Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 4. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 4

 


ngan kata lain, seperti telah disebutkan,  kalam Allah itu

lahir di dalam hati dan pikiran Nabi (26:193 f.; 2:97; 42:24), sebab 

itu dapat dikembalikan kepadanya. Jadi, sumber asal proses kreatif

terletak di luar capaian biasa agensi manusia, namun  proses itu

timbul sebagai bagian integral dari pikiran Nabi. Jadi, ide dan

kata lahir di dalam – dan dapat dikembalikan kepada – pikiran

Nabi, sementara sumbernya dari Allah. sebab  itu, sebagaimana

disimpulkan Fazlur Rahman, al-Quran itu secara keseluruhan

adalah kalãm Allãh dan dalam pengertian biasa  juga merupakan

kalãm Muhammad. 60

Penjelasan psikologis ini dapat dirujukkan sumbernya dalam

pemikiran Syah Wali Allah dan Muhammad Iqbal (w. 1938). Wali

Allah, misalnya, beranggapan bahwa kata-kata, ungkapan-ungkapan

dan gaya bahasa al-Quran telah ada dalam alam pikiran

Muhammad sebelum dia diangkat menjadi nabi. 61  Sementara Iqbal

melanjutkan penjelasan psikologis ini dengan menegaskan bahwa

ide dan kata merupakan suatu entitas organik yang lahir dalam

pikiran Nabi secara serempak. namun , sebab  asal mula dari

kompleksitas perasaan-ide-kata itu terletak diluar kontrol Nabi dan

merupakan fi’il kreatif, maka ia harus dipandang sebagai wahyu

dari suatu sumber yang berada di luar diri Nabi. 

Namun, penjelasan psikologis yang diajukan Iqbal di atas


menimbulkan persoalan baru, yakni: wahyu al-Quran dengan

demikian tidak ada bedanya dengan bentuk-bentuk kognisi

manusia, termasuk mistik. Persoalan ini kemudian ditangani Fazlur

Rahman dalam karya klasiknya, Islam. Kutipan in extenso berikut

menampilkan usaha  pembedaan wahyu al-Quran dari berbagai

bentuk pengetahuan kreatif manusia lainnya:

…Elan dasar al-Quran adalah moral, darinya mengalir

penekanan yang tegas terhadap monoteisme maupun keadilan

sosial. Hukum Moral adalah abadi: ia merupakan “Perintah”

Tuhan. Manusia tidak dapat menciptakan atau meniadakan

Hukum Moral itu: ia harus menyerahkan diri kepadanya.

Penyerahan diri ini disebut islãm dan pengejawantahannya

dalam kehidupan disebut ‘ibãdah atau “pengabdian kepada

Tuhan.” Disebabkan penekanan al-Quran yang tegas terhadap

Hukum Moral inilah sehingga Tuhan al-Quran tampak bagi

kebanyakan orang sebagai Tuhan yang maha adil. namun 

Hukum Moral dan nilai-nilai spiritual, agar bisa dilaksanakan,

harus diketahui. Adapun dalam hal kekuatan persepsi kognitif,

manusia memiliki perbedaan yang tegas antara satu dengan

lainnya hingga ke taraf yang tidak terbatas. Lebih jauh, persepsi

moral dan keagamaan juga sangat berbeda dari semata-mata

persepsi intelektual, sebab  suatu kualitas hakiki dari yang

pertama (yakni persepsi moral dan keagamaan – pen.) adalah

bahwa bersama-sama dengan persepsi ia membawa suatu rasa

“daya tarik” (gravity) yang istimewa dan  menjadikan

subyeknya terjelma secara bermakna. Persepsi, juga persepsi

moral, dengan demikian memiliki tingkatan-tingkatan.

Variasinya tidak hanya antara individu-individu yang berbeda,

namun  kehidupan batin seorang individu juga bervariasi dari

waktu ke waktu menurut sudut pandang ini….

Nah, nabi adalah seseorang yang keseluruhan karakter,

keseluruhan perilaku aktualnya, rata-rata jauh lebih unggul

ketimbang manusia pada umumnya. Ia merupakan seseorang

yang ab initio tidak sabar terhadap manusia dan bahkan

terhadap sebagian besar ideal mereka, dan  berkehendak

menciptakan kembali sejarah. sebab  itu, ortodoksi Islam

mengambil kesimpulan yang secara logis adalah benar bahwa

nabi-nabi harus dipandang kebal dari kesalahan-kesalahan yang

serius (doktrin ‘ismah); Muhammad adalah manusia semacam

itu, yang pada faktanya merupakan satu-satunya manusia

seperti itu yang dikenal sejarah…. namun  dengan seluruh

keistimewaan ini, ada  saat-saat di mana ia – sebagaimana

biasanya – “melampaui dirinya sendiri” dan persepsi moral

kognitifnya menjadi sedemikian akut dan tajam hingga

kesadarannya menjadi identik dengan Hukum Moral itu

sendiri. “Demikianlah, Kami benar-benar memberi ilham

kepadamu dengan suatu Ruh dari Perintah Kami: Kamu tidak

mengetahui apa al-Kitab itu. namun  Kami telah jadikan ia suatu

cahaya” (42:52). namun  Hukum Moral dan nilai-nilai religius

merupakan Perintah Tuhan, dan meskipun keduanya sama

sekali tidak identik dengan Tuhan, namun keduanya

merupakan bagian dari-Nya. Dengan demikian al-Quran itu

betul-betul murni Ilahi…. saat  persepsi moral Muhammad

mencapai titik tertinggi dan menjadi identik dengan Hukum

Moral itu sendiri (sesungguhnya dalam saat-saat semacam ini

perilakunya sendiri berada di bawah kritisisme al-Quran), maka

kata-kata diberikan bersama inspirasi itu sendiri. Dengan

demikian al-Quran adalah murni Kalam Ilahi; namun , tentu

saja, secara berbarengan berhubungan erat dengan kepribadian

Nabi yang kaitannya tidak dapat dibayangkan secara mekanis

seperti sebuah perekam. Kalam Ilahi itu mengalir melalui hati

Nabi.

Penjelasan psikologis tentang pewahyuan al-Quran di atas

mungkin merupakan salah satu penjelasan yang paling dapat

diterima oleh akal pikiran modern. Dalam psikologi analitis atau

psikologi kompleks, yang dirintis Carl Gustav Jung, fenomena

wahyu atau pengalaman kenabian bisa dijelaskan lewat konsep

heuristik tentang bawah sadar. Di sini dipandang bahwa pesan

Ilahi datang kepada Nabi dari bawah sadarnya; dan ini tentunya

sejalan dengan pengalaman Nabi tentang pesan yang datang

kepadanya dari luar dirinya, sebab  bawah sadar berada di luar

diri dalam pengertian di luar akal yang sadar. Jadi, konsep heuristik

membuka kemungkinan bahwa Tuhan dapat bekerja melalui bawah

sadar seorang nabi. Lebih jauh, bawah sadar berkait erat dengan

alam sadar dalam pengertian apa yang masuk ke dalam akal pikiran

seseorang dari bawah sadarnya diungkapkan dalam istilah-istilah

pandangan dunianya yang sadar, meski bawah sadar juga akan

terlihat memiliki dinamisme batin yang menjangkau ke depan

yang darinya pemikiran baru bisa muncul. Jika pesan al-Quran

diterima akal sadar Nabi dari bawah sadarnya dalam cara semacam

itu, maka hal ini akan bisa menjelaskan mengapa pesan ilahi itu

diungkapkan dalam istilah-istilah mutakhir di kalangan orang-

orang Makkah dan pandangan dunia Arab saat  itu, dan 

bagaimana pesan ini  mencerminkan inisiatif Ilahi.

Dalam sejarah pemikiran Islam, gagasan tentang hakikat wahyu

yang diterima Nabi – apakah dalam bentuk verbal atau sekedar

ide – merupakan salah satu masalah yang telah menimbulkan

kontroversi akut dan berkepanjangan. Sebagian sarjana Muslim

memandang bahwa wahyu disampaikan hanya dalam bentuk ide

saja, Nabi kemudian mengungkapkan redaksinya dengan kata-

katanya sendiri dalam bahasa Arab. Sebagian sarjana Muslim

lainnya menegaskan bahwa Allah hanya menyampaikan ide kepada

Jibril, lalu Jibril mengungkapkan gagasan wahyu ini  ke dalam

bahasa Arab yang selanjutnya disampaikan kepada Nabi. Sementara

mayoritas sarjana Muslim berpendapat bahwa al-Quran itu

diwahyukan dalam bentuk lafadz maupun maknanya.64

Pendapat pertama dan kedua di atas, secara sederhana bisa

dikesampingkan sebab  bertentangan dengan gagasan al-Quran

tentang pewahyuan verbal. Sementara pandangan ketiga, hingga

taraf tertentu, sejalan dengan penegasan al-Quran. namun , pada

sisi lain, pendapat ini gagal mengaitkan kepribadian terdalam Nabi

dalam proses pewahyuan. Bahkan, gambaran yang ditampilkannya

tentang hubungan antara Nabi dan wahyu justeru sangat bersifat

mekanis dan eksternal – yakni wahyu datang kepada Nabi melalui

telinga dan agen wahyu itu bersifat eksternal baginya.65  Padahal,

seperti ditunjukkan di atas, al-Quran tampaknya menekankan baik

karakter verbal wahyu itu sendiri maupun hubungan intimnya

dengan kepribadian religius Nabi.

