�� (huwa lâ huwa), dengan
demikian Dia hanya dapat diketahui dari nama-nama yang melekat secara instrinsik
di dalam wujud.70 Dalam suatu bagian dalam al Futuhat al-Makkiyah disebutkan:
مدعلا في امو نايعلأا ماكحأو الله لاا دوجولا فى امف فاصتلال ةأيهم تانكملما نايعأ لاا ءىىشلا
لاو وه امك يه لاف دوجولا في اله ينع لاو يهف اهماكحأ رهاظلا نلأ دوجولا في يه لا يهف دوجولبا
علأا ماكحأ فلاتخلا سوسمحو لوقعم تادوجولما ينب زيمتلاو وهف رهاظلا هنلأ وهوه لاف ناي .71
“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-entitas, dan
tidak ada sesuatupun dalam ‘adam kecuali entitas-entitas al-mumkinât yang
dipersiapkan untuk diberi sifat dengan wujud. sebab itu dalam wujud entitas-entitas
al-mumkinât bukan dia. sebab yang nampak (al-zâhir) yaitu sifat-sifatnya, maka
(itu) yaitu ia (dalam wujud). namun ia tidak mempunyai entitas dalam wujud sebab
ia tidak ada (dalam wujud). Dengan cara yang sama, (itu yaitu ) Dia (Allah) dan
bukan Dia; sebab Dia yaitu yang Nampak, maka itu yaitu Dia. namun perbedaan
antara mawjûdât ditangkap oleh akal dan indra sebab adanya perbedaan sifat-sifat
dari entitas-entitas, maka itu bukan Dia.”
Berbeda dengan teori al-Hallaj, yang diambil dan ubah secara total oleh Ibn
‘Arabi yang kemudian diberi aplikasi luas bahwa sifat ketuhanan hanya men-tajalli
tidak pada entitas yang lain dan sifat insan, begitu pula sebaliknya.72 Dalam teori al-
Hallaj terdapat dualitas (Tuhan dan Manusia) sedangkan dalam teori Ibn ‘Arabi tidak
ada dualitas kecuali dualitas nisbi, dualitas semu, yang ada hanyalah keesaan. Dalam
konteks ini persoalan yang ditekankan pada teori al-Hallaj yaitu hubungan antara
Tuhan dan manusia (antara Lahut dan nasut), sedangkan dalam teori Ibn ‘Arabi
yaitu relasi antara Tuhan dan manifestasinya.73
Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Yang Riil dan yang fenomena dalam
beberapa contoh;
(1) Cermin (mirror) dan Image (kesan) yang sangat erat berkaitan dengan objek dan
bayang-banyangnya. Yang Satu sebagai sebuah objek, imagenya di reflesikan dalam
cermin. Yang Satu yaitu Sang Mutlak sedangkan Image yaitu dunia fenomena.74
Sesungguhnya al-Haqq yaitu cermin bagi alam, maka tidak lah terlihat dalam
cermin itu selain bentuk yang bercermin. Maka Dia (al-Haqq) yaitu cermin bagi
anda ketika anda melihat diri anda yang sebenarnya dan anda yaitu cermin bagi-
Nya ketika Dia melihat nama-nama-Nya dan penampakan sifat-sifat dari nama-nama
itu, yang tidak lain dari diri-Nya sendiri.75
(2) Peresapan dan “makanan spiritual”, di mana Yang banyak meresap kepada Yang
Satu. Seperti halnya makanan makanan meresap kedalam tubuh.76 Dari perumpamaan
peresapan makanan ada tiga hal yang perlu dicatat; pertama, makanan meresap
kedalam tubuh yang memakannya. Makanan meresap bukan hanya ke dalam bagian-
bagian tertentu, namun ke dalam seluruh bagian tubuh. Tubuh dan makanan yang
meresap ke dalamnya menjadi satu. Kedua, kelangsungan hidup sesuatu yang
memakan tergantung kepada makanan. Tanpa makanan ia tidak bisa hidup, tidak
bertahan, tidak kekal. Demikian pula halnya al-Haqq dan al-Khalq. Al-Haqq
memakan al-khalq dalam arti Dia menyerap sifat-sifat al-khalq agar Dia tampak
dalam bentuk-bentuk alam. Ketiga, al-Haqq dan al-khalq sama-sama mempunyai
peran yang sama secara timbal balik. Masing-masing sama-sama memakan dan
dimakan, menerima dan memberi, tergantung kepada yang lain dan menjadi tempat
bergantung.77
(3) Tempat (vessels) dan tempat kembali,78 di mana keduanya jelas sekali menandakan
adanya dualitas wujud. Yang Satu (al-Haqq) yaitu sumber dari tempat muncul dan
tempat kembalinya yang banyak (al-khalq). Dan yang banyak (al-khalq) bagi Yang
Satu (al-Haqq) laksana sebuah tempat di mana esensi-Nya berada (subsist).79
(4) Analogi tubuh dan anggota-anggotanya, yang apabila di ambil secara tulisan akan
berarti bahwa Yang Satu itu yaitu seluruh organ, di mana tiap bagian apa saja dari
keseluruhan itu tidak mempunyai arti apapun kecuali dalam hubungannya dalam
keseluruhan.80
2. Transendensi (Tanzih) dan Imanensi (Tashbih)
Setelah abad ke-7 /13 M saat teologi tengah berkembang, istilah transendensi
(tanzih) dan imanensi (tashbih) telah menjadi perdebatan para teolog81 dalam
memahami hubungan ontologis antara Tuhan dan alam.82 Para teolog menggunakan
istilah tanzih untuk menyatakan bahwa Tuhan secara mutlak terbebas dari segala
ketidak sempurnaan tak terkecuali dalam hal sekecil apapun. Sedangkan istilah
tashbih digunakan sebagai penyerupaan antara Tuhan dan makhluk.83
Kata tanzih berasal dari kata-kerja nazzaha yang secara literal berarti
membersihkan dari cemaran noda yang mengotori, sesuatu yang murni dan bebas dari
sesuatu yang lain.84 Adapun kata tashbih berasal dari kata-kerja shabbaha yang
berarti menganggap serupa antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. 85 Kedua kata
tersebut yaitu sebagai cara untuk mengenal Tuhan baik dari segi Dzat-Nya maupun
dari segi nama-nama dan sifat-Nya. Tuhan jika dikenali dari segi Dzat-Nya yaitu
Yang Maha Tak terbatas, tak dapat dijangkau dengan pengetahuan manusia apalagi
difikirkan dan definisikan dengan kata-kata.86 Hal ini dipahami sebagai bentuk
penegasan bahwa Tuhan yaitu murni dan bebas dari segala kekurangan dan ketidak
sempurnaan makhluk.87 Dalam al-Qur’an disebutkan;
ء يْش هل ثْمك س يْل
“Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” (Q.S. Asy- Syura [42] :11).
Tuhan terlampau suci dan murni sehingga tak dapat dibandingkan dengan semua
ciptaan-Nya, termasuk ide dan konsep yang juga bagian dari ciptaan.88 Dari segi
nama-nama dan sifat-Nya yang termanifestasi dalam alam, Dia menampakkan dan
memperkenalkan diri-Nya.89 sebab Tuhan harus memiliki bentuk keserupaan
dengan ciptaan-Nya sebagai perantara pemahaman manusia terhadap-Nya.90 Seperti
halnya sifat-sifat Tuhan yang juga terdapat pada setiap makhluknya, contoh; Maha
Pemurah, Maha Penyayang, Maha Kaya (Independen) yang diyakini manusia bahwa
Pemurah, Kasih Sayang dan Independen-nya Tuhan seperti yang manusia pahami.
