Tampilkan postingan dengan label ilmu tauhid 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tauhid 6. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ilmu tauhid 6


 penafsiran al-idrak di sini tidak ada maknanya. Oleh sebab  itu Tuhan 

dapat dilihat dengan mata.

Ayat 143 surat al-A’raf dipahami oleh al-Maturidi dengan mengatakan, 

bahwa Tuhan dapat dilihat. Sebab bila Tuhan tidak dapat dilihat, tentulah 

permintaan Musa untuk melihat Tuhan itu suatu perbuatan yang bodoh. 


Padahal Musa bukanlah seorang bodoh, sebab beliau pengemban risalah 

dan penerima wahyu dari Allah.Sementara itu ayat 22-23 surat al-

Qiyamah, ditafsirkan oleh al-Maturidi dengan mengatakan bahwa wajah-

wajah bukan menunggu, namun  melihat kepada Tuhan. Pengertian ini  

didasari atas argumen-argumen berikut :

1. Akhirat bukanlah waktu menunggu. Waktu menunggu yaitu   di 

dunia, tempat terjadi dan adanya peristiwa.

2. Akhirat tempat untuk menerima balasan.

3. Huruf jar ila bila dipergunakan pada kata al-nazr tidak berarti 

menunggu, namun  melihat atau memandang.

4. Memandang kepada yang indah merupakan kenikmatan 

yang besar, sedangkan bila hanya sekedar menunggu tidaklah 

merupakan nikmat yang besar. Oleh sebab itulah makna yang 

dikandung ayat ini  mestilah melihat kepada Allah dengan 

mata kepala.

Maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan Asy’ariyah dan 

Maturidiyah Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. 

Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelak akan memperlihatkan 

diri-Nya untuk manusia lihat dengan mata kepala, menurut cara yang 

Dia kehendaki.77 Manusia tidak dapat melihat Tuhan di dunia, sebab  ia 

tidak memperlihatkan diri-Nya kepada manusia, sedang di akhirat Tuhan 

memperlihatkan diri-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan pada 

waktu yang dikehendaki-Nya.78

Uraian di atas tampak bahwa para teolog terjebak dalam pemahaman 

mereka akibat teologi yang mereka anut. Pemahaman ini  “dipaksakan” 

guna mendukung aliran teologi agar mendapatkan simpati dari masyarakat.


B. Anthropomorphisme (Tasybih)

Anthropomorphisme dalam bahasa Arab disebut tasybih. Term 

tasybih berasal dari kata syabaha, yang secara harfiah berarti menyerupakan 

atau menganggap sesuatu serupa dengan lainnya.Dalam ilmu kalam 

berarti menyerupakan Tuhan dengan ciptaan-ciptaan-Nya, maka anthro-

pomorphisme (tasybih) yaitu   mempertahankan bahwa keserupaan tertentu 

dapat ditemukan antara Tuhan dan makhluk-Nya. Sedangkan menurut al-

Zarqaniy, tasybih berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang 

lainnya. Contoh dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 25 :

اهباشتم هب اوتأاو

Pengertian ini  senada dengan Abu Zahrah dalam kitabnya 

Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah yang mengartikan bahwa tasybih yaitu   

penyerupaan Tuhan dengan makhluk.81 Jadi anthropomorphisme (tasybih) 

yang dimaksud dalam kalam yaitu   penyerupaan sifat-sifat-Nya, nama-

nama-Nya dan menampakkan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam yang 

serupa dengan makhluk-makhluk-Nya dalam tingkat tertentu. 

