an tak-tik ini ternyata dapat memperdaya bangsa Persia. Begitu
mereka melihat pasukan muslimin seperti ketakutan dihadapan mereka,
maka mereka mengirimkan beberapa tentara mereka untuk membersihkan
jalan. Maka pasukan muslimin dapat menyerang mereka dan menguasai
jalan ini .
Nu’man bin Muqarrin berkemah di pinggiran kota Nahawand dan ia
bertekad untuk membuat serangan yang mengejutkan bagi musuhnya. Ia
berkata kepada pasukannya: “Aku akan bertakbir sebanyak 3 kali. Jika aku
bertakbir pada kali pertama, maka yang belum siap, bersiaplah! Jika aku
bertakbir untuk yang kedua kali, maka masing-masing harus menyiapkan
senjatanya.Jika aku bertakbir untuk yang ketiga kali, itu berarti aku mulai
menyerang musuh-musuh Allah, dan kalian harus mengikutiku!”
Nu’man bin Muqarrin meneriakkan ketiga takbirnya. Ia merangsek ke
barisan musuh seolah ia seekor singa yang menerkam. Di belakangnya,
pasukan muslimin mengalir bagaikan air. Maka terjadilah antara dua belah
pihak sebuah peperangan yang begitu sengit dan jarang terjadi sepanjang
sejarah.
Pasukan Persia amat terpecah dengan barisan yang tanpa komando lagi.
Korban dari pihak Persia memenuhi semua daratan dan pegunungan.
Darah mereka membasahi semua jalan dan gang. Kuda Nu’man tergelincir
oleh darah sehingga ia tewas. Nu’man terluka serius sebab nya.
Saudaranya segera merebut panji dari tangannya lalu menutup
jasadnya dengan selendang yang ia bawa. Saudaranya tadi
menyembunyikan berita kematian Nu’man kepada pasukan muslimin.
Begitu kemenangan besar telah diraih oleh pihak muslimin yang
mereka namakan dengan ‘Penaklukan Terbesar.’ Maka para tentara kaum
muslimin menanyakan panglima mereka yang gagah berani, Nu’man bin
Muqarrin.
Maka saudara Nu’man mengangkat selendang yang menutupi jasadnya
seraya berkata:
“Inilah panglima kalian. Allah telah membuat hatinya tenang dengan
penaklukan ini, dan menutup usianya dengan syahadah.
Untuk merujuk lebih jauh tentang profil An Nu’man bin Muqarrin
silahkan melihat:
1. Al Ishabah: 3/563 atau Tarjamah 8752
2. Ibnu Al Atsir: 2/211, 3/7
3. Tahdzib Al Tahdzib: 10/456
4. Futuh Al Baldan: 311
5. Syarh Alfiyah Al Iraqy: 3/76
6. Al A’lam:9/9
7. Al Qadisiyah: 66-73 (Mansyurat Dar Al Nafais – Beirut)
_________________________________________________ 150
Shuhaib Al Rumy
“Perdagangan Untung, Ya Abu Yahya… Perdagangan Untung!”
(Muhammad Rasulullah)
Siapakah di antara kita –wahai kaum muslimin- yang tidak mengenal
Shuhaib Al Rumy, tidak mengetahui kisah tentang dirinya dan
biografinya?!
Akan tetapi yang sering tidak diketahui oleh kita yaitu bahwa Shuhaib
bukanlah berasal dari bangsa romawi. Dia yaitu orang Arab asli. Ayahnya
berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim.
Mengapa Shuhaib dinisbatkan kepada bangsa Romawi, ternyata ada
sebuah kisah yang senantiasa di ingat dalam sejarah dan diceritakan oleh
legenda.
Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian ada seorang yang menjadi
gubernur daerah Al Ubullah68 bernama Sinan bin Malik An Numairi. Dia
menjadi seorang gubernur dalam rezim Kisra Raja Persia.
Anak yang paling dicintai oleh Sinan yaitu seorang anak yang belum
genap berusia 5 tahun dan ia panggil dengan nama Shuhaib.
Shuhaib memiliki wajah yang ceria, rambutnya berwarna merah. Selalu
aktif dan riang, dan ia memiliki dua bola mata yang memancarkan
kecerdasan dan kepintaran. Ia juga merupakan bocah yang periang,
memiliki jiwa yang tenang dan selalu membuat hati ayahnya merasa
senang dan membuat ayahnya lupa akan segala permasalahan jabatannya.
Ibu Shuhaib berangkat dnegan membawa anaknya yang kecil dan
rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah
kampung bernama Al Tsany di negeri Iraq untuk beristirahat dan
berekreasi. Lalu sebuah pasukan dari tentara Romawi menyerang kampung
ini , membunuh para penjaganya, mencuri harta dan menawan
penduduknya. Salah seorang yang menjadi tawanan yaitu Shuhaib.
68
Al Ubullah yaitu sebuah kota tua yang termasuk dalam wilayah Basrah.
Shuhaib di jual di pasar perbudakan di negeri Romawi. Maka ia
mengalami pergantian tuan, sebab selalu berpindah dari tuan yang satu
kepada yang lain. Dalam kondisi demikian ia seperti ribuan budak baru
lainnya yang bertugas di istana-istana negeri Romawi.
Shuhaib pernah berkesempatan untuk mengenali masyarakat Romawi
lebih mendalam. Ia mendapati bahwa dalam istana-istana mereka amat
penuh dengan perbuatan hina dan keji. Ia mendengarkan dengan
telinganya kedzaliman dan perbuatan dosa yang mereka perbuat. Maka ia
pun membenci masyarakat Romawi dan menganggap mereka hina.
Ia pernah berkata bahwa masyarakat seperti ini tidak dapat disucikan
kembali kecuali dengan angin topan.
Meskipun Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di
antara penduduknya. Meski ia sudah melupakan Arab, atau hampir
melupakannya, akan tetapi tidak pernah sirna dalam dirinya bahwa ia
yaitu seorang berkebangsaan Arab yang pernah tinggal di tengah padang
pasir. Kerinduannya tidak pernah pupus hingga pada hari ia dibebaskan, ia
langsung menuju tanah asalnya.
Ia semakin rindu kepada negerinya Arab saat ia mendengar seorang
pendeta Nashrani berkata kepada salah seorang tuannya: “Sudah dekat
datangnya sebuah zaman dimana akan muncul di Mekkah di jazirah Arab
seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.”
lalu Shuhaib memiliki kesempatan untuk kabur dari perbudakan
tuannya. Ia langsung menuju ke Mekkah dan jantung Arab tempat
diutusnya seorang Nabi yang telah dinanti-nanti.
Begitu sesampainya di sana, manusia menyebutnya dengan nama
Shuhaib si Romawi sebab bahasanya yang sulit dimengerti dan rambutnya
yang berwarna merah.
Shuhaib lalu bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah
yang bernama Abdullah bin Jud’an. Ia lalu bekerja sebagai seorang
pedagang, maka datanglah kebaikan dan harta yang banyak pada dirinya.
Namun meski Shuhaib telah sibuk dengan perdagangan dan usahanya
namun ia tidak melupakan ucapan pendeta Nashrani dulu. Maka setiap ia
teringat akan ucapan pendeta ini , ia akan bertanya pada dirinya:
“Kapankah hal ini terjadi?”
Tidak lama berselang, jawaban pun datang kepadanya.
Pada suatu hari Shuhaib baru kembali ke Mekkah dari salah satu
perjalanannya. Lalu ada yang mengatakan kepadanya bahwa Muhammad
bin Abdullah baru saja di utus sebagai Nabi, dan kini ia berdakwah kepada
manusia untuk beriman kepada Allah. Mengajak mereka untuk berbuat
adil dan baik. Melarang mereka berbuat keji dan mungkar.
Shuhaib bertanya: “Bukankah dia yaitu orang yang dikenal oleh
penduduk Mekkah dengan Al Amin (orang yang terpercaya)?” lalu
orang ini menjawab: “Ya, benar!” Shuhaib bertanya: “Lalu, dimana
tempatnya?” Orang itu menjawab: “Di rumah Al Arqam bin Abi Al
Arqam69 dekat bukit Shafa.Akan tetapi waspyaitu jangan sampai ada
orang Quraisy yang melihatmu. Jika mereka melihatmu, pasti mereka akan
menyiksamu. Mereka akan menyiksamu sedangkan engkau yaitu orang
asing yang tidak memiliki suku dan keluarga yang dapat melindungimu.
Shuhaib berangkat menuju rumah Al Arqam dengan amat hati-hati.
Sesampainya di sana, ia menjumpai Ammar bin Yasir di depan pintu, dan ia
sudah mengenal dia sebelumnya. Shuhaib agak grogi sejenak lalu ia
menghampirinya lalu berkata: “Apa yang kau hendak lakukan, ya
Ammar?” Ammar lalu bertanya balik: “Engkau sendiri, apa yang hendak
engkau lakukan?” Shuhaib menjawab: “Aku ingin menjumpai orang ini
untuk mendengarkan apa yang ia katakan.” Ammar membalas: “Akupun
hendak melakukan hal yang sama.” Shuhaib berkata: “Kalau begitu, mari
kita masuk sama-sama dengan berkah Allah!”
Shuhaib bin Sinan Al Rumy dan Ammar bin Yasir menjumpai
Rasulullah saw dan mendengarkan apa yang Beliau sampaikan. Lalu cahaya
keimanan terbit di hati mereka berdua. Keduanya berlomba untuk
menjulurkan tangan mereka ke arah Rasulullah Saw. Keduanya
bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu
hamba sekaligus utusan-Nya. Keduanya menghabiskan hari mereka
bersama Rasul Saw untuk menyerap petunjuk Beliau dan menemani Beliau
sepanjang hari.
69
Dia yaitu putra Abdu Manaf bin Asad Al Makhzumi. Dia termasuk orang pertama yang
memeluk Islam. Rumahnya (Darus Salam) yaitu pusat dakwah Rasulullah Saw. Rasul Saw menugas dia
untuk mengurus harta sedekah.
Saat malam tiba dan suasana mulai tenang, keduanya keluar
meninggalkan Rasulullah di kegelapan malam. Masing-masing telah
membawa cahaya di dalam dada mereka yang dapat menyinari seluruh
dunia.
Shuhaib merasakan penyiksaan dirinya yang dilakukan oleh para suku
Quraisy. Bersamanya yaitu Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab dan lain-
lain yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk ke surga. Mereka
merasakan kebengisan suku Quraisy yang jika dipindahkan ke gunung,
pasti gunung ini akan hancur berantakan. Shuhaib merasakan semua
penderitaan itu dengan jiwa yang tenang lagi sabar. Dan ia menyadari
bahwa jalan ke surga sarat dengan penderitaan.
Begitu Rasulullah Saw mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah
ke Madinah. Shuhaib berniat untuk berangkat bersama Rasulullah Saw dan
Abu Bakar. Akan tetapi Quraisy mengetahui rencana Shuhaib untuk
berhijrah, lalu mereka menghalangi Shuhaib untuk melaksanakan niatnya.
