Tampilkan postingan dengan label ayub 15. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 15. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 15


  Ia mengakui bahwa se-

masa hidup makmur dahulu, ia acapkali menyenangkan diri 

dengan rencana-rencana yang harus dilakukannya beserta 

harapan akan menikmati hasilnya. Namun, sekarang ia me-

mandang masa itu telah berlalu atau mendekati akhirnya. 

Semua rencana itu telah gagal dan harapan-harapannya telah 

hancur. Dahulunya ia berpikir untuk meluaskan wilayahnya, 

memperbesar kumpulan ternaknya, dan mengamankan kese-

jahteraan anak-anaknya. Ia mungkin saja mempunyai rencana 

saleh untuk memajukan agama di negerinya, mengatasi pen-

deritaan, memperbarui hal-hal yang cemar, membantu kaum 

miskin, dan mungkin juga menggalang dana untuk amal. Na-

mun Ayub berkesimpulan bahwa sekarang semua pikiran ini 

sudah berakhir. Ia tidak akan pernah beroleh kepuasan meli-

hat semua rencana itu terlaksana. Perhatikanlah, akhir hidup 

kita akan menjadi akhir seluruh perencanaan dan pengharap-

an kita di dunia ini. Namun, apabila kita melekat kepada 

TUHAN dengan sepenuh hati, maka kematian pun tidak akan 

menggagalkan tujuan itu. sebab  mendengar nasihat-nasihat 

baru, Ayub terus diperhadapkan kepada rasa tidak nyaman 

(ay. 12): sebab  telah gagal rencana-rencananya, malam hen-

dak dijadikan mereka siang. Dalam kesia-siaan mereka, ada 

orang-orang yang hendak mengubah malam menjadi siang dan 

siang menjadi malam. Namun, Ayub berbuat demikian di te-

ngah kesesakan dan penderitaan rohnya, dan ini mendatang-

kan rintangan baginya, 

(1) Untuk beristirahat pada malam hari. Matanya tidak dapat 

terpejam, sehingga malam hari melelahkan dia seperti hal-

nya kerja keras pada siang hari. 

(2) Untuk menikmati siang hari. “Terang pagi hari sangat di-

nantikan, namun sebab  kegelapan batin ini, kesenangan 

yang bisa diperoleh darinya segera lenyap. Bagiku, siang 

hari sama menyedihkannya dengan gelap pekatnya malam 

hari” (Ul. 28:67). Lihatlah, betapa kita harus mensyukuri 

kesehatan dan kenyamanan yang memampukan kita me-

nyambut baik kegelapan malam maupun terang pagi hari. 

2. Segala sesuatu yang diharapkan Ayub dari dunia ini akan se-

gera terkubur bersamanya. sebab  itu, sungguh merupakan 

olok-olok baginya untuk berpikir tentang hal-hal besar seperti 

semua harapan yang diucapkan mereka untuk membuai diri-

nya (5:19; 8:21; 11:17). “Wahai! Kamu hanya membodohiku.” 

(1) Ayub melihat dirinya sedang masuk kubur. Rumah yang 

menyenangkan, tempat tidur yang nyaman, dan hubungan 

yang cocok, merupakan beberapa hal yang memuaskan 

kita di dunia ini. Namun Ayub tidak mengharapkan satu 

pun dari hal-hal ini di atas tanah. Semua yang dirasakan 

dan dilihatnya sungguh tidak menyenangkan dan tidak 

nyaman. Sebaliknya, ia mengharapkan hal-hal itu di bawah 

tanah. 

[1] Ia tidak mengandalkan rumah apa pun selain kubur saja 

(ay. 13): “Jika aku menunggu, jika ada suatu tempat 

yang mampu membuatku merasa nyaman kembali, maka 

itulah kubur. Aku akan menipu diri sendiri apabila 

mengharapkan jalan keluar dari kesesakanku selain 

apa yang akan diberikan kematian kepadaku. Tidak ada 

yang lebih pasti daripada itu.” Perhatikanlah, di tengah 

semua kemakmuran kita, ada baiknya kita memikirkan 

kematian juga. Apa pun yang kita harapkan, hendaklah 

kita juga memastikan diri untuk mengharapkannya, ka-

rena hal itu bisa saja menghalangi hal-hal lain yang kita 

harapkan, namun  sebaliknya, tidak ada yang dapat men-

cegahnya. Lihatlah betapa Ayub tidak saja berusaha 

berdamai dengan kubur, namun  juga malah menyodor-

kannya bagi dirinya sendiri sebagai hal yang patut di-

sambut: “Itulah rumahku.” Kubur itu sebuah rumah. 

Bagi orang fasik, kubur merupakan penjara (24:19-20). 

Bagi orang saleh, kubur yaitu  Betania, jalan lintasan 

dalam perjalanan pulang mereka. “Inilah rumahku, ke-

punyaanku melalui warisan, aku dilahirkan untuk ke 

sana. Inilah rumah bapaku. Itu yaitu  kepunyaanku 

sebab  telah dibeli. Aku telah membuat diriku menjijik-

kan baginya.” Tidak lama lagi kita semua harus pindah 

ke rumah ini. Jadi sungguh bijak apabila kita memper-

siapkan diri dengan baik. Hendaklah kita berpikir ten-

tang kepindahan ke sana, dan menyiapkan diri ke ru-

mah yang dirindukan itu.  

[2] Ayub tidak mengharapkan tempat tidur yang nyaman 

selain yang ada dalam kegelapan: “Di sana,” katanya, 

“aku telah menyediakan tempat tidurku. Tempat tidur 

itu sudah dibaut, sudah siap, dan aku bersiap-siap per-

gi ke sana sekarang.” Kubur yaitu  tempat tidur, kare-

na kita akan beristirahat di dalamnya pada malam hari 

kehidupan kita di bumi, dan bangkit dari dalamnya 

pada pagi di hari yang kekal itu (Yes. 57:2). Hendaklah 

hal ini membuat orang-orang baik bersedia untuk mati. 

Mata itu hanyalah seperti pergi tidur. Orang baik sudah 

letih dan mengantuk, jadi sudah tiba saatnya mereka 

berbaring di tempat tidur. Mengapa mereka tidak mau 

pergi-pergi juga, saat  Bapa mereka memanggil? “Bah-

kan lebih dari itu, aku telah menyediakan tempat tidurku, 

dengan mempersiapkannya. Aku telah berupaya mem-

buatnya terasa nyaman, dengan memelihara hati nura-

niku tetap murni, dengan melihat Kristus berbaring di 

dalamnya, sehingga dengan demikian mengubahnya 

menjadi tempat tidur yang harum dengan rempah-rem-

pah, serta memandang lebih jauh kepada kebangkitan.” 

[3] Ayub tidak mengharapkan hubungan serasi selain yang 

didapatkannya di dalam kubur (ay. 14): aku berkata 

kepada liang kubur, yaitu tempat tubuh itu akan han-

cur, Engkau ayahku, sebab tubuh kita dibentuk dari ta-

nah, dan  kepada berenga (belatung – pen.) di dalam-

nya. Engkau iArtikel  dan saudara perempuanku, kepada 

siapa aku bersatu, sebab  manusia yaitu  ulat, dan de-

ngan siapa aku harus membiasakan diri, sebab  berenga-

berenga akan berkeriapan di atasku (21:26). Ayub menge-

luh bahwa keluarganya telah dijauhkan darinya (19:13-

14). Oleh sebab itu, di sini ia menyatakan dekat dengan 

orang-orang lain yang akan dekat dengannya saat  ke-

luarganya sendiri tidak mau mengakuinya. Perhatikanlah,  

Pertama, kita semua berkeluarga dekat dengan kebi-

nasaan dan ulat.  

Kedua, itulah sebabnya ada baiknya kita mengenal 

mereka dengan baik, dengan cara sering bergaul akrab 

dengan mereka di dalam pikiran maupun perenungan 

kita, yang akan sangat membantu kita mengatasi kecin-

taan kita terhadap hidup dan ketakutan kita yang ber-

lebihan terhadap kematian. 

