Tampilkan postingan dengan label wahyu menurut islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wahyu menurut islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Januari 2025

wahyu menurut islam


 Keberadaan ilmu sebagaimana telah diciptakan oleh Tuhan dapat ditemukan melalui 

potensi yang telah Ia berikan kepada kita diantaranya akal, dan indera. Kedua anugerah ini 

memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda, sehingga dalam perolehan ilmunya pun 

menjadi berbeda. Akan tetapi dalam epistimologi Islam, kedua anugerah tersebut idealnya 

dikaitkan secara konsisten agar kebenaran ilmu menjadi lebih kuat. Selain dari kedua potensi 

tersebut, manusia juga dibekali petunjuk dan pedoman hidup oleh Tuhan yang disampaikan

melalui para nabi dan rasul yang diutus-Nya yang disebut dengan wahyu.

Pada tahap penerapannya, banyak dari para filsuf Islam telah mengkonsepkan potensi￾potensi epistimologinya secara menyeluruh. Seperti al-Ghazali, yang menyatakan potensi untuk memperoleh pengetahuan ada tiga, yaitu melalui panca indera, akal, dan wahyu (intuisi). 

Akan tetapi dalam hal ini al-Ghazali lebih menekankan kepada intuisi dalam menangkap 

pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu kebenaran yang diberikan kepada 

para nabi dalam bentuk wahyu.1 Berkaitan dengan hal ini, maka dalam artikel ini penulis 

berupaya untuk mengetahui lebih lanjut tentang sumber dan dasar filsafat Islam yang terdiri 

dari wahyu, akal, dan indera.

Ciri Khas Filsafat Islam 

Filsafat Islam mengkaji prolematika Tuhan, alam dan manusia berlandaskan al-Qur’an 

dan Hadis. Filsafat Islam membahas detail tiga objek tersebut dan tidak mengabaikan kajian 

filosofis sebelumnya, baik dari Timur ataupun Barat. Berikut ciri khas filsafat Islam:

1) Sebagai Filsafat Religius-Spiritual 

Kajian filsafat Islam tidak terlepas dari nilai-nilai agama. Dikatakan filsafat 

religius karena filsafat Islam tumbuh di jantung Islam, para pemikirnya pun kental 

dengan ajaran-ajaran Islam.

Pembahasan tokoh-tokoh filsafat Islam tentang Tuhan mempunyai tujuan yang 

sama yakni mengungkap ke-esa-an Tuhan. Seolah-olah filsafat Islam menyaingi aliran￾aliran kalamiah yang terdiri atas Mu’tazilah dan Asy’ariyah, kemudian mengoreksi 

kekurangannya untuk dibetulkan dan konsentrasi menggambarkan Allah Yang Maha 

Agung dalam pola yang berlandasakan tajrid (pengabstrakan), tanzih (penyucian) 

keesaan mutlak dan kesempurnaan total.2 Sejalan dengan Ghazali dalam Marzuki yang 

menyebutkan:

ان الموجود إما أن يكون واجب الوجود أو ممكن الموجود. وممكن الموجود البد أن يتعلق 

بغيره وجودا ودواما. والعالم بامره ممكن الوجود، فيتعلق بواجب الوجود. ان تعلق الكائنات 

باهلل تعالى يختلف عن تعلق الكائنات بعضها ببعضها األخر. فالعالقة بين الكائنات عالقة 

متبادلة، بمعنى أن كل واحد منها يكون علة ومعلوال. فاألب علة لإلبن، لكن االبن أيضا علة 

3 في كون األب أبا وهكذا.. أما هللا تعالى فال تتعلق به الكائنات على هذا الوجه. 

Jiwa tidak mampu menyingkap realitas-realitas Universal kecuali dengan 

bantuan langit dan alam atas. Dengan kata lain, jika meminjam istilah al-Farabi dan 

Ibnu Sina, kecuali dengan bantuan akal aktif.4 Demikian halnya dengan jiwa manusia, 

yang tidak dapat tenang dan tentram tanpa campur tangan Tuhan. Jiwa, akal, hati dan ruh merupakan elemen penting manusia yang tidak luput 

dari pembahasan filosof muslim. Kesemuanya merupakan satu kesatuan unsur jasmani 

dan rohani manusia yang saling berhubungan namun ketiganya memiliki karakter yang 

berbeda. Ibnu Maskawaih menjelaskan: 

النفس ليست جسما وال جزءا من جسم وال عرضا. فإن النفس إذا علمت ان حس صدق أو

كذب فليست تأخذ هذا العلم من الحس. 

Penjelasan Ibnu Maskawaih di atas merupakan kutipan petunjuk dari firman 

Allah:

َها َال تَۡعَمى

 ر ِنَّ

َص فَإ َٰ

ۡب

ۡألَ

ٱ ِكن تَ

َٰ

ۡع و ب َو َمى لَ

 

ل

ق 

ٱل تِي ۡ

ٱل ُّصد و ِر ٤٦ ٱل فِي َّ

Artinya:“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, 

ialah hati yang di dalam dada.”5

Rupanya filsafat Islam telah mendekati sistem logika, filsafat dan teologi 

(filsafat skolastik) yang sejalan dengan filsafat barat dan kontemporer. Bahkan Bacon 

(1294) dalam Madkour menyatakan babhwa ia mengagumi teori khilafah dan imamah 

Islam, sehingga ia ingin menerapkan gelar Khalifah Allah fi ardihi kepada Paus.6

Pernyataan singkat di atas cukup membuktikan bahwa filsafat Islam bercirikan 

filsafat religius-spiritual. Hasil pikir para filosof bersandar atau berasas pada al-Qur’an 

sebagai kitab suci umat Islam. Pengakuan bahwa terdapat kekuatan yang Maha Besar 

dan Maha Sempurna yang menjadi pusat segala sesuatu yang ada. 

2) Filsafat Rasional 

Selain sebagai filsafat religius-spiritual, filsafat Islam juga bertumpu pada akal 

pikiran dalam menyelesaikan persoalan objek filsafat yakni Tuhan, manusia dan alam. 

Allah sebagai wajib-wujud adalah akal murni. Menurut al-Farabi dalam Madkour, Ia 

adalah subjek yang berpikir sekaligus obyek pemikiran.7 Tuhan sebagai subjek pertama 

yang memiliki kekuatan untuk mengeluarkan apa yang dipikirkan. 

Sebagai objek yang dipikirkanNya, manusia pun diberikan akal untuk 

memikirkan segala sesuatu yang ada, melahirkan rasa keingintahuannya akan sesuatu, 

hingga menghasilkan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan tidak semua ilmu 

pengetahuan telah tertulis rinci dalam wahyu. Terdapat ilmu-ilmu yang telah ditentukan 

kebenarannya oleh Allah serta terdapat ilmu-ilmu yang harus dicari sendiri oleh 

manusia. Dalam bidang kedua ini seperti ilmu kimia, biologi, logika dan sebagainya. 

