Tampilkan postingan dengan label ayub 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 1. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 1

 





Artikel  yang sedang Anda pegang ini yaitu  salah satu bagian dari 

Tafsiran Alkitab dari Matthew Henry yang secara lengkap men-

cakup Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Untuk edisi bahasa Indo-

nesianya, tafsiran tersebut diterbitkan dalam bentuk kitab per kitab. 

Untuk kali ini, kita tiba pada pembahasan Kitab Ayub 

Matthew Henry (1662-1714) yaitu  seorang Inggris yang mulai 

menulis Tafsiran Alkitab yang terkenal ini pada usia 21 tahun. Karya-

nya ini dianggap sebagai tafsiran Alkitab yang sarat makna dan sa-

ngat terkenal di dunia. 

Kekuatan tafsiran Matthew Henry terutama terletak pada nasihat 

praktis dan saran pastoralnya. Tafsirannya mengandung banyak mu-

tiara kebenaran yang segar dan sangat tepat. Walaupun ada cukup ba-

nyak kecaman di dalamnya, ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat 

menuliskan tafsiran yang demikian, seperti yang berulang kali ditekan-

kannya sendiri. Beberapa pakar theologi seperti Whitefield dan Spurge-

on selalu memakai  tafsirannya ini dan merekomendasikannya ke-

pada orang-orang untuk mereka baca. Whitefield membaca seluruh 

tafsirannya sampai empat kali; kali terakhir sambil berlutut. Spurgeon 

berkata, “Setiap hamba Tuhan harus membaca seluruh tafsiran ini 

dengan saksama, paling sedikit satu kali.” 

Sejak kecil Matthew sudah terbiasa menulis renungan atau ke-

simpulan firman Tuhan di atas kertas kecil. Namun, baru pada tahun 

1704 ia mulai sungguh-sungguh menulis dengan maksud mener-

bitkan tafsiran tersebut. Terutama menjelang akhir hidupnya, ia 

mengabdikan diri untuk menyusun tafsiran itu.  

Artikel  pertama tentang Kitab Kejadian diterbitkan pada tahun 

1708 dan tafsiran tentang keempat Injil diterbitkan pada tahun 1710. 

Sebelum meninggal, ia sempat menyelesaikan tafsiran Kisah Para Ra-

sul. Setelah kematiannya, Surat-surat dan Wahyu diselesaikan oleh 

13 orang pendeta berdasarkan catatan-catatan Matthew Henry yang 

telah disiapkannya sebelum meninggal. Edisi total seluruh kitab-ki-

tab diterbitkan pada tahun 1811.    

Tafsiran Matthew Henry berulang kali direvisi dan dicetak ulang. 

Artikel  itu juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti 

bahasa Belanda, Arab, Rusia, dan kini sedang diterjemahkan ke da-

lam bahasa Telugu dan Ivrit, yaitu bahasa Ibrani modern.  

Riwayat Hidup Matthew Henry 

Matthew Henry lahir pada tahun 1662 di Inggris. saat  itu gereja 

Anglikan menjalin hubungan baik dengan gereja Roma Katolik. Yang 

memerintah pada masa itu yaitu  Raja Karel II, yang secara resmi di-

angkat sebagai kepala gereja. Raja Karel II ingin memulihkan kekua-

saan gereja Anglikan sehingga orang Kristen Protestan lainnya sangat 

dianiaya. Mereka disebut dissenter, orang yang memisahkan diri dari 

gereja resmi. 

Puncak penganiayaan itu terjadi saat  pada 24 Agustus 1662 

lebih dari dua ribu pendeta gereja Presbiterian dilarang berkhotbah 

lagi. Mereka dipecat dan jabatan mereka dianggap tidak sah.  

Pada masa yang sulit itu lahirlah Matthew Henry. Ayahnya, 

Philip Henry, yaitu  seorang pendeta dari golongan Puritan, sedang-

kan ibunya, Katherine Matthewes, seorang keturunan bangsawan. 

sebab  Katherine berasal dari keluarga kaya, sepanjang hidupnya 

Philip Henry tak perlu memikirkan uang atau bersusah payah men-

cari nafkah bagi keluarganya, sehingga ia dapat dengan sepenuh hati 

mengabdikan diri untuk pelayanannya sebagai hamba Tuhan. 

Matthew yaitu  anak kedua. Kakaknya, John, meninggal pada usia 6 

tahun sebab  penyakit campak. saat  masih balita, Matthew sendiri 

juga terserang penyakit itu dan nyaris direnggut maut. 

Dari kecilnya Matthew sudah tampak memiliki bermacam-ma-

cam bakat, sangat cerdas, dan pintar. namun  yang lebih penting lagi, 

sejak kecil ia sudah mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati dan 

mengakui-Nya sebagai Juruselamatnya. Usianya baru tiga tahun ke-

tika ia sudah mampu membaca satu pasal dari Alkitab lalu memberi-

kan keterangan dan pesan tentang apa yang dibacanya.  

Dengan demikian Matthew sudah menyiapkan diri untuk tugas-

nya di kemudian hari, yaitu tugas pelayanan sebagai pendeta.  

Sejak masa kecilnya Matthew sudah diajarkan bahasa Ibrani, 

Yunani, dan Latin oleh ayahnya, sehingga walaupun masih sangat 

muda, ia sudah pandai membaca Alkitab dalam bahasa aslinya. 

Pada tahun 1685, saat  berusia 23 tahun, Matthew pindah ke 

London, ibu kota Inggris, untuk belajar hukum di Universitas London. 

Matthew tidak berniat untuk menjadi ahli hukum, ia hanya menuruti 

saran ayahnya dan orang lain yang berpendapat bahwa studi itu akan 

memberikan manfaat besar baginya sebab  keadaan di Inggris pada 

masa itu tidak menentu bagi orang Kristen, khususnya kaum Puritan. 

Beberapa tahun kemudian Matthew kembali ke kampung hala-

mannya. Dalam hatinya ia merasa terpanggil menjadi pendeta. Kemu-

dian, ia diperbolehkan berkhotbah kepada beberapa jemaat di sekitar 

Broad Oak. Ia menyampaikan firman Tuhan dengan penuh kuasa. Ti-

dak lama setelah itu, ia dipanggil oleh dua jemaat, satu di London dan 

satu lagi jemaat kecil di wilayah pedalaman, yaitu Chester. Setelah ber-

doa dengan tekun dan meminta petunjuk Tuhan, ia akhirnya memilih 

jemaat Chester, dan pada tanggal 9 Mei 1687 ia diteguhkan sebagai 

pendeta di jemaat tersebut. Waktu itu Matthew berusia 25 tahun. 

Di Chester, Matthew Henry bertemu dengan Katharine Hardware. 

Mereka menikah pada tanggal 19 Juli 1687. Pernikahan itu sangat har-

monis dan baik sebab  didasarkan atas cinta dan iman kepada Tuhan. 

Namun pernikahan itu hanya berlangsung selama satu setengah tahun. 

Katharine yang sedang hamil terkena penyakit cacar. Segera setelah 

melahirkan seorang anak perempuan, ia meninggal pada usia 25 tahun. 

Matthew sangat terpukul oleh dukacita ini. Anak Matthew dan Kather-

ine dibaptis oleh kakeknya, yaitu Pendeta Philip, ayah Matthew. 

Allah menguatkan Matthew dalam dukacita yang melandanya. 

