Tampilkan postingan dengan label Eklesiologi jemaat GKPI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eklesiologi jemaat GKPI. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Desember 2025

Eklesiologi jemaat GKPI

 




Konsep Kerajaan Allah merupakan tema utama Yesus dalam pewartaan- Nya. Namun tema 

konsep Kerajaan Allah yang diusung Yesus berbeda dengan konsep Kerajaan Allah yang telah 

hidup mapan dalam diri pendengar- Nya. Oleh karena itu Yesus disebut meradikalkan makna  

Kerajaan Allah yang Dia usung dari konsep yang telah dipahami secara apriori  oleh orang-

orang yang hidup di zaman Yesus. Kerajaan Allah yang umumnya dipandang bersifat 

eskatologis, disampaikan Yesus telah hadir bersama- sama dengan kehadiran- Nya. Yesus 

bahkan menghadirkan Kerajaan Allah itu dalam praksis sosial yang nyata. Untuk itu gereja 

sebagai alat Allah menyatakan Kerajaan- Nya di tengah dunia tidak dapat terlepas dari tema 

ini, bahkan tema Kerajaan Allah harus menjadi pijakan utama atau dasar gereja dalam 

melaksanakan- Nya. Sebab jika tidak demikian gereja tidak mungkin dapat terpisah dari 

Kristus dan apa yang dikerjakan- Nya di tengah dunia. Atas dasar ini penulis ingin mengetahui 

bagaimana arah menggereja GKPI secara khusus GKPI Yogyakarta sebagai tempat penelitian 

penulis. Penulis ingin melihat arah menggerejanya apakah masih berpijak pada dasar yang 

ditetapkan oleh Allah melalui Kristus sesuai dengan konsep Kerajaan Allah atau telah 

bergeser arah. Hal itu akan coba disingkapkan melalui pertanyaan- pertanyaan penelitian 

seputar konsep Kerajaan Allah yang dimengerti oleh jemaat, konsep tentang gereja yang baik 

dan bagaimana pandangan mereka tentang kepedulian sosial yang ada di Indonesia khususnya 

 

 


Kerajaan Allah adalah tema yang telah digeluti sejak jaman penulisan Alkitab hingga jemaat 

hari ini. Tema tersebut menjadi sedemikian luas, dibahas dari berbagai perspektif, sehingga 

setiap orang bisa memiliki interpretasinya sendiri. Jemaat hari ini tidak hanya mendapatkan 

gambaran mengenai Kerajaan Allah dari Alkitab saja, tetapi sudah bercampur, dipengaruhi, 

dan berkembang luar biasa dengan konsep sorga dari tradisi agama- agama lain, dogma, ilmu 

pengetahuan, hingga pengalaman pribadi. Karena itu kadang pemahaman Kerajaan Allah 

menjadi sedemikian apriori dan jamak.  

 

Secara biblis, Yesus sendiri tidak pernah memberi defenisi yang terang tentang apa itu 

Kerajaan Allah.1 Oleh karenanya pemahaman Yesus tentang Kerajaan Allah telah menuntun 

perdebatan dari abad ke abad.2 Bahkan para penulis Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama 

maupun Perjanjian Baru sekalipun, tidak memberikan gambaran yang tunggal, jelas, dan tepat 

berkelanjutan dari masa ke masa. Namun ketidakgamblangan pendefenisian yang diberikan 

oleh Yesus dan keragaman tulisan para penulis Alkitab tidak menutup upaya untuk memahami 

arti dan tujuan dari kehadiran Kerajaan Allah tersebut. Sebagaimana dikatakan Donald B 

Kraybill, bahwa definisi untuk istilah ini tidak bisa kaku, melainkan luas dan banyak arti.3  

 

Ada yang berpendapat bahwa Kerajaan Allah berarti pemerintahan atau kekuasaan 

Allah yang dinamis. Pengertian ini hendak menekankan kegiatan pemerintahan Allah, bukan 

tentang wilayahnya. Dan tampaknya pendapat tentang ini paling umum ditemukan 4 . 

Sementara di pihak lain ada yang menghubungkan Kerajaan Allah dengan zaman parousia. 

Namun, hal pertama yang paling jelas bisa didapatkan di sini adalah bahwa konsep Kerajaan 


 

Allah tidak tunggal, namun dalam ketidaktunggalan tersebut, bisa jadi ada ide substansial 

yang terus-  menerus hidup sehingga tema ini terus hidup dari masa ke masa.  

 

Dari sini kita akan mencoba melihat beberapa pendapat para ahli mengenai arti Kerajaan Allah 

dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sampai pada pemaknaannya dalam kehidupan 

gereja saat ini hingga membentuk pendapat jemaat mengenai Kerajaan Allah, baik secara 

definitif maupun implikatif.  Kita tidak sedang mencari tekanan mana yang paling benar, tapi 

sekurang- kurangnya tulisan ini hendak menemukan bagaimana konsep Kerajaan Allah ini 

berkembang dan dihayati oleh jemaat hari ini. 

 

1.1.1   KERAJAAN ALLAH DALAM DUNIA PERJANJIAN LAMA 

 

Sebagaimana yang dikatakan oleh George V. Pixley , bahwa ide Kerajaan Allah berakar dalam 

Perjanjian Lama, sehingga Yesus sebenarnya tidak mewartakan sesuatu yang baru, tetapi 

mewartakan harapan yang telah mempunyai sejarah dalam Israel.5  Dalam Alkitab dikisahkan 

bahwa pada awalnya, Israel kuno memahami konsep kerajaan dalam dirinya berbeda dengan 

kerajaan- kerajaan di dunia lainnya yang menginginkan seorang raja untuk memerintah. 

Mereka amonarki atau anti kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Orang Israel 

menginginkan Allah sendirilah yang memerintah. Kerajaan Israel pada dasarnya adalah 

Kerajaan Yahweh. Pixley menilai bahwa bagi Israel kuno, Kerajaan Yahweh mempunyai arti 

politis, yaitu mengesampingkan semua penguasa manusiawi. Sehingga penolakan kerajaan 

manusiawi inilah yang membedakan Israel dari para tetangganya,6  sebab kerajaan bangsa-

bangsa lain dipimpin manusia. Secara ringkas kita dapat melihatnya melalui teks Gideon 

dalam Hak Hak 8:22 - 23: 

 

Kemudian berkatalah orang Israel kepada Gideon: “Biarlah engkau memerintah kami, baik engkau, 

baik anakmu maupun cucumu, sebab engkaulah yang telah menyelamatkan kami dari tangan orang 

Midian.” Jawab Gideon kepada mereka: “Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan 

memerintah kamu, tetapi TUHAN yang memerintah kamu.” 

 

 

 

Pengamatan Pixley ini menarik, mengingat bahwa dulunya Israel pernah meminta raja 

setelah mereka menyadari bahwa hanya dengan suatu organisasi yang baik dan suatu angkatan 

perang yang terlatih dan berdisiplin tinggi musuh- musuh dapat dikalahkan.7  

 

Gambaran tentang keterik atan Kerajaan Allah atau Kerajaan Yahweh dengan Kerajaan 

Israel tergambar dalam pendapat Groenen 8 . Dia menyatakan bahwa ketika Kerajaan Israel 

terbentuk pada tahun 1050 SM, tata masyarakat Israel sama sekali mengalami perubahan 

dalam pemahaman dan iman mereka tentang Allah. Pemahaman tersebut menentukan 

kedudukan raja. Raja Israel yang sebenarnya ialah Allah perjanjian. Allah menyatakan  

kehendakNya melalui hukum negara. Allah memerintah umatNya dengan kuasa dan 

wewenang yang jauh melebihi wewenang dan kuasa seorang kepala suku. Kekuatan Allah lah 

yang menjadikan raja pemenang dalam perang. Raja manusiawi hanya lah wakilNya yang 

bertugas untuk menjamin terlaksananya perjanjian Israel dengan Allah. Karena itu pemilihan 

seorang raja pada mulanya ditentukan dan ditahbiskan oleh seorang nabi Allah. Relasi antara 

nabi, imam, dan penguasa kerajaan akhrnya menjadi tradisi kehidupan Israel. Posisi raja 

berada dalam penguasaan Allah, maka raja wajib memerintah dan melindungi rakyatnya 

sebagai wakil dan kuasa Allah melulu. Raja Israel sebagai wakil Allah tentu saja seorang yang 

dianggap ‘kudus’. Tetapi raja Israel tidak pernah didewakan, seperti sering terjadi pada 

bangsa- bangsa lain. Kuasa raja Israel tidak pernah mutlak, tetapi selalu terikat oleh kehendak 

Allah yang dinyatakanNya melalui hukum- hukumNya.  