Beberapa petunjuk bisa ditemukan di dalam al-Quran yang

menyiratkan bahwa sebagian besar pengalaman kenabian

Muhammad itu terjadi di malam hari, waktu “yang paling kuat

kesannya dan paling pantas dalam pembicaraan,” dibandingkan

siang hari, saat  ia disibukkan dengan berbagai urusan (73:1-7).

berdasar  konteks bagian al-Quran ini dan beberapa bagian

lainnya (22:1; 76:26; 17:79; 73:20 97:1 cf. 74:1-7), dapat dipastikan

bahwa sejak awal kenabiannya Muhammad sangat sering bangun

malam untuk bertahajjud, disamping berpuasa – suatu exercise

yang diakui oleh tokoh psikologi J. Mueller mampu meningkatkan

kemampuan rukyah (visionsvermoegen).66  Peristiwa mi‘rãj, yang

merupakan manifestasi pengalaman kenabian Muhammad,

disebutkan al-Quran terjadi pada malam hari (l7:1). Tentu saja,

pengalaman kenabian ini  terjadi juga di waktu yang lain, namun 

frekuensinya mungkin tidak sebanyak di malam hari. Berbeda

dengan pandangan ini, Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1505) menduga

bahwa bagian terbesar al-Quran diwahyukan di siang hari.67

Sebagaimana nabi-nabi terdahulu, Muhammad juga mesti

menghadapi gangguan setan yang terkadang campur tangan dalam

pewahyuan: “Tidak pernah Kami utus seorang rasul atau nabi

sebelummu (Muhammad) melainkan saat  ia berpikir setan

memasukkan sesuatu ke dalam pikirannya” (22:52), namun  Allah

selalu menghapuskan apa-apa yang dimasukkan setan itu (22:52;

cf. 2:106; 16:101) dan mengukuhkan ayat-ayat-Nya (22:52 cf. 11:1;

3:7; 47:20). Oleh sebab  itu, di beberapa tempat di dalam al-Quran

Nabi diperintahkan untuk mencari perlindungan kepada Allah

dari gangguan setan (7:200; 41:36; 23:97; 17:53; 12: 100; 16:98).

namun , usaha  ini terkadang tidak membawa hasil. Kisah termasyhur

tentang ayat-ayat setan yang diakui keabsahannya oleh Muhammad

ibn Jarir al-Thabari (w. 922),68  sekalipun dengan tegas selalu ditolak

mayoritas komentator Muslim, merupakan suatu indikasi akan

campur tangan setan dalam pewahyuan. Kisah ayat-ayat setan itu

sangat cocok dengan konteks kesejarahannya, dan beberapa  bagian

al-Quran (misalnya 17:73-76; 6:57 f.;  4:113; 10: 15 f.; dll.) juga

menunjukkan bahwa kejadian semacam itu sangat memungkinkan

ditinjau dari sudut pandang psikologis.

Lebih jauh, bagian-bagian al-Quran lainnya (2:106; 13:39;

16:101; 87:6 f.) juga mengindikasikan bahwa ayat-ayat tertentu

digantikan oleh ayat-ayat lainnya, namun  tentu saja hal ini tidaklah

menjustifikasi doktrin nasikh-mansukh yang belakangan

berkembang di kalangan sarjana Muslim. Penggantian-penggantian

semacam ini merefleksikan karakteristik hakiki pewahyuan gradual

al-Quran, dan sebab  itu harus dipahami dalam bentangan

pewahyuan kitab suci ini  yang secara bertahap

mengungkapkan dirinya dengan mengacu pada kondisi-kondisi

sosio-kultural yang dihadapi Nabi. Lebih jauh, al-Quran

memandang bahwa bukan hal yang aneh jika seorang nabi – sebagai

manusia biasa (3:79; 14:11; 18:110; 41:6; 21:34; dll.) – tidak selalu

konsisten, sebab  hanya dengan demikian ia menjadi panutan atau

teladan bagi umat manusia.69

Jadi, dalam gambaran al-Quran, pengalaman kenabian

Muhammad adalah suatu pengalaman yang bersifat spiritual dan

internal, sekalipun dorongan-dorongan ke arah terjadinya

pengalaman ini  bisa saja bersifat eksternal. namun , gambaran

semacam ini jarang ditemukan dalam koleksi hadits-hadits. Bahkan,

sebagian besar gambaran hadits yang dipandang sebagai mekanisme

pewahyuan justeru tidak berkaitan dengan wahyu al-Quran.70

Gambaran tentang mekanisme pewahyuan semacam ini bisa

ditemukan dalam koleksi hadits-hadits awal. Menjawab pertanyaan

bagaiamana cara pewahyuan kepadanya, Nabi mengemukakan

bahwa terkadang wahyu datang kepadanya laksana gemerincing

lonceng. Sesudah hal itu berlalu, Nabi memahami wahyu yang

disampaikan kepadanya. Di lain kesempatan, malaikat menjelma

sebagai seorang lelaki tampan dan menyampaikan wahyu secara

lisan kepadanya.71

Belakangan, saat  hadits-hadits dalam koleksi lainnya

dimasukkan ke dalam pertimbangan, mekanisme pewahyuan juga

berkembang menjadi beberapa macam. Dalam karyanya, al-Itqãn

fî ‘Ulûm al-Qur’ãn, al-Suyuthi, misalnya, mengemukakan  cara-cara

pewahyuan  sebagai berikut:  (i)  wahyu datang laksana gemerincing

lonceng; (ii) wahyu dihunjamkan ke dalam hati Nabi oleh Jibril;

(iii) Jibril menyampaikan wahyu dengan merupakan diri sebagai

manusia; dan (iv) wahyu disampaikan oleh Tuhan secara langsung

(tanpa perantara), baik saat  Nabi terjaga – sebagaimana dalam

peristiwa mi‘raj – ataupun dalam impian.72

Sarjana-sarjana Muslim modern, yang mendapat informasi

lebih banyak dari sejarah keagamaan Islam, merekam mekanisme

pewahyuan secara lebih ekstensif dan bervariasi. Hasbi Ash-

Shiddieqy (w. 1975), misalnya, setelah menegaskan bahwa Nabi

telah mengalami seluruh macam tingkatan (martabat) pewahyuan,

kemudian mengutip pandangan yang menjelaskan tujuh martabat

wahyu yang dialami Nabi: (i) mimpi; (ii) wahyu dicampakkan ke

dalam hati Nabi; (iii) wahyu datang kepada Nabi laksana

gemerincing lonceng; (iv) malaikat yang menyampaikan wahyu

menjelmakan dirinya dalam bentuk lelaki tampan (Dihyah ibn

Khalifah); (v) Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk asli;

(vi) Tuhan berbicara kepada Nabi dari balik tabir, baik dalam

keadaan terjaga ataupun dalam impian; dan (vii) sebelum Jibril

menyampaikan wahyu al-Quran, Israfil – atau Mikail, menurut

hadits lainnya – turun membawa beberapa kalimat wahyu. Ash-

Shiddieqy juga menambahkan beberapa  keterangan lain – yakni

wahyu Tuhan kepada Nabi saat  mi‘raj, firman Tuhan langsung

tanpa perantara kepada Nabi, datangnya wahyu seperti dengungan

lebah – untuk melengkapi ketujuh martabat wahyu ini .73

Gambaran yang dikemukakan ini memang telah cukup lengkap.

namun , kita juga dapat menambahkan, selaras dengan keterangan

Thabari, bahwa saat  menyampaikan wahyu jibril pun pernah

menjelma dalam rupa Aisyah (bi-shûrah ‘ã’isyah).74

Terlihat jelas bahwa sebagian besar cara penyampaian wahyu

kepada Nabi yang diberitakan dalam hadits-hadits, pada dasarnya

merupakan bagian dari usaha  untuk menjelaskan bagian-bagian

tertentu al-Quran yang bertalian dengan mekanisme pewahyuan.

Sejak masa yang awal, kaum Muslimin terlihat telah berselisih

pendapat tentang masalah apakah Nabi pernah melihat Tuhan

dan menerima langsung – tanpa perantara – wahyu dari-Nya atau

tidak. Aisyah, salah satu istri Nabi, misalnya, dengan tegas

menyangkali kemungkinan semacam itu.75  Sekalipun demikian,

sudut pandang yang mengkonfirmasi kemungkinan Muhammad

melihat Tuhan dan menerima wahyu secara langsung dari-Nya tetap

bertahan di dalam hadits-hadits. Sebagian lagi berusaha 

melunakkan sudut pandang terakhir ini dengan menegaskan bahwa

Nabi telah melihat Tuhan dengan hatinya (bi-qalbihi atau

bifu’ãdihi).76  namun , dari sudut pandang al-Quran yang ketat, seperti

telah dikemukakan di atas, kemungkinan ru’yatu-llãh ataupun

pewahyuan langsung dari Tuhan adalah negatif.