Setelah satu tahun lebih telah berlalu, mertuanya menganjurkannya 

untuk menikah lagi. Pada Juli 1690, Matthew menikah dengan Mary 

Warburton. Tahun berikutnya, mereka diberkati dengan seorang bayi, 

yang diberi nama Elisabeth. Namun, saat baru berumur satu sete-

ngah tahun, ia meninggal sebab  demam tinggi dan penyakit batuk 

rejan. Setahun kemudian mereka mendapat seorang anak perempuan 

lagi. Dan bayi ini pun meninggal, tiga minggu kemudian. Betapa 

berat dan pedih penderitaan orangtuanya. Sesudah peristiwa ini, 

Matthew memeriksa diri dengan sangat teliti apakah ada dosa dalam 

hidup atau hatinya yang menyebabkan kematian anak-anaknya. Ia 

mengakhiri catatannya sebagai berikut, “Ingatlah bahwa anak-anak 

itu diambil dari dunia yang jahat dan dibawa ke sorga. Mereka tidak 

lahir percuma dan sekarang mereka telah boleh menghuni kota Yeru-

salem yang di sorga.” 

Beberapa waktu kemudian mereka mendapat seorang anak perem-

puan yang bertahan hidup. Demikianlah suka dan duka silih berganti 

dalam kehidupan Matthew Henry. Secara keseluruhan, Matthew Henry 

mendapat 10 anak, termasuk seorang putri dari pernikahan pertama. 

Selama 25 tahun Matthew Henry melayani jemaatnya di Chester. 

Ia sering mendapat panggilan dari jemaat-jemaat di London untuk 

melayani di sana, namun  berulang kali ia menolak panggilan tersebut 

sebab  merasa terlalu terikat kepada jemaat di Chester. Namun ak-

hirnya, ia yakin bahwa Allah sendiri telah memanggilnya untuk men-

jadi hamba Tuhan di London, dan sebab  itu ia menyerah kepada 

kehendak Allah.  

Pada akhir hidupnya, Matthew Henry terkena penyakit diabetes, 

sehingga sering merasa letih dan lemah. Sejak masa muda, ia bekerja 

dari pagi buta sampai larut malam, namun  menjelang akhir hayatnya 

ia tidak mampu lagi. Ia sering mengeluh sebab  kesehatannya yang 

semakin menurun. 

Pada bulan Juni 1714 ia berkhotbah satu kali lagi di Chester, 

tempat pelayanannya yang dulu. Ia berkhotbah tentang Ibrani 4:9, 

“Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat 

Allah.” Ia seolah-olah menyadari bahwa hari Minggu itu merupakan 

hari Minggu terakhir baginya di dunia ini. Secara khusus ia mene-

kankan hal perhentian di sorga supaya anak-anak Allah dapat me-

nikmati kebersamaan dengan Tuhan.  

Sekembalinya ke London, ia merasa kurang sehat. Malam itu ia 

sulit tidur dan menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Ia dipenuhi 

rasa damai dan menulis pesan terakhirnya: “Kehidupan orang yang 

mengabdikan diri bagi pelayanan Tuhan merupakan hidup yang pa-

ling menyenangkan dan penuh penghiburan.” Ia mengembuskan 

nafas terakhir pada tanggal 22 Juni 1714, dan dimakamkan tiga hari 

kemudian di Chester. Nas dalam kebaktian pemakamannya diambil 

dari Matius 25:21, “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali 

perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah se-

tia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung 

jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam keba-

hagiaan tuanmu.” 


kitab Ayub ini berdiri sendiri, tidak terkait dengan kitab lain, se-

hingga harus dijelaskan sendiri. Banyak salinan dari Alkitab 

Ibrani menempatkannya setelah Kitab Mazmur, dan beberapa lagi 

setelah Kitab Amsal, yang mungkin memberi alasan bagi beberapa 

sarjana untuk menganggapnya ditulis oleh Nabi Yesaya atau bebe-

rapa dari para nabi terakhir. Akan namun , sebab  isi kitab ini  berkait-

an dengan masa yang lebih kuno, maka kita tidak punya alasan 

untuk berpikir lain selain bahwa susunan isi kitab ini paling tepat 

ditempatkan pada urutan pertama dalam kumpulan kitab-kitab yang 

mengandung moral ilahi (yaitu Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, 

Kidung Agung – pen.). Selain itu, sebab  berisi pengajaran, kitab ini 

tepat untuk mendahului dan memberi pengantar kepada Kitab Maz-

mur, yang bersifat renungan, dan juga mendahului Kitab Amsal, yang 

bersifat praktis. Sebab bagaimana kita menyembah atau menaati 

Allah yang tidak kita kenal? Mengenai kitab ini,  

I. Kita yakin bahwa kitab ini diberikan melalui pengilhaman Allah, 

kendati kita tidak tahu pasti siapa yang menulisnya. Orang Ya-

hudi, kendati bukan teman dari Ayub, sebab  dia yaitu  seorang 

asing bagi lingkungan Israel, namun sebagai pemelihara sabda 

Allah, mereka selalu mempertahankan kitab ini di dalam Kitab 

Suci mereka. Kisah Ayub ini dirujuk oleh seorang rasul (Yak. 5:11) 

dan sebuah nas (5:13) dikutip oleh rasul lain, dengan cara yang 

biasa dipakai saat  mengutip Kitab Suci, ada tertulis, (1Kor. 3:19). 

Banyak penulis kuno berpendapat bahwa kitab ini ditulis oleh 

Musa sendiri di Midian, dan disampaikan kepada saudara-sau-

daranya yang menderita di Mesir, untuk mendukung dan meng-

hibur mereka sebab  beban-beban yang mereka tanggung. Serta 

juga untuk mendorong pengharapan mereka bahwa Allah pada 

waktunya akan melepaskan dan memulihkan mereka dengan lim-

pah, seperti yang telah diperbuat-Nya kepada Ayub si penderita 

yang sabar ini. Beberapa penafsir menduga kitab ini mula-mula 

ditulis dalam bahasa Arab, dan kemudian diterjemahkan ke da-

lam bahasa Ibrani oleh Salomo (menurut Monsieur Jurieu) atau 

penulis lain yang diilhami, untuk dipergunakan oleh jemaat Ya-

hudi. Yang tampak paling mungkin bagi saya yaitu  Elihu penulis-

nya, paling tidak berdasarkan percakapan-percakapan yang ada, 

sebab  (32:15-16) dia mencampur perkataan dari seorang ahli 

sejarah dengan seorang pembantah. Namun, mungkin Musa yang 

menulis dua pasal pertama dan yang terakhir, untuk menjelaskan 

percakapan-percakapan di dalamnya. Sebab dalam pasal-pasal itu 

Allah sering disebut Yehova, namun  tak satu pun di dalam semua 

percakapan pasal-pasal lain, kecuali pasal 12:9. Nama tersebut 

hanya sedikit diketahui oleh bapak-bapak leluhur sebelum Musa 

(Kel. 6:2). Jika Ayub sendiri yang menulisnya, beberapa dari pe-

nulis Yahudi mengakuinya sebagai seorang nabi di kalangan 

orang-orang non-Yahudi. Jika Elihu, kita mendapati dia memiliki 

suatu roh nubuatan yang memenuhinya dengan kata-kata dan 

mendesaknya dengan semangat (32:18). 

II. Kita yakin bahwa Kitab Ayub ini, sebab  hakikat isinya, yaitu  

sebuah sejarah yang sungguh-sungguh terjadi, bukan sebuah 

cerita romantis, kendati dialog-dialognya bersifat puitis. Tak dira-

gukan sungguh ada seorang manusia seperti Ayub. Nabi Yehezkiel 

menyebut namanya bersama Nuh dan Daniel (Yeh. 14:14). Cerita 

yang kita baca di sini tentang kemakmuran dan kesalehannya, 

musibah aneh yang menimpa dirinya dan kesabarannya yang 

patut dicontoh, inti pokok percakapannya dengan teman-teman-

nya, dan percakapannya dengan Allah melalui tiupan angin pu-

yuh, dengan pemulihannya pada akhirnya kepada suatu keadaan 

yang sangat makmur, tidak diragukan lagi yaitu  sungguh-sung-

guh benar, kendati sang penulis kitab yang penuh ilham ini sangat 

bebas dalam memakai  kata-katanya sendiri dalam mencerita-

kan persoalan antara Ayub dan teman-temannya.  

