Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 7. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 7

 


an tak-tik ini ternyata dapat memperdaya bangsa Persia. Begitu 

mereka melihat pasukan muslimin seperti ketakutan dihadapan mereka, 

maka mereka mengirimkan beberapa tentara mereka untuk membersihkan 

jalan. Maka pasukan muslimin dapat menyerang mereka dan menguasai 

jalan ini . 

  

Nu’man bin Muqarrin berkemah di pinggiran kota Nahawand dan ia 

bertekad untuk membuat serangan yang mengejutkan bagi musuhnya. Ia 

berkata kepada pasukannya: “Aku akan bertakbir sebanyak 3 kali. Jika aku 

bertakbir pada kali pertama, maka yang belum siap, bersiaplah! Jika aku 

bertakbir untuk yang kedua kali, maka masing-masing harus menyiapkan 

senjatanya.Jika aku bertakbir untuk yang ketiga kali, itu berarti aku mulai 

menyerang musuh-musuh Allah, dan kalian harus mengikutiku!” 

  

Nu’man bin Muqarrin meneriakkan ketiga takbirnya. Ia merangsek ke 

barisan musuh seolah ia seekor singa yang menerkam. Di belakangnya, 

pasukan muslimin mengalir bagaikan air. Maka terjadilah antara dua belah 

pihak sebuah peperangan yang begitu sengit dan jarang terjadi sepanjang 

sejarah. 

Pasukan Persia amat terpecah dengan barisan yang tanpa komando lagi. 

Korban dari pihak Persia memenuhi semua daratan dan pegunungan. 

Darah mereka membasahi semua jalan dan gang. Kuda Nu’man tergelincir 

oleh darah sehingga ia tewas. Nu’man terluka serius sebab nya. 

Saudaranya segera merebut panji dari tangannya lalu  menutup 

jasadnya dengan selendang yang ia bawa. Saudaranya tadi 

menyembunyikan berita kematian Nu’man kepada pasukan muslimin. 

  

Begitu kemenangan besar telah diraih oleh pihak muslimin yang 

mereka namakan dengan ‘Penaklukan Terbesar.’ Maka para tentara kaum 

muslimin menanyakan panglima mereka yang gagah berani, Nu’man bin 

Muqarrin. 

Maka saudara Nu’man mengangkat selendang yang menutupi jasadnya 

seraya berkata:  

“Inilah panglima kalian. Allah telah membuat hatinya tenang dengan 

penaklukan ini, dan menutup usianya dengan syahadah. 

Untuk merujuk lebih jauh tentang profil An Nu’man bin Muqarrin 

silahkan melihat:  

1. Al Ishabah: 3/563 atau Tarjamah 8752 

2. Ibnu Al Atsir: 2/211, 3/7 

3. Tahdzib Al Tahdzib: 10/456 

4. Futuh Al Baldan: 311 

5. Syarh Alfiyah Al Iraqy: 3/76 

6. Al A’lam:9/9 

7. Al Qadisiyah: 66-73 (Mansyurat Dar Al Nafais – Beirut)  

   _________________________________________________  150

Shuhaib Al Rumy 

“Perdagangan Untung, Ya Abu Yahya… Perdagangan Untung!” 

(Muhammad Rasulullah) 

 

Siapakah di antara kita –wahai kaum muslimin- yang tidak mengenal 

Shuhaib Al Rumy, tidak mengetahui kisah tentang dirinya dan 

biografinya?! 

Akan tetapi yang sering tidak diketahui oleh kita yaitu  bahwa Shuhaib 

bukanlah berasal dari bangsa romawi. Dia yaitu  orang Arab asli. Ayahnya 

berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim. 

Mengapa Shuhaib dinisbatkan kepada bangsa Romawi, ternyata ada 

sebuah kisah yang senantiasa di ingat dalam sejarah dan diceritakan oleh 

legenda. 

Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian ada seorang yang menjadi 

gubernur daerah Al Ubullah68 bernama Sinan bin Malik An Numairi. Dia 

menjadi seorang gubernur dalam rezim Kisra Raja Persia. 

Anak yang paling dicintai oleh Sinan yaitu  seorang anak yang belum 

genap berusia 5 tahun dan ia panggil dengan nama Shuhaib. 

  

Shuhaib memiliki wajah yang ceria, rambutnya berwarna merah. Selalu 

aktif dan riang, dan ia memiliki dua bola mata yang memancarkan 

kecerdasan dan kepintaran.  Ia juga merupakan bocah yang periang, 

memiliki jiwa yang tenang dan selalu membuat hati ayahnya merasa 

senang dan membuat ayahnya lupa akan segala permasalahan jabatannya. 

  

Ibu Shuhaib berangkat dnegan membawa anaknya yang kecil dan 

rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah 

kampung bernama Al Tsany di negeri Iraq untuk beristirahat dan 

berekreasi. Lalu sebuah pasukan dari tentara Romawi menyerang kampung 

ini , membunuh para penjaganya, mencuri harta dan menawan 

penduduknya. Salah seorang yang menjadi tawanan yaitu  Shuhaib. 

  

                                                     

68

 Al Ubullah yaitu  sebuah kota tua yang termasuk dalam wilayah Basrah. 

  


Shuhaib di jual di pasar perbudakan di negeri Romawi. Maka ia 

mengalami pergantian tuan, sebab  selalu berpindah dari tuan yang satu 

kepada yang lain. Dalam kondisi demikian ia seperti ribuan budak baru 

lainnya yang bertugas di istana-istana negeri Romawi. 

  

Shuhaib pernah berkesempatan untuk mengenali masyarakat Romawi 

lebih mendalam. Ia mendapati bahwa dalam istana-istana mereka amat 

penuh dengan perbuatan hina dan keji. Ia mendengarkan dengan 

telinganya kedzaliman dan perbuatan dosa yang mereka perbuat. Maka ia 

pun membenci masyarakat Romawi dan menganggap mereka hina. 

Ia pernah berkata bahwa masyarakat seperti ini tidak dapat disucikan 

kembali kecuali dengan angin topan. 

  

Meskipun Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di 

antara penduduknya. Meski ia sudah melupakan Arab, atau hampir 

melupakannya, akan tetapi tidak pernah sirna dalam dirinya bahwa ia 

yaitu  seorang berkebangsaan Arab yang pernah tinggal di tengah padang 

pasir. Kerinduannya tidak pernah pupus hingga pada hari ia dibebaskan, ia 

langsung menuju tanah asalnya. 

Ia semakin rindu kepada negerinya Arab saat ia mendengar seorang 

pendeta Nashrani berkata kepada salah seorang tuannya: “Sudah dekat 

datangnya sebuah zaman dimana akan muncul di Mekkah di jazirah Arab 

seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan 

mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.” 

  

lalu  Shuhaib memiliki kesempatan untuk kabur dari perbudakan 

tuannya. Ia langsung menuju ke Mekkah dan jantung Arab tempat 

diutusnya seorang Nabi yang telah dinanti-nanti. 

Begitu sesampainya di sana, manusia menyebutnya dengan nama 

Shuhaib si Romawi sebab  bahasanya yang sulit dimengerti dan rambutnya 

yang berwarna merah. 

  

Shuhaib lalu bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah 

yang bernama Abdullah bin Jud’an. Ia lalu bekerja sebagai seorang 

pedagang, maka datanglah kebaikan dan harta yang banyak pada dirinya. 

Namun meski Shuhaib telah sibuk dengan perdagangan dan usahanya 

namun ia tidak melupakan ucapan pendeta Nashrani dulu. Maka setiap ia 

teringat akan ucapan pendeta ini , ia akan bertanya pada dirinya: 

“Kapankah hal ini terjadi?”  

Tidak lama berselang, jawaban pun datang kepadanya. 

  

Pada suatu hari Shuhaib baru kembali ke Mekkah dari salah satu 

perjalanannya. Lalu ada yang mengatakan kepadanya bahwa Muhammad 

bin Abdullah baru saja di utus sebagai Nabi, dan kini ia berdakwah kepada 

manusia untuk beriman kepada Allah. Mengajak mereka untuk berbuat 

adil dan baik. Melarang mereka berbuat keji dan mungkar. 

Shuhaib bertanya: “Bukankah dia yaitu  orang yang dikenal oleh 

penduduk Mekkah dengan Al Amin (orang yang terpercaya)?” lalu  

orang ini  menjawab: “Ya, benar!” Shuhaib bertanya: “Lalu, dimana 

tempatnya?” Orang itu menjawab: “Di rumah Al Arqam bin Abi Al 

Arqam69 dekat bukit Shafa.Akan tetapi waspyaitu  jangan sampai ada 

orang Quraisy yang melihatmu. Jika mereka melihatmu, pasti mereka akan 

menyiksamu. Mereka akan menyiksamu sedangkan engkau yaitu  orang 

asing yang tidak memiliki suku dan keluarga yang dapat melindungimu. 

  

Shuhaib berangkat menuju rumah Al Arqam dengan amat hati-hati. 

Sesampainya di sana, ia menjumpai Ammar bin Yasir di depan pintu, dan ia 

sudah mengenal dia sebelumnya. Shuhaib agak grogi sejenak lalu  ia 

menghampirinya lalu berkata: “Apa yang kau hendak lakukan, ya 

Ammar?” Ammar lalu bertanya balik: “Engkau sendiri, apa yang hendak 

engkau lakukan?” Shuhaib menjawab: “Aku ingin menjumpai orang ini 

untuk mendengarkan apa yang ia katakan.” Ammar membalas: “Akupun 

hendak melakukan hal yang sama.” Shuhaib berkata: “Kalau begitu, mari 

kita masuk sama-sama dengan berkah Allah!” 

  

Shuhaib bin Sinan Al Rumy dan Ammar bin Yasir menjumpai 

Rasulullah saw dan mendengarkan apa yang Beliau sampaikan. Lalu cahaya 

keimanan terbit di hati mereka berdua. Keduanya berlomba untuk 

menjulurkan tangan mereka ke arah Rasulullah Saw. Keduanya 

bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu  

hamba sekaligus utusan-Nya. Keduanya menghabiskan hari mereka 

bersama Rasul Saw untuk menyerap petunjuk Beliau dan menemani Beliau 

sepanjang hari. 

                                                     

69

 Dia yaitu  putra Abdu Manaf bin Asad Al Makhzumi. Dia termasuk orang pertama yang 

memeluk Islam. Rumahnya (Darus Salam) yaitu  pusat dakwah Rasulullah Saw. Rasul Saw menugas dia 

untuk mengurus harta sedekah. 

Saat malam tiba dan suasana mulai tenang, keduanya keluar 

meninggalkan Rasulullah di kegelapan malam. Masing-masing telah 

membawa cahaya di dalam dada mereka yang dapat menyinari seluruh 

dunia. 

  

Shuhaib merasakan penyiksaan dirinya yang dilakukan oleh para suku 

Quraisy. Bersamanya yaitu  Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab dan lain-

lain yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk ke surga. Mereka 

merasakan kebengisan suku Quraisy yang jika dipindahkan ke gunung, 

pasti gunung ini  akan hancur berantakan. Shuhaib merasakan semua 

penderitaan itu dengan jiwa yang tenang lagi sabar. Dan ia menyadari 

bahwa jalan ke surga sarat dengan penderitaan. 

  

Begitu Rasulullah Saw mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah 

ke Madinah. Shuhaib berniat untuk berangkat bersama Rasulullah Saw dan 

Abu Bakar. Akan tetapi Quraisy mengetahui rencana Shuhaib untuk 

berhijrah, lalu mereka menghalangi Shuhaib untuk melaksanakan niatnya. 

