sementara kepada yang kekal.
II. Ayub mengeluhkan keburukan kerabat-kerabatnya dan semua
kenalan lamanya. Dalam hal ini pun, ia lagi-lagi mengakui tangan
Allah (ay. 13): Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku,
artinya, “Tuhan telah menimpakan semua sengsara ini ke atasku,
hingga membuat mereka takut kepadaku, dan menjauh dari bo-
rok-borokku.” Perbuatan semua kerabat dan sahabatnya itu ada-
lah dosa mereka sendiri, bukan Allah penyebabnya. Iblislah yang
membuat pikiran manusia menjauhi saudara-saudara mereka
yang sedang menderita. Namun, sebagai kesusahan Ayub, Allah
yang memerintahkan keadaan itu untuk melengkapi pencobaan
Ayub. Sebagaimana kita harus mengakui peranan tangan Allah di
balik segala celaka yang dilakukan musuh terhadap kita (“Tuhan
yang menyuruh Simei mengutuki Daud”), kita pun harus meng-
akui peranan tangan Tuhan di balik segala cemooh dan sikap
buruk yang kita terima dari teman-teman kita, dengan demikian,
kita akan dapat lebih sabar menanggungnya. Setiap ciptaan
memang seperti itu terhadap kita, baik atau jahat, menghibur
atau mengganggu, sebagaimana Allah sendirilah yang mengatur-
nya. Akan namun , hal ini tidak membenarkan sikap kerabat dan
teman-teman Ayub yang sangat tidak tahu berterima kasih dan
tidak adil terhadap dia, yang membuat dia pantas mengeluh ten-
tangnya. Tidak banyak orang yang sanggup menanggung perlaku-
an itu sebaik Ayub. Ia memperhatikan semua sikap mereka yang
jahat itu,
1. Keluarga dan kenalannya, tetangga-tetangganya, dan semua
orang yang sebelumnya ia kenal akrab. Dahulu mereka sangat
patuh menjalani tata krama pertemanan dan sopan santun
terhadap dia, sehingga mengunjunginya, menanyakan keada-
annya, dan siap membantunya dalam segala urusan yang
sanggup mereka kerjakan. Namun sekarang mereka tidak lagi
mengenal dia (ay. 13). Mereka tidak memedulikan dia, seolah-
olah dia orang asing yang belum pernah mereka kenal. Kaum
kerabatnya, yang mengaku bersaudara dengannya saat ia
masih makmur, kini meninggalkan dia. Mereka menyangkal
ikatan persahabatan yang dahulu ada dan mengecewakan
harapannya untuk mendapat kebaikan mereka. Bahkan ka-
wan-kawan dekatnya, yang dahulu begitu ia perhatikan, kini
melupakannya. Mereka melupakan kebaikannya yang dahulu
dan penderitaannya yang sekarang. Mereka sudah mendengar
tentang segala musibahnya, dan bermaksud mengunjunginya.
namun mereka benar-benar lupa, tidak ada perhatian sedikit-
pun. Bahkan, teman-teman terdekatnya, orang yang mengenal
rahasianya, yang paling akrab dengan dia dan ada dalam
hatinya, bukan hanya melupakan dia, namun juga menganggap
dia najis, berusaha menjaga jarak sejauh mungkin, sebab se-
karang ia miskin dan tidak bisa menjamu mereka seperti
dahulu, dan juga sebab ia penuh borok dan menjijikkan un-
tuk dilihat. Orang-orang yang dikasihinya sekarang lebih jahat
daripada pemungut cukai, sebab mereka tidak mengasihinya
sekarang saat ia dalam kesusahan. Bukan hanya berpaling
darinya, mereka malah berbalik melawan dia dan sebisa
mungkin membuatnya memuakkan. Mereka benar-benar telah
menjadi asing baginya (ay. 19). Betapa tidak pastinya persaha-
batan manusia itu. Namun, bila Allah menjadi sahabat kita,
Dia tidak akan meninggalkan kita pada saat kita membutuh-
kan Dia. Janganlah seorang pun, yang mengaku-ngaku manu-
siawi dan beragama Kristen, memanfaatkan temannya seperti
kawan Ayub memanfaatkan dia. Kesukaran yaitu bukti per-
sahabatan.
2. Rumah tangga dan kaum keluarganya. Terkadang, melampaui
perkiraan kita, ada kawan yang lebih dekat daripada saudara.
Namun, seorang kepala keluarga biasanya berharap untuk
dilayani dan dirawat oleh anggota keluarganya, sekalipun keti-
ka orang lain tidak menyukainya lagi akibat kelemahan jas-
mani atau akal budinya. Namun, Ayub yang malang diperlaku-
kan jahat oleh keluarganya, malah sebagian dari orang yang
paling memusuhinya yaitu dari anggota rumah tangganya
sendiri. Dia tidak menyebut-nyebut anak-anaknya, mereka
semua telah tiada, sehingga dapat kita bayangkan sikap ber-
musuhan dari keluarganya yang masih hidup membuat Ayub
semakin meratapi kematian anak-anaknya. “Seandainya mere-
ka masih hidup,” begitu pikirnya barangkali, “Tentu aku men-
dapat penghiburan sebab mereka.” Sedangkan sikap orang-
orang yang masih ada saat itu terhadap Ayub,
(1) Hamba-hambanya meremehkan dia. Hamba-hamba perem-
puannya tidak merawatnya dalam penyakitnya, namun
menganggap dia orang yang tidak dikenal dan orang asing
(ay. 15). Hamba-hambanya yang lain tidak pernah mengin-
dahkan dia. Saat ia memanggil, mereka tidak mau datang,
namun berpura-pura tidak mendengar. Saat ia menanyakan
sesuatu, mereka tidak sudi menyahut (ay. 16). Selama ini,
Ayub telah menjadi tuan yang baik terhadap mereka, ia
tidak mengabaikan hak budaknya laki-laki atau perempuan,
saat mereka beperkara dengan dia (31:13), namun kini
mereka berlaku tidak sopan terhadapnya dan mengabai-
kannya saat ia memohon bantuan mereka. Janganlah
heran bila kita menerima perlakuan jahat dari orang-orang
yang selayaknya memberikan perlakuan baik. Walaupun
Ayub sedang sakit, ia tidak gusar ataupun memperlakukan
para hambanya dengan sewenang-wenang, seperti para
tuan pada umumnya, sebaliknya dia memohon kepada me-
reka, padahal ia berkuasa untuk memberi perintah. Meski
demikian, mereka tidak mau bersopan santun terhadap-
nya, tidak pula bersikap baik dan adil. Perhatikanlah,
orang-orang yang sedang sakit dan berbeban berat cende-
rung berpikiran buruk, dengki terhadap hal remeh, dan
memendam rasa terhadap hal-hal sepele yang kurang me-
nyenangkan hati mereka. sebab itu saat Ayub sedang
sengsara, sikap para hamba yang mengabaikan dia pun
mengusik hatinya.