Suku Quraisy juga memasang beberapa orang untuk memata-matai
Shuhaib agar ia tidak lari dari mereka sehingga membawa apa yang telah
ia dapatkan dari mereka lewat perdagangan berupa emas dan perak.
sesudah Rasul Saw dan Abu Bakar berhijrah, Shuhaib menunggu-
nunggu saat yang tepat untuk menyusul mereka akan tetapi ia tidak
berhasil. Itu disebab kan, sebab mata para pengintai selalu mengawasi
gerak-geriknya. sebab nya, ia tidak bisa menemukan jalan kecuali dengan
sebuah tipuan.
Pada suatu malam yang dingin, Shuhaib bolak-balik ke kamar kecil
seolah-olah ia ingin buang air. Ia belum juga selesai dari buang airnya,
maka ia kembali lagi ke kamar kecil.
Salah seorang yang mengawasinya berkata: “Bersantailah kalian, Lata
dan Uzza telah membuatnya mual-mual!” lalu mereka mulai
merebahkan diri, dan tak lama lalu mereka tertidur.
Begitu mereka tak sadarkan diri, Shuhaib menyusup pergi dan menuju
ke Madinah.
Tidak lama sesudah Shuhaib pergi, para pengintai Shuhaib sadarkan diri.
Mereka langsung lompat dari tidur mereka. Mereka langsung
menunggangi kuda-kuda mereka. Lalu menghentakkan tali kendalinya
guna menyusul Shuhaib.
Saat Shuhaib menyadari bahwa mereka menyusulnya. Ia berdiri di
sebuah tempat yang tinggi, lalu mengluarkan anak panahnya dari sarung.
Ia mengarahkan busur sambil berkata: “Wahai bangsa Quraisy, Demi
Allah, kalian telah tahu bahwa aku yaitu orang yang paling hebat dalam
memanah dan paling tepat mengenai sasaran. Demi Allah, kalian tidak
akan dapat menangkapku sehingga setiap anak panah yang aku miliki
dapat membunuh satu orang dari kalian. Lalu aku akan mengibaskan
pedang kepada kalian, bila anak panah yang aku miliki telah habis!”
Lalu salah seorang dari Quraisy menjawab: “Demi Allah, kami tak akan
membiarkan engkau berlari membawa diri dan hartamu. Engkau dulu
datang ke Mekkah tanpa membawa apa-apa dan kau yaitu seorang
miskin dulunya. Sekarang engkau telah kaya dan telah mencapai posisi
seperti saat ini.”
Shuhaib lalu berkata: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku tinggalkan
hartaku. Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab:
“Ya!”
Lalu Shuhaib menunjukkan tempat penyimpanan harta di dalam
rumahnya di Mekkah. Lalu bangsa Quraisy mendatangi tempat itu dan
mengambil harta Shuhaib. lalu mereka membiarkan Shuhaib
berangkat.
Shuhaib langsung berangkat ke Madinah untuk menyelamatkan agama
Allah. Ia tidak menyesal dengan harta yang telah ia berikan meskipun ia
telah mengumpulkannya sepanjang umur.
Setiap kali ia merasa lelah dalam perjalanan, maka kerinduan kepada
Rasulullah Saw membuatnya kembali semangat dan meneruskan
perjalanannya.
Saat ia tiba di Quba70, Rasulullah Saw melihat Shuhaib yang datang.
Maka Rasul Saw langsung menyambutnya dengan ramah seraya berkata:
“Perdagangan untung, Ya Abu Yahya. Perdagangan untung!” Rasul Saw
mengulanginya sampai tiga kali.
Maka kegembiraan mendominasi wajah Shuhaib yang lalu
berkata: “Demi Allah, tidak ada yang mendahuluiku dalam perjalanan ini,
ya Rasulullah. Tiada yang memberi kabar kepadamu tentang kedatanganku
selain Jibril.”
70
Quba yaitu sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah
Benar, telah beruntung perdagangan dan benar wahyu dari langit itu.
Dan ini disaksikan oleh Jibril, saat Allah Swt menurunkan ayat tentang
Shuhaib yang berbunyi:
š∅ ÏΒ uρ Ĩ$̈Ψ9$# ⎯tΒ “ Ìô±o„ çµ |¡øtΡ u™!$ tó ÏGö/$# ÉV$ |Ê ós∆ «!$# 3 ª!$#uρ 8∃ρ â™u‘ ÏŠ$ t6 Ïèø9$ Î/
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
sebab mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 207)
Beruntung sekali Shuhaib bin Sinan Al Rumy, dan ia beruntung dengan
tempat kembali yang amat baik.
Abu Darda
(Uwaimar bin Malik Al Khajrajy)
“Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan
dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf)
Uwaimar bin Malik Al Khajrajy71 yang disebut dengan Abu Darda
bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia
pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu
memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum
terbaik berasal dari tokonya. lalu ia memakaikan pakaian pada
berhala ini yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh
salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman.
Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya
untuk pergi ke toko.
Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad.
Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka
terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari
mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang
berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda ini tentang
kabar Abdullah bin Rawahah72. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab:
“Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah
kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.”
Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda.
Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar
Abdullah bin Rawahah, sebab ia tahu bahwa semua manusia terkait
dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua.
Hal itu disebab kan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya
bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau
menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya.
Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka
berdua. sebab Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu
Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi
71
Al Khajrajy yaitu nisbat kepada suku Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman,
Mereka datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan Aus yaitu dua kabilah terbesar kaum
Anshar.
72
Abdullah bin Rawahah Al Anshary Al Khajrajy yaitu seorang penyair terkenal. Dia juga salah
seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan tewas dalam perang Mu’tah
pada tahun 8 H. Dia yaitu salah seorang dari ketiga panglima dalam perang ini .
semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas
setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang
musyrik.
Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai
melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya.
Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya.
Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah
sahabatnya Abu Darda sebab ia menginginkan suatu hal…
Begitu Abdullah sampai di rumah ini , ia melihat pintu rumah
terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan
rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia
menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah
bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya,
sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan
aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda
mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya.
Ummu Darda lalu membiarkan Abdullah sendirian sebab ia sibuk
dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak.
Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda
menaruh berhalanya. lalu ia keluar dengan membawa berhala tadi.
Ia menghampiri berhala ini dan mulai memotong-motongnya sambil
berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu batil?
Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu batil?”
Begitu ia selesai memotong-motong berhala ini , ia pun
meninggalkan rumah itu.
Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia
tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati
bagian tubuh berhala ini sudah terburai di tanah. Ia lalu memukul-
mukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu
Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!”
Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia
mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu
berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan
yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya
menjawab: “Ketika engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah
datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.”
Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala ini telah
hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. Akan tetapi tidak
berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia
memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan
dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada
dirinya.”
Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah
sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda
menyatakan masuk Islam, dan ia yaitu orang terakhir dari kampungnya
yang masuk Islam.
Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya.
Ia amat menyesal sebab telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia
mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah
mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang
dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah.
Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-
sungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi
menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua.
Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia
dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu
bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia
mendalami pemahamannya akan Al Qur’an.
Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan
ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan
perdagangannya tanpa ragu dan menyesal.
Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku
yaitu seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Saw. Saat aku masuk
Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan
tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan
perdagangan dan aku memilih ibadah.
Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku
tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid
sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat
berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” lalu ia
menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan
bahwa Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, akan tetapi aku lebih
menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh
perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.”
______________________________________________________________ 159
Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga
meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan
dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat
dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya.
Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang
mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka
makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu
mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah
seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara
kepadanya.”
Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!”
Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan
pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya
duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa
selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas
atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku
meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barang-
barangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang
kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan
barang-barang ini di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada
kalian.
lalu dalam jalan yang kami susuri menuju rumah ini ada
sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih
baik dibandingkan yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh
sebab nya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat
melintasinya.” lalu Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah
engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga
kebaikanmu dibalas.”
Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu
Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda
menolaknya. Abu Darda berkata:
“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan
kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat
mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya.
Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia
dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal
itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orang-
orang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan
berkata:
“Wahai penduduk Damaskus, kalian yaitu saudara seagama, tetangga
negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk
Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan
menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah
_________________________________________________ 160
diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah
tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian
mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian
meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku
dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!!
Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang
tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang
mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang
mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi
buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad73, wahai
penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan
keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan
kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?”
Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka
terdengar dari luar masjid.
Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di
Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang.
Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang
lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan.
Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang
berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda
mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka
menjawab: “Dia yaitu orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu
Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam
sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab:
“Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela
dan pukul dia, akan tetapi berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah
kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian
untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya:
“Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya
membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia
yaitu saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri
bahwa dirinya bertaubat.
Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata:
“Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda
berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan
73
‘Ad yaitu kaum Nabi Hud. Mereka menentang nabinya, maka Allah membinasakan mereka.
______________________________________________________________ 161
mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang
berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu.
Janganlah menjadi orang yang keempat sebab engkau akan celaka. Wahai
anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar
Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang
yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan
masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat
menuju keridhaan Allah.
Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil
berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu
menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa
orang muslim yaitu rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan
pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu
dapat memperdayakan.”
Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan
mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda
buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk
menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan
putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan
akhlaknya.
Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin
Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah
ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa.
Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu
Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.”
Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa
yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat
banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam
istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu
kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!”
Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar
bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi
sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong
pintu rumahnya dan rupanya pintu ini tidak terkunci. Umar lalu
masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda
mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu
mempersilahkan ia duduk.
_________________________________________________ 162
Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan
menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya.
Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia yaitu
pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir…
Ia meraba selimutnya dan ternyata yaitu sebuah kain tipis yang tidak
dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus.
Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku
sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan
(nafkah)mu?!”
Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah
hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar
bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah
bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh
seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu
apa yang telah kita lakukan sesudah Beliau meninggal, wahai Umar?”
Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis.
Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang.
Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada
penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an
dan hikmah sehingga ia wafat.
Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata:
“Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka
bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan
Tuhanku.”
lalu ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin
aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus
mengucapkan kalimat ini sehingga ruhnya berpisah dari badan.
Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al
Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan
dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang
terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang
berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf
bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!”
lalu dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata:
“Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Swt dari Al Qur’an. Jika
engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa
yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang
______________________________________________________________ 163
belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang
belum pernah terbersit dalam hati.”
Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?”
Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, sebab ia
mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”
Untuk merujuk lebih jauh tentang profil Abu Darda silahkan melihat:
1. Al Ishabah: 3/45 atau Tarjamah 6117
2. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 3/15, 4/59
3. Usudul Ghabah: 4/159
4. Hilliyatul Auliya: 1/308
5. Husnus Shahabah: 218
6. Shifatus Shafwah: 1/257
7. Tarikh Al Islam karya Al Dzahaby: 2/107
8. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi)
9. Al Kawakib Al Durriyah: 1/45
10. Al A’lam karya Al Zurkaly
_________________________________________________ 164
Zaid bin Haritsah
“Kehendak Allah, Zaid bin Haritsah Tadinya yaitu Budak dari
Seorang Perempuan, dan Ia telah Menjadi Manusia yang Paling Aku
Cintai” (Muhammad Rasulullah)
Su’da binti Tsa’labah pergi untuk mengunjungi kaumnya yaitu Bani
Ma’nin, dan ia ditemani seorang anaknya yang bernama Zaid bin Haritsah
Al Ka’bi.