Satu sisi perspektif tanzih menjelaskan bahwa Realitas Tunggal mendeklarasikan
hanya Allah saja yang Esa, Allah saja yang nyata dan segala sesuatu selain-Nya
tidaklah nyata dan tidak layak untuk dipertimbangkan. Namun, sisi tashbih memberi
penjelasan bahwa ke-Esaan Allah melingkupi semua makhluk, al-Haqq ingin
menampakkan diri-Nya melalui ciptaan-Nya. 91
Tanzih dan tashbih yaitu dua istilah yang dipinjam Ibn ‘Arabi dari para
mutakallimin di mana telah terjadi perdebatan panjang mengenai pemahaman
keduanya. Mereka yang sepakat mendukung tanzih sangat mengkritik keras tashbih
sebagai paham yang sesat dan bid’ah, sebab menganggap bahwa Tuhan memiliki
(wujud) jasmani. Sebab di dalam al-Qur’an dan hadits yang menyebut istilah kaki,
tangan, mata Tuhan dan sebagainya seharusnya ditafsirkan secara metaforis sehingga
berbeda dengan apa yang kita pahami yang terdapat pada manusia.92 Berbeda dengan
mereka yang mendukung tashbih yang mana istilah kaki, tangan, mata Tuhan dan
sebagainya harus ditafsirkan secara harfiah. Meskipun ada persamaan antara manusia
dan Tuhan yang sama-sama memiliki kaki, tangan, dan mata namun tak dapat
diketahui wujud dari itu semua sebab tangan manusia dan tangan Tuhan sudah pasti
berbeda begitupun seterusnya. Menurut mereka orang-orang yang menafsirkan secara
metaforis yaitu orang-orang yang sesat, sebab penafsiran metaforis (takwil) hanya
Allah-lah yang mengetahui maknanya.93 Dan menurut pandangan ahli hakikat bahwa
tanzih yaitu membatasi dan menyempitkan Tuhan sebab dianggap mereduksi
hubungan-Nya dengan ciptaan padahal esesensi Sang Mutlak yaitu tak terbatas.94
Dari perdebatan di atas, Ibn ‘Arabi tidak mendukung salah satunya sebab
dianggap terlalu menekankan tanzih dan menafikan tashbihnya, sedangkan yang satu
menekankan tashbih dan meremehkan tanzihnya. Ibn ‘Arabi mencoba mengambil
formula dari keduanya yakni dengan memberi pengertian baru dan memadukan
keduanya.95 Dalam terminologi Ibn ‘Arabi tanzih merupakan aspek “mutlak” Tuhan
(ithlaq), sedangkan tashbih merujuk pada aspek “determinasi” (taqayyud) dan
keduanya saling melengkapi.96 Ia menyebutkan bahwa dalam teks-teks al-Qur’an
tidak akan ditemukan tanzih mutlaq dan tashbih mutlaq sebab dalam setiap tanzih
terdapat tashbih dan disetiap tashbih terdapat tanzih. Artinya bahwa tidak ada furqan
(pembeda) dan tiada pula yang lebih dominan diantara keduanya.97 sebab jika kita
ingin memberikan keterangan lengkap tentang Sang Mutlak tiada satupun diantara
keduanya yang cukup representatif tanpa ada lainnya.98 Islam yaitu satu-satunya
yang menerangkan kedua aspek tersebut secara seimbang dan derajat yang sama
besarnya. Ibn ‘Arabi menyatakan:
اديّقم تنك هيزنّتلبا تلق نإف اددّمح تنك هيبشتّلبا تلق نإو
اددّسم تنك نيرملأبا تلق نإو اديّس فراعلما في امامإ تنكو
اكرشم ناك عافشلإبا لاق نمف ادحّوم ناك دارفلإبا لاق نمو
اينثا تنك نإ هيبشتّلاو كيّاإف ادرّفم تنك نإ هيزنّتلاو كيّاإو
وه تنأ لب :وه تنأ امف في هارتو م روملأا ينع اديّقمو احرّس99
“Bila engkau nyatakan transendensi (tanzih), engkau mengikat-Nya, dan bila engkau
nyatakan imanensi (tashbih) engkau membatasinya Tuhan,
"Tapi bila engkau nyatakan kedua hal itu, engkau mengikuti jalan yang benar.
Dan engkau yaitu pemimpin dan penguasa dalam keyakinan,
"Barang siapa yang menyatakan dualitas dalam keyakinan yaitu seorang politheist.
Dan siapa yang menyatakan ke-Esa-an yaitu seorang monotheist.
'Hati-hatilah terhadap tashbih bila engkau menggabungkan (yakni Tuhan dan alam).
Dan hati-hatilah terhadap tanzih bila engkau nyatakan ke-Esaan.
Engkau bukanlah Dia, bahkan engkaulah Dia itu, dan engkau lihat Dia di dalam a’yan
benda-benda, mutlak dan tak terbatas.
Doktrin ontologis Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujud menjadi landasan
penafsirannya mengenai tanzih dan tashbih yang bertumpu pada ambiguous; “Dia
dan bukan Dia” (huwa la huwa). Terdapat dua kandungan dari rumusan tersebut;
bagian positif “Dia” yakni memberi penegasan mengenai tashbih Tuhan. Dan bagian
negatif; “bukan Dia” yang menegaskan aspek tanzih-Nya. Penafsiran Ibn ‘Arabi
tentang tanzih dan tashbih juga dapat dikatakan sebagai perpaduan antar kontradiksi
yang sejalan dengan konsep al-jam’ bayn al-adad (concidentia oppositorum), yakni’
antara unitas dan multiplisitas, Yang Lahir dan Yang Batin, Yang Satu dan Yang
Banyak.100
Meskipun tanzih dan tashbih yaitu dua hal yang bersatu dan tak dapat
dipisahkan maupun dibedakan namun akhlak para anbiya’ sebelum Muhammad saw
lebih menegaskan tanzih dan menjadikan tashbih hijab bagi para ahli rahasia. sebab
tanzih yang pertama kali terasosiasi ke dalam benak.101
Agama Nuh yaitu representasi agama satu sisi yang titik tekannya hanya pada
transendensi (tanzih) dan mengenyampingkan sisi imanensi (tashbih).102 Oleh sebab
itu tanzih Nuh hanyalah tanzih intelektual yaitu pensuciaan dari semua kualitas
karakter jasmaniyyah dan nafsiyyah. sebab pada saat itu kaum Nabi Nuh dominan
politheisme (syirk) dengan melakukan penyembahan berhala secara merajalela.
Kaum Nuh melupakan ruh non-materi dan tidak beriman pada perkara yang ghaib.
