Tebuireng. Tapi, apa makna gerakan(-gerakan) baru ini bagi Asy‘ari? 

Dalam sebuah risalah eskatologis, yang diterbitkan bertahun-tahun sesudah  dia 

wafat, Asy‘ari menulis mengenai kemunculan “faksi licik” ‘Abduh dan Rasyid 

Rida pada sekitar 1912. Mereka dianggap menyerang Sunah yang disepakati 

oleh orang-orang besar masa lalu, khususnya praktik ziarah kubur serta 

dzikr. Namun, Asy‘ari tidak menjelaskan berbagai kekeliruan mereka secara 

mendalam. Dia mengarahkan perhatian pada penjelasan tradisional terhadap 

penyimpangan kaum pseudo-Sufi dan Wujudiyyah, yang tetap merupakan 

ancaman terbesar bagi umat Muslim, yang dalam pandangannya sama dengan 

kaum Materialis dan Kristen (atau bahkan “Majusi” dalam hal ini).

Pada 1927 Snouck secara resmi mundur dari jabatan guru besarnya di 

Universitas Leiden. sesudah  bertahun-tahun, dia akhirnya mengikuti garis 

pemikiran yang sangat kritis terhadap sebuah sistem yang dia rasa tidak 

mampu menjawab berbagai kebutuhan orang-orang Indonesia modern. 

Keberatannya yang paling bagus diringkas dalam sebuah artikel dari 1923 yang 

menyuarakan bahwa dia mengingat kasus Arsyad b. ‘Alwan dari Serang, yang 

dibiarkan merana di pengasingan sesudah  Pemberontakan Cilegon.35 Semasa 

Snouck pensiun, karya-karya utamanya yang dikumpulkan oleh muridnya, 

A.J. Wensinck (1882–1939), dibundel untuk perpustakaan-perpustakaan 

Orientalis di seluruh dunia. Banyak murid serta koleganya hadir, atau 

setidaknya diundang, untuk bersulang memberi selamat kepada sang sesepuh 

PENGERASAN DAN PERPISAHAN  —  253

kajian Islam. Murid-muridnya juga mulai mendirikan sebuah institut untuk 

kajian Islam. Para kontributornya meliputi para bangsawan, mantan gubernur 

jenderal, dan Orientalis yang aktif di Eropa. Kelompok terakhir ini mencakup 

Hazeu dan Kern (yang juga kembali ke Belanda dengan kecewa pada 1926), 

Louis Massignon di Paris, dan R.A. Nicholson di Cambridge. Dari luar 

negeri ada kontribusi dari Muhammad Kurd ‘Ali (1876–1953) di Damaskus, 

Ahmad Zaki (1867–1934) di Kairo, ‘Umar Nasif di Jeddah, ‘Abd al-Rahman 

b. ‘Abdallah al-Zawawi di Mekah, para anggota Kantor Urusan Pribumi, serta 

‘Umar Manqusy, ‘Ali al-Habsyi, Abu Bakr dan Isma‘il al-‘Attas, dan tentu saja 

keluarga Djajadiningrat. Bahkan, dalam pengantarnya pada Panji Poestaka 

edisi khusus kenang-kenangan, Hoesein Djajadiningrat menyatakan bahwa 

dia dan orang-orang sezamannya menghormati Snouck sebagai “guru, dalam 

oriental dan mistis”, serta menambahkan bahwa semua guru tersamar olehnya 

dan menganggap kehormatan kalah pamor olehnya.36

Yang absen dari perayaan ini  yaitu  nama banyak penasihat 

kehormatan dan sahabat penting yang didaftar di Panji Poestaka. Beberapa 

orang tidak hadir isebab  usia, jarak, atau masalah finasial. namun , juga 

tampaknya ada sebuah pergeseran dari rombongan orang-orang seperti 

Sayyid ‘Utsman dan Hasan Mustafa ke orang-orang seperti Ahmad Surkati 

dan Agoes Salim, sebuah pergeseran yang memiliki keserupaan global.

Kairo tetap merupakan titik penting dalam jaringan Snouck. Dia sangat 

mengetahui berbagai perdebatan yang terjadi di kota itu. Universitas 

negerinya baru didirikan pada 1908 dengan direktur Ahmad Zaki. Sang 

Direktur berusaha merekrut Snouck ke dalam staf pengajarnya.38 Snouck juga 

menjalin hubungan dengan beberapa intelektual Kairo saat  mereka belajar 

di Eropa, termasuk Mansur Fahmi serta dua bersaudara ‘Ali dan Mustafa ‘Abd 

al-Raziq, kesemuanya pergi ke Prancis diilhami gagasan-gagasan Muhammad 

‘Abduh. Namun, meski Mansur Fahmi bisa menulis dengan antusias pada 

1925 mengenai harapannya akan sebuah masa depan modern di bawah 

kepemimpinannya, dia juga menunjukkan bahwa ‘Abd al-Raziq bersaudara 

mendapati jalan mereka agak sulit.

Yang lebih tua dari kedua bersaudara itu, Mustafa ‘Abd al-Raziq (1885–

1947), lulus dari al-Azhar pada 1908 dan pergi ke Sorbonne pada 1909, tempat 

dia belajar di bawah bimbingan Émile Durkheim. Sejak 1911 dia belajar Hukum 

dan Filsafat Islam di Lyon, mempertahankan sebuah tesis mengenai al-Syafi‘i. 

sesudah  kembali ke Mesir pada 1914 dia bekerja sebagai seorang jurnalis dan 

administrator, dan terlibat dalam Partai Ummah. Menyusul pencopotannya 

dari al-Azhar oleh Raja Fu’ad, dia menjabat profesor utama dalam Filsafat 

Islam di Universitas Kairo mulai 1927 hingga 1938. Di sini dia mengedit 

makalah-makalah ‘Abduh dan menulis mengenai Sufisme. Tampaknya 

Mustafa-lah yang telah membawa ke konsensus Salafi zaman modern bahwa 

Sufisme yaitu  sebuah kepedulian antikuarian. Sebuah petunjuk mengenai 

pandangan-pandangannya perihal masalah ini bisa ditemukan dalam publikasi 

yang berawal sebagai sebuah kuliah yang disampaikannya di Leiden pada 1932 

dan yang dia publikasikan bersama Massignon.40

Yang jauh lebih kontroversial yaitu  saudara Mustafa, ‘Ali (1888–1966). 