Demikian pula, gagasan-gagasan yang dibangun tentang

mekanisme wahyu berdasar   beberapa  hadits  yang

menggambarkan wahyu datang “melalui mata atau telinga”, dapat

dikatakan bertentangan secara diametral dengan gagasan al-Quran

yang menekankan proses pewahyuan internal. Fazlur Rahman

menilai hadits-hadits semacam ini sebagai “fiksi-fiksi belakangan”

dan pada umumnya baru diakui dan  diterima jauh belakangan,

atau direkayasa saat  ajaran-ajaran dogmatis Islam tengah dalam

proses pembentukan.

Serangkaian gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian

Muhammad, sebagaimana disaksikan sahabat-sahabat-nya, juga

banyak diungkapkan dalam hadits-hadits. Gejala-gejala ini 

dapat dikemukakan sebagai berikut: (i) keringat terlihat mengucur

di dahi Nabi saat  menerima wahyu, bahkan pada hari yang

bertemperatur dingin; (ii) Nabi menutup kepalanya, kulitnya

bersemu merah, mendengkur seperti tertidur, atau bergemeletuk

seperti unta muda, dan setelah beberapa saat ia pulih dari keadaan

ini ; (iii) wajah Nabi memucat kelabu; (iv) Nabi berada dalam

keadaan tidak sadar diri (subãt ); (v) paha Zayd ibn Tsabit yang

tertimpa paha Nabi saat  datangnya wahyu terasa dibebani beban

yang berat sehingga seakan-akan hendak patah, demikian pula unta

yang ditumpangi Nabi saat  datangnya wahyu terlihat tidak dapat

menahan bebannya, sehingga Nabi harus turun dari punggungnya;

dan lain-lain.

Gejala-gejala fisik yang dialami Muhammad dalam momen-

momen kenabiannya itu telah menimbulkan beberapa  spekulasi

di kalangan sarjana Barat. Pada abad pertengahan, gejala-gejala fisik

ini  biasanya dikaitkan dengan penyakit epilepsi;79  dan teori

tentang penyakit ayan ini belakangan diperluas para sarjana Barat

modern. Gustav Weil merupakan sarjana Barat modern pertama

yang berusaha  membuktikan secara ilmiah bahwa Nabi menderita

sejenis epilepsi.80  Teori ini kemudian dielaborasi oleh Aloys

Sprenger dengan menambahkan bahwa Nabi juga menderita

histeria.81  Namun, dalam karya monumentalnya tentang sejarah

al-Quran, Geschichte des Qorans,82  Theodor Noeldeke secara keras

menolak dugaan atau teori bahwa Muhammad menderita epilepsi.

Ia bahkan menegaskan realitas inspirasi kenabian Muhammad.

Sekalipun demikian, Noeldeke masih mengemukakan anggapan

bahwa Nabi mengalami gangguan emosi yang tidak terkendali,

yang membuatnya yakin bahwa ia berada di bawah pengaruh

Ilahi.

Teori-teori fantastik para sarjana Barat tentang gejala-gejala fisik

yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad, sebagaimana

dikemukakan di atas, tentu saja mendapat tanggapan balik yang

keras dari sarjana-sarjana Muslim modern. Fazlur Rahman,

misalnya, mengemukakan:

Bila diteliti secara saksama, teori tentang penyakit epilepsi

(ayan) itu menghadapi sanggahan yang – menurut kami – akan

memporak-porandakannya. Pertama, kondisi ini baru timbul

saat  Muhammad memulai karir kenabiannya pada usia

sekitar empat puluh tahun; tidak ada jejak ayan itu dalam

kehidupannya yang awal. Kedua, hadits menjelaskan bahwa

kondisi ini  hanya terjadi berbarengan dengan pengalaman

penerimaan wahyu dan tidak pernah terjadi secara terpisah.

Sungguh, ini merupakan suatu jenis penyakit ayan yang aneh,

yang selalu kambuh di saat turunnya prinsip-prinsip hidayah

bagi suatu gerakan yang sedemikian kuat dan kreatifnya seperti

gerakan Nabi, dan tidak pernah kambuh di waktu lain. Tentu

saja Kami tidak menolak kemungkinan seseorang diserang

epilepsi dan secara berbarengan diberkahi dengan pengalaman-

pengalaman spiritual; namun  masalahnya adalah gangguan

epilepsi paling tidak sesekali harus bisa terjadi secara terpisah

dari pengalaman spiritual, sekalipun pengalaman spiritual itu

tidak bisa terjadi tanpa gangguan penyakit ayan. Terakhir,

hampir tidak bisa dipercaya bahwa suatu penyakit yang jelas

terlihat seperti penyakit ayan ini tidak mampu  diidentifikasi

secara jelas dan pasti oleh warga  yang berpengalaman

seperti warga  Makkah atau Madinah.

Sekalipun sanggahan Rahman di atas diungkapkan dengan

gaya yang sangat apologetik, tiga alasan yang dikemukakannya

untuk menolak fantasi-fantasi liar yang berkembang di kalangan

sarjana Barat mengenai serangkaian gejala fisik yang menyertai

momen-momen kenabian Muhammad adalah alasan-alasan yang

logis dan dijustifikasi oleh kenyataan historis. Bahkan, keberatan

terhadap teori-teori imajinatif Barat juga telah muncul di kalangan

sarjana Barat sendiri. Merevisi pandangan-pandangan negatif

terhadap Nabi yang diajukan para pendahulunya – Weil, Sprenger,


Noeldeke, dan lainnya – W. M. Watt menegaskan bahwa para sarjana

ini  terlalu memusatkan perhatiannya pada hadits-hadits

tertentu ketimbang pada al-Quran. Selanjutnya ia mengemukakan:

Terlalu sedikit perhatian yang dicurahkan pada kenyataan

bahwa Muhammad … adalah seorang yang sehat jasmani dan

rohaninya ditinjau dari berbagai segi. Adalah tidak masuk akal

jika seorang penderita epilepsi atau histeria, atau bahkan

gangguan emosi yang tidak terkendali, dapat menjadi

pemimpin ekspedisi-ekspedisi militer yang aktif, atau pemandu

yang kalem dan berpandangan luas dari suatu negara-kota dan 

suatu warga  keagamaan yang sedang tumbuh dan

berkembang …. Dalam masalah-masalah semacam ini, prinsip

yang semestinya dipegang sejarawan adalah bertumpu terutama

pada data al-Quran dan hanya menerima hadits sepanjang

selaras dengan hasil kajian terhadap al-Quran. Walaupun

demikian, al-Quran … tidak menyebut sesuatupun yang

mendukung keyakinan tentang beberapa  penyakit yang diderita

Muhammad.

Lebih jauh, Watt menuduh bahwa pandangan-pandangan

pendahulunya itu merupakan pengungkapan kembali mitos-mitos

abad pertengahan. Pada titik ini ia memberi nasehat kepada rekan-

rekan Baratnya bahwa “konsepsi-konsepsi abad pertengahan itu

sudah semestinya dikesampingkan,”86  dan selanjutnya

menganjurkan kepada mereka bahwa “Muhammad harus

dipandang sebagai seorang yang tulus dan  telah mengemukakan

secara jujur pesan-pesan yang diyakininya berasal dari Tuhan.”87

Anjuran Watt di atas sudah semestinya ditanggapi secara positif

dan serius oleh rekan-rekan Baratnya; kalau tidak, maka

orientalisme tentunya akan tetap berada dalam status quo, dan

usaha untuk membangun basis dialog antar agama – yang menjadi

ciri abad ini dan secara gigih dikampanyekan kalangan tertentu

orientalis – tentunya akan merupakan usaha  yang sia-sia tanpa

adanya pengakuan yang mendasar dan tulus atas realitas inspirasi

Ilahi yang diterima Muhammad.


Kronologi Pewahyuan al-Quran

Problema Kronologi al-Quran

Dalam bab lalu telah dijelaskan bahwa unit-unit wahyu al-Quran – yang kemudian membentuk kitab suci kaum

Muslimin – disampaikan secara berangsur-angsur kepada Nabi

Muhammad selama kurang lebih 23 tahun, selaras dengan

perkembangan misi kenabiannya. Namun, saat  wahyu-wahyu

ini  dikodifikasi atau “dikumpulkan” – akan dibahas dalam

bab-bab mendatang – pentahapan pewahyuan ini tidak tercermin

di dalamnya. Meskipun demikian, sejak abad-abad pertama Islam

para sarjana Muslim telah menyadari urgensi pengetahuan tentang

penanggalan atau aransemen kronologis bagian-bagian al-Quran

dalam rangka memahami pesan kitab suci ini . Abu al-Qasim

al-Hasan ibn Habib al-Naisaburi, sebagaimana dikutip al-Suyuthi,

misalnya, menegaskan bahwa seseorang tidak berhak berbicara

tentang al-Quran tanpa bekal pengetahuan kronologi pewahyuan

yang memadai.

