t Konsul Jenderal Pemerintah
asing (Turki) untuk mendukung maksudnya dengan membawanya dari
satu tempat ke tempat lain. Aksi mereka pastinya mendukung kebenaran
pernyataan saya bahwa Pemerintah peduli pada gerakan Al-Irsjad.
D.S. [dengan mendesak] Anda tidak boleh berkata begitu.
B.A. Apa gunanya Anda mendesak agar saya tidak mengatakan sebuah fakta
yang diketahui oleh ratusan ribu orang?
Pada Juni 1920 Dunn menasihati Lord Curzon bahwa meski tak ada
pengganti yang sudah ditunjuk untuk Hazeu, tiga Ajun Penasihat sudah
dicalonkan; Kern, Hoesein Djajadiningrat, dan Schrieke. Dari ketiganya, Dunn
menyatakan Djajadiningrat-lah “yang paling menarik”, mengingat dia dididik
di Leiden, seorang doktor bahasa-bahasa oriental, dan terkenal sangat cakap.
Namun, sayangnya Dunn mendapat informasi keliru mengenai kesetiaan
Djajadiningrat. Sebagai “saudara Bupati Bantam yang merupakan turunan
langsung para Raja Jawa Barat”, dia “sangat tidak menyukai Belanda”.
Barangkali akan lebih adil jika dikatakan bahwa dia sangat tidak
tertarik pada berubahnya sifat rezim yang akan berkuasa selama dua dekade
lagi, sementara kebangkitan kembali Wahhabiyyah akan memberi amunisi
tambahan bagi para sayyid yang menentang al-Irsyad dan bagi banyak
pembaharu yang bersekutu dengan mereka. Perselisihan ini akhirnya menjadi
begitu panas sehingga Schrieke ditugaskan mengawasi konflik ini di
surat kabar serta menyusun sebuah laporan mengenai negara Hasyimi yang
tengah berjuang yang umumnya didukung oleh para sayyid.
Jabatan Penasihat untuk Urusan Pribumi menyiratkan bahwa seseorang
memberi Pemerintah—Hindia Belanda dengan demikian Gubernur Jenderal—
nasihat mengenai segala urusan, jika Gubernur Jenderal berkenan menerimanya.
Apalagi pada hari-hari yang berhubungan dengan gerakan nasionalis dan segala
manifestasinya serta berbagai urusan yang sepenuhnya muslim. Kita bisa
membayangkan bahwa seorang gubernur jenderal dengan pemahaman dan
simpati terhadap nasionalisme menganggap patut menerima nasihat demikian,
sementara, di sisi lain, seorang gubernur jenderal lain, yang menganggap bahwa
cara kerja yang tepat yaitu dengan menjalankan negeri ini sebagai sebuah
negara polisi sehingga tidak akan merasa perlu berkonsultasi dengan sang
penasihat. Pada masanya sebagai penasihat, Gobée mengetahui kebenaran hal
ini. Secara pribadi, dia selalu mendapat kepercayaan dari penduduk pribumi.
Orang kaya maupun miskin tahu cara mendatangi kantornya. Dia selalu siap
untuk mendengarkan keluhan dan cerita mereka untuk membantu mereka pada
masa-masa sulit atau menunjukkan jalan bagi mereka.21 (R.A. Kern, obituari
untuk E. Gobée, 1954)
Sejauh ini kita sudah mempertimbangkan berbagai tindakan yang diambil
di Leiden, di bawah Snouck, menuju institusionalisasi kajian Islam. Tujuan
Snouck yaitu membekali para pejabat dengan sebuah pengetahuan dasar yang
kukuh mengenai bahasa, hukum, dan mistisisme agar mereka bisa berperan
sebagai penyokong yang murah hati terhadap hak-hak pribumi di negara
kekuasaan Belanda. Snouck hanya mampu menghasilkan beberapa salinan
pucat dirinya isebab bekerja melawan arus resmi. Yang berbaris mengadang
dirinya dan para pakarnya yaitu para kritikus tangguh yang percaya bahwa
kaum Etisis telah melahirkan mimpi buruk yang mengancam imperium tropis
mereka. Dalam sebuah esai tuduhan yang melantur dan mengambil judulnya
dari De stille kracht—(Kekuatan Tersembunyi), novel karya Louis Couperus
mengenai ketakutan akan Islam dan orang-orang pribumi—mantan Konsul
Jeddah yang sakit hati, Henny, menyiarkan berbagai spekulasinya yang dulu
diabaikan mengenai Syattariyyah sebagai bukti bahayanya nasionalisme
Islam seperti yang disokong Snouck. Dia bahkan menuduh Snouck tidak
menyadari bahaya yang dimunculkan oleh para tokoh seperti Kiai Krapyak,
atau setidaknya orang-orang yang terdorong mengikutinya secara membuta
seolah dia yaitu seorang syekh Sufi. Di antara banyak tuduhannya, kadang
berdasar pembacaan selektif atas Mekka dan De Atjèhers, Henny lebih
jauh menuduh bahwa sang penasihat kerap lebih memercayai orang-orang
pribumi dan Arab yang meragukan ketimbang para Pamong Praja yang sudah
lama dibuat prihatin oleh bahaya-bahaya yang mereka hadapi, pertama dari
berbagai persaudaraan dan kemudian dari Afdeling B Sarekat Islam.
Pada pertengahan ‘20-an kaum yang menyebut dirinya Etisis menerima
kritik yang lebih banyak lagi. Di Belanda, pembalikan reaksioner menyaksikan
pendirian sebuah sekolah pelatihan di Utrecht pada 1925 sebagai tandingan
bagi kemapanan Leiden yang dianggap berada di bawah kendali seorang
Arabis yang nyaris menjadi orang Arab. Sementara itu, beberapa pihak di
Hindia menganggap putusan ‘Abd al-Ghaffar, yang dulu tanpa cacat, untuk
menikahi Ida Maria van Oort (1873–1958) sebagai bukti ketidaktulusannya,
atau setidaknya sebagai langkah kembali ke agama Eropa-nya. Seorang
koresponden untuk Djawa Tengah menyatakan bahwa Snouck mengaku
menjadi seorang muslim sekadar untuk menulis buku-buku mengenai Islam.
Sewaktu kembali ke Belanda, Snouck menikah sesuai ritual Kristen. “Dan,
itu sudah benar,” katanya, “setiap orang sudah seharusnya mengangkat agama
mereka sendiri.” Sebagai tanggapan, Darmo Kondo menyatakan, “Sekarang
kita bertanya kepada diri kita sendiri, agama apa yang benar-benar sejati untuk
orang Jawa? Menurut S.I. dan orang-orang pada umumnya, yaitu Islam!”
Selalu akan ada orang yang kegiatannya seolah hendak membuktikan
bahwa Snouck sejak semula memang condong pada Kristen. sesudah
menyelesaikan studi doktor di bawah bimbingan Snouck pada 1921
(mendiskusikan kembali teks Sufi dari abad keenam belas yang kali pertama
diedit oleh Gunning), Hendrick Kraemer (1888–1965) dipercaya oleh
warga Injil Belanda untuk menyiapkan Injil terjemahan bahasa Jawa
yang baru dan mengkaji berbagai perkembangan terbaru dalam Islam.
