Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 5. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 5


 �� (huwa lâ huwa), dengan 

demikian Dia hanya dapat diketahui dari nama-nama yang melekat secara instrinsik 

di dalam wujud.70 Dalam suatu bagian dalam al Futuhat al-Makkiyah disebutkan:  

  مدعلا  في  امو  نايعلأا  ماكحأو  الله لاا  دوجولا  فى  امف فاصتلال  ةأيهم  تانكملما  نايعأ  لاا  ءىىشلا

 لاو وه امك يه لاف دوجولا في اله ينع لاو يهف  اهماكحأ رهاظلا نلأ دوجولا في يه لا يهف دوجولبا

علأا ماكحأ فلاتخلا سوسمحو لوقعم تادوجولما ينب زيمتلاو وهف رهاظلا هنلأ  وهوه لاف ناي .71                                                                   

 


“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-entitas, dan 

tidak ada sesuatupun dalam ‘adam kecuali entitas-entitas al-mumkinât yang 

dipersiapkan untuk diberi sifat dengan wujud. sebab  itu dalam wujud entitas-entitas 

al-mumkinât bukan dia. sebab  yang nampak (al-zâhir) yaitu  sifat-sifatnya, maka 

(itu) yaitu  ia (dalam wujud). namun  ia tidak mempunyai entitas dalam wujud sebab  

ia tidak ada (dalam wujud). Dengan cara yang sama, (itu yaitu ) Dia (Allah) dan 

bukan Dia; sebab  Dia yaitu  yang Nampak, maka itu yaitu  Dia. namun  perbedaan 

antara mawjûdât ditangkap oleh akal dan indra sebab  adanya perbedaan sifat-sifat 

dari entitas-entitas, maka itu bukan Dia.” 

Berbeda dengan teori al-Hallaj, yang diambil dan ubah secara total oleh Ibn 

‘Arabi yang kemudian diberi aplikasi luas bahwa sifat ketuhanan hanya men-tajalli 

tidak pada entitas yang lain dan sifat insan, begitu pula sebaliknya.72 Dalam teori al-

Hallaj terdapat dualitas (Tuhan dan Manusia) sedangkan dalam teori Ibn ‘Arabi tidak 

ada dualitas kecuali dualitas nisbi, dualitas semu, yang ada hanyalah keesaan. Dalam 

konteks ini persoalan yang ditekankan pada teori al-Hallaj yaitu  hubungan antara 

Tuhan dan manusia (antara Lahut dan nasut), sedangkan dalam teori Ibn ‘Arabi 

yaitu  relasi antara Tuhan dan manifestasinya.73  

Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Yang Riil dan yang fenomena dalam 

beberapa contoh;  

(1) Cermin (mirror) dan Image (kesan) yang sangat erat berkaitan dengan objek dan 

bayang-banyangnya. Yang Satu sebagai sebuah objek, imagenya di reflesikan dalam 

cermin. Yang Satu yaitu  Sang Mutlak sedangkan Image yaitu  dunia fenomena.74 

Sesungguhnya al-Haqq yaitu  cermin bagi alam, maka tidak lah terlihat dalam 

cermin itu selain bentuk yang bercermin. Maka Dia (al-Haqq) yaitu  cermin bagi 

anda ketika anda melihat diri anda yang sebenarnya dan anda yaitu  cermin bagi-

Nya ketika Dia melihat nama-nama-Nya dan penampakan sifat-sifat dari nama-nama 

itu, yang tidak lain dari diri-Nya sendiri.75 

(2) Peresapan dan “makanan spiritual”, di mana Yang banyak meresap kepada Yang 

Satu. Seperti halnya makanan makanan meresap kedalam tubuh.76 Dari perumpamaan 

peresapan makanan ada tiga hal yang perlu dicatat; pertama, makanan meresap 

kedalam tubuh yang memakannya. Makanan meresap bukan hanya ke dalam bagian-

bagian tertentu, namun  ke dalam seluruh bagian tubuh. Tubuh dan makanan yang 

meresap ke dalamnya menjadi satu. Kedua, kelangsungan hidup sesuatu yang 

memakan tergantung kepada makanan. Tanpa makanan ia tidak bisa hidup, tidak 

bertahan, tidak kekal. Demikian pula halnya al-Haqq dan al-Khalq. Al-Haqq 

memakan al-khalq dalam arti Dia menyerap sifat-sifat al-khalq agar Dia tampak 

dalam bentuk-bentuk alam. Ketiga, al-Haqq dan al-khalq sama-sama mempunyai 

peran yang sama secara timbal balik. Masing-masing sama-sama memakan dan 

dimakan, menerima dan memberi, tergantung kepada yang lain dan menjadi tempat 

bergantung.77 

(3) Tempat (vessels) dan tempat kembali,78 di mana keduanya jelas sekali menandakan 

adanya dualitas wujud. Yang Satu (al-Haqq) yaitu  sumber dari tempat muncul dan 

tempat kembalinya yang banyak (al-khalq). Dan yang banyak (al-khalq) bagi Yang 

Satu (al-Haqq) laksana sebuah tempat di mana esensi-Nya berada (subsist).79 

(4) Analogi tubuh dan anggota-anggotanya, yang apabila di ambil secara tulisan akan 

berarti bahwa Yang Satu itu yaitu  seluruh organ, di mana tiap bagian apa saja dari 

keseluruhan itu tidak mempunyai arti apapun kecuali dalam hubungannya dalam 

keseluruhan.80 

 

2. Transendensi (Tanzih) dan Imanensi (Tashbih) 

Setelah abad ke-7 /13 M saat teologi tengah berkembang, istilah transendensi 

(tanzih) dan imanensi (tashbih) telah menjadi perdebatan para teolog81 dalam 

memahami hubungan ontologis antara Tuhan dan alam.82 Para teolog menggunakan 

istilah tanzih untuk menyatakan bahwa Tuhan secara mutlak terbebas dari segala 

ketidak sempurnaan tak terkecuali dalam hal sekecil apapun.  Sedangkan istilah 

tashbih digunakan sebagai penyerupaan antara Tuhan dan makhluk.83  

Kata tanzih berasal dari kata-kerja nazzaha yang secara literal berarti 

membersihkan dari cemaran noda yang mengotori, sesuatu yang murni dan bebas dari 

sesuatu yang lain.84 Adapun kata tashbih berasal dari kata-kerja shabbaha yang 

berarti menganggap serupa antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. 85 Kedua kata 

tersebut yaitu  sebagai cara untuk mengenal Tuhan baik dari segi Dzat-Nya maupun 

dari segi nama-nama dan sifat-Nya. Tuhan jika dikenali dari segi Dzat-Nya yaitu  

Yang Maha Tak terbatas, tak dapat dijangkau dengan pengetahuan manusia apalagi 

difikirkan dan definisikan dengan kata-kata.86 Hal ini dipahami sebagai bentuk 

 


penegasan bahwa Tuhan yaitu  murni dan bebas dari segala kekurangan dan ketidak 

sempurnaan makhluk.87 Dalam al-Qur’an disebutkan; 

  ء يْش هل ثْمك س يْل 

“Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” (Q.S. Asy- Syura [42] :11). 

 

Tuhan terlampau suci dan murni sehingga tak dapat dibandingkan dengan semua 

ciptaan-Nya, termasuk ide dan konsep yang juga bagian dari ciptaan.88 Dari segi 

nama-nama dan sifat-Nya yang termanifestasi dalam alam, Dia menampakkan dan 

memperkenalkan diri-Nya.89 sebab  Tuhan harus memiliki bentuk keserupaan 

dengan ciptaan-Nya sebagai perantara pemahaman manusia terhadap-Nya.90 Seperti 

halnya sifat-sifat Tuhan yang juga terdapat pada setiap makhluknya, contoh; Maha 

Pemurah, Maha Penyayang, Maha Kaya (Independen) yang diyakini manusia bahwa 

Pemurah, Kasih Sayang dan Independen-nya Tuhan seperti yang manusia pahami. 