(2) Meskipun semuanya itu, kita pikir, saat semua orang me-
ninggalkan dia, istri terkasihnya tentu memperlakukannya
dengan penuh kasih sayang. Namun, tidak, sebab Ayub
tidak mau mengutuki Allah dan mati sesuai bujukan istri-
nya, napasnya pun menjijikkan bagi wanita itu. Ia tidak
mau datang dekat-dekat kepadanya ataupun memperhati-
kan perkataannya (ay. 17). Meskipun Ayub berbicara ke-
padanya, bukan dengan sikap memerintah, melainkan de-
ngan kelemahlembutan seorang suami, tidak menyuruh,
namun memperlakukannya dengan penuh kasih sayang
demi anak-anak mereka, tetap saja wanita itu tidak meng-
indahkan dia. Sebagian penafsir membaca perkataan Ayub
seperti ini, “Sekalipun aku meratap atau mengerang sebab
anak-anak kami,” yaitu “sebab kematian anak-anak kan-
dungku sendiri,” kesedihan yang juga sama-sama dirasa-
kan istriku, namun kini, tampaklah bahwa Iblis menyisa-
kan wanita itu bagi Ayub bukan hanya untuk menjadi
penggoda, namun juga sebagai penyiksanya. Dari perkataan
istri Ayub sebelumnya, “Kutukilah Allahmu dan matilah,”
tampak bahwa perempuan itu bukan orang beriman. Jadi,
kebaikan apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang
tidak takut akan Allah dan tidak dikendalikan oleh hati
nurani?
(3) Bahkan anak-anak kecil yang lahir di rumahnya pun, yaitu
anak-anak budaknya, yang berdasarkan hukum kelahiran
juga merupakan budaknya, kini merendahkan dia dan
mengejeknya (ay. 18). saat ia berdiri untuk berbicara ke-
pada mereka dengan manis budi, atau dengan kekuasaan
untuk mengawasi mereka, anak-anak itu menunjukkan diri
bahwa mereka tidak takut kepadanya dan tidak menyegani
dia.
III. Ayub mengeluhkan kemerosotan tubuhnya, segala ketampanan
dan kekuatannya telah tiada. saat orang-orang di sekitarnya
memusuhi dia, andai saja ia dalam keadaan sehat dan nyaman,
mungkin ia tidak ambil pusing. Akan namun , ia tidak bisa menik-
mati keadaan dirinya sendiri, sama seperti orang lain tidak me-
nyukainya (ay. 20): Tulangku melekat pada kulitku, padahal da-
hulu ada daging di antaranya. sebab itulah ia menjadi kurus
kering (16:8). Tubuhnya persis seperti tengkorak, hanya kulit pem-
balut tulang. Bahkan kulitnya pun hampir sepenuhnya rusak,
sedikit saja yang masih utuh, hanya gusiku yang tinggal padaku,
dan mungkin bibirnya juga. Seluruh bagian kulit yang lain sudah
hancur oleh borok-boroknya. Lihatlah, sungguh tiada alasan bagi
kita untuk memanjakan tubuh ini, yang walaupun telah dirawat
sedemikian rupa masih dapat habis dilalap oleh penyakit yang
benihnya memang sudah ada dalam tubuh itu sendiri.
IV. Dengan seluruh alasan itu, Ayub meminta belas kasihan sahabat-
sahabatnya dan dengan adil menyalahkan sikap keras mereka
terhadap dirinya. Berdasarkan gambaran perkara Ayub yang me-
nyedihkan ini, mudah untuk disimpulkan bahwa,
1. Para sahabat Ayub sepatutnya mengasihani dia (ay. 21). Ia me-
mohon belas kasih dengan tutur kata paling menggetarkan
dan mengibakan yang mungkin cukup untuk meluluhkan hati
yang keras: “Kasihanilah aku, kasihanilah aku, hai sahabat-
sahabatku! Bila kalian tidak mau berbuat apa-apa bagiku,
setidaknya kasihani saja aku dan tunjukkan keprihatinan. Ka-
sihanilah aku, sebab tangan Allah telah menimpa aku. Perkara-
ku sungguh menyedihkan, sebab aku telah jatuh ke tangan
Allah yang hidup, jiwaku ditimpa oleh cicipan murka-Nya, mala-
petaka yang paling memilukan di antara semua bencana lain.”
Ingatlah, para sahabat itu mengasihani satu sama lain di tengah
kesusahan, bukannya menutup pintu belas kasihan.
2. Meski para sahabat Ayub tidak bermaksud menganiaya dia,
namun bila mereka tidak mau meringankan penderitaannya de-
ngan belas kasihan, janganlah mereka terlalu kejam menam-
bahinya dengan kecaman dan cercaan (ay. 22): “Mengapa
kamu mengejar aku, seakan-akan Allah? Teguran dari-Nya pun
sudah cukup berat untuk ditanggung, kalian tidak perlu me-
nambahkan kepahitan dan empedu ke dalam cawan penderi-
taan yang Dia berikan kepadaku, tanpa kalian pun cawan-Nya
sudah pahit. Allah berdaulat penuh atas diriku, Dia berhak
melakukan kepadaku apa saja yang dikehendaki-Nya. namun
kalian, pikirmu kalian bisa bertindak demikian juga?” Tidak.
Kita harus berusaha meneladani Sang Mahakudus dan Maha-
rahim, bukan bersikap sebagai seorang yang Mahatinggi dan
Mahakuasa. Allah tidak bertanggung jawab terhadap siapa
pun atas perbuatan-Nya, namun kita harus mempertanggung-
jawabkan perbuatan kita. Bila sahabat-sahabat Ayub sungguh
bersuka di atas penderitaannya, biarlah mereka kenyang ma-
kan dagingnya, tubuh yang sia-sia dan akan binasa. Namun,
jangan sampai mereka melukai jiwanya, seolah dagingnya be-
lum cukup, dan merusak nama baiknya. Kelemahlembutan
yaitu milik orang yang menderita, terutama yang tertekan
pikirannya.
Pengakuan Iman Ayub;
Kebahagiaan Orang yang Ditebus
(19:23-29)
23 Ah, kiranya perkataanku ditulis, dicatat dalam kitab, 24 terpahat dengan
besi pengukir dan timah pada gunung batu untuk selama-lamanya! 25 namun
aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu.
26 Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan
melihat Allah, 27 yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku
sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana ka-
rena rindu. 28 Kalau kamu berkata: Kami akan menuntut dia dan mendapat-
kan padanya sebab perkaranya!, 29 takutlah kepada pedang, sebab kegeram-
an mendatangkan hukuman pedang, agar kamu tahu, bahwa ada pengadil-
an.”
Di antara seluruh percakapan Ayub dengan sahabat-sahabatnya,
tiada ucapan yang seberat dan sedahsyat pernyataan di atas. Per-
kataan yang tidak disangka-sangka, bukan? Dalam ayat-ayat itu ter-
kandung banyak hal tentang Kristus dan sorga, dan mereka yang
berkata demikian menyatakan, bahwa mereka merindukan tanah air
yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi (Ibr. 11:14, 16), seperti
yang dilakukan oleh bapa-bapa leluhur. Dalam perikop di atas terda-
pat pengakuan atau pernyataan iman Ayub. Ia percaya kepada Allah,
Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, serta prinsip-prin-
sip agama alamiah yang sering diakuinya. Namun, di sini tampaklah
bahwa Ayub juga tidak asing dengan agama pewahyuan. Meskipun
pewahyuan tentang Anak yang dijanjikan dan warisan yang dijanji-
kan baru belakangan disingkapkan seperti terang fajar, namun Ayub
telah diajar oleh Allah untuk percaya pada seorang Penebus yang
hidup dan menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di
dunia yang akan datang. Tidak diragukan bahwa Ayub pasti me-
mahami hal tersebut sehingga ia bisa mengatakannya. Dengan peng-
harapan itulah ia menghibur dirinya, bukan dengan mengharapkan
kelepasan dari masalah atau pemulihan kebahagiaannya di dunia ini,
seperti sangkaan orang terhadapnya. Pertama, ungkapan yang di-
ucapkannya di sini, tentang Penebus yang akan bangkit di atas debu,
tentang bagaimana ia akan melihat Allah, melihat Dia dengan mata-
nya sendiri, tidak mungkin dipahami sebagai keselamatan yang sifat-
nya sementara. Sangat jelas bahwa Ayub sama sekali tidak meng-
harapkan pemulihan kemakmurannya di dunia ini. Ia baru saja
berkata, “Jalanku ditutup-Nya dengan tembok” (ay. 8) dan “seperti
pohon harapanku dicabut-Nya” (ay. 10), bahkan setelah itu Ayub
menyatakan bahwa ia sudah putus asa menantikan penghiburan
dalam kehidupan ini (23:8-9; 30:23). Jadi, artinya dia pasti berbicara
tentang penebusan jiwanya dari kuasa maut (lubang kubur) dan
tentang kemuliaan yang akan diterimanya, seperti yang dikatakan
dalam Mazmur 49:16. Tampaknya, Ayub saat itu berada dalam
dorongan yang luar biasa dari Roh Kudus, yang mengangkat dia me-
lampaui dirinya sendiri, memberinya terang, mengaruniakan per-
kataan yang bahkan ia sendiri tidak menduganya. Sebagian penafsir
mengamati bahwa perkataan Ayub setelah itu tidak lagi penuh
kekesalan, kemarahan, dan gerutuan yang tidak pantas tentang Allah
dan penyelenggaraan-Nya, seperti sebelum-sebelumnya. Pengharapan
itu menenangkan jiwanya, meredakan kecamuk badai, dan sesudah
melempar sauh tersebut, pikiran Ayub menjadi kokoh sejak saat itu
dan seterusnya. Mari kita perhatikan,
I. Maksud Ayub dalam membuat pernyataan iman di atas. Tidak
ada perkataan yang lebih sesuai, atau memiliki tujuan yang lebih
baik daripada pernyataan imannya ini.