Baru saja ia sampai di sana, maka pasukan berkuda Bani Qain telah
menyerang sukunya dan mengambil semua harta. Mereka juga menggiring
unta-unta dan menyandera beberapa tawanan.
Salah seorang yang mereka tawan yaitu anaknya yang bernama Zaid
bin Haritsah.
Zaid –saat itu- yaitu seorang anak kecil yang baru berusia sekitar 8
tahun. Mereka lalu membawa Zaid ke pasar Ukadz dan menawarkan
dirinya untuk dibeli. Lalu ada seorang kaya dari pemuka Quraisy yang
bernama Hakim bin Hizam bin Khuwailid membelinya dengan harga 400
dirham. Selain dia, ada juga beberapa budak lain yang ia beli, lalu ia
bawa ke Mekkah.
Begitu bibinya Khadijah binti Khuwailid mengetahui kedatangan
Hakim, bibinya mengunjungi Hakim untuk memberikan selamat dan
sambutan kepadanya. Hakim berkata kepada bibinya: “Wahai bibi, aku
telah beli beberapa budak dari pasar Ukadz. Pilihlah yang mana saja,
engkau sukai. Aku akan menghadiahkannya untukmu!”
Lalu Sayyidah Khadijah memandangi wajah para budak tadi… dan
akhirnya ia memilih Zaid bin Haritsah, sebab Khadijah melihat bahwa
Zaid memiliki tanda-tanda kecerdesan. Ia pun membawa Zaid pulang.
Tidak lama lalu Khadijah binti Khuwailid menikah dengan
Muhammad bin Abdullah. Maka Khadijah ingin memberikan hadiah
kepada suaminya, namun ia tidak menemukan sesuatu yang lebih baik
dibandingkan budaknya yang mulia bernama Zaid bin Al Haritsah. Maka
dihadiahkanlah Zaid kepada suaminya.
Selagi budak yang beruntung ini tinggal di bawah pengawasan
Muhammad bin Abdullah, bernasib baik dengan persahabatannya yang
mulia, dan menikmati keindahan akhlak Beliau. Hal sebaliknya terjadi pada
ibunya yang shock sebab kehilangan anaknya. Air matanya tidak pernah
berhenti mengalir, ia tidak pernah berhenti bersedih dan ia tidak pernah
merasa tenang. Dan hal yang lebih membuatnya berputus asa yaitu ia
______________________________________________________________ 165
tidak tahu, apakah anaknya masih hidup sehingga ia masih dapat berharap,
ataukah sudah mati yang dapat membuatnya putus harapan.
Sedangkan ayahnya mencari Zaid di seluruh penjuru bumi. Bertanya
kepada setiap kafilah tentang anaknya. Dan ia membuatkan sebuah syair
kerinduan yang dapat menyayat hati yang berbunyi:
Aku menangis sebab Zaid dan aku tidak tahu apa yang ia kerjakan
Apakah ia masih hidup hingga masih dapat diharapkan, ataukah ajal
telah menjemputnya?
Demi Allah, aku tak mengerti dan aku terus bertanya
Apakah yang memberi makan kepadamu yaitu hamparan luas
ataukah pegunungan?
Matahari senantiasa membuat aku selalu mengenangnya saat ia terbit
Dan kenangan tentang dirinya kembali terulang saat ia tenggelam
Aku akan memberitahukan unta untuk terus berjalan menyusuri bumi
Dan aku tidak akan bosan untuk berputar mencarimu sebagaimana
unta yang tidak bosan berjalan
Hidupku, atau harapanku tercapai…
Setiap orang bakal binasa, meski harapan telah menipunya
Dalam suatu musim haji74, sebuah rombongan dari kaum Zaid berniat
untuk datang ke Baitullah Al Haram. Saat mereka sedang berthawaf di
seputar Ka’bah, mereka bertemu dengan Zaid. Mereka mengenalinya dan
Zaid mengenali mereka. Mereka saling bertanya. Begitu mereka semua
selesai mengerjakan manasiknya dan kembali ke kampung. Mereka
bercerita kepada Haritsah apa yang mereka lihat dan apa yang mereka
dengar.
Maka Haritsah segera menyiapkan kendaraannya, dan ia membawa
sejumlah uang untuk menebus anaknya yang menjadi buah hati dan
penyejuk mata. Ia ditemani oleh seorang saudaranya yang bernama Ka’b.
Keduanya berangkat segera menuju Mekkah. Begitu sampai di sana,
keduanya menghadap Muhammad bin Abdullah dan berkata:
“Wahai Ibnu Abdul Muthalib. Kalian yaitu tetangga Allah yang suka
membebaskan orang yang menderita, memberi makan orang yang
kelaparan dan membantu orang yang kesulitan. Kami datang untuk
membawa anak kami yang ada padamu, dan kami membawa sejumlah
uang sebagai tebusannya. Berbaik budilah kepada kami, dan serahkan ia
kepada kami jika engkau izinkan.”
Muhammad lalu berkata: “Siapakah anak yang kalian maksudkan itu?”
Mereka menjawab: “Budakmu yang bernama Zaid bin Haritsah.”
74
Ini terjadi pada masa Jahiliyah
_________________________________________________ 166
Muhammad lalu berkata: “Apakah kalian memiliki hal yang lebih baik
dari uang tebusan?” Keduanya bertanya: “Apa itu?”
Muhammad menjawab: “Aku akan memanggilnya untuk berjumpa
kalian. Suruhlah dia memilih untuk mengikutiku atau mengikuti kalian.
Jika ia memilih untuk ikut dengan kalian, maka bawalah ia tanpa perlu
membayar apa-apa. Jika ia memilih untuk mengikutiku, Demi Allah, aku
tidak mempengaruhi dia saat memilih.”
Keduanya berkata: “Engkau berlaku adil dengan demikian.”
Muhammad lalu memanggil Zaid dan bertanya kepadanya: “Siapa
kedua orang ini?” Zaid menjawab: “Ini yaitu ayahku Haritsah bin
Syurahil dan ini yaitu pamanku, Ka’b.”
Muhammad berkata: “Aku memintamu untuk memilih: Jika kau mau,
kamu boleh pergi bersama mereka. Jika kamu mau, kau juga boleh tinggal
bersamaku.”
Zaid menjawab –tanpa ragu dan lambat-: “Aku akan tinggal
bersamamu.”
Maka ayahnya berkata: “Celaka kamu Zaid, apakah engkau memilih
untuk menjadi seorang budak ketimbang hidup bersama ayah dan
ibumu?!”
Zaid menjawab: “Aku mendapatkan sesuatu dari orang ini, dan aku
tidak akan pernah meninggalkannya!”
Begitu Muhammad melihat apa yang dilakukan Zaid, lalu
Muhammad menggandeng tangan Zaid dan membawanya ke Baitullah Al
Haram. Keduanya berhenti di Hijir Ismail di tengah kumpulan bangsa
Quraisy. Muhammad berkata: “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa
ini yaitu anakku. Ia berhak mewarisiku dan aku berhak mewarisinya.”
Maka menjadi tenanglah jiwa ayah dan pamannya. Mereka berdua
membiarkan Zaid tinggal bersama Muhammad. Mereka lalu kembali ke
kampungnya dengan hati yang tenang dan damai.
Sejak saat itu, Zaid bin Haritsah mulai dipanggil dengan Zaid bin
Muhammad. Ia terus menggunakan nama itu hingga Muhammad diutus
sebagai Rasulullah. Islam melarang adopsi (mengangkat anak) saat turun
firman Allah Swt:
öΝèδθã ÷Š$# öΝÎγ Í←!$ t/Kψ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka.” (QS. al-Ahzab [33] : 5)
Maka sejak itu, ia dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah.
Zaid tidak mengetahui manfaat apa yang akan ia dapatkan –saat ia
memilih Muhammad dibandingkan ibu dan bapaknya-. Ia juga tidak tahu
______________________________________________________________ 167
bahwa tuannya yang ia pilih mengalahkan keluarga dan kabilahnya akan
menjadi pemimpin manusia dari awal hingga akhir, juga akan menjadi
seorang utusan Allah kepada semua makhluk-Nya.
Tidak pernah terbersit di hatinya bahwa kerajaan langit akan berdiri di
muka bumi yang akan memenuhi timur hingga baratnya dengan kebaikan
dan keadilan. Dan Muhammad akan menjadi batu pertama dalam
pembangunan kerajaan yang besar ini.
Hal ini tidak pernah terbersit di benak Zaid, ini merupakan anugerah
yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Allah yaitu Dzat
Yang Memiliki anugerah yang amat besar.
Hal itu sebab tidak selang lama dari peristiwa pemilihan tadi kecuali
hanya beberapa tahun saja sehingga Allah mengutus Nabi-Nya yang
bernama Muhammad untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran.
Maka Zaid bin Haritsah yaitu manusia pertama yang beriman kepadanya
dari kalangan pria.
Apakah ada kemuliaan seperti ini yang dikejar oleh manusia yang
berlomba untuk mendapatkannya?!
Zaid bin Haritsah yaitu orang yang dipercaya untuk menyimpan
rahasia Rasulullah. Ia juga yaitu orang yang ditunjuk sebagai panglima
delegasi dan pasukan Rasul. Dia juga salah seorang pengganti Rasul Saw
sebagai penguasa Madinah, bila Beliau meninggalkan kota ini .
Sebagaimana Zaid telah mencintai Nabi Saw dan memilih Beliau
ketimbang ibu dan bapaknya, maka Rasul Saw juga mencintainya dan
mengajak Zaid untuk hidup bersama keluarga dan anak-anak Beliau. Rasul
sering kali merindukan Zaid, bila ia tidak ada. Rasul Saw gembira dengan
kedatangannya saat ia baru kembali. Rasul Saw menyambutnya dengan
gembira dimana tidak seorang pun yang mendapatkan kemuliaan seperti
ini.
Inilah kisah Aisyah ra yang menggambarkan kepada kita bagaimana
gembiranya Rasulullah Saw saat berjumpa dengan Zaid. Ia menceritakan:
“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah. Rasulullah Saw saat itu sedang
berada di rumahku. Lalu Zaid mengetuk pintu, Rasul lalu berdiri
menyambutnya sambil telanjang –Beliau tidak memakai apapun kecuali
pakaian yang menutupi bagian antara pusat dan lututnya- Beliau berjalan
ke arah pintu dengan menggaet bajunya. Rasul lalu memeluk dan
menciuminya. Demi Allah, aku belum pernah melihat Rasulullah Saw
bertelanjang sebelum dan sesudah itu.”75
Kisah Rasul Saw mencintai Zaid telah diketahui oleh kaum muslimin.