Segala sesuatu dibatasi pada apa yang dilihatnya termasuk nama-nama Tuhan dan
hal-hal absolut lainnya yang berbentuk materi.103 Nabi Nuh berusaha sangat keras
mengembalikan ummatnya kepada monotheisme murni (tauhid).104 Ia sama sekali
tidak mentolerir segala bentuk kekufuran dengan jalan tanzih ekstrim dalam
menyesuaikan dengan kaumnya.105
Ibn ‘Arabi mengecam sikap dan pendirian Nabi Nuh yang tidak mengajak
ummatnya untuk memegang tanzih dan tashbih secara bersamaan. sebab
pengetahuan tentang Tuhan yang hanya berlandaskan pada prinsip tanzih tidaklah
sempurna. Menurut Ibn ‘Arabi jika Nabi Nuh mengendurkan tanzih ekstrim dan
sedikit memberi kelonggaran pada tashbih ekstrim yang mereka anut maka pasti akan
disambut dengan senang hati oleh ummatnya. Dakwah Nabi Nuh hanya menunjukkan
kepada arah “penutupan” (satr) padahal seharusnya ditunjukkan pula kepada arah
“penyingkapan” (kashf). Ibn ‘Arabi berkata;
احون نّأ ولف– ملاسلا هيلع- هموقل عج ّثم ارارسإ مه اعد ّثم اراهج مهاعدف هوباج لأ ينتوعدّلا ينب
ارافّغ ناك هّنإ مكبّر اورفغتسا" :مله لاق"106
“Maka jika Nabi Nuh menggabungkan dua dakwahnya (tanzih dan tashbih) bagi
ummatnya sudah pasti mereka akan menerimanya. Maka beliau telah menyeru secara
terang-terangan. Kemudian beliau menyeru mereka secara tersembunyi. Dan
kemudian beliau berkata kepada mereka; ‘Mohonlah pengampunan kepada Tuhan
kalian, sesungguhnya Dia yaitu Maha Pengampun.”
Dalam persoalan diatas Ibn ‘Arabi lebih cenderung memihak dan membela
ummat Nabi Nuh sebagai lambang realitas penampakan diri Ilahi (tajalli Ilahi) dan
multiplisitas yang selalu berubah dalam bentuk-bentuk alam. Ibn ‘Arabi menganggap
Nabi Nuh tidak memahami situasi dan kondisi ummatnya saat itu.107 Sebagaimana
dijelaskan oleh Syekh ‘Abd al-Razzaq al-Qashani kaum Nabi Nuh telah tenggelam
dalam aspek tashbih maka jelas sekali ketika Nabi Nuh datang kepada mereka
membawa pesan-pesan tanzih, mereka sama sekali tidak menerimanya.108 Ibn ‘Arabi
menyebutkan bahwa tanzih yang Nabi Nuh dakwahkan yaitu al-furqan (pemisah).
Izutsu menjelaskan bahwa “pemisahan” tersebut yaitu “pemisahan” yang secara
radikal aspek ke-Esaan dari aspek keanekaan penampakan diri Sang Mutlak.109
Dalam al-Qur’an Nabi Nuh mengeluhkan kepada Tuhan atas kekufuran ummatnya
dengan mengatakan;
اررف ّلاإ ىءآعد مْهدْزي مْلف ارانهو لايْل ىموْق توْعد
“Aku telah menyeru kaumku malam dan siang, tapi seruanku tidak menambah
apapun untuk mereka kecuali lari” (QS. Nuh [71]: 5-6).
Mengenai ayat tersebut Ibn ‘Arabi memberikan penafsiran bahwa;
يج ابم مهملعل هتوعد نع اومماصت منّهأ هموق نع ركذوتوعد ةباجإ نم مهيلع بللهبا ءاملعلا ملعف .ه ام
.مذّلا ناسلب مهيلع ءانثلا نم هموق قح في ملاسّلا هيلع حون هيلإ راشأ الم هتوعد اوبييج لم انّمإ منّهأ ملعو
.ناقرفلا نم اهيف110
“Maksud perkataan Nabi Nuh yaitu bahwa ummatnya berperilaku acuh tak acuh
padanya lantaran mereka mengetahui akibat yang niscaya terjadi jika mereka
menyimak ajakannya. (Dipermukaan kata-kata Nabi Nuh tampak sebagai tuduhan
serius) namun kalangan arif sadar betul bahwa Nabi Nuh disini memberikan
penghargaan kepada ummatnya dalam bahasa tuduhan. Seperti yang sudah mereka
(yakni, kalangan arif) pahami, ummat Nabi Nuh tidak mau mendengarkannya sebab
seruannya itu pada akhirnya akan berujung dengan seruan kepada furqan.
Sederhananya yaitu : (1) Nabi Nuh mengecam ummatnya secara lahiriah, namun
(2) pada hakikatnya memuji mereka. Secara naluriah ummat Nabi Nuh tahu bahwa
ajakan Nabi Nuh tidak lain daripada tanzih murni dan radikal, yang demikian itu
bukanlah sikap yang tepat terhadap Sang Mutlak sebab itu sikap mereka layak
mendapatkan pujian.111 Ummat Nabi Nuh telah mengafirmasikan sifat-sifat
kesempurnaan untuk berhala mereka dengan mengatakan112, seperti tertera dalam
ayat:
لّلّا لىإ ناوبرّقيل لّا إ مْهدب عْ نام ىف لْز
“Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS: Az-Zumar [39]:3).
Berhala-berhala tersebut mereka jadikan sebagai al-Muqarrabin di sisi
Tuhan (yaitu dekat disisi Tuhan) dan al-muqarrrabin untuk selain mereka (yaitu
berhala-berhala tersebut bisa mendekatkan yang lain kepada Tuhan).113 Mereka
menyembah Tuhan dalam semua bentuk konkret alam semesta sebagai bentuk
maniseftasi-Nya, namun secara lahiriah mereka terkesan melakukan kekeliruan besar
dengan menolak dakwah Nabi Nuh dan mempertahankan penyembahan berhala
dalam bentuk tradisionalnya.114 Maka dapat disimpulkan bahwa ada dua level;
eksoteris dan esoteris. Dari sisi eksoteris kaum Nabi Nuh menolak seruan namun
secara esoteris mereka menerima seruannya. Menurut Ibn ‘Arabi mereka tidak
menerima seruannya secara eksoteris (bil qaul) sebab terkandung furqan di
dalamnya, sehingga memisahkan tanzih dan tashbih padahal kesempurnaan ada pada
al-Qur’an yang merupakan kombinasi dua aspek tanzih dan tashbih.115 Ibn ‘Arabi
menyatakan:
.ناقرف لا نآرق رملأاو .هيف ناك نإو ناقرفلا لىإ يغصي لا نآرقلا في ميقأ نمو نمضتي نارقلا نإف
ضتي لا ناقرفلاو ناقرفلانآرقلا نم.116
“Jalan (religius) yang benar yaitu al-Qur’an bukan furqan. Dan sudah sewajarnya
orang yang berpijak pada al-Qur’an tidak mendengarkan (ajakan kepada) furqan,
meskipun sebenarnya furqan juga terkandung dalam al-Qur’an. Al-Qur’an
mengimplikasikan pada furqan, namun furqan tidak mengimplikasikan pada al-
Qur’an.”
