Tampilkan postingan dengan label ayub 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 5. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 5


 an Dia. Meskipun begitu, ada juga 

yang dikejutkan oleh teguran pada malam hari (33:14-15). 

4. Pesan itu didahului ketakutan: Ia terkejut dan gentar, sehingga 

tulang-tulangnya gemetar (ay. 14). Tampaknya, sebelum men-

dengar atau melihat sesuatu, hatinya disergap dengan kegen-

taran ini, hingga mengguncang tulang-tulangnya, dan mung-

kin juga tempat tidur di bawahnya. Rasa kagum dan hormat 

yang kudus terhadap Allah serta keagungan-Nya yang menerpa 

rohnya, membuatnya siap menerima kunjungan ilahi. Orang 

yang hendak diberi kehormatan oleh Allah akan direndahkan-

Nya dan dibuat merendah hati terlebih dahulu. Ia ingin agar 

kita semua melayani-Nya dengan rasa takut kudus, dan ber-

sukacita dengan gemetar.  

II. Utusan yang membawa pesan itu – suatu roh, salah satu malaikat 

baik, yang tidak saja ditugaskan sebagai pelayan Penyelenggaraan 

Allah, namun  terkadang sebagai pelayan firman-Nya juga. Menge-

nai penampakan yang dilihat Elifas ini, di sini kita diberi tahu (ay. 

15-16), 

1. Bahwa hal itu nyata dan bukan sekadar mimpi atau khayalan. 

Suatu sosok berada di depan matanya. Elifas melihatnya de-

ngan jelas. Mula-mula sosok itu melintas beberapa kali di de-

pannya, bergerak naik turun, namun akhirnya berhenti untuk 

berbicara kepadanya. Andai kata ada yang begitu tidak jujur 

sehingga memaksakan penglihatan palsu kepada orang lain, 

dan ada yang begitu bodoh sehingga memaksakannya kepada 

diri sendiri, maka itu bukanlah berarti bahwa memang terda-

pat penampakan roh, yang baik maupun yang jahat. 

2. Bahwa apa itu tidaklah jelas dan agak membingungkan. Rupa 

sosok itu tidak dapat dikenal olehnya, sehingga sulit baginya 

untuk membayangkan apa itu, apalagi untuk menggambar-

kannya. Nuraninya yang hendak dibangunkan serta diberi 

tahu saat itu, dan bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu-

nya. Kita hanya tahu sedikit tentang roh-roh. Kita tidak mam-

pu mengetahui banyak tentang mereka, dan juga tidak patut 

untuk kita mengetahuinya. Semua ini ada waktunya sendiri. 

Tidak lama lagi kita akan pindah ke dunia roh, dan saat  

itulah kita akan mengenal mereka dengan lebih baik. 

3. Bahwa penampakan itu membuatnya sangat ketakutan, se-

hingga tegaklah bulu romanya. Sejak manusia jatuh ke dalam 

dosa, sangatlah menakutkan baginya saat  menerima pesan 

dari sorga, sebab   ia sadar tidak dapat mengharapkan berita 

baik lagi. Oleh sebab itu, penampakan, bahkan dari roh yang 

baik, selalu mendatangkan kesan rasa takut, bahkan pada 

orang-orang baik sekalipun. sebab  itu, alangkah baiknya bagi 

kita bahwa Allah mengirimkan pesan-pesan-Nya kepada kita, 

bukan melalui roh-roh, namun  melalui manusia seperti kita, 

yang kengeriannya membuat kita tak usah ditimpa kegentaran! 

(Lih. Dan. 7:28; 10:8-9). 

III. Isi pesan itu sendiri. Sebelum disampaikan, ada keheningan, ke-

heningan yang amat sangat (ay. 16, KJV). saat  kita hendak ber-

bicara, baik untuk menyampaikan pesan-Nya maupun kepada-

Nya, sungguh layak apabila kita menaruh perhatian kepada per-

kataan itu dengan berdiam dan khidmat terlebih dahulu. Dengan 

demikian kita membatasi diri untuk tidak mendekat ke gunung 

tempat Allah akan turun, dan tidak tergesa-gesa mengutarakan 

apa pun. Pesan itu disampaikan dengan suara berbisik-bisik, dan 

inilah isinya (ay. 17): “Mungkinkah seorang manusia benar di ha-

dapan Allah, Allah yang kekal? Mungkinkah seseorang tahir di 

hadapan Penciptanya? Jauhkanlah pikiran semacam itu!” 

1. Ada yang berpendapat bahwa dengan ini Elifas hendak mem-

buktikan bahwa penderitaan hebat Ayub merupakan bukti 

nyata bahwa ia orang yang jahat. Manusia biasa akan diang-

gap tidak adil dan sangat kotor apabila ia menghukum dan 

menyiksa hamba atau bawahan seperti itu, kecuali orang itu 

telah melakukan kejahatan yang sangat berat: “Apabila tidak 

ada kejahatan besar yang oleh sebab nya Allah menghukum-

mu, maka manusia akan lebih adil daripada Allah, yang sung-

guh tak terbayangkan.” 

2. Saya cenderung berpendapat bahwa perkataan Elifas itu seka-

dar untuk menegur sungut-sungut dan ketidakpuasan Ayub: 

“Akankah manusia mengaku-ngaku lebih adil dan murni dari-

pada Allah? Lebih dapat memahami dan lebih cermat meng-

amati peraturan serta hukum-hukum keadilan dibanding 

Allah? Akankah Enos, manusia fana dan sengsara itu, ber-

sikap begitu durjana? Bahkan lebih dari itu, akankah Geber, 

manusia paling kuat dan unggul, yang dalam keadaan terbaik-

nya, berani membandingkan diri dengan Allah, atau bersaing 

dengan-Nya?” Perhatikanlah, sungguh hina dan tidak masuk 

akal bila menganggap bahwa baik orang lain maupun diri kita 

sendiri lebih adil dan murni daripada Allah. Orang-orang yang 

bertengkar dan mencari-cari kesalahan petunjuk hukum ilahi, 

dispensasi anugerah ilahi, atau pengaturan penyelenggaraan 

ilahi, membuat diri mereka lebih adil dan murni daripada Allah. 

Hendaklah orang-orang yang mencela Allah menjawab. Apa! 

Engkau manusia berdosa! (Sebab ia bukanlah manusia fana 

seandainya dia bukan orang berdosa). Manusia berpandangan 

dangkal! Akankah ia berlagak lebih adil, lebih murni daripada 

Allah, yang merupakan Penciptanya, TUHAN dan Pemiliknya? 

Akankah tanah liat berdebat dengan sang tu-kang periuk? 

Seperti apa pun keadilan dan kemurnian yang ada di dalam 

diri manusia, Allah sendirilah sumber pencipta-nya, dan oleh 

sebab itu Ia juga lebih adil dan murni (Mzm. 94:9-10). 

IV. Ulasan yang dibuat Elifas mengenai hal ini, sebab sepertinya itulah 

yang dilakukannya. Namun, ada juga yang beranggapan bahwa 

semua ayat berikutnya diucapkan melalui penglihatan. Semuanya 

menyatu. 

1. Elifas menunjukkan betapa kecil para malaikat bila dibanding-

kan dengan Allah (ay. 18). Malaikat yaitu  pelayan Allah, pela-

yan yang menunggu, pelayan yang bekerja. Mereka yaitu  

pesuruh-pesuruh-Nya (Mzm. 104:4). Mereka yaitu  makhluk 

terang dan diberkati, namun Allah tidak membutuhkan atau 

mendapatkan kebaikan dari mereka. Ia jauh lebih tinggi tak 

terhingga daripada mereka, dan oleh sebab itu, 

(1) Allah tidak mempercayakan diri kepada mereka, tidak me-

naruh kepercayaan kepada mereka seperti yang kita laku-

kan terhadap orang-orang yang sangat kita perlukan agar 

bisa tetap hidup. Tidak ada pelayanan yang ditugaskan-

Nya kepada mereka. Sebaliknya, apabila suka, Ia dapat me-

lakukannya dengan baik tanpa bantuan mereka. Allah 

tidak pernah menjadikan mereka orang kepercayaan-Nya, 

atau dewan penasihat-Nya (Mat. 24:36). Ia tidak sepenuhnya 

menyerahkan perkara-Nya kepada mereka, sebaliknya mata-

Nya menjelajah seluruh bumi (2Taw. 16:9). Amatilah kalimat 

dalam Ayub 39:14. Ada yang mengartikannya sebagai beri-

kut: “Bahkan sebegitu mudah tabiat malaikat berubah, 

hingga Allah tidak mau mempercayai kejujuran malaikat. 

