ngan kata lain, seperti telah disebutkan, kalam Allah itu
lahir di dalam hati dan pikiran Nabi (26:193 f.; 2:97; 42:24), sebab
itu dapat dikembalikan kepadanya. Jadi, sumber asal proses kreatif
terletak di luar capaian biasa agensi manusia, namun proses itu
timbul sebagai bagian integral dari pikiran Nabi. Jadi, ide dan
kata lahir di dalam – dan dapat dikembalikan kepada – pikiran
Nabi, sementara sumbernya dari Allah. sebab itu, sebagaimana
disimpulkan Fazlur Rahman, al-Quran itu secara keseluruhan
adalah kalãm Allãh dan dalam pengertian biasa juga merupakan
kalãm Muhammad. 60
Penjelasan psikologis ini dapat dirujukkan sumbernya dalam
pemikiran Syah Wali Allah dan Muhammad Iqbal (w. 1938). Wali
Allah, misalnya, beranggapan bahwa kata-kata, ungkapan-ungkapan
dan gaya bahasa al-Quran telah ada dalam alam pikiran
Muhammad sebelum dia diangkat menjadi nabi. 61 Sementara Iqbal
melanjutkan penjelasan psikologis ini dengan menegaskan bahwa
ide dan kata merupakan suatu entitas organik yang lahir dalam
pikiran Nabi secara serempak. namun , sebab asal mula dari
kompleksitas perasaan-ide-kata itu terletak diluar kontrol Nabi dan
merupakan fi’il kreatif, maka ia harus dipandang sebagai wahyu
dari suatu sumber yang berada di luar diri Nabi.
Namun, penjelasan psikologis yang diajukan Iqbal di atas
menimbulkan persoalan baru, yakni: wahyu al-Quran dengan
demikian tidak ada bedanya dengan bentuk-bentuk kognisi
manusia, termasuk mistik. Persoalan ini kemudian ditangani Fazlur
Rahman dalam karya klasiknya, Islam. Kutipan in extenso berikut
menampilkan usaha pembedaan wahyu al-Quran dari berbagai
bentuk pengetahuan kreatif manusia lainnya:
…Elan dasar al-Quran adalah moral, darinya mengalir
penekanan yang tegas terhadap monoteisme maupun keadilan
sosial. Hukum Moral adalah abadi: ia merupakan “Perintah”
Tuhan. Manusia tidak dapat menciptakan atau meniadakan
Hukum Moral itu: ia harus menyerahkan diri kepadanya.
Penyerahan diri ini disebut islãm dan pengejawantahannya
dalam kehidupan disebut ‘ibãdah atau “pengabdian kepada
Tuhan.” Disebabkan penekanan al-Quran yang tegas terhadap
Hukum Moral inilah sehingga Tuhan al-Quran tampak bagi
kebanyakan orang sebagai Tuhan yang maha adil. namun
Hukum Moral dan nilai-nilai spiritual, agar bisa dilaksanakan,
harus diketahui. Adapun dalam hal kekuatan persepsi kognitif,
manusia memiliki perbedaan yang tegas antara satu dengan
lainnya hingga ke taraf yang tidak terbatas. Lebih jauh, persepsi
moral dan keagamaan juga sangat berbeda dari semata-mata
persepsi intelektual, sebab suatu kualitas hakiki dari yang
pertama (yakni persepsi moral dan keagamaan – pen.) adalah
bahwa bersama-sama dengan persepsi ia membawa suatu rasa
“daya tarik” (gravity) yang istimewa dan menjadikan
subyeknya terjelma secara bermakna. Persepsi, juga persepsi
moral, dengan demikian memiliki tingkatan-tingkatan.
Variasinya tidak hanya antara individu-individu yang berbeda,
namun kehidupan batin seorang individu juga bervariasi dari
waktu ke waktu menurut sudut pandang ini….
Nah, nabi adalah seseorang yang keseluruhan karakter,
keseluruhan perilaku aktualnya, rata-rata jauh lebih unggul
ketimbang manusia pada umumnya. Ia merupakan seseorang
yang ab initio tidak sabar terhadap manusia dan bahkan
terhadap sebagian besar ideal mereka, dan berkehendak
menciptakan kembali sejarah. sebab itu, ortodoksi Islam
mengambil kesimpulan yang secara logis adalah benar bahwa
nabi-nabi harus dipandang kebal dari kesalahan-kesalahan yang
serius (doktrin ‘ismah); Muhammad adalah manusia semacam
itu, yang pada faktanya merupakan satu-satunya manusia
seperti itu yang dikenal sejarah…. namun dengan seluruh
keistimewaan ini, ada saat-saat di mana ia – sebagaimana
biasanya – “melampaui dirinya sendiri” dan persepsi moral
kognitifnya menjadi sedemikian akut dan tajam hingga
kesadarannya menjadi identik dengan Hukum Moral itu
sendiri. “Demikianlah, Kami benar-benar memberi ilham
kepadamu dengan suatu Ruh dari Perintah Kami: Kamu tidak
mengetahui apa al-Kitab itu. namun Kami telah jadikan ia suatu
cahaya” (42:52). namun Hukum Moral dan nilai-nilai religius
merupakan Perintah Tuhan, dan meskipun keduanya sama
sekali tidak identik dengan Tuhan, namun keduanya
merupakan bagian dari-Nya. Dengan demikian al-Quran itu
betul-betul murni Ilahi…. saat persepsi moral Muhammad
mencapai titik tertinggi dan menjadi identik dengan Hukum
Moral itu sendiri (sesungguhnya dalam saat-saat semacam ini
perilakunya sendiri berada di bawah kritisisme al-Quran), maka
kata-kata diberikan bersama inspirasi itu sendiri. Dengan
demikian al-Quran adalah murni Kalam Ilahi; namun , tentu
saja, secara berbarengan berhubungan erat dengan kepribadian
Nabi yang kaitannya tidak dapat dibayangkan secara mekanis
seperti sebuah perekam. Kalam Ilahi itu mengalir melalui hati
Nabi.
Penjelasan psikologis tentang pewahyuan al-Quran di atas
mungkin merupakan salah satu penjelasan yang paling dapat
diterima oleh akal pikiran modern. Dalam psikologi analitis atau
psikologi kompleks, yang dirintis Carl Gustav Jung, fenomena
wahyu atau pengalaman kenabian bisa dijelaskan lewat konsep
heuristik tentang bawah sadar. Di sini dipandang bahwa pesan
Ilahi datang kepada Nabi dari bawah sadarnya; dan ini tentunya
sejalan dengan pengalaman Nabi tentang pesan yang datang
kepadanya dari luar dirinya, sebab bawah sadar berada di luar
diri dalam pengertian di luar akal yang sadar. Jadi, konsep heuristik
membuka kemungkinan bahwa Tuhan dapat bekerja melalui bawah
sadar seorang nabi. Lebih jauh, bawah sadar berkait erat dengan
alam sadar dalam pengertian apa yang masuk ke dalam akal pikiran
seseorang dari bawah sadarnya diungkapkan dalam istilah-istilah
pandangan dunianya yang sadar, meski bawah sadar juga akan
terlihat memiliki dinamisme batin yang menjangkau ke depan
yang darinya pemikiran baru bisa muncul. Jika pesan al-Quran
diterima akal sadar Nabi dari bawah sadarnya dalam cara semacam
itu, maka hal ini akan bisa menjelaskan mengapa pesan ilahi itu
diungkapkan dalam istilah-istilah mutakhir di kalangan orang-
orang Makkah dan pandangan dunia Arab saat itu, dan
bagaimana pesan ini mencerminkan inisiatif Ilahi.
Dalam sejarah pemikiran Islam, gagasan tentang hakikat wahyu
yang diterima Nabi – apakah dalam bentuk verbal atau sekedar
ide – merupakan salah satu masalah yang telah menimbulkan
kontroversi akut dan berkepanjangan. Sebagian sarjana Muslim
memandang bahwa wahyu disampaikan hanya dalam bentuk ide
saja, Nabi kemudian mengungkapkan redaksinya dengan kata-
katanya sendiri dalam bahasa Arab. Sebagian sarjana Muslim
lainnya menegaskan bahwa Allah hanya menyampaikan ide kepada
Jibril, lalu Jibril mengungkapkan gagasan wahyu ini ke dalam
bahasa Arab yang selanjutnya disampaikan kepada Nabi. Sementara
mayoritas sarjana Muslim berpendapat bahwa al-Quran itu
diwahyukan dalam bentuk lafadz maupun maknanya.64
Pendapat pertama dan kedua di atas, secara sederhana bisa
dikesampingkan sebab bertentangan dengan gagasan al-Quran
tentang pewahyuan verbal. Sementara pandangan ketiga, hingga
taraf tertentu, sejalan dengan penegasan al-Quran. namun , pada
sisi lain, pendapat ini gagal mengaitkan kepribadian terdalam Nabi
dalam proses pewahyuan. Bahkan, gambaran yang ditampilkannya
tentang hubungan antara Nabi dan wahyu justeru sangat bersifat
mekanis dan eksternal – yakni wahyu datang kepada Nabi melalui
telinga dan agen wahyu itu bersifat eksternal baginya.65 Padahal,
seperti ditunjukkan di atas, al-Quran tampaknya menekankan baik
karakter verbal wahyu itu sendiri maupun hubungan intimnya
dengan kepribadian religius Nabi.