Usaha pertamanya berbentuk laporan yang dikirimkan dari Kairo berisi
tentang berbagai perkembangan terbaru di sana, termasuk manifestasi nada
antikolonial yang lebih nyaring di kalangan para siswa. Laporan-laporan
demikian tentu saja ditujukan untuk membantu misi. saat menduduki
jabatan penasihat bagi Jong Java, dia memberikan kuliah-kuliah mengenai
agama Kristen. Sebagian siswa mengungkapkan keinginan untuk mendapat
lebih banyak kuliah mengenai Islam. Hal ini menimbulkan perpecahan dan
terbentuknya Jong Islamieten Bond (JIB), yang surat kabarnya, Het Licht,
mendaulat si orang Sumatra, Agoes Salim, sebagai penasihat utama. Surat
kabar ini sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan gerakan Ahmadiyah di India
dan memanfaatkan karya-karya kesarjanaan Barat. Meski banyak hal bisa
disimpulkan dari fakta bahwa karya Snouck Hurgronje dikutip dalam artikel-
artikel yang dikirim ke Het Licht, tak ada penerimaan yang pasif terhadap apa
yang disampaikan olehnya dan para penirunya.
Pemisahan kepentingan antara Belanda dan rakyat Muslim-nya semakin
mengeras. Kraemer semakin tenggelam dalam tradisi tekstual Sufisme,
menggambarkan Islam sebagai entitas Timur Tengah yang darinya orang-orang
Indonesia secara efektif terasingkan. Dia melihat kaum Muslim Indonesia
sebagai sebuah persoalan misi. Kraemer yakin bahwa para pemimpin elite
kaum Muslim Indonesia—bahkan yang terdidik ala Belanda—menjelajahi
asal usul agama mereka untuk menguatkannya di sebuah panggung yang
mereka anggap berjangkauan global serta memperbaiki kegagalan mereka
yang mencolok untuk memenuhi standar-standar yang sebenarnya. Tak
diragukan lagi, para anggota muda Jong Islamieten Bond tidak antusias
terhadap berbagai yang dicapai dalam volume pertama kuliah-
kuliah Kraemer untuk para guru Kristen, saat dia mengatakan bahwa Islam
yang terikat aturan dirancang untuk mendominasi dunia, sedangkan Kristen
ditakdirkan untuk memperbaruinya.
Para anggota Jong Islamieten Bond melaporkan dengan penuh semangat
pendirian berbagai surat kabar persaudaraan, seperti Seruan Azhar di Kairo. Di
sisi lain, mereka tetap tertarik pada apa yang disampaikan orang-orang seperti
Kraemer mengenai evolusi mereka dari Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Sebuah tajuk rencana Kasman menunjukkan bahwa berbagai asosiasi Islam
sudah lama mengusahakan sebuah pendidikan yang didasarkan pada Islam
sekaligus sejarah nasional yang juga memperhatikan “ilmu pengetahuan dan
berbagai tuntutan zaman modern”.
Jika sekadar mengambil pandangan objektif terhadap sejarah kita, kita akan
melihat bahwa tidak di mana pun, terlebih di pulau kita, Islam dipaksakan
kepada rakyat melalui sebuah penaklukan. Begitu pula Islam tidak dibawa
kepada kita oleh para imigran. Tak lebih dari sembilan orang yang membawa
Islam ke sini. Berkat teladan mereka yang luar biasa, rakyat terbawa ke agama
mereka yang membebaskan orang dari ketakutan serta penyembahan banyak
roh dan dewa, yang membuat orang bebas dari sistem kasta yang membuat
rakyat pribumi melihat diri mereka digolongkan sebagai kasta paling rendah,
sementara dua kasta tertinggi disediakan untuk mereka yang datang dari
seberang laut dan meraih kedudukan penguasa.
Bagi Kasman, yaitu tentara Jawa yang meruntuhkan kerajaan-kerajaan
Hindu sebelum membanjirnya hegemoni Barat, bukan orang-orang Arab
yang menurutnya tidak patut mendapat penghormatan istimewa. Akan jauh
lebih baik bagi orang-orang Indonesia, pikirnya, mempelajari penyebab yang
telah mengubah sebuah bangsa padang pasir setengah liar menjadi bangsa
yang menguasai dunia, dan menjawab tuduhan bahwa Islam melumpuhkan
perempuan. Jauh lebih banyak ruang dalam Het Licht ditujukan untuk
membela yang oleh para editor dirasa sebagai agama yang banyak difitnah,
terutama dalam kaitannya dengan fatalisme yang dianggap dikandungnya.
Seperti yang ditulis oleh seorang Tidar pada Juni 1926:
Orang Islam disebut fatalis. Wahai betapa sebuah kata yang hebat! Betapa
sebuah kesalahan yang besar! Mereka lupa bahwa fatalisme tidak berada dalam
Islam, namun dalam sang pribadi. Islam murni dan bebas dari fatalisme. Mereka
masih mengacaukan Islam dengan sisa Hinduisme. Ya, orang-orang ini tidak
ingin melihat Islam secara saksama. Mereka hanya tahu sedikit mengenai Islam,
dan itu pun dari orang non-Islam yang sepenuhnya dikenal sebagai Islamolog
seperti Snouck Hurgronje dan rekan-rekan. Orang-orang terpelajar ini tidak
mengetahui kebenaran mengenai Islam, meski menguasai bahasa Arab.
Lagi pula, seperti yang juga dicatat Tidar, musuh Nabi yaitu para
penutur bahasa Arab yang sempurna, namun mereka pun tidak mengenal
karakter Islam yang sebenarnya. Para pemeluk Islam bukanlah hamba siapa
pun, seperti yang ditunjukkan oleh contoh orang-orang Turki dan Maroko.
Namun, ini tak berarti bahwa orang-orang Islam elite memutuskan semua
komunikasi dengan Belanda, atau bahkan dengan para Islamolog. Sebuah
ulasan mengenai ulang tahun pertama Jong Islamieten Bond secara antusias
mencatat kehadiran Penasihat untuk Urusan Pribumi yang diundang selain
banyak asosiasi—termasuk Jong-Java, Jong-Sumatranen Bond, Jong-Ambon,
Studie-Club “Indonesia”, Muhammadiyah, Partij Sarekat Islam, Jam’iyyat al-
Khayr, dan Studie-fonds Kota Gedang—yang berkumpul untuk merayakan
berbagai usaha mereka untuk memberikan manfaat bagi “Indonesia kita
tercinta”
Pada 1926 terdapat partai-partai yang penting di panggung, bukan
sekadar klub-klub. Kelompok komunis dan nasionalis sekuler perlahan-
lahan membangkitkan harapan rakyat dan memenangkan bagian terbesar
dari perhatian mereka—dan, akibatnya, bagian terbesar pula dari perhatian
pemerintah. Persidangan-persidangan pun digelar, dan mereka yang diputuskan
bersalah melakukan penghasutan atau pelanggaran aturan sensor yang keras
dipenjara atau diasingkan ke kamp-kamp seperti Boven Digul, di Nugini
Belanda. Sedangkan bagi Islam dan pemerintah Hindia, kejutan terbesar
barangkali muncul sesudah usaha pemberontakan Komunis di Sumatra Barat
dan Banten pada 1926–27. sesudah nya, ratusan orang akan kembali dapat
melaksanakan ibadah haji secara relatif aman. Dalam kasus pemberontakan
Sumatra Barat, Schrieke dipanggil lagi dan, pada 1928, memberikan sebuah
penilaian mengenai berbagai peristiwa ini. Namun, Mekah yang didatangi
para pelarian pemberontak telah berubah. Dengan meninggalnya al-Zawawi,
mengungsinya para syarif, dan kembalinya Wahhabi di bawah pimpinan Ibn
Sa‘ud, terdapat ancaman yang jelas baik terhadap wibawa sayyid maupun
praktik tarekat di segala sisi. Selain itu, banyak makam yang disucikan dari
masa lalu rencananya akan dihancurkan. Di Hindia, kabar ini disambut
dengan ketidakpercayaan. Penghapusan kekhalifahan oleh Majelis Nasional
Turki telah menimbulkan jauh lebih banyak diskusi dan kampanye, berujung
pada pembentukan utusan-utusan tandingan menuju Mekah dan Kairo
untuk mewakili umat Muslim Hindia yang, ternyata, lebih bersatu daripada
sebelumnya, meski hanya dalam arti bahwa mereka ingin memetakan masa
depan tanpa kepemimpinan Arab.
