Semakin literal dalam memahami teks keaagamaan maka semakin
sulit untuk mewujudkan harmonisasi Islam dan sains. Inilah
yang menjadi dasar pemikiran Guessoum tentang rekonsiliasi
Islam dan sains.
Armahedi Mahzar mengklasifikasikan lima model
reintegrasi sains dan agama berdasarkan jumlah konsep dasar
utama yang menjadi komponen utama. Model pertama yaitu
monodik. Sains dan agama pada model ini menegasikan eksistensi
dan kebenaran satu sama lain. Hubungan sains dan agama pada
model nomadik ini yaitu konflik seperti yang dipetakan oleh
Barbour dan Haught. Model kedua yaitu diadik. Pada model ini,
sains dan agama sebagai dua kebenaran yang setara dengan ranah
yang berbeda. Sains menyangkut masalah alamiah, sedangkan
sains terkait dengan ranah ilahiah. Model diadik ini terbagi
menjadi tiga varian yaitu diadik kompartementer, diadik
komplementer dan diadik dialogis. Model ketiga yaitu model
triadik. Pada model ini ada satu komponen yang menjadi
penghubung atau penengah dari komponen sains dan agama.
Komponen penghubung ini yaitu filsafat. Sebagai koreksi
dan pengembangan dari model diadik dan triadik yaitu model
tetradik. Model ini memakai empat kuadran Ken Wilber yaitu
subjektifitas (psikologi), objektifitas (ilmu alam),
intersubjektifitas (humaniora/kebudayaan), dan interobjektifitas
(teknologi). Keempat model ini di atas memiliki kelemahan
masing-masing, sehingga ia mengusulkan model kelima sebagai model pentadik yaitu paradigma integralisme Islam. Dalam model
ini empat intisari ilmu keislaman yaitu tasauf, fiqh, tauhid dan
hikmah menjadi dasar epistemologis, aksiologis, teologis dan
kosmologis dari sains sebagai pengganti tiga paradigma sains
modern yaitu rasionalisme, humanisme, dan materialisme.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, Guessoum dan
Wilber berasal dari latar belakang agama dan pemikiran
keagamaan yang berbeda. Guessoum meyakini kebenaran prinsipprinsip dasar ajaran Islam, meskipun ia juga mendapatkan
pendidikan di Barat. Pada sisi lain, Wilber berasal dari tradisi
pemikiran Barat. Filsafat Barat dan pemikiran keislaman secara
epistemologis memiliki perbedaan yang jelas. Filsafat Barat
memakai pendekatan positivistik-nomotetik sedangkan
pemikiran keislaman memakai pendekatan ideografis atau
normatif-filosofis. Dialog keduanya dapat dilakukan dan bahkan
menjadi tawaran alternatif bagi rekonstruksi sains modern dengan
memperkuat spiritualitas. Hal itu dibutuhkan karena sains modern
saat ini didominasi oleh paradigma materialistik-sekularistik dan
jauh dari nilai-nilai spiritual.
Pandangan ini akan menjadi titik
perbedaan dan titik temu antara Guessoum dan Wilber dalam
menganalisis relasi sains dan agama.
Sebelum memahami bagaimana dialog pemikiran
epistemologi relasi sains dan agama Guessoum dan Wilber, perlu
dilihat kembali makna dan posisi sains dan agama ini dalam
berbagai perspektif. Hal itu disebabkan baik Guessoum maupun
Wilber memulai analisis mereka terhadap relasi sains dan agama
dengan mendudukan terlebih dahulu makna dan konsep sains.
Ranah dan fungsi agama dan sains dalam banyak hal
berbeda, namun keduanya bukan berarti tidak saling memengaruhi
dan berhubungan satu sama lain. Keduanya memiliki dimensi
metafisika. Adanya muatan metafisik pada sains tidaklah
menjadikan ia kurang ilmiah. Demikian juga dengan agama, ia
dapat diinterpretasikan kembali sejalan dengan paradigma ilmiah
sehingga tidak bertentangan dengan sains. Sains tidak akan pernah mampu menjelaskan segalanya seperti masalah esensi realitas
yang menjadi bagian agama untuk menjawabnya.
Sains dan agama keduanya sama-sama menfokuskan
perhatiannya kepada kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya
satu. Oleh karena itu, secara prinsip, sains dan agama mestinya
berdampingan. Sains memiliki keterbatasan dalam nilai, tujuan,
makna, dan kualitas. Sains hanya dapat menyentuh nilai
instrumental, bukan nilai intrinsik. Tujuan sains hanya mencari
sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera dan bersifat fisik
semata. Sains tidak dapat mengungkap makna eksistensial dan
ultimate. Sains lebih cenderung bersifat kuantitatif.
Secara historis, Islam tidak pernah menentang
perkembangan sains seperti yang terjadi di Barat pada abad
pertengahan. Fakta historis ini disebabkan oleh beberapa karakter
yang menjadi dasar bahwa Islam dan sains tidaklah bertentangan.
Paling tidak ada empat pertimbangan dan fakta yang menjadi ciri
bahwa Islam dan sains sejalan. Pertama, sains dan penelitian
ilmiah tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan Tuhan. Kedua,
tidak ada seorangpun saintis yang mampu menciptakan sesuatu
dari ketiadaan (Nothing). Ketiga, semua ketentuan tentang hidup
dan mati merupakan hak prerogatif Allah. Terakhir, saintis
memiliki tanggung jawab dan perhitungan dengan Sang
Pencipta.
Salah satu dimensi perdebatan relasi sains dan Islam
terkait dengan kitab suci atau relasi sains dan al-Qur’an.
Guessoum mengemukakan metode penafsiran al-Qur’an terutama
terhadap ayat-ayat yang terkait dengan sains yaitu tafsir yang
beragam dan berlapis. Tafsir ini melibatkan tidak hanya ahli tafsir tapi juga ilmuwan. Guessoum juga mengkritik
kecenderungan pemerintah, lembaga pendidikan dan umat yang
lebih mengutamakan hafalan terhadap al-Qur’an tanpa
peningkatan pemahaman dan penafsiran terhadap isi kandungan
al-Qur’an ini .
Guessoum bersama dengan Mehdi Golshani, Mohammed
Basil Altie, dan Bruno Guiderdoni termasuk generasi baru dalam
perdebatan relasi Islam dan sains. Mereka pada umumnya
memiliki latar belakang saintis yang mendalami ilmu-ilmu
kealaman yang lebih cenderung berupaya membangun interpretasi
teistik tentang sains berdasarkan ajaran Islam dibandingkan melakukan
reformasi metode ilmiah.
Berdasarkan klasifikasi Steinberg dan Bigliardi tentang
relasi sains dan Islam, rekonsiliasi Islam dan sains terdiri dari lima
model atau mazhab. Mazhab pertama yaitu sains suci (sacred
science) yang dikembangkan oleh Sayyed Hossen Nasr. Mazhab
kedua yaitu mazhab sains Islam (Islamic Science) yang
dikembangkan dari konsep islamisasi pengetahuan Syed Naquib
al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi. Aliran ketiga yaitu sains
universal (universal science) yang dianut oleh Abdul Salam dan
Pervez Hoodbhoy. Model keempat yaitu mazhab kandungan
mujizat ilmiah al-Qur’an (Miraculous Scientific Content of the
Qur’an) yang dikembangkan oleh Maurice Bucaille. Model
terakhir yaitu mazhab rekonsiliasi generasi baru (The New
Generations of Reconcilialist’s School) yang dipelopori oleh
Mehdi Golshani dan termasuk Nidhal Guessoum.
Salah satu persoalan yang dibahas oleh Guessoum dan
Wilber terkait dengan relasi sains dan agama yaitu evolusi.
Evolusi menjadi persoalan yang paling banyak disoroti dalam
diskursus sains dan agama baik pada warga Muslim maupun
Barat. Bagi Guessoum, evolusi sebagai sebuah teori ilmiah perlu
dianalisis dengan memakai berbagai pendekatan dan
perspektif. Sedangkan bagi Wilber, agama cenderung menolak
teori evolusi atau paling tidak menganggap evolusi hanya sebagai
sebuah hipotesis. Evolusi dalam sains modern cenderung
mempertahankan sisi eksterior saja dan mengabaikan atau bahkan
menolak sisi interiornya. Bagi Wilber, idealisme pada dasarnya
yaitu sebuah evolusi menuju Tuhan. Kelemahan Darwin yaitu
mereduksi evolusi pada ranah biologi.
Salah satu upaya akomodatif sains dan agama dalam
persoalan evolusi adanya pandangan evolusi yang diatur oleh
Tuhan. Pandangan ini disebut dengan evolusi teistik. Salah satu
kelemahan yang sangat mendasar dari pandangan ini yaitu
berupaya membelokkan teologi agar cocok dengan fakta-fakta
baru. Dengan kata lain, evolusi teistik mencoba menyandingkan
metafisik dengan teori fisika.
Menurut Teolog Charles Hodge, teori evolusi Darwin
tidak bertentangan dengan kitab suci Bible. Teori ini sesuai
dengan evolusi teistik sehingga secara inrinsik tidak dapat
dibantah. Dalam evolusi teistik, perkembangan spesies baru tetap
di bawah kontrol Tuhan. Oleh karena itu. Hodge menilai tidak ada
alasan untuk menganggap bahwa Darwin dan teorinya sebagai
ateis.
Perdebatan tentang evolusi dan agama tentu tidak saja
berkembang dalam dunia Islam dan Barat saja, tapi juga pada
agama-agama timur lainnya. Mayoritas guru di Korea Selatan
termasuk guru-guru yang beragama Budha mendukung teori
evolusi, sedangkan guru yang beragama Protestan cenderung
mendukung kreasionis. Di Brazil, mayoritas menolak pandangan
bahwa penerimaan Teori Evolusi Darwin tidak dapat disandingkan
dengan keyakinan terhadap Tuhan. Penerapan teori evolusi dalam
pendidikan sains dapat diterima oleh mayarakat yang memiliki
religiusitas yang tinggi. Semakin besar pengaruh pandangansekularisme terhadap warga , maka warga ini
cenderung berpandangan bahwa agama dan sains yaitu terpisah.
Keberatan atau penolakan sebagian besar pemikir Muslim
modernis terhadap teori evolusi Darwin yaitu berdasarkan
pertimbangan sosial keagamaan bukan berdasarkan sudut pandang
ilmiah atau keilmuan.
Salah satu upaya untuk mengatasi perbedaan pandangan
bagi siswa terkait dengan persoalan relasi sains dan agama
khususnya masalah teori evolusi Darwin yaitu dengan cara
memberi tugas kepada mereka membuat karangan reflektif.
Tulisan reflektif ini menunjukkan keberagaman pandangan
tentang teori evolusi. Setiap tulisan siswa diberi penilaian dengan
menjaga kerahasiaan pendapat mereka. Diskusi tentang relasi
sains dan agama khususnya persolaan teori evolusi Darwin baru
dapat dilakukan dan hasilnya sangat luar biasa dibandingkan jika
tidak diberi tugas tulisan reflektif sebelumnya. 1
Evolusi yaitu contoh yang paling jelas resistensi agama
terhadap sains. Teori evolusi ini tidak hanya dipandang
bertentangan dengan kitab suci, tapi teori ini mengakibatkan
berbagai implikasi seperti materialisme, eksepsionalisme manusia,
dan moralitas yang sangat menganggu penganut agama.