Izutsu mengutip perkataan al-Qashani bahwa; “Bagaimana mungkin manusia
dinasihati untuk kembali menyembah Tuhan padahal sesungguhnya dia sudah
menyembah Tuhan?” artinya menyuruh para penyembah berhala untuk berhenti
menyembah Tuhan dan beribadah kepada-Nya sama halnya menyuruh orang yang
sedang menyembah Tuhan untuk meninggalkan penyembahan Tuhan dan beranjak
menyembah Tuhan.117
Kombinasi yang ideal antara tanzih dan tashbih menurut Ibn ‘Arabi terdapat
dalam Islam, al-Qur’an yang hakiki dalam ajaran Muhammad saw yang mewujud
dalam sejarah. Lalu apakah Nabi Nuh salah dalam sikapnya itu? Tentu tidak. Nabi
Nuh secara belaka mengajarkan tanzih murni atau tanzih degan nalar (aqal).118
Maka dari itu dikatakan bahwa tanzih Nabi Nuh hanyalah tanzih aqli (tanzih
intelektual) yakni pensucian dari semua kualitas dan karakter jasmaniyyah dan
nafsiyyah.119 Berbeda dengan Nabi Idris meskipun mempunyai kesamaan dalam
tanzih dan muncul lebih dahulu daripada Nabi Nuh, namun pada urutan maqam
spiritual Nabi Idris disebut setelah Nabi Nuh sebab sifat quddusiyyah dari segi
makna dan martabat berada setelah martabat subbuhiyyah. Subbuh yaitu bersih dan
suci dari kekurangan sementara quddus yaitu bersih dan suci dari segala
kemungkinan terjadi kekurangan dalamnya. Nabi Idris sering melakukan riyadah
yang menyiksa sehingga terbebas dari kotoran tabiatnya dan suci dari sifat
kehewanan yang akhirnya sifat ruhaniyyah lebih mendominasi daripada sifat
kehewananya oleh sebab itu sifat quddus dikhususkan kepada Nabi Idris dan lokus
manifestasi sifat subbuh pada Nabi Nuh.120 Tanzih Nabi Idris yaitu tanzih dalam
level intelek dan nafas, artinya bahwa jiwa Nabi Idris juga telah di-tanzih-kan
(disucikan) dari segala tabiat kehewanannya sebab telah melakukan riyadah yang
menyiksa bahkan dikatakan bahwa beliau tidak pernah tidur dan makan selama enam
belas tahun sampai ia menjadi sahib mi’raj (kekal sebagai intelek immaterial).121
Ibn ‘Arabi sering memakai dalil al-Qur’an untuk menyatakan tanzih dan tashbih
Tuhan yaitu ayat yang berbunyi:
ء يْش هل ثْمك س يْل
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS. Asy-Syura [42]: 11).
Dari ayat tersebut Ibn ‘Arabi memberikan penafsiran bahwa:
:لىاعت لاق.هبّشف "يّْصبلْا عيْسم وهو" هزنف ,"ءيْش هلثْمك سيْل"
:لىاعت لاق ْيش هلثْمك سيْل" نّىثو هبّشف ,"ء هزّنف ,"يّْصبلْا عيْسم وهو"درفأو .122
“Allah Ta’ala berfirman; ‘Laisa kamitslihi syai’un,’ maka dengan demikian Dia
menyatakan tanzih-Nya; ‘wahuwa al-sami al-bashir,’ maka dengan demikian ia
menyatakan tashbih-Nya. Dia berfirman; Laisa kamitslihi syai’un, maka dengan
demikian Dia menyatakan tashbih dan dualitas-Nya; wahuwa al-sami’ al-bashir,
maka dengan demikian Dia menyatakan tanzih dan individualitas-Nya.”
Secara tata bahasa lafadz ka-mitsli-hi terdiri dari tiga kata “ka” (seperti),
“mitsli” (serupa dengan), “hi” (Dia), maka huruf kaf dalam ka-mitsli-hi merupakan
huruf tambahan sebagai ta’kid (penekanan) dan adakalanya bukan sebagai tambahan
namun sebagai kata untuk mempertahankan artinya yang independen. Apabila fungsi
huruf kaf sebagai tambahan maka memiliki arti meniadakan “keserupaan” yang
menyatakan tanzih Tuhan. Namun jika fungsi huruf kaf bukan sebagai tambahan (kata
yang mempertahankan artinya yang independen) maka ia menegaskan “keserupaan”
yang menyatakan tashbih Tuhan.123
Selanjutnya lafadz wahuwa al-sami’ al-basir dari kalimat tersebut kata al-sami’
(Yang Maha Mendengar) yang memberikan pemahaman bahwa yang mendengar
bukan hanya Tuhan saja namun makhluk-Nya juga mendengar. Artinya bahwa
penafsiran tersebut menunjukan sisi tashbih Tuhan yang serupa dengan alam. Namun
pada arti hakiki lafadz al-sami’ al-basir dalam kaidah Ilmu Balagah jika kata ganti
(dhamir) mendahului predikat (khabar) yang diberi kata sandang alif dan lam (al-)
maka bermakna pembatasan predikat terhadap kata ganti yang mendahuluinya, dalam
hal ini kata ganti yaitu huwa (Dia) yang merujuk pada Allah dan predikat yang
diberi kata sandang yaitu al-sami’ dan al-basir (Yang Maha Melihat). Maka dengan
demikian tiada yang memiliki sifat al-sami’ dan al-basir kecuali hanyalah Tuhan, ini
menyatakan tanzih dan menunjukkan bahwa Tuhan tidak serupa dengan alam.124
Setiap ungkapan apapun untuk mendeskripsikan Tuhan menurut Ibn ‘Arabi
mengandung “pembatasan” (tahdid). Tuhan mendeskripsikan diri-Nya sendiri dalam
al-Qur’an dan hadits pun dengan “pembatasan”, misal; Tuhan mensifati diri-Nya
bahwa Dia berada pada “awan” (‘Ama’) yang di atas dan bawahnya tidak ada udara,
berada di langit, berada di bumi, bersama kita di manapun kita berada dan yaitu
entitas kita dan seterusnya, semua itu yaitu “pembatasan”. Definisi tentang Tuhan
mencakup segala sesuatu Yang Tampak dan Tidak Tampak. Yang Tidak Tampak
yaitu Dzat Tuhan Yang Esa (tanzih) sedangkan Yang Tampak dari Tuhan yaitu
alam semesta dan segala apapun yang ada di dalamnya (tashbih).125 Jadi definisi
tentang Allah yaitu seluruh alam semesta namun tidak ada manusia pun yang
mengetahui isi kandungan bumi secara terperinci meskipun Ia seorang Nabi.
Demikian Afifi, mendefinisikan Sang Mutlak dengan segala apapun yang meliputi
definisi yang ada (al-maujudat).126 Inilah yang dimaksud Ibn ‘Arabi dengan
pernyataannya; “Al-Haqq terbatas oleh setiap batasan”127 yang bermakna bahwa
definisi al-Haqq mencakup definisi segala sesuatu. Namun sangat mustahil untuk
mencapai definisi yang sempurna sebab keterbatasan kemampuan manusia
mengetahui segala macam bentuk-bentuk-Nya yang secara detail tak terbatas yang
merupakan lokus-lokus penampakan diri al-Haqq. Oleh sebab nya pengetahuan
tentang Tuhan yang paling sempurna yaitu pengetahuan tentang perpaduan tanzih
dan tashbih secara global. Ibn ‘Arabi berkata:
و هيبشتّلاو هيزنّتلا ينب هتفرعم في عج نمو لاجلإا ىلع ينفصولبا هفصو– ىلع كلذ ليحتسي هّنلأ
ل ليصفتّلاروصّلا نم لماعلا في ابم ةطاحلإا مدع- هسفن فرع امك ليصفتّلا ىلع لا لاممج هفرع دقف
ليصفتّلا ىلع لا لاممج .128
“Barangsiapa yang menyatukan dalam pengetahuan tentang Dia (al-Haqq) antara
tanzih dan tashbih-Nya secara general – sebab mustahil untuk mencapai
pengetahuan tentang al-Haqq secara terperinci sebab ketidakmampuan manusia
untuk mengetahui bentuk-bentuk dalam alam secara terperinci – niscaya mengetahui-
Nya secara general, bukan secara terperinci.”
