Tampilkan postingan dengan label hukum islam 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum islam 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

hukum islam 1



Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan 

yang menyangkut "Kompilasi Hukum Islam" ada baiknya dijelaskan terlebih 

dahulu secara khusus bagaimana pengertian "kompilasi" itu sendiri. Hal ini, 

dianggap perlu mengingat masih banyak di antara kita yang belum 

memahami secara betul pengertian itu . Kenyataan yang demikian 

dipicu  oleh karena istilah itu . Kenyataan yang demikian di­

sebabkan oleh istilah ini memang kurang populer dipakai  baik dalam 

pergaulan sehari-hari, praktik bahkan dalam kajian hukum sekalipun.

Bilamana kita membuka kamus-kamus dan ensiklopedi negara kita  kita 

tidak menemukan istilah "kompilasi" di dalamnya yang berarti hingga 

sekarang ia masih belum diterima secara meluas dalam bahasa negara kita . 

Begitu pula dalam buku-buku hukum berbahasa negara kita  kita tidak 

menemukan uraian tentang apa itu kompilasi, bagaimana kedudukannya, 

dasar keabsahannya dan sebagainya.

Dalam kajian hukum kita hanya mengenal istilah "kodifikasi" yaitu 

pembukuan satu jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam 

satu buku hukum. Dalam praktik kodifikasi yang demikian diterjemahkan 

dengan istilah "Kitab Undang-undang" (Wetboek) yang dibedakan dengan 

"Undang-undang" (wet) seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana 

(Wetboek van Straff echt), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk 

Wetboek), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van 

Koophandel) dan lain-lain. Selain itu, kita masih mengenal adanya Undang- 

undang Pokok Agraria, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang 

Lingkungan Hidup yang hanya disebut sebagai undang-undang saja. Apa 

yang disebutkan terakhir biasanya hanya mencakup salah satu sektor saja 

dari hukum sedang  kodifikasi meliputi bidang yang lebih luas karena 

dapat menyangkut bidang hukum perdata secara keseluruhan, bidang Hukum 

Pidana dan bidang Hukum Dagang yang sudah barang tentu materinya jauh 

lebih banyak dibandingkan  hanya sekedar sebuah Undang-undang biasa.

Baik Kitab Undang-undang maupun Undang-undang saja 

pembentukannya ditetapkan secara resmi melalui suatu prosedur yang 

bersifat khusus. Istilah "Wet" atau "Wetboek" dalam bahasa Belanda yang 

kita terjemahkan dengan Undang-undang atau Kitab Undang-undang selalu 

mengacu pada bentuk formal yang sudah tertentu pada peringkat tertentu 

dalam pertingkatan peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Negara 

kita. Ini nantinya akan menunjukkan perbedaan dengan kompilasi yang

memiliki  makna hampir sama namun mencakup bahan hukum yang 

beraneka macam dan tidak dibuat dengan maksud untuk mengacu pada satu 

bentuk tertentu dari produk hukum seperti misalnya di negara kita  ia dapat 

berbentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden 

bahkan juga dapat dibuat secara tidak resmi dalam artian tidak ditetapkan 

oleh pemerintah.

Sebagaimana halnya dengan kodifikasi yang istilahnya diambil dari 

perkataan bahasa Latin maka istilah kompilasipun diambil dari bahasa yang 

sama. Istilah "Kompilasi" diambil dari perkataan "compilare" yang 

memiliki  arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya 

mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. 

Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi "Compilation” dalam bahasa 

Inggris atau "Compilatie" dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian 

dipergunakan dalam bahasa negara kita  menjadi "Kompilasi" yang berarti 

terjemahan langsung dari dua perkataan yang itu  terakhir.

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kompilasi itu? Dalam 

Kamus Lengkap Inggris negara kita  - negara kita  Inggris yang disusun oleh S. 

Wojowasito dan WJS Poerwadarminta disebutkan kata "compilation" 

dengan terjemahan "karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain ,sedang  dalam kamus Umum Belanda negara kita  

yang disusun oleh S. Wojowasito kata "Compilatie" dalam bahasa Belanda 

diterjemahkan menjadi "kompilasi" dengan keterangan tambahan "kumpulan 

dari lain-lain karangan" ,

Dalam Kamus-kamus yang lebih besar kita temukan beberapa uraian 

yang lebih lengkap mengenai kompilasi ini. Dalam Kamus Belanda Van 

Dale kita temukan uraian bahwa kompilasi itu yaitu  "...hetbijeenbrengen 

van gedeelten van verschillende werken tot een geheel. Compilator, m. (-s) 

samensteller van compilaties. Compileren, (compileerde, heeft 

gecompileerd), (een werk) bijeenbrengen door uit verschillende werken brok 

stukken samen te voegen . Hal yang hampir sama dapat 

kita baca dalam Kamus Koenen yang Memberi  arti tentang kompilasi ini 

sebagai (1) het maken ve werk, een boek uit verschillende schrijvers 

bijeengetrokken, (2) het ontstane verzamelwerk 

Dalam Kamus Bahasa Inggris seperti Kamus Webster ditulis pengertian 

Compilation yaitu  (1) Act or process o f compiling (2) That which o f  

complied; esp a book composed o f materials gathered from other books o f  

document. sedang  mengenai Compile disebutkan artinya yaitu  (1) To 

Collect (literary materials) into a volume (2) To compose out o f materials 

from others document 

berdasar  keterangan itu  dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari 

sudut bahasa kompilasi itu yaitu  kegiatan pengumpulan dari berbagai 

bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu 

persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat 

oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, 

sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan 

dengan mudah.

Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Bilamana kita 

melihat pengertian kompilasi menurut arti bahasa sebagaimana dikemukakan 

di atas maka kompilasi itu bukanlah selalu merupakan suatu produk hukum 

sebagaimana halnya dengan sebuah kodifikasi. Dalam pengertian hukum 

maka kompilasi yaitu  tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku 

kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat 

hukum atau juga aturan hukum. Pengertiannya memang berbeda dengan 

kodifikasi, namun kompilasi dalam pengertian ini juga merupakan sebuah 

buku hukum.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kompilasi ini 

dapat dilihat uraian dalam Black's Law Dictionary yang telah Memberi  

rumusan pengertian kompilasi sebagai "a bringing together o f preexisting 

status in the form which they appear in the books, with the removal o f  

sections which have been repealed and substitution o f amandments in an 

arrangement designed to facilitate their use. A literary production compused 

o f the works or selected extracts o f others and arranged in methodical 

manner ,

Dalam kamus ini ditunjuk untuk diperbandingkan istilah kompilasi ini 

dengan beberapa istilah lain yang hampir bersamaan misalnya dengan Code, 

Codification, Compiled Status dan Revised Statutes. Sehingga untuk 

menambah pemahaman kita tentang kompilasi ada baiknya juga kita lihat 

berbagai pengertian dimaksud untuk perbandingan :

(1) Code:

A Systematic collection, compendium or revision o f laws, rules, or 

regulations. A private or official compilation o f all permanent laws in 

force consolidated and classified according to subject matter. Many 

states have published official codes o f all laws in force, including the 

common law and statutes as judicially interpreted, which have been 

compiled by code commisions and enacted by the legislatures ,

(2) Codification:

The process o f collecting and arranging systematically, usually by 

subject, the laws o f a state or country, or the rules and regulations 

covering a particular area or subject o f law or practice; e.g. United 

States Code; Code o f Military Justice; Code o f Federal Regulations, 

California Evidence Code. The end product may be called a code, 

revised Code or revised statutes 

(3) Compiled Statutes :

A collection o f the statutes existing and in force in a given state; all 

laws and parts o f law relating to each subject-matter being brought 

together under one head and the whole arrangement or some other plan 

o f classification 

(4) Revised Statutes :

A body o f statutes which have been revised, collected, arranged in 

order, and re-enacted as a whole. This is the legal title o f  the collections 

o f compiled laws o f several o f  the states, and also o f the United States. 

Such a volume is usually cited as "Rev. Stat.", "Rev. St" or "R.S." 

Pengertian itu  memang erat sekali hubungannya dengan istilah- 

istilah yang biasa dipergunakan di negara Anglo Saxon yang mungkin bagi 

negara kita yang sedikit banyaknya berkiblat ke Eropa kontinental ada istilah 

yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa negara kita . Namun, dengan 

memperbandingkan istilah-istilah itu  kita dapat melihat bagaimana 

penggunaan istilah kompilasi itu misalnya kalau dibedakan dengan 

kodifikasi yang sudah cukup lazim dipergunakan di negara kita .