 

Darmawijaya juga menyatakan bahwa keinginan ini secara politis mungkin bisa 

diterima, tetapi tidak demikian mudah secara religius, karena Israel mengakui hanya Allah lah 

raja yang sesungguhnya. Dialah yang membimbing Israel dalam kehidupan dan perjuangan 

mereka setiap saat. Maka bisa dipahami ada diskusi antara yang mendukung dan menolak 

institusi itu. Hal itu bisa dilihat dalam 1 Sam 8; 10:17 - 24; 12. Kendati adanya pelbagai macam 

keberatan, toh akhirnya kerajaan dibangun. 9  Bagi Pixley, inilah yang luput dari pandangan 

para ahli, bahwa sikap awal penolakan seorang raja di Israel sesungguhnya memiliki maksud 

 

 

politis.10 Kerajaan Israel yang dibangun pada akhirnya adalah sebuah upaya negosiasi antara 

kebutuhan politis pragmatis, dengan sikap politis religius Israel tentang pemerintahan Allah.  

 

Fuellenbach juga menyoroti bahwa pilihan pemerintahan seperti ini dikarenakan 

bangsa Israel memahami bahwa dari awal mereka dipanggil keluar adalah sebagai ‘komunitas 

kontras’. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan bangsa lain di sekitarnya yang 

dipimpin seorang raja. Bentuk pemerintahan mereka didasarkan pada masyarakat egaliter. 

Mereka tidak akan diperintah dengan kuasa, penindasan dan ketergantungan, tetapi dengan 

keadilan dan kasih.11 Dari sini terbaca bahwa mereka mengingat keadaan mereka di bawah 

pemerintahan di Mesir, di mana ada sistem raja dan budak, sehingga mereka tidak ingin 

kembali pada masa seperti itu. Oleh karenanya membaca Kerajaan Allah pada Israel kuno 

tidak terlepas pada muatan historis politiknya.  

 

Sayangnya kemudian apa yang mereka takutkan kembali terjadi. Setidaknya hal itu 

mulai terlihat pada masa pemerintahan Salomo. Salomo membuat Israel kembali menjadi 

masyarakat Firaun (baca: sistem raja dan budak),12 walau sebenarnya hal ini pada jauh- jauh 

hari telah diingatkan oleh nabi Samuel jika ingin memiliki seorang raja.13 

 

Raja Salomo mengerahkan orang rodi dari antara seluruh Israel, maka orang rodi itu 

ada tiga puluh ribu orang. Ia menyuruh menyuruh mereka ke gunung Libanon, 

sepuluh ribu orang dalam sebulan berganti- ganti: selama sebulan mereka ada di 

Libanon, selama dua bulan di rumah. Adoniram menjadi kepala rodi. Lagi pula 

Salomo mempunyai tujuh puluh ribu kuli dan delapan puluh ribu tukang pahat di 

pegunungan...(1 Raja- raja 5:13- 15) 

 

 

Dengan berkedok ketaatan kepada Yahweh, Salomo membangun Bait Allah yang 

sayangnya dalam praktek pelaksanaannya jelas terkandung unsur perbudakan. Pada awalnya 

untuk melakukan pekerjaan- pekerjaan kasar ia menggunakan tenaga orang- orang Kanaan, 

namun dia menjadi terlalu ambisius. Ketika rencana- rencana pembangunannya semakin besar, 

 

 

ia akhirnya merekrut juga orang- orang Israel menjadi pekerja- pekerja rodi dalam proyek-

proyeknya.14  Pixley menggambarkannya demikian:  15 

 

Daud diganti oleh putranya Salomo. Putra Daud ini tidak memiliki kepekaan bapaknya 

terhadap nilai- nilai Israel; sebaliknya ia mengidam - idamkan kemewahan seperti lazim dalam 

istana- istana wilayah itu. Birokrasi kerajaan meningkat hebat. Pungutan pajak harus diperluas. 

Israel pun dikenakan pajak. Salomo membangun negaranya menyerupai negara- negara 

Kanaan yang telah ditinggalkan suku- suku Israel. Bahkan melebihi negara- negara itu! Padahal 

suku- suku Israel sudah menjauhkan diri dari keadaan- keadaan ala Kanaan! Segala 

penyimpangan dari revolusi Israel ini berselubung kemegahan ketaatan terhadap Yahweh. 

Salomo membangun sebuah Bait Allah untuk menyembah Yahweh. Kemegahannya dapat 

menandingi kemegahan monumen- monumen kerajaan- kerajaan besar Timur Tengah. Untuk 

bahan bangunannya, kayu aras didatangkan dari Libanon, perunggu dari tambang Ezion - Seber, 

dan emas dari tempat- tempat yang lebih jauh lagi. Belum lagi terhitung batu- batu yang dipahat 

dari gunung- gunung Yehuda sendiri (1 Raj 6). Tetapi pekerjaan yang luar biasa ini tidak jadi 

dengan sendirinya. Tenaga yang diperlukan sebagiannya adalah tenaga bayaran sedangkan 

sebagian lagi tenaga paksaan dari bangsa- bangsa taklukan dan suku- suku Israel sendiri. 

 

 

Setelah Salomo mangkat, Israel bersatu terpecah menjadi dua kerajaan tersendiri pada 

tahun 931 SM. Para penulis Alkitab menyatakan bahwa cikal- bakal perpecahan itu disebabkan 

kebijaksanaan politik Salomo, yakni dia terus mencontoh tata- negara luar negeri, khususnya 

yang lazim di Mesir. Groenen menyebut bahwa Salomo tidak peduli ak an rasa kesukuan yang 

menjadi isu sensitif dalam masyarakat Israel dan tidak menghormati rasa kemerdekaan yang 

menjadi warisan suku- suku yang tadinya setengah badui. Groenen menyebutkan bahwa ketika 

Salomo membebankan macam- macam pajak dan kerja rodi demi kepentingan negara hal 

tersebut bertolak belakang dengan pengalaman Israel melarikan diri dari Mesir demi 

kemerdekaan mereka. Ketika mereka memiliki keinginan untuk terlepas dari tekanan 

semacam itu, Salomo justru menghadirkannya di negeri mereka sendiri16 . Pemerintahan 

Salomo membawa trauma pada pengalaman buruk dalam sejarah Israel kuno.  

 

Hal tersebut diperparah  dengan munculnya kalangan baru dalam masyarakat Israel, 

yaitu ‘pegawai - pegawai negeri’ yang mengurus negara seolah - olah milik pribadi raja dan 

dengan cara Mesir17. Selebihnya pegawai- pegawai negeri itu biasanya orang Yehuda, suku 

Salomo sendiri. Hal tesebut melukai perasaan dan menimbulkan kembali persaingan antar 

suku. Keadaan masyarakat merosot. Kemakmuran hanya dinikmati sedikit golongan, yaitu 

 

golongan istana serta ‘hamba - hamba raja’, artinya: pegawai negeri. Golongan itu menindas 

dan memeras rakyat biasa. Korupsi merambat kemana- mana di kalangan pegawai istana yang 

memperkaya dirinya dengan keringat rakyat jelata.  

 

Di bidang keagamaan pun terjadi kemerosotan. Sejak masa Salomo, raja- raja 

melupakan kedudukannya sebagai wakil Tuhan dan penjamin perjanjian. Para pegawai dan 

hamba raja pun tidak hadir sebagai lembaga eksekutif dan legislatif yang memiliki peran kritis 

pada tindakan para raja. Mereka menikmati jabatan dan keuntungan yang didapatkan olehnya 

hingga melupakan semangat awal berdirinya kerajaan tersebut. Mereka berhubungan dengan 

luar negeri, mengambil begitu saja kebudayaan dan agama mereka, yang bagi orang Israel 

adalah agama kafir yang bertentangan dengan Allah. Kadang- kadang raja malah menjadi 

pemuja berhala dan dicontoh oleh rakyatnya.  

 

Dari kemerosotan keagamaan ini, muncullah para nabi. Groenen menyatakan 

pentingnya para nabi adalah untuk mempertahankan dan memperteguh umat Allah 

kepercayaan dan perjanjian dengan Allah. Ketika terjadi ketidaksetiaan pada perjanjian, nabi 

tampil untuk menegur dan mengecam umat beserta pemimpin- pemimpinnya.18  Para nabi ini 

dengan berani dan pedas mengkritik para raja, menteri, pejabat tinggi dan kaum kaya- raya. 