Pijakan utama untuk penanggalan bagian-bagian al-Quran

adalah riwayat-riwayat sejarah dan tafsir. Riwayat-riwayat yang

dipermasalahkan di sini biasanya mengungkapkan bahwa bagian

tertentu al-Quran diwahyukan sehubungan dengan peristiwa

tertentu. Misalnya surat 8 dihubungkan dengan Perang Badr, surat

33 dengan Perang Khandaq, dan surat 48 dengan Perjanjian

Hudaibiyah. Riwayat-riwayat semacam ini memang merupakan data

historis yang amat membantu penanggalan al-Quran, akan namun 

jumlahnya sangat sedikit dan umumnya bertalian dengan wahyu-

wahyu dari periode Madinah. Sementara riwayat-riwayat lain yang

bertalian dengan wahyu-wahyu periode Makkah, selain jumlahnya

tidak begitu banyak, secara historis data ini  juga sangat

meragukan dan umumnya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa

yang tidak begitu penting dan  tidak diketahui secara pasti kapan

terjadinya. Jadi, 80:1-10, misalnya, dikatakan diwahyukan saat 

seorang buta bernama Abd Allah ibn Umm Maktum menemui

Nabi yang tengah berbincang-bincang dengan beberapa pemuka

suku Quraisy yang diharapkan dapat di-bujuknya.

Riwayat-riwayat semacam ini, dalam tradisi kesarjanaan Islam,

dikatakan membahas “sebab-sebab pewahyuan” (asbãb al-nuzûl ).

Suatu karya standar yang berusaha  menghimpun riwayat-riwayat

ini  disusun oleh al-Wahidi (w. 1075) dengan judul senada.

Sementara karya yang bersifat suplementer terhadapnya disusun

oleh Jalaluddin al-Suyuthi, Lubãb al-Nuqûl. Sayangnya, bahan-

bahan tradisional ini memiliki beberapa  cacat yang mendasar.

Pertama, seperti telah dikemukakan di atas, bahan-bahan itu tidak

lengkap dan hanya menentukan sebab-sebab pewahyuan untuk

beberapa  bagian al-Quran yang relatif sedikit. Lebih jauh, bahan

yang serba sedikit ini sangat rentan terhadap kritik, bahkan pada

tingkatan kritik sanad. Demikian juga, kebanyakan sebab

pewahyuan yang dikemukakan hanya merupakan peristiwa-

peristiwa tidak penting dan tidak diketahui kapan terjadinya, seperti

kisah Umm Maktum di atas. Terakhir, ada  banyak

inkonsistensi di  dalam bahan-bahan ini . Biasanya dikatakan

bahwa bagian al-Quran yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi

adalah permulaan surat 96 (1-5). namun , riwayat lain yang

menyebutkan bahwa wahyu pertama adalah bagian permulaan surat

74 (1-5), atau surat al-Fãtihah (1:1-7). Untuk mengharmoniskan

riwayat-riwayat ini, muncul kisah yang mengungkapkan bahwa

permulaan surat 74 merupakan wahyu pertama setelah masa

terputusnya wahyu (fatratu-l-wahy ) dan surat 1 merupakan surat

pertama yang disampaikan secara utuh. Demikian pula, ada 

beberapa versi riwayat tentang wahyu terakhir yang diterima Nabi.

Salah satunya mengungkapkan bahwa wahyu terakhir yang diterima

Nabi adalah 2:281; sementara versi lain menyatakan 2:282 atau

2:278 sebagai wahyu terakhir. Riwayat lainnya menegaskan bahwa

5:3 adalah wahyu terakhir.

Sekalipun dengan berbagai kelemahannya, bahan-bahan

tradisional yang terhimpun dalam  asbãb al-nuzûl – baik bersifat

historis, semihistoris ataupun legenda – mesti diterima sebagai

pijakan penanggalan al-Quran. Sikap semacam ini – sekalipun

sering tanpa diskriminasi – dipegang oleh kesarjanaan tradisional

Muslim. Demikian pula, usaha -usaha  modern – termasuk yang

dilakukan para sarjana Barat – untuk menemukan pijakan bagi

penanggalan al-Quran, pada umumnya harus bertolak dari bahan

ini , sekalipun dalam kasus-kasus tertentu mesti bertolak

belakang dengannya.

Di samping bahan-bahan tradisional di atas, al-Quran juga

memuat beberapa  data yang dapat membantu usaha 

penanggalannya. Memang ada  beberapa  singgungan peristiwa

yang tidak jelas di dalam al-Quran, akan namun  kitab suci ini juga

berisi beberapa  rujukan historis yang dapat diberi penanggalan.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa rujukan-rujukan jenis

ini yang berasal dari masa Makkah relatif sangat sedikit dan tidak

banyak membantu penanggalan bagian-bagian al-Quran ini .

Contohnya adalah 30:2-5, yang menyebutkan kekalahan Bizantium

dari Persia. Bagian ini barangkali merujuk kepada peristiwa

jatuhnya kota Yerusalem ke tangan Persia pada 614. Demikian

pula, surat 105 berkaitan dengan suatu ekspedisi militer terhadap

kota Makkah yang dilakukan Raja Yaman, Abrahah, pada

pertengahan abad ke-6.

Berbeda dari masa Makkah, rujukan-rujukan historis yang

berasal dari masa Madinah bisa diberi penanggalan lebih akurat

berdasar  sumber-sumber lain. Contohnya adalah Perang Badr

(624) disebut dalam 3:123, Perang Hunain dalam 9:25, perubahan

kiblat dari Yerusalem ke Makkah di penghujung 623 atau awal 624

dalam 2:142-150, penetapan ibadah haji dan ritus-ritusnya di sekitar

624 dalam 2:158,159; 5:95 ff.; dan lain-lain. Di samping itu, anak

angkat Nabi, Zayd ibn Haritsah (w. 629), disebut namanya dalam

33:37 sehubungan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada 627.

Demikian pula, berbagai peristiwa lainnya disinggung, meskipun

tidak diidentifikasi, seperti Perang Uhud (625) dalam 3:155-174;

pengusiran suku Yahudi banu Nadzir (625) dalam 59:2-5; Perang

Khandaq (627) dalam 33:9-27; ekspedisi ke Khaybar (628) dalam

48:15-19; ekspedisi ke Tabuk (630) dalam 9:29-35; dan lainnya.

namun , sebagaimana dengan periode Makkah, rujukan-rujukan

historis yang berasal dari periode Madinah ini jumlahnya relatif

sedikit. Namun, keseluruhan rujukan historis dalam konteks

Madinah itu sangat bermanfaat sebagai titik awal sistem

penanggalan al-Quran.

Penetapan al-Quran sebagai sumber primer hukum Islam juga

memainkan peran penting dalam usaha  penyusunan suatu

aransemen kronologis kitab suci ini . Hal ini tercermin jelas

dalam berbagai bahasan tradisional tentang nãsikh-mansûkh.3  Para

sarjana Muslim mengakui adanya perbedaan dalam ayat-ayat al-

Quran yang menetapkan peraturan-peraturan bagi komunitas

Muslim, dan mereka menjelaskan bahwa ayat paling akhir yang

diturunkan untuk suatu masalah tertentu telah “menghapus”

seluruh ayat yang turun sebelumnya tentang masalah itu dan

berkontradiksi dengannya. Contohnya adalah kasus pengharaman

khamr di dalam al-Quran. Menurut para sarjana fiqh, 5:90-91 –

yang merupakan rangkaian terakhir dari ayat-ayat al-Quran tentang

alkohol – telah menghapus wahyu-wahyu yang mendahuluinya

dalam masalah yang sama (16:66-69; 2:219; 4:43).

Elaborasi doktrin nãsikh-mansûkh ini bahkan  pada abad ke-

8 hingga abad ke-11 telah mencapai suatu proporsi yang sangat

mengerikan dan dramatis dalam sejarah pemikiran Islam.4  Ibn

Syihab al-Zuhri (w. 742) menyebut 42 ayat yang dinasakh, al-Nahhas

(w. 949) mengidentifikasi 138 ayat, Ibn Salamah (w. 1020)

mengemukakan 238 ayat. Kecenderungan ini terlihat masih tetap

bertahan pada beberapa abad berikutnya. Jadi, Ibn al-‘Ata’iqi (w.

1308) menyebut 231 ayat yang terhapus.5  namun , pada masa

selanjutnya, kuantitas ayat-ayat yang dinasakh sedikit demi sedikit

mulai direduksi. Pada masa al-Suyuthi, ratusan ayat mansûkhãt

itu telah  direduksi menjadi hanya 20 ayat;  sementara pada masa

Syah Wali Allah, jumlah yang dinasakh tinggal 5 ayat.6  Melihat

bagaimana ayat-ayat mansûkhãt ini kian lama kian berkurang

dalam kuantitasnya seiring dengan berlalunya masa, Sayyid Ahmad

Khan (w. 1898) kemudian secara tegas memproklamasikan bahwa

di dalam al-Quran tidak ada  doktrin nãsikh-mansûkh

sebagaimana dipahami para  fukaha.