Seandainya Ia mempercayai para malaikat, mereka tentu 

akan berbuat seperti yang dilakukan beberapa dari antara 

mereka, yaitu meninggalkan kedudukan mereka yang per-

tama-tama. Sebaliknya, Ia menganggap perlu untuk mem-

beri mereka anugerah ajaib guna meneguhkan mereka.” 

(2) Allah menuduh mereka telah melakukan kebodohan, ke-

sombongan, kekurangan, kelemahan, dan ketidaksempur-

naan apabila dibandingkan dengan diri-Nya sendiri. Sean-

dainya dunia dipercayakan kepada pemerintahan para ma-

laikat, dan kepada mereka dipercayakan pengelolaan tung-

gal atas semua perkara, maka mereka bisa saja mengambil 

langkah yang keliru, dan segala sesuatu tidak akan dilaku-

kan dengan cara yang terbaik sebagaimana halnya seka-

rang. Malaikat memang merupakan makhluk cerdas, namun  

terbatas. Walaupun tidak dapat dituduh bersalah, namun 

mereka masih bisa lalai juga. Hal yang disebut terakhir ini 

masih diartikan dengan berbagai makna oleh para peng-

ulas. Sepertinya dengan mengulang sangkalan yang sudah 

sangat lazim itu, bunyinya akan sebagai berikut: Para Suci-

Nya tidak dipercayai-Nya, juga Ia tidak bermegah di dalam 

malaikat-malaikat-Nya; in angelis suis non ponet gloriationem 

– atau memuji-muji mereka, seolah-olah pujian atau pela-

yanan mereka menambahkan sesuatu bagi-Nya. Merupa-

kan kemuliaan-Nya bahwa Ia berbahagia tak terhingga tan-

pa para malaikat. 

2. Kemudian Elifas menyimpulkan betapa jauh lebih besar keku-

rangan manusia, betapa kurang dipercaya atau dipuji. Jika 

antara Allah dengan para malaikat saja sudah ada jarak yang 

sedemikian jauh, maka apalagi di antara Allah dan manusia! 

Lihatlah bagaimana manusia digambarkan di sini dalam kehi-

naannya. 

(1) Pandanglah manusia dalam hidupnya, dan ia akan terlihat 

sangat rendah (ay. 19). Pandanglah manusia dalam keada-

annya yang terbaik, dan ia yaitu  makhluk yang sangat 

hina dibandingkan dengan para malaikat kudus, meskipun 

terhormat bila dibandingkan dengan binatang. Memang be-

nar bahwa malaikat merupakan roh, dan jiwa manusia juga 

berupa roh. Namun, 

[1] Malaikat yaitu  murni roh, sedangkan jiwa manusia 

diam dalam pondok tanah liat. Seperti itulah tubuh ma-

nusia. Malaikat yaitu  makhluk bebas, sedangkan jiwa 

manusia mempunyai wadah. Tubuhnya bagaikan awan 

atau beban yang merintanginya. Tubuh bagaikan sang-

kar atau penjara yang mengurungnya. Tubuh manusia 

bagaikan pondok tanah liat yang bersahaja dan bisa 

rusak. Bejana dari tanah, segera hancur, seperti saat 

pertama kali dibentuk, sesuai keinginan tukang periuk. 

Tubuh manusia bagaikan pondok, bukan rumah yang 

terbuat dari kayu aras atau gading, melainkan dari ta-

nah liat yang akan segera hancur apabila tidak terus 

diperbaiki. 

[2] Malaikat terpancang kokoh, namun  dasar pondok tanah 

liat tempat manusia berdiam, terletak dalam debu. Ru-

mah dari tanah liat, jika dibangun di atas batu karang, 

bisa bertahan lama. Namun, jika dibangun dasarnya di 

dalam debu, maka ketidakpastian dasarnya akan mem-

percepat keruntuhannya, sehingga rumah itu akan 

roboh bersama bebannya sendiri. Sama seperti manusia 

diciptakan dari tanah, demikian juga ia dipelihara dan 

ditopang dengan apa yang berasal dari tanah. Ambillah 

penopang itu, maka tubuhnya akan kembali ke tanah. 

Kita ini hanya berdiri di atas debu. Beberapa orang ber-

diri di atas gundukan debu yang lebih tinggi daripada 

yang lain. Namun, tetap saja tanah yang menopang kita 

dan tidak lama lagi akan menelan kita. 

[3] Malaikat merupakan makhluk kekal, sedangkan manu-

sia akan hancur dalam waktu singkat. Jika kemah tem-

pat kediaman kita di bumi ini dibongkar, maka akan 

hancur keelokannya sama seperti gegat (ngengat, sejenis 

serangga kecil – pen.), mudah dan cepat remuk di an-

tara jemari. Orang hampir sama cepatnya membunuh 

manusia seperti membunuh seekor gegat. Hal kecil pun 

mampu mencabut nyawanya. Ia mati terpijat seperti ge-

gat, demikianlah firman yang tertulis. Apabila penyakit 

menahun yang mampu menggerogoti tubuh seperti hal-

nya gegat ditugaskan untuk membinasakannya, orang 

tidak akan mampu menolaknya, sama seperti ia tidak 

bisa menolak penyakit gawat yang datang meraung dan 

menerkam seperti singa (Hos. 5:12-14). Apakah makh-

luk semacam ini dapat dipercayai, atau dapatkah diha-

rapkan jasa darinya oleh Allah yang bahkan tidak mem-

percayai para malaikat itu sendiri? 

(2) Pandanglah manusia dalam kematiannya, maka ia akan 

tampak semakin hina dan tidak pantas dipercayai. Manu-

sia yaitu  makhluk fana yang segera mati (ay. 20-21). 

[1] Dalam kematian, mereka dihancurkan dan binasa untuk 

selama-lamanya, sama seperti dunia ini. Kematian ada-

lah akhir dari kehidupan dan pekerjaan dan segala ke-

nikmatan mereka di dunia ini. Tempat mereka tidak 

akan mengenal mereka lagi. 

[2] Setiap hari mereka berangsur-angsur menuju kematian, 

dan semakin lenyap: Di antara pagi dan petang mereka 

dihancurkan. Kematian masih bekerja di dalam diri kita, 

bagaikan tikus yang menggali kubur kita setiap kali 

memindahkan tanah liang itu. Kita senantiasa terpapar 

seperti itu sehingga sama seperti dibunuh sepanjang 

hari. 

[3] Hidup manusia singkat, dan tidak lama lagi akan pu-

nah. Kelangsungannya hanya dari pagi sampai petang. 

Lamanya hanya satu hari (seperti yang diartikan bebe-

rapa orang). Kelahiran dan kematian mereka tidak lebih 

dari terbit dan terbenamnya matahari pada hari yang 

sama. 

[4] Dalam kematian, seluruh keunggulan mereka akan ber-

lalu. Baik kecantikan, kekuatan, maupun pengetahuan 

mereka tidak saja tak mampu mengamankan mereka 

dari kematian, namun  juga harus mati bersama mereka. 

Semarak, kekayaan, maupun kekuasaan mereka pun 

tidak akan turun ke kubur bersama mereka. 

[5] Hikmat mereka pun tidak mampu menyelamatkan me-

reka dari kematian: Mereka mati, namun  tanpa hikmat. 