Para imam tidak terluput dari ancamannya, oleh karena imam- imam itu sebenarnya pegawai 

negeri dan gampang saja melayani raja. Rakyat biasa pun dicela para nabi, tetapi para nabi 

terutama mempersalahkan kalangan atas dalam masyarakat, karena merekalah simbol 

pemerintahan Allah di Israel. Rakyat kerap dianggap sebagai korban kebijakan keliru dari para 

pemimpin negara. Karena itu para nabi kerap menyuarakan pembelaan pada rakyat kecil, 

lemah, dan miskin yang menjadi mangsa penindasan dan pemerasan dari pihak kalangan 

atas.19  Suara kenabian yang anti penindasan ini sebenarnya adalah upaya penjagaan tradisi 

perjanjian yang hidup sepanjang sejarah Israel, mulai dari keluarnya mereka dari Mesir, pada 

masa para hakim, misalnya dalam Hak. 9:7 - 1520 serta pada pidato- pidato nabi Samuel21. 

 

 

 

Proyek revolusioner Israel untuk mewujudkan masyarakat persamaan derajat 

diputarbalikkan oleh keturunan Daud.22 Bukan hanya Salomo yang berbuat demikian, Pixley 

menunjukkan bahwa raja- raja generasi Daud setelah terpecahnya kerajaan Israel menjadi dua 

pun tidak hidup menurut cara hidup Daud. Hal ini lantas menjadi tema besar dalam tulisan 

para Deuteronomis, Daud menjadi standar ketaatan raja- raja di Israel berikutnya. Ketika para 

pelaksana kerajaan justru melakukan kelaliman, para nabi menyuarakan suara- suara 

menentang kelaliman. Harapan akan kembalinya pemerintahan kerajaan seperti pada masa 

Daud, melahirkan konsep tentang Mesias yang melawan segala bentuk penindasan. Yesaya 

menyuarakan dengan keras tentang Mesias ini dalam tulisannya23.  Yesaya yang menyaksikan 

kemerosotan yang merambat pada umat Allah yang seharusnya ‘kudus’ dengan pedas dan 

keras mengecam ketidakadilan dalam masyarakat; ibadat meriah yang tidak disertai kelakuan 

yang sepadan. Yang terutama menjadi sasaran kritik nabi Yesaya ialah para pemimpin umat, 

raja, imam dan para penguasa. Maka nabi Yesaya menubuatkan penghukuman yang akan 

didatangkan Allah yang kudus. Namun demikian Yesaya tetap menaruh pengharapan yang 

tak tergoncang. Kalaupun umat mesti menjalani hukumannya, namun tetap akan ada sebuah 

‘sisa’ yang selamat. Dalam rangka ini nabi Yesaya juga berbicara tentang keturunan Daud di 

masa mendatang. Raja- raja Yehuda yang dialami nabi Yesaya sangat mengecewakan. Tetapi 

Tuhan tetap setia pada janjiNya kepada Daud. Karenanya di masa mendatang dari keturunan 

Daud akan tampil seorang raja yang memadai cita- cita nabi Yesaya  

 

 

1.1.2  KERAJAAN ALLAH DALAM PEWARTAAN YESUS 

 

Dalam menyimpulkan arti misi dan pesan Yesus, tergambar bahwa itu dibangun dalam rangka 

mewujudkan Kerajaan Allah. Menurut Lukas 4: 18  Yesus sendiri menyatakan, bahwa di dalam 

pemberitaan Kerajaan Allah itu terletak tujuan misiNya (pengutusanNya). Oleh karena itulah, 

menurut Riiderbos dan Baarlink, Firman Allah yang diberitakanNya disebut juga “Firman 

tentang Kerajaan” atau “Perkataan tentang Kerajaan”24  (Matius 13:19: “Kepada setiap orang 

 

 

yang mendengar Firman tentang Kerajaan Sorga, 25  tetapi tidak mengertinya, datanglah si 

jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu: itulah benih yang ditaburkan di 

pinggir jalan. ” Namun demikian, seperti telah diterangkan sebelumnya, Yesus dianggap tidak 

pernah memberikan defenisi yang pasti apa makna dari Kerajaan Allah yang Dia usung. 

Hunter menyikapi pandangan itu dikarenakan Kerajaan Allah itu sendiri sifatnya dinamis. 

Pendapat ini mirip dengan yang diterangkan  Donald B Kraybill, bahwa definisi untuk istilah 

ini tidak bisa kaku, melainkan luas dan banyak arti. Namun Hunter mengungkapkan arti 

dinamis yang dia maksudkan secara lebih terperinci, bahwa artinya Allah yang hidup itu 

bertindak dalam kuasa kebesaranNya; Allah mengunjungi dan menebus umatNya. 26  

Kedinamisan itu sendiri dapat dilihat dari pernyataan- pernyataan Yesus melalui 

perumpamaan- perumpamaan yang diusungNya ketika memberikan pengajaran. 

 

Yesus akan memulai perumpamaan itu dengan ungkapan yang karakteristik: Kerajaan 

Allah dapat diumpamakan ini atau itu. Yesus mengumpamakan Kerajaan Allah dengan 

berbagai cerita, bukan barang. Menurut John Wijngaards, Yesus menggunakan perumpamaan 

dengan sengaja untuk membuat kita berpikir. Perumpamaan adalah metafora yang diambil 

dari alam atau hidup umum, yang memikat para pendengar karena sifat hidup atau anehnya, 

dan membiarkan budi pikiran cukup ragu- ragu tentang penerapan secepatnya untuk 

merangsangnya berpikir secara aktif. Dengan membuat kita berpikir tentang pemerintahan 

Allah melalui perumpamaan- perumpamaan, Yesus menunjukkan bahwa Kerajaan Allah 

adalah sesuatu yang harus ditemukan, sesuatu yang harus tumbuh berkembang dalam diri kita. 

Dari sini Wijngaards melihat bahwa Yesus tidak mengkehendaki kita memiliki pemahaman 

yang statis tentang Kerajaan Allah, sebab Kerajaan Allah jelas bersifat terbuka bagi Yesus. 

Sehingga Wijngaards melihat intinya jelas, yaitu Allah menjadikan bangsa- Nya bebas-

merdeka. Akan tetapi, Yesus tidak menentukan detail- detailnya untuk sepanjang waktu yang 

akan datang. Ia menghendaki kita diilhami oleh kiasaan itu sehingga kita dapat senantiasa 

memberikan penafsiran yang kreatif, baru tentang tindakan Allah dan jawaban atau tanggapan 

 

25 Di antara Injil- injil, hanya Matius yang memakai istilah Kerajaan Sorga, sedangkan Markus, Lukas 

dan Yohanes selalu memakai istilah Kerajaan Allah. Terminologi dalam Matius 19:23 - 23 menunjukkan bahwa 

istilah Kerajaan Sorga dan Kerajaan Allah di dalam penggunaannya dapat dipertukar- tempatkan dan tidak ada 

perbedaan arti di antara keduanya. Lihat: Leon Morris, New Testament Theology (Grand Rapids , Michigan: 

Zondervan, 1986), 127 - 128.  


 

kita sendiri. Keterbukaan kepada apa yang akan datang dan kepada pertumbuhan yang tak 

disangka- sangka adalah ciri- ciri Kerajaan Allah sendiri menurut Wijngaards.27  

 

Selain tampaknya disepakati bahwa Kerajaan Allah itu bersifat dinamis sehingga 

pemaknaannya menjadi luas, tekanan Kerajaan Allah yang disuguhkan Yesus terlihat sama, 

yaitu pada situasi sosial yang memprihatinkan. Ketidakadilan menyeruak dan memperbesar 

kesenjangan sosial sekaligus kemiskinan di tubuh bangsa Israel khususnya. Penderitaan itu 

disebabkan oleh 3 faktor besar: Pertama, dari pemerintahan Roma sebagai penjajah yang 

menindas dan memeras dengan sistem pajaknya yang mencekik seperti pajak tanah, pajak 

cacah jiwa dan pajak penjualan, bea cukai pada impor maupun ekspor; Kedua,  adalah 

kerakusan kaum Herodes. Penindasan ini paling dirasakan di Galilea, daerah Yesus mengajar. 