Secara umum, aliran-aliran dalam teologi Islam dalam membahas 

tasybih itu memiliki  landasan pemikiran. Adapun sumber-sumber 

landasan itu itu digali dari nilai-nilai normatif maupun doktrin 

historitas sebagai akibat interaksi ideologi antar aliran, baik dalam aspek 

politik maupun sosial budaya. Adapun pandangan terhadap paham 

anthropomorphisme ini yaitu  : 

1. Mu’tazilah

a. Sumber normatif

1. Surat Ali Imran : 7 

تٌاهَِباشَتَمُ رُخَأُاوَ بِاتَكِْلا ُّمأُا َّنهُ تٌامَكَحْمُ تٌايَاءَ هُنْمِ

“Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah 

pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) 

mutasyabihat.”

2. Surat Asy-syura: 11

رُيصِبَْلا عُيمِ َّسلا وَهُوَ ءٌيْشَ هِلِثْمِكَ سَيَْل

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah 

Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

b. Doktrin dasar al-Tauhid (al-Usul al-Khamsah)

Doktrin al-tauhid Mu’tazilah berisikan tentang ke-Maha Esaan 

Allah dan tidak ada satu pun yang menyerupai dengan-Nya. 

Doktrin ini mengajarkan tentang pensucian Tuhan dari sifat-sifat 

yang tidak mutlak (tanzih).

Salah satu cabang dari lima ajaran resmi Mu’tazilah, yaitu al-

tauhid (pengesaan Tuhan) menyatakan bahwa Allah swt. yaitu   

Maha Esa, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, Maha 

Melihat, Maha Mendengar, tidak menempati dimensi ruang dan 

waktu dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat makhluknya. 

Olehnya itu, Allah tidak dapat disamakan dengan makhluknya 

(materi), maka sudah tentu Dia tidak dapat disifati dengan sifat-

sifat jasmaniyah (materi).

Qadiy Abd. Jabbar, sebagaimana yang dikutip oleh Harun 

Nasution mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat memiliki  

badan (materi). Dan Dia juga tidak memiliki  sifat-sifat 

jasmani.84 Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa 

Tuhan memiliki  sifat-sifat jasmani harus ditolak dengan 

alasan hal ini  dapat membawa seseorang pada pen-tasybih-

an (penggambaran).Menurut mereka, solusi terbaik yang 

harus dilakukan yaitu   dengan jalan memberi interpretasi lain 

terhadap ayat-ayat ini , misalnya kata al-arsy (tahta kerajaan) 

diberi interpretasi kekuasaan, al-’ain (mata) diartikan dengan 

pengetahuan

Untuk mencari bukti apakah semua penganut aliran 

Mu’tazilah itu memiliki  pandangan yang sama tentang 

penolakannya terhadap anthropomorphisme (tasybih) dalam 

kalam, maka perlu penelusuran pemikiran dari tokoh-tokoh 

Mu’tazilah. 

Dalam pandangan Abu Huzail, Tuhan yaitu   Esa (ahad) 

tidak seperti makhluk-Nya yang memiliki  materi (struktur 

fisik), bentuk, substansi dan terikat oleh dimensi ruang dan 

waktu, maka Tuhan tidak dapat diketahui oleh panca indera, 

tidak dapat tergambar oleh akal, mustahil dapat diterka dalam 

hati. Ia Maha Tahu, berkuasa dan hidup, namun  tidak seperti orang 

(makhluk-Nya) mengetahui, kuasa dan hidup.87 Bahwa Tuhan 

tidak sama dengan sesuatu (makhluk-Nya), dan ini merupakan 

sikap dan menolak paham antropomorpisme atau dalam bahasa 

Arab al-tajassum. Jadi dalam hal ini, ia sangat konsekuen dengan 

pernyataan al-Qur’an, bahwa Allah:

ءٌيْشَ هِلِثْمِكَ سَيَْل

Menurut al-Nazhzham, Tuhan tidak memiliki  sifat 

dalam arti yang sebenarnya, sifat bagi Tuhan yaitu   substansi 

(zat) Tuhan itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak 

mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan yang lainnya. 

