a kita bergelut dengan al-Qur'an
yang merupakan produk tahap paling awal dari kehidupan komunitas di
Arab barat.
lni bukan berarti bahwa kita harus kembali untuk menerima pandangan tradisional mengenai asal usu! al-Qur'an. Walaupun al-Qur'an
sendiri mengklaim sebagai dalam bahasa Arab yang jelas, banyak dari
bagan i di dalamnya tetap jauh dari kejelasan, bahkan dalam pemahaman paling dasar tentang apa kemungkinan arti kata-kata itu di dalam
konteks aslinya. Boleh jadi al-Qur'an mengandung bagian-bagian dari
teks yang lebih kuno yang telah direvisi dan dipakai ulang. Gaya dan
isi yang terlihat sangat berbeda dalam bagian-bagian al-Qur'an yang
beraneka, mungkin rnerupakan bukti bahwa teks sebagaimana yang kita punyai sekarang adalah merupakan kombinasi atau kumpulan dari
teks yang asalnya terpisah yang didatangkan dari berbagai komunitas
Umat Beriman di Arab. Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa teks
al-Qur'an bukan hanya sadar akan adanya, tetapi bahkan dalam beberapa hal merupakan reaksi terhadap, debar teologis komunitas Kristiani
yang berbahasa Syria di Timur Dekat. Apakah karya-karya selanjutnya
tentang teks ini akan menjustifikasi adanya hubungan dekat antara beberapa ayat tertentu di dalam al-Qur'an dengan episode tertentu pula
dalam kehidupan Nabi Muhammad, sebagaimana dijelaskan oleh kedua
sumber kecendekiawanan tradisional Muslim maupun Barat, masih tetap akan kita lihat. Yang dapat dikatakan adalah bahwa teks al-Qur'an
jelas merupakan teks yang mula-mula.
Karakter Gerakan Umat Beriman yang Mula-Mula
Kenyataan bahwa teks al-Qur'an tertanggal fase paling awal dari gerakan yang dicanangkan oleh Nabi Muhammad berarti bahwa ahli sejarah
dapat menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan mengenai kepercayaan dan nilai-nilai komunitas yang mula-mula ini. Maka sumbersumber literal yang lebih kemudian dapat digunakan, dengan hati-hati,
untuk menjelaskan mengenai apa kepercayaan yang paling mula-mula
ini. Akan tetapi, problem interpolasi dan idealisasi di dalam sumbersumber yang kemudian itu bahkan membuat peran "mendukung" nya
sering menjadi tidak pasti. Oleh karenanya, paling baik adalah kukuh
pada apa yang dikatakan oleh al-Qur'an mengenai informasi ini.
Kepercayoon-Kepercayoon Mendasar
Latu, apa yang al-Qur'an bicarakan tentang Nabi Muhammad dan para
sahabat awalnya? Untuk memulai, kita mengetahui bahwa al-Qur'an
merujuk kepada sejumlah besar orang yang disebut dengan "Umat Beriman" (mu'minun). Dalam ha! ini, al-Qur'an berbeda dengan narasi tra-
disional orang Muslim dan dengan praktik para cendekiawan modem,
yang keduanya secara rutin merujuk Nabi Muhammad dan pengikucnya
terutama sebagai "Muslim" (muslimun, secara literal, "mereka yang
pasrah") dan merujuk gerakannya sebagai "Islam". Tetapi penggunaan
yang terakhir ini ambigu atau bahkan mencurigakan ketika diterapkan
kepada asal usul munculnya komunicas sebagaimana direfleksikan di
dalam al-Qur'an. Benar bahwa kata-kata is/am dan muslim ditemukan
di dalam al-Qur'an, dan benar juga bahwa kata-kata ini kadang diaplikasikan di dalam eeks kepada Nabi Muhammad dan pengikutnya. Akan
tetapi, contoh-contoh itu menjadi tidak berarti untuk sejumlah kasus
di mana Nabi Muhammad dan pengikutnya dirujuk sebagai mu'minun,
"Umat beriman"-yang terjadi hampir seribu kali, dibanding dengan
yang lebih kecil dari 75 contoh mengenai kata muslim, dan seterusnya.
Tradisi Muslim yang kemudian, dimulai sekitar satu abad setelah masa
Nabi Muhammad, mulai menekankan identitas pengikut Nabi Muhammad sebagai Muslim dan berusaha unruk menetralisasi (melakukan perimbangan/counterbalance) pentingnya beberapa bagian ketika mereka
disebut sebagai Umat Beriman, dengan menempatkan kedua istilah itu
sebagai sinonim dan dapat dipertukarkan. Akan tetapi, sejumlah ayat di
dalam al-Qur'an memperlihatkan dengan jelas bahwa kata mu'min dan
muslim, sekalipun jelas berkaitan dan kadang diterapkan untuk satu dan
orang yang sama, tidak dapat berarti sama acau sinonim. Misalnya, Q.
49: 14 mengatakan, "orang-orang badui mengatakan: "kami telah beriman (aman-na)." Katakan [kepada mereka): "Kalian belum beriman";
akan tetapi kacakan "kami berserah diti/berislam (aslam-na), karena
Keimanan belum mas-uk ke dalam hatimu."' Dalam ayat ini, iman jelas
berarti sesuatu yang berbeda (dan lebih baik) ketimbang "berserah diri"
(islam). Dengan demikian kica tidak bisa sekadar menyamakan Orang
Beriman dengan Berislam, sekalipun beberapa orang Islam mungkin
mempunyai kualifikasi sebagai Umat Beriman. Ajakan yang sering kali
dikemukakan al-Qur'an terhadap Umat Beriman, dengan demikianbiasanya dalam frasa seperci "Hai kamu yang Beriman ... "-memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang mula-mula memandang diri mereka terutama sebagai satu komunitas Umat Beriman, ketimbang sebagai Muslim dan merujuk diri mereka sendiri sebagai Orang-Orang Beriman. Lebih lagi, pendapat yang
menyarakan bahwa mereka memandang diri mereka sendiri sebagai
Orang-Orang Beriman adalah sesuai dengan beberapa bukti dokumenter yang paling awal yang benanggal dari beberapa dekade setelah wafat
Nabi Muhammad. Karena itulah, saya akan meninggalkan standar praktis para cendekiawan clan juga merujuk, dalam ayat-ayat ini, Muhammad dan sahabat-sahabat dan pengikut awalnya sebagai "Komunitas
Umat Beriman", atau "Gerakan Umat Beriman". Oihat "Ekumenisme",
dalam bab ini, untuk diskusi mengenai makna awal yang pasti mengenai muslim). Untuk sementara, Muhammad bisa menyebut gerakannya
sebagai: "Hanifisme" (hanifiyya), sangat mungkin merujuk kepada monoteisme pra-lslam yang masih samar, akan tetapi penggunaan ini tampaknya tidak banyak tersebar.
Jika Nabi Muhammad dan para pengikutnya memandang diri mereka penama dan terutama sebagai Umat Beriman, pada apa mereka beriman? Yang terpenting, Umat Beriman diperintahkan untuk mengakui
keesaan Tuhan. (Allah adalah kara Arab untuk "Tuhan".) Al-Qur'an
tanpa lelah mengkhotbahkan pesan monoteisme kaku, mendorong
pendengarnya untuk selalu ingat T uhan dan tunduk terhadap kehendak-Nya. Al-Qur'an mendorong untuk melawan dosa politeisme (shirk,
secara harfiyah "menyekutukan" sesuatu dengan T uhan)-yang, tradisi Muslim menjelaskan kepada kita, merupakan pandangan dominan
agama di Makkah ketika Nabi Muhammad tumbuh. Dari perspektif
al-Qur'an atau Umat Beriman, ketidakmampuan mengakui keesaan
T uhan, yang telah menciptakan segala sesuatu dan memberi kita hidup,
adalah merupakan ketidaksyukuran dan merupakan esensi dari ketiadaan iman (kufr). Akan tetapi monoteisme kaku al-Qur'an juga mengutuk
doktrin Kristiani mengenai Trinitas sebagai tidak sesuai dengan ide tentang keesaan T uhan: "Mereka yang mengatakan bahwa T uhan itu yang ketiga dari tiga, tidak 'beriman, tidak ada T uhan melainkan T uhan yang
Satu ... " (Q. 5: 73).