Kompilasi Hukum Islam negara kita  yang ditetapkan pada tahun 1991 

tidak secara tegas menyebutkan bagaimana pengertian kompilasi dan 

kompilasi hukum Islam. Dari sejarah penyusunannya juga tidak tampak 

munculnya pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksudkan 

dengan kompilasi itu. Dengan demikian, penyusun kompilasi tidak secara 

tegas menganut satu paham mengenai apa yang dibuatnya itu  namun 

kenyataan ini kelihatannya tidak mengundang reaksi dan pihak manapun.

Akan tetapi, dilihat dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu 

untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman 

dalam bidang hukum materiel bagi para hakim di lingkungan Peradilan 

Agama. Bahan-bahan dimaksud diangkat dari berbagai kitab yang biasa 

dipakai  sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang

dilakukan oleh para Hakim dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan 

dengan itu. Maka dapat dikemukakan bahwa yang diartikan dengan 

kompilasi dalam pengertian kompilasi hukum Islam ini yaitu  merupakan 

rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab 

yang ditulis oleh para ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi 

pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke 

dalam satu himpunan. Himpunan itu  inilah yang dinamakan kompilasi.

Materi atau bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses 

dan metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa 

dengan peraturan perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). 

Bahan ini kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah Keputusan 

Presiden yang untuk selanjutnya dapat dipakai  oleh para Hakim 

Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu 

perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.


LATAR BELAKANG PENYUSUNAN 

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Apa sebenarnya yang menjadi latar belakang penyusunan Kompilasi 

Hukum Islam tidaklah mudah untuk djawab secara singkat. Bilamana kita 

memperhatikan konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung 

dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 

Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum 

Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek 

kompilasi Hukum Islam, dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa 

proyek ini diadakan, yaitu :

a. bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik 

negara kita  terhadap jalannya peradilan disemua lingkungan peradilan di 

negara kita , khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu 

mengadakan kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan 

hukum positif di Pengadilan Agama;

b. bahwa guna mencapai maksud itu , demi meningkatkan kelancaran 

pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek 

pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi, di pandang perlu 

membentuk suatu tim Proyek yang susunannya terdiri dari para Pejabat 

Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik negara kita .

Bilamana kita perhatikan, konsideran itu  masih belum memberi­

kan jawaban yang tegas mengenai mengapa kita harus membentuk kompilasi 

dimaksud. Bilamana kita teliti lebih lanjut ternyata pembentukan kompilasi 

hukum Islam ini memiliki  kaitan yang erat sekali dengan kondisi hukum 

Islam di negara kita  selama ini. Hal ini, penting untuk ditegaskan mengingat 

seperti apa yang dikatakan oleh Muchtar Zarkasyi sampai saat ini belum ada 

satu pengertian yang disepakati tentang Hukum Islam di negara kita . Ada 

berbagai anggapan tentang Hukum Islam, yang masing-masing melihat dari 

sudut yang berbeda. 

Menurut H. Muhammad Daud Ali, dalam membicarakan Hukum Islam 

di negara kita , pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan Hukum Islam 

dalam sistem Hukum negara kita  , sedang  menurut 

Ichtianto Hukum Islam sebagai tatanan Hukum yang dipegangi/ditaati oleh 

mayoritas penduduk dan rakyat negara kita  yaitu  hukum yang telah hidup 

dalam warga , merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan

ada dalam kehidupan Hukum Nasional dan merupakan bahan dalam 

pembinaan dan pengembangannya  Sehingga bilamana 

kita harus berbicara tentang situasi hukum Islam di negara kita  masa kini 

sebagai latar belakang disusunnya kompilasi hukum Islam dua hal itu  

tidak mungkin diabaikan.

Untuk memperjelaskan hal itu  di sini kita akan mengutip beberapa 

keterangan yang dibuat oleh para penulis Hukum Islam baik diberikan secara 

umum maupun yang memang dibuat sengaja dikaitkan dengan penyusunan 

kompilasi hukum Islam ini. Secara umum H. Satria Effendi M. Zein 

mengemukakan tentang hal ini. Menurut pendapatnya, suatu hal yang tidak 

dapat dibantah ialah, bahwa hukum Islam, baik di negara kita  maupun di 

dunia Islam pada umumnya, sampai hari ini yaitu  hukum fiqh hasil 

penafsiran pada abad ke dua dan beberapa abad berikutnya. Kita-kitab klasik 

di bidang fiqh masih tetap berfungsi dalam Memberi  informasi hukum, 

baik di sekolah-sekolah menengah agama, maupun perguruan tingginya. 

Kajian pada umumnya banyak dipusatkan pada masalah-masalah ibadat, dan 

al-ahwal syakhsiayah. Kajian tidak banyak di arahkan pada fiqh muamalah, 

umpamanya yang menyangkut perekonomian dalam Islam. 

Selanjutnya dikemukakan, hal ini kelihatannya membuat hukum Islam 

begitu kaku berhadapan dengan masalah-masalah kesekarangan, yang amat 

banyak melibatkan masalah-masalah perekonomian, Materi-materi yang 

termaktub di dalam buku-buku fiqh tidak atau belum sempat 

disistematisasikan, sehingga ia dapat disesuaikan dengan masa sekarang. 

Masalah yang dihadapi bukan saja berupa perubahan struktur sosial, tetapi 

juga perubahan kebutuhan dalam berbagai bentuknya. Banyak masalah baru 

yang belum ada padanannya pada masa Rasulullah dan pada masa para 

mujtahid di masa madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam 

menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak hendak berpegang 

pada tradisi dan penafsiran-penafsiran oleh ulama mujtahid terdahulu, 

sedang pihak lain menawarkan, bahwa berpegang erat saja kepada 

penafsiran-penafsiran lama tidak cukup menghadapi perubahan sosial di 

abad kemajuan ini. Penafsiran-penafsiran hendaklah diperbaharui sesuai 

dengan kondisi dan situasi masa kini. Untuk itu ijtihad perlu digalakkan 

kembali.

Bagaimana penerapan Hukum Islam di negara kita ? Rahmat Djatnika 

secara umum menyimpulkan tentang hal ini dalam salah satu tulisannya. 

Dikatakannya bahwa penerapan konsepsi hukum Islam di negara kita  dalam 

kehidupan warga  dilakukan dengan penyesuaian pada budaya 

negara kita  yang hasilnya kadang berbeda dengan hasil ijtihad

penerapan hukum Islam di negeri-negeri Islam lainnya seperti halnya yang 

ada  pada jual beli, sewa menyewa, warisan, wakaf, dan hibah. Demikian 

pula penerapan hukum Islam dilakukan melalui yurisprudensi di Pengadilan 

Agama. Pada Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan 

Selatan telah banyak Hukum Islam yang menjadi hukum positif, yang 

menjadi kompetisi Pengadilan Agama. sedang  di Jawa dan Madura 

masih sebagian kecil hukum Islam yang menjadi Hukum positif. 

Mengenai bagaimana gambaran lebih jauh tentang penerapan Hukum 

Islam melalui Pengadilan Agama ini ada baiknya kita tambahkan dengan 

keterangan dari Muchtar Zarkasyi. Dikatakan bahwa praktik peradilan 

menggambarkan bahwa Peradilan Agama menerapkan Syari'at baik dalam 

pengertian hukum Syara yang siap pakai dan tetap, maupun dengan jalan 

menggali hukum yang belum jelas diletapkan oleh Syara, baik hal itu telah 

ditetapkan dalam flqh atau belum. Hal itu tampak berkembang lebih pesat 

setelah diperluasnya referensi untuk Pengadilan Agama. Dibidang hukum 

waris umpamanya melalui fatwa oleh salah satu Pengadilan Agama di Jawa 

Tengah telah terungkap cepatnya perkembangan pemikiran hakim 

Pengadilan Agama untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi sesuai 

dengan ketentuan zaman sekarang ini. Secara diam-diam tampaknya teori 

mawali dari Prof. Hazairin telah ditetapkan melalui fatwanya, walaupun 

melalui dasar pegangan yang lain, yaitu sistem tanzil seperti itu  dalam 

kitab Bidayatul Mujtahid. 

