Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan
yang menyangkut "Kompilasi Hukum Islam" ada baiknya dijelaskan terlebih
dahulu secara khusus bagaimana pengertian "kompilasi" itu sendiri. Hal ini,
dianggap perlu mengingat masih banyak di antara kita yang belum
memahami secara betul pengertian itu . Kenyataan yang demikian
dipicu oleh karena istilah itu . Kenyataan yang demikian di
sebabkan oleh istilah ini memang kurang populer dipakai baik dalam
pergaulan sehari-hari, praktik bahkan dalam kajian hukum sekalipun.
Bilamana kita membuka kamus-kamus dan ensiklopedi negara kita kita
tidak menemukan istilah "kompilasi" di dalamnya yang berarti hingga
sekarang ia masih belum diterima secara meluas dalam bahasa negara kita .
Begitu pula dalam buku-buku hukum berbahasa negara kita kita tidak
menemukan uraian tentang apa itu kompilasi, bagaimana kedudukannya,
dasar keabsahannya dan sebagainya.
Dalam kajian hukum kita hanya mengenal istilah "kodifikasi" yaitu
pembukuan satu jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam
satu buku hukum. Dalam praktik kodifikasi yang demikian diterjemahkan
dengan istilah "Kitab Undang-undang" (Wetboek) yang dibedakan dengan
"Undang-undang" (wet) seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(Wetboek van Straff echt), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel) dan lain-lain. Selain itu, kita masih mengenal adanya Undang-
undang Pokok Agraria, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang
Lingkungan Hidup yang hanya disebut sebagai undang-undang saja. Apa
yang disebutkan terakhir biasanya hanya mencakup salah satu sektor saja
dari hukum sedang kodifikasi meliputi bidang yang lebih luas karena
dapat menyangkut bidang hukum perdata secara keseluruhan, bidang Hukum
Pidana dan bidang Hukum Dagang yang sudah barang tentu materinya jauh
lebih banyak dibandingkan hanya sekedar sebuah Undang-undang biasa.
Baik Kitab Undang-undang maupun Undang-undang saja
pembentukannya ditetapkan secara resmi melalui suatu prosedur yang
bersifat khusus. Istilah "Wet" atau "Wetboek" dalam bahasa Belanda yang
kita terjemahkan dengan Undang-undang atau Kitab Undang-undang selalu
mengacu pada bentuk formal yang sudah tertentu pada peringkat tertentu
dalam pertingkatan peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Negara
kita. Ini nantinya akan menunjukkan perbedaan dengan kompilasi yang
memiliki makna hampir sama namun mencakup bahan hukum yang
beraneka macam dan tidak dibuat dengan maksud untuk mengacu pada satu
bentuk tertentu dari produk hukum seperti misalnya di negara kita ia dapat
berbentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden
bahkan juga dapat dibuat secara tidak resmi dalam artian tidak ditetapkan
oleh pemerintah.
Sebagaimana halnya dengan kodifikasi yang istilahnya diambil dari
perkataan bahasa Latin maka istilah kompilasipun diambil dari bahasa yang
sama. Istilah "Kompilasi" diambil dari perkataan "compilare" yang
memiliki arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya
mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana.
Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi "Compilation” dalam bahasa
Inggris atau "Compilatie" dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian
dipergunakan dalam bahasa negara kita menjadi "Kompilasi" yang berarti
terjemahan langsung dari dua perkataan yang itu terakhir.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kompilasi itu? Dalam
Kamus Lengkap Inggris negara kita - negara kita Inggris yang disusun oleh S.
Wojowasito dan WJS Poerwadarminta disebutkan kata "compilation"
dengan terjemahan "karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain ,sedang dalam kamus Umum Belanda negara kita
yang disusun oleh S. Wojowasito kata "Compilatie" dalam bahasa Belanda
diterjemahkan menjadi "kompilasi" dengan keterangan tambahan "kumpulan
dari lain-lain karangan" ,
Dalam Kamus-kamus yang lebih besar kita temukan beberapa uraian
yang lebih lengkap mengenai kompilasi ini. Dalam Kamus Belanda Van
Dale kita temukan uraian bahwa kompilasi itu yaitu "...hetbijeenbrengen
van gedeelten van verschillende werken tot een geheel. Compilator, m. (-s)
samensteller van compilaties. Compileren, (compileerde, heeft
gecompileerd), (een werk) bijeenbrengen door uit verschillende werken brok
stukken samen te voegen . Hal yang hampir sama dapat
kita baca dalam Kamus Koenen yang Memberi arti tentang kompilasi ini
sebagai (1) het maken ve werk, een boek uit verschillende schrijvers
bijeengetrokken, (2) het ontstane verzamelwerk
Dalam Kamus Bahasa Inggris seperti Kamus Webster ditulis pengertian
Compilation yaitu (1) Act or process o f compiling (2) That which o f
complied; esp a book composed o f materials gathered from other books o f
document. sedang mengenai Compile disebutkan artinya yaitu (1) To
Collect (literary materials) into a volume (2) To compose out o f materials
from others document
berdasar keterangan itu dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari
sudut bahasa kompilasi itu yaitu kegiatan pengumpulan dari berbagai
bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu
persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat
oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu,
sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan
dengan mudah.
Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Bilamana kita
melihat pengertian kompilasi menurut arti bahasa sebagaimana dikemukakan
di atas maka kompilasi itu bukanlah selalu merupakan suatu produk hukum
sebagaimana halnya dengan sebuah kodifikasi. Dalam pengertian hukum
maka kompilasi yaitu tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku
kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat
hukum atau juga aturan hukum. Pengertiannya memang berbeda dengan
kodifikasi, namun kompilasi dalam pengertian ini juga merupakan sebuah
buku hukum.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kompilasi ini
dapat dilihat uraian dalam Black's Law Dictionary yang telah Memberi
rumusan pengertian kompilasi sebagai "a bringing together o f preexisting
status in the form which they appear in the books, with the removal o f
sections which have been repealed and substitution o f amandments in an
arrangement designed to facilitate their use. A literary production compused
o f the works or selected extracts o f others and arranged in methodical
manner ,
Dalam kamus ini ditunjuk untuk diperbandingkan istilah kompilasi ini
dengan beberapa istilah lain yang hampir bersamaan misalnya dengan Code,
Codification, Compiled Status dan Revised Statutes. Sehingga untuk
menambah pemahaman kita tentang kompilasi ada baiknya juga kita lihat
berbagai pengertian dimaksud untuk perbandingan :
(1) Code:
A Systematic collection, compendium or revision o f laws, rules, or
regulations. A private or official compilation o f all permanent laws in
force consolidated and classified according to subject matter. Many
states have published official codes o f all laws in force, including the
common law and statutes as judicially interpreted, which have been
compiled by code commisions and enacted by the legislatures ,
(2) Codification:
The process o f collecting and arranging systematically, usually by
subject, the laws o f a state or country, or the rules and regulations
covering a particular area or subject o f law or practice; e.g. United
States Code; Code o f Military Justice; Code o f Federal Regulations,
California Evidence Code. The end product may be called a code,
revised Code or revised statutes
(3) Compiled Statutes :
A collection o f the statutes existing and in force in a given state; all
laws and parts o f law relating to each subject-matter being brought
together under one head and the whole arrangement or some other plan
o f classification
(4) Revised Statutes :
A body o f statutes which have been revised, collected, arranged in
order, and re-enacted as a whole. This is the legal title o f the collections
o f compiled laws o f several o f the states, and also o f the United States.
Such a volume is usually cited as "Rev. Stat.", "Rev. St" or "R.S."
Pengertian itu memang erat sekali hubungannya dengan istilah-
istilah yang biasa dipergunakan di negara Anglo Saxon yang mungkin bagi
negara kita yang sedikit banyaknya berkiblat ke Eropa kontinental ada istilah
yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa negara kita . Namun, dengan
memperbandingkan istilah-istilah itu kita dapat melihat bagaimana
penggunaan istilah kompilasi itu misalnya kalau dibedakan dengan
kodifikasi yang sudah cukup lazim dipergunakan di negara kita .