(2) Ayub melihat semua pengharapannya dari dunia ini ikut 

turun ke kubur bersamanya (ay. 15-16): “Mengingat bahwa 

tidak lama lagi aku harus meninggalkan dunia ini, maka di 

manakah harapanku? Bagaimanakah aku yang tidak ber-

harap untuk hidup ini dapat berharap untuk hidup mak-

mur?” Ayub tidaklah putus harapan, hanya saja harapan-

nya tidaklah diarahkan ke tempat yang diinginkan para 

sahabatnya itu. Jikalau hanya dalam hidup ini ia menaruh 

pengharapan, maka ia yaitu  orang yang paling malang 

dari segala manusia. “Tidak, mengenai pengharapanku, 

pengharapan yang dapat menghibur dan mendukungku 

itu, siapa yang akan melihatnya? Hal yang kuharapkan 

tidak tampak oleh mata, bukan hal-hal yang dapat dilihat 

dan bersifat sementara, melainkan hal-hal yang tidak ter-

lihat dan bersifat kekal.” Apa itu harapannya? Inilah yang 

akan dikatakannya kepada kita (19:25), Non est mortale 

quod opto, immortale peto – aku tidak mencari apa yang 

dapat binasa, melainkan apa yang tetap kekal selamanya. 

“Sebaliknya, pengharapan-pengharapan yang kamu pakai 

untuk membuaiku, sahabat-sahabatku, semua itu akan 

turun bersamaku ke liang kubur. Kamu sendiri juga se-

dang menuju kematian, dan tidak mampu menggenapi jan-

ji-janjimu. Aku pun sudah mau mati dan tidak dapat menik-

mati janji-janjimu yang muluk itu. Oleh sebab itu, mengingat 

bahwa sisa hidup kita akan bersatu dalam debu, maka ma-

rilah kita menyingkirkan segala pikiran kita tentang dunia 

ini dan memancangkan hati kita kepada dunia yang lain.” 

Segera saja kita ada dalam ke debu, sebab kita berasal dari 

debu. Debu dan abu di dalam liang kubur, ke dasar dunia 

orang mati, bertahan teguhlah di sana, jangan lepaskan tali 

ikatan kematian sampai pada hari kebangkitan yang agung 

itu. Namun, kita akan beristirahat di dalam kubur sana. 

Kita akan beristirahat bersama-sama. Sekarang ini Ayub 

dan sahabat-sahabatnya memang tidak sependapat, namun  

mereka semua akan diam di dalam kubur. Tanah kubur ti-

dak lama lagi akan membungkam mulut mereka semua dan 

mengakhiri perdebatan itu. Hendaklah pandangan akan hal 

ini mendinginkan panas pikiran semua yang berbantah dan 

melunakkan hati semua yang berselisih di dunia ini. 

 

  

PASAL 18  

alam pasal ini Bildad melancarkan serangan kedua kepada 

Ayub. Dalam tuturannya yang pertama (ps. 8) dia memberi Ayub 

kekuatan untuk berharap bahwa semua akan baik-baik saja. namun  

di sini tidak ada satu kata penguatan pun. Ia bertambah kesal dan 

sangat jauh dari diyakinkan oleh segala jawaban Ayub sehingga dia 

lebih sakit hati.  

I. Ia dengan tajam menegur Ayub angkuh dan emosional, serta 

keras kepala (ay. 1-4).  

II. Ia membicarakan panjang lebar tentang ajaran yang diperta-

hankannya sebelumnya, mengenai kesengsaraan orang jahat 

dan kehancuran yang menyertai mereka (ay. 5-21). Dalam 

hal ini dia tampaknya terus mengarahkan pandangannya ter-

hadap keluhan-keluhan Ayub akan sengsara yang dialami-

nya, bahwa ia berada di dalam gelap, kebingungan, terperang-

kap, ketakutan, dan sedang bergegas meninggalkan dunia. 

“Ini,” kata Bildad, “menggambarkan keadaan dari orang jahat, 

dan engkau salah satunya.” 

Seruan Bildad yang Kedua 

(18:1-4) 

1 Maka Bildad, orang Suah, menjawab: 2 “Bilakah engkau habis bicara? Sa-

darilah, baru kami akan bicara. 3 Mengapa kami dianggap binatang? Meng-

apa kami bodoh dalam pandanganmu? 4 Engkau yang menerkam dirimu sen-

diri dalam kemarahan, demi kepentinganmukah bumi harus menjadi sunyi, 

dan gunung batu bergeser dari tempatnya? 

Bildad di sini melepaskan anak panahnya, bahkan kata-kata yang 

lebih tajam, terhadap Ayub yang malang, tanpa menyadari bahwa, 

kendati dia seorang yang baik dan bijaksana, dalam hal ini dia sedang 

melayani rancangan Iblis dalam menambahkan penderitaan Ayub. 

I. Ia menuduh Ayub berbicara bodoh tidak habis-habisnya, seperti 

yang juga dituduhkan Elifas (15:2-3): Bilakah engkau habis 

bicara? (ay. 2). Di sini dia menyindir, tidak hanya Ayub saja, namun  

juga semua peserta debat, dengan menganggap Elifas dan Zofar 

tidak berbicara sesuai tujuan yang seharusnya. Mungkin juga ia 

menyindir beberapa orang lain yang hadir, yang mungkin memi-

hak Ayub dengan menyumbangkan sepatah dua patah kata, 

kendati hal itu tidak dicatat di sini. Bildad jemu mendengarkan 

orang lain berbicara, dan tidak sabar menunggu gilirannya, yang 

tidak patut diperbuatnya, sebab  kita harus cepat untuk men-

dengar dan lambat untuk berbicara. Sudah menjadi kebiasaan 

bagi orang-orang yang berdebat untuk memandang dirinyalah 

yang paling berhikmat, dan dirinyalah yang paling berhak untuk 

berbicara dan diikuti. Betapa tidak pantasnya perilaku ini dapat 

dilihat oleh siapa pun, namun hanya segelintir orang yang ber-

perilaku demikian yang menyadari kesalahannya sendiri. Di 

kemudian hari Ayub mendapat kesempatan untuk memberikan 

perkataannya yang terakhir dalam perdebatan itu (29:22): Sehabis 

bicaraku tiada seorang pun angkat bicara lagi, saat  ia berkuasa 

dan makmur. namun  sekarang dia miskin dan sedemikian diren-

dahkan sehingga hampir tidak diperbolehkan untuk berbicara 

sama sekali, dan setiap hal yang dikatakannya difitnah dengan 

keji seperti sebelumnya. Hikmat sebab nya (seiring perjalanan 

dunia)  sama baiknya dengan warisan (Pkh. 7:11). Sebab hikmat 

orang miskin dihina, dan, sebab  ia miskin, perkataannya tidak 

didengar orang (Pkh. 9:16).  

II. Tanpa sadar, Bildad ikut melayani rancangan Iblis terhadap Ayub, 

dengan menuduh Ayub, bahwa ia mengabaikan apa yang dikata-

kan para sahabatnya kepadanya, seperti tampak dalam perkataan 

ini, Sadarilah, baru kami akan berbicara. Dan memang tidak ada 

gunanya untuk berbicara, meskipun apa yang dikatakan banyak 

gunanya, jika orang yang diajak bicara tidak mau peduli dan mem-

perhatikan. Kiranya  pendengaran dipertajam untuk mendengar se-

perti seorang murid, barulah lidah seorang murid dapat berguna de-

ngan baik (Yes. 50:4) dan bukan sebaliknya. Sungguh semangat 

hati orang-orang yang menyampaikan hal-hal tentang Allah bila 

mereka melihat para pendengar memberi perhatian.  