Sebagaimana sudah kita lihat, ide mengenai monoteisme telah terbangun dengan baik di sepanjang Timur Dekat, termasuk Arab, pada
masa Nabi Muhammad, dan secara persuasif dikemukakan bahwa kritik
al-Qur'an yang begitu sering terhadap "politeisme" mungkin diarahkan
kepada T rinicarian orang-orang Kristiani dan yang lain yang oleh Nabi
Muhammad dipandang sebagai monoteisme yang setengah-setengah.
)ika memang begitu, al-Qur'an menjelaskan bahwa persyaracan paling
dasar bagi Umat Beriman adalah pengakuan tanpa kompromi akan keesaan Tuhan. Dan, sebagaimana akan kita lihat, dari konsep fundamental inilah, yaitu ide mengenai keesaan T uhan, elemen lain dari iman
yang benar itu muncut
Yang juga penting bagi Umat Beriman adalah percaya atau iman kepada Hari Akhir atau Hari Pembalasan (yawm al-din). Sebagaimana Tuhan merupakan Pencipta alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya,
dan Pemberi kehidupan, maka Dia juga yang akan memberikan clekrit
kapan semuanya akan berakhir, yaitu dunia fisik sebagaimana yang kita
tahu, waktu, clan segala sesuatu. Al-Qur'an memberikan uraian cukup
detail mengenai Hari Penghabisan atau Hari Akhir, yaitu bagaimana ia
akan clatang secara tiba-tiba clan tanpa peringatan; bagaimana sebelumnya dunia natural akan berada dalam ketidakteraturan-gunung akan
mengalir seperti air, tutup langit akan terbuka, bintang berjatuhan; bagaimana orang-orang mati dari masa-masa yang lama akan dihidupkan
kembali clan muncul dari kubur; bagaimana semua manusia akan clibawa
ke hadapan T uhan untuk menghadapi Hari Pengadilan Akhir; dan
bagaimana kita kemudian akan cliambil semuanya baik masuk ke surga
yang penuh dengan kesenangan dan kebaikan, atau ke dalam neraka
yang penuh clengan siksaan clan penderitaan, untuk selamanya. Akan
tetapi al-Qur'an bukan hanya sekadar menjelaskan kedatangan Pengaclilan itu bagi kita-yang terpenting aclalah bahwa, ia memperingatkan
kita akan dekatnya masa itu, mendorong kita untuk mempersiapkan diri
dengan percaya kepada T uhan dan dengan hidup secara saleh. Dari al-Qur'an kira juga dapar mengambil kesimpulan bahwa Umar
Beriman menerima pandangan mengenai wahyu dan kenabian. AlQur'an menjelaskan bahwa Tuhan telah mewahyukan firman-Nya yang
abadi kepada manusia berkali-kali, melalui perantaraan serial utusan
(mufrad, rasul) arau para nabi (mufrod, nabi). (Perbedaan reknis anrara
rasul dan nabi akan didiskusikan lebih banyak nanti dalam bab ini.)
Al-Qur'an memberikan banyak cerira mengenai, dan pelajaran yang
diambil darinya, kehidupan para nabi dan rasul ini. Termasuk figur-figur
rerkenal di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru-Adam, Nuh,
Ayub, Musa, Ibrahim, Luth, Zakaria, Isa dan yang lain-sebagaimana
juga beberapa Nabi Arab yang ridak dikenal (Hud, Salih) dan, tencu
saja, Muhammad sendiri, yang kepadanya al-Qur'an diwahyukan. Memang, al-Qur'an sebagai wahyu paling akhir mengenai firman Tuhan,
jelas didahului oleh wahyu•wahyu sebelumnya, yang dikatakan telah
didisrorsi selama iru. Dan Umar Beriman berkali-kali diperincahkan
uncuk merujuk semua persoalan "kepada Tuhan dan rasul-Nya" Muhammad. Sebagian dari pandangan yang kompleks ini, juga, adalah
pandangan mengenai "kirab", yang merujuk, dalam beberapa kasus
kepada arkeripe langir dari firman T uhan, di mana al-Qur'an semaramara merupakan rranskrip persisnya, dan dalam beberapa kasus kepada
al-Qur'an itu sendiri atau pada kitab-kitab suci lain sebelumnya.
TEKS AL-QUR'AN 7 (A'RAF): 11-18
Kami yang menciptakan kamu dan memberimu bentuk, kemudian Kami karalcan kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam!" Maka rnereka semua bersujud kecuali ibli&--dia bukanlah
termasuk orang-orang yang bersujud./ Dia rr uhan] berfinnan:
"Apa yang menghalangimu untuk bersujud ketika Aku memerin·
tahkanmu untuk [melakukannya)?" lblis menjawab: "Aku lebih
baik daripada dia; Kau menciptakan aku dari api, sementara Kau
menciptakannya dari tanah liat./ rruhanl berfinnan, "Kalau begi· tu turunlah kamu selcarang dari [surga], kamu tidak diberi hak un·
tuk bersikap arogan di sana. Keluarlah, kamu benar-benar termasuk di antara orang-orang yang dihinakan. "/ Dia [iblis) menjawab,
"Berikan aku arnnesti sampai hari kebangkitan mereka."/(Tuhan]
berfirman, "Kamu diberikan amnesti."/ [lblis) mengatakan, "benar, saya harus menunggu mereka di jalan lurus Mu karena Kau
menggodaku./ Maka aku akan datang kepada mereka dari depan,
dan belakang dan dari kanan serta dari kiri mereka; Engkau tidak
akan menemukan mereka sebagai orang-orang yang bersyukur
[kepada Mu]./ [T uhan] berfirman, "Keluar dari Surga, kau Kubenci dan Kuusir! lngatlah, Aku akan memenuhi neraka dengan
semua yang mengikuti kamu."
Umat Beriman juga diperintahkan untuk percaya pada malaikatmalaikat T uhan-ciptaan yang membantu T uhan dalam berbagai cara,
yang paling penting adalah membawa firman Tuhan kepada para ra·
sul-Nya ketika turunnya wahyu, melayani sebagai "asisten" pada masa
Penghakiman Akhir, dan dalam beberapa hal cerlibat di dalam persoalan-persoalan duniawi ketika itu dikehendaki T uhan. Setan (yang juga
disebut dengan iblis) di dalam al-Qur'an, adalah semata·mata malaikat
yang jatuh yang selalu menemani orang dan mencoba membujuknya
untuk melakukan dosa (Q. 7: 11-22).
Kesalehan dan Ritual
Seperti itulah konsep dasar yang membentuk gerakan Umat Beriman,
yaitu Satu Tuhan, Hari Pengadilan Akhir, para Un1san Tuhan, Kitab,
dan para Malaikat. Akan tetapi al-Qur'an menjelaskan bahwa menjadi
orang beriman yang benar dengan hanya semata·mata menerima secara
intelektual pandangan-pandangan ini tidaklah cukup; seseorang juga
harus hidup secara saleh. Menurut al-Qur'an, status kica sebagai cipcaan Tuhan menuncut ketaatan pada firman-Nya, harus selalu ingat Tuhan
dan merendahkan hati di hadapan-Nya ketika shalat. Akan cetapi kica
juga harus bersikap rendah hati kepada orang lain, yang sama-sama
ciptaan T uhan; peringatan al-Qur'an terhadap sifat takabur dan ajarannya untuk membantu yang kurang beruntung adalah bagian penting
dari pandangan al-Qur'an mengenai kesalehan, suatu ajaran yang me·
nekankan misi egalitarian yang sangat kuat yang kita lihat terefleksi
dalam berbagai ritual. Lebih jauh lagi, Umat Beriman tampaknya harus
merasa bahwa mereka hidup di dalam abad yang penuh dosa dan merasa
khawatir bahwa keselamatannya akan berada dalam bahaya kecuali jika
mereka hidup dalam kehidupan yang lebih religius.
TEKS AL-QUR'AN 11 (NABI HUD): 114
Dan dirikanlah shalat pada dua akhir hari, dan sebagian malam.
Benar bahwa perbuatan baik akan mencegah perbuatan jahat. ltu
sebagai peringatan bagi mereka yang ingat.