Mati sebab  kekurangan hikmat akibat membawa diri 

dengan bodoh. Mereka bagaikan menggali kubur dengan 

gigi mereka sendiri. 

[6] Hal ini dianggap begitu lazim hingga tak seorang pun 

memperhatikannya: tanpa menghiraukan atau mengingat-

nya, mereka binasa. Kematian orang lain memang acap 

merupakan pokok pembicaraan umum, namun  jarang 

menjadi pokok pemikiran dengan sungguh. Ada yang 

berpendapat bahwa di sini dibicarakan baik tentang hu-

kuman kekal atas orang berdosa maupun kematian se-

mentara mereka: Di antara pagi dan petang mereka 

dihancurkan, atau diremukkan oleh kematian dari pagi 

sampai petang. Apabila mereka tidak bertobat, mereka 

akan binasa untuk selama-lamanya (ay. 20). Mereka 

binasa untuk selamanya sebab  tidak peduli kepada 

Allah dan kewajiban mereka. Mereka tidak berpikir akan 

akhirnya (Rat. 1:9). Mereka tidak memiliki keunggulan 

selain yang diambil oleh kematian, dan setelah itu me-

reka mati, mati untuk kematian kedua, sebab  ketiada-

an hikmat untuk meraih hidup kekal. Akankah makh-

luk hina, lemah, bodoh, berdosa, dan hampir mati se-

perti ini mau berlagak benar di hadapan Allah dan tahir 

di hadapan Penciptanya? Tidak, daripada bertengkar 

dengan penderitaannya, biarlah ia takjub bahwa ia ber-

ada di luar neraka. 

 

 

 

PASAL  5  

lifas, dalam pasal sebelumnya, untuk menguatkan tuduhannya 

terhadap Ayub, menyampaikan suatu perkataan yang ia pastikan 

berasal dari sorga, yang dikirimkan kepadanya dalam suatu peng-

lihatan. Dalam pasal ini dia memberi kesaksian yang terjadi di bumi, 

yang dialami orang-orang kudus, saksi-saksi yang setia tentang kebe-

naran Allah di sepanjang abad (ay. 1). Mereka memberi kesaksian,  

I. Bahwa dosa dari orang-orang yang berdosa menjadi kehan-

curan mereka (ay. 2-5).  

II. Bahwa malapetaka yaitu  nasib yang dapat menimpa semua 

umat manusia (ay. 6-7).  

III. Bahwa saat  kita mengalami bencana, maka menjadi hikmat 

dan kewajiban kita untuk bersandar kepada Allah, sebab Ia 

sanggup dan siap untuk menolong kita (ay. 8-16).  

IV. Bahwa malapetaka yang ditanggung dengan baik akan ber-

akhir dengan baik. Dan Ayub secara khusus, jika dia mau 

berubah sikapnya dengan baik, dapat menjamin diri bahwa 

Allah menyediakan belas kasih-Nya yang besar baginya (ay. 

17-27). Demikianlah, Elifas mengakhiri percakapannya dengan 

lebih menghibur hati dibandingkan saat  ia memulainya.  

Teguran Elifas 

(5:1-5) 

1 Berserulah – adakah orang yang menjawab engkau? Dan kepada siapa di 

antara orang-orang yang kudus engkau akan berpaling? 2 Sesungguhnya, 

orang bodoh dibunuh oleh sakit hati, dan orang bebal dimatikan oleh iri hati. 

3 Aku sendiri pernah melihat orang bodoh berakar, namun  serta-merta kuku-

tuki tempat kediamannya. 4 Anak-anaknya selalu tidak tertolong, mereka 

diinjak-injak di pintu gerbang tanpa ada orang yang melepaskannya. 5 Apa 

yang dituainya, dimakan habis oleh orang yang lapar, bahkan dirampas dari 

tengah-tengah duri, dan orang-orang yang dahaga mengingini kekayaannya. 

Suatu perdebatan yang sangat hangat dimulai antara Ayub dan te-

man-temannya. Dan Elifas di sini berusaha mencari hal-hal yang bisa 

dijadikan rujukan untuk melihat persoalan yang didebatkan itu. Da-

lam semua perdebatan mungkin lebih baik kalau hal ini dilakukan 

lebih cepat, jika pihak-pihak yang berdebat tidak dapat mengakhiri 

perdebatan. Betapa pastinya Elifas tentang kebenaran pendapatnya 

sehingga dia mendorong Ayub untuk memilih seorang penengah (ay. 

1): Berserulah – adakah orang yang menjawab engkau?  Yaitu,  

1. “Jika ada orang yang menderita sama seperti yang engkau derita. 

Dapatkah engkau memberikan sebuah contoh tentang siapa saja 

yang sungguh-sungguh merupakan seorang yang saleh, yang 

direndahkan hingga mengalami kesesakan sedemikian parahnya 

seperti engkau? Allah tidak pernah memperlakukan orang yang 

mengasihi nama-Nya seperti Ia memperlakukan engkau, jadi pas-

tilah engkau tidak termasuk orang-orang yang mengasihi Dia.”  

2. “Apabila ada orang yang berkata seperti engkau katakan. Apakah 

ada orang baik yang mengutuk hari kelahirannya seperti engkau? 

Atau akankah orang-orang saleh membenarkan engkau dengan 

kepanasan hati atau kemarahanmu yang membara ini? Ataukah 

mereka akan berkata itu yaitu  noda hitam dari anak-anak Allah? 

Engkau tidak akan menemukan seorang pun dari para saleh yang 

akan membela engkau atau menentang aku dalam hal ini. Dan 

kepada siapa di antara orang-orang yang kudus engkau akan ber-

paling? Berpalinglah ke mana engkau mau dan engkau akan me-

nemukan bahwa mereka semua sama dan sepikiran denganku. 

Aku memiliki communis sensus fidelium – suara bulat dari yang se-

tia ada di pihakku. Mereka semua akan mendukung apa yang aku 

katakan.” Amatilah,  

(1) Orang-orang baik disebut orang-orang kudus bahkan di dalam 

Perjanjian Lama juga. Dan sebab  itu aku tidak tahu mengapa 

kita, secara umum (kecuali sebab  kita harus loqui cum vulgo – 

berbicara seperti para tetangga kita), mengenakan sebutan 

“santo” kepada orang-orang baik Perjanjian Baru, namun  tidak 

kepada mereka yang dari Perjanjian Lama, sehingga tidak me-

nyebut Santo Abraham, Santo Moses, dan Santo Yesaya, se-

perti halnya kita menyebut Santo Matius dan Santo Markus.

 Dan juga Santo Daud si pemazmur, serta Santo David uskup 

Inggris. Harun dengan jelas disebut orang kudus TUHAN. 

(2) Semua orang yang kudus akan berpaling kepada mereka yang 

juga demikian, akan memilih mereka sebagai sahabat dan 

bergaul dengan mereka, akan memilih mereka sebagai hakim 

mereka dan mencari nasihat dari mereka (Lih. Mzm. 119:79). 

Orang-orang kudus akan menghakimi dunia (1Kor. 6:1-2). Tem-

puhlah jalan orang baik (Ams. 2:20), jalan-jalan yang dahulu 

kala, jejak dari kawanan. Setiap orang memilih orang-orang 

tertentu yang menurutnya baik bagi dirinya, dan yang kecon-

dongan hatinya mendatangkan kehormatan atau kehinaan. 

Nah, semua orang kudus tentu berusaha memilih orang-orang 

yang juga kudus seperti mereka dan berpegang teguh pada  

pilihan mereka itu.  

(3) Ada kebenaran-kebenaran tertentu yang sedemikian jelas dan 

dikenal serta dipercaya secara luas, hingga orang berani saja 

untuk memohon menyerukannya kepada orang-orang kudus. 