Berdasarkan survey terhadap negara, persen menolak teori
evolusi dengan alasan teori kreasionisme (penciptaan). Negara
terbesar yang menolak teori evolusi dari survey ini yaitu
Arab Saudi dan Turki.
Teori evolusi Darwin yang terkenal dengan seleksi alam
(natural selection) tidaklah tepat jika dikaitkan dengan perdebatan sains dan agama namun lebih kepada persoalan epistemologi.
Kekuatan teori evolusi Darwin ini terletak pada bagaimana
ia memberi kerangka epistemologis terhadap sains untuk
memahami dan meneliti alam. Alexakos dalam kesimpulannya
dalam tulisan ini menganggap bahwa para penentang teori
evolusi Darwin, khususnya yang mendukung teori kreasonis,
sebagai sentimen anti sains. Menurutnya, kebebasan berfikir dan
beragama mesti disandingkan dengan kebebasan beragumentasi
menentang ‚keyakinan-keyakinan‛ yang tidak dapat
dipertanyakan. Pemahaman agama seperti yang dipahami oleh
teori kreasonis tidaklah memadai untuk menjelaskan tentang alam
seutuhnya. Oleh karena itulah, ia mengusulkan perlunya
pengajaran yang bersifat dialektis dalam sains agar dapat berfikir
dibalik yang jelas (thinking beyond the obvious). Meskipun
sebagian besar penganut agama keberatan tentang teori evolusi,
secara ilmiah teori evolusi seharusnya tetap diajarkan sebagai
teori tentatif.
Upaya dari sebagian ilmuan yang berasal dari latar
belakang agama yang berbeda untuk mencari karakter ilmiah dari
agama yaitu sama saja dengan mengakui kebenaran merupakan
monopoli ekslusif dari sains. Segala sesuatu yang tidak didasarkan
pada investigasi empiris ilmiah dianggap tidak benar. Pada sisi
lain, sains secara historis telah terbukti dapat difalsifikasi dan
dirubah. Sains memiliki keterbatasan inherent dan kontradiksi
sehingga dapat dikatakan sains bersifat relatif dan tidak berdiri
sendiri. Oleh karena itu, segala upaya untuk menyesuaikan
kebenaran agama dengan sains atau sebaliknya tidaklah tepat baik
untuk agama maupun sains itu sendiri.Rekonsiliasi sains dan agama pada masa kontemporer
sangat diperlukan karena begitu besarnya pengaruh dan dampak
dari perkembangan teknologi mengharuskan adanya horizon baru
dalam memandang relasi sains dan agama yaitu horizon etis
(ethical horizons). Horizon ini menuntut adanya dialog dan debat
interdisipliner yang lebih luas yang dapat memberi kontribusi
terhadap sains, filsafat dan agama. Di samping itu, perlunya
upaya rekonsiliasi sains dan Islam yaitu suatu yang sangat
mendesak dan nyata untuk membalikkan ide dan pandangan
adanya konflik nyata antara sains dan agama.
Merujuk kepada tipologi Barbour dan Haught, pola relasi
kedua setelah konflik yaitu independensi atau kontras. Stephen
C. Meyer membagi model interaksi sains dan agama paling tidak
ada dalam dua bentuk yaitu saling terpisah dan saling
melengkapi yang disebut dengan kompartemen dan
komplementer. Kedua model interaksi ini sama sama
mensyaratkan netralitas teori-teori ilmiah. Sebagian filsuf
kontemporer seperti Alvin Platinga mempertanyakan model
interaksi sains dan agama yang terpisah. Pemisahan sains dan
agama secara ketat pada dasarnya tidak memiliki dasar yang
cukup kuat karena pada prinsipnya keduanya sama-sama membuat
klaim kebenaran (truth claim) dengan kualitas yang berbeda
seperti tentang sifat alam, asal mula kehidupan, sifat manusia dan
sebagainya. Dengan mengutip Alvin Platinga, Meyer menyatakan
bahwa hampir semua teori ilmiah mempunyai implikasi metafisik
dan agama. Perbedaan epistemologis yang mendasar antara sains
dan agama menurut eksistensialisme yaitu sains bersifat
impersonal dan objektif sedangkan agama bersifat personal dan
subjektif.
Islam telah berhasil menghilangkan garis pemisah antara
agama dan sains yang sebelumnya merupakan dua kutub yang
berbeda. Setelah kemunduran Islam, para ilmuan Barat telah
berhasil mengembangkan sains berdasarkan sudut pandang
materialistik dan dengan penuh percaya diri merendahkan dan
membuang agama. Pada beberapa dekade terakhir berkembang ide
Islamisasi ilmu pengetahuan oleh para pemikir Muslim. Islamisasi
pengetahuan dimaksudkan sebagai antitesis dari tekanan dan
penindasan yang dilakukan oleh teolog di Barat terhadap ilmuan.
Dalam Islam, hubungan agama dan sains sangat dekat, dan untuk
mengembalikan konsep ini dibutuhkan penyatuan kembali
agama dan sains yang telah tercemar pada renaisans di Barat.
Penyatuan ilmu pengetahuan dengan cara mengembangkan sains
Islam dan pada akhirnya menjadikan konsep sains Islam sebagai
suatu yang universal. Upaya ini membutuhkan suatu usaha
yang serius dan maksimal secara akademis, metodologisparadigmatis, objektif dan praktis. Islamisasi tentu tidak
menyangkut konten sains namun paling tidak konten ini
mendapatkan sentuhan islamisasi.
1
Guessoum menilai konsep Islamisasi sains gagal dan tidak
berkembang. Relasi sains dan agama menurut Guessoum yaitu
rekonsiliasi dengan mengusulkan konsep teistik sains.
Berdasarkan teori Stenmark, rekonsiliasi dipahami sebagai bahwa
sains dan agama merupakan dua hal yang tidak berdiri sendiri dan
tidak bertentangan secara total karena ranah keduanya saling
melengkapi meski terkadang tumpang tindih (overlapp). Oleh
karena itu, sains dan agama, dalam hal ini Islam, boleh jadi
harmoni ataupun konflik. Jika sains dan agama harmoni, maka
keduanya saling melengkapi, namun jika konflik berarti pemahaman terhadap sains maupun agama mesti dikaji ulang
kembali.
Guessoum sangat menentang pandangan yang
memisahkan antara sains dan agama. Berdasarkan pengalaman
yang sudah puluhan tahun mengajar sains di universitas dalam
dunia Islam-Arab, sangatlah tidak mungkin memisahkan pola pikir
dan pendidikan keagamaan ketika mengkaji sains. Bahkan
mahasiswa selalu mempertanyakan bagaimana konsep al-Quran
ketika ia mengajar astronomi. Demikian juga pemikiran yang
dikembangkan oleh dai dan orang-orang yang mendukung
pemikiran ijaz. Oleh karena itu, tuntutan untuk rekonsiliasi dan
harmoni antara sains dan agama sangat besar dan tetap selalu ada.
Argumen berikutnya yaitu bahwa Islam yaitu sebuah sistem
yang lengkap dan tidak mungkin memisahkan setiap aspek
kehidupan termasuk sains.
Paradigma integrasi sains dan agama yang
dikembangkan Wilber, terlepas dari segala kemungkinan
kelemahan dan kekurangannya memberi pandangan yang jelas
tentang perlunya dialog sains dan agama yang sebenarnya.
Integrasi tentu saja dapat diawali dengan terjadinya dialog sains
dan agama. Dialog dan integrasi tentu saja membutuhkan
beberapa upaya dan pendekatan, salah satunya yaitu pendekatan
epistemologis.
Wilber berupaya memahami agama secara perennial,
meskipun Guessoum lebih terbatas terhadap dua agama saja yaitu
Islam dan Kristen sedangkan Wilber berupaya mencari titik temu
agama-agama dalam konteks yang lebih luas bahkan mencakup
agama-agama besar dan formal tapi juga aliran-aliran spiritualitas yang berkembang. Bagi Guessoum dialog antara Islam dan
Kristen menjadi sangat penting terutama terkait dengan
pengembangan konsep rekonsiliasi sains dan agama. Khusus untuk
umat Islam, Guessoum mensyaratkan perlunya pengembangan dan
peningkatan pengajaran sains.
Argumen teleologis tidak tepat dipertentangkan dengan
teori evolusi. Evolusi yaitu fakta tentang alam serta dapat
dianalisis dengan berbagai perspektif termasuk perspektif
Darwinisme. Oleh karena itu, teori evolusi Darwin layaknya
dianalisis seperti teori-teori ilmiah lainnya.
Sains dan agama menurut Wilber dapat diintegrasikan
dengan membongkar kembali pemahaman agama dan sains. Dalam
konteks pandangan di atas, maka sains dan agama yang
mengalami konflik karena ada anomali dalam baik pemahaman
agama maupun konsep sains. Inilah mengapa Wilber menyebutnya
dengan konflik terjadi antara pseudo sains dan pseudo agama.
Menurut Stanley L. Jaki, epistemologi yang paling tepat
terhadap integrasi sains dan agama yaitu dasar epistemologi
yang berada di tengah antara idealisme dan empirisme. Idealisme
cenderung mengarah kepada solipsisme atau paham yang
menganggap hanya pengalaman dan eksistensi sendiri yang diakui
kebenarannya. Pada sisi lain, empirisme berupaya membuktikan
kebenaran pengetahuan dengan generalisasi, inferensi, dan
induksi. Epistemologi tengah ini yang sering digunakan
dalam penalaran filosofis untuk menyimpulkan eksistensi
transendental yaitu Tuhan atau Pencipta. 1
Pandangan sains modern yang telah menjauhkan sisi
esoteris dari agama inilah yang menjadi inti pemikiran Wilber
tentang relasi sains dan agama. Sains dapat diintegrasikan dengan
agama jika sains mengakui semua jenis ranah pengalaman
yaitu pengalaman inderawi, pengamalan mental, dan pengalaman
spiritual. Pada sisi lain, agama mesti menggali dan menonjolkan
sisi esoteris atau interiornya ketika dihubungkan dengan sains, dan
sains mengakui pengetahuan yang didasarkan oleh agama. Akibat filsafat ilmu tidak mampu mengembangkan
rasionalitas dan sains yang mengakui kebenaran di luar waktu dan
ruang duniawi yaitu kebenaran yang tertinggi dalam agama, maka
manusia abad modern seolah-olah harus memilih pemahaman
ilmiah dan pemahaman religius yang dilematis. Oleh karena itu,
agama sudah seharusnya diletakkan dan diposisikan kembali
sebagai paradigma ilmu pengetahuan manusia, karena agama
mengantarkan manusia kepada kebenaran ilahiah. Hal inilah
yang menjadi kegusaran Wilber. Ia melihat manusia yang
mementingkan sains modern cenderung terjebak pada penolakan
segala bentuk sisi batiniah atau sisi non empiris. Sisi ini
hanya ada pada agama khususnya spiritualitas.