III. Kita yakin bahwa cerita ini sangat kuno, kendati kita tidak dapat 

menduga waktu tepatnya kapan Ayub hidup atau kapan kitab 

Ayub ditulis. Begitu banyak, begitu tampak jelas, tanda-tanda 

zaman kuno terlihat dalam kitab ini, sehingga kita punya alasan 

untuk menduga waktunya sama dengan Kitab Kejadian itu sen-

diri, dan Ayub yang saleh ini hidup sezaman dengan Ishak dan 

Yakub. Kendati tidak menjadi ahli waris dengan mereka dari janji 

Kanaan duniawi, namun ia memiliki harapan yang sama bersama 

mereka akan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sor-

gawi. Mungkin Ayub yaitu  keturunan dari Nahor, saudara Abra-

ham, yang memiliki anak sulung bernama Us (Kej. 22:21), dan 

yang dalam keluarganya agama masih terpelihara selama bebe-

rapa abad, seperti tampak dalam Kejadian 31:53, di mana Allah 

disebutkan tidak hanya sebagai Allah Abraham, namun  juga Allah 

Nahor. Ia hidup sebelum umur manusia diperpendek menjadi 70 

hingga 80 tahun, seperti di zaman Musa, sebelum persembahan 

korban ditetapkan hanya pada satu mezbah saja, sebelum kemur-

tadan besar bangsa-bangsa dari pengetahuan dan ibadah kepada 

Allah yang sejati, dan sebelum ada penyembahan berhala lain se-

lain kepada matahari dan bulan, yang dihukum oleh para hakim 

(31:26-28). Ia hidup di zaman saat  Allah lebih dikenal dengan 

nama Allah Yang Mahakuasa daripada Yehova. Sebab Ia dise-

but Shaddai – Yang Mahakuasa, lebih dari 30 kali di dalam kitab 

ini. Ia hidup di zaman saat  pengetahuan tentang Allah disam-

paikan bukan melalui tulisan, namun  melalui mulut dari generasi 

ke generasi. Sebab buktinya disebutkan di sini (8:8; 21:29; 15:18; 

5:1). Oleh sebab  itu kita punya alasan untuk menganggap bahwa 

Ayub hidup sebelum Musa, sebab di sini tidak disebutkan sama 

sekali tentang pembebasan Israel keluar dari Mesir, atau tentang 

pemberian hukum Taurat. Memang ada satu nas yang dapat ditaf-

sirkan sebagai menggambarkan penenggelaman Firaun (26:12): Ia 

telah meneduhkan laut dengan kuasa-Nya dan meremukkan Ra-

hab dengan kebijaksanaan-Nya (KJV: Ia membelah laut dengan 

kuasa-Nya), di mana nama Mesir sering disebut di dalam Alkitab 

sehubungan dengan hal ini, seperti Mazmur 87:4; Mazmur 89:11; 

Yesaya 51:9. Namun ayat itu dapat juga merujuk kepada gelom-

bang-gelombang laut yang angkuh. Kita menyimpulkan sebab nya 

bahwa kita di sini harus kembali kepada zaman bapak-bapak 

leluhur, dan, di samping sebab  kewenangannya, kita menerima 

kitab ini dengan penghormatan sebab  masa purbakalanya.  

IV. Kita yakin bahwa kitab ini berguna bagi jemaat, dan bagi setiap 

orang Kristen yang baik, kendati ada banyak bagian di dalamnya 

yang gelap dan sukar untuk dimengerti. Kita tidak dapat begitu 

pasti tentang arti yang sesungguhnya dari setiap kata dan frasa 

bahasa Arab yang kita temui di dalamnya. Kitab Ayub ini yaitu  

sebuah Artikel  yang memakan banyak kerja untuk dikaji. namun  

cukup jelas untuk membuat keseluruhannya menguntungkan dan 

semuanya itu ditulis bagi pembelajaran kita.  

1. Puisi yang mulia ini menghadirkan kepada kita, dengan peng-

gambaran yang sangat jelas dan hidup, lima hal ini di antara 

yang lainnya:  

(1) Sebuah monumen theologi awal mula sekali. Prinsip-prinsip 

atau dasar-dasar pertama dan agung dari terang alam, 

yang menjadi dasar pendirian agama alamiah, dengan jelas 

dan dengan kesepakatan umum dibentangkan sebagai ke-

benaran-kebenaran abadi, dan digambarkan dan ditekan-

kan sebagai kebenaran-kebenaran yang harus diterima 

oleh hati. Prinsip-prinsip ini dihadirkan kepada kita dalam 

suatu bentuk perdebatan yang hangat, panjang dan ter-

pelajar. Pernahkah keberadaan Allah, atribut kesempurna-

an-Nya dan kemuliaan-Nya, hikmat-Nya yang tak terselami, 

kuasa-Nya yang tak tertahankan, kemuliaan-Nya yang tak 

tergambarkan, keadilan-Nya yang tidak terbengkokkan, 

dan kedaulatan-Nya yang tak tertandingi, dibicarakan de-

ngan lebih jernih, lengkap, hormat dan dengan kefasihan 

ilahi selain di dalam kitab ini? Penciptaan dunia dan peme-

rintahan terhadapnya di sini dijelaskan dengan rasa ka-

gum, bukan sebagai sebuah dugaan yang indah, namun  un-

tuk meletakkan kewajiban yang paling kuat ke atas kita 

untuk takut dan melayani, untuk tunduk dan percaya ke-

pada Pencipta, Pemilik, Tuhan, dan Penguasa kita. Kebai-

kan dan kejahatan moral, kebajikan dan perilaku buruk, 

tidak pernah dibuat tampak lebih hidup, yaitu keindahan 

yang satu dan keburukan yang lain, selain di dalam kitab 

ini. Demikian pula halnya dengan aturan penghakiman 

Allah yang tidak dapat diganggu gugat lebih tegas dibentang-

kan di sini, sehingga berbahagia orang benar! Sebab mereka 

akan memakan hasil pekerjaannya. Celakalah orang fasik! 

Malapetaka akan menimpanya. Semua hal ini dihadirkan di 

sini bukan sebagai pertanyaan-pertanyaan sekolah untuk 

mengajak dunia terpelajar menjawab, bukan pula sebagai 

alat untuk mengajak dunia yang tidak terpelajar merasa 

kagum. Tidak, tampak jelas melalui kitab ini bahwa semua 

perkara itu yaitu  kebenaran-kebenaran suci yang kepasti-

annya tidak diragukan lagi, dan yang diakui serta diterima 

dengan hati tunduk oleh umat manusia yang bijaksana dan 

berakal sehat di setiap masa.  

(2) Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah contoh kesaleh-

an dari orang-orang bukan-Yahudi. Orang kudus agung ini 

bukan merupakan keturunan dari Abraham, namun  Nahor. 

Atau, jika dari Abraham, maka bukan dari Ishak, namun  dari 

salah satu anak dari gundik-gundik Abraham yang disuruh-

nya pergi ke Tanah Timur (Kej. 25:6). Atau jika dari Ishak, 

maka bukan dari Yakub, namun  Esau. Dengan demikian 

orang saleh yang agung ini ada di luar kovenan istimewa 

yang hanya diberikan kepada Abraham dan keturunannya. 