Sebagai bagian dari pergeseran ini, dan reaksi atas klaim kaum reformis
bahwa mereka mewakili keseluruhan kepentingan Indonesia di Mekah, dan
juga klaim Sayyid Bin ‘Aqil dan Hasan al-‘Attas bahwa mereka mewakili seluruh
bangsa Asia Tenggara di Kairo, sebuah aliansi para kiai Jawa mulai membentuk
sebuah komite mereka sendiri untuk dikirimkan ke Mekah. Maka, sebuah
lembaga baru, “Nahdlatul Ulama” (NU), lahir di bawah bimbingan Hasyim
Asy‘ari dari Tebuireng. Tapi, apa makna gerakan(-gerakan) baru ini bagi Asy‘ari?
Dalam sebuah risalah eskatologis, yang diterbitkan bertahun-tahun sesudah dia
wafat, Asy‘ari menulis mengenai kemunculan “faksi licik” ‘Abduh dan Rasyid
Rida pada sekitar 1912. Mereka dianggap menyerang Sunah yang disepakati
oleh orang-orang besar masa lalu, khususnya praktik ziarah kubur serta
dzikr. Namun, Asy‘ari tidak menjelaskan berbagai kekeliruan mereka secara
mendalam. Dia mengarahkan perhatian pada penjelasan tradisional terhadap
penyimpangan kaum pseudo-Sufi dan Wujudiyyah, yang tetap merupakan
ancaman terbesar bagi umat Muslim, yang dalam pandangannya sama dengan
kaum Materialis dan Kristen (atau bahkan “Majusi” dalam hal ini).
Pada 1927 Snouck secara resmi mundur dari jabatan guru besarnya di
Universitas Leiden. sesudah bertahun-tahun, dia akhirnya mengikuti garis
pemikiran yang sangat kritis terhadap sebuah sistem yang dia rasa tidak
mampu menjawab berbagai kebutuhan orang-orang Indonesia modern.
Keberatannya yang paling bagus diringkas dalam sebuah artikel dari 1923 yang
menyuarakan bahwa dia mengingat kasus Arsyad b. ‘Alwan dari Serang, yang
dibiarkan merana di pengasingan sesudah Pemberontakan Cilegon.35 Semasa
Snouck pensiun, karya-karya utamanya yang dikumpulkan oleh muridnya,
A.J. Wensinck (1882–1939), dibundel untuk perpustakaan-perpustakaan
Orientalis di seluruh dunia. Banyak murid serta koleganya hadir, atau
setidaknya diundang, untuk bersulang memberi selamat kepada sang sesepuh
PENGERASAN DAN PERPISAHAN — 253
kajian Islam. Murid-muridnya juga mulai mendirikan sebuah institut untuk
kajian Islam. Para kontributornya meliputi para bangsawan, mantan gubernur
jenderal, dan Orientalis yang aktif di Eropa. Kelompok terakhir ini mencakup
Hazeu dan Kern (yang juga kembali ke Belanda dengan kecewa pada 1926),
Louis Massignon di Paris, dan R.A. Nicholson di Cambridge. Dari luar
negeri ada kontribusi dari Muhammad Kurd ‘Ali (1876–1953) di Damaskus,
Ahmad Zaki (1867–1934) di Kairo, ‘Umar Nasif di Jeddah, ‘Abd al-Rahman
b. ‘Abdallah al-Zawawi di Mekah, para anggota Kantor Urusan Pribumi, serta
‘Umar Manqusy, ‘Ali al-Habsyi, Abu Bakr dan Isma‘il al-‘Attas, dan tentu saja
keluarga Djajadiningrat. Bahkan, dalam pengantarnya pada Panji Poestaka
edisi khusus kenang-kenangan, Hoesein Djajadiningrat menyatakan bahwa
dia dan orang-orang sezamannya menghormati Snouck sebagai “guru, dalam
oriental dan mistis”, serta menambahkan bahwa semua guru tersamar olehnya
dan menganggap kehormatan kalah pamor olehnya.36
Yang absen dari perayaan ini yaitu nama banyak penasihat
kehormatan dan sahabat penting yang didaftar di Panji Poestaka. Beberapa
orang tidak hadir isebab usia, jarak, atau masalah finasial. namun , juga
tampaknya ada sebuah pergeseran dari rombongan orang-orang seperti
Sayyid ‘Utsman dan Hasan Mustafa ke orang-orang seperti Ahmad Surkati
dan Agoes Salim, sebuah pergeseran yang memiliki keserupaan global.
Kairo tetap merupakan titik penting dalam jaringan Snouck. Dia sangat
mengetahui berbagai perdebatan yang terjadi di kota itu. Universitas
negerinya baru didirikan pada 1908 dengan direktur Ahmad Zaki. Sang
Direktur berusaha merekrut Snouck ke dalam staf pengajarnya.38 Snouck juga
menjalin hubungan dengan beberapa intelektual Kairo saat mereka belajar
di Eropa, termasuk Mansur Fahmi serta dua bersaudara ‘Ali dan Mustafa ‘Abd
al-Raziq, kesemuanya pergi ke Prancis diilhami gagasan-gagasan Muhammad
‘Abduh. Namun, meski Mansur Fahmi bisa menulis dengan antusias pada
1925 mengenai harapannya akan sebuah masa depan modern di bawah
kepemimpinannya, dia juga menunjukkan bahwa ‘Abd al-Raziq bersaudara
mendapati jalan mereka agak sulit.
Yang lebih tua dari kedua bersaudara itu, Mustafa ‘Abd al-Raziq (1885–
1947), lulus dari al-Azhar pada 1908 dan pergi ke Sorbonne pada 1909, tempat
dia belajar di bawah bimbingan Émile Durkheim. Sejak 1911 dia belajar Hukum
dan Filsafat Islam di Lyon, mempertahankan sebuah tesis mengenai al-Syafi‘i.
sesudah kembali ke Mesir pada 1914 dia bekerja sebagai seorang jurnalis dan
administrator, dan terlibat dalam Partai Ummah. Menyusul pencopotannya
dari al-Azhar oleh Raja Fu’ad, dia menjabat profesor utama dalam Filsafat
Islam di Universitas Kairo mulai 1927 hingga 1938. Di sini dia mengedit
makalah-makalah ‘Abduh dan menulis mengenai Sufisme. Tampaknya
Mustafa-lah yang telah membawa ke konsensus Salafi zaman modern bahwa
Sufisme yaitu sebuah kepedulian antikuarian. Sebuah petunjuk mengenai
pandangan-pandangannya perihal masalah ini bisa ditemukan dalam publikasi
yang berawal sebagai sebuah kuliah yang disampaikannya di Leiden pada 1932
dan yang dia publikasikan bersama Massignon.40
Yang jauh lebih kontroversial yaitu saudara Mustafa, ‘Ali (1888–1966).