Kompilasi Hukum Islam negara kita yang ditetapkan pada tahun 1991
tidak secara tegas menyebutkan bagaimana pengertian kompilasi dan
kompilasi hukum Islam. Dari sejarah penyusunannya juga tidak tampak
munculnya pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksudkan
dengan kompilasi itu. Dengan demikian, penyusun kompilasi tidak secara
tegas menganut satu paham mengenai apa yang dibuatnya itu namun
kenyataan ini kelihatannya tidak mengundang reaksi dan pihak manapun.
Akan tetapi, dilihat dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu
untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman
dalam bidang hukum materiel bagi para hakim di lingkungan Peradilan
Agama. Bahan-bahan dimaksud diangkat dari berbagai kitab yang biasa
dipakai sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang
dilakukan oleh para Hakim dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan
dengan itu. Maka dapat dikemukakan bahwa yang diartikan dengan
kompilasi dalam pengertian kompilasi hukum Islam ini yaitu merupakan
rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab
yang ditulis oleh para ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi
pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke
dalam satu himpunan. Himpunan itu inilah yang dinamakan kompilasi.
Materi atau bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses
dan metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa
dengan peraturan perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu).
Bahan ini kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah Keputusan
Presiden yang untuk selanjutnya dapat dipakai oleh para Hakim
Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu
perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.
LATAR BELAKANG PENYUSUNAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Apa sebenarnya yang menjadi latar belakang penyusunan Kompilasi
Hukum Islam tidaklah mudah untuk djawab secara singkat. Bilamana kita
memperhatikan konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25
Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum
Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek
kompilasi Hukum Islam, dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa
proyek ini diadakan, yaitu :
a. bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik
negara kita terhadap jalannya peradilan disemua lingkungan peradilan di
negara kita , khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu
mengadakan kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan
hukum positif di Pengadilan Agama;
b. bahwa guna mencapai maksud itu , demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi, di pandang perlu
membentuk suatu tim Proyek yang susunannya terdiri dari para Pejabat
Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik negara kita .
Bilamana kita perhatikan, konsideran itu masih belum memberi
kan jawaban yang tegas mengenai mengapa kita harus membentuk kompilasi
dimaksud. Bilamana kita teliti lebih lanjut ternyata pembentukan kompilasi
hukum Islam ini memiliki kaitan yang erat sekali dengan kondisi hukum
Islam di negara kita selama ini. Hal ini, penting untuk ditegaskan mengingat
seperti apa yang dikatakan oleh Muchtar Zarkasyi sampai saat ini belum ada
satu pengertian yang disepakati tentang Hukum Islam di negara kita . Ada
berbagai anggapan tentang Hukum Islam, yang masing-masing melihat dari
sudut yang berbeda.
Menurut H. Muhammad Daud Ali, dalam membicarakan Hukum Islam
di negara kita , pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan Hukum Islam
dalam sistem Hukum negara kita , sedang menurut
Ichtianto Hukum Islam sebagai tatanan Hukum yang dipegangi/ditaati oleh
mayoritas penduduk dan rakyat negara kita yaitu hukum yang telah hidup
dalam warga , merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan
ada dalam kehidupan Hukum Nasional dan merupakan bahan dalam
pembinaan dan pengembangannya Sehingga bilamana
kita harus berbicara tentang situasi hukum Islam di negara kita masa kini
sebagai latar belakang disusunnya kompilasi hukum Islam dua hal itu
tidak mungkin diabaikan.
Untuk memperjelaskan hal itu di sini kita akan mengutip beberapa
keterangan yang dibuat oleh para penulis Hukum Islam baik diberikan secara
umum maupun yang memang dibuat sengaja dikaitkan dengan penyusunan
kompilasi hukum Islam ini. Secara umum H. Satria Effendi M. Zein
mengemukakan tentang hal ini. Menurut pendapatnya, suatu hal yang tidak
dapat dibantah ialah, bahwa hukum Islam, baik di negara kita maupun di
dunia Islam pada umumnya, sampai hari ini yaitu hukum fiqh hasil
penafsiran pada abad ke dua dan beberapa abad berikutnya. Kita-kitab klasik
di bidang fiqh masih tetap berfungsi dalam Memberi informasi hukum,
baik di sekolah-sekolah menengah agama, maupun perguruan tingginya.
Kajian pada umumnya banyak dipusatkan pada masalah-masalah ibadat, dan
al-ahwal syakhsiayah. Kajian tidak banyak di arahkan pada fiqh muamalah,
umpamanya yang menyangkut perekonomian dalam Islam.
Selanjutnya dikemukakan, hal ini kelihatannya membuat hukum Islam
begitu kaku berhadapan dengan masalah-masalah kesekarangan, yang amat
banyak melibatkan masalah-masalah perekonomian, Materi-materi yang
termaktub di dalam buku-buku fiqh tidak atau belum sempat
disistematisasikan, sehingga ia dapat disesuaikan dengan masa sekarang.
Masalah yang dihadapi bukan saja berupa perubahan struktur sosial, tetapi
juga perubahan kebutuhan dalam berbagai bentuknya. Banyak masalah baru
yang belum ada padanannya pada masa Rasulullah dan pada masa para
mujtahid di masa madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam
menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak hendak berpegang
pada tradisi dan penafsiran-penafsiran oleh ulama mujtahid terdahulu,
sedang pihak lain menawarkan, bahwa berpegang erat saja kepada
penafsiran-penafsiran lama tidak cukup menghadapi perubahan sosial di
abad kemajuan ini. Penafsiran-penafsiran hendaklah diperbaharui sesuai
dengan kondisi dan situasi masa kini. Untuk itu ijtihad perlu digalakkan
kembali.
Bagaimana penerapan Hukum Islam di negara kita ? Rahmat Djatnika
secara umum menyimpulkan tentang hal ini dalam salah satu tulisannya.
Dikatakannya bahwa penerapan konsepsi hukum Islam di negara kita dalam
kehidupan warga dilakukan dengan penyesuaian pada budaya
negara kita yang hasilnya kadang berbeda dengan hasil ijtihad
penerapan hukum Islam di negeri-negeri Islam lainnya seperti halnya yang
ada pada jual beli, sewa menyewa, warisan, wakaf, dan hibah. Demikian
pula penerapan hukum Islam dilakukan melalui yurisprudensi di Pengadilan
Agama. Pada Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan
Selatan telah banyak Hukum Islam yang menjadi hukum positif, yang
menjadi kompetisi Pengadilan Agama. sedang di Jawa dan Madura
masih sebagian kecil hukum Islam yang menjadi Hukum positif.
Mengenai bagaimana gambaran lebih jauh tentang penerapan Hukum
Islam melalui Pengadilan Agama ini ada baiknya kita tambahkan dengan
keterangan dari Muchtar Zarkasyi. Dikatakan bahwa praktik peradilan
menggambarkan bahwa Peradilan Agama menerapkan Syari'at baik dalam
pengertian hukum Syara yang siap pakai dan tetap, maupun dengan jalan
menggali hukum yang belum jelas diletapkan oleh Syara, baik hal itu telah
ditetapkan dalam flqh atau belum. Hal itu tampak berkembang lebih pesat
setelah diperluasnya referensi untuk Pengadilan Agama. Dibidang hukum
waris umpamanya melalui fatwa oleh salah satu Pengadilan Agama di Jawa
Tengah telah terungkap cepatnya perkembangan pemikiran hakim
Pengadilan Agama untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi sesuai
dengan ketentuan zaman sekarang ini. Secara diam-diam tampaknya teori
mawali dari Prof. Hazairin telah ditetapkan melalui fatwanya, walaupun
melalui dasar pegangan yang lain, yaitu sistem tanzil seperti itu dalam
kitab Bidayatul Mujtahid.