Sehingga mereka menyebutnya dengan Zaid Al Hubb (Zaid yang dicintai),
dan mereka memberinya gelar dengan nama Hibbi Rasulillah yang berarti
kesayangan Rasulullah; dan mereka memberikan nama kepada anaknya
75
Lihat dalam Jami Al Ushul : 10/25 dan kisah ini juga telah ditakhrij oleh At Tirmidzi.
_________________________________________________ 168
Usamah dengan Hibbi Rasulillah wa ibnu hibbihi yang berarti anak dari
orang yang disayang Rasulullah.
Pada tahun 8 H Allah berkehendak –Maha Suci hikmah-Nya – untuk
memberikan ujian dengan memisahkan orang yang dicintai dari
kekasihnya.
Hal itu dimulai saat Rasulullah Saw mengirim Al Harits bin Umair Al
Azdy untuk membawa surat kepada raja Bushra agar ia masuk ke dalam
Islam. Begitu Al Harits tiba di Mu’tah di daerah timur Yordania, salah
seorang pemimpin Al Ghasasinah yang bernama Syurahbil bin Amr
memberikan tawaran kepada Al Harits sehingga Al Harits tertawan dan
terbunuh.
Hal itu membuat Nabi Saw terkejut, sebab tidak ada utusannya yang
lain sampai terbunuh.
Maka Rasulullah Saw lalu mempersiapkan pasukan yang terdiri dari
3000 prajurit untuk menyerang Mu’tah. Rasul Saw menunjuk untuk
menjadi pemimpin pasukan ini yaitu kekasihnya Zaid bin Haritsah. Rasul
bersabda: “Jika Zaid tewas, maka kepemimpinan akan dipegang oleh Ja’far
bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga tewas, maka kepemimpinan dipegang oleh
Abdullah bin Rawahah.Jika Abdullah bin Rawahah tewas, maka pasukan
muslimin harus memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi
pemimpin.”
Pasukan ini bergerak hingga tiba di Ma’an sebelah timur Yordania.
Heraclius raja Romawi berangkat dengan diiringi 100 ribu prajurit demi
mempertahankan Al Ghasasinah, dan ada 100 ribu kaum musyrikin Arab
yang bergabung dengannya. Pasukan yang besar ini berkemah tidak terlalu
jauh dari tempat pasukan muslimin berada.
Pasukan muslimin menginap di Ma’an selama dua hari untuk
bermusyawarah langkah apa yang mereka harus ambil.
Salah seorang dari mereka berkata: “Kita kirimkan surat kepada
Rasulullah Saw untuk memberitahukan Beliau jumlah musuh kita dan kita
tunggu perintah Beliau.”
Ada yang mengatakan: “Demi Allah, wahai kaumku, kita tidak berjuang
dengan jumlah, kekuatan dan banyaknya pasukan. Akan tetapi kita
berjuang dengan bekal agama ini! Berangkatlah sesuai niat kalian saat
berangkat! Allah telah menjamin kalian dengan keberuntungan
mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: baik itu berupa kemenangan…
atau mati sebagai syahid.”
lalu bertemulah kedua pasukan di bumi Mu’tah. Pasukan
muslimin membuat heran pasukan Romawi, dan membuat mereka
terpesona dengan kehebatan 3000 prajurit muslimin yang mampu
menghadapi pasukan mereka yang amat besar berjumlah 200 ribu prajurit.
Zaid bin Haritsah mempertahankan panji Rasulullah Saw dengan begitu
semangat dan tidak ada dalam sejarah yang dapat menandinginya,
______________________________________________________________ 169an tak-tik ini ternyata dapat memperdaya bangsa Persia. Begitu
mereka melihat pasukan muslimin seperti ketakutan dihadapan mereka,
maka mereka mengirimkan beberapa tentara mereka untuk membersihkan
jalan. Maka pasukan muslimin dapat menyerang mereka dan menguasai
jalan ini .
Nu’man bin Muqarrin berkemah di pinggiran kota Nahawand dan ia
bertekad untuk membuat serangan yang mengejutkan bagi musuhnya. Ia
berkata kepada pasukannya: “Aku akan bertakbir sebanyak 3 kali. Jika aku
bertakbir pada kali pertama, maka yang belum siap, bersiaplah! Jika aku
bertakbir untuk yang kedua kali, maka masing-masing harus menyiapkan
senjatanya.Jika aku bertakbir untuk yang ketiga kali, itu berarti aku mulai
menyerang musuh-musuh Allah, dan kalian harus mengikutiku!”
Nu’man bin Muqarrin meneriakkan ketiga takbirnya. Ia merangsek ke
barisan musuh seolah ia seekor singa yang menerkam. Di belakangnya,
pasukan muslimin mengalir bagaikan air. Maka terjadilah antara dua belah
pihak sebuah peperangan yang begitu sengit dan jarang terjadi sepanjang
sejarah.
Pasukan Persia amat terpecah dengan barisan yang tanpa komando lagi.
Korban dari pihak Persia memenuhi semua daratan dan pegunungan.
Darah mereka membasahi semua jalan dan gang. Kuda Nu’man tergelincir
oleh darah sehingga ia tewas. Nu’man terluka serius sebab nya.
Saudaranya segera merebut panji dari tangannya lalu menutup
jasadnya dengan selendang yang ia bawa. Saudaranya tadi
menyembunyikan berita kematian Nu’man kepada pasukan muslimin.
Begitu kemenangan besar telah diraih oleh pihak muslimin yang
mereka namakan dengan ‘Penaklukan Terbesar.’ Maka para tentara kaum
muslimin menanyakan panglima mereka yang gagah berani, Nu’man bin
Muqarrin.
Maka saudara Nu’man mengangkat selendang yang menutupi jasadnya
seraya berkata:
“Inilah panglima kalian. Allah telah membuat hatinya tenang dengan
penaklukan ini, dan menutup usianya dengan syahadah.
Untuk merujuk lebih jauh tentang profil An Nu’man bin Muqarrin
silahkan melihat:
1. Al Ishabah: 3/563 atau Tarjamah 8752
2. Ibnu Al Atsir: 2/211, 3/7
3. Tahdzib Al Tahdzib: 10/456
4. Futuh Al Baldan: 311
5. Syarh Alfiyah Al Iraqy: 3/76
6. Al A’lam:9/9
7. Al Qadisiyah: 66-73 (Mansyurat Dar Al Nafais – Beirut)
_________________________________________________ 150
Shuhaib Al Rumy
“Perdagangan Untung, Ya Abu Yahya… Perdagangan Untung!”
(Muhammad Rasulullah)
Siapakah di antara kita –wahai kaum muslimin- yang tidak mengenal
Shuhaib Al Rumy, tidak mengetahui kisah tentang dirinya dan
biografinya?!
Akan tetapi yang sering tidak diketahui oleh kita yaitu bahwa Shuhaib
bukanlah berasal dari bangsa romawi. Dia yaitu orang Arab asli. Ayahnya
berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim.
Mengapa Shuhaib dinisbatkan kepada bangsa Romawi, ternyata ada
sebuah kisah yang senantiasa di ingat dalam sejarah dan diceritakan oleh
legenda.
Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian ada seorang yang menjadi
gubernur daerah Al Ubullah68 bernama Sinan bin Malik An Numairi. Dia
menjadi seorang gubernur dalam rezim Kisra Raja Persia.
Anak yang paling dicintai oleh Sinan yaitu seorang anak yang belum
genap berusia 5 tahun dan ia panggil dengan nama Shuhaib.
Shuhaib memiliki wajah yang ceria, rambutnya berwarna merah. Selalu
aktif dan riang, dan ia memiliki dua bola mata yang memancarkan
kecerdasan dan kepintaran. Ia juga merupakan bocah yang periang,
memiliki jiwa yang tenang dan selalu membuat hati ayahnya merasa
senang dan membuat ayahnya lupa akan segala permasalahan jabatannya.
Ibu Shuhaib berangkat dnegan membawa anaknya yang kecil dan
rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah
kampung bernama Al Tsany di negeri Iraq untuk beristirahat dan
berekreasi. Lalu sebuah pasukan dari tentara Romawi menyerang kampung
ini , membunuh para penjaganya, mencuri harta dan menawan
penduduknya. Salah seorang yang menjadi tawanan yaitu Shuhaib.
68
Al Ubullah yaitu sebuah kota tua yang termasuk dalam wilayah Basrah.
Shuhaib di jual di pasar perbudakan di negeri Romawi. Maka ia
mengalami pergantian tuan, sebab selalu berpindah dari tuan yang satu
kepada yang lain. Dalam kondisi demikian ia seperti ribuan budak baru
lainnya yang bertugas di istana-istana negeri Romawi.
Shuhaib pernah berkesempatan untuk mengenali masyarakat Romawi
lebih mendalam. Ia mendapati bahwa dalam istana-istana mereka amat
penuh dengan perbuatan hina dan keji. Ia mendengarkan dengan
telinganya kedzaliman dan perbuatan dosa yang mereka perbuat. Maka ia
pun membenci masyarakat Romawi dan menganggap mereka hina.
Ia pernah berkata bahwa masyarakat seperti ini tidak dapat disucikan
kembali kecuali dengan angin topan.
Meskipun Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di
antara penduduknya. Meski ia sudah melupakan Arab, atau hampir
melupakannya, akan tetapi tidak pernah sirna dalam dirinya bahwa ia
yaitu seorang berkebangsaan Arab yang pernah tinggal di tengah padang
pasir. Kerinduannya tidak pernah pupus hingga pada hari ia dibebaskan, ia
langsung menuju tanah asalnya.
Ia semakin rindu kepada negerinya Arab saat ia mendengar seorang
pendeta Nashrani berkata kepada salah seorang tuannya: “Sudah dekat
datangnya sebuah zaman dimana akan muncul di Mekkah di jazirah Arab
seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.”
lalu Shuhaib memiliki kesempatan untuk kabur dari perbudakan
tuannya. Ia langsung menuju ke Mekkah dan jantung Arab tempat
diutusnya seorang Nabi yang telah dinanti-nanti.
Begitu sesampainya di sana, manusia menyebutnya dengan nama
Shuhaib si Romawi sebab bahasanya yang sulit dimengerti dan rambutnya
yang berwarna merah.
Shuhaib lalu bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah
yang bernama Abdullah bin Jud’an. Ia lalu bekerja sebagai seorang
pedagang, maka datanglah kebaikan dan harta yang banyak pada dirinya.
Namun meski Shuhaib telah sibuk dengan perdagangan dan usahanya
namun ia tidak melupakan ucapan pendeta Nashrani dulu. Maka setiap ia
teringat akan ucapan pendeta ini , ia akan bertanya pada dirinya:
“Kapankah hal ini terjadi?”
Tidak lama berselang, jawaban pun datang kepadanya.