Herodes diperkirakan memiliki separuh sampai dua per tiga dari seluruh tanah, di antaranya 

ada yang dirampas begitu saja. Akibatnya kebanyakan petani hanya memiliki bidang tanah 

yang kecil yang hasilnya terlalu sedikit untuk hidup dengan wajar. Sementara itu ada yang 

hanya bisa menjadi buruh harian, dengan gaji sedikit dan sama sekali tidak mencukupi; 

Ketiga, adalah tuan tanah Israel yang kaya raya. Banyak di antara mereka berasal dari 

sekelompok keluarga yang anggotanya diangkat oleh Roma sebagai Imam Agung. Oleh 

karena daerah kanisah berada di bawah kekuasaan Imam Agung, maka mereka memungut 

retribusi dari usaha- usaha yang berlangsung di daerah tersebut. Keuntungan ini merupakan 

tambahan pada penghasilan para imam dari korban- korban yang dipersembahkan dalam 

rumah Tuhan. Dalam konteks ini lah Kerajaan Allah yang diserukan Yesus itu berbicara. Oleh 

karenanya pewartaan kabar gembira tentang Kerajaan Allah oleh Yesus ditujukan secara 

khusus kepada kaum miskin dan kaum yang tertindas oleh situasi itu.28   Albert Schweitzer 

menggambarkan bahwa melalui pengajaran dan tindakan- Nya tentang Kerajaan Allah yang 

sedemikian, Yesus sedang menunjukkan suatu tindakan etis.29  

  

Choan Seng Song juga menyoroti hal yang sama: bahwa pewartaan Kerajaan Allah 

tersebut dalam konteks kepedulian kepada yang menderita. Yesus yang berbicara langsung 

kepada para petani miskin dan orang- orang yang tersingkir secara sosial- keagamaan 

 


 

dianggapnya merupakan hal yang baru dan luar biasa. Setidaknya dalam Lukas 6:20; Matius 

5:3 sebagai salah satu ucapan Yesus yang terkenal itu : “ Berbahagialah, hai kamu yang 

miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. ” tergambarlah sikap keberpihakan 

itu.30 

 

Para guru agama masyarakat terpinggirkan tidak pernah mengajarkan seperti yang 

Yesus ajarkan. Biasanya dipahami bahwa Kerajaan Allah adalah milik bangsa mereka ketika 

bangsa itu dipulihkan kepada keagungannya di masa lampau. Hanya pada saat itu lah Kerajaan 

Allah akan menjadi milik mereka. Jika Kerajaan Allah dipahami demikian, maka Kerajaan 

Allah akan menjadi sesuatu yang jauh dari konteks real kehidupan orang miskin dan 

menderita. Kerajaan Allah yang demikian, sekalipun bisa berdampak pada orang miskin dan 

menderita, tetaplah monopoli kelompok Israel yang kuat dan berpengaruh. Kelompok yang 

menderita semata- mata akan menjadi obyek atau paling tidak penerima konsekuensi dari 

keputusan politis orang- orang di atasnya. Allah yang demikian tidak cukup arif kepada 

kelompok menderita. Tetapi dengan mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah milik mereka, 

Choan Seng Song menilai bahwasanya Yesus mengukuhkan hubungan yang langsung antara 

Kerajaan Allah dan orang banyak: khususnya laki- laki, perempuan, dan anak- anak mereka 

yang tertindas, tereksploitasi, terinjak- injak, tersingkirkan, orang- orang yang diperlakukan 

secara tidak manusiawi dan yang baginya ketidakadilan diberlakukan.31 Bagi Joseph A Grassi, 

pewartaan Kerajaan Allah seperti ini mempunyai implikasi duniawi,32 tidak melulu tentang 

sesuatu yang supranatural atau yang tak terjangkau.  

 

Praktik memasukkan orang- orang yang tersisih itu sama sekali mengabaikan adat 

kebiasaan keagamaan yang ketat, sebab Kerajaan Allah Yesus adalah kerajaan yang ‘radikal’, 

di mana sukacita pewartaan dan karya Yesus tidak terbatas oleh tembok- tembok yang dibuat 

bahkan oleh tradisi religius yang dianggap sakral sekalipun. Pewartaan dan karya Yesus 

adalah Kerajaan Allah itu sendiri.  Karena itu bagi Ulrich Beyer, Kerajaan Allah inilah puncak 

 

 

seluruh pekerjaan Yesus, bahwa orang- orang itu boleh mendengar dan menghayati berita 

kesukaan yang justru diperuntukkan bagi mereka.33  

 

1.1.3 GEREJA DAN KERAJAAN  ALLAH 

 

Setelah menggali konteks dan makna yang terkandung dalam perjanjian lama dan baru, 

sampai lah kita dalam hubungannya dengan gereja. Dalam pikiran sejumlah besar orang 

terdapat banyak kerancuan tentang hubungan antara gereja dan kerajaan. Menurut Michael 

Griffiths, sebagian orang mengenal kedua kata itu, sebagian lagi lagi membuat kerajaan lebih 

luas dari gereja, dan ada pula yang membatasi gereja- gereja kerajaan hanya pada gereja- gereja 

yang menikmati semacam disiplin tertentu dan wewenang penggembalaan.34  Atau dengan 

kata lain ada yang membedakan keduanya, namun ada pula yang mengidentikkannya. 

Banawiratma melihat bahwa keduanya tidak dapat diidentikan. Dua istilah ini merupakan dua 

entitas yang berbeda. Realitas Kerajaan Allah dianggap jauh lebih besar daripada gereja, 

termasuk cakupan wilayahnya. Baginya fokus seluruh misteri sejarah penyelamatan Allah 

bukanlah gereja, tetapi Allah yang datang ke dalam sejarah dan menyelamatkan umat manusia 

melalui diri Yesus Kristus. Sang penyelamat bukanlah gereja melainkan Allah sendiri yang 

dalam Kristus datang dan hadir bagi kita. Kerajaan Allah itu berdaya dan efektif dalam dunia 

dan manusia secara keseluruhan bukan hanya dalam gereja saja.35 Menurut Fuellenbach, 

meskipun tidak identik, bukan berarti Kerajaan Allah tidak hadir di dalam gereja. Sebab gereja 

merupakan benih dan awal mula kerajaan di dunia, juga merupakan sarana agar rencana Allah 

terhadap dunia dapat terungkap di dalam sejarah.36  Meski setuju dengan konsep ini, namun 

Paul F Knitter menggarisbawahi agar pemahaman ini dipahami secara lebih hati- hati, supaya 

gereja tidak terpusat pada dirinya sendiri dan memberhalakan diri. Knitter menjelaskan bahwa 

gereja merupakan suatu sarana yang perlu, unik dan membawa kepenuhan bagi perwujudan 

Kerajaan Allah di dunia, tetapi gereja bukan satu-satunya sarana. Dapat ada, dan 

 


 

kemungkinan besar ada, jalan- jalan lain yang berbeda dan sungguh membawa kepenuhan 

yang menyediakan kegiatan universal Kerajaan Allah.37  

 

Kini kita dapat menyatakan bahwa perutusan gereja terletak dalam misi untuk 

menghadirkan Kerajaan Allah. Dan Kerajaan Allah yang dimaksud tentu tidak terlepas dari 

konsep biblis sebagaimana yang telah diuraikan. Apabila perutusan gereja merupakan 

partisipasi dalam perutusan Yesus Kristus, maka isi perutusan yang diemban gereja menurut 

hakikatnya bersifat transformatif sebab penghadiran Kerajaan Allah merupakan penghadiran 

diri Allah yang menjadi atau yang bertransformasi. Dari sini maka menarik untuk melihat 

sudah bagaimanakah kehadiran gereja di Indonesia dalam menghadirkan Kerajaan Allah? Bila 

dikatakan kerajaan Allah berarti Allah memerintah, baik di sorga dan juga di gerejanya, maka 

perlu dicermati sudah sejauh mana Dia memerintah dalam gereja- gereja kita? Dan sampai 

sejauh mana aktivitas- aktivitas kita ditentukan oleh apa yang sudah diungkapkan Allah dalam 

Alkitab?  