Ibn ‘Arabi juga berkata:
“Apabila akal bekerja sendirian secara independen untuk memperoleh
pengetahuan, maka pengetahuan yang diperolehnya tentang al-Haqq yaitu tentang
tanzih bukan tentang tashbih. Apabila al-Haqq memberi akal pengetahuan tentang
tajalli, sempurnalah pengetahuannya tentang Tuhan, ia akan mencapai tanzih
sebagaimana seharusnya dan mencapai tashbih sebagaimana seharusnya dan melihat
al-Haqq meresap dalam bentuk-bentuk natural dan elemental. Tidak akan ada bentuk
yang tetap bagi akal kecuali ia melihat bahwa entitas al-Haqq yaitu entitas bentuk
itu sendiri. Inilah pengetahuan sempurna yang dibawa oleh shari’at-shari’at yang
diwahyukan dari Tuhan. Dengan pengetahuan ini, daya-daya estimasi melakukan
pertimbangannya sendiri. Dengan alasan ini, maka daya-daya estimasi memiliki
kekuatan yang lebih besar dalam perkembangan manusiawi daripada akal, sebab
orang yang berakal, walaupun telah mencapai kematangan dalam akal, tidak pernah
terlepas dari hukum daya estimasi yang berlaku baginya dan dari konseptualisasi
tentang apa yang dipahaminya. Daya estimasi yaitu kekuatan terbesar (al-sultan al-
a’dzam) dalam bentuk sempurna dari manusia. Melalui shari’at-shari’at yang
diwahyukan, menyatakan tanzih dan tashbih. Shari’at-shari’at itu menyatakan
tanzih dan tashbih dengan daya estimasi dan menyatakan tanzih dan tashbih dengan
akal.
Pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh dengan kemampuan akal oleh para
filsuf dan mutakallimin sangat dikecam oleh Ibn ‘Arabi. sebab pengetahuan yang
diperoleh dengan akal hanya mampu sampai pada pengetahuan yang menunjukkan
tashbih maka itu tidaklah sempurna. Artinya bahwa, pengetahuan tentang Tuhan yang
dicapai oleh akal hanyalah pengetahuan negatif yang menegasikan pengungkapan
apapun untuk mendeskripsikan Tuhan. Oleh sebab itu akal harus dilengkapi dengan
al-wahm (daya estimasi); daya yang mampu mencapai pengetahuan akan tashbih.
Pengetahuan yang sempurna yaitu yang memadukan akal dan daya untuk mencapai
tanzih dan tashbih.
3. Al-A’yan al-Tsabitah
Al-a’yan al-tsabitah 131 merupakan kalimat yang terdiri dari dua kata; al-a’yan
dan al-tsabitah. Kata al-a’yan sendiri yaitu bentuk jamak dari ‘ayn yang
mempunyai banyak arti; substansi, esensi, Dzat, diri, individualitas, orang penting
dan terpandang. Sedangkan kata ‘ayn yang bentuk jamaknya yaitu ‘uyun juga
mempunyai banyak arti; mata, tilik mata, mata air, sumber air, pengintai, mata-mata,
lobang, lubang, mata jala, pilihan, yang utama, yang terbaik (dari sesuatu). Ada pula
kata kata ‘ayn yang tidak mempunyai bentuk jamak, kata ‘ayn tersebut berarti; nama
huruf (ع), uang tunai, konsonan akar kedua dalam kata kerja Arab (tata bahasa), yang
sama, identik dengan.132 Diantara beberapa arti nonteknis seperti mata atau identik
dengan, sering digunakan Ibn ‘Arabi dalam karya-karyanya. Chittick menerjemahkan
kata ‘ayn dengan arti entitas (entity). Istilah ‘ayn sendiri dipakai oleh Ibn ‘Arabi untuk
menunjukkan kekhususan (spesifisitas), penentuan (partikularisasi), dan penamaan
(designasi) yang membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.133
Kata tsabitah yaitu bentuk feminin (mu’annats) dari kata tsabit. Ia berbentuk
mu’annats sebab harus menyesuaikan secara gramatis dengan kata yang disifatinya
‘ayn, atau ‘a’yan yang juga berbentuk mu’annats. Kata tsabit berarti tetap, tak
berubah, pasti, tertentu, tak bergerak, diam, berdiri pada dasar yang kokoh, tak
goncang, teguh, mantap, konstan, stabil, permanen, kekal, tahan lama, abadi, tetap,
terjamin, kesatuan yang konstan (matematika dan fisika), faktor yang konstan. Oleh
sebab itu deskripsi dari al-a’yan al-tsabitah bahwa al-a’yan (entitas-entitas) yaitu
permanen, kekal, tetap, tidak berubah selama-lamanya sesuai dengan ilmu Tuhan,
yang tidak pernah berubah. Al-a’yan yaitu objek ilmu Tuhan. Tuhan,
mengetahuinya secara azali dan kekal, tanpa awal dan tanpa akhir dalam waktu.134
Sebagaimana diungkapkan oleh Alwi Sihab bahwa al-a’yan al-tsabitah yaitu
segala sesuatu yang akan tercipta masih berada dalam taraf ilmu Allah swt dan
eksistensinya belum konkret dalam dunia nyata.135
Al-a’yan al-tsabitah dalam penjelasan Qaysari yaitu sebagai berikut:
“Ketahuilah sesungguhnya al-Asma’ al-Ilahiyyah (Divine Names) mempunyai
“intelligible forms” dalam ilmu al-Haqq ta’ala, sebab Dia mengetahui Diri-Nya
untuk Diri-Nya dan (dengan mengenal diri-Nya) Dia juga mengetahui Asma dan
Sifat-Nya. Dan form-form ilmiyyah (form of knowledge) itu sebagai haqiqat yang
identik dengan Dzat, termanifestasi dengan determinasi khas dan relasi yang spesifik.
Ia dinamakan sebagai “al-a’yan al-tsabitah ”.