Dia menyatakan bahwa lembaga khalifah yaitu  sebuah inovasi, barangkali 

mengulangi kuliah-kuliah Snouck mengenai persoalan ini.41 Seperti yang 

diinformasikan Mansur Fahmi kepada Snouck pada 1925, pernyataan itu 

membuat gelar ‘Ali dicopot isebab  tidak semua pihak di Kairo bersimpati 

pada program dua bersaudara ‘Abd al-Raziq itu, pun tidak semua pengikut 

‘Abduh berhubungan baik dengan Snouck Hurgronje. Rasyid Rida yaitu  

salah seorang kritikus yang vokal terhadap pembicaraan apa pun mengenai 

kematian khalifah. Ada pula Syakib Arslan (1869–1946) yang mengecam 

Snouck isebab  berusaha menghilangkan kesetiaan orang-orang Muslim 

di Timur Jauh terhadap kaum Mukmin yang lebih luas dan sebaliknya 

menanamkan dalam diri mereka rasa kepemilikan nasional yang semu. 

Namun, rasa tidak sukanya pada apa yang dia anggap sebagai rencana Snouck 

untuk menciptakan kaum Muslim “Indonesia” tidak mencegahnya dari 

mengandalkan tulisan-tulisan Snouck dalam soal mendokumentasikan sejarah 

bangsa ini  serta orang-orang Arab di antara mereka. Rasa tidak suka yang 

sama tidak menghentikan Rasyid Rida dari mengirimi Snouck sebuah salinan 

karyanya Wahy almuhammadi (Wahyu Muhammad) pada 1933. Mungkin 

sebagai usaha untuk mengajak Snouck ke posisinya.42 Juga jelas bahwa Rida, 

yang kerap mengunjungi lingkaran-lingkaran Naqsyabandiyyah pada masa 

mudanya, memiliki pandangan serupa mengenai persaudaraan-persaudaraan 

“mabuk”. Meskipun dia menahan diri tidak menerbitkan manuskripnya yang 

sudah lama dijanjikan mengenai tarekat, pandangan-pandangannya terlihat 

jelas isebab  perlahan-lahan dia mulai berderap seiring sejalan dengan orang-

orang Saudi pada 1920-an.

MENDUNG MENGGANTUNG DI ATAS KANTOR URUSAN PRIBUMI

Meski bertindak sebagai Kanselir Universitas Leiden sejak 1922, Snouck 

Hurgronje terus melatih (atau setidaknya menguji) para sarjana-pejabat 

dengan caranya yang tersohor tak kenal kompromi sebelum mereka diizinkan 

ke lapangan atau, bagi sedikit orang dan sesudah  studi tambahan dalam bahasa 

Arab dan bahasa Aceh, ke Kantor Urusan Pribumi. Dua lulusan dari program 

yang melelahkan ini yaitu  G.F. Pijper dan G.W.J. Drewes. Yang pertama 

menyelesaikan sebuah disertasi mengenai Alf masa’il di bawah bimbingan 

van Ronkel pada 1924 dan kemudian dikirim ke Batavia menerima tugas 

sebagai Asisten Penasihat, pertama di bawah Kern dan kemudian di bawah 

Émile Gobée (1881–1954).43 Dia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh 

di segala sisi warga  Hindia. Dia paling dikenal isebab  kaitannya dengan 

kaum pembaharu seperti Ahmad Surkati, wakilnya ‘Abdallah b. ‘Abd al-Qadir 

Harhara (ditandai dalam berkas-berkas Inggris sebagai “musuh yang sangat 

berbahaya”), dan Hamka (‘Abd al-Malik Karim Amrullah), putra Haji Rasul 

yang banyak omong.44 Sementara itu, Drewes, putra seorang kepala sekolah 

Protestan, pada 1925 mempertahankan studinya mengenai tiga orang Akmali 

dari abad kesembilan belas. Dia pindah ke Jawa untuk menduduki sebuah 

jabatan di Kantor Urusan Pribumi sebelum dipindahkan ke Biro Pustaka 

Rakyat pada tahun berikutnya.

Baik Drewes maupun Pijper sangat mengagumi guru mereka, mengikuti 

nasihatnya dan mengabadikan kenangan mengenainya di Leiden dan 

Amsterdam. Namun, mereka tidak diperlakukan setara. Jauh dari setara. 

Snouck memulai sebuah korespondensi yang panjang dan kebapakan dengan 

Pijper segera sesudah  ulang tahunnya yang ketujuh puluh. Sebaliknya, dia 

tak pernah menawarkan catatan-catatan lapangannya kepada Drewes muda 

atau malahan dia tidak pernah berbagi dengan Drewes. Tesis Drewes jelas 

tidak menggunakan berbagai manuskrip Snouck sebagai rujukan, yang bisa 

jadi memberikan informasi mengenai pokok bahasannya. Pada satu titik dia 

terpaksa mengutip panjang lebar edisi bahasa Inggris (bukannya edisi asli 

berbahasa Belanda) karya Snouck De Atjèhers.