Dia menyatakan bahwa lembaga khalifah yaitu sebuah inovasi, barangkali
mengulangi kuliah-kuliah Snouck mengenai persoalan ini.41 Seperti yang
diinformasikan Mansur Fahmi kepada Snouck pada 1925, pernyataan itu
membuat gelar ‘Ali dicopot isebab tidak semua pihak di Kairo bersimpati
pada program dua bersaudara ‘Abd al-Raziq itu, pun tidak semua pengikut
‘Abduh berhubungan baik dengan Snouck Hurgronje. Rasyid Rida yaitu
salah seorang kritikus yang vokal terhadap pembicaraan apa pun mengenai
kematian khalifah. Ada pula Syakib Arslan (1869–1946) yang mengecam
Snouck isebab berusaha menghilangkan kesetiaan orang-orang Muslim
di Timur Jauh terhadap kaum Mukmin yang lebih luas dan sebaliknya
menanamkan dalam diri mereka rasa kepemilikan nasional yang semu.
Namun, rasa tidak sukanya pada apa yang dia anggap sebagai rencana Snouck
untuk menciptakan kaum Muslim “Indonesia” tidak mencegahnya dari
mengandalkan tulisan-tulisan Snouck dalam soal mendokumentasikan sejarah
bangsa ini serta orang-orang Arab di antara mereka. Rasa tidak suka yang
sama tidak menghentikan Rasyid Rida dari mengirimi Snouck sebuah salinan
karyanya Wahy almuhammadi (Wahyu Muhammad) pada 1933. Mungkin
sebagai usaha untuk mengajak Snouck ke posisinya.42 Juga jelas bahwa Rida,
yang kerap mengunjungi lingkaran-lingkaran Naqsyabandiyyah pada masa
mudanya, memiliki pandangan serupa mengenai persaudaraan-persaudaraan
“mabuk”. Meskipun dia menahan diri tidak menerbitkan manuskripnya yang
sudah lama dijanjikan mengenai tarekat, pandangan-pandangannya terlihat
jelas isebab perlahan-lahan dia mulai berderap seiring sejalan dengan orang-
orang Saudi pada 1920-an.
MENDUNG MENGGANTUNG DI ATAS KANTOR URUSAN PRIBUMI
Meski bertindak sebagai Kanselir Universitas Leiden sejak 1922, Snouck
Hurgronje terus melatih (atau setidaknya menguji) para sarjana-pejabat
dengan caranya yang tersohor tak kenal kompromi sebelum mereka diizinkan
ke lapangan atau, bagi sedikit orang dan sesudah studi tambahan dalam bahasa
Arab dan bahasa Aceh, ke Kantor Urusan Pribumi. Dua lulusan dari program
yang melelahkan ini yaitu G.F. Pijper dan G.W.J. Drewes. Yang pertama
menyelesaikan sebuah disertasi mengenai Alf masa’il di bawah bimbingan
van Ronkel pada 1924 dan kemudian dikirim ke Batavia menerima tugas
sebagai Asisten Penasihat, pertama di bawah Kern dan kemudian di bawah
Émile Gobée (1881–1954).43 Dia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh
di segala sisi warga Hindia. Dia paling dikenal isebab kaitannya dengan
kaum pembaharu seperti Ahmad Surkati, wakilnya ‘Abdallah b. ‘Abd al-Qadir
Harhara (ditandai dalam berkas-berkas Inggris sebagai “musuh yang sangat
berbahaya”), dan Hamka (‘Abd al-Malik Karim Amrullah), putra Haji Rasul
yang banyak omong.44 Sementara itu, Drewes, putra seorang kepala sekolah
Protestan, pada 1925 mempertahankan studinya mengenai tiga orang Akmali
dari abad kesembilan belas. Dia pindah ke Jawa untuk menduduki sebuah
jabatan di Kantor Urusan Pribumi sebelum dipindahkan ke Biro Pustaka
Rakyat pada tahun berikutnya.
Baik Drewes maupun Pijper sangat mengagumi guru mereka, mengikuti
nasihatnya dan mengabadikan kenangan mengenainya di Leiden dan
Amsterdam. Namun, mereka tidak diperlakukan setara. Jauh dari setara.
Snouck memulai sebuah korespondensi yang panjang dan kebapakan dengan
Pijper segera sesudah ulang tahunnya yang ketujuh puluh. Sebaliknya, dia
tak pernah menawarkan catatan-catatan lapangannya kepada Drewes muda
atau malahan dia tidak pernah berbagi dengan Drewes. Tesis Drewes jelas
tidak menggunakan berbagai manuskrip Snouck sebagai rujukan, yang bisa
jadi memberikan informasi mengenai pokok bahasannya. Pada satu titik dia
terpaksa mengutip panjang lebar edisi bahasa Inggris (bukannya edisi asli
berbahasa Belanda) karya Snouck De Atjèhers.
Meski tak mendapat restu gurunya—selain berbagai penghinaan seperti
dilewatkan Snouck pada 1929 untuk sebuah jabatan yang jatuh ke tangan
C.C. Berg (1900–90)—Drewes selalu berpegang pada berbagai standar
gurunya, meniru metode-metodenya yang keras, dan mempertahankan minat
pada bidang kajian Islam masa lalu dan masa kini. sesudah menghadiri sebuah
ceramah di Yogyakarta oleh Mirza Wali Ahmad Beg yang seorang Ahmadiyyah,
dia menulis kepada teman baiknya Petrus Voorhoeve (1899–1996) pada
1926, menyatakan bahwa Djåwå yaitu surat kabar yang membayar para
kontributornya “dengan sangat baik”. Pada tahun ini dia memublikasikan
sebuah artikel singkat di surat kabar Djåwå mengenai Syekh Yusuf.46 Yang
tidak disebutkannya yaitu bahwa dia termasuk sebagai dewan redaksinya,
bersama Hoesein Djajadiningrat. Surat kabar itu kemudian menjadi tempat
bagi beberapa tinjauan pertamanya, yang terkenal keras, seperti saat dia
mencabik-cabik sebuah tesis J. Doorenbos mengenai Hamzah Fansuri.47
Segera sesudah tiba di Jawa, Drewes ditunjuk sebagai seorang pejabat
bahasa, sebuah jabatan yang semula dikira Pijper sepele dibandingkan
peran awalnya yang sangat sibuk. Namun, seperti akan kita lihat di bawah,
keadaan berubah bagi Pijper dan bahkan bagi Kantor secara umum, sesudah
berbagai pemberontakan pada pertengahan tahun dua puluhan. Pastinya
dia tidak selalu menjadi cendekiawan pertama yang dimintai pendapat.
Sebaliknya, cendekiawan itu yaitu Schrieke yang saat itu menjabat Guru
Besar Etnologi dan Sosiologi di Batavia. Schrieke yang diutus untuk menulis
tentang pemberontakan komunis di Sumatra Barat, naik ke jabatan Direktur
Pendidikan (dan dengan demikian atasan Pijper) pada 1929. Hal ini membuat
Pijper sangat tidak senang. Pijper percaya bahwa Schrieke menganggapnya
sebagai otoritas pesaing mengenai Islam di Batavia. Benar atau tidak, surat-
surat Pijper kepada Snouck, yang pernah disebutnya sebagai “cita-citanya yang
tak mungkin tercapai”, menuturkan kisah yang tak dikehendaki mengenai
Kantor yang terpecah di bawah tekanan untuk melaksanakan tugasnya di
hadapan Pamong Praja yang tidak terlalu menghargai para Penasihat, dan
pastinya tidak terlalu bersimpati kepada orang-orang Indonesia.