Risalah-risalah tentang nãsikh-mansûkh yang disusun pada

masa-masa silam itu dalam kenyataannya telah mempengaruhi

perkembangan penanggalan al-Quran dengan memapankan teori

tentang aransemen kronologis kelompok-kelompok tertentu ayat-

ayat individual al-Quran. Sekalipun ada kecenderungan sangat kuat

di kalangan sarjana Muslim pada periode modern Islam untuk

menolak doktrin nãsikh-mansûkh di dalam al-Quran, sebagaimana

pemahamannya di masa silam. namun , literatur-literatur yang

berkembang dalam disiplin ini bisa – dan pada faktanya telah –

dimanfaatkan sebagai petunjuk kasar untuk penanggalan bagian-

bagian individual tertentu al-Quran.

usaha  penanggalan bagian-bagian al-Quran juga menjadi

semakin kompleks dengan adanya asumsi bahwa surat-surat seperti

yang ada dewasa ini dalam mushaf al-Quran adalah unit-unit wahyu

orisinal – yakni dengan pengecualian beberapa  kecil ayat di dalam

beberapa surat, setiap surat al-Quran diwahyukan sekaligus atau

selama suatu periode yang singkat sebelum surat berikutnya

diturunkan. Surat-surat ini kemudian diklasifikasikan sebagai “surat

Makkiyah” atau “surat Madaniyah” – yakni surat yang diwahyukan

sebelum atau setelah hijrah8  – dan diusaha kan penentuan susunan

kronologis yang setepatnya dari seluruh surat, sekalipun terlihat

bahwa kesarjanaan Muslim yang awal tidak bersepakat sehubungan

dengan penanggalan beberapa  surat – apakah masuk kategori

Makkiyah atau Madaniyah – dan penempatan surat-surat tertentu

dalam rangkaian kronologisnya.

Ada beberapa  riwayat tentang susunan kronologis surat-surat

al-Quran yang dijadikan basis untuk penentuan ini  – seperti

akan dikemukakan di bawah. namun , karakter utama riwayat-riwayat

ini  –  yang hanya memperhatikan bagian awal surat-surat al-

Quran untuk aransemen kronologisnya, tanpa menyinggung ayat-

ayat berikutnya dalam suatu surat yang diintegrasikan ke dalam

surat ini  baik dari masa lebih awal atau dari masa belakangan

– mengandung kelemahan yang sangat mendasar. Riwayat-riwayat

ini juga bertentangan secara diametral dengan sumber-sumber

lainnya, seperti riwayat asbãb al-nuzûl atau literatur nãsikh-

mansûkh, yang menampakkan bagian-bagian pendek al-Quran

sebagai unit orisinal wahyu. Sekalipun demikian, usaha -usaha 

kesarjanaan Islam ini bukannya tidak berharga. usaha  ini 

bahkan telah membentuk basis bagi kajian kronologi al-Quran

dalam dua abad terakhir ini.

Barangkali, lantaran berbagai kelemahan yang telah disebutkan,

beberapa  sarjana Muslim belakangan meninggalkan riwayat-riwayat

yang membingungkan dan berusaha  menyusun kronologi

pewahyuan al-Quran dengan menelaah secara kritis gaya bahasanya.

Mereka, misalnya, menyimpulkan bahwa di tempat-tempat di mana

muncul ungkapan “yã ayyuhã-lladzîna ãmanû,” maka sebagian

besar darinya merupakan wahyu periode Madinah; sementara

ungkapan “yã ayyuhã-l-nãs” sebagian besar berasal dari periode

Makkiyah.10  Demikian pula, disimpulkan bahwa ayat-ayat

Makkiyah lebih pendek dibandingkan ayat-ayat Madaniyah.11

Bahkan riwayat-riwayat asbãb al-nuzûl tentang ayat-ayat atau surat-

surat tertentu ditolak dengan alasan-alasan tertentu. Al-Suyuthi

banyak mengungkapkan contoh tentang aksioma kritis semacam

itu.12  Dalam periode modern Islam, Ahmad Khan melangkah lebih

jauh lagi dengan memandang bahwa penelusuran asbâb al-nuzûl

lewat riwayat-riwayat adalah lemah. “Jalan paling selamat,”

menurutnya, “adalah mencari asbâb al-nuzûl di dalam konteks

kalam dan  gaya al-Quran, setelah mempertimbangkan hal-hal

mendasar yang dinyatakan di dalam al-Quran.”13

Kronologi al-Quran Kesarjanaan Islam

Sebagaimana disebutkan di atas, ada  beberapa  riwayat

aransemen kronologis surat-surat al-Quran yang relatif cukup

lengkap. Riwayat-riwayat ini berusaha   mengungkapkan  secara

runtut  pewahyuan  bagian-bagian  al-Quran,  mulai dari pewahyuan

pertama sampai ke masa menjelang Nabi hijrah ke Madinah

ataupun pewahyuan setelah itu – yakni setelah hijrah ke Madinah

– hingga turunnya wahyu terakhir. Ringkasnya, riwayat itu

menuturkan aransemen kronologis wahyu-wahyu Makkiyah dan

Madaniyah. Jika riwayat-riwayat ini  dibandingkan antara satu

dengan lainnya, akan terlihat beberapa  kemiripan ataupun

perbedaannya. Tiga riwayat kronologi pewahyuan surat-surat al-

Quran yang dikemukakan berikut ini, memperlihatkan kemiripan

dalam aransemen surat-suratnya.14  Riwayat pertama bersumber dari

Ibn Abbas;15  riwayat kedua bersumber dari manuskrip karya Umar

ibn Muhammad ibn Abd al-Kafi dari abad ke-15; 16   dan riwayat

ketiga bersumber dari Ikrimah dan Husain ibn Abi al-Hasan:17


Susunan Kronologis Surat Makkiyah Riwayat

Ibn Abbas, al-Kafi, Ikrimah & al-Hasan

        Urut                  Ibn Abbas                       al-Kafi                   Hikrimah & al-Hasan

    Kronologis      Nama  & No. Surat*        Nama  & No. Surat*         Nama  & No. Surat*

