Tampilkan postingan dengan label ayub 16. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 16. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 16

 


sementara kepada yang kekal.  

II. Ayub mengeluhkan keburukan kerabat-kerabatnya dan semua 

kenalan lamanya. Dalam hal ini pun, ia lagi-lagi mengakui tangan 

Allah (ay. 13): Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku, 

artinya, “Tuhan telah menimpakan semua sengsara ini ke atasku, 

hingga membuat mereka takut kepadaku, dan menjauh dari bo-

rok-borokku.” Perbuatan semua kerabat dan sahabatnya itu ada-

lah dosa mereka sendiri, bukan Allah penyebabnya. Iblislah yang 

membuat pikiran manusia menjauhi saudara-saudara mereka 

yang sedang menderita. Namun, sebagai kesusahan Ayub, Allah 

yang memerintahkan keadaan itu untuk melengkapi pencobaan 

Ayub. Sebagaimana kita harus mengakui peranan tangan Allah di 

balik segala celaka yang dilakukan musuh terhadap kita (“Tuhan 

yang menyuruh Simei mengutuki Daud”), kita pun harus meng-

akui peranan tangan Tuhan di balik segala cemooh dan sikap 

buruk yang kita terima dari teman-teman kita, dengan demikian, 

kita akan dapat lebih sabar menanggungnya. Setiap ciptaan 

memang seperti itu terhadap kita, baik atau jahat, menghibur 

atau mengganggu, sebagaimana Allah sendirilah yang mengatur-

nya. Akan namun , hal ini tidak membenarkan sikap kerabat dan 

teman-teman Ayub yang sangat tidak tahu berterima kasih dan 

tidak adil terhadap dia, yang membuat dia pantas mengeluh ten-

tangnya. Tidak banyak orang yang sanggup menanggung perlaku-

an itu sebaik Ayub. Ia memperhatikan semua sikap mereka yang 

jahat itu, 

1. Keluarga dan kenalannya, tetangga-tetangganya, dan semua 

orang yang sebelumnya ia kenal akrab. Dahulu mereka sangat 

patuh menjalani tata krama pertemanan dan sopan santun 

terhadap dia, sehingga mengunjunginya, menanyakan keada-

annya, dan siap membantunya dalam segala urusan yang 

sanggup mereka kerjakan. Namun sekarang mereka tidak lagi 

mengenal dia (ay. 13). Mereka tidak memedulikan dia, seolah-

olah dia orang asing yang belum pernah mereka kenal. Kaum 

kerabatnya, yang mengaku bersaudara dengannya saat  ia 

masih makmur, kini meninggalkan dia. Mereka menyangkal 

ikatan persahabatan yang dahulu ada dan mengecewakan 

harapannya untuk mendapat kebaikan mereka. Bahkan ka-

wan-kawan dekatnya, yang dahulu begitu ia perhatikan, kini 

melupakannya. Mereka melupakan kebaikannya yang dahulu 

dan penderitaannya yang sekarang. Mereka sudah mendengar 

tentang segala musibahnya, dan bermaksud mengunjunginya. 

namun  mereka benar-benar lupa, tidak ada perhatian sedikit-

pun. Bahkan, teman-teman terdekatnya, orang yang mengenal 

rahasianya, yang paling akrab dengan dia dan ada dalam 

hatinya, bukan hanya melupakan dia, namun  juga menganggap 

dia najis, berusaha menjaga jarak sejauh mungkin, sebab se-

karang ia miskin dan tidak bisa menjamu mereka seperti 

dahulu, dan juga sebab  ia penuh borok dan menjijikkan un-

tuk dilihat. Orang-orang yang dikasihinya sekarang lebih jahat 

daripada pemungut cukai, sebab  mereka tidak mengasihinya 

sekarang saat ia dalam kesusahan. Bukan hanya berpaling 

darinya, mereka malah berbalik melawan dia dan sebisa 

mungkin membuatnya memuakkan. Mereka benar-benar telah 

menjadi asing baginya (ay. 19). Betapa tidak pastinya persaha-

batan manusia itu. Namun, bila Allah menjadi sahabat kita, 

Dia tidak akan meninggalkan kita pada saat kita membutuh-

kan Dia. Janganlah seorang pun, yang mengaku-ngaku manu-

siawi dan beragama Kristen, memanfaatkan temannya seperti 

kawan Ayub memanfaatkan dia. Kesukaran yaitu  bukti per-

sahabatan. 

2. Rumah tangga dan kaum keluarganya. Terkadang, melampaui 

perkiraan kita, ada kawan yang lebih dekat daripada saudara. 

Namun, seorang kepala keluarga biasanya berharap untuk 

dilayani dan dirawat oleh anggota keluarganya, sekalipun keti-

ka orang lain tidak menyukainya lagi akibat kelemahan jas-

mani atau akal budinya. Namun, Ayub yang malang diperlaku-

kan jahat oleh keluarganya, malah sebagian dari orang yang 

paling memusuhinya yaitu  dari anggota rumah tangganya 

sendiri. Dia tidak menyebut-nyebut anak-anaknya, mereka 

semua telah tiada, sehingga dapat kita bayangkan sikap ber-

musuhan dari keluarganya yang masih hidup membuat Ayub 

semakin meratapi kematian anak-anaknya. “Seandainya mere-

ka masih hidup,” begitu pikirnya barangkali, “Tentu aku men-

dapat penghiburan sebab  mereka.” Sedangkan sikap orang-

orang yang masih ada saat itu terhadap Ayub,  

(1) Hamba-hambanya meremehkan dia. Hamba-hamba perem-

puannya tidak merawatnya dalam penyakitnya, namun  

menganggap dia orang yang tidak dikenal dan orang asing 

(ay. 15). Hamba-hambanya yang lain tidak pernah mengin-

dahkan dia. Saat ia memanggil, mereka tidak mau datang, 

namun  berpura-pura tidak mendengar. Saat ia menanyakan 

sesuatu, mereka tidak sudi menyahut (ay. 16). Selama ini, 

Ayub telah menjadi tuan yang baik terhadap mereka, ia 

tidak mengabaikan hak budaknya laki-laki atau perempuan, 

saat  mereka beperkara dengan dia (31:13), namun  kini 

mereka berlaku tidak sopan terhadapnya dan mengabai-

kannya saat  ia memohon bantuan mereka. Janganlah 

heran bila kita menerima perlakuan jahat dari orang-orang 

yang selayaknya memberikan perlakuan baik. Walaupun 

Ayub sedang sakit, ia tidak gusar ataupun memperlakukan 

para hambanya dengan sewenang-wenang, seperti para 

tuan pada umumnya, sebaliknya dia memohon kepada me-

reka, padahal ia berkuasa untuk memberi perintah. Meski 

demikian, mereka tidak mau bersopan santun terhadap-

nya, tidak pula bersikap baik dan adil. Perhatikanlah, 

orang-orang yang sedang sakit dan berbeban berat cende-

rung berpikiran buruk, dengki terhadap hal remeh, dan 

memendam rasa terhadap hal-hal sepele yang kurang me-

nyenangkan hati mereka. sebab  itu saat  Ayub sedang 

sengsara, sikap para hamba yang mengabaikan dia pun 

mengusik hatinya.  