Walaupun ada beberapa hal yang sayangnya mereka tidak 

saling sependapat, namun masih ada banyak lagi dan lebih 

penting, yang mereka sepakati. Seperti kejahatan dosa, kesia-

siaan dunia, berharganya jiwa, keperluan akan suatu kehidup-

an yang kudus, dan sebagainya. Kendati mereka semua tidak 

sepenuhnya hidup, sebagaimana mestinya, sesuai dengan ke-

percayaan mereka akan kebenaran-kebenaran itu, namun me-

reka semua siap untuk bersaksi mengenai semua kebenaran 

itu.  

Sekarang, ada dua hal yang dipertahankan Elifas di sini, yang tidak 

diragukannya semua orang kudus sepakat dengan dia: 

I. Bahwa dosa para pendosa secara langsung membawa kehancuran 

kepada diri mereka sendiri (ay. 2): Orang bodoh dibunuh oleh sakit 

hati, oleh murkanya sendiri, dan sebab  itu bodohlah dia kalau 

menurutinya. Sakit hati menjadi api di dalam tulang-tulangnya, di 

dalam darahnya, cukup untuk membuatnya sakit demam. Iri hati 

yaitu  karat dari tulang-tulang, sehingga dapat mematikan orang 

bebal yang menjengkelkan dirinya sendiri dengannya. “Demikian 

pula dengan engkau, Ayub,” kata Elifas, “sementara engkau ber-

bantah dengan Allah, engkau melakukan kejahatan besar terha-

dap dirimu sendiri. Murkamu terhadap masalahmu sendiri, dan 

iri hatimu terhadap kemakmuran kami, hanya menambah rasa 

sakit dan sengsaramu. Berpalinglah kepada orang-orang kudus 

dan engkau akan mendapati mereka lebih memahami apa yang 

menjadi kepentingan mereka.” Sebelumnya Ayub memarahi istri-

nya berbicara sebagai seorang perempuan bodoh. Kini Elifas me-

marahi dia telah berlaku sebagai seorang laki-laki yang bodoh, 

dungu tak berakal. Atau hal itu dimaksudkan demikian: “Apabila 

manusia sampai hancur dan binasa, itu terjadi akibat kebodohan 

mereka sendiri. Mereka membunuh diri sendiri dengan nafsu sen-

diri. sebab  itu, tak diragukan, Ayub, engkau telah melakukan 

suatu hal yang bodoh, yang olehnya engkau telah membawa diri 

sendiri ke dalam keadaan bencana ini.” Banyak orang memahami-

nya sebagai murka dan kecemburuan Allah. Ayub tidak perlu geli-

sah dengan kemakmuran orang jahat, sebab  senyum dunia tidak 

akan pernah dapat melindungi mereka dari kernyit dahi Allah. 

Mereka bodoh dan dungu kalau mereka menganggapnya demikian. 

Murka Allah akan menjadi kematian, kematian kekal, dari orang-

orang yang kena murka-Nya. Apakah neraka itu selain murka 

Allah semata dan tanpa akhir?  

II. Bahwa kesejahteraan orang jahat singkat dan kehancuran mereka 

pasti (ay. 3-5). Elifas di sini sepertinya menyejajarkan kasus Ayub 

dengan kasus yang biasanya menimpa orang jahat.  

1. Ayub menjadi makmur hanya untuk sekejap, dan ia tampak-

nya merasa mapan, dan aman-aman saja dalam kesejahtera-

annya. Sangat umum bagi orang jahat yang bodoh untuk ber-

buat demikian: Aku sendiri pernah melihat orang bodoh ber-

akar, tertanam dalam-dalam, dan, dalam pemahaman orang 

lain dan diri sendiri, terpancang kokoh dan kemungkinan 

akan terus berlanjut (Lih. Yer. 12:2; Mzm. 37:35-36). Kita me-

nyaksikan orang dunia berakar di bumi. Pada hal-hal duniawi 

mereka menancapkan pijakan pengharapan mereka, dan dari 

sana mereka mengisap sari sumber kenyamanan mereka. 

Harta lahiriah mungkin berkembang, namun  jiwa tidak dapat 

berkembang jika berakar di bumi. 

2. Kesejahteraan Ayub kini berakhir, dan demikianlah kesejah-

teraan orang-orang jahat lainnya segera berakhir.  

(1) Elifas telah mengetahui kehancuran mereka dengan suatu 

mata iman. Orang-orang yang hanya melihat kepada hal-

hal yang sekarang memberkati tempat kediaman mereka, 

dan menganggap diri bahagia dan kiranya berlangsung 

lama, dan berharap terus hidup demikian. namun  Elifas me-

ngutukinya, tiba-tiba mengutukinya, segera saat  dia me-

lihat mereka mulai berakar, yaitu dengan jelas dia menge-

tahui dan meramalkan kehancuran mereka. Bukan bahwa 

dia mendoakan kehancuran mereka (Aku tidak mengingini 

hari bencana!), melainkan dia dapat memperkirakan hal itu 

akan terjadi. Ia masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan di t

sana memperhatikan kesudahan mereka dan mendengar 

akhir hidup mereka ditetapkan (Mzm. 73:17-18), bahwa 

orang bebal akan dibinasakan oleh kelalaiannya (Ams. 1:32, 

KJV: oleh kemakmurannya). Orang-orang yang mempercayai 

firman Allah dapat melihat suatu kutuk ada di dalam rumah 

orang fasik (Ams. 3:33), kendati rumah itu dengan sedemi-

kian baik dan kokoh dibangun, dan sedemikian penuh de-

ngan semua hal yang baik. Dan orang yang percaya firman 

Tuhan dapat melihat bahwa kutuk itu akan, pada waktu-

nya, secara pasti akan membakarnya dengan kayu dan 

batu (Zak. 5:4).  

(2) Elifas telah melihat, pada akhirnya sekarang, apa yang 

telah dilihatnya itu. Ia tidak kecewa dengan apa yang telah 

diperkirakannya akan terjadi dengan orang-orang jahat itu. 

Sebab, begitulah yang akhirnya harus terjadi. Kini keluarga 

Ayub musnah dan harta kekayaannya habis. Khususnya 

dalam semua kejadian berikut ini, Elifas dengan tegas dan 

jelas menyindir malapetaka yang menimpa Ayub.  

[1] Anak-anaknya dihancurkan (ay. 4). Mereka menyangka 

aman di rumah saudara sulung mereka, namun  sesung-

guhnya jauh dari aman, sebab mereka diinjak-injak di 

pintu gerbang. Mungkin pintu atau gerbang rumah ter-

sebut dibangun sangat tinggi, dan roboh menimpa me-

reka, tanpa ada orang yang melepaskan mereka dari 

binasa dalam kehancuran itu. Hal ini umum dipahami 

sebagai kehancuran yang menimpa keluarga-keluarga 

orang jahat, melalui pelaksanaan keadilan, yang me-

nuntut mereka untuk mengembalikan apa yang telah 

mereka peroleh dengan cara tidak benar. Mereka me-

ninggalkannya kepada anak-anak mereka. namun  ketu-

runan mereka tidak akan menghalangi masuknya para 

pemilik yang sah, yang akan menginjak hancur anak-

anak mereka, dan membuang mereka sesuai dengan 

hukum yang berlaku. Dan tidak akan ada orang untuk 

menolong mereka, atau mungkin melalui penindasan 

(Mzm. 109:9, dst).  

[2] Harta milik orang jahat dijarah (ay. 5). Milik Ayub juga 

demikian. Para perampok yang lapar, orang-orang Syeba 

dan Kasdim, membawa lari semuanya dan menelannya. 

Dan hal ini, kata Elifas, aku sering melihatnya terjadi 

pada diri orang lain. Apa yang telah didapat melalui ja-

rahan dan pemerasan juga hilang dengan cara yang 

sama. Pemilik yang hati-hati memagari sekeliling harta-

nya dengan duri, lalu menganggapnya aman. namun  pa-

gar ternyata tidaklah berguna melawan ketamakan para 

penjarah (jika orang yang lapar dapat menembus tem-

bok batu, betapa lebih mudahnya lagi menerobos pagar 

berduri), dan melawan kutukan ilahi, yang akan mene-

robos duri dan bunga mawar liar, dan membakarnya se-

kaligus (Yes. 27:4). 