Keadaan tidak bermula dengan begitu muram bagi sang Ajun Penasihat
untuk Urusan Pribumi. Segera sesudah kedatangannya, Pijper menemani Kern
dalam sebuah tur mengelilingi Banten pada akhir Januari 1926, menemui
Penghulu Kepala saat itu, Raden Muhammad ‘Isa (l. 1874), kerabat lain
keluarga Djajadiningrat yang mengklaim pernah bertemu Snouck di Jeddah
saat masih muda. Namun, saat itu yaitu masa yang tegang. Sang Residen
sangat ingin mengetahui apa yang bisa dipelajari Pijper mengenai pengaruh
komunisme terhadap orang-orang lokal. Pastinya terdapat ketegangan dalam
keluarga sang kiai terkemuka Banten, Asnawi dari Caringin. Menantunya,
Ahmad Khatib (yang lain), yang menggantikan Hasan Djajadiningrat sebagai
kepala Sarekat Islam di Serang pada 1920, konon yaitu komunis terkemuka di
kawasan ini. Menurut kabar angin, Asnawi telah meminta agar Ahmad Khatib
menceraikan putrinya. Ahmad Khatib sama sekali tidak ingin melakukannya,
mengingat dia mendapatkan gengsi yang besar dari hubungannya dengan
seorang kiai yang, seperti Muhammad ‘Isa, terhubung dengan keluarga
Djajadiningrat. Anggota klan ini termasuk mantan Bupati Serang, R.A.
Djajadiningrat (w. 1933) dan putra tertuanya, R.A.A. Djajadiningrat, mantan
murid Snouck dan kemudian Bupati Batavia.
Sebagian besar dari informasi ini berasal dari Kiai Ru’yani, yang
mengaku pernah berjumpa dengan ‘Abd al-Ghaffar di Mekah saat masih
muda. Asnawi juga mengaku memiliki sejenis hubungan dengan ‘Abd al-
Ghaffar isebab iparnya yaitu pelayan Snouck di Mekah. Setidaknya inilah
yang diketahui Pijper sewaktu kembali berkunjung pada September saat
kisah Kiai Ru’yani dibenarkan oleh Asnawi yang lemah, sesudah disambut
dengan sangat hormat oleh bupati yang tengah menjabat yakni anggota
lain dari keluarga besar Djajadiningrat. Tak perlu dikatakan, posisi kedua
orang ini dan keluarga Djajadiningrat secara umum terancam saat sebuah
pemberontakan meletus pada November. Meski salah seorang anggota Raad
van Indië meramalkan bahwa Achmad Djajadiningrat muda akan menuju
kamp konsentrasi yang terkenal di Boven Digul, sejarah selalu berulang dan
priayi keturunan bangsawan lolos dari celaan sedangkan sang kiai yang sepuh
itu dikirim ke pengasingan.
Nasib demikian tampaknya tidak terlalu menarik minat Pijper saat
itu. Dalam surat-suratnya kepada Snouck, dia lebih sering berkomentar
mengenai betapa penyebutan nama samaran gurunya itu, ‘Abd al-Ghaffar,
telah membuka banyak pintu untuknya saat dia mewawancarai para
pejabat pribumi dan para cendekiawan dengan menggunakan bahasa Arab.
Pijper semula berlatih bahasa Arab bersama seorang Palestina, Tayseer Nabilcy
(Taysir Nabulsi), dan belakangan bersama ‘Abdallah b. Salim al-‘Attas. Pijper
juga memberikan imbalan secara rutin atas bantuan yang dia dapatkan dari
Hoesein Djajadiningrat, yang menjelaskan segala macam peraturan hukum
kepadanya dan mendukung penjelasannya baik dengan tulisan-tulisan Sayyid
‘Utsman maupun Ahmad Surkati “yang tak ternilai”, yang juga mengajarinya
bahasa Arab selama tiga tahun.
Kontak seumur hidup lainnya yaitu orang Banten “yang maju” dan
“sangat saleh”, Sjoe’aib Sastradiwirja, yang mengajarinya “berbagai rahasia”
kajian Islam dan shalat sejak 1926.Meski sehari-hari berinteraksi dengan
anak asuh Agoes Salim ini (belum lagi guru, editor, dan anggota Jong
Islamieten Bond), Pijper mengaku tetap terkejut dengan kesalehan mereka,
sebagaimana dalam laporan mengenai Hoesein Djajadiningrat yang “sama
sekali tidak bebas dari hal-hal Mohammedan”:
Ini menjadi jelas bagi saya pada banyak kesempatan, yang terakhir saat saya
bertanya kepadanya bagaimana seharusnya saya bicara mengenai Islam dalam
kuliah-kuliah saya kepada para murid Akademi Pemerintah. saat saya beralih
pada pengantar historis kritis mengenai asal usul dan sejarah awal Islam, dia
menunjukkan sifat hipotetis-nya kepada saya. Dia juga menegaskan bahwa
kesarjanaan Barat hampir tidak berubah dalam perlakuan tradisionalnya
terhadap Mohammad dan ajarannya; [namun ] saya seharusnya tidak punya
masalah khusus dengan ajaran ini. Untuk beberapa saat saya meragukan poin
terakhir ini. Bagaimana saya harus menjawab saat seorang murid “yang
tercerahkan” bertanya bagaimana memahami penyusunan dan asal usul
berbagai gagasan Koran? Memang dampak kritik Eropa mulai berhasil masuk,
dalam makalah-makalah dan berbagai terbitan berkala kita menemukan reaksi.
Di Bantam tahun lalu saya bertemu seorang Asisten Wedana yang masih muda,
yang tertarik pada Verspreide Geschriften karya Anda! Saya sangat mengharapkan
petunjuk dari Anda mengenai bagaimana saya harus mempelajari aspek historis
dari tugas saya.
Snouck membalas bahwa dia sepenuhnya memahami permintaan
bantuan Pijper pada keluarga Djajadiningrat dan langkah Hoesein yang
semakin “konservatif ”:
Tradisi keluarga dan tanah airnya, dan barangkali bahkan kecenderungan
pribadinya, memberikan dorongan yang mudah. Aspek historis Islam memang
paling sulit ditangani para murid dari lingkungan muslim. Ia mengharuskan
seseorang untuk bertindak dengan kebijaksanaan yang ekstrem untuk
menyampaikan apa yang perlu tanpa menimbulkan penistaan atau penghinaan.
Kadang penyampaian hasil yang dikehendaki oleh para cendekiawan bisa
secara objektif dipisahkan tanpa menyiratkan bahwa sang pembicara yang
mengungkapkannya bersepakat dengan hal ini . Apa pun yang terlihat
seperti celaan bisa dihilangkan. Pada tahun-tahun belakangan khalayak saya
juga terdiri atas sebagian kaum muda dari keluarga Mohammedan; namun saya
tidak pernah menyadari apakah satu atau lain hal merupakan penghinaan
isebab saya selalu sangat waspada agar tidak mengadopsi nada yang ironis atau
meremehkan.
Balasan Snouck tampaknya hanya mendorong Pijper untuk menuturkan
anekdot tak masuk akal yang lain, mengisahkan betapa, terlepas dari
pendidikan Barat-nya, Hoesein sepakat dengan beberapa pernyataan Agoes
Salim mengenai kesempurnaan inheren hukum Islam dalam hubungannya
dengan perempuan.
Akan namun , jika Pijper mengkhawatirkan apa yang akan dipikirkan
orang-orang Muslim mengenai kuliah-kuliahnya, dan mengenai kesarjanaan
Belanda secara umum, pada akhirnya dia akan lebih khawatir mengenai
apa yang dipikirkan atasannya tentang kantornya. Di lapangan dia segera
mengetahui bahwa Kantor Urusan Pribumi dipandang rendah oleh Pamong
Praja. Pijper juga tidak terkesan oleh keengganan pemerintah untuk terlibat
dalam persoalan-persoalan klerikal, yang berarti bahwa negara hanya sedikit,
atau sama sekali tidak, membutuhkan solusi yang diusulkan oleh para
koleganya.55 Dalam hitungan bulan antusiasme Pijper berganti perasaan
semakin terkurung dalam sebuah biro yang dia rasa memberinya terlalu sedikit
ruang bagi keterlibatan dengan orang-orang Hindia. Dia bahkan meminta
cuti setahun di Banten untuk mempelajari kondisi lokal agar lebih mampu
merancang peraturan mengenai berbagai hal yang sulit dipahami olehnya.