sedang , pada bagian lain ia mengungkapkan, bahwa pada umumnya
dasar yang dipergunakan hakim Pengadilan Agama dalam penetapan apa
yang hukum yaitu hukum Islam ala Madzhab Syafi'i, walaupun tidak selalu
demikian. Dalam praktik baik sebelum tahun 1976 maupun sesudahnya
Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan apa yang hukum tidak selalu
berpegang kepada referensi aliran Syafiiyah. Pengadilan Agama dalam
menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama/Gono-gini/harta
Syarikat, yang hal ini tidak dikenal dalam referensi syafiiyah, untuk hal ini
Pengadilan agama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al-
Quran. Lebih jauh lagi dalam menetapkan porsi harta bersama untuk suami
dan untuk istri, dipakai kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga
ada penetapan yang membagi dua harta bersama di samping ada
pula penetapan yang membagi dengan perbandingan 2 : 1 untuk suami dan
untuk istri. Di Amuntai harta bersama dibagi sesuai dengan fungsi harta itu
untuk suami atau untuk istri.
berdasar keterangan yang diungkapkan di atas baik dari Rachmat
Djatnika maupun Muchtar Zarkasyi tampak kepada kita bahwa sebenarnya
Pengadilan Agama cukup berperan dalam proses penerapan hukum Islam di
negara kita . Hal ini memang ada benarnya, namun sebagaimana nanti juga
akan diungkapkan oleh penulis lain mereka ternyata juga masih cukup
banyak menghadapi permasalahan sehingga diperlukan sekali adanya
komplikasi hukum Islam guna dijadikan pegangan dalam penerapan
hukumnya. Tetapi dengan melihat apa yang dikemukakan di atas kita akan
dapat memperoleh persepsi yang lebih luas tentang kedudukan Kompilasi
sebagai salah satu pedoman bagi para Hakim agama.
Selanjutnya bagaimana penerapan hukum Islam melalui perundang-
undangan Rachmat Djatnika mengemukakan bahwa penerapan konsepsi
hukum Islam dalam perundang-undangan negara kita , walaupun masih
sebagian kecil, telah berkembang dengan penerapannya yang menjawab
tantangan dan kebutuhan warga untuk menuju tujuan hukum Islam
seperti dalam hal monogami, masalah batas umur boleh kawin, masalah
jatuhnya talak dihadapan sidang Pengadilan, masalah harta bersama,
masalah nadzir dan saksi pada perwakafan tanah milik, dan masalah ikrar
perwakafan harus tertulis, Di sini tampak kepada kita
kecenderungan baru dalam perkembangan hukum Islam di negara kita seakan-
akan menjurus pada apa yang dikatakan oleh Ibrahim Husein "Pemerintah
sebagai madzhab".
Kesemuanya itu (baik penerapan hukum dalam kehidupan warga ,
dalam Pengadilan Agama maupun dalam perundang-undangan) menurut
Rahmat Djatnika mengandung masalah Ijtihadiyah yang diselesaikan dengan
ijtihad (ulama negara kita ) dengan memakai metode-metode al-istishlah,
al-istihsan, al-urf, dan lain-lain metode-metode istidhal dengan tujuan jalbal
mashalih wa dar'u al-mafasid. Kalau ada yang tidak sependapat dengan hasil
ijtihad itu sedang hakim memutuskan dengan ketentuan yang
itu dalam perundang-undangan, maka ijtihad hakim tidak dapat
dibatalkan dengan ijtihad yang lain (al ijtihad layunshadhu bit ijtihad) Hal ini yaitu berbeda dengan apa yang dikemukakan
oleh Harun Nasution bahwa ijtihad bisa dilawan dengan ijtihad.
Apa-apa yang dikemukakan di atas yaitu hal-hal yang bersifat umum
berkenaan dengan Hukum Islam di negara kita . Untuk lebih jelasnya perlu
kita kutip keterangan-ketarangan yang dikemukakan oleh para tokoh yang
banyak terlibat dalam penyusunan kompilasi Hukum Islam dan apa yang
dikemukakan yaitu secara langsung berkenaan dengan latar belakang di
buatnya kompilasi hukum Islam. Di sini akan dikutip keterangan-keterangan
dari KH. Hasan Basry, Busthanul Arifin, Masrani Basran dan M. Yahya
Harahap. Yang pertama yaitu ketua Majelis Ulama negara kita yang banyak
sekali terlibat dalam penyusunan kompilasi, sedang tiga orang berikutnya
yaitu para Hakim Agung yang sebenarnya menjadi motor penggerak dan
pelaksanaan proyek penyusunan kompilasi hukum Islam.
Sekalipun pendapat mereka ada perbedaan-perbedaan antara satu
dengan yang lain tetapi ini bukanlah pertentangan. Karena perbedaan sudut
pandang maka keterangan itu harus dilihat sebagai saling isi mengisi
antara satu dengan yang lainnya. Selain itu keterangan-keterangan dimaksud
tidaklah terlepas dari berbagai keterangan umum tentang hukum Islam
negara kita sebagaimana dikemukakan di atas.
Dalam salah satu tulisannya mengenai perlunya kompilasi Hukum
Islam, K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan Kompilasi
Hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam negara kita pada
Pemerintahan Orde Baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam
di negara kita akan memiliki pedoman fiqh yang seragam dan telah
menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa negara kita
yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi
kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan
sebab-sebab khilaf yang dipicu oleh masalah fiqh akan dapat diakhiri,
. Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama
dari diadakannya penyusunan kompilasi yaitu karena adanya
kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang
masalah-masalah hukum Islam.
Hal ini secara tegas dinyatakannya bahwa di negara kita karena belum
ada kompilasi maka dalam praktik sering kita lihat adanya Keputusan
Peradilan Agama yang saling berbeda/tidak seragam, pada hal kasusnya
sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang
dianggap tidak sepaham. Juga telah kita saksikan bahwa masalah fiqh yang
semestinya membawa rahmat ini malah menjadi sebab perpecahan. Dengan
demikian, yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat. Hal ini
menurut pendapatnya yaitu karena umat Islam salah paham dalam
mendudukkan fiqh di samping belum adanya kompilasi hukum Islam
itu .
Pendapat itu bersesuaian dengan pendapat beberapa orang Hakim
Agung yang mengemukakan beberapa seginya secara lebih rinci lagi.
Bustanul Arifin misalnya mempersoalkan tentang adanya masalah hukum
Islam yang diterapkan oleh Pengadilan Agama. Dikatakannya bahwa Hukum
Islam (fiqh) tersebar dalam sejumlah besar kitab susunan para fuqaha
beberapa abad yang lalu. Biasanya dikatakan bahwa dalam setiap masalah
Mahkamah Agung - R|
selalu ditemukan lebih dari satu pendapat (qaul). Wajar jika orang bertanya
"Hukum Islam yang mana?" Bagi pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok
tertentu mungkin telah jelas mengingat masing-masing telah menganut
paham tertentu. Hal ini menurut pendapat yaitu satu kenyataan yang tidak
bermaksud mengingkari bahwa perbedaan pendapatnya yaitu rahmat, akan
tetapi yang ditekankan di sini yaitu bahwa untuk diberlakukan di
Pengadilan, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni
harus ada kepastian hukum. (Arifin, 1988: 27).
Mengenai Kitab-kitab rujukan bagi Pengadilan Agama pada dasarnya
yaitu sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat
Edaran Biro Peradilan Agama No. B/l/735 tanggal 18 Februari 1958 yang
merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa
dan Madura. Dalam huruf B Surat Edaran itu dijelaskan bahwa untuk
mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka
para Hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah dianjurkan agar
mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah in i:
(1) Al Bajuri;
(2) Fathul Muin dengan Syarahnya;
(3) Syarqawi alat Tahrir;
(4) Qulyubi/Muhalli;
(5) Fathul Wahab dengan Syarahnya;
(6) Tuhfah;
(7) Targhibul Musytaq;
(8) Qawaninusy Syar'iyah lissayyid Usman bin Yahya;
(9) Qawaninusy Syar'iyah lissayyid Shodaqah Dakhlan;
(10) Syamsuri lil Fara'idl;
(11) Bughyatul Mustarsyidin;
(12) Al Fiqh 'alal Muadzahibil Arba'ah;
(13) Mughnil Muhtaj;
Dari daftar kitab-kitab ini kita sudah dapat melihat pola pemikiran hukum
yang mempengaruhi penegakan hukum Islam di negara kita . Umumnya kitab-
kitab itu yaitu kitab-kitab kuno dalam mazhab Syafii, kecuali
mungkin untuk no. 12 termasuk bersifat komparatif atau perbandingan
madzhab. Begitu juga hampir semua kitab ditulis dalam bahasa Arab kecuali
no. 8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab.