Lalu apakah kesalehan dari gerakan Umat Beriman itu? Yang pertama dan utama, al-Qur'an menjelaskan bahwa Umat Beriman harus
menjalankan shalat secara rutin. Hal ini termasuk ibadah-ibadah in·
formal dengan meminta pertolongan T uhan atau doa, dan ibadah yang
lebih formal (shalat), yang dilakukan pada saat-saat tertentu tiap hari
clan dalam cara yang tertentu pula, dan diutamakan bersama-sama dengan Umat Beriman lain, apa pun status sosial mereka, berdiri dengan
pundak yang sama untuk memasrahkan diri sebagai sama di hadapan
T uhan. Referensi uncuk ibadah shalat, perintah uncuk melakukannya
dengan iman, clan instruksi mengenai kapan dan bagaimana melakukannya begitu sering disinggung di dalam al-Qur'an, bahwa, sebagaimana seorang beriman mengatakannya, "shalat adalah ... di dalam worldview al-Qur'an, merupakan fondasi penting dari tingkah laku beragama." Al-Qur'an khususnya memerintahkan shalat sebelum gelap, sebelum
matahari terbit, pada waktu malam, dan pada waktu siang. Misalnya,
al-Qur'an 11: 114, 17: 78-79, 20: 130 dan 76: 25-26). Satu referensi
untuk shalat tengah-tengah (middle prayer) (Q. 2: 238) menjelaskan
bahwa 3 shalat harian boleh jadi merupakan pola standar di antara
Umat Beriman pada s:aat tertentu di masa Nabi Muhammad, akan tetapi referensi al-Qur'an mengenai waktu kapan shalat harus dilaksanakan
menggunakan kosa kata yang berbeda dan tidak jelas implikasi temporalnya dan mungkin merefleksikan bermacam-macam waktu di dalam
situasi yang selalu berubah. Sistematisasi ibadah shalat menjadi Hrna
waktu tertentu-satu sistematisasi yang terjadi pada abad setelah wafat
Nabi Muhammad-tampaknya belum terjadi (paling tidak al-Qur'an tidak memberikan bukti jelas untuk sistematisasi tersebut), namun, Umat
Beriman yang mula-mula secara umum diharapkan untuk tetap mengingat Tuhan sepanjang hari. Terlepas dari berapa banyak Umat Beriman
itu melaksanakan shalat setiap harinya, tetapi kita dapat mengetahui seperti apa ritual shalat itu, dari kosakata yang digunakan oleh al-Qur'an.
Jelasnya melibatkan sikap berdiri, membungkuk, bersujud, duduk, dan
menyebut nama Tuhan, sekalipun mekanisme pasti dan urutan ritual
tersebut tidak hanya ditemukan dari al-Qur'an. Lebih jauh, al-Qur'an
memanggil Umat Beriman agar melakukan shalat pada waktunya dan
berwudlu dengan air sebelum melaksanakan shalat. Oleh karenanya, sangat jelas bahwa Umat Beriman dari masa Nabi Muhammad melakukan
ibadah rutin yang sama dengan ibadah "Islam klasik", walaupun detail
sepenuhnya mengenai praktik ritual yang lebih awal belum begitu jelas
sekarang.
Praktik lain yang dijelaskan oleh al-Qur'an sebagai sesuatu yang
penting bagi Umat Beriman adalah sedekah kepada yang kurang beruntung di dalam hidup----cara lain untuk mengambil kembali ide bahwa
semua manusia secara fundamental adalah sama dan bahwa apa pun
perbedaan keberuntungan yang mungkin kita nikmati hanyalah merupakan sesuatu yang sementara. Hal ini diekspresikan secara jelas di dalam berbagai ayat al-Qur·'an: " ... akan tetapi orang yang bercakwa
adalah siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, pada
malaikac-malaikat-Nya, Kicab, dan rasul-rasulNya, yang memberikan
kekayaannya, walaupun sangat menyukainya, kepada saudaranya, anak
yacim, orang miskin, pengembara, peminca-minca, dan pada [yang membebaskan) budak, dan mereka yang menjalankan shalat dan membayar
zakat ... " (Q. 2: 177).
Tradisi Muslim yang kemudian merujuk amal tersebut dengan iscilah
zakat atau sadaqah, biasanya diterjemahkan dengan "(sedekah/almsgiving) zakat"; dua iscilah ini sangat dekat dengan shalat dalarn sejurnlah
ayat al-Qur'an, dan tradisi Muslim yang kemudian memandangnya,
seperti juga shalat, sebagai salah satu "rukun islam" yang menjadi ciri
seorang Beriman. Akan cecapi, riser kontemporer menegaskan bahwa
makna asli Qur'anik dari zakat dan sadaqah bukanlah almsgiving, akan
tetapi suacu denda acau pembayaran yang dibuac seseorang yang bersalah karena sesuatu bentuk dosa, sebagai ganti di mana Nabi Muhammad
akan berdoa agar mereka disucikan dari dosa dan urusan lainnya yang
mungkin menguncungkan. Memang, bahkan dalam ayat yang baru saja
dikucip, seseorang berpendapac bahwa pembayaran zakac yang disinggung secelah shalac, menunjukkan bahwa hal itu merupakan sesuatu
yang berbeda dengan memberikan hana kekayaan kepada orang miskin
(yang biasanya kica anikan uncuk almsgiving/sedekah), yang di dalam
ayat dicempatkan sebelum menyinggung shalat. Pemahaman centang
zakat dan sadaqah yang semacam ini sebagai pembayaran untuk pengampunan acau penyucian dosa-dosa adalah lebih jelas di dalam ayac
berikuc: "Yang lain telah mengaku dosa mereka ... /ambil dari kekayaan mereka sadaqah uncuk membersihkan mereka, dan menyucikan [tuzakki) mereka karenanya, dan berdoalah untuk mereka, memang doamu
adalah merupakan kepuasan buat rnereka. Tuhan Maha Mendengar,
dan Maha Mengecahui" (Q. 9: 102-103; kata kerja "untuk menyucikan"
adalah dari akar bahasa Arab yang sama sebagaimana zakac). Akan tetapi kenyataan bahwa Umat Beriman kadang-kadang perlu membuac pembayaran untuk penyucian tersebut, menggarisbawahi bagaimana komunitas ketika itu, secara prinsip, fokus untuk mempertahankan kesu•
cian hati mereka, dalam menjadi satu komunitas yang sejauh mungkin
hidup dalam ketakwaan yang ketat, sehingga dapat memisahkan diri
dari dunia dosa di sekitar mereka serta dapat mencapai keselamatan
pada hidup sesudah mati. Seiring dengan berjalannya waktu, tampaknya
kriteria keanggotaan Umat Beriman menjadi lebih rileks, sehingga siapa
saja yang mengucapkan statemen iman yang paling mendasar dapat termasuk di dalamnya. Akan tetapi untuk itu mereka, paling tidak secara
teoretis, harus tunduk kepada standar tingkah laku yang tinggi.
Umat Beriman juga harus, jika mereka secara fisik mampu, menjalankan ibadah puasa seharian pada bulan kesembilan dalam kalender
Muslim, Ramadan, dan pada waktu lain sebagai penyesalan terhadap
dosa (Q. 2: 183-185). Puasa, khususnya pada bulan 'ashura' (hari kesepuluh dari awal bulan), telah lama dipraktikkan oleh orang-orang
Yahudi dan Kristiani di Timur Dekat; mungkin juga telah dilakukan di
antara para penganut penyembah paganisme di Arab dan merupakan
suatu praktik yang terus berlanjut dengan baik pada masa Islam. Namun, tidak jelas bagaimana tradisi puasa yang mula-mula ini menyumbang kepada praktik Umat Beriman. Akan tetapi, saat ini, puasa Ramadan membuat Umat Beriman khususnya ingat Tuhan, paling tidak
dalam teori, dan merupakan satu cara untuk mengikat bersama Umat
Beriman sebagai suatu komunitas melalui aktivitas ritual bersama-sama.
Akhimya, puasa Ramadan menjadi diwajibkan dan puasa 'Asura' dijadikan sebagai sunah saja.