Tanggapan Snouck pertama-tama berkenaan dengan urusan dinas isebab
para ahli hukum yang kerap diajaknya berdiskusi mengenai masalah-masalah
hukum Islam semuanya berpandangan bahwa prinsip non-interferensi di
pihak negara hanyalah sebuah slogan. Dalam praktiknya, negara berkewajiban
menjadi pemimpin isebab negara yaitu satu-satunya lembaga yang mampu
mendukung pernyataan keagamaan. Snouck merasa bahwa seruan kalangan
pribumi kepada pemerintah agar tidak turut campur dalam urusan-urusan
agama merupakan sebuah kekeliruan.57 Sedangkan mengenai harapan rahasia
Pijper untuk mendapatkan cuti belajar, sesudah meratapi kenyataan bahwa
satu-satunya waktu luang yang pernah dia nikmati yaitu dalam perjalanan
antara Eropa dan Hindia, Snouck agak bingung. Dia mendorong kolega
juniornya itu untuk memikirkan baik-baik posisinya. Menurut Snouck,
berbagai perjalanan sebenarnya telah memberi Pijper akses menuju banyak
pengalaman pribadi dan tentu banyak lagi yang akan menyusul.
Keadaan tampaknya kembali tenang untuk sesaat. Namun, pada
1930 terindikasi adanya tekanan terhadap Kantor Urusan Pribumi, yang
menimbulkan semakin banyak perpecahan di kalangan staf, terutama antara
Gobée dan para bawahan Eropa-nya. Bawahan Gobée tidak menyukai tuntutan
dinas yang dibebankan kepada mereka dengan mengorbankan berbagai usaha
ilmiah yang lebih mereka sukai. saat permohonan Pijper untuk melakukan
sebuah tur studi di Ambon tidak dijawab oleh Residen, Pijper juga menyerang
Gobée isebab sudah mengirimnya dalam tugas bodoh pada Ramadan, sembari
menyatakan bahwa “kutukan” Kantor Urusan Pribumi yaitu dangkalnya
kualitas riset mereka.59 Kemudian, ada para editor Pamong Praja yang mesti
dikhawatirkan, seperti saat catatan resminya mengenai Islam untuk Indisch
Verslag (Laporan Hindia) 1931 diterbitkan dalam keadaan “banyak terpotong
dan diedit dengan sembarangan”.60 Pada tahun yang sama, Pijper melihat
“awan gelap” menggantung di atas Kantor Urusan Pribumi saat muncul
berita pada November bahwa Gubernur Jenderal baru yang konservatif, B.C.
de Jonge (menjabat 1931–36) berencana menempatkan Kantor di bawah
tanggung jawab langsung Pamong Praja.
Ketakutan semacam itu sedikit mereda pada 1932 saat dirasakan
bahwa Gubernur Jenderal De Jonge telah terlepas dari cengkeraman para
penentang Stuw, gerakan metropolitan yang menganjurkan emansipasi yang
lebih besar bagi orang-orang Indonesia dibandingkan yang dimungkinkan
oleh parlemen simbolis (Volksraad). Namun, berbagai pidato memuji Kantor
Urusan Pribumi, yang disampaikan di Volksraad oleh Wiranatakoesoema
(1888–1965)—dengan dukungan Mohammed Husni Thamrin (1894–1941)
dan Wiwoho Probohadidjojo dari JIB—meningkatkan kecurigaan Pamong
Praja. Meski demikian, dengan berangkatnya C.O. van der Plas (1891–1977),
yang konfliknya dengan Gobée sangat sengit, Pijper mendapati dirinya ada
di sebuah kantor yang jauh lebih tenang dibandingkan saat dia datang.
Pijper kemudian menghabiskan lebih banyak waktu menulis kepada Snouck
mengenai kecintaannya pada kesusatraan Arab dan kekagumannya kepada
para cendekiawan Mesir modern seperti Taha Husayn, Mansur Fahmi, dan
Zaki Mubarak, sembari memperlihatkan sikap agak meremehkan terhadap
kaum Hadrami setempat yang diyakininya semakin sadar bahwa mereka
ketinggalan dalam perlombaan menuju kemajuan.
Pijper tetap memperhatikan segala jenis gerakan dan tokoh Islam. Dia
menganggap potret ‘Ali al-Habsyi yang dibingkai sama bergunanya seperti
potret ‘Abd al-Ghaffar untuk memulai percakapan di kantornya. Pijper secara
rutin diutus ke kongres Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond, dan Persis garis
keras Bandung, dan tertarik pada tahun-tahun terakhir sang guru tarekat Arsyad
Banten (1854–1934) di Manado. Arsyad Banten dikenal pula sebagai Arsyad al-
Tawil, “yang tinggi”, untuk membedakan dengan Arsyad b. ‘Alwan al-Qasir yang
lebih pendek. Arsyad diasingkan ke Sulawesi sesudah pemberontakan Cilegon.
Dia memilih tetap tinggal di sana meski telah diizinkan kembali ke Banten pada
1918. Dia yaitu syekh tarekat terkemuka bagi kelompok minoritas muslim,
bahkan duduk di Raad Agama. Pijper tampaknya menganggap menarik laporan
yang menyebut nama Arsyad isebab berbagai alasan, termasuk penyebutan
sebuah tarekat, “yang tampaknya masih ada di sini”.
saat meninggal pada 1934, pemakaman Arsyad al-Tawil dihadiri baik
orang-orang Kristen maupun muslim. Surat kabar setempat memuat sebuah
obituari yang pastinya membuat senang Snouck, yang mengingat kedua
Arsyad, yang pendek dan yang tinggi, sebagai korban sistem kolonial:
Pada usia lebih dari 100 tahun, Bapa Hadji Banten meninggal dunia di
rumahnya di Kampoeng Koemaraka sebagai interniran tertua di Minahasa. Dia
masyhur di setiap sudut Minahasa, di seluruh Indonesia dan Belanda, bahkan
di Hedjaz! Dikenal sebagai Hadji Arsjad Tawil, dia masyhur dalam surat-surat
kaum terpelajar di Leiden, dan Bapa Hadji yaitu sahabat dekat pakar Islam,
Prof. Snouck Hurgronje, sang guru besar di Leiden yang mengajar para hakim
senior. Mendiang Hadji datang sebagai seorang muda ke Airmadidi via penjara
Glodok di Djakarta, dengan tuduhan sebagai penghasut pemberontakan Banten
(bukan pemberontakan komunis pada 1926). Di Minahasa, Bapa Hadji bekerja
sebagai penghoeloe Landraad dan goeroe Islam terkenal serta pemimpin santri
Islam. Pada pukul 5.00 pagi hari ke-20 Maret 1934, jenazah Bapa Hadji diiringi
ribuan muslim dan nonmuslim ke pemakaman Islam di Kokaweg. Komunitas
Muslim seluruh Minahasa mengatakan bahwa makam Bapa Hadji Banten akan
menjadi sebuah kramat.