Suku Quraisy juga memasang beberapa orang untuk memata-matai 

Shuhaib agar ia tidak lari dari mereka sehingga membawa apa yang telah 

ia dapatkan dari mereka lewat perdagangan berupa emas dan perak. 

  

 sesudah  Rasul Saw dan Abu Bakar berhijrah, Shuhaib menunggu-

nunggu saat yang tepat untuk menyusul mereka akan tetapi ia tidak 

berhasil. Itu disebab kan, sebab  mata para pengintai selalu mengawasi 

gerak-geriknya. sebab nya, ia tidak bisa menemukan jalan kecuali dengan 

sebuah tipuan. 

Pada suatu malam yang dingin, Shuhaib bolak-balik ke kamar kecil 

seolah-olah ia ingin buang air. Ia belum juga selesai dari buang airnya, 

maka ia kembali lagi ke kamar kecil. 

Salah seorang yang mengawasinya berkata: “Bersantailah kalian, Lata 

dan Uzza telah membuatnya mual-mual!” lalu  mereka mulai 

merebahkan diri, dan tak lama lalu  mereka tertidur. 

Begitu mereka tak sadarkan diri, Shuhaib menyusup pergi dan menuju 

ke Madinah. 

  

Tidak lama  sesudah  Shuhaib pergi, para pengintai Shuhaib sadarkan diri. 

Mereka langsung lompat dari tidur mereka. Mereka langsung 


menunggangi kuda-kuda mereka. Lalu menghentakkan tali kendalinya 

guna menyusul Shuhaib. 

Saat Shuhaib menyadari bahwa mereka menyusulnya. Ia berdiri di 

sebuah tempat yang tinggi, lalu mengluarkan anak panahnya dari sarung. 

Ia mengarahkan busur sambil berkata: “Wahai bangsa Quraisy, Demi 

Allah, kalian telah tahu bahwa aku yaitu  orang yang paling hebat dalam 

memanah dan paling tepat mengenai sasaran. Demi Allah, kalian tidak 

akan dapat menangkapku sehingga setiap anak panah yang aku miliki 

dapat membunuh satu orang dari kalian. Lalu aku akan mengibaskan 

pedang kepada kalian, bila anak panah yang aku miliki telah habis!” 

Lalu salah seorang dari Quraisy menjawab: “Demi Allah, kami tak akan 

membiarkan engkau berlari membawa diri dan hartamu. Engkau dulu 

datang ke Mekkah tanpa membawa apa-apa dan kau yaitu  seorang 

miskin dulunya. Sekarang engkau telah kaya dan telah mencapai posisi 

seperti saat ini.” 

Shuhaib lalu berkata: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku tinggalkan 

hartaku. Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab: 

“Ya!”  

Lalu Shuhaib menunjukkan tempat penyimpanan harta di dalam 

rumahnya di Mekkah. Lalu bangsa Quraisy mendatangi tempat itu dan 

mengambil harta Shuhaib. lalu  mereka membiarkan Shuhaib 

berangkat. 

  

Shuhaib langsung berangkat ke Madinah untuk menyelamatkan agama 

Allah. Ia tidak menyesal dengan harta yang telah ia berikan meskipun ia 

telah mengumpulkannya sepanjang umur. 

Setiap kali ia merasa lelah dalam perjalanan, maka kerinduan kepada 

Rasulullah Saw membuatnya kembali semangat dan meneruskan 

perjalanannya. 

Saat ia tiba di Quba70, Rasulullah Saw melihat Shuhaib yang datang. 

Maka Rasul Saw langsung menyambutnya dengan ramah seraya berkata: 

“Perdagangan untung, Ya Abu Yahya. Perdagangan untung!” Rasul Saw 

mengulanginya sampai tiga kali. 

Maka kegembiraan mendominasi wajah Shuhaib yang lalu  

berkata: “Demi Allah, tidak ada yang mendahuluiku dalam perjalanan ini, 

ya Rasulullah. Tiada yang memberi kabar kepadamu tentang kedatanganku 

selain Jibril.” 

  

                                                     

70

 Quba yaitu  sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah 

Benar, telah beruntung perdagangan dan benar wahyu dari langit itu. 

Dan ini disaksikan oleh Jibril, saat Allah Swt menurunkan ayat tentang 

Shuhaib yang berbunyi:  

š∅ ÏΒ uρ Ĩ$̈Ψ9$# ⎯tΒ “ Ìô±o„ çµ |¡øtΡ u™!$ tó ÏGö/$# ÉV$ |Ê ós∆ «!$# 3 ª!$#uρ 8∃ρ â™u‘ ÏŠ$ t6 Ïèø9$ Î/   

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya 

sebab  mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada 

hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 207) 

Beruntung sekali Shuhaib bin Sinan Al Rumy, dan ia beruntung dengan 

tempat kembali yang amat baik. 


Abu Darda                             

(Uwaimar bin Malik Al Khajrajy) 

 “Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan 

dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf) 

 

Uwaimar bin Malik Al Khajrajy71 yang disebut dengan Abu Darda 

bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia 

pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu 

memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum 

terbaik berasal dari tokonya. lalu  ia memakaikan pakaian pada 

berhala ini  yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh 

salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman. 

Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya 

untuk pergi ke toko. 

Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad. 

Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka 

terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari 

mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang 

berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda ini  tentang 

kabar Abdullah bin Rawahah72. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab: 

“Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah 

kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.” 

Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda. 

Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar 

Abdullah bin Rawahah, sebab  ia tahu bahwa semua manusia terkait 

dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua. 

Hal itu disebab kan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya 

bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau 

menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya. 

Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka 

berdua. sebab  Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu 

Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi 

                                                     

71

 Al Khajrajy yaitu  nisbat kepada suku Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman, 

Mereka datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan Aus yaitu  dua kabilah terbesar kaum 

Anshar. 

72

 Abdullah bin Rawahah Al Anshary Al Khajrajy yaitu  seorang penyair terkenal. Dia juga salah 

seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan tewas dalam perang Mu’tah 

pada tahun 8 H. Dia yaitu  salah seorang dari ketiga panglima dalam perang ini . 

  

semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas 

setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang 

musyrik. 

  

Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai 

melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya. 

Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya. 

Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah 

sahabatnya Abu Darda sebab  ia menginginkan suatu hal… 

Begitu Abdullah sampai di rumah ini , ia melihat pintu rumah 

terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan 

rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia 

menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah 

bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya, 

sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan 

aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda 

mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya. 

Ummu Darda lalu  membiarkan Abdullah sendirian sebab  ia sibuk 

dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak. 

  

Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda 

menaruh berhalanya. lalu  ia keluar dengan membawa berhala tadi. 

Ia menghampiri berhala ini  dan mulai memotong-motongnya sambil 

berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu  batil? 

Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu  batil?” 

Begitu ia selesai memotong-motong berhala ini , ia pun 

meninggalkan rumah itu. 

  

Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia 

tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati 

bagian tubuh berhala ini  sudah terburai di tanah. Ia lalu memukul-

mukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu 

Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!” 

  

Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia 

mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu 

berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan 

yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya 

 

menjawab: “Ketika engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah 

datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.” 

Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala ini  telah 

hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. Akan tetapi tidak 

berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia 

memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan 

dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada 

dirinya.” 

Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah 

sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda 

menyatakan masuk Islam, dan ia yaitu  orang terakhir dari kampungnya 

yang masuk Islam. 

Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya 

dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya. 

Ia amat menyesal sebab  telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia 

mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah 

mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang 

dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah. 

Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-

sungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi 

menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua. 

Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia 

dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu 

bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia 

mendalami pemahamannya akan Al Qur’an. 

Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan 

ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan 

perdagangannya tanpa ragu dan menyesal. 

Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku 

yaitu  seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Saw. Saat aku masuk 

Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan 

tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan 

perdagangan dan aku memilih ibadah. 

Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku 

tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid 

sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat 

berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” lalu  ia 

menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan 

bahwa Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, akan tetapi aku lebih 

menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh 

perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.” 

  

   ______________________________________________________________  159

Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga 

meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan 

dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat 

dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya. 

Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang 

mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka 

makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu 

mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah 

seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara 

kepadanya.” 

Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!” 

Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan 

pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya 

duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa 

selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas 

atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku 

meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barang-

barangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang 

kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan 

barang-barang ini  di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada 

kalian. 

lalu  dalam jalan yang kami susuri menuju rumah ini  ada 

sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih 

baik dibandingkan  yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh 

sebab nya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat 

melintasinya.” lalu  Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah 

engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga 

kebaikanmu dibalas.” 

  

Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu 

Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda 

menolaknya. Abu Darda berkata:  

“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan 

kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat 

mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya. 

Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia 

dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal 

itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orang-

orang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan 

berkata:  

“Wahai penduduk Damaskus, kalian yaitu  saudara seagama, tetangga 

negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk 

Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan 

menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah 

   _________________________________________________  160

diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah 

tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian 

mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian 

meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku 

dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!! 

Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang 

tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang 

mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang 

mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi 

buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad73, wahai 

penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan 

keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan 

kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?” 

Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka 

terdengar dari luar masjid. 

  

Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di 

Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang. 

Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang 

lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan. 

  

Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang 

berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda 

mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka 

menjawab: “Dia yaitu  orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu 

Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam 

sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab: 

“Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela 

dan pukul dia, akan tetapi berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah 

kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian 

untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya: 

“Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya 

membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia 

yaitu  saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri 

bahwa dirinya bertaubat. 

  

Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata: 

“Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda 

berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan 

                                                     

73

 ‘Ad yaitu  kaum Nabi Hud. Mereka menentang nabinya, maka Allah membinasakan mereka. 

   ______________________________________________________________  161

mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang 

berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu. 

Janganlah menjadi orang yang keempat sebab  engkau akan celaka. Wahai 

anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar 

Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang 

yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan 

masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat 

menuju keridhaan Allah. 

  

Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil 

berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu 

menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa 

orang muslim yaitu  rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan 

pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu 

dapat memperdayakan.” 

  

Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan 

mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda 

buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk 

menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan 

putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan 

akhlaknya. 

Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin 

Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah 

ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa. 

Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu 

Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.” 

Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa 

yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat 

banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam 

istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu 

kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!” 

  

Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar 

bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi 

sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong 

pintu rumahnya dan rupanya pintu ini  tidak terkunci. Umar lalu 

masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda 

mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu 

mempersilahkan ia duduk. 

   _________________________________________________  162

Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan 

menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya. 

Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia yaitu  

pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir… 

Ia meraba selimutnya dan ternyata yaitu  sebuah kain tipis yang tidak 

dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus. 

Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku 

sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan 

(nafkah)mu?!” 

Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah 

hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar 

bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah 

bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh 

seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu 

apa yang telah kita lakukan  sesudah  Beliau meninggal, wahai Umar?” 

Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis. 

Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang. 

  

Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada 

penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an 

dan hikmah sehingga ia wafat. 

Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata: 

“Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka 

bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan 

Tuhanku.” 

lalu  ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin 

aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus 

mengucapkan kalimat ini  sehingga ruhnya berpisah dari badan. 

  

Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al 

Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan 

dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang 

terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang 

berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf 

bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!” 

lalu  dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata: 

“Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Swt dari Al Qur’an. Jika 

engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa 

yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang 

   ______________________________________________________________  163

belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang 

belum pernah terbersit dalam hati.” 

Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?” 

Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, sebab  ia 

mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”  

Untuk merujuk lebih jauh tentang profil Abu Darda silahkan melihat:  

1. Al Ishabah: 3/45 atau Tarjamah 6117 

2. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 3/15, 4/59 

3. Usudul Ghabah: 4/159 

4. Hilliyatul Auliya: 1/308 

5. Husnus Shahabah: 218 

6. Shifatus Shafwah: 1/257 

7. Tarikh Al Islam karya Al Dzahaby: 2/107 

8. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi) 

9. Al Kawakib Al Durriyah: 1/45 

10. Al A’lam karya Al Zurkaly 

   _________________________________________________  164

Zaid bin Haritsah 

“Kehendak Allah, Zaid bin Haritsah Tadinya yaitu  Budak dari 

Seorang Perempuan, dan Ia telah Menjadi Manusia yang Paling Aku 

Cintai” (Muhammad Rasulullah) 

 

Su’da binti Tsa’labah pergi untuk mengunjungi kaumnya yaitu Bani 

Ma’nin, dan ia ditemani seorang anaknya yang bernama Zaid bin Haritsah 

Al Ka’bi. 

Baru saja ia sampai di sana, maka pasukan berkuda Bani Qain telah 

menyerang sukunya dan mengambil semua harta. Mereka juga menggiring 

unta-unta dan menyandera beberapa tawanan. 

Salah seorang yang mereka tawan yaitu  anaknya yang bernama Zaid 

bin Haritsah. 

Zaid –saat itu- yaitu  seorang anak kecil yang baru berusia sekitar 8 

tahun. Mereka lalu membawa Zaid ke pasar Ukadz dan menawarkan 

dirinya untuk dibeli. Lalu ada seorang kaya dari pemuka Quraisy yang 

bernama Hakim bin Hizam bin Khuwailid membelinya dengan harga 400 

dirham. Selain dia, ada juga beberapa budak lain yang ia beli, lalu  ia 

bawa ke Mekkah. 

Begitu bibinya Khadijah binti Khuwailid mengetahui kedatangan 

Hakim, bibinya mengunjungi Hakim untuk memberikan selamat dan 

sambutan kepadanya. Hakim berkata kepada bibinya: “Wahai bibi, aku 

telah beli beberapa budak dari pasar Ukadz. Pilihlah yang mana saja, 

engkau sukai. Aku akan menghadiahkannya untukmu!” 

Lalu Sayyidah Khadijah memandangi wajah para budak tadi… dan 

akhirnya ia memilih Zaid bin Haritsah, sebab  Khadijah melihat bahwa 

Zaid memiliki tanda-tanda kecerdesan. Ia pun membawa Zaid pulang. 

Tidak lama lalu  Khadijah binti Khuwailid  menikah dengan 

Muhammad bin Abdullah. Maka Khadijah ingin memberikan hadiah 

kepada suaminya, namun ia tidak menemukan sesuatu yang lebih baik 

dibandingkan  budaknya yang mulia bernama Zaid bin Al Haritsah. Maka 

dihadiahkanlah Zaid kepada suaminya. 

Selagi budak yang beruntung ini tinggal di bawah pengawasan 

Muhammad bin Abdullah, bernasib baik dengan persahabatannya yang 

mulia, dan menikmati keindahan akhlak Beliau. Hal sebaliknya terjadi pada 

ibunya yang shock sebab  kehilangan anaknya. Air matanya tidak pernah 

berhenti mengalir, ia tidak pernah berhenti bersedih dan ia tidak pernah 

merasa tenang. Dan hal yang lebih membuatnya berputus asa yaitu  ia 

  

 

   ______________________________________________________________  165

tidak tahu, apakah anaknya masih hidup sehingga ia masih dapat berharap, 

ataukah sudah mati yang dapat membuatnya putus harapan. 

Sedangkan ayahnya mencari Zaid di seluruh penjuru bumi. Bertanya 

kepada setiap kafilah tentang anaknya. Dan ia membuatkan sebuah syair 

kerinduan yang dapat menyayat hati yang berbunyi: 

Aku menangis sebab  Zaid dan aku tidak tahu apa yang ia kerjakan 

Apakah ia masih hidup hingga masih dapat diharapkan, ataukah ajal 

telah menjemputnya? 

Demi Allah, aku tak mengerti dan aku terus bertanya 

Apakah yang memberi makan kepadamu yaitu  hamparan luas 

ataukah pegunungan? 

Matahari senantiasa membuat aku selalu mengenangnya saat ia terbit 

Dan kenangan tentang dirinya kembali terulang saat ia tenggelam 

Aku akan memberitahukan unta untuk terus berjalan menyusuri bumi 

Dan aku tidak akan bosan untuk berputar mencarimu sebagaimana 

unta yang tidak bosan berjalan 

Hidupku, atau harapanku tercapai… 

Setiap orang bakal binasa, meski harapan telah menipunya 

Dalam suatu musim haji74, sebuah rombongan dari kaum Zaid berniat 

untuk datang ke Baitullah Al Haram. Saat mereka sedang berthawaf di 

seputar Ka’bah, mereka bertemu dengan Zaid. Mereka mengenalinya dan 

Zaid mengenali mereka. Mereka saling bertanya. Begitu mereka semua 

selesai mengerjakan manasiknya dan kembali ke kampung. Mereka 

bercerita kepada Haritsah apa yang mereka lihat dan apa yang mereka 

dengar. 

Maka Haritsah segera menyiapkan kendaraannya, dan ia membawa 

sejumlah uang untuk menebus anaknya yang menjadi buah hati dan 

penyejuk mata. Ia ditemani oleh seorang saudaranya yang bernama Ka’b. 

Keduanya berangkat segera menuju Mekkah. Begitu sampai di sana, 

keduanya menghadap Muhammad bin Abdullah dan berkata: 

“Wahai Ibnu Abdul Muthalib. Kalian yaitu  tetangga Allah yang suka 

membebaskan orang yang menderita, memberi makan orang yang 

kelaparan dan membantu orang yang kesulitan. Kami datang untuk 

membawa anak kami yang ada padamu, dan kami membawa sejumlah 

uang sebagai tebusannya. Berbaik budilah kepada kami, dan serahkan ia 

kepada kami jika engkau izinkan.” 

Muhammad lalu berkata: “Siapakah anak yang kalian maksudkan itu?” 

Mereka menjawab: “Budakmu yang bernama Zaid bin Haritsah.” 

                                                     

74

 Ini terjadi pada masa Jahiliyah 

   _________________________________________________  166

Muhammad lalu berkata: “Apakah kalian memiliki hal yang lebih baik 

dari uang tebusan?” Keduanya bertanya: “Apa itu?”  

Muhammad menjawab: “Aku akan memanggilnya untuk berjumpa 

kalian. Suruhlah dia memilih untuk mengikutiku atau mengikuti kalian. 

Jika ia memilih untuk ikut dengan kalian, maka bawalah ia tanpa perlu 

membayar apa-apa. Jika ia memilih untuk mengikutiku, Demi Allah, aku 

tidak mempengaruhi dia saat memilih.” 

Keduanya berkata: “Engkau berlaku adil dengan demikian.” 

Muhammad lalu memanggil Zaid dan bertanya kepadanya: “Siapa 

kedua orang ini?” Zaid menjawab: “Ini yaitu  ayahku Haritsah bin 

Syurahil dan ini yaitu  pamanku, Ka’b.” 

Muhammad berkata: “Aku memintamu untuk memilih: Jika kau mau, 

kamu boleh pergi bersama mereka. Jika kamu mau, kau juga boleh tinggal 

bersamaku.” 

Zaid menjawab –tanpa ragu dan lambat-: “Aku akan tinggal 

bersamamu.” 

Maka ayahnya berkata: “Celaka kamu Zaid, apakah engkau memilih 

untuk menjadi seorang budak ketimbang hidup bersama ayah dan 

ibumu?!” 

Zaid menjawab: “Aku mendapatkan sesuatu dari orang ini, dan aku 

tidak akan pernah meninggalkannya!” 

Begitu Muhammad melihat apa yang dilakukan Zaid, lalu  

Muhammad menggandeng tangan Zaid dan membawanya ke Baitullah Al 

Haram. Keduanya berhenti di Hijir Ismail di tengah kumpulan bangsa 

Quraisy. Muhammad berkata: “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa 

ini yaitu  anakku. Ia berhak mewarisiku dan aku berhak mewarisinya.”  

Maka menjadi tenanglah jiwa ayah dan pamannya. Mereka berdua 

membiarkan Zaid tinggal bersama Muhammad. Mereka lalu kembali ke 

kampungnya dengan hati yang tenang dan damai. 

Sejak saat itu, Zaid bin Haritsah mulai dipanggil dengan Zaid bin 

Muhammad. Ia terus menggunakan nama itu hingga Muhammad diutus 

sebagai Rasulullah. Islam melarang adopsi (mengangkat anak) saat turun 

firman Allah Swt:  

öΝèδθã ÷Š$# öΝÎγ Í←!$ t/Kψ    

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama 

bapak-bapak mereka.” (QS. al-Ahzab [33] : 5)  

Maka sejak itu, ia dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah. 

Zaid tidak mengetahui manfaat apa yang akan ia dapatkan –saat ia 

memilih Muhammad dibandingkan  ibu dan bapaknya-. Ia juga tidak tahu 

   ______________________________________________________________  167

bahwa tuannya yang ia pilih mengalahkan keluarga dan kabilahnya akan 

menjadi pemimpin manusia dari awal hingga akhir, juga akan menjadi 

seorang utusan Allah kepada semua makhluk-Nya. 

Tidak pernah terbersit di hatinya bahwa kerajaan langit akan berdiri di 

muka bumi yang akan memenuhi timur hingga baratnya dengan kebaikan 

dan keadilan. Dan Muhammad akan menjadi batu pertama dalam 

pembangunan kerajaan yang besar ini. 

Hal ini tidak pernah terbersit di benak Zaid, ini merupakan anugerah 

yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Allah yaitu  Dzat 

Yang Memiliki anugerah yang amat besar. 

Hal itu sebab  tidak selang lama dari peristiwa pemilihan tadi kecuali 

hanya beberapa tahun saja sehingga Allah mengutus Nabi-Nya yang 

bernama Muhammad untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran. 

Maka Zaid bin Haritsah yaitu  manusia pertama yang beriman kepadanya 

dari kalangan pria. 

Apakah ada kemuliaan seperti ini yang dikejar oleh manusia yang 

berlomba untuk mendapatkannya?! 

Zaid bin Haritsah yaitu  orang yang dipercaya untuk menyimpan 

rahasia Rasulullah. Ia juga yaitu  orang yang ditunjuk sebagai panglima 

delegasi dan pasukan Rasul. Dia juga salah seorang pengganti Rasul Saw 

sebagai penguasa Madinah, bila Beliau meninggalkan kota ini . 

Sebagaimana Zaid telah mencintai Nabi Saw dan memilih Beliau 

ketimbang ibu dan bapaknya, maka Rasul Saw juga mencintainya dan 

mengajak Zaid untuk hidup bersama keluarga dan anak-anak Beliau. Rasul 

sering kali merindukan Zaid, bila ia tidak ada. Rasul Saw gembira dengan 

kedatangannya saat ia baru kembali. Rasul Saw menyambutnya dengan 

gembira dimana tidak seorang pun yang mendapatkan kemuliaan seperti 

ini. 

Inilah kisah Aisyah ra yang menggambarkan kepada kita bagaimana 

gembiranya Rasulullah Saw saat berjumpa dengan Zaid. Ia menceritakan: 

“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah. Rasulullah Saw saat itu sedang 

berada di rumahku. Lalu Zaid mengetuk pintu, Rasul lalu berdiri 

menyambutnya sambil telanjang –Beliau tidak memakai apapun kecuali 

pakaian yang menutupi bagian antara pusat dan lututnya- Beliau berjalan 

ke arah pintu dengan menggaet bajunya. Rasul lalu memeluk dan 

menciuminya. Demi Allah, aku belum pernah melihat Rasulullah Saw 

bertelanjang sebelum dan sesudah itu.”75 

Kisah Rasul Saw mencintai Zaid telah diketahui oleh kaum muslimin. 