Ia bukan seorang Israel, bukan seorang pemeluk agama 

Israel, namun tidak seperti Esau dalam hal agama. Dan 

juga, ia seorang kesayangan sorga di atas bumi ini, tidak 

seperti Esau. sebab  itu, benarlah, sebelum Rasul Petrus 

memahaminya, bahwa setiap orang dari bangsa mana pun 

yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran 

berkenan kepada-Nya (Kis. 10:35). Ada anak-anak Allah 

yang tercerai-berai (Yoh. 11:52) di samping anak-anak Kera-

jaan yang telah dikumpulkan (Mat. 8:11-12).  

(3)  Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah eksposisi kitab 

tentang Sang Penyelenggara, dan sebuah jalan keluar yang 

jelas serta memuaskan dari banyak bagian yang sulit dan 

kabur tentang Sang Penyelenggara. Kemakmuran orang fasik 

dan penderitaan orang benar selalu dianggap sebagai dua 

hal yang sulit di dalam kitab ini. namun  keduanya di sini di-

uraikan dan didamaikan dengan kebijaksanaan, kemurnian, 

dan kebaikan ilahi, menjelang akhir dari segala hal ini.  

(4) Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah teladan kesa-

baran yang agung dan kebersandaran yang kuat kepada 

Allah di tengah-tengah bencana yang paling menyakitkan. 

Tulisan Tuan Richard Blackmore yang paling cemerlang, 

dalam Kata Pengantarnya bagi uraiannya tentang kitab ini, 

menjadikan Ayub seorang pahlawan yang tepat untuk se-

buah puisi kepahlawanan. Sebab, katanya, “Dia tampak 

berani dalam kesesakan dan gagah berani dalam kesengsa-

raan, mempertahankan kebajikannya, dan dengan itu mem-

pertahankan karakternya, sekalipun ada dalam hasutan 

tiada taranya yang bisa diciptakan oleh kejahatan neraka, 

sehingga dengan demikian ia memberikan contoh yang pa-

ling mulia akan keberanian menghadapi kesakitan dalam 

diam, karakter yang tidak kalah dengan karakter seorang 

pahlawan yang gagah bertempur.”  

(5) Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah gambaran ten-

tang Kristus, dan rincian tentang hal ini akan kita perhati-

kan lebih banyak pada pembahasan selanjutnya. Secara 

umum, Ayub yaitu  seorang penderita yang hebat, diko-

songkan dan direndahkan, namun  semuanya dengan tujuan 

untuk membawa dia kepada kemuliaannya yang lebih be-

sar. Demikian pula Kristus merendahkan diri supaya kita 

dapat ditinggikan. Cendekiawan Uskup Patrick mengutip 

St. Jerome lebih dari sekali waktu membicarakan Ayub se-

bagai sebuah perlambang dari Kristus, yang dengan meng-

abaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang 

disediakan bagi Dia, yang dianiaya, untuk sesaat, oleh 

manusia dan setan, dan sepertinya telah ditinggalkan Allah 

pula, namun  kemudian ditinggikan untuk menjadi seorang 

juru syafaat bagi para sahabatnya dan menambahkan de-

rita pada kesusahannya. Pada waktu sang rasul berbicara 

tentang ketekunan Ayub, dia segera memperhatikan apa 

yang pada akhirnya disediakan Tuhan, yaitu, bagi Tuhan 

Yesus (sebagaimana dipahami oleh beberapa penafsir), 

yang diperlambangkan oleh Ayub (Yak. 5:11). 

2. Dalam kitab ini kita menemukan,  

(1) Kisah penderitaan Ayub dan kesabarannya (ps. 1-2), tidak 

tanpa perpaduan dengan kelemahan manusia (ps. 3).  

(2) Perdebatan antara dirinya dan para sahabatnya, di mana, 

[1] Para penentang yaitu  Elifas, Bildad, dan Zofar.  

[2] Sang penanggap yaitu  Ayub.  

[3] Para penengah yaitu , pertama, Elihu (ps. 32-37). Kedua, 

Allah sendiri (ps. 38-41).  

(3) Akhir dari semuanya yaitu  kehormatan dan kemakmuran 

Ayub (ps. 42). Secara keseluruhan, kita belajar bahwa ke-

malangan orang benar banyak, namun  saat  TUHAN mele-

paskan mereka keluar dari semuanya itu, maka untuk mem-

buktikan kemurnian iman mereka … sehingga memperoleh 

puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan. 

 

 

PASAL  1  

Sejarah Ayub dimulai di sini dengan gambaran tentang,  

I.  Kesalehannya yang besar secara umum (ay. 1), dan sebuah 

contohnya (ay. 5).  

II.  Kemakmurannya yang besar (ay. 2-4).  

III. Niat jahat Iblis terhadap Ayub dan izin yang diperolehnya 

untuk mencobai keteguhan imannya (ay. 6-12).  

IV. Bencana-bencana mengejutkan yang menimpa dirinya, ke-

hancuran harta bendanya (ay. 13-17), dan kematian semua 

anaknya (ay. 18-19).  

V.  Kesabaran dan kesalehannya yang patut dicontoh di bawah 

tekanan masalah (ay. 20-22). Dalam semuanya ini dia men-

jadi suatu teladan dalam menghadapi penderitaan, yang dari-

nya tidak ada kemakmuran yang dapat menjamin kita, namun  

melaluinya kesetiaan dan kelurusan hati akan memelihara 

kita.  

Sifat Ayub dan Harta Kekayaannya 

(1:1-3) 

1 Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; 

ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. 2 Ia mendapat tujuh anak laki-

laki dan tiga anak perempuan. 3 Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, 

tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan 

budak-budak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga orang itu yaitu  

yang terkaya dari semua orang di sebelah timur. 

Mengenai Ayub kita diberi tahu di sini, 

I. Bahwa dia yaitu  seorang laki-laki, dan sebab  itu memiliki ber-

bagai hasrat seperti orang laki-laki pada umumnya. Ia yaitu  

orang Us, seorang yang terhormat, seorang terpandang dan me-

nonjol, seorang pemimpin dan punya kekuasaan. Negeri tempat 

dia tinggal yaitu  tanah Us, di bagian Timur Arab, yang terben-

tang ke arah Kasdim, dekat sungai Efrat, mungkin tidak jauh dari 

Ur-Kasdim, tempat Abraham dipanggil. Pada waktu Allah me-

manggil seseorang yang baik keluar dari negerinya, dia bukan 

tidak menyatakan diri-Nya dengan banyak saksi, namun  selalu 

membangkitkan orang lain untuk menjadi seorang pemberita ke-

benaran. Allah selalu memiliki sisa orang-orang-Nya yang setia di 

segala tempat, memeteraikan orang-orang dari setiap bangsa, dan 

juga dari setiap suku Israel (Why. 7:9). Merupakan suatu kebang-

gaan dari tanah Us memiliki seorang laki-laki yang begitu baik 

seperti Ayub. Nah, ini yaitu  Arab yang berbahagia, dan me-

rupakan suatu kepujian bagi Ayub bahwa dia menjadi seorang 

yang luar biasa baik di suatu tempat yang begitu jahat. Semakin 

buruk orang-orang yang ada di sekelilingnya, semakin baik ia. 

Namanya yaitu  Ayub, yang artinya seseorang yang dibenci dan 

dianggap sebagai seorang musuh. Menurut tafsiran lain, artinya 

seseorang yang mengeluh dan berkabung. Demikianlah, penderi-

taan yang dipikulnya dalam namanya dapat menjadi suatu peri-

ngatan bagi sukacitanya dalam kemakmurannya. Menurut Dr. 