Laporan ini mungkin juga menyenangkan Pijper, yang hampir
pasti memiliki pandangan Kristen-nya mengenai Islam. Snouck yang agnostik
tentu sangat berhasil menekan sebuah nada ironis dalam kuliah-kuliahnya di
Leiden, mengingat bahwa Pijper bebas berteori mengenai berbagai prasyarat
yang dibutuhkan untuk berbaur dengan orang-orang Muslim. Perhatikan
komentarnya mengenai “perspektif yang tenang dan sehat” seorang calon
untuk jabatan Konsul Jeddah, C. Adriaanse (1896–1964):
Dia berasal dari kalangan Reformis, yang tentu akan membantunya memahami
dunia pemikiran Moslim. Untuk itu, menurut saya seseorang harus selalu
memiliki salah satu dari tiga hal: latar belakang Reformis, atau latar belakang
religius—terutama dengan orientasi Injili, atau berdarah Semit. Dengan ini
saya hendak menyatakan kecuali salah satu dari tiga syarat tadi dipenuhi,
kesarjanaan seseorang mengenai Islam tidak akan pernah berarti apa-apa,
Juga jelas bahwa kehadiran Pijper dalam perdebatan antara Persis dan
Ahmadiyah, disusul kongres NU, benar-benar merupakan Paskah yang sia-
sia. Dalam hal yang pertama, terjadi perdebatan sengit dari kedua belah
pihak. Pijper merasa bahwa kelompok Ahmadiyah, dengan teknik mereka
yang terlatih menghadapi orang-orang Kristen di India, memiliki kemampuan
retoris yang jauh lebih unggul dibandingkan “para pembela ortodoksi,
betapapun terpelajar dan tajamnya”. Adapun dalam kongres di Batavia bagi
“kelompok paling sayap kanan”, asosiasi “para teolog kuno”, Pijper mencatat:
Kongres ini berlangsung enam hari, dengan pertemuan setiap pagi dan sore.
Kelelahan fisik lebih besar bagi saya ketimbang lelah secara mental. Sangat
melelahkan ber-sila di lantai untuk waktu begitu lama. Lingkaran diisi tokoh-
tokoh terbaik para kjahi Jawa, yang datang dari Bantam hingga Banjoewangi.
Mereka yaitu orang-orang yang terasing dari kehidupan modern, tanpa minat
terhadap politik selama dunia pikiran mereka dibiarkan bebas. Namun, tetap
ada keterlibatan dengan topik-topik aktual, seperti pemeriksaan postmortem dan
persoalan Sajjid, meski dari sudut pandang yang sangat konservatif.66
Pijper juga menyatakan bahwa segala jenis pertanyaan dijawab dengan
rujukan buku-buku tradisional. Misalnya, apakah bisa dianggap “darurat”
(dan oleh isebab itu diperbolehkan) bagi perempuan untuk pergi ke pasar
tanpa bercadar dan tidak ditemani seperti yang merupakan praktik standar
di Hindia. saat ditanyakan apakah perempuan saat masuk surga akan
mendapat empat puluh pelayan laki-laki, kumpulan ulama berserban itu
tampak terbahak-bahak. Sebuah fakta yang dianggap Pijper menggambarkan
semangat kongres.
Saya, layaknya Raja Saul di antara para nabi, diperlakukan sangat sopan (di
kongres-kongres Moslim yang berorientasi modern orang merasakan suasana
yang kurang bersahabat terhadap orang asing di tengah-tengah mereka). Saya
(selain rasa sakit di persendian) merasa seolah sedang duduk di pangkuan
Ibrahim. Tapi: itu berarti kehilangan enam hari kerja, dan malam.
Meski dirinya lebih nyaman dengan kaum tradisionalis “ortodoks”,
Pijper merasa dia juga bisa memberikan banyak pada gerakan-gerakan modern,
seperti al-Irsyad dan Muhammadiyah, yang para pemimpinnya dia kenal
baik. Mereka meliputi Raden Muhtadi Natadiningrat, putra Muhammad ‘Isa.
Muhtadi, seorang lulusan sekolah pelatihan bagi dokter pribumi dan kepala
“seminari” Muhammadiyah di Yogyakarta, yaitu seorang kawan bicara yang
bersahabat. Sebaliknya, Pijper mendapat pengalaman yang lebih sulit dengan
seorang guru didikan Mesir yang “sangat anti-Barat”.
Tentu saja tidak semua lulusan Azhar punya sikap bermusuhan. Putra
Kiai Ru’yani, yang naik menjadi wakil ketua pondokan Indonesia di al-Azhar
pada awal 1930-an, diratapi baik oleh orang-orang Indonesia maupun Belanda
atas kematiannya yang mendadak pada 1945.
Bagaimanapun, Pijper bisa
menghadapi kedua jenis aktivis ini . Seperti yang dia tulis, “Moehammadijah
mempertahankan diri sebagai sebuah organisasi yang hebat. Para anggotanya,
menurut saya, tidak selalu simpatik, tapi saya menghargai pekerjaan mereka.”
Pijper juga agak menggurui Snouck mengenai pertanyaan apa itu Islam dan arti
penting kontribusi potensialnya terhadap berbagai tren modern di Indonesia.
Snouck yang lebih kalem, yang selalu menasihatinya agar bersabar, kerap
mendesaknya untuk memublikasikan, dalam kata-kata Friedrich Max Müller
(1823–1900), “potongan-potongan” dari bengkelnya ketimbang menunggu
menyatukan semua potongan informasi potensial menjadi sebuah mahakarya.
Dalam satu kesempatan, Pijper menyesal bahwa meski telah kembali ke Belanda
terbebani dengan segala macam berkas yang dia rencanakan untuk dimanfaatkan
untuk tulisan-tulisannya, semua itu tersingkir saat proyek baru yang lebih
mendesak dimulai sehingga berkas-berkas itu kehilangan “aktualitas”-nya.
Terdorong oleh nasihat semacam itu, Pijper mengumpulkan potongan-
potongan miliknya menjadi Fragmenta Islamica, yang berasal dari penyelidikan
sumber primer mengenai posisi perempuan dalam pendidikan dan masjid,
perceraian dan kemurtadan, serta munculnya tarekat Tijaniyyah. saat
bukunya terbit, Pijper akhirnya merasa yakin bahwa Kantor Urusan Pribumi
tidak lagi terancam akan ditempatkan di bawah Pamong Praja, meski Gubernur
Jenderal De Jonge masih menganggap Kantor itu tidak memiliki manfaat
yang jelas. Pijper bahkan melunakkan retorikanya mengenai Schrieke. Dia
mengakui bahwa Schrieke telah menyelamatkan pekerjaannya saat terancam.
Namun, Pijper tidak pernah benar-benar memercayai lelaki itu yang akhirnya
pergi ke Belanda (dan Institut Tropis Amsterdam) pada 1935.
Pijper akhirnya naik menjadi Penasihat untuk Urusan Pribumi pada 1936.
sesudah itu, dia bisa lebih memahami tekanan yang telah dibebankan kepada
para mentornya. Meningkatnya ketidakpercayaan di kedua sisi warga
Hindia pastinya membuat Schrieke sangat gelisah dan dia telah menentang
penahanan banyak Nasionalis di Boven Digul. Dia juga bergabung dengan
Stuw, seperti halnya Drewes, yang melalui berbagai jenjang kepangkatan
hingga menjadi Direktur Biro Pustaka Rakyat pada 1930 serta menggantikan
Hoesein Djajadiningrat sebagai Direktur Sekolah Hukum Batavia pada 1935.