1 al-‘Alaq 96 al-‘Alaq 96 al-‘Alaq 96

2 al-Qalam 68 al-Qalam 68 al-Qalam 68

3 al-Muzzammil 73 al-Muzzammil 73 al-Muzzammil 73

4 al-Muddatstsir 74 al-Muddatstsir 74 al-Muddatstsir 74

5 al-Lahab 111 al-Lahab 111 al-Lahab 111

6 al-Takwîr 81 al-Takwîr 81 al-Takwîr 81

7 al-A‘lã 87 al-A‘lã 87 al-A‘lã 87

8 al-Layl 92 al-Layl 92 al-Layl 92

9 al-Fajr 89 al-Fajr 89 al-Fajr 89

10 al-Dluhã 93 al-Dluhã 93 al-Dluhã 93

11 Alam Nasyrah 94 Alam Nasyrah 94 Alam  Nasyrah 94

12 al-‘Ashr 103 al-‘Ashr 103 al-‘Ashr 103

13 al-‘Ãdiyãt 100 al-‘Ãdiyãt 100 al-‘Ãdiyãt 100

14 al-Kawtsar 108 al-Kawtsar 108 al-Kawtsar 108

15 al-Takãtsur 102 al-Takãtsur 102 al-Takãtsur 102

16 al-Mã‘ûn 107 al-Mã‘ûn 107 al-Mã‘ûn 107

17 al-Kãfirûn 109 al-Kãfirûn 109 al-Kãfirûn 109

18 al-Fîl 105 al-Fîl 105 al-Fîl 105

19 al-Falaq 113 al-Falaq 113 al-Falaq 113

20 al-Nãs 114 al-Nãs 114 al-Nãs 114

21 al-Ikhlãsh 112 al-Ikhlãsh 112 al-Ikhlãsh 112

22 al-Najm 53 al-Najm 53 al-Najm 53

23 ‘Abasa 80 ‘Abasa 80 ‘Abasa 80

24 al-Qadr 97 al-Qadr 97 al-Qadr 97

25 al-Syams 91 al-Syams 91 al-Syams 91

26 al-Burûj 85 al-Burûj 85 al-Burûj 85

27 al-Tîn 95 al-Tîn 95 al-Tîn 95

28 Quraisy 106 Quraisy 106 Quraisy 106

29 al-Qãri‘ah 101 al-Qãri‘ah 101 al-Qãri‘ah 101

30 al-Qiyãmah 75 al-Qiyãmah 75 al-Qiyãmah 75

31 al-Humazah 104 al-Humazah 104 al-Humazah 104

32 al-Mursalãt 77 al-Mursalãt 77 al-Mursalãt 77

33 Qãf 50 Qãf 50 Qãf 50

34 al-Balad 90 al-Balad 90 al-Balad 90

35 al-Thãriq 86 al-Thãriq 86 al-Thãriq 86

36 al-Qamar 54 al-Qamar 54 al-Qamar 54

37 Shãd 38 Shãd 38 Shãd 38

38 al-A‘rãf 7 al-A‘rãf 7 al-Jinn 72

39 al-Jinn 72 al-Jinn 72 Yã Sîn 36

40 Yã Sîn 36 Yã Sîn 36 al-Furqãn 25

41 al-Furqãn 25 al-Furqãn 25 Fãthir 35

42 Fãthir 35 Fãthir 35 Thã Hã 20

43 Maryam 19 Maryam 19 al-Wãqi‘ah 56

44 Thã Hã 20 Thã Hã 20 al-Syu‘arã’ 26

45 al-Wãqi‘ah 56 al-Wãqi‘ah 56 al-Naml 27

46 al-Syu‘arã’ 26 al-Syu‘arã’ 26 al-Qashash 28

47 al-Naml 27 al-Naml 27 al-Isrã’ 17

48 al-Qashash 28 al-Qashash 28 Yûnus 10

49 al-Isrã’ 17 al-Isrã’ 17 Hûd 11

50 Yûnus 10 Yûnus 10 Yûsuf 12

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  103

51 Hûd 11 Hûd 11 sl-Hijr 15

52 Yûsuf 12 Yûsuf 12 al-An‘ãm 6

53 al-Hijr 15 al-Hijr 15 al-Shaffãt 37

54 al-An‘ãm 6 al-An‘ãm 6 Luqmãn 31

55 al-Shãffãt 37 al-Shãffãt 37 Saba’ 34

56 Luqmãn 31 Luqmãn 31 al-Zumar 39

57 Saba’ 34 Saba’ 34 al-Mu’min 40

58 al-Zumar 39 al-Zumar 39 al-Dukhãn 44

59 al-Mu’min 40 al-Mu’min 40 al-Fushshilat 41

60 al-Fushshilat 41 al-Fushshilat 41 al-Syûrã 42

61 al-Syûrã 42 al-Syûrã 42 al-Zukhruf 43

62 al-Zukhruf 43 al-Zukhruf 43 al-Jãtsiyah 45

63 al-Dukhãn 44 al-Dukhãn 44 al-Ahqãf 46

64 al-Jãtsiyah 45 al-Jãtsiyah 45 al-Dzãriyãt 51

65 al-Ahqãf 46 al-Ahqãf 46 al-Gãsyiyah 88

66 al-Dzãriyãt 51 al-Dzãriyãt 51 al-Kahfi 18

67 al-Gãsyiyah 88 al-Gãsyiyah 88 al-Nahl 16

68 al-Kahfi 18 al-Kahfi 18 Nûh 71

69 al-Nahl 16 al-Nahl 16 Ibrãhîm 14

70 Nûh 71 Nûh 71 al-Anbiyã’ 21

71 Ibrãhîm 14 Ibrãhîm 14 al-Mu’minûn 23

72 al-Anbiyã’ 21 al-Anbiyã’ 21 al-Sajdah 32

73 al-Mu’minûn 23 al-Mu’minûn 23 al-Thûr 52

74 al-Sajdah 32 al-Sajdah 32 al-Mulk 67

75 al-Thûr 52 al-Thûr 52 al-Hãqqah 69

76 al-Mulk 67 al-Mulk 67 al-Ma‘ãrij 70

77 al-Hãqqah 69 al-Hãqqah 69 al-Nabã 78

78 al-Ma‘ãrij 70 al-Ma‘ãrij 70 al-Nãzi‘ãt 79

79 al-Nabã 78 al-Nabã 78 al-Insyiqãq 84

80 al-Nãzi‘ãt 79 al-Nãzi‘ãt 79 al-Infithãr 82

81 al-Infithãr 82 al-Infithãr 82 al-Rûm 30

82 al-Insyiqãq 84 al-Insyiqãq 84 al-‘Ankabût 29

83 al-Rûm 30 Al-Rûm 30

84 al-‘Ankabût 29 al-‘Ankabût 29

85 al-Muthaffifîn 83 al-Muthaffifîn 83

Keterangan: *Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang

dicetak tebal.

Sementara susunan kronologis surat-surat al-Quran dari

periode Madaniyah, menurut ketiga riwayat di atas, adalah sebagai

berikut:

Susunan Kronologis Surat Madaniyah Riwayat

Ibn Abbas, al-Kafi, Ikrimah & al-Hasan

        Urut                 Ibn Abbas                         al-Kafi                  Hikrimah & al-Hasan

   Kronologis       Nama  & No. Surat*        Nama  & No. Surat*         Nama  & No. Surat*

1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2 al-Muthaffifîn 83

2 al-Anfãl 8 al-Anfãl 8 al-Baqarah 2

3 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3

104  /  TAUFIK ADNAN AMAL

4 al-Ahzãb 33 al-Ahzãb 33 al-Anfãl 8

5 al-Mumtahanah 60 al-Mumtahanah 60 al-Ahzãb 33

6 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4 al-Mã’idah 5

7 al-Zalzalah 99 al-Zalzalah 99 al-Mumtahanah 60

8 al-Hadîd 57 al-Hadîd 57 al-Nisã’ 4

9 Muhammad 47 Muhammad 47 al-Zalzalah 99

10 al-Ra‘d 13 al-Ra‘d 13 al-Hadîd 57

11 al-Rahmãn 55 al-Rahmãn 55 Muhammad 47

12 al-Insãn 76 al-Insãn 76 al-Ra‘d 13

13 al-Thalaq 65 al-Thalaq 65 al-Rahmãn 55

14 al-Bayyinah 98 al-Bayyinah 98 al-Insãn 76

15 al-Hasyr 59 al-Hasyr 59 al-Thalaq 65

16 al-Nashr 110 al-Nashr 110 al-Bayyinah 98

17 al-Nûr 24 al-Nûr 24 al-Hasyr 59

18 al-Hajj 22 al-Hajj 22 al-Nashr 110

19 al-Munãfiqûn 63 al-Munãfiqûn 63 al-Nûr 24

20 al-Mujãdilah 58 al-Mujãdilah 58 al-Hajj 22

21 al-Hujurãt 49 al-Hujurãt 49 al-Munãfiqûn 63

22 al-Tahrîm 66 al-Tahrîm 66 al-Mujãdilah 58

23 al-Jumu‘ah 62 al-Jumu‘ah 62 al-Hujurãt 49

24 al-Tagãbun 64 al-Tagãbun 64 al-Tahrîm 66

25 al-Shaff 61 al-Shaff 61 al-Shaff 61

26 al-Fath 48 al-Fath 48 al-Jumu‘ah 62

27 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5 al-Tagãbun 64

28 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9 al-Fath 48

29 al-Tawbah 9

Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang

dicetak tebal.

Dari ketiga riwayat susunan kronologis surat-surat al-Quran

di atas, terlihat bahwa riwayat pertama – dari Ibn Abbas – dan

riwayat kedua – bersumber dari manuskrip kitab yang disusun

oleh al-Kafi – identik antara satu dengan lainnya. Sementara riwayat

ketiga – dari Ikrimah dan al-Hasan – hanya memiliki perbedaan

yang relatif sedikit dari dua riwayat sebelumnya. Perbedaan ini

jelas diakibatkan oleh kurangnya beberapa surat di dalam riwayat

ini  dan perbedaan penghitungan jumlah surat Makkiyah dan 

Madaniyah. Jika surat 7 yang tidak eksis dalam susunan kronologis

ini  – barangkali terlewatkan waktu penyalinannya – disisipkan

di antara surat 38 dan surat 72, yang dalam rangkaian kronologi

ketiga menempati urutan surat ke-37 dan ke-38, dan  surat 19 –

yang juga tidak ada  di dalam riwayat ketiga – disisipkan di

antara surat 35 dan surat 20, yang dalam susunan kronologi

menempati urutan ke-41 dan ke-42, maka perbedaan riwayat ketiga

ini dengan dua riwayat sebelumnya semakin kecil: Dalam riwayat

ketiga surat 44 diletakkan setelah surat 40, dan surat 3 diletakkan

setelah surat 2. Selain itu, penempatan surat 83 sebagai surat

pertama dari periode Madaniyah juga telah menimbulkan sedikit

perbedaan, namun  tidak begitu substansial jika dilihat dari urutan

kronologisnya secara menyeluruh.

Satu hal yang terlihat mencolok dari ketiga riwayat di atas

adalah ketiadaan surat 1 di dalam susunan kronologis surat-surat

al-Quran – kasus senada juga terjadi pada hampir keseluruhan

riwayat kronologis lainnya. Hal ini mungkin disebab kan anggapan

bahwa surat ini  turun dua kali (?), pertama kali di Makkah

dan terakhir di Madinah. Dalam mushaf Ibn Abbas, yang menurut

sebagian riwayat tersusun secara kronologis,18  surat 1 ditempatkan

pada urutan ke-6, di antara surat 74 dan surat 111. Jadi, rekonstruksi

riwayat tentang susunan kronologis surat-surat al-Quran versi Ibn

Abbas barangkali bisa memanfaatkan urutan surat mushafnya

sebagai bandingan.

Beberapa riwayat lain tentang susunan kronologis surat al-

Quran, sebagaimana dikemukakan Noeldeke dan Schwally, hanya

memiliki perbedaan yang relatif kecil dengan ketiga riwayat di atas.