Meski tak mendapat restu gurunya—selain berbagai penghinaan seperti 

dilewatkan Snouck pada 1929 untuk sebuah jabatan yang jatuh ke tangan 

C.C. Berg (1900–90)—Drewes selalu berpegang pada berbagai standar 

gurunya, meniru metode-metodenya yang keras, dan mempertahankan minat 

pada bidang kajian Islam masa lalu dan masa kini. sesudah  menghadiri sebuah 

ceramah di Yogyakarta oleh Mirza Wali Ahmad Beg yang seorang Ahmadiyyah, 

dia menulis kepada teman baiknya Petrus Voorhoeve (1899–1996) pada 

1926, menyatakan bahwa Djåwå yaitu  surat kabar yang membayar para 

kontributornya “dengan sangat baik”. Pada tahun ini  dia memublikasikan 

sebuah artikel singkat di surat kabar Djåwå mengenai Syekh Yusuf.46 Yang 

tidak disebutkannya yaitu  bahwa dia termasuk sebagai dewan redaksinya, 

bersama Hoesein Djajadiningrat. Surat kabar itu kemudian menjadi tempat 

bagi beberapa tinjauan pertamanya, yang terkenal keras, seperti saat  dia 

mencabik-cabik sebuah tesis J. Doorenbos mengenai Hamzah Fansuri.47

Segera sesudah  tiba di Jawa, Drewes ditunjuk sebagai seorang pejabat 

bahasa, sebuah jabatan yang semula dikira Pijper sepele dibandingkan 

peran awalnya yang sangat sibuk. Namun, seperti akan kita lihat di bawah, 

keadaan berubah bagi Pijper dan bahkan bagi Kantor secara umum, sesudah  

berbagai pemberontakan pada pertengahan tahun dua puluhan. Pastinya 

dia tidak selalu menjadi cendekiawan pertama yang dimintai pendapat. 

Sebaliknya, cendekiawan itu yaitu  Schrieke yang saat itu menjabat Guru 

Besar Etnologi dan Sosiologi di Batavia. Schrieke yang diutus untuk menulis 

tentang pemberontakan komunis di Sumatra Barat, naik ke jabatan Direktur 

Pendidikan (dan dengan demikian atasan Pijper) pada 1929. Hal ini membuat 

Pijper sangat tidak senang. Pijper percaya bahwa Schrieke menganggapnya 

sebagai otoritas pesaing mengenai Islam di Batavia. Benar atau tidak, surat-

surat Pijper kepada Snouck, yang pernah disebutnya sebagai “cita-citanya yang 

tak mungkin tercapai”, menuturkan kisah yang tak dikehendaki mengenai 

Kantor yang terpecah di bawah tekanan untuk melaksanakan tugasnya di 

hadapan Pamong Praja yang tidak terlalu menghargai para Penasihat, dan 

pastinya tidak terlalu bersimpati kepada orang-orang Indonesia.

Keadaan tidak bermula dengan begitu muram bagi sang Ajun Penasihat 

untuk Urusan Pribumi. Segera sesudah  kedatangannya, Pijper menemani Kern 

dalam sebuah tur mengelilingi Banten pada akhir Januari 1926, menemui 

Penghulu Kepala saat itu, Raden Muhammad ‘Isa (l. 1874), kerabat lain 

keluarga Djajadiningrat yang mengklaim pernah bertemu Snouck di Jeddah 

saat  masih muda. Namun, saat itu yaitu  masa yang tegang. Sang Residen 

sangat ingin mengetahui apa yang bisa dipelajari Pijper mengenai pengaruh 

komunisme terhadap orang-orang lokal. Pastinya terdapat ketegangan dalam 

keluarga sang kiai terkemuka Banten, Asnawi dari Caringin. Menantunya, 

Ahmad Khatib (yang lain), yang menggantikan Hasan Djajadiningrat sebagai 

kepala Sarekat Islam di Serang pada 1920, konon yaitu  komunis terkemuka di 

kawasan ini. Menurut kabar angin, Asnawi telah meminta agar Ahmad Khatib 

menceraikan putrinya. Ahmad Khatib sama sekali tidak ingin melakukannya, 

mengingat dia mendapatkan gengsi yang besar dari hubungannya dengan 

seorang kiai yang, seperti Muhammad ‘Isa, terhubung dengan keluarga 

Djajadiningrat. Anggota klan ini termasuk mantan Bupati Serang, R.A. 

Djajadiningrat (w. 1933) dan putra tertuanya, R.A.A. Djajadiningrat, mantan 

murid Snouck dan kemudian Bupati Batavia.

Sebagian besar dari informasi ini berasal dari Kiai Ru’yani, yang 

mengaku pernah berjumpa dengan ‘Abd al-Ghaffar di Mekah saat  masih 

muda. Asnawi juga mengaku memiliki sejenis hubungan dengan ‘Abd al-

Ghaffar isebab  iparnya yaitu  pelayan Snouck di Mekah. Setidaknya inilah 

yang diketahui Pijper sewaktu kembali berkunjung pada September saat  

kisah Kiai Ru’yani dibenarkan oleh Asnawi yang lemah, sesudah  disambut 

dengan sangat hormat oleh bupati yang tengah menjabat yakni anggota 

lain dari keluarga besar Djajadiningrat. Tak perlu dikatakan, posisi kedua 

orang ini dan keluarga Djajadiningrat secara umum terancam saat  sebuah 

pemberontakan meletus pada November. Meski salah seorang anggota Raad 

van Indië meramalkan bahwa Achmad Djajadiningrat muda akan menuju 

kamp konsentrasi yang terkenal di Boven Digul, sejarah selalu berulang dan 

priayi keturunan bangsawan lolos dari celaan sedangkan sang kiai yang sepuh 

itu dikirim ke pengasingan.

Nasib demikian tampaknya tidak terlalu menarik minat Pijper saat 

itu. Dalam surat-suratnya kepada Snouck, dia lebih sering berkomentar 

mengenai betapa penyebutan nama samaran gurunya itu, ‘Abd al-Ghaffar, 

telah membuka banyak pintu untuknya saat  dia mewawancarai para 

pejabat pribumi dan para cendekiawan dengan menggunakan bahasa Arab. 