III. Bildad juga menuduh Ayub dengan angkuhnya telah menghina 

dan meremehkan para sahabatnya dan apa yang mereka tawar-

kan (ay. 3): Mengapa kami dianggap binatang? Hal ini sangat me-

nyakitkan hati. Ayub memang telah menyebut mereka para pen-

cemooh, tidak bijaksana dan jahat, tidak berakal budi dan kasar, 

namun  ia tidak menganggap mereka binatang. Namun Bildad meng-

anggapnya demikian,  

1.  Sebab ia sangat tersinggung dengan apa yang dikatakan Ayub 

seakan-akan perkataan Ayub sangat luar biasa menghinanya. 

Orang sombong sering mudah merasa terhina melebihi kenya-

taannya.  

2. Sebab hatinya yang panas ingin mencari gara-gara untuk ber-

sikap keras kepada Ayub. Orang-orang yang cenderung bersikap 

keras terhadap orang lain biasanya berpikiran bahwa orang lain 

yang terlebih dahulu telah bersikap demikian kepada mereka.  

IV. Bildad menuduh Ayub penuh nafsu kemarahan: Engkau mener-

kam dirimu sendiri dalam kemarahan (ay. 4). Dengan ini dia seper-

tinya menyindir apa yang telah dikatakan Ayub sebelumnya 

(13:14): Maka dagingku akan kuambil dengan gigiku? “Itu kesalah-

anmu sendiri,” kata Bildad. Atau Bildad menyindir apa yang telah 

dikatakan Ayub dalam pasal 16:9, di mana dia sepertinya menu-

duh Allah, atau menurut beberapa penafsir, Elifas: Ia menerkam 

aku dalam kemarahannya. ”Tidak,” kata Bildad, “engkau sendiri 

yang akan menanggungnya.” Engkau yang menerkam dirimu sen-

diri dalam kemarahan. Perhatikanlah, kemarahan yaitu  suatu 

dosa yang hukumannya yaitu  kemarahan itu sendiri. Orang-

orang yang penuh amarah merobek-robek dan menyiksa diri me-

reka sendiri. Engkau merobek jiwamu (demikian artinya). Setiap 

dosa melukai jiwa, merobeknya, berbuat tidak baik terhadapnya 

(Ams. 8:36), terutama nafsu amarah yang tidak terkendali. 

V. Bildad menuduh Ayub memiliki pengharapan yang sombong dan 

angkuh untuk memberi hukum bahkan kepada Sang Penyeleng-

gara sendiri: “Demi kepentinganmukah bumi harus menjadi sunyi? 

Tentu tidak. Tidak ada alasan untuk hal itu, bahwa jalannya alam 

harus diubah dan tata aturan hukum yang sudah ditetapkan 

dapat dilanggar untuk memuaskan selera satu orang. Ayub, pikir-

mu dunia tidak dapat bertahan tanpa engkau? Bahwa jika engkau 

hancur, maka seluruh dunia akan ikut hancur dan lenyap ber-

sama engkau?” Beberapa penafsir menjadikannya sebagai teguran 

terhadap Ayub yang berusaha membenarkan dirinya sendiri, kare-

na ia seakan mengakui diri seorang yang jahat atau menyangkal 

Allah Sang Penyelenggara dan menduga Dia telah meninggalkan 

bumi sehingga gunung batu pun bergeser dari tempatnya. Namun, 

sepertinya itu merupakan teguran yang adil terhadap keluh-kesah 

Ayub. Bila kita mempersoalkan peristiwa Penyelenggaraan Allah, 

kita lupa bahwa, apa pun yang menimpa kita, itu yaitu ,  

1. Sesuai dengan tujuan dan pertimbangan kekal Allah.  

2. Sesuai dengan firman yang tertulis. Demikianlah yang tertulis 

bahwa di dalam dunia kita harus mengalami penderitaan, 

bahwa sebab  setiap hari kita berdosa, maka kita harus me-

nantikan akibatnya, dan,  

3. Sesuai dengan cara dan kebiasaan yang umum, jejak Penyeleng-

garaan, yang tidak lain selain yang umum terjadi pada manusia. 

sebab  itu, untuk berharap bahwa pertimbangan Allah harus 

berubah, cara-Nya berubah, dan firman-Nya gagal, untuk me-

nyenangkan kita, yaitu  sama tidak masuk akal dan bodohnya 

seperti berpikiran bahwa demi kepentinganmukah bumi harus 

menjadi sunyi, dan gunung batu bergeser dari tempatnya?  

Keadaan Orang Fasik yang Menyengsarakan  

(18:5-10) 

5 Bagaimanapun juga terang orang fasik tentu padam, dan nyala apinya tidak 

tetap bersinar. 6 Terang di dalam kemahnya menjadi gelap, dan pelita di atas-

nya padam. 7 Langkahnya yang kuat terhambat, dan pertimbangannya sen-

diri menjatuhkan dia. 8 sebab  kakinya sendiri menyangkutkan dia dalam 

jaring, dan di atas tutup pelubang ia berjalan. 9 Tumitnya tertangkap oleh 

jebak, dan ia tertahan oleh jerat. 10 Tali tersembunyi baginya dalam tanah, 

perangkap terpasang baginya pada jalan yang dilaluinya. 

Selebihnya dari tuturan Bildad sepenuhnya disampaikan dalam sua-

tu gambaran yang indah tentang keadaan menyedihkan dari seorang 

fasik. Ada banyak kebenaran dalam tuturannya itu, yang akan sa-

ngat berguna jika dipertimbangkan dengan sepatutnya, yaitu bahwa

keadaan yang penuh dosa penuh kesengsaraan, dan bahwa pelang-

garan akan menjadi kehancuran manusia jika mereka tidak bertobat 

darinya. Namun tidaklah benar bahwa semua orang fasik secara keli-

hatan dan terbuka dijadikan menderita di dalam dunia ini. Juga 

tidak benar bahwa semua yang dibawa ke dalam kesesakan dan ma-

salah yang besar di dalam dunia ini sebab nya dianggap dan pastilah 

merupakan orang fasik, sementara tidak ada buktinya. Oleh sebab  

itu, kendati Bildad menganggap tuturannya itu dengan mudah saja 

dapat dikatakan benar berlaku pada diri Ayub, hal itu tetap tidak 

aman dan tidak adil. Dalam ayat-ayat di atas ini kita menemukan, 

I. Kehancuran orang fasik sudah dapat dilihat dan diramalkan, dalam 

kiasan kegelapan (ay. 5-6): Terang orang fasik tentu padam. Bahkan 

terangnya, bagian yang terbaik dan yang paling cemerlang darinya, 

akan menjadi padam. Bahkan apa yang dibangga-banggakannya 

akan mengecewakannya. Atau kata bagaimanapun bisa merujuk 

pada keluhan Ayub akan kesusahan besar yang dia alami dan ke-

gelapan yang segera dimasukinya di tempat tidurnya. “Bagai-

manapun,” kata Bildad, “demikianlah jadinya. Engkau ditutupi 

awan, dalam kesesakan serta dijadikan sengsara, dan tidak ada 

yang lebih baik yang dapat diharapkan. Sebab terang orang fasik 

tentu padam, dan sebab nya terangmu juga.” Amatilah di sini,  

1.  Orang fasik bisa saja mendapat sedikit terang untuk sesaat, 

sedikit kesenangan, sedikit sukacita, sedikit pengharapan, dan 

juga kekayaan, serta kehormatan, dan kuasa. Namun terang-

nya itu hanyalah suatu percikan (ay. 5), kecil saja dan segera 

akan padam. Itu hanyalah sebuah lilin (ay. 6), yang meleleh, 

dan segera padam, serta mudah mati tertiup. Itu bukan Te-

rang TUHAN (yaitu terang matahari), namun  terang apinya sen-

diri dan percikan terangnya (Yes. 50:11).  