Materi itu kelihatannya memang masih belum memadai, sehingga
sering kali dikeluarkan instruksi maupun surat edaran untuk menyeragamkan
penyelesaian perkara kasus demi kasus. Dan ternyata dengan langkah inipun
kepastian hukum masih merupakan kebutuhan yang belum terpenuhi. Dalam
Hukum Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama yang di
himpun oleh Abdul Gani Abdullah, misalnya kita dapat melihat betapa
banyaknya peraturan dan pentunjuk yang telah dikeluarkan mengenai
masalah ini.
Hal yang tidak kalah ruwetnya menurut Busthanul Arifin ialah, bahwa
dasar keputusan Peradilan Agama yaitu kitab-kitab fiqh. Ini membuka
peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika
pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang
memang tidak menguntungkannya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang
menawarkan penyelesaian yang berbeda. Bahkan di antara ke 13 kitab
pegangan itu yaitu telah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para
hakim sering berselisih sesama mereka tentang pemilihan kitab rujukan.
Peluang demikian tidak akan terjadi di Peradilan Umum, sebab setiap
keputusan Pengadilan selalu dinyatakan sebagai "pendapat pengadilan"
meskipun mungkin hakim setuju dengan pendapat pengarang sebuah buku
yang mungkin pula memang mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya
Selanjutnya dikemukakannya hal lain bahwa fiqh yang kita pakai
sekarang jauh sebelum lahirnya paham kebangsaan. Ketika itu praktik
ketatanegaraan Islam masih memakai konsep umat. Berbeda dengan paham
kebangsaan, konsep umat menyatukan berbagai kelompok warga
dengan tali agama. Paham kebangsaan baru lahir sesudah perang dunia
pertama, dan kemudian negara-negara Islam pun menganutnya, termasuk
negara-negara di dunia Arab. Dengan demikian, kita tak lagi bisa memakai
sejumlah produk dan peristilahan yang dihasilkan sebelum lahirnya paham
kebangsaan itu .
Situasi Hukum Islam seperti yang digambarkan di atas inilah menurut
Busthanul Arifin yang mendorong Mahkamah Agung untuk mengadakan
kompilasi Hukum Islam ,Beberapa aspek dari pendapat
yang dikemukakan di atas diperjelas dalam tulisan Masrani Basran dan
Yahya Harahap yang juga merupakan Hakim Agung yang banyak terlibat
dalam penyusunan kompilasi Hukum Islam di samping Busthanul Arifin.
Dalam salah satu ceramahnya pada Muktamar Muhammadiyah di Solo
tanggal 9 Desember 1985 yang kemudian dipublikasi dalam mass media
Masrani Basran mengemukakan beberapa hal yang melatarbelakangi
diadakannya kompilasi hukum Islam ini. Pertama dikemukakannya tentang
adanya ketidakjelasan persepsi tentang syariah dan fiqh. Dikemukakannya
bahwa sejak ratusan tahun di kalangan umat Islam di seluruh dunia termasuk
negara kita , terjadi kekurangjelasan atau kalau tidak dapat dikatakan
"kekacauan persepsi" tentang arti dan ruang lingkup pengertian syariah
Islam. kadang disamakan Syariah Islam dengan fiqh, bankan
adakalanya dalam penetapan dan persepsi dianggap sama pula dengan al
Din; maka terjadilah kekacauan pengertian di kalangan umat Islam dan
kekacauan pengertian ini berkembang pula di pihak-pihak orang-orang yang
di luar Islam. Karena syariah Islam itu meliputi seluruh bidang kehidupan
manusia maka persepsi yang keliru atau tidak jelas atau tidak mantap itu
akan mengakibatkan pula kekacauan dan saling menyalahkan dalam bidang-
bidang kehidupan umat, baik bidang kehidupan pribadi, kehidupan keluarga
maupun bidang kehidupan berwarga dan bernegara. Keadaan itu
di atas, yaitu keadaan persepsi yang tidak seragam tentang syariah akan dan
telah menyebabkan hal-hal:
(1) ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan
Hukum Islam itu;
(2) ketidakjelasan bagaimana melaksanakan syariah Islam itu;
(3) akibat yang lebih jauh lagi, yaitu kita tidak mampu mempergunakan
jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan
perundang-undangan lainnya ,
Sebagaimana Busthanul Arifin, Masrani Basran dalam tulisannya
juga mengemukakan situasi hukum Islam di Negara kita. Dikatakan bahwa
situasi hukum Islam di negara kita tidak berbeda dengan negara-negera lain,
yaitu tetap tinggal dalam "kitab-kitab kuning", kitab-kitab yang merupakan
karangan dan bahasan Sarjana-sarjana Hukum Islam, sebagai karangan dan
hasil pemikiran (ijtihad) seseorang, maka tiap-tiap kitab kuning itu diwarnai
dengan pendapat dan pendirian masing-masing pengarangnya. Untuk dasar
pemberian fatwa-fatwa tergantung pada kemauan dan kehendak orang-orang
yang meminta fatwa itu . Lain halnya para Hakim Agama yang harus
menentukan hukum dalam suatu perkara/sengketa yang harus mampu
mengatasinya, mencarikan pemecahannya, dan bila ia tidak mampu berbuat
demikian, akan dapat merusak rasa keadilan dari pihak-pihak yang meminta
penyelesaian. Timbul apa yang kita kenal dengan masalah-masalah
khilafiyah, yang dalam bidang atau segi teori tidak menjadi soal, karena hal
yang demikian itu justru menjadi perlambang kebebasan berpikir (ijtihad)
dalam hukum Islam. Akan tetapi di bidang kehidupan berwarga dalam
suatu negara, tidak mungkin ditolerir perbedaan-perbedaan pendapat tentang
hukum, sebaliknya harus diberikan batasan-batasan tertentu melalui putusan-
putusan Hakim inconcreto, dalam perkara secara konkret. Dengan putusan-
putusan Hakim, perbedaan-perbedaan pendapat itu akan diarahkan pada
kesatuan pendapat, kesatuan penafsiran tentang suatu aturan hukum sesuai
dengan kesadaran hukum yang hidup dalam warga
Dalam keadaan seperti yang digambarkan di atas menurut Masrani
Basran menemukan dua kesulitan, yaitu :
(1) mengenai bahasa dari buku-buku Islam (kitab-kitab kuning) yang ada;
(2) persepsi yang belum seragam tentang Din, Syari'ah dan fiqh, terutama
sejak abad-abad kemunduran Umat Islam di segala bidang,
Mengenai masalah pertama, dikemukakan bahwa buku-buku hukum Islam
(kitab-kitab kuning) itu ditulis dalam bahasa Arab itupun bahasa Arab
yang dipakai di abad-abad 8, 9 dan 10 M. Yang bisa membacanya hanyalah
orang-orang yang benar-benar/khusus belajar untuk itu, yang diperkirakan di
negara kita ini jumlahnya tidak banyak dan akan semakin mengecil, lebih-
lebih kalau yang dijadikan ukuran "pemahaman" dari isi kitab kuning
itu Rakyat banyak yang sebenarnya amat berkepentingan untuk
mengetahui hak dan kewajibannya, tidak memiliki "acces" untuk itu,
sehingga hanya akan "percaya" pada ulama-ulama yang diminta/memberi
nasihat atau fatwa. Hal ini pulalah yang akan turut menggoyahkan wibawa
Hakim-Hakim Peradilan Agama di mata rakyat, karena keputusan-
keputusannya yang walaupun benar tetap diragukan karena berbeda dengan
pendapat para ulama pemberi fatwa. Kalau terjadi kekacauan pengertian
antara "Qada" (putusan Hakim) dan "Ifta" (fatwa), maka jelas akan sulit
untuk menegakkan hukum dan tidak mungkin membawa kesadaran hukum
warga ke arah hukum nasional z
Mengenai persoalan yang kedua erat kaitannya dengan apa yang