sedang , pada bagian lain ia mengungkapkan, bahwa pada umumnya 

dasar yang dipergunakan hakim Pengadilan Agama dalam penetapan apa 

yang hukum yaitu  hukum Islam ala Madzhab Syafi'i, walaupun tidak selalu 

demikian. Dalam praktik baik sebelum tahun 1976 maupun sesudahnya 

Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan apa yang hukum tidak selalu 

berpegang kepada referensi aliran Syafiiyah. Pengadilan Agama dalam 

menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama/Gono-gini/harta 

Syarikat, yang hal ini tidak dikenal dalam referensi syafiiyah, untuk hal ini 

Pengadilan agama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al- 

Quran. Lebih jauh lagi dalam menetapkan porsi harta bersama untuk suami 

dan untuk istri, dipakai  kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga 

ada  penetapan yang membagi dua harta bersama di samping ada  

pula penetapan yang membagi dengan perbandingan 2 : 1 untuk suami dan 

untuk istri. Di Amuntai harta bersama dibagi sesuai dengan fungsi harta itu 

untuk suami atau untuk istri. 

berdasar  keterangan yang diungkapkan di atas baik dari Rachmat 

Djatnika maupun Muchtar Zarkasyi tampak kepada kita bahwa sebenarnya

Pengadilan Agama cukup berperan dalam proses penerapan hukum Islam di 

negara kita . Hal ini memang ada benarnya, namun sebagaimana nanti juga 

akan diungkapkan oleh penulis lain mereka ternyata juga masih cukup 

banyak menghadapi permasalahan sehingga diperlukan sekali adanya 

komplikasi hukum Islam guna dijadikan pegangan dalam penerapan 

hukumnya. Tetapi dengan melihat apa yang dikemukakan di atas kita akan 

dapat memperoleh persepsi yang lebih luas tentang kedudukan Kompilasi 

sebagai salah satu pedoman bagi para Hakim agama.

Selanjutnya bagaimana penerapan hukum Islam melalui perundang- 

undangan Rachmat Djatnika mengemukakan bahwa penerapan konsepsi 

hukum Islam dalam perundang-undangan negara kita , walaupun masih 

sebagian kecil, telah berkembang dengan penerapannya yang menjawab 

tantangan dan kebutuhan warga  untuk menuju tujuan hukum Islam 

seperti dalam hal monogami, masalah batas umur boleh kawin, masalah 

jatuhnya talak dihadapan sidang Pengadilan, masalah harta bersama, 

masalah nadzir dan saksi pada perwakafan tanah milik, dan masalah ikrar 

perwakafan harus tertulis,  Di sini tampak kepada kita 

kecenderungan baru dalam perkembangan hukum Islam di negara kita  seakan- 

akan menjurus pada apa yang dikatakan oleh Ibrahim Husein "Pemerintah 

sebagai madzhab". 

Kesemuanya itu (baik penerapan hukum dalam kehidupan warga , 

dalam Pengadilan Agama maupun dalam perundang-undangan) menurut 

Rahmat Djatnika mengandung masalah Ijtihadiyah yang diselesaikan dengan 

ijtihad (ulama negara kita ) dengan memakai  metode-metode al-istishlah, 

al-istihsan, al-urf, dan lain-lain metode-metode istidhal dengan tujuan jalbal 

mashalih wa dar'u al-mafasid. Kalau ada yang tidak sependapat dengan hasil 

ijtihad itu  sedang  hakim memutuskan dengan ketentuan yang 

itu  dalam perundang-undangan, maka ijtihad hakim tidak dapat 

dibatalkan dengan ijtihad yang lain (al ijtihad layunshadhu bit ijtihad)  Hal ini yaitu  berbeda dengan apa yang dikemukakan 

oleh Harun Nasution bahwa ijtihad bisa dilawan dengan ijtihad. 

Apa-apa yang dikemukakan di atas yaitu  hal-hal yang bersifat umum 

berkenaan dengan Hukum Islam di negara kita . Untuk lebih jelasnya perlu 

kita kutip keterangan-ketarangan yang dikemukakan oleh para tokoh yang 

banyak terlibat dalam penyusunan kompilasi Hukum Islam dan apa yang 

dikemukakan yaitu  secara langsung berkenaan dengan latar belakang di­

buatnya kompilasi hukum Islam. Di sini akan dikutip keterangan-keterangan 

dari KH. Hasan Basry, Busthanul Arifin, Masrani Basran dan M. Yahya

Harahap. Yang pertama yaitu  ketua Majelis Ulama negara kita  yang banyak 

sekali terlibat dalam penyusunan kompilasi, sedang  tiga orang berikutnya 

yaitu  para Hakim Agung yang sebenarnya menjadi motor penggerak dan 

pelaksanaan proyek penyusunan kompilasi hukum Islam.

Sekalipun pendapat mereka ada perbedaan-perbedaan antara satu 

dengan yang lain tetapi ini bukanlah pertentangan. Karena perbedaan sudut 

pandang maka keterangan itu  harus dilihat sebagai saling isi mengisi 

antara satu dengan yang lainnya. Selain itu keterangan-keterangan dimaksud 

tidaklah terlepas dari berbagai keterangan umum tentang hukum Islam 

negara kita  sebagaimana dikemukakan di atas.

Dalam salah satu tulisannya mengenai perlunya kompilasi Hukum 

Islam, K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan Kompilasi 

Hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam negara kita  pada 

Pemerintahan Orde Baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam 

di negara kita  akan memiliki  pedoman fiqh yang seragam dan telah 

menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa negara kita  

yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi 

kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan 

sebab-sebab khilaf yang dipicu  oleh masalah fiqh akan dapat diakhiri, 

. Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama 

dari diadakannya penyusunan kompilasi yaitu  karena adanya 

kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang 

masalah-masalah hukum Islam.

Hal ini secara tegas dinyatakannya bahwa di negara kita  karena belum 

ada kompilasi maka dalam praktik sering kita lihat adanya Keputusan 

Peradilan Agama yang saling berbeda/tidak seragam, pada hal kasusnya 

sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang 

dianggap tidak sepaham. Juga telah kita saksikan bahwa masalah fiqh yang 

semestinya membawa rahmat ini malah menjadi sebab perpecahan. Dengan 

demikian, yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat. Hal ini 

menurut pendapatnya yaitu  karena umat Islam salah paham dalam 

mendudukkan fiqh di samping belum adanya kompilasi hukum Islam 

itu . 

Pendapat itu  bersesuaian dengan pendapat beberapa orang Hakim 

Agung yang mengemukakan beberapa seginya secara lebih rinci lagi. 

Bustanul Arifin misalnya mempersoalkan tentang adanya masalah hukum 

Islam yang diterapkan oleh Pengadilan Agama. Dikatakannya bahwa Hukum 

Islam (fiqh) tersebar dalam sejumlah besar kitab susunan para fuqaha 

beberapa abad yang lalu. Biasanya dikatakan bahwa dalam setiap masalah


Mahkamah Agung - R|

selalu ditemukan lebih dari satu pendapat (qaul). Wajar jika orang bertanya 

"Hukum Islam yang mana?" Bagi pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok 

tertentu mungkin telah jelas mengingat masing-masing telah menganut 

paham tertentu. Hal ini menurut pendapat yaitu  satu kenyataan yang tidak 

bermaksud mengingkari bahwa perbedaan pendapatnya yaitu  rahmat, akan 

tetapi yang ditekankan di sini yaitu  bahwa untuk diberlakukan di 

Pengadilan, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni 

harus ada kepastian hukum. (Arifin, 1988: 27).

Mengenai Kitab-kitab rujukan bagi Pengadilan Agama pada dasarnya 

yaitu  sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat 

Edaran Biro Peradilan Agama No. B/l/735 tanggal 18 Februari 1958 yang 

merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 

tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa 

dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran itu  dijelaskan bahwa untuk 

mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka 

para Hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah dianjurkan agar 

mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah in i:

(1) Al Bajuri;

(2) Fathul Muin dengan Syarahnya;

(3) Syarqawi alat Tahrir;

(4) Qulyubi/Muhalli;

(5) Fathul Wahab dengan Syarahnya;

(6) Tuhfah;

(7) Targhibul Musytaq;

(8) Qawaninusy Syar'iyah lissayyid Usman bin Yahya;

(9) Qawaninusy Syar'iyah lissayyid Shodaqah Dakhlan;

(10) Syamsuri lil Fara'idl;

(11) Bughyatul Mustarsyidin;

(12) Al Fiqh 'alal Muadzahibil Arba'ah;

(13) Mughnil Muhtaj;

Dari daftar kitab-kitab ini kita sudah dapat melihat pola pemikiran hukum 

yang mempengaruhi penegakan hukum Islam di negara kita . Umumnya kitab- 

kitab itu  yaitu  kitab-kitab kuno dalam mazhab Syafii, kecuali 

mungkin untuk no. 12 termasuk bersifat komparatif atau perbandingan 

madzhab. Begitu juga hampir semua kitab ditulis dalam bahasa Arab kecuali 

no. 8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab.