Menurut al-Nazhzham, Tuhan tetap mengetahui, berkuasa 

dan hidup, hanya saja pengetahuan-Nya, kekuasaan-Nya, dan 

hidup-Nya dan sifat penyerupaan yang lain yaitu   zat Tuhan 

sendiri. Konsep peniadaan sifat bagi Tuhan itu dimaksud untuk 


meniadakan sifat-sifat yang tidak layak melekat pada Tuhan. 

Tuhan bersemayang di atas arsy berarti untuk meniadakan 

anggapan bahwa Tuhan lemah (‘ajz) demikian juga sifat-sifat 

Tuhan lain.89 Al-Nazhzham mengajukan pandangannya tentang 

peniadaan sifat bagi Tuhan yaitu   dalam rangka untuk meng-

counter pendapat orang-orang Masehi yang mengakui adanya 

konsep trinitas.90

Bila mencermati argumen tokoh Mu’tazilah di atas, 

sesungguhnya mereka berusaha untuk mensucikan (tanzih) 

Tuhan dari semua ungkapan anthropomorphisme dengan 

semangat rasionalisme. Tuhan ditempatkan pada posisi 

transendensi ilahi, artinya Tuhan jauh dari sifat dan zat yang 

digambarkan oleh manusia. Tuhan hanya sebagai pencipta, dan 

Ia tidak memiliki  kewajiban untuk memelihara ciptaannya.

Selain itu, kaum Mu’tazilah hanya mengakui satu sifat 

tunggal yaitu sifat immateri dan menafikkan sifat materi, 

konsekuensinya Tuhan jauh dari nama maupun sifat jasmani. 

Jika di dalam al-Qur’an ada  ayat-ayat yang menggambarkan 

Tuhan dengan sifat-sifat jasmani, maka ayat-ayat ini  harus 

diberi interpretasi lain, misalnya arsy (tahta kerajaan diberi 

penafsiran kekuasaan, al-’ain (mata) diartikan pengetahuan, al-

wajh (muka) diartikan esensi dan lain sebagainya.91

2. Al-Asy’ariyah.

a. Sumber normatif

1. Surat al-Rahman: 27 (Tuhan memiliki  wajah)

مِارَكْ ِإ�لْاوَ لِالَجَْلا وذُ كَِّبرَ هُجْوَ ٰىقَبْيَوَ

“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang memiliki  ke-

besaran dan kemuliaan.”


2. Surat Shaad: 75 (Tuhan memiliki  tangan)

 تَرْبَكْتَسْأَا  ۖ َّيدَيَِب تُقْلَخَ امَِل دَجُسْتَ نْأَا كَعَنَمَ امَ سُيلِبِْإا ايَ لَاقَ

نَيِلاعَْلا نَمِ تَنُْك مْأَا

 “Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi 

kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua 

tangan-Ku.” 

3. Surat Thahaa: 5  (Tuhan bersemayang di Arsy)

ىٰوَتَسْا شِرْعَْلا ىلَعَ نُ ٰمَحَّْرلا

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di 

atas `Arsy.”

b. Dalil aqli

Doktrin dasar kaum Asy’ariyah tentang anthropomorphisme 

(tasybih) menekankan bahwa Tuhan memiliki  sifat keserupaan 

dengan manusia dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) 

yaitu tidak memiliki  bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la 

yuhad).

Dalam mensifati Allah, kaum Asy’ariyah menolak pandangan 

antrophormorphisme dan juga mengemukakan pendapat berbeda 

dengan Mu’tazilah. Namun mereka tetap sepakat mengatakan 

bahwa Allah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an 

memiliki  mata, tangan, wajah dan sebagainya.Allah 

memiliki tangan dimana bumi dalam genggaman-Nya dan langit 

dilipat pada hari kiamat. Sifat Allah ini berdasarkan rujukan pada 

nas yang terang yaitu   hakiki bukan majasi sebagaimana yang 

dikemukakan oleh Mu’tazilah. 