Al-Qur'an juga merujuk kepada ritual haji yang diperintahkan bagi
Umat Beriman. Hal ini termasuk umra atau "haji kecil", dilaksanakan
di dekat Ka'bah di Makkah, dan Hajj atau "haji besar", dilakukan pada
hari-hari tenentu di bulan Dhu 1-hijja di 'Arafat clan tempat·tempat
sekitamya, beberapa mil dari Makkah (Q. 2: 196-200, 5: 94-97.) lbadah
haji ke Ka'bah, termasuk ritual tawaf dan lain-lain, telah dipraktikkan di
Ka'bah pada masa pra-Islam, akan tetapi bentuk haji juga telah dibangun
pada masa Yahudi dan Kristiani antik akhir, dan hal ini mungkin telah membentuk latar belakang yang mengharuskan kita melihat praktik haji
Orang-Orang Beriman yang awal. Akan tetapi tampaknya ibadah haji
diperintahkan sebagai suatu kewajiban pada Umat Beriman hanya pada
masa akhir karier Nabi Muhammad, untuk alasan sederhana, bahwa Nabi
Muhammad dan para pengikutnya di Madinah tidak mempunyai akses ke
Makkah sepanjang dua kota itu terkunci karena permusuhan terbuka. Layak untuk disebutkan, bahwa surah al-Qur'an yang secara umum tertanggal pada fase Makkah dari karier Nabi Muhammad tidak menyinggung
mengenai ibadah haji ini. Akan tetapi, kita melihat Nabi Muhammad
menekankan ide mengenai haji ini pada ekspedisi Hudaybiya tahun
6/628, ketika beliau dan sejumlah besar kelompok pengikutnya melakukan operasi, dalam ,sejumlah massa tetapi tanpa senjata, ke arah Makkah yang bermaksud melaksanakan ibadah haji. Umat Beriman disuruh
kembali oleh Quraysh tetapi bukan sebelum membuat perjanjian yang
memberikan mereka izin untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah
pada tahun berikucnya. Tentu saja, ritual ibadah haji pra-lslam di Ka'bah,
yang merupakan ritual pagan, harus direinterpretasi dari sudut pandang
monoteistik Umat Beriman. Tradisi Muslim mengklaim bahwa ritual
Ka'bah asalnya dibangun oleh Ibrahim, seorang monotheis pertama,
tetapi selanjutnya terkorupsi oleh praktik-praktik pagan. Dengan demikian ibadah haji Umat Beriman merupakan restorasi praktik yang asalnya
monoteistik. Cerita mengenai penaklukan Nabi atas Makkah pada 8/630,
sebagaimana telah kita lihat, menghubungkan bagaimana Nabi Muhammad menyucikan Ka'bah yang menjadi arena patung pagan.
TEKS AL-QUR'AN 2 (AL-BAQARAH ): 183-185
Wahai kamu orang yang beriman, berpuasalah sebagaimana diperintahkan kepadamu, sebagaimana juga kepada orang-orang se·
belum kamu, sehingga kamu menjadi orang yang benakwa (184).
Untulc sejumlah hari-hari tertentu. Akan tetapi siapa di antara
kamu yang sakit, atau sedang bepergian [maka gantilah] pada hari lain. Dan bagi mereka yang mampu untuk melakukannya [akan
tetapi tidak melakukannya) penebusannya adalah memberi makan
orang miskin, akan tetapi siapa saja yang berbuat baik, maka itu
lebih baik baginya, dan bahwa puasamu itu lebih baik bagimu,
jika engkau mengetahui. (185) Bulan Ramadan, di mana al·
Qur'an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, dan bukti yang
jelas dari petunjuk dan perintah. Siapa saja di antara kamu yang
menyaksikan bulan tersebut harus berpuasa, akan tetapi siapa saja
yang sakit atau sedang bepergian [hendaknya berpuasa) di hari
lain. Tuhan ingin membuat kemudahan buatmu, Dia tidak ingin
membuat kesulitan untukmu. Maka penuhilan Uumlah hari) ter·
sebut dan agungkanlah Tuhan karena Dia-lah yang memberimu
petunjuk, sehingga kamu bersyukur.
Kemungkinan bahwa Umat Beriman memandang diri mereka sendiri sebagai hidup dalam suatu dunia yang yang penuh dengan dosa,
sehingga mereka berkeinginan untuk membedakan diri mereka sendiri,
juga menemukan ekspresinya di dalam praktik-prakcik lainnya yang
lebih rutin yang dianjurkan atau dilarang al-Qur'an. Umat Beriman
didorong untuk berpakaian secara pantas (modesty) (Q. 24: 30-31)-sebuah implikasi bahwa ini bertentangan dengan mereka yang berada di
sekitarnya adalah jelas-dan dilarang untuk memakan babi, bangkai,
dan darah (Q. 2: 173). Mereka diperintahkan untuk tidak datang shalat
dalam keadaan mabuk (Q. 4: 43). Pedoman moral secara umum juga
sering ditemukan. Misalnya, Q. 60: 12 melarang praktik-praktik yang
merupakan dosa serius yang tampaknya sudah merupakan sesuatu yang
biasa, yaitu menyekutukan sesuatu dengan Tuhan (syirk), mencuri,
berzina, membunuh anak-anak, mengemukakan saksi palsu, dan tidak
menaati Nabi. Ayat-ayat yang semacam ini menunjukkan, sekali lagi,
bahwa Umac Beriman sangac peduli terhadap apa yang mereka lihat sebagai dosa yang tidak terkontrol dan tersebar luas di sekitar mereka, dan berkeinginan untuk hidup dalam standar tinggi di dalam tingkah laku
mereka.
TEKS AL-QUR'AN 60 (MUMTAHANAH): 12
Wahai Nabi, ketika para perempuan beriman yang datang kepadamu, berjanji bahwa mereka tidak akan menyekutukan Tuhan,
tidak akan berbuat zina, tidak membunuh anak-anak mereka,
tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar, tidak juga tidak menaati kamu dalam segala hal yang bersifat tradisi, maka terimalah
apa yang mereka janjikan dan memohonlah kepada Tuhan untuk
mengampuni mereka, karena T uhan Maha Pengampun.
Kesalehan yang diperintahkan al-Qur'an bagi Umat Beriman, dengan demikian, mensyaratkan mereka secara konstan menampakkan
sifat takwa kepada Tuhan melalui ibadah reguler (shalat), melakukan
perbuatan baik, dan tingkah laku yang pantas dan secerusnya. AlQur'an begitu kuat menekankan pentingnya tingkah laku yang benar,
oleh karenanya sangat dibenarkan bagi kita untuk menilai gerakan
Umar Beriman ini sebagai satu gerakan yang bukan hanya bersifat monoreistik kaku, akan terapi juga kesalehan yang kaku. Dalam ha! ini,
gerakan Umat Beriman dapat dilihat sebagai kelanjutan dari tendensi
kesalehan yang ditemukan di dalam agama-agama Timur Dekat pada
periode antik terakhir. Memang gerakan Umat Beriman ini dapat kita
lihat dalam konteks umumnya, akan terapi dapat juga kita lihat bahwa
kesalehan gerakan Umat Beriman merepresentasikan pula manifestasi dari kesalehan yang beradaprasi dengan lingkungan budaya Arab.