(2)  Meskipun semuanya itu, kita pikir, saat  semua orang me-

ninggalkan dia, istri terkasihnya tentu memperlakukannya 

dengan penuh kasih sayang. Namun, tidak, sebab Ayub 

tidak mau mengutuki Allah dan mati sesuai bujukan istri-

nya, napasnya pun menjijikkan bagi wanita itu. Ia tidak 

mau datang dekat-dekat kepadanya ataupun memperhati-

kan perkataannya (ay. 17). Meskipun Ayub berbicara ke-

padanya, bukan dengan sikap memerintah, melainkan de-

ngan kelemahlembutan seorang suami, tidak menyuruh, 

namun  memperlakukannya dengan penuh kasih sayang 

demi anak-anak mereka, tetap saja wanita itu tidak meng-

indahkan dia. Sebagian penafsir membaca perkataan Ayub 

seperti ini, “Sekalipun aku meratap atau mengerang sebab  

anak-anak kami,” yaitu “sebab  kematian anak-anak kan-

dungku sendiri,” kesedihan yang juga sama-sama dirasa-

kan istriku, namun kini, tampaklah bahwa Iblis menyisa-

kan wanita itu bagi Ayub bukan hanya untuk menjadi 

penggoda, namun  juga sebagai penyiksanya. Dari perkataan 

istri Ayub sebelumnya, “Kutukilah Allahmu dan matilah,” 

tampak bahwa perempuan itu bukan orang beriman. Jadi, 

kebaikan apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang 

tidak takut akan Allah dan tidak dikendalikan oleh hati 

nurani?  

(3) Bahkan anak-anak kecil yang lahir di rumahnya pun, yaitu 

anak-anak budaknya, yang berdasarkan hukum kelahiran 

juga merupakan budaknya, kini merendahkan dia dan 

mengejeknya (ay. 18). saat  ia berdiri untuk berbicara ke-

pada mereka dengan manis budi, atau dengan kekuasaan 

untuk mengawasi mereka, anak-anak itu menunjukkan diri 

bahwa mereka tidak takut kepadanya dan tidak menyegani 

dia. 

III. Ayub mengeluhkan kemerosotan tubuhnya, segala ketampanan 

dan kekuatannya telah tiada. saat  orang-orang di sekitarnya 

memusuhi dia, andai saja ia dalam keadaan sehat dan nyaman, 

mungkin ia tidak ambil pusing. Akan namun , ia tidak bisa menik-

mati keadaan dirinya sendiri, sama seperti orang lain tidak me-

nyukainya (ay. 20): Tulangku melekat pada kulitku, padahal da-

hulu ada daging di antaranya. sebab  itulah ia menjadi kurus 

kering (16:8). Tubuhnya persis seperti tengkorak, hanya kulit pem-

balut tulang. Bahkan kulitnya pun hampir sepenuhnya rusak, 

sedikit saja yang masih utuh, hanya gusiku yang tinggal padaku, 

dan mungkin bibirnya juga. Seluruh bagian kulit yang lain sudah 

hancur oleh borok-boroknya. Lihatlah, sungguh tiada alasan bagi 

kita untuk memanjakan tubuh ini, yang walaupun telah dirawat 

sedemikian rupa masih dapat habis dilalap oleh penyakit yang 

benihnya memang sudah ada dalam tubuh itu sendiri. 

IV. Dengan seluruh alasan itu, Ayub meminta belas kasihan sahabat-

sahabatnya dan dengan adil menyalahkan sikap keras mereka 

terhadap dirinya. Berdasarkan gambaran perkara Ayub yang me-

nyedihkan ini, mudah untuk disimpulkan bahwa, 

1. Para sahabat Ayub sepatutnya mengasihani dia (ay. 21). Ia me-

mohon belas kasih dengan tutur kata paling menggetarkan 

dan mengibakan yang mungkin cukup untuk meluluhkan hati 

yang keras: “Kasihanilah aku, kasihanilah aku, hai sahabat-

sahabatku! Bila kalian tidak mau berbuat apa-apa bagiku, 

setidaknya kasihani saja aku dan tunjukkan keprihatinan. Ka-

sihanilah aku, sebab  tangan Allah telah menimpa aku. Perkara-

ku sungguh menyedihkan, sebab aku telah jatuh ke tangan 

Allah yang hidup, jiwaku ditimpa oleh cicipan murka-Nya, mala-

petaka yang paling memilukan di antara semua bencana lain.” 

Ingatlah, para sahabat itu mengasihani satu sama lain di tengah 

kesusahan, bukannya menutup pintu belas kasihan. 

2. Meski para sahabat Ayub tidak bermaksud menganiaya dia, 

namun  bila mereka tidak mau meringankan penderitaannya de-

ngan belas kasihan, janganlah mereka terlalu kejam menam-

bahinya dengan kecaman dan cercaan (ay. 22): “Mengapa 

kamu mengejar aku, seakan-akan Allah? Teguran dari-Nya pun 

sudah cukup berat untuk ditanggung, kalian tidak perlu me-

nambahkan kepahitan dan empedu ke dalam cawan penderi-

taan yang Dia berikan kepadaku, tanpa kalian pun cawan-Nya 

sudah pahit. Allah berdaulat penuh atas diriku, Dia berhak 

melakukan kepadaku apa saja yang dikehendaki-Nya. namun  

kalian, pikirmu kalian bisa bertindak demikian juga?” Tidak. 

Kita harus berusaha meneladani Sang Mahakudus dan Maha-

rahim, bukan bersikap sebagai seorang yang Mahatinggi dan 

Mahakuasa. Allah tidak bertanggung jawab terhadap siapa 

pun atas perbuatan-Nya, namun  kita harus mempertanggung-

jawabkan perbuatan kita. Bila sahabat-sahabat Ayub sungguh 

bersuka di atas penderitaannya, biarlah mereka kenyang ma-

kan dagingnya, tubuh yang sia-sia dan akan binasa. Namun, 

jangan sampai mereka melukai jiwanya, seolah dagingnya be-

lum cukup, dan merusak nama baiknya. Kelemahlembutan 

yaitu  milik orang yang menderita, terutama yang tertekan 

pikirannya. 

Pengakuan Iman Ayub; 

Kebahagiaan Orang yang Ditebus  

(19:23-29) 

23 Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab, 24 terpahat dengan 

besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya! 25 namun  

aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu.  

26 Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan 

melihat Allah, 27 yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku 

sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana ka-

rena rindu. 28 Kalau kamu berkata: Kami akan menuntut dia dan mendapat-

kan padanya sebab perkaranya!, 29 takutlah kepada pedang, sebab  kegeram-

an mendatangkan hukuman pedang, agar kamu tahu, bahwa ada pengadil-

an.” 

Di antara seluruh percakapan Ayub dengan sahabat-sahabatnya, 

tiada ucapan yang seberat dan sedahsyat pernyataan di atas. Per-

kataan yang tidak disangka-sangka, bukan? Dalam ayat-ayat itu ter-

kandung banyak hal tentang Kristus dan sorga, dan mereka yang 

berkata demikian menyatakan, bahwa mereka merindukan tanah air 

yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi (Ibr. 11:14, 16), seperti 