Satu sisi perspektif tanzih menjelaskan bahwa Realitas Tunggal mendeklarasikan 

hanya Allah saja yang Esa, Allah saja yang nyata dan segala sesuatu selain-Nya 

tidaklah nyata dan tidak layak untuk dipertimbangkan. Namun, sisi tashbih memberi 

penjelasan bahwa ke-Esaan Allah melingkupi semua makhluk, al-Haqq ingin 

menampakkan diri-Nya melalui ciptaan-Nya. 91  

Tanzih dan tashbih yaitu  dua istilah yang dipinjam Ibn ‘Arabi dari para 

mutakallimin di mana telah terjadi perdebatan panjang mengenai pemahaman 

keduanya. Mereka yang sepakat mendukung tanzih sangat mengkritik keras tashbih 

sebagai paham yang sesat dan bid’ah, sebab  menganggap bahwa Tuhan memiliki 

(wujud) jasmani. Sebab di dalam al-Qur’an dan hadits yang menyebut istilah kaki, 

tangan, mata Tuhan dan sebagainya seharusnya ditafsirkan secara metaforis sehingga 

berbeda dengan apa yang kita pahami yang terdapat pada manusia.92 Berbeda dengan 

mereka yang mendukung tashbih yang mana istilah kaki, tangan, mata Tuhan dan 

sebagainya harus ditafsirkan secara harfiah. Meskipun ada persamaan antara manusia 

dan Tuhan yang sama-sama memiliki kaki, tangan, dan mata namun tak dapat 

diketahui wujud dari itu semua sebab  tangan manusia dan tangan Tuhan sudah pasti 

berbeda begitupun seterusnya. Menurut mereka orang-orang yang menafsirkan secara 

metaforis yaitu  orang-orang yang sesat, sebab  penafsiran metaforis (takwil) hanya 

Allah-lah yang mengetahui maknanya.93 Dan menurut pandangan ahli hakikat bahwa 

 


tanzih yaitu  membatasi dan menyempitkan Tuhan sebab  dianggap mereduksi 

hubungan-Nya dengan ciptaan padahal esesensi Sang Mutlak yaitu  tak terbatas.94 

Dari perdebatan di atas, Ibn ‘Arabi tidak mendukung salah satunya sebab  

dianggap terlalu menekankan tanzih dan menafikan tashbihnya, sedangkan yang satu 

menekankan tashbih dan meremehkan tanzihnya. Ibn ‘Arabi mencoba mengambil 

formula dari keduanya yakni dengan memberi pengertian baru dan memadukan 

keduanya.95 Dalam terminologi Ibn ‘Arabi tanzih merupakan aspek “mutlak” Tuhan 

(ithlaq), sedangkan tashbih merujuk pada aspek “determinasi” (taqayyud) dan 

keduanya saling melengkapi.96 Ia menyebutkan bahwa dalam teks-teks al-Qur’an 

tidak akan ditemukan tanzih mutlaq dan tashbih mutlaq sebab  dalam setiap tanzih 

terdapat tashbih dan disetiap tashbih terdapat tanzih. Artinya bahwa tidak ada furqan 

(pembeda) dan tiada pula yang lebih dominan diantara keduanya.97 sebab  jika kita 

ingin memberikan keterangan lengkap tentang Sang Mutlak tiada satupun diantara 

keduanya yang cukup representatif tanpa ada lainnya.98 Islam yaitu  satu-satunya 

yang menerangkan kedua aspek tersebut secara seimbang dan derajat yang sama 

besarnya. Ibn ‘Arabi menyatakan:  

 اديّقم تنك هيزنّتلبا تلق نإف اددّمح تنك هيبشتّلبا تلق نإو 

 اددّسم تنك نيرملأبا تلق نإو اديّس فراعلما في امامإ تنكو 

 اكرشم ناك عافشلإبا لاق نمف  ادحّوم ناك دارفلإبا لاق نمو 

 اينثا تنك نإ هيبشتّلاو كيّاإف          ادرّفم تنك نإ هيزنّتلاو كيّاإو 

 وه تنأ لب :وه تنأ امف في هارتو م روملأا ينع اديّقمو احرّس99 

“Bila engkau nyatakan transendensi (tanzih), engkau mengikat-Nya, dan bila engkau 

nyatakan imanensi (tashbih) engkau membatasinya Tuhan,  

"Tapi bila engkau nyatakan kedua hal itu, engkau mengikuti  jalan yang benar. 

Dan engkau yaitu  pemimpin dan penguasa dalam keyakinan, 

 


"Barang siapa yang menyatakan dualitas dalam keyakinan yaitu  seorang politheist. 

Dan siapa yang menyatakan ke-Esa-an yaitu  seorang monotheist. 

'Hati-hatilah terhadap tashbih bila engkau menggabungkan (yakni Tuhan dan alam). 

Dan hati-hatilah terhadap tanzih bila  engkau nyatakan ke-Esaan.  

Engkau bukanlah Dia, bahkan engkaulah Dia itu, dan engkau lihat Dia di dalam a’yan 

benda-benda, mutlak dan tak terbatas. 

Doktrin ontologis Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujud menjadi landasan 

penafsirannya mengenai tanzih dan tashbih yang bertumpu pada ambiguous; “Dia 

dan bukan Dia” (huwa la huwa). Terdapat dua kandungan dari rumusan tersebut; 

bagian positif “Dia” yakni memberi penegasan mengenai tashbih Tuhan. Dan bagian 

negatif; “bukan Dia” yang menegaskan aspek tanzih-Nya. Penafsiran Ibn ‘Arabi 

tentang tanzih dan tashbih juga dapat dikatakan sebagai perpaduan antar kontradiksi 

yang sejalan dengan konsep al-jam’ bayn al-adad (concidentia oppositorum), yakni’ 

antara unitas dan multiplisitas, Yang Lahir dan Yang Batin, Yang Satu dan Yang 

Banyak.100 

Meskipun tanzih dan tashbih yaitu  dua hal yang bersatu dan tak dapat 

dipisahkan maupun dibedakan namun akhlak para anbiya’ sebelum Muhammad saw 

lebih menegaskan tanzih dan menjadikan tashbih hijab bagi para ahli rahasia. sebab  

tanzih yang pertama kali terasosiasi ke dalam benak.101  

Agama Nuh yaitu  representasi agama satu sisi yang titik tekannya hanya pada 

transendensi (tanzih) dan mengenyampingkan sisi imanensi (tashbih).102 Oleh sebab  

itu tanzih Nuh hanyalah tanzih intelektual yaitu pensuciaan dari semua kualitas 

karakter jasmaniyyah dan nafsiyyah. sebab  pada saat itu kaum Nabi Nuh dominan 

politheisme (syirk) dengan melakukan penyembahan berhala secara merajalela. 

Kaum Nuh melupakan ruh non-materi dan tidak beriman pada perkara yang ghaib. 