Sekalipun Umat Beriman memandang dunia di sekitar mereka penuh
dengan dosa dan kejahatan, akan tetapi kesalehan gerakan mereka ini
bukan semacam orientasi asketisisme yang sangat terkenal di dalam
tradisi Krisriani pada masa antik terakhir, khususnya di Syria dan Mesir. Memang, kesederhanaan dan kerendahan haci icu diperincahkan sebagai bagian dari etos egalitarian al-Qur'an, dan kekayaan kadang-kadang
dipandang sebagai jebakan, bagi yang tidak sadar. Sacu ayat bahkan
menunjukkan bahwa anak-anak dan keluarga bisa jadi menggoda kewajiban kica untuk memusackan pikiran pada Tuhan: "Kekayaan dan anak
merupakan omamen dari kehidupan duniawi, akan tetapi bertakwa adalah lebih baik di hadapan Tuhan ... " (Q. 18: 46). Akan tetapi sentimen
ini lebih dari sekadar mengimbangi beberapa ayac yang menegaskan
bahwa sesuacu yang baik di dunia ini merupakan hasil dari rahmac Tuhan dan harus diterima sebagai karunia yang diberikan kepada Umat
Beriman: "Wahai orang yang beriman, janganlah engkau melarang
sesuacu yang baik yang Allah karuniakan kepadamu, tapi jangan pula
melebihi batas, karena Allah tidak menyukai mereka yang melebihi
batas" (Q. 5: 87). Dengan demikian, tampak bahwa dosa dan kejahatan
yang dipahami Umat Beriman sebagai berada di sekitar mereka, sematamata hanyalah merupakan fenomena manusiawi atau sosial, yang sama
sekali bukan berimplikasi bahwa karunia yang ada di dunia bukan merupakan sesuacu selain dari rahmat Allah. Menikmatinya, dan beberapa
kenikmatan di dalam masyarakat juga diperbolehkan bagi Umat Beriman, sepanjang mereka menikmacinya dalam bacas moderac-paling
tidak, mereka tidak dilarang. Perkawinan dan membesarkan anak-anak
diasumsikan sebagai norma dan secara umum tidak dipresentasikan sebagai bercentangan dengan kehidupan yang baik. Pendeknya, kesalehan
Umac Beriman adalah kesalehan yang dimaksudkan untuk berfungsi di
dalam dunia, dan dalam kehidupan sehari-hari-bukan bersifat asketik,
sebagaimana di dalam cradisi Kristiani masa antik terakhir. Dalam hal
ini, kesalehan Umac Beriman lebih mirip dengan pandangan umum mengenai takwa yang ditemukan di dalam Yahudi masa antik. TEKS AL-QUR'AN 16 (NAHL) 114-115
Maka makanlah apa yang diberikan T uhan kepadamu sesuatu
yang halal dan baik, dan bersyukurlah kepada kebaikan Tuhan,
jika engkau berbakti kepada-Nya. (115) Dia hanya melarangmu
terhadap bangkai, daging babi, dan segala sesuatu yang dikorban·
kan tidak atas nama Tuhan, akan tetapi barang siapa yang ter·
paksa [untuk memakan semua ini) tanpa dia kehendaki dan tidak
berlebihan, sungguh T uhan Maha Pengampun dan Mahakasih
Ekumenisme
Bukti-bukti al-Qur'an menunjukkan bahwa gerakan Umat Beriman
awal terpusat pada ide mengenai monoteisme, persiapan untuk Hari
Akhir, percaya kepada kenabian clan kitab suci yang diwahyukan, clan
menjalankan tingkah laku yang benar/takwa, termasuk shalat/doa yang
selalu dilakukan, menghindari melakukan dosa-dosa, menjalankan pu·
asa secara periodik, clan tingkah laku asih clan rendah hati terhadap
orang lain. Semua ide clan praktik ini sudah cukup dikenal di Timur
Dekat pada abad ketujuh, sekalipun di dalam al-Qur'an mereka menemukan formulasi unik (clan satu dalam bahasa Arab). Umat Beriman
yang paling mula-mula memandang diri mereka sendiri terdiri sebagai
kelompok terpisah yang saleh, kelompok monoceis yang bercakwa kepada T uhan, terpisah karena kesalehan ketac mereka dibanding yang
berada di sekitar mereka-baik itu politeis maupun monoteis yang tidak
sempurna atau pendosa-yang tidak sesuai dengan aturan yang mereka
punyai.
Di sisi lain, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa Umat Beriman
memandang diri mereka sendiri sebagai konfesi agama yang baru atau
terpisah (yang Al-Qur'an tampaknya memberikan istilah milla (Q. 2: 120). Memang, beberapa ayat menjelaskan bahwa misi Nabi Muhammad sama dengan yang dibawa nabi-nabi sebelumnya: "Kacakanlah:
Aku bukanlah baru di antara nabi-nabi yang telah ada; dan aku tidak
tahu akan jadi apa aku dan kamu. Aku semata-mata mengikuti apa yang
telah diwahyukan kepadaku; aku hanya pemberi peringatan" (Q. 46: 9).
Pada masa paling awal dalam sejarah gerakan Umat Beriman, dengan
demikian, tampak bahwa Yahudi atau Kristiani yang cukup saleh dapat,
jika mereka mau, berpartisipasi di dalamnya karena mereka telah mengakui T uhan yang esa. Arau dengan kaca lain, beberapa di antara Umat
Beriman yang mula-mula terdapat orang-orang Kristiani atau Yahudiwalaupun tidak semuanya. Alasan untuk "secara konfesional terbuka"
ini atau kualitas ekurnenikal ini adalah semata-mata bahwa ide dasar
Umat Beriman dan penekanan mereka pada pelaksanaan kesalehan
ketat, sama sekali bukan merupakan antitesis terhadap kepercayaan dan
praktik-praktik orang-orang Kristiani dan Yahudi. Bahkan, al-Qur'an
sendiri kadang-kadang mencatat paralelisme tertentu antara Umat Beriman dan dengan kepercayaan monoteisme yang telah ada (tak jarang
dikombinasikan bersama oleh al-Qur'an dalam istilah "orang-orang
yang menerima kitab," ahl aL-kitab, (Q. 48: 29).
Pengamatan lebih dekat terhadap al-Qur'an memperlihatkan adanya
sejumlah ayat yang menunjukkan bahwa beberapa orang Kristiani dan
Yahudi dapat menjadi anggota dalam gerakan Umat Beriman-bukan
semata karena mereka Kristiani atau Y ahudi, tetapi karena mereka
orang yang saleh. Misalnya, Q. 3: 199 menyatakan: "di antara ahli kitab
terdapat mereka yang percaya kepada T uhan dan apa yang diturunkan
kepadamu dan apa yang diturunkan kepada mereka ... "Ayat lain seperti Q. 3: 113-1 16, menempatkan hal ini secara lebih detail. Ayat-ayat
ini dan ayat-ayat lain menunjukkan bahwa banyak ahli kitab--Kristiani
dan Yahudi-yang dipandang sebagai Umat Beriman. Jadi garis pemisah antara Umat Beriman dengan yang tidak beriman, tidak sama dengan garis pemisah dengan ahli kitab, tetapi tergantung kepada komitmen mereka terhadap T uhan dan pada ketaatan melaksanakan hukum T uhan. Dengan demikian sebagian di anrara mereka harus dipandang
sebagai Umat Beriman, sementara yang lain tidak.
Umat Beriman, dengan demikian, apa pun agama yang mereka peluk-apakah Krisciani (non Trinitarian). Yahudi, acau yang bisa kica
sebuc dengan "monoiteisme Qur'anik," perubahan dari agama pagan ke
yang baru---dihar,ipkan untuk hidup secara ketat dengan hukum Tuhan
yang diwahyukan kepada komunitas mereka. Yahudi hams menaati
hukum-hukum Taurac; Krisciani menaati lnjil; dan mereka yang belum
menjadi anggota salah satu komunitas monoteisme yang ada, harus
menaati aturan atau ajaran al-Qur'an. lstilah umum untuk monoteisme
Qur'anik yang baru ini adalah mu.slim, tetapi di sini kita harus berhenti
sejenak untuk mendiskusikan secara lebih derail arci yang cepac uncuk
kata mu.slim dan islam di dalam al-Qur'an.
TEKS AL-QUR'AN 3 (ALI IMRAN): 113-116
Di ancara Ahli Kicab adalah orang-orang yang sangac bisa dipercaya; mereka membaca ayat-ayat Allah sepanjang malam sambil
bersujud. Mereka beriman kepada Allah clan Hari Akhir, menga·
jak kepada kebaikan clan melarang kejahatan clan bersegera melakukan perbuacan baik. Mereka adalah di antara orang-orang yang
bertakwa. Tidak satu perbuatan baik dari mereka yang akan lewat
tanpa syukur; karena Allah Mengetahui orang yang saleh. Akan
tetapi mereka yang tidak beriman, harca clan anak-anaknya tidak
akan membantu mereka melawan Allah. Mereka adalah ahli neraka; mereka kekal di dalamnya.