Kaum Asy’ariyah lebih lanjut mengatakan bahwa Allah 

hidup dengan hayat, namun  hayat yang tidak sama dengan 

manusia. Menurut Asy’ari sifat-sifat Allah yang berupa tangan, 

wajah, mata dan lain sebagainya tidak dapat diberi gambaran 

atau interpretasi.94 Menurutnya bahwa Tuhan memiliki  muka, 

tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana 

(bila kaifa), yaitu tidak memberikan bentuk dan batasan (la 

yukayyaf wa la yuhad).95 Dengan kata lain, Tuhan memiliki  

wajah, namun  tidak seperti wajah hamba, dan Allah memiliki 

tangan, namun  tidak menyerupai tangan makhluk-Nya.

Dalam hal ini, al-Asy’ari berpegang pada dzahir nas 

yang berkenaan dengan ayat-ayat yang mengandung anthro-

pomorphisme (tasybih), tanpa terperosok kepada paham 

tasybihiyyat.96 Maksudnya, ayat-ayat al-Qur’an semestinya di-

pahami secara tekstual (makna lahiriyah), kecuali jika ada ayat 

yang menerangkan makna lain terhadap ayat ini .

Al-Asy’ari lebih mengedepankan wahyu daripada menge-

depankan akal, sehingga akal kurang memiliki  ruang gerak 

sebab  terikat pada dogma-dogma. Salah satu dari bukti 

lemahnya peran akal yaitu   memandang manusia pada posisi 

lemah dan akalnya tak sanggup memberikan interpretasi jauh 

tentang sifat-sifat jasmani Tuhan yang ini  dalam al-Qur’an, 

yang sesungguhnya memungkinkan untuk diberikan penafsiran 

secara metaforis.

Al-Baqillani memberikan pandangannya tentang anthro-

pomorphisme dengan menjelaskan bahwa Allah bertangan, 

bermuka seperti tangan dan wajah yang tersendiri dari anggota 

dan bentuk “Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa). Pandangan al-

Baqillani kelihatannya mendukung posisi al-Asy’ari, terutama 

metode penta’wilan ayat berdasarkan dzahir nas.

Ini nampak jelas saat  ia memahami ayat mutasyabihat 

secara tekstual (makna lahiriah) tanpa mencoba menta’wilkan 

ayat secara metaforis sebagaimana yang dilakukan oleh kaum 


Mu’tazilah. Namun, dalam aspek metodologi berpikir, al-Baqillani 

lebih rasional dibandingkan dengan gurunya (al-Asy’ari).

Penafsirannya tentang anthropomorphisme didekati dengan 

filsafat ontologis yang bertumpuh pada perumusan ambigous; 

“Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa). Tuhan dilihatnya dari 

segi nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan penampakan-Nya 

dalam bentuk alam, Tuhan yaitu   tasyabuh, serupa dengan 

makhluknya pada tingkat tertentu, saat  Ia menampakkan diri-

Nya (mutajalli) memiliki keserupaan, walaupun dalam kadar 

yang paling kecil dengan wujud alam.

Dapat pula dikatakan, bahwa alam keseluruhannya yaitu   

bentuk-bentuk penampakan diri Tuhan, dari segi nama yang 

tampak. Jika dikatakan bahwa Tuhan mendengar, melihat itu 

berarti bahwa Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalla) dalam 

alam.

Dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, al-Juwaini 

berbeda dengan al-Asy’ari. Ia berpendapat bahwa tangan 

Tuhan harus diartikan metaforis yakni kekuasaan, mata Tuhan 

dita’wilkan mengetahui dan wajah Tuhan ditafsirkan dengan 

wujud Tuhan dan sebagainya.

Pemakaian ta’wil (interpretasi metaforis) terhadap ayat-

ayat mutasyabihat ini menimbulkan kesan al-Juwaini berusaha 

kembali pada ajaran Mu’tazilah, walaupun tidak secara dramatis. 