 

 Banyak kecendrungan yang mempersoalkan suara kenabian dalam memperjuangkan 

nasib orang- orang miskin, orang- orang lemah atau orang- orang yang dicurangi haknya. Tidak 

salah barangkali bila penulis sebutkan bahwa gaung gereja ketika penindasan terjadi masih 

seputar pada persoalan intern, semisal penggusuran lahan gereja, pembongkaran paksa gereja 

oleh pihak luar. Kekecewaan demi kekecewaan terhadap gereja timbul atas sikap gereja yang 

sibuk dengan dirinya sendiri. Seperti pengamatan Singgih, Gereja - gereja di Indonesia 

tampaknya masih sibuk dengan hal- hal ritual saja, seperti ibadah, kebaktian, liturgi dan doa; 

demikian juga di bidang kelembagaan- kelembagaan bersifat organisatoris.38  Bukan 

mengatakan berbagai hal tersebut tidak perlu, namun menyimak tugas utama perutusan gereja 

di bumi, maka hal tersebut bukan lah yang terutama. Ironisnya, hal- hal tersebut lah yang 

menyita perhatian gereja- gereja.  

 

 Disinyalir pula bahwa saat ini aroma persaingan antar gereja dalam memperebutkan 

umat menjadi salah satu penyebab kesibukan gereja terhadap dirinya sendiri.39  Oleh 

 


 

karenanya, untuk menarik banyak pengunjung, banyak gereja secara rutin mengundang 

selebritis untuk menyanyi dan memberi kesaksian. Hal ini menjadi daya pikat tersendiri bagi 

gereja yang mengadakannya. Bahkan tidak sedikit pula gereja yang pendetanya adalah mantan 

artis. Dan menurut Yahya Wijaya, gereja seperti itu laris. 40  Kata laris yang dipakai Yahya 

Wijaya cukup menggelitik, mengingat kata laris identik dengan kegiatan dagang, untung- rugi; 

sementara gereja identik sebagai lembaga non- profit. Namun kecendrungan yang terhendus, 

gereja juga mulai dilirik sebagai suatu market yang cukup menarik untuk mendapatkan 

keuntungan.  

 

 Secara ekstrim, Bigman Sirait mengatakan bahwa semakin panjang barisan gereja 

yang cinta uang. Orang ber - uang selalu diperebutkan, sementara yang miskin ekonomi terus 

terabaikan. Maka kecendrungan para pemimpin gereja yang lebih dekat pada umatnya yang 

kaya- raya tidak mengherankan.41  Kedekatan itu tidak melulu salah, namun menjadi persoalan 

karena dorongan kedekatan itu semata didasari tujuan untuk memperoleh dukungan dana 

sebagai sumber pendukung terwujudnya program- program gereja. Bahkan muncul pula 

fenomena berdoa yang terpusat dalam pusaran perihal materialisme atas nama berkat, 

kesembuhan, mukjizat yang sepertinya hendak memaksakan keinginan kepada Tuhan. 42  

Gereja dianggap mengusung keuntungan berkedokkan pelayanan.  

 

 Cara menilai gereja berhasil atau tidak bukan lagi diukur dari azas kualitas, melainkan 

kuantitas, bukan pertumbuhan iman, melainkan pertumbuhan aset. 43  Church growth atau 

pertumbuhan gereja biasanya hanya dimaknai sebagai pendirian pos- pos dan cabang- cabang 

gereja baru, bahkan sampai ke luar negeri. Pertumbuhan gereja secara umum dipahami 

sebagai atau melalui pembangunan secara organisasi 44  Disamping itu tanda kesuksesan 

lainnya dari gereja adalah pembangunan gedung gereja yang mewah. Mirisnya terkadang 

gereja mewah dan megah itu dibangun di antara lingkungan yang kumuh dan 

 

memprihatinkan.45  Padahal menurut Herlianto, pembangunan gereja- gereja besar dan mewah 

tanpa memperdulikan kebutuhan gereja- gereja miskin lainnya dan masyarakat di 

sekelilingnya lebih merupakan sikap cinta diri yang narsistik dan bukan merupakan buah- buah 

Roh Kudus. 46  

 

 Hal ini juga yang langsung penulis amati, rasakan dan lakukan selama masa 

pelayanan. Secara tertulis (melalui program- program Kerja) maupun verbal, sebagai pendeta 

penuh waktu yang menjabat, pengharapan jemaat agar pendetanya dapat berbuat banyak untuk 

memperbaiki dan menambahi pembangunan gedung gereja. Pada saat itu pembangunan besar 

yang ingin dicapai adalah rumah dinas pendeta, Plafon gereja, keramik, teras gereja. Dan 

ketika itu semua tercapai, maka setidaknya kita dianggap pendeta yang berhasil. Hal itu tidak 

hanya tercermin dan berlaku di gereja yang penulis layani pada saat itu. Gereja - gereja GKPI 

lainnya yang terlingkup dalam satu wilayah di tempat penulis melayani dan gereja - gereja 

denominasi lain, sejauh observasi penulis, tampaknya juga memandang pada titik yang sama. 

Keberhasilan seorang pendeta atau pelayan gereja diukur pada kemampuannya mengelolah 

gereja di bidang keorganisasian serta pembangunan gedungnya. Realitas ini merupakan hal 

yang cukup menarik untuk dicermati. Apakah konsep mulia dari Kerajaan Allah yang diusung 

oleh Yesus telah benar- benar tenggelam dan terlupakan. Atau apakah ada suatu lompatan 

besar yang terjadi sehingga hal- hal tersebut menjadi dimungkinkan. Dalam kerangka 

menggali hal ini lah maka tulisan ini diperbuat. 

 

 

1.2  RUMUSAN MASALAH 

 

Kerajaan Allah yang tergambarkan di atas jelas menyajikan corak dan penekanan yang 

memiliki implikasi duniawi, khususnya pada persoalan- persoalan sosial di dalam masyarakat. 

Fokus ini lebih di zoom in  oleh Yesus yang berseru sekaligus dipercaya menghadirkan 

Kerajaan Allah itu bersama- sama dengan kehadiran- Nya. Pengajaran serta perilaku etis Yesus 

menghadirkan suatu nuansa baru sekaligus angin segar di tengah kegersangan dalam 

masyarakat yang mengais- ngais akan sebuah keadilan dan kepedulian. Pewartaan ini tentu 

 

 

tidak dapat dianggap tidak ada, sebab telah termaktub dalam sejarah yang tercatat. Namun 

menyimak realita kehadiran gereja sebagai benih dan sarana Kerajaan Allah yang memudar 

dalam mewujudkannya, maka mencuatkan keraguan apakah kemudian ini hanya sebagai suatu 

utopia yang tidak mungkin terjadi di konteks di dunia post modern, di mana gereja hidup dan 

bertumbuh saat ini.  

 

Perhatian utama gereja yang dihunjuk sebagai benih dan sarana adalah pada Kerajaan Allah 

yang dicontohkan itu. Kerajaan Allah harus menjadi perhatian utama Gereja jika Gereja ingin 

tetap setia kepada pesan Yesus. Maka perlu dikembangkan kajian bagaimana visi itu boleh 

diterima oleh gereja atau jemaat yang masih terlalu menyibukkan diri pada persoalan non inti 

seperti pembangunan gedung gereja, organisasi dan ibadah yang wah. 

 

1.3  PERTANYAAN PENELITIAN 

 

Berdasarkan penjelasan mengenai latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, 

maka perlu pertama sekali dirumuskan persoalan dengan menggali akar masalah dengan 

pertanyaan- pertanyaan: 

 

1. Bagaimana jemaat GKPI memahami konsep Kerajaan Allah dalam hidup 

keberimanannya?  

2. Bagaimana jemaat GKPI memandang dirinya sebagai tubuh Kristus sekaligus alat 

Allah untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah- tengah lingkungannya dan 

dunia?  

3. Bagaimanakah seharusnya arah menggereja jemaat GKPI berdasarkan konsep 

Kerajaan Allah yang diusung Yesus?  

 

1.4  JUDUL 

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberi judul tesis ini sebagai berikut : 

 

ARAH MENGGEREJA 

(Kajian Teologis Konsep Kerajaan Allah  

dan Eklesiologi jemaat GKPI Yogyakarta) 

   

 

1.5.  LANDASAN TEORI 

 

Untuk membantu menjawab pertanyaan- pertanyaan di atas, penelitian ini akan memanfaatkan 

pemikiran- pemikiran yang berkaitan dengan gereja dan Kerajaan Allah. Oleh karena Yesus 

adalah dasar atau acuan dari dua hal ini, maka tentu konsep pewartaan Yesus tentang Kerajaan 

Allah harus yang lebih dulu digali, kemudian dari sana lah titik berangkat gereja untuk 

melakukan pelayanan- pelayanannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Leonardo Boff bahwa 

gereja tidak dapat dipahami dengan sendirinya karena dipengaruhi oleh realitas yang 

melampauinya, yaitu Kerajaan Allah sebagai sumbernya dan dunia sebagai locusnya. 47  Untuk 

itu teori tentang Kerajaan Allah harus sangat intens dikupas. Untuk menggalinya jelaslah 

bahwa penulis harus berangkat dari Yesus sebagai Sang Pewartanya.  