Materi itu  kelihatannya memang masih belum memadai, sehingga 

sering kali dikeluarkan instruksi maupun surat edaran untuk menyeragamkan 

penyelesaian perkara kasus demi kasus. Dan ternyata dengan langkah inipun 

kepastian hukum masih merupakan kebutuhan yang belum terpenuhi. Dalam 

Hukum Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama yang di­

himpun oleh Abdul Gani Abdullah, misalnya kita dapat melihat betapa 

banyaknya peraturan dan pentunjuk yang telah dikeluarkan mengenai 

masalah ini. 

Hal yang tidak kalah ruwetnya menurut Busthanul Arifin ialah, bahwa 

dasar keputusan Peradilan Agama yaitu  kitab-kitab fiqh. Ini membuka 

peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika 

pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang 

memang tidak menguntungkannya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang 

menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara ke 13 kitab 

pegangan itu yaitu  telah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para 

hakim sering berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan. 

Peluang demikian tidak akan terjadi di Peradilan Umum, sebab setiap 

keputusan Pengadilan selalu dinyatakan sebagai "pendapat pengadilan" 

meskipun mungkin hakim setuju dengan pendapat pengarang sebuah buku 

yang mungkin pula memang mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya 

Selanjutnya dikemukakannya hal lain bahwa fiqh yang kita pakai 

sekarang jauh sebelum lahirnya paham kebangsaan. Ketika itu praktik 

ketatanegaraan Islam masih memakai konsep umat. Berbeda dengan paham 

kebangsaan, konsep umat menyatukan berbagai kelompok warga  

dengan tali agama. Paham kebangsaan baru lahir sesudah perang dunia 

pertama, dan kemudian negara-negara Islam pun menganutnya, termasuk 

negara-negara di dunia Arab. Dengan demikian, kita tak lagi bisa memakai 

sejumlah produk dan peristilahan yang dihasilkan sebelum lahirnya paham 

kebangsaan itu .

Situasi Hukum Islam seperti yang digambarkan di atas inilah menurut 

Busthanul Arifin yang mendorong Mahkamah Agung untuk mengadakan 

kompilasi Hukum Islam ,Beberapa aspek dari pendapat 

yang dikemukakan di atas diperjelas dalam tulisan Masrani Basran dan 

Yahya Harahap yang juga merupakan Hakim Agung yang banyak terlibat 

dalam penyusunan kompilasi Hukum Islam di samping Busthanul Arifin.

Dalam salah satu ceramahnya pada Muktamar Muhammadiyah di Solo 

tanggal 9 Desember 1985 yang kemudian dipublikasi dalam mass media 

Masrani Basran mengemukakan beberapa hal yang melatarbelakangi

diadakannya kompilasi hukum Islam ini. Pertama dikemukakannya tentang 

adanya ketidakjelasan persepsi tentang syariah dan fiqh. Dikemukakannya 

bahwa sejak ratusan tahun di kalangan umat Islam di seluruh dunia termasuk 

negara kita , terjadi kekurangjelasan atau kalau tidak dapat dikatakan 

"kekacauan persepsi" tentang arti dan ruang lingkup pengertian syariah 

Islam. kadang disamakan Syariah Islam dengan fiqh, bankan 

adakalanya dalam penetapan dan persepsi dianggap sama pula dengan al 

Din; maka terjadilah kekacauan pengertian di kalangan umat Islam dan 

kekacauan pengertian ini berkembang pula di pihak-pihak orang-orang yang 

di luar Islam. Karena syariah Islam itu meliputi seluruh bidang kehidupan 

manusia maka persepsi yang keliru atau tidak jelas atau tidak mantap itu 

akan mengakibatkan pula kekacauan dan saling menyalahkan dalam bidang- 

bidang kehidupan umat, baik bidang kehidupan pribadi, kehidupan keluarga 

maupun bidang kehidupan berwarga  dan bernegara. Keadaan itu  

di atas, yaitu keadaan persepsi yang tidak seragam tentang syariah akan dan 

telah menyebabkan hal-hal:

(1) ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan 

Hukum Islam itu;

(2) ketidakjelasan bagaimana melaksanakan syariah Islam itu;

(3) akibat yang lebih jauh lagi, yaitu  kita tidak mampu mempergunakan 

jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan 

perundang-undangan lainnya ,

Sebagaimana Busthanul Arifin, Masrani Basran dalam tulisannya 

juga mengemukakan situasi hukum Islam di Negara kita. Dikatakan bahwa 

situasi hukum Islam di negara kita  tidak berbeda dengan negara-negera lain, 

yaitu tetap tinggal dalam "kitab-kitab kuning", kitab-kitab yang merupakan 

karangan dan bahasan Sarjana-sarjana Hukum Islam, sebagai karangan dan 

hasil pemikiran (ijtihad) seseorang, maka tiap-tiap kitab kuning itu diwarnai 

dengan pendapat dan pendirian masing-masing pengarangnya. Untuk dasar 

pemberian fatwa-fatwa tergantung pada kemauan dan kehendak orang-orang 

yang meminta fatwa itu . Lain halnya para Hakim Agama yang harus 

menentukan hukum dalam suatu perkara/sengketa yang harus mampu 

mengatasinya, mencarikan pemecahannya, dan bila ia tidak mampu berbuat 

demikian, akan dapat merusak rasa keadilan dari pihak-pihak yang meminta 

penyelesaian. Timbul apa yang kita kenal dengan masalah-masalah 

khilafiyah, yang dalam bidang atau segi teori tidak menjadi soal, karena hal 

yang demikian itu justru menjadi perlambang kebebasan berpikir (ijtihad) 

dalam hukum Islam. Akan tetapi di bidang kehidupan berwarga  dalam

suatu negara, tidak mungkin ditolerir perbedaan-perbedaan pendapat tentang 

hukum, sebaliknya harus diberikan batasan-batasan tertentu melalui putusan- 

putusan Hakim inconcreto, dalam perkara secara konkret. Dengan putusan- 

putusan Hakim, perbedaan-perbedaan pendapat itu  akan diarahkan pada 

kesatuan pendapat, kesatuan penafsiran tentang suatu aturan hukum sesuai 

dengan kesadaran hukum yang hidup dalam warga  

Dalam keadaan seperti yang digambarkan di atas menurut Masrani 

Basran menemukan dua kesulitan, yaitu :

(1) mengenai bahasa dari buku-buku Islam (kitab-kitab kuning) yang ada;