Teguran Elifas 

(5:6-16) 

6 sebab  bukan dari debu terbit bencana dan bukan dari tanah tumbuh ke-

susahan; 7 melainkan manusia menimbulkan kesusahan bagi dirinya, seperti 

bunga api berjolak tinggi. 8 namun  aku, tentu aku akan mencari Allah, dan 

kepada Allah aku akan mengadukan perkaraku. 9 Ia melakukan perbuatan-

perbuatan yang besar dan yang tak terduga, serta keajaiban-keajaiban yang 

tak terbilang banyaknya; 10 Ia memberi hujan ke atas muka bumi dan men-

jatuhkan air ke atas ladang; 11 Ia menempatkan orang yang hina pada derajat 

yang tinggi dan orang yang berdukacita mendapat pertolongan yang kuat;  

12 Ia menggagalkan rancangan orang cerdik, sehingga usaha tangan mereka 

tidak berhasil; 13 Ia menangkap orang berhikmat dalam kecerdikannya sen-

diri, sehingga rancangan orang yang belat-belit digagalkan. 14 Pada siang hari 

mereka tertimpa gelap, dan pada tengah hari mereka meraba-raba seperti 

pada waktu malam. 15 namun  Ia menyelamatkan orang-orang miskin dari ke-

dahsyatan mulut mereka, dan dari tangan orang yang kuat. 16 Demikianlah 

ada harapan bagi orang kecil, dan kecurangan tutup mulut. 

 

Elifas menyentuh Ayub pada bagian yang sangat peka, dengan me-

nyebut kehilangan harta kekayaannya dan kematian anak-anaknya 

sebagai hukuman yang adil atas dosanya, supaya dia tidak menjadi 

putus asa. Sekarang di sini Elifas mulai menguatkan dia dan ber-

usaha untuk menenangkan dirinya. Kini Elifas banyak mengubah 

nada suaranya (Gal. 4:20), dan berbicara dengan nada kebaikan, 

seakan-akan dia ingin menebus kata-kata kasar yang sebelumnya 

disampaikannya kepada Ayub.  

I. Ia mengingatkan Ayub bahwa tidak ada malapetaka yang datang 

secara kebetulan atau disebabkan oleh penyebab kedua: sebab  

bukan dari debu terbit bencana, atau bukan dari tanah tumbuh 

kesusahan, seperti yang terjadi  pada rumput (ay. 6). Hal itu tidak 

juga datang tentu saja, di waktu tertentu dalam setahun itu, 

seperti hal hasil-hasil alam, melalui suatu mata rantai penyebab 

kedua. Banyaknya kesejahteraan dan kemalangan tidaklah ditim-

bang dengan tepat oleh Allah Sang Penyelenggara seperti Ia mem-

bagi siang dan malam, musim panas dan musim dingin, me-

lainkan sesuai dengan kehendak dan pertimbangan-Nya, kapan 

terjadi dan seperti yang dipikirkan-Nya tepat. Sebagian orang mem-

bacanya, Dosa tidak terbit dari debu atau pelanggaran dari tanah. 

Apabila manusia jahat, janganlah mereka menyalahkan tanah, 

musim, atau bintang-bintang, melainkan menyalahkan diri sen-

diri. Jikalau engkau mencemooh, engkau sendirilah orang yang 

akan menanggungnya. Kita tidak boleh menghubungkan bencana 

kita dengan keberuntungan, sebab hal itu yaitu  dari Allah, atau 

dosa kita dengan nasib, sebab  hal itu berasal dari diri kita sen-

diri. Maka, apa pun masalah yang kita hadapi, kita harus meng-

akui bahwa Allah mengirimnya kepada kita dan kitalah yang 

mendatangkannya bagi diri sendiri: Pengakuan bahwa Allah yang 

mengirimkan masalah itu kepada kita menjadi alasan mengapa 

kita harus bersabar, dan pengakuan bahwa kita yang menjadi 

penyebabnya menjadi alasan mengapa kita harus bertobat, saat  

kita tertimpa bencana.  

II. Elifas mengingatkan Ayub bahwa masalah dan bencana harus 

kita nantikan di dalam dunia ini: Manusia menimbulkan kesusah-

an bagi dirinya sendiri (ay. 7), bukan sebagai manusia (seandainya 

dia tetap menjaga ketidakbersalahannya maka dia akan dilahir-

kan dengan bahagia), melainkan sebagai manusia yang berdosa, 

yang lahir dari perempuan (14:1), yang telah berada dalam dosa. 

Manusia dilahirkan dalam dosa dan sebab nya dilahirkan kepada 

permasalahan. Bahkan orang-orang yang lahir untuk mendapat 

kehormatan dan harta kekayaan pun tetap saja dilahirkan kepada 

persamasalahan di dalam daging. Dalam keadaaan kita yang 

jatuh, wajar bagi kita untuk berdosa dan akibat yang wajar dari-

nya yaitu  bencana (Rm. 5:12). Tidak ada sesuatu di dalam dunia 

ini yang kepadanya kita dilahirkan, dan yang sungguh-sungguh 

dapat disebut sebagai milik kita, selain dosa dan masalah. Kedua-

nya seperti bunga api yang terbang ke atas. Dosa yang terjadi 

yaitu  bunga api yang keluar dari tungku perapian dosa asal. 

Dan, dengan disebut pemberontak dari sejak kandungan, tak he-

ran bahwa kita berbuat khianat dengan sekeji-kejinya (Yes. 48:8). 

Begitu rapuh tubuh kita dan sia-sia semua kenikmatan kita, 

sehingga masalah muncul secara alami seperti bunga api terbang 

ke atas, begitu banyaknya, begitu tebal dan begitu cepatnya se-

hingga yang satu menyusul yang lain. Maka mengapakah kita 

harus merasa terkejut oleh malapetaka sebagai hal yang aneh, 

atau mempersoalkannya dengan keras, padahal kita memang 

dilahirkan untuk mengalami malapetaka? Manusia dilahirkan un-

tuk bekerja (demikianlah tafsirannya), dihukum untuk mencari 

makan dengan berpeluh di wajahnya, yang seharusnya membuat 

dia terbiasa dengan hidup keras, sehingga mampu menanggung 

penderitaannya dengan lebih baik. 

III. Ia menasihati Ayub bagaimana bersikap di bawah kesengsaraan-

nya (ay. 8): Aku akan mencari Allah, pasti aku akan: demikianlah 

di dalam naskah aslinya. Inilah,  

1. Teguran diam-diam terhadap Ayub sebab  tidak mencari Allah, 

melainkan bertengkar dengan Dia: “Ayub, seandainya aku ada 

di dalam penderitaanmu, aku tidak akan begitu kesal dan ge-

ram seperti engkau. Aku akan memasrahkan diri ke dalam ke-

hendak Allah.” Memang mudah untuk berkata apa yang akan 

kita lakukan seandainya kita berada di dalam masalah sese-

orang. Namun saat  kita sendirilah yang diuji, maka mungkin 

keadaannya tidak semudah seperti yang kita ucapkan.  

2. Nasihat yang sangat bagus bagi Ayub dan tepat di saat dia 

membutuhkan, yang disampaikan oleh Elifas sebagai seorang 

tokoh: “Kalau aku, cara terbaik yang aku kira baik untuk aku 

lakukan, seandainya aku berada di dalam keadaanmu, aku 

akan berseru kepada Allah.” Perhatikanlah, kita seharusnya 

memberi para sahabat kita bukan nasihat lain selain dari apa 

yang akan kita lakukan seandainya kita sendiri mengalami 

keadaan mereka, supaya kita dapat menjadi tenang di bawah 

kesengsaraan kita, mendapat kebaikan darinya, dan dapat 

melihat hasil yang baik darinya.  