Pandangan bahwa komunitas Umat Beriman yang mula-mula yang
ada pada masa Nabi Muhammad itu termasuk di dalamnya orang-orang
Krisciani clan Yahudi yang saleh, centu saja, sangac berbeda dengan apa
yang disebutkan oleh sumber-sumber tradisional Islam akhir-akhir ini.
Dalam tradisi Islam akhir, sampai sekarang, "Islam" merujuk kepada agama rerrenru, berbeda dengan Krisriani, Yahudi dan lainnya, dan
"Muslim" merujuk kepada para anggota dari agama ini. lstilah-isrilah
ini memang berasal dari al-Qur'an, tetapi maknanya, sebagaimana digunakan oleh tradisi yang kemudian, telah melalui beberapa perubahan.
Kerika, misalnya, seseorang membaca ayar al-Qur'an "Ibrahim bukanlah
seorang Yahudi arau Kristiani, retapi dia adalah seorang muslim hanif,
dan bukan salah seorang dari orang-orang musyrik" (Q. 3: 67; teks bahasa Arab berbunyi hanifan musliman), menjadi jelas bahwa muslim di
dalam al-Qur'an harus berarri sesuaru yang lain dari apa yang kemudian
(clan sekarang) digunakan untuk memberi arti "Muslim"; karena muslim
dalam kalimat tersebut digunakan sebagai adjektiva yang memodifikasi
kara benda hanif (yang artinya sendiri masih dalam perdebatan-mungkin istilah pra-Islam untuk "penganut monoteisme"). Pengertian dasar
mengenai muslim adalah "seseorang yang berserah diri" kepada T uhan
arau "seseorang yang taar" kepada aturan atau perinrah T uhan serta
kehendak Tuhan bagi manusia, dan dengan demikian juga mengakui
keesaan Tuhan. Dengan kata lain, muslim yang digunakan di dalam alQur'an berarti, secara esensial, monoteisme yang mempunyai komitmen
(committed monotheism) dalam arti memasrahkan diri kepada kehendak
T uhan. lnilah mengapa Ibrahim dapat disebut dalam ayat al-Qur'an ini,
seorang muslim hanif, seorang "hanif yang monoteis yang punya komitmen". Dengan demikian, sebagaimana digunakan di dalam al-Qur'an,
islam dan muslim belum mempunyai pengerrian perbedaan konfesi sebaTEKS AL-QUR'AN 29 ('ANKABUT): 46
Janganlah berdebat dengan Ahli Kitab kecuali berdebat secara
baik-kecuali mereka yang berbuat jahat. Katakanlah, "Kami ber·
iman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan juga kepada
kamu. T uhan kami dengan T uhan kamu adalah satu, dan kepadaNya lah kami berserah diri. gaimana yang sekarang kira asosiasikan dengan "Islam" dan "Muslim";
keduanya mempunyai makna yang jauh lebih luas dan lebih inl<lusif dan
kadang bahkan diaplikasikan kepada orang-orang Kristiani clan Yahudi,
yang pada dasamya, juga monoteis (Q. 3: 53, 3: 83, dan 29: 46). Akan
rerapi, kira dapar memahami bagaimana kara-kara Qur'anik ini, is/am
dan musim, l kemudian memperoleh makna yang lebih membatasi dan
konfesional sebagai keimanan baru yang berbeda dengan Kristiani clan
Yahudi. Mereka Umat Beriman yang merupakan orang-orang Krisriani
dan Yahudi dapar te,rus diidenrifikasikan dengan nama tersebut (Kristiani clan Yahudi), namun seorang Beriman yang sebelumnya polireis tidak
lagi disebut sebagai Musyrik, dengan demikian istilah yang paling bisa
diterapkan unruk manran Musyrik rersebut, begitu dia memeluk monoteisme clan menjalankan hukum al-Qur'an, adalah muslim. Dan kemudian, istilah muslim mulai digunakan secara eksklusif bagi Umat Beriman
"monoteis baru" ini yang mengikuti hukum al-Qur'an.
Selain al-Qur'an, terdapat bukti rambahan mengenai pendapat bahwa beberapa orang Yahudi, paling tidak, adalah merupakan anggora
komunitas Nabi Muhammad. Sekalipun sampai sekarang kita menghindari keterganrungan pada sumber-sumber Muslim tradisional, yang
rerranggal lebih akhir dari masa al-Qur'an, persetujuan anrara Nabi Muhammad dengan orang-orang Yathrib yang dijelaskan sebelumnya, yang
dikenal dengan dokumen ummat, tampaknya berkualitas mendekati teks
dokumenter. Sekalipun hanya disimpan dalam koleksi yang bertanggal
akhir, teksnya sangat berbeda dalam isi dan gayanya dari segala sesuatu
yang lain yang ada dalam koleksi ini, dan sangat jelas bersifat kuno (arkaik), sehingga semua mahasiswa yang belajar Islam awal, bahkan yang
skeprik sekalipun, menerimanya sebagai bemilai autenrik dan mendekati teks dokumenter.
Satu pasal dalam domumen ummat itu terbaca "Orang-orang Yahudi
dari suku 'Awf adalah satu dengan Umat Beriman; orang-orang Yahudi
mempunyai hukum mereka dan orang-orang Islam mempunyai hukum
(din) mereka. [Hal ini diaplikasikan kepada) mawali mereka clan kepada mereka sendiri, kecuali mereka yang melakukan perbuatan jahat dan
bertindak tidak setia, karena dia hanya akan membunuh dirinya sendiri
dan orang-orang yang ada di dalam rumahnya" (Terjemahan serjeant.
Para C2a, dengan modifikasi). Dengan kata lain, ini dan pasal-pasal lainnya di dalam dokumen ummat tampak jelas mengonfirmasi pandangan bahwa beberapa kaum Yahudi Madinah telah membuat perjanjian
dengan Nabi Muhammad di mana mereka diakui sebagai bagian dari
ummat atau komunitas Umat Beriman. lstilah muslim dalam pasal ini
juga mungkin merujuk kepada Umat Beriman yang mengikuti hukum
al-Qur'an (bukan umat Yahudi, yang disebutkan di dalam dokumen,
yang mempunyai hukum mereka sendiri).
Dokumen ummat memunculkan pertanyaan-pertanyaan keraguan
mengenai deskripsi sumber-sumber tradisional yang menjelaskan tentang hubungan Nabi Muhammad dengan Yahudi Madinah. Misalnya,
sementara sumber tradisional menjelaskan secara detail konflik Nabi
dengan tiga klan utama Yahudi Madinah-banu Qoynuqo', banu Nadir,
dan banu Qurayza-tapi tak satu pun dari klan ini bahkan disinggung
di dalam dokumen ummat. Bagaimana kita menginterpretasikan penghilangan hal tersebut dari dokumen? Apakah diamnya dokumen umat
mengenai ketiga klan tersebut merupakan bukti bahwa dokumen itu
hanya ditulis kemudian di dalam kehidupan Nabi Muhammad, setelah
ketiga klan Yahudi ini lenyap? Atau apakah suatu saat ada klausul-klausul (atau dokumen lain) yang semata-mata hilang atau yang dihilangkan sebagai tidak relevan setelah ketiga klan ini tidak ada lagi di Madinah? Atau haruskah kita menginterpretasikan kediaman ini sebagai
bukti bahwa cerita mengenai benturan antara Nabi Muhammad dengan
orang-orang Yahudi Madinah ini terlalu dibesar-besarkan (atau mungkin sama sekali diada-adakan) oleh tradisi Muslim-mungkin sebagai
bagian dari proyek menggambarkan Nabi Muhammad sebagai benarbenar seorang nabi, yang melibatkan penghilangan resistensi yang kukuh dari mereka yang berada di sekitamya? Pertanyaan-pertanyaan ini
dan yang lainnya masih harus diselesaikan oleh kecendekiawanan yangakan datang. Akan tetapi dapat kita katakan di sini bahwa tradisi Muslim akhir menyinggung sejumlah Umat Beriman pada masa hidup Nabi
Muhammad yang berasal usu! Yahudi-yaitu, mereka dijelaskan sebagai
"convert" (berubah) dari Yahudi ke dalam Islam. Kira mungkin ingin
bertanya apakah memang benar bahwa figur ini berubah; boleh jadi
mereka tetap sebagai orang Yahudi, tanpa meninggalkan keyahudian
mereka, bergabung dengan gerakan Umat Beriman, dan yang akhimya
disebut dengan "convert" oleh kaum tradisionalis yang kemudian, sebab
bagi mereka kategori Umat Beriman dan Y ahudi ketika itu merupakan
sesuatu yang saling terpisah?