Al-Juwaini menentang konsep anthropomorphisme (tasybih) al-

Asy’ari sebab  ia lebih dekat dengan pemahaman tajassum.

Sedangkan arti yang lebih mungkin dapat dipahami dalam 

persoalan tasybih yaitu   dengan memberikan interpretasi 

metaforis, sebab  dalam suatu aspek al-Juwaini memberikan 

kesempatan fungsi rasio yang lebih luas dan aspek lain yang 

lebih penting yaitu   upaya pensucian Tuhan dari sifat-

sifat yang tajassum dengan makhluknya. Disinilah nampak 

sekali ciri pemikiran teologi al-Juwaini yang rasional yang 

berusaha menjembatani antara wahyu dan akal pada persoalan 

anthropomorphisme

3. Al-Maturidiyah

Kaum Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan dalam memahami 

sifat-sifat Allah. Kedua golongan ini  yaitu   golongan Bukhara dan 

Samarkhan. Golongan Bukhara dalam hal ini mengambil paham yang 

berbeda dengan kaum Asy’ariyah. Tangan Allah yaitu   sifat, dan bukan 

anggota badan Allah.97 Ayat Baina Yadaiyyah Rahmatih, arti dua tangan 

dalam ayat ini  tidak dapat dipahami sebagai anggota badan, seperti 

pada makhluk. Demikian juga arti istiwa’ (bersemayang) tidak dapat 

diartikan bersemayangnya makhluk. Golongan Samarkhan yang dalam 

banyak hal memilki pendapat yang sejalan dengan Mu’tazilah mengatakan 

yang dimaksud dengan tangan, muka, mata yaitu   kekuasaan Allah.

Secara umum Tuhan memiliki  sifat-sifat, sebab  Tuhan memiliki 

kehendak dan kekuasaan mutlak.98 Hal yang menarik yaitu   menjawab 

problematika tentang kekekalan dengan argumennya bahwa sifat-sifat 

Tuhan kekal melalui kekekalan yang ada  dalam esensi Tuhan bukan 

melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, selanjutnya dikemukakan bahwa 

Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, namun  sifat-sifat itu sendiri tidaklah 

kekal.

Mengenai anthropomorphisme seperti Tuhan memiliki tangan, 

menurut golongan ini tangan yang dimaksud yaitu   sifat dan bukan anggota 

badan Tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan, 

daya dan kemauan. Mengenai sabda Tuhan atau al-Qur’an yaitu   kekal, 

sebab al-Qur’an yaitu   sifat kekal dari Tuhan, satu tidak terbagi, tidak 

berbahasa Arab, namun  ucapan manusia ekspresi berlainan. Al-Bazdawi 

memberi batasan bahwa sesungguhnya al-Qur’an bukanlah sabda Tuhan 

namun  merupakan tanda dari sabda Tuhan. Ia sebut sabda Tuhan dalam arti 

kiasan.

Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang diketemukan seperti itu dikenal 

dengan ayat-ayat mutasyabihat Dalam menyelesaikan persoalan seperti ini, 

harus dilakukan perwakilan terhadap ayat-ayat yang mengandung makna 

sifat-sifat seperti pernyataan bahwa Allah memiliki  wajah, tangan, mata 

dan lainnya, maka al-Maturidi melakukan pentakwilan yaitu bahwa ayat-

ayat yang mutasyabihat (samar, tidak jelas) kepada yang muhkam (jelas 

pengertiannya, misalnya dalam QS. Qaaf (50) : 16. 

Dalam hal ini al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah bahwa ayat yang 

menggambarkan Tuhan memiliki  bentuk jasmani. Sedang al-Asy’ari 

berpendapat bahwa sesuai dengan keterangan al-Qur’an bahwa Allah 

memiliki  muka, mata, tangan dan lain sebagainya, hal ini  tidak 

boleh diberi interpretasi atau takwil dan tidak dapat ditentukan bentuk dan batasan.