Segala sesuatu dibatasi pada apa yang dilihatnya termasuk nama-nama Tuhan dan 

hal-hal absolut lainnya yang berbentuk materi.103 Nabi Nuh berusaha sangat keras 

mengembalikan ummatnya kepada monotheisme murni (tauhid).104 Ia sama sekali 

tidak mentolerir segala bentuk kekufuran dengan jalan tanzih ekstrim dalam 

menyesuaikan dengan kaumnya.105 

Ibn ‘Arabi mengecam sikap dan pendirian Nabi Nuh yang tidak mengajak 

ummatnya untuk memegang tanzih dan tashbih secara bersamaan. sebab  

 


pengetahuan tentang Tuhan yang hanya berlandaskan pada prinsip tanzih tidaklah 

sempurna. Menurut Ibn ‘Arabi jika Nabi Nuh mengendurkan tanzih ekstrim dan 

sedikit memberi kelonggaran pada tashbih ekstrim yang mereka anut maka pasti akan 

disambut dengan senang hati oleh ummatnya. Dakwah Nabi Nuh hanya menunjukkan 

kepada arah “penutupan” (satr) padahal seharusnya ditunjukkan pula kepada arah 

“penyingkapan” (kashf). Ibn ‘Arabi berkata; 

 احون نّأ ولف– ملاسلا هيلع-  هموقل عج ّثم ارارسإ مه اعد ّثم اراهج مهاعدف هوباج لأ ينتوعدّلا ينب

ارافّغ ناك هّنإ مكبّر اورفغتسا" :مله لاق"106 

“Maka jika Nabi Nuh menggabungkan dua dakwahnya (tanzih dan tashbih) bagi 

ummatnya sudah pasti mereka akan menerimanya. Maka beliau telah menyeru secara 

terang-terangan. Kemudian beliau menyeru mereka secara tersembunyi. Dan 

kemudian beliau berkata kepada mereka; ‘Mohonlah pengampunan kepada Tuhan 

kalian, sesungguhnya Dia yaitu  Maha Pengampun.” 

Dalam persoalan diatas Ibn ‘Arabi lebih cenderung memihak dan membela 

ummat Nabi Nuh sebagai lambang realitas penampakan diri Ilahi (tajalli Ilahi) dan 

multiplisitas yang selalu berubah dalam bentuk-bentuk alam. Ibn ‘Arabi menganggap 

Nabi Nuh tidak memahami situasi dan kondisi ummatnya saat itu.107 Sebagaimana 

dijelaskan oleh Syekh ‘Abd al-Razzaq al-Qashani kaum Nabi Nuh telah tenggelam 

dalam aspek tashbih maka jelas sekali ketika Nabi Nuh datang kepada mereka 

membawa pesan-pesan tanzih, mereka sama sekali tidak menerimanya.108 Ibn ‘Arabi 

menyebutkan bahwa tanzih yang Nabi Nuh dakwahkan yaitu  al-furqan (pemisah). 

Izutsu menjelaskan bahwa “pemisahan” tersebut yaitu  “pemisahan” yang secara 

radikal aspek ke-Esaan dari aspek keanekaan penampakan diri Sang Mutlak.109 

Dalam al-Qur’an Nabi Nuh mengeluhkan kepada Tuhan atas kekufuran ummatnya 

dengan mengatakan; 

اررف ّلاإ ىءآعد مْهدْزي مْلف ارانهو لايْل ىموْق توْعد 

“Aku telah menyeru kaumku malam dan siang, tapi seruanku tidak menambah 

apapun untuk mereka kecuali lari” (QS. Nuh [71]: 5-6). 

Mengenai ayat tersebut Ibn ‘Arabi memberikan penafsiran bahwa; 

 

 

يج ابم مهملعل هتوعد نع اومماصت منّهأ هموق نع ركذوتوعد ةباجإ نم مهيلع بللهبا ءاملعلا ملعف .ه  ام

 .مذّلا ناسلب مهيلع ءانثلا نم هموق قح في ملاسّلا هيلع حون هيلإ راشأ  الم  هتوعد اوبييج لم انّمإ منّهأ ملعو

 .ناقرفلا نم اهيف110 

“Maksud perkataan Nabi Nuh yaitu  bahwa ummatnya berperilaku acuh tak acuh 

padanya lantaran mereka mengetahui akibat yang niscaya terjadi jika mereka 

menyimak ajakannya. (Dipermukaan kata-kata Nabi Nuh tampak sebagai tuduhan 

serius) namun  kalangan arif sadar betul bahwa Nabi Nuh disini memberikan 

penghargaan kepada ummatnya dalam bahasa tuduhan. Seperti yang sudah mereka 

(yakni, kalangan arif) pahami, ummat Nabi Nuh tidak mau mendengarkannya sebab  

seruannya itu pada akhirnya akan berujung dengan seruan kepada furqan. 

Sederhananya yaitu : (1) Nabi Nuh mengecam ummatnya secara lahiriah, namun  

(2) pada hakikatnya memuji mereka. Secara naluriah ummat Nabi Nuh tahu bahwa 

ajakan Nabi Nuh tidak lain daripada tanzih murni dan radikal, yang demikian itu 

bukanlah sikap yang tepat terhadap Sang Mutlak sebab itu sikap mereka layak 

mendapatkan pujian.111 Ummat Nabi Nuh telah mengafirmasikan sifat-sifat 

kesempurnaan untuk berhala mereka dengan mengatakan112, seperti tertera dalam 

ayat: 

 لّلّا لىإ ناوبرّقيل لّا إ مْهدب عْ نام  ىف لْز 

“Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan 

kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS: Az-Zumar [39]:3). 

Berhala-berhala tersebut mereka jadikan sebagai al-Muqarrabin di sisi 

Tuhan (yaitu dekat disisi Tuhan) dan al-muqarrrabin untuk selain mereka (yaitu 

berhala-berhala tersebut bisa mendekatkan yang lain kepada Tuhan).113 Mereka 

menyembah Tuhan dalam semua bentuk konkret alam semesta sebagai bentuk 

maniseftasi-Nya, namun secara lahiriah mereka terkesan melakukan kekeliruan besar 

dengan menolak dakwah Nabi Nuh dan mempertahankan penyembahan berhala 

dalam bentuk tradisionalnya.114 Maka dapat disimpulkan bahwa ada dua level; 

eksoteris dan esoteris. Dari sisi eksoteris kaum Nabi Nuh menolak seruan namun 

secara esoteris mereka menerima seruannya. Menurut Ibn ‘Arabi mereka tidak 

menerima seruannya secara eksoteris (bil qaul) sebab  terkandung furqan di 

dalamnya, sehingga memisahkan tanzih dan tashbih padahal kesempurnaan ada pada 

 

 

 

al-Qur’an yang merupakan kombinasi dua aspek tanzih dan tashbih.115 Ibn ‘Arabi 

menyatakan: 

 .ناقرف لا نآرق رملأاو  .هيف ناك نإو ناقرفلا  لىإ يغصي لا نآرقلا  في ميقأ  نمو  نمضتي نارقلا  نإف

ضتي لا ناقرفلاو ناقرفلانآرقلا نم.116 

“Jalan (religius) yang benar yaitu  al-Qur’an bukan furqan. Dan sudah sewajarnya 

orang yang berpijak pada al-Qur’an tidak mendengarkan (ajakan kepada) furqan, 

meskipun sebenarnya furqan juga terkandung dalam al-Qur’an. Al-Qur’an 

mengimplikasikan pada furqan, namun  furqan tidak mengimplikasikan pada al-

Qur’an.” 