dikemukakan sebelumnya. Dikemukakannya bahwa merupakan kenyataan
dunia Islam, termasuk di negara kita , bahwa persepsi mengenai syariah
masih beraneka ragam. Hal ini dipicu kemunduran berpikir dari umat
Islam sendiri sejak abab ke 14 M ditambah lagi akbiat politik kolonial para
penjajah yang menguasai bangsa-bangsa yang beragama Islam. Terjadilah
kekacauan pengertian antara "Din, Syariah dan Fiqih", Seringkah "syariah",
bahkan "Fiqih" dianggap sebagai "Din" sehingga timbullah benturan paham
di antara umat Islam sendiri, bahkan tidak jarang timbul akibat saling
mengkafirkan. Hal inilah yang harus diluruskan, persepsi tentang syariah
hanis diseragamkan, harus dikembalikan pada awal asalnya sebelum
terjadinya kemunduran berpikir, sebelum kaum penjajah menguasai hidup
dan kehidupan orang Islam. Kita sulit membangun bangsa yang kuat, kalau
kita biarkan persepsi yang keliru tetap ada bahkan tumbuh berkembang
Untuk mengatasi dua kesulitan inilah menurut Masrani Basran
dilaksanakan proyek yurisprudensi Islam yang beruanglingkup mengadakan
kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Yahya Harahap menambahkan sisi
lain yang masih berkenaan dengan apa yang diungkapkan di atas. Ia
menekankan pada adanya penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa
atau penafsiran maupun sarah ulama dalam menemukan dan menerapkan
hukum. Dikatakan bahwa para hakim di Peradilan Agama, pada umumnya
sudah menjadikan kitab-kitab fikih sebagai landaran hukum. Kitab-kitab
fikih sudah berubah fungsinya. Kalau semula kitab-kitab fikih merupakan
literatur pengkajian ilmu hukum Islam, para Hakim Peradilan Agama telah
menjadikannya "Kitab hukum" (perundangan-undangan),
Dalam makalahnya yang disajikan pada diskusi Ilmiah Forum
pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Juni
1986 yang kemudian baru dipublikasi pada tahun 1988 M. Yahya Harahap
mengungkapkan tentang arah tujuan kompilasi hukum Islam. Dalam
makalah ini ia mengemukakan bahwa cara pendekatan seperti dikemukakan
di atas jelas keliru, dan di atas kekeliruan inilah dilakukan penegakan
hukum. Dikatakannya bahwa Hukum Islam yang diterapkan dan ditegakkan,
seolah-olah bukan lagi berdasar hukum, akan tetapi sudah menjurus ke
arah penerapan menurut buku/kitab. Pertimbangan dan putusan yang
dijatuhkan, berdasar pada kitab. Praktik penegakan hukum yang seperti
bertentangan dengan asas yang mengajarkan: putusan Pengadilan harus
berdasar hukum. Orang tidak boleh diadili berdasar buku atau
pendapat ahli atau ulama manapun.
Untuk memperjelas keterangan itu dikemukakan pula satu
ilustrasi. Coba bayangkan katanya betapa tragisnya putusan peradilan yang
didasarkan pada penerapan kita-kitab. Misalnya, di Pengadilan Agama,
pertimbangan dan putusan Hakim, menemukan dan mengambil hukum yang
diterapkan dari kitab ulama Baghdad. Lantas pada tingkat banding,
Pengadilan Tinggi Agama mengambil hukum yang diterapkan dari
buku/kitab ulama Kairo. Tepat dan adilkah cara penerapan hukum yang
seperti itu? Jawabnya bisa bermacam-macam. Jika kebetulan terhadap anda
dipergunakan fatwa atau sarahan kitab ulama Baghdad, dengan penerapan
itu anda dimenangkan dalam sengketa, barangkali anda akan merasa adil.
Akan tetapi, tentu pihak lawan akan merasa diperkosa atas putusan yang
didasarkan pada kitab ulama Baghdad tadi, karena sekiranya kitab ulama
Kairo yang diterapkan hakim, pihak lawan yang akan menang. Maka pihak
lawan itupun akan menjerit-jerit sambil menuntut, agar kitab ulama Kairo
yang tepat dan adil, atau barang kali pihak lawan menuntut, kitab ulama
Hijaz lah yang tepat dan adil diterapkan dalam perkara yang sedang
diperiksa.
Selanjutnya, ia Memberi penilaian bahwa praktik penerapan hukum
yang semata-mata mendasarkan penemuan dan pengambilan hukum dari
sumber kitab-kitab, benar-benar tidak dapat dipertahankan. Praktik yang
seperti ini menurut pendapatnya menjurus ke arah penegakan hukum
menurut selera dan persepsi hakim. Kebebasan hakim yang demikian
menyimpang dari kerangka kebebasan yang bertanggung jawab menurut
hukum, dan lari melenceng ke arah kebebasan yang tak terkendali. Padahal
hakikat kebebasan hakim mengadili suatu perkara, tiada lain dibandingkan
kebebasan yang tunduk pada hukum. Dan di dalam kebebasan melaksanakan
fungsi ketaatan kepada hukum tadi, hakim tidak tunduk kepada pengaruh
apa sajapun. Jadi makna kebebasan hakim melaksanakan fungsi peradilan,
bukan merupakan kebebasan menerapkan hukum sesuka hati dari sumber
yang bersifat pengkajian ilmiah yang tertulis dari berbagai buku/kitab.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Ia mengajukan jawaban yaitu mungkin
belum ada hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai
landasan rujukan mutlak, atau hukum Islam yang ada di negara kita pada
umumnya, masih merupakan abstraksi hukum. Dikemukakannya bahwa
umat Islam negara kita belum memiliki wujud hukum Islam secara kongkret
dan positif. Yang kita miliki baru berupa "abstraksi" hukum yang subtan-
sinya ada dalam Qur'an dalam bentuk "wahyu matluw" dan sunnah
dalam bentuk wahyu "gairu matluw". Substansi hukum yang abstrak tadi,
memang ada yang telah disusun dalam kitab-kitab fikih para mujtahid,
sesuai dengan "ra'yu" dan suasana waktu serta lingkungan tempat dimana
kita itu ditulis. Meskipun begitu banyak tulisan kitab para mujtahid atau
imam mazhab yang tersebar di negara kita , sama sekali kuantitas itu tidak
mengurangi arti hipotesis abstraksi kita kemukakan. Sampai saat ini
warga Islam negara kita , masih meraba-raba yang mana wujud dan
bentuk hukum Islam, terutama di bidang muamalah yang berkenaan dengan
perkawinan, kekeluargaan, hibah, wakaf dan warisan.
Demikian beberapa "pandangan" yang dikemukakan berkenaan dengan
latar belakang diadakannya kompilasi hukum Islam yang permasalahannya
bertumpu pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama,
Mungkin masih banyak lagi permasalahan yang dapat disebutkan sebagai
tambahan dalam lingkup yang lebih luas. Namun alasan yang disebutkan di
atas untuk sementara dapat ditunjuk sebagai latar belakang mengapa kita
membentuk kompilasi hukum Islam ini.
PROSES PENYUSUNAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
Bilamana kita menganggap usaha penyusunan kompilasi Hukum Islam
yaitu merupakan bagian dari upaya kita dalam rangka mencari pola fiqh
yang bersifat khas negara kita atau fiqh yang bersifat kontekstual maka proses
ini telah berlangsung lama sekali sejalan dengan perkembangan hukum
Islam di negara kita atau paling tidak sejalan dengan kemunculan ide-ide
pembaharuan dalam pemikiran hukum Islam negara kita seperti yang antara
lain dipelopori oleh Prof. Hazairin, Prof. Hasbi Ash Shiddiqy dan
sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat secara lebih sempit lagi ia
merupakan suatu rangkaian proses yang berlangsung sejak tahun 1985.