1. Ayub sedang dituduh, dan ucapan itu merupakan pembelaan-
nya. Sahabat-sahabatnya mengecam dia sebagai orang muna-
fik dan menghina dia sebagai orang fasik, namun ia membela
diri dengan mengungkapkan pernyataan iman, keyakinan,
pengharapan, dan hati nuraninya, yang tidak hanya membe-
baskan dia dari dosa yang menguasainya, namun juga meng-
hiburnya dengan pengharapan akan kebangkitan yang mulia.
Itu bukan perkataan orang yang kerasukan setan. Ayub ber-
harap dan menantikan datangnya Sang Penebus. Ia membawa
perkaranya dari tempat perdebatan ini ke kursi pengadilan,
bahkan kepada Dia yang kepada-Nya telah diserahkan segala
penghakiman, dan Ayub tahu Sang Hakim ini akan membenar-
kan dirinya. Memikirkan datangnya hari penghakiman Allah
akan membuat bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku diha-
kimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia (1Kor. 4:3-
4). Akan mudah bagi kita untuk menanggung fitnahan yang
tidak adil dan tuduhan manusia bila kita menantikan datang-
nya Penebus yang agung dan orang-orang yang ditebus-Nya,
pada hari terakhir nanti. Saat itu nama baik kita akan dibang-
kitkan, bersama tubuh kita!
2. Ayub sedang menderita, dan ucapan itu merupakan penghi-
burannya. Sewaktu ia ditekan melampaui batas, pengharapan
itu menjaganya tetap tegak. Ayub percaya bahwa ia pasti akan
melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup,
bukan di dunia ini, sebab dunia ini yaitu negeri orang-orang
yang sedang menuju kematian.
II. Betapa khidmatnya perkataan Ayub yang mendahului pernyataan
imannya itu (ay. 23-24). Dengan tiba-tiba, ia mengakhiri gerutu-
annya untuk merayakan penghiburannya. Hal ini dilakukannya
bukan hanya sebab merasa sangat terhibur, namun juga untuk
mendidik orang lain. Ayub takut kalau-kalau orang-orang yang
ada di sekitarnya saat itu tidak terlalu menghargai perkataannya,
dan memang terbukti demikian. sebab itu, ia berharap ucapan-
nya dicatat bagi generasi yang akan datang. “Ah, kiranya perkata-
anku ditulis, perkataan yang hendak kututurkan berikut ini!”
Seolah ia berkata, “Aku mengaku telah mengutarakan banyak
kata-kata yang tidak terpuji, yang kuharap dapat dilupakan saja,
sebab tidak memberi manfaat apa pun bagi diriku sendiri maupun
orang lain. Namun, sekarang aku hendak berbicara dengan hati-
hati, dan semoga perkataan ini disebarluaskan ke seluruh dunia
dan dilestarikan bagi keturunan yang akan datang, in perpetuam
rei memoriam – sebagai tanda peringatan yang abadi. Oleh sebab
itu kiranya perkataanku ditulis dan dicatat, atau ditorehkan da-
lam huruf-huruf yang besar dan terbaca, supaya orang yang lewat
dengan berlari pun bisa membacanya. Dan kiranya perkataan itu
tidak dibiarkan terserak dalam kertas-kertas lepas, namun di da-
lam kitab, atau kalaupun kitab bisa musnah, kiranya dibuat ter-
pahat seperti ukiran di atas prasasti, dengan besi pengukir dan
timah pada gunung batu. Kiranya si pengukir memakai seluruh
keahliannya untuk membuat tulisan itu bertahan bagi anak
cucu.” Permintaan yang diserukan Ayub ini ternyata dikabulkan
oleh Allah. Perkataannya ditulis, dicatat dalam kitab Allah, se-
hingga di mana saja kitab itu dibaca, perkataan itu juga dicerita-
kan menjadi kenang-kenangan tentang Ayub. Ia percaya, sebab
itu ia berbicara.
III. Isi pernyataan imannya itu sendiri. Kata-kata apa yang ia ingin
dituliskan. Kata-kata itu telah tertulis di sini (ay. 25-27). Mari kita
menelusurinya.
1. Ayub percaya pada kemuliaan Sang Penebus dan kepentingan
yang ia miliki dalam Dia (ay. 25): namun aku tahu: Penebusku
hidup, Dia nyata dan Dialah hidupku, dan akhirnya Ia akan
bangkit di atas debu, atau tetap berdiri sampai akhir, atau
pada hari terakhir di atas bumi. Dia akan bangkit, atau akan
muncul pada hari terakhir, yaitu saat waktunya tiba atau telah
genap: masa Injil disebut zaman akhir sebab itulah masa
dispensasi Allah yang terakhir di bumi, merujuk pada inkar-
nasi-Nya. Atau, Dia akan ditinggikan dari bumi berarti me-
rujuk pada penyaliban-Nya, atau dibangkitkan dari bumi, ber-
arti merujuk pada kebangkitan-Nya. Atau seperti yang lazim
kita pahami: Pada akhir zaman Dia akan datang di atas bumi,
sebab Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan
melihat Dia, begitu dekat-Nya kelak Dia datang ke bumi ini. Ia
akan bangkit di atas debu, mengatasi semua musuh-Nya yang
akan diletakkan menjadi debu di bawah kaki-Nya. Dia akan
menginjak-injak mereka dan menang atas mereka. Di sini,
perhatikanlah bahwa,
(1) Ada seorang Penebus yang tersedia bagi manusia yang
telah jatuh, dan Yesus Kristuslah Penebus itu. Kata “Pene-
bus” dalam bahasa Ibrani ialah Goel, mengacu pada kera-
bat terdekat yang menurut hukum Musa berhak menebus
tanah milik yang telah digadaikan oleh saudaranya (Im.
25:25). Warisan sorgawi kita telah digadaikan oleh dosa,
dan kita sendiri sama sekali tidak mampu menebusnya.