2. Terangnya pasti akan padam pada akhirnya, padam seluruh-

nya, hingga tidak ada suatu percikan pun yang tersisa untuk 

dapat menyalakan api lain. Bahkan sementara dia berada di 

dalam kemahnya, sementara dia ada di dalam tubuhnya, yang 

merupakan kemah jiwa (2Kor. 5:1), terangnya itu akan men-

jadi gelap. Ia tidak akan memiliki kenyamanan yang sejati, 

tidak ada sukacita yang memuaskan, tidak ada pengharapan 

yang mendukung. Bahkan terang di dalam dirinya menjadi 

gelap. Dan betapa gelapnya kegelapan itu! Namun, saat  dia 

dipadamkan oleh kematian, pelita di atasnya padam. Akhir 

hidupnya akan menjadi akhir dari semua hari-harinya dan 

membalikkan semua harapannya menjadi keputusasaan yang 

tanpa akhir. Pengharapan orang fasik gagal pada kematian-

nya (Ams. 11:7). Kamu akan berbaring di tempat siksaan. 

II. Persiapan yang mendahului kehancuran orang fasik dikiaskan 

seperti seekor binatang atau burung yang tertangkap dalam se-

buah perangkap, atau seorang penjahat yang tertangkap dan dita-

han untuk dihukum (ay. 7-10).  

1. Iblis sedang mempersiapkan kehancurannya. Iblis yaitu  pe-

rampok yang akan menang melawan dia (ay. 9, KJV). Sebab, 

sebab  ia yaitu  seorang pembunuh, maka ia juga seorang 

perampok, sejak mulanya. Ia, sebagai si penggoda, memasang 

jerat bagi orang-orang berdosa di jalan mereka, ke mana pun 

mereka pergi, dan dia akan menang. Apabila dia membuat me-

reka berdosa seperti dirinya, dia akan membuat mereka seng-

sara seperti dirinya juga. Ia memburu nyawa yang berharga.  

2. Orang fasik sendiri mempersiapkan bagi kehancurannya sen-

diri dengan terus berbuat dosa, dan dengan demikian menim-

bun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka 

dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan. Allah menye-

rahkan dia, sebagaimana yang dia inginkan dan patut mene-

rimanya, kepada pertimbangannya sendiri, sehingga pertim-

bangannya sendiri menjatuhkan dia (ay. 7). Segala rencana dan 

usahanya yang berdosa membawanya ke dalam kejahatan. 

Ia tersangkut dalam jaring oleh kakinya sendiri (ay. 8), lari ke-

pada kehancurannya sendiri, terjerat dalam perbuatan tangan-

nya sendiri (Mzm. 9:17). Tergelincir sebab  lidah mereka sen-

diri (Mzm. 64:9). Orang yang jahat terjerat oleh pelanggarannya.  

3. Allah sedang mempersiapkan kehancurannya. Orang berdosa 

oleh dosanya sedang mempersiapkan bahan bakarnya, lalu Allah 

melalui murka-Nya mempersiapkan apinya. Lihatlah di sini,  

(1) Bagaimana orang berdosa bernafsu untuk berlari sendiri ke 

dalam jerat, dan siapa yang hendak Allah binasakan, Ia 

akan memanasi hati orang itu. 

(2) Bagaimana dia dipermalukan: Langkahnya yang kuat, ran-

cangan dan upayanya yang kuat, terhambat, sehingga dia 

tidak akan mencapai apa yang dia maksudkan. Dan sema-

kin dia berusaha untuk melepaskan dirinya, semakin dia 

akan terjerat. Orang jahat akan bertambah buruk.  

(3) Bagaimana dia diamankan dan dijaga supaya tidak luput 

dari hukuman Allah yang sedang mengejarnya. Tumitnya 

tertangkap oleh jebak. Ia tidak dapat lagi lolos dari murka 

ilahi yang sedang mengejarnya seperti orang yang begitu 

ditangkap oleh pemburunya tidak dapat melarikan diri. Allah 

tahu menyimpan orang-orang jahat untuk disiksa pada hari 

penghakiman (2Ptr. 2:9). 

Keadaan Orang Fasik yang Menyengsarakan  

(18:11-21) 

11 Kedahsyatan mengejutkan dia di mana-mana, dan mengejarnya di mana 

juga ia melangkah. 12 Bencana mengidamkan dia, kebinasaan bersiap-siap 

menantikan dia jatuh. 13 Kulit tubuhnya dimakan penyakit, bahkan anggota 

tubuhnya dimakan oleh penyakit parah. 14 Ia diseret dari kemahnya, tempat 

ia merasa aman, dan dibawa kepada raja kedahsyatan. 15 Dalam kemahnya 

tinggal apa yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia, di atas tempat 

kediamannya ditaburkan belerang. 16 Di bawah keringlah akar-akarnya, dan 

di atas layulah rantingnya. 17 Ingatan kepadanya lenyap dari bumi, namanya 

tidak lagi disebut di lorong-lorong. 18 Ia diusir dari tempat terang ke dalam 

kegelapan, dan ia dienyahkan dari dunia. 19 Ia tidak akan mempunyai anak 

atau cucu cicit di antara bangsanya, dan tak seorang pun yang tinggal hidup 

di tempat kediamannya. 20 Atas hari ajalnya orang-orang di Barat akan ter-

cengang, dan orang-orang di Timur akan dihinggapi ketakutan. 21 Sungguh, 

demikianlah tempat kediaman orang yang curang, begitulah tempat tinggal 

orang yang tidak mengenal Allah.” 

Bildad di sini menggambarkan kehancuran yang disimpan bagi orang 

fasik di dunia lain. Kehancuran tersebut dalam tingkat tertentu se-

ring menyergap mereka juga di dalam dunia ini. Mari dan lihatlah be-

tapa sengsaranya kondisi orang berdosa saat  hari hidupnya gagal. 

I. Lihatlah hatinya menjadi tertekan dan lemah akibat diterpa ke-

ngerian terus-menerus yang timbul dari rasa bersalahnya sendiri 

dan ketakutan akan murka Allah (ay. 11-12): Kedahsyatan menge-

jutkan dia di mana-mana. Kengerian dari hati nuraninya sendiri 

akan menghantui dia, sehingga dia tidak akan pernah menjadi 

tenang. Ke mana pun dia pergi, kengerian ini akan mengikuti dia. 

Ke arah mana pun dia memandang, kengerian ini akan menatap 

wajahnya. Kengerian itu membuatnya gemetar melihat dirinya di-

lawan oleh seluruh ciptaan, melihat sorga mengernyit dahi kepa-

danya, neraka menganga baginya, dan bumi muak dengannya. 

Siapa yang selalu membawa penuduh dan penyiksanya sendiri, 

selalu dekat di hatinya, tidak dapat tidak, selalu takut di setiap 

sudut. Hal ini akan mendorongnya untuk bangkit, seperti pen-

jahat, yang, sebab  menyadari kesalahannya sendiri, mengambil 

langkah seribu dan lari walaupun tidak ada yang mengejarnya 

(Ams. 28:1). Namun kakinya tidak akan berguna baginya, sebab  

tertahan oleh jerat (ay. 9). Orang berdosa segera diatasi kemaha-

kuasaan ilahi begitu ia melarikan diri dari kemahatahuan ilahi 

(Am. 9:2-3). Tidak heran bahwa orang berdosa itu putus asa dan 

terganggu dengan rasa takut, sebab,  

1. Ia melihat kehancuran mendekatinya: Kebinasaan bersiap-siap 

menantikan dia jatuh, menangkapnya saat  keadilan telah 

memberikan putusan, sehingga dia binasa dalam sekejap mata 

(Mzm. 73:19).  

2. Ia merasa sama sekali tidak sanggup untuk bergulat dengan-

nya, entah untuk menghindarinya atau bertahan di bawahnya. 

Apa yang ia andalkan sebagai kekuatannya seperti kekayaan, 

kekuasaan, kemegahan, teman, dan ketabahan semangatnya 

sendiri, maka akan mengecewakannya pada saat dibutuhkan, 

dan mati kelaparan, artinya, semuanya itu tidak akan berguna 

apa-apa lagi baginya selain menjadikannya seperti orang yang 

kelaparan, yang kepayahan akibat kelaparan, seperti saat  

terjadi peperangan. Demikianlah perkaranya, sehingga tidak 

heran ia menjadi kengerian bagi dirinya sendiri. Perhatikanlah, 

jalan dosa yaitu  jalan ketakutan, yang menuntun kepada 

kebingungan selamanya, yang ditandai dengan kengerian yang 

terus-menerus menerpa hati nurani bahwa ia bersalah sehing-

ga menjadi tidak tenteram, seperti yang terjadi pada Kain dan 

Yudas. 