Sejalan dengan hal ini , Ahmad Gharis Zubair melihat
bahwa menjadikan rasionalitas manusia secara berlebihan
merupakan warisan kultural renaisans yang sangat jelek. Warisan
ini membuat manusia modern cenderung menyisihkan nilai
dan norma moral berdasar agama dalam melihat realitas
kehidupan.
Konsep integrasi sains dan agama Wilber yang ingin
menempatkan kembali aspek spiritualitas dari agama serta sains
harus mengakui ranah spiritual yaitu salah satu ranah sains
sejalan dengan model keberlanjutan relasi sains dan agama.
Menurut Egil Asprem, pola pemetaan relasi sains dan esoterisme
(yang ada dalam agama dan spiritualitas) terdiri model besar.
Ketiga model ini yaitu yaitu model keberlanjutan
(continuity models) dengan memakai pendekatan sejarah
terhadap sains dan esoterisme, model konflik (conflict model)
yang berpandangan bahwa sains dan esoterisme secara esensial
terputus serta baik secara actual maupun potesial cenderung
terjadi konflik antar keduanya, dan model pertukaran (exchange
models) yang meliputi legitimasi ilmiah dan kultural, pertukaran
yang bersifat diskursif dan pluralistik, serta kerangka jaringan dan
batas antara keduanyaGuessoum membagi empat tipologi umat Islam terhadap
teori evolusi sejak pertengahan abad ke- . Keempat reaksi
ini yaitu akomodatif, rekonsiliatif, korektif, dan kotradiktif.
Evolusi yaitu sebuah fakta sehingga sama halnya dengan teori
ilmiah lain harus dlilihat dari berbegai perspektif. Teori Evolusi
Darwin memang menjadi perdebatan sains dan agama, termasuk
dengan Islam. Perdebatan ini tentu saja tidak dapat dengan
memakai pendekatan literal, namun dengan memakai
pendekatan multiple-multilevel (beragam dan berlapis)
Pemahaman ketuhanan dalam Islam sangat terkait dengan
sains dan filsafat. Tuhan dapat dipahami dalam berbagai
perspektif baik oleh ilmuwan, filsuf dan sufi. Oleh karena itu,
pemahaman tentang Tuhan tidak hanya secara simbolik tapi juga
allegoris. Islam memberi ruang yang terbuka terhadap
pemahaman konsep ketuhanan sepanjang tidak menyalahi prinsip
keesaan Allah.
Guessoum sangat menekankan pentingnya ide
falsifiabilitas sebagai sifat dari pengembangan sains.
Falsifisiabitas ini sayangnya benar-benar dilupakan baik oleh
warga awam maupun sebagian besar kalangan terdidik
khususnya di dunia Islam. Hal ini disebabkan di antaranya
para ilmuan khususnya ilmuan Muslim melupakan filsafat sains
dan dinamika yang terjadi di dalamnya. Ia menilai sangat sedikit
universitas mensyaratkan bagi mahasiswa sains dan teknologi agar
mengambil mata kuliah filsafat ataupun sejarah sains Secara historis, Islam memberi dorongan dan
kontribusi terhadap perkembangan sains modern awal. Pada
perkembangan selanjutnya, sains modern mengalami deviasi dan
reduksi dari nilai-nilai teistik Islam. Oleh karena itu, dialog antara
filsafat sains Barat dan pemikiran Islam menjadi penting dan
relevan paling tidak merekonstruksi kembali nilai teistik pada
sains.
Secara singkat dapat diuraikan bahwa konsep rekonsiliasi
sains dan Islam yaitu sebuah pemikiran Guessoum untuk
merumuskan kembali pemikiran Islam dan perkembangan sains
pada masa kejayaan Islam. Konsep sains yang berkembang pada
saat itu tidak mempertentangkan antara sains dan filsafat dengan
agama karena nilai-nilai aksiologis dan transendental agama merupakan bagian yang menyatu dengan pemahaman dan
perkembangan sains dan filsafat. Pada sisi lain, konsep integrasi
sains dan agama menurut Wilber yaitu upaya untuk
merekonstruksi epistemologi sains modern yang bersifat dualistik
dan reduksionistik menjadi sains yang memiliki pluralitas
epistemologi dengan cara mengakui eksistensi pengetahuan
spiritual. Sains modern telah menghilangkan sisi esoteris spiritual
sehingga cenderung menolak agama. Integrasi dimaksudkan
yaitu menyatukan kembali sains dan agama serta pengakuan
terhadap nilai-nilai spiritualitas sebagai bagian yang integral dari
sains kontemporer.
C. Implikasi Filosofis dan Praktis Konsep Rekonsiliasi Guessoum
dan Integrasi Wilber
1. Pengembangan Sains di Dunia Islam
Sains di dunia Islam pada masa abad pertengahan
memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan
sains global dan kelahiran sains modern. Salah satu yang
mendorong perkembangan sains pada masa itu yaitu karena para
ilmuan dan saintis menilai tidak ada pertentangan antara sains dan
agama seperti Abu Reyhan al-Biruni dan Sham al-Di>n Muhammad
Sahraz>ur>i. Kemunduran sains di dunia Islam, dengan mengutip Ibn
Khaldun, yaitu karena adanya pembatasan sosial dan hukum
terhadap saintis untuk berkreasi dan mengembangkan diri.
Pengembangan sains berlangsung atas tiga dasar atau
basis yaitu logika ilmu (sebagai landasan objektif), paradigma
(sebagai landasan sosio-kultural) dan teologis-metafisis (sebagai
landasan religius). Pandangan ini pada dasarnya dalam
banyak hal sejalan dengan konsep rekonsiliasi Guessoum dan
integrasi Wilber terhadap sains dan agama. Secara filosofis,
pengembangan sains memang tidak dapat terlepas dari tiga dasar
filosofis yaitu dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Persoalan utama dalam sains modern seperti yang telah diuraikan
sebelumnya yaitu adanya reduksi dari ketiga dasar epistemologi ini . Hal inilah yang menjadi perhatian sebagian besar pemikir
Islam dan pemikir Barat kontemporer termasuk Guessoum dan
Wilber.
Sains yang tepat sejalan dengan pandangan moral dan
agama. Leibniz mengkritik konsep deisme Newton yang
menganalogikan Tuhan sebagai pembuat jam. Bagi Leibniz,
Tuhan tidak hanya menciptakan mesin, tapi menciptakan mesin
sempurna. Pendapat ini tentu saja dapat menghindari
konflik sains dan agama, meskipun tetap menyisakan persoalan.
Apakah pemahaman agama dapat menerima segala dinamika
perkembangan sains. Hal ini tentu saja sangat terkait dengan pola
pemahaman keagamaan para tokoh agama. Konflik yang terjadi di
Barat pada awal dan masa modernitas yaitu salah satunya akibat
pemikiran keagamaan pada masa ini sulit menerima
dinamika sains yang begitu cepat.
Pandangan bahwa agama dan sains memiliki ranah yang
berbeda menyebabkan keduanya eksis dan jalan sendiri-sendiri.
Tentu saja pandangan ini tidak luput dari kritik. Sains dan
agama pada kenyataannya merupakan dua hal yang tidak dapat
lepas dari manusia. Bagaimana mungkin dua hal yang ada
pada manusia tapi mereka terpisah satu sama lain. Oleh karena itu,
muncul pandangan tipologi berikut yaitu dialog atau kontak dan
integrasi atau konfirmasi. Dua tipologi inilah yang agaknya dekat
dengan konsep Guessoum dan Wilber.
Persoalan ini sesuai dengan pendapat Hans Alber
bahwa berbagai macam pandangan dan pendapat tentang relasi
sains dan agama yaitu konsekuensi dari adanya dua fakta. Fakta
pertama yaitu adanya perbedaan pandangan epistemologi, dan
fakta yang kedua yaitu adanya perbedaan konsep agama. Hal
ini berarti selagi tidak ada kesesuaian dan titik temu antara konsep
epistemologi sains dan konsep pemikiran keagamaan, maka keharmonisan antara sains dan agama sulit dicapai. Terlepas dari
dua fakta menurut Alber di atas, agaknya pandangan Yves Gingras
perlu dipertimbangkan.
Yves Gingras menyatakan bahwa relasi sains dan agama
seharusnya dianalisis dari berbagai perspektif baik normatif
maupun historis. Konflik sains dan agama tidak hanya akibat
pertentangan epistemologis antara saintis dan teolog tapi juga
adanya pertentangan sosial politik bagi kelompok-kelompok sosial
yang berupaya mempertahankan simbol-simbol keagamaan dan
kepentingan sosial. Inilah yang sering terjadi pada warga
yang sedang mengalami dan menuju perubahan, termasuk
perubahan dari status quo pemahaman agama yang mulai
diganggu oleh perkembagan sains. Para elit agama dan politik
dalam hal tertentu merasa terancam kedudukannya.
Menyikapi hal ini , Philip Clayton merumuskan
beberapa kesimpulan yang bersifat reflektif setelah mewawancarai
dan menganalisis beberapa esai tentang relasi sains dan agama
dalam berbagai perspektif. Pertama, sains secara permanen dan
radikal telah berperan penting dalam merubah bagaimana pola
kehidupan manusia. Kedua, sains memberi tantangan
tersendiri terhadap agama umumnya dan teisme khususnya.
Ketiga, sains pada dasarnya bukan satu-satunya dan tidak
mencukupi untuk menjawab persoalan kehidupan manusia karena
sains itu sendiri terbatas. Keempat, spiritualitas dapat menjadi
jembatan yang menghubungkan antara sains dan tradisi
keagamaan. Terakhir, adanya keberagaman konsep spiritualitas
dewasa ini.
Masalah relasi sains dan agama menjadi penting dan
mendesak untuk dijawab mengingat begitu besar dampaknya
dalam kehidupan dewasa ini. Sains dan agama merupakan dua
sumber terbesar dari pengetahuan dan penemuan manusia, bahkan
keduanya menjadi latar utama dari sekian banyak peradabanPaling tidak ada tiga upaya pengembangan sains di dunia
Islam dewasa ini. Pertama, perlunya investasi yang besar untuk
membangun institusi dan warga terdidik. Kedua, pemerintah
harus memberi kebebasan kepada umat untuk berkreasi dan
berinovasi. Ketiga, sains jangan pernah digunakan untuk
menyerang kebebasan seseorang dalam berkeyakinan. Salah satu
kelebihan umat Islam masa awal, mereka lebih terbuka mendengar
dan mendiskusikan ide-ide baru dari luar meskipun hal itu
kelihatan bertentangan dan mereka sendiri tidak setuju.
Tiga upaya ini menjadi perhatian yang cukup serius
dari Nidhal Guessoum seperti yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya. Ia sangat menyayangkan perhatian yang kurang
maksimal yang dilakukan oleh warga dan pemerintah negaranegara Arab khususnya dan muslim umumnya terhadap
pengembangan sains sehingga umat Islam ketinggalan
dibandingkan dengan Barat dalam kemajuan sains (setidaknya
sampai ia menulis buku Islam’s Quantum Question). Hal ini
tidak terjadi pada sejarah Islam awal ketika umat Islam
mengalami kejayaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Integrasi sains modern dan Islam menghadapi beberapa
dilema karena memunculkan berbagai pandangan yang beragam.