Gagasan untuk mengadakan kompilasi Hukum Islam di negara kita
untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawir Sadzali,
MA pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya di depan para mahasiswa
IAIN Sunan Ampel Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan
mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Apakah ini merupakan ide
dari Menteri Agama sendiri wallahualam. Mengapa demikian? Karena kalau
kita membaca buku "Prof. K.H. Ibrahim Husein dan Pembaharuan Hukum
Islam di negara kita " kita mendapat kesan seakan-akan ide ini berpangkal dari
pemikiran K.H. Ibrahim Husein yang kemudian disampaikan kepada Prof.
H. Bustanul Arifin, SH, Hakim Agung Ketua Muda Mahkamah Agung yang
membawahi Peradilan Agama yang menerima dan memahami dengan baik.
Memang tidak jelas di sini apakah ide yang
dikemukakan oleh Ibrahim Husein itu sesudah atau sebelum pelontaran
ide Menteri Agama dimaksud.
Menurut Abdul Chalim Mohammad gagasan untuk melakukan
kompilasi Hukum Islam ini pada awal mulanya setelah 2,5 tahun lebih
Mahkamah Agung terlibat dalam kegiatan pembinaan Badan-badan
Peradilan Agama dan dalam penataran-penataran keterampilan teknis
justisial para hakim agama baik ditingkat nasional maupun regional,
Selanjutnya, ia mengutip pidato sambutan Bustanul
Arifin pada upacara pembukaan pelaksanaan wawancara dengan para alim
ulama se Jawa Timur tanggal 16 Oktober 1985 yang menyatakan bahwa
dalam rapat-rapat gabungan antara Mahkamah Agung dan Departemen
Agama telah diperoleh kesimpulan bahwa kesempurnaan pembinaan badan-
badan peradilan Agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain
dengan:
a. Memberi dasar formal: kepastian hukum di bidang hukum acara dan
dalam susunan kekuasaan Peradilan Agama dan kepastian hukum (legal
security) di bidang hukum materiil.
b. Demi tercapainya legal security bagi para hakim, bagi para justiabelen
(orang awam pencari keadilan) maupun bagi warga Islam sendiri
perlu aturan-aturan hukum Islam yang tersebar itu dihimpun atau
dikompilasi dalam buku-buku hukum tentang munakahat (perkawinan),
faraidl (kewarisan) dan wakaf. (Mohammad, 1990: 35-36).
Dalam tulisannya yang lain Bustanul Arifin mengemukakan lebih jelas
mengenai hal itu . Dikatakan bahwa ide kompilasi hukum Islam timbul
setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung (MA) membina
bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan ini berdasar pada
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang menentukan bahwa pengaturan
personal, keuangan dan organisasi Pengadilan-pengadilan yang ada di
serahkan kepada Departemen masing-masing. sedang pengaturan teknis
yustisial ditangani oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-undang
itu telah ditetapkan tahun 1970, akan tetapi pelaksanaannya
dilingkungan Peradilan Agama baru bisa dilakukan pada tahun 1982 setelah
ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama. SKB itu merupakan jalan pintas tanpa
menunggu lahirnya Undang-undang pelaksanaan Undang-undang No. 14
Tahun 1970 di atas untuk peradilan Agama. (Arifin, 1985: 26).
berdasar keterangan itu tampak kepada kita bahwa ide untuk
mengadakan kompilasi Hukum Islam ini memang baru muncul sekitar tahun
1985 dan kemunculannya ini yaitu merupakan hasil kompromi antara pihak
Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan
kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak. Menurut Prof. Ismail Suny,
pada bulan Maret 1985 Presidan Soeharto mengambil prakarsa sehingga
terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. (Suny,
199la: 43 dan 1991 b: 6-7) yang berarti sudah sejak sedari dini kegiatan ini
mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara.
Pada tanggal 21 Maret 1985 di Yogyakarta, dalam satu rapat kerja
gabungan yang dihadiri oleh Ketua-ketua Pengadilan Tinggi dari Peradilan
Umum, Ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua-ketua Mahkamah
Militer se negara kita . Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama
menandatangani Surat Keputusan Bersama tentang proyek pembangunan
Hukum Islam melalui Yurisprudensi atau disebut juga proyek Kompilasi
Hukum Islam. (Basran, 1986: 12).
20
Menarik untuk dicatat apa yang dikemukakan oleh Menteri Agama
dalam sambutannya pada penandatanganan SKB itu sebagaimana yang
dikutip oleh Busthanul Arifin di mana beliau mengatakan bahwa sekarang
ada peluang dan sekaligus tantangan bagi para ulama dan ahli-ahli hukum
Islam, apakah hukum Islam itu akan berlaku di negara kita atau tidak.
(Arifin, 1985b: 47). Sejalan dengan pernyataan inilah seorang pengamat
keislaman DR. Mitsoo Nakamura menilai proyek kompilasi ini sangat
strategis dan memiliki arti penting bagi umat Islam. Akan tetapi, menurut
Nakamura soalnya tinggal bagaimana tokoh-tokoh Islam dan umat Islam
melihat serta memanfaatkan arti pentingnya proyek kompilasi Hukum Islam
itu. (Panji warga No. 502 Tahun XXVII, Mei 1986).
Melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985
tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk
jangka waktu 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh
Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985 dengan biaya
sebesar Rp230.000.000,00. Biaya sebesar ini tidak berasal dari APBN tetapi
langsung dari Presiden Soeharto sendiri (Panji warga No. 502 Th.
XXVII tanggal 1 Mei 1986). Di sini juga tampak betapa besarnya komitmen
Presiden dalam mensukseskan proyek itu .
Menurut Surat Keputusan Bersama itu ditetapkan bahwa
Pimpinan Umum dari proyek yaitu Prof. H. Busthanul Arifin, SH. Ketua
Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung dengan
dibantu oleh dua orang Wakil Pimpinan Umum masing-masing HR. Djoko
Soegianto, SH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Umum Bidang
Hukum Perdata Tidak Tertulis Mahkamah Agung dan H. Zaini Dahlan, MA
Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama.
Sebagai pimpinan pelaksana proyek yaitu H. Masrani Basran, SH
Hakim Agung Mahkamah Agung dengan wakil Pimpinan Pelaksanaan H.
Muchtar Zarkasih, SH; Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Departemen Agama. Sebagai sekretaris yaitu Ny. Lies Sugondo, SH,
Direktur Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dengan wakil
Sekretaris Drs. Marfiiddin Kosasih, SH. Bendahara yaitu Alex Marbun dari
Mahkamah Agung dan Drs. Kadi dari Departemen Agama. Di samping itu
ada pula pelaksana bidang yang meliputi:
a. Pelaksana Bidang Kitab/Yurisprudensi:
1. Prof. H. Ibrahim Husein LML
(dari Majelis Ulama)
21
2. Prof. H. MD. Kholid, SH.
(Hakim Agung Mahkamah Agung)
3. Wasit Aulawi MA
(Pejabat Departemen Agama)
b. Pelaksana Bidang Wawancara :
1. M. Yahya Harahap, SH
(Hakim Agung Mahkamah Agung)
2. Abdul Gani Abdullah, SH
(Pejabat Departemen Agama)
c. Pelaksana Bidang Pengumpulan dan Pengolahan data :
1. H. Amiroeddin Noer, SH
(Hakim Agung Mahkamah Agung)
2. Drs. Muhaimin Nur, SH
(Pejabat Departemen Agama)
Selanjutnya dengan Surat Keputusan Pimpinan Pelaksana Proyek tanggal 24
April 1985 No. 01/MA/PPHI/85 telah disusun Tim Pelaksana yang bersifat
lebih administratif lagi dalam menunjang pelaksanaan proyek yang
bersangkutan.
Menurut Lampiran Surat Keputusan Bersama tanggal 21 Maret 1985
itu di atas ditentukan bahwa tugas pokok proyek itu yaitu untuk
melaksanakan usaha Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi
dengan jalan kompilasi Hukum. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang
dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan
perkembangan warga negara kita untuk menuju Hukum Nasional. Untuk
menyelenggarakan tugas pokok itu , maka proyek pembangunan
Hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara :
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan penelaahan/
pengkajian kitab-kitab
b. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan para ulama
c. Lokakarya
Hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab dan wawancara perlu
diseminarkan lebih lanjut melalui lokakarya.
i 22
d. Studi perbandingan
Untuk memperoleh sistem/kaidah-kaidah hukum/seminar-seminar satu
sama lain dengan jalan memperbandingkan dari negara-negara Islam
lainnya.