Izutsu mengutip perkataan al-Qashani bahwa; “Bagaimana mungkin manusia 

dinasihati untuk kembali menyembah Tuhan padahal sesungguhnya dia sudah 

menyembah Tuhan?” artinya menyuruh para penyembah berhala untuk berhenti 

menyembah Tuhan dan beribadah kepada-Nya sama halnya menyuruh orang yang 

sedang menyembah Tuhan untuk meninggalkan penyembahan Tuhan dan beranjak 

menyembah Tuhan.117 

Kombinasi yang ideal antara tanzih dan tashbih menurut Ibn ‘Arabi terdapat 

dalam Islam, al-Qur’an yang hakiki dalam ajaran Muhammad saw yang mewujud 

dalam sejarah. Lalu apakah Nabi Nuh salah dalam sikapnya itu? Tentu tidak. Nabi 

Nuh secara belaka mengajarkan tanzih murni atau tanzih degan nalar (aqal).118 

Maka dari itu dikatakan bahwa tanzih Nabi Nuh hanyalah tanzih aqli (tanzih 

intelektual) yakni pensucian dari semua kualitas dan karakter jasmaniyyah dan 

nafsiyyah.119 Berbeda dengan Nabi Idris meskipun mempunyai kesamaan dalam 

tanzih dan muncul lebih dahulu daripada Nabi Nuh, namun pada urutan maqam 

spiritual Nabi Idris disebut setelah Nabi Nuh sebab  sifat quddusiyyah dari segi 

makna dan martabat berada setelah martabat subbuhiyyah. Subbuh yaitu  bersih dan 

suci dari kekurangan sementara quddus yaitu  bersih dan suci dari segala 

kemungkinan terjadi kekurangan dalamnya. Nabi Idris sering melakukan riyadah 

yang menyiksa sehingga terbebas dari kotoran tabiatnya dan suci dari sifat 

kehewanan yang akhirnya sifat ruhaniyyah lebih mendominasi daripada sifat 

 


kehewananya oleh sebab  itu sifat quddus dikhususkan kepada Nabi Idris dan lokus 

manifestasi sifat subbuh pada Nabi Nuh.120 Tanzih Nabi Idris yaitu  tanzih dalam 

level intelek dan nafas, artinya bahwa jiwa Nabi Idris juga telah di-tanzih-kan 

(disucikan) dari segala tabiat kehewanannya sebab  telah melakukan riyadah yang 

menyiksa bahkan dikatakan bahwa beliau tidak pernah tidur dan makan selama enam 

belas tahun sampai ia menjadi sahib mi’raj (kekal sebagai intelek immaterial).121  

Ibn ‘Arabi sering memakai dalil al-Qur’an untuk menyatakan tanzih dan tashbih 

Tuhan yaitu  ayat yang berbunyi: 

 ء يْش هل ثْمك س يْل 

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS. Asy-Syura [42]: 11). 

Dari ayat tersebut Ibn ‘Arabi memberikan penafsiran bahwa: 

 :لىاعت لاق.هبّشف "يّْصبلْا عيْسم وهو" هزنف ,"ءيْش هلثْمك سيْل" 

 :لىاعت لاق ْيش هلثْمك سيْل" نّىثو هبّشف ,"ء هزّنف ,"يّْصبلْا عيْسم وهو"درفأو .122 

“Allah Ta’ala berfirman; ‘Laisa kamitslihi syai’un,’ maka dengan demikian Dia 

menyatakan tanzih-Nya; ‘wahuwa al-sami al-bashir,’ maka dengan demikian ia 

menyatakan tashbih-Nya. Dia berfirman; Laisa kamitslihi syai’un, maka dengan 

demikian Dia menyatakan tashbih dan dualitas-Nya; wahuwa al-sami’ al-bashir, 

maka dengan demikian Dia menyatakan tanzih dan individualitas-Nya.” 

Secara tata bahasa lafadz ka-mitsli-hi terdiri dari tiga kata “ka” (seperti), 

“mitsli” (serupa dengan), “hi” (Dia), maka huruf kaf dalam ka-mitsli-hi merupakan 

huruf tambahan sebagai ta’kid (penekanan) dan adakalanya bukan sebagai tambahan 

namun sebagai kata untuk mempertahankan artinya yang independen. Apabila fungsi 

huruf kaf sebagai tambahan maka memiliki arti meniadakan “keserupaan” yang 

menyatakan tanzih Tuhan. Namun jika fungsi huruf kaf bukan sebagai tambahan (kata 

yang mempertahankan artinya yang independen) maka ia menegaskan “keserupaan” 

yang menyatakan tashbih Tuhan.123  

Selanjutnya lafadz wahuwa al-sami’ al-basir dari kalimat tersebut kata al-sami’ 

(Yang Maha Mendengar) yang memberikan pemahaman bahwa yang mendengar 

bukan hanya Tuhan saja namun makhluk-Nya juga mendengar. Artinya bahwa 

penafsiran tersebut menunjukan sisi tashbih Tuhan yang serupa dengan alam. Namun 

pada arti hakiki lafadz al-sami’ al-basir dalam kaidah Ilmu Balagah jika kata ganti 

(dhamir) mendahului predikat (khabar) yang diberi kata sandang alif dan lam (al-) 


maka bermakna pembatasan predikat terhadap kata ganti yang mendahuluinya, dalam 

hal ini kata ganti yaitu  huwa (Dia) yang merujuk pada Allah dan predikat yang 

diberi kata sandang yaitu  al-sami’ dan al-basir (Yang Maha Melihat). Maka dengan 

demikian tiada yang memiliki sifat al-sami’ dan al-basir kecuali hanyalah Tuhan, ini 

menyatakan tanzih dan menunjukkan bahwa Tuhan tidak serupa dengan alam.124 

Setiap ungkapan apapun untuk mendeskripsikan Tuhan menurut Ibn ‘Arabi 

mengandung “pembatasan” (tahdid). Tuhan mendeskripsikan diri-Nya sendiri dalam 

al-Qur’an dan hadits pun dengan “pembatasan”, misal; Tuhan mensifati diri-Nya  

bahwa Dia berada pada “awan” (‘Ama’) yang di atas dan bawahnya tidak ada udara, 

berada di langit, berada di bumi, bersama kita di manapun kita berada dan yaitu  

entitas kita dan seterusnya, semua itu yaitu  “pembatasan”. Definisi tentang Tuhan 

mencakup segala sesuatu Yang Tampak dan Tidak Tampak. Yang Tidak Tampak 

yaitu  Dzat Tuhan Yang Esa (tanzih) sedangkan Yang Tampak dari Tuhan yaitu  

alam semesta dan segala apapun yang ada di dalamnya (tashbih).125 Jadi definisi 

tentang Allah yaitu  seluruh alam semesta namun  tidak ada manusia pun yang 

mengetahui isi kandungan bumi secara terperinci meskipun Ia seorang Nabi. 

Demikian Afifi, mendefinisikan Sang Mutlak dengan segala apapun yang meliputi 

definisi yang ada (al-maujudat).126 Inilah yang dimaksud Ibn ‘Arabi dengan 

pernyataannya; “Al-Haqq terbatas oleh setiap batasan”127 yang bermakna bahwa 

definisi al-Haqq mencakup definisi segala sesuatu. Namun sangat mustahil untuk 

mencapai definisi yang sempurna sebab keterbatasan kemampuan manusia 

mengetahui segala macam bentuk-bentuk-Nya yang secara detail tak terbatas yang 

merupakan lokus-lokus penampakan diri al-Haqq. Oleh sebab nya pengetahuan 

tentang Tuhan yang paling sempurna yaitu  pengetahuan tentang perpaduan tanzih 

dan tashbih secara global. Ibn ‘Arabi berkata: 

 و هيبشتّلاو هيزنّتلا ينب هتفرعم في عج نمو لاجلإا ىلع ينفصولبا هفصو–  ىلع كلذ ليحتسي هّنلأ

ل ليصفتّلاروصّلا  نم لماعلا  في ابم ةطاحلإا مدع-  هسفن فرع امك ليصفتّلا  ىلع لا لاممج هفرع دقف

ليصفتّلا ىلع لا لاممج .128 

“Barangsiapa yang menyatukan dalam pengetahuan tentang Dia (al-Haqq) antara 

tanzih dan tashbih-Nya secara general – sebab  mustahil untuk mencapai 

pengetahuan tentang al-Haqq secara terperinci sebab  ketidakmampuan manusia 

untuk mengetahui bentuk-bentuk dalam alam secara terperinci – niscaya mengetahui-

Nya secara general, bukan secara terperinci.” 