Beberapa petunjuk bisa ditemukan di dalam al-Quran yang
menyiratkan bahwa sebagian besar pengalaman kenabian
Muhammad itu terjadi di malam hari, waktu “yang paling kuat
kesannya dan paling pantas dalam pembicaraan,” dibandingkan
siang hari, saat ia disibukkan dengan berbagai urusan (73:1-7).
berdasar konteks bagian al-Quran ini dan beberapa bagian
lainnya (22:1; 76:26; 17:79; 73:20 97:1 cf. 74:1-7), dapat dipastikan
bahwa sejak awal kenabiannya Muhammad sangat sering bangun
malam untuk bertahajjud, disamping berpuasa – suatu exercise
yang diakui oleh tokoh psikologi J. Mueller mampu meningkatkan
kemampuan rukyah (visionsvermoegen).66 Peristiwa mi‘rãj, yang
merupakan manifestasi pengalaman kenabian Muhammad,
disebutkan al-Quran terjadi pada malam hari (l7:1). Tentu saja,
pengalaman kenabian ini terjadi juga di waktu yang lain, namun
frekuensinya mungkin tidak sebanyak di malam hari. Berbeda
dengan pandangan ini, Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1505) menduga
bahwa bagian terbesar al-Quran diwahyukan di siang hari.67
Sebagaimana nabi-nabi terdahulu, Muhammad juga mesti
menghadapi gangguan setan yang terkadang campur tangan dalam
pewahyuan: “Tidak pernah Kami utus seorang rasul atau nabi
sebelummu (Muhammad) melainkan saat ia berpikir setan
memasukkan sesuatu ke dalam pikirannya” (22:52), namun Allah
selalu menghapuskan apa-apa yang dimasukkan setan itu (22:52;
cf. 2:106; 16:101) dan mengukuhkan ayat-ayat-Nya (22:52 cf. 11:1;
3:7; 47:20). Oleh sebab itu, di beberapa tempat di dalam al-Quran
Nabi diperintahkan untuk mencari perlindungan kepada Allah
dari gangguan setan (7:200; 41:36; 23:97; 17:53; 12: 100; 16:98).
namun , usaha ini terkadang tidak membawa hasil. Kisah termasyhur
tentang ayat-ayat setan yang diakui keabsahannya oleh Muhammad
ibn Jarir al-Thabari (w. 922),68 sekalipun dengan tegas selalu ditolak
mayoritas komentator Muslim, merupakan suatu indikasi akan
campur tangan setan dalam pewahyuan. Kisah ayat-ayat setan itu
sangat cocok dengan konteks kesejarahannya, dan beberapa bagian
al-Quran (misalnya 17:73-76; 6:57 f.; 4:113; 10: 15 f.; dll.) juga
menunjukkan bahwa kejadian semacam itu sangat memungkinkan
ditinjau dari sudut pandang psikologis.
Lebih jauh, bagian-bagian al-Quran lainnya (2:106; 13:39;
16:101; 87:6 f.) juga mengindikasikan bahwa ayat-ayat tertentu
digantikan oleh ayat-ayat lainnya, namun tentu saja hal ini tidaklah
menjustifikasi doktrin nasikh-mansukh yang belakangan
berkembang di kalangan sarjana Muslim. Penggantian-penggantian
semacam ini merefleksikan karakteristik hakiki pewahyuan gradual
al-Quran, dan sebab itu harus dipahami dalam bentangan
pewahyuan kitab suci ini yang secara bertahap
mengungkapkan dirinya dengan mengacu pada kondisi-kondisi
sosio-kultural yang dihadapi Nabi. Lebih jauh, al-Quran
memandang bahwa bukan hal yang aneh jika seorang nabi – sebagai
manusia biasa (3:79; 14:11; 18:110; 41:6; 21:34; dll.) – tidak selalu
konsisten, sebab hanya dengan demikian ia menjadi panutan atau
teladan bagi umat manusia.69
Jadi, dalam gambaran al-Quran, pengalaman kenabian
Muhammad adalah suatu pengalaman yang bersifat spiritual dan
internal, sekalipun dorongan-dorongan ke arah terjadinya
pengalaman ini bisa saja bersifat eksternal. namun , gambaran
semacam ini jarang ditemukan dalam koleksi hadits-hadits. Bahkan,
sebagian besar gambaran hadits yang dipandang sebagai mekanisme
pewahyuan justeru tidak berkaitan dengan wahyu al-Quran.70
Gambaran tentang mekanisme pewahyuan semacam ini bisa
ditemukan dalam koleksi hadits-hadits awal. Menjawab pertanyaan
bagaiamana cara pewahyuan kepadanya, Nabi mengemukakan
bahwa terkadang wahyu datang kepadanya laksana gemerincing
lonceng. Sesudah hal itu berlalu, Nabi memahami wahyu yang
disampaikan kepadanya. Di lain kesempatan, malaikat menjelma
sebagai seorang lelaki tampan dan menyampaikan wahyu secara
lisan kepadanya.71
Belakangan, saat hadits-hadits dalam koleksi lainnya
dimasukkan ke dalam pertimbangan, mekanisme pewahyuan juga
berkembang menjadi beberapa macam. Dalam karyanya, al-Itqãn
fî ‘Ulûm al-Qur’ãn, al-Suyuthi, misalnya, mengemukakan cara-cara
pewahyuan sebagai berikut: (i) wahyu datang laksana gemerincing
lonceng; (ii) wahyu dihunjamkan ke dalam hati Nabi oleh Jibril;
(iii) Jibril menyampaikan wahyu dengan merupakan diri sebagai
manusia; dan (iv) wahyu disampaikan oleh Tuhan secara langsung
(tanpa perantara), baik saat Nabi terjaga – sebagaimana dalam
peristiwa mi‘raj – ataupun dalam impian.72
Sarjana-sarjana Muslim modern, yang mendapat informasi
lebih banyak dari sejarah keagamaan Islam, merekam mekanisme
pewahyuan secara lebih ekstensif dan bervariasi. Hasbi Ash-
Shiddieqy (w. 1975), misalnya, setelah menegaskan bahwa Nabi
telah mengalami seluruh macam tingkatan (martabat) pewahyuan,
kemudian mengutip pandangan yang menjelaskan tujuh martabat
wahyu yang dialami Nabi: (i) mimpi; (ii) wahyu dicampakkan ke
dalam hati Nabi; (iii) wahyu datang kepada Nabi laksana
gemerincing lonceng; (iv) malaikat yang menyampaikan wahyu
menjelmakan dirinya dalam bentuk lelaki tampan (Dihyah ibn
Khalifah); (v) Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk asli;
(vi) Tuhan berbicara kepada Nabi dari balik tabir, baik dalam
keadaan terjaga ataupun dalam impian; dan (vii) sebelum Jibril
menyampaikan wahyu al-Quran, Israfil – atau Mikail, menurut
hadits lainnya – turun membawa beberapa kalimat wahyu. Ash-
Shiddieqy juga menambahkan beberapa keterangan lain – yakni
wahyu Tuhan kepada Nabi saat mi‘raj, firman Tuhan langsung
tanpa perantara kepada Nabi, datangnya wahyu seperti dengungan
lebah – untuk melengkapi ketujuh martabat wahyu ini .73
Gambaran yang dikemukakan ini memang telah cukup lengkap.
namun , kita juga dapat menambahkan, selaras dengan keterangan
Thabari, bahwa saat menyampaikan wahyu jibril pun pernah
menjelma dalam rupa Aisyah (bi-shûrah ‘ã’isyah).74
Terlihat jelas bahwa sebagian besar cara penyampaian wahyu
kepada Nabi yang diberitakan dalam hadits-hadits, pada dasarnya
merupakan bagian dari usaha untuk menjelaskan bagian-bagian
tertentu al-Quran yang bertalian dengan mekanisme pewahyuan.
Sejak masa yang awal, kaum Muslimin terlihat telah berselisih
pendapat tentang masalah apakah Nabi pernah melihat Tuhan
dan menerima langsung – tanpa perantara – wahyu dari-Nya atau
tidak. Aisyah, salah satu istri Nabi, misalnya, dengan tegas
menyangkali kemungkinan semacam itu.75 Sekalipun demikian,
sudut pandang yang mengkonfirmasi kemungkinan Muhammad
melihat Tuhan dan menerima wahyu secara langsung dari-Nya tetap
bertahan di dalam hadits-hadits. Sebagian lagi berusaha
melunakkan sudut pandang terakhir ini dengan menegaskan bahwa
Nabi telah melihat Tuhan dengan hatinya (bi-qalbihi atau
bifu’ãdihi).76 namun , dari sudut pandang al-Quran yang ketat, seperti
telah dikemukakan di atas, kemungkinan ru’yatu-llãh ataupun
pewahyuan langsung dari Tuhan adalah negatif.