Riwayat pertama dan kedua di atas cocok dengan riwayat kedua

dalam Mabãnî I, hanya dalam riwayat terakhir ini surat 58 dan

seterusnya tidak dicantumkan. Riwayat lainnya (Mabãnî, riwayat

ketiga), yang berasal dari Atha’ dari Ibn Abbas, hanya berbeda dalam

hal ketidakpastiannya menempatkan surat 93 pada periode Makkiyah

atau Madaniyah. Sementara riwayat dalam Tãrîkh al-Khamîs tidak

mencantumkan surat 68 dan 73, dan  meletakkan surat 50 dan 90

sebelum surat 95, surat 61 sebelum surat 62 dan surat 9 sebelum

surat 5. Riwayat keempat dalam Mabãnî, yang bersumber dari Sa‘id

ibn al-Musaiyab dan  dihubungkan dengan Ali ibn Abi Thalib dan

Muhammad sendiri, mencantumkan surat 1 sebagai surat paling

awal dari periode Makkah dan surat 53 sebagai surat paling akhir

dari periode Madinah, kemudian menempatkan surat 84 setelah

surat 83. Surat 111 dan  surat 61 tidak dicantumkan. Riwayat pertama

dalam kitab Mabãnî, yang berasal dari al-Kalbi Abu Shalih dan Ibn

Abbas, menempatkan surat 93 sebelum surat 73, surat 55 setelah

surat 94, surat 109 setelah surat 105, surat 22 sebelum surat 91, surat

63 sebelum surat 24, menempatkan surat 13 sebagai surat Madaniyah

pertama, dan  menempatkan surat 56, surat 100, surat 113, dan

surat 114 dalam urutan terakhir  surat-surat periode Madinah.

Riwayat susunan kronologis surat-surat al-Quran yang relatif

agak berbeda – juga dalam rincian penanggalan ayat-ayat di dalam

suatu surat – dari  ketiga riwayat di atas adalah yang ada  dalam

karya Ibn al-Nadim (w. 990/1), Fihrist. Riwayat yang bersumber

dari Muhammad ibn Nu‘man ibn Basyir ini dapat ditabulasikan

sebagai berikut:20

Susunan Kronologis Surat Makkiyah dalam Fihrist

       Urut                 Nama

   Kronologis            Surat                                  No. Surat * & Ayat: Keterangan

1 al-‘Alaq 96:1-5

2 al-Qalam 68

3 al-Muzzammil 73. Bagian (ayat?) terakhir dalam perjalanan ke Makkah

4 al-Muddatstsir 74

5 al-Lahab 111

6 al-Takwîr 81

7 al-A‘lã 87

8 Alam Nasyrah 94

9 al-‘Ashr 103

10 al-Fajr 89

11 al-Dluhã 93

12 al-Layl 92

13 al-‘Ãdiyãt 100

14 al-Kawtsar 108

15 al-Takãtsur 102

16 al-Mã‘ûn 107

17 al-Kãfirûn 109

18 al-Fîl 105

19 al-Ikhlãsh 112

20 al-Falaq 113

21 al-Nãs 114. Menurut yang lain Md.

22 al-Najm 53

23 ‘Abasa 80

24 al-Qadr 97

25 al-Syams 91

26 al-Burûj 85

27 al-Tîn 95

28 Quraisy 106

29 al-Qãri‘ah 101

30 al-Qiyãmah 75

31 al-Humazah 104

32 al-Mursalãt 77

33 Qãf 50

34 al-Balad 90

35 al-Rahmãn 55

36 al-Jinn 72

37 Yã Sîn 36

38 al-A‘rãf 7

39 al-Furqãn 25

40 Fãthir 35

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  107

41 Maryam 19

42 Thã Hã 20

43 al-Wãqi‘ah 56

44 al-Syu‘arã’ 26

45 al-Naml 27

46 al-Qashash 28

47 al-Isrã’ 17

48 Hûd 11

49 Yûsuf 12

50 Yûnus 10

51 al-Hijr 15

52 al-Shãffãt 37

53 Luqmãn 31. Bagian (atau ayat?) terakhir Md.

54 al-Mu’minûn 23

55 Saba’ 34

56 al-Anbiyã’ 21

57 al-Zumar 39

58 al-Mu’min 40

59 al-Fushshilat 41

60 al-Syûrã 42

61 al-Zukhruf 43

62 al-Dukhãn 44

63 al-Jãtsiyah 45

64 al-Ahqãf 46. Bagian (atau ayat?) terakhir Md.

65 al-Dzãriyãt 51

66 al-Gãsyiyah 88

67 al-Kahfi 18. Bagian (atau ayat?) terakhir Md.

68 al-An‘ãm 6. ada  satu ayat  Md. di dalamnya

69 al-Nahl 16. Bagian (atau ayat?) terakhir Md

70 Nûh 71

71 Ibrãhim 14

72 al-Sajdah 32

73 al-Thûr 52

74 al-Mulk 67

75 al-Hãqqah 69

76 al-Ma‘ãrij 70

77 al-Nabã 78

78 al-Nãzi‘ãt 79

79 al-Infithãr 82

80 al-Insyiqãq 84

81 al-Rûm 30

82 al-‘Ankabût 29

83 al-Muthaffifîn 83. Sebagian mengatakan Md.

84 al-Qamar 54

85 al-Thãriq 86

Keterangan: *Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang

dicetak tebal. Md = Madaniyah.

Sementara susunan kronologis surat-surat Madaniyah, yang

dikemukakan Ibn al-Nadim dalam Fihrist dengan mata rantai perawi

lain hingga ke Ibn Abbas, dapat dikemukakan dalam tabel berikut:21


                      Susunan Kronologis Surat Madaniyah dalam Fihrist

   Urut Kronologis                  Nama Surat*            No. Surat* & Ayat/Keterangan

1 al-Baqarah 2

2 al-Anfãl 8

3 al-A‘rãf 7

4 Ãli ‘Imrãn 3

5 al-Mumtahanah 60

6 al-Nisã’ 4

7 al-Zalzalah 99

8 al-Hadîd 57

9 Muhammad 47

10 al-Ra‘d 13

11 al-Insãn 76

12 al-Thalaq 65

13 al-Bayyinah 98

14 al-Hasyr 59

15 al-Nashr 110

16 al-Nûr 24

17 al-Hajj 22

18 al-Munãfiqûn 63

19 al-Mujãdilah 58

20 al-Hujurãt 49

21 al-Tahrim 66

22 al-Jumu‘ah 62

23 al-Tagãbun 64

24 al-Shaff 61

25 al-Fath 48

26 al-Mã’idah 5

27 al-Tawbah 9

28 al-Mu‘awwidzãt 113 dan  114 diwahyukan di Md.

Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang

dicetak tebal. Md = Madaniyah.

Sebagaimana terlihat, susunan kronologis surat 96 sampai

surat 87, surat 108 sampai surat 105, surat 53 sampai surat 90,

surat 25 sampai surat 17, surat  39 sampai surat 18, surat 52

sampai surat 83, dan surat 79 sampai surat 9, secara sepenuhnya

identik dengan  riwayat pertama dan kedua di atas. Sementara

susunan kronologis surat-surat lainnya terlihat memiliki

perbedaan yang cukup berarti – terutama menyangkut surat-surat

Makkiyah dan bagian awal surat-surat Madaniyah.

Apabila susunan kronologis surat-surat al-Quran lainnya

dilibatkan, maka perbedaan ini  semakin mencolok.


Contohnya adalah susunan kronologis yang diriwayatkan dari Jabir

ibn Zayd.22  Dalam susunan kronologis ini, surat 1 diletakkan setelah

surat 74 sebelum surat 111, surat 42 diletakkan setelah surat 18,

dan setelah itu – yakni setelah surat 42 – ditempatkan secara

berturut-turut surat-surat berikut ke dalam susunan selanjutnya

kelompok surat Makkiyah:  surat 32; 21; 16:1-40; 71; 52; 23; 67; 69;

70; 79; 82; 84; 30; 29; dan surat 83. Sementara dari kelompok

Madaniyah, dicantumkan secara sekuensial surat-surat berikut: surat

2; 3; 8; 33; 5; 60; 110; 24; 22; 63; 58; 49; 66; 62; 64; 61; 48; dan  surat

9. namun , al-Suyuthi menyebut riwayat ini sebagai siyãq garîb.23

Perbedaan susunan kronologis surat Madaniyah antara riwayat

Zayd di atas dengan riwayat-riwayat yang telah dikemukakan

sebelumnya, memang terlihat cukup berarti. Perbedaan ini bahkan

semakin substansial jika riwayat-riwayat lainnya juga dimasukkan

ke dalam pertimbangan. Contohnya adalah susunan kronologis

surat-surat Madaniyah menurut Ali ibn Abi Thalhah dan Qatadah

(w. 736), yang dapat diungkapkan secara jelas lewat tabulasi

berikut:

Susunan Kronologis Surat Madaniyah menurut Abi Thalhah

dan Qatadah

         Urut                          Abi Thalhah                                         Qotadah

    Kronologis                 Nama Surat*              No.*                Nama Surat*              No.*

1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2

2 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3

3 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4

4 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5

5 al-Anfãl 8 al-Tawbah 9

6 al-Tawbah 9 al-Ra‘d 13

7 al-Hajj 22 al-Nahl 16

8 al-Nûr 24 al-Hajj 22

9 al-Ahzãb 33 al-Nûr 24

10 al-Kãfirûn 109 al-Ahzãb 33

11 al-Fath 48 Muhammad 47

12 al-Hadîd 57 al-Fath 48

13 al-Mujãdilah 58 al-Hujurãt 49

14 al-Hasyr 59 al-Hadîd 57

15 al-Mumtahanah 60 al-Rahmãn 55

16 al-Shaff 61 al-Mujãdilah 58

17 al-Tagãbun 64 al-Hasyr 59

18 al-Thalaq 65 al-Mumtahanah 60


           19 al-Tahrîm 66 al-Shaff 61

20 al-Fajr 89 al-Jumu‘ah 62

21 al-Layl 92 al-Munãfiqûn 63

22 al-Qadr 97 al-Tagãbun 64

23 al-Bayyinah 98 al-Thalaq 65

24 al-Zalzalah 99 al-Tahrîm 66

25 al-Nashr 110 al-Zalzalah 99

26 al-Nashr 110

Keterangan:  * Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga dengan nomor surat yang

dicetak tebal.