Ibn ‘Arabi juga berkata: 

 

 

“Apabila akal bekerja sendirian secara independen untuk memperoleh 

pengetahuan, maka pengetahuan yang diperolehnya tentang al-Haqq yaitu  tentang 

tanzih bukan tentang tashbih. Apabila al-Haqq memberi akal pengetahuan tentang 

tajalli, sempurnalah pengetahuannya tentang Tuhan, ia akan mencapai tanzih 

sebagaimana seharusnya dan mencapai tashbih sebagaimana seharusnya dan melihat 

al-Haqq meresap dalam bentuk-bentuk natural dan elemental. Tidak akan ada bentuk 

yang tetap bagi akal kecuali ia melihat bahwa entitas al-Haqq yaitu  entitas bentuk 

itu sendiri. Inilah pengetahuan sempurna yang dibawa oleh shari’at-shari’at yang 

diwahyukan dari Tuhan. Dengan pengetahuan ini, daya-daya estimasi melakukan 

pertimbangannya sendiri. Dengan alasan ini, maka daya-daya estimasi memiliki 

kekuatan yang lebih besar dalam perkembangan manusiawi daripada akal, sebab  

orang yang berakal, walaupun telah mencapai kematangan dalam akal, tidak pernah 

terlepas dari hukum daya estimasi yang berlaku baginya dan dari konseptualisasi 

tentang apa yang dipahaminya. Daya estimasi yaitu  kekuatan terbesar (al-sultan al-

a’dzam) dalam bentuk sempurna dari manusia. Melalui shari’at-shari’at yang 

diwahyukan,  menyatakan tanzih dan tashbih. Shari’at-shari’at itu menyatakan 

tanzih dan tashbih dengan daya estimasi dan menyatakan tanzih dan tashbih dengan 

akal. 

Pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh dengan kemampuan akal oleh para 

filsuf dan mutakallimin sangat dikecam oleh Ibn ‘Arabi. sebab  pengetahuan yang 

diperoleh dengan akal hanya mampu sampai pada pengetahuan yang menunjukkan 

tashbih maka itu tidaklah sempurna. Artinya bahwa, pengetahuan tentang Tuhan yang 

dicapai oleh akal hanyalah pengetahuan negatif yang menegasikan pengungkapan 

apapun untuk mendeskripsikan Tuhan. Oleh sebab itu akal harus dilengkapi dengan 

al-wahm (daya estimasi); daya yang mampu mencapai pengetahuan akan tashbih. 

Pengetahuan yang sempurna yaitu  yang memadukan akal dan daya untuk mencapai 

tanzih dan tashbih.

 

3.  Al-A’yan al-Tsabitah  

Al-a’yan al-tsabitah 131 merupakan kalimat yang terdiri dari dua kata; al-a’yan 

dan al-tsabitah. Kata al-a’yan sendiri yaitu  bentuk jamak dari ‘ayn yang 

mempunyai banyak arti; substansi, esensi, Dzat, diri, individualitas, orang penting 

dan terpandang. Sedangkan kata ‘ayn yang bentuk jamaknya yaitu  ‘uyun juga 

mempunyai banyak arti; mata, tilik mata, mata air, sumber air, pengintai, mata-mata, 

lobang, lubang, mata jala, pilihan, yang utama, yang terbaik (dari sesuatu). Ada pula 

kata kata ‘ayn yang tidak mempunyai bentuk jamak, kata ‘ayn tersebut berarti; nama 

huruf (ع), uang tunai, konsonan akar kedua dalam kata kerja Arab (tata bahasa), yang 

sama, identik dengan.132 Diantara beberapa arti nonteknis seperti mata atau identik 

dengan, sering digunakan Ibn ‘Arabi dalam karya-karyanya. Chittick menerjemahkan 

kata ‘ayn dengan arti entitas (entity). Istilah ‘ayn sendiri dipakai oleh Ibn ‘Arabi untuk 

menunjukkan kekhususan (spesifisitas), penentuan (partikularisasi), dan penamaan 

(designasi) yang membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.133  

Kata tsabitah yaitu  bentuk feminin (mu’annats) dari kata tsabit. Ia berbentuk 

mu’annats sebab  harus menyesuaikan secara gramatis dengan kata yang disifatinya 

‘ayn, atau ‘a’yan yang juga berbentuk mu’annats. Kata tsabit berarti tetap, tak 

berubah, pasti, tertentu, tak bergerak, diam, berdiri pada dasar yang kokoh, tak 

goncang, teguh, mantap, konstan, stabil, permanen, kekal, tahan lama, abadi, tetap, 

terjamin, kesatuan yang konstan (matematika dan fisika), faktor yang konstan. Oleh 

sebab  itu deskripsi dari al-a’yan al-tsabitah bahwa al-a’yan (entitas-entitas) yaitu  

permanen, kekal, tetap, tidak berubah selama-lamanya sesuai dengan ilmu Tuhan, 

yang tidak pernah berubah. Al-a’yan yaitu  objek ilmu Tuhan. Tuhan, 

mengetahuinya secara azali dan kekal, tanpa awal dan tanpa akhir dalam waktu.134 

Sebagaimana diungkapkan oleh Alwi Sihab bahwa al-a’yan al-tsabitah yaitu  

segala sesuatu yang akan tercipta masih berada dalam taraf ilmu Allah swt dan 

eksistensinya belum konkret dalam dunia nyata.135  

Al-a’yan al-tsabitah dalam penjelasan Qaysari yaitu  sebagai berikut: 

 


“Ketahuilah sesungguhnya al-Asma’ al-Ilahiyyah (Divine Names) mempunyai 

“intelligible forms” dalam ilmu al-Haqq ta’ala, sebab  Dia mengetahui Diri-Nya 

untuk Diri-Nya dan (dengan mengenal diri-Nya) Dia juga mengetahui Asma dan 

Sifat-Nya. Dan form-form ilmiyyah (form of knowledge) itu sebagai haqiqat yang 

identik dengan Dzat, termanifestasi dengan determinasi khas dan relasi yang spesifik. 

Ia dinamakan sebagai “al-a’yan al-tsabitah ”. 

Al-A’yan disebut juga al-Shuwwar al-Ilmiyyah yaitu  form-form yang 

intelligible dalam maqam ilmu al-Haqq. Al-Shuwwar al-Ilmiyyah yaitu  bentuk-

bentuk esensial al-Asma (loci of manifestation of the names) yang mana ketika Dzat 

al-Haqq termanifestasi dalam form tersebut maka muta’ayyan dengan ta’ayyun yang 

khas dan nisbah yang khas sebab  adanya korelasi antara manifestasi dan bentuk 

esensial.137  Dengan kata lain al-‘ayn al-Tsabita yaitu  manifestasi Dzat al-Haqq 

dengan ta’ayyun khas. Oleh sebab  itu al-a’yan tersebut tidak memiliki keberadaan 

apapun kecuali keberadaan al-Haqq (yakni keberadaannya tidak terpisah dan tidak 

distinctive dari keberadaan al-Haqq).138  

Su’ad al-Hakim dan ‘Affifi139 mengungkapkan bahwa istilah al-a’yan al-

tsabitah pertama kali digunakan oleh Ibn ‘Arabi meskipun ia mengakui konsep al-

a’yan al-tsabitah telah diajarkan para teolog Mu’tazilah, namun ia mengkritik ajaran 

tersebut sebab mereka tidak memberikan pemahaman yang sempurna tentang konsep 

al-a’yan al-tsabitah .140  

Kesadaran al-Haqq terhadap diri-Nya terdapat pada Maqam Ahadiyyah 

sementara kesadaran terhadap Asma’ dan Sifat yaitu  Maqam Wahidiyyah.141 Al-

Haqq pada Maqam Ahadiyyah (ta’ayyunat awwal) dalam perspektif Ibn ‘Arabi, 

diartikan sebagai “the state of being specified or particularized” atau “to be or 

become an entity”. Hubungan antara Dzat al-Haqq dengan ta’ayyun (entity) terjadi 

relasi (nisbah pertama) yakni berupa shuhud (consciousness) al-Haqq terhadap diri-