Cave, nama Ayub berasal dari kata Jaab, yang artinya mengasihi 

atau mengingini, yang menyatakan betapa disambut kelahirannya 

oleh orangtuanya dan betapa ia sangat diingini oleh orangtuanya. 

Namun ada suatu waktu saat  dia mengutuk hari kelahirannya. 

Siapakah yang tahu apa jadinya dengan hari itu sekalipun dimu-

lai dengan sebuah pagi yang cerah? 

II. Bahwa Ayub yaitu  seorang yang sangat baik, terkenal saleh, dan 

lebih baik daripada orang-orang di sekitarnya: Orang itu saleh dan 

jujur. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kita, tidak ha-

nya ia memiliki nama baik di antara manusia (yaitu ia dikenal se-

orang yang jujur), namun  juga itu sudah menjadi wataknya. Sebab 

ini yaitu  penilaian Allah tentang dia, dan kita yakin bahwa hal 

itu berdasarkan kebenaran.  

1.  Ayub yaitu  seorang yang saleh, ia takut akan Allah, yaitu, 

menyembah Dia menurut kehendak-Nya, dan hidup menurut 

aturan hukum ilahi dalam segala sesuatu.  


 

2.  Ia bersungguh-sungguh dan tulus dalam hidup keagamaan-

nya: Ia menjauhi kejahatan. Bukan tanpa dosa, seperti yang di-

akuinya sendiri (9:20): sekalipun aku tidak bersalah, Ia akan 

menyatakan aku bersalah. namun , dengan menghormati semua 

perintah Allah dan bertujuan untuk berperilaku sebaik mung-

kin, dia sungguh-sungguh  seorang yang baik seperti kelihat-

annya, dan tidak bertentangan dalam kesalehannya. Hatinya 

tulus dan matanya lurus. Kesungguhan atau ketulusan hati 

yaitu  kesempurnaan Injili. Tidak ada agama yang tanpa ke-

sungguhan.  

3.  Ia jujur dalam perkaranya dengan Allah dan manusia, setia 

dengan janji-janjinya, teguh dengan segala putusan hatinya, 

setia pada setiap kepercayaan yang dipercayakan kepadanya, 

dan sadar akan semua yang dikatakan dan dilakukannya (Lih. 

Yes. 33:15). Kendati dia bukan seorang dari  Israel, ia sung-

guh seorang Israel sejati.  

4.  Takut akan Allah yang memerintah dalam hatinya merupakan 

aturan yang mengatur seluruh perilakunya. Hal ini menjadi-

kan dirinya saleh dan jujur, di dalam hati dan seluruhnya bagi 

Allah, bagi apa saja dan sejalan dengan agama. Inilah yang 

menjaga dia tetap dekat dan terus melakukan kewajibannya. 

Ia takut akan Allah, memiliki rasa kagum kepada keagungan-

Nya, rasa hormat kepada kekuasaan-Nya, dan kengerian akan 

murka-Nya.  

5.  Ia gentar akan pikiran untuk melakukan apa yang salah. De-

ngan rasa jijik dan benci luar biasa, serta kewaspadaan terus-

menerus, dia menjauhi kejahatan, menghindari semua jebakan 

dosa dan menjauhinya, dan semua ini oleh sebab  takut akan 

Allah (Neh. 5:15). Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan 

(Ams. 8:13) dan sebab  takut akan TUHAN orang menjauhi ke-

jahatan (Ams. 16:6). 

III. Bahwa dia yaitu  seorang yang sangat kaya di dunia ini dan 

menjadi seorang tokoh yang terkemuka di negerinya. Ia makmur 

namun  saleh. Kendati hal ini sukar dan langka, namun  bukan tidak 

mungkin, bagi seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Bagi 

Allah hal ini bahkan mungkin, dan oleh anugerah-Nya cobaan 

kekayaan dunia bukan tidak dapat diatasi. Ia saleh, dan kesaleh-

annya yaitu  teman bagi kekayaannya. Sebab kesalehan memiliki 

janji akan kehidupan yang sekarang. Ia kaya raya dan kekayaan-

nya membuat kesalehannya berkilau, dan memberikan kepadanya 

banyak peluang lebih besar untuk berbuat baik sebab  kebaikan 

hatinya. Perbuatan salehnya yaitu  ucapan syukur kepada Allah 

atas kekayaannya. Dan, dalam kelimpahan segala sesuatu yang 

baik yang Allah berikan kepadanya, dia melayani Allah dengan 

lebih gembira.  

1. Ia memiliki sebuah keluarga yang besar. Ia menonjol dalam 

agama, namun bukanlah seorang petapa atau hidup menyen-

diri, melainkan sorang ayah dan tuan dari sebuah keluarga. 

Merupakan contoh kemakmurannya bahwa rumahnya dipe-

nuhi dengan anak-anak, yang yaitu  milik pusaka dari pada 

TUHAN (Mzm. 127:3). Ia mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga 

anak perempuan (ay. 2). Sebagian keluarga dibangun dengan 

anak-anak dari setiap jenis kelamin, dan ada juga yang lebih 

banyak dengan jenis kelamin yang lebih mulia. Anak-anak ha-

rus dipandang sebagai berkat, sebab demikianlah mereka ada-

nya, terutama bagi orang-orang yang baik, yang akan memberi 

mereka pengajaran yang baik, dan menunjukkan mereka tela-

dan yang baik, memanjatkan doa-doa bagi mereka. Ayub me-

miliki banyak anak, namun dia tidak memeras orang, melainkan 

sangat bermurah hati, banyak memberi kepada orang miskin 

(31:17, dst.). Orang-orang yang memiliki keluarga besar untuk 

dipelihara harus mempertimbangkan bahwa apa yang mereka 

berikan dengan bijaksana untuk sedekah, itu yaitu  untuk ke-

pentingan yang terbaik dan menyediakan dalam dana yang ter-

baik untuk kepentingan anak-anak mereka.  

2. Ia memiliki harta benda yang baik untuk menghidupi keluarga-

nya. Milik kepunyaannya sangat besar jumlahnya (ay. 3). Keka-

yaan disebut milik kepunyaan, berdasarkan kebiasaan berbicara 

waktu itu. Sebab jika tidak, bagi jiwa dan dunia lain, kekayaan 

hanyalah bayangan, segala sesuatu yang lenyap (Ams. 23:5). 

Hanya dalam hikmat sorgawi kita mewarisi harta (Ams. 8:21). 

Pada waktu itu, saat  bumi belum terisi penuh, keadaannya 

sama seperti yang terjadi sekarang di sebagian perkebunan, 

yaitu orang dapat dengan mudah memiliki cukup lahan jika 

mereka memiliki cukup alat mengelolanya. Oleh sebab  itu, 

harta kekayaan Ayub dijelaskan bukan dengan jumlah hektar 

tanah yang dimilikinya, namun ,  

(1) Dengan jumlah ternaknya, kambing domba, unta, lembu, 

dan keledai muda. Jumlah dari masing-masing ternak ter-

sebut disebutkan di sini, mungkin bukan jumlah yang te-

pat, melainkan hanya perkiraan saja, lebih kurang. Kam-

bing domba disebut lebih dulu, sebab yang paling umum 

dipakai  dalam keluarga, seperti yang diperhatikan oleh 

Salomo (Ams. 27:23, 26-27): Domba-domba muda untuk pa-

kaianmu, dan susu kambing untuk makananmu dan makan-

an keluargamu. Ayub, sepertinya, juga memiliki emas dan 

perak seperti halnya Abraham (Kej. 13:2). namun  saat itu 

orang-orang menilai harta kekayaan mereka dan tetangga 

mereka dengan apa yang berguna untuk keperluan lang-

sung daripada yang hanya untuk dipamerkan atau untuk 

status saja, yang hanya cocok untuk ditimbun. Segera 

sesudah Allah menciptakan manusia, dan melengkapinya 

dengan kebutuhan hidup berupa tanaman dan buah-buah-

an, Ia membuatnya kaya dan besar dengan memberinya 

kekuasaan atas seluruh ciptaan (Kej. 1:28). Kekuasaan atas 

ciptaan ini masih terus diberikan kepada manusia, kendati 

kejatuhannya (Kej. 9:2), dan masih diperhitungkan sebagai 

salah satu bentuk yang paling utama dari kekayaan, kehor-

matan, dan kekuasaan manusia (Mzm. 8:7).  