Kelompok moderat berpandangan bahwa sains Islam tidak
berbeda secara radikal dengan sains modern. Kelompok lunak
menganggap sains bersifat universal dan nilai Islam hanya
dibutuhkan terhadap penerapan sains saja. Kelompok ekstrem
berprinsip bahwa sains Barat bertentangan dengan prinsip dasar
Islam sehingga sains Barat harus dihilangkan dan diganti dengan
sains Islam. Kelompok ekstrim berikutnya berpandangan bahwa
sains bersifat universal yang perlu diislamisasikan yaitu
saintisnya.
Paling tidak ada tiga upaya utama untuk mewujudkan
integrasi ilmu dalam Islam. Ketiga upaya ini yaitu dialog
ulama dan ilmuwan, konferensi internasional yang melibatkan
ulama dan ilmuwan dari kalangan penganut agama dengan
ilmuwan dan peneliti Barat yang cenderung ateis dan agnotis, dan etika universal yang mengatur hubungan harmonis, toleran,
bijaksana di antara para ilmuwan.1
Pada tahun 1 , Interdisciplinary University of Paris
didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan rekonsiliasi antara
sains dan agama. Buku Nidhal Guessoum yaitu investasi besar
dari lembaga ini .1 Dalam konteks ini, Guessoum memiliki
kesamaan dengan Wilber. Pendekatan integral mendorong
pengembangan studi interdisipliner termasuk terhadap kajian
Islam
Mohammed Abdus Salam menilai ada beberapa sebab
mengapa revolusi sains (revolusi ilmiah) seperti yang terjadi di
Barat tidak terjadi dalam Islam. Pertama, cara pandang dan
filsafat warga muslim yang cenderung fatalistik dan
Asy’ariyah. Kedua yaitu orientasi pendidikan yang bersifat
utilitarianisme yang hanya hanya mengutamakan asas manfaat,
bukan ilmu untuk ilmu itu sendiri. Ketiga yaitu peran hukum
Islam yang penerapannya tidak mendukung pengembangan sains.
Keempat yaitu faktor lemahnya ekonomi sebagian besar umat
Islam. Kelima yaitu faktor politik umat Islam.1
Pandangan Salam di atas agaknya merupakan tugas berat
bagi umat Islam dewasa ini khususnya dalam pengembangan
sains. Tentu saja, revolusi ilmiah yang dimaksudkan bukan
revolusi ilmiah yang terjadi di Barat pada awal abad modern.
Menurut Azyumardi Azra, budaya saintifik teknologikal
masih tetap dominan pada abad ke- 1. Respon kaum Muslim
masih tidak jauh berbeda dengan abad ke- yaitu dengan segala
keterbatasan infrastruktur sains dan teknologi, umat Islam masih
tetap ketinggalan dengan Barat. Hanya segelintir intelektual Islam
yang berupaya melakukan ‚rekonseptulisasi‛ atau
‚rekontekstualisasi‛ Islam agar dapat menjawab tantangan zaman.
Pada sisi lain, banyak pemikir dan didukung oleh massa yang
terjebak pada apologisme dan diiringi oleh ‚mekanisme
pertahanan diri‛ (defence mechanism) yang amat tinggi bahwa
keterbelakangan umat Islam karena meninggalkan al-Qur’an dan
Sunnah. ‚Solusi Islam‛ ini telah gagal memberi solusi yang viable dan workable terhadap keterbelakangan umat Islam
khususnya dalam sains dan teknologi.1
Mulyadhi Kartanegara melihat paling tidak ada tiga faktor
yang mendorong berkembangnya sains dalam dunia Islam
berdasarkan perkembangan sains masa lampau dan proyeksi ke
depan. Ketiga faktor itu yaitu pertama, dorongan dari konsep
agama yang sudah begitu jelas bahwa al-Qur’an maupun hadis
banyak memberi dorongan dan inspirasi terhadap
perkembangan sains. Kedua yaitu harus apresiasi warga
baik dari kalangan rakyat maupun penguasa terhadap pentingnya
pengembangan ilmu atau sains. Faktor ketiga yaitu patronase
yaitu adanya perlindungan, pengayoman dan finansial dari
penguasa atas sarana dan prasarana pendidikan.1
Beberapa negara yang mayoritas muslim dan negaranegara Islam saat ini telah berupaya untuk mengembangkan sains
meskipun tetap mempersoalkan relasi agama dan sains seperti
yang terjadi di Barat. Terlepas dari perdebatan ini , langkahlangkah konkrit telah dilakukan dengan didirikannya universitasuniversitas Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman tapi juga ilmu-ilmu umum yang meliputi ilmu alam,
ilmu sosial dan humaniora.
Prospek pengembangan sains dalam konteks Islam akan
sangat ditentukan paling tidak tiga faktor yang bersifat distingtif
dan khusus. Pertama, upaya revitalisasi sains dalam Islam harus
sesuai dengan tradisi klasik pemikiran Islam. Kedua, sains di
dunia Islam harus mampu mengadopsi sains modern yang
berkembang dewasa ini terutama di Barat yang tentu saja dalam
banyak hal sangat berbeda kekhasannya. Ketiga, karena
revitalisasi sains ini memakai label Islam, maka
tampilan sains dalam konteks Islam ini harus mampu
menjelaskan dari kedua faktor di atas.1
Aliran akomodasionisme terdiri dari beberapa kategori
dalam memandang kesesuaian sains dan agama. Kategori ini yaitu kesesuaian logis, kesesuaian mental, sinkritis. Kategori
pertama memandang bahwa tidak alasan logis yang mendukung
bahwa sains dan agama bertentangan. Kategori kedua berpendapat
bahwa sebagian besar saintis yaitu penganut agama dan banyak
penganut agama merangkul sains. Oleh karena itu, tidak ada
alasan untuk menyatakan bahwa sains dan agama bertentangan.
Kategori ketiga melihat bahwa sains dan agama yaitu dua sisi
dalam satu tujuan yaitu menemukan kebenaran. Kategori sinkritis
ini juga berupaya menyatukan ataupun merekonsiliasi sains dan
agama. Kategori terakhir yaitu sains dan agama tidak tumpang
tindih (non overlaping magisteria/NOMA) yang dikembangkan
Stephen J. Gould. Kategori ini melihat ranah sains dan agama
berbeda. Sains mengkaji fenomena alam, sedangkan agama
mencari makna dan tujuan kehidupan manusia.1
Menurut Jerry Coyne, klaim bahwa agama dan sains
memiliki kesesuaian yaitu lemah. Hal ini disebabkan oleh
sedikit sekali penganut agama yang mau menerima pandangan
bahwa agama dan sains yaitu sesuai. Di samping itu, agama
tidak akan dapat sesuai dengan sains tanpa mengurangi kekakuan
agama sampai pemahaman agama tidak ubahnya seperti filsafat
yang humanis. Klaim Coyne bahwa sains dan agama tidak cocok,
tidaklah berarti sebagian besar penganut agama menolak sains.
Mereka pada dasarnya tidaklah begitu mempersoalkan berbagai
teori dan penemuan sains kecuali teori evolusi yang banyak
mendapat cibiran dari berbagai penganut agama.1
Coyne menyebut pandangan bahwa agama dan sains tidak
bertentangan yaitu akomodatif. Pandangan ini lebih banyak
didukung oleh penganut agama terutama teolog yang berfikir
liberal, ramah terhadap sains namun juga khawatir jika sains
menjadi ancaman terhadap keyakinan agama. Alasan lain bagi
pandangan akomodatif ini yaitu kepentingan politis.1
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan wujud dan
epistemologi Islam harus ditopang oleh ontologi.1 Epistemologi
dan ontologi yaitu dua cabang atau bagian filsafat yang bersifat
paralel dan saling berinteraksi secara dialektis.11 Menurut Abdul
Kadir Riyadi, para pemikir seperti Sayyid Hossein Nasr dan Nasr
Abu Zayd yaitu pemikir yang berpijak pada ontologi yang
empiris. Mereka sejalan dengan Ibn Rushd dan Ibn ‘Arabi, bahwa
pergerakan epistemologi harus dimulai dari ontologi, metafisika
beranjak dari fisika, dan idealisme berawal dari realisme.111
Beranjak dari ontologi, untuk memahami realitas, baik itu alam,
maupun manusia harus dimulai dengan memahami terlebih dahulu
aspek empirisnya. Bahkan untuk memahami Tuhan pun, manusia
harus memulai dari aspek empirisNya, yaitu alam ciptaanNya,
karena Tuhan menampakkan diri (ber-tajalli) dalam ciptaanNya
yang empiris.11
Berbagai bentuk pengetahuan dalam Islam terkait dengan
pengetahuan yang didasarkan pada wahyu karena epistemologi
merefleksikan ontologi. Dengan demikian, pengetahuan yang
diperoleh dengan wahyu, intelek, penalaran, dan metode empiris
secara epistemologis bersifat koheren dan terkait dengan tujuan
utama pencapaian pengetahuan dan sejalan dengan tujuan
eksistensi dari yang ada.11
Sejalan dengan hal itu, Mehdi Golshani menyatakan
bahwa dalam al-Qur’an lebih dari ayat yang menunjuk kepada
fenomena alam, dan manusia diminta untuk dapat memikirkannya
agar dapat mengenal Tuhan lewat tanda-tanda-Nya. Dalam
konteks inilah, Golshani menilai bahwa sains sangat berperan
penting dalam membantu manusia mengenal Tuhan.11 Dalam
paham eksistensialisme teistik Karl Jaspers, manusia dapat memahami dan melihat ‚wajah‛ Tuhan dengan cara mengkaji dan
memahami chifer-chifer atau tanda-tanda ciptaan-Nya yang ada
dalam alam.
Dalam filsafat Islam, menurut Mulyadhi Kartanegara,
objek ilmu tidak hanya hal-hal fisik saja tapi termasuk juga yang
non fisik karena keduanya yaitu realitas. Berdasarkan pemikiran
al-Farabi, Mulyadhi menjelaskan bahwa hirarki wujud (martabat
al-mauju<da<t) menempatkan Tuhan di puncak hirarki, setelah itu
malaikat, benda-benda langit, dan benda-benda bumi. Status
ontologis Tuhan jauh lebih fundamental dan esensial dari pada
status ontologis alam karena Tuhan ada dengan sendirinya atau
sebagai Sebab Pertama.11 Salah satu ciri aliran Peripatetik dalam
filsafat Islam dalam aspek ontologis yaitu hylomorfisme yang
berarti bahwa segala yang ada di dunia terdiri atas dua unsur
utama yaitu materi (hyle/al-hayula) dan bentuk
(morphis/shu<rah).11 Perdebatan tentang wuju<d (eksistensi) dan
m<ahiyah (esensi) dalam filsafat Islam menjadi tema sentral bagi
filsuf Muslim paripatetik seperti Ibn Sina.
Ibn Sina, menurut Sayyid Hossein Nasr, yaitu puncak
dari aliran filsafat peripatetik dalam Islam yang didasarkan atas
ontologi atau filsafat wuju>d. Untuk membedakan Wujud Murni
(Pure Being/Tuhan) dengan eksistensi dunia, Ibn Sina melakukan
pembedaan yang mendasar antara keniscayaan (necessity/wuju>b),
kemungkinan (contingency /imka>n), dan kemustahilan
(impossibility/imtina>’). Tuhan atau Pure Being eksistensinya
yaitu Wa>jib al-Wuju>d atau Necessary Being, sementara alam
keberadaannya bersifat mumkin al-wuju>d.