Nya. Dalam shuhud (consciousness) harus ada subjek dan objek. Al-Haqq sebagai 

Subjek menyadari diri-Nya sebagai Objek. Namun subjek dan objek dalam perspektif 

 


metafisika bukanlah dua hakikat yang berbeda. Dan dengan kesadaran inilah al-Haqq 

menjadi muta’ayyun (particularized) yang berarti al-Haqq telah tanzzul (descended) 

dari kemutlakan-Nya kepada partikularisasi. Kesadaran al-Wujud terhadap Dzat-Nya 

yaitu  kesadaran terhadap Asma’ dan Sifat-Nya maka dari itu al-a’yan tsabitah 

disebut sebagai al-ta’ayyun al-ilmi. Kesadaran inilah yang menyebabkan manifestasi 

al-a’yan secara distinctive dalam maqam al-Wahidiyyah. 142    

Al-a’yan al-tsabitah ada yang universal (al-kulliyyah) dan ada juga yang 

partikular (al-juz’iyyah) keduanya disebut oleh para hukama’ sebagai al-Mahiyat 

(universal) dan al-Huwiyat (partikular yang muqayyad dengan wujud). Qaysari 

menjelaskan bahwa sumber manifestasi dari al-a’yan yaitu  tajalli al-Haqq yang 

berupa al-fayd al-aqdas (tajalli awal) dalam maqam Ahadiyyah. Dengan sebab cinta 

al-Haqq terhadap diri-Nya sendiri (al-hub al-Dzati) kemudian menjadi tuntutan 

Mafatih al-Ghaib (kunci-kunci keghaiban) untuk termanifestasi dan menyatakan 

kesempurnaan-Nya. Dari tajalli awal (al-fayd al-aqdas) yang mempunyai form 

(manifestasi) berupa al-fayd al-muqaddas yang kemudian al a’yan al-tsabitah 

menjadi maujud di level konkret sebagai al-a’yan al-kharijiyyah di mana maqam 

tersebut berada dalam maqam al-khalq (ciptaan). 143  

Al-A’yan al-tsabitah secara ontologis yaitu  sebagai penengah antara al-Haqq 

dan al-khalq.144 Oleh sebab itu, al-a’yan al-tsabitah mempunyai sifat ganda yakni; 

aktif dan pasif. Berlaku pasif jika berhadapan dengan yang di atasnya (Tuhan) dan 

aktif terhadap apa yang di bawahnya (alam nyata).145  

Itu artinya bahwa apa yang terjadi pada seorang hamba dalam semua keadaannya 

persis seperti yang ada dalam ilmu Tuhan sejak azali. Dan ilmu itu telah ada baginya 

sesuai dengan keadaan kepermanenan entitas hamba sebelum entitas tersebut 

mempunyai wujud dalam alam nyata ini.146 Hal tersebut berlaku pada seluruh 

makhluk di alam semesta. Ibn ‘Arabi mengatakan: 

 


Setiap urusan dan setiap yang ada, yang merupakan siklus, dapat ditelusuri asal-

usulnya kepada apa yang telah ada sejak permulaannya. Dan sesungguhnya Allah 

ta’ala telah menetapkan (‘ayyana) dalam ilmu-Nya tingkat bagi setiap apa yang ada 

(mawjud). 

Pada satu sisi, arketip secara esensial ditentukan Sang Mutlak sebab  mereka 

menerima eksistensi partikular dari-Nya. Namun pada sisi lain secara positif mereka 

menentukan cara Sang Mutlak mengaktualisasikan diri-Nya di alam fenomenal 

(bermanifestasi).148 Qaysari menyatakan bahwa sumber manifestasi (Tuhan 

menampakkan diri-Nya) al-a’yan dengan dua tipe emanasi (fayd); emanasi paling 

suci (al-fayd al-aqdas) dan emanasi suci (al-fayd al-muqaddas).149 Entitas-entitas 

permanen yaitu  hasil dari emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) dan dengan 

demikian ia yaitu  pasif, pada sisi lain ia melahirkan emanasi suci dan dengan 

demikian ia yaitu  aktif (al-fayd al-muqaddas).150 Semua bentuk-bentuk yang 

mungkin yaitu  hasil dari emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) yang hanya ada 

dalam kesadaran atau pikiran Tuhan. sebab  dalam emanasi paling suci (al-fayd al-

aqdas) Tuhan menampakkan diri-Nya kepada diri-Nya dalam semua bentuk 

kemungkinan yang berupa potensialitas bukan sebagai aktualitas.151  

Demikian juga Muhammad Baqir menyebutkan bahwa kesadaran al-Haqq 

terhadap diri-Nya ada pada maqam al-Ahadiyyah, sementara kesadaran al-Haqq 

terhadap al-asma dan al-a’yan yaitu  pada maqam wahidiyyah. Itu artinya bahwa 

keberadaan al-a’yan dalam maqam tersebut yaitu  dengan sebab tajalli (emanasi) 

awal yaitu al-fayd al-aqdas. Kemudian dengan tajalli (emanasi suci/al-fayd al-

muqaddas) al-a’yan akan diwujudkan pada level konkret.152 sebab  nama-nama dan 

sifat-sifat Tuhan memerlukan sesuatu supaya dapat mengejawantahkan segala 

perbendaharaan serta akibat-akibatnya, sebab itulah entitas-entitas mewujud kedalam 

eksistensi pada level tersebut.153Ibn ‘Arabi mengatakan: 

 

 

‘’Begitu juga keadaan entitas-entitas al-Mumkinat yang tidak bercahaya sebab  ia 

sebenarnya yaitu  non-eksisen, walaupun ia disifatkan kepada al-tsubut namun  ia 

tidak bisa disifatkan dengan al-Wujud, sebab  al-wujud yaitu  cahaya”  

Pasase di atas menjelaskan bahwa secara esensial al-a’yan al-tsabitah 

dicirikan dengan non-eksistensi (‘adam), meskipun mereka itu bersembada 

(tsabithah), namun  mereka tetap dalam keadaan non-eksistensi, bahkan mereka belum 

mencium aroma eksistensi. Jadi mereka terus azali dalam keadaan non-eksistensi dan 

terlepas dari kemajukan bentuk yang mereka manifestasikan dalam segala wujud.155 

Ibn ‘Arabi menyebut arketip-arketip dengan esensi-esensi hal-hal yang mungkin 

mewujud (al-a’yan al-mumkinat/essential realities of the possible things), artinya 

bahwa arketip tersebut noneksisten sebab  ia memahami kata eksistensi” (wujud) 

dalam artian eksistensi eksternal.156 Kata mumkinat atau hal-hal yang mungkin 

mewujud merujuk pada maujud-maujud individual konkret di alam semesta. Ibn 

‘Arabi mengatakan bahwa secara ontologis hanya ada dua kategori kemungkinan 

mewujud; keniscayaan mewujud dengan sendirinya (wujud bi al-Dzat) dan 

keniscayaan mewujud dengan selainnya (wujud bi al-ghair). Dari ide mungkin 

mewujud, al-Qasyani menjabarkan menjadi dua kategori utama dalam hubungan 

realitas sesuatu dengan eksistensi; (1) sesuatu yang realitasnya sendiri meniscayakan 

eksistensi yakni keniscayaan mewujud dengan sendirinya, dan (2) sesuatu yang 

realitasnya sendiri tidak meniscayakan eksistensi, dibagi menjadi dua; (1) sesuatu 

yang realitasnya sendiri meniscayakan noneksistensi, kategori ini yaitu  mustahil 

mewujud, (2) sesuatu yang realitasnya sendiri tidak meniscayakan eksistensi ataupun 

noneksistensi, kategori ini yaitu  mungkin mewujud.157 Seperti halnya pernyataan 

Ibn ‘Arabi yang dikutip Izutsu sebagai berikut: 