II. Lihatlah orang fasik dilahap dan ditelan oleh kematian yang me-

nyengsarakan. Dan memang sungguh menyedihkan kematian se-

orang fasik, betapa pun aman dan riangnya hidupnya tadinya.  

1. Lihatlah dia sekarat, tertangkap oleh kematian anak sulung, 

yaitu suatu penyakit, atau suatu hajaran luar biasa mirip 

kematian itu sendiri. Kematian yang begitu ngeri, demikian di-

sebut (2Kor. 1:10), seorang utusan kematian yang di dalamnya 

terkandung kekuatan dan kengerian yang tidak biasa. Ia dile-

mahkan oleh pertanda kematian, yang memakan kulit tubuh-

nya, yaitu, yang membuat tulang-tulangnya keropos dan meng-

habisinya. Ia diseret dari kemahnya, tempat ia merasa aman (ay. 

14), yaitu, semua yang diandalkannya akan diambil darinya, 

sehingga tidak punya apa-apa lagi untuk bergantung, tidak, 

termasuk kemahnya sendiri. Jiwanya yaitu  keyakinannya, 

namun  itu pun akan diambil dari kemah tubuhnya, seperti se-

buah pohon yang menghalangi jalan. “Jiwamu akan diambil 

darimu.”  

2. Lihatlah dia mati dan lihatlah perkaranya dengan mata iman.  

(1) Ia kemudian dibawa kepada raja kengerian. Ia dikelilingi 

dengan kengerian selama masih hidup (ay. 11), dan kema-

tian yaitu  raja dari semua kengerian tersebut. Semua 

kengerian menyerang orang berdosa atas nama kematian, 

sebab dengan alasan kematianlah semua orang berdosa se-

umur hidup berada dalam perhambaan (Ibr. 2:15), dan pada 

akhirnya mereka akan dibawa ke tempat yang sangat lama 

mereka takuti, seperti seorang tawanan kepada si penakluk. 

Kematian itu mengerikan bagi alam. Juruselamat kita sen-

diri berdoa, Bapa selamatkanlah Aku. Namun bagi orang 

fasik kematian itu secara khusus yaitu  sang raja kengeri-

an, sebab  merupakan suatu titik akhir bagi kehidupan 

tempat mereka menggantungkan kebahagiaan dan sebuah 

jalan kepada kehidupan di mana mereka akan menemukan 

kesengsaraan tanpa akhir. Oleh sebab  itu, betapa baha-

gianya orang-orang kudus, sebab  raja kengerian ini men-

jadi seorang teman dan hamba bagi mereka! Dan untuk ini 

mereka berutang banyak kepada Tuhan Yesus, yang oleh-

Nya kematian dihapuskan, dan sifatnya diubahkan.  

(2) Ia kemudian diusir dari tempat terang ke dalam kegelapan 

(ay. 18), dari terang dunia ini, dan kondisinya yang enak, 

ke dalam kegelapan, kegelapan kubur, kegelapan neraka, 

ke dalam kegelapan yang pekat, dan tidak pernah melihat 

terang (Mzm. 49:20), tanpa sedikit pun cahaya, tanpa ada 

harapan pun.  

(3) Ia dienyahkan dari dunia, dengan tergesa-gesa dan diseret 

pergi oleh para utusan maut, dengan pedihnya bertentang-

an dengan kehendaknya, diusir seperti Adam keluar dari 

taman Firdaus, sebab  dunia yaitu  Firdaus baginya. Hal 

ini menyatakan bahwa dia ingin mati-matian tinggal di sini. 

Berangkat ia enggan, namun  dia harus pergi. Dunia ini su-

dah jemu dengannya, sehingga mengusirnya, senang meng-

hindar darinya. Inilah kematian bagi orang yang fasik.  

III. Lihatlah keluarganya tenggelam dan terputus (ay. 15). Murka dan 

kutukan Allah menyala dan tertuju, tidak hanya pada kepala dan 

hatinya, namun  juga pada rumahnya pula, untuk membakarnya 

dengan kayu dan batu-batu (Za. 5:4). Kematian itu sendiri akan 

tinggal di dalam kemahnya, dan, setelah mengusirnya, akan 

menduduki rumahnya, sehingga menjadi kengerian dan kehan-

curan semua yang ditinggalkannya. Bahkan tempat tinggalnya 

akan dihancurkan oleh sebab  pemiliknya: Belerang akan ditabur-

kan di atas tempat kediamannya, menghujaninya seperti Sodom, 

yang sepertinya dirujuk di sini. Beberapa penafsir menganggap 

Bildad di sini mencela Ayub dengan peristiwa yang menimpa ter-

nak domba dan hamba-hambanya yang dibakar dengan api dari 

langit. Alasan diberikan di sini mengapa kemahnya ditandai bagi 

kehancuran: sebab  itu bukan miliknya. Yaitu, kemah tersebut 

diperoleh secara tidak benar, dan dijauhkan dari pemiliknya yang 

sah, dan sebab nya janganlah dia mengharapkan kenyamanan 

darinya atau kelangsungannya. Anak-anaknya akan binasa, entah 

bersama-sama dia atau sesudah dia (ay. 16). Sehingga, akar-

akarnya dalam dirinya sendiri menjadi kering di bawah dan di 

atas layulah rantingnya (setiap anak dari keturunan keluarganya) 

akan diputus. Demikianlah keluarga Yerobeam, Baesa, dan Ahab 

diputus. Tak ada yang menjadi keturunan mereka dibiarkan tetap 

hidup. Orang-orang yang berakar di bumi ada kemungkinan 

melihat akarnya menjadi kering. namun , jika kita berakar di dalam 

Kristus, bahkan daun kita pun tidak akan menjadi layu, apalagi 

sampai ranting-rantingnya dipotong. Orang-orang yang memeduli-

kan kehormatan sejati dari keluarganya, dan kesejahteraan ca-

bang-cabangnya, akan takut layu oleh dosa. Pemusnahan keluar-

ga orang berdosa disebutkan lagi (ay. 19): Ia tidak akan mempu-

nyai anak atau cucu cicit, untuk menikmati kekayaannya dan 

meneruskan namanya. Dari antara yang berkerabat dengannya, 

tak seorang pun yang tinggal hidup di tempat kediamannya. Dosa 

meneruskan suatu kutukan ke atas keturunan, dan kesalahan 

bapa-bapa sering ditimpakan kepada anak-anak. Di sini, mungkin 

Bildad menyindir kematian anak-anak dan para hamba Ayub, 

sebagai bukti lebih lanjut Ayub seorang yang fasik. Padahal 

semua yang terlahir tanpa keturunan tidaklah selalu tanpa kasih 

karunia. Ada nama yang lebih baik dari pada anak-anak lelaki dan 

perempuan. 

IV. Lihatlah ingatan akan orang fasik terkubur bersamanya, kenang-

an akan namanya menjadi menjijikkan. Ia entah akan dilupakan 

atau dibicarakan dengan penghinaan (ay. 17): Ingatan kepadanya 

lenyap dari bumi. Dan, jika sampai lenyap, lenyap seluruhnya, 

sebab tidak pernah tertulis di sorga, seperti nama-nama orang 

kudus (Luk. 10:20). Semua kehormatannya akan tergeletak dan 

lenyap di dalam debu, atau ternodai dengan kehinaan abadi, 

sehingga namanya tidak lagi disebut di lorong-lorong, pergi tanpa 

dirindukan. Jadi, hukuman Allah mengikutinya, setelah kemati-

an, di dalam dunia ini, sebagai suatu petunjuk akan keseng-

saraan jiwanya sesudah kematian, dan sebagai suatu pertanda 

akan penghinaan serta rasa malu kekal yang akan dialaminya 

pada waktu dia bangkit kelak di hari yang agung itu. Kenangan 

kepada orang benar mendatangkan berkat, namun  nama orang fasik 

menjadi busuk (Ams. 10:7). 