yang dilakukan oleh bapa-bapa leluhur. Dalam perikop di atas terda-

pat pengakuan atau pernyataan iman Ayub. Ia percaya kepada Allah, 

Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, serta prinsip-prin-

sip agama alamiah yang sering diakuinya. Namun, di sini tampaklah 

bahwa Ayub juga tidak asing dengan agama pewahyuan. Meskipun 

pewahyuan tentang Anak yang dijanjikan dan warisan yang dijanji-

kan baru belakangan disingkapkan seperti terang fajar, namun  Ayub 

telah diajar oleh Allah untuk percaya pada seorang Penebus yang 

hidup dan menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di 

dunia yang akan datang. Tidak diragukan bahwa Ayub pasti me-

mahami hal tersebut sehingga ia bisa mengatakannya. Dengan peng-

harapan itulah ia menghibur dirinya, bukan dengan mengharapkan 

kelepasan dari masalah atau pemulihan kebahagiaannya di dunia ini, 

seperti sangkaan orang terhadapnya. Pertama, ungkapan yang di-

ucapkannya di sini, tentang Penebus yang akan bangkit di atas debu, 

tentang bagaimana ia akan melihat Allah, melihat Dia dengan mata-

nya sendiri, tidak mungkin dipahami sebagai keselamatan yang sifat-

nya sementara. Sangat jelas bahwa Ayub sama sekali tidak meng-

harapkan pemulihan kemakmurannya di dunia ini. Ia baru saja 

berkata, “Jalanku ditutup-Nya dengan tembok”  (ay. 8) dan “seperti 

pohon harapanku dicabut-Nya” (ay. 10), bahkan setelah itu Ayub 

menyatakan bahwa ia sudah putus asa menantikan penghiburan 

dalam kehidupan ini (23:8-9; 30:23). Jadi, artinya dia pasti berbicara 

tentang penebusan jiwanya dari kuasa maut (lubang kubur) dan 

tentang kemuliaan yang akan diterimanya, seperti yang dikatakan 

dalam Mazmur 49:16. Tampaknya, Ayub saat itu berada dalam 

dorongan yang luar biasa dari Roh Kudus, yang mengangkat dia me-

lampaui dirinya sendiri, memberinya terang, mengaruniakan per-

kataan yang bahkan ia sendiri tidak menduganya. Sebagian penafsir 

mengamati bahwa perkataan Ayub setelah itu tidak lagi penuh 

kekesalan, kemarahan, dan gerutuan yang tidak pantas tentang Allah 

dan penyelenggaraan-Nya, seperti sebelum-sebelumnya. Pengharapan 

itu menenangkan jiwanya, meredakan kecamuk badai, dan sesudah 

melempar sauh tersebut, pikiran Ayub menjadi kokoh sejak saat itu 

dan seterusnya. Mari kita perhatikan,  

I. Maksud Ayub dalam membuat pernyataan iman di atas. Tidak 

ada perkataan yang lebih sesuai, atau memiliki tujuan yang lebih 

baik daripada pernyataan imannya ini. 

1. Ayub sedang dituduh, dan ucapan itu merupakan pembelaan-

nya. Sahabat-sahabatnya mengecam dia sebagai orang muna-

fik dan menghina dia sebagai orang fasik, namun  ia membela 

diri dengan mengungkapkan pernyataan iman, keyakinan, 

pengharapan, dan hati nuraninya, yang tidak hanya membe-

baskan dia dari dosa yang menguasainya, namun  juga meng-

hiburnya dengan pengharapan akan kebangkitan yang mulia. 

Itu bukan perkataan orang yang kerasukan setan. Ayub ber-

harap dan menantikan datangnya Sang Penebus. Ia membawa 

perkaranya dari tempat perdebatan ini ke kursi pengadilan, 

bahkan kepada Dia yang kepada-Nya telah diserahkan segala 

penghakiman, dan Ayub tahu Sang Hakim ini akan membenar-

kan dirinya. Memikirkan datangnya hari penghakiman Allah 

akan membuat bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku diha-

kimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia (1Kor. 4:3-

4). Akan mudah bagi kita untuk menanggung fitnahan yang 

tidak adil dan tuduhan manusia bila kita menantikan datang-

nya Penebus yang agung dan orang-orang yang ditebus-Nya, 

pada hari terakhir nanti. Saat itu nama baik kita akan dibang-

kitkan, bersama tubuh kita! 

2. Ayub sedang menderita, dan ucapan itu merupakan penghi-

burannya. Sewaktu ia ditekan melampaui batas, pengharapan 

itu menjaganya tetap tegak. Ayub percaya bahwa ia pasti akan 

melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup, 

bukan di dunia ini, sebab dunia ini yaitu  negeri orang-orang 

yang sedang menuju kematian. 

II. Betapa khidmatnya perkataan Ayub yang mendahului pernyataan 

imannya itu (ay. 23-24). Dengan tiba-tiba, ia mengakhiri gerutu-

annya untuk merayakan penghiburannya. Hal ini dilakukannya 

bukan hanya sebab  merasa sangat terhibur, namun  juga untuk 

mendidik orang lain. Ayub takut kalau-kalau orang-orang yang 

ada di sekitarnya saat itu tidak terlalu menghargai perkataannya, 

dan memang terbukti demikian. sebab  itu, ia berharap ucapan-

nya dicatat bagi generasi yang akan datang. “Ah, kiranya perkata-

anku ditulis, perkataan yang hendak kututurkan berikut ini!” 

Seolah ia berkata, “Aku mengaku telah mengutarakan banyak 

kata-kata yang tidak terpuji, yang kuharap dapat dilupakan saja, 

sebab tidak memberi manfaat apa pun bagi diriku sendiri maupun 

orang lain. Namun, sekarang aku hendak berbicara dengan hati-

hati, dan semoga perkataan ini disebarluaskan ke seluruh dunia 

dan dilestarikan bagi keturunan yang akan datang, in perpetuam 

rei memoriam – sebagai tanda peringatan yang abadi. Oleh sebab 

itu kiranya perkataanku ditulis dan dicatat, atau ditorehkan da-

lam huruf-huruf yang besar dan terbaca, supaya orang yang lewat 

dengan berlari pun bisa membacanya. Dan kiranya perkataan itu 

tidak dibiarkan terserak dalam kertas-kertas lepas, namun  di da-

lam kitab, atau kalaupun kitab bisa musnah, kiranya dibuat ter-

pahat seperti ukiran di atas prasasti, dengan besi pengukir dan 

timah pada gunung batu. Kiranya si pengukir memakai seluruh 

keahliannya untuk membuat tulisan itu bertahan bagi anak 

cucu.” Permintaan yang diserukan Ayub ini ternyata dikabulkan 

oleh Allah. Perkataannya ditulis, dicatat dalam kitab Allah, se-

hingga di mana saja kitab itu dibaca, perkataan itu juga dicerita-

kan menjadi kenang-kenangan tentang Ayub. Ia percaya, sebab  

itu ia berbicara. 

III. Isi pernyataan imannya itu sendiri. Kata-kata apa yang ia ingin 

dituliskan. Kata-kata itu telah tertulis di sini (ay. 25-27). Mari kita 

menelusurinya. 

1.  Ayub percaya pada kemuliaan Sang Penebus dan kepentingan 

yang ia miliki dalam Dia (ay. 25): namun  aku tahu: Penebusku 

hidup, Dia nyata dan Dialah hidupku, dan akhirnya Ia akan 

bangkit di atas debu, atau tetap berdiri sampai akhir, atau 

pada hari terakhir di atas bumi. Dia akan bangkit, atau akan 

muncul pada hari terakhir, yaitu saat waktunya tiba atau telah 

genap: masa Injil disebut zaman akhir sebab  itulah masa 

dispensasi Allah yang terakhir di bumi, merujuk pada inkar-

nasi-Nya. Atau, Dia akan ditinggikan dari bumi berarti me-

rujuk pada penyaliban-Nya, atau dibangkitkan dari bumi, ber-

arti merujuk pada kebangkitan-Nya. Atau seperti yang lazim 

kita pahami: Pada akhir zaman Dia akan datang di atas bumi, 

sebab Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan 

melihat Dia, begitu dekat-Nya kelak Dia datang ke bumi ini. Ia 

akan bangkit di atas debu, mengatasi semua musuh-Nya yang 

akan diletakkan menjadi debu di bawah kaki-Nya. Dia akan 

menginjak-injak mereka dan menang atas mereka. Di sini, 

perhatikanlah bahwa,  

(1) Ada seorang Penebus yang tersedia bagi manusia yang 

telah jatuh, dan Yesus Kristuslah Penebus itu. Kata “Pene-

bus” dalam bahasa Ibrani ialah Goel, mengacu pada kera-

bat terdekat yang menurut hukum Musa berhak menebus 

tanah milik yang telah digadaikan oleh saudaranya (Im. 

25:25). Warisan sorgawi kita telah digadaikan oleh dosa, 

dan kita sendiri sama sekali tidak mampu menebusnya. 