Sehingga mereka menyebutnya dengan Zaid Al Hubb (Zaid yang dicintai), 

dan mereka memberinya gelar dengan nama Hibbi Rasulillah yang berarti 

kesayangan Rasulullah; dan mereka memberikan nama kepada anaknya 

                                                     

75

 Lihat dalam Jami Al Ushul : 10/25 dan kisah ini juga telah ditakhrij oleh At Tirmidzi. 

   _________________________________________________  168

Usamah dengan Hibbi Rasulillah wa ibnu hibbihi yang berarti anak dari 

orang yang disayang Rasulullah. 

Pada tahun 8 H Allah berkehendak –Maha Suci hikmah-Nya – untuk 

memberikan ujian dengan memisahkan orang yang dicintai dari 

kekasihnya. 

Hal itu dimulai saat Rasulullah Saw mengirim Al Harits bin Umair Al 

Azdy untuk membawa surat kepada raja Bushra agar ia masuk ke dalam 

Islam. Begitu Al Harits tiba di Mu’tah di daerah timur Yordania, salah 

seorang pemimpin Al Ghasasinah yang bernama Syurahbil bin Amr 

memberikan tawaran kepada Al Harits sehingga Al Harits tertawan dan 

terbunuh. 

Hal itu membuat Nabi Saw terkejut, sebab  tidak ada utusannya yang 

lain sampai terbunuh. 

Maka Rasulullah Saw lalu mempersiapkan pasukan yang terdiri dari 

3000 prajurit untuk menyerang Mu’tah. Rasul Saw menunjuk untuk 

menjadi pemimpin pasukan ini yaitu  kekasihnya Zaid bin Haritsah. Rasul 

bersabda: “Jika Zaid tewas, maka kepemimpinan akan dipegang oleh Ja’far 

bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga tewas, maka kepemimpinan dipegang oleh 

Abdullah bin Rawahah.Jika Abdullah bin Rawahah tewas, maka pasukan 

muslimin harus memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi 

pemimpin.” 

Pasukan ini bergerak hingga tiba di Ma’an sebelah timur Yordania. 

Heraclius raja Romawi berangkat dengan diiringi 100 ribu prajurit demi 

mempertahankan Al Ghasasinah, dan ada 100 ribu kaum musyrikin Arab 

yang bergabung dengannya. Pasukan yang besar ini berkemah tidak terlalu 

jauh dari tempat pasukan muslimin berada. 

Pasukan muslimin menginap di Ma’an selama dua hari untuk 

bermusyawarah langkah apa yang mereka harus ambil. 

Salah seorang dari mereka berkata: “Kita kirimkan surat kepada 

Rasulullah Saw untuk memberitahukan Beliau jumlah musuh kita dan kita 

tunggu perintah Beliau.” 

Ada yang mengatakan: “Demi Allah, wahai kaumku, kita tidak berjuang 

dengan jumlah, kekuatan dan banyaknya pasukan. Akan tetapi kita 

berjuang dengan bekal agama ini! Berangkatlah sesuai niat kalian saat 

berangkat! Allah telah menjamin kalian dengan keberuntungan 

mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: baik itu berupa kemenangan… 

atau mati sebagai syahid.” 

lalu  bertemulah kedua pasukan di bumi Mu’tah. Pasukan 

muslimin membuat heran pasukan Romawi, dan membuat mereka 

terpesona dengan kehebatan 3000 prajurit muslimin yang mampu 

menghadapi pasukan mereka yang amat besar berjumlah 200 ribu prajurit. 

Zaid bin Haritsah mempertahankan panji Rasulullah Saw dengan begitu 

semangat dan tidak ada dalam sejarah yang dapat menandinginya, 

   ______________________________________________________________  169an tak-tik ini ternyata dapat memperdaya bangsa Persia. Begitu 

mereka melihat pasukan muslimin seperti ketakutan dihadapan mereka, 

maka mereka mengirimkan beberapa tentara mereka untuk membersihkan 

jalan. Maka pasukan muslimin dapat menyerang mereka dan menguasai 

jalan ini . 

  

Nu’man bin Muqarrin berkemah di pinggiran kota Nahawand dan ia 

bertekad untuk membuat serangan yang mengejutkan bagi musuhnya. Ia 

berkata kepada pasukannya: “Aku akan bertakbir sebanyak 3 kali. Jika aku 

bertakbir pada kali pertama, maka yang belum siap, bersiaplah! Jika aku 

bertakbir untuk yang kedua kali, maka masing-masing harus menyiapkan 

senjatanya.Jika aku bertakbir untuk yang ketiga kali, itu berarti aku mulai 

menyerang musuh-musuh Allah, dan kalian harus mengikutiku!” 

  

Nu’man bin Muqarrin meneriakkan ketiga takbirnya. Ia merangsek ke 

barisan musuh seolah ia seekor singa yang menerkam. Di belakangnya, 

pasukan muslimin mengalir bagaikan air. Maka terjadilah antara dua belah 

pihak sebuah peperangan yang begitu sengit dan jarang terjadi sepanjang 

sejarah. 

Pasukan Persia amat terpecah dengan barisan yang tanpa komando lagi. 

Korban dari pihak Persia memenuhi semua daratan dan pegunungan. 

Darah mereka membasahi semua jalan dan gang. Kuda Nu’man tergelincir 

oleh darah sehingga ia tewas. Nu’man terluka serius sebab nya. 

Saudaranya segera merebut panji dari tangannya lalu  menutup 

jasadnya dengan selendang yang ia bawa. Saudaranya tadi 

menyembunyikan berita kematian Nu’man kepada pasukan muslimin. 

  

Begitu kemenangan besar telah diraih oleh pihak muslimin yang 

mereka namakan dengan ‘Penaklukan Terbesar.’ Maka para tentara kaum 

muslimin menanyakan panglima mereka yang gagah berani, Nu’man bin 

Muqarrin. 

Maka saudara Nu’man mengangkat selendang yang menutupi jasadnya 

seraya berkata:  

“Inilah panglima kalian. Allah telah membuat hatinya tenang dengan 

penaklukan ini, dan menutup usianya dengan syahadah. 

Untuk merujuk lebih jauh tentang profil An Nu’man bin Muqarrin 

silahkan melihat:  

1. Al Ishabah: 3/563 atau Tarjamah 8752 

2. Ibnu Al Atsir: 2/211, 3/7 

3. Tahdzib Al Tahdzib: 10/456 

4. Futuh Al Baldan: 311 

5. Syarh Alfiyah Al Iraqy: 3/76 

6. Al A’lam:9/9 

7. Al Qadisiyah: 66-73 (Mansyurat Dar Al Nafais – Beirut)  

   _________________________________________________  150

Shuhaib Al Rumy 

“Perdagangan Untung, Ya Abu Yahya… Perdagangan Untung!” 

(Muhammad Rasulullah) 

 

Siapakah di antara kita –wahai kaum muslimin- yang tidak mengenal 

Shuhaib Al Rumy, tidak mengetahui kisah tentang dirinya dan 

biografinya?! 

Akan tetapi yang sering tidak diketahui oleh kita yaitu  bahwa Shuhaib 

bukanlah berasal dari bangsa romawi. Dia yaitu  orang Arab asli. Ayahnya 

berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim. 

Mengapa Shuhaib dinisbatkan kepada bangsa Romawi, ternyata ada 

sebuah kisah yang senantiasa di ingat dalam sejarah dan diceritakan oleh 

legenda. 

Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian ada seorang yang menjadi 

gubernur daerah Al Ubullah68 bernama Sinan bin Malik An Numairi. Dia 

menjadi seorang gubernur dalam rezim Kisra Raja Persia. 

Anak yang paling dicintai oleh Sinan yaitu  seorang anak yang belum 

genap berusia 5 tahun dan ia panggil dengan nama Shuhaib. 

  

Shuhaib memiliki wajah yang ceria, rambutnya berwarna merah. Selalu 

aktif dan riang, dan ia memiliki dua bola mata yang memancarkan 

kecerdasan dan kepintaran.  Ia juga merupakan bocah yang periang, 

memiliki jiwa yang tenang dan selalu membuat hati ayahnya merasa 

senang dan membuat ayahnya lupa akan segala permasalahan jabatannya. 

  

Ibu Shuhaib berangkat dnegan membawa anaknya yang kecil dan 

rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah 

kampung bernama Al Tsany di negeri Iraq untuk beristirahat dan 

berekreasi. Lalu sebuah pasukan dari tentara Romawi menyerang kampung 

ini , membunuh para penjaganya, mencuri harta dan menawan 

penduduknya. Salah seorang yang menjadi tawanan yaitu  Shuhaib. 

  

                                                     

68

 Al Ubullah yaitu  sebuah kota tua yang termasuk dalam wilayah Basrah. 

  


Shuhaib di jual di pasar perbudakan di negeri Romawi. Maka ia 

mengalami pergantian tuan, sebab  selalu berpindah dari tuan yang satu 

kepada yang lain. Dalam kondisi demikian ia seperti ribuan budak baru 

lainnya yang bertugas di istana-istana negeri Romawi. 

  

Shuhaib pernah berkesempatan untuk mengenali masyarakat Romawi 

lebih mendalam. Ia mendapati bahwa dalam istana-istana mereka amat 

penuh dengan perbuatan hina dan keji. Ia mendengarkan dengan 

telinganya kedzaliman dan perbuatan dosa yang mereka perbuat. Maka ia 

pun membenci masyarakat Romawi dan menganggap mereka hina. 

Ia pernah berkata bahwa masyarakat seperti ini tidak dapat disucikan 

kembali kecuali dengan angin topan. 

  

Meskipun Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di 

antara penduduknya. Meski ia sudah melupakan Arab, atau hampir 

melupakannya, akan tetapi tidak pernah sirna dalam dirinya bahwa ia 

yaitu  seorang berkebangsaan Arab yang pernah tinggal di tengah padang 

pasir. Kerinduannya tidak pernah pupus hingga pada hari ia dibebaskan, ia 

langsung menuju tanah asalnya. 

Ia semakin rindu kepada negerinya Arab saat ia mendengar seorang 

pendeta Nashrani berkata kepada salah seorang tuannya: “Sudah dekat 

datangnya sebuah zaman dimana akan muncul di Mekkah di jazirah Arab 

seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan 

mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.” 

  

lalu  Shuhaib memiliki kesempatan untuk kabur dari perbudakan 

tuannya. Ia langsung menuju ke Mekkah dan jantung Arab tempat 

diutusnya seorang Nabi yang telah dinanti-nanti. 

Begitu sesampainya di sana, manusia menyebutnya dengan nama 

Shuhaib si Romawi sebab  bahasanya yang sulit dimengerti dan rambutnya 

yang berwarna merah. 

  

Shuhaib lalu bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah 

yang bernama Abdullah bin Jud’an. Ia lalu bekerja sebagai seorang 

pedagang, maka datanglah kebaikan dan harta yang banyak pada dirinya. 

Namun meski Shuhaib telah sibuk dengan perdagangan dan usahanya 

namun ia tidak melupakan ucapan pendeta Nashrani dulu. Maka setiap ia 

teringat akan ucapan pendeta ini , ia akan bertanya pada dirinya: 

“Kapankah hal ini terjadi?”  

Tidak lama berselang, jawaban pun datang kepadanya. 