Kegiatan proyek ini menurut Muchtar Zarkasih dilakukan sebagai
usaha untuk merumuskan pedoman bagi Hakim Pengadilan Agama dengan
menyusun kompilasi hukum Islam yang selama ini menjadi hukum materiil
di Pengadilan Agama. Tujuannya yaitu merumuskan hukum materiel bagi
Pengadilan Agama, dengan jalur usaha sebagai berikut:
a. Pengkajian kitab-kitab fiqh
b. Wawancara dengan para ulama
C. Yurisprudensi Pengadilan Agama
d. Studi perbandingan hukum dengan negara lain
e. Lokakarya/Seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama.
Bidang yang digarap dengan usaha ini yaitu bidang Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Wakaf, Hibah, Shodaqah, Baitul Mal dan lain-lain yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama (Zarkasih, 1985: 10).
Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, maka pelaksanaan
penyusunan kompilasi ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :
a.
b.
c.
Tahap I : tahap persiapan
Tahap II : tahap pengumpulan data, melalui:
(1) jalur ulama
(2) jalur kitab-kitab fiqh
(3) jalur yurisprudensi peradilan Agama
(4) jalur studi perbandingan di negara-negara lain
khususnya di negara-negara Timur Tengah.
Tahap III : Tahap penyusunan rancangan kompilasi Hukum Islam
dari data-data itu
d. Tahap VI : Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-
masukan akhir dari para ulama/cendekiawan Muslim
seluruh negara kita yang ditunjuk melalui lokakarya.
(Mohammad, 1990: 36)
23
Secara lebih jelas bagaimana pelaksanaan proyek melalui jalur-jalur
itu dapat kita simak dari uraian yang pernah dibuat oleh pimpinan
pelaksana proyek Hakim Agung H. Masrani Basran, SH dalam salah satu
tulisannya:
a. Jalur Kitab :
dengan mengumpulkan kitab-kitab hukum/kitab-kitab flqh, minimal 13
kitab yang selama ini oleh Departemen Agama diwajibkan sebagai
buku pedoman/pegangan para Hakim Agama, dikumpulkan, dibuat
berbagai permasalahan-permasalahan hukum, kemudian kepada
Perguruan Tinggi Islam/IAIN di negara kita dimintakan untuk membuat
bagaimana pendapat masing-masing. Kitab itu, dan juga kitab-kitab
lainnya mengenai masalah-masalah hukum yang telah diselesaikan itu,
disertai argumentasi/dalil-dalil hukumnya.
b. Jalur U lama:
dengan mewawancarai para ulama di seluruh negara kita , sudah
ditetapkan 10 lokasi di negara kita : Banda Aceh, Medan, Palembang,
Padang, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Ujung Pandang,
Mataram dan Banjarmasin. Kegiatan wawancara ini sudah diselesaikan
dalam bulan Oktober dan November 1985. Ditambahkannya bahwa
para ulama kita baik perseorangan maupun golongan yang mewakili
ormas-ormas Islam yang ada telah Memberi support/dukungan dan
partisipasi aktif dalam jawaban atas questionaires yang kami ajukan.
Jawaban-jawaban ini kami himpun secara deskriptif.
c. Jalur Yurisprudensi:
Kita himpun putusan-putusan peradilan Agama dari dulu sampai
sekarang, yang masih bisa ditemukan dalam arsip-arsip Pengadilan
Agama kita, atau dari mana saja dan akan dibukukan untuk
mengakrabkan para Hakim Agama kita dengan Yurisprudensi, yang
juga merupakan sumber hukum.
d. Jalur studi perbandingan :
Kita lihat ke luar negeri, bagaimana penerapan hukum Islam di sana
dan sejauh mana kita dapat menerapkannya dengan memper
bandingkannya dengan situasi dan kondisi serta latar belakang budaya
kita. Juga meliputi studi sistem peradilan dan studi tentang putusan-
putusan Peradilan Agama di sana (Basran, 1985: 12).
Untuk lengkapnya keterangan ini, kiranya masih perlu ditambahkan
beberapa ketarangan berkenaan dengan kegiatan pada masing-masing jalur
24
itu . Dalam Lampiran SKB proyek pembangunan Hukum Islam melalui
yurisprudensi disebutkan bahwa pengumpulan dan sistematisir dari dalil-
dalil dan kitab-kitab kuning. Kilab-kitab kuning dikumpulkan langsung dari
Iman-imam Madzhab dan syariah-syariahnya yang memiliki otoritas
terutama di negara kita . Kemudian, menyusun kaidah-kaidah hukum dari
Imam-imam madzhab itu disesuaikan bidang-bidang hukum menurut
Ilmu hukum umum.
Menurut M. Yahya Harahap, pengumpulan data melalui jalur kitab,
operasionalnya secara singkat yaitu sebagai berikut:
- Penentuan kita fikih yang dijadikan bahan pengkajian (antara lain
I'anatut Thalibin, Targhibul Mukhtqr, Al Fiqhu 'ala Madzahibil
Arba'ah, Fiqhus Sunnah, Fathul Qadir, dan lain sebagainya).
- Pelaksanaannya dipercayakan kepada beberapa Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) yang penandatanganan kerjasamanya dilakukan tanggal
19 Maret 1986 antara Menteri Agama dengan Rektor IAIN yang
ditunjuk.
- Dari kitab-kitab Fikih tadi, akan dirumuskan kesimpulan singkat
pendapat hukum sesuai rincian masalah yang disusun panitia (Harahap,
1988: 93)
Dalam penelitian Kitab-kitab Fiqh sebagai sumber kompilasi Hukum
Islam telah dikaji dan ditelaah sebanyak 38 buah/macam kitab fiqh yang
dibagi pada 7 IAIN yang telah ditunjuk yaitu :
a. IAIN Arraniri Banca Aceh :
1. Al Bajuri;
2. Fathul Mu'in;
3. Syarqawi alat Tahrier;
4. Mughnil Muhtaj;
5. Nihayah Al Muhtaj;
6. Asy Syarqawi;
b. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta :
1. 'Ianatut Thalibin;
2. Tuhfah;
3. Targhibul Musytag;
4. Bulghat Al Salik;
5. Syamsuri fil Faraidl;
6. Al Mudawanah;
25
c. IAIN Antasari Banjarmasin :
1. Qalyubi/Mahalli;
2. Fathul Wahab dengan syarahnva;
3. Bidayatul Mujtahid;
4. Al Uum;
5. Bughyatul Mustarsyidin;
6. Aqiedah Wa al Syariah;
d. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta :
1. AlMuhalla;
2. Al Wajiz;
3. Fathul Qadier,
4. Al Fiqhul ala Madzhabil Arbaah;
5. Fiqhus Sunnah;
e. IAIN Sunan Ampel Surabaya :
1. Kasyf Al Qina;
2. Majmu atu Fatawi Ibn Taymiah;
3. Qawaninus Syariah lis sayid Usman bin Yahya;
4. Al Mughni;
5. Al Hidayah Syarah Bidayah Taimiyah Mubtadi;
f. IAIN Alauddin Ujung Pandang :
1. Qawanin Syar'iyah lis Sayid Sudaqah Dakhlan;
2. Nawab al Jalil;
3. Syarah Ibnu Abidin;
4. Al Muwattha;
5. Hasyiah Syamsuddin Muh Irfat Dasuki;
g. IAIN Imam Bonjol Padang :
1. Badai al Sannai;
2. Tabyin al Haqaiq;
3. Al Fatawi Al Hindiyah;
4. Fathul Qadier,
5. Nihayah.
Bilamana kita melihat yang dibahas ternyata telah mengalami banyak
sekali perluasan dari masa-masa yang lalu. Misal-nya kitab-kitab dimaksud
ternyata tidak hanya terbatas pada kitab-kitab fiqh Syafii saja, akan tetapi
dari Madzhab lain bahkan dari pemikiran aliran pembaharu seperti buku-
26
buku Ibn Taimiyah. Sayangnya disini tidak dimasukkan kitab-kitab dari
kalangan ulama termuka kita katakan misalnya Hasby Ash Shiddiqy,
Hazairin. A. Hasan dan lain-lain, yang juga cukup banyak menulis dan
berfatwa tentang berbagai masalah hukum Islam, dan fatwanya juga kadang-
kadang menunjukkan hal-hal yang bersifat spesifik.