Mengakui karakter yang secara konfesional bersifat ekumenikal dari
gerakan Umat Berirnan awal sebagai sesuatu gerakan yang terbuka terhadap monoteisme yang saleh dan bertakwa kepada T uhan, apa pun
konfesi mereka, maka hal ini mengharuskan kita untuk merevisi persepsi kita mengenai apa yang telah terjadi dalam berbagai episode selama
kehidupan Nabi Muhammad (jika kita ingin menerima rekonstruksi
mengenai hidup Nabi yang berhubungan dengan sumber-sumber tradisional). Misalnya, sebagian dari cerita tradisional mengenai kehidupan
Nabi Muhammad, yang melibatkan benturannya dengan kelompok
Yahudi tertentu, menjadikan beberapa ahli memandang bahwa khotbah clan gerakan Nabi Muhammad dalam beberapa ha! sebagai gerakan
anti-Yahudi. lni benar, khususnya mengenai cerita nasib buruk Bani
Qurayzah, yang anggotanya dieksekusi atau dijadikan budak setelah
Perang Khandak. Akan tetapi mengenai masuknya orang-orang Yahudi
ke dalam gerakan Umat Beriman, kita harus menyatakan bahwa benturan dengan kelompok-kelompok Yahudi merupakan efek dari sikap
atau tindakan politik tertentu dari mereka sendiri, misalnya penolakan
untuk menerima kepemimpinan atau kenabian Nabi Muhammad. Semua itu tidak bisa dijadikan sebagai bukti adanya permusuhan secara
umum terhadap Yahudi di dalam gerakan Umat Beriman yang melebihi
bukti bahwa eksekusi terhadap penindas tertentu yang berasal dari suku
Quraysh harus disimpulkan bahwa beliau anti-Quraysh. Narasi cradisional menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad diundang
ke Yathrib/Madinah untuk berperan sebagai arbiter pertencangan antara suku-suku yang bertikai, khususnya Aws dan Khazraj clan sekutu Yahudi mereka. Memilih seseorang yang berasal dari luar sebagai arbiceryang bukan cermasuk di dalam salah sacu yang bercikai-yaicu seorang
yang diakui mempunyai ka.rakter yang baik, bukanlah merupakan sesuacu yang cidak biasa di dalam konteks Arab. Sejumlah ayat al-Qur'an
yang menginstruksikan para pendengarnya untuk "menaaci Allah dan
rasul-Nya," acau menaaci rasul-Nya saja, tampaknya merefleksikan peranannya sebagai arbiter. Tak ada alasan untuk berpikir bahwa suku
pencing Yahudi Yachrib sejak awal kurang berkehendak menerima beliau sebagai arbicer, dan sebagaimana disinggung di acas, Yahudi termasuk
bagian dari komunitas baru yang satu ini di dalam dokumen ummat.
Peranan Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik, oleh karenanya,
mungkin memiliki sedikic masalah bagi Yahudi clan Krisciani pada masa
Nabi Muhammad.
Akan tetapi, yang lebih sulit uncuk dilihat adalah stacus Nabi Muhammad sendiri di dalam ideologi agama dari gerakan Umat Beriman.
Umac Beriman, sebagaimana kica kecahui, cermasuk dalam monoceisme
yang kuat, sangac saleh, dan bersifac ekumenikal acau secara pengakuan
terbuka terhadap gerakan keagamaan yang memerintahkan orang-orang
yang belum monoteis untuk mengakui keesaan T uhan clan memerintahkan yang sudah monoceis untuk hidup dengan ketaacan penuh kepada
hukum yang terus diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia-baik dalam bentuk Taurat, lnjil, maupun al-Qur'an. Akan tetapi apa yang dipahami Umat Beriman mengenai peranan yang harus diperankan Nabi
Muhammad, dan khususnya, bagaimana pandangan ini celah berpengaruh terhadap kehendak Yahudi dan Kristiani yang mendengar misi Nabi
Muhammad untuk bergabung dengan gerakan Umat Beriman?
Sekali lagi, satu-satunya bukti yang pasti untuk menjawab pertanya-an ini adalah al-Qur'an, yang memberikan banyak ayat spesifik mengenai Nabi Muhammad dan status keagamaannya. Sejumlah kata yang
berbeda diaplikasikan di dalam al-Qur'an; beliau dipanggil, antara lain,
sebagai utusan atau apostel/rasul, yaitu utusan Allah, dan nabi. Apakah
dua istilah ini harus dipandang sebagai sinonim tidak begitu jelas, akan
tetapi paling tidak dalam sacu ayat (Q. 33: 40), dia disebut "rasul Allah
dan penutup nabi", dua istilah ini diaplikasikan pada beliau secara bersamaan. Dalam Q. 7:157, keduanya tampak dapat dipergantikan: " ...
mereka yang mengikuti rasul, nabi yang ummi ... " Beliau disebut nabi
yang telah diramalkan di dalam Taurat dan lnjil (Q. 7: 94). Beliau juga
disebut sebagai pengemban visi yang bagus (mubashshir), seorang pemberi peringatan (nadhir)-khususnya seseorang yang memberikan peringatan mengenai datangnya Hari Penghakiman--dan terkadang, sebagai saksi (shahid) atau sebagai pengajak (da'i), seseorang yang mengajak
orang lain untuk beriman. Beliau sering digambarkan sebagai penerima
wahyu, yang bertanggung jawab menyampaikan kepada mereka yang
berada di sekitarnya apa yang diwahyukan kepadanya. Proses pewahyuan itu sendiri disebut dengan "penurunan" (biasanya tanzil) dan jelas
teridentifikasi sebagai berasal dari Tuhan (misalnya, lihat Q. 11: 14).
Substansi mengenaii apa yang diturunkan dijelaskan secara bervariasi,
sebagai al-Qur'an (Q. 6: 19, 12: 3, dan 42: 7), sebagai kitab (Q. 29: 45,
3: 79, 6: 89, 18: 27, 35: 31, dan 57: 26), sebagai wisdom/kebijaksanaan
(3: 79, 6: 89, 57: 26, dan 17: 39), sebagai kerasulan (3: 79, 6: 89, dan
57: 26), sebagai pengetahuan mengenai sesuatu yang tersembunyi (3:
44, 12: 102, dan 11: 49), dan pengetahuan bahwa Allah itu Esa (Q. 11:
14 dan 18: l lO).
Muhammad, dengan demikian mengklaim bukan hanya diberi wahyu, tetapi benar-benar seorang Nabi yang membawa kitab suci, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Bahkan, beliau disebut sebagai "penutup
kenabian", yaitu yang terakhir dalam serial panjang penerima wahyu
Tuhan. Mereka yang mengikuti Nabi Muhammad diharapkan untuk
tidak saja beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, tetapi juga beriman kepada klaim Nabi acas kenabian dan pada validicas acau ocencisitas
mengenai apa yang diwahyukan kepadanya (Q. 5: 81). Bagaimana umat
Yahudi dan Krisciani koncemporer akan menerima klaim bahwa Nabi
Muhammad adalah seorang nabi yang membawa wahyu Tuhan merupakan sesuacu yang sulic uncuk diakses.