(2) persepsi yang belum seragam tentang Din, Syari'ah dan fiqh, terutama

sejak abad-abad kemunduran Umat Islam di segala bidang,

Mengenai masalah pertama, dikemukakan bahwa buku-buku hukum Islam 

(kitab-kitab kuning) itu  ditulis dalam bahasa Arab itupun bahasa Arab 

yang dipakai di abad-abad 8, 9 dan 10 M. Yang bisa membacanya hanyalah 

orang-orang yang benar-benar/khusus belajar untuk itu, yang diperkirakan di 

negara kita  ini jumlahnya tidak banyak dan akan semakin mengecil, lebih- 

lebih kalau yang dijadikan ukuran "pemahaman" dari isi kitab kuning 

itu  Rakyat banyak yang sebenarnya amat berkepentingan untuk 

mengetahui hak dan kewajibannya, tidak memiliki "acces" untuk itu, 

sehingga hanya akan "percaya" pada ulama-ulama yang diminta/memberi 

nasihat atau fatwa. Hal ini pulalah yang akan turut menggoyahkan wibawa 

Hakim-Hakim Peradilan Agama di mata rakyat, karena keputusan- 

keputusannya yang walaupun benar tetap diragukan karena berbeda dengan 

pendapat para ulama pemberi fatwa. Kalau terjadi kekacauan pengertian 

antara "Qada" (putusan Hakim) dan "Ifta" (fatwa), maka jelas akan sulit 

untuk menegakkan hukum dan tidak mungkin membawa kesadaran hukum 

warga  ke arah hukum nasional z

Mengenai persoalan yang kedua erat kaitannya dengan apa yang 

dikemukakan sebelumnya. Dikemukakannya bahwa merupakan kenyataan 

dunia Islam, termasuk di negara kita , bahwa persepsi mengenai syariah 

masih beraneka ragam. Hal ini dipicu  kemunduran berpikir dari umat 

Islam sendiri sejak abab ke 14 M ditambah lagi akbiat politik kolonial para 

penjajah yang menguasai bangsa-bangsa yang beragama Islam. Terjadilah 

kekacauan pengertian antara "Din, Syariah dan Fiqih", Seringkah "syariah", 

bahkan "Fiqih" dianggap sebagai "Din" sehingga timbullah benturan paham 

di antara umat Islam sendiri, bahkan tidak jarang timbul akibat saling 

mengkafirkan. Hal inilah yang harus diluruskan, persepsi tentang syariah 

hanis diseragamkan, harus dikembalikan pada awal asalnya sebelum

terjadinya kemunduran berpikir, sebelum kaum penjajah menguasai hidup 

dan kehidupan orang Islam. Kita sulit membangun bangsa yang kuat, kalau 

kita biarkan persepsi yang keliru tetap ada bahkan tumbuh berkembang 

Untuk mengatasi dua kesulitan inilah menurut Masrani Basran 

dilaksanakan proyek yurisprudensi Islam yang beruanglingkup mengadakan 

kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Yahya Harahap menambahkan sisi 

lain yang masih berkenaan dengan apa yang diungkapkan di atas. Ia 

menekankan pada adanya penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa 

atau penafsiran maupun sarah ulama dalam menemukan dan menerapkan 

hukum. Dikatakan bahwa para hakim di Peradilan Agama, pada umumnya 

sudah menjadikan kitab-kitab fikih sebagai landaran hukum. Kitab-kitab 

fikih sudah berubah fungsinya. Kalau semula kitab-kitab fikih merupakan 

literatur pengkajian ilmu hukum Islam, para Hakim Peradilan Agama telah 

menjadikannya "Kitab hukum" (perundangan-undangan), 

Dalam makalahnya yang disajikan pada diskusi Ilmiah Forum 

pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Juni 

1986 yang kemudian baru dipublikasi pada tahun 1988 M. Yahya Harahap 

mengungkapkan tentang arah tujuan kompilasi hukum Islam. Dalam 

makalah ini ia mengemukakan bahwa cara pendekatan seperti dikemukakan 

di atas jelas keliru, dan di atas kekeliruan inilah dilakukan penegakan 

hukum. Dikatakannya bahwa Hukum Islam yang diterapkan dan ditegakkan, 

seolah-olah bukan lagi berdasar  hukum, akan tetapi sudah menjurus ke 

arah penerapan menurut buku/kitab. Pertimbangan dan putusan yang 

dijatuhkan, berdasar  pada kitab. Praktik penegakan hukum yang seperti 

bertentangan dengan asas yang mengajarkan: putusan Pengadilan harus 

berdasar  hukum. Orang tidak boleh diadili berdasar  buku atau 

pendapat ahli atau ulama manapun.

Untuk memperjelas keterangan itu  dikemukakan pula satu 

ilustrasi. Coba bayangkan katanya betapa tragisnya putusan peradilan yang 

didasarkan pada penerapan kita-kitab. Misalnya, di Pengadilan Agama, 

pertimbangan dan putusan Hakim, menemukan dan mengambil hukum yang 

diterapkan dari kitab ulama Baghdad. Lantas pada tingkat banding, 

Pengadilan Tinggi Agama mengambil hukum yang diterapkan dari 

buku/kitab ulama Kairo. Tepat dan adilkah cara penerapan hukum yang 

seperti itu? Jawabnya bisa bermacam-macam. Jika kebetulan terhadap anda 

dipergunakan fatwa atau sarahan kitab ulama Baghdad, dengan penerapan 

itu anda dimenangkan dalam sengketa, barangkali anda akan merasa adil.

Akan tetapi, tentu pihak lawan akan merasa diperkosa atas putusan yang 

didasarkan pada kitab ulama Baghdad tadi, karena sekiranya kitab ulama 

Kairo yang diterapkan hakim, pihak lawan yang akan menang. Maka pihak 

lawan itupun akan menjerit-jerit sambil menuntut, agar kitab ulama Kairo 

yang tepat dan adil, atau barang kali pihak lawan menuntut, kitab ulama 

Hijaz lah yang tepat dan adil diterapkan dalam perkara yang sedang 

diperiksa. 

Selanjutnya, ia Memberi  penilaian bahwa praktik penerapan hukum 

yang semata-mata mendasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari 

sumber kitab-kitab, benar-benar tidak dapat dipertahankan. Praktik yang 

seperti ini menurut pendapatnya menjurus ke arah penegakan hukum 

menurut selera dan persepsi hakim. Kebebasan hakim yang demikian 

menyimpang dari kerangka kebebasan yang bertanggung jawab menurut 

hukum, dan lari melenceng ke arah kebebasan yang tak terkendali. Padahal 

hakikat kebebasan hakim mengadili suatu perkara, tiada lain dibandingkan  

kebebasan yang tunduk pada hukum. Dan di dalam kebebasan melaksanakan 

fungsi ketaatan kepada hukum tadi, hakim tidak tunduk kepada pengaruh 

apa sajapun. Jadi makna kebebasan hakim melaksanakan fungsi peradilan, 

bukan merupakan kebebasan menerapkan hukum sesuka hati dari sumber 

yang bersifat pengkajian ilmiah yang tertulis dari berbagai buku/kitab. 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Ia mengajukan jawaban yaitu mungkin 

belum ada hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai 

landasan rujukan mutlak, atau hukum Islam yang ada di negara kita  pada 

umumnya, masih merupakan abstraksi hukum. Dikemukakannya bahwa 

umat Islam negara kita  belum memiliki wujud hukum Islam secara kongkret 

dan positif. Yang kita miliki baru berupa "abstraksi" hukum yang subtan- 

sinya ada  dalam Qur'an dalam bentuk "wahyu matluw" dan sunnah 

dalam bentuk wahyu "gairu matluw". Substansi hukum yang abstrak tadi, 

memang ada yang telah disusun dalam kitab-kitab fikih para mujtahid, 

sesuai dengan "ra'yu" dan suasana waktu serta lingkungan tempat dimana 

kita itu ditulis. Meskipun begitu banyak tulisan kitab para mujtahid atau 

imam mazhab yang tersebar di negara kita , sama sekali kuantitas itu tidak 

mengurangi arti hipotesis abstraksi kita kemukakan. Sampai saat ini 

warga  Islam negara kita , masih meraba-raba yang mana wujud dan 

bentuk hukum Islam, terutama di bidang muamalah yang berkenaan dengan 

perkawinan, kekeluargaan, hibah, wakaf dan warisan. 

Demikian beberapa "pandangan" yang dikemukakan berkenaan dengan 

latar belakang diadakannya kompilasi hukum Islam yang permasalahannya

bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama, 

Mungkin masih banyak lagi permasalahan yang dapat disebutkan sebagai 

tambahan dalam lingkup yang lebih luas. Namun alasan yang disebutkan di 

atas untuk sementara dapat ditunjuk sebagai latar belakang mengapa kita 

membentuk kompilasi hukum Islam ini.


PROSES PENYUSUNAN KOMPILASI 

HUKUM ISLAM

Bilamana kita menganggap usaha penyusunan kompilasi Hukum Islam 

yaitu  merupakan bagian dari upaya kita dalam rangka mencari pola fiqh 

yang bersifat khas negara kita  atau fiqh yang bersifat kontekstual maka proses 

ini telah berlangsung lama sekali sejalan dengan perkembangan hukum 

Islam di negara kita  atau paling tidak sejalan dengan kemunculan ide-ide 

pembaharuan dalam pemikiran hukum Islam negara kita  seperti yang antara 

lain dipelopori oleh Prof. Hazairin, Prof. Hasbi Ash Shiddiqy dan 

sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat secara lebih sempit lagi ia 

merupakan suatu rangkaian proses yang berlangsung sejak tahun 1985.