(1) Dengan doa kita harus mencari belas kasih dan anugerah 

dari Allah, mencari Dia sebagai seorang Bapa dan Sahabat, 

kendati Ia melawan kita, sebagai satu-satunya yang sang-

gup mendukung dan menolong kita. Kita harus mencari 

perkenanan-Nya saat  kita kehilangan semua yang kita 

miliki di dalam dunia. Kepada-Nya kita harus berseru seba-

gai sumber dan Bapa dari kebaikan, semua penghibur-

an. Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baik-

lah ia berdoa. Doa melegakan hati, obat bagi setiap luka.  

(2) Kita harus dengan sabar menyerahkan diri dan permasa-

lahan kita kepada-Nya: Dan kepada Allah aku akan meng-

adukan perkaraku. Setelah mengutarakannya di hadapan-

Nya, aku akan menyerahkannya kepada-Nya. Setelah mele-

takkannya pada kaki-Nya, aku akan memasrahkannya ke 

dalam tangan-Nya. “Dia TUHAN, biarlah diperbuat-Nya apa 

yang dipandang-Nya baik.” Jika perkara kita yaitu  suatu 

perkara yang baik, kita tidak perlu takut menyerahkannya 

kepada Allah, sebab Ia adil dan baik. Orang-orang yang ingin 

mencari supaya berhasil, harus berserah diri kepada Allah.  

IV. Ia mendorong Ayub untuk mencari Allah dan menyerahkan per-

karanya kepada Dia. Tidaklah sia-sia untuk berbuat demikian, 

sebab Allah yaitu  satu-satunya tempat kita akan mendapatkan 

pertolongan dengan pasti. 

1. Elifas mengusulkan kepada Ayub untuk mempertimbangkan 

kuasa Allah yang Mahabesar dan kekuasaan-Nya yang berdau-

lat. Secara umum, Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang be-

sar (ay. 9), sungguh besar, sebab Ia dapat melakukan apa pun, 

Ia dapat melakukan setiap hal, dan semuanya menurut per-

timbangan kehendak-Nya. Sungguh besar perbuatan-Nya, se-

bab segala pekerjaan kuasa-Nya,  

(1)  Tak terduga, tidak pernah dapat dipahami, tak pernah da-

pat ditemukan dari awal sampai akhir (Pkh. 3:11). Pekerja-

an alam yaitu  misterius. Segala pencarian yang teliti pun 

masih tidak menemukan banyak, dan filsuf yang paling 

bijak pun mengakui kebingungan. Segala rancangan Allah 

Sang Penyelenggara jauh lebih dalam dan tak terukur (Rm. 

11:33).  

(2)  Tak terbilang, hingga tidak pernah dapat dihitung. Ia mela-

kukan hal-hal yang besar tanpa jumlah. Kuasa-Nya tidak 

pernah habis, dan semua tujuan-Nya tidak akan tergenapi 

sampai akhir zaman.  

(3) Pekerjaan-Nya ajaib, begitu ajaib hingga tidak pernah ha-

bis-habisnya dikagumi. Kekekalan itu sendiri tidak akan 

cukup untuk dilalui dalam mengagumi kebesaran Allah. 

Nah, berdasarkan hal ini, Elifas bermaksud,  

[1] Untuk menginsafkan Ayub akan kesalahan dan kebo-

dohannya dalam membantah Allah. Janganlah kita ber-

lagak dapat mengukur segala pekerjaan-Nya, sebab pe-

kerjaan-Nya tak terselami dan melampaui pencarian 

kita. Jangan pula kita berbantah dengan Pencipta kita, 

sebab Ia tentu terlalu sukar bagi kita, dan sanggup 

menghancurkan kita dalam sekejap.  

[2] Untuk mendorong Ayub mencari Allah dan menyerah-

kan perkaranya kepada Dia. Apa yang lebih menguat-

kan selain dari melihat bahwa Ia yaitu  satu-satunya 

yang punya kuasa? Ia dapat melakukan hal-hal yang 

besar dan ajaib untuk melepaskan kita, saat  kita ter-

perosok dalam-dalam.  

2. Elifas memberi beberapa contoh tentang kuasa dan kekuasaan 

Allah. 

(1) Allah melakukan hal-hal besar di dalam kerajaan alam: Ia 

memberi hujan ke atas muka bumi (ay. 10), Ia mencurahkan 

kepada semua orang dengan cuma-cuma karunia penye-

lenggaraan yang diperlukan semua orang, semua musim-

musim subur yang melaluinya Ia memuaskan hati kita de-

ngan makanan dan kegembiraan (Kis. 14:17). Amatilah, ke-

tika ingin menunjukkan hal-hal besar apa yang dilakukan 

oleh Allah, Elifas berbicara tentang memberi hujan. sebab  

hujan yaitu  suatu hal yang umum, kita cenderung me-

mandangnya sebagai suatu hal yang kecil, namun , jika kita 

mempertimbangkan dengan semestinya bagaimana hujan 

itu dihasilkan dan apa yang dihasilkan olehnya, maka kita 

akan melihatnya sebagai suatu pekerjaan yang besar dari 

kuasa dan kebaikan-Nya.  

(2) Allah melakukan hal-hal yang besar dalam urusan anak-

anak manusia, tidak hanya untuk memperkaya orang mis-

kin dan menghibur orang yang berkebutuhan, melalui 

hujan yang dikirim-Nya (ay. 10), namun  juga, untuk mening-

gikan orang-orang yang rendah dan hina. Ia menggagalkan 

rancangan orang cerdik (ay. 11-12, bdk. Luk. 1:51-53). Ia 

mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, se-

hingga meninggikan orang-orang yang rendah, dan melim-

pahkan segala yang baik kepada orang yang lapar. Lihatlah, 

[1] Bagaimana Allah menggagalkan rancangan orang yang 

cerdik dan sombong (ay. 12-14). Ada suatu kuasa yang 

Mahatinggi yang mengatur dan menguasai manusia yang 

menganggap diri bebas dan mutlak, dan memenuhi tu-

juan-Nya meskipun manusia berencana. Amatilah,  

Pertama, orang yang bebal, yang berjalan bertentangan 

dengan Allah dan kepentingan kerajaan-Nya, sering kali 

sangat licik. Sebab mereka yaitu  keturunan si ular tua 

yang terkenal sebab  kelicikannya. Mereka menganggap 

diri bijaksana, namun , pada akhirnya, akan terbukti bodoh.  

Kedua, orang bebal yang menjadi musuh kerajaan 

Allah memiliki sarana, usaha, dan pertimbangan, yang 

melawan-Nya dan warga-Nya yang setia. Orang-orang 

bebal itu tak kenal lelah dan tak jemu-jemu dalam ran-

cangan mereka, berunding diam-diam, tinggi dalam ha-

rapan, dalam pemikirannya, dan cepat terhubung dalam 

persekongkolan mereka (Mzm. 2:1-2).  

Ketiga, Allah dengan mudah dapat, dan (sepanjang 

bagi kemuliaan-Nya) sudah tentu akan menghancurkan 

dan mengalahkan semua rancangan para musuh-Nya 

dan musuh umat-Nya. Betapa dahsyat persekongkolan 

Ahitofel, Sanbalat, dan Haman dikacaukan! Betapa per-

sekongkolan Siria dan Efraim melawan Yehuda, Gebal, 

Amon, dan Amalek melawan Israel Allah, raja-raja di 

bumi melawan Tuhan dan yang diurapi-Nya, dipatah-

kan! Tangan-tangan yang telah diacungkan terhadap 

Allah dan jemaat-Nya gagal melaksanakan usaha mere-

ka dan semua senjata yang dilancarkan terhadap Sion 

tidak berhasil.  