Pijper semula berlatih bahasa Arab bersama seorang Palestina, Tayseer Nabilcy 

(Taysir Nabulsi), dan belakangan bersama ‘Abdallah b. Salim al-‘Attas. Pijper 

juga memberikan imbalan secara rutin atas bantuan yang dia dapatkan dari 

Hoesein Djajadiningrat, yang menjelaskan segala macam peraturan hukum 

kepadanya dan mendukung penjelasannya baik dengan tulisan-tulisan Sayyid 

‘Utsman maupun Ahmad Surkati “yang tak ternilai”, yang juga mengajarinya 

bahasa Arab selama tiga tahun.

Kontak seumur hidup lainnya yaitu  orang Banten “yang maju” dan 

“sangat saleh”, Sjoe’aib Sastradiwirja, yang mengajarinya “berbagai rahasia” 

kajian Islam dan shalat sejak 1926.Meski sehari-hari berinteraksi dengan 

anak asuh Agoes Salim ini (belum lagi guru, editor, dan anggota Jong 

Islamieten Bond), Pijper mengaku tetap terkejut dengan kesalehan mereka, 

sebagaimana dalam laporan mengenai Hoesein Djajadiningrat yang “sama 

sekali tidak bebas dari hal-hal Mohammedan”:

Ini menjadi jelas bagi saya pada banyak kesempatan, yang terakhir saat  saya 

bertanya kepadanya bagaimana seharusnya saya bicara mengenai Islam dalam 

kuliah-kuliah saya kepada para murid Akademi Pemerintah. saat  saya beralih 

pada pengantar historis kritis mengenai asal usul dan sejarah awal Islam, dia 

menunjukkan sifat hipotetis-nya kepada saya. Dia juga menegaskan bahwa 

kesarjanaan Barat hampir tidak berubah dalam perlakuan tradisionalnya 

terhadap Mohammad dan ajarannya; [namun ] saya seharusnya tidak punya 

masalah khusus dengan ajaran ini. Untuk beberapa saat saya meragukan poin 

terakhir ini. Bagaimana saya harus menjawab saat  seorang murid “yang 

tercerahkan” bertanya bagaimana memahami penyusunan dan asal usul 

berbagai gagasan Koran? Memang dampak kritik Eropa mulai berhasil masuk, 

dalam makalah-makalah dan berbagai terbitan berkala kita menemukan reaksi. 

Di Bantam tahun lalu saya bertemu seorang Asisten Wedana yang masih muda, 

yang tertarik pada Verspreide Geschriften karya Anda! Saya sangat mengharapkan 

petunjuk dari Anda mengenai bagaimana saya harus mempelajari aspek historis 

dari tugas saya.

Snouck membalas bahwa dia sepenuhnya memahami permintaan 

bantuan Pijper pada keluarga Djajadiningrat dan langkah Hoesein yang 

semakin “konservatif ”:

Tradisi keluarga dan tanah airnya, dan barangkali bahkan kecenderungan 

pribadinya, memberikan dorongan yang mudah. Aspek historis Islam memang 

paling sulit ditangani para murid dari lingkungan muslim. Ia mengharuskan 

seseorang untuk bertindak dengan kebijaksanaan yang ekstrem untuk 

menyampaikan apa yang perlu tanpa menimbulkan penistaan atau penghinaan. 

Kadang penyampaian hasil yang dikehendaki oleh para cendekiawan bisa 

secara objektif dipisahkan tanpa menyiratkan bahwa sang pembicara yang 

mengungkapkannya bersepakat dengan hal ini . Apa pun yang terlihat 

seperti celaan bisa dihilangkan. Pada tahun-tahun belakangan khalayak saya 

juga terdiri atas sebagian kaum muda dari keluarga Mohammedan; namun  saya 

tidak pernah menyadari apakah satu atau lain hal merupakan penghinaan 

isebab  saya selalu sangat waspada agar tidak mengadopsi nada yang ironis atau 

meremehkan.

Balasan Snouck tampaknya hanya mendorong Pijper untuk menuturkan 

anekdot tak masuk akal yang lain, mengisahkan betapa, terlepas dari 

pendidikan Barat-nya, Hoesein sepakat dengan beberapa pernyataan Agoes 

Salim mengenai kesempurnaan inheren hukum Islam dalam hubungannya 

dengan perempuan.

Akan namun , jika Pijper mengkhawatirkan apa yang akan dipikirkan 

orang-orang Muslim mengenai kuliah-kuliahnya, dan mengenai kesarjanaan 

Belanda secara umum, pada akhirnya dia akan lebih khawatir mengenai 

apa yang dipikirkan atasannya tentang kantornya. Di lapangan dia segera 

mengetahui bahwa Kantor Urusan Pribumi dipandang rendah oleh Pamong 

Praja. Pijper juga tidak terkesan oleh keengganan pemerintah untuk terlibat 

dalam persoalan-persoalan klerikal, yang berarti bahwa negara hanya sedikit, 

atau sama sekali tidak, membutuhkan solusi yang diusulkan oleh para 

koleganya.55 Dalam hitungan bulan antusiasme Pijper berganti perasaan 

semakin terkurung dalam sebuah biro yang dia rasa memberinya terlalu sedikit 

ruang bagi keterlibatan dengan orang-orang Hindia. Dia bahkan meminta 

cuti setahun di Banten untuk mempelajari kondisi lokal agar lebih mampu 

merancang peraturan mengenai berbagai hal yang sulit dipahami olehnya.