Thus the ‘possible’ is an ontological dimension (hadrah, lit. ‘Presence’) peculiar 

to the plane of Reason, a state before external existence, considered in itself. Take for 

example, ‘black’. In itself it is only in the plane of Reason, Requiring neither 

existence nor-nonexistence. But in the outer world it cannot but be accompained 

either by existence of a cause, there being no third case between these two. And when 

the cause is present in its complete form, the existence of the thing (the ‘possible’) 

becomes ‘necessary’. Otherwise, its non-existence is ‘necessary’ due to non-

existence of a complete cause. (In the first case, it is ‘necessary by other’, while in 

 


the second case) it is ‘impossible by other’. Thus we see that the ‘possible’ in the state 

of real existence is a ‘necessary by other’. But in itself and in its essenc. i.e., apart 

from its actual state of existence, it is (still) a ‘possible by itself.158 

“Maka, “mumkin al-wujud” yaitu  dimensi (hadrah, secara harfiah berarti 

“kehadiran”) yang khas pada medan nalar, keadaan eksistensi eksternal ditinjau pada 

dirinya sendiri. Sebagai contoh: “warna hitam”. Pada dirinya sendiri, hanya ada pada 

medan nalar, ia tidak meniscayakan/ menuntut eksistensi dan juga tidak 

meniscayakan/ menuntut noneksistensi. namun , di alam luaran, ia harus disertai oleh 

adanya sebab atau absennya sebab, tidak ada yang ketiga dari kasus ini. Ketika 

sebabnya hadir dalam bentuk utuh, eksistensi sesuatu (yang “mungkin mewujud”) itu 

menjadi “niscaya mewujud”. Kalau tidak, noneksistensinya menjadi “niscaya” 

sebab  tiadanya sebab yang utuh/lengkap (bagi wujudnya). (Pada contoh pertama, ia 

yaitu  “niscaya mewujud akibat selainnya”, sedangkan pada contoh kedua) ia yaitu  

“mustahil mewujud akibat selainnya”. Jadi, kita lihat bahwa “mungkin mewujud 

akibat selainnya”. Namun, pada dirinya sendiri dan esensinya yakni terlepas dari 

keadaan eksistensi aktualnya, ia (tetaplah) sesuatu yang “mungkin mewujud”. 

Dilihat dari sudut pandang eksistensi eksternal atau fenomenal, arketip-arketip 

itu noneksisten, tidak mewujud, sekalipun mereka bersembada secara laten. 

Kesembadaan laten berbeda dengan eksistensi eksternal. Lantaran belum disinari 

terang-benderangnya eksistensi, secara simbolis arketip-arketip itu “gelap”.159 

Arketip-arketip dikatakan noneksisten dalam hubungannya dengan kosmos, tapi tidak 

dalam hubungannya dengan ilmu Tuhan. Saat entitas-entitas menjadi nyata dalam 

kosmos maka disebut sebagai eksistensi (meski tidak pernah lepas dari 

keabadiannya). Entitas-entitas bergerak dari noneksistensi relatif menuju eksistensi, 

atau dari salah satu bentuk eksistensi menuju bentuk yang lain.160  

Maka dapat disimpulkan maksud dari Ibn ‘Arabi bukan untuk menegaskan 

bahwa arketip-arketip itu noneksisten secara mutlak, akan namun  mereka yaitu  

realitas-realitas permanen yang bersembada dalam kesadaran Ilahi. Oleh sebab nya 

arketip-arketip itu mewujud dalam artian sebagaimana konsep-konsep itu mewujud 

dalam benak manusia. Maksudnya yaitu  arketip-arketip itu tidak memiliki 

eksistensi yang telah ditetapkan secara ruang dan waktu (spatio-temporal). Oleh 

sebab  itu Izutsu mengatakan tidak tepat jikalau arketip-arketip dianggap sebagai 

noneksisten, lebih tepatnya bahwa mereka bukan eksisten sekaligus juga bukan 

noneksisten,

Dalam ilmu Tuhan, al-A’yan al-Tsabitah telah ada sejak zaman azali (qadim) 

tapi penampakannya yaitu  hadits, datang kemudian dalam alam nyata. Kekadiman 

dan kebaharuan entitas permanen diumpamakan Ibn ‘Arabi dengan wujud seorang 

manusia atau tamu yang kedatangannya pada suatu hari kepada kita. Sebelum tamu 

itu datang ia telah berwujud, yang baharu yaitu  kedatangan atau kemunculan tamu 

itu di hadapan kita.163 Affifi dengan mengutip pernyataan Ibn ‘Arabi mengatakan 

bahwa sebelum sebuah entitas menjadi eksistensi yang konkret, segala sesuatu dari 

dunia fenomena ini berada dibawah pengendalian esensi Tuhan dan juga ide tentang 

future becoming (kejadian yang akan datang) yaitu  isi dari pengetahuan abadi-Nya 

yang identik tentang pengetahuan tentang diri-Nya sendiri.164 

Kautsar Azhari Noer berkomentar bahwa teori Ibn ‘Arabi tentang al-a’yan al-

tsabitah bersifat deterministic yakni sama sekali tidak menyediakan ruang bagi 

kebebasan makhluk, khususnya manusia untuk memilih dan melakukan perbuatan. 

Segala sesuatu di alam ini terjadi persis sesuai dengan kesiapan azali (al-isti’dad al-

azali) yang telah ada dalam al-a’yan al-tsabitah sejak azali.165 Al-a’yan al-tsabitah 

yang bersembada dan sudah ditetapkan sejak zaman azali sehingga itu tidak dapat 

beralih dan bergerak.166 Begitu tsubut dan tetapnya kesiapan azali, Tuhan sendiri 

tidak bisa mengubahnya. Allah berfirman: 

 ّللّا تاملكل ليد بْت لا 

“Tiada perubahan dalam kalimat-kalimat Allah” (QS. Yunus [10]: 64). 

Hal tersebut diatas secara sudut pandang tertentu mempersempit aktivitas al-

Haqq sebab kemustahilan berubahnya al-a’yan al-tsabitah . Namun, dalam sudut 

pandang lain kemustahilan berubahnya al-a’yan al-tsabitah justru bersumber dari al-

Haqq sendiri.167 Allah berfirman: 

 ىد لْها ىلع مْهعملج لّلّا ءاش وْلو 

“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam 

petunjuk…” (QS. Al-An’am [6]: 35). 

Implikasinya yaitu  bisa jadi Allah berkehendak kebalikan dari apa yang terjadi, 

yaitu kebalikan dari ketetapan-Nya pada tingkat arketip. Namun, menurut Ibn ‘Arabi 

ini yaitu  sebuah kesalah pahaman sederhana. Dalam ilmu tata bahasa law yang 

berarti kalau (dalam klausa “kalau Allah menghendaki”) yaitu  sebuah ungkapan 

untuk sangkaan yang sebenarnya mustahil. Oleh sebab  itu, ayat tersebut justru 

menunjukan kemustahilan mutlak Allah berkehendak memberi petunjuk kepada 

kaum kafir. Izutsu dengan mengutip Ibn ‘Arabi mengatakan: 

 

 

Thus (it is clear in the case of those disbeliever reffered to in the above-quoted 

Qoranic verse that) God actually did not “will” that way, so that He did not guide 

aright all those people. Nor will He ever  “will” that  way. “If-He-Wills” will be of 

no avail. For is it at all imaginable that He should do so? No, such a thing will never 

come to pass. For His will goes straight to its object (in accordance with what has 

been determined from eternity) because His will is a relation which strictly follows 

His Knowledge, and His Knowledge strictly follows the object of Knowledge. And 

the object of Knowledge is you and your states (i.e., the individual thing and its 

properties as they have been immovably fixed in the state of archetypal permanence). 