Keempat, apa yang telah dirancang musuh bagi ke-

hancuran jemaat, sering berbalik menjadi kehancuran 

mereka sendiri (ay. 13): Ia menangkap orang berhikmat 

dalam kecerdikannya sendiri, sehingga rancangan orang 

yang belat-belit digagalkan (Mzm. 7:16-17; 9:16-17). Ini 

dikutip oleh sang rasul (1Kor. 3:19) untuk menunjuk-

kan bagaimana orang-orang fasik yang pandai ditipu 

oleh filsafat mereka sendiri yang sia-sia.  

Kelima, saat  Allah menghantam manusia, mereka 

dibingungkan, hilang akal, bahkan di dalam hal-hal yang 

kelihatannya paling jelas dan mudah (ay. 14): Pada siang 

hari mereka tertimpa kegelapan: Bahkan mereka lari me-

nuju kegelapan oleh sebab  kekerasan dan niat jahat ran-

cangan mereka (Lih. 12:20, 24-25). 

[2] Bagaimana Allah berkenan akan perkara orang miskin 

dan rendah hati dan mendukung mereka.  

Pertama, Ia meninggikan orang yang rendah hati (ay. 

11). Orang-orang yang dirancang oleh orang-orang yang 

angkuh untuk dihancurkan diangkat dari bawah kaki 

mereka dan menempatkan mereka di tempat yang aman 

(Mzm. 12:5). Orang yang rendah hati dan mereka yang 

berduka didukung-Nya, dihiburkan dan dibuatnya ting-

gal di tempat yang tinggi, di dalam kubu di atas bukit batu 

(Yes. 33:16). Orang-orang yang berkabung untuk Sion di-

meteraikan dan ditandai bagi keselamatan (Yeh. 9:4).  

Kedua, Ia membebaskan orang yang tertindas (ay. 

15). Rancangan orang yang licik yaitu  untuk meng-

hancurkan orang miskin. Lidah, tangan, dan pedang, 

semuanya dikerahkan untuk hal ini. namun  Allah me-

lindungi secara istimewa mereka yang miskin dan tak 

berdaya menolong diri sendiri, miskin dan bersungguh-

sungguh menyembah-Nya, berserah diri kepada-Nya. Ia 

menyelamatkan mereka dari mulut yang mengucapkan 

hal-hal yang tajam terhadap mereka, dan tangan yang 

melakukan hal-hal yang keras kepada mereka. Sebab Ia 

dapat, apabila berkenan, mengikat lidah dan melayukan 

tangan. Hasil dari hal ini yaitu  (ay. 16),  

1.  Bahwa orang-orang kudus yang lemah dan takut dihi-

burkan: Sehingga orang yang miskin, yang mulai 

menjadi putus asa, memiliki pengharapan. Pengalam-

an sebagian orang merupakan penguatan kepada 

yang lain untuk mengharapkan yang terbaik di dalam 

waktu-waktu yang tersukar. Sebab merupakan ke-

muliaan Allah untuk mengirim pertolongan kepada 

yang tidak berdaya dan pengharapan kepada yang 

putus asa.  

2.  Bahwa orang-orang berdosa yang berani mengancam 

dikacaukan: Kesalahan menutup mulutnya, dikejut-

kan dengan keanehan penyelamatan orang benar, 

malu dengan kebencian mereka terhadap orang-

orang yang ternyata merupakan kesayangan sorga. 

Mereka dimatikan oleh kekecewaan, dan dipaksa 

untuk mengakui keadilan perbuatan Allah, tanpa 

mampu memberi perlawanan apa pun. Orang-orang 

yang menguasai orang-orang miskin milik Allah, 

yang menakut-nakuti mereka, dan mengancam serta 

menuduh mereka, akan bungkam seribu bahasa ke-

tika Allah tampil membela mereka (Lih. Mzm. 76:9-

10; Yes. 26:11; Mi. 7:16). 

Teguran Elifas 

(5:17-27) 

17 Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu ja-

nganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa. 18 sebab  Dialah yang 

melukai, namun  juga yang membebat; Dia yang memukuli, namun  yang tangan-

Nya menyembuhkan pula. 19 Dari enam macam kesesakan engkau diluput-

kan-Nya dan dalam tujuh macam engkau tidak kena malapetaka. 20 Pada 

masa kelaparan engkau dibebaskan-Nya dari maut, dan pada masa perang 

dari kuasa pedang. 21 Dari cemeti lidah engkau terlindung, dan engkau tidak 

usah takut, bila kemusnahan datang. 22 Kemusnahan dan kelaparan akan 

kautertawakan dan binatang liar tidak akan kautakuti. 23 sebab  antara eng-

kau dan batu-batu di padang akan ada perjanjian, dan binatang liar akan 

berdamai dengan engkau. 24 Engkau akan mengalami, bahwa kemahmu 

aman dan apabila engkau memeriksa tempat kediamanmu, engkau tidak 

akan kehilangan apa-apa. 25 Engkau akan mengalami, bahwa keturunanmu 

menjadi banyak dan bahwa anak cucumu seperti rumput di tanah. 26 Dalam 

usia tinggi engkau akan turun ke dalam kubur, seperti berkas gandum di-

bawa masuk pada waktunya. 27 Sesungguhnya, semuanya itu telah kami seli-

diki, memang demikianlah adanya; dengarkanlah dan camkanlah itu!” 

Elifas, dalam bagian akhir dari nasihatnya, memberi Ayub (apa yang 

dia sendiri tidak tahu bagaimana mengambilnya) sebuah pengharapan 

yang menghibur dari kesengsaraannya, jika dia mau memperbaiki ke-

lakuannya dan menyesuaikan diri dengan penderitaannya itu. Amati-

lah, 

I. Peringatan dan nasihat yang baik dari Elifas kepada Ayub (ay. 17): 

“Janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa. Anggaplah 

itu suatu hajaran, suatu didikan, yang berasal dari kasih bapak 

dan dirancang untuk kebaikan anak. Pandanglah itu didikan dari 

Yang Mahakuasa, yang dengannya yaitu  gila untuk berbantah, 

yang kepadanya yaitu  berhikmat dan pantas untuk tunduk. 

Dialah Allah yang maha mencukupi kepada semua orang percaya 

kepada-Nya. Janganlah menyepelekan didikan itu.  

1. “Janganlah engkau menolak didikan itu. Biarkanlah anugerah 

menaklukkan keinginan melawan terhadap penderitaan, dan 

damaikanlah dirimu dengan kehendak Allah di dalamnya.” 

Kita perlu tongkat penghajar dan kita layak untuk menerima 

pukulannya. Dan sebab nya kita tidak seharusnya mengang-

gap hal itu aneh atau keras jika kita merasakan akibatnya. 

Jangan biarkan hati bangkit melawan pil yang pahit atau 

racun, saat  hal itu diresepkan bagi kebaikan kita.  

2. “Jangan berpikiran buruk terhadap didikan. Jangan jauhkan 

itu darimu sebagai sesuatu yang menyakitkan atau tidak ber-

guna, hanya sebab  sekarang ini tidak ada sukacita selain 

dukacita.” Kita jangan pernah mencibir untuk tunduk kepada 

Allah, atau menganggap diri kita tidak pantas untuk menerima 

didikan. Sebaliknya, sadarilah bahwa Allah sungguh-sungguh 

membesarkan manusia saat  Ia mendatangi dan mengujinya 

(7:17-18).  

3. “Jangan memandangnya rendah atau menyepelekannya, se-

akan-akan itu didikan itu hanyalah suatu kebetulan, dan aki-

bat dari suatu penyebab kedua, melainkan perhatikan dengan 

sungguh-sungguh sebagai suara Allah dan suatu utusan dari 

sorga.” Lebih banyak yang tersirat daripada yang tersurat: “Hor-

matilah hukuman Allah. Pandangilah tangan-Nya yang memper-

baiki ini dengan gentar dan rendah hati, dengan gemetar, saat  

sang singa mengaum (Am. 3:8). Tunduklah kepada hajaran dan 

belajarlah untuk menjawab panggilan itu, dan penuhilah tu-

juannya, dan dengan demikian engkau menghormatinya.” 