 

Pertanyaan yang sering diajukan ialah: kerajaan macam manakah yang Yesus 

maksudkan? 48  Sebab Yesus dianggap tidak pernah secara gamblang menjelaskan apa yang 

dimaksudkan dengan Kerajaan itu. Pertanyaan ini dapat disebut lumrah, mengingat konteks 

dan pengharapan yang diusung umat Israel yang telah memiliki konkret konteks sosial- politis 

historisnya sendiri. Ada beberapa hal yang dianggap melatarbelakangi cara pandang Yesus 

tentang Kerajaan Allah, selain konteks sosial- politik historis Israel, diantaranya pandangan 

dari  profetis, apokaliptik, Yudaisme dan Konteks yang melatar- belakangi pra- paham Yesus 

tentang Kerajaan Allah.  

Tom Jacobs berpendapat bahwa Yesus memberitakan Kerajaan Allah di dalam 

pengharapan- pengharapan apokaliptis 49  zaman - Nya. Dalam bentuknya yang apokaliptis, 

Kerajaan Allah oleh bangsa Yahudi yang kena pengaruh aliran apokaliptik, diartikan sebagai 

suatu campur tangan Allah yang akan menggoncangkan kekuatan- kekuatan langit dan yang 

membangkitkan suatu dunia baru. Dalam rangka perhatian mereka pada masa mendatang, 

mereka sering tergoda untuk meramalkan dengan terlalu gegabah tentang pembalasan Allah 

atas orang- orang bukan Yahudi dan tentang kapan persisnya dunia akan binasa. Kaum 

apokaliptik juga sering mempergunakan gambaran- gambaran yang penuh fantasi dan khayal, 

 


 

lukisan secara berlimpah- limpah tentang kebahagiaan eskatologis.50 Or ang- orang sezaman 

Yesus mengharap- harapkan pewahyuan, pernyataan atau apokaliptis Allah memerintah 

sebagai Raja akan segera datang. Orang - orang memohon agar Allah menegakkan Kerajaan 

dalam waktu hidup mereka. Yesus menanggapi pengharapan- pengharapan apokaliptis 

bangsa- Nya. Akan tetapi, tafsiran- tafsiran yang diberikan- Nya tentang apa arti pemerintahaan 

Allah melampaui pemikiran- pemikiran dan pengharapan- pengharapan mereka.51   

 

Demikian pula konteks serta pengharapan masyarakat Yudaisme di zaman Yesus, 

dengan pra- paham yang dihidupi, dianggap turut mempengaruhi pandangan Yesus tentang 

Kerajaan Allah52. Dalam Yudaisme, ada 3 basis kepercayaan yang umum bagi semua penulis 

Yudaisme antara tahun 200 sebelum Masehi sampai tahun 100 sesudah Masehi berkaitan 

dengan kedatangan Kerajaan Allah yang eskatologis dalam waktu dekat.53 Pertama, tempat 

dari semua harapan eskatologis untuk datangnya Kerajaan Allah adalah dunia ini. Meskipun 

dimensi spiritual dan moralnya tidak ditepis, namun dimensi politik dan historisnya tetaplah 

dominan; Kedua, kedatangan Tuhan yang ditunggu- tunggu itu diharapkan akan 

menyingkirkan semua yang menjadi halangan terwujudnya Kerajaan di masa kini. 

Kedatangan Tuhan itu akan membebaskan Israel dari semua penindasan dan semua bangsa 

akan masuk ke dalam kekuasaan Allah. Gagasan Kerajaan yang akan datang selalu dilihat 

sebagai munculnya suatu Kerajaan Israel yang jaya dan meliputi seluruh bumi, di mana semua 

bangsa akan menemukan damai dan kerukunan. Ketiga, datangnya Kerajaan Allah dilihat 

sebagai tindakan Allah sendiri yang hanya dapat diterima oleh manusia dengan rasa syukur. 

Tetapi pembaruan akhir Israel tidak bisa jalan kalau Israel tidak menerimanya dengan bebas 

dan aktif. Maka, Kerajaan yang akan datang tidak menghilangkan kerja sama dari pihak 

manusia. Ada keyakinan yang berkembang luas bahwa orang dapat mempercepat kedatangan 

Mesias dengan doa dan perbuatan baik. 

 

Tanpa menepis pengaruh dari dua pandangan di atas, Fuellenbach justru melihat Yesus 

melalui harapan profetis54  khususnya dari teks Deutero- Yesaya. Menurut Fuellenbach, Yesus 


 

mengambil ramalan kenabian ini dan memahami tugas- Nya mewartakan Kerajaan dalam 

konteks ini. Namun yang baru dari Yesus ialah, Dia mewartakan ramalan- Nya bukan sebagai 

sesuatu yang semata- mata akan terjadi di waktu yang akan datang atau sebagai objek 

penantian yang mencemaskan, tetapi sebagai sesuatu yang sudah datang bersama dengan diri -

Nya. Penginjil menampilkan Yesus yang memaparkan misi- Nya kepada warga sekampung-

Nya sejalan dengan harapan Mesianis Deutero- Yesaya: 

 

“Roh Tuhan ada pada - Ku oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik 

kepada orang- orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan 

kepada orang- orang tawanan, dan penglihatan bagi orang- orang buta, untuk membebaskan 

orang- orang yang tertindas, untuk memberikan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Kemudian Ia 

menutup Kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat lalu duduk; dan mata semua orang 

dalam rumah ibadat itu tertuju kepadaNya. Lalu Ia mulai mengajar  mereka, kata- Nya: “Pada 

hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Luk 4:6 - 21. 

 

Dari sini, Fuellenbach membaca bahwa tujuan utama pewartaan Yesus dalam 

gagasan Kerajaan Allah adalah pembaruan Israel di dalam ideal Perjanjian, yang pada 

gilirannya akan menghantar kepada transformasi semua struktur manusia berkaitan dengan 

keadilan dan hak- hak kaum miskin. Dalam Kerajaan Allah ini semua diskriminasi pribadi 

maupun kelompok akan berhenti,55 demikian Fuellenbach dengan pasti menyimpulkan 

tujuan inti pewartaan Kerajaan Allah yang diusung Yesus.  

 

Dalam melihat ini lebih jauh, maka tentu perumpamaan- perumpamaan yang 

disampaikan oleh Yesus tidak boleh dilewatkan. Sebab warta Yesus tentang Kerajaan Allah 

paling banyak ditemukan dalam perumpamaan- perumpamaan yang Dia sampaikan, seperti 

yang dapat kita lihat di kitab- kitab Injil Sinoptik, antara lain ‘ Perumpamaan tentang 

Penabur’, ‘Perumpamaan tentang Lalang’, ‘Perumpamaan tentang Biji Sesawi’, 

‘ Per umpamaan tentang Ragi’, ‘Perumpamaan tentang Harta’, Perumpamaan tentang 

Mutiara’, Perumpamaan tentang Pukat’. Perumpamaan- perumpamaan ini tentu memiliki 

maknanya masing- masing, namun menurut George Eldon, penekanan pada aspek sosialnya 

yang menonjol sehingga Yesus menyampaikan perumpamaan- perumpamaan ini.56   

 

 

 

 

1.6  METODE PENELITIAN 

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik 

wawancara yang penulis lakukan terhadap jemaat GKPI Yogyakarta. Penulis akan 

mengadakan wawancara terbuka dengan para narasumber sehingga mereka memberikan sudut 

pandangnya, defenisinya terhadap Kerajaan Allah, sekaligus menggali pemahaman mereka 

akan arti menggereja yang akan penulis gali dari pemikiran mereka tentang konsep gereja 

yang baik.57 Dari pendekatan ini, penulis dapat mempelajari bagaimana mereka berbicara dari 

sudut pandang mereka sendiri. Dengan pemaparan yang demikian, maka yang berbicara 

adalah informasi yang diberikan oleh informan.  