Dengan akal pikiran manusia dapat mengungkap ilmu pengetahuan tersebut, wahyu 

hanya memberikan pancingan berupa simbol-simbol. 

Ar-Razi adalah orang yang mengunggulkan rasio sebagai anugerah terbaik dari 

Tuhan. Dengan rasio manusia mampu mengetahui yang baik dan buruk, berguna dan 

tidak berguna. Dengan rasio pula manusia mampu mengenal Tuhan dan mengatur 

hidupnya secara baik. Tidak sepatutnya meremehkan, melecehkan bahkan membatasi, 

mengendalikan atau memerintahkannya, justru rasiolah yang membatasi, yang 

mengendalikan dan memerintah. Kita harus bertindak sesuai perintahnya dan 

senantiasa merujuk padanya dalam segala hal.8

 Dalam Khudori, al-Razi 

mengungkapkan bahwa ia memposisikan wahyu di bawah kekuatan dan kendali rasio.


Bagaimanapun, rasio dalam filsafat Islam digunakan untuk mendapatkan 

kebenaran dalam memikirkan objek kajian filsafat. Adapun posisinya berada di bawah 

wahyu, sebagai kebenaran tunggal dari Sang Pencipta rasio itu sendiri.

B. Sumber Filsafat Islam 

1) Wahyu 

Ilmu pengetahuan Islam menempatkan wahyu Tuhan di tempat tertinggi, 

bahkan rasio berada di bawahnya. Wahyu merupakan sumber dari segala sumber 

sehingga ia ditempatkan pada posisi tertinggi. Kebenaran mutlak wahyu Tuhan 

merpakan status abadi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan.10 Hal ini 

memberikan konsekuensi bahwa menurut pandangan Islam indera dan akal harus 

tunduk kepada petunjuk wahyu. 

Islam memandang bahwa kecerdasan manusia tidak sebanding dengan petunjuk 

wahyu yang berasal dari sisi Tuhan. Akan tetapi dalam hal ini Islam tidak berarti 

meremehkan atau tidak menghormati keberadaan pikiran manusia sebagai karunia dari 

Allah swt. Terdapat hubungan sifat dalam pandangan yang harus kita terima 

kenyataannya meskipun masih banyak sekali kontroversi yang rumit:

a. Wahyu Tuhan diterima jika akal menunjukkan pada keyaninan yang benar. 

b. Wahyu Tuhan berupa pembicaraan eksternal yang dibungkus ke dalam makna 

sehingga masuk dalam perasaan dan pendengaran pembaca sebelum mereka 

percaya dan mengimani. 

c. Wahyu memberikan petunjuk dan arahan yang benar menurut Tuhan tentang 

alam dan manusia, manusia dengan akalnya pun berusaha mencari petunjuk 

tersebut.


 

Berbeda dengan filsafat barat, filsafat Islam menempatkan wahyu sebagai 

tempat tertinggi sekaligus arah tujuan berpikir filsafat. Menurut Ibnu Maskawaih dalam 

Khudori, bahwa melalui wahyu Nabi mencapai kebenaran puncak sedangkan filosof 

mencapai kebenarana puncaknya melalui berpikir, bernalar dan merenung.

12

Para filosof muslim menempatkan wahyu sebagai sumber filsafat Islam dan 

dalil yang logis, lebih-lebih dalam kajian metafisika yang tidak dapat dijangkau oleh 

pengetahuan inderawi. Domain metafisik dan domain eskatologis lebih tepat jika dikaji 

dengan menggunakan pendekatan iman, karena ia merupakan kaharusan metafisik 

(metaphysic necesity)

13. Dalam hal ini para filosof muslim sangat berpegang teguh 

kepada wahyu sebagai kebenaran tertinggi.

Jika kepada hal-hal metafisika para filosof muslim bertumpu kepada al-Qur’an, 

maka demikian halnya dengan hal-hal fisik seperti manusia dan alam maka mereka pun 

berpedoman kepada al-Qur’an. 

Menurut al-Farabi, wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi bersumber 

pada intelek aktif yaitu Allah. Seorang filosof dapat mampu mencapai intelek perolehan 

(al-‘aql al-mustafid) melalui proses intelektual dan latihan sungguh-sungguh. 

Pengetahuan hasil dari bernalar mereka dapatkan dari pertemuannya dengan intelek 

aktif, yang sama-sama menjadi sumber wahyu kenabian. Dalam hal ini, baik secara 

sebstansi dan materi, hasil renungan filosofis tidak berbeda dengan wahyu.

Meskipun hasil renungan filosofis tersebut tidak berbeda dengan wahyu, namun 

keduanya tetap sesuatu yang tidak dapat disamakan. Filosof melibatkan akal dan peran 

otak untuk memperoleh suatu kebenaran relatif. Sedangkan Nabi tidak hanya 

melibatkan intelek saja melainkan juga daya-daya kognitif lainnya. Proses penerimaan 

wahyu yang terjadi antara malaikat dan Nabi merupakan suatu pengalaman spiritual 

yang melebihi proses berpikir filosof. Nabi menerima wahyu tanpa tabir, terjadi 

‘komunikasi’ secara langsung antara keduanya. Dalam komunikasi tersebut Jibril 

menyentuh langsung pikiran Nabi dan ini tidak dapat dilakukan manusia biasa yang 

masih menggunakan suara atau isyarat dalam menyampaikan pesan. Selanjutnya, Nabi 

tidak melalui pelatihan-pelatihan khusus yang melibatkan indera internal atau eksternal 

untuk mempersiapkan penerimaan wahyu. Sedangkan filosof, ahrus menjalani latihan￾latihan intelektual dan moral sebelum mencapai titik puncak ‘kesempurnaan’, hal ini 

untuk mensucikan jiwa raga demi mencapai intelek perolehan (al-‘aql al-mustafid) 

untuk dapat sampai pada intelek aktif. Demikian sakral proses penerimaan wahyu 

sebagai petunjuk dan sumber berfilsafat dalam Islam. 

Untuk mempertemukan kebenaran wahyu, kini telah banyak kajian dan 

penelitian tentang alam semesta dan manusia yang mana hasil penelitian tersebut sesuai 

dengan petunjuk-petunjuk baik yang tersirat maupun yang tidak tersirat dalam al￾Qur’an. Pernyataan-pertanyaan mendasar dalam filsafat Islam, tentang adanya gunung 

misalnya, telah tercantum di dalam al-Qur’an bahwa ia berfungsi sebagai penyeimbang 

bumi, selain sebagai pasak yang ditancapkan ke dalam perut bumi. Hal-hal demikian 

baru ditemukan oleh peneliti pada akhir-akhir zaman ini. 

Al-Farabi sebagai filosof intuisi, menyatakan bahwa kebenaran intuisi lebih 

unggul dari pada yang diperoleh indera dan rasio.16 Kebenaran yang ditangkap oleh 

indera masih sangat rentan salah. Sebagai contoh kecil, pandangan mata terhadap 

fatamorgana, yang semakin didekati semakin jauh. Sebagaimana yang diungkapkan 

Ibnu Maskawaih, bahwa khathaul hawas meliputi kesalahan dalam jarak jauh, 

kesalahan dalam jarak dekat, kesalahan dalam mendengar dan sebagainya.