Kristus merupakan kerabat dekat kita, kaum terdekat yang 

mampu menebus. Dia telah membayar utang kita, me-

muaskan keadilan Allah atas dosa, dan dengan demikian 

menghapuskan ikatan gadai serta menetapkan kesepakat-

an baru atas warisan tersebut. Jiwa kita juga mendamba-

kan seorang Penebus. Kita terjual kepada dosa dan di bawah 

kuasa dosa. Tuhan kita Yesus telah mengerjakan penebusan 

bagi kita, menyatakan penebusan untuk kita, dan menyeru-

kan penebusan kepada kita. Jadi, Dia sungguh Sang Pene-

bus sejati.  

(2) Dia yaitu  Penebus yang hidup. Seperti halnya kita dijadi-

kan oleh Allah yang hidup, demikian pula kita diselamatkan 

oleh Penebus yang hidup, yang Mahakuasa sekaligus kekal. 

Oleh sebab itu, Dia sanggup menyelamatkan sepenuhnya. 

Tentang Dia diberi kesaksian, bahwa Ia hidup (Ibr. 7:8; Why. 

1:18). Kita mati, namun  Dia hidup, dan Dia sudah menjamin 

bahwa Aku hidup dan kamupun akan hidup (Yoh. 14:19).  

(3) Ada orang-orang yang oleh anugerah mendapat bagian da-

lam Penebus ini dan mereka memiliki dasar yang kuat un-

tuk menyebut Dia sebagai milik mereka. saat  Ayub telah 

kehilangan seluruh kekayaannya dan semua temannya, 

namun ia tidak terpisah dari Kristus, tidak pula terputus 

dari hubungan dengan-Nya: “Dia tetaplah Penebusku.” Ke-

rabat terdekat itu tetap ada bersamanya di kala semua 

saudara yang lain meninggalkan dia, dan hal itu menjadi 

penghiburan bagi Ayub.  

(4) Bagian kita dalam Sang Penebus merupakan sesuatu yang 

bisa diketahui, dan saat  diketahui, ia dapat dirayakan 

mengimbangi segala dukacita kita: aku tahu (perhatikan 

betapa yakinnya Ayub saat mengucapkannya, sebagai 

orang yang sangat percaya pada apa yang ia katakan), aku 

tahu Penebusku hidup. Sahabat-sahabat Ayub kerap menu-

duhnya penuh ketidaktahuan atau pengetahuan yang sia-

sia. Namun, ia tahu, tahu bagi kebaikannya, tahu bahwa 

Kristus akan menjadi Penebusnya.  

(5) Akan ada masa terakhir, satu hari terakhir, hari saat  

tidak akan ada penundaan lagi (Why. 10:6). Hari itu meru-

pakan hari yang patut kita pikirkan setiap hari.  

(6) Pada hari itu, Penebus kita akan berdiri di bumi, mengatasi 

seluruh bumi, untuk memanggil semua yang telah mati 

keluar dari kubur mereka dan menentukan bagi mereka 

suatu keadaan hidup yang tidak dapat diubah, sebab ke-

pada Dialah seluruh penghakiman yang telah dipercaya-

kan. Pada akhirnya, Dia akan berdiri di atas debu, yaitu 

abu dari bumi kita yang akan dilumat habis oleh api besar. 

2. Ayub percaya pada kebahagiaan orang-orang yang ditebus, 

dan bahwa dirinya berhak juga memperoleh kebahagiaan itu, 

yakni pada kedatangan Kristus yang kedua, saat  orang-

orang percaya akan dibangkitkan dalam kemuliaan dan mem-

peroleh berkat sempurna, yaitu memandang dan menikmati 

Allah. Ayub percaya hal itu akan terjadi pada dirinya sendiri.  

(1) Ia merenungkan kebinasaan tubuhnya di dalam kubur dan 

berbicara tentang hal itu dengan acuh tak acuh dan tidak 

peduli: sesudah kulit tubuhku (yang memang sudah habis 

lenyap, dan hanya gusiku yang tinggal, ay. 20) sangat rusak 

(dirusak oleh apa yang telah ditetapkan untuk menghan-

curkannya, yaitu kubur dan berenga/belatung di dalamnya 

yang telah disinggungnya dalam 17:14). Kata tubuh ditam-

bahkan: “Sekalipun mereka menghancurkan tubuh ini, tu-

lang belulang ini, bayang-bayang ini (17:7), tubuh yang ku-

pegang dengan tanganku ini,” atau mungkin sembari me-

nunjuk anggota-anggota badannya yang lemah dan layu, 

“tubuh yang kalian lihat ini, sebut saja sesukamu. Aku tahu 

pastilah tidak lama lagi tubuh ini akan menjadi jamuan 

pesta bagi cacing-cacing.” Tubuh Kristus tidak mengalami 

kerusakan, namun  tubuh kita pasti. Dan Ayub berbicara 

mengenai kerusakan tubuh ini, agar kemuliaan kebangkit-

an yang ia percayai dan ia nantikan itu semakin bersinar 

lebih terang. Perhatikan, yaitu  baik bagi kita untuk sering-

sering memikirkan bukan hanya tentang semakin mendekat-

nya kematian tubuh kita, namun  juga tentang kerusakan dan 

kehancurannya di dalam lubang kubur. Namun, jangan 

biarkan pemikiran itu melemahkan pengharapan kita akan 

kebangkitan, sebab kuasa yang sama yang mula-mula men-

ciptakan tubuh manusia dari debu tanah biasa, sanggup 

juga membangkitkannya dari debu itu sendiri. Tubuh yang 

saat ini amat kita perhatikan dan kita pelihara begitu rupa 

akan dihancurkan dalam waktu singkat. Bahkan hati sanu-

bariku (tutur Ayub) merana sebab  rindu (ay. 27), bagian 

terdalam dari tubuh kita yang barangkali akan membusuk 

terlebih dahulu.  

(2) Ayub menghibur dirinya dengan pengharapan akan kebaha-

giaan di seberang kematian dan kubur: Setelah itu aku akan 

bangkit (demikian tafsiran lain), sesudah kulit tubuhku sa-

ngat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah.  

[1] Jiwa dan tubuh kelak akan bersama kembali. Tubuh 

yang harus dihancurkan di dalam kubur kelak dibang-

kitkan kembali menjadi tubuh kemuliaan: dalam da-

gingku aku akan melihat Allah. Jiwa yang terpisah dari 

tubuh, memiliki mata untuk melihat Allah, yaitu mata 

batin. Namun, Ayub berbicara tentang melihat Allah 

dengan mata jasmani, dalam dagingku, dengan mataku. 

Tubuh yang telah mati, tubuh yang sama, akan bangkit 

kembali, tubuh sejati, namun  berupa raga yang mulia, 

sesuai untuk bekerja dan menikmati dunia yang baru. 

Artinya, tubuh itu yaitu  tubuh rohani (1Kor. 15:44). 

Oleh sebab itu, marilah kita memuliakan Allah dengan 

tubuh kita sebab ada kemuliaan besar yang telah dise-

diakan untuk tubuh itu.  

[2] Ayub dan Allah akan bersama kembali: dalam dagingku 

aku akan melihat Allah, yaitu Sang Penebus mulia, yang 

yaitu  Allah. Aku akan melihat Allah dalam dagingku 

(demikian beberapa penafsir), Anak Allah yang menge-

nakan tubuh yang dapat dilihat oleh mata jasmani. 

Meskipun tubuh ini, di dalam kubur, tampak hina dan 

menyedihkan, namun  ia akan ditinggikan dan dijadikan 

berbahagia saat  melihat Allah. Ayub sekarang menge-

luh bahwa ia tidak dapat melihat Allah, namun  berharap 

bisa melihat-Nya dalam waktu dekat, tidak akan pernah 

lagi kehilangan Dia dari pandangan, dan penglihatan 

akan Dia kelak lebih menggembirakan setelah meng-

alami kegelapan dan dijauhkan dari-Nya. Perhatikan, 

inilah berkat bagi orang-orang yang diberkati, yaitu 

bahwa mereka akan melihat Allah, melihat Dia sebagai-

mana adanya, melihat Dia muka dengan muka, bukan 

lagi samar-samar melalui kaca. Lihatlah betapa girang-

nya Ayub bermegah akan hal ini (ay. 27): “yang aku sen-

diri akan melihat,” yaitu, “melihat dan menikmati, meli-

hat hingga mendapat penghiburan dan kepuasan yang 

tidak terperi. Aku akan melihat Dia sebagai bagianku, 

milikku, dengan pandangan yang tepat,” (Why. 21:3). 

Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi 

Allah mereka. Kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab 

kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenar-

nya, yaitu melihat-Nya sendiri (1Yoh. 3:2). Mataku sen-

diri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain.  

Pertama, “Dia, bukan yang lain, yang akan aku lihat, 

bukan gambaran atau perlambang-Nya, namun  Dia sen-

diri.” Orang-orang kudus yang dimuliakan sepenuhnya 

yakin bahwa mereka tidak dikelabui. Tidak ada deceptio 

visus – tipuan indra.  

Kedua, “Aku sendiri, bukan orang lain, akan melihat 

Dia. Sekalipun daging dan tubuhku binasa, aku tidak 

perlu diwakili. Aku akan melihat Dia dengan mataku 

sendiri.” Inilah yang diharapkan Ayub dan didambakan-

nya dengan sungguh, yang menurut sebagian penafsir, 

merupakan pengertian dari ayat terakhir: Hati sanubari-

ku merana sebab  rindu, artinya, “Seluruh kerinduanku 

terangkum dan terkumpul dalam pengharapan itu, 

pengharapan yang akan memahkotai dan menggenapi 

semuanya. Biarkan aku mendapatkannya, maka aku 

tidak akan menginginkan hal lain. Itu sudah cukup. 

Hanya itu yang kumau.” Dengan perkataan ini pula 

Daud bin Isai mengakhiri doanya.  

IV. Dampak perkataan Ayub bagi teman-temannya. Pengakuan iman 

Ayub itu memberikan penghiburan kepada dirinya, namun  menjadi 

peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang menentang dia. 

1. Pengakuan imannya itu merupakan kata-kata peringatan ke-

pada mereka untuk menghentikan kecaman pedas mereka 

terhadap dirinya (ay. 28). Sebelumnya, dia telah menegur ka-

wan-kawannya itu atas perkataan mereka, sekarang ia mem-

beritahukan apa yang seharusnya mereka ucapkan untuk me-

redakan ketegangan di antara mereka. “Mengapa kita menuntut 

dia? Mengapa kita mendukakan Ayub dan menyusahkannya 

dengan mencela dan mengutuk dia, mendapatkan padanya se-

bab perkaranya, atau sebab musabab perkataannya?” Hal ini 

mengajarkan kita,  

(1) Untuk peduli dengan diri sendiri. Kita semua wajib mencari 

tahu akar atau sebab dari masalah yang kita hadapi. Prin-

sip anugerah yang hidup, membangkitkan, dan memerin-

tah dalam sanubari, itulah sebab perkara. Ia sama penting-

nya bagi iman kita seperti akar bagi pohon, pada prinsip 

itulah terletak keteguhan dan keberhasilan. Kasih kepada 

Allah dan sesama, iman dalam Kristus, kebencian terhadap 

dosa, itulah sebab perkara. Yang lain-lain tak ubahnya 

seperti daun dibandingkan tiga hal tadi. Takut akan Allah 

dengan sungguh-sungguh ialah satu-satunya yang diperlu-

kan.  

(2) Dalam tindak tanduk kita terhadap sesama. Kita harus me-

yakini bahwa banyak orang memiliki sebab perkara dalam 

diri mereka masing-masing, yang tidak kita sadari. Setiap 

orang memiliki kebodohan, kelemahan, dan kesalahannya 

sendiri. sebab  itu celakalah kita bila menganiaya orang 

lain. Celakalah dia yang menyakiti salah satu dari orang-

orang yang malang ini! Allah membenci perbuatan itu dan 

akan membalaskannya. Ayub dan sahabat-sahabatnya ber-

beda dalam satu dan lain hal mengenai pemahaman ten-

tang Allah Sang Penyelenggara, namun  mereka sepakat da-

lam sebab perkaranya, yaitu keyakinan akan adanya dunia 

yang lain, dan sebab  itu sepatutnya mereka tidak saling 

menyakiti oleh sebab  perbedaan-perbedaan itu. 

2. Pengakuan iman Ayub itu merupakan kata-kata kengerian 

terhadap mereka. Kedatangan Kristus kali kedua akan sangat 

mengerikan bagi orang-orang yang kedapatan memukul ham-

ba-hamba lain (Mat. 24:49), dan oleh sebab itu (ay. 29), “Takut-

lah kepada pedang, pedang keadilan Allah yang menyala-

nyala, yang bergerak ke segala arah. Takutlah, bila tidak, kali-

an akan dibenci oleh pedang itu.” Orang saleh perlu dibuat ta-

kut terhadap dosa oleh berbagai kengerian dari Yang Maha-

kuasa, khususnya dosa menghakimi saudara mereka dengan 

sembrono (Mat. 7:1; Yak. 3:1). Barang siapa jengkel dan geram 

kepada saudaranya, mengecam dan bersikap jahat terhadap 

sesama, mereka harus tahu bahwa kemarahan mereka, apa  

pun alasannya, tidak mengerjakan kebenaran Allah, dan  

(1) Hendaklah mereka berhati-hati jangan sampai merasakan 

akibatnya: sebab  kegeraman mendatangkan hukuman pe-

dang. Kemarahan mendorong orang untuk melakukan ke-

jahatan yang menghadapkan mereka kepada pedang sang 

hakim. Sering kali Allah sendiri yang membalaskannya, 

dan barang siapa tidak berbelaskasihan, ia sendiri tidak 

akan dikasihani.  

(2) Bila mereka tidak bertobat, akibatnya sungguh akan lebih 

buruk. Dengan inilah kalian tahu bahwa ada penghakiman, 

bukan hanya dari pemerintah saat ini, namun  juga pengha-

kiman yang akan datang, di mana semua perkataan keras 

pasti diperhitungkan. 

 

 

  

PASAL  20  

rang akan menyangka bahwa pengakuan iman yang sedemikian 

unggulnya seperti yang diutarakan Ayub di akhir pasal sebelum 

ini bisa memuaskan sahabat-sahabatnya, atau setidaknya mereda-

kan hati mereka. Namun, sepertinya mereka tidak peduli dengan 

pengakuan imannya itu. sebab  itu di sini Zofar mengambil giliran 

untuk berbicara. Ia berdebat dengan Ayub, dan menyerang dia 

dengan berapi-api seperti sebelumnya. 

I. Kata-kata pengantarnya singkat, namun  sangat panas (ay. 2-3). 

II. Pembicaraannya panjang dan seluruhnya mengenai satu 

pokok, pokok yang sama persis seperti yang panjang lebar 

dibicarakan Bildad (ps. 18), yaitu tentang kesengsaraan yang 

pasti dialami orang-orang fasik, dan kehancuran yang me-

nanti mereka. 

1. Secara umum Zofar menegaskan bahwa kemakmuran 

orang fasik hanya berlangsung singkat, dan kehancuran-

nya pasti (ay. 4-9). 

2. Melalui banyak contoh, Zofar membuktikan kesengsaraan 

Ayub, yaitu bahwa tubuhnya didera penyakit, hartanya 

habis, keluarganya bagaikan pengemis, namanya menjadi 

buruk, dan bahwa ia sendiri akan binasa sebab  berat 

murka ilahi yang menimpanya. Semua hal tadi digambar-

kan dengan cermat melalui ungkapan-ungkapan tinggi 

dan kiasan-kiasan yang hidup. Dan memang hal-hal ini 

sering kali terbukti benar terjadi di dunia ini, dan juga di 

dunia yang lain apabila tidak terjadi pertobatan (ay. 10-

29). Namun, kesalahan besar yang dilakukan Zofar (seperti 

yang diungkapkan Uskup Patrick) sepanjang pembicara-

annya, yang lazim diperbuat Zofar dan sahabat-sahabat-

nya yang lain yaitu , ia menyangka bahwa Allah selalu 

memakai cara ini dan tidak pernah memakai cara lain. 