(2) Dengan jumlah budaknya. Ia mempunyai sangat banyak 

sanak keluarga dan pekerja, yang banyak dipekerjakan 

baginya dan dipelihara olehnya. Jadi, dia memiliki kehor-

matan dan melakukan kebaikan. Namun dia juga dibebani 

oleh perhatian dan biaya pemeliharaan yang besar. Lihat-

lah kesia-siaan dunia ini. Saat harta benda bertambah, 

bertambah pula orang yang harus menjaga dan memeli-

haranya, dan dengan bertambahnya harta, bertambah pula 

orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntung-

an pemiliknya selain dari pada melihatnya? (Pkh. 5:10). 

Singkat kata, Ayub yaitu  yang terkaya dari semua orang 

di sebelah timur. Dan mereka yaitu  yang paling kaya di 

dunia: orang yang benar-benar kaya yaitu  yang bertam-

bah-tambah lebih dari yang di timur (Yes. 2:6). Kekayaan 

Ayub, bersama hikmatnya, membuatnya mendapat kehor-

matan dan kekuasaan di negerinya, yang menjadikan diri-

nya duduk sebagai kepala (ps. 29). Ayub saleh dan jujur, 

namun juga bertambah kaya, atau tepatnya, sebab  itu 

bertambah kaya. Sebab kejujuran yaitu  kebijakan yang 

terbaik, dan kesalehan serta amal biasanya merupakan 

cara yang paling pasti untuk berkembang. Ia memiliki ru-

mah tangga yang besar dan banyak bisnis, namun tetap 

memelihara rasa takut akan Allah dan ibadah kepada-Nya. 

Ia dan keluarganya semua beribadah kepada TUHAN. Kisah 

tentang kesalehan dan kemakmuran Ayub ada sebelum 

sejarah penderitaannya yang hebat, untuk menunjukkan 

bahwa tidak ada yang akan melindungi kita dari bencana 

dan kemalangan yang umum menimpa semua manusia da-

lam hidup ini. Kesalehan juga tidak akan melindungi kita, 

seperti yang keliru dipikirkan para sahabat Ayub, sebab se-

gala sesuatu sama bagi sekalian. Kekayaan juga tidak, se-

perti yang disangka oleh dunia yang ceroboh ini (Yes. 47:8). 

Aku bertakhta seperti ratu, dan aku tidak akan pernah ber-

kabung. 

Perhatian Ayub kepada Anak-anaknya 

(1:4-5) 

4 Anak-anaknya yang lelaki biasa mengadakan pesta di rumah mereka 

masing-masing menurut giliran dan ketiga saudara perempuan mereka diun-

dang untuk makan dan minum bersama-sama mereka. 5 Setiap kali, apabila 

hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan 

mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersem-

bahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: 

“Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di 

dalam hati.” Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa. 

Kita di sini membaca lebih lanjut kisah tentang kemakmuran dan ke-

salehan Ayub. 

I. Kebahagiaan Ayub bersama dengan anak-anaknya diperhitung-

kan di sini sebagai suatu contoh dari kemakmurannya. Sebab 

penghiburan di dunia ini bersifat sementara, hanya dipinjam, 

bergantung pada orang lain, dan demikian pula mereka yang ada 

di sekitar kita. Ayub sendiri menyebutnya sebagai salah satu dari 

sukacita terbesar dari harta kekayaannya, yaitu bahwa anak-anak 

ada di sekelilingnya (29:5). Mereka selalu berpesta secara bergilir-

Kitab Ayub 1:4-5 

an pada waktu-waktu tertentu (ay. 4). Mereka pesta di rumah me-

reka masing-masing. Merupakan suatu penghiburan bagi Ayub,  

1. Untuk melihat anak-anaknya bertumbuh dan mapan di dunia 

ini. Semua anak laki-lakinya berada di rumah masing-masing, 

mungkin sudah menikah, dan kepada masing-masing mereka, 

Ayub memberi suatu bagian yang pantas untuk dinikmati. 

Tanaman yang tadinya menjadi tanaman buah zaitun di sekeli-

ling mejanya kini dipindahkan ke meja mereka masing-masing.  

2. Untuk melihat anak-anaknya berkembang dalam usaha mere-

ka, dan sanggup untuk mengadakan pesta bagi satu sama 

lain, serta mampu menanggung keperluan hidup diri sendiri. 

Orangtua yang baik mengingini, memajukan, dan bergembira 

dalam kekayaan dan kemakmuran anak-anak mereka seperti 

miliknya sendiri.  

3. Untuk melihat anak-anaknya tetap sehat, tidak ada penyakit 

dalam rumah mereka, sebab hal itu dapat mengganggu pesta 

mereka dan mengubahnya menjadi dukacita.  

4. Terutama untuk melihat anak-anaknya hidup dalam kasih, 

kesatuan, dan saling menyayangi, tidak ada caci maki atau 

pertengkaran di antara mereka, tidak ada keterasingan, tidak 

ada rasa malu dan sungkan antara satu dan yang lain, tidak 

ada saling menang sendiri, melainkan, kendati setiap orang 

tahu milik kepunyaannya sendiri, mereka hidup dengan sa-

ngat bebas seakan-akan mereka saling memiliki semua secara 

bersama. Merupakan penghiburan di hati orangtua, dan indah 

di mata semua orang, untuk melihat saudara-saudara hidup 

rukun bersama. Sungguh alangkah indahnya! (Mzm. 133:1).  

5. Penghiburannya semakin bertambah saat  ia melihat saudara 

laki-laki begitu baik hati kepada saudara perempuannya, se-

hingga mereka mengundang saudara-saudara perempuan un-

tuk datang berpesta bersama. Sebab saudara-saudara perem-

puan itu begitu sederhana sehingga tidak akan pergi sebelum 

diundang. Saudara laki-laki yang merendahkan saudara 

perempuannya, tidak mau menemani mereka, dan tidak peduli 

atas kenyamanan mereka, sungguh merupakan saudara yang 

kurang ajar, bertabiat buruk, bukan anak-anak Ayub. Seperti-

nya pesta perjamuan mereka begitu tenang dan pantas sebab  

saudara-saudara perempuan mereka mau menemani mereka 

berpesta.  

6. Mereka berpesta di rumah mereka masing-masing, bukan di 

tempat umum, yang dapat membuat mereka menjadi lebih 

terbuka bagi pencobaan, sehingga kurang pantas. Kita tidak 

mendapati bahwa Ayub sendiri ikut berpesta bersama anak-

anaknya. Tak diragukan bahwa mereka pasti mengundangnya 

dan pastilah ia akan sangat disambut di meja mereka. Bukan 

sebab  marah atau punya tabiat buruk atau kurang kasih 

sayang, sehingga Ayub menjauh dari pesta anak-anaknya, 

melainkan sebab  dia sudah sangat tua dan telah mati terha-

dap hal-hal yang demikian, seperti Barzilai (2Sam. 19:35). 