Demikian pula, gagasan-gagasan yang dibangun tentang
mekanisme wahyu berdasar beberapa hadits yang
menggambarkan wahyu datang “melalui mata atau telinga”, dapat
dikatakan bertentangan secara diametral dengan gagasan al-Quran
yang menekankan proses pewahyuan internal. Fazlur Rahman
menilai hadits-hadits semacam ini sebagai “fiksi-fiksi belakangan”
dan pada umumnya baru diakui dan diterima jauh belakangan,
atau direkayasa saat ajaran-ajaran dogmatis Islam tengah dalam
proses pembentukan.
Serangkaian gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian
Muhammad, sebagaimana disaksikan sahabat-sahabat-nya, juga
banyak diungkapkan dalam hadits-hadits. Gejala-gejala ini
dapat dikemukakan sebagai berikut: (i) keringat terlihat mengucur
di dahi Nabi saat menerima wahyu, bahkan pada hari yang
bertemperatur dingin; (ii) Nabi menutup kepalanya, kulitnya
bersemu merah, mendengkur seperti tertidur, atau bergemeletuk
seperti unta muda, dan setelah beberapa saat ia pulih dari keadaan
ini ; (iii) wajah Nabi memucat kelabu; (iv) Nabi berada dalam
keadaan tidak sadar diri (subãt ); (v) paha Zayd ibn Tsabit yang
tertimpa paha Nabi saat datangnya wahyu terasa dibebani beban
yang berat sehingga seakan-akan hendak patah, demikian pula unta
yang ditumpangi Nabi saat datangnya wahyu terlihat tidak dapat
menahan bebannya, sehingga Nabi harus turun dari punggungnya;
dan lain-lain.
Gejala-gejala fisik yang dialami Muhammad dalam momen-
momen kenabiannya itu telah menimbulkan beberapa spekulasi
di kalangan sarjana Barat. Pada abad pertengahan, gejala-gejala fisik
ini biasanya dikaitkan dengan penyakit epilepsi;79 dan teori
tentang penyakit ayan ini belakangan diperluas para sarjana Barat
modern. Gustav Weil merupakan sarjana Barat modern pertama
yang berusaha membuktikan secara ilmiah bahwa Nabi menderita
sejenis epilepsi.80 Teori ini kemudian dielaborasi oleh Aloys
Sprenger dengan menambahkan bahwa Nabi juga menderita
histeria.81 Namun, dalam karya monumentalnya tentang sejarah
al-Quran, Geschichte des Qorans,82 Theodor Noeldeke secara keras
menolak dugaan atau teori bahwa Muhammad menderita epilepsi.
Ia bahkan menegaskan realitas inspirasi kenabian Muhammad.
Sekalipun demikian, Noeldeke masih mengemukakan anggapan
bahwa Nabi mengalami gangguan emosi yang tidak terkendali,
yang membuatnya yakin bahwa ia berada di bawah pengaruh
Ilahi.
Teori-teori fantastik para sarjana Barat tentang gejala-gejala fisik
yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad, sebagaimana
dikemukakan di atas, tentu saja mendapat tanggapan balik yang
keras dari sarjana-sarjana Muslim modern. Fazlur Rahman,
misalnya, mengemukakan:
Bila diteliti secara saksama, teori tentang penyakit epilepsi
(ayan) itu menghadapi sanggahan yang – menurut kami – akan
memporak-porandakannya. Pertama, kondisi ini baru timbul
saat Muhammad memulai karir kenabiannya pada usia
sekitar empat puluh tahun; tidak ada jejak ayan itu dalam
kehidupannya yang awal. Kedua, hadits menjelaskan bahwa
kondisi ini hanya terjadi berbarengan dengan pengalaman
penerimaan wahyu dan tidak pernah terjadi secara terpisah.
Sungguh, ini merupakan suatu jenis penyakit ayan yang aneh,
yang selalu kambuh di saat turunnya prinsip-prinsip hidayah
bagi suatu gerakan yang sedemikian kuat dan kreatifnya seperti
gerakan Nabi, dan tidak pernah kambuh di waktu lain. Tentu
saja Kami tidak menolak kemungkinan seseorang diserang
epilepsi dan secara berbarengan diberkahi dengan pengalaman-
pengalaman spiritual; namun masalahnya adalah gangguan
epilepsi paling tidak sesekali harus bisa terjadi secara terpisah
dari pengalaman spiritual, sekalipun pengalaman spiritual itu
tidak bisa terjadi tanpa gangguan penyakit ayan. Terakhir,
hampir tidak bisa dipercaya bahwa suatu penyakit yang jelas
terlihat seperti penyakit ayan ini tidak mampu diidentifikasi
secara jelas dan pasti oleh warga yang berpengalaman
seperti warga Makkah atau Madinah.
Sekalipun sanggahan Rahman di atas diungkapkan dengan
gaya yang sangat apologetik, tiga alasan yang dikemukakannya
untuk menolak fantasi-fantasi liar yang berkembang di kalangan
sarjana Barat mengenai serangkaian gejala fisik yang menyertai
momen-momen kenabian Muhammad adalah alasan-alasan yang
logis dan dijustifikasi oleh kenyataan historis. Bahkan, keberatan
terhadap teori-teori imajinatif Barat juga telah muncul di kalangan
sarjana Barat sendiri. Merevisi pandangan-pandangan negatif
terhadap Nabi yang diajukan para pendahulunya – Weil, Sprenger,
Noeldeke, dan lainnya – W. M. Watt menegaskan bahwa para sarjana
ini terlalu memusatkan perhatiannya pada hadits-hadits
tertentu ketimbang pada al-Quran. Selanjutnya ia mengemukakan:
Terlalu sedikit perhatian yang dicurahkan pada kenyataan
bahwa Muhammad … adalah seorang yang sehat jasmani dan
rohaninya ditinjau dari berbagai segi. Adalah tidak masuk akal
jika seorang penderita epilepsi atau histeria, atau bahkan
gangguan emosi yang tidak terkendali, dapat menjadi
pemimpin ekspedisi-ekspedisi militer yang aktif, atau pemandu
yang kalem dan berpandangan luas dari suatu negara-kota dan
suatu warga keagamaan yang sedang tumbuh dan
berkembang …. Dalam masalah-masalah semacam ini, prinsip
yang semestinya dipegang sejarawan adalah bertumpu terutama
pada data al-Quran dan hanya menerima hadits sepanjang
selaras dengan hasil kajian terhadap al-Quran. Walaupun
demikian, al-Quran … tidak menyebut sesuatupun yang
mendukung keyakinan tentang beberapa penyakit yang diderita
Muhammad.
Lebih jauh, Watt menuduh bahwa pandangan-pandangan
pendahulunya itu merupakan pengungkapan kembali mitos-mitos
abad pertengahan. Pada titik ini ia memberi nasehat kepada rekan-
rekan Baratnya bahwa “konsepsi-konsepsi abad pertengahan itu
sudah semestinya dikesampingkan,”86 dan selanjutnya
menganjurkan kepada mereka bahwa “Muhammad harus
dipandang sebagai seorang yang tulus dan telah mengemukakan
secara jujur pesan-pesan yang diyakininya berasal dari Tuhan.”87
Anjuran Watt di atas sudah semestinya ditanggapi secara positif
dan serius oleh rekan-rekan Baratnya; kalau tidak, maka
orientalisme tentunya akan tetap berada dalam status quo, dan
usaha untuk membangun basis dialog antar agama – yang menjadi
ciri abad ini dan secara gigih dikampanyekan kalangan tertentu
orientalis – tentunya akan merupakan usaha yang sia-sia tanpa
adanya pengakuan yang mendasar dan tulus atas realitas inspirasi
Ilahi yang diterima Muhammad.
Kronologi Pewahyuan al-Quran
Problema Kronologi al-Quran
Dalam bab lalu telah dijelaskan bahwa unit-unit wahyu al-Quran – yang kemudian membentuk kitab suci kaum
Muslimin – disampaikan secara berangsur-angsur kepada Nabi
Muhammad selama kurang lebih 23 tahun, selaras dengan
perkembangan misi kenabiannya. Namun, saat wahyu-wahyu
ini dikodifikasi atau “dikumpulkan” – akan dibahas dalam
bab-bab mendatang – pentahapan pewahyuan ini tidak tercermin
di dalamnya. Meskipun demikian, sejak abad-abad pertama Islam
para sarjana Muslim telah menyadari urgensi pengetahuan tentang
penanggalan atau aransemen kronologis bagian-bagian al-Quran
dalam rangka memahami pesan kitab suci ini . Abu al-Qasim
al-Hasan ibn Habib al-Naisaburi, sebagaimana dikutip al-Suyuthi,
misalnya, menegaskan bahwa seseorang tidak berhak berbicara
tentang al-Quran tanpa bekal pengetahuan kronologi pewahyuan
yang memadai.