11
Terkait dengan ontologi dan sains di dunia Islam.
Pemikiran Recep Senturk11 berikut juga menarik. Ia menyatakan
bahwa untuk mengembangkan sebuah konsep sains dan
warga Islam yang terbuka, perlu dibangun sebuah konsep yang ia sebut dengan ‚open ontology‛ dan sejalan dengan
‚multiplex epistemology. Pandangan dunia seperti ini dapat
mengakomodir beberapa jenis kebenaran yang berbeda termasuk
kebenaran sains fisika, sains sosial, metafisika. Pandangan yang
inklusif dan terbuka ini dapat membentuk sebuah ikatan budaya
yang egaliter dan dialogis. Hal ini dapat dicapai dengan
memakai metodologi holistik (holistical methodology) yang
meliputi metode integratif, sistimatis dan reflektif. Pemikiran
Islam akan berkembang jika epistemologi multiplex ini dapat
diaplikasikan. Walaupun demikian, ia menekankan perlu kehatihatian dalam memahami teks suci dan hubungannya dengan
epistemologi dan pandangan dunia kontemporer.11
Kebenaran objektif yang menjadi fondasi sains tidak dapat
membuktikan atau membantah kebenaran agama sejak masa
modernisme sampai pada posmodernisme atau bahkan posposmodernisme.1
Menurut Gerhard Schurz, konteks sains dalam pengertian
yang luas yang tidak hanya sains kealaman tapi juga sains sosial
dan humaniora, paling tidak ada pertanyaan besar yang menjadi
bahasan atau pertanyaan utama filsafat sains. Pertama yaitu
bagaimana bahasa ilmiah dibangun. Kedua yaitu apa aturan
argumen dan penalaran ilmiah yang benar. Ketiga yaitu apa
bentuk distingtif dari observasi atau data imiah. Keempat yaitu
apa itu hukum ilmiah dan teori-teori apa yang terkandung di
dalamnya. Kelima yaitu bagaimana menguji teori dan hipotesis
secara ilmiah. Keenam yaitu apa yang diperoleh dari penjelasan
ilmiah dan apa itu kausalitas. Ketujuh yaitu apakah realitas
objektif dapat ditemukan dan apa maksudnya kebenaran objektif.
Terakhir yaitu apa hubungan antara sains dan nilai. Masalah
yang ketujuh sangat erat kaitannya antara filsafat sains dan
epistemologi sedangkan masalah yang kedepan yaitu terkait
dengan metaetika.Menurut Emad Bazzi, posmodernisme cenderung
dianggap sebagai pemikiran yang sesuai dan mendukung
epistemologi pluralistik dan warga yang toleran serta
inklusif. Posmodernisme tidak terlalu simpatik dan cocok dengan
agama khususnya Islam karena Islam menganut pandangan dunia
(world view) berdasarkan epistemologi fondasionalis yang bersifat
universal dan objektif, sementara posmodernisme menolak dan
mengkritik epistemologi fondasional dalam modernisme. Islam
lebih dekat dengan modernitas karena Islam bersifat universal,
rasional serta mengakui realitas objektif dan menolak relativisme
pengetahuan dan nilai.
Abdul Kader Tayob mengemukakan paling tidak ada tiga
pendekatan dalam konteks pendekatan Islam terhadap modernitas.
Pertama, pendekatan normatif yang memandang modernitas sarat
dengan nilai-nilai pencerahan dan kerangka sosial politik Eropa.
Berdasarkan pendekatan pertama ini, Islam tidak sejalan dengan
modernitas. Kedua, pendekatan trasformatif yang memandang
kemungkinan terjadinya titik temu antara Islam dan modernitas
seperti yang terjadi pada masa masuknya tradisi intelektual
Yunani Kuno dan Persia ke dalam Islam. Terakhir yaitu
pendekatan konstruktif. Pola ini berupaya mengkonstruksi
modernitas Islam secara tersendiri.1
Sains dan teknologi yang didasarkan pada pandangan
dunia sekularistik-materialistik mengabaikan dimensi religius,
etis, dan filosofis dari manusia serta lebih mengutamakan
kesenangan yang bersifat fisik. Sains dan teknologi yang demikian
telah menyebabkan krisis lingkungan dan kemanusiaan. Oleh
karena itu, Golshani merekomendasikan pengembangan sains dan
teknologi harus memperhatikan tanggung jawab moral, terutama
moral agama, dengan harapan terpeliharanya kelangsungan hidup
manusia di bumi ini.
Dalam Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisis
yang sama dan bertujuan baik melalui wahyu maupun
pengetahuan manusia untuk menemukan tanda-tanda kebesaran
Tuhan. Dengan kata lain, aktifitas saintifik manusia yaitu bagian
ibadah.1
Secara historis, Islamisasi sains telah dimulai sejak
penterjemahan berbagai karya Yunani, Latin, Syiria dan
sebagainya ke dalam Bahasa Arab pada masa Khalifah al-Ma’mun
( 1 - M). Islamisasi pada masa ini berbeda dengan
Islamisasi sains yang dikembangkan saat ini. Pada masa ini ,
islamisasi sains didukung kekuatan Islam baik secara politik,
intelektual, dan keberagamaan umat. Islamisasi sains saat ini
berlangsung di tengah berbagai kelemahan umat Islam baik secara
ekonomi, politik, dan sains itu sendiri.1
Feryad Hussain dan Anke Iman Bouzenita mengkritik
proyek Islamisasi sains khususnya dalam psikologi berdasarkan
beberapa hipotesis. Pertama, human sciences khususnya sosiologi
dan prikologi sering dipakai sebagai agen perubahan sosial dan
dijadikan strategi oleh Barat yang sekular. Kedua, islamisasi
human sciences bertujuan untuk merubah warga di dunia
Islam. Hal ini secara tidak langsung muncul anggapan bahwa
apapun sistem dan model pendidikan dan sosial di Barat dapat
diterapkan di dunia Islam. Ketiga, Islam tidak relevan dengan
‚Masa Modern‛ jika tidak diislamkan karena Islam sudah
sempurna. Islamisasi terkesan menjadikan Islam hanya sebagai
salah satu alternatif di antara sekian banyak opsi dalam
menghadapi problema modernitas. Keempat, human sciences
dapat diislamisasikan dengan kerangka kerja sistem yang bukan
Islam. Permasalahannya yaitu siapa aktor yang melakukan
Islamisasi. Sebagian besar yaitu para ilmuan dan pemikir yang
memang dibesarkan dalam tradisi intelektual Barat. Berdasarkan
hipotesis ini , mereka melihat bahwa proyek Islamisasi sains
khususnya dalam psikologi memiliki kelemahan dan masalah
Oleh karena itu, Islamisasi memberi hasil yang tidak jelas dan
hanya menghabiskan energi saja. Islamisasi dapat mengarah pada
negosiasi metodologi Islam dengan teori-teori lain yang belum
tentu sejalan. Mereka menawarkan lebih baik upaya
mengembangkan sains yang berbasis wahyu saja.1
Adebayo mengidentifikasi dan mengkritik beberapa
pendekatan yang dilakukan oleh umat Islam untuk
mengintegrasikan sains ke dalam Islam. Pendekatan pertama
yaitu pendekatan sumber (the source approach). Pendekatan ini
yaitu dengan cara merujuk kepada al-Quran dalam
pengembangan sains dan teknologi dan konsep sains sosial
lainnya. Pendekatan kedua yaitu pendekatan relasional (the
relational approach) yaitu menghubungan hasil sains dan
teknologi terhadap al-Quran dan Sunnah dengan cara menguraikan
fakta-fakta ilmiah dari kedua pegangan ajaran Islam ini serta
mencari bukti-bukti ilmiah dalam al-Quran. Terakhir yaitu
pendekatan penghargaan (the tributary approach) yaitu upaya
untuk menjelaskan kontribusi umat Islam dalam kemajuan sains
dengan cara memuji upaya dan kontribusi para ilmuan muslim
dalam kemajuan sains.1
Sains pada masa keemasan Islam berkembang sangat
pesat karena salah satunya sains yang dikembangkan memiliki
nilai-nilai universal baik ditinjau secara ontologis maupun
epistemologis. Sains yang dikembangkan yaitu fisika, biologi,
kedokteran, optik, geografi dan astronomi. Sains ini
dibutuhkan oleh semua kalangan baik Islam, Nasrani maupun
Yahudi. Dari aspek metodologi, sains pada masa ini
memakai metode observasi, komparasi, eksperimen, dan
logika matematika. Semua metode ini juga berlaku universal
sama dengan agama monnoteisme lainnya. Termasuk sisi
universalitas yang lain yaitu secara filosofis mengkaji dan
mengembangkan konsep kausalitas dan kekuasaan Tuhan. Oleh
karena universalitas inilah, sains mendapatkan dukungan dan
partisipasi dari berbagai kalangan dan agama. Konsep sains universal ini juga mestinya dapat diterapkan pada pengembaangan
sains dewasa ini.1
Konflik sains dan agama yang terjadi di Barat dalam
beberapa hal tidak selalu buruk. Adanya konflik antara sains dan
agama semestinya mendorong para ilmuan mencari merumuskan
kembali metode dan logika yang lebih akurat dalam
pengembangan sains. Dengan kata lain, para pemikir termasuk
filsuf mesti merumuskan kembali paradigma sains yang lebih kuat
dasar filosofisnya sehingga tidak mengalami benturan dengan
agama. Hal itu juga mesti menjadi inspirasi dan motivasi bagi para
pemikir dan ilmuan Muslim untuk mengevaluasi kembali dan
memodifikasi substansi relasi sains dan agama yang pernah
berkembang dalam sejarah Islam dan masa akan datang.
William Chittick menolak pandangan yang
membandingkan Barat dengan Islam dalam menghadapi
modernisasi. Modernisasi dan sekularisasi di Barat telah
menimbulkan berbagai krisis spiritual, moral, dan makna hidup.
Berbeda dengan Barat, Islam pada prinsipnya mampu mengadopsi
kemajuan sains dan teknologi seperti yang terjadi di Barat sambil
tetap mampu memelihara nilai-nilai moral dan spiritual.
Pandangan demikian menunjukkan bahwa mereka memaksakan
prinsip-prinsip modernitas yang pada dasarnya tidak sesuai dengan
tauhid. Mereka cenderung melupakan tauhid yang dulunya sebagai
ruh pemikiran Islam.
Modernitas Barat pada dasarnya dapat menjadi sumber
pengetahuan sekaligus tantangan bagi Islam. Oleh karena itu,
Islam harus mengambil metode ilmiah modern (sains modern), dan
pada saat yang sama menolak hegemoni pemikiran Barat.
Dengan kata lain, modernitas ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi, moderrnitas memberi harapan dan keuntungan yang
luas terhadap Islam, sedangkan pada sisi lain modernitas
kekhawatiran tertentu terkait dengan identitas keislaman.