Al-A’yan disebut juga al-Shuwwar al-Ilmiyyah yaitu form-form yang
intelligible dalam maqam ilmu al-Haqq. Al-Shuwwar al-Ilmiyyah yaitu bentuk-
bentuk esensial al-Asma (loci of manifestation of the names) yang mana ketika Dzat
al-Haqq termanifestasi dalam form tersebut maka muta’ayyan dengan ta’ayyun yang
khas dan nisbah yang khas sebab adanya korelasi antara manifestasi dan bentuk
esensial.137 Dengan kata lain al-‘ayn al-Tsabita yaitu manifestasi Dzat al-Haqq
dengan ta’ayyun khas. Oleh sebab itu al-a’yan tersebut tidak memiliki keberadaan
apapun kecuali keberadaan al-Haqq (yakni keberadaannya tidak terpisah dan tidak
distinctive dari keberadaan al-Haqq).138
Su’ad al-Hakim dan ‘Affifi139 mengungkapkan bahwa istilah al-a’yan al-
tsabitah pertama kali digunakan oleh Ibn ‘Arabi meskipun ia mengakui konsep al-
a’yan al-tsabitah telah diajarkan para teolog Mu’tazilah, namun ia mengkritik ajaran
tersebut sebab mereka tidak memberikan pemahaman yang sempurna tentang konsep
al-a’yan al-tsabitah .140
Kesadaran al-Haqq terhadap diri-Nya terdapat pada Maqam Ahadiyyah
sementara kesadaran terhadap Asma’ dan Sifat yaitu Maqam Wahidiyyah.141 Al-
Haqq pada Maqam Ahadiyyah (ta’ayyunat awwal) dalam perspektif Ibn ‘Arabi,
diartikan sebagai “the state of being specified or particularized” atau “to be or
become an entity”. Hubungan antara Dzat al-Haqq dengan ta’ayyun (entity) terjadi
relasi (nisbah pertama) yakni berupa shuhud (consciousness) al-Haqq terhadap diri-
Nya. Dalam shuhud (consciousness) harus ada subjek dan objek. Al-Haqq sebagai
Subjek menyadari diri-Nya sebagai Objek. Namun subjek dan objek dalam perspektif
metafisika bukanlah dua hakikat yang berbeda. Dan dengan kesadaran inilah al-Haqq
menjadi muta’ayyun (particularized) yang berarti al-Haqq telah tanzzul (descended)
dari kemutlakan-Nya kepada partikularisasi. Kesadaran al-Wujud terhadap Dzat-Nya
yaitu kesadaran terhadap Asma’ dan Sifat-Nya maka dari itu al-a’yan tsabitah
disebut sebagai al-ta’ayyun al-ilmi. Kesadaran inilah yang menyebabkan manifestasi
al-a’yan secara distinctive dalam maqam al-Wahidiyyah. 142
Al-a’yan al-tsabitah ada yang universal (al-kulliyyah) dan ada juga yang
partikular (al-juz’iyyah) keduanya disebut oleh para hukama’ sebagai al-Mahiyat
(universal) dan al-Huwiyat (partikular yang muqayyad dengan wujud). Qaysari
menjelaskan bahwa sumber manifestasi dari al-a’yan yaitu tajalli al-Haqq yang
berupa al-fayd al-aqdas (tajalli awal) dalam maqam Ahadiyyah. Dengan sebab cinta
al-Haqq terhadap diri-Nya sendiri (al-hub al-Dzati) kemudian menjadi tuntutan
Mafatih al-Ghaib (kunci-kunci keghaiban) untuk termanifestasi dan menyatakan
kesempurnaan-Nya. Dari tajalli awal (al-fayd al-aqdas) yang mempunyai form
(manifestasi) berupa al-fayd al-muqaddas yang kemudian al a’yan al-tsabitah
menjadi maujud di level konkret sebagai al-a’yan al-kharijiyyah di mana maqam
tersebut berada dalam maqam al-khalq (ciptaan). 143
Al-A’yan al-tsabitah secara ontologis yaitu sebagai penengah antara al-Haqq
dan al-khalq.144 Oleh sebab itu, al-a’yan al-tsabitah mempunyai sifat ganda yakni;
aktif dan pasif. Berlaku pasif jika berhadapan dengan yang di atasnya (Tuhan) dan
aktif terhadap apa yang di bawahnya (alam nyata).145
Itu artinya bahwa apa yang terjadi pada seorang hamba dalam semua keadaannya
persis seperti yang ada dalam ilmu Tuhan sejak azali. Dan ilmu itu telah ada baginya
sesuai dengan keadaan kepermanenan entitas hamba sebelum entitas tersebut
mempunyai wujud dalam alam nyata ini.146 Hal tersebut berlaku pada seluruh
makhluk di alam semesta. Ibn ‘Arabi mengatakan:
Setiap urusan dan setiap yang ada, yang merupakan siklus, dapat ditelusuri asal-
usulnya kepada apa yang telah ada sejak permulaannya. Dan sesungguhnya Allah
ta’ala telah menetapkan (‘ayyana) dalam ilmu-Nya tingkat bagi setiap apa yang ada
(mawjud).
Pada satu sisi, arketip secara esensial ditentukan Sang Mutlak sebab mereka
menerima eksistensi partikular dari-Nya. Namun pada sisi lain secara positif mereka
menentukan cara Sang Mutlak mengaktualisasikan diri-Nya di alam fenomenal
(bermanifestasi).148 Qaysari menyatakan bahwa sumber manifestasi (Tuhan
menampakkan diri-Nya) al-a’yan dengan dua tipe emanasi (fayd); emanasi paling
suci (al-fayd al-aqdas) dan emanasi suci (al-fayd al-muqaddas).149 Entitas-entitas
permanen yaitu hasil dari emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) dan dengan
demikian ia yaitu pasif, pada sisi lain ia melahirkan emanasi suci dan dengan
demikian ia yaitu aktif (al-fayd al-muqaddas).150 Semua bentuk-bentuk yang
mungkin yaitu hasil dari emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) yang hanya ada
dalam kesadaran atau pikiran Tuhan. sebab dalam emanasi paling suci (al-fayd al-
aqdas) Tuhan menampakkan diri-Nya kepada diri-Nya dalam semua bentuk
kemungkinan yang berupa potensialitas bukan sebagai aktualitas.151
Demikian juga Muhammad Baqir menyebutkan bahwa kesadaran al-Haqq
terhadap diri-Nya ada pada maqam al-Ahadiyyah, sementara kesadaran al-Haqq
terhadap al-asma dan al-a’yan yaitu pada maqam wahidiyyah. Itu artinya bahwa
keberadaan al-a’yan dalam maqam tersebut yaitu dengan sebab tajalli (emanasi)
awal yaitu al-fayd al-aqdas. Kemudian dengan tajalli (emanasi suci/al-fayd al-
muqaddas) al-a’yan akan diwujudkan pada level konkret.152 sebab nama-nama dan
sifat-sifat Tuhan memerlukan sesuatu supaya dapat mengejawantahkan segala
perbendaharaan serta akibat-akibatnya, sebab itulah entitas-entitas mewujud kedalam
eksistensi pada level tersebut.153Ibn ‘Arabi mengatakan:
‘’Begitu juga keadaan entitas-entitas al-Mumkinat yang tidak bercahaya sebab ia
sebenarnya yaitu non-eksisen, walaupun ia disifatkan kepada al-tsubut namun ia
tidak bisa disifatkan dengan al-Wujud, sebab al-wujud yaitu cahaya”
Pasase di atas menjelaskan bahwa secara esensial al-a’yan al-tsabitah
dicirikan dengan non-eksistensi (‘adam), meskipun mereka itu bersembada
(tsabithah), namun mereka tetap dalam keadaan non-eksistensi, bahkan mereka belum
mencium aroma eksistensi. Jadi mereka terus azali dalam keadaan non-eksistensi dan
terlepas dari kemajukan bentuk yang mereka manifestasikan dalam segala wujud.155
Ibn ‘Arabi menyebut arketip-arketip dengan esensi-esensi hal-hal yang mungkin
mewujud (al-a’yan al-mumkinat/essential realities of the possible things), artinya
bahwa arketip tersebut noneksisten sebab ia memahami kata eksistensi” (wujud)
dalam artian eksistensi eksternal.156 Kata mumkinat atau hal-hal yang mungkin
mewujud merujuk pada maujud-maujud individual konkret di alam semesta. Ibn
‘Arabi mengatakan bahwa secara ontologis hanya ada dua kategori kemungkinan
mewujud; keniscayaan mewujud dengan sendirinya (wujud bi al-Dzat) dan
keniscayaan mewujud dengan selainnya (wujud bi al-ghair). Dari ide mungkin
mewujud, al-Qasyani menjabarkan menjadi dua kategori utama dalam hubungan
realitas sesuatu dengan eksistensi; (1) sesuatu yang realitasnya sendiri meniscayakan