Kristus merupakan kerabat dekat kita, kaum terdekat yang
mampu menebus. Dia telah membayar utang kita, me-
muaskan keadilan Allah atas dosa, dan dengan demikian
menghapuskan ikatan gadai serta menetapkan kesepakat-
an baru atas warisan tersebut. Jiwa kita juga mendamba-
kan seorang Penebus. Kita terjual kepada dosa dan di bawah
kuasa dosa. Tuhan kita Yesus telah mengerjakan penebusan
bagi kita, menyatakan penebusan untuk kita, dan menyeru-
kan penebusan kepada kita. Jadi, Dia sungguh Sang Pene-
bus sejati.
(2) Dia yaitu Penebus yang hidup. Seperti halnya kita dijadi-
kan oleh Allah yang hidup, demikian pula kita diselamatkan
oleh Penebus yang hidup, yang Mahakuasa sekaligus kekal.
Oleh sebab itu, Dia sanggup menyelamatkan sepenuhnya.
Tentang Dia diberi kesaksian, bahwa Ia hidup (Ibr. 7:8; Why.
1:18). Kita mati, namun Dia hidup, dan Dia sudah menjamin
bahwa Aku hidup dan kamupun akan hidup (Yoh. 14:19).
(3) Ada orang-orang yang oleh anugerah mendapat bagian da-
lam Penebus ini dan mereka memiliki dasar yang kuat un-
tuk menyebut Dia sebagai milik mereka. saat Ayub telah
kehilangan seluruh kekayaannya dan semua temannya,
namun ia tidak terpisah dari Kristus, tidak pula terputus
dari hubungan dengan-Nya: “Dia tetaplah Penebusku.” Ke-
rabat terdekat itu tetap ada bersamanya di kala semua
saudara yang lain meninggalkan dia, dan hal itu menjadi
penghiburan bagi Ayub.
(4) Bagian kita dalam Sang Penebus merupakan sesuatu yang
bisa diketahui, dan saat diketahui, ia dapat dirayakan
mengimbangi segala dukacita kita: aku tahu (perhatikan
betapa yakinnya Ayub saat mengucapkannya, sebagai
orang yang sangat percaya pada apa yang ia katakan), aku
tahu Penebusku hidup. Sahabat-sahabat Ayub kerap menu-
duhnya penuh ketidaktahuan atau pengetahuan yang sia-
sia. Namun, ia tahu, tahu bagi kebaikannya, tahu bahwa
Kristus akan menjadi Penebusnya.
(5) Akan ada masa terakhir, satu hari terakhir, hari saat
tidak akan ada penundaan lagi (Why. 10:6). Hari itu meru-
pakan hari yang patut kita pikirkan setiap hari.
(6) Pada hari itu, Penebus kita akan berdiri di bumi, mengatasi
seluruh bumi, untuk memanggil semua yang telah mati
keluar dari kubur mereka dan menentukan bagi mereka
suatu keadaan hidup yang tidak dapat diubah, sebab ke-
pada Dialah seluruh penghakiman yang telah dipercaya-
kan. Pada akhirnya, Dia akan berdiri di atas debu, yaitu
abu dari bumi kita yang akan dilumat habis oleh api besar.
2. Ayub percaya pada kebahagiaan orang-orang yang ditebus,
dan bahwa dirinya berhak juga memperoleh kebahagiaan itu,
yakni pada kedatangan Kristus yang kedua, saat orang-
orang percaya akan dibangkitkan dalam kemuliaan dan mem-
peroleh berkat sempurna, yaitu memandang dan menikmati
Allah. Ayub percaya hal itu akan terjadi pada dirinya sendiri.
(1) Ia merenungkan kebinasaan tubuhnya di dalam kubur dan
berbicara tentang hal itu dengan acuh tak acuh dan tidak
peduli: sesudah kulit tubuhku (yang memang sudah habis
lenyap, dan hanya gusiku yang tinggal, ay. 20) sangat rusak
(dirusak oleh apa yang telah ditetapkan untuk menghan-
curkannya, yaitu kubur dan berenga/belatung di dalamnya
yang telah disinggungnya dalam 17:14). Kata tubuh ditam-
bahkan: “Sekalipun mereka menghancurkan tubuh ini, tu-
lang belulang ini, bayang-bayang ini (17:7), tubuh yang ku-
pegang dengan tanganku ini,” atau mungkin sembari me-
nunjuk anggota-anggota badannya yang lemah dan layu,
“tubuh yang kalian lihat ini, sebut saja sesukamu. Aku tahu
pastilah tidak lama lagi tubuh ini akan menjadi jamuan
pesta bagi cacing-cacing.” Tubuh Kristus tidak mengalami
kerusakan, namun tubuh kita pasti. Dan Ayub berbicara
mengenai kerusakan tubuh ini, agar kemuliaan kebangkit-
an yang ia percayai dan ia nantikan itu semakin bersinar
lebih terang. Perhatikan, yaitu baik bagi kita untuk sering-
sering memikirkan bukan hanya tentang semakin mendekat-
nya kematian tubuh kita, namun juga tentang kerusakan dan
kehancurannya di dalam lubang kubur. Namun, jangan
biarkan pemikiran itu melemahkan pengharapan kita akan
kebangkitan, sebab kuasa yang sama yang mula-mula men-
ciptakan tubuh manusia dari debu tanah biasa, sanggup
juga membangkitkannya dari debu itu sendiri. Tubuh yang
saat ini amat kita perhatikan dan kita pelihara begitu rupa
akan dihancurkan dalam waktu singkat. Bahkan hati sanu-
bariku (tutur Ayub) merana sebab rindu (ay. 27), bagian
terdalam dari tubuh kita yang barangkali akan membusuk
terlebih dahulu.
(2) Ayub menghibur dirinya dengan pengharapan akan kebaha-
giaan di seberang kematian dan kubur: Setelah itu aku akan
bangkit (demikian tafsiran lain), sesudah kulit tubuhku sa-
ngat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah.
[1] Jiwa dan tubuh kelak akan bersama kembali. Tubuh
yang harus dihancurkan di dalam kubur kelak dibang-
kitkan kembali menjadi tubuh kemuliaan: dalam da-
gingku aku akan melihat Allah. Jiwa yang terpisah dari
tubuh, memiliki mata untuk melihat Allah, yaitu mata
batin. Namun, Ayub berbicara tentang melihat Allah
dengan mata jasmani, dalam dagingku, dengan mataku.
Tubuh yang telah mati, tubuh yang sama, akan bangkit
kembali, tubuh sejati, namun berupa raga yang mulia,
sesuai untuk bekerja dan menikmati dunia yang baru.
Artinya, tubuh itu yaitu tubuh rohani (1Kor. 15:44).
Oleh sebab itu, marilah kita memuliakan Allah dengan
tubuh kita sebab ada kemuliaan besar yang telah dise-
diakan untuk tubuh itu.
[2] Ayub dan Allah akan bersama kembali: dalam dagingku
aku akan melihat Allah, yaitu Sang Penebus mulia, yang
yaitu Allah. Aku akan melihat Allah dalam dagingku
(demikian beberapa penafsir), Anak Allah yang menge-
nakan tubuh yang dapat dilihat oleh mata jasmani.
Meskipun tubuh ini, di dalam kubur, tampak hina dan
menyedihkan, namun ia akan ditinggikan dan dijadikan
berbahagia saat melihat Allah. Ayub sekarang menge-
luh bahwa ia tidak dapat melihat Allah, namun berharap
bisa melihat-Nya dalam waktu dekat, tidak akan pernah
lagi kehilangan Dia dari pandangan, dan penglihatan
akan Dia kelak lebih menggembirakan setelah meng-
alami kegelapan dan dijauhkan dari-Nya. Perhatikan,
inilah berkat bagi orang-orang yang diberkati, yaitu
bahwa mereka akan melihat Allah, melihat Dia sebagai-
mana adanya, melihat Dia muka dengan muka, bukan
lagi samar-samar melalui kaca. Lihatlah betapa girang-
nya Ayub bermegah akan hal ini (ay. 27): “yang aku sen-
diri akan melihat,” yaitu, “melihat dan menikmati, meli-
hat hingga mendapat penghiburan dan kepuasan yang
tidak terperi. Aku akan melihat Dia sebagai bagianku,
milikku, dengan pandangan yang tepat,” (Why. 21:3).
Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi
Allah mereka. Kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab
kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenar-
nya, yaitu melihat-Nya sendiri (1Yoh. 3:2). Mataku sen-
diri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain.
Pertama, “Dia, bukan yang lain, yang akan aku lihat,
bukan gambaran atau perlambang-Nya, namun Dia sen-
diri.” Orang-orang kudus yang dimuliakan sepenuhnya
yakin bahwa mereka tidak dikelabui. Tidak ada deceptio
visus – tipuan indra.
Kedua, “Aku sendiri, bukan orang lain, akan melihat
Dia. Sekalipun daging dan tubuhku binasa, aku tidak
perlu diwakili. Aku akan melihat Dia dengan mataku
sendiri.” Inilah yang diharapkan Ayub dan didambakan-
nya dengan sungguh, yang menurut sebagian penafsir,
merupakan pengertian dari ayat terakhir: Hati sanubari-
ku merana sebab rindu, artinya, “Seluruh kerinduanku
terangkum dan terkumpul dalam pengharapan itu,
pengharapan yang akan memahkotai dan menggenapi
semuanya. Biarkan aku mendapatkannya, maka aku
tidak akan menginginkan hal lain. Itu sudah cukup.
Hanya itu yang kumau.” Dengan perkataan ini pula
Daud bin Isai mengakhiri doanya.
IV. Dampak perkataan Ayub bagi teman-temannya. Pengakuan iman
Ayub itu memberikan penghiburan kepada dirinya, namun menjadi
peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang menentang dia.
1. Pengakuan imannya itu merupakan kata-kata peringatan ke-
pada mereka untuk menghentikan kecaman pedas mereka
terhadap dirinya (ay. 28). Sebelumnya, dia telah menegur ka-
wan-kawannya itu atas perkataan mereka, sekarang ia mem-
beritahukan apa yang seharusnya mereka ucapkan untuk me-
redakan ketegangan di antara mereka. “Mengapa kita menuntut
dia? Mengapa kita mendukakan Ayub dan menyusahkannya
dengan mencela dan mengutuk dia, mendapatkan padanya se-
bab perkaranya, atau sebab musabab perkataannya?” Hal ini
mengajarkan kita,
(1) Untuk peduli dengan diri sendiri. Kita semua wajib mencari
tahu akar atau sebab dari masalah yang kita hadapi. Prin-
sip anugerah yang hidup, membangkitkan, dan memerin-
tah dalam sanubari, itulah sebab perkara. Ia sama penting-
nya bagi iman kita seperti akar bagi pohon, pada prinsip
itulah terletak keteguhan dan keberhasilan. Kasih kepada
Allah dan sesama, iman dalam Kristus, kebencian terhadap
dosa, itulah sebab perkara. Yang lain-lain tak ubahnya
seperti daun dibandingkan tiga hal tadi. Takut akan Allah
dengan sungguh-sungguh ialah satu-satunya yang diperlu-
kan.
(2) Dalam tindak tanduk kita terhadap sesama. Kita harus me-
yakini bahwa banyak orang memiliki sebab perkara dalam
diri mereka masing-masing, yang tidak kita sadari. Setiap
orang memiliki kebodohan, kelemahan, dan kesalahannya
sendiri. sebab itu celakalah kita bila menganiaya orang
lain. Celakalah dia yang menyakiti salah satu dari orang-
orang yang malang ini! Allah membenci perbuatan itu dan
akan membalaskannya. Ayub dan sahabat-sahabatnya ber-
beda dalam satu dan lain hal mengenai pemahaman ten-
tang Allah Sang Penyelenggara, namun mereka sepakat da-
lam sebab perkaranya, yaitu keyakinan akan adanya dunia
yang lain, dan sebab itu sepatutnya mereka tidak saling
menyakiti oleh sebab perbedaan-perbedaan itu.
2. Pengakuan iman Ayub itu merupakan kata-kata kengerian
terhadap mereka. Kedatangan Kristus kali kedua akan sangat
mengerikan bagi orang-orang yang kedapatan memukul ham-
ba-hamba lain (Mat. 24:49), dan oleh sebab itu (ay. 29), “Takut-
lah kepada pedang, pedang keadilan Allah yang menyala-
nyala, yang bergerak ke segala arah. Takutlah, bila tidak, kali-
an akan dibenci oleh pedang itu.” Orang saleh perlu dibuat ta-
kut terhadap dosa oleh berbagai kengerian dari Yang Maha-
kuasa, khususnya dosa menghakimi saudara mereka dengan
sembrono (Mat. 7:1; Yak. 3:1). Barang siapa jengkel dan geram
kepada saudaranya, mengecam dan bersikap jahat terhadap
sesama, mereka harus tahu bahwa kemarahan mereka, apa
pun alasannya, tidak mengerjakan kebenaran Allah, dan
(1) Hendaklah mereka berhati-hati jangan sampai merasakan
akibatnya: sebab kegeraman mendatangkan hukuman pe-
dang. Kemarahan mendorong orang untuk melakukan ke-
jahatan yang menghadapkan mereka kepada pedang sang
hakim. Sering kali Allah sendiri yang membalaskannya,
dan barang siapa tidak berbelaskasihan, ia sendiri tidak
akan dikasihani.
(2) Bila mereka tidak bertobat, akibatnya sungguh akan lebih
buruk. Dengan inilah kalian tahu bahwa ada penghakiman,
bukan hanya dari pemerintah saat ini, namun juga pengha-
kiman yang akan datang, di mana semua perkataan keras
pasti diperhitungkan.
PASAL 20
rang akan menyangka bahwa pengakuan iman yang sedemikian
unggulnya seperti yang diutarakan Ayub di akhir pasal sebelum
ini bisa memuaskan sahabat-sahabatnya, atau setidaknya mereda-
kan hati mereka. Namun, sepertinya mereka tidak peduli dengan
pengakuan imannya itu. sebab itu di sini Zofar mengambil giliran
untuk berbicara. Ia berdebat dengan Ayub, dan menyerang dia
dengan berapi-api seperti sebelumnya.
I. Kata-kata pengantarnya singkat, namun sangat panas (ay. 2-3).
II. Pembicaraannya panjang dan seluruhnya mengenai satu
pokok, pokok yang sama persis seperti yang panjang lebar
dibicarakan Bildad (ps. 18), yaitu tentang kesengsaraan yang
pasti dialami orang-orang fasik, dan kehancuran yang me-
nanti mereka.
1. Secara umum Zofar menegaskan bahwa kemakmuran
orang fasik hanya berlangsung singkat, dan kehancuran-
nya pasti (ay. 4-9).
2. Melalui banyak contoh, Zofar membuktikan kesengsaraan
Ayub, yaitu bahwa tubuhnya didera penyakit, hartanya
habis, keluarganya bagaikan pengemis, namanya menjadi
buruk, dan bahwa ia sendiri akan binasa sebab berat
murka ilahi yang menimpanya. Semua hal tadi digambar-
kan dengan cermat melalui ungkapan-ungkapan tinggi
dan kiasan-kiasan yang hidup. Dan memang hal-hal ini
sering kali terbukti benar terjadi di dunia ini, dan juga di
dunia yang lain apabila tidak terjadi pertobatan (ay. 10-
29). Namun, kesalahan besar yang dilakukan Zofar (seperti
yang diungkapkan Uskup Patrick) sepanjang pembicara-
annya, yang lazim diperbuat Zofar dan sahabat-sahabat-
nya yang lain yaitu , ia menyangka bahwa Allah selalu
memakai cara ini dan tidak pernah memakai cara lain.