Lebih lanjut, rasio pun tidak dapat sepenuhnya menjangkau makna dibalik 

indera, kemampuannya sangat terbatas bahkan diluar kesanggupan akal pikiran 

manusia. menurut Henry dalam Khudori, indera dan rasio berada dalam tahap 

“pengetahuan mengenai” (knowledge about) belum tahap “pengetahuan tentang” 

(knowledge of).


Sedangkan pendekatan terhadap wahyu bertitik tolak dari keyakinan terhadap 

kebenaran wahyu itu sendiri.19 Mencari kebenaran baru sebagai sebuah alternative 

adalah tidak tepat namun dengan memahami terhadap kebenaran mutlak yang 

terkandung dalam wahyu adalah suatu kebenaran. Dengan mengoptimalkan potensi 

nalar manusia, manusia diseru untuk mendapatkan kebenaran yang diharapkan dapat 

mencapai kebenaran mutlak tersebut.

Dengan demikian, al-Qur’an yang berisikan wahyu ilahi sebagai sumber filsafat 

Islam tidak dapat diragukan kebenarannya. Hal ini dikarenakan sifat kandungan al￾qur’an yang tidak terbatas. Ia akan terus melahirkan pemikiran-pemikiran baru bagi 

siapapun yang mempelajarinya dan mengkajinya. Dengan menempatkan wahyu 

sebagai posisi tertinggi sebagai sumber filsafat, membuktikan adanya pengakuan suatu 

energi tak terbatas dan Maha Sempurna yang berada diluar kemampuan manusia.

2) Akal 

Secara bahasa, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab,‘aqala yang 

berarti mengikat dan menahan. Namun, kata akal sebagai kata benda (mashdar) dari 

‘aqala tidak terdapat dalam al-Qur’ân, akan tetapi kata akal sendiri terdapat dalam 

bentuk lain yaitu kata kerja (fi’il mudhari’).21

Kata ‘aqala bermakna mengikat dan menahan. Kata ‘iqal berarti tali yang 

digunakan orang Arab untuk mengikat surban sedangkan i‘taqala sebutan bagi orang 

yang ditahan dalam penjara dan mu‘taqal adalah tempat penjara untuk para tahanan. 22

al-Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki beberapa definisi, diantanya: akal 

merupakan pembeda antara manusia dan hewan, dengan akal manusia dapat memahami 

dan menguasai berbagai pengetahuan. Makna selanjutnya, ilmu pengetahuan yang 

dimiliki manusia akan memengaruhi akhlak/sikapnya. Terakhir, dengan akal dan 

pengetahuannya manusia mampu mengontrol hawa nafsunya. 23

Kesempurnaan dan keistimewaan manusia terdapat pada akalnya, hal ini pula 

yang membedakan manusia dengan makluk lain baik jin dan malaikat. kebahagiaan 

manusia bersumber dari pengelolaan akalnya sehingga melahirkan sikap dan akhlak 

mulia. Sehingga melahirkan perdamaian dan ketentraman. Nikmat besar dari Tuhan ini 

merupakan anugerah yang sangat istimewa, dengannya manusia akan diantarkan pada 

kebahagiaan abadi.

Akal memberikan solusi kehidupan manusia baik bersifat formal maupun tidak. 

Kekholifahan manusia di bumi karena Allah siapkan pula akal baginya. Namun 

demikian tidak semua hal dapat diakses oleh akal, seperti kehidupan setelah kematian, 

alam ghaib, hari kiamat dan sebagainya.

Salah satu kelemahan akal adalah ketidakmampuannya memutuskan kebaikan 

dan keburukan sebelum memahami hakekat sesuatu. Akal akan menilai baik dan buruk 

sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya saja. Adapun petunjuk Allah akan baik dan buruk telah ditentukan untuk kebaikan manusia sebelum akal mampu mengenal 

dan memahaminya.

Bagi Thuufayl, akal dan wahyu merupakan dua hal yang dapat mengantarkan 

manusia pada pengethuan kepada Tuhan. Seseornag dapat sampai kepada Tuhan 

dengan daya akal yang dimilikinya. Selain itu, melalui perantara wahyu seseorang juga 

dapat sampai pada pengethuan Tuhannya. Keduanya adalah dua cara yang tidak 

bertentanga. Baginya kepercayaan kepada Allah merupakan sebuah fitrah yang tidak 

dapat dilawan, apalagi dengan menggunakan akal sehatnya untuk merenung dan 

memikirkkan alam sekitarnya tentu ia akan sampai kepada Tuhan.27 Dalam hal ini, Al￾Kindi mengemukakan bahwa untuk mengetahui adanya Tuhan, sebagaimana kita 

memahami adanya jiwa dengan memerhatikan munculnya gerak dan efek-efek yang 

dapat diamati dari tubuh maka begitu pula dengan Tuhan.28

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat diketahui bahwa akal sebagai 

sumber dan dasar filsafat Islam dapat diarahkan dan digunakan untuk berpikir jernih 

menuju kebenaran, yang sebelumnya telah ditetapkan oleh wahyu. Meskipun posisinya 

berada dibawah wahyu, namun manusia dengan karakternya yang currioussity tidak 

dapat dikungkung untuk kemudian benar-benar tunduk dan patuh terhadap wahyu tanpa 

memikirkan dan melogikakan sesuatu yang abstrak. Rasa ingin tahu tersebut membuat 

manusia berhipotesa dan kemudian dilanjutkan dengan penemuan-penemuan empirik 

dan non empirik sehingga dia dengan sendirinya akan sampai pada Tuhan (kebenaran 

hakiki).

3) Indera 

Indera yang dalam Bahasa Arab disebut dengan Hawas merupakan salah satu 

sumber filsafat Islam yang tidak dapat dihindari. Indera sebagai sarana sekaligus 

sumber filsafat ilmu sangat berperan sebagai penunjang wahyu dan akal. Melalui indera 

sebuah pertanyaan tentang objek kajian filsafat muncul. Kadang kala ia merupakan 

proses awal yang merangsang akal manusia untuk berpikir. Menurut al-Farabi terdapat 

beberapa jenis indera yang ada dalam diri manusia diantaranya: indera eksternal, indera 

internal.