Pijakan utama untuk penanggalan bagian-bagian al-Quran
adalah riwayat-riwayat sejarah dan tafsir. Riwayat-riwayat yang
dipermasalahkan di sini biasanya mengungkapkan bahwa bagian
tertentu al-Quran diwahyukan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Misalnya surat 8 dihubungkan dengan Perang Badr, surat
33 dengan Perang Khandaq, dan surat 48 dengan Perjanjian
Hudaibiyah. Riwayat-riwayat semacam ini memang merupakan data
historis yang amat membantu penanggalan al-Quran, akan namun
jumlahnya sangat sedikit dan umumnya bertalian dengan wahyu-
wahyu dari periode Madinah. Sementara riwayat-riwayat lain yang
bertalian dengan wahyu-wahyu periode Makkah, selain jumlahnya
tidak begitu banyak, secara historis data ini juga sangat
meragukan dan umumnya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa
yang tidak begitu penting dan tidak diketahui secara pasti kapan
terjadinya. Jadi, 80:1-10, misalnya, dikatakan diwahyukan saat
seorang buta bernama Abd Allah ibn Umm Maktum menemui
Nabi yang tengah berbincang-bincang dengan beberapa pemuka
suku Quraisy yang diharapkan dapat di-bujuknya.
Riwayat-riwayat semacam ini, dalam tradisi kesarjanaan Islam,
dikatakan membahas “sebab-sebab pewahyuan” (asbãb al-nuzûl ).
Suatu karya standar yang berusaha menghimpun riwayat-riwayat
ini disusun oleh al-Wahidi (w. 1075) dengan judul senada.
Sementara karya yang bersifat suplementer terhadapnya disusun
oleh Jalaluddin al-Suyuthi, Lubãb al-Nuqûl. Sayangnya, bahan-
bahan tradisional ini memiliki beberapa cacat yang mendasar.
Pertama, seperti telah dikemukakan di atas, bahan-bahan itu tidak
lengkap dan hanya menentukan sebab-sebab pewahyuan untuk
beberapa bagian al-Quran yang relatif sedikit. Lebih jauh, bahan
yang serba sedikit ini sangat rentan terhadap kritik, bahkan pada
tingkatan kritik sanad. Demikian juga, kebanyakan sebab
pewahyuan yang dikemukakan hanya merupakan peristiwa-
peristiwa tidak penting dan tidak diketahui kapan terjadinya, seperti
kisah Umm Maktum di atas. Terakhir, ada banyak
inkonsistensi di dalam bahan-bahan ini . Biasanya dikatakan
bahwa bagian al-Quran yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi
adalah permulaan surat 96 (1-5). namun , riwayat lain yang
menyebutkan bahwa wahyu pertama adalah bagian permulaan surat
74 (1-5), atau surat al-Fãtihah (1:1-7). Untuk mengharmoniskan
riwayat-riwayat ini, muncul kisah yang mengungkapkan bahwa
permulaan surat 74 merupakan wahyu pertama setelah masa
terputusnya wahyu (fatratu-l-wahy ) dan surat 1 merupakan surat
pertama yang disampaikan secara utuh. Demikian pula, ada
beberapa versi riwayat tentang wahyu terakhir yang diterima Nabi.
Salah satunya mengungkapkan bahwa wahyu terakhir yang diterima
Nabi adalah 2:281; sementara versi lain menyatakan 2:282 atau
2:278 sebagai wahyu terakhir. Riwayat lainnya menegaskan bahwa
5:3 adalah wahyu terakhir.
Sekalipun dengan berbagai kelemahannya, bahan-bahan
tradisional yang terhimpun dalam asbãb al-nuzûl – baik bersifat
historis, semihistoris ataupun legenda – mesti diterima sebagai
pijakan penanggalan al-Quran. Sikap semacam ini – sekalipun
sering tanpa diskriminasi – dipegang oleh kesarjanaan tradisional
Muslim. Demikian pula, usaha -usaha modern – termasuk yang
dilakukan para sarjana Barat – untuk menemukan pijakan bagi
penanggalan al-Quran, pada umumnya harus bertolak dari bahan
ini , sekalipun dalam kasus-kasus tertentu mesti bertolak
belakang dengannya.
Di samping bahan-bahan tradisional di atas, al-Quran juga
memuat beberapa data yang dapat membantu usaha
penanggalannya. Memang ada beberapa singgungan peristiwa
yang tidak jelas di dalam al-Quran, akan namun kitab suci ini juga
berisi beberapa rujukan historis yang dapat diberi penanggalan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa rujukan-rujukan jenis
ini yang berasal dari masa Makkah relatif sangat sedikit dan tidak
banyak membantu penanggalan bagian-bagian al-Quran ini .
Contohnya adalah 30:2-5, yang menyebutkan kekalahan Bizantium
dari Persia. Bagian ini barangkali merujuk kepada peristiwa
jatuhnya kota Yerusalem ke tangan Persia pada 614. Demikian
pula, surat 105 berkaitan dengan suatu ekspedisi militer terhadap
kota Makkah yang dilakukan Raja Yaman, Abrahah, pada
pertengahan abad ke-6.
Berbeda dari masa Makkah, rujukan-rujukan historis yang
berasal dari masa Madinah bisa diberi penanggalan lebih akurat
berdasar sumber-sumber lain. Contohnya adalah Perang Badr
(624) disebut dalam 3:123, Perang Hunain dalam 9:25, perubahan
kiblat dari Yerusalem ke Makkah di penghujung 623 atau awal 624
dalam 2:142-150, penetapan ibadah haji dan ritus-ritusnya di sekitar
624 dalam 2:158,159; 5:95 ff.; dan lain-lain. Di samping itu, anak
angkat Nabi, Zayd ibn Haritsah (w. 629), disebut namanya dalam
33:37 sehubungan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada 627.
Demikian pula, berbagai peristiwa lainnya disinggung, meskipun
tidak diidentifikasi, seperti Perang Uhud (625) dalam 3:155-174;
pengusiran suku Yahudi banu Nadzir (625) dalam 59:2-5; Perang
Khandaq (627) dalam 33:9-27; ekspedisi ke Khaybar (628) dalam
48:15-19; ekspedisi ke Tabuk (630) dalam 9:29-35; dan lainnya.
namun , sebagaimana dengan periode Makkah, rujukan-rujukan
historis yang berasal dari periode Madinah ini jumlahnya relatif
sedikit. Namun, keseluruhan rujukan historis dalam konteks
Madinah itu sangat bermanfaat sebagai titik awal sistem
penanggalan al-Quran.
Penetapan al-Quran sebagai sumber primer hukum Islam juga
memainkan peran penting dalam usaha penyusunan suatu
aransemen kronologis kitab suci ini . Hal ini tercermin jelas
dalam berbagai bahasan tradisional tentang nãsikh-mansûkh.3 Para
sarjana Muslim mengakui adanya perbedaan dalam ayat-ayat al-
Quran yang menetapkan peraturan-peraturan bagi komunitas
Muslim, dan mereka menjelaskan bahwa ayat paling akhir yang
diturunkan untuk suatu masalah tertentu telah “menghapus”
seluruh ayat yang turun sebelumnya tentang masalah itu dan
berkontradiksi dengannya. Contohnya adalah kasus pengharaman
khamr di dalam al-Quran. Menurut para sarjana fiqh, 5:90-91 –
yang merupakan rangkaian terakhir dari ayat-ayat al-Quran tentang
alkohol – telah menghapus wahyu-wahyu yang mendahuluinya
dalam masalah yang sama (16:66-69; 2:219; 4:43).
Elaborasi doktrin nãsikh-mansûkh ini bahkan pada abad ke-
8 hingga abad ke-11 telah mencapai suatu proporsi yang sangat
mengerikan dan dramatis dalam sejarah pemikiran Islam.4 Ibn
Syihab al-Zuhri (w. 742) menyebut 42 ayat yang dinasakh, al-Nahhas
(w. 949) mengidentifikasi 138 ayat, Ibn Salamah (w. 1020)
mengemukakan 238 ayat. Kecenderungan ini terlihat masih tetap
bertahan pada beberapa abad berikutnya. Jadi, Ibn al-‘Ata’iqi (w.
1308) menyebut 231 ayat yang terhapus.5 namun , pada masa
selanjutnya, kuantitas ayat-ayat yang dinasakh sedikit demi sedikit
mulai direduksi. Pada masa al-Suyuthi, ratusan ayat mansûkhãt
itu telah direduksi menjadi hanya 20 ayat; sementara pada masa
Syah Wali Allah, jumlah yang dinasakh tinggal 5 ayat.6 Melihat
bagaimana ayat-ayat mansûkhãt ini kian lama kian berkurang
dalam kuantitasnya seiring dengan berlalunya masa, Sayyid Ahmad
Khan (w. 1898) kemudian secara tegas memproklamasikan bahwa
di dalam al-Quran tidak ada doktrin nãsikh-mansûkh
sebagaimana dipahami para fukaha.