V. Lihatlah suatu keheranan besar terjadi di mana-mana atas keja-

tuhannya (ay. 20). Orang-orang yang melihatnya merasa ketakut-

an, begitu mendadak perubahannya, begitu mematikan hukum-

annya, begitu mengancam semua orang di sekitarnya: dan mereka 

yang datang kemudian, dan mendengar kabar tentang hal itu, 

merasa terkejut. Telinga mereka berdenging-denging, hati mereka 

gemetar, dan mereka berteriak, TUHAN, betapa mengerikannya 

Engkau dalam penghukuman-Mu! Suatu tempat atau seseorang 

yang sepenuhnya dihancurkan dikatakan dijadikan kedahsyatan 

(Ul. 28:37; 2Taw. 7:21; Yer. 25:9, 18). Dosa-dosa yang mengerikan 

membawa hukuman yang dahsyat dan aneh.  

VI. Lihatlah semua yang menimpa orang fasik ini diteguhkan kebe-

narannya dengan bulat hati sejak zaman bapak leluhur, yang 

didasarkan pada pengetahuan mereka tentang Allah dan banyak 

pengamatan mereka tentang penyelenggaraan-Nya (ay. 21): Sung-

guh, demikianlah tempat kediaman orang yang curang, begitulah 

tempat tinggal orang yang tidak mengenal Allah! Inilah keadaan-

nya. Lihatlah di sini apa permulaan dan apa akhir dari kejahatan 

dunia yang jahat ini.  

1. Permulaannya yaitu  ketidakacuhan terhadap Allah, sengaja 

tidak mau peduli dengan-Nya. Orang cukup tahu tentang Dia, 

namun  mengabaikan Dia, dan sebab  itu mereka tidak dapat di-

maafkan selamanya. Mereka tidak mengenal Allah lalu me-

lakukan semua kejahatan. Firaun tidak mengenal TUHAN, dan 

sebab nya tidak mau menaati suara-Nya.  

2. Akhir darinya, yaitu kehancuran sepenuhnya. Demikianlah, be-

gitu mengenaskan, tempat kediaman orang fasik. Pembalasan 

akan dilaksanakan terhadap mereka yang tidak mengenal Allah 

(2Tes. 1:8). Sebab, Jika Ia tidak mendapat kehormatan dari 

seseorang, Dia akan mendapatkan sendiri kehormatan pada 

orang itu. sebab  itu, mari kita berdiri dengan takut dan gen-

tar, jangan berbuat dosa, sebab dosa hanya membawa kepa-

hitan pada akhirnya. 

  

PASAL 19  

asal ini berisi jawaban Ayub terhadap tuturan Bildad pada pasal 

sebelumnya. Meskipun Ayub berduka dan hatinya panas, semen-

tara Bildad juga sangat kesal, Ayub tetap membiarkan dia mengucap-

kan semua yang hendak dikatakannya tanpa memotong pembicara-

annya. Namun, setelah dia selesai, Ayub pun menanggapi apa ada-

nya, yang isinya, 

I. Ayub mengeluh atas perlakuan tidak baik, dan ia menerima-

nya dengan tidak baik pula, yakni bahwa, 

1. Para penghiburnya justru menambah-nambahi kesusah-

annya (ay. 2-7). 

2. Allah yaitu  penyebab kesengsaraannya (ay. 8-12). 

3. Kerabat dan sahabat-sahabatnya menjadi orang asing bagi-

nya dan malu terhadapnya di tengah penderitaan itu (ay. 

13-22). 

II. Ayub menghibur dirinya dengan keyakinan akan mendapat 

kebahagiaan di kehidupan di dunia lain, walaupun di dunia 

ini ia tidak mendapat banyak penghiburan. Keyakinan itu 

melahirkan pernyataan iman yang sungguh-sungguh, disertai 

keinginan agar pernyataan itu dicatat sebagai bukti ketulus-

an hatinya (ay. 23-27). 

III. Ayub mengakhiri ucapannya dengan peringatan kepada para 

sahabatnya untuk tidak bersikukuh memaksakan kecaman 

keras mereka terhadapnya (ay. 28-29).  

Bantahan Ayub terhadap ketidakadilan yang dirasakan-

nya terkadang bisa menjadi alasan bagi kita untuk membe-

narkan keluhan-keluhan kita. Namun, di sisi lain, pandang-

annya yang cerah terhadap masa depan seharusnya mem-

buat kita, orang Kristen, merasa malu, dan patut membung-

kam keluh kesah kita, atau setidaknya menyeimbangkannya. 

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad 

(19:1-7) 

1 namun  Ayub menjawab: 2 Berapa lama lagi kamu menyakitkan hatiku, dan 

meremukkan aku dengan perkataan? 3 Sekarang telah sepuluh kali kamu 

menghina aku, kamu tidak malu menyiksa aku. 4 Jika aku sungguh tersesat, 

maka aku sendiri yang menanggung kesesatanku itu. 5 Jika kamu sungguh 

hendak membesarkan diri terhadap aku, dan membuat celaku sebagai bukti 

terhadap diriku, 6 insafilah, bahwa Allah telah berlaku tidak adil terhadap 

aku, dan menebarkan jala-Nya atasku. 7 Sesungguhnya, aku berteriak: Kela-

liman!, namun  tidak ada yang menjawab. Aku berseru minta tolong, namun  

tidak ada keadilan. 

Sahabat-sahabat Ayub sebelumnya telah melontarkan kecaman yang 

amat pedas terhadapnya, yaitu bahwa Ayub pastilah orang fasik 

sebab  ia didera oleh petaka yang sangat menyedihkan. Sekarang, 

Ayub mengutarakan betapa sakit hatinya oleh sebab kecaman itu. 

Dua kali Bildad mengawali ucapannya dengan “Berapa lama lagi” 

(8:2, 18:2), jadi sekarang, saat  menjawab dia secara khusus, Ayub 

juga memulainya dengan “Berapa lama lagi” (ay. 2). Sesuatu yang 

tidak kita sukai biasanya terasa lama, namun  lebih pantas bila Ayub 

yang merasakan betapa lamanya orang-orang itu menyerang dia, 

daripada mereka merasa betapa lamanya Ayub berbicara, padahal 

Ayub hanya membela diri. Alasan yang kuat boleh dicetuskan untuk 

membela diri, bila kita berhak melakukannya, ketimbang untuk me-

nyerang sesama kita, walaupun kita berhak melakukannya. Nah, per-

hatikanlah, 

I. Bagaimana ia menggambarkan jahatnya mereka terhadap dirinya 

dan apa tanggapannya. 

1. Mereka menyakitkan hatinya, dan sakit hati itu lebih menyiksa 

daripada tulang-tulang yang gemetar (Mzm. 6:3-4). Mereka 

yaitu  sahabatnya, mereka datang untuk menghibur, bersikap 

seolah hendak menasihati dia demi kebaikan. Namun, dengan 

menunjukkan khidmat dan hikmat serta kesalehan palsu, 

mereka justru merenggut dia dari satu-satunya penghiburan 

yang dia miliki, yaitu Allah yang baik, hati nurani yang baik, 

dan nama yang baik. Semua itu menyakitkan hatinya. 

2. Mereka meremukkan Ayub dengan perkataan, kata-kata yang 

sangat keras dan kejam hingga bisa meremukkan seseorang. 

Mereka mendukakan dia, sehingga ia pun remuk. sebab  itu, 

kelak semua perkataan keras yang diucapkan terhadap Kris-

tus dan umat-Nya akan diperhitungkan (Yud. 15). Para saha-

batnya menghina dia (ay. 3), mengecapnya berkarakter buruk, 

dan menyalahkannya atas hal-hal yang bahkan tidak ia keta-

hui. Bagi orang jujur, tuduhan yaitu  sesuatu yang menyakit-

kan. 