Pertama, Indera Eksternal merupakan bagian-bagian luar indera yang mana 

organnya dapat dilihat dengan kasat mata. Indera eksternal atau yang disebut dengan 

al-hawas al-zhahiriyah terdiri atas lima unsur: penglihatan, penciuman, pendengaran, 

peraba dan pengecap. Demikian hawas mempunyai kesalahan-kesalahan dalam 

memaknai objek yang ditangkap. Sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Maskwaih:

من خطاء وأيضا فإن الحواس تدرك المحسسات )االشياء المادية التي تتكون من مادة و شيئ( فقط،

الحواس في مبادئ افعالها و ترد عليها احكامها. من ذلك ان البصر يخطئ في مايراه من قرب و من 

بعد.29

Karena demikian maka sesuailah dengan pendapat al-Farabi dan Gazali, mereka 

menempatkan indera eksternal pada posisi yang paling rendah di antara indera-indera 

manusia.30 Lebih lanjut al-Farabi menyatakan bahwa pusat indera primer adalah di 

dalam hati.31 Dengan demikian, indera eksternal ini merupakan sebuah modal awal


untuk menangkap dan memaknai segala sesuatu yang bersifat kasar. Untuk selanjutnya 

ditrasfer dan diterjemahkna oleh hati.

Naquib al-Attas, menyatakan bahwa objek pengetahuan bukanlah ada-nya, 

melainkan makna-nya atau makna dari realitas objek.32 Dari pernyataan tersebut dapat 

diketahui bahwa untuk mengetahui makna dari suatu objek tidak cukup diketahui dari 

indera eksternal saja. Penangkapan informasi melalui indera eksternal perlu diproses 

kembali untuk mengetahui suatu makna dari objek yang diamati. Dalam hal ini, 

bersebrangan dengan epistimologi barat yang positivistik, materialistik dan empiris.

Kedua, indera internal disebut juga dengan al-hawas al-bathiniyah. Indera ini 

memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh indera eksternal. Terdapat beberapa 

unsur indera eksternal: daya representasi, daya estimasi, daya memori, daya imajinasi 

rasional, dan daya imajinasi.

Daya representasi adalah kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk objek 

meski objek tersebut sudah tidak lagi berada dalam jangkauan indera. Indera estimasi 

(tawahhum) tidak dapat ditangkap oleh indera eksternal meskipun dapat ditangkap 

melalui indera, seperti perkara indah dan tidak indah. Yang ketiga, daya ingat adalah 

kemampuan untuk menyimpan pesan-pesan yang ditangkap oleh wahm. Daya imajinasi 

adalah kemampuan untuk menyusun atau menggabung satu hal dengan hal lain dengan 

kreatif.

Alkindi menyebutkan untuk mengetahui hakekat segala sesuatu tidak diperoleh 

melalui alat indera, tetapi dapat dilalui dari emanasi Allah SWT. Cara mendapatkannya 

melalui penyucian jiwa dari berbagai noda kehidupan yang materealistik dan syahwat 

duniawi serta menyibukkan dari dengan menganalisis dan meneliti hakekat segala 

sesuatu sehingga siap menerima emanasi pengetahuan dari Sang Pencipta.

Selanjutnya, indera yang digunakan untuk menjadi sumber filsafat Islam adalah 

indera eksternal dan indera internal. Keduanya harus berjalan seimbang, sehingga 

kebenaran nalar tidak terhalangi oleh suatu kekurangan apapun. Sumber filsafat Islam 

melalui indera ini sebagai pengantar/pendukung menuju sumber wahyu dan akal. Jika 

sumber indera kurang atau tidak memberikan dukungannya dengan sempurna maka 

hasil dari kajian filsafat Islam pun menjadi kurang maksimal. 

Penulis berargumen bahwa sumber dan dasar filsafat Islam yang terdiri dari tiga 

komponen tersebut harus menempati posisinya masing-masing karena tiap sumber 

mempunyai karakter yang berbeda. Berikut perbedaan karakter tiga sumber filsafat 

Islam:Akal dan pengalaman empiris menjadikan kegiatan epistemologi maju ke arah 

pemikiran kritis dan radikal sebagai ciri dari filsafat itu sendiri, sementara itu al-Qur’an 

memayungi kegiatan akal dan pengalaman empiris menjadi teduh dengan ciri 

keislaman. Artinya akal bekerja dengan semangat Qur’ani dan bermoralkan garis-garis 

yang jelas dari al-Qur’an. Dialektika akal dan pengalaman empiris dengan al-Qur’an 

memposisikan akal dan pengalaman empiris untuk bekerja memecahkan masalah 

sedangkan al-Qur’an memberikan rambu-rambu moralitas terhadapnya.

Tiga instrumen epistimologi (indera, akal dan wahyu) dapat diilustrasika 

sebagai berikut: wahyu ibarat cahaya/sinar terang, akal ibarat penglihatan, dan 

penggunaan akal35 dan indera untuk berpikir, menalar, merenung dan mengkaji adalah 

an-nazhar yg dianjurkan al-qur’an. An-nazhar sebuah aktivitas intelektual dalam 

sinaran spirit wahyu, adalah alur menyinergikan kebenaran agamawi & kealaman. 

Melalui tiga sumber di atas, tentu saja melahirkan banyak cara berpikir yang 

berbeda-beda. Terdapat yang berangkat dari wahyu untuk memikirkan manusia dan 

alam, terdapat pula yang berangkat dari manusia dan alam untuk menuju wahyu Tuhan. 

Apapun hasilnya, buah pikir yang bermuara pada wahyu adalah hal penting yang harus 

ditekankan.

Wahyu, akal dan indera merupakan tiga sumber filsafat Islam yang benar. Kebenaran 

wahyu terletak pada hakekatnya yang datang dari Sang Pencita fisafat Islam itu sendiri. 

Kebenarannya tidak dapat digoyangkan dan digeser oleh sumber yang lain. Kebenarannya 

dikatakan mutlak sebagai arah tujuan sumber akal dan indera berpikir. Demikian halnya dengan 

akal. Sebagai pemberian berharga bagi manusia, akal berhak menempati posisi sumber filsafat 

Islam.. Adapun indera, selain sebagai sumber sekaligus sebagai sarana manusia untuk 

berfilsafat. Indera internal dan eksternal yang sempurna akan menambah kevalidan hasil pikir 

terhadap objek filsafat keaagamaan Islam.


Jumat, 03 Januari 2025

wahyu menurut islam

 



Manusia diciptakan dengan bekal potensi berupa akal dan indera yang melekat secara 

fisik dalam dirinya. Tuhan pun menyiapkan pedoman khusus kehidupan manusia guna 

memenuhi kebutuhan dan kepentingannya di dunia dan akhirat. Pedoman ini berupa wahyu 

yang disampaikan kepada para Nabi dan Rasulnya. Akal dan indera yang dimiliki manusia ini 

mendorongnya untuk senantiasa mendapatkan berbagai informasi hingga ilmu pengetahuan. 

Untuk mencapai kebenaran berpikir manusia tidak dapat mengandalkan kemampuan akal dan 

inderanya karena ada  hal-hal di luar nalar manusia yang tidak dapat ditembus oleh 

keduanya. Sehingga manusia membutuhkan petunjuk berupa pedoman wahyu. Dengan tidak 

mengenyampingkan kedua potensi anugerah ini , penulis akan membahas kebenaran 

wahyu, akal dan indera menjadi sumber filsafat Islam. 