Chittick tidak setuju terhadap pandangan bahwa
kemunduran umat Islam karena kelalaian umat Islam dalam
membangun dan mengembangkan sains yang telah maju pada
masa kejayaan Islam. Pandangan ini tentu saja atas dasar kerangka
modernisasi yang didasarkan pada epistemologi saintisme modern.
Oleh karena itu, tanpa menyangkal adanya kemunduran sains di
dunia Islam, kemunduran serius umat Islam yaitu karena
melupakan dan meninggalkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam
yaitu Tauhid, Al-Quran dan Sunnah.
Frederick Suppe berpendapat bahwa perdebatan
kontemporer terkait dengan sains dan agama sangat sedikit sekali
menyentuh ranah epistemologi. Hal ini mungkin disebabkan
oleh literatur epistemologi sulit untuk menyesuaikan dengan
kerumitan dan nuansa baik terhadap pengetahuan ilmiah yang
bersifat eksperimental ataupun pengalaman keagamaan aktual,
juga baik dengan hasil keilmuan yang bersifat teoretis ataupun
investigasi teologis yang rumit.
Menurut Richard Norman, relasi agama dan sains yaitu
dilemma. Keyakinan agama jika dipahami dan diterapkan
bertentangan dengan teori-teori ilmiah, maka orang dengan mudah
menerima sains dan menolak agama. Sementara itu, bila agama
dipahami sejalan dengan teori-teori ilmiah, maka pemahaman
agama terkesan mengulang dan tidak ada sesuatu yang baru dan
tidak lebih baik menjelaskan teori-teori ilmiah. Model dilema
pertama dianut oleh pendukung kreasionis dan fundamentalis
agama, sedangkan model yang kedua didukung oleh penganut dan pemikir keagamaan kontemporer dan sangat memungkinkan
terjadinya rekonsiliasi agama dan sains.
Adanya perbedaan yang mendasar dan berbagai persoalan
terkait dengan perkembangan sains dan agama, maka integrasi
antara sains dan agama semestinya dipahami sebagai sebuah
interaksi antara keduanya. Sains dan agama tetap memiliki
otonomi dan kekuatan khasnya sendiri. Interaksi dimaksudkan
agar tidak terjebak kepada pencampuradukan antara sains dan
agama berupa teologisasi ilmu dan empirisasi teologi. Peluang
interaksi sains dan agama yang paling realistis yaitu saling
mengkritik dan mendekonstruksi agar keduanya tetap mampu
mentransendensi dirinya sendiri dan dinamis.1
Sinergi agama dan sains merupakan salah satu upaya
untuk mewujudkan keseimbangan peradaban manusia.1 Secara
historis, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh
bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri dengan turunnya
wahyu pertama.
Pandangan sebagian besar posmodernis bahwa sains
modern mempunyai paradigma yang berbeda dengan sains
kontemporer. Hal ini perlu juga menjadi perhatian umat Islam,
meskipun tidak menerima begitu saja paradigma sains
kontemporer. Paradigma sains kontemporer menurut Cynarski
yaitu bersifat humanistik, kultural dan dialogis serta sistemik
dan holistik sangat jauh berbeda dengan paradigma sains modern.
Tauhid, universalitas, keseimbangan dan akhlak mulia
merupakan nilai-nilai utama yang ada dalam al-Quran dapat
dijadikan landasan atau dasar pengembangan ilmu dalam Islam.
Arah pengembangan ilmu dalam Islam yaitu ilmu yang
integratif. Integrasi ilmu dalam Islam dapat terjadi pada semua rumpun ilmu. Hal ini dapat dicapai karena Islam memiliki
konsep bangunan ilmu yang lengkap dan kokoh. Islam
menyediakan semua aspek pengembangan ilmu yang integratif
ini baik aspek ontologi, epistemologi maupun aksiologi.
Krisis sains kealaman dan sains kemanusian (natural and
human sciences) dipahami sebagai pemisahan atau pembagian
sains yang mestinya menurut Husserl sains itu menyatu dan
universal. Hal ini tidak berarti tidak ada pembagian sains
menurut Husserl. Pembagian sains tidak bersifat mutlak, karena
hakikat keilmuan ini pada dasarnya satu kesatuan.
Pandangan ini menunjukkan integrasi sains meski terbatas pada
sains kealaman dan kemanusiaan.
Karakter dasar sains kealaman yaitu empiris. Sains
kealaman sendiri mengklaim sebagai sains yang bersifat objektif,
oleh karena itu ia menafikan elemen-elemen subjektif dalam
ketentuan alam. Sains kemanusiaan sangat berbeda dengan sains
kealaman. Sains kealaman terkait dengan data empiris dan
objektif sedangkan sains kemanusiaan berhubungan dengan
perbuatan manusia dan subjektif. Aliran nominalisme yang
berpandangan bahwa eksistensi yang benar-benar ada yaitu
segala sesuatu yang konkrit. Pandangan ini memberi
kontribusi yang cukup penting berkembangnya sains sekular.
Filsafat sains juga memiliki sejumlah aplikasi yang
penting baik internal maupun eksternal. Penerapan internal filsafat
sains terdiri dari adanya pengetahuan yang memiliki dasar
sehingga mampu menghadapi persoalan yang baru dan
kontroversial. Penerapan internal juga terdiri dari adanya
penyusunan dasar umum interdisipliner dan kompetensi
argumentatif serta kritis. Di samping itu, filsafat sains harus
mampu menjawab perkembangan berbagai disiplin keilmuan yang
baru. Skala analisis dalam filsafat sains terdiri dari dua konteks
yaitu konteks penemuan (context of discovery) dan konteks
justifikasi (context of justification). Konteks yang pertama sangat
terkait dengan pengetahuan dan kepercayaan dari ilmuan atau
peneliti serta juga dimensi agama dan spiritual mereka. Konteks
yang kedua sangat ditentukan oleh kondisi warga ilmiah
pada masanya ilmu ini dikembangkan termasuk dimensi
institusional yang ada.
Penerapan eksternal sains sangat erat kaitannya dengan
konteks sosial yaitu persoalan demarkasi dan penggunaan sains.
Pertama, demarkasi yaitu status objektif sains yang disampaikan
di warga bertentangan dengan pandangan subjetif, nilai-nilai
politik, ideologi dan ajaran agama seperti teori evolusi dengan
kreasionisme. Kedua, bagaimana sikap ilmuan terhadap
penggunaan sains secara komersial dan politis yang mengabaikan
bahaya dan dampak negatif dari sains seperti riset farmasi yang
didukung oleh perusahan besar dan mengusai perekonomian.
Gerhard Schurz membagi sains berdasarkan ranah inquiry.
Klasifikasi ini tidak didasarkan pada kategori yang bersifat
parsial seperti sains alam, sosial dan kemanusiaan. Pola ini
banyak diperdebatkan dan belum ada kesepakatan umum serta
lebih cenderung politis dibandingkan filosofis. Sains berdasarkan ranah
inquiry ini yaitu sebagai berikut. Pertama, sains alam
(sciences of nature) meliputi fisika, kimia, biologi, geologi,
kedokteran, astronomi, kosmologi, geografi, paleontologi, sejarah
evolusi biologi. Kedua, sains teknologi (sciences of technology)
mencakup teknologi mesin dan listrik serta ilmu komputer.
Ketiga, sains manusia (sciences of human beings) terdiri dari
psikologi, pendidikan dan sejenisnya. Keempat, sains
kewarga an (science of society) mencakup sosiologi,
ekonomi, politik, antroplogi, etnografi, dan geografi. Kelima,
sains sejarah (sciences of history) meliputi sejarah, etnologi dan
sejarah filsafat. Keenam, sains budaya manusia (sciences of human
cultural) mencakup bahasa, seni, musik, dan studi media. Ketujuh,
sains struktur formal (formal sciences) terdiri dari matematika
dengan segala pembagiannya serta filsafat dan metodologi sains
formal. Kedelapan, sains fondasi umum pemikiran manusia
(sciences of the general foundations of human ideas) meliputi
filsafat, etika, dan estetika. Kesembilan, sains tentang Tuhan
mencakup teologi dan studi keagamaan. Di samping itu,
pengelompokan sains dapat juga berdasarkan sains faktual dan
metode. Sains berdasarkan fakta terdiri dari sains dissecting,
eksperimen dan empiris. Sedangkan sains berdasarkan metode
terdiri sains kuantitatif dan sains kualitatif.
Sains, filsafat, dan spiritualitas yaitu kekuatan penting
dalam sejarah kemanusiaan (humanity). Semua kekuatan ini
berjalan dinamis dan mengarah kepada suatu pemahaman baru
(new insight) di tengah keberagaman pandangan dunia (diversity
of worldviews). Sebuah pandangan dunia bahkan boleh jadi
muncul secara jelas sebagai gambaran dari pluralisme
epistemologi global.
Amos Young melakukan review terhadap buku yang
membahas tentang hubungan antara sains dan agama. Kesimpulan
pertama dari review ini yaitu relasi sains dan agama telah
dibahas berdasarkan multi dan interdisipliner, berbagai
pendekatan metodologis, berbagai model dan level komitment
keagamaan, berbagai aliran dari buku-buku sains dan agama.
Semua pluralitas ini menjadi pertimbangan penting untuk
melakukan dialog sains dan agama. Kedua, kompleksitas konflik
sains dan agama membutuhkan kerangka kerja dan kategori yang
jelas dan terarah dalam rangka mengakhiri ketegangan antara
sains dan agama. Terakhir, memberi ruang kepada aliran
apapun (dalam Kristen) untuk berkontribusi dalam dialog sains
dan agama.
Metodologi dan pola pikir konseptual yang diperlukan
untuk pengembangan kajian terhadap relasi sains dan esoterisme agama yaitu bidang ilmu interdispliner dan studi-studi
teknologi.
Salah satu terobosan filsafat ilmu yang sangat penting
yaitu mengaitkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
kepentingan manusia yang berdimensi tiga. Ketiga kepentingan
ini yaitu kepentingan teknis dalam ilmu alam (natural
sciences), kepentingan praktis dalam ilmu-ilmu humaniora, dan
kepentingan emansipatoris dalam ilmu-ilmu sosial kritis. Oleh
karena itu, metode filsafat ilmu harus mampu membedakan
penelitian empiris-analitis, historis-hermeneutis, dan sosial-kritis
sebagai tiga ranah ilmu yang berbeda namun tidak
bertentangan.
Relasi sains dan agama seringkali digambarkan sebagai
hubungan antara sains dan teologi. Sains memberi temuantemuan baru dan berupaya untuk bagaimana memberi asumsi
dan komitmen tertentu terkait dengan nilai apakah temuan
ini berbahaya atau berguna. Dalam hal inilah terjadi dialog
antara sains dan teologi. Perdebatan tentang Islam dan akal
(sains) pada abad ke-1 dan yaitu debat transnasional yang
dipengaruhi oleh tradisi Barat. Para modernis berupaya untuk
merekonsiliasi Islam dan tradisi Barat terkait dengan peran akal.
Perdebatan ini mencakup rasionalisasi mujizat, konsep
kenabian, dan pengkajian ulang terhadap hukum Islam dan
teologi.