eksistensi yakni keniscayaan mewujud dengan sendirinya, dan (2) sesuatu yang
realitasnya sendiri tidak meniscayakan eksistensi, dibagi menjadi dua; (1) sesuatu
yang realitasnya sendiri meniscayakan noneksistensi, kategori ini yaitu mustahil
mewujud, (2) sesuatu yang realitasnya sendiri tidak meniscayakan eksistensi ataupun
noneksistensi, kategori ini yaitu mungkin mewujud.157 Seperti halnya pernyataan
Ibn ‘Arabi yang dikutip Izutsu sebagai berikut:
Thus the ‘possible’ is an ontological dimension (hadrah, lit. ‘Presence’) peculiar
to the plane of Reason, a state before external existence, considered in itself. Take for
example, ‘black’. In itself it is only in the plane of Reason, Requiring neither
existence nor-nonexistence. But in the outer world it cannot but be accompained
either by existence of a cause, there being no third case between these two. And when
the cause is present in its complete form, the existence of the thing (the ‘possible’)
becomes ‘necessary’. Otherwise, its non-existence is ‘necessary’ due to non-
existence of a complete cause. (In the first case, it is ‘necessary by other’, while in
the second case) it is ‘impossible by other’. Thus we see that the ‘possible’ in the state
of real existence is a ‘necessary by other’. But in itself and in its essenc. i.e., apart
from its actual state of existence, it is (still) a ‘possible by itself.158
“Maka, “mumkin al-wujud” yaitu dimensi (hadrah, secara harfiah berarti
“kehadiran”) yang khas pada medan nalar, keadaan eksistensi eksternal ditinjau pada
dirinya sendiri. Sebagai contoh: “warna hitam”. Pada dirinya sendiri, hanya ada pada
medan nalar, ia tidak meniscayakan/ menuntut eksistensi dan juga tidak
meniscayakan/ menuntut noneksistensi. namun , di alam luaran, ia harus disertai oleh
adanya sebab atau absennya sebab, tidak ada yang ketiga dari kasus ini. Ketika
sebabnya hadir dalam bentuk utuh, eksistensi sesuatu (yang “mungkin mewujud”) itu
menjadi “niscaya mewujud”. Kalau tidak, noneksistensinya menjadi “niscaya”
sebab tiadanya sebab yang utuh/lengkap (bagi wujudnya). (Pada contoh pertama, ia
yaitu “niscaya mewujud akibat selainnya”, sedangkan pada contoh kedua) ia yaitu
“mustahil mewujud akibat selainnya”. Jadi, kita lihat bahwa “mungkin mewujud
akibat selainnya”. Namun, pada dirinya sendiri dan esensinya yakni terlepas dari
keadaan eksistensi aktualnya, ia (tetaplah) sesuatu yang “mungkin mewujud”.
Dilihat dari sudut pandang eksistensi eksternal atau fenomenal, arketip-arketip
itu noneksisten, tidak mewujud, sekalipun mereka bersembada secara laten.
Kesembadaan laten berbeda dengan eksistensi eksternal. Lantaran belum disinari
terang-benderangnya eksistensi, secara simbolis arketip-arketip itu “gelap”.159
Arketip-arketip dikatakan noneksisten dalam hubungannya dengan kosmos, tapi tidak
dalam hubungannya dengan ilmu Tuhan. Saat entitas-entitas menjadi nyata dalam
kosmos maka disebut sebagai eksistensi (meski tidak pernah lepas dari
keabadiannya). Entitas-entitas bergerak dari noneksistensi relatif menuju eksistensi,
atau dari salah satu bentuk eksistensi menuju bentuk yang lain.160
Maka dapat disimpulkan maksud dari Ibn ‘Arabi bukan untuk menegaskan
bahwa arketip-arketip itu noneksisten secara mutlak, akan namun mereka yaitu
realitas-realitas permanen yang bersembada dalam kesadaran Ilahi. Oleh sebab nya
arketip-arketip itu mewujud dalam artian sebagaimana konsep-konsep itu mewujud
dalam benak manusia. Maksudnya yaitu arketip-arketip itu tidak memiliki
eksistensi yang telah ditetapkan secara ruang dan waktu (spatio-temporal). Oleh
sebab itu Izutsu mengatakan tidak tepat jikalau arketip-arketip dianggap sebagai
noneksisten, lebih tepatnya bahwa mereka bukan eksisten sekaligus juga bukan
noneksisten,
Dalam ilmu Tuhan, al-A’yan al-Tsabitah telah ada sejak zaman azali (qadim)
tapi penampakannya yaitu hadits, datang kemudian dalam alam nyata. Kekadiman
dan kebaharuan entitas permanen diumpamakan Ibn ‘Arabi dengan wujud seorang
manusia atau tamu yang kedatangannya pada suatu hari kepada kita. Sebelum tamu
itu datang ia telah berwujud, yang baharu yaitu kedatangan atau kemunculan tamu
itu di hadapan kita.163 Affifi dengan mengutip pernyataan Ibn ‘Arabi mengatakan
bahwa sebelum sebuah entitas menjadi eksistensi yang konkret, segala sesuatu dari
dunia fenomena ini berada dibawah pengendalian esensi Tuhan dan juga ide tentang
future becoming (kejadian yang akan datang) yaitu isi dari pengetahuan abadi-Nya
yang identik tentang pengetahuan tentang diri-Nya sendiri.164
Kautsar Azhari Noer berkomentar bahwa teori Ibn ‘Arabi tentang al-a’yan al-
tsabitah bersifat deterministic yakni sama sekali tidak menyediakan ruang bagi
kebebasan makhluk, khususnya manusia untuk memilih dan melakukan perbuatan.
Segala sesuatu di alam ini terjadi persis sesuai dengan kesiapan azali (al-isti’dad al-
azali) yang telah ada dalam al-a’yan al-tsabitah sejak azali.165 Al-a’yan al-tsabitah
yang bersembada dan sudah ditetapkan sejak zaman azali sehingga itu tidak dapat
beralih dan bergerak.166 Begitu tsubut dan tetapnya kesiapan azali, Tuhan sendiri
tidak bisa mengubahnya. Allah berfirman:
ّللّا تاملكل ليد بْت لا
“Tiada perubahan dalam kalimat-kalimat Allah” (QS. Yunus [10]: 64).
Hal tersebut diatas secara sudut pandang tertentu mempersempit aktivitas al-
Haqq sebab kemustahilan berubahnya al-a’yan al-tsabitah . Namun, dalam sudut
pandang lain kemustahilan berubahnya al-a’yan al-tsabitah justru bersumber dari al-
Haqq sendiri.167 Allah berfirman:
ىد لْها ىلع مْهعملج لّلّا ءاش وْلو
“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam
petunjuk…” (QS. Al-An’am [6]: 35).
Implikasinya yaitu bisa jadi Allah berkehendak kebalikan dari apa yang terjadi,
yaitu kebalikan dari ketetapan-Nya pada tingkat arketip. Namun, menurut Ibn ‘Arabi
ini yaitu sebuah kesalah pahaman sederhana. Dalam ilmu tata bahasa law yang
berarti kalau (dalam klausa “kalau Allah menghendaki”) yaitu sebuah ungkapan
untuk sangkaan yang sebenarnya mustahil. Oleh sebab itu, ayat tersebut justru
menunjukan kemustahilan mutlak Allah berkehendak memberi petunjuk kepada
kaum kafir. Izutsu dengan mengutip Ibn ‘Arabi mengatakan:
Thus (it is clear in the case of those disbeliever reffered to in the above-quoted
Qoranic verse that) God actually did not “will” that way, so that He did not guide
aright all those people. Nor will He ever “will” that way. “If-He-Wills” will be of
no avail. For is it at all imaginable that He should do so? No, such a thing will never
come to pass. For His will goes straight to its object (in accordance with what has
been determined from eternity) because His will is a relation which strictly follows
His Knowledge, and His Knowledge strictly follows the object of Knowledge. And
the object of Knowledge is you and your states (i.e., the individual thing and its
properties as they have been immovably fixed in the state of archetypal permanence).