Keberadaan ilmu sebagaimana telah diciptakan oleh Tuhan dapat ditemukan melalui 

potensi yang telah Ia berikan kepada kita diantaranya akal, dan indera. Kedua anugerah ini 

memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda, sehingga dalam perolehan ilmunya pun 

menjadi berbeda. Akan tetapi dalam epistimologi Islam, kedua anugerah ini  idealnya 

dikaitkan secara konsisten agar kebenaran ilmu menjadi lebih kuat. Selain dari kedua potensi 

ini , manusia juga dibekali petunjuk dan pedoman hidup oleh Tuhan yang disampaikan 

melalui para nabi dan rasul yang diutus-Nya yang disebut dengan wahyu. 

Pada tahap penerapannya, banyak dari para filsuf Islam telah mengkonsepkan potensi-

potensi epistimologinya secara menyeluruh. Seperti al-Ghazali, yang menyatakan potensi 

untuk memperoleh pengetahuan ada tiga, yaitu melalui panca indera, akal, dan wahyu (intuisi). 

Akan tetapi dalam hal ini al-Ghazali lebih menekankan kepada intuisi dalam menangkap 

pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu kebenaran yang diberikan kepada 

para nabi dalam bentuk wahyu.1 Berkaitan dengan hal ini, maka dalam artikel ini penulis 

berupaya untuk mengetahui lebih lanjut tentang sumber dan dasar filsafat Islam yang terdiri 

dari wahyu, akal, dan indera.  

 

A. Ciri Khas Filsafat Islam  

Filsafat Islam mengkaji prolematika Tuhan, alam dan manusia berlandaskan al-Qur’an 

dan Hadis. Filsafat Islam membahas detail tiga objek ini  dan tidak mengabaikan kajian 

filosofis sebelumnya, baik dari Timur ataupun Barat. Berikut ciri khas filsafat Islam: 

1) Sebagai Filsafat Religius-Spiritual  

Kajian filsafat Islam tidak terlepas dari nilai-nilai agama. Dikatakan filsafat 

religius karena filsafat Islam tumbuh di jantung Islam, para pemikirnya pun kental 

dengan ajaran-ajaran Islam. 

Pembahasan tokoh-tokoh filsafat Islam tentang Tuhan mempunyai tujuan yang 

sama yakni mengungkap ke-esa-an Tuhan. Seolah-olah filsafat Islam menyaingi aliran-

aliran kalamiah yang terdiri atas Mu’tazilah dan Asy’ariyah, kemudian mengoreksi 

kekurangannya untuk dibetulkan dan konsentrasi menggambarkan Allah Yang Maha 

Agung dalam pola yang berlandasakan tajrid (pengabstrakan), tanzih (penyucian) 

keesaan mutlak dan kesempurnaan total.2 Sejalan dengan Ghazali dalam Marzuki yang 

menyebutkan: 

نكممو .دوجوملا نكمم وأ دوجولا بجاو نوكي نأ امإ دوجوملا نا دوجوملا  قلعتي نأ دبلا

 هريغبنكمم هرماب ملاعلاو .اماودو ادوجو قلعتيف ،دوجولا  تانئاكلا قلعت نا .دوجولا بجاوب

 ةقلاع تانئاكلا نيب ةقلاعلاف .رخلأا اهضعبب اهضعب تانئاكلا قلعت نع فلتخي ىلاعت للهاب

لك نأ ىنعمب ،ةلدابتم   ةلع اضيأ نبلاا نكل ،نبلإل ةلع بلأاف .لاولعمو ةلع نوكي اهنم دحاو

ا نوك يف .هجولا اذه ىلع تانئاكلا هب قلعتت لاف ىلاعت الله امأ ..اذكهو ابأ بلأ3  

Jiwa tidak mampu menyingkap realitas-realitas Universal kecuali dengan 

bantuan langit dan alam atas. Dengan kata lain, jika meminjam istilah al-Farabi dan 

Ibnu Sina, kecuali dengan bantuan akal aktif.4 Demikian halnya dengan jiwa manusia, 

yang tidak dapat tenang dan tentram tanpa campur tangan Tuhan.  

                                                          

Jiwa, akal, hati dan ruh merupakan elemen penting manusia yang tidak luput 

dari pembahasan filosof muslim. Kesemuanya  merupakan satu kesatuan unsur jasmani 

dan rohani manusia yang saling berhubungan namun ketiganya memiliki karakter yang 

berbeda. Ibnu Maskawaih menjelaskan:  

لاو امسج تسيل سفنلا سح نا تملع اذإ سفنلا نإف .اضرع لاو مسج نم اءزج وأ قدص 

 ملعلا اذه ذخأت تسيلف بذك .سحلا نم 

Penjelasan Ibnu Maskawaih di atas merupakan kutipan petunjuk dari firman 

Allah: 

 ىمَعَۡت لَا اهََّنِإَف  ر َٰصَبَۡلۡأٱ  َت نكِ ََٰلوَ ىمَعۡ  بو ل قلۡٱ يِتَّلٱ  يِف ِرو دُّصلٱ ٤٦  

Artinya:“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, 

ialah hati yang di dalam dada.”

 

Rupanya filsafat Islam telah mendekati sistem logika, filsafat dan teologi 

(filsafat skolastik) yang sejalan dengan filsafat barat dan kontemporer. Bahkan  Bacon 

(1294) dalam Madkour menyatakan babhwa ia mengagumi teori khilafah dan imamah 

Islam, sehingga ia ingin menerapkan gelar Khalifah Allah fi ardihi kepada Paus.6 

Pernyataan singkat di atas cukup membuktikan bahwa filsafat Islam bercirikan 

filsafat religius-spiritual. Hasil pikir para filosof bersandar atau berasas pada al-Qur’an 

sebagai kitab suci umat Islam. Pengakuan bahwa ada  kekuatan yang Maha Besar 

dan Maha Sempurna yang menjadi pusat segala sesuatu yang ada.  

 

2) Filsafat Rasional  

Selain sebagai filsafat religius-spiritual, filsafat Islam juga bertumpu pada akal 

pikiran dalam menyelesaikan persoalan objek filsafat yakni Tuhan, manusia dan alam. 

Allah sebagai wajib-wujud yaitu  akal murni. Menurut al-Farabi dalam Madkour, Ia 

yaitu  subjek yang berpikir sekaligus obyek pemikiran.7 Tuhan sebagai subjek pertama 

yang memiliki kekuatan untuk mengeluarkan  apa yang dipikirkan.  

Sebagai objek yang dipikirkanNya, manusia pun diberikan akal untuk 

memikirkan segala sesuatu yang ada, melahirkan rasa keingintahuannya akan sesuatu, 

hingga menghasilkan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan tidak semua ilmu 

pengetahuan telah tertulis rinci dalam wahyu. ada  ilmu-ilmu yang telah ditentukan 

kebenarannya oleh Allah serta ada  ilmu-ilmu yang harus dicari sendiri oleh 

manusia. Dalam bidang kedua ini seperti ilmu kimia, biologi, logika dan sebagainya. 