Gagasan untuk mengadakan kompilasi Hukum Islam di negara kita  

untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawir Sadzali, 

MA pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya di depan para mahasiswa 

IAIN Sunan Ampel Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan 

mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Apakah ini merupakan ide 

dari Menteri Agama sendiri wallahualam. Mengapa demikian? Karena kalau 

kita membaca buku "Prof. K.H. Ibrahim Husein dan Pembaharuan Hukum 

Islam di negara kita " kita mendapat kesan seakan-akan ide ini berpangkal dari 

pemikiran K.H. Ibrahim Husein yang kemudian disampaikan kepada Prof. 

H. Bustanul Arifin, SH, Hakim Agung Ketua Muda Mahkamah Agung yang 

membawahi Peradilan Agama yang menerima dan memahami dengan baik. 

Memang tidak jelas di sini apakah ide yang 

dikemukakan oleh Ibrahim Husein itu  sesudah atau sebelum pelontaran 

ide Menteri Agama dimaksud.

Menurut Abdul Chalim Mohammad gagasan untuk melakukan 

kompilasi Hukum Islam ini pada awal mulanya setelah 2,5 tahun lebih 

Mahkamah Agung terlibat dalam kegiatan pembinaan Badan-badan 

Peradilan Agama dan dalam penataran-penataran keterampilan teknis 

justisial para hakim agama baik ditingkat nasional maupun regional, 

Selanjutnya, ia mengutip pidato sambutan Bustanul 

Arifin pada upacara pembukaan pelaksanaan wawancara dengan para alim 

ulama se Jawa Timur tanggal 16 Oktober 1985 yang menyatakan bahwa 

dalam rapat-rapat gabungan antara Mahkamah Agung dan Departemen 

Agama telah diperoleh kesimpulan bahwa kesempurnaan pembinaan badan- 

badan peradilan Agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain 

dengan:

a. Memberi  dasar formal: kepastian hukum di bidang hukum acara dan 

dalam susunan kekuasaan Peradilan Agama dan kepastian hukum (legal 

security) di bidang hukum materiil.

b. Demi tercapainya legal security bagi para hakim, bagi para justiabelen 

(orang awam pencari keadilan) maupun bagi warga  Islam sendiri 

perlu aturan-aturan hukum Islam yang tersebar itu dihimpun atau 

dikompilasi dalam buku-buku hukum tentang munakahat (perkawinan), 

faraidl (kewarisan) dan wakaf. (Mohammad, 1990: 35-36).

Dalam tulisannya yang lain Bustanul Arifin mengemukakan lebih jelas 

mengenai hal itu . Dikatakan bahwa ide kompilasi hukum Islam timbul 

setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung (MA) membina 

bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan ini berdasar pada 

Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang menentukan bahwa pengaturan 

personal, keuangan dan organisasi Pengadilan-pengadilan yang ada di­

serahkan kepada Departemen masing-masing. sedang  pengaturan teknis 

yustisial ditangani oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-undang 

itu  telah ditetapkan tahun 1970, akan tetapi pelaksanaannya 

dilingkungan Peradilan Agama baru bisa dilakukan pada tahun 1982 setelah 

ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Ketua Mahkamah 

Agung dan Menteri Agama. SKB itu merupakan jalan pintas tanpa 

menunggu lahirnya Undang-undang pelaksanaan Undang-undang No. 14 

Tahun 1970 di atas untuk peradilan Agama. (Arifin, 1985: 26).

berdasar  keterangan itu  tampak kepada kita bahwa ide untuk 

mengadakan kompilasi Hukum Islam ini memang baru muncul sekitar tahun 

1985 dan kemunculannya ini yaitu  merupakan hasil kompromi antara pihak 

Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan 

kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak. Menurut Prof. Ismail Suny, 

pada bulan Maret 1985 Presidan Soeharto mengambil prakarsa sehingga 

terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan 

Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. (Suny, 

199la: 43 dan 1991 b: 6-7) yang berarti sudah sejak sedari dini kegiatan ini 

mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara.

Pada tanggal 21 Maret 1985 di Yogyakarta, dalam satu rapat kerja 

gabungan yang dihadiri oleh Ketua-ketua Pengadilan Tinggi dari Peradilan 

Umum, Ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua-ketua Mahkamah 

Militer se negara kita . Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama 

menandatangani Surat Keputusan Bersama tentang proyek pembangunan 

Hukum Islam melalui Yurisprudensi atau disebut juga proyek Kompilasi 

Hukum Islam. (Basran, 1986: 12).

20

Menarik untuk dicatat apa yang dikemukakan oleh Menteri Agama 

dalam sambutannya pada penandatanganan SKB itu  sebagaimana yang 

dikutip oleh Busthanul Arifin di mana beliau mengatakan bahwa sekarang 

ada peluang dan sekaligus tantangan bagi para ulama dan ahli-ahli hukum 

Islam, apakah hukum Islam itu akan berlaku di negara kita atau tidak. 

(Arifin, 1985b: 47). Sejalan dengan pernyataan inilah seorang pengamat 

keislaman DR. Mitsoo Nakamura menilai proyek kompilasi ini sangat 

strategis dan memiliki  arti penting bagi umat Islam. Akan tetapi, menurut 

Nakamura soalnya tinggal bagaimana tokoh-tokoh Islam dan umat Islam 

melihat serta memanfaatkan arti pentingnya proyek kompilasi Hukum Islam 

itu. (Panji warga  No. 502 Tahun XXVII, Mei 1986).

Melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri 

Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 

tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui 

Yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk 

jangka waktu 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh 

Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985 dengan biaya 

sebesar Rp230.000.000,00. Biaya sebesar ini tidak berasal dari APBN tetapi 

langsung dari Presiden Soeharto sendiri (Panji warga  No. 502 Th. 

XXVII tanggal 1 Mei 1986). Di sini juga tampak betapa besarnya komitmen 

Presiden dalam mensukseskan proyek itu .

Menurut Surat Keputusan Bersama itu  ditetapkan bahwa 

Pimpinan Umum dari proyek yaitu  Prof. H. Busthanul Arifin, SH. Ketua 

Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung dengan 

dibantu oleh dua orang Wakil Pimpinan Umum masing-masing HR. Djoko 

Soegianto, SH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Umum Bidang 

Hukum Perdata Tidak Tertulis Mahkamah Agung dan H. Zaini Dahlan, MA 

Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen 

Agama.

Sebagai pimpinan pelaksana proyek yaitu  H. Masrani Basran, SH 

Hakim Agung Mahkamah Agung dengan wakil Pimpinan Pelaksanaan H. 

Muchtar Zarkasih, SH; Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam 

Departemen Agama. Sebagai sekretaris yaitu  Ny. Lies Sugondo, SH, 

Direktur Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dengan wakil 

Sekretaris Drs. Marfiiddin Kosasih, SH. Bendahara yaitu  Alex Marbun dari 

Mahkamah Agung dan Drs. Kadi dari Departemen Agama. Di samping itu 

ada pula pelaksana bidang yang meliputi:

a. Pelaksana Bidang Kitab/Yurisprudensi:

1. Prof. H. Ibrahim Husein LML

(dari Majelis Ulama)

21

2. Prof. H. MD. Kholid, SH.

(Hakim Agung Mahkamah Agung)

3. Wasit Aulawi MA 

(Pejabat Departemen Agama)

b. Pelaksana Bidang Wawancara :

1. M. Yahya Harahap, SH

(Hakim Agung Mahkamah Agung)

2. Abdul Gani Abdullah, SH 

(Pejabat Departemen Agama)

c. Pelaksana Bidang Pengumpulan dan Pengolahan data :

1. H. Amiroeddin Noer, SH 

(Hakim Agung Mahkamah Agung)

2. Drs. Muhaimin Nur, SH 

(Pejabat Departemen Agama)

Selanjutnya dengan Surat Keputusan Pimpinan Pelaksana Proyek tanggal 24 

April 1985 No. 01/MA/PPHI/85 telah disusun Tim Pelaksana yang bersifat 

lebih administratif lagi dalam menunjang pelaksanaan proyek yang 

bersangkutan.

Menurut Lampiran Surat Keputusan Bersama tanggal 21 Maret 1985 

itu  di atas ditentukan bahwa tugas pokok proyek itu  yaitu  untuk 

melaksanakan usaha Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi 

dengan jalan kompilasi Hukum. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang 

dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan 

perkembangan warga  negara kita  untuk menuju Hukum Nasional. Untuk 

menyelenggarakan tugas pokok itu , maka proyek pembangunan 

Hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara :

a. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan penelaahan/ 

pengkajian kitab-kitab

b. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan para ulama

c. Lokakarya

Hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab dan wawancara perlu 

diseminarkan lebih lanjut melalui lokakarya.

i 22

d. Studi perbandingan

Untuk memperoleh sistem/kaidah-kaidah hukum/seminar-seminar satu 

sama lain dengan jalan memperbandingkan dari negara-negara Islam 

lainnya.