 

Terkait pengumpulan data, maka pengumpulan data dalam penelitian perlu dipantau agar data 

yang diperoleh dapat terjaga tingkat validitas dan reliabilitasnya.58  Untuk itu dalam teknik 

pengumpulan data ini, penulis melakukan pertama Observasi Partisipatif . Pada teknik ini 

penulis melibatkan diri di tengah- tengah kegiatan observasi. Hal ini lebih mudah penulis 

lakukan, sebab penulis sendiri telah menjadi anggota jemaat GKPI Yogyakarta selama dua 

tahun. Penulis telah berada langsung di medan data dan jalinan keakraban telah terbangun di 

sana.59  Teknik kedua yang penulis lakukan dalam pengumpulan data- data adalah dengan 

wawancara terfokus dan mendalam. Terfokus karena mempunyai sasaran risetnya jelas dan 

mendalam di mana data diambil dengan menggunakan observasi terhadap narasumber untuk 

mendapatkan informasi sedalam- dalamnya dalam memperoleh data. 60  

Penelitian kualitatif dilakukan dengan karakteristik yang mendeskripsikan suatu keadaan yang 

sebenarnya atau fakta. Tetapi laporan yang dibuat bukan sekedar laporan tanpa suatu 

interpretasi ilmiah.61  Oleh karen anya penelitian ini juga akan mempertemukan gagasan 

teoritis dengan data di lapangan. Penulis akan mengumpulkan data- data dari sumber literatur 

terkait, berupa buku cetak maupun buku elektronik, jurnal, internet, maupun sumber pustaka 

lain yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti, kemudian memilih dan 

menganalisanya.  

 

 

 

1.7   SISTEMATIKA PENULISAN 

 

Bab 1   Pendahuluan 

Pada bagian ini pembahasan yang dicakup adalah latar belakang, rumusan 

masalah, pertanyaan penelitian, judul, tujuan penelitian, metode penelitian, 

landasan teori dan sistematika penulisan 

 

Bab 2   Visi Yesus dalam Tema  Kerajaan Allah 

Pada bagian ini akan digali lebih luas dan mendalam konsep kerajaan Allah 

yang diusung Yesus sesuai dengan konteks- Nya. Dan akan dilihat penggalian 

makna itu dalam perumpamaan- perumpamaan Yesus, juga tema besar 

Kerajaan Allah tentang waktu kedatangan Kerajaan Allah dan cara 

memperolehnya 

 

Bab 3  Pandangan Jemaat GKPI Yogyakarta tentang Gereja dan Kerajaan 

Allah 

 

Pada bagian ini akan  dipaparkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 

jemaat GKPI Yogyakarta seputar makna Kerajaan Allah, pandangan mereka 

tentang kepedulian sosial dan konsep gereja yang baik. 

 

Bab 4   Refleksi Kerajaan Allah dalam Konteks Menggereja di GKPI Yogyakarta 

 

Bagian ini akan menyajikan refleksi dari hasil temuan pada bab 2 dan 3 untuk 

menyajikan bagaimana sesungguhnya konsep atau teologi dari Kerajaan Allah 

dapat diterapkan di dan oleh gereja- gereja Indonesia sesuai dengan konteksnya 

 

 

Bagian ini akan menjadi kesimpulan dari seluruh hasil analisa wawancara, 

pengamatan dan studi pustaka penulis 

 

  

Melalui pembacaan dan hasil wawancara di lapangan Penulis akhirnya memiliki 

kesimpulan berikut dari tulisan ini: 

1. Pemahaman jemaat GKPI Yogyakarta tentang Kerajaan Allah  

-  Dibalik ideal dan mulianya konsep Kerajaan Allah tentang kehidupan yang 

berkeadilan dan cinta kasih di seluruh muka bumi, di tataran jemaat ide tentang 

Kerajaan Allah masih dipahami sebatas di tataran metafisik, sesuatu yang jauh 

tidak ditemukan di dunia. Kerajaan Allah dipahami sebatas sorga, yang 

diasosiasikan sebagai suatu tempat atau wilayah yang diperoleh sesudah kematian. 

Konsep untuk memperoleh sorga ini lah yang kemudian menggerakkan jemaat 

melakukan ritual- ritual peribadahan, perbuatan baik dan sebagainya. Konsep 

teologi pahala- dosa pun muncul dalam pemahaman konsep Kerajaan Allah yang 

demikian. Perbuatan- perbuatan baik di bumi dipandang sebagai jalan untuk 

memperolehnya, sehingga patahlah konsep Kerajaan Allah merupakan anugerah 

dari Yang Empunya. Maka tidak mengherankan bila akhirnya jemaat tidak berpikir 

untuk menghadirkan Kerajaan Allah yang berkonsep pro- kehidupan itu di tengah-

tengah dunia, sebab dari awal telah dipahami ia tidak ada di dunia. Konsep 

hubungan yang muncul pun menjadi sempit, yaitu sebatas hubungan rohani antara 

aku (personal) dengan Sang Ilahi. Orang lain dan dunia tidak mendapat tempat 

dalam konsep Kerajaan Allah yang seperti ini.  

-  Eksklusifitas kepemilikan Kerajaan Allah juga muncul dalam cara 

memperolehnya. Kerajaan Allah dipahami hanya menjadi milik dari orang- orang 

yang percaya kepada Yesus. Orang - orang di luar kelompok sepemahaman, tidak 

akan memperolehnya. Makna pewartaan Yesus dalam konsep Kerajaan Allah 

menjadi sempit dan kasih dan anugerah Allah pun dikapling atas dasar agama yang 

dianut. Yang artinya juga Yesus dikerdilkan menjadi semacam suatu agama saja. 

 

 

Konsep gereja yang baik bagi jemaat GKPI Yogyakarta adalah gereja yang 

melakukan pelayanan door to door atau pelayanan kunjungan pastoral ke rumah-

rumah jemaat. Ada dua manfaat yang dianggap penting dari pelayanan seperti ini, 

yaitu pertama  agar para pelayan mengerti pergumulan jemaatnya, sehingga kedua 

jemaat merasa diperhatikan dan semakin mencintai gerejanya dan rajin datang ke 

gereja sehingga bangku- bangku gereja menjadi penuh. Dari sini pun dapat 

disimpulkan dua hal lainnya, yaitu suatu gereja itu baik atau tidak dilihat dari 

kuantitas peserta kehadiran beribadah dan gereja itu baik atau tidak sepenuhnya 

merupakan tanggung jawab dari pelayanan para pelayan gereja. 

b. Dari sudut pandang pelayan gereja 

Konsep gereja yang baik dilihat dari sikap jemaatnya. Atas dasar pelayanan yang 

sudah diberikan kepada jemaat, maka jemaat diharapkan sudah menjadi baik dan 

berbuat baik kepada Tuhan sesuai dengan kehendak- Nya yang harus dipahami 

melalui khotbah- khotbah dan berbagai pelayanan lainnya yang didapat dari gereja. 

Perbedaan kedua sudut pandang ini mencerminkan konsep gereja yang baik 

tergantung kepada posisi dan kepentingan penilainya. Nilai yang diberikan 

menjadi subjektif dan nuansa saling melemparkan tanggung jawab tidak dapat 

dihindari.  

3. Tentang Kegiatan Sosial atau Diakonia 

Jemaat merasa gereja telah melaksanakan praktek- praktek kepedulian sosial, yaitu 

dengan memberikan bantuan ke panti asuhan dan ‘Bingkisan Kasih’ berupa sembako 

kepada masyarakat sekitar setiap satu tahun sekali, yaitu di setiap hari Natal. Dilihat 

dari praktek diakonia yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa makna diakonia 

dipersempit sebatas pada kegiatan- kegiatan amal dan bentuk diakonia yang dilakukan 

masih pada tataran diakonia karitatif. Dasar pemberian ‘Bingkisan Kasih’ kepada 

warga sekitar didasari kesadaran bahwa gereja berada di atas tanah kas desa, yang 

sewaktu- waktu perizinannya bisa di cabut. Oleh sebab itu suasana keakraban harus 

terus dirawat oleh pihak gereja dengan warga sekitar. Ditambah lagi dengan fakta-

fakta ketidakadilan terhadap umat beragama Kristen sebagai kelompok minoritas, di 

mana banyak gereja yang ditutup oleh masyarakat di tempat di mana gereja itu berada. 