Sebagaimana kita ketahui, pandangan bahwa kenabian icu ada, campaknya cersebar di berbagai bagian Timur Dekac beberapa abad sebelum
munculnya Islam, walaupun sedikic sekali yang kica kecahui. Pandangan
semacam icu campaknya cersebar di Arab; tradisi Muslim yang kemudian menyebut sejumlah "nabi palsu" Arab yang muncul di berbagai
wilayah pada masa hidup Nabi Muhammad. Konsep kenabian yang
kica cemukan di dalam al-Qur'an, cermasuk pandangan mengenai serial
nabi-nabi dan juga mengenai "penucup nabi-nabi", adalah sama dengan
yang ditemukan di dalam beberapa sekte Yahudi-Kristiani pada awal
abad permulaan Masehi, dan dari sana menyebar ke kelompok lain, seperti Manichanisme. Aktivicas kenabian Nabi Muhammad dengan demikian tampaknya bukan sesuatu yang luar biasa bagi orang-orang yang
mempunyai pandangan yang sama mengenai harapan akan munculnya
secara ciba-ciba dan periodik aktivitas kenabian itu. Akan tetapi, aspek
tertentu mengenai ajarannya jelas lebih sulit bagi Kristiani dan Yahudi
untuk menerima. Sejumlah kecil ayat-ayat al-Qur'an yang secara eksplisit menentang ide trinitas (sebagai bentuk yang salah dari monoteisme
yang kaku) akan merupakan halangan yang tidak mudah bagi Kristiani
yang berkomitmen Trinicarian; dan beberapa orang Yahudi boleh jadi
juga menolak pandangan bahwa Nabi Muhammad, yang mereka kenal
dan dapat mereka dengar dan lihat, diposisikan sama sebagaimana patriarch kuno yang mereka hormati-lbrahim, Musa, Daud, dan secerusnya.
Akan tetapi, dalam melihat persoalan ini kita harus ingat bahwa
memang lebih mudah bagi kita, (berbicara mengenai kejadian-kejadian
ini hampir empat belas abad kemudian), untuk menyadari implikasi
dari kontradiksi dan ketegangan-ketegangan cersebut. Harus diingat bahwa pada masa N abi Muhammad, kebanyakan orang yang bergabung
dengan gerakan Umat Beriman mungkin buta huruf; dan sekalipun
mereka bisa membaca, mereka tidak mempunyai salinan al-Qur'an
uncuk diuji, karena bagian-bagian itu campaknya terucama dikenal dari
bacaan ayat-ayat yang dihafal. Mereka tidak mempunyai keberuncungan
sama seperti yang kita punyai sekarang, yaitu dapat meneliti dan menjelaskan secara sabar melalui eeks al-Qur'an secara keseluruhan untuk
mencari ayac-ayat yang mungkin secara khusus problemacik. Memang,
wajar untuk berasumsi bahwa kebanyakan Umat Beriman awal hanya
mengetahui ajaran keagamaan paling dasar dan umum yang dijelaskan
di dalam al-Qur'an secara lebih detail. Bahwa Tuhan adalah esa, bahwa
Hari Akhir adalah realicas yang menakutkan yang akan datang (mungkin akan datang segera), bahwa seseorang harus hidup secara saleh dan
dengan banyak berdoa dan shalat, dan bahwa Nabi Muhammad adalah
seorang, yang sebagai ucusan dan Nabi Allah, membimbing mereka kepada kepercayaan ini-itu boleh jadi yang dikecahui oleh kebanyakan
orang pada masa Nabi Muhammad, bahkan oleh panisipan yang berdedikasi dalam gerakan Umat Beriman tersebut. Dan pandangan-pandangan ini akan memunculkan sedikit masalah bagi umac Krisciani acau
Yahudi.
Apokaliptisisme dan Orientasi Eskatologis
Ciri lain gerakan Umat Beriman, dan satu yang penting bagi dinamismenya sena kemampuan memobilisasi parcisipannya adalah orientasi
eskacologisnya. Kita tahu bahwa salah satu pandangan utama yang dipercayai Umat Beriman adalah realitas mengenai Hari Akhir. Beberapa
ayac di dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa ha! ini bukan sematamata pandangan bahwa Hari Pengadilan (yang juga disebut dengan
"Hari Akhir" atau hanya "Saat") akan cerjadi pada masa datang yang
belum bisa diketahui. Akan tecapi, ayac-ayac tertentu menunjukkan
bahwa komunicas Umac Beriman mengharapkan bahwa Hari Akhir akan segera cerjadi-acau, mungkin, dipercaya bahwa "awal dari akhir"
telah terjadi kepada mereka. Pandangan apokaliptik semacam ini secara
unik berkaican dengan gerakan-gerakan mengenai adanya dosa besar di
dunia dan gerakan-gerakan yang membuac perbedaan cajam ancara baik
dan buruk-yang, sebagaimana kica kecahui, dipercaya oleh Umac Beriman. Lebih jauh, umumnya mereka mengartikulasikan pandangan ini
dengan apa yang oleh cendekiawan ahli pemikiran apokalipcik disebuc
dengan "gambaran yang dengan mudah divisualisasikan dan merupakan
karakcer yang digambarkan secara kuat", seperti yang kita cemukan ban yak di dalam al-Qur'an.
Pandangan bahwa Hari Penghabisan sudah dekac disinggung secara
eksplisic di dalam beberapa ayac: "Orang-orang bertanya mengenai Hari
Akhir tersebut. Kacalcanlah: Pengetahuan tentang hat ini hanya ada
pada Tuhan, tecapi apa yang akan membuatmu sadar bahwa Hari Akhir
itu sudah dekat?" (Q. 33: 63 ); "Benar kica telah memberi peringatan
kepadamu mengenai Hari Pengadilan yang dekac, suatu hari di mana
seseorang akan melihat apa yang cangannya lakukan sebelumnya, dan
(di mana) orang yang tidak beriman akan mengatakan, 'seandainya
saya mati"' (Q. 78: 40). Lebih jauh, peringatan yang cerus-menerus tak
pernah henti untuk bertobat dan menjadi saleh untuk mempersiapkan
beratnya Hari Pengadilan, yang merupakan ciri yang ada di dalam ayatayat pendek di dalam al-Qur'an, berimplikasi sangat kuat bahwa Saat
Pengadilan dipandang sebagai dekac. Namun, ayac-ayac lain menyatakan secara eksplisit bahwa, sekalipun dekat, waktu yang pasti dari Hari
Pengadilan tersebut hanya Allah yang tahu (Q. 7: 187).
Adapun mengenai hakikat dari Hari Penghabisan itu sendiri, alQur'an, sebagaimana celah disinggung sebelumnya, menjelaskannya
secara mendecail dalam bentuk yang sangat mengerikan. Kedacangannya akan ditandai dengan sejumlah tanda besar yang menggambarkan
kebenaran transendensi Tuhan dan kualitas temporal segala sesuatu di
dalam dunia yang Dia cipcakan. Dengan demikian, pada hari itu, kecika
terompet dibunyikan, bintang akan berjatuhan dan menjadi gelap, la-ngit akan terbelah, gunung-gunung akan hancur, mengalir seperti lumpur acau air. Lauc-laut akan medidih dan penuh dengan ombak gelombang besar. Akan ada suara yang memekakkan telinga begitu dunia fisik
mulai terbelah-belah. Orang-orang akan dalam kondisi bingung; cak
seorang pun akan mencari orang yang dicintainya, anak-anak yang baru
lahir akan diabaikao oleh ibu-ibu mereka, anak-anak akan mempunyai
rambut putih seperci orang cua. Kuburan-kuburan akan cerbuka dan
mayac-mayac akan bangun, dan mereka akan mengancri uncuk menghadapi Hari Penghakiman dari T uhan mereka. Malaikat akan curun dari
ketinggian, membawa singgasana T uhan. Kemudian pengadilan akan
dimulai; yang benar dan bertakwa cidak akan merasa kecakucan dan
wajah-wajah mereka akan bersinar dengan kegembiraan, akan tetapi
yang jahat dan tidak beriman akan merasakan teror sempuma dan berduka cita dan akan pingsan atau bingung dan menangis. Masing-masing
perbuacan akan dinilai dan dicimbang secara adil, dan masing-masing
orang akan diberi ganjaran atau hukuman secelahnya. Orang-orang
yang tidak beriman akan dikumpulkan dan diseret ke dalam api acas
muka mereka, dalam perjalanan mereka menuju siksaan yang abadi di
dalam api neraka, sementara yang bercakwa akan menuju suacu caman
yang penuh kehijauan, wama wami, sungai yang mengalir, makanan
dan minuman lezat, dan pasangan yang cantik.
Penekanan al-Qur'an yang begitu jelas pada Hari Pengadilansatu konsep yang sangac cerkait dekac dengan pandangan keesaan
T uhan dan perannya sebagai Pencipca segala sesuatu-merefleksikan
keyakinan Umat Beriman bahwa "Hari Akhi