Kegiatan proyek ini menurut Muchtar Zarkasih dilakukan sebagai 

usaha untuk merumuskan pedoman bagi Hakim Pengadilan Agama dengan 

menyusun kompilasi hukum Islam yang selama ini menjadi hukum materiil 

di Pengadilan Agama. Tujuannya yaitu  merumuskan hukum materiel bagi 

Pengadilan Agama, dengan jalur usaha sebagai berikut:

a. Pengkajian kitab-kitab fiqh

b. Wawancara dengan para ulama 

C. Yurisprudensi Pengadilan Agama

d. Studi perbandingan hukum dengan negara lain

e. Lokakarya/Seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama.

Bidang yang digarap dengan usaha ini yaitu  bidang Hukum Perkawinan, 

Hukum Kewarisan, Wakaf, Hibah, Shodaqah, Baitul Mal dan lain-lain yang 

menjadi kewenangan Peradilan Agama (Zarkasih, 1985: 10).

Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, maka pelaksanaan 

penyusunan kompilasi ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :

a.

b.

c.

Tahap I : tahap persiapan

Tahap II : tahap pengumpulan data, melalui:

(1) jalur ulama

(2) jalur kitab-kitab fiqh

(3) jalur yurisprudensi peradilan Agama

(4) jalur studi perbandingan di negara-negara lain 

khususnya di negara-negara Timur Tengah.

Tahap III : Tahap penyusunan rancangan kompilasi Hukum Islam 

dari data-data itu 

d. Tahap VI : Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan- 

masukan akhir dari para ulama/cendekiawan Muslim 

seluruh negara kita  yang ditunjuk melalui lokakarya. 

(Mohammad, 1990: 36)

23

Secara lebih jelas bagaimana pelaksanaan proyek melalui jalur-jalur 

itu  dapat kita simak dari uraian yang pernah dibuat oleh pimpinan 

pelaksana proyek Hakim Agung H. Masrani Basran, SH dalam salah satu 

tulisannya:

a. Jalur Kitab :

dengan mengumpulkan kitab-kitab hukum/kitab-kitab flqh, minimal 13 

kitab yang selama ini oleh Departemen Agama diwajibkan sebagai 

buku pedoman/pegangan para Hakim Agama, dikumpulkan, dibuat 

berbagai permasalahan-permasalahan hukum, kemudian kepada 

Perguruan Tinggi Islam/IAIN di negara kita  dimintakan untuk membuat 

bagaimana pendapat masing-masing. Kitab itu, dan juga kitab-kitab 

lainnya mengenai masalah-masalah hukum yang telah diselesaikan itu, 

disertai argumentasi/dalil-dalil hukumnya.

b. Jalur U lama:

dengan mewawancarai para ulama di seluruh negara kita , sudah 

ditetapkan 10 lokasi di negara kita : Banda Aceh, Medan, Palembang, 

Padang, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Ujung Pandang, 

Mataram dan Banjarmasin. Kegiatan wawancara ini sudah diselesaikan 

dalam bulan Oktober dan November 1985. Ditambahkannya bahwa 

para ulama kita baik perseorangan maupun golongan yang mewakili 

ormas-ormas Islam yang ada telah Memberi  support/dukungan dan 

partisipasi aktif dalam jawaban atas questionaires yang kami ajukan. 

Jawaban-jawaban ini kami himpun secara deskriptif.

c. Jalur Yurisprudensi:

Kita himpun putusan-putusan peradilan Agama dari dulu sampai 

sekarang, yang masih bisa ditemukan dalam arsip-arsip Pengadilan 

Agama kita, atau dari mana saja dan akan dibukukan untuk 

mengakrabkan para Hakim Agama kita dengan Yurisprudensi, yang 

juga merupakan sumber hukum.

d. Jalur studi perbandingan :

Kita lihat ke luar negeri, bagaimana penerapan hukum Islam di sana 

dan sejauh mana kita dapat menerapkannya dengan memper­

bandingkannya dengan situasi dan kondisi serta latar belakang budaya 

kita. Juga meliputi studi sistem peradilan dan studi tentang putusan- 

putusan Peradilan Agama di sana (Basran, 1985: 12).

Untuk lengkapnya keterangan ini, kiranya masih perlu ditambahkan 

beberapa ketarangan berkenaan dengan kegiatan pada masing-masing jalur

24

itu . Dalam Lampiran SKB proyek pembangunan Hukum Islam melalui 

yurisprudensi disebutkan bahwa pengumpulan dan sistematisir dari dalil- 

dalil dan kitab-kitab kuning. Kilab-kitab kuning dikumpulkan langsung dari 

Iman-imam Madzhab dan syariah-syariahnya yang memiliki  otoritas 

terutama di negara kita . Kemudian, menyusun kaidah-kaidah hukum dari 

Imam-imam madzhab itu  disesuaikan bidang-bidang hukum menurut 

Ilmu hukum umum.

Menurut M. Yahya Harahap, pengumpulan data melalui jalur kitab, 

operasionalnya secara singkat yaitu  sebagai berikut:

-  Penentuan kita fikih yang dijadikan bahan pengkajian (antara lain 

I'anatut Thalibin, Targhibul Mukhtqr, Al Fiqhu 'ala Madzahibil 

Arba'ah, Fiqhus Sunnah, Fathul Qadir, dan lain sebagainya).

-  Pelaksanaannya dipercayakan kepada beberapa Institut Agama Islam 

Negeri (IAIN) yang penandatanganan kerjasamanya dilakukan tanggal 

19 Maret 1986 antara Menteri Agama dengan Rektor IAIN yang 

ditunjuk.

-  Dari kitab-kitab Fikih tadi, akan dirumuskan kesimpulan singkat 

pendapat hukum sesuai rincian masalah yang disusun panitia (Harahap, 

1988: 93)

Dalam penelitian Kitab-kitab Fiqh sebagai sumber kompilasi Hukum 

Islam telah dikaji dan ditelaah sebanyak 38 buah/macam kitab fiqh yang 

dibagi pada 7 IAIN yang telah ditunjuk yaitu :

a. IAIN Arraniri Banca Aceh :

1. Al Bajuri;

2. Fathul Mu'in;

3. Syarqawi alat Tahrier;

4. Mughnil Muhtaj;

5. Nihayah Al Muhtaj;

6. Asy Syarqawi;

b. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta :

1. 'Ianatut Thalibin;

2. Tuhfah;

3. Targhibul Musytag;

4. Bulghat Al Salik;

5. Syamsuri fil Faraidl;

6. Al Mudawanah;

25

c. IAIN Antasari Banjarmasin :

1. Qalyubi/Mahalli;

2. Fathul Wahab dengan syarahnva;

3. Bidayatul Mujtahid;

4. Al Uum;

5. Bughyatul Mustarsyidin;

6. Aqiedah Wa al Syariah;

d. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta :

1. AlMuhalla;

2. Al Wajiz;

3. Fathul Qadier,

4. Al Fiqhul ala Madzhabil Arbaah;

5. Fiqhus Sunnah;

e. IAIN Sunan Ampel Surabaya :

1. Kasyf Al Qina;

2. Majmu atu Fatawi Ibn Taymiah;

3. Qawaninus Syariah lis sayid Usman bin Yahya;

4. Al Mughni;

5. Al Hidayah Syarah Bidayah Taimiyah Mubtadi;

f. IAIN Alauddin Ujung Pandang :

1. Qawanin Syar'iyah lis Sayid Sudaqah Dakhlan;

2. Nawab al Jalil;

3. Syarah Ibnu Abidin;

4. Al Muwattha;

5. Hasyiah Syamsuddin Muh Irfat Dasuki;

g. IAIN Imam Bonjol Padang :

1. Badai al Sannai;

2. Tabyin al Haqaiq;

3. Al Fatawi Al Hindiyah;

4. Fathul Qadier,

5. Nihayah.

Bilamana kita melihat yang dibahas ternyata telah mengalami banyak 

sekali perluasan dari masa-masa yang lalu. Misal-nya kitab-kitab dimaksud 

ternyata tidak hanya terbatas pada kitab-kitab fiqh Syafii saja, akan tetapi 

dari Madzhab lain bahkan dari pemikiran aliran pembaharu seperti buku-

26

buku Ibn Taimiyah. Sayangnya disini tidak dimasukkan kitab-kitab dari 

kalangan ulama termuka kita katakan misalnya Hasby Ash Shiddiqy, 

Hazairin. A. Hasan dan lain-lain, yang juga cukup banyak menulis dan 

berfatwa tentang berbagai masalah hukum Islam, dan fatwanya juga kadang- 

kadang menunjukkan hal-hal yang bersifat spesifik.