Risalah-risalah tentang nãsikh-mansûkh yang disusun pada
masa-masa silam itu dalam kenyataannya telah mempengaruhi
perkembangan penanggalan al-Quran dengan memapankan teori
tentang aransemen kronologis kelompok-kelompok tertentu ayat-
ayat individual al-Quran. Sekalipun ada kecenderungan sangat kuat
di kalangan sarjana Muslim pada periode modern Islam untuk
menolak doktrin nãsikh-mansûkh di dalam al-Quran, sebagaimana
pemahamannya di masa silam. namun , literatur-literatur yang
berkembang dalam disiplin ini bisa – dan pada faktanya telah –
dimanfaatkan sebagai petunjuk kasar untuk penanggalan bagian-
bagian individual tertentu al-Quran.
usaha penanggalan bagian-bagian al-Quran juga menjadi
semakin kompleks dengan adanya asumsi bahwa surat-surat seperti
yang ada dewasa ini dalam mushaf al-Quran adalah unit-unit wahyu
orisinal – yakni dengan pengecualian beberapa kecil ayat di dalam
beberapa surat, setiap surat al-Quran diwahyukan sekaligus atau
selama suatu periode yang singkat sebelum surat berikutnya
diturunkan. Surat-surat ini kemudian diklasifikasikan sebagai “surat
Makkiyah” atau “surat Madaniyah” – yakni surat yang diwahyukan
sebelum atau setelah hijrah8 – dan diusaha kan penentuan susunan
kronologis yang setepatnya dari seluruh surat, sekalipun terlihat
bahwa kesarjanaan Muslim yang awal tidak bersepakat sehubungan
dengan penanggalan beberapa surat – apakah masuk kategori
Makkiyah atau Madaniyah – dan penempatan surat-surat tertentu
dalam rangkaian kronologisnya.
Ada beberapa riwayat tentang susunan kronologis surat-surat
al-Quran yang dijadikan basis untuk penentuan ini – seperti
akan dikemukakan di bawah. namun , karakter utama riwayat-riwayat
ini – yang hanya memperhatikan bagian awal surat-surat al-
Quran untuk aransemen kronologisnya, tanpa menyinggung ayat-
ayat berikutnya dalam suatu surat yang diintegrasikan ke dalam
surat ini baik dari masa lebih awal atau dari masa belakangan
– mengandung kelemahan yang sangat mendasar. Riwayat-riwayat
ini juga bertentangan secara diametral dengan sumber-sumber
lainnya, seperti riwayat asbãb al-nuzûl atau literatur nãsikh-
mansûkh, yang menampakkan bagian-bagian pendek al-Quran
sebagai unit orisinal wahyu. Sekalipun demikian, usaha -usaha
kesarjanaan Islam ini bukannya tidak berharga. usaha ini
bahkan telah membentuk basis bagi kajian kronologi al-Quran
dalam dua abad terakhir ini.
Barangkali, lantaran berbagai kelemahan yang telah disebutkan,
beberapa sarjana Muslim belakangan meninggalkan riwayat-riwayat
yang membingungkan dan berusaha menyusun kronologi
pewahyuan al-Quran dengan menelaah secara kritis gaya bahasanya.
Mereka, misalnya, menyimpulkan bahwa di tempat-tempat di mana
muncul ungkapan “yã ayyuhã-lladzîna ãmanû,” maka sebagian
besar darinya merupakan wahyu periode Madinah; sementara
ungkapan “yã ayyuhã-l-nãs” sebagian besar berasal dari periode
Makkiyah.10 Demikian pula, disimpulkan bahwa ayat-ayat
Makkiyah lebih pendek dibandingkan ayat-ayat Madaniyah.11
Bahkan riwayat-riwayat asbãb al-nuzûl tentang ayat-ayat atau surat-
surat tertentu ditolak dengan alasan-alasan tertentu. Al-Suyuthi
banyak mengungkapkan contoh tentang aksioma kritis semacam
itu.12 Dalam periode modern Islam, Ahmad Khan melangkah lebih
jauh lagi dengan memandang bahwa penelusuran asbâb al-nuzûl
lewat riwayat-riwayat adalah lemah. “Jalan paling selamat,”
menurutnya, “adalah mencari asbâb al-nuzûl di dalam konteks
kalam dan gaya al-Quran, setelah mempertimbangkan hal-hal
mendasar yang dinyatakan di dalam al-Quran.”13
Kronologi al-Quran Kesarjanaan Islam
Sebagaimana disebutkan di atas, ada beberapa riwayat
aransemen kronologis surat-surat al-Quran yang relatif cukup
lengkap. Riwayat-riwayat ini berusaha mengungkapkan secara
runtut pewahyuan bagian-bagian al-Quran, mulai dari pewahyuan
pertama sampai ke masa menjelang Nabi hijrah ke Madinah
ataupun pewahyuan setelah itu – yakni setelah hijrah ke Madinah
– hingga turunnya wahyu terakhir. Ringkasnya, riwayat itu
menuturkan aransemen kronologis wahyu-wahyu Makkiyah dan
Madaniyah. Jika riwayat-riwayat ini dibandingkan antara satu
dengan lainnya, akan terlihat beberapa kemiripan ataupun
perbedaannya. Tiga riwayat kronologi pewahyuan surat-surat al-
Quran yang dikemukakan berikut ini, memperlihatkan kemiripan
dalam aransemen surat-suratnya.14 Riwayat pertama bersumber dari
Ibn Abbas;15 riwayat kedua bersumber dari manuskrip karya Umar
ibn Muhammad ibn Abd al-Kafi dari abad ke-15; 16 dan riwayat
ketiga bersumber dari Ikrimah dan Husain ibn Abi al-Hasan:17
Susunan Kronologis Surat Makkiyah Riwayat
Ibn Abbas, al-Kafi, Ikrimah & al-Hasan
Urut Ibn Abbas al-Kafi Hikrimah & al-Hasan
Kronologis Nama & No. Surat* Nama & No. Surat* Nama & No. Surat*
1 al-‘Alaq 96 al-‘Alaq 96 al-‘Alaq 96
2 al-Qalam 68 al-Qalam 68 al-Qalam 68
3 al-Muzzammil 73 al-Muzzammil 73 al-Muzzammil 73
4 al-Muddatstsir 74 al-Muddatstsir 74 al-Muddatstsir 74
5 al-Lahab 111 al-Lahab 111 al-Lahab 111
6 al-Takwîr 81 al-Takwîr 81 al-Takwîr 81
7 al-A‘lã 87 al-A‘lã 87 al-A‘lã 87
8 al-Layl 92 al-Layl 92 al-Layl 92
9 al-Fajr 89 al-Fajr 89 al-Fajr 89
10 al-Dluhã 93 al-Dluhã 93 al-Dluhã 93
11 Alam Nasyrah 94 Alam Nasyrah 94 Alam Nasyrah 94
12 al-‘Ashr 103 al-‘Ashr 103 al-‘Ashr 103
13 al-‘Ãdiyãt 100 al-‘Ãdiyãt 100 al-‘Ãdiyãt 100
14 al-Kawtsar 108 al-Kawtsar 108 al-Kawtsar 108
15 al-Takãtsur 102 al-Takãtsur 102 al-Takãtsur 102
16 al-Mã‘ûn 107 al-Mã‘ûn 107 al-Mã‘ûn 107
17 al-Kãfirûn 109 al-Kãfirûn 109 al-Kãfirûn 109
18 al-Fîl 105 al-Fîl 105 al-Fîl 105
19 al-Falaq 113 al-Falaq 113 al-Falaq 113
20 al-Nãs 114 al-Nãs 114 al-Nãs 114
21 al-Ikhlãsh 112 al-Ikhlãsh 112 al-Ikhlãsh 112
22 al-Najm 53 al-Najm 53 al-Najm 53
23 ‘Abasa 80 ‘Abasa 80 ‘Abasa 80
24 al-Qadr 97 al-Qadr 97 al-Qadr 97
25 al-Syams 91 al-Syams 91 al-Syams 91
26 al-Burûj 85 al-Burûj 85 al-Burûj 85
27 al-Tîn 95 al-Tîn 95 al-Tîn 95
28 Quraisy 106 Quraisy 106 Quraisy 106
29 al-Qãri‘ah 101 al-Qãri‘ah 101 al-Qãri‘ah 101
30 al-Qiyãmah 75 al-Qiyãmah 75 al-Qiyãmah 75
31 al-Humazah 104 al-Humazah 104 al-Humazah 104
32 al-Mursalãt 77 al-Mursalãt 77 al-Mursalãt 77