Oleh sebab itu, ia yakin Ayub pastilah orang yang sangat 

jahat meskipun tidak tampak demikian, sebab  nasib ma-

lang yang menimpanya itu jelas menunjukkan demikian.  

Nasihat Zofar yang Kedua; 

Kebinasaan Orang Fasik 

(20:1-9) 

1 Maka Zofar, orang Naama, menjawab: 2 “Oleh sebab itulah pikiran-pikiran-

ku mendorong aku menjawab, sebab  hatiku tidak sabar lagi. 3 Kudengar 

teguran yang menghina aku, namun  yang menjawab aku ialah akal budi yang 

tidak berpengertian. 4 Belumkah engkau mengetahui semuanya itu sejak da-

hulu kala, sejak manusia ditempatkan di bumi, 5 bahwa sorak-sorai orang 

fasik hanya sebentar saja, dan sukacita orang durhaka hanya sekejap mata? 

6 Walaupun keangkuhannya sampai ke langit dan kepalanya mengenai awan, 

7 namun seperti tahinya ia akan binasa untuk selama-lamanya; siapa yang 

pernah melihatnya, bertanya: Di mana dia? 8 Bagaikan impian ia melayang 

hilang, tak berbekas, lenyap bagaikan penglihatan waktu malam. 9 Ia tidak 

lagi tampak pada mata yang melihatnya, dan tempat kediamannya tidak 

melihatnya lagi. 

Dalam perikop ini, 

I. Zofar mengawali percakapan dengan gusar. Sepertinya ia sangat 

marah mendengar perkataan Ayub. sebab  bertekad menuduh 

Ayub sebagai orang jahat, ia sangat tidak senang mendengar Ayub 

berbicara seperti orang baik. Tampaknya Zofar menyela perkataan 

Ayub dengan tiba-tiba (ay. 2): Oleh sebab itulah pikiran-pikiranku 

mendorong aku menjawab. Ia tidak peduli dengan apa yang di-

katakan Ayub untuk menggugah rasa iba mereka atau untuk 

membuktikan kejujurannya. Sebaliknya, ia memusatkan perhati-

an pada teguran Ayub terhadap mereka di akhir pembicaraannya. 

Zofar menganggap teguran itu sebagai celaan, dan oleh sebab itu 

merasa wajib menjawabnya. Ayub meminta mereka agar takut 

kepada pedang, dan sebab  itu ia mau menunjukkan dirinya 

tidak takut dengan ancaman Ayub itu. Nasihat terbaik terlampau 

sering salah ditanggapi oleh lawan sebagai hal yang buruk, dan 

oleh sebab itu lebih baik dibiarkan saja. Sepertinya, Zofar lebih 

berbicara dengan tergesa daripada bersikap seperti orang bijak. 

Namun, ia mempunyai dua dalih untuk membenarkan ketergesa-

annya itu: 

1. Bahwa Ayub telah sangat menjengkelkan hatinya (ay. 3): “Ku-

dengar teguran yang menghina aku, dan aku tidak tahan men-

dengarnya lebih lanjut.” Patut dicurigai bahwa sahabat-saha-

bat Ayub terlampau bersemangat dalam menghadapi orang 

yang sedang terpuruk, padahal orang-orang dengan semangat 

tinggi tidak sabar bila ditantang. Mereka merasa terhina apa-

bila semua orang di sekeliling mereka tidak berbicara seperti 

cara mereka berbicara. Mereka tidak tahan menerima teguran 

dan menyebutnya teguran yang menghina, dan sebab nya me-

rasa berkewajiban membalas atau mengembalikan teguran itu 

kepada orang yang melontarkannya. 

2. Bahwa hati Zofar sendiri sangat memanas-manasinya. Isi pikir-

annya membuat dia menjawab (ay. 2), sebab  yang diucapkan 

mulut meluap dari hati. Dia sendiri yang melahirkan (ay. 3) akal 

budi yang tidak berpengertian itu: memang hal itulah yang 

menyebabkan kita menjawab. Kita harus memahami sesuatu 

dengan benar dan mempertimbangkannya baik-baik sebelum 

mengucapkannya. Namun apakah ini dilakukan oleh Zofar di 

sini, patut dipertanyakan. Manusia acapkali keliru mengarti-

kan perintah yang diberikan semangat mereka sebagai perin-

tah dari akal sehat mereka, sehingga menyangka sah-sah saja 

apabila mereka menjadi marah. 

II. Zofar dengan terang-terangan melanjutkan pembicaraannya un-

tuk menunjukkan kehancuran dan kebinasaan orang-orang fasik, 

sambil menyindir secara tidak langsung bahwa sebab  Ayub dibi-

nasakan dan dihancurkan seperti itu, maka ia pastilah orang 

fasik dan munafik. Amatilah, 

1. Bagaimana pengajaran ini diperkenalkan Zofar (ay. 4), dengan 

memakai alasan-alasan berikut, 

(1) Pengetahuan dan keyakinan Ayub: “Belumkah engkau me-

ngetahui semuanya itu? Mungkinkah engkau tidak menge-

tahui kebenaran yang begitu jelas? Atau mungkinkah eng-

kau meragukan kebenaran yang telah diteguhkan oleh suara 

seluruh umat manusia?” Orang-orang yang tidak tahu bah-

wa upah dosa yaitu  maut, sebenarnya hanya tahu sedikit. 

(2) Pengalaman orang-orang dari segala zaman. Telah diketa-

hui sejak dahulu kala, sejak manusia ditempatkan di bumi, 

artinya, sejak manusia dijadikan, kebenaran ini telah ter-

ukir di hatinya, yaitu bahwa dosa orang-orang berdosa 

akan menjadi kehancuran mereka. Sejak terjadi kejahatan 

yaitu segera sesudah manusia ditempatkan di bumi, maka 

dijatuhkan pula hukuman atasnya, lihat saja pengusiran 

terhadap Adam dan Kain. Saat dosa memasuki dunia, maut 

pun ikut masuk bersamanya. Seluruh dunia tahu bahwa 

kejahatan mengejar orang berdosa, dan ia tidak dibiarkan 

hidup oleh Dewi Keadilan (Kis. 28:4). Seluruh dunia meya-

kini hal itu (Yes. 3:11), Celakalah orang fasik! Cepat atau 

lambat malapetaka akan menimpanya. 

2. Bagaimana pengajaran itu ditetapkan (ay. 5): sorak-sorai orang 

fasik hanya sebentar saja, dan sukacita orang durhaka hanya 

sekejap mata. Amatilah, 

(1) Zofar menegaskan kesengsaraan, tidak saja yang dialami 

orang-orang yang berperilaku fasik dan cemar, namun  juga 

orang-orang munafik yang diam-diam melakukan kejahat-

an di balik kedok pengakuan agama, sebab seperti itulah 

pandangannya terhadap Ayub. Memang benar bahwa ben-

tuk kesalehan yang disalahgunakan untuk menutupi ke-

jahatan, hanya akan memperburuk sesuatu yang sudah 

buruk. Kesalehan yang bersifat pura-pura merupakan ke-

salahan ganda, dan kehancuran yang mengikutinya juga 

berlipat ganda. Tempat paling panas di neraka akan men-

jadi bagian orang-orang munafik, seperti yang diisyaratkan 

Juruselamat kita (Mat. 24:51). 