Dalam kepercayaan (agama) Yunani kuno, Tuhan (Zeus)
dipahami secara antroposentris. Tuhan digambarkan memiliki
aktifitas dan sifat seperti manusia. Petir dipercayai sebagai
kemarahan Tuhan dengan memakai kekuatan tangan
kanannya. Pada sisi lain, sains modern dapat membuktikan bahwa
petir yaitu lompatan energi listrik. Oleh karena itu, berbagai penemuan dan teori sains alam kontemporer lebih baik dan jelas
dibandingkan dengan konsep agama Yunani kuno. Penjelasan
ini menunjukkan dengan jelas bahwa sains modern tidak
sesuai dengan kepercayaan (agama) Yunani Kuno.1
Integrasi dalam konteks penelitian ilmu sosial (research of
social sciences) pada dasarnya harus mengombinasikan berbagai
pendekatan yang meliputi pendekatan historis, sosial,
metodologis, dan kognitif. Pendekatan integratif memandang
bahwa sains sebagai sebuah objek sistemik dan holistik.1 Ilmuilmu sosial (social sciences) dan humaniora (humanity) dapat
membantu memperlunak keketatan (rigour) dari teori sains yang
bersifat positivistik akibat dari hegemoni epistemologi ilmu-ilmu
alam (natural sciences).
Diskursus filosofis tentang sains terkait dengan
modernitas di Barat dan dunia Islam pada beberapa dekade
terakhir ini dalam beberapa hal memiliki persamaan dan
perbedaan. Perdebatan epistemologi sains antara modernis dan
posmodernis di Barat seolah-olah mengulang kembali perdebatan
antara pendukung pencerahan dan penolak pencerahan pada abad
ke-1 di Eropa. Penekanan nilai-nilai humanistik dan saintifik dan
pengurangan terhadap agama menjadi pola utama perdebatan sains
dan modernitas. Posmodernisme mengembangkan relativitas dan
menolak kebenaran mutlak (absolute truth). Pada sisi lain,
perdebatan filsafat sains dan modernitas di dunia Islam secara
epistemologis baik yang mendukung sains Islam ataupun yang
menolak tetap dalam kerangka kritik terhadap sains modern,
menolak relativitas, dan mengakui adanya kebenaran mutlak.
Mencermati berbagai pola epistemologi dalam Islam yang
telah diuraikan sebelumnya, sains mempunyai peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan dan keilmuan dalam Islam,
termasuk dalam tasauf. Waheed Akhtar melihat bahwa Sains
mempunyai peranan penting dalam dunia tasauf. Beberapa orang
sufi yang cukup terkenal seperti Baba Farid, Syaikh Nizam al-Din
Auliya, dan Nasir al-Din Chirag-e Delhi memberi perhatian
khusus terhadap nilai-nilai sains. Posisi manusia dan hubungannya
dengan Tuhan dan alam akan dipahami secara tidak tepat jika
sains tidak sejalan dengan pengalaman spiritual manusia yang asli.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya alienasi.
Secara teologis, pandangan kaum Mu’tazilah memahami
adanya ayat-ayat al-Qur’an yang qat’i dan zanni. Jumlah ayat-ayat
yang qat’i tidak banyak dalam al-Qur’an. Oleh karena itulah,
Mu’tazilah lebih mudah dan terbuka dalam menghadapi
perkembangan dan perobahan zaman termasuk dengan
perkembangan sains dan teknologi dibandingkan dengan aliran
Asy’ariyah yang bersifat tradisional.
Perkembangan sains dan teknologi dalam Islam
mengalami dinamika yang luar biasa. Secara historis, sains dan
teknologi dalam makna yang luas telah dimulai sejak masa
kenabian, khalifah, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Islam
Spanyol, dan Turki Usmani. Perkembangan sains dan teknologi di
dunia Islam memberi kontribusi yang besar terhadap
perkembangan sains di Barat. Sains dan teknologi di dunia Islam
sampai dengan Islam di Spanyol dilandasi oleh nilai-nilai
ketuhanan (teosentris), sedangkan sains dan teknologi di Barat
abad modern bersifat antroponsentris humanistik. Berdasarkan
dialektika sains dan teknologi dunia Islam dan Barat ini ,
maka sains dan teknologi yang perlu dikembangkan selanjutnya
yaitu bersifat teo-humanistik. Corak ini berupaya meningkatkan
kualitas kehidupan manusia dari yang bersifat materialistik,
mental psikologis, sampai kepada yang bersifat spiritualistik.
Dengan kata lain, sains dan teknologi dalam Islam yang pada masa
kejayaannya bersifat teistik diganti menjadi bersifat teohumanistik pada era kontemporer. . Pengembangan Konsep Integrasi Sains dan Agama (Keilmuan)
di negara kita
Benih-benih gagasan integrasi sains dan agama terutama
dalam konteks integrasi keilmuan dalam pola pendidikan di
perguruan tinggi keagamaan Islam di negara kita telah
dikemukakan oleh Zakiah Daradjat. Ia menilai bahwa materi dan
pola pengajaran agama pada program studi umum harus lebih
bersifat ilmiah. Ia mencontohkan lebih jauh pada pola pengajaran
agama di fakultas hukum. Mahasiswa harus mampu memahami
hukum-hukum yang ditentukan oleh agama dan
membandingkannya dengan hukum-hukum umum. Pada fakultas
kedokteran, mahasiswa harus mendalami konsep, hukum, dan
etika kesehatan dalam agama serta relevansinya dengan ilmu
kesehatan dan kedokteran. Pada fakultas psikologi, mahasiswa
harus mendalami konsep dan ajaran agama yang sangat banyak
terkait dengan kejiwaan, ketenangan jiwa, dan kepribadian. Pola
ini juga perlu diaplikasikan pada fakultas ekonomi, sosial
politik, teknik, dan sebagainya. Ia sangat menekankan bahwa
pengajaran agama di universitas harus bersifat, filosofis, logis, dan
mendalam.
Menurut Mukti Ali, berhubung Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) secara institusional tidak dapat membuka program
studi umum yang menjadi yang menjadi jurisdiksi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, maka ia berani menganjurkan agar
pesantren-pesantren yang membuka universitas dapat dapat
mengembangkan bidang ilmunya tidak hanya meliputi ilmu-ilmu
agama tapi juga ilmu-ilmu umum. Tawaran ini tentu saja
menjadi tantangan tersendiri bagi perguruan tinggi keagaman
Islam bagaimana agar memperoleh peluang secara yuridis
institusional untuk membuka ilmu-ilmu umum sampai akhirnya
bertransformasi menjadi universitas.
Paling tidak ada tiga hal yang mesti diperhatikan terhadap
refleksi untuk masa depan Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Ketiga hal ini yaitu menentapkan ilmu inti dan ilmu bantu
dalam perumusan kurikulum, mengembangkan studi interdisipliner, dan membuka program studi umum agar dapat
bertransformasi menjadi universitas.
Konsep dasar awal yang menjadi latar belakang
pengembangan Istitut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) khususnya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yaitu optimalisasi peran dan kurikulum.
IAIN belum memiliki peran yang optimal dalam dunia akademik,
birokrasi dan warga pada umumnya. Peran IAIN lebih besar
pada warga karena adanya orientasi dakwah dibandingkan
orientasi akademik. Dalam konteks akademik, kurikulum IAIN
belum dapat merespon perkembangan sains dan teknologi dan
perobahan zaman yang begitu cepat dan kompleks. Kurikulum
masih cenderung dikotomis dan kajian agama kurang memiliki
interaksi dan reapproachment dengan ilmu-ilmu umum. Kajian
keagamaan masih cenderung bersifat normatif sehingga
dibutuhkan interaksi dengan ilmu-ilmu umum agar lebih empiris
dan kontekstual.
Untuk mewujudkan konsep dasar ini tentu saja perlu
dibangun dasar filosofis yang kuat. Menurut Komaruddin Hidayat,
perbedaan sains dan agama tidak perlu dipertentangkan karena
keduanya saling berkaitan dan saling membutuhkan. Islam tidak
mengenal dikotomi sains dan agama. Penelusuran universalitas
dan nilai-nilai ilmiah dalam al-Quran secara maksimal dibutuhkan
sinergi dengan ilmu-ilmu lain. Berdasarkan perspektif ini ,
maka pada dasarnya semua ilmu yaitu islami.1 Integrasi sains
dan agama idealnya menghasilkan bangunan keagamaan yang
saintifik dan bangunan sains yang religius.
Sejalan dengan pandangan ini , Djamaluddin Ancok
menawarkan tentang konsep integrasi sains dan agama yaitu
integrasi yang menjadikan agama dan sains sebagai satu kesatuan.
Hal itu dapat dicapai dengan cara redefinisi paradigma sains danpengembangan metodologi sains. Ia menginginkan adanya ilmu
agamawi yaitu ilmu yang secara epistemologi bersumber pada
indera, rasio, intuisi, dan wahyu serta mengkaji tidak hanya
realitas empiris-rasional-objektif tapi juga realitas metaempirismetarasional-subjektif.
Tentu saja secara praktis terjadi perdebatan dan perbedaan
dalam konsep integrasi. Djamaluddin Ancok lebih jauh
menjelaskan bahwa integrasi sains dan agama memiliki paling
tidak dua pandangan terkait dengan hal yang diintegrasikan.
Pandangan pertama yaitu integrasi sains secara luas meliputi
integrasi dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pandangan
kedua yaitu integrasi hanya dalam bidang aksiologi saja.
Kelompok pertama menginginkan agama menjadi pandangan
dunia, sumber, dan nilai bagi sains. Sedangkan kelompok kedua
hanya menekankan peran agama untuk sebagai pemberi nilai
dalam pengaplikasikan sains.
Bila ditelusuri lebih jauh dalam sejarah sains dan agama di
Barat, dalam bidang pengobatan tidak ada pemisahan antara
agama dan sains karena sebagian besar dokter mereka sekaligus
yaitu pastur ataupun pendeta. Pemisahan antara agama dan sains
yaitu merupakan salah satu akibat dari enlightenment, yang baru
terjadi pada abad modern. Berdasarkan risetnya, para psikolog dan
psikiater cenderung untuk melakukan integrasi sains dan agama
dalam terapi kesehatan yang mereka lakukan.1 Hal senada juga
dikemukakan oleh Brad D Strawn bahwa model-model
psikoanalitik kontemporer yang menerima psikoterapi dapat
dipahami sebagai adanya kecenderungan integrasi psikologi
dengan agama.Integrasi sains dalam bidang kedokteran dengan agama
bertujuan memberi pengobatan secara paling holistik,
didasarkan atas bukti dan penyembuhan yang fokus secara
personal. Hal ini karena spiritualitas yaitu hal yang
mendasar baik bagi pasien maupun tenaga medis. Spiritualitas
yaitu dimensi manusia yang tidak dapat direduksi terlepas dari
budaya, agama, ataupun identitas lainnya dari manusia.1
Jauh sebelum perkembangan kedokteran di Barat yang
holistik ini , pandangan dan praktek sains integrative ini
telah diterapkan oleh ilmuwan Muslim. Ibn Sina, al-Farabi, alRazi, al-Khawarizmi, al-Biruni dan sebagainya yaitu di antara
ilmuwan besar Muslim yang mengembangkan konsep sains
integratif dan sekaligus mengaplikasikannya. Mereka yaitu
ilmuwan yangjuga menguasai ilmu-ilmu keagamaan dan filsafat.