33 Qãf 50 Qãf 50 Qãf 50
34 al-Balad 90 al-Balad 90 al-Balad 90
35 al-Thãriq 86 al-Thãriq 86 al-Thãriq 86
36 al-Qamar 54 al-Qamar 54 al-Qamar 54
37 Shãd 38 Shãd 38 Shãd 38
38 al-A‘rãf 7 al-A‘rãf 7 al-Jinn 72
39 al-Jinn 72 al-Jinn 72 Yã Sîn 36
40 Yã Sîn 36 Yã Sîn 36 al-Furqãn 25
41 al-Furqãn 25 al-Furqãn 25 Fãthir 35
42 Fãthir 35 Fãthir 35 Thã Hã 20
43 Maryam 19 Maryam 19 al-Wãqi‘ah 56
44 Thã Hã 20 Thã Hã 20 al-Syu‘arã’ 26
45 al-Wãqi‘ah 56 al-Wãqi‘ah 56 al-Naml 27
46 al-Syu‘arã’ 26 al-Syu‘arã’ 26 al-Qashash 28
47 al-Naml 27 al-Naml 27 al-Isrã’ 17
48 al-Qashash 28 al-Qashash 28 Yûnus 10
49 al-Isrã’ 17 al-Isrã’ 17 Hûd 11
50 Yûnus 10 Yûnus 10 Yûsuf 12
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 103
51 Hûd 11 Hûd 11 sl-Hijr 15
52 Yûsuf 12 Yûsuf 12 al-An‘ãm 6
53 al-Hijr 15 al-Hijr 15 al-Shaffãt 37
54 al-An‘ãm 6 al-An‘ãm 6 Luqmãn 31
55 al-Shãffãt 37 al-Shãffãt 37 Saba’ 34
56 Luqmãn 31 Luqmãn 31 al-Zumar 39
57 Saba’ 34 Saba’ 34 al-Mu’min 40
58 al-Zumar 39 al-Zumar 39 al-Dukhãn 44
59 al-Mu’min 40 al-Mu’min 40 al-Fushshilat 41
60 al-Fushshilat 41 al-Fushshilat 41 al-Syûrã 42
61 al-Syûrã 42 al-Syûrã 42 al-Zukhruf 43
62 al-Zukhruf 43 al-Zukhruf 43 al-Jãtsiyah 45
63 al-Dukhãn 44 al-Dukhãn 44 al-Ahqãf 46
64 al-Jãtsiyah 45 al-Jãtsiyah 45 al-Dzãriyãt 51
65 al-Ahqãf 46 al-Ahqãf 46 al-Gãsyiyah 88
66 al-Dzãriyãt 51 al-Dzãriyãt 51 al-Kahfi 18
67 al-Gãsyiyah 88 al-Gãsyiyah 88 al-Nahl 16
68 al-Kahfi 18 al-Kahfi 18 Nûh 71
69 al-Nahl 16 al-Nahl 16 Ibrãhîm 14
70 Nûh 71 Nûh 71 al-Anbiyã’ 21
71 Ibrãhîm 14 Ibrãhîm 14 al-Mu’minûn 23
72 al-Anbiyã’ 21 al-Anbiyã’ 21 al-Sajdah 32
73 al-Mu’minûn 23 al-Mu’minûn 23 al-Thûr 52
74 al-Sajdah 32 al-Sajdah 32 al-Mulk 67
75 al-Thûr 52 al-Thûr 52 al-Hãqqah 69
76 al-Mulk 67 al-Mulk 67 al-Ma‘ãrij 70
77 al-Hãqqah 69 al-Hãqqah 69 al-Nabã 78
78 al-Ma‘ãrij 70 al-Ma‘ãrij 70 al-Nãzi‘ãt 79
79 al-Nabã 78 al-Nabã 78 al-Insyiqãq 84
80 al-Nãzi‘ãt 79 al-Nãzi‘ãt 79 al-Infithãr 82
81 al-Infithãr 82 al-Infithãr 82 al-Rûm 30
82 al-Insyiqãq 84 al-Insyiqãq 84 al-‘Ankabût 29
83 al-Rûm 30 Al-Rûm 30
84 al-‘Ankabût 29 al-‘Ankabût 29
85 al-Muthaffifîn 83 al-Muthaffifîn 83
Keterangan: *Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal.
Sementara susunan kronologis surat-surat al-Quran dari
periode Madaniyah, menurut ketiga riwayat di atas, adalah sebagai
berikut:
Susunan Kronologis Surat Madaniyah Riwayat
Ibn Abbas, al-Kafi, Ikrimah & al-Hasan
Urut Ibn Abbas al-Kafi Hikrimah & al-Hasan
Kronologis Nama & No. Surat* Nama & No. Surat* Nama & No. Surat*
1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2 al-Muthaffifîn 83
2 al-Anfãl 8 al-Anfãl 8 al-Baqarah 2
3 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3
104 / TAUFIK ADNAN AMAL
4 al-Ahzãb 33 al-Ahzãb 33 al-Anfãl 8
5 al-Mumtahanah 60 al-Mumtahanah 60 al-Ahzãb 33
6 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4 al-Mã’idah 5
7 al-Zalzalah 99 al-Zalzalah 99 al-Mumtahanah 60
8 al-Hadîd 57 al-Hadîd 57 al-Nisã’ 4
9 Muhammad 47 Muhammad 47 al-Zalzalah 99
10 al-Ra‘d 13 al-Ra‘d 13 al-Hadîd 57
11 al-Rahmãn 55 al-Rahmãn 55 Muhammad 47
12 al-Insãn 76 al-Insãn 76 al-Ra‘d 13
13 al-Thalaq 65 al-Thalaq 65 al-Rahmãn 55
14 al-Bayyinah 98 al-Bayyinah 98 al-Insãn 76
15 al-Hasyr 59 al-Hasyr 59 al-Thalaq 65
16 al-Nashr 110 al-Nashr 110 al-Bayyinah 98
17 al-Nûr 24 al-Nûr 24 al-Hasyr 59
18 al-Hajj 22 al-Hajj 22 al-Nashr 110
19 al-Munãfiqûn 63 al-Munãfiqûn 63 al-Nûr 24
20 al-Mujãdilah 58 al-Mujãdilah 58 al-Hajj 22
21 al-Hujurãt 49 al-Hujurãt 49 al-Munãfiqûn 63
22 al-Tahrîm 66 al-Tahrîm 66 al-Mujãdilah 58
23 al-Jumu‘ah 62 al-Jumu‘ah 62 al-Hujurãt 49
24 al-Tagãbun 64 al-Tagãbun 64 al-Tahrîm 66
25 al-Shaff 61 al-Shaff 61 al-Shaff 61
26 al-Fath 48 al-Fath 48 al-Jumu‘ah 62
27 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5 al-Tagãbun 64
28 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9 al-Fath 48
29 al-Tawbah 9
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal.
Dari ketiga riwayat susunan kronologis surat-surat al-Quran
di atas, terlihat bahwa riwayat pertama – dari Ibn Abbas – dan
riwayat kedua – bersumber dari manuskrip kitab yang disusun
oleh al-Kafi – identik antara satu dengan lainnya. Sementara riwayat
ketiga – dari Ikrimah dan al-Hasan – hanya memiliki perbedaan
yang relatif sedikit dari dua riwayat sebelumnya. Perbedaan ini
jelas diakibatkan oleh kurangnya beberapa surat di dalam riwayat
ini dan perbedaan penghitungan jumlah surat Makkiyah dan
Madaniyah. Jika surat 7 yang tidak eksis dalam susunan kronologis
ini – barangkali terlewatkan waktu penyalinannya – disisipkan
di antara surat 38 dan surat 72, yang dalam rangkaian kronologi
ketiga menempati urutan surat ke-37 dan ke-38, dan surat 19 –
yang juga tidak ada di dalam riwayat ketiga – disisipkan di
antara surat 35 dan surat 20, yang dalam susunan kronologi
menempati urutan ke-41 dan ke-42, maka perbedaan riwayat ketiga
ini dengan dua riwayat sebelumnya semakin kecil: Dalam riwayat
ketiga surat 44 diletakkan setelah surat 40, dan surat 3 diletakkan
setelah surat 2. Selain itu, penempatan surat 83 sebagai surat
pertama dari periode Madaniyah juga telah menimbulkan sedikit
perbedaan, namun tidak begitu substansial jika dilihat dari urutan
kronologisnya secara menyeluruh.
Satu hal yang terlihat mencolok dari ketiga riwayat di atas
adalah ketiadaan surat 1 di dalam susunan kronologis surat-surat
al-Quran – kasus senada juga terjadi pada hampir keseluruhan
riwayat kronologis lainnya. Hal ini mungkin disebab kan anggapan
bahwa surat ini turun dua kali (?), pertama kali di Makkah
dan terakhir di Madinah. Dalam mushaf Ibn Abbas, yang menurut
sebagian riwayat tersusun secara kronologis,18 surat 1 ditempatkan
pada urutan ke-6, di antara surat 74 dan surat 111. Jadi, rekonstruksi
riwayat tentang susunan kronologis surat-surat al-Quran versi Ibn
Abbas barangkali bisa memanfaatkan urutan surat mushafnya
sebagai bandingan.
Beberapa riwayat lain tentang susunan kronologis surat al-
Quran, sebagaimana dikemukakan Noeldeke dan Schwally, hanya
memiliki perbedaan yang relatif kecil dengan ketiga riwayat di atas.