(2) Zofar mengaku bahwa orang fasik mungkin saja berhasil 

untuk beberapa waktu, merasa aman dan nyaman, serta 

sangat gembira. Orang bisa melihat mereka penuh keme-

nangan dan sukacita, bersukacita penuh kemenangan 

dalam kekayaan dan kekuasaan mereka, dalam kebesaran 

dan keberhasilan mereka. Mereka bersukacita penuh ke-

menangan atas sesama mereka yang miskin dan jujur yang 

mereka sakiti dan tindas. Mereka tidak merasa telah ber-

buat jahat, dan tidak takut kepada siapa pun. Awalnya sa-

habat-sahabat Ayub enggan mengaku bahwa orang-orang 

fasik bisa saja berhasil (4:9), sampai Ayub membuktikan-

nya dengan jelas (9:24; 12:6), dan sekarang Zofar meng-

akuinya. Bagaimanapun, 

(3) Ia menegaskan kebenaran yang pasti, bahwa mereka tidak 

akan lama menikmati keberhasilan itu. Sukacita mereka 

hanya bertahan sesaat dan akan segera berakhir dalam 

kesedihan tanpa henti. Meskipun sangat jaya, kaya, dan 

gembira, orang fasik akan direndahkan, dipermalukan, dan 

dibuat sengsara. 

3. Bagaimana pengajaran itu digambarkan (ay. 6-9). 

(1) Zofar beranggapan bahwa keberhasilan orang fasik sangat 

luar biasa, begitu luar biasa hingga sulit dibayangkan (ay. 

6). Bukan hikmat dan kebajikannya melainkan kekayaan 

atau keagungan duniawinyalah yang disebutnya sebagai 

kebesarannya (KJV) untuk menilai dirinya. Kita dapat mem-

perkirakan bahwa kebesaran itu sampai ke langit. Meng-

ingat bahwa semangat orang fasik senantiasa meninggi ber-

sama keadaannya, mudah diperkirakan bahwa bersama itu 

kepalanya mengenai awan juga. Ia berhasil dan maju da-

lam segala hal. Dunia telah berbuat semampunya bagi dia. 

Ia memandang rendah semua orang di sekelilingnya dengan 

sikap menghina, sementara mereka memandang kepadanya 

dengan rasa kagum, iri, atau takut. Kita dapat memperkira-

kan bahwa ia ingin memerintah sebagai raja. Meskipun ia 

pasti mempunyai banyak musuh sebelum mencapai tingkat 

keberhasilan ini, ia menganggap dirinya berada jauh dari 

jangkauan anak panah mereka, seolah-olah ia berada di 

awan-awan. 

(2) Zofar yakin bahwa kehancuran orang fasik akan sangat 

parah sebab nya, dan kejatuhannya akan semakin menge-

rikan sebab  telah naik setinggi itu: ia akan binasa untuk 

selama-lamanya (ay. 7). Keangkuhan dan rasa amannya 

menjadi pertanda pasti akan kesengsaraannya. Hal ini pas-

ti terjadi di dunia lain pada semua orang berdosa yang 

tidak bertobat. Mereka akan binasa, binasa selamanya. 

Namun, yang dimaksudkan Zofar yaitu  kehancuran orang 

fasik di dunia ini. Dan memang benar terkadang orang-

orang berdosa yang terkenal sebab  kejahatan mereka se-

cara luar biasa dibinasakan dengan penghukuman di dunia 

ini. sebab  itu orang-orang berdosa, bahkan yang paling 

berjaya sekalipun, mempunyai cukup alasan untuk merasa 

takut kepada hal yang diancamkan Zofar di sini, yaitu, 

[1] Kehancuran yang memalukan: seperti tahinya ia akan 

binasa untuk selama-lamanya. Begitu menjijikkan orang 

fasik itu di mata Allah dan semua orang baik, hingga 

dunia pun sangat ingin berpisah dengannya (Mzm. 

119:119; Yes. 66:24). 

[2] Kehancuran yang mengejutkan. Orang fasik akan diba-

wa ke dalam kebinasaan dalam sekejap (Mzm. 73:19), 

sehingga orang-orang di sekelilingnya yang baru melihat-

nya, akan bertanya, “Di mana dia? Bagaimana mungkin 

ia yang tadinya begitu terkenal, lenyap dan punah se-

mendadak itu?” 

[3] Kehancuran yang cepat (ay. 8). Ia melayang hilang de-

ngan sayap-sayap kengeriannya sendiri, dan lenyap kare-

na kutukan semua orang di sekitarnya, yang dengan 

senang hati ingin menyingkir dari dia. 

[4] Kehancuran menyeluruh, atau kehancuran mutlak. Ia 

akan lenyap bagaikan impian, atau bagaikan penglihat-

an waktu malam, yang sekadar merupakan khayalan 

belaka. Apa pun yang memuaskan khayalan itu akan 

segera lenyap. Yang tersisa hanyalah kebodohan yang 

patut kita tertawakan belaka. Kehancuran itu tidak 

akan dapat diubah (ay. 9): Ia tidak lagi tampak pada 

mata yang melihatnya dan siap memujanya. Tempat 

yang dahulu didiaminya tidak akan melihatnya lagi, 

setelah mengucapkan selamat berpisah untuk selama-

nya kepadanya saat ia pergi ke tempatnya sendiri, se-

perti yang dialami Yudas (Kis. 1:25). 

Nasihat Zofar yang Kedua; 

Kesengsaraan Orang Fasik 

(20:10-22) 

10 Anak-anaknya harus mencari belas kasihan orang miskin, dan tangannya 

sendiri harus mengembalikan kekayaannya. 11 Tulang-tulangnya boleh penuh 

tenaga orang muda, namun  tenaga itupun akan membaringkan diri bersama 

dia dalam debu. 12 Sungguhpun kejahatan manis rasanya di dalam mulut-

nya, sekalipun ia menyembunyikannya di bawah lidahnya, 13 menikmatinya

serta tidak melepaskannya, dan menahannya pada langit-langitnya, 14 na-

mun berubah juga makanannya di dalam perutnya, menjadi bisa ular tedung 

di dalamnya. 15 Harta benda ditelannya, namun  dimuntahkannya lagi, Allah 

yang mengeluarkannya dari dalam perutnya. 16 Bisa ular tedung akan 

diisapnya, ia akan dibunuh oleh lidah ular. 17 Ia tidak boleh melihat batang-

batang air dan sungai-sungai yang mengalirkan madu dan dadih. 18 Ia harus 

mengembalikan apa yang diperolehnya dan tidak mengecapnya; ia tidak me-

nikmati kekayaan hasil dagangnya. 19 sebab  ia telah menghancurkan orang 

miskin, dan meninggalkan mereka terlantar; ia merampas rumah yang tidak 

dibangunnya. 20 Sesungguhnya, ia tidak mengenal ketenangan dalam batin-

nya, dan ia tidak akan terluput dengan membawa harta bendanya. 21 Suatu-

pun tidak luput dari pada lahapnya, itulah sebabnya kemujurannya tidak 

kekal. 22 Dalam kemewahannya yang berlimpah-limpah ia penuh kuatir; ia 

ditimpa kesusahan dengan sangat dahsyatnya. 

Contoh-contoh tentang keadaan menyedihkan orang-orang fasik di 

dunia ini diutarakan sepenuhnya memakai  bahasa yang lancar. 