Pada suatu hari Shuhaib baru kembali ke Mekkah dari salah satu
perjalanannya. Lalu ada yang mengatakan kepadanya bahwa Muhammad
bin Abdullah baru saja di utus sebagai Nabi, dan kini ia berdakwah kepada
manusia untuk beriman kepada Allah. Mengajak mereka untuk berbuat
adil dan baik. Melarang mereka berbuat keji dan mungkar.
Shuhaib bertanya: “Bukankah dia yaitu orang yang dikenal oleh
penduduk Mekkah dengan Al Amin (orang yang terpercaya)?” lalu
orang ini menjawab: “Ya, benar!” Shuhaib bertanya: “Lalu, dimana
tempatnya?” Orang itu menjawab: “Di rumah Al Arqam bin Abi Al
Arqam69 dekat bukit Shafa.Akan tetapi waspyaitu jangan sampai ada
orang Quraisy yang melihatmu. Jika mereka melihatmu, pasti mereka akan
menyiksamu. Mereka akan menyiksamu sedangkan engkau yaitu orang
asing yang tidak memiliki suku dan keluarga yang dapat melindungimu.
Shuhaib berangkat menuju rumah Al Arqam dengan amat hati-hati.
Sesampainya di sana, ia menjumpai Ammar bin Yasir di depan pintu, dan ia
sudah mengenal dia sebelumnya. Shuhaib agak grogi sejenak lalu ia
menghampirinya lalu berkata: “Apa yang kau hendak lakukan, ya
Ammar?” Ammar lalu bertanya balik: “Engkau sendiri, apa yang hendak
engkau lakukan?” Shuhaib menjawab: “Aku ingin menjumpai orang ini
untuk mendengarkan apa yang ia katakan.” Ammar membalas: “Akupun
hendak melakukan hal yang sama.” Shuhaib berkata: “Kalau begitu, mari
kita masuk sama-sama dengan berkah Allah!”
Shuhaib bin Sinan Al Rumy dan Ammar bin Yasir menjumpai
Rasulullah saw dan mendengarkan apa yang Beliau sampaikan. Lalu cahaya
keimanan terbit di hati mereka berdua. Keduanya berlomba untuk
menjulurkan tangan mereka ke arah Rasulullah Saw. Keduanya
bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu
hamba sekaligus utusan-Nya. Keduanya menghabiskan hari mereka
bersama Rasul Saw untuk menyerap petunjuk Beliau dan menemani Beliau
sepanjang hari.
69
Dia yaitu putra Abdu Manaf bin Asad Al Makhzumi. Dia termasuk orang pertama yang
memeluk Islam. Rumahnya (Darus Salam) yaitu pusat dakwah Rasulullah Saw. Rasul Saw menugas dia
untuk mengurus harta sedekah.
Saat malam tiba dan suasana mulai tenang, keduanya keluar
meninggalkan Rasulullah di kegelapan malam. Masing-masing telah
membawa cahaya di dalam dada mereka yang dapat menyinari seluruh
dunia.
Shuhaib merasakan penyiksaan dirinya yang dilakukan oleh para suku
Quraisy. Bersamanya yaitu Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab dan lain-
lain yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk ke surga. Mereka
merasakan kebengisan suku Quraisy yang jika dipindahkan ke gunung,
pasti gunung ini akan hancur berantakan. Shuhaib merasakan semua
penderitaan itu dengan jiwa yang tenang lagi sabar. Dan ia menyadari
bahwa jalan ke surga sarat dengan penderitaan.
Begitu Rasulullah Saw mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah
ke Madinah. Shuhaib berniat untuk berangkat bersama Rasulullah Saw dan
Abu Bakar. Akan tetapi Quraisy mengetahui rencana Shuhaib untuk
berhijrah, lalu mereka menghalangi Shuhaib untuk melaksanakan niatnya.
Suku Quraisy juga memasang beberapa orang untuk memata-matai
Shuhaib agar ia tidak lari dari mereka sehingga membawa apa yang telah
ia dapatkan dari mereka lewat perdagangan berupa emas dan perak.
sesudah Rasul Saw dan Abu Bakar berhijrah, Shuhaib menunggu-
nunggu saat yang tepat untuk menyusul mereka akan tetapi ia tidak
berhasil. Itu disebab kan, sebab mata para pengintai selalu mengawasi
gerak-geriknya. sebab nya, ia tidak bisa menemukan jalan kecuali dengan
sebuah tipuan.
Pada suatu malam yang dingin, Shuhaib bolak-balik ke kamar kecil
seolah-olah ia ingin buang air. Ia belum juga selesai dari buang airnya,
maka ia kembali lagi ke kamar kecil.
Salah seorang yang mengawasinya berkata: “Bersantailah kalian, Lata
dan Uzza telah membuatnya mual-mual!” lalu mereka mulai
merebahkan diri, dan tak lama lalu mereka tertidur.
Begitu mereka tak sadarkan diri, Shuhaib menyusup pergi dan menuju
ke Madinah.
Tidak lama sesudah Shuhaib pergi, para pengintai Shuhaib sadarkan diri.
Mereka langsung lompat dari tidur mereka. Mereka langsung
menunggangi kuda-kuda mereka. Lalu menghentakkan tali kendalinya
guna menyusul Shuhaib.
Saat Shuhaib menyadari bahwa mereka menyusulnya. Ia berdiri di
sebuah tempat yang tinggi, lalu mengluarkan anak panahnya dari sarung.
Ia mengarahkan busur sambil berkata: “Wahai bangsa Quraisy, Demi
Allah, kalian telah tahu bahwa aku yaitu orang yang paling hebat dalam
memanah dan paling tepat mengenai sasaran. Demi Allah, kalian tidak
akan dapat menangkapku sehingga setiap anak panah yang aku miliki
dapat membunuh satu orang dari kalian. Lalu aku akan mengibaskan
pedang kepada kalian, bila anak panah yang aku miliki telah habis!”
Lalu salah seorang dari Quraisy menjawab: “Demi Allah, kami tak akan
membiarkan engkau berlari membawa diri dan hartamu. Engkau dulu
datang ke Mekkah tanpa membawa apa-apa dan kau yaitu seorang
miskin dulunya. Sekarang engkau telah kaya dan telah mencapai posisi
seperti saat ini.”
Shuhaib lalu berkata: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku tinggalkan
hartaku. Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab:
“Ya!”
Lalu Shuhaib menunjukkan tempat penyimpanan harta di dalam
rumahnya di Mekkah. Lalu bangsa Quraisy mendatangi tempat itu dan
mengambil harta Shuhaib. lalu mereka membiarkan Shuhaib
berangkat.
Shuhaib langsung berangkat ke Madinah untuk menyelamatkan agama
Allah. Ia tidak menyesal dengan harta yang telah ia berikan meskipun ia
telah mengumpulkannya sepanjang umur.
Setiap kali ia merasa lelah dalam perjalanan, maka kerinduan kepada
Rasulullah Saw membuatnya kembali semangat dan meneruskan
perjalanannya.
Saat ia tiba di Quba70, Rasulullah Saw melihat Shuhaib yang datang.
Maka Rasul Saw langsung menyambutnya dengan ramah seraya berkata:
“Perdagangan untung, Ya Abu Yahya. Perdagangan untung!” Rasul Saw
mengulanginya sampai tiga kali.
Maka kegembiraan mendominasi wajah Shuhaib yang lalu
berkata: “Demi Allah, tidak ada yang mendahuluiku dalam perjalanan ini,
ya Rasulullah. Tiada yang memberi kabar kepadamu tentang kedatanganku
selain Jibril.”
70
Quba yaitu sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah
Benar, telah beruntung perdagangan dan benar wahyu dari langit itu.
Dan ini disaksikan oleh Jibril, saat Allah Swt menurunkan ayat tentang
Shuhaib yang berbunyi:
š∅ ÏΒ uρ Ĩ$̈Ψ9$# ⎯tΒ “ Ìô±o„ çµ |¡øtΡ u™!$ tó ÏGö/$# ÉV$ |Ê ós∆ «!$# 3 ª!$#uρ 8∃ρ â™u‘ ÏŠ$ t6 Ïèø9$ Î/
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
sebab mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 207)
Beruntung sekali Shuhaib bin Sinan Al Rumy, dan ia beruntung dengan
tempat kembali yang amat baik.
Abu Darda
(Uwaimar bin Malik Al Khajrajy)
“Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan
dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf)
Uwaimar bin Malik Al Khajrajy71 yang disebut dengan Abu Darda
bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia
pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu
memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum
terbaik berasal dari tokonya. lalu ia memakaikan pakaian pada
berhala ini yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh
salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman.
Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya
untuk pergi ke toko.
Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad.
Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka
terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari
mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang
berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda ini tentang
kabar Abdullah bin Rawahah72. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab:
“Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah
kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.”
Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda.
Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar
Abdullah bin Rawahah, sebab ia tahu bahwa semua manusia terkait
dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua.
Hal itu disebab kan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya
bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau
menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya.
Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka
berdua. sebab Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu
Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi
71
Al Khajrajy yaitu nisbat kepada suku Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman,
Mereka datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan Aus yaitu dua kabilah terbesar kaum
Anshar.
72
Abdullah bin Rawahah Al Anshary Al Khajrajy yaitu seorang penyair terkenal. Dia juga salah
seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan tewas dalam perang Mu’tah
pada tahun 8 H. Dia yaitu salah seorang dari ketiga panglima dalam perang ini .
semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas
setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang
musyrik.
Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai
melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya.
Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya.
Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah
sahabatnya Abu Darda sebab ia menginginkan suatu hal…
Begitu Abdullah sampai di rumah ini , ia melihat pintu rumah
terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan
rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia
menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah
bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya,
sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan
aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda
mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya.
Ummu Darda lalu membiarkan Abdullah sendirian sebab ia sibuk
dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak.
Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda
menaruh berhalanya. lalu ia keluar dengan membawa berhala tadi.
Ia menghampiri berhala ini dan mulai memotong-motongnya sambil
berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu batil?
Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu batil?”
Begitu ia selesai memotong-motong berhala ini , ia pun
meninggalkan rumah itu.
Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia
tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati
bagian tubuh berhala ini sudah terburai di tanah. Ia lalu memukul-
mukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu
Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!”
Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia
mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu
berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan
yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya
menjawab: “Ketika engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah
datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.”
Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala ini telah
hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. Akan tetapi tidak
berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia
memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan
dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada
dirinya.”
Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah
sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda
menyatakan masuk Islam, dan ia yaitu orang terakhir dari kampungnya
yang masuk Islam.
Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya.
Ia amat menyesal sebab telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia
mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah
mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang
dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah.
Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-
sungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi
menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua.
Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia
dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu
bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia
mendalami pemahamannya akan Al Qur’an.
Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan
ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan
perdagangannya tanpa ragu dan menyesal.
Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku
yaitu seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Saw. Saat aku masuk
Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan
tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan
perdagangan dan aku memilih ibadah.
Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku
tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid
sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat
berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” lalu ia
menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan
bahwa Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, akan tetapi aku lebih
menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh
perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.”
______________________________________________________________ 159
Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga
meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan
dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat
dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya.
Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang
mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka
makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu
mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah
seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara
kepadanya.”
Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!”
Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan
pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya
duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa
selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas
atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku
meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barang-
barangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang
kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan
barang-barang ini di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada
kalian.
lalu dalam jalan yang kami susuri menuju rumah ini ada
sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih
baik dibandingkan yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh
sebab nya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat
melintasinya.” lalu Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah
engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga
kebaikanmu dibalas.”
Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu
Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda
menolaknya. Abu Darda berkata:
“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan
kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat
mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya.
Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia
dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal
itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orang-
orang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan
berkata:
“Wahai penduduk Damaskus, kalian yaitu saudara seagama, tetangga
negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk
Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan
menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah
_________________________________________________ 160
diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah
tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian
mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian
meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku
dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!!
Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang
tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang
mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang
mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi
buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad73, wahai
penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan
keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan
kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?”
Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka
terdengar dari luar masjid.
Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di
Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang.
Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang
lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan.
Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang
berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda
mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka
menjawab: “Dia yaitu orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu
Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam
sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab:
“Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela
dan pukul dia, akan tetapi berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah
kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian
untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya:
“Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya
membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia
yaitu saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri
bahwa dirinya bertaubat.
Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata:
“Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda
berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan
73
‘Ad yaitu kaum Nabi Hud. Mereka menentang nabinya, maka Allah membinasakan mereka.
______________________________________________________________ 161
mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang
berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu.
Janganlah menjadi orang yang keempat sebab engkau akan celaka. Wahai
anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar
Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang
yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan
masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat
menuju keridhaan Allah.
Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil
berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu
menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa
orang muslim yaitu rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan
pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu
dapat memperdayakan.”
Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan
mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda
buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk
menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan
putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan
akhlaknya.
Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin
Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah
ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa.
Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu
Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.”
Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa
yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat
banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam
istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu
kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!”
Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar
bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi
sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong
pintu rumahnya dan rupanya pintu ini tidak terkunci. Umar lalu
masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda
mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu
mempersilahkan ia duduk.
_________________________________________________ 162
Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan
menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya.
Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia yaitu
pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir…
Ia meraba selimutnya dan ternyata yaitu sebuah kain tipis yang tidak
dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus.
Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku
sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan
(nafkah)mu?!”
Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah
hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar
bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah
bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh
seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu
apa yang telah kita lakukan sesudah Beliau meninggal, wahai Umar?”
Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis.
Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang.
Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada
penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an
dan hikmah sehingga ia wafat.
Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata:
“Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka
bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan
Tuhanku.”
lalu ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin
aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus
mengucapkan kalimat ini sehingga ruhnya berpisah dari badan.
Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al
Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan
dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang
terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang
berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf
bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!”
lalu dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata:
“Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Swt dari Al Qur’an. Jika
engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa
yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang
______________________________________________________________ 163
belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang
belum pernah terbersit dalam hati.”
Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?”
Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, sebab ia
mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”
Untuk merujuk lebih jauh tentang profil Abu Darda silahkan melihat:
1. Al Ishabah: 3/45 atau Tarjamah 6117
2. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 3/15, 4/59
3. Usudul Ghabah: 4/159
4. Hilliyatul Auliya: 1/308
5. Husnus Shahabah: 218
6. Shifatus Shafwah: 1/257
7. Tarikh Al Islam karya Al Dzahaby: 2/107
8. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi)
9. Al Kawakib Al Durriyah: 1/45
10. Al A’lam karya Al Zurkaly
_________________________________________________ 164
Zaid bin Haritsah
“Kehendak Allah, Zaid bin Haritsah Tadinya yaitu Budak dari
Seorang Perempuan, dan Ia telah Menjadi Manusia yang Paling Aku
Cintai” (Muhammad Rasulullah)
Su’da binti Tsa’labah pergi untuk mengunjungi kaumnya yaitu Bani
Ma’nin, dan ia ditemani seorang anaknya yang bernama Zaid bin Haritsah
Al Ka’bi.
Baru saja ia sampai di sana, maka pasukan berkuda Bani Qain telah
menyerang sukunya dan mengambil semua harta. Mereka juga menggiring
unta-unta dan menyandera beberapa tawanan.
Salah seorang yang mereka tawan yaitu anaknya yang bernama Zaid
bin Haritsah.
Zaid –saat itu- yaitu seorang anak kecil yang baru berusia sekitar 8
tahun. Mereka lalu membawa Zaid ke pasar Ukadz dan menawarkan
dirinya untuk dibeli. Lalu ada seorang kaya dari pemuka Quraisy yang
bernama Hakim bin Hizam bin Khuwailid membelinya dengan harga 400
dirham. Selain dia, ada juga beberapa budak lain yang ia beli, lalu ia
bawa ke Mekkah.
Begitu bibinya Khadijah binti Khuwailid mengetahui kedatangan
Hakim, bibinya mengunjungi Hakim untuk memberikan selamat dan
sambutan kepadanya. Hakim berkata kepada bibinya: “Wahai bibi, aku
telah beli beberapa budak dari pasar Ukadz. Pilihlah yang mana saja,
engkau sukai. Aku akan menghadiahkannya untukmu!”
Lalu Sayyidah Khadijah memandangi wajah para budak tadi… dan
akhirnya ia memilih Zaid bin Haritsah, sebab Khadijah melihat bahwa
Zaid memiliki tanda-tanda kecerdesan. Ia pun membawa Zaid pulang.
Tidak lama lalu Khadijah binti Khuwailid menikah dengan
Muhammad bin Abdullah. Maka Khadijah ingin memberikan hadiah
kepada suaminya, namun ia tidak menemukan sesuatu yang lebih baik
dibandingkan budaknya yang mulia bernama Zaid bin Al Haritsah. Maka
dihadiahkanlah Zaid kepada suaminya.
Selagi budak yang beruntung ini tinggal di bawah pengawasan
Muhammad bin Abdullah, bernasib baik dengan persahabatannya yang
mulia, dan menikmati keindahan akhlak Beliau. Hal sebaliknya terjadi pada
ibunya yang shock sebab kehilangan anaknya. Air matanya tidak pernah
berhenti mengalir, ia tidak pernah berhenti bersedih dan ia tidak pernah
merasa tenang. Dan hal yang lebih membuatnya berputus asa yaitu ia
______________________________________________________________ 165
tidak tahu, apakah anaknya masih hidup sehingga ia masih dapat berharap,
ataukah sudah mati yang dapat membuatnya putus harapan.
Sedangkan ayahnya mencari Zaid di seluruh penjuru bumi. Bertanya
kepada setiap kafilah tentang anaknya. Dan ia membuatkan sebuah syair
kerinduan yang dapat menyayat hati yang berbunyi:
Aku menangis sebab Zaid dan aku tidak tahu apa yang ia kerjakan
Apakah ia masih hidup hingga masih dapat diharapkan, ataukah ajal
telah menjemputnya?
Demi Allah, aku tak mengerti dan aku terus bertanya
Apakah yang memberi makan kepadamu yaitu hamparan luas
ataukah pegunungan?
Matahari senantiasa membuat aku selalu mengenangnya saat ia terbit
Dan kenangan tentang dirinya kembali terulang saat ia tenggelam
Aku akan memberitahukan unta untuk terus berjalan menyusuri bumi
Dan aku tidak akan bosan untuk berputar mencarimu sebagaimana
unta yang tidak bosan berjalan
Hidupku, atau harapanku tercapai…
Setiap orang bakal binasa, meski harapan telah menipunya
Dalam suatu musim haji74, sebuah rombongan dari kaum Zaid berniat
untuk datang ke Baitullah Al Haram. Saat mereka sedang berthawaf di
seputar Ka’bah, mereka bertemu dengan Zaid. Mereka mengenalinya dan
Zaid mengenali mereka. Mereka saling bertanya. Begitu mereka semua
selesai mengerjakan manasiknya dan kembali ke kampung. Mereka
bercerita kepada Haritsah apa yang mereka lihat dan apa yang mereka
dengar.
Maka Haritsah segera menyiapkan kendaraannya, dan ia membawa
sejumlah uang untuk menebus anaknya yang menjadi buah hati dan
penyejuk mata. Ia ditemani oleh seorang saudaranya yang bernama Ka’b.
Keduanya berangkat segera menuju Mekkah. Begitu sampai di sana,
keduanya menghadap Muhammad bin Abdullah dan berkata:
“Wahai Ibnu Abdul Muthalib. Kalian yaitu tetangga Allah yang suka
membebaskan orang yang menderita, memberi makan orang yang
kelaparan dan membantu orang yang kesulitan. Kami datang untuk
membawa anak kami yang ada padamu, dan kami membawa sejumlah
uang sebagai tebusannya. Berbaik budilah kepada kami, dan serahkan ia
kepada kami jika engkau izinkan.”
Muhammad lalu berkata: “Siapakah anak yang kalian maksudkan itu?”
Mereka menjawab: “Budakmu yang bernama Zaid bin Haritsah.”
74
Ini terjadi pada masa Jahiliyah
_________________________________________________ 166
Muhammad lalu berkata: “Apakah kalian memiliki hal yang lebih baik
dari uang tebusan?” Keduanya bertanya: “Apa itu?”
Muhammad menjawab: “Aku akan memanggilnya untuk berjumpa
kalian. Suruhlah dia memilih untuk mengikutiku atau mengikuti kalian.
Jika ia memilih untuk ikut dengan kalian, maka bawalah ia tanpa perlu
membayar apa-apa. Jika ia memilih untuk mengikutiku, Demi Allah, aku
tidak mempengaruhi dia saat memilih.”
Keduanya berkata: “Engkau berlaku adil dengan demikian.”
Muhammad lalu memanggil Zaid dan bertanya kepadanya: “Siapa
kedua orang ini?” Zaid menjawab: “Ini yaitu ayahku Haritsah bin
Syurahil dan ini yaitu pamanku, Ka’b.”
Muhammad berkata: “Aku memintamu untuk memilih: Jika kau mau,
kamu boleh pergi bersama mereka. Jika kamu mau, kau juga boleh tinggal
bersamaku.”
Zaid menjawab –tanpa ragu dan lambat-: “Aku akan tinggal
bersamamu.”
Maka ayahnya berkata: “Celaka kamu Zaid, apakah engkau memilih
untuk menjadi seorang budak ketimbang hidup bersama ayah dan
ibumu?!”
Zaid menjawab: “Aku mendapatkan sesuatu dari orang ini, dan aku
tidak akan pernah meninggalkannya!”
Begitu Muhammad melihat apa yang dilakukan Zaid, lalu
Muhammad menggandeng tangan Zaid dan membawanya ke Baitullah Al
Haram. Keduanya berhenti di Hijir Ismail di tengah kumpulan bangsa
Quraisy. Muhammad berkata: “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa
ini yaitu anakku. Ia berhak mewarisiku dan aku berhak mewarisinya.”