Selanjutnya M. Yahya Harahap, menambahkan keterangan tentang hal 

ini, bahwa pengumpulan data melalui jalur kitab-kitab sama sekali tidak 

hanya bertumpu pada kitab-kitab yang ditugaskan pada IAIN. Tetapi juga 

diambil dari hasil fatwa-fatwa yang berkembang di negara kita , seperti hasil 

fatwa Majelis Ulama negara kita  (MUI), Majelis Tarjih Muhammadiyah, 

Nahdatul Ulama (NU) dan sebagainya. (Harahap, 1988: 93). Sehingga kalau 

dilihat dari sumber rujukan dan tenaga yang mengerjakannya sudah cukup 

memadai untuk menghasilkan karya hukum yang diperlukan.

Mengenai hasil wawancara dapat ditambah bahwa menurut penjelasan 

yang ada dalam lampiran SKB, tokoh-tokoh ulama itu dipilih sedemikian 

rupa, sehingga ulama yang dipilih yaitu  benar-benar diperkirakan 

berpengetahuan cukup dan berwibawa. Juga diperhitungkan kepada 

kelengkapan geografis dari jangkauan wibawanya. Wawancara dilaksanakan 

pada 10 kota yang telah ditetapkan dengan 166 orang resproden dari 

kalangan para ulama dan dilaksanakan berdasar  pokok-pokok penelitian 

yang disiapkan Tim Inti.

Menurut Bustanul Arifin, untuk pelaksanaan wawancara dengan para 

alim ulama ini panitia pusat telah sepakat untuk memakai dua cara: dengan 

mempertemukan mereka untuk diwawancarai bersama-sama, atau 

mewawancarai mereka secara terpisah jika cara pertama tidak mungkin 

dilaksanakan. Dari wawancara ini juga diharapkan akan diperoleh saran- 

saran tentang pemakaian kitab dan madzhab rujukan (Arifin, 1985: 29).

Mengenai operasionalnya pelaksanaan pengumpulan data melalui 

wawancara digambarkan oleh M. Yahya Harahap secara lengkap sebagai 

berikut:

-  Persiapan pertanyaan yang disusun secara sistematis. Pertanyaan 

disusun berdasar  pengamatan dan pengalaman praktik tanpa 

melupakan gejala perkembangan dan perubahan nilai yang sedang 

tumbuh dalam kesadaran kehidupan warga . Pertanyaan yang 

disusun sengaja dibuat agak bersifat "indeksikal", karena dari semula 

sudah ditetapkan bahwa pewawancara cukup aktif berpartisipasi dalam 

forum wawancara secara langsung, sehingga pelaksanaan wawancara 

diharapkan dapat memberi penjelasan seperlunya akan maksud setiap 

pertanyaan.

27

-  Penyeleksian tokoh ulama setempat. Yang melakukan seleksi panitia 

pusat bekerjasama dengan Ketua Pengadilan Tinggi Agama setempat, 

berdasar  inventarisasi tokoh ulama yang ada di daerah hukum 

Pengadilan Tinggi Agama yang bersangkutan dengan acuan :

* Semua unsur organisasi Islam yang ada diikutsertakan sebagai 

komponen;

* Juga diikutsertakan tokoh ulama yang berpengaruh di luar unsur 

organisasi yang ada, dan diutamakan ulama yang mengasuh 

lembaga pesantren;

-  Para ulama diwawancarai pada satu tempat dalam waktu yang sama. 

Mereka diberi kesempatan secara bebas dan terbuka mengutarakan 

pendapat dan dalil yang mereka anggap "muktamad" dan "sarih". Cara 

yang demikian sengaja diterapkan karena sekaligus diperkirakan 

mengandung m iss i:

* Taqrib bainal ulama atau bainal ummah maupun taqrib bainal 

mazhab, dan

* Mendorong terbinanya saling menghargai pendapat yang saling 

berbeda. (Harahap, 1988: 92-93)

Mengenai pentingnya pelaksanaan jalur ini dalam kaitan dengan 

kedudukan kompilasi Hukum Islam secara keseluruhan KH.Hasan Basri 

(Ketua MUI) mengemukakan bahwa kompilasi yaitu  sekedar menghimpun 

dan mengumpulkan fiqh yang hidup di tengah-tengah warga  yang 

selama ini telah banyak diamalkan oleh umat Islam sendiri dengan 

meninggalkan pendapat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. 

Dengan demikian, hasil kompilasi itu  insya Allah akan cukup aspiratif, 

tidak ada unsur paksaan. Sebab prosesnya dilakukan melalui wawancara dan 

meminta pendapat para ulama yang memiliki  kredibilitas di bidang 

hukum Islam, kemudian lewat diskusi-diskusi dan seminar. (Basri, 1986: 

61). Kalaulah mungkin ada ketidakcocokan atau kekurangpasan, maka hal 

ini mungkin hanya karena kesalahan metodologis dan penggarapannya saja.

Berkenaan dengan masalah penggarapan melalui jalur yurisprudensi, 

tidak banyak keterangan yang diberikan oleh para penulis mengenai 

kompilasi. Dalam uraian mengenai Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum 

Islam yang termuat dalam Kompilasi Hukum Agama bahwa Penelitian 

Yurisprudensi dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan 

Agama Islam terhadap putusan Pengadilan Agama yang telah dihimpun 

dalam 16 buku, yaitu :

28

(1) Himpunan putusan PA/PTA 3 buku, yaitu terbitan Tahun 1976/1977, 

1977/1978, 1978/1979 dan 1980/1981.

(2) Himpunan fatwa 3 buku, yaitu terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980, 

dan 1980/1981.

(3) Yurisprudensi PA 5 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 

1981/1982, 1982/1983 dan 1983/1984.

(4) Law Report 4 buku yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 

1981/1982 dan 1983/1984 (Direktorat Pembinaan, 1992: 152).

Mengenai persoalan ini Busthanul Arifin mengemukakan bahwa 

putusan-putusan Peradilan Agama yang selama ini dijatuhkan akan dikaji 

dan dipilih mana yang diperlukan dan diterapkan. (Arifin, 1985: 29). 

Kegiatan ini sebenarnya masih memiliki  relevansi sekalipun Kompilasi 

Hukum Islam telah berhasil diselesaikan. Berbagai kumpulan Yurisprudensi 

yang disebutkan di atas penerbitannya perlu dilanjutkan terus dengan 

penerbitan tahun-tahun berikutnya dan perlu lebih disempurnakan lagi, oleh 

karena itu melalui yurisprudensi ini kita akan dapat memantau apakah 

kompilasi yang kita buat ini sudah benar-benar diterapkan ataukah tidak dan 

melalui kegiatan ini sekaligus kita akan dapat menggali umpan baliknya 

sebagai masukan untuk melakukan penyempurnaan kompilasi yang 

bersangkutan pada masa yang akan datang.

Kemudian mengenai pelaksanaan jalur keempat sebagaimana dikemu- 

kakan dalam uraian dimuka yaitu  dengan melakukan studi perbandingan ke 

beberapa negara. Melalui studi banding ini menurut Busthanul Arifin kita 

pelajari bagaimana negara-negara yang memperlakukan hukum Islam, yakni 

bidang-bidang yang akan dikompilasi di negara kita . (Arifin, 1985: 29). 

Menurut Yahya Harahap, ancar-ancar sebagai lokasi objek studi telah di­

tetapkan beberapa negara antara lain Pakistan, Mesir dan Turki. 

Kemungkinan besar, dipicu  terbatasnya dana, pelaksanaannya bisa 

dipercayakan kepada mahasiswa yang ada di sana (Harahap. 1988: 93).

Dalam urian mengenai sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam di 

negara kita  yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di negara kita  terbitan 

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dikemukakan bahwa studi 

perbandingan dilaksanakan ke Timur Tengah yaitu ke negara-negara :

a. Maroko pada tanggal