Dengan akal pikiran manusia dapat mengungkap ilmu pengetahuan ini , wahyu 

hanya memberikan pancingan berupa simbol-simbol.  

Ar-Razi yaitu  orang yang mengunggulkan rasio sebagai anugerah terbaik dari 

Tuhan. Dengan rasio manusia mampu mengetahui yang baik dan buruk, berguna dan 

tidak berguna. Dengan rasio pula manusia mampu mengenal Tuhan dan mengatur 

hidupnya secara baik. Tidak sepatutnya meremehkan, melecehkan bahkan membatasi, 

mengendalikan atau memerintahkannya, justru rasiolah yang membatasi, yang 

mengendalikan dan memerintah. Kita harus bertindak sesuai perintahnya dan 

senantiasa merujuk padanya dalam segala hal.8  Dalam Khudori, al-Razi 

mengungkapkan bahwa ia memposisikan wahyu di bawah kekuatan dan kendali rasio.

Bagaimanapun, rasio dalam filsafat Islam digunakan untuk mendapatkan 

kebenaran dalam memikirkan objek kajian filsafat. Adapun posisinya berada di bawah 

wahyu, sebagai kebenaran tunggal dari Sang Pencipta rasio itu sendiri. 

 

 

B. Sumber Filsafat Islam  

1) Wahyu  

Ilmu pengetahuan Islam menempatkan wahyu Tuhan di tempat tertinggi, 

bahkan rasio berada di bawahnya. Wahyu merupakan sumber dari segala sumber 

sehingga ia ditempatkan pada posisi tertinggi. Kebenaran mutlak wahyu Tuhan 

merpakan status abadi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan.10 Hal ini 

memberikan konsekuensi bahwa menurut pandangan Islam indera dan akal harus 

tunduk kepada petunjuk wahyu.  

Islam memandang bahwa kecerdasan manusia tidak sebanding dengan petunjuk 

wahyu yang berasal dari sisi Tuhan. Akan tetapi dalam hal ini Islam tidak berarti 

meremehkan atau tidak menghormati keberadaan pikiran manusia sebagai karunia dari 

Allah swt. ada  hubungan sifat dalam pandangan yang harus kita terima 

kenyataannya meskipun masih banyak sekali kontroversi yang rumit: 

a. Wahyu Tuhan diterima jika akal menunjukkan pada keyaninan yang benar.  

b. Wahyu Tuhan berupa pembicaraan eksternal yang dibungkus ke dalam makna 

sehingga masuk dalam perasaan dan pendengaran pembaca sebelum mereka 

percaya dan mengimani.   

c. Wahyu memberikan petunjuk dan arahan yang benar menurut Tuhan tentang 

alam dan manusia, manusia dengan akalnya pun berusaha mencari petunjuk 

ini .

 

Berbeda dengan filsafat barat, filsafat Islam menempatkan wahyu sebagai 

tempat tertinggi sekaligus arah tujuan berpikir filsafat. Menurut Ibnu Maskawaih dalam 

Khudori, bahwa melalui wahyu Nabi mencapai kebenaran puncak sedang   filosof 

mencapai kebenarana puncaknya melalui berpikir, bernalar dan merenung.12 

Para filosof muslim menempatkan wahyu sebagai sumber filsafat Islam dan 

dalil yang logis, lebih-lebih dalam kajian metafisika yang tidak dapat dijangkau oleh 

pengetahuan inderawi. Domain metafisik dan domain eskatologis lebih tepat jika dikaji 

dengan menggunakan pendekatan iman, karena ia merupakan kaharusan metafisik 

(metaphysic necesity)13. Dalam hal ini para filosof muslim sangat berpegang teguh 

kepada wahyu sebagai kebenaran tertinggi. 

هللإا يف يأ يقيزيفاتسملا مهثحب يف ملاسلإا ةفسلاف دمتعإ دقوي ءاج ام ىلع تا

 ىلع لاثم برضتلو ناهربلاو سايقلاب يا ةيلقعلا ةجاحلاب امعدم ةنسلاو باتكلا

للادتسإ ادحو ىلع ليلدك نارقلاب ةفسلافلا ىلإ ةفسلافلا لك لدتسإ دقف .الله ةين

 دحأ الله وه لق :ىلاعت هلوقو .وه لاإ هلإ لا رخأ اهلإ الله عم عدت لاو :ىلاعت هلوق

.ةيقطنملا ةيلقعلا ةلدأب ةلدلأا هذه نودكؤي اوناكو...14 

                                                          


 

Jika kepada hal-hal metafisika para filosof muslim bertumpu kepada al-Qur’an, 

maka demikian halnya dengan hal-hal fisik seperti manusia dan alam maka mereka pun 

berpedoman kepada al-Qur’an.  

Menurut al-Farabi, wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi bersumber 

pada intelek aktif yaitu Allah. Seorang filosof dapat mampu mencapai intelek perolehan 

(al-‘aql al-mustafid) melalui proses intelektual dan latihan sungguh-sungguh. 

Pengetahuan hasil dari bernalar mereka dapatkan dari pertemuannya dengan intelek 

aktif, yang sama-sama menjadi sumber wahyu kenabian. Dalam hal ini, baik secara 

sebstansi dan materi, hasil renungan filosofis tidak berbeda dengan wahyu.

Meskipun hasil renungan filosofis ini  tidak berbeda dengan wahyu, namun 

keduanya tetap sesuatu yang tidak dapat disamakan. Filosof melibatkan akal dan peran 

otak untuk memperoleh suatu kebenaran relatif. sedang   Nabi tidak hanya 

melibatkan intelek saja melainkan juga daya-daya kognitif lainnya. Proses penerimaan 

wahyu yang terjadi antara malaikat dan Nabi merupakan suatu pengalaman spiritual 

yang melebihi proses berpikir filosof. Nabi menerima wahyu tanpa tabir, terjadi 

‘komunikasi’ secara langsung antara keduanya. Dalam komunikasi ini  Jibril 

menyentuh langsung pikiran Nabi dan ini tidak dapat dilakukan manusia biasa yang 

masih menggunakan suara atau isyarat dalam menyampaikan pesan. Selanjutnya, Nabi 

tidak melalui pelatihan-pelatihan khusus yang melibatkan indera internal atau eksternal 

untuk mempersiapkan penerimaan wahyu. sedang   filosof, ahrus menjalani latihan-

latihan intelektual dan moral sebelum mencapai titik puncak ‘kesempurnaan’, hal ini 

untuk mensucikan jiwa raga demi mencapai intelek perolehan (al-‘aql al-mustafid) 

untuk dapat sampai pada intelek aktif.  Demikian sakral proses penerimaan wahyu 

sebagai petunjuk dan sumber berfilsafat dalam Islam.  