It is not the Knowledge that influences its object, but rather it is the object of
knowledge that influences the Knowledge, for the object confers what it is in its
essence upon the Knowledge.169
“Jadi (jelas bahwa dalam contoh kaum kafir yang dirujuk dalam ayat di atas)
Tuhan sesungguhnya tidak “menghendaki” hal itu, sehingga Dia tidak menjadikan
mereka semua ke dalam petunjuk. Demikian pula Dia tidak akan pernah
“menghendaki” yang begitu. “Jika Dia menghendaki” tidak berarti apa-apa. sebab ,
apakah bisa terbayangkan Dia berkehendak demikian? Tidak, hal itu tidak akan
berlaku. Mengingat kehendak-Nya langsung berlaku pada objek-Nya (selaras pada
apa yang ditentukan sejak azali) sebab kehendak-Nya yaitu hubungan yang taat
mengikuti pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya mengikuti objek pengetahuan.
Dan objek pengetahuan yaitu kau dan keadaan-keadaanmu (yakni hal-hal tertentu
dan ciri-cirinya) sebbagaimana yang telah dipatokkan dalam keadaan kepermanenan
arketipal. Ini bukan pengetahuan yang mempengaruhi objek-Nya, lantaran objek itu
menerima esensinya dari pengetahuan ini.”
Jika baik dan buruk yang merupakan salah satu hal paling fundamental dalam
Islam sudah ditentukan arketipnya sejak azali, maka tiada satupun di alam ini baik
maupun buruk, mukmin atau kafir, yang bertentangan dengan kehendak Allah.170
Seperti contoh orang yang mengingkari utusan Allah, penentang (munza’i). Dalam
argumen Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh Chittick bahwa;
He who contends against him (i.e., the Apostle of God) is not thereby deviating
from his own reality in which he was in the archetypal state when he was still in the
state of non-existence. For nothing comes into being exept that which he had in the
state of non-existence, i.e., archetypal subsistence. So (by struggling in opposition to
the Apostle of God) he is not stepping over the boundaries set by his reality, nor does
he commit any fault on his (predetermined) road.
Thus calling his behaviour ‘contending’ (‘niza’) is merely an accidental matter
which is a product of the veils covering the eyes of ordinary people. As God says:
‘But the majority of men do not know. They know only the apparent surface of the
present world, while being completely neglectful of the Hereafter’ (XXX, 6-7). Thus
it is clear that it (i.e., regarding their behaviour as ‘contending’) is nothing but an
inversion (i.e., one of those thing which the people whose eyes are veiled turn upside
down).171
“Orang yang mengingkari utusan Allah bukan menyimpang dari realitasnya
sendiri di tingkat arketipal ketika dia masih dalam keadaan noneksistensi. Lantaran
tiada yang mewujud kecuali apa yang sudah ditetapkan untuknya dalam keadaan
noneksistensi, yakni (dalam keadaan) sembadaan arketipal. Jadi (dengan berjuang
melawan utusan Allah), dia tidak melangkahi batas-batas yang telah dicanangkan
hakikatnya sendiri, tidak pula dia melakukan kesalahan di jalan (yang telah
ditentukan) untuknya.
Maka dari itu, menyebut perilakunya “penentangan” (niza’) yaitu semata-mata
soal aksidental yang tidak lain akibat hijab-hijab yang menutupi mata kalangan
awam. Seperti kata Allah; “namun , kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka
hanya tahu yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat yaitu lalai (QS. Al-Rum [30]: 6-7). Jadi, jelas bahwa itu (yakni
menyangkut perilaku mereka sebagai “penentang”) tidak lain merupakan inversi
(yakni, ia yaitu salah satu hal yang diputar balikkan oleh mereka yang terhijab).”
Dari penjelasan terlihat bahwa sebab segala sesuatu termasuk perbuatan manusia
telah ditentukan oleh Tuhan sejak azali. Namun, dalam sudut pandang lain bahwa
manusia diciptakan dalam bentuk-Nya, maka manusia memiliki kemampuan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang dinisbatkan pada nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan.172
Ambiguitas dan paradoksikalitas radikal yaitu ciri khas sistem Ibn ‘Arabi.
Sederhananya, bahwa “perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhan namun oleh
Tuhan” atau “perbuatan manusia diciptakan oleh manusia namun bukan oleh
manusia”.173 Hal ini sejalan dengan firmanNya:
ىمر لّلّٱ نّكلو تيْمر ذْإ تيْمر امو
“Engkau tidak melempar ketika engkau melempar, namun Allahlah yang
melempar” (QS. Al-Anfal [8]: 17).
PEMIKIRAN KOSMOLOGI
IBN ‘ARABI
Bab ini merupakan pembacaan terhadap sumber ajaran kosmologi sufi Ibn
‘Arabi yang diawali dengan membahas konsep sentral kosmologi tentang tajalli,
bagaimana Tuhan men-tajalli dalam manifestasi pertama dan manifestasi kedua,
kemudian mengurai tiga basis dimensi ontologis penciptaan yang meliputi hakikat
Muhammadiyah, al-Harkah al-Hubbiyyah, dan Nafas ar-Rahman. Bab ini diakhiri
dengan membedah struktur kosmos dengan merujuk lima derajat kehadiran dari
hierarki ahadiyyah sampai alam mulk dan poin pentingnya yaitu dimensi insan
kamil yang merupakan kesempurnaan seluruh manifestasi.
A. Tajalli: Titik Pijak Manifestasi
1. Ontologi Manifestasi: Penjelasan Konsep
Secara etimologi tajalli merupakan tersingkapnya sesuatu dan manifestasinya,
hal ini merujuk pada penjelasan ayat al-Qur’an:
َو َىشٰغۡ يَا ذاَِلِيَّۡلا
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)” (QS. Al-Lail [92]: 1).
َىَلّ تََا ذاَِرِا هَّ نلا و
“Demi siang apabila terang benderang” (QS. Al-Lail [92]: 2).
Kata Tajalli mencakup semua pemikiran Ibn ‘Arabi. Maka Ia menjadi tiang
fondasi filsafatnya tentang wahdatul wujud. Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa tajalli
merupakan penjelasan tentang al-khalq (manifestasi) dan munculnya yang banyak
dari Yang Satu.1 Ibn ‘Arabi membagi dua tajalli, yakni tajalli al wujudi dan tajalli
asshuhudi. Tajalli al wujudi di mana alam secara keseluruhan yaitu bentuk tajalli
Tuhan sebagai manifestasi (mazahir nama-nama). Seperti penjelasan Su’ad Hakim:
لأاَفىَىلّجتيَقلحاَنّإَدوجولاَىلجتلاَدعبَاههنميفَاهيفَرهظيَيّاَءايش
“Sesungguhnya al-Haqq men-tajalli dalam sesuatu, bahwa al-Haqq tampak
di dalam keberagaman maka al-Haqq dalam tajalli-Nya memberi wujud pada
sesuatu”
Tajalli ini abadi bersama Nafs al-Haq. Sementara tajalli asshuhudi merupakan
tajalli sebagai penampakan diri indrawi (emanasi suci). Dengan penjelasan di atas,
konsep tajalli3 merupakan dasar pandangan pemikiran Ibn ‘Arabi. Seluruh
pemikiranny