Maka menjadi tenanglah jiwa ayah dan pamannya. Mereka berdua
membiarkan Zaid tinggal bersama Muhammad. Mereka lalu kembali ke
kampungnya dengan hati yang tenang dan damai.
Sejak saat itu, Zaid bin Haritsah mulai dipanggil dengan Zaid bin
Muhammad. Ia terus menggunakan nama itu hingga Muhammad diutus
sebagai Rasulullah. Islam melarang adopsi (mengangkat anak) saat turun
firman Allah Swt:
öΝèδθã ÷Š$# öΝÎγ Í←!$ t/Kψ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka.” (QS. al-Ahzab [33] : 5)
Maka sejak itu, ia dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah.
Zaid tidak mengetahui manfaat apa yang akan ia dapatkan –saat ia
memilih Muhammad dibandingkan ibu dan bapaknya-. Ia juga tidak tahu
______________________________________________________________ 167
bahwa tuannya yang ia pilih mengalahkan keluarga dan kabilahnya akan
menjadi pemimpin manusia dari awal hingga akhir, juga akan menjadi
seorang utusan Allah kepada semua makhluk-Nya.
Tidak pernah terbersit di hatinya bahwa kerajaan langit akan berdiri di
muka bumi yang akan memenuhi timur hingga baratnya dengan kebaikan
dan keadilan. Dan Muhammad akan menjadi batu pertama dalam
pembangunan kerajaan yang besar ini.
Hal ini tidak pernah terbersit di benak Zaid, ini merupakan anugerah
yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Allah yaitu Dzat
Yang Memiliki anugerah yang amat besar.
Hal itu sebab tidak selang lama dari peristiwa pemilihan tadi kecuali
hanya beberapa tahun saja sehingga Allah mengutus Nabi-Nya yang
bernama Muhammad untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran.
Maka Zaid bin Haritsah yaitu manusia pertama yang beriman kepadanya
dari kalangan pria.
Apakah ada kemuliaan seperti ini yang dikejar oleh manusia yang
berlomba untuk mendapatkannya?!
Zaid bin Haritsah yaitu orang yang dipercaya untuk menyimpan
rahasia Rasulullah. Ia juga yaitu orang yang ditunjuk sebagai panglima
delegasi dan pasukan Rasul. Dia juga salah seorang pengganti Rasul Saw
sebagai penguasa Madinah, bila Beliau meninggalkan kota ini .
Sebagaimana Zaid telah mencintai Nabi Saw dan memilih Beliau
ketimbang ibu dan bapaknya, maka Rasul Saw juga mencintainya dan
mengajak Zaid untuk hidup bersama keluarga dan anak-anak Beliau. Rasul
sering kali merindukan Zaid, bila ia tidak ada. Rasul Saw gembira dengan
kedatangannya saat ia baru kembali. Rasul Saw menyambutnya dengan
gembira dimana tidak seorang pun yang mendapatkan kemuliaan seperti
ini.
Inilah kisah Aisyah ra yang menggambarkan kepada kita bagaimana
gembiranya Rasulullah Saw saat berjumpa dengan Zaid. Ia menceritakan:
“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah. Rasulullah Saw saat itu sedang
berada di rumahku. Lalu Zaid mengetuk pintu, Rasul lalu berdiri
menyambutnya sambil telanjang –Beliau tidak memakai apapun kecuali
pakaian yang menutupi bagian antara pusat dan lututnya- Beliau berjalan
ke arah pintu dengan menggaet bajunya. Rasul lalu memeluk dan
menciuminya. Demi Allah, aku belum pernah melihat Rasulullah Saw
bertelanjang sebelum dan sesudah itu.”75
Kisah Rasul Saw mencintai Zaid telah diketahui oleh kaum muslimin.
Sehingga mereka menyebutnya dengan Zaid Al Hubb (Zaid yang dicintai),
dan mereka memberinya gelar dengan nama Hibbi Rasulillah yang berarti
kesayangan Rasulullah; dan mereka memberikan nama kepada anaknya
75
Lihat dalam Jami Al Ushul : 10/25 dan kisah ini juga telah ditakhrij oleh At Tirmidzi.
_________________________________________________ 168
Usamah dengan Hibbi Rasulillah wa ibnu hibbihi yang berarti anak dari
orang yang disayang Rasulullah.
Pada tahun 8 H Allah berkehendak –Maha Suci hikmah-Nya – untuk
memberikan ujian dengan memisahkan orang yang dicintai dari
kekasihnya.
Hal itu dimulai saat Rasulullah Saw mengirim Al Harits bin Umair Al
Azdy untuk membawa surat kepada raja Bushra agar ia masuk ke dalam
Islam. Begitu Al Harits tiba di Mu’tah di daerah timur Yordania, salah
seorang pemimpin Al Ghasasinah yang bernama Syurahbil bin Amr
memberikan tawaran kepada Al Harits sehingga Al Harits tertawan dan
terbunuh.
Hal itu membuat Nabi Saw terkejut, sebab tidak ada utusannya yang
lain sampai terbunuh.
Maka Rasulullah Saw lalu mempersiapkan pasukan yang terdiri dari
3000 prajurit untuk menyerang Mu’tah. Rasul Saw menunjuk untuk
menjadi pemimpin pasukan ini yaitu kekasihnya Zaid bin Haritsah. Rasul
bersabda: “Jika Zaid tewas, maka kepemimpinan akan dipegang oleh Ja’far
bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga tewas, maka kepemimpinan dipegang oleh
Abdullah bin Rawahah.Jika Abdullah bin Rawahah tewas, maka pasukan
muslimin harus memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi
pemimpin.”
Pasukan ini bergerak hingga tiba di Ma’an sebelah timur Yordania.
Heraclius raja Romawi berangkat dengan diiringi 100 ribu prajurit demi
mempertahankan Al Ghasasinah, dan ada 100 ribu kaum musyrikin Arab
yang bergabung dengannya. Pasukan yang besar ini berkemah tidak terlalu
jauh dari tempat pasukan muslimin berada.
Pasukan muslimin menginap di Ma’an selama dua hari untuk
bermusyawarah langkah apa yang mereka harus ambil.
Salah seorang dari mereka berkata: “Kita kirimkan surat kepada
Rasulullah Saw untuk memberitahukan Beliau jumlah musuh kita dan kita
tunggu perintah Beliau.”
Ada yang mengatakan: “Demi Allah, wahai kaumku, kita tidak berjuang
dengan jumlah, kekuatan dan banyaknya pasukan. Akan tetapi kita
berjuang dengan bekal agama ini! Berangkatlah sesuai niat kalian saat
berangkat! Allah telah menjamin kalian dengan keberuntungan
mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: baik itu berupa kemenangan…
atau mati sebagai syahid.”
lalu bertemulah kedua pasukan di bumi Mu’tah. Pasukan
muslimin membuat heran pasukan Romawi, dan membuat mereka
terpesona dengan kehebatan 3000 prajurit muslimin yang mampu
menghadapi pasukan mereka yang amat besar berjumlah 200 ribu prajurit.
Zaid bin Haritsah mempertahankan panji Rasulullah Saw dengan begitu
semangat dan tidak ada dalam sejarah yang dapat menandinginya,
______________________________________________________________ 169
sehingga tubuhnya tertembus 100 tombak. Ia tersungkur tewas dengan
berlumuran darah. Lalu Ja’far bin Abu Thalib mengambil panji dari
tangannya. Ia lalu mempertahankan panji tadi dengan begitu hebatnya,
sehingga ia menyusul sahabatnya tadi.
Lalu panji ini diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia
mempertahankan panji ini dengan begitu sengitnya sehingga kisahnya
berakhir seperti kedua sahabatnya.
Maka pasukan muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima
mereka –saat itu ia baru masuk Islam-. Khalid menarik mundur pasukan
muslimin dan menyelamatkan mereka dari kekalahan yang telak.
Rasulullah Saw menerima kabar tentang peristiwa Mu’tah dan
tewasnya ketiga panglima. Rasul Saw menjadi sedih dan belum pernah
Beliau sesedih itu. Rasul Saw lalu pergi ke keluarga mereka untuk
memberikan bela sungkawa.
Saat Beliau tiba di rumah Zaid bin Haritsah, putrinya yang masih kecil
berlari ke arah Beliau mencari perlindungan sambil menangis. Maka
Rasulullah Saw menangis sehingga terdengar suaranya.
Sa’d bin Ubadah bertanya kepada Beliau: “Apakah ini ya Rasulullah?”
Beliau Saw menjawab: “Ini yaitu tangisan seorang kekasih atas
kekasihnya.”
Untuk merujuk lebih jauh tentang profil zaid bin Haritsah silahkan
melihat:
1. Shahih Muslim: 7/113 Bab Keutamaan Sahabat
2. Jami Al Ushul min Ahadits Al Rasul: 10/25,26
3. Al Ishabah: 1/563 atau Tarjamah 2890
4. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 1/544
5. Al Sirah An Nabawiyah karya Ibnu Hisyam: (Daftar Isi Juz 4)
6. Al Bidayah wa An Nihayah: (dalam kisah tahun kedelapan
hijriyah)
7. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi juz 4)
8. Shifatus Shafwah: 1/147
9. Khazanah Al Adab karya Al Baghdady: 1/363
_________________________________________________ 170
Usamah bin Zaid
“Sungguh Ayah Usamah Lebih Dicintai oleh Rasulullah dibandingkan
Ayahmu, dan Dia yaitu Orang yang Lebih Dicintai Rasul
dibandingkan mu” (Ucapan Umar Al Faruq kepada Anaknya)
Kita sekarang berada pada tahun ketujuh sebelum hijrah dan berada di
Mekkah. Rasulullah Saw saat itu sedang menderita sebab siksaan kaum
Quraisy kepadanya dan kepada para sahabatnya.
Derita dakwah yang Beliau emban dapat dituliskan dalam serial yang
panjang serta sarat dengan kesedihan dan penderitaan.
Saat Beliau dalam kondisi demikian, maka tersembulah rona
kebahagiaan di kehidupan Beliau. Ada seorang yang membawa kabar
gembira kepadanya bahwa Ummu Aiman telah melahirkan seorang anak.
Maka merebaklah kebahagiaan lewat wajah Rasulullah Saw.
Siapakah anak beruntung ini yang telah membuat bahagia Rasulullah
Saw?! Dia yaitu Usamah bin Zaid.
Tidak seorang pun sahabat Rasulullah Saw yang merasa aneh dengan
kebahagiaan Beliau atas lahirnya anak ini. Hal itu sebab posisi kedua
orang tuanya bagi Beliau.
Ibu dari anak ini yaitu Barakah al Hasanah yang dikenal dengan
Ummu Aiman. Dia yaitu budak Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah
Saw. Ummu Aiman membesarkan Rasulullah dalam hidupnya. Ia
memelihara Rasulullah Saw sesudah ibunda Beliau wafat. Rasul Saw
membuka matanya untuk melihat dunia, dan tidak kenal siapapun sebagai
ibunya kecuali Ummu Aiman.