Untuk mempertemukan kebenaran wahyu, kini telah banyak kajian dan 

penelitian tentang alam semesta dan manusia yang mana hasil penelitian ini  sesuai 

dengan petunjuk-petunjuk baik yang tersirat maupun yang tidak tersirat dalam al-

Qur’an. Pernyataan-pertanyaan mendasar dalam filsafat Islam, tentang adanya gunung 

misalnya, telah tercantum di dalam al-Qur’an bahwa ia berfungsi sebagai penyeimbang 

bumi, selain sebagai pasak yang ditancapkan ke dalam perut bumi. Hal-hal demikian 

baru ditemukan oleh peneliti pada akhir-akhir zaman ini.  

Al-Farabi sebagai filosof intuisi, menyatakan bahwa kebenaran intuisi lebih 

unggul dari pada yang diperoleh indera dan rasio.16 Kebenaran yang ditangkap oleh 

indera masih sangat rentan salah. Sebagai contoh kecil, pandangan mata terhadap 

fatamorgana, yang semakin didekati semakin jauh. Sebagaimana yang diungkapkan 

Ibnu Maskawaih, bahwa khathaul hawas meliputi kesalahan dalam jarak jauh, 

kesalahan dalam jarak dekat, kesalahan dalam mendengar dan sebagainya.

Lebih lanjut, rasio pun tidak dapat sepenuhnya menjangkau makna dibalik 

indera, kemampuannya sangat terbatas bahkan diluar kesanggupan akal pikiran 

manusia. menurut Henry dalam Khudori, indera dan rasio berada dalam tahap 

“pengetahuan mengenai” (knowledge about) belum tahap “pengetahuan tentang” 

(knowledge of).

sedang   pendekatan terhadap wahyu bertitik tolak dari keyakinan terhadap 

kebenaran wahyu itu sendiri.19 Mencari kebenaran baru sebagai sebuah alternative 

yaitu  tidak tepat namun dengan memahami terhadap kebenaran mutlak yang 

terkandung dalam wahyu yaitu  suatu kebenaran. Dengan mengoptimalkan potensi 

nalar manusia, manusia diseru untuk mendapatkan kebenaran yang diharapkan dapat 

mencapai kebenaran mutlak ini ,

Dengan demikian, al-Qur’an yang berisikan wahyu ilahi sebagai sumber filsafat 

Islam tidak dapat diragukan kebenarannya. Hal ini dikarenakan sifat kandungan al-

qur’an yang tidak terbatas. Ia akan terus melahirkan pemikiran-pemikiran baru bagi 

siapapun yang mempelajarinya dan mengkajinya. Dengan menempatkan wahyu 

sebagai posisi tertinggi sebagai sumber filsafat, membuktikan adanya pengakuan suatu 

energi tak terbatas dan  Maha Sempurna yang berada diluar kemampuan manusia. 

 

2) Akal  

Secara bahasa, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab,‘aqala yang 

berarti mengikat dan menahan. Namun, kata akal sebagai kata benda (mashdar) dari 

‘aqala tidak ada  dalam al-Qur’ân, akan tetapi kata akal sendiri ada  dalam 

bentuk lain yaitu kata kerja (fi’il mudhari’).

Kata ‘aqala bermakna mengikat dan menahan. Kata ‘iqal berarti tali yang 

digunakan orang Arab untuk mengikat surban sedang   i‘taqala sebutan bagi orang 

yang ditahan dalam penjara dan mu‘taqal yaitu  tempat penjara untuk para tahanan. 

al-Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki beberapa definisi, diantanya: akal 

merupakan pembeda antara manusia dan hewan, dengan akal manusia dapat memahami 

dan menguasai berbagai pengetahuan. Makna selanjutnya, ilmu pengetahuan yang 

dimiliki manusia akan memengaruhi akhlak/sikapnya. Terakhir, dengan akal dan 

pengetahuannya manusia mampu mengontrol hawa nafsunya. 23 

Kesempurnaan dan keistimewaan manusia ada  pada akalnya, hal ini pula 

yang membedakan manusia dengan makluk lain baik jin dan malaikat. kebahagiaan 

manusia bersumber dari pengelolaan akalnya sehingga melahirkan sikap dan akhlak 

mulia. Sehingga melahirkan perdamaian dan ketentraman. Nikmat besar dari Tuhan ini 

merupakan anugerah yang sangat istimewa, dengannya manusia akan diantarkan pada 

kebahagiaan abadi.

Akal memberikan solusi kehidupan manusia baik bersifat formal maupun tidak. 

Kekholifahan manusia di bumi karena Allah siapkan pula akal baginya. Namun 

demikian tidak semua hal dapat diakses oleh akal, seperti kehidupan setelah kematian, 

alam ghaib, hari kiamat dan sebagainya.

Salah satu kelemahan akal yaitu  ketidakmampuannya memutuskan kebaikan 

dan keburukan sebelum memahami hakekat sesuatu. Akal akan menilai baik dan buruk 

sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya saja. Adapun petunjuk Allah akan baik 

                                                          

dan buruk telah ditentukan untuk kebaikan manusia sebelum akal mampu mengenal 

dan memahaminya.

Bagi Thuufayl, akal dan wahyu merupakan dua hal yang dapat mengantarkan 

manusia pada pengethuan kepada Tuhan. Seseornag dapat sampai kepada Tuhan 

dengan daya akal yang dimilikinya. Selain itu, melalui perantara wahyu seseorang juga 

dapat sampai pada pengethuan Tuhannya. Keduanya yaitu  dua cara yang tidak 

bertentanga. Baginya kepercayaan kepada Allah merupakan sebuah fitrah yang tidak 

dapat dilawan, apalagi dengan menggunakan akal sehatnya untuk merenung dan 

memikirkkan alam sekitarnya tentu ia akan sampai kepada Tuhan.27 Dalam hal ini, Al-

Kindi mengemukakan bahwa untuk mengetahui adanya Tuhan, sebagaimana kita 

memahami adanya jiwa dengan memerhatikan munculnya gerak dan efek-efek yang 

dapat diamati dari tubuh maka begitu pula dengan Tuhan.28  

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat diketahui bahwa akal sebagai 

sumber dan dasar filsafat Islam dapat diarahkan dan digunakan untuk berpikir jernih 

menuju kebenaran, yang sebelumnya telah ditetapkan oleh wahyu. Meskipun posisinya 

berada dibawah wahyu, namun manusia dengan karakternya yang currioussity tidak 

dapat dikungkung untuk kemudian benar-benar tunduk dan patuh terhadap wahyu tanpa 

memikirkan dan melogikakan sesuatu yang abstrak. Rasa ingin tahu ini  membuat 

manusia berhipotesa dan kemudian dilanjutkan dengan penemuan-penemuan empirik 

dan non empirik sehingga dia dengan sendirinya akan sampai pada Tuhan (kebenaran 

hakiki). 