Pada waktu Allah melalui sebuah malapetaka mendatangkan 

kepada kita akibat-akibat tertentu, kita harus menghormati 

maksud-Nya itu dengan menerima semua akibat itu dan tun-

duk kepadanya. Kita harus berserah diri saat  Ia menghen-

dakinya.  

II. Dengan kata-kata penyemangat dan penghiburannya kepada Ayub, 

Elifas mendorong Ayub untuk menyesuaikan diri dengan keada-

annya, dan menerima yang buruk di dalam tangan Allah, serta 

tidak meremehkannya sebagai suatu pemberian yang tidak ber-

harga untuk diterima.  

1. Jika malapetaka itu diterima Ayub demikian, maka  

(1) Sifat malapetaka itu akan diubah. Kendati tampak sebagai 

kesengsaraan manusia, hal itu sesungguhnya akan menjadi 

berkatnya: Berbahagialah manusia yang ditegur Allah, apa-

bila ia memanfaatkannya dengan semestinya. Seorang yang 

baik berbahagia kendati dia tertimpa bencana, sebab, apa 

pun kehilangannya, dia tidak kehilangan penghiburannya 

dari Allah dan haknya ke sorga. Bahkan, dia berbahagia 

sebab dia menderita. Teguran yaitu  suatu bukti dari ke-

dudukannya sebagai anak dan suatu sarana pengudusan-

nya. Teguran mematikan kecemarannya, memisahkan hati-

nya dari dunia, menariknya lebih dekat kepada Allah, 

membawanya kepada Alkitab, membawanya untuk ber-

lutut, melayakkan dia bagi dan mengerjakan baginya suatu 

bobot kemuliaan yang jauh lebih besar dan kekal. Berbaha-

gialah sebab nya orang yang ditegur Allah (Yak. 1:12).  

(2) Akhir dan akibatnya akan sangat baik (ay. 18).  

[1] Kendati Ia melukai tubuhnya dengan penyakit bisul, pi-

kirannya dengan hal-hal yang menyedihkan, namun Ia 

membebat di waktu yang sama, seperti ahli bedah yang 

terampil membebat luka yang ditimbulkannya dengan 

pisau bedahnya. saat  Allah membuat luka melalui te-

guran penyelenggaraan-Nya, Ia membebat dengan peng-

hiburan Roh-Nya, yang sering kali berlimpah seturut 

limpahnya malapetaka, dan mengimbanginya hingga si 

penderita yang sabar itu terhibur hatinya tak terhingga.  

[2] Kendati Ia melukai, namun tangan-Nya memulihkan pada 

waktunya. Seperti Ia mendukung umat-Nya dan mem-

buat mereka tenang di dalam kesengsaraan mereka, de-

mikian pula pada waktunya Ia membebaskan mereka 

dan membuat jalan bagi mereka untuk melepaskan diri. 

Segalanya menjadi baik kembali. Dan Ia menghibur me-

reka di waktu Ia melukai mereka. Cara Allah yang biasa 

yaitu  pertama-tama melukai lalu menyembuhkan, 

pertama-tama menginsafkan dan kemudian menghibur, 

pertama-tama merendahkan dan kemudian meninggi-

kan. Dan (seperti yang diamati oleh Tn. Caryl), Ia tidak 

pernah membuat suatu luka terlalu besar, terlalu dalam, 

demi penyembuhan oleh-Nya. Una eademque manus vul-

nus opemque tulit – Tangan yang menimbulkan luka mela-

kukan penyembuhan. Allah menghancurkan orang fasik 

dan meninggalkannya. Yang mau menyembuhkan, coba 

saja jika mereka mampu (Hos. 5:14). namun  orang yang 

merendahkan diri dan bertobat dapat berkata, Ia yang 

telah memukul yang akan membalut kita (Hos. 6:1). Hal 

ini umum, namun , 

2. Dalam ayat-ayat berikutnya Elifas berbicara langsung kepada 

Ayub dan memberi dia banyak janji-janji yang berharga ten-

tang hal-hal yang besar dan baik yang akan Allah lakukan 

baginya jika dia sungguh-sungguh merendahkan diri di bawah 

tangan-Nya. Kendati saat itu mereka tidak mempunyai Alkitab 

seperti yang kita miliki sekarang, namun Elifas memiliki bukti 

yang memadai untuk memberi Ayub jaminan ini, berdasarkan 

peristiwa-peristiwa umum yang melaluinya Allah menyatakan 

diri-Nya dan kehendak-Nya yang baik bagi umat-Nya. Dan, 

kendati dalam setiap hal yang dikatakan, teman-teman Ayub 

tidak dipimpin oleh Roh Allah (sebab ada beberapa hal yang 

mereka katakan tentang Allah dan Ayub tidaklah benar), na-

mun ajaran umum yang mereka paparkan mengungkapkan 

kesalehan dari zaman leluhur. Ayat 13 yang dikutip oleh Rasul 

Paulus sebagai ayat firman dan ayat 17 sebagai perintah, tak 

diragukan lagi mengikat kita. Demikian pula janji-janji di sini 

dapat dan seharusnya diterima sebagai janji-janji ilahi, dan 

kita dapat supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh 

ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. Mari kita sebab -

nya memberi perhatian untuk memastikan kepentingan kita di 

dalam janji-janji ini dan kemudian menerima beberapa darinya 

sebagai janji yang khusus bagi kita serta menerima penghi-

buran darinya. 

(1) Dijanjikan di sini bahwa seperti bencana dan masalah da-

tang silih berganti, demikian pula dukungan dan pembe-

basan berulang dengan penuh kemurahan, tidak peduli se-

berapa sering bencana itu. Dari enam macam kesesakan 

engkau diluputkan-Nya dan dalam tujuh macam (ay. 19). 

Hal ini menyatakan bahwa selama kita masih di dunia ini, 

kita harus siap menantikan masalah demi masalah, bahwa 

awan akan kembali sesudah hujan. Setelah enam masalah 

bisa datang yang ketujuh. Setelah banyak, masih banyak 

lagi. Namun dari kesemuanya itu Allah akan membebaskan 

orang kepunyaan-Nya (2Tim. 3:11; Mzm. 34:20). Pembebas-

an terdahulu tidak, seperti berlaku di antara manusia, me-

niadakan pembebasan selanjutnya, melainkan menjadi tan-

da akan datangnya pembebasan demi pembebasan berikut 

(Ams. 19:19). 

(2) Bahwa, masalah apa pun yang dialami oleh orang yang 

baik, tidak kena malapetaka, tidak ada kejahatan yang me-

nyentuh mereka. Masalah tidak akan menyakiti mereka. Ke-

jahatan masalah, sengatnya, akan dicabut. Masalah akan 

mendesis, namun  tidak dapat melukai (Mzm. 91:10). Si jahat 

tidak dapat menjamah anak-anak Allah (1Yoh. 5:18). Dengan 

dijaga dari dosa, mereka dijaga dari kejahatan setiap masa-

lah. 

(3) Bahwa, saat  hukuman yang membinasakan meluas, 

orang benar akan dibawa ke dalam perlindungan yang khu-

sus (ay. 20). Apakah banyak orang binasa di sekeliling me-

reka sebab  kekurangan penopang hidup? Mereka sendiri 

akan dicukupi. “Pada masa kelaparan engkau dibebaskan-

Nya dari maut. Apa pun yang terjadi pada orang lain, 

engkau akan dijaga tetap hidup (Mzm. 33:19). Sesungguh-

nya engkau akan diberi makan, bahkan, mereka akan men-

jadi kenyang pada hari-hari kelaparan (Mzm. 37:3, 19). 

Pada masa perang, saat  ribuan jatuh di sebelah kanan 

dan kiri, Ia akan menebus engkau dari kuasa pedang. Jika 

Allah berkenan, pedang tidak akan menyentuh engkau. 

Atau jika pedang melukai engkau,