It is not the Knowledge that influences its object, but rather it is the object of 

knowledge that influences the Knowledge, for the object confers what it is in its 

essence upon the Knowledge.169 

“Jadi (jelas bahwa dalam contoh kaum kafir yang dirujuk dalam ayat di atas) 

Tuhan sesungguhnya tidak “menghendaki” hal itu, sehingga Dia tidak menjadikan 

mereka semua ke dalam petunjuk. Demikian pula Dia tidak akan pernah 

“menghendaki” yang begitu. “Jika Dia menghendaki” tidak berarti apa-apa. sebab , 

apakah bisa terbayangkan Dia berkehendak demikian? Tidak, hal itu tidak akan 

berlaku. Mengingat kehendak-Nya langsung berlaku pada objek-Nya (selaras pada 

apa yang ditentukan sejak azali) sebab  kehendak-Nya yaitu  hubungan yang taat 

mengikuti pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya mengikuti objek pengetahuan. 

Dan objek pengetahuan yaitu  kau dan keadaan-keadaanmu (yakni hal-hal tertentu 

dan ciri-cirinya) sebbagaimana yang telah dipatokkan dalam keadaan kepermanenan 

arketipal. Ini bukan pengetahuan yang mempengaruhi objek-Nya, lantaran objek itu 

menerima esensinya dari pengetahuan ini.” 

Jika baik dan buruk yang merupakan salah satu hal paling fundamental dalam 

Islam sudah ditentukan arketipnya sejak azali, maka tiada satupun di alam ini baik 

maupun buruk, mukmin atau kafir, yang bertentangan dengan kehendak Allah.170 

Seperti contoh orang yang mengingkari utusan Allah, penentang (munza’i). Dalam 

argumen Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh Chittick bahwa; 

He who contends against him (i.e., the Apostle of God) is not thereby deviating 

from his own reality in which he was in the archetypal state when he was still in the 

state of non-existence. For nothing comes into being exept that which he had in the 

state of non-existence, i.e., archetypal subsistence. So (by struggling in opposition to 

the Apostle of God) he is not stepping over the boundaries set by his reality, nor does 

he commit any fault on his (predetermined) road. 

Thus calling his behaviour ‘contending’ (‘niza’) is merely an accidental matter 

which is a product of the veils covering the eyes of ordinary people. As God says: 

‘But the majority of men do not know. They know only the apparent surface of the 

present world, while being completely neglectful of the Hereafter’ (XXX, 6-7). Thus 

it is clear that it (i.e., regarding their behaviour as ‘contending’) is nothing but an 

inversion (i.e., one of those thing which the people whose eyes are veiled turn upside 

down).171  

“Orang yang mengingkari utusan Allah bukan menyimpang dari realitasnya 

sendiri di tingkat arketipal ketika dia masih dalam keadaan noneksistensi. Lantaran 

tiada yang mewujud kecuali apa yang sudah ditetapkan untuknya dalam keadaan 

noneksistensi, yakni (dalam keadaan) sembadaan arketipal. Jadi (dengan berjuang 

melawan utusan Allah), dia tidak melangkahi batas-batas yang telah dicanangkan 

hakikatnya sendiri, tidak pula dia melakukan kesalahan di jalan (yang telah 

ditentukan) untuknya.  

Maka dari itu, menyebut perilakunya “penentangan” (niza’) yaitu  semata-mata 

soal aksidental yang tidak lain akibat hijab-hijab yang menutupi mata kalangan 

awam. Seperti kata Allah; “namun , kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka 

hanya tahu yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang 

(kehidupan) akhirat yaitu  lalai (QS. Al-Rum [30]: 6-7). Jadi, jelas bahwa itu (yakni 

menyangkut perilaku mereka sebagai “penentang”) tidak lain merupakan inversi 

(yakni, ia yaitu  salah satu hal yang diputar balikkan oleh mereka yang terhijab).”  

Dari penjelasan terlihat bahwa sebab segala sesuatu termasuk perbuatan manusia 

telah ditentukan oleh Tuhan sejak azali. Namun, dalam sudut pandang lain bahwa 

manusia diciptakan dalam bentuk-Nya, maka manusia  memiliki kemampuan untuk 

melakukan perbuatan-perbuatan yang dinisbatkan pada nama-nama dan sifat-sifat 

Tuhan.172 

Ambiguitas dan paradoksikalitas radikal yaitu  ciri khas sistem Ibn ‘Arabi. 

Sederhananya, bahwa “perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhan namun  oleh 

Tuhan” atau “perbuatan manusia diciptakan oleh manusia namun  bukan oleh 

manusia”.173 Hal ini sejalan dengan firmanNya: 

  

ىمر لّلّٱ نّكلو تيْمر ذْإ تيْمر امو 

“Engkau tidak melempar ketika engkau melempar, namun  Allahlah yang 

melempar” (QS. Al-Anfal [8]: 17). 

 

 


PEMIKIRAN KOSMOLOGI  

IBN ‘ARABI 

 

Bab ini merupakan pembacaan terhadap sumber ajaran kosmologi sufi Ibn 

‘Arabi yang diawali dengan membahas konsep sentral kosmologi tentang tajalli, 

bagaimana Tuhan men-tajalli dalam manifestasi pertama dan manifestasi kedua, 

kemudian mengurai tiga basis dimensi ontologis penciptaan yang meliputi hakikat 

Muhammadiyah, al-Harkah al-Hubbiyyah, dan Nafas ar-Rahman. Bab ini diakhiri 

dengan membedah struktur kosmos dengan merujuk lima derajat kehadiran dari 

hierarki ahadiyyah sampai alam mulk dan poin pentingnya yaitu  dimensi insan 

kamil yang merupakan kesempurnaan seluruh manifestasi. 

 

A. Tajalli: Titik Pijak Manifestasi 

1. Ontologi Manifestasi: Penjelasan Konsep  

Secara etimologi tajalli merupakan tersingkapnya sesuatu dan manifestasinya, 

hal ini merujuk pada penjelasan ayat al-Qur’an: 

 َو َىشٰغۡ  يَا ذاَِلِيَّۡلا  

“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)” (QS. Al-Lail [92]: 1). 

َىَلّ  تََا ذاَِرِا  هَّ نلا و  

“Demi siang apabila terang benderang” (QS. Al-Lail [92]: 2). 

 

Kata Tajalli mencakup semua pemikiran Ibn ‘Arabi. Maka Ia menjadi tiang 

fondasi filsafatnya tentang wahdatul wujud. Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa tajalli 

merupakan penjelasan tentang al-khalq (manifestasi) dan munculnya yang banyak 

dari Yang Satu.1 Ibn ‘Arabi membagi dua tajalli, yakni tajalli al wujudi dan tajalli 

asshuhudi. Tajalli al wujudi di mana alam secara keseluruhan yaitu  bentuk tajalli 

Tuhan sebagai manifestasi (mazahir nama-nama). Seperti penjelasan Su’ad Hakim: 

لأاَفىَىلّجتيَقلحاَنّإَدوجولاَىلجتلاَدعبَاههنميفَاهيفَرهظيَيّاَءايش  

“Sesungguhnya al-Haqq men-tajalli dalam sesuatu, bahwa al-Haqq tampak 

di dalam keberagaman maka al-Haqq dalam tajalli-Nya memberi wujud pada 

sesuatu” 

 

Tajalli ini abadi bersama Nafs al-Haq. Sementara tajalli asshuhudi merupakan 

tajalli sebagai penampakan diri indrawi (emanasi suci). Dengan penjelasan di atas, 

konsep tajalli3 merupakan dasar pandangan pemikiran Ibn ‘Arabi. Seluruh 

pemikiranny