Hal yang sama kemudian diulang kembali dalam kata-kata lain. Oleh 

sebab itu, marilah kita menyingkatnya sampai bagian-bagian yang 

penting saja, dan mengamati, 

I. Apa gerangan kejahatan yang membuat orang fasik dihukum. 

1. Nafsu kedagingan, yang di sini disebut tenaga orang muda (ay. 

11), sebab itulah dosa-dosa masa muda yang paling membuat 

orang tergoda. Kesenangan-kesenangan indrawi yang terlarang 

disebut manis rasanya di dalam mulut (ay. 12). Ia memper-

turutkan hatinya dalam menikmati nafsu jasmani, dan me-

muaskan diri melebihi batas di dalamnya sebagai sumber ke-

nikmatan utama. Itulah kenikmatan yang ia sembunyikan di 

bawah lidahnya, dan dikunyah-kunyahnya di sana, seperti 

makanan terlezat yang pernah ada. Ia menikmatinya serta 

tidak melepaskannya, dan menahannya pada langit-langitnya 

(ay. 13). Biarkan dia menikmatinya, maka ia tidak akan meng-

inginkan yang lain. Ia tidak akan pernah mau berpisah dengan 

kenikmatan itu sekalipun demi kesenangan rohani dan ilahi, 

yang tidak disukai atau diinginkan hatinya. Menahan kenik-

matan itu di langit-langitnya menunjukkan bahwa ia tetap 

berkanjang di dalam dosanya dengan keras kepala, ia menik-

matinya saat  ia seharusnya memadamkan dan melumpuh-

kannya. Ia tidak melepaskannya, namun  justru memegangnya 

dengan erat dan tetap membangkang. Ia juga mengulang dosa-

nya dan mengenangnya kembali dengan nikmat, seperti yang 

dilakukan perempuan sundal (Yeh. 23:19) yang melakukan 

lebih banyak lagi persundalannya sambil teringat kepada masa 

mudanya. Begitu jugalah yang dilakukan orang fasik ini di 

sini. Menyembunyikan dan menahannya pada langit-langitnya 

menunjukkan betapa gigih ia menutup-nutupi nafsu kesuka-

annya itu. Dengan menjadi orang munafik, perbuatannya yang 

mengejar-ngejar dosa menjadi tersembunyi, supaya ia dapat 

menyelamatkan pengakuan imannya. Walaupun demikian, Dia 

yang mengetahui isi hati juga tahu apa yang ditahan pada 

langit-langit mulut, dan Ia akan mengungkapkannya segera.  

2. Kecintaan terhadap dunia dan kekayaannya. Dalam kekayaan 

duniawilah ia menaruh kebahagiaannya, dan sebab  itu hati-

nya selalu terarah ke sana. Amatilah di sini,  

(1) Betapa rakus ia terhadap kekayaan (ay. 15): Harta benda di-

telannya dengan lahap bagaikan orang lapar menelan ma-

kanan, dan tetap saja berseru, “Berilah, berilah.” Itulah yang 

diinginkannya (ay. 20). Di matanya, harta benda merupakan 

pemberian terbaik dan yang sangat didambakannya. 

(2) Betapa dengan susah payah ia memperolehnya: untuk itu-

lah ia berjerih payah (ay. 18, KJV), bukan melalui ketekunan 

jujur menurut panggilan yang sesuai aturan, melainkan 

dengan gigih menghalalkan segala cara, per fas, per nefas – 

benar atau salah,  untuk menjadi kaya. Kita memang harus 

bersusah payah, namun  bukan supaya menjadi kaya (Ams. 

23:4), melainkan supaya bisa beramal, supaya ia dapat 

membagikan sesuatu (Ef. 4:28), dan bukan supaya meng-

habiskannya. 

(3) Betapa besar hal-hal yang dijanjikan orang fasik kepada 

dirinya sendiri, yang digambarkan dalam ayat 17 sebagai 

batang-batang air dan sungai-sungai yang mengalirkan 

madu dan dadih. Kekecewaannya terhadap hal-hal itu me-

nunjukkan betapa ia telah membuai diri dalam mengharap-

kan semua itu: Ia mengharapkan sungai-sungai kesenang-

an penuh hawa nafsu. 

3. Kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan yang dialami kaum 

miskin di sekitarnya (ay. 19). Inilah dosa para raksasa dunia 

pada zaman dahulu. Dosa yang sama seperti dosa-dosa lain 

yang mendatangkan hukuman Allah ke atas bangsa-bangsa 

dan kaum keluarga. Didakwakan kepada orang fasik ini hal-

hal berikut:  

(1) Bahwa ia telah meninggalkan orang miskin terlantar, tidak 

memelihara mereka, tidak berbaik hati kepada mereka, 

ataupun menyediakan makanan bagi mereka. Pada awal-

nya ia mungkin berpura-pura memberikan sedekah seperti 

orang Farisi demi memperoleh nama baik. Namun, sesudah 

memberikan jasa melalui perilaku ini, ia menghentikannya 

lalu meninggalkan orang miskin yang sebelum itu terlihat 

seolah-olah diperhatikan olehnya. Orang-orang yang ber-

buat baik, namun  tidak atas dasar hati yang baik, meskipun 

berlimpah dalam perbuatan itu, tidak akan tinggal tetap di 

dalamnya. 

(2) Bahwa ia telah menghancurkan dan menindas mereka, serta 

menarik keuntungan dari mereka dengan tujuan mencela-

kakan mereka. Untuk memperkaya diri, ia merampas rumah 

mereka, dan membuat orang miskin semakin miskin. 

(3) Bahwa ia telah merampas rumah mereka, yang bukan hak-

nya, seperti Ahab mengambil kebun anggur Nabot, bukan 

melalui kecurangan secara sembunyi-sembunyi, pemalsu-

an, sumpah palsu, atau tipu muslihat hukum, melainkan 

dengan cara kekerasan yang dilakukan dengan terang-

terangan di muka umum. 

II. Hukuman yang diterima orang fasik akibat kejahatan ini. 

1. Ia akan dikecewakan dalam semua harapannya, dan ia tidak 

akan memperoleh kepuasan dalam kekayaan duniawi yang 

dijanjikannya kepada dirinya sendiri (ay. 17): Ia tidak boleh 

melihat batang-batang air dan sungai-sungai yang mengalirkan 

madu dan dadih, yang sangat ingin dilahapnya. Dunia ternya-

ta tidak menjadi seperti yang diangan-angankan orang-orang 

yang mencintainya, yang merayunya, dan mengaguminya. Ke-

nikmatan mereka tenggelam jauh di bawah harapan mereka 

yang sudah melambung tinggi. 

2. Tubuhnya akan didera penyakit dan mengalami kelainan. Be-

tapa sedikit penghiburan yang diperoleh manusia dalam keka-

yaannya apabila ia tidak memiliki kesehatan! Penyakit dan 

rasa sakit, terlebih apabila sangat parah, akan membuat pahit 

semua kenikmatannya. Orang jahat ini memiliki semua kese-

nangan indra yang dapat diperolehnya. Namun, kebahagiaan 

sejati seperti apa gerangan yang bisa dinikmatinya apabila 

tulang-tulangnya penuh dengan dosa dari masa mudanya (ay. 

11, KJV), yaitu, segala akibat dari dosa-dosanya itu? Melalui 

kemabukan dan kerakusan, kecemaran dan kecerobohan masa 

mudanya, ia terkena sakit penyakit yang lama sesudah itu 

baru terasa sangat menyakitkan baginya. Dan mungkin juga 

membuat hidupnya sangat sengsara, dan seperti yang dikata-

kan Salomo, memakan habis daging dan tubuhnya (Ams. 

5:11). Boleh jadi ia terbiasa berkelahi saat  masih muda, dan 

menyepelekan sayatan atau memar yang diperolehnya dalam 

percekcokan, dan baru dirasakannya dalam tulang-tulangnya 

lama sesudah itu. Bagaimanapun, tidak dapatkah ia merasa 

tenteram dan lega? Tidak, besar kemungkinan ia harus mem-

bawa semua rasa sakit dan penyakitnya ke dalam kubur. Atau 

lebih tepat, sakit penyakit itulah yang akan membawanya ke 

liang kubur, sehingga dengan begitu dosa-dosa masa mudanya 

akan membaringkan diri bersama dia dalam debu. Baginya, 

pembusukan jasadnya di dalam kubur merupakan akibat dosa 

(24:19), sehingga kejahatannya terletak di atas tulang-tulang-

nya dalam kubur (Yeh. 32:27). Dosa orang-orang berdosa 

mengik