Riwayat pertama dan kedua di atas cocok dengan riwayat kedua
dalam Mabãnî I, hanya dalam riwayat terakhir ini surat 58 dan
seterusnya tidak dicantumkan. Riwayat lainnya (Mabãnî, riwayat
ketiga), yang berasal dari Atha’ dari Ibn Abbas, hanya berbeda dalam
hal ketidakpastiannya menempatkan surat 93 pada periode Makkiyah
atau Madaniyah. Sementara riwayat dalam Tãrîkh al-Khamîs tidak
mencantumkan surat 68 dan 73, dan meletakkan surat 50 dan 90
sebelum surat 95, surat 61 sebelum surat 62 dan surat 9 sebelum
surat 5. Riwayat keempat dalam Mabãnî, yang bersumber dari Sa‘id
ibn al-Musaiyab dan dihubungkan dengan Ali ibn Abi Thalib dan
Muhammad sendiri, mencantumkan surat 1 sebagai surat paling
awal dari periode Makkah dan surat 53 sebagai surat paling akhir
dari periode Madinah, kemudian menempatkan surat 84 setelah
surat 83. Surat 111 dan surat 61 tidak dicantumkan. Riwayat pertama
dalam kitab Mabãnî, yang berasal dari al-Kalbi Abu Shalih dan Ibn
Abbas, menempatkan surat 93 sebelum surat 73, surat 55 setelah
surat 94, surat 109 setelah surat 105, surat 22 sebelum surat 91, surat
63 sebelum surat 24, menempatkan surat 13 sebagai surat Madaniyah
pertama, dan menempatkan surat 56, surat 100, surat 113, dan
surat 114 dalam urutan terakhir surat-surat periode Madinah.
Riwayat susunan kronologis surat-surat al-Quran yang relatif
agak berbeda – juga dalam rincian penanggalan ayat-ayat di dalam
suatu surat – dari ketiga riwayat di atas adalah yang ada dalam
karya Ibn al-Nadim (w. 990/1), Fihrist. Riwayat yang bersumber
dari Muhammad ibn Nu‘man ibn Basyir ini dapat ditabulasikan
sebagai berikut:20
Susunan Kronologis Surat Makkiyah dalam Fihrist
Urut Nama
Kronologis Surat No. Surat * & Ayat: Keterangan
1 al-‘Alaq 96:1-5
2 al-Qalam 68
3 al-Muzzammil 73. Bagian (ayat?) terakhir dalam perjalanan ke Makkah
4 al-Muddatstsir 74
5 al-Lahab 111
6 al-Takwîr 81
7 al-A‘lã 87
8 Alam Nasyrah 94
9 al-‘Ashr 103
10 al-Fajr 89
11 al-Dluhã 93
12 al-Layl 92
13 al-‘Ãdiyãt 100
14 al-Kawtsar 108
15 al-Takãtsur 102
16 al-Mã‘ûn 107
17 al-Kãfirûn 109
18 al-Fîl 105
19 al-Ikhlãsh 112
20 al-Falaq 113
21 al-Nãs 114. Menurut yang lain Md.
22 al-Najm 53
23 ‘Abasa 80
24 al-Qadr 97
25 al-Syams 91
26 al-Burûj 85
27 al-Tîn 95
28 Quraisy 106
29 al-Qãri‘ah 101
30 al-Qiyãmah 75
31 al-Humazah 104
32 al-Mursalãt 77
33 Qãf 50
34 al-Balad 90
35 al-Rahmãn 55
36 al-Jinn 72
37 Yã Sîn 36
38 al-A‘rãf 7
39 al-Furqãn 25
40 Fãthir 35
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 107
41 Maryam 19
42 Thã Hã 20
43 al-Wãqi‘ah 56
44 al-Syu‘arã’ 26
45 al-Naml 27
46 al-Qashash 28
47 al-Isrã’ 17
48 Hûd 11
49 Yûsuf 12
50 Yûnus 10
51 al-Hijr 15
52 al-Shãffãt 37
53 Luqmãn 31. Bagian (atau ayat?) terakhir Md.
54 al-Mu’minûn 23
55 Saba’ 34
56 al-Anbiyã’ 21
57 al-Zumar 39
58 al-Mu’min 40
59 al-Fushshilat 41
60 al-Syûrã 42
61 al-Zukhruf 43
62 al-Dukhãn 44
63 al-Jãtsiyah 45
64 al-Ahqãf 46. Bagian (atau ayat?) terakhir Md.
65 al-Dzãriyãt 51
66 al-Gãsyiyah 88
67 al-Kahfi 18. Bagian (atau ayat?) terakhir Md.
68 al-An‘ãm 6. ada satu ayat Md. di dalamnya
69 al-Nahl 16. Bagian (atau ayat?) terakhir Md
70 Nûh 71
71 Ibrãhim 14
72 al-Sajdah 32
73 al-Thûr 52
74 al-Mulk 67
75 al-Hãqqah 69
76 al-Ma‘ãrij 70
77 al-Nabã 78
78 al-Nãzi‘ãt 79
79 al-Infithãr 82
80 al-Insyiqãq 84
81 al-Rûm 30
82 al-‘Ankabût 29
83 al-Muthaffifîn 83. Sebagian mengatakan Md.
84 al-Qamar 54
85 al-Thãriq 86
Keterangan: *Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. Md = Madaniyah.
Sementara susunan kronologis surat-surat Madaniyah, yang
dikemukakan Ibn al-Nadim dalam Fihrist dengan mata rantai perawi
lain hingga ke Ibn Abbas, dapat dikemukakan dalam tabel berikut:21
Susunan Kronologis Surat Madaniyah dalam Fihrist
Urut Kronologis Nama Surat* No. Surat* & Ayat/Keterangan
1 al-Baqarah 2
2 al-Anfãl 8
3 al-A‘rãf 7
4 Ãli ‘Imrãn 3
5 al-Mumtahanah 60
6 al-Nisã’ 4
7 al-Zalzalah 99
8 al-Hadîd 57
9 Muhammad 47
10 al-Ra‘d 13
11 al-Insãn 76
12 al-Thalaq 65
13 al-Bayyinah 98
14 al-Hasyr 59
15 al-Nashr 110
16 al-Nûr 24
17 al-Hajj 22
18 al-Munãfiqûn 63
19 al-Mujãdilah 58
20 al-Hujurãt 49
21 al-Tahrim 66
22 al-Jumu‘ah 62
23 al-Tagãbun 64
24 al-Shaff 61
25 al-Fath 48
26 al-Mã’idah 5
27 al-Tawbah 9
28 al-Mu‘awwidzãt 113 dan 114 diwahyukan di Md.
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. Md = Madaniyah.
Sebagaimana terlihat, susunan kronologis surat 96 sampai
surat 87, surat 108 sampai surat 105, surat 53 sampai surat 90,
surat 25 sampai surat 17, surat 39 sampai surat 18, surat 52
sampai surat 83, dan surat 79 sampai surat 9, secara sepenuhnya
identik dengan riwayat pertama dan kedua di atas. Sementara
susunan kronologis surat-surat lainnya terlihat memiliki
perbedaan yang cukup berarti – terutama menyangkut surat-surat
Makkiyah dan bagian awal surat-surat Madaniyah.
Apabila susunan kronologis surat-surat al-Quran lainnya
dilibatkan, maka perbedaan ini semakin mencolok.
Contohnya adalah susunan kronologis yang diriwayatkan dari Jabir
ibn Zayd.22 Dalam susunan kronologis ini, surat 1 diletakkan setelah
surat 74 sebelum surat 111, surat 42 diletakkan setelah surat 18,
dan setelah itu – yakni setelah surat 42 – ditempatkan secara
berturut-turut surat-surat berikut ke dalam susunan selanjutnya
kelompok surat Makkiyah: surat 32; 21; 16:1-40; 71; 52; 23; 67; 69;
70; 79; 82; 84; 30; 29; dan surat 83. Sementara dari kelompok
Madaniyah, dicantumkan secara sekuensial surat-surat berikut: surat
2; 3; 8; 33; 5; 60; 110; 24; 22; 63; 58; 49; 66; 62; 64; 61; 48; dan surat
9. namun , al-Suyuthi menyebut riwayat ini sebagai siyãq garîb.23
Perbedaan susunan kronologis surat Madaniyah antara riwayat
Zayd di atas dengan riwayat-riwayat yang telah dikemukakan
sebelumnya, memang terlihat cukup berarti. Perbedaan ini bahkan
semakin substansial jika riwayat-riwayat lainnya juga dimasukkan
ke dalam pertimbangan. Contohnya adalah susunan kronologis
surat-surat Madaniyah menurut Ali ibn Abi Thalhah dan Qatadah
(w. 736), yang dapat diungkapkan secara jelas lewat tabulasi
berikut:
Susunan Kronologis Surat Madaniyah menurut Abi Thalhah
dan Qatadah
Urut Abi Thalhah Qotadah
Kronologis Nama Surat* No.* Nama Surat* No.*
1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2
2 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3
3 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4
4 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5
5 al-Anfãl 8 al-Tawbah 9
6 al-Tawbah 9 al-Ra‘d 13
7 al-Hajj 22 al-Nahl 16
8 al-Nûr 24 al-Hajj 22
9 al-Ahzãb 33 al-Nûr 24
10 al-Kãfirûn 109 al-Ahzãb 33
11 al-Fath 48 Muhammad 47
12 al-Hadîd 57 al-Fath 48
13 al-Mujãdilah 58 al-Hujurãt 49
14 al-Hasyr 59 al-Hadîd 57
15 al-Mumtahanah 60 al-Rahmãn 55
16 al-Shaff 61 al-Mujãdilah 58
17 al-Tagãbun 64 al-Hasyr 59
18 al-Thalaq 65 al-Mumtahanah 60
19 al-Tahrîm 66 al-Shaff 61
20 al-Fajr 89 al-Jumu‘ah 62
21 al-Layl 92 al-Munãfiqûn 63
22 al-Qadr 97 al-Tagãbun 64
23 al-Bayyinah 98 al-Thalaq 65
24 al-Zalzalah 99 al-Tahrîm 66
25 al-Nashr 110 al-Zalzalah 99
26 al-Nashr 110
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal.