Oleh sebab itu, ia yakin Ayub pastilah orang yang sangat
jahat meskipun tidak tampak demikian, sebab nasib ma-
lang yang menimpanya itu jelas menunjukkan demikian.
Nasihat Zofar yang Kedua;
Kebinasaan Orang Fasik
(20:1-9)
1 Maka Zofar, orang Naama, menjawab: 2 “Oleh sebab itulah pikiran-pikiran-
ku mendorong aku menjawab, sebab hatiku tidak sabar lagi. 3 Kudengar
teguran yang menghina aku, namun yang menjawab aku ialah akal budi yang
tidak berpengertian. 4 Belumkah engkau mengetahui semuanya itu sejak da-
hulu kala, sejak manusia ditempatkan di bumi, 5 bahwa sorak-sorai orang
fasik hanya sebentar saja, dan sukacita orang durhaka hanya sekejap mata?
6 Walaupun keangkuhannya sampai ke langit dan kepalanya mengenai awan,
7 namun seperti tahinya ia akan binasa untuk selama-lamanya; siapa yang
pernah melihatnya, bertanya: Di mana dia? 8 Bagaikan impian ia melayang
hilang, tak berbekas, lenyap bagaikan penglihatan waktu malam. 9 Ia tidak
lagi tampak pada mata yang melihatnya, dan tempat kediamannya tidak
melihatnya lagi.
Dalam perikop ini,
I. Zofar mengawali percakapan dengan gusar. Sepertinya ia sangat
marah mendengar perkataan Ayub. sebab bertekad menuduh
Ayub sebagai orang jahat, ia sangat tidak senang mendengar Ayub
berbicara seperti orang baik. Tampaknya Zofar menyela perkataan
Ayub dengan tiba-tiba (ay. 2): Oleh sebab itulah pikiran-pikiranku
mendorong aku menjawab. Ia tidak peduli dengan apa yang di-
katakan Ayub untuk menggugah rasa iba mereka atau untuk
membuktikan kejujurannya. Sebaliknya, ia memusatkan perhati-
an pada teguran Ayub terhadap mereka di akhir pembicaraannya.
Zofar menganggap teguran itu sebagai celaan, dan oleh sebab itu
merasa wajib menjawabnya. Ayub meminta mereka agar takut
kepada pedang, dan sebab itu ia mau menunjukkan dirinya
tidak takut dengan ancaman Ayub itu. Nasihat terbaik terlampau
sering salah ditanggapi oleh lawan sebagai hal yang buruk, dan
oleh sebab itu lebih baik dibiarkan saja. Sepertinya, Zofar lebih
berbicara dengan tergesa daripada bersikap seperti orang bijak.
Namun, ia mempunyai dua dalih untuk membenarkan ketergesa-
annya itu:
1. Bahwa Ayub telah sangat menjengkelkan hatinya (ay. 3): “Ku-
dengar teguran yang menghina aku, dan aku tidak tahan men-
dengarnya lebih lanjut.” Patut dicurigai bahwa sahabat-saha-
bat Ayub terlampau bersemangat dalam menghadapi orang
yang sedang terpuruk, padahal orang-orang dengan semangat
tinggi tidak sabar bila ditantang. Mereka merasa terhina apa-
bila semua orang di sekeliling mereka tidak berbicara seperti
cara mereka berbicara. Mereka tidak tahan menerima teguran
dan menyebutnya teguran yang menghina, dan sebab nya me-
rasa berkewajiban membalas atau mengembalikan teguran itu
kepada orang yang melontarkannya.
2. Bahwa hati Zofar sendiri sangat memanas-manasinya. Isi pikir-
annya membuat dia menjawab (ay. 2), sebab yang diucapkan
mulut meluap dari hati. Dia sendiri yang melahirkan (ay. 3) akal
budi yang tidak berpengertian itu: memang hal itulah yang
menyebabkan kita menjawab. Kita harus memahami sesuatu
dengan benar dan mempertimbangkannya baik-baik sebelum
mengucapkannya. Namun apakah ini dilakukan oleh Zofar di
sini, patut dipertanyakan. Manusia acapkali keliru mengarti-
kan perintah yang diberikan semangat mereka sebagai perin-
tah dari akal sehat mereka, sehingga menyangka sah-sah saja
apabila mereka menjadi marah.
II. Zofar dengan terang-terangan melanjutkan pembicaraannya un-
tuk menunjukkan kehancuran dan kebinasaan orang-orang fasik,
sambil menyindir secara tidak langsung bahwa sebab Ayub dibi-
nasakan dan dihancurkan seperti itu, maka ia pastilah orang
fasik dan munafik. Amatilah,
1. Bagaimana pengajaran ini diperkenalkan Zofar (ay. 4), dengan
memakai alasan-alasan berikut,
(1) Pengetahuan dan keyakinan Ayub: “Belumkah engkau me-
ngetahui semuanya itu? Mungkinkah engkau tidak menge-
tahui kebenaran yang begitu jelas? Atau mungkinkah eng-
kau meragukan kebenaran yang telah diteguhkan oleh suara
seluruh umat manusia?” Orang-orang yang tidak tahu bah-
wa upah dosa yaitu maut, sebenarnya hanya tahu sedikit.
(2) Pengalaman orang-orang dari segala zaman. Telah diketa-
hui sejak dahulu kala, sejak manusia ditempatkan di bumi,
artinya, sejak manusia dijadikan, kebenaran ini telah ter-
ukir di hatinya, yaitu bahwa dosa orang-orang berdosa
akan menjadi kehancuran mereka. Sejak terjadi kejahatan
yaitu segera sesudah manusia ditempatkan di bumi, maka
dijatuhkan pula hukuman atasnya, lihat saja pengusiran
terhadap Adam dan Kain. Saat dosa memasuki dunia, maut
pun ikut masuk bersamanya. Seluruh dunia tahu bahwa
kejahatan mengejar orang berdosa, dan ia tidak dibiarkan
hidup oleh Dewi Keadilan (Kis. 28:4). Seluruh dunia meya-
kini hal itu (Yes. 3:11), Celakalah orang fasik! Cepat atau
lambat malapetaka akan menimpanya.
2. Bagaimana pengajaran itu ditetapkan (ay. 5): sorak-sorai orang
fasik hanya sebentar saja, dan sukacita orang durhaka hanya
sekejap mata. Amatilah,
(1) Zofar menegaskan kesengsaraan, tidak saja yang dialami
orang-orang yang berperilaku fasik dan cemar, namun juga
orang-orang munafik yang diam-diam melakukan kejahat-
an di balik kedok pengakuan agama, sebab seperti itulah
pandangannya terhadap Ayub. Memang benar bahwa ben-
tuk kesalehan yang disalahgunakan untuk menutupi ke-
jahatan, hanya akan memperburuk sesuatu yang sudah
buruk. Kesalehan yang bersifat pura-pura merupakan ke-
salahan ganda, dan kehancuran yang mengikutinya juga
berlipat ganda. Tempat paling panas di neraka akan men-
jadi bagian orang-orang munafik, seperti yang diisyaratkan
Juruselamat kita (Mat. 24:51).