4. Mereka menjadi orang asing terhadap dia, merasa malu terha-

dapnya sebab  sekarang ia berada dalam masalah, dan 

mereka berpura-pura tidak mengenalnya (2:12). Mereka juga 

tidak merasa dekat lagi dengan dia seperti dahulu saat  ia 

masih berjaya. Orang dipimpin oleh roh dunia ini, bukan oleh 

prinsip-prinsip kehormatan dan kasih sejati, bila mereka 

menjadi orang asing bagi sahabat mereka atau bagi sahabat 

Allah, saat  sahabat itu sedang mengalami kesulitan. Seorang 

sahabat mengasihi setiap waktu. 

5. Mereka tidak hanya menjadi orang asing terhadap Ayub, namun  

juga membesarkan diri terhadap dia (ay. 5). Mereka tidak ha-

nya malu sebab  dia, namun  meninggikan diri atasnya, meng-

hina dia, dan memegahkan diri untuk menekannya. Mengin-

jak-injak orang yang sedang terpuruk yaitu  perbuatan yang 

tercela, tindakan yang hina. 

6. Mereka membuat cela Ayub sebagai bukti terhadap dirinya, 

artinya, mereka memanfaatkan penderitaannya sebagai alasan 

untuk membuktikan bahwa dia orang fasik. Seharusnya, para 

sahabat itu membela kesalehan Ayub dan menolong dia ber-

sukacita sebab  kelurusan hatinya di tengah sengsaranya. 

Seharusnya mereka menjadikan kesalehannya itu sebagai 

bukti menentang celanya (seperti kata Rasul Paulus, 2Kor. 

1:12). Namun, bukannya berbuat demikian, mereka malah 

menjadikan cela Ayub sebagai bukti untuk membantah kesa-

lehannya, suatu tindakan yang bukan hanya jahat, namun  juga 

sangat tidak adil. Di manakah lagi kita bisa mendapati orang 

jujur, jika cela dipakai sebagai dalih melawan dia? 

II. Bagaimana Ayub membesar-besarkan kejahatan mereka, 

1. Bahwa mereka telah banyak kali menyiksa dia (ay. 3): “Seka-

rang telah sepuluh kali kamu menghina aku,” maksudnya sa-

ngat sering (seperti Kej. 31:7; Bil. 14:22). Lima kali sudah me-

reka berbicara, dan setiap ucapan merupakan cercaan ganda. 

Ayub berbicara seolah ia sudah mencatat setiap celaan mereka 

secara rinci dan tahu ada berapa banyak jumlahnya. Perbuat-

an seperti ini menyebalkan, tidak bersahabat, dan tampak 

seperti pembalasan dendam. Lebih baik kita menjaga ketente-

raman hati sendiri dengan melupakan segala luka dan keja-

hatan orang, bukan mengingat-ingat dan menghitungnya. 

2. Mereka masih tetap melecehkan Ayub dan tampaknya sudah 

bertekad terus melakukannya: “Berapa lama lagi kamu menya-

kitkan hatiku?” (ay. 2, 5). “Aku tahu kalian sungguh hendak 

membesarkan diri terhadap aku, tidak peduli apa pun yang te-

lah kukatakan untuk membela diri.” Orang yang banyak bicara 

jarang merasa kata-katanya sudah cukup. saat  mulut terbuka 

dengan berapi-api, telinga pun tuli terhadap akal sehat. 

3. Mereka tidak malu atas perbuatan mereka (ay. 3). Seharusnya 

mereka malu atas kekerasan hati mereka, yang tidak pantas 

mereka perbuat, malu dengan sikap kejam, yang tidak patut 

dilakukan orang yang baik. Juga, seharusnya mereka malu 

dengan tipu daya mereka, yang tidak patut dilakukan seorang 

sahabat. Namun, merasa malukah mereka? Tidak, sekalipun 

ditegur berulang-ulang kali, mereka tidak tersipu-sipu. 

III. Bagaimana Ayub menjawab kecaman tajam sahabat-sahabatnya, 

yakni dengan menunjukkan bahwa apa yang mereka kecam itu 

seharusnya dapat dimaklumi, yang seharusnya sudah mereka 

pertimbangkan. 

1. Segala kesalahan dari penilaian Ayub dapat dimaklumi (ay. 4), 

“Jika aku sungguh tersesat, jika aku bersalah sebab  ketidak-

tahuan atau kekeliruan,” sesuatu yang memang wajar terjadi 

pada manusia, bahkan pada orang yang baik. Humanum est 

errare – kesalahan lekat pada kemanusiaan. Kita pun harus 

mau mengakui bila diri kita bersalah. Bodohlah untuk berpikir 

bahwa kita ini tidak dapat berbuat salah. “Namun demikian,” 

kata Ayub, “Aku sendiri yang menanggung kesesatanku itu,” 

yaitu, “Aku bicara berdasarkan penilaianku yang terbaik, de-

ngan segala ketulusan, bukan dengan semangat pertentang-

an.” Atau, “Sekalipun aku bersalah, aku menanggungnya sen-

diri, dan tidak menimpakannya kepada orang lain seperti yang 

kalian lakukan. Aku menilai diri sendiri dan perbuatanku sen-

diri dengan penilaianku. Aku tidak ikut campur urusan orang 

lain, entah mengajar atau menghakimi mereka.” Kesalahan ma-

nusia lebih harus dimaafkan lagi bila mereka menanggungnya 

sendiri, tidak mengusik orang lain dengan kesalahan tersebut. 

Berpeganglah pada keyakinan yang engkau miliki itu, bagi diri-

mu sendiri. Sebagian penafsir memaknai perkataan Ayub tadi 

demikian: “Bila aku bersalah, akulah yang menanggung akibat-

nya. Jadi, kalian tidak perlu memusingkan diri. Bahkan akulah 

yang menanggungnya dengan berat, jadi tidak usahlah kalian 

menambahi sengsaraku dengan segala teguranmu.”  

2. Meledaknya kemarahan Ayub, yang tidak dapat dibenarkan, 

namun  patut dimaklumi mengingat besarnya dukacita dan pa-

rahnya penderitaannya. “Jika kalian mau terus mencela setiap 

keluhanku, menjelek-jelekkannya seburuk mungkin, dan me-

makainya untuk menyerangku, rasakanlah sendiri penyebab 

keluhan itu dan pertimbangkanlah sebelum kalian mengha-

kimi keluhanku dan memakainya untuk menghina aku: Insafi-

lah, bahwa Allah telah berlaku tidak adil terhadap aku (ay. 6). 

Ayub ingin para sahabatnya memikirkan tiga hal ini:  

(1) Bahwa persoalannya sangat berat. Ia diperlakukan tidak 

adil dan tidak mampu menolong dirinya sendiri, terperang-

kap bagai dalam jala dan tidak dapat keluar.  

(2) Bahwa Allah yang merancangkannya, dan bahwa Dia me-

nyerangnya: “Tangan-Nyalah yang memperlakukanku de-

ngan tidak adil, dan jala-Nya yang memerangkap aku. Oleh 

sebab itu, tidak perlulah kalian tampil menyerang aku seper-

ti ini. Sudah cukup aku bergumul dengan murka Allah, ja-

ngan lagi aku harus bergulat dengan amarah kalian. Biarlah 

permusuhan Allah terhadapku selesai lebih dahulu sebe-

lum kalian mulai menyerang aku.” yaitu  jahat bila kita 

mengejar orang yang Allah pukul, dan menambah kesakitan 

orang-orang yang Kautikam (Mzm. 69:27).  

(3) Bahwa tidak ada harapan bagi Ayub untuk meringankan 

penderitaannya (ay. 7). Ia mengerang sebab  rasa sakitnya, 

namun  tiada kelegaan. Ia memohon agar boleh tahu penye-

bab sengsaranya, namun  tidak dapat menemukan jawabnya. 