Selanjutnya M. Yahya Harahap, menambahkan keterangan tentang hal
ini, bahwa pengumpulan data melalui jalur kitab-kitab sama sekali tidak
hanya bertumpu pada kitab-kitab yang ditugaskan pada IAIN. Tetapi juga
diambil dari hasil fatwa-fatwa yang berkembang di negara kita , seperti hasil
fatwa Majelis Ulama negara kita (MUI), Majelis Tarjih Muhammadiyah,
Nahdatul Ulama (NU) dan sebagainya. (Harahap, 1988: 93). Sehingga kalau
dilihat dari sumber rujukan dan tenaga yang mengerjakannya sudah cukup
memadai untuk menghasilkan karya hukum yang diperlukan.
Mengenai hasil wawancara dapat ditambah bahwa menurut penjelasan
yang ada dalam lampiran SKB, tokoh-tokoh ulama itu dipilih sedemikian
rupa, sehingga ulama yang dipilih yaitu benar-benar diperkirakan
berpengetahuan cukup dan berwibawa. Juga diperhitungkan kepada
kelengkapan geografis dari jangkauan wibawanya. Wawancara dilaksanakan
pada 10 kota yang telah ditetapkan dengan 166 orang resproden dari
kalangan para ulama dan dilaksanakan berdasar pokok-pokok penelitian
yang disiapkan Tim Inti.
Menurut Bustanul Arifin, untuk pelaksanaan wawancara dengan para
alim ulama ini panitia pusat telah sepakat untuk memakai dua cara: dengan
mempertemukan mereka untuk diwawancarai bersama-sama, atau
mewawancarai mereka secara terpisah jika cara pertama tidak mungkin
dilaksanakan. Dari wawancara ini juga diharapkan akan diperoleh saran-
saran tentang pemakaian kitab dan madzhab rujukan (Arifin, 1985: 29).
Mengenai operasionalnya pelaksanaan pengumpulan data melalui
wawancara digambarkan oleh M. Yahya Harahap secara lengkap sebagai
berikut:
- Persiapan pertanyaan yang disusun secara sistematis. Pertanyaan
disusun berdasar pengamatan dan pengalaman praktik tanpa
melupakan gejala perkembangan dan perubahan nilai yang sedang
tumbuh dalam kesadaran kehidupan warga . Pertanyaan yang
disusun sengaja dibuat agak bersifat "indeksikal", karena dari semula
sudah ditetapkan bahwa pewawancara cukup aktif berpartisipasi dalam
forum wawancara secara langsung, sehingga pelaksanaan wawancara
diharapkan dapat memberi penjelasan seperlunya akan maksud setiap
pertanyaan.
27
- Penyeleksian tokoh ulama setempat. Yang melakukan seleksi panitia
pusat bekerjasama dengan Ketua Pengadilan Tinggi Agama setempat,
berdasar inventarisasi tokoh ulama yang ada di daerah hukum
Pengadilan Tinggi Agama yang bersangkutan dengan acuan :
* Semua unsur organisasi Islam yang ada diikutsertakan sebagai
komponen;
* Juga diikutsertakan tokoh ulama yang berpengaruh di luar unsur
organisasi yang ada, dan diutamakan ulama yang mengasuh
lembaga pesantren;
- Para ulama diwawancarai pada satu tempat dalam waktu yang sama.
Mereka diberi kesempatan secara bebas dan terbuka mengutarakan
pendapat dan dalil yang mereka anggap "muktamad" dan "sarih". Cara
yang demikian sengaja diterapkan karena sekaligus diperkirakan
mengandung m iss i:
* Taqrib bainal ulama atau bainal ummah maupun taqrib bainal
mazhab, dan
* Mendorong terbinanya saling menghargai pendapat yang saling
berbeda. (Harahap, 1988: 92-93)
Mengenai pentingnya pelaksanaan jalur ini dalam kaitan dengan
kedudukan kompilasi Hukum Islam secara keseluruhan KH.Hasan Basri
(Ketua MUI) mengemukakan bahwa kompilasi yaitu sekedar menghimpun
dan mengumpulkan fiqh yang hidup di tengah-tengah warga yang
selama ini telah banyak diamalkan oleh umat Islam sendiri dengan
meninggalkan pendapat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian, hasil kompilasi itu insya Allah akan cukup aspiratif,
tidak ada unsur paksaan. Sebab prosesnya dilakukan melalui wawancara dan
meminta pendapat para ulama yang memiliki kredibilitas di bidang
hukum Islam, kemudian lewat diskusi-diskusi dan seminar. (Basri, 1986:
61). Kalaulah mungkin ada ketidakcocokan atau kekurangpasan, maka hal
ini mungkin hanya karena kesalahan metodologis dan penggarapannya saja.
Berkenaan dengan masalah penggarapan melalui jalur yurisprudensi,
tidak banyak keterangan yang diberikan oleh para penulis mengenai
kompilasi. Dalam uraian mengenai Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum
Islam yang termuat dalam Kompilasi Hukum Agama bahwa Penelitian
Yurisprudensi dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam terhadap putusan Pengadilan Agama yang telah dihimpun
dalam 16 buku, yaitu :
28
(1) Himpunan putusan PA/PTA 3 buku, yaitu terbitan Tahun 1976/1977,
1977/1978, 1978/1979 dan 1980/1981.
(2) Himpunan fatwa 3 buku, yaitu terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980,
dan 1980/1981.
(3) Yurisprudensi PA 5 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979,
1981/1982, 1982/1983 dan 1983/1984.
(4) Law Report 4 buku yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979,
1981/1982 dan 1983/1984 (Direktorat Pembinaan, 1992: 152).
Mengenai persoalan ini Busthanul Arifin mengemukakan bahwa
putusan-putusan Peradilan Agama yang selama ini dijatuhkan akan dikaji
dan dipilih mana yang diperlukan dan diterapkan. (Arifin, 1985: 29).
Kegiatan ini sebenarnya masih memiliki relevansi sekalipun Kompilasi
Hukum Islam telah berhasil diselesaikan. Berbagai kumpulan Yurisprudensi
yang disebutkan di atas penerbitannya perlu dilanjutkan terus dengan
penerbitan tahun-tahun berikutnya dan perlu lebih disempurnakan lagi, oleh
karena itu melalui yurisprudensi ini kita akan dapat memantau apakah
kompilasi yang kita buat ini sudah benar-benar diterapkan ataukah tidak dan
melalui kegiatan ini sekaligus kita akan dapat menggali umpan baliknya
sebagai masukan untuk melakukan penyempurnaan kompilasi yang
bersangkutan pada masa yang akan datang.
Kemudian mengenai pelaksanaan jalur keempat sebagaimana dikemu-
kakan dalam uraian dimuka yaitu dengan melakukan studi perbandingan ke
beberapa negara. Melalui studi banding ini menurut Busthanul Arifin kita
pelajari bagaimana negara-negara yang memperlakukan hukum Islam, yakni
bidang-bidang yang akan dikompilasi di negara kita . (Arifin, 1985: 29).
Menurut Yahya Harahap, ancar-ancar sebagai lokasi objek studi telah di
tetapkan beberapa negara antara lain Pakistan, Mesir dan Turki.
Kemungkinan besar, dipicu terbatasnya dana, pelaksanaannya bisa
dipercayakan kepada mahasiswa yang ada di sana (Harahap. 1988: 93).
Dalam urian mengenai sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
negara kita yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di negara kita terbitan
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dikemukakan bahwa studi
perbandingan dilaksanakan ke Timur Tengah yaitu ke negara-negara :
a. Maroko pada tanggal