(2) Zofar mengaku bahwa orang fasik mungkin saja berhasil
untuk beberapa waktu, merasa aman dan nyaman, serta
sangat gembira. Orang bisa melihat mereka penuh keme-
nangan dan sukacita, bersukacita penuh kemenangan
dalam kekayaan dan kekuasaan mereka, dalam kebesaran
dan keberhasilan mereka. Mereka bersukacita penuh ke-
menangan atas sesama mereka yang miskin dan jujur yang
mereka sakiti dan tindas. Mereka tidak merasa telah ber-
buat jahat, dan tidak takut kepada siapa pun. Awalnya sa-
habat-sahabat Ayub enggan mengaku bahwa orang-orang
fasik bisa saja berhasil (4:9), sampai Ayub membuktikan-
nya dengan jelas (9:24; 12:6), dan sekarang Zofar meng-
akuinya. Bagaimanapun,
(3) Ia menegaskan kebenaran yang pasti, bahwa mereka tidak
akan lama menikmati keberhasilan itu. Sukacita mereka
hanya bertahan sesaat dan akan segera berakhir dalam
kesedihan tanpa henti. Meskipun sangat jaya, kaya, dan
gembira, orang fasik akan direndahkan, dipermalukan, dan
dibuat sengsara.
3. Bagaimana pengajaran itu digambarkan (ay. 6-9).
(1) Zofar beranggapan bahwa keberhasilan orang fasik sangat
luar biasa, begitu luar biasa hingga sulit dibayangkan (ay.
6). Bukan hikmat dan kebajikannya melainkan kekayaan
atau keagungan duniawinyalah yang disebutnya sebagai
kebesarannya (KJV) untuk menilai dirinya. Kita dapat mem-
perkirakan bahwa kebesaran itu sampai ke langit. Meng-
ingat bahwa semangat orang fasik senantiasa meninggi ber-
sama keadaannya, mudah diperkirakan bahwa bersama itu
kepalanya mengenai awan juga. Ia berhasil dan maju da-
lam segala hal. Dunia telah berbuat semampunya bagi dia.
Ia memandang rendah semua orang di sekelilingnya dengan
sikap menghina, sementara mereka memandang kepadanya
dengan rasa kagum, iri, atau takut. Kita dapat memperkira-
kan bahwa ia ingin memerintah sebagai raja. Meskipun ia
pasti mempunyai banyak musuh sebelum mencapai tingkat
keberhasilan ini, ia menganggap dirinya berada jauh dari
jangkauan anak panah mereka, seolah-olah ia berada di
awan-awan.
(2) Zofar yakin bahwa kehancuran orang fasik akan sangat
parah sebab nya, dan kejatuhannya akan semakin menge-
rikan sebab telah naik setinggi itu: ia akan binasa untuk
selama-lamanya (ay. 7). Keangkuhan dan rasa amannya
menjadi pertanda pasti akan kesengsaraannya. Hal ini pas-
ti terjadi di dunia lain pada semua orang berdosa yang
tidak bertobat. Mereka akan binasa, binasa selamanya.
Namun, yang dimaksudkan Zofar yaitu kehancuran orang
fasik di dunia ini. Dan memang benar terkadang orang-
orang berdosa yang terkenal sebab kejahatan mereka se-
cara luar biasa dibinasakan dengan penghukuman di dunia
ini. sebab itu orang-orang berdosa, bahkan yang paling
berjaya sekalipun, mempunyai cukup alasan untuk merasa
takut kepada hal yang diancamkan Zofar di sini, yaitu,
[1] Kehancuran yang memalukan: seperti tahinya ia akan
binasa untuk selama-lamanya. Begitu menjijikkan orang
fasik itu di mata Allah dan semua orang baik, hingga
dunia pun sangat ingin berpisah dengannya (Mzm.
119:119; Yes. 66:24).
[2] Kehancuran yang mengejutkan. Orang fasik akan diba-
wa ke dalam kebinasaan dalam sekejap (Mzm. 73:19),
sehingga orang-orang di sekelilingnya yang baru melihat-
nya, akan bertanya, “Di mana dia? Bagaimana mungkin
ia yang tadinya begitu terkenal, lenyap dan punah se-
mendadak itu?”
[3] Kehancuran yang cepat (ay. 8). Ia melayang hilang de-
ngan sayap-sayap kengeriannya sendiri, dan lenyap kare-
na kutukan semua orang di sekitarnya, yang dengan
senang hati ingin menyingkir dari dia.
[4] Kehancuran menyeluruh, atau kehancuran mutlak. Ia
akan lenyap bagaikan impian, atau bagaikan penglihat-
an waktu malam, yang sekadar merupakan khayalan
belaka. Apa pun yang memuaskan khayalan itu akan
segera lenyap. Yang tersisa hanyalah kebodohan yang
patut kita tertawakan belaka. Kehancuran itu tidak
akan dapat diubah (ay. 9): Ia tidak lagi tampak pada
mata yang melihatnya dan siap memujanya. Tempat
yang dahulu didiaminya tidak akan melihatnya lagi,
setelah mengucapkan selamat berpisah untuk selama-
nya kepadanya saat ia pergi ke tempatnya sendiri, se-
perti yang dialami Yudas (Kis. 1:25).
Nasihat Zofar yang Kedua;
Kesengsaraan Orang Fasik
(20:10-22)
10 Anak-anaknya harus mencari belas kasihan orang miskin, dan tangannya
sendiri harus mengembalikan kekayaannya. 11 Tulang-tulangnya boleh penuh
tenaga orang muda, namun tenaga itupun akan membaringkan diri bersama
dia dalam debu. 12 Sungguhpun kejahatan manis rasanya di dalam mulut-
nya, sekalipun ia menyembunyikannya di bawah lidahnya, 13 menikmatinya
serta tidak melepaskannya, dan menahannya pada langit-langitnya, 14 na-
mun berubah juga makanannya di dalam perutnya, menjadi bisa ular tedung
di dalamnya. 15 Harta benda ditelannya, namun dimuntahkannya lagi, Allah
yang mengeluarkannya dari dalam perutnya. 16 Bisa ular tedung akan
diisapnya, ia akan dibunuh oleh lidah ular. 17 Ia tidak boleh melihat batang-
batang air dan sungai-sungai yang mengalirkan madu dan dadih. 18 Ia harus
mengembalikan apa yang diperolehnya dan tidak mengecapnya; ia tidak me-
nikmati kekayaan hasil dagangnya. 19 sebab ia telah menghancurkan orang
miskin, dan meninggalkan mereka terlantar; ia merampas rumah yang tidak
dibangunnya. 20 Sesungguhnya, ia tidak mengenal ketenangan dalam batin-
nya, dan ia tidak akan terluput dengan membawa harta bendanya. 21 Suatu-
pun tidak luput dari pada lahapnya, itulah sebabnya kemujurannya tidak
kekal. 22 Dalam kemewahannya yang berlimpah-limpah ia penuh kuatir; ia
ditimpa kesusahan dengan sangat dahsyatnya.
Contoh-contoh tentang keadaan menyedihkan orang-orang fasik di
dunia ini diutarakan sepenuhnya memakai bahasa yang lancar.