Orang Indonesia sendiri semakin sedikit yang punya kesabaran untuk terus
digurui, baik di Tanah Air maupun di luar negeri. Juga semakin banyak muncul
pertanyaan mengenai warisan Snouck di kalangan orang-orang Indonesia dan
mereka yang tertarik terhadap Indonesia. Revisi terjemahan Syakib Arslan
atas karya Lothrop Stoddard, New World of Islam (diterbitkan pada 1923),
menampilkan sebuah kuliah mengenai Hindia Belanda yang disampaikan
di Kairo pada 1929 oleh sekutu Snouck Isma‘il al-‘Attas. Edisi revisi itu juga
mencantumkan komunikasi Arslan dengan sang sesepuh kajian oriental itu. Di
sini Arslan menentang pandangan-pandangan orang Belanda itu. Menurutnya,
Snouck mengakui bahwa “kaum bidah” di antara muslim Jawi selalu lebih
fanatik menentang Belanda ketimbang mereka yang beragama secara benar.
Komunikasi ini bermula pada Kongres Orientalis di Leiden pada 1932
tempat sang penulis terkenal Taha Husayn juga hadir dan tampil sangat vokal.
Sementara itu, Snouck yang merasa letih dengan dunia—dia tentu mengagumi
daya ingat Taha Husayn, namun mengeluhkannya sebagai tidak memiliki
“kebijaksanaan” yang dibutuhkan untuk berbaur dengan orang normal—
melihat suaranya sendiri diproyeksikan lebih jauh dengan terjemahan bahasa
Inggris dalam Mekka volume dua yang baru keluar dari percetakan. Sang
penerjemah (mantan Konsul Inggris J.H. Monahan) menyatakan bahwa
gambaran Snouck terhadap kota ini “tidak sepenuhnya ketinggalan
zaman”, namun dia dan sang pengarang sangat menyadari berbagai perubahan
besar yang tengah berlangsung di sana. Para konsul Belanda selanjutnya,
Gobée, van der Plas, dan D. van der Meulen menjaga agar guru mereka tetap
mendapat informasi sepenuhnya mengenai berbagai peristiwa di Arabia.
Pangeran Faysal b. Sa‘ud bahkan mulai mengirimkan foto-foto kota yang
sedang berubah sesudah bertemu di Leiden pada 1926.78
Snouck merasa hubungan antara Belanda dan Kerajaan Arab Saudi sangat
baik dibanding dengan rezim-rezim sebelumnya, dan barangkali dia pergi ke
kubur pada 1936 dengan satu kekhawatiran yang berkurang mengenai hal
ini . Namun, ada orang-orang di Arabia yang ingin menunjukkan bahwa
hubungan dengan Hindia juga sama baiknya. Ini jelas merupakan pesan
yang hendak disampaikan pada 1937 saat sebuah surat kabar berkala baru
diluncurkan di Mekah oleh orang-orang Sumatra dari kelompok yang oleh
Pendeta Episkopal Raymond LeRoy Archer (1887–1970) disebut “ortodoks”
mengingat nada sebuah laporan yang ditulisnya mengenai Pesisir Barat pada
tahun ini .79 Berjudul al-Nida’ al-islami/Perseruan Islam, surat kabar
Mekah itu yaitu upaya untuk membawa para murid Jawi kembali ke Hijaz.
Nada artikel-artikelnya jelas reformis, namun Sufisme tidak terlalu dikutuk
dibandingkan para syekhnya pada masa modern. Para editornya berkonsentrasi
pada berbagai pencapaian bangsa-bangsa Asia Tenggara—sekarang disebut
secara eksplisit sebagai “orang-orang Melayu” dan “orang-orang Indonesia”—
dan mengisahkan Islamisasi di tanah air mereka oleh para pedagang Arab.
Narasi ini pastinya tampak wajar bagi mereka. Namun, muncul reaksi keras
dari salah seorang penulis Arab, Husayn Ahmad Hasanayn, yang mengutip
karya C.C. Berg bahwa bahasa Melayu dipenuhi “berbagai keanehan” jika
digunakan untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab.
Kejengkelan yang sama menyambut kekhawatiran yang disuarakan
dalam Pedoman warga di Medan pada 1938. Di bawah tajuk “kitab-kitab
jang berbahaja”, dia mengeluh adanya ribuan risalah Barat yang menyerang
Islam dengan menggunakan berbagai buku yang beredar di kalangan Muslim
sendiri. Secara khusus dia menyasar apa yang digambarkannya sebagai dongeng
omong kosong dan takhayul yang diduga diimpor dari Persia dan India.
Jika orang lain tidak mempelajari kebenaran sejati mengenai Islam, dan jika para
intelektual muda didikan Barat melihat kandungan buku-buku semacam itu
yang ada di tangan orang-orang Muslim masa kini, mereka akan menjatuhkan
vonis bahwa Islam yaitu agama bangsa-bangsa liar di ujung paling terpencil
dari pulau-pulau yang tidak memiliki kebudayaan. saat kami belajar di soerau
lima belas tahun lalu, kitab Bada-i‘oez Zoehoer masih disukai di kalangan para
murid. Di sana dinyatakan bahwa dunia terletak di ujung tanduk seekor sapi
raksasa yang, saat ketakutan, menggoyangkan kepalanya dan menyebabkan
gempa dahsyat!
Yang barangkali lebih buruk dalam pandangan sang pengarang yaitu
sebuah karya yang dikenal sebagai Daqa’iq al-akhbar (Perincian-Perincian
Berbagai Berita). Karya ini menyatakan bahwa Nur Muhammad mendahului
penciptaan, terbang menembus tujuh lapis langit dalam bentuk seekor burung
nuri. Lalu, ada juga kisah-kisah “Syi‘ah”, seperti mengenai Muhammad
Hanafiyya, dan berbagai wirid serta mantra ajaib tarekat yang begitu memikat
bagi orang-orang desa dan dijual di toko-toko buku. Sebagian bahkan
mengklaim bahwa Tuhan dan manusia yaitu satu dan bahwa shalat tidak
lagi diperlukan bagi kelompok elite!
isebab alasan-alasan demikian, selain memprotes buku-buku Barat, para
pengarang dan penulis muslim juga harus memperhatikan penyakit yang
menjangkiti umat mereka sendiri untuk mencegah agar kita tidak menjadi bahan
tertawaan yang tak berdaya. Ingat: Sjech Moehammad Abdoeh memperoleh
kemenangan besar saat dia berdebat dengan filsuf Arnest Renan [sic].
Namun, dia kalah saat di akhir polemik ini sang filsuf berkata, “Saya
mengakui bahwa saya telah kalah saat menghadapi argumen-argumenmu,
namun keadaan umat Muslim yang saya lihat hari ini membuat saya mustahil
menyerah di hadapan informasi Anda ....” Perhatikanlah!81
Terlepas dari retorika mereka mengenai kondisi fisik yang ditanggung
oleh begitu banyak muslim Indonesia, banyak pembaharu meyakini bahwa
perang melawan penyimpangan zaman pertengahan di kalangan orang awam
perlahan-lahan berhasil dimenangi, seperti halnya perang melawan kekuasaan
kolonial mulai berakselerasi. Dengan badai yang mulai berkumpul di Eropa
dan Asia, sebagian orang bahkan sudah mencium kemenangan bagi sebuah
tanah air muslim yang bisa dikenali. Tepat sebelum pendudukan Jepang,
berbagai surat kabar dengan nada yang jelas-jelas Islami mendesak keras
meminta konsesi dari sebuah negara bayangan yang sekarang terputus dari
metropolis, yang telah jatuh ke tangan Jerman pada Mei 1940. Memuat
artikel-artikel presiden masa depan, Soekarno, Islam Raya di Solo bahkan
menampilkan sebuah sampul baru yang menunjukkan sebuah menara pseudo-
Moor dipasang dengan latar belakang peta kasar Nusantara. Para editornya
dengan bangga mengumumkan sampul mereka:
Saudara-Saudara, Anda pasti akan mengenalinya. Ini tidak benar-benar i