  

Pada suatu hari Shuhaib baru kembali ke Mekkah dari salah satu 

perjalanannya. Lalu ada yang mengatakan kepadanya bahwa Muhammad 

bin Abdullah baru saja di utus sebagai Nabi, dan kini ia berdakwah kepada 

manusia untuk beriman kepada Allah. Mengajak mereka untuk berbuat 

adil dan baik. Melarang mereka berbuat keji dan mungkar. 

Shuhaib bertanya: “Bukankah dia yaitu  orang yang dikenal oleh 

penduduk Mekkah dengan Al Amin (orang yang terpercaya)?” lalu  

orang ini  menjawab: “Ya, benar!” Shuhaib bertanya: “Lalu, dimana 

tempatnya?” Orang itu menjawab: “Di rumah Al Arqam bin Abi Al 

Arqam69 dekat bukit Shafa.Akan tetapi waspyaitu  jangan sampai ada 

orang Quraisy yang melihatmu. Jika mereka melihatmu, pasti mereka akan 

menyiksamu. Mereka akan menyiksamu sedangkan engkau yaitu  orang 

asing yang tidak memiliki suku dan keluarga yang dapat melindungimu. 

  

Shuhaib berangkat menuju rumah Al Arqam dengan amat hati-hati. 

Sesampainya di sana, ia menjumpai Ammar bin Yasir di depan pintu, dan ia 

sudah mengenal dia sebelumnya. Shuhaib agak grogi sejenak lalu  ia 

menghampirinya lalu berkata: “Apa yang kau hendak lakukan, ya 

Ammar?” Ammar lalu bertanya balik: “Engkau sendiri, apa yang hendak 

engkau lakukan?” Shuhaib menjawab: “Aku ingin menjumpai orang ini 

untuk mendengarkan apa yang ia katakan.” Ammar membalas: “Akupun 

hendak melakukan hal yang sama.” Shuhaib berkata: “Kalau begitu, mari 

kita masuk sama-sama dengan berkah Allah!” 

  

Shuhaib bin Sinan Al Rumy dan Ammar bin Yasir menjumpai 

Rasulullah saw dan mendengarkan apa yang Beliau sampaikan. Lalu cahaya 

keimanan terbit di hati mereka berdua. Keduanya berlomba untuk 

menjulurkan tangan mereka ke arah Rasulullah Saw. Keduanya 

bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu  

hamba sekaligus utusan-Nya. Keduanya menghabiskan hari mereka 

bersama Rasul Saw untuk menyerap petunjuk Beliau dan menemani Beliau 

sepanjang hari. 

                                                     

69

 Dia yaitu  putra Abdu Manaf bin Asad Al Makhzumi. Dia termasuk orang pertama yang 

memeluk Islam. Rumahnya (Darus Salam) yaitu  pusat dakwah Rasulullah Saw. Rasul Saw menugas dia 

untuk mengurus harta sedekah. 

Saat malam tiba dan suasana mulai tenang, keduanya keluar 

meninggalkan Rasulullah di kegelapan malam. Masing-masing telah 

membawa cahaya di dalam dada mereka yang dapat menyinari seluruh 

dunia. 

  

Shuhaib merasakan penyiksaan dirinya yang dilakukan oleh para suku 

Quraisy. Bersamanya yaitu  Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab dan lain-

lain yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk ke surga. Mereka 

merasakan kebengisan suku Quraisy yang jika dipindahkan ke gunung, 

pasti gunung ini  akan hancur berantakan. Shuhaib merasakan semua 

penderitaan itu dengan jiwa yang tenang lagi sabar. Dan ia menyadari 

bahwa jalan ke surga sarat dengan penderitaan. 

  

Begitu Rasulullah Saw mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah 

ke Madinah. Shuhaib berniat untuk berangkat bersama Rasulullah Saw dan 

Abu Bakar. Akan tetapi Quraisy mengetahui rencana Shuhaib untuk 

berhijrah, lalu mereka menghalangi Shuhaib untuk melaksanakan niatnya. 

Suku Quraisy juga memasang beberapa orang untuk memata-matai 

Shuhaib agar ia tidak lari dari mereka sehingga membawa apa yang telah 

ia dapatkan dari mereka lewat perdagangan berupa emas dan perak. 

  

 sesudah  Rasul Saw dan Abu Bakar berhijrah, Shuhaib menunggu-

nunggu saat yang tepat untuk menyusul mereka akan tetapi ia tidak 

berhasil. Itu disebab kan, sebab  mata para pengintai selalu mengawasi 

gerak-geriknya. sebab nya, ia tidak bisa menemukan jalan kecuali dengan 

sebuah tipuan. 

Pada suatu malam yang dingin, Shuhaib bolak-balik ke kamar kecil 

seolah-olah ia ingin buang air. Ia belum juga selesai dari buang airnya, 

maka ia kembali lagi ke kamar kecil. 

Salah seorang yang mengawasinya berkata: “Bersantailah kalian, Lata 

dan Uzza telah membuatnya mual-mual!” lalu  mereka mulai 

merebahkan diri, dan tak lama lalu  mereka tertidur. 

Begitu mereka tak sadarkan diri, Shuhaib menyusup pergi dan menuju 

ke Madinah. 

  

Tidak lama  sesudah  Shuhaib pergi, para pengintai Shuhaib sadarkan diri. 

Mereka langsung lompat dari tidur mereka. Mereka langsung 


menunggangi kuda-kuda mereka. Lalu menghentakkan tali kendalinya 

guna menyusul Shuhaib. 

Saat Shuhaib menyadari bahwa mereka menyusulnya. Ia berdiri di 

sebuah tempat yang tinggi, lalu mengluarkan anak panahnya dari sarung. 

Ia mengarahkan busur sambil berkata: “Wahai bangsa Quraisy, Demi 

Allah, kalian telah tahu bahwa aku yaitu  orang yang paling hebat dalam 

memanah dan paling tepat mengenai sasaran. Demi Allah, kalian tidak 

akan dapat menangkapku sehingga setiap anak panah yang aku miliki 

dapat membunuh satu orang dari kalian. Lalu aku akan mengibaskan 

pedang kepada kalian, bila anak panah yang aku miliki telah habis!” 

Lalu salah seorang dari Quraisy menjawab: “Demi Allah, kami tak akan 

membiarkan engkau berlari membawa diri dan hartamu. Engkau dulu 

datang ke Mekkah tanpa membawa apa-apa dan kau yaitu  seorang 

miskin dulunya. Sekarang engkau telah kaya dan telah mencapai posisi 

seperti saat ini.” 

Shuhaib lalu berkata: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku tinggalkan 

hartaku. Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab: 

“Ya!”  

Lalu Shuhaib menunjukkan tempat penyimpanan harta di dalam 

rumahnya di Mekkah. Lalu bangsa Quraisy mendatangi tempat itu dan 

mengambil harta Shuhaib. lalu  mereka membiarkan Shuhaib 

berangkat. 

  

Shuhaib langsung berangkat ke Madinah untuk menyelamatkan agama 

Allah. Ia tidak menyesal dengan harta yang telah ia berikan meskipun ia 

telah mengumpulkannya sepanjang umur. 

Setiap kali ia merasa lelah dalam perjalanan, maka kerinduan kepada 

Rasulullah Saw membuatnya kembali semangat dan meneruskan 

perjalanannya. 

Saat ia tiba di Quba70, Rasulullah Saw melihat Shuhaib yang datang. 

Maka Rasul Saw langsung menyambutnya dengan ramah seraya berkata: 

“Perdagangan untung, Ya Abu Yahya. Perdagangan untung!” Rasul Saw 

mengulanginya sampai tiga kali. 

Maka kegembiraan mendominasi wajah Shuhaib yang lalu  

berkata: “Demi Allah, tidak ada yang mendahuluiku dalam perjalanan ini, 

ya Rasulullah. Tiada yang memberi kabar kepadamu tentang kedatanganku 

selain Jibril.” 

  

                                                     

70

 Quba yaitu  sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah 

Benar, telah beruntung perdagangan dan benar wahyu dari langit itu. 

Dan ini disaksikan oleh Jibril, saat Allah Swt menurunkan ayat tentang 

Shuhaib yang berbunyi:  

š∅ ÏΒ uρ Ĩ$̈Ψ9$# ⎯tΒ “ Ìô±o„ çµ |¡øtΡ u™!$ tó ÏGö/$# ÉV$ |Ê ós∆ «!$# 3 ª!$#uρ 8∃ρ â™u‘ ÏŠ$ t6 Ïèø9$ Î/   

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya 

sebab  mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada 

hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 207) 

Beruntung sekali Shuhaib bin Sinan Al Rumy, dan ia beruntung dengan 

tempat kembali yang amat baik. 


Abu Darda                             

(Uwaimar bin Malik Al Khajrajy) 

 “Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan 

dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf) 

 

Uwaimar bin Malik Al Khajrajy71 yang disebut dengan Abu Darda 

bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia 

pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu 

memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum 

terbaik berasal dari tokonya. lalu  ia memakaikan pakaian pada 

berhala ini  yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh 

salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman. 

Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya 

untuk pergi ke toko. 

Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad. 

Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka 

terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari 

mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang 

berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda ini  tentang 

kabar Abdullah bin Rawahah72. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab: 

“Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah 

kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.” 

Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda. 

Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar 

Abdullah bin Rawahah, sebab  ia tahu bahwa semua manusia terkait 

dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua. 

Hal itu disebab kan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya 

bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau 

menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya. 

Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka 

berdua. sebab  Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu 

Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi 

                                                     

71

 Al Khajrajy yaitu  nisbat kepada suku Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman, 

Mereka datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan Aus yaitu  dua kabilah terbesar kaum 

Anshar. 

72

 Abdullah bin Rawahah Al Anshary Al Khajrajy yaitu  seorang penyair terkenal. Dia juga salah 

seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan tewas dalam perang Mu’tah 

pada tahun 8 H. Dia yaitu  salah seorang dari ketiga panglima dalam perang ini . 

  

semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas 

setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang 

musyrik. 

  

Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai 

melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya. 

Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya. 

Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah 

sahabatnya Abu Darda sebab  ia menginginkan suatu hal… 

Begitu Abdullah sampai di rumah ini , ia melihat pintu rumah 

terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan 

rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia 

menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah 

bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya, 

sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan 

aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda 

mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya. 

Ummu Darda lalu  membiarkan Abdullah sendirian sebab  ia sibuk 

dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak. 

  

Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda 

menaruh berhalanya. lalu  ia keluar dengan membawa berhala tadi. 

Ia menghampiri berhala ini  dan mulai memotong-motongnya sambil 

berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu  batil? 

Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu  batil?” 

Begitu ia selesai memotong-motong berhala ini , ia pun 

meninggalkan rumah itu. 

  

Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia 

tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati 

bagian tubuh berhala ini  sudah terburai di tanah. Ia lalu memukul-

mukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu 

Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!” 

  

Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia 

mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu 

berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan 

yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya 

 

menjawab: “Ketika engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah 

datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.” 

Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala ini  telah 

hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. Akan tetapi tidak 

berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia 

memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan 

dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada 

dirinya.” 

Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah 

sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda 

menyatakan masuk Islam, dan ia yaitu  orang terakhir dari kampungnya 

yang masuk Islam. 

Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya 

dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya. 

Ia amat menyesal sebab  telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia 

mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah 

mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang 

dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah. 

Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-

sungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi 

menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua. 

Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia 

dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu 

bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia 

mendalami pemahamannya akan Al Qur’an. 

Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan 

ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan 

perdagangannya tanpa ragu dan menyesal. 

Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku 

yaitu  seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Saw. Saat aku masuk 

Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan 

tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan 

perdagangan dan aku memilih ibadah. 

Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku 

tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid 

sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat 

berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” lalu  ia 

menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan 

bahwa Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, akan tetapi aku lebih 

menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh 

perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.” 

  

   ______________________________________________________________  159

Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga 

meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan 

dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat 

dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya. 

Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang 

mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka 

makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu 

mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah 

seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara 

kepadanya.” 

Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!” 

Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan 

pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya 

duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa 

selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas 

atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku 

meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barang-

barangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang 

kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan 

barang-barang ini  di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada 

kalian. 

lalu  dalam jalan yang kami susuri menuju rumah ini  ada 

sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih 

baik dibandingkan  yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh 

sebab nya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat 

melintasinya.” lalu  Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah 

engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga 

kebaikanmu dibalas.” 

  

Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu 

Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda 

menolaknya. Abu Darda berkata:  

“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan 

kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat 

mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya. 

Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia 

dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal 

itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orang-

orang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan 

berkata:  

“Wahai penduduk Damaskus, kalian yaitu  saudara seagama, tetangga 

negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk 

Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan 

menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah 

   _________________________________________________  160

diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah 

tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian 

mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian 

meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku 

dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!! 

Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang 

tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang 

mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang 

mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi 

buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad73, wahai 

penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan 

keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan 

kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?” 

Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka 

terdengar dari luar masjid. 

  

Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di 

Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang. 

Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang 

lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan. 

  

Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang 

berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda 

mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka 

menjawab: “Dia yaitu  orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu 

Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam 

sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab: 

“Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela 

dan pukul dia, akan tetapi berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah 

kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian 

untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya: 

“Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya 

membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia 

yaitu  saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri 

bahwa dirinya bertaubat. 

  

Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata: 

“Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda 

berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan 

                                                     

73

 ‘Ad yaitu  kaum Nabi Hud. Mereka menentang nabinya, maka Allah membinasakan mereka. 

   ______________________________________________________________  161

mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang 

berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu. 

Janganlah menjadi orang yang keempat sebab  engkau akan celaka. Wahai 

anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar 

Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang 

yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan 

masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat 

menuju keridhaan Allah. 

  

Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil 

berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu 

menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa 

orang muslim yaitu  rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan 

pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu 

dapat memperdayakan.” 

  

Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan 

mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda 

buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk 

menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan 

putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan 

akhlaknya. 

Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin 

Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah 

ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa. 

Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu 

Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.” 

Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa 

yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat 

banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam 

istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu 

kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!” 

  

Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar 

bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi 

sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong 

pintu rumahnya dan rupanya pintu ini  tidak terkunci. Umar lalu 

masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda 

mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu 

mempersilahkan ia duduk. 

   _________________________________________________  162

Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan 

menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya. 

Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia yaitu  

pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir… 

Ia meraba selimutnya dan ternyata yaitu  sebuah kain tipis yang tidak 

dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus. 

Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku 

sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan 

(nafkah)mu?!” 

Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah 

hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar 

bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah 

bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh 

seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu 

apa yang telah kita lakukan  sesudah  Beliau meninggal, wahai Umar?” 

Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis. 

Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang. 

  

Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada 

penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an 

dan hikmah sehingga ia wafat. 

Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata: 

“Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka 

bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan 

Tuhanku.” 

lalu  ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin 

aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus 

mengucapkan kalimat ini  sehingga ruhnya berpisah dari badan. 

  

Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al 

Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan 

dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang 

terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang 

berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf 

bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!” 

lalu  dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata: 

“Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Swt dari Al Qur’an. Jika 

engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa 

yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang 

   ______________________________________________________________  163

belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang 

belum pernah terbersit dalam hati.” 

Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?” 

Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, sebab  ia 

mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”  

Untuk merujuk lebih jauh tentang profil Abu Darda silahkan melihat:  

1. Al Ishabah: 3/45 atau Tarjamah 6117 

2. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 3/15, 4/59 

3. Usudul Ghabah: 4/159 

4. Hilliyatul Auliya: 1/308 

5. Husnus Shahabah: 218 

6. Shifatus Shafwah: 1/257 

7. Tarikh Al Islam karya Al Dzahaby: 2/107 

8. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi) 

9. Al Kawakib Al Durriyah: 1/45 

10. Al A’lam karya Al Zurkaly 

   _________________________________________________  164

Zaid bin Haritsah 

“Kehendak Allah, Zaid bin Haritsah Tadinya yaitu  Budak dari 

Seorang Perempuan, dan Ia telah Menjadi Manusia yang Paling Aku 

Cintai” (Muhammad Rasulullah) 

 

Su’da binti Tsa’labah pergi untuk mengunjungi kaumnya yaitu Bani 

Ma’nin, dan ia ditemani seorang anaknya yang bernama Zaid bin Haritsah 

Al Ka’bi. 

Baru saja ia sampai di sana, maka pasukan berkuda Bani Qain telah 

menyerang sukunya dan mengambil semua harta. Mereka juga menggiring 

unta-unta dan menyandera beberapa tawanan. 

Salah seorang yang mereka tawan yaitu  anaknya yang bernama Zaid 

bin Haritsah. 

Zaid –saat itu- yaitu  seorang anak kecil yang baru berusia sekitar 8 

tahun. Mereka lalu membawa Zaid ke pasar Ukadz dan menawarkan 

dirinya untuk dibeli. Lalu ada seorang kaya dari pemuka Quraisy yang 

bernama Hakim bin Hizam bin Khuwailid membelinya dengan harga 400 

dirham. Selain dia, ada juga beberapa budak lain yang ia beli, lalu  ia 

bawa ke Mekkah. 

Begitu bibinya Khadijah binti Khuwailid mengetahui kedatangan 

Hakim, bibinya mengunjungi Hakim untuk memberikan selamat dan 

sambutan kepadanya. Hakim berkata kepada bibinya: “Wahai bibi, aku 

telah beli beberapa budak dari pasar Ukadz. Pilihlah yang mana saja, 

engkau sukai. Aku akan menghadiahkannya untukmu!” 

Lalu Sayyidah Khadijah memandangi wajah para budak tadi… dan 

akhirnya ia memilih Zaid bin Haritsah, sebab  Khadijah melihat bahwa 

Zaid memiliki tanda-tanda kecerdesan. Ia pun membawa Zaid pulang. 

Tidak lama lalu  Khadijah binti Khuwailid  menikah dengan 

Muhammad bin Abdullah. Maka Khadijah ingin memberikan hadiah 

kepada suaminya, namun ia tidak menemukan sesuatu yang lebih baik 

dibandingkan  budaknya yang mulia bernama Zaid bin Al Haritsah. Maka 

dihadiahkanlah Zaid kepada suaminya. 

Selagi budak yang beruntung ini tinggal di bawah pengawasan 

Muhammad bin Abdullah, bernasib baik dengan persahabatannya yang 

mulia, dan menikmati keindahan akhlak Beliau. Hal sebaliknya terjadi pada 

ibunya yang shock sebab  kehilangan anaknya. Air matanya tidak pernah 

berhenti mengalir, ia tidak pernah berhenti bersedih dan ia tidak pernah 

merasa tenang. Dan hal yang lebih membuatnya berputus asa yaitu  ia 

  

 

   ______________________________________________________________  165

tidak tahu, apakah anaknya masih hidup sehingga ia masih dapat berharap, 

ataukah sudah mati yang dapat membuatnya putus harapan. 

Sedangkan ayahnya mencari Zaid di seluruh penjuru bumi. Bertanya 

kepada setiap kafilah tentang anaknya. Dan ia membuatkan sebuah syair 

kerinduan yang dapat menyayat hati yang berbunyi: 

Aku menangis sebab  Zaid dan aku tidak tahu apa yang ia kerjakan 

Apakah ia masih hidup hingga masih dapat diharapkan, ataukah ajal 

telah menjemputnya? 

Demi Allah, aku tak mengerti dan aku terus bertanya 

Apakah yang memberi makan kepadamu yaitu  hamparan luas 

ataukah pegunungan? 

Matahari senantiasa membuat aku selalu mengenangnya saat ia terbit 

Dan kenangan tentang dirinya kembali terulang saat ia tenggelam 

Aku akan memberitahukan unta untuk terus berjalan menyusuri bumi 

Dan aku tidak akan bosan untuk berputar mencarimu sebagaimana 

unta yang tidak bosan berjalan 

Hidupku, atau harapanku tercapai… 

Setiap orang bakal binasa, meski harapan telah menipunya 

Dalam suatu musim haji74, sebuah rombongan dari kaum Zaid berniat 

untuk datang ke Baitullah Al Haram. Saat mereka sedang berthawaf di 

seputar Ka’bah, mereka bertemu dengan Zaid. Mereka mengenalinya dan 

Zaid mengenali mereka. Mereka saling bertanya. Begitu mereka semua 

selesai mengerjakan manasiknya dan kembali ke kampung. Mereka 

bercerita kepada Haritsah apa yang mereka lihat dan apa yang mereka 

dengar. 

Maka Haritsah segera menyiapkan kendaraannya, dan ia membawa 

sejumlah uang untuk menebus anaknya yang menjadi buah hati dan 

penyejuk mata. Ia ditemani oleh seorang saudaranya yang bernama Ka’b. 

Keduanya berangkat segera menuju Mekkah. Begitu sampai di sana, 

keduanya menghadap Muhammad bin Abdullah dan berkata: 

“Wahai Ibnu Abdul Muthalib. Kalian yaitu  tetangga Allah yang suka 

membebaskan orang yang menderita, memberi makan orang yang 

kelaparan dan membantu orang yang kesulitan. Kami datang untuk 

membawa anak kami yang ada padamu, dan kami membawa sejumlah 

uang sebagai tebusannya. Berbaik budilah kepada kami, dan serahkan ia 

kepada kami jika engkau izinkan.” 

Muhammad lalu berkata: “Siapakah anak yang kalian maksudkan itu?” 

Mereka menjawab: “Budakmu yang bernama Zaid bin Haritsah.” 

                                                     

74

 Ini terjadi pada masa Jahiliyah 

   _________________________________________________  166

Muhammad lalu berkata: “Apakah kalian memiliki hal yang lebih baik 

dari uang tebusan?” Keduanya bertanya: “Apa itu?”  

Muhammad menjawab: “Aku akan memanggilnya untuk berjumpa 

kalian. Suruhlah dia memilih untuk mengikutiku atau mengikuti kalian. 

Jika ia memilih untuk ikut dengan kalian, maka bawalah ia tanpa perlu 

membayar apa-apa. Jika ia memilih untuk mengikutiku, Demi Allah, aku 

tidak mempengaruhi dia saat memilih.” 

Keduanya berkata: “Engkau berlaku adil dengan demikian.” 

Muhammad lalu memanggil Zaid dan bertanya kepadanya: “Siapa 

kedua orang ini?” Zaid menjawab: “Ini yaitu  ayahku Haritsah bin 

Syurahil dan ini yaitu  pamanku, Ka’b.” 

Muhammad berkata: “Aku memintamu untuk memilih: Jika kau mau, 

kamu boleh pergi bersama mereka. Jika kamu mau, kau juga boleh tinggal 

bersamaku.” 

Zaid menjawab –tanpa ragu dan lambat-: “Aku akan tinggal 

bersamamu.” 

Maka ayahnya berkata: “Celaka kamu Zaid, apakah engkau memilih 

untuk menjadi seorang budak ketimbang hidup bersama ayah dan 

ibumu?!” 

Zaid menjawab: “Aku mendapatkan sesuatu dari orang ini, dan aku 

tidak akan pernah meninggalkannya!” 