Rasul Saw betapa amat mencintai Ummu Aiman. Beliau sering berkata:
“Dia yaitu ibuku sesudah ibuku, dan anggota keluargaku yang tersisa.”
Inilah ibu dari anak yang beruntung. Adapun ayahnya yaitu orang
yang paling disayang oleh Rasulullah Saw yaitu Zaid bin Haritsah, yang
merupakan anak yang diadopsi oleh Rasulullah Saw. Dia juga sahabat Rasul
yang banyak mengetahui rahasia Rasulullah Saw. Menjadi salah seorang
anggota keluarga Rasul dan merupakan orang yang paling Beliau cinta
sesudah Islam.
Kaum muslimin bergembira dengan lahirnya Usamah bin Zaid, seperti
belum pernah ada bayi yang terlahir selainnya. Sebab, apa yang membuat
Nabi bahagia, akan membuat mereka semua bahagia. Setiap hal yang
membuat Nabi Saw senang, maka akan membuat senang juga hati mereka.
______________________________________________________________ 171
Maka kaum muslimin memberikan gelar kepada anak yang beruntung
ini dengan panggilan Al Hibb wa Ibnul Hibb (Orang yang disayangi dan
anak dari orang yang disayangi).
Kaum muslimin tidak berlebihan saat mereka memberikan gelar kepada
anak kecil yang bernama Usamah ini. Rasul Saw amat mencintai dia
sehingga dunia merasa cemburu kepadanya. Usamah hampir seusia dengan
cucu Rasul yang bernama Al Hasan bin Fathimah al Zahra.
Al Hasan ini berkulit putih, cerah dan amat mirip dengan kakeknya,
yaitu Rasulullah Saw.
Sedangkan Usamah berkulit hitam, pesek hidungnya dan amat mirip
dengan ibunya yang berasal dari Habasyah.
Namun dengan demikian, Rasul Saw tidak pernah membedakan kepada
mereka berdua dalam membagikan cintanya. Ia menggendong Usamah dan
menaruhnya di salah satu pahanya, dan ia juga menggendong Al Hasan
dan menaruhnya pada paha satunya lagi. lalu Rasul menganggkat
mereka berdua ke arah dadanya dan berdo’a: “Ya Allah, aku mencintai
mereka berdua maka cintailah mereka berdua oleh Mu!”
Rasul Saw amat mencintai Usamah hingga suatu saat Usamah melewati
gerbang pintu, lalu kepalanya terantuk. Maka mengalirlah darah dari
lukanya. Maka Nabi Saw menyuruh Aisyah ra untuk menghilangkan darah
dari lukanya, namun Aisyah tidak mampu melakukannya.
Maka Rasul Saw langsung menghampiri Usamah dan Rasul menyedot
memar di tubuhnya sehingga darah habis, dan Rasul Saw menghibur
Usamah dengan ucapan-ucapan yang baik sehingga Usamah merasa
tenang dan tidak kesakitan.
Sebagaimana Rasulullah Saw mencintai Usamah saat ia masih kecil,
Beliau pun mencintai Usamah saat ia sudah menjadi remaja. Hakim bin
Hazam salah seorang pembesar Quraisy menghadiahkan Rasulullah Saw
sebuah pekaian bagus yang ia beli dari Yaman seharga 50 dinar emas yang
dulunya milik Dzu Yazan salah seorang raja Yaman.
Rasul Saw menolak untuk menaat
itu masih menjadi seorang musyrik. Namun Rasul Saw malah membelinya.
Suatu saat Rasul Saw mengenakan pakaian itu satu kali pada hari
Jum’at. lalu B
sehingga tubuhnya tertembus 100 tombak. Ia tersungkur tewas dengan
berlumuran darah. Lalu Ja’far bin Abu Thalib mengambil panji dari
tangannya. Ia lalu mempertahankan panji tadi dengan begitu hebatnya,
sehingga ia menyusul sahabatnya tadi.
Lalu panji ini diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia
mempertahankan panji ini dengan begitu sengitnya sehingga kisahnya
berakhir seperti kedua sahabatnya.
Maka pasukan muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima
mereka –saat itu ia baru masuk Islam-. Khalid menarik mundur pasukan
muslimin dan menyelamatkan mereka dari kekalahan yang telak.
Rasulullah Saw menerima kabar tentang peristiwa Mu’tah dan
tewasnya ketiga panglima. Rasul Saw menjadi sedih dan belum pernah
Beliau sesedih itu. Rasul Saw lalu pergi ke keluarga mereka untuk
memberikan bela sungkawa.
Saat Beliau tiba di rumah Zaid bin Haritsah, putrinya yang masih kecil
berlari ke arah Beliau mencari perlindungan sambil menangis. Maka
Rasulullah Saw menangis sehingga terdengar suaranya.
Sa’d bin Ubadah bertanya kepada Beliau: “Apakah ini ya Rasulullah?”
Beliau Saw menjawab: “Ini yaitu tangisan seorang kekasih atas
kekasihnya.”
Untuk merujuk lebih jauh tentang profil zaid bin Haritsah silahkan
melihat:
1. Shahih Muslim: 7/113 Bab Keutamaan Sahabat
2. Jami Al Ushul min Ahadits Al Rasul: 10/25,26
3. Al Ishabah: 1/563 atau Tarjamah 2890
4. Al Isti’ab (dengan Hamisy Al Ishabah): 1/544
5. Al Sirah An Nabawiyah karya Ibnu Hisyam: (Daftar Isi Juz 4)
6. Al Bidayah wa An Nihayah: (dalam kisah tahun kedelapan
hijriyah)
7. Hayatus Shahabah: (Lihat Daftar Isi juz 4)
8. Shifatus Shafwah: 1/147
9. Khazanah Al Adab karya Al Baghdady: 1/363
_________________________________________________ 170
Usamah bin Zaid
“Sungguh Ayah Usamah Lebih Dicintai oleh Rasulullah dibandingkan
Ayahmu, dan Dia yaitu Orang yang Lebih Dicintai Rasul
dibandingkan mu” (Ucapan Umar Al Faruq kepada Anaknya)
Kita sekarang berada pada tahun ketujuh sebelum hijrah dan berada di
Mekkah. Rasulullah Saw saat itu sedang menderita sebab siksaan kaum
Quraisy kepadanya dan kepada para sahabatnya.
Derita dakwah yang Beliau emban dapat dituliskan dalam serial yang
panjang serta sarat dengan kesedihan dan penderitaan.
Saat Beliau dalam kondisi demikian, maka tersembulah rona
kebahagiaan di kehidupan Beliau. Ada seorang yang membawa kabar
gembira kepadanya bahwa Ummu Aiman telah melahirkan seorang anak.
Maka merebaklah kebahagiaan lewat wajah Rasulullah Saw.
Siapakah anak beruntung ini yang telah membuat bahagia Rasulullah
Saw?! Dia yaitu Usamah bin Zaid.
Tidak seorang pun sahabat Rasulullah Saw yang merasa aneh dengan
kebahagiaan Beliau atas lahirnya anak ini. Hal itu sebab posisi kedua
orang tuanya bagi Beliau.
Ibu dari anak ini yaitu Barakah al Hasanah yang dikenal dengan
Ummu Aiman. Dia yaitu budak Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah
Saw. Ummu Aiman membesarkan Rasulullah dalam hidupnya. Ia
memelihara Rasulullah Saw sesudah ibunda Beliau wafat. Rasul Saw
membuka matanya untuk melihat dunia, dan tidak kenal siapapun sebagai
ibunya kecuali Ummu Aiman.
Rasul Saw betapa amat mencintai Ummu Aiman. Beliau sering berkata:
“Dia yaitu ibuku sesudah ibuku, dan anggota keluargaku yang tersisa.”
Inilah ibu dari anak yang beruntung. Adapun ayahnya yaitu orang
yang paling disayang oleh Rasulullah Saw yaitu Zaid bin Haritsah, yang
merupakan anak yang diadopsi oleh Rasulullah Saw. Dia juga sahabat Rasul
yang banyak mengetahui rahasia Rasulullah Saw. Menjadi salah seorang
anggota keluarga Rasul dan merupakan orang yang paling Beliau cinta
sesudah Islam.
Kaum muslimin bergembira dengan lahirnya Usamah bin Zaid, seperti
belum pernah ada bayi yang terlahir selainnya. Sebab, apa yang membuat
Nabi bahagia, akan membuat mereka semua bahagia. Setiap hal yang
membuat Nabi Saw senang, maka akan membuat senang juga hati mereka.
______________________________________________________________ 171
Maka kaum muslimin memberikan gelar kepada anak yang beruntung
ini dengan panggilan Al Hibb wa Ibnul Hibb (Orang yang disayangi dan
anak dari orang yang disayangi).
Kaum muslimin tidak berlebihan saat mereka memberikan gelar kepada
anak kecil yang bernama Usamah ini. Rasul Saw amat mencintai dia
sehingga dunia merasa cemburu kepadanya. Usamah hampir seusia dengan
cucu Rasul yang bernama Al Hasan bin Fathimah al Zahra.
Al Hasan ini berkulit putih, cerah dan amat mirip dengan kakeknya,
yaitu Rasulullah Saw.
Sedangkan Usamah berkulit hitam, pesek hidungnya dan amat mirip
dengan ibunya yang berasal dari Habasyah.
Namun dengan demikian, Rasul Saw tidak pernah membedakan kepada
mereka berdua dalam membagikan cintanya. Ia menggendong Usamah dan
menaruhnya di salah satu pahanya, dan ia juga menggendong Al Hasan
dan menaruhnya pada paha satunya lagi. lalu Rasul menganggkat
mereka berdua ke arah dadanya dan berdo’a: “Ya Allah, aku mencintai
mereka berdua maka cintailah mereka berdua oleh Mu!”
Rasul Saw amat mencintai Usamah hingga suatu saat Usamah melewati
gerbang pintu, lalu kepalanya terantuk. Maka mengalirlah darah dari
lukanya. Maka Nabi Saw menyuruh Aisyah ra untuk menghilangkan darah
dari lukanya, namun Aisyah tidak mampu melakukannya.
Maka Rasul Saw langsung menghampiri Usamah dan Rasul menyedot
memar di tubuhnya sehingga darah habis, dan Rasul Saw menghibur
Usamah dengan ucapan-ucapan yang baik sehingga Usamah merasa
tenang dan tidak kesakitan.
Sebagaimana Rasulullah Saw mencintai Usamah saat ia masih kecil,
Beliau pun mencintai Usamah saat ia sudah menjadi remaja. Hakim bin
Hazam salah seorang pembesar Quraisy menghadiahkan Rasulullah Saw
sebuah pekaian bagus yang ia beli dari Yaman seharga 50 dinar emas yang
dulunya milik Dzu Yazan salah seorang raja Yaman.
Rasul Saw menolak untuk menerima hadiah ini sebab Hakim saat
itu masih menjadi seorang musyrik. Namun Rasul Saw malah membelinya.
Suatu saat Rasul Saw mengenakan pakaian itu satu kali pada hari
Jum’at. lalu B