Kedua riwayat susunan kronologis surat Madaniyah di atas
memiliki perbedaan yang sangat substansial dibandingkan riwayat-
riwayat sebelumnya. Selain urutan kronologis surat-surat dalam
kedua riwayat itu cukup berbeda, ada surat-surat tertentu yang
dalam riwayat-riwayat terdahulu dikategorikan sebagai surat
Makkiyah, kini dikelompokkan ke dalam surat-surat Madaniyah.
Contohnya adalah surat 89; 92; dan 97 dalam riwayat Abi Thalhah;
dan surat 16 dalam riwayat Qatadah. Sebaliknya, beberapa surat
yang dalam riwayat-riwayat terdahulu ditempatkan pada periode
Madaniyah, kini tidak eksis lagi dalam kedua susunan kronologis
di atas.
Berbagai susunan kronologis surat-surat al-Quran yang
dikemukakan sejauh ini memperlihatkan – selain perbedaan-
perbedaan dalam sekuensi dan pengelompokkan surat-surat tertentu
sebagai Makkiyah atau Madaniyah – adanya kesepakatan tentang
susunan beberapa tertentu surat Makkiyah dan Madaniyah. namun ,
kesamaan ini juga memancing timbulnya dugaan bahwa susunan-
susunan kronologis ini barangkali berasal dari satu sumber
yang sama. Dalam susunan surat yang disepakati keseluruhan
riwayat itu, ada surat-surat tertentu yang ditempatkan agak
belakangan dalam rangkaian kronologis, padahal surat-surat itu
dapat dipastikan – lewat berbagai petunjuk yang kuat – berasal
dari masa lebih awal, atau sebaliknya. Contohnya adalah surat 55
yang dikelompokkan ke dalam surat Madaniyah. Sebagaimana
diungkapkan al-Suyuthi, mayoritas ulama (jumhûr) memandang
surat ini sebagai surat Makkiyah berdasar sebuah hadits dari
Jabir. Bahkan berpijak pada hadits dari Asma’ binti Abi Bakr, al-
Suyuthi juga menyimpulkan bahwa surat ini turun lebih
dahulu dari surat 15. Contoh sebaliknya adalah surat 112 yang
dikategorikan sebagai surat Makkiyah dalam riwayat-riwayat di
atas.25 berdasar beberapa riwayat asbãb al-nuzûl, al-Suyuthi –
lewat metode tarjîh (“menguatkan”), mendahulukan riwayat yang
lebih kuat – mengemukakan bahwa surat ini masuk ke dalam
kelompok surat Madaniyah.26 Kedua ilustrasi yang dikemukakan
ini hanya mengungkapkan kasus surat-surat pendek. saat surat-
surat panjang – yang dalam kebanyakan kasus berisi ayat-ayat dari
berbagai periode pewahyuan yang berbeda – ditelusuri lebih jauh,
maka permasalahan yang dihadapi dalam hal ini akan menjadi
semakin kompleks.
Belakangan, riwayat susunan kronologis surat-surat al-Quran
yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas mulai diterima secara luas
dan menjadi pandangan resmi ortodoksi Islam. Sebagaimana telah
dikemukakan, riwayat ini memasukkan 85 surat ke dalam
periode Makkiyah dan 28 surat lainnya ke dalam surat-surat
Madaniyah. Dengan sedikit perubahan, riwayat ini kemudian
diadopsi oleh para penyunting al-Quran edisi standar Mesir dengan
menetapkan 86 surat berasal dari masa sebelum hijrah (Makkiyah)
– yakni dengan memasukkan surat 1 ke dalamnya – dan sisanya
diklasifikasikan sebagai surat-surat dari periode Madaniyah.27
Dalam aransemen kronologis ini, beberapa besar bahan-bahan
tradisional – seperti sîrah, asbãb al-nuzûl, nãsikh-mansûkh, hadîts
dan lainnya – telah dieksploitasi untuk menetapkan penanggalan
beberapa besar ayat dalam surat-surat tertentu al-Quran.
Susunan kronologis surat-surat al-Quran periode Makkah
dalam al-Quran edisi standar Mesir ini, yang lazim disebut
kronologi Mesir, dapat disimak dalam tabel berikut:28
Susunan Surat Makkiyah Versi Kronologi Mesir
Urut
Kronologis Nama Surat* No. Surat*: keterangan
1 al-‘Alaq 96
2 al-Qalam 68 . ayat 17-33,48-50 Md.
3 al-Muzzammil 73 . ayat 10-11,20 Md.
4 al-Muddatstsir 74
5 al-Fãtihah 1
6 al-Lahab 111
7 al-Takwîr 81
8 al-A‘lã 87
9 al-Layl 92
10 al-Fajr 89
11 al-Dluhã 93
12 Alam Nasyrah 94
13 al-‘Ashr 103
14 al-‘Ãdiyãt 100
15 al-Kawtsar 108
16 al-Takãtsur 102
17 al-Mã‘ûn 107
18 al-Kãfirûn 109
19 al-Fîl 105
20 al-Falaq 113
21 al-Nãs 114
22 al-Ikhlãsh 112
23 al-Najm 53
24 ‘Abasa 80
25 al-Qadr 97
26 al-Syams 91
27 al-Burûj 85
28 al-Tîn 95
29 Quraisy 106
30 al-Qãri‘ah 101
31 al-Qiyãmah 75
32 al-Humazah 104
33 al-Mursalãt 77. ayat 48 Md.
34 Qãf 50. ayat 38 Md.
35 al-Balad 90
36 al-Thãriq 86
37 al-Qamar 54. ayat 54 -56 Md.
38 Shãd 38
39 al-A‘rãf 7. ayat 163-170 Md.
40 al-Jinn 72
41 Yã Sîn 36. ayat 45 Md.
42 al-Furqãn 25 . ayat 68-70 Md.
43 Fãthir 35
44 Maryam 19 . ayat 58, 71 Md.
45 Thã Hã 20 . ayat 130-131 Md.
46 al-Wãqi‘ah 56 . ayat 71-72 Md.
47 al-Syu‘arã’ 26 . ayat 197, 224 -227 Md.
48 al-Naml 27
49 al-Qashash 28 . ayat 52-55 Md, 85 waktu hijrah
50 al-Isrã’ 17. ayat 26, 32-33, 57, 73-80 Md.
51 Yûnus 10 . ayat 40, 94-96 Md.
52 Hûd 11 . ayat 12, 17, 114 Md.
53 Yûsuf 12 . ayat 1-3, 7 Md.
54 al-Hijr 15
55 al-An‘ãm 6. ayat 20,23,91,114,141,151-153 Md.
56 al-Shaffãt 37
57 Luqmãn 31 . ayat 27-29 Md.
58 Saba’ 34. ayat 6 Md.
59 al-Zumar 39 . ayat 52-54 Md.
60 al-Mu’min 40 . ayat 56-57 Md.
61 al-Fushshilãt 41
62 al-Syûrã 42 . ayat 23-25, 27 Md.
63 al-Zukhruf 43 . ayat 54 Md.
64 al-Dukhãn 44
65 al-Jãtsiyah 45 . ayat 14 Md.
66 al-Ahqãf 46 . ayat 10, 15, 35 Md.
67 al-Dzãriyãt 51
68 al-Gãsyiyah 88
69 al-Kahfi 18 . ayat 28, 83-101 Md.
70 al-Nahl 16 . ayat 126-128 Md.
71 Nûh 71
72 Ibrãhîm 14 . ayat 28-29 Md.
73 al-Anbiyã’ 21
74 al-Mu’minun 23
75 al-Sajdah 32 . ayat 16-20 Md.
76 al-Thûr 52
77 al-Mulk 67
78 al-Hãqqah 69
79 al-Ma‘ãrij 70
80 al-Nabã 78
81 al-Nãzi‘ãt 79
82 al-Infithãr 82
83 al-Insyiqãq 84
84 al-Rûm 30 . ayat 17 Md.
85 al-‘Ankabût 29 . ayat 1-11 Md.
86 al-Muthaffifîn 83
Keterangan: *Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga denga