Juga, sebab  ia menganggap bahwa orang-orang muda akan 

menjadi lebih bebas dan gembira jika hanya sendirian saja 

tanpa kehadiran orang lain. Namun Ayub tidak mau menge-

kang anak-anaknya dari hiburan yang ia jauhi itu. Orang-

orang muda dapat diberikan kebebasan orang muda asalkan 

mereka menjauhkan diri dari nafsu orang muda. 

II. Kepedulian Ayub yang besar terhadap anak-anaknya diperhitung-

kan sebagai suatu tindakan dari kesalehannya: Sebab kita sung-

guh-sungguh ada sebagaimana kita terhubung satu sama lain. 

Orang-orang yang baik akan berbuat baik kepada anak-anak me-

reka, dan terutama melakukan sedapat mungkin bagi kebaikan 

jiwa mereka. Perhatikanlah (ay. 5), perhatian saleh Ayub bagi ke-

sejahteraan rohani anak-anaknya, 

1. Ia khawatir terhadap mereka dengan kekhawatiran ilahi. Demi-

kian pula seharusnya kita terhadap diri sendiri dan orang-orang 

yang paling kita sayangi, sejauh hal itu memerlukan perhatian 

dan usaha kita bagi kebaikan mereka. Ayub telah memberikan 

pendidikan yang baik kepada anak-anaknya, merasa terhibur 

oleh mereka dan memiliki pengharapan yang baik tentang mere-

ka. Namun dia tetap berkata, “Mungkin anak-anakku sudah 

berbuat dosa selama hari-hari mereka berpesta lebih dari 

waktu-waktu yang lain, terlalu bergembira, terlalu banyak dan 

bebas makan dan minum, dan telah mengutuki Allah di dalam 

hati.”  Yaitu, mungkin “telah melayani pikiran-pikiran duniawi 

dan tidak ingat kepada Tuhan, berpikir yang tidak patut ten-

tang Allah dan penyelenggaraan-Nya dan tidak beribadah se-

bagaimana mestinya.” Pada waktu mereka kenyang, mereka 

mau menyangkal Allah dan berkata: Siapa TUHAN itu? (Ams. 

30:9), hendak melupakan Allah dan berkata, Kekuasaanku dan 

kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekaya-

an ini (Ul. 8:17). Tidak yang lebih menarik pikiran menjauh 

dari Allah selain kesenangan daging. 

2. Segera sesudah hari-hari berpesta mereka telah berlalu, Ayub 

memanggil mereka untuk mengadakan ibadah bersama. Bu-

kan saat  pesta mereka sedang berlangsung, biarlah mereka 

menikmati waktu berpesta. Ada waktu bagi segala sesuatu, 

melainkan saat  pesta tersebut telah usai, ayah mereka yang 

baik mengingatkan mereka bahwa mereka harus tahu kapan 

harus berhenti dan tidak berpesta pora setiap hari. Kendati 

mereka memiliki hari-hari pesta setiap minggu, janganlah me-

reka melakukannya sepanjang tahun. Ada hal lain untuk me-

reka kerjakan juga. Perhatikanlah, orang-orang yang bergembira 

harus menemukan waktu untuk bersungguh-sungguh juga. 

3. Ayub memanggil mereka untuk menyiapkan diri untuk ber-

ibadah, memanggil dan menguduskan mereka, memerintahkan 

mereka untuk memeriksa hati nurani mereka dan bertobat 

dari kesalahan yang telah mereka lakukan selama berpesta, 

membuang segala yang sia-sia dan menyiapkan hati untuk 

beribadah. Jadi, Ayub mengatur mereka dengan wewenangnya 

demi kebaikan mereka, dan mereka pun tunduk kepadanya, 

meskipun mereka sudah berumah tangga sendiri. Ia tetap 

menjadi imam dalam keluarga dan ke mezbahnya mereka 

semua datang berkumpul, menghargai bagian mereka dalam 

doa-doanya lebih daripada bagian mereka dalam kekayaannya. 

Orangtua tidak dapat memberi anugerah kepada anak-anak 

mereka sebab  Allah-lah yang menguduskan, namun  mereka 

dapat memberi peringatan dan nasihat yang tepat untuk 

mendorong kekudusan hidup mereka. Dalam baptisan mereka 

dikuduskan bagi Allah. Kiranya menjadi kerinduan dan usaha 

kita agar mereka dapat dikuduskan bagi Allah.  

4. Ayub mempersembahkan korban bagi mereka, baik untuk me-

nebus dosa-dosa yang dikhawatirkannya telah mereka lakukan 

selama hari-hari berpesta dan untuk memohon bagi mereka 

belas kasihan Allah untuk mengampuni mereka. Juga, untuk 

memohonkan anugerah Allah untuk mencegah pikiran mereka 

menjadi cemar dan perilaku mereka menjadi rusak akibat gaya 

hidup mereka yang bebas. Dengan begitu, untuk memelihara 

kesalehan dan kemurnian hidup mereka. 

Sebab dengan mata yang berduka dia sering mengamati, 

Terserak dalam kesenangan yang licin tapi mematikan,  

Sampah-sampah kebajikan yang telah dikuasai nafsu, 

Dan bangkai yang mengapung dari kesucian yang hancur. 

– Sir R. Blackmore. 

Ayub, seperti Abraham, memiliki sebuah mezbah bagi ke-

luarganya, yang di atasnya, sepertinya, dia mempersembahkan 

korban setiap hari. Namun, pada kesempatan yang langka ini, 

dia mempersembahkan lebih banyak korban daripada biasa-

nya, dan dengan lebih khidmat, sebanyak jumlah mereka seka-

lian, satu korban untuk setiap anak. Orangtua seharusnya 

secara khusus memohon kepada Allah untuk anggota keluarga 

mereka. “Untuk anak ini aku berdoa, sesuai dengan wataknya, 

kecerdasannya, dan keadaannya yang khas,” seharusnya dima-

sukkan ke dalam doa dan usaha mereka. saat  korban-korban 

ini akan dipersembahkan,  

(1) Ia bangun pagi-pagi, sebagai seorang yang peduli supaya 

anak-anaknya tidak terbaring lama di bawah kesalahan 

dan sebagai seorang yang hatinya terpaku pada pekerjaan-

nya dan kerinduannya pada pekerjaannya tersebut.  

(2) Ia mengharuskan anak-anaknya untuk menghadiri ibadah 

korban supaya mereka dapat bergabung dengannya di da-

lam doa-doa yang dipanjatkan bersama dengan korban, su-

paya dengan menyaksikan penyembelihan korban, mereka 

dapat merendahkan diri dan menyesali dosa-dosa mereka, 

yang sebab nya mereka seharusnya pantas untuk mati. 

Juga, agar dengan melihat korban itu dipersembahkan, 

mereka dapat dituntun kepada Sang Pengantara. Pekerjaan 

yang sungguh-sungguh ini akan menolong mereka bersikap 

saleh kembali setelah hari-hari kegirangan mereka.  

5. Demikianlah Ayub melakukannya setiap kali, dan tidak hanya 

sewaktu ada kesempatan saja. Sebab barangsiapa telah mandi, 

ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya 

(Yoh. 13:10). Tindakan pertobatan dan iman harus sering di-

perbarui, sebab kita sering mengulangi pelanggaran kita. Se-

panjang hari, setiap hari, dia mempersembahkan korbannya,

 setia dengan ibadahnya, tidak mengabaikannya sehari pun. Iba-

dah-ibadah khusus tidak membebaskan kita untuk melakukan 

ibadah-ibadah umum yang sudah ditetapkan. Orang yang me-

layani Allah dengan benar, akan melayani Dia terus-menerus.  