Begitu Muhammad melihat apa yang dilakukan Zaid, lalu  

Muhammad menggandeng tangan Zaid dan membawanya ke Baitullah Al 

Haram. Keduanya berhenti di Hijir Ismail di tengah kumpulan bangsa 

Quraisy. Muhammad berkata: “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa 

ini yaitu  anakku. Ia berhak mewarisiku dan aku berhak mewarisinya.”  

Maka menjadi tenanglah jiwa ayah dan pamannya. Mereka berdua 

membiarkan Zaid tinggal bersama Muhammad. Mereka lalu kembali ke 

kampungnya dengan hati yang tenang dan damai. 

Sejak saat itu, Zaid bin Haritsah mulai dipanggil dengan Zaid bin 

Muhammad. Ia terus menggunakan nama itu hingga Muhammad diutus 

sebagai Rasulullah. Islam melarang adopsi (mengangkat anak) saat turun 

firman Allah Swt:  

öΝèδθã ÷Š$# öΝÎγ Í←!$ t/Kψ    

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama 

bapak-bapak mereka.” (QS. al-Ahzab [33] : 5)  

Maka sejak itu, ia dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah. 

Zaid tidak mengetahui manfaat apa yang akan ia dapatkan –saat ia 

memilih Muhammad dibandingkan  ibu dan bapaknya-. Ia juga tidak tahu 

   ______________________________________________________________  167

bahwa tuannya yang ia pilih mengalahkan keluarga dan kabilahnya akan 

menjadi pemimpin manusia dari awal hingga akhir, juga akan menjadi 

seorang utusan Allah kepada semua makhluk-Nya. 

Tidak pernah terbersit di hatinya bahwa kerajaan langit akan berdiri di 

muka bumi yang akan memenuhi timur hingga baratnya dengan kebaikan 

dan keadilan. Dan Muhammad akan menjadi batu pertama dalam 

pembangunan kerajaan yang besar ini. 

Hal ini tidak pernah terbersit di benak Zaid, ini merupakan anugerah 

yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Allah yaitu  Dzat 

Yang Memiliki anugerah yang amat besar. 

Hal itu sebab  tidak selang lama dari peristiwa pemilihan tadi kecuali 

hanya beberapa tahun saja sehingga Allah mengutus Nabi-Nya yang 

bernama Muhammad untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran. 

Maka Zaid bin Haritsah yaitu  manusia pertama yang beriman kepadanya 

dari kalangan pria. 

Apakah ada kemuliaan seperti ini yang dikejar oleh manusia yang 

berlomba untuk mendapatkannya?! 

Zaid bin Haritsah yaitu  orang yang dipercaya untuk menyimpan 

rahasia Rasulullah. Ia juga yaitu  orang yang ditunjuk sebagai panglima 

delegasi dan pasukan Rasul. Dia juga salah seorang pengganti Rasul Saw 

sebagai penguasa Madinah, bila Beliau meninggalkan kota ini . 

Sebagaimana Zaid telah mencintai Nabi Saw dan memilih Beliau 

ketimbang ibu dan bapaknya, maka Rasul Saw juga mencintainya dan 

mengajak Zaid untuk hidup bersama keluarga dan anak-anak Beliau. Rasul 

sering kali merindukan Zaid, bila ia tidak ada. Rasul Saw gembira dengan 

kedatangannya saat ia baru kembali. Rasul Saw menyambutnya dengan 

gembira dimana tidak seorang pun yang mendapatkan kemuliaan seperti 

ini. 

Inilah kisah Aisyah ra yang menggambarkan kepada kita bagaimana 

gembiranya Rasulullah Saw saat berjumpa dengan Zaid. Ia menceritakan: 

“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah. Rasulullah Saw saat itu sedang 

berada di rumahku. Lalu Zaid mengetuk pintu, Rasul lalu berdiri 

menyambutnya sambil telanjang –Beliau tidak memakai apapun kecuali 

pakaian yang menutupi bagian antara pusat dan lututnya- Beliau berjalan 

ke arah pintu dengan menggaet bajunya. Rasul lalu memeluk dan 

menciuminya. Demi Allah, aku belum pernah melihat Rasulullah Saw 

bertelanjang sebelum dan sesudah itu.”75 

Kisah Rasul Saw mencintai Zaid telah diketahui oleh kaum muslimin. 

Sehingga mereka menyebutnya dengan Zaid Al Hubb (Zaid yang dicintai), 

dan mereka memberinya gelar dengan nama Hibbi Rasulillah yang berarti 

kesayangan Rasulullah; dan mereka memberikan nama kepada anaknya 

                                                     

75

 Lihat dalam Jami Al Ushul : 10/25 dan kisah ini juga telah ditakhrij oleh At Tirmidzi. 

   _________________________________________________  168

Usamah dengan Hibbi Rasulillah wa ibnu hibbihi yang berarti anak dari 

orang yang disayang Rasulullah. 

Pada tahun 8 H Allah berkehendak –Maha Suci hikmah-Nya – untuk 

memberikan ujian dengan memisahkan orang yang dicintai dari 

kekasihnya. 

Hal itu dimulai saat Rasulullah Saw mengirim Al Harits bin Umair Al 

Azdy untuk membawa surat kepada raja Bushra agar ia masuk ke dalam 

Islam. Begitu Al Harits tiba di Mu’tah di daerah timur Yordania, salah 

seorang pemimpin Al Ghasasinah yang bernama Syurahbil bin Amr 

memberikan tawaran kepada Al Harits sehingga Al Harits tertawan dan 

terbunuh. 

Hal itu membuat Nabi Saw terkejut, sebab  tidak ada utusannya yang 

lain sampai terbunuh. 

Maka Rasulullah Saw lalu mempersiapkan pasukan yang terdiri dari 

3000 prajurit untuk menyerang Mu’tah. Rasul Saw menunjuk untuk 

menjadi pemimpin pasukan ini yaitu  kekasihnya Zaid bin Haritsah. Rasul 

bersabda: “Jika Zaid tewas, maka kepemimpinan akan dipegang oleh Ja’far 

bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga tewas, maka kepemimpinan dipegang oleh 

Abdullah bin Rawahah.Jika Abdullah bin Rawahah tewas, maka pasukan 

muslimin harus memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi 

pemimpin.” 

Pasukan ini bergerak hingga tiba di Ma’an sebelah timur Yordania. 

Heraclius raja Romawi berangkat dengan diiringi 100 ribu prajurit demi 

mempertahankan Al Ghasasinah, dan ada 100 ribu kaum musyrikin Arab 

yang bergabung dengannya. Pasukan yang besar ini berkemah tidak terlalu 

jauh dari tempat pasukan muslimin berada. 

Pasukan muslimin menginap di Ma’an selama dua hari untuk 

bermusyawarah langkah apa yang mereka harus ambil. 

Salah seorang dari mereka berkata: “Kita kirimkan surat kepada 

Rasulullah Saw untuk memberitahukan Beliau jumlah musuh kita dan kita 

tunggu perintah Beliau.” 

Ada yang mengatakan: “Demi Allah, wahai kaumku, kita tidak berjuang 

dengan jumlah, kekuatan dan banyaknya pasukan. Akan tetapi kita 

berjuang dengan bekal agama ini! Berangkatlah sesuai niat kalian saat 

berangkat! Allah telah menjamin kalian dengan keberuntungan 

mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: baik itu berupa kemenangan… 

atau mati sebagai syahid.” 

lalu  bertemulah kedua pasukan di bumi Mu’tah. Pasukan 

muslimin membuat heran pasukan Romawi, dan membuat mereka 

terpesona dengan kehebatan 3000 prajurit muslimin yang mampu 

menghadapi pasukan mereka yang amat besar berjumlah 200 ribu prajurit. 

Zaid bin Haritsah mempertahankan panji Rasulullah Saw dengan begitu 

semangat dan tidak ada dalam sejarah yang dapat menandinginya, 

   ______________________________________________________________  169

sehingga tubuhnya tertembus 100 tombak. Ia tersungkur tewas dengan 

berlumuran darah. Lalu Ja’far bin Abu Thalib mengambil panji dari 

tangannya. Ia lalu mempertahankan panji tadi dengan begitu hebatnya, 

sehingga ia menyusul sahabatnya tadi. 

Lalu panji ini  diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia 

mempertahankan panji ini  dengan begitu sengitnya sehingga kisahnya 

berakhir seperti kedua sahabatnya. 

Maka pasukan muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima 

mereka –saat itu ia baru masuk Islam-. Khalid menarik mundur pasukan 

muslimin dan menyelamatkan mereka dari kekalahan yang telak. 

Rasulullah Saw menerima kabar tentang peristiwa Mu’tah dan 

tewasnya ketiga panglima. Rasul Saw menjadi sedih dan belum pernah 

Beliau sesedih itu. Rasul Saw lalu pergi ke keluarga mereka untuk 

memberikan bela sungkawa. 

Saat Beliau tiba di rumah Zaid bin Haritsah, putrinya yang masih kecil 

berlari ke arah Beliau mencari perlindungan sambil menangis. Maka 

Rasulullah Saw menangis sehingga terdengar suaranya. 

Sa’d bin Ubadah bertanya kepada Beliau: “Apakah ini ya Rasulullah?” 

Beliau Saw menjawab: “Ini yaitu  tangisan seorang kekasih atas 

kekasihnya.” 

Untuk merujuk lebih jauh tentang profil zaid bin Haritsah silahkan 

melihat:  

1. Shahih Muslim: 7/113 Bab Keutamaan Sahabat 

2. Jami Al Ushul min Ahadits Al Rasul: 10/25,26 

3. Al Ishabah: 1/563 atau Tarjamah 2890 

4. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 1/544 

5. Al Sirah An Nabawiyah karya Ibnu Hisyam: (Daftar Isi Juz 4) 

6. Al Bidayah wa An Nihayah: (dalam kisah tahun kedelapan 

hijriyah) 

7. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi juz 4) 

8. Shifatus Shafwah: 1/147 

9. Khazanah Al Adab karya Al Baghdady: 1/363 

   _________________________________________________  170

Usamah bin Zaid 

“Sungguh Ayah Usamah Lebih Dicintai oleh Rasulullah dibandingkan  

Ayahmu, dan Dia yaitu  Orang yang Lebih Dicintai Rasul 

dibandingkan mu” (Ucapan Umar Al Faruq kepada Anaknya) 

 

Kita sekarang berada pada tahun ketujuh sebelum hijrah dan berada di 

Mekkah. Rasulullah Saw saat itu sedang menderita sebab  siksaan kaum 

Quraisy kepadanya dan kepada para sahabatnya. 

Derita dakwah yang Beliau emban dapat dituliskan dalam serial yang 

panjang serta sarat dengan kesedihan dan penderitaan. 

Saat Beliau dalam kondisi demikian, maka tersembulah rona 

kebahagiaan di kehidupan Beliau. Ada seorang yang membawa kabar 

gembira kepadanya bahwa Ummu Aiman telah melahirkan seorang anak. 

Maka merebaklah kebahagiaan lewat wajah Rasulullah Saw. 

Siapakah anak beruntung ini yang telah membuat bahagia Rasulullah 

Saw?! Dia yaitu  Usamah bin Zaid. 

Tidak seorang pun sahabat Rasulullah Saw yang merasa aneh dengan 

kebahagiaan Beliau atas lahirnya anak ini. Hal itu sebab  posisi kedua 

orang tuanya bagi Beliau. 