Ia naik banding ke pengadilan Allah agar dibuktikan tidak 

bersalah, namun  ia tidak didengar, apalagi diadili perkara-

nya. Aku berteriak: Kelaliman!, namun  tidak ada yang menja-

wab. Adakalanya, Allah memang tampak seolah memaling-

kan telinga dari umat-Nya, murka terhadap doa-doa mereka 

dan mengabaikan permohonan mereka, maka dalam keada-

an itu, dapat dimaklumi bila umat Allah mengeluh dengan 

pahit. Celakalah kita bila Allah melawan kita! 

Keluhan Ayub tentang Murka Allah;  

Keluhan Ayub tentang Kawan-kawannya 

(19:8-22) 

8 Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya, 

dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. 9 Ia telah menanggalkan kemuliaanku 

dan merampas mahkota di kepalaku. 10 Ia membongkar aku di semua tempat, 

sehingga aku lenyap, dan seperti pohon harapanku dicabut-Nya. 11 Murka-Nya 

menyala terhadap aku, dan menganggap aku sebagai lawan-Nya. 12 Pasukan-

Nya maju serentak, mereka merintangi jalan melawan aku, lalu mengepung 

kemahku. 13 Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku, dan kenalan-

kenalanku tidak lagi mengenal aku. 14 Kaum kerabatku menghindar, dan 

kawan-kawanku melupakan aku. 15 Anak semang dan budak perempuanku 

menganggap aku orang yang tidak dikenal, aku dipandang mereka orang 

asing. 16 Kalau aku memanggil budakku, ia tidak menyahut; aku harus 

membujuknya dengan kata-kata manis. 17 Nafasku menimbulkan rasa jijik 

kepada isteriku, dan bauku memualkan saudara-saudara sekandungku. 18 

Bahkan kanak-kanakpun menghina aku, kalau aku mau berdiri, mereka 

mengejek aku. 19 Semua teman karibku merasa muak terhadap aku; dan 

mereka yang kukasihi, berbalik melawan aku. 20 Tulangku melekat pada kulit 

dan dagingku, dan hanya gusiku yang tinggal padaku. 21 Kasihanilah aku, 

kasihanilah aku, hai sahabat-sahabatku, sebab  tangan Allah telah menimpa 

aku. 22 Mengapa kamu mengejar aku, seakan-akan Allah, dan tidak menjadi 

kenyang makan dagingku? 

Tanpa belas kasihan, Bildad telah memelintir keluhan Ayub dan 

menjadikannya gambaran keadaan orang fasik yang menyedihkan. 

Namun, dalam ayat-ayat di atas, Ayub mengulangi perkataan Bildad 

itu untuk membangkitkan rasa iba dan menggerakkan naluri kebaik-

an mereka, bila mereka masih memilikinya. 

I. Ayub mengeluhkan tanda-tanda murka Allah yang sedang menim-

pa dirinya, yang menyuntikkan akar pahit serta empedu menjadi

 derita dan sengsara. Alangkah nestapa nada-nada keluh kesah 

Ayub! “Murka-Nya menyala terhadap aku, berkobar dan menggen-

tarkan aku, membakar dan menyengsarakan aku,” (ay. 11). Apa-

kah api neraka itu, kalau bukan murka Allah sendiri? Hati nurani 

yang sudah mati rasa akan merasakannya kelak, namun  tidak 

takut terhadapnya saat ini. Hati nurani yang terang takut terha-

dapnya saat ini, namun  tidak akan merasakannya kelak. Ketakutan 

Ayub waktu saat ini yaitu  bahwa Allah menganggap dia sebagai 

lawan-Nya, namun sebenarnya Allah mengasihi dan bermegah di 

dalam dia sebagai sahabat-Nya yang setia. Pemikiran bahwa orang 

yang dihajar Allah berarti dianggap-Nya sebagai musuh yaitu  

kekeliruan besar, namun sangat lazim dipikirkan orang. Sesung-

guhnya, Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya (Ibr. 12:6) seba-

gai pendisiplinan terhadap anak-anak-Nya. Namun, ke mana pun ia 

memandang, ia hanya melihat tanda-tanda murka Allah terhadap 

dia. 

1. Apakah ia memandang kembali kemakmurannya di masa 

lampau? Di situ ia melihat tangan Allah mengakhiri semuanya 

itu (ay. 9): “Ia telah menanggalkan kemuliaanku, kekayaanku, 

kehormatanku, kekuatanku, dan segala kesempatan untuk 

melakukan yang baik. Anak-anakku dahulu yaitu  kemulia-

anku, namun  aku sudah kehilangan mereka. Dan mahkota apa 

pun yang dahulu ada di kepalaku, Dia telah mengambilnya 

dariku dan membaringkan segala kehormatanku di dalam 

debu.” Lihatlah betapa sia-sianya kemuliaan duniawi: dalam 

sekejap semua itu bisa dirampas dari kita, dan apa pun yang 

direnggut dari kita, kita harus memandang serta mengakui 

bahwa tangan Tuhan sendirilah yang bekerja di dalamnya, 

menurut rancangan-Nya. 

2. Apakah Ayub memandang pada semua kesukarannya saat ini? 

Ia melihat Allah yang memberi perintah kepada semua kesu-

karan itu dan memerintahkan mereka untuk menyerang dia. 

Segala persoalan itu yaitu  pasukan-Nya yang bertindak ber-

dasarkan perintah-Nya dan berkemah mengepung dia (ay. 12). 

Yang paling menggelisahkannya bukanlah sebab  tertimpa 

semua kesengsaraan itu, melainkan sebab  mereka menimpa-

nya sebagai pasukan Allah, sehingga tampaknya Allah sendiri-

lah yang berperang melawan dia dan menghendaki kehancur-

annya. Pasukan Allah berkemah mengepung kemah Ayub, se-

perti tentara mendirikan tembok pengepungan di sekeliling 

kota yang kuat, memotong semua jalan masuk bahan pangan 

ke dalam kota, dan menghajarnya berulang-ulang. Demikian-

lah kemah Ayub diserbu. Sebelumnya, pasukan Allah berke-

mah melindungi dia: Engkau yang membuat pagar sekeliling 

dia. Sekarang yang terjadi sebaliknya, mereka mengepung dia 

untuk menggentarkan dia dan membongkarnya di semua tem-

pat (ay. 10). 

3. Apakah Ayub melihat ke depan untuk mencari kelepasan? Ia 

melihat tangan Allah memangkas semua harapan yang ada 

(ay. 8): “Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku 

tidak dapat melewatinya. Tiada cara bagiku untuk menyela-

matkan diri, entah dengan keluar dari masalah ini ataupun 

menghibur diri di dalamnya. Bila aku bergerak, maju selang-

kah saja mencari kelepasan, ternyata jalanku ditutup-Nya. Aku 

tidak bisa melakukan apa yang kumau, bahkan hendak mene-

nangkan diri dengan pengharapan akan datang kelepasan pun 

aku tidak dapat. Kelepasan itu bukan hanya di luar jangkau-

anku, namun  juga di luar batas pandanganku, tidak terlihat. 

Jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap, dan tiada yang tahu sampai 

berapa lama lagi” (Mzm. 74:9). Ayub menyimpulkan (ay. 10), 

“Aku lenyap, terhilang dan tercabut dari dunia ini, seperti po-

hon harapanku dicabut-Nya, dicabut sampai ke akar-akarnya 

hingga tidak akan pernah tumbuh lagi.” Pengharapan dalam 

kehidupan yang sekarang dapat musnah, namun  pengharapan 

orang saleh, saat  ditumbangkan dari dunia ini, sesungguh-

nya seperti pohon yang dicabut dan ditanam di taman Tuhan. 

Oleh sebab  itu, tak ada alasan bagi kita untuk mengeluh jika 

Allah mencabut harapan kita dari pasir dan memindahkannya 

ke batu karang, dari yang