Iblis Menghadap Allah dan  

Diizinkan untuk Menulahi Ayub 

(1:6-12) 

6 Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di an-

tara mereka datanglah juga Iblis. 7 Maka bertanyalah TUHAN kepada Iblis: 

“Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Dari perjalanan me-

ngelilingi dan menjelajah bumi.” 8 Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: 

“Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun 

di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah 

dan menjauhi kejahatan.” 9 Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Apakah dengan 

tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? 10 Bukankah Engkau yang 

membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? 

Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin 

bertambah di negeri itu. 11 namun  ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala 

yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” 12 Maka fir-

man TUHAN kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasa-

mu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.” Ke-

mudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN. 

Ayub tidak hanya begitu kaya dan besar, namun  juga begitu bijaksana 

dan baik, dan mendapat perkenan sorga maupun bumi, sehingga kita 

dapat menduga gunung kekayaannya berdiri begitu kuat sampai 

tidak dapat digoyahkan. namun  di sini kita menemukan suatu awan 

tebal yang berkumpul di atas kepalanya, mengandung suatu prahara 

yang mengerikan. Kita jangan pernah memikirkan diri aman dari ba-

dai sementara kita berada di dalam dunia bawah ini. Sebelum kita 

diberi tahu bagaimana kesulitan mengejutkan dan menjerat Ayub di 

sini di dalam dunia yang kelihatan ini, kita diberi tahu bagaimana 

kesulitan itu disepakati  di dalam dunia roh. Si Iblis, sebab  memiliki 

suatu kebencian yang hebat kepada Ayub sebab  kesalehannya yang 

menonjol, memohon dan memperoleh izin untuk menyiksa Ayub. Per-

cakapan antara Allah dan Iblis ini sama sekali tidak merendahkan 

kebenaran kisah Ayub, sebab  percakapan ini bersifat kiasan saja, 

seperti yang dilihat oleh Mikha (1Raj. 22:19, dst.). Ini sebuah kiasan 

yang dirancang untuk memperlihatkan niat jahat si Iblis terhadap 

orang-orang yang baik, dan bahwa niat jahatnya itu selalu diawasi 

dan dikekang oleh Allah. Selain itu, kiasan ini menyatakan lebih lan-

jut bahwa segala urusan di dunia ini sangat menjadi pusat perhatian 

dari dunia yang tidak kelihatan itu. Dunia tersebut begitu gelap bagi 

kita, namun  kita terlentang sangat terbuka kepadanya. Nah di sini kita 

menemukan, 

I. Iblis di antara anak-anak Allah (ay. 6), seorang penentang (demi-

kianlah arti dari nama Iblis) Allah, manusia, dan semua kebaikan: 

dia memaksakan diri untuk masuk ke dalam suatu perkumpulan 

anak-anak Allah yang datang untuk menghadap TUHAN. Hal ini 

berarti entah,  

1. Sebuah pertemuan orang-orang saleh di bumi. Para penyem-

bah Allah, di zaman bapak-bapak leluhur, disebut anak-anak 

Allah (Kej. 6:2). Waktu itu mereka biasa berkumpul untuk ber-

ibadah pada waktu-waktu yang tertentu. Sang Raja masuk un-

tuk menyambut para tamunya. Mata Allah ada di mana-mana. 

namun  ada seekor ular di Firdaus, seorang Iblis di antara anak-

anak Allah. saat  mereka berkumpul, si Iblis ikut bersama 

mereka, untuk mengacaukan dan mengganggu mereka, berdiri 

menentang mereka. TUHAN kiranya menghardik engkau, hai 

Iblis! Atau juga,  

2. Itu yaitu  suatu pertemuan para malaikat di sorga. Malaikat 

yaitu  anak-anak Allah (38:7). Mereka datang untuk memberi-

kan laporan tentang kegiatan mereka di bumi dan untuk me-

nerima petunjuk-petunjuk yang baru. Iblis yaitu  salah satu 

di antara mereka pada mulanya. namun  Wah, engkau sudah 

jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar! Namun dia 

tidak ada hak lagi di dalam perkumpulan tersebut sekarang, 

namun digambarkan di sini ada di antara mereka, entah di-

panggil untuk dimintai tanggung jawab sebagai seorang pen-

jahat atau menyusup sebagai seorang pengganggu. 

II. Pemeriksaan Allah, bagaimana dia datang ke sini (ay. 7): Maka 

bertanyalah TUHAN kepada Iblis: “Dari mana engkau?” Allah tahu 

persis dari mana dia datang, dan dengan rancangan apa dia 

datang ke sini. Allah tahu seperti halnya para malaikat yang baik 

datang untuk melakukan kebaikan, dia datang untuk meminta 

izin melakukan kecelakaan. namun  dengan memanggilnya untuk 

memberikan laporan, Allah menunjukkan kepada Iblis bahwa dia 

berada di bawah pengawasan dan kendali. Dari mana engkau? Ia 

menanyakan hal ini,  

1. sebab  ingin tahu apa yang membawanya ke sini. Apakah juga 

Saul termasuk golongan nabi? Iblis di antara anak-anak Allah? 

Ya, sebab dia menyamar sebagai Malaikat Terang (2Kor. 11:13-

14), dan tampak mirip salah satu dari mereka. Perhatikanlah, 

ada kemungkinan bahwa seseorang dapat menjadi anak Iblis 

namun ditemukan ada dalam perkumpulan anak-anak Allah 

di dunia ini, dan di sana mungkin ia tidak terlihat oleh manu-

sia, namun ditantang oleh Allah yang maha melihat semua-

nya. Saudara, bagaimana engkau masuk ke mari? Atau,  

2. Mau mencari tahu apa yang telah dilakukannya sebelum dia da-

tang ke sini. Pertanyaan yang sama mungkin juga disampaikan 

kepada yang lainnya yang datang menghadap TUHAN, “Dari 

mana engkau?” Kita semua bertanggung kepada Allah atas se-

mua tempat dan semua jalan yang kita lewati. 

III. Laporan Iblis tentang dirinya dan tentang perjalanannya menge-

lilingi bumi. Aku datang (katanya) dari perjalanan mengelilingi dan 

menjelajah bumi.  

1. Ia tidak dapat mengaku-ngaku sudah melakukan kebaikan, 

tidak mampu memberi laporan yang demikian seperti halnya 

anak-anak Allah, yang datang menghadap TUHAN, yang datang 

dari melaksanakan perintah-perintah-Nya, melayani kepenting-

an kerajaan-Nya, dan melayani orang-orang yang mewarisi kese-

lamatan.  

2. Iblis tidak akan mengakui bahwa dia telah melakukan suatu 

celaka, bahwa dia telah menjauhkan orang-orang dari perse-

kutuan dengan Allah, menipu dan membinasakan jiwa. Tidak, 

Aku tidak berbuat jahat (Ams. 30:20). Hambamu tidak pergi ke 

mana-mana. Dengan berkata bahwa dia pasti telah berjalan 

mengelilingi dan menjelajah bumi, dia menyatakan bahwa dia 

telah menahan diri di dalam batas-batas yang diizinkan kepa-

danya, dan tidak melanggar batas. Sebab naga besar itu dilem-

parkan ke bumi (Why. 12:9) dan belum dikurung dalam tempat 

siksaan. Sementara kita ada di atas bumi ini, kita ada di dalam 

jangkauannya, dan dengan begitu banyak kelicikan, ketangkas-

an, dan kecerdikan, dia pasti telah menembus ke dalam semua 

sudut bumi, sehingga kita tidak dapat berada di tempat yang 

aman dari cobaannya.  

3. Ia tampaknya mengungkapkan beberapa tabiatnya.  

(1) Mungkin ia berkata-kata dengan rasa bangga, dengan sikap 

yang a