Ibu dari anak ini yaitu  Barakah al Hasanah yang dikenal dengan 

Ummu Aiman. Dia yaitu  budak Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah 

Saw. Ummu Aiman membesarkan Rasulullah dalam hidupnya. Ia 

memelihara Rasulullah Saw  sesudah  ibunda Beliau wafat. Rasul Saw 

membuka matanya untuk melihat dunia, dan tidak kenal siapapun sebagai 

ibunya kecuali Ummu Aiman. 

Rasul Saw betapa amat mencintai Ummu Aiman. Beliau sering berkata: 

“Dia yaitu  ibuku  sesudah  ibuku, dan anggota keluargaku yang tersisa.” 

Inilah ibu dari anak yang beruntung. Adapun ayahnya yaitu  orang 

yang paling disayang oleh Rasulullah Saw yaitu Zaid bin Haritsah, yang 

merupakan anak yang diadopsi oleh Rasulullah Saw. Dia juga sahabat Rasul 

yang banyak mengetahui rahasia Rasulullah Saw. Menjadi salah seorang 

anggota keluarga Rasul dan merupakan orang yang paling Beliau cinta 

 sesudah  Islam. 

Kaum muslimin bergembira dengan lahirnya Usamah bin Zaid, seperti 

belum pernah ada bayi yang terlahir selainnya. Sebab, apa yang membuat 

Nabi bahagia, akan membuat mereka semua bahagia. Setiap hal yang 

membuat Nabi Saw senang, maka akan membuat senang juga hati mereka. 

  

 

   ______________________________________________________________  171

Maka kaum muslimin memberikan gelar kepada anak yang beruntung 

ini dengan panggilan Al Hibb wa Ibnul Hibb (Orang yang disayangi dan 

anak dari orang yang disayangi). 

  

Kaum muslimin tidak berlebihan saat mereka memberikan gelar kepada 

anak kecil yang bernama Usamah ini. Rasul Saw amat mencintai dia 

sehingga dunia merasa cemburu kepadanya. Usamah hampir seusia dengan 

cucu Rasul yang bernama Al Hasan bin Fathimah al Zahra. 

Al Hasan ini berkulit putih, cerah dan amat mirip dengan kakeknya, 

yaitu Rasulullah Saw. 

Sedangkan Usamah berkulit hitam, pesek hidungnya dan amat mirip 

dengan ibunya yang berasal dari Habasyah. 

Namun dengan demikian, Rasul Saw tidak pernah membedakan kepada 

mereka berdua dalam membagikan cintanya. Ia menggendong Usamah dan 

menaruhnya di salah satu pahanya, dan ia juga menggendong Al Hasan 

dan menaruhnya pada paha satunya lagi. lalu  Rasul menganggkat 

mereka berdua ke arah dadanya dan berdo’a: “Ya Allah, aku mencintai 

mereka berdua maka cintailah mereka berdua oleh Mu!” 

Rasul Saw amat mencintai Usamah hingga suatu saat Usamah melewati 

gerbang pintu, lalu kepalanya terantuk. Maka mengalirlah darah dari 

lukanya. Maka Nabi Saw menyuruh Aisyah ra untuk menghilangkan darah 

dari lukanya, namun Aisyah tidak mampu melakukannya. 

Maka Rasul Saw langsung menghampiri Usamah dan Rasul menyedot 

memar di tubuhnya sehingga darah habis, dan Rasul Saw menghibur 

Usamah dengan ucapan-ucapan yang baik sehingga Usamah merasa 

tenang dan tidak kesakitan. 

  

Sebagaimana Rasulullah Saw mencintai Usamah saat ia masih kecil, 

Beliau pun mencintai Usamah saat ia sudah menjadi remaja. Hakim bin 

Hazam salah seorang pembesar Quraisy menghadiahkan Rasulullah Saw 

sebuah pekaian bagus yang ia beli dari Yaman seharga 50 dinar emas yang 

dulunya milik Dzu Yazan salah seorang raja Yaman. 

Rasul Saw menolak untuk menaat 

itu masih menjadi seorang musyrik. Namun Rasul Saw malah membelinya. 

Suatu saat Rasul Saw mengenakan pakaian itu satu kali pada hari 

Jum’at. lalu  B


sehingga tubuhnya tertembus 100 tombak. Ia tersungkur tewas dengan 

berlumuran darah. Lalu Ja’far bin Abu Thalib mengambil panji dari 

tangannya. Ia lalu mempertahankan panji tadi dengan begitu hebatnya, 

sehingga ia menyusul sahabatnya tadi. 

Lalu panji ini  diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia 

mempertahankan panji ini  dengan begitu sengitnya sehingga kisahnya 

berakhir seperti kedua sahabatnya. 

Maka pasukan muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima 

mereka –saat itu ia baru masuk Islam-. Khalid menarik mundur pasukan 

muslimin dan menyelamatkan mereka dari kekalahan yang telak. 

Rasulullah Saw menerima kabar tentang peristiwa Mu’tah dan 

tewasnya ketiga panglima. Rasul Saw menjadi sedih dan belum pernah 

Beliau sesedih itu. Rasul Saw lalu pergi ke keluarga mereka untuk 

memberikan bela sungkawa. 

Saat Beliau tiba di rumah Zaid bin Haritsah, putrinya yang masih kecil 

berlari ke arah Beliau mencari perlindungan sambil menangis. Maka 

Rasulullah Saw menangis sehingga terdengar suaranya. 

Sa’d bin Ubadah bertanya kepada Beliau: “Apakah ini ya Rasulullah?” 

Beliau Saw menjawab: “Ini yaitu  tangisan seorang kekasih atas 

kekasihnya.” 

Untuk merujuk lebih jauh tentang profil zaid bin Haritsah silahkan 

melihat:  

1. Shahih Muslim: 7/113 Bab Keutamaan Sahabat 

2. Jami Al Ushul min Ahadits Al Rasul: 10/25,26 

3. Al Ishabah: 1/563 atau Tarjamah 2890 

4. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 1/544 

5. Al Sirah An Nabawiyah karya Ibnu Hisyam: (Daftar Isi Juz 4) 

6. Al Bidayah wa An Nihayah: (dalam kisah tahun kedelapan 

hijriyah) 

7. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi juz 4) 

8. Shifatus Shafwah: 1/147 

9. Khazanah Al Adab karya Al Baghdady: 1/363 

   _________________________________________________  170

Usamah bin Zaid 

“Sungguh Ayah Usamah Lebih Dicintai oleh Rasulullah dibandingkan  

Ayahmu, dan Dia yaitu  Orang yang Lebih Dicintai Rasul 

dibandingkan mu” (Ucapan Umar Al Faruq kepada Anaknya) 

 

Kita sekarang berada pada tahun ketujuh sebelum hijrah dan berada di 

Mekkah. Rasulullah Saw saat itu sedang menderita sebab  siksaan kaum 

Quraisy kepadanya dan kepada para sahabatnya. 

Derita dakwah yang Beliau emban dapat dituliskan dalam serial yang 

panjang serta sarat dengan kesedihan dan penderitaan. 

Saat Beliau dalam kondisi demikian, maka tersembulah rona 

kebahagiaan di kehidupan Beliau. Ada seorang yang membawa kabar 

gembira kepadanya bahwa Ummu Aiman telah melahirkan seorang anak. 

Maka merebaklah kebahagiaan lewat wajah Rasulullah Saw. 

Siapakah anak beruntung ini yang telah membuat bahagia Rasulullah 

Saw?! Dia yaitu  Usamah bin Zaid. 

Tidak seorang pun sahabat Rasulullah Saw yang merasa aneh dengan 

kebahagiaan Beliau atas lahirnya anak ini. Hal itu sebab  posisi kedua 

orang tuanya bagi Beliau. 

Ibu dari anak ini yaitu  Barakah al Hasanah yang dikenal dengan 

Ummu Aiman. Dia yaitu  budak Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah 

Saw. Ummu Aiman membesarkan Rasulullah dalam hidupnya. Ia 

memelihara Rasulullah Saw  sesudah  ibunda Beliau wafat. Rasul Saw 

membuka matanya untuk melihat dunia, dan tidak kenal siapapun sebagai 

ibunya kecuali Ummu Aiman. 

Rasul Saw betapa amat mencintai Ummu Aiman. Beliau sering berkata: 

“Dia yaitu  ibuku  sesudah  ibuku, dan anggota keluargaku yang tersisa.” 

Inilah ibu dari anak yang beruntung. Adapun ayahnya yaitu  orang 

yang paling disayang oleh Rasulullah Saw yaitu Zaid bin Haritsah, yang 

merupakan anak yang diadopsi oleh Rasulullah Saw. Dia juga sahabat Rasul 

yang banyak mengetahui rahasia Rasulullah Saw. Menjadi salah seorang 

anggota keluarga Rasul dan merupakan orang yang paling Beliau cinta 

 sesudah  Islam. 

Kaum muslimin bergembira dengan lahirnya Usamah bin Zaid, seperti 

belum pernah ada bayi yang terlahir selainnya. Sebab, apa yang membuat 

Nabi bahagia, akan membuat mereka semua bahagia. Setiap hal yang 

membuat Nabi Saw senang, maka akan membuat senang juga hati mereka. 

  

 

   ______________________________________________________________  171

Maka kaum muslimin memberikan gelar kepada anak yang beruntung 

ini dengan panggilan Al Hibb wa Ibnul Hibb (Orang yang disayangi dan 

anak dari orang yang disayangi). 

  

Kaum muslimin tidak berlebihan saat mereka memberikan gelar kepada 

anak kecil yang bernama Usamah ini. Rasul Saw amat mencintai dia 

sehingga dunia merasa cemburu kepadanya. Usamah hampir seusia dengan 

cucu Rasul yang bernama Al Hasan bin Fathimah al Zahra. 

Al Hasan ini berkulit putih, cerah dan amat mirip dengan kakeknya, 

yaitu Rasulullah Saw. 

Sedangkan Usamah berkulit hitam, pesek hidungnya dan amat mirip 

dengan ibunya yang berasal dari Habasyah. 

Namun dengan demikian, Rasul Saw tidak pernah membedakan kepada 

mereka berdua dalam membagikan cintanya. Ia menggendong Usamah dan 

menaruhnya di salah satu pahanya, dan ia juga menggendong Al Hasan 

dan menaruhnya pada paha satunya lagi. lalu  Rasul menganggkat 

mereka berdua ke arah dadanya dan berdo’a: “Ya Allah, aku mencintai 

mereka berdua maka cintailah mereka berdua oleh Mu!” 

Rasul Saw amat mencintai Usamah hingga suatu saat Usamah melewati 

gerbang pintu, lalu kepalanya terantuk. Maka mengalirlah darah dari 

lukanya. Maka Nabi Saw menyuruh Aisyah ra untuk menghilangkan darah 

dari lukanya, namun Aisyah tidak mampu melakukannya. 

Maka Rasul Saw langsung menghampiri Usamah dan Rasul menyedot 

memar di tubuhnya sehingga darah habis, dan Rasul Saw menghibur 

Usamah dengan ucapan-ucapan yang baik sehingga Usamah merasa 

tenang dan tidak kesakitan. 

  

Sebagaimana Rasulullah Saw mencintai Usamah saat ia masih kecil, 

Beliau pun mencintai Usamah saat ia sudah menjadi remaja. Hakim bin 

Hazam salah seorang pembesar Quraisy menghadiahkan Rasulullah Saw 

sebuah pekaian bagus yang ia beli dari Yaman seharga 50 dinar emas yang 

dulunya milik Dzu Yazan salah seorang raja Yaman. 

Rasul Saw menolak untuk menerima hadiah ini  sebab Hakim saat 

itu masih menjadi seorang musyrik. Namun Rasul Saw malah membelinya. 

Suatu saat Rasul Saw mengenakan pakaian itu satu kali pada hari 

Jum’at. lalu  B