 

3) Indera  

Indera yang dalam Bahasa Arab disebut dengan Hawas merupakan salah satu 

sumber filsafat Islam yang tidak dapat dihindari. Indera sebagai sarana sekaligus 

sumber filsafat ilmu sangat berperan sebagai penunjang wahyu dan akal. Melalui indera 

sebuah pertanyaan tentang objek kajian filsafat muncul. Kadang kala ia merupakan 

proses awal yang merangsang akal manusia untuk berpikir. Menurut al-Farabi ada  

beberapa jenis indera yang ada dalam diri manusia diantaranya: indera eksternal, indera 

internal. 

Pertama, Indera Eksternal merupakan bagian-bagian luar indera yang mana 

organnya dapat dilihat dengan kasat mata. Indera eksternal atau yang disebut dengan 

al-hawas al-zhahiriyah terdiri atas lima unsur: penglihatan, penciuman, pendengaran, 

peraba dan pengecap. Demikian hawas mempunyai kesalahan-kesalahan dalam 

memaknai objek yang ditangkap. Sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Maskwaih: 

ساوحلا نإف اضيأو ،طقف )ئيش و ةدام نم نوكتت يتلا ةيداملا ءايشلاا( تاسسحملا كردت   ءاطخ نم

 نم و برق نم هاريام يف ئطخي رصبلا نا كلذ نم .اهماكحا اهيلع درت و اهلاعفا ئدابم يف ساوحلا

Karena demikian maka sesuailah dengan pendapat al-Farabi dan Gazali, mereka 

menempatkan indera eksternal pada posisi yang paling rendah di antara indera-indera 

manusia Lebih lanjut al-Farabi menyatakan bahwa pusat indera primer yaitu  di 

dalam hati.Dengan demikian, indera eksternal ini merupakan sebuah modal awal 

                                                          

untuk menangkap dan memaknai segala sesuatu yang bersifat kasar. Untuk selanjutnya 

ditrasfer dan diterjemahkna oleh hati. 

Naquib al-Attas, menyatakan bahwa objek pengetahuan bukanlah ada-nya, 

melainkan makna-nya atau makna dari realitas objek. Dari pernyataan ini  dapat 

diketahui bahwa untuk mengetahui makna dari suatu objek tidak cukup diketahui dari 

indera eksternal saja. Penangkapan informasi melalui indera eksternal perlu diproses 

kembali untuk mengetahui suatu makna dari objek yang diamati. Dalam hal ini, 

bersebrangan dengan epistimologi barat yang positivistik, materialistik dan empiris. 

Kedua, indera internal disebut juga dengan al-hawas al-bathiniyah. Indera ini 

memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh indera eksternal. ada  beberapa 

unsur indera eksternal: daya representasi, daya estimasi, daya memori, daya imajinasi 

rasional, dan daya imajinasi.  

Daya representasi yaitu  kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk objek 

meski objek ini  sudah tidak lagi berada dalam jangkauan indera. Indera estimasi 

(tawahhum) tidak dapat ditangkap oleh indera eksternal meskipun dapat ditangkap 

melalui indera, seperti perkara indah dan tidak indah. Yang ketiga, daya ingat yaitu  

kemampuan untuk menyimpan pesan-pesan yang ditangkap oleh wahm. Daya imajinasi 

yaitu  kemampuan untuk menyusun atau menggabung satu hal dengan hal lain dengan 

kreatif. 

Alkindi menyebutkan untuk mengetahui hakekat segala sesuatu tidak diperoleh 

melalui alat indera, tetapi dapat dilalui dari emanasi Allah SWT. Cara mendapatkannya 

melalui penyucian jiwa dari berbagai noda kehidupan yang materealistik dan syahwat 

duniawi serta menyibukkan dari dengan menganalisis dan meneliti hakekat segala 

sesuatu sehingga siap menerima emanasi pengetahuan dari Sang Pencipta.

Selanjutnya, indera yang digunakan untuk menjadi sumber filsafat Islam yaitu  

indera eksternal dan indera internal. Keduanya harus berjalan seimbang, sehingga 

kebenaran nalar tidak terhalangi oleh suatu kekurangan apapun. Sumber filsafat Islam 

melalui indera ini sebagai pengantar/pendukung menuju sumber wahyu dan akal. Jika 

sumber indera kurang atau tidak memberikan dukungannya dengan sempurna maka 

hasil dari kajian filsafat Islam pun menjadi kurang maksimal.  

Penulis berargumen bahwa sumber dan dasar filsafat Islam yang terdiri dari tiga 

komponen ini  harus menempati posisinya masing-masing karena tiap sumber 

mempunyai karakter yang berbeda. Berikut perbedaan karakter tiga sumber filsafat 

Islam: 


 

Akal dan pengalaman empiris menjadikan kegiatan epistemologi maju ke arah 

pemikiran kritis dan radikal sebagai ciri dari filsafat itu sendiri, sementara itu al-Qur’an 

memayungi kegiatan akal dan pengalaman empiris menjadi teduh dengan ciri 

keislaman. Artinya akal bekerja dengan semangat Qur’ani dan bermoralkan garis-garis 

yang jelas dari al-Qur’an. Dialektika akal dan pengalaman empiris dengan al-Qur’an 

memposisikan akal dan pengalaman empiris untuk bekerja memecahkan masalah 

sedang   al-Qur’an memberikan rambu-rambu moralitas terhadapnya. 

Tiga instrumen epistimologi (indera, akal dan wahyu) dapat diilustrasika 

sebagai berikut: wahyu ibarat cahaya/sinar terang, akal ibarat penglihatan, dan 

penggunaan akal35 dan indera untuk berpikir, menalar, merenung dan mengkaji yaitu  

an-nazhar yg dianjurkan al-qur’an. An-nazhar sebuah aktivitas intelektual dalam 

sinaran spirit wahyu, yaitu  alur menyinergikan kebenaran agamawi & kealaman.  

Melalui tiga sumber di atas, tentu saja melahirkan banyak cara berpikir yang 

berbeda-beda. ada  yang berangkat dari wahyu untuk memikirkan manusia dan 

alam, ada  pula yang berangkat dari manusia dan alam untuk menuju wahyu Tuhan. 

Apapun hasilnya, buah pikir yang bermuara pada wahyu yaitu  hal penting yang harus 

ditekankan. 

SIMPULAN DAN SARAN 

Wahyu, akal dan indera merupakan tiga sumber filsafat Islam yang benar. Kebenaran 

wahyu terletak pada hakekatnya yang datang dari  Sang Pencita fisafat Islam  itu sendiri. 

Kebenarannya tidak dapat digoyangkan dan digeser oleh sumber yang lain. Kebenarannya 

dikatakan mutlak sebagai arah tujuan sumber akal dan indera berpikir. Demikian halnya dengan 

akal. Sebagai pemberian berharga bagi manusia, akal berhak menempati posisi sumber filsafat 

Islam.. Adapun indera, selain sebagai sumber sekaligus sebagai sarana manusia untuk 

berfilsafat. Indera internal dan eksternal yang sempurna akan menambah kevalidan hasil pikir 

terhadap objek filsafat keaagamaan Islam.