Kedua riwayat susunan kronologis surat Madaniyah di atas

memiliki perbedaan yang sangat substansial dibandingkan riwayat-

riwayat sebelumnya. Selain urutan kronologis surat-surat dalam

kedua riwayat itu cukup berbeda, ada  surat-surat tertentu yang

dalam riwayat-riwayat terdahulu dikategorikan sebagai surat

Makkiyah, kini dikelompokkan ke dalam surat-surat Madaniyah.

Contohnya adalah surat 89; 92; dan 97 dalam riwayat Abi Thalhah;

dan  surat 16 dalam riwayat Qatadah. Sebaliknya, beberapa  surat

yang dalam riwayat-riwayat terdahulu ditempatkan pada periode

Madaniyah, kini tidak eksis lagi dalam kedua susunan kronologis

di atas.

    Berbagai susunan kronologis surat-surat al-Quran yang

dikemukakan sejauh ini memperlihatkan – selain perbedaan-

perbedaan dalam sekuensi dan pengelompokkan surat-surat tertentu

sebagai Makkiyah atau Madaniyah – adanya kesepakatan tentang

susunan beberapa  tertentu surat Makkiyah dan Madaniyah. namun ,

kesamaan ini juga memancing timbulnya dugaan bahwa susunan-

susunan kronologis ini  barangkali berasal dari satu sumber

yang sama. Dalam susunan surat yang disepakati keseluruhan

riwayat itu, ada surat-surat tertentu yang ditempatkan agak

belakangan dalam rangkaian kronologis, padahal surat-surat itu

dapat dipastikan – lewat berbagai petunjuk yang kuat – berasal

dari masa lebih awal, atau sebaliknya. Contohnya adalah surat 55

yang dikelompokkan ke dalam surat Madaniyah. Sebagaimana

diungkapkan al-Suyuthi, mayoritas ulama (jumhûr) memandang

surat ini sebagai surat Makkiyah berdasar  sebuah hadits dari

Jabir. Bahkan berpijak pada hadits dari Asma’ binti Abi Bakr, al-

Suyuthi juga menyimpulkan bahwa surat ini  turun lebih

dahulu dari surat 15. Contoh sebaliknya adalah surat 112 yang

dikategorikan sebagai surat Makkiyah dalam riwayat-riwayat di

atas.25  berdasar  beberapa riwayat asbãb al-nuzûl, al-Suyuthi –

 lewat metode tarjîh (“menguatkan”), mendahulukan riwayat yang

lebih kuat – mengemukakan bahwa surat ini  masuk ke dalam

kelompok surat Madaniyah.26  Kedua ilustrasi yang dikemukakan

ini hanya mengungkapkan kasus surat-surat  pendek.  saat  surat-

surat panjang – yang dalam kebanyakan kasus berisi ayat-ayat dari

berbagai periode pewahyuan yang berbeda – ditelusuri lebih jauh,

maka permasalahan yang dihadapi dalam hal ini akan menjadi

semakin kompleks.

Belakangan, riwayat susunan kronologis surat-surat al-Quran

yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas mulai diterima secara luas

dan menjadi pandangan resmi ortodoksi Islam. Sebagaimana telah

dikemukakan, riwayat ini  memasukkan 85 surat ke dalam

periode Makkiyah dan 28 surat lainnya ke dalam surat-surat

Madaniyah. Dengan sedikit perubahan, riwayat ini kemudian

diadopsi oleh para penyunting al-Quran edisi standar Mesir dengan

menetapkan 86 surat berasal dari masa sebelum hijrah (Makkiyah)

– yakni dengan memasukkan surat 1 ke dalamnya –  dan sisanya

diklasifikasikan sebagai surat-surat dari periode Madaniyah.27

Dalam aransemen kronologis ini, beberapa  besar bahan-bahan

tradisional – seperti sîrah, asbãb al-nuzûl, nãsikh-mansûkh, hadîts

dan lainnya – telah dieksploitasi untuk menetapkan penanggalan

beberapa  besar ayat dalam surat-surat tertentu al-Quran.

Susunan kronologis surat-surat al-Quran periode Makkah

dalam al-Quran edisi standar Mesir ini, yang lazim disebut

kronologi Mesir, dapat disimak dalam tabel berikut:28

Susunan Surat Makkiyah Versi Kronologi Mesir

        Urut

   Kronologis                 Nama Surat*                             No. Surat*: keterangan

1 al-‘Alaq 96

2 al-Qalam 68 . ayat 17-33,48-50 Md.

3 al-Muzzammil 73 . ayat 10-11,20 Md.

4 al-Muddatstsir 74

5 al-Fãtihah 1

6 al-Lahab 111

7 al-Takwîr 81


           8 al-A‘lã 87

9 al-Layl 92

10 al-Fajr 89

11 al-Dluhã 93

12 Alam Nasyrah 94

13 al-‘Ashr 103

14 al-‘Ãdiyãt 100

15 al-Kawtsar 108

16 al-Takãtsur 102

17 al-Mã‘ûn 107

18 al-Kãfirûn 109

19 al-Fîl 105

20 al-Falaq 113

21 al-Nãs 114

22 al-Ikhlãsh 112

23 al-Najm 53

24 ‘Abasa 80

25 al-Qadr 97

26 al-Syams 91

27 al-Burûj 85

28 al-Tîn 95

29 Quraisy 106

30 al-Qãri‘ah 101

31 al-Qiyãmah 75

32 al-Humazah 104

33 al-Mursalãt 77.  ayat 48 Md.

34 Qãf 50.  ayat 38 Md.

35 al-Balad 90

36 al-Thãriq 86

37 al-Qamar 54.  ayat 54 -56 Md.

38 Shãd 38

39 al-A‘rãf 7.  ayat 163-170 Md.

40 al-Jinn 72

41 Yã Sîn 36. ayat 45 Md.

42 al-Furqãn 25 . ayat 68-70 Md.

43 Fãthir 35

44 Maryam 19 . ayat 58, 71 Md.

45 Thã Hã 20 . ayat 130-131 Md.

46 al-Wãqi‘ah 56 . ayat 71-72 Md.

47 al-Syu‘arã’ 26 . ayat 197, 224 -227 Md.

48 al-Naml 27

49 al-Qashash 28 . ayat 52-55 Md, 85 waktu hijrah

50 al-Isrã’ 17. ayat 26, 32-33, 57, 73-80 Md.

51 Yûnus 10 . ayat 40, 94-96 Md.

52 Hûd 11 . ayat 12, 17, 114 Md.

53 Yûsuf 12 . ayat 1-3, 7 Md.

54 al-Hijr 15

55 al-An‘ãm 6. ayat 20,23,91,114,141,151-153 Md.

56 al-Shaffãt 37

57 Luqmãn 31 .  ayat 27-29 Md.

58 Saba’ 34. ayat 6 Md.

59 al-Zumar 39 . ayat 52-54 Md.

60 al-Mu’min 40 . ayat 56-57 Md.

61 al-Fushshilãt 41

62 al-Syûrã 42 . ayat 23-25, 27 Md.

63 al-Zukhruf 43 . ayat 54 Md.

64 al-Dukhãn 44

65 al-Jãtsiyah 45 . ayat 14 Md.

66 al-Ahqãf 46 . ayat 10, 15, 35 Md.

67 al-Dzãriyãt 51

68 al-Gãsyiyah 88

69 al-Kahfi 18 . ayat 28, 83-101 Md.

70 al-Nahl 16 . ayat 126-128 Md.

71 Nûh 71

72 Ibrãhîm 14 . ayat 28-29 Md.

73 al-Anbiyã’ 21

74 al-Mu’minun 23

75 al-Sajdah 32 . ayat 16-20 Md.

76 al-Thûr 52

77 al-Mulk 67

78 al-Hãqqah 69

79 al-Ma‘ãrij 70

80 al-Nabã 78

81 al-Nãzi‘ãt 79

82 al-Infithãr 82

83 al-Insyiqãq 84

84 al-Rûm 30 . ayat 17 Md.

85 al-‘Ankabût 29 . ayat 1-11 Md.

86 al-Muthaffifîn 83

Keterangan: *Nama surat mengikuti edisi al-Quran negara kita , demikian juga denga