Tanggapan Snouck pertama-tama berkenaan dengan urusan dinas isebab  

para ahli hukum yang kerap diajaknya berdiskusi mengenai masalah-masalah 

hukum Islam semuanya berpandangan bahwa prinsip non-interferensi di 

pihak negara hanyalah sebuah slogan. Dalam praktiknya, negara berkewajiban 

menjadi pemimpin isebab  negara yaitu  satu-satunya lembaga yang mampu 

mendukung pernyataan keagamaan. Snouck merasa bahwa seruan kalangan 

pribumi kepada pemerintah agar tidak turut campur dalam urusan-urusan 

agama merupakan sebuah kekeliruan.57 Sedangkan mengenai harapan rahasia 

Pijper untuk mendapatkan cuti belajar, sesudah  meratapi kenyataan bahwa 

satu-satunya waktu luang yang pernah dia nikmati yaitu  dalam perjalanan 

antara Eropa dan Hindia, Snouck agak bingung. Dia mendorong kolega 

juniornya itu untuk memikirkan baik-baik posisinya. Menurut Snouck, 

berbagai perjalanan sebenarnya telah memberi Pijper akses menuju banyak 

pengalaman pribadi dan tentu banyak lagi yang akan menyusul.

Keadaan tampaknya kembali tenang untuk sesaat. Namun, pada 

1930 terindikasi adanya tekanan terhadap Kantor Urusan Pribumi, yang 

menimbulkan semakin banyak perpecahan di kalangan staf, terutama antara 

Gobée dan para bawahan Eropa-nya. Bawahan Gobée tidak menyukai tuntutan 

dinas yang dibebankan kepada mereka dengan mengorbankan berbagai usaha 

ilmiah yang lebih mereka sukai. saat  permohonan Pijper untuk melakukan 

sebuah tur studi di Ambon tidak dijawab oleh Residen, Pijper juga menyerang 

Gobée isebab  sudah mengirimnya dalam tugas bodoh pada Ramadan, sembari 

menyatakan bahwa “kutukan” Kantor Urusan Pribumi yaitu  dangkalnya 

kualitas riset mereka.59 Kemudian, ada para editor Pamong Praja yang mesti 

dikhawatirkan, seperti saat  catatan resminya mengenai Islam untuk Indisch 

Verslag (Laporan Hindia) 1931 diterbitkan dalam keadaan “banyak terpotong 

dan diedit dengan sembarangan”.60 Pada tahun yang sama, Pijper melihat 

“awan gelap” menggantung di atas Kantor Urusan Pribumi saat  muncul 

berita pada November bahwa Gubernur Jenderal baru yang konservatif, B.C. 

de Jonge (menjabat 1931–36) berencana menempatkan Kantor di bawah 

tanggung jawab langsung Pamong Praja.

Ketakutan semacam itu sedikit mereda pada 1932 saat  dirasakan 

bahwa Gubernur Jenderal De Jonge telah terlepas dari cengkeraman para 

penentang Stuw, gerakan metropolitan yang menganjurkan emansipasi yang 

lebih besar bagi orang-orang Indonesia dibandingkan yang dimungkinkan 

oleh parlemen simbolis (Volksraad). Namun, berbagai pidato memuji Kantor 

Urusan Pribumi, yang disampaikan di Volksraad oleh Wiranatakoesoema 

(1888–1965)—dengan dukungan Mohammed Husni Thamrin (1894–1941) 

dan Wiwoho Probohadidjojo dari JIB—meningkatkan kecurigaan Pamong 

Praja. Meski demikian, dengan berangkatnya C.O. van der Plas (1891–1977), 

yang konfliknya dengan Gobée sangat sengit, Pijper mendapati dirinya ada 

di sebuah kantor yang jauh lebih tenang dibandingkan saat dia datang. 

Pijper kemudian menghabiskan lebih banyak waktu menulis kepada Snouck 

mengenai kecintaannya pada kesusatraan Arab dan kekagumannya kepada 

para cendekiawan Mesir modern seperti Taha Husayn, Mansur Fahmi, dan 

Zaki Mubarak, sembari memperlihatkan sikap agak meremehkan terhadap 

kaum Hadrami setempat yang diyakininya semakin sadar bahwa mereka 

ketinggalan dalam perlombaan menuju kemajuan.

Pijper tetap memperhatikan segala jenis gerakan dan tokoh Islam. Dia 

menganggap potret ‘Ali al-Habsyi yang dibingkai sama bergunanya seperti 

potret ‘Abd al-Ghaffar untuk memulai percakapan di kantornya. Pijper secara 

rutin diutus ke kongres Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond, dan Persis garis 

keras Bandung, dan tertarik pada tahun-tahun terakhir sang guru tarekat Arsyad 

Banten (1854–1934) di Manado. Arsyad Banten dikenal pula sebagai Arsyad al-

Tawil, “yang tinggi”, untuk membedakan dengan Arsyad b. ‘Alwan al-Qasir yang 

lebih pendek. Arsyad diasingkan ke Sulawesi sesudah  pemberontakan Cilegon. 

Dia memilih tetap tinggal di sana meski telah diizinkan kembali ke Banten pada 

1918. Dia yaitu  syekh tarekat terkemuka bagi kelompok minoritas muslim, 

bahkan duduk di Raad Agama. Pijper tampaknya menganggap menarik laporan 

yang menyebut nama Arsyad isebab  berbagai alasan, termasuk penyebutan 

sebuah tarekat, “yang tampaknya masih ada di sini”.

saat  meninggal pada 1934, pemakaman Arsyad al-Tawil dihadiri baik 

orang-orang Kristen maupun muslim. Surat kabar setempat memuat sebuah 

obituari yang pastinya membuat senang Snouck, yang mengingat kedua 

Arsyad, yang pendek dan yang tinggi, sebagai korban sistem kolonial:

Pada usia lebih dari 100 tahun, Bapa Hadji Banten meninggal dunia di 

rumahnya di Kampoeng Koemaraka sebagai interniran tertua di Minahasa. Dia 

masyhur di setiap sudut Minahasa, di seluruh Indonesia dan Belanda, bahkan 

di Hedjaz! Dikenal sebagai Hadji Arsjad Tawil, dia masyhur dalam surat-surat 

kaum terpelajar di Leiden, dan Bapa Hadji yaitu  sahabat dekat pakar Islam, 

Prof. Snouck Hurgronje, sang guru besar di Leiden yang mengajar para hakim 

senior. Mendiang Hadji datang sebagai seorang muda ke Airmadidi via penjara 

Glodok di Djakarta, dengan tuduhan sebagai penghasut pemberontakan Banten 

(bukan pemberontakan komunis pada 1926). Di Minahasa, Bapa Hadji bekerja 

sebagai penghoeloe Landraad dan goeroe Islam terkenal serta pemimpin santri 

Islam. Pada pukul 5.00 pagi hari ke-20 Maret 1934, jenazah Bapa Hadji diiringi 

ribuan muslim dan nonmuslim ke pemakaman Islam di Kokaweg. Komunitas 

Muslim seluruh Minahasa mengatakan bahwa makam Bapa Hadji Banten akan 

menjadi sebuah kramat.

Laporan ini  mungkin juga menyenangkan Pijper, yang hampir 

pasti memiliki pandangan Kristen-nya mengenai Islam. Snouck yang agnostik 

tentu sangat berhasil menekan sebuah nada ironis dalam kuliah-kuliahnya di 

Leiden, mengingat bahwa Pijper bebas berteori mengenai berbagai prasyarat 

yang dibutuhkan untuk berbaur dengan orang-orang Muslim. Perhatikan 

komentarnya mengenai “perspektif yang tenang dan sehat” seorang calon 

untuk jabatan Konsul Jeddah, C. Adriaanse (1896–1964):

Dia berasal dari kalangan Reformis, yang tentu akan membantunya memahami 

dunia pemikiran Moslim. Untuk itu, menurut saya seseorang harus selalu 

memiliki salah satu dari tiga hal: latar belakang Reformis, atau latar belakang 

religius—terutama dengan orientasi Injili, atau berdarah Semit. Dengan ini 

saya hendak menyatakan kecuali salah satu dari tiga syarat tadi dipenuhi, 

kesarjanaan seseorang mengenai Islam tidak akan pernah berarti apa-apa,

Juga jelas bahwa kehadiran Pijper dalam perdebatan antara Persis dan 

Ahmadiyah, disusul kongres NU, benar-benar merupakan Paskah yang sia-

sia. Dalam hal yang pertama, terjadi perdebatan sengit dari kedua belah 

pihak. Pijper merasa bahwa kelompok Ahmadiyah, dengan teknik mereka 

yang terlatih menghadapi orang-orang Kristen di India, memiliki kemampuan 

retoris yang jauh lebih unggul dibandingkan “para pembela ortodoksi, 

betapapun terpelajar dan tajamnya”. Adapun dalam kongres di Batavia bagi 

“kelompok paling sayap kanan”, asosiasi “para teolog kuno”, Pijper mencatat:

Kongres ini berlangsung enam hari, dengan pertemuan setiap pagi dan sore. 

Kelelahan fisik lebih besar bagi saya ketimbang lelah secara mental. Sangat 

melelahkan ber-sila di lantai untuk waktu begitu lama. Lingkaran diisi tokoh-

tokoh terbaik para kjahi Jawa, yang datang dari Bantam hingga Banjoewangi. 

Mereka yaitu  orang-orang yang terasing dari kehidupan modern, tanpa minat 

terhadap politik selama dunia pikiran mereka dibiarkan bebas. Namun, tetap 

ada keterlibatan dengan topik-topik aktual, seperti pemeriksaan postmortem dan 

persoalan Sajjid, meski dari sudut pandang yang sangat konservatif.66

Pijper juga menyatakan bahwa segala jenis pertanyaan dijawab dengan 

rujukan buku-buku tradisional. Misalnya, apakah bisa dianggap “darurat” 

(dan oleh isebab  itu diperbolehkan) bagi perempuan untuk pergi ke pasar 

tanpa bercadar dan tidak ditemani seperti yang merupakan praktik standar 

di Hindia. saat  ditanyakan apakah perempuan saat masuk surga akan 

mendapat empat puluh pelayan laki-laki, kumpulan ulama berserban itu 

tampak terbahak-bahak. Sebuah fakta yang dianggap Pijper menggambarkan 

semangat kongres.

Saya, layaknya Raja Saul di antara para nabi, diperlakukan sangat sopan (di 

kongres-kongres Moslim yang berorientasi modern orang merasakan suasana 

yang kurang bersahabat terhadap orang asing di tengah-tengah mereka). Saya 

(selain rasa sakit di persendian) merasa seolah sedang duduk di pangkuan 

Ibrahim. Tapi: itu berarti kehilangan enam hari kerja, dan malam.

Meski dirinya lebih nyaman dengan kaum tradisionalis “ortodoks”, 

Pijper merasa dia juga bisa memberikan banyak pada gerakan-gerakan modern, 

seperti al-Irsyad dan Muhammadiyah, yang para pemimpinnya dia kenal 

baik. Mereka meliputi Raden Muhtadi Natadiningrat, putra Muhammad ‘Isa. 

Muhtadi, seorang lulusan sekolah pelatihan bagi dokter pribumi dan kepala 

“seminari” Muhammadiyah di Yogyakarta, yaitu  seorang kawan bicara yang 

bersahabat. Sebaliknya, Pijper mendapat pengalaman yang lebih sulit dengan 

seorang guru didikan Mesir yang “sangat anti-Barat”.