Dalam konteks pengembangan ilmu-ilmu keislaman,
integrasi-interkoneksi bertujuan tidak hanya menghilangkan
dikotomi sains dan agama, tapi juga ilmu-ilmu keislaman mampu
memberi solusi atas kelemahan dan tantangan sains modern.
Haidar Bagir lebih cenderung memakai istilah
reintegrasi ilmu dan pemikiran keagamaan dibandingkan integrasi ilmu
dan agama. Pemisahan ilmu dan agama merupakan suatu yang
relatif baru sejak diterimanya paradigma dualistik Cartesian,
humanisme dan Renaisance. Reintegrasi ini bermakna tidak hanya
menyangkut aspek aksiologis tapi juga aspek ontologis dan
epistemologis. Konsep reintegrasi ini didasarkan pada kritik
reduksionisme filsafat ilmu modern dalam ketiga aspek
ini .
Pandangan Bagir ini pada prinsipnya sejalan dengan
yang ditawarkan oleh Guessoum. Agama dan sains dalam sejarah
Islam secara prinsipil tidak terjadi pertentangan dan konflik.
Konflik seperti yang terjadi di Barat tidak tepat disamakan dengan
perbedaan pendapat tentang posisi sains dalam Islam. Oleh karena
itu, reintegrasi dan rekonsliasi pada dasarnya sejalan, dan
keduanya berbeda dengan konsep integrasi yang ditawarkan Wilber. Integrasi Wilber cenderung didasarkan pada serangan
sains modern terhadap agama dan sebaliknya. Sains modern
menafikan makna dan sisi esoteris agama serta mereduksi sains
yang empiris berdasarkan pengalaman inderawi semata. Pada sisi
lain, agama (gereja) terkesan menghambat perkembangan sains.
Keunggulan sains dan teknologi umat Islam di Andalusia
telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan sains dan
teknologi sesudahnya, khususnya di Barat. Umat Islam perlu
kembali menguasai matematika, logika, astronomi, logika, bahasa
dan ilmu-ilmu lainnya. Inilah yang menjadi salah satu harapan
bertransformasinya sejumlah IAIN menjadi UIN dengan konsep
perluasan mandat (wider mandate) dengan membuka sejumlah
program studi umum seperti kedokteran dan fisika.
Beberapa negara di Timur Tengah dan Asia Selatan juga
mendirikan universitas riset yang diharapkan mampu menopang
kebangkitan sains di dunia Islam, meskipun saat ini baru orang
muslim yang mendapat hadiah nobel dalam bidang sains. Di
kawasan Asia Tenggara, khususnya negara kita dan Malaysia telah
didirikan universitas Islam yang juga mengkaji sains umum.
Universitas Sains Islam Malaysia (USIM) yaitu salah satu
contoh universitas Islam yang mencoba mengintegrasikan ilmu
aqli dan ilmu naqli. Berubahnya beberapa IAIN di negara kita
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yaitu memberi
harapan tersendiri terhadap bangkitnya sains di dunia Islam.
Konsep integrasi ilmu yang diusung oleh UIN dengan berbagai
variasi dan distingsi menjadi modal dasar pengembangan sains di
negara yang mayoritas muslim dan memiliki jumlah muslim
terbesar di dunia.
Pendekatan integral Wilber dan rekonsiliatif Guessoum
secara praktis-institusional dapat dikembangkan terkait dengan
konsep integrasi pada PTKI. Penguatan dan pendalaman terhadap
ranah esoteris agama mesti berjalan seimbang dengan ranah
eksoteris agama. Demikian juga sebaliknya, pengkajian terhadap
aspek empiris sains harus sejalan seimbang dengan aspek filosofis
sains. Mata kuliah yang terkait dengan pengembangan
spiritualitas Islam dan sejenisnya tetap dijadikan sebagai mata
kuliah wajib bagi seluruh program studi yang ada di PTKI.
Menurut Atho Mudzhar, arah integrasi memiliki dua jalur
yaitu dari ilmu-ilmu yang sekular mengakomodasi nilai-nilai keislaman dan dari ilmu-ilmu keislaman mengakomodasi ilmuilmu sekular. Integrasi sains yang dimaksudkan tidak dibatasi
dengan sains alam (natural sciences), tapi juga sains sosial dan
humaniora (social sciences and humanity).
Dialog dan interaksi antar bidang ilmu baik secara
langsung atau melalui karya akademik mesti dilakukan secara
terstruktur dan melibatkan berbagai pihak. Kelemahan-kelemahan
pengembangan sains setelah masa kejayaan Islam dan
reduksionisme sains pada masa modern yang terjadi di Barat tidak
harus terulang kembali di dunia Islam khususnya di negara kita .
Untuk mengatasi hal ini , tentu saja peran PTKI sangat
strategis.
Keterbukaan antar disiplin sains dan teknologi merupakan
cara yang penting untuk terwujudnya integrasi. Keterbukaan
ini dimaknai sebagai adanya kesediaan saling menyapa dan
menerima kebenaran antara satu sains dengan sains lainnya untuk
membangun kerjasama yang konstruktif dalam mengatasi problem
kemanusiaan yang semakin kompleks. Lebih jauh, integrasi mesti
berlandaskan kesadaran transendensi yang memandang bahwa
sains dan teknologi sebagai pengabdian manusia terhadap Tuhan.
Transendensi ini menjadi titik awal spiritulitas sains dan teknologi
dengan memakai cara berfikir profetik.
Integrasi ilmu sebagai salah satu misi Universitas Islam
Negeri (UIN) memiliki dasar filosofis, normatif, yuridis, dan
historis. Keempat dasar ini telah dirumuskan dengan
melibatkan banyak tokoh, pemikir, dan praktisi pendidikan
keagamaan Islam di negara kita . Oleh karena itu, pengembangan
ilmu pengetahuan yang mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan
ilmu-ilmu agama yaitu sebuah keniscayaan.
Kementerian agama telah merumuskan paling tidak tiga
model utama integrasi ilmu di perguruan tinggi keagamaan Islam.
ketiga model ini yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan tiga nilai utama yaitu knowledge, piety, dan integrity, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan tiga nilai utama
integratif-interkonektif, dedikatif-inovatif, dan inclusivecontinues improvement, serta UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang dengan visi pengembangan spiritualitas, akhlak alkarimah, ilmu, seni, dan teknologi.
Dalam mengaktualisasikan integrasi keilmuan, PTKI
dapat memakai beberapa satu atau beberapa varian hubungan
ilmu-ilmu agama dengan ilmu lainnya. Varian-varian ini
yaitu apresiasi keragaman disiplin ilmu, koeksistensi, interaksi
dialogis bidang ilmu, interaksi dialogis konseptual, interaksi
dialogis metodologis, interaksi dialogis yang memungkinkan
penggantian teori, penguasaan bidang ilmu yang berbeda, dan
konvergensi. Varian konvergensi diharapkan menemukan atau
menciptakan ilmu baru. Pola integrasi dapat dilihat dalam enam
bagian yaitu monodisipliner, intradisipliner, antardisipliner,
multidisipliner, dan trasdisipliner.
PTKI mesti mampu menerapkan konsep integrasi
keilmuan sampai pada tataran pengembangan kurikulum yang
meliputi profil lulusan, capaian pembelajaran lulusan, bahan
kajian, mata kuliah, besaran SKS, struktur kurikulum, proses
pembelajaran, penilaian, dan rencana pembelajaran semester.1
Konsep rekonsiliasi sains dan agama Guessoum dalam
beberapa aspek memiliki irisan kesamaan dengan tiga model
integrasi ilmu pada PTKI. Guessoum berupaya mengembangkan
sains teistik. Sains ini dilandasi oleh nilai-nilai
transendental. jika dicermati nilai utama (core values) dari
tiga model PTKI di atas, ketiganya jelas ingin mewujudkan aspek
transendetal ini seperti piety untuk UIN Jakarta, dan
spiritualitas untuk UIN Malang. UIN Yogyakarta tidak secara
eksplisit memakai istilah seperti Jakarta dan Malang, tapi
dalam jabarannya tetap menekankan interkoneksi dengan
spiritualitas nilai-nilai keislaman.
Berdasarkan integrasi Wilber yang menekankan adanya
integrasi sains dalam mekna yang luas dan agama dalam yang
menekankan spiritualitas, maka integrasi keilmuan UIN perlu mengembangkan aspek spiritualitas baik secara paradigmatik
maupun institusional praktis, termasuk dalam pengembangan
kurikulum. Penguatan penguasaan pemikiran keislaman klasik
seperti yang ditekankan Guessoum dan spiritualitas seperti yang
ditawarkan Wilber perlu diperhatikan dalam pengembangan
kurikulum PTKI. Mahasiswa dan dosen yang berasal dari program
studi umum mesti memahami dan menguasai aspek-aspek penting
dalam pemikiran Islam klasik yang telah mampu memberi
landasan filosofis dan transendental yang kuat terhadap sains. Di
samping itu, mereka harus juga memahami dan menguasai aspekaspek spiritualitas Islam dengan tepat sehingga tidak terjebak
kepada pemahaman yang salah. Pemahaman yang tidak tepat
terhadap prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dan nilai-nilai
spiritualitas akan mereka berfikir ekslusif. Hal ini tentu saja
sangat bertolak belakang dengan para ilmuwan Muslim pada masa
kejayaan Islam yang tidak hanya menguasai sains tapi juga
mengamalkan nilai-nilai keislaman secara tepat dan inklusif. Konsep rekonsiliasi Guessoum dan integrasi Wilber
memberi kontribusi pemikiran yang relevan dengan
pengembangan pendidikan Islam di negara kita terutama pendidikan tinggi keagamaan Islam. Program studi keagamaan juga
mendapatkan mata kuliah yang terkait dengan filsafat sains
termasuk filsafat sains kontemporer, khasanah pemikiran Islam
klasik yang mendorong perkembangan sains di dunia Islam, serta
spiritualitas Islam yang memberi landasan transendental
terhadap pengembangan sains dalam Islam. Spiritualitas Islam
ini harus dapat membentuk fondasi dan cakrawala berfikir
yang moderat, terbuka, tidak anti modernitas tanpa menyalahi
prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Pada sisi lain, program studi
umum juga diberikan ketiga model dan pengembangan sama
halnya dengan prodi umum. Perbedaan antara prodi agama dan
umum yaitu urutan ketiga mata kuliah ini dibalik.
Mahasiswa prodi umum pada awalnya diberikan mata kuliah
penguatan pemahaman mereka terhadap khazanah pemikiran
Islam klasik, spiritualitas Islam, dan filsafat sains kontemporer.
Semua mata kuliah ini tentu saja diberikan secara
proposional dan professional.
Antara program studi keagamaan dan program studi
umum baik mahasiswa maupun dosen perlu adanya interaksi
dialogis sehingga dapat saling melengkapi dan memahami prinsipprinsip dasar keilmuan masing-masing dalam mengembangkan
paradigma sains integratif di atas.