 

 

mana perumpamaan sendiri mengandung makna yang masih harus ditafsirkan lagi 

oleh pendengarNya. Ada pun 7 perumpamaan yang diberikan Yesus sebagai jalan 

Yesus menyampaikan makna Kerajaan Allah yang Ia usung, yaitu: Perumpamaan 

tentang Penabur , Perumpamaan tentang La lang, Perumpamaan tentang Biji Sesawi, 

Perumpamaan tentang Ragi, Perumpamaan tentang Harta, Perumpamaan tentang 

Mutiara dan Perumpamaan tentang Pukat . Makna Kerajaan Allah dalam 

perumpamaan- perumpamaan ini harus dilihat melalui situasi politik, sosial dan budaya 

di mana Yesus hidup. Terjadi ketidakadilan, penindasan, baik dari penguasa 

(Romawi), maupun dari pihak kaum rohaniawan terhadap masyarakat kecil dan miskin 

itu. Ketidakberdayaan masyarakat yang hidup dalam penderitaan melahirkan konsep 

Kerajaan Allah, yang dulunya dimaknai diperoleh secara komunal (Kerajaan Allah 

terwujud bagi bangsa Israel ketika Allah mengangkat lagi bangsa Israel pada masa 

kejayaannya dulu), bukan personal. Namun Yesus telah meradikalkan konsep 

Kerajaan Allah yang sudah status quo  hidup lama dalam masyarakat. Salah satu bukti 

kuat dari peradikalan itu adalah Yesus dengan berani menyatakan Kerajaan Allah telah 

hadir bersama- sama dengan kehadiran- Nya. Oleh karenanya dalam mengajarkan 

tentang Kerajaan Allah, Yesus juga melakukan tindakan- tindakan konkret seperti 

mengusir setan, menyembuhkan orang sakit, menolong orang pada hari Sabat, 

membuka diri untuk para pendosa dan seterusnya. Kerajaan Allah diwartakan sebagai 

bentuk pro- keadilan yang membangkitkan semangat kembali pada masyarakat kecil 

yang telah berputus asa. 

5. Tentang Hubungan Kerajaan Allah, Gereja dan Dunia  

Gereja lahir dari sejarah keprihatinan sosial yang diwariskan Yesus sehingga tidak 

boleh diabaikan. Dari situ tergambar hubungan gereja dan Kerajaan Allah yang saling 

mengikat kuat. Tidak ada gereja bila tidak ada Kerajaan Allah, dan Kerajaan Allah 

tidak akan dimengerti bila tidak ada gereja. Tugas gereja adalah melayani Kerajaan 

dan bukan mengambil alih tempat Kerajaan Allah. Atas hubungan gereja dan Kerajaan 

tersebut, satu lagi yang harus disadari gereja bahwa dunia merupakan lokus gereja 

berteologi .   

6.  Tentang Gereja dan Diakonia  

Gereja hadir bukan tanpa visi dan misi. Keseluruhan pelayanan Yesus dan visi -

misiNya dalam konsep Kerajaan Allah menjadi patokan gereja dalam arah 

menggerejanya. Masalah- masalah sosial menjadi sorotan utama bagi Yesus, sehingga 

pewartaanNya tentang Kerajaan Allah menjadi konkret. Yesus berteologi dari bawah, 

 

sehingga para pendengar- Nya bisa mengerti apa yang Yesus sampaikan, sebab suara 

kenabian yang dibawakan Yesus tidak di awan- awan tetapi membumi. Gereja tentu 

terpanggil untuk melaksanakan tugas pelayanan yang demikian. Berteologi dari 

bawah, memahami masalah- masalah sosial di tempat dia berada, sebab gereja 

mewarisinya dari Yesus. Salah satu jalan untuk mengimplementasikan ini adalah 

dengan jalan diakonia. Sayang sekali selama ini makna diakonia dipahami salah, 

sehingga unsur- unsur sosial di dalamnya tereduksi. Berdiakonia dipahami sebatas 

dengan perbuatan amal. Gereja - gereja memandang berdiakonia cukup dengan berbuat 

kebajikan- kebajikan, perbuatan- perbuatan amal dan seterusnya, yang akhirnya 

membuat gereja dipandang tidak ada bedanya dengan lembaga atau institusi sosial 

biasa. Padahal dalam diakonia sesuai dengan latar belakang munculnya makna ini 

terkandung makna suara kenabian untuk mengecam kejahatan sosial. Makna ini coba 

dikembalikan lagi sehingga muncul lah sekarang diakonia transformatif. Diakonia ini 

berbeda dengan bentuk diakonia yang telah ada sebelumnya, yaitu diakonia karitatif 

dan diakonia reformatif. Diakonia karitatif lebih kepada aksi sosial tanggap- darurat 

yang wujudnya seperti memberikan sembako,  memberikan pakaian kepada orang-

orang miskin dan lainnya; sementara diakonia reformatif lebih kepada aksi pelayanan 

yang berusaha mencarikan solusi agar masyarakat keluar dari kemiskinannya dengan 

jalan- jalan penyelenggaraan kursus, pemberdayaan, pemberian pinjaman modal dan 

seterusnya; sementara diakonia transformatif dapat digambarkan sebagai pelayanan 

diakonia untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang akar persoalan 

yang sesungguhnya terjadi sehingga mencelikkan mata mereka. Contoh aksi 

pelayanan yang dilakukan adalah sosialisasi penyadaran hukum kepada rakyat kecil 

sehingga mereka tahu hak- hak nya dan menjadi berdaya.  

 

5.2 SARA N  

Akhirnya Penulis memberikan saran- saran konstruktif sebagai berikut: 

 

 Untuk Gereja  

1. Gereja merupakan salah satu alat Tuhan dalam menyuarakan Kerajaan Allah yang 

sesungguhnya kepada jemaat khususnya dan masyarakat umumnya. Belakangan suara 

kenabian gereja untuk masalah- masalah sosial sering dipertanyakan. Gereja sebagai 

lembaga atau institusi dianggap hidup dalam status quo  dan hidup dalam zona nyaman

 

yang hanya sekedar sibuk dengan ritual. Membaca apa yang sebenarnya diharapkan 

oleh Tuhan Yesus dalam konsep Kerajaan Allah yang diusungnya, maka gereja 

hendaknya menggali lebih dalam lagi makna Kerajaan Allah dan mengkoreksi arah 

menggerejanya sesuai dengan makna itu.  

2. Konsep diakonia yang ada di gereja juga perlu dipertajam agar tidak terjebak dalam 

kebiasaan mapan sekadar perbuatan- perbuatan amal (walau ini tentu juga perlu untuk 

tetap dipertahankan). Gereja jangan cepat puas dengan bentuk diakonia yang ada, yang 

dianggap sudah mapan. Perlahan tapi pasti gereja penting menginformasikan bentuk-

bentuk diakonia yang ada selain diakonia karitatif 

3. Gereja menggali lagi pelayanan pemberdayaan manusi a dan mengembangkan 

kewirausahaan di kalangan jemaat. 

 

4.  Akhirnya disadari bahwa gereja dalam kehadirannya di dunia terbentuk juga melalui 

apa yang kita sebut suatu institusi. Sebagai suatu institusi tentu ada posisi - posisi 

tertentu yang terdapat di dalamnya. Maka untuk setiap posisi tersebut Penulis juga 

memberikan konstruktif sebagai berikut, kepada: 

 

a. Pemimpin Gereja  

Pendeta sebagai pemimpin gereja tentu merupakan seorang teolog yang telah 

mendapatkan pengetahuan yang lebih memadai tentang ilmu- ilmu teologi. Pendeta 

kiranya semakin memperdalam makna Kerajaan Allah sebagai dasar arah 

menggereja. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah pembinaan kepada para 

pelayan tahbisan lainnya yang dapat dilakukan dalam sermon- sermon gereja 

ataupun acara pembinaan- pembinaan lainnya. Kemudian konsep ini juga perlu 

dipertajam kepada jemaat melalui ibadah- ibadah rumah tangga sebagai wadah 

untuk mengadakan Pendalaman Alkitab (PA). 

b. Majelis Gereja  

Majelis gereja sebagai salah satu penentu arah program gereja juga harus terbuka 

dengan arah menggereja yang benar, yaitu kembali kepada konsep Kerajaan Allah 

sebagai cita- cita yang harus diwujudkan. Tidak menjadi cepat puas dengan program 

gereja yang ada dan berkutat hanya pada pelayanan internal yang selama ini sudah 

mapan. 

 

 

 

c. Jemaat  

Jemaat yang baik adalah jemaat yang sudah siap untuk memakan makanan yang 

keras, seperti dikatakan rasul Paulus. Jemaat juga perlu terus untuk menggali makna 

dan arah menggerejanya selama ini, agar tidak terjebak dalam pemahaman 

menggereja yang salah. Kemajuan teknologi menjadi salah satu jalan agar jemaat 

bisa mengkoreksi pemahaman teologi yang diterima.