Tentu saja tidak semua lulusan Azhar punya sikap bermusuhan. Putra 

Kiai Ru’yani, yang naik menjadi wakil ketua pondokan Indonesia di al-Azhar 

pada awal 1930-an, diratapi baik oleh orang-orang Indonesia maupun Belanda 

atas kematiannya yang mendadak pada 1945.

 Bagaimanapun, Pijper bisa 

menghadapi kedua jenis aktivis ini . Seperti yang dia tulis, “Moehammadijah 

mempertahankan diri sebagai sebuah organisasi yang hebat. Para anggotanya, 

menurut saya, tidak selalu simpatik, tapi saya menghargai pekerjaan mereka.”

Pijper juga agak menggurui Snouck mengenai pertanyaan apa itu Islam dan arti 

penting kontribusi potensialnya terhadap berbagai tren modern di Indonesia. 

Snouck yang lebih kalem, yang selalu menasihatinya agar bersabar, kerap 

mendesaknya untuk memublikasikan, dalam kata-kata Friedrich Max Müller 

(1823–1900), “potongan-potongan” dari bengkelnya ketimbang menunggu 

menyatukan semua potongan informasi potensial menjadi sebuah mahakarya. 

Dalam satu kesempatan, Pijper menyesal bahwa meski telah kembali ke Belanda 

terbebani dengan segala macam berkas yang dia rencanakan untuk dimanfaatkan 

untuk tulisan-tulisannya, semua itu tersingkir saat  proyek baru yang lebih 

mendesak dimulai sehingga berkas-berkas itu kehilangan “aktualitas”-nya.

Terdorong oleh nasihat semacam itu, Pijper mengumpulkan potongan-

potongan miliknya menjadi Fragmenta Islamica, yang berasal dari penyelidikan 

sumber primer mengenai posisi perempuan dalam pendidikan dan masjid, 

perceraian dan kemurtadan, serta munculnya tarekat Tijaniyyah. saat  

bukunya terbit, Pijper akhirnya merasa yakin bahwa Kantor Urusan Pribumi 

tidak lagi terancam akan ditempatkan di bawah Pamong Praja, meski Gubernur 

Jenderal De Jonge masih menganggap Kantor itu tidak memiliki manfaat 

yang jelas. Pijper bahkan melunakkan retorikanya mengenai Schrieke. Dia 

mengakui bahwa Schrieke telah menyelamatkan pekerjaannya saat  terancam. 

Namun, Pijper tidak pernah benar-benar memercayai lelaki itu yang akhirnya 

pergi ke Belanda (dan Institut Tropis Amsterdam) pada 1935.

Pijper akhirnya naik menjadi Penasihat untuk Urusan Pribumi pada 1936. 

sesudah  itu, dia bisa lebih memahami tekanan yang telah dibebankan kepada 

para mentornya. Meningkatnya ketidakpercayaan di kedua sisi warga  

Hindia pastinya membuat Schrieke sangat gelisah dan dia telah menentang 

penahanan banyak Nasionalis di Boven Digul. Dia juga bergabung dengan 

Stuw, seperti halnya Drewes, yang melalui berbagai jenjang kepangkatan 

hingga menjadi Direktur Biro Pustaka Rakyat pada 1930 serta menggantikan 

Hoesein Djajadiningrat sebagai Direktur Sekolah Hukum Batavia pada 1935.

Orang Indonesia sendiri semakin sedikit yang punya kesabaran untuk terus 

digurui, baik di Tanah Air maupun di luar negeri. Juga semakin banyak muncul 

pertanyaan mengenai warisan Snouck di kalangan orang-orang Indonesia dan 

mereka yang tertarik terhadap Indonesia. Revisi terjemahan Syakib Arslan 

atas karya Lothrop Stoddard, New World of Islam (diterbitkan pada 1923), 

menampilkan sebuah kuliah mengenai Hindia Belanda yang disampaikan 

di Kairo pada 1929 oleh sekutu Snouck Isma‘il al-‘Attas. Edisi revisi itu juga 

mencantumkan komunikasi Arslan dengan sang sesepuh kajian oriental itu. Di 

sini Arslan menentang pandangan-pandangan orang Belanda itu. Menurutnya, 

Snouck mengakui bahwa “kaum bidah” di antara muslim Jawi selalu lebih 

fanatik menentang Belanda ketimbang mereka yang beragama secara benar.

Komunikasi ini bermula pada Kongres Orientalis di Leiden pada 1932 

tempat sang penulis terkenal Taha Husayn juga hadir dan tampil sangat vokal. 

Sementara itu, Snouck yang merasa letih dengan dunia—dia tentu mengagumi 

daya ingat Taha Husayn, namun  mengeluhkannya sebagai tidak memiliki 

“kebijaksanaan” yang dibutuhkan untuk berbaur dengan orang normal—

melihat suaranya sendiri diproyeksikan lebih jauh dengan terjemahan bahasa 

Inggris dalam Mekka volume dua yang baru keluar dari percetakan. Sang 

penerjemah (mantan Konsul Inggris J.H. Monahan) menyatakan bahwa 

gambaran Snouck terhadap kota ini  “tidak sepenuhnya ketinggalan 

zaman”, namun  dia dan sang pengarang sangat menyadari berbagai perubahan 

besar yang tengah berlangsung di sana. Para konsul Belanda selanjutnya, 

Gobée, van der Plas, dan D. van der Meulen menjaga agar guru mereka tetap 

mendapat informasi sepenuhnya mengenai berbagai peristiwa di Arabia. 