Hal yang sama kemudian diulang kembali dalam kata-kata lain. Oleh
sebab itu, marilah kita menyingkatnya sampai bagian-bagian yang
penting saja, dan mengamati,
I. Apa gerangan kejahatan yang membuat orang fasik dihukum.
1. Nafsu kedagingan, yang di sini disebut tenaga orang muda (ay.
11), sebab itulah dosa-dosa masa muda yang paling membuat
orang tergoda. Kesenangan-kesenangan indrawi yang terlarang
disebut manis rasanya di dalam mulut (ay. 12). Ia memper-
turutkan hatinya dalam menikmati nafsu jasmani, dan me-
muaskan diri melebihi batas di dalamnya sebagai sumber ke-
nikmatan utama. Itulah kenikmatan yang ia sembunyikan di
bawah lidahnya, dan dikunyah-kunyahnya di sana, seperti
makanan terlezat yang pernah ada. Ia menikmatinya serta
tidak melepaskannya, dan menahannya pada langit-langitnya
(ay. 13). Biarkan dia menikmatinya, maka ia tidak akan meng-
inginkan yang lain. Ia tidak akan pernah mau berpisah dengan
kenikmatan itu sekalipun demi kesenangan rohani dan ilahi,
yang tidak disukai atau diinginkan hatinya. Menahan kenik-
matan itu di langit-langitnya menunjukkan bahwa ia tetap
berkanjang di dalam dosanya dengan keras kepala, ia menik-
matinya saat ia seharusnya memadamkan dan melumpuh-
kannya. Ia tidak melepaskannya, namun justru memegangnya
dengan erat dan tetap membangkang. Ia juga mengulang dosa-
nya dan mengenangnya kembali dengan nikmat, seperti yang
dilakukan perempuan sundal (Yeh. 23:19) yang melakukan
lebih banyak lagi persundalannya sambil teringat kepada masa
mudanya. Begitu jugalah yang dilakukan orang fasik ini di
sini. Menyembunyikan dan menahannya pada langit-langitnya
menunjukkan betapa gigih ia menutup-nutupi nafsu kesuka-
annya itu. Dengan menjadi orang munafik, perbuatannya yang
mengejar-ngejar dosa menjadi tersembunyi, supaya ia dapat
menyelamatkan pengakuan imannya. Walaupun demikian, Dia
yang mengetahui isi hati juga tahu apa yang ditahan pada
langit-langit mulut, dan Ia akan mengungkapkannya segera.
2. Kecintaan terhadap dunia dan kekayaannya. Dalam kekayaan
duniawilah ia menaruh kebahagiaannya, dan sebab itu hati-
nya selalu terarah ke sana. Amatilah di sini,
(1) Betapa rakus ia terhadap kekayaan (ay. 15): Harta benda di-
telannya dengan lahap bagaikan orang lapar menelan ma-
kanan, dan tetap saja berseru, “Berilah, berilah.” Itulah yang
diinginkannya (ay. 20). Di matanya, harta benda merupakan
pemberian terbaik dan yang sangat didambakannya.
(2) Betapa dengan susah payah ia memperolehnya: untuk itu-
lah ia berjerih payah (ay. 18, KJV), bukan melalui ketekunan
jujur menurut panggilan yang sesuai aturan, melainkan
dengan gigih menghalalkan segala cara, per fas, per nefas –
benar atau salah, untuk menjadi kaya. Kita memang harus
bersusah payah, namun bukan supaya menjadi kaya (Ams.
23:4), melainkan supaya bisa beramal, supaya ia dapat
membagikan sesuatu (Ef. 4:28), dan bukan supaya meng-
habiskannya.
(3) Betapa besar hal-hal yang dijanjikan orang fasik kepada
dirinya sendiri, yang digambarkan dalam ayat 17 sebagai
batang-batang air dan sungai-sungai yang mengalirkan
madu dan dadih. Kekecewaannya terhadap hal-hal itu me-
nunjukkan betapa ia telah membuai diri dalam mengharap-
kan semua itu: Ia mengharapkan sungai-sungai kesenang-
an penuh hawa nafsu.
3. Kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan yang dialami kaum
miskin di sekitarnya (ay. 19). Inilah dosa para raksasa dunia
pada zaman dahulu. Dosa yang sama seperti dosa-dosa lain
yang mendatangkan hukuman Allah ke atas bangsa-bangsa
dan kaum keluarga. Didakwakan kepada orang fasik ini hal-
hal berikut:
(1) Bahwa ia telah meninggalkan orang miskin terlantar, tidak
memelihara mereka, tidak berbaik hati kepada mereka,
ataupun menyediakan makanan bagi mereka. Pada awal-
nya ia mungkin berpura-pura memberikan sedekah seperti
orang Farisi demi memperoleh nama baik. Namun, sesudah
memberikan jasa melalui perilaku ini, ia menghentikannya
lalu meninggalkan orang miskin yang sebelum itu terlihat
seolah-olah diperhatikan olehnya. Orang-orang yang ber-
buat baik, namun tidak atas dasar hati yang baik, meskipun
berlimpah dalam perbuatan itu, tidak akan tinggal tetap di
dalamnya.
(2) Bahwa ia telah menghancurkan dan menindas mereka, serta
menarik keuntungan dari mereka dengan tujuan mencela-
kakan mereka. Untuk memperkaya diri, ia merampas rumah
mereka, dan membuat orang miskin semakin miskin.
(3) Bahwa ia telah merampas rumah mereka, yang bukan hak-
nya, seperti Ahab mengambil kebun anggur Nabot, bukan
melalui kecurangan secara sembunyi-sembunyi, pemalsu-
an, sumpah palsu, atau tipu muslihat hukum, melainkan
dengan cara kekerasan yang dilakukan dengan terang-
terangan di muka umum.
II. Hukuman yang diterima orang fasik akibat kejahatan ini.
1. Ia akan dikecewakan dalam semua harapannya, dan ia tidak
akan memperoleh kepuasan dalam kekayaan duniawi yang
dijanjikannya kepada dirinya sendiri (ay. 17): Ia tidak boleh
melihat batang-batang air dan sungai-sungai yang mengalirkan
madu dan dadih, yang sangat ingin dilahapnya. Dunia ternya-
ta tidak menjadi seperti yang diangan-angankan orang-orang
yang mencintainya, yang merayunya, dan mengaguminya. Ke-
nikmatan mereka tenggelam jauh di bawah harapan mereka
yang sudah melambung tinggi.
2. Tubuhnya akan didera penyakit dan mengalami kelainan. Be-
tapa sedikit penghiburan yang diperoleh manusia dalam keka-
yaannya apabila ia tidak memiliki kesehatan! Penyakit dan
rasa sakit, terlebih apabila sangat parah, akan membuat pahit
semua kenikmatannya. Orang jahat ini memiliki semua kese-
nangan indra yang dapat diperolehnya. Namun, kebahagiaan
sejati seperti apa gerangan yang bisa dinikmatinya apabila
tulang-tulangnya penuh dengan dosa dari masa mudanya (ay.
11, KJV), yaitu, segala akibat dari dosa-dosanya itu? Melalui
kemabukan dan kerakusan, kecemaran dan kecerobohan masa
mudanya, ia terkena sakit penyakit yang lama sesudah itu
baru terasa sangat menyakitkan baginya. Dan mungkin juga
membuat hidupnya sangat sengsara, dan seperti yang dikata-
kan Salomo, memakan habis daging dan tubuhnya (Ams.
5:11). Boleh jadi ia terbiasa berkelahi saat masih muda, dan
menyepelekan sayatan atau memar yang diperolehnya dalam
percekcokan, dan baru dirasakannya dalam tulang-tulangnya
lama sesudah itu. Bagaimanapun, tidak dapatkah ia merasa
tenteram dan lega? Tidak, besar kemungkinan ia harus mem-
bawa semua rasa sakit dan penyakitnya ke dalam kubur. Atau
lebih tepat, sakit penyakit itulah yang akan membawanya ke
liang kubur, sehingga dengan begitu dosa-dosa masa mudanya
akan membaringkan diri bersama dia dalam debu. Baginya,
pembusukan jasadnya di dalam kubur merupakan akibat dosa
(24:19), sehingga kejahatannya terletak di atas tulang-tulang-
nya dalam kubur (Yeh. 32:27). Dosa orang-orang berdosa
mengik