Pangeran Faysal b. Sa‘ud bahkan mulai mengirimkan foto-foto kota yang 

sedang berubah sesudah  bertemu di Leiden pada 1926.78

Snouck merasa hubungan antara Belanda dan Kerajaan Arab Saudi sangat 

baik dibanding dengan rezim-rezim sebelumnya, dan barangkali dia pergi ke 

kubur pada 1936 dengan satu kekhawatiran yang berkurang mengenai hal 

ini . Namun, ada orang-orang di Arabia yang ingin menunjukkan bahwa 

hubungan dengan Hindia juga sama baiknya. Ini jelas merupakan pesan 

yang hendak disampaikan pada 1937 saat  sebuah surat kabar berkala baru 

diluncurkan di Mekah oleh orang-orang Sumatra dari kelompok yang oleh 

Pendeta Episkopal Raymond LeRoy Archer (1887–1970) disebut “ortodoks” 

mengingat nada sebuah laporan yang ditulisnya mengenai Pesisir Barat pada 

tahun ini .79 Berjudul al-Nida’ al-islami/Perseruan Islam, surat kabar 

Mekah itu yaitu  upaya untuk membawa para murid Jawi kembali ke Hijaz. 

Nada artikel-artikelnya jelas reformis, namun  Sufisme tidak terlalu dikutuk 

dibandingkan para syekhnya pada masa modern. Para editornya berkonsentrasi 

pada berbagai pencapaian bangsa-bangsa Asia Tenggara—sekarang disebut 

secara eksplisit sebagai “orang-orang Melayu” dan “orang-orang Indonesia”—

dan mengisahkan Islamisasi di tanah air mereka oleh para pedagang Arab. 

Narasi ini pastinya tampak wajar bagi mereka. Namun, muncul reaksi keras 

dari salah seorang penulis Arab, Husayn Ahmad Hasanayn, yang mengutip 

karya C.C. Berg bahwa bahasa Melayu dipenuhi “berbagai keanehan” jika 

digunakan untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab.

Kejengkelan yang sama menyambut kekhawatiran yang disuarakan 

dalam Pedoman warga  di Medan pada 1938. Di bawah tajuk “kitab-kitab 

jang berbahaja”, dia mengeluh adanya ribuan risalah Barat yang menyerang 

Islam dengan menggunakan berbagai buku yang beredar di kalangan Muslim 

sendiri. Secara khusus dia menyasar apa yang digambarkannya sebagai dongeng 

omong kosong dan takhayul yang diduga diimpor dari Persia dan India.

Jika orang lain tidak mempelajari kebenaran sejati mengenai Islam, dan jika para 

intelektual muda didikan Barat melihat kandungan buku-buku semacam itu 

yang ada di tangan orang-orang Muslim masa kini, mereka akan menjatuhkan 

vonis bahwa Islam yaitu  agama bangsa-bangsa liar di ujung paling terpencil 

dari pulau-pulau yang tidak memiliki kebudayaan. saat  kami belajar di soerau 

lima belas tahun lalu, kitab Bada-i‘oez Zoehoer masih disukai di kalangan para 

murid. Di sana dinyatakan bahwa dunia terletak di ujung tanduk seekor sapi 

raksasa yang, saat  ketakutan, menggoyangkan kepalanya dan menyebabkan 

gempa dahsyat!

Yang barangkali lebih buruk dalam pandangan sang pengarang yaitu  

sebuah karya yang dikenal sebagai Daqa’iq al-akhbar (Perincian-Perincian 

Berbagai Berita). Karya ini menyatakan bahwa Nur Muhammad mendahului 

penciptaan, terbang menembus tujuh lapis langit dalam bentuk seekor burung 

nuri. Lalu, ada juga kisah-kisah “Syi‘ah”, seperti mengenai Muhammad 

Hanafiyya, dan berbagai wirid serta mantra ajaib tarekat yang begitu memikat 

bagi orang-orang desa dan dijual di toko-toko buku. Sebagian bahkan 

mengklaim bahwa Tuhan dan manusia yaitu  satu dan bahwa shalat tidak 

lagi diperlukan bagi kelompok elite!

isebab  alasan-alasan demikian, selain memprotes buku-buku Barat, para 

pengarang dan penulis muslim juga harus memperhatikan penyakit yang 

menjangkiti umat mereka sendiri untuk mencegah agar kita tidak menjadi bahan 

tertawaan yang tak berdaya. Ingat: Sjech Moehammad Abdoeh memperoleh 

kemenangan besar saat  dia berdebat dengan filsuf Arnest Renan [sic]. 

Namun, dia kalah saat  di akhir polemik ini  sang filsuf berkata, “Saya 

mengakui bahwa saya telah kalah saat  menghadapi argumen-argumenmu, 

namun  keadaan umat Muslim yang saya lihat hari ini membuat saya mustahil 

menyerah di hadapan informasi Anda ....” Perhatikanlah!81

Terlepas dari retorika mereka mengenai kondisi fisik yang ditanggung 

oleh begitu banyak muslim Indonesia, banyak pembaharu meyakini bahwa 

perang melawan penyimpangan zaman pertengahan di kalangan orang awam 

perlahan-lahan berhasil dimenangi, seperti halnya perang melawan kekuasaan 

kolonial mulai berakselerasi. Dengan badai yang mulai berkumpul di Eropa 

dan Asia, sebagian orang bahkan sudah mencium kemenangan bagi sebuah 

tanah air muslim yang bisa dikenali. Tepat sebelum pendudukan Jepang, 

berbagai surat kabar dengan nada yang jelas-jelas Islami mendesak keras 

meminta konsesi dari sebuah negara bayangan yang sekarang terputus dari 

metropolis, yang telah jatuh ke tangan Jerman pada Mei 1940. Memuat 

artikel-artikel presiden masa depan, Soekarno, Islam Raya di Solo bahkan 

menampilkan sebuah sampul baru yang menunjukkan sebuah menara pseudo-

Moor dipasang dengan latar belakang peta kasar Nusantara. Para editornya 

dengan bangga mengumumkan sampul mereka:

Saudara-Saudara, Anda pasti akan mengenalinya. Ini tidak benar-benar i