penafsiran al-idrak di sini tidak ada maknanya. Oleh sebab itu Tuhan
dapat dilihat dengan mata.
Ayat 143 surat al-A’raf dipahami oleh al-Maturidi dengan mengatakan,
bahwa Tuhan dapat dilihat. Sebab bila Tuhan tidak dapat dilihat, tentulah
permintaan Musa untuk melihat Tuhan itu suatu perbuatan yang bodoh.
Padahal Musa bukanlah seorang bodoh, sebab beliau pengemban risalah
dan penerima wahyu dari Allah.Sementara itu ayat 22-23 surat al-
Qiyamah, ditafsirkan oleh al-Maturidi dengan mengatakan bahwa wajah-
wajah bukan menunggu, namun melihat kepada Tuhan. Pengertian ini
didasari atas argumen-argumen berikut :
1. Akhirat bukanlah waktu menunggu. Waktu menunggu yaitu di
dunia, tempat terjadi dan adanya peristiwa.
2. Akhirat tempat untuk menerima balasan.
3. Huruf jar ila bila dipergunakan pada kata al-nazr tidak berarti
menunggu, namun melihat atau memandang.
4. Memandang kepada yang indah merupakan kenikmatan
yang besar, sedangkan bila hanya sekedar menunggu tidaklah
merupakan nikmat yang besar. Oleh sebab itulah makna yang
dikandung ayat ini mestilah melihat kepada Allah dengan
mata kepala.
Maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan Asy’ariyah dan
Maturidiyah Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelak akan memperlihatkan
diri-Nya untuk manusia lihat dengan mata kepala, menurut cara yang
Dia kehendaki.77 Manusia tidak dapat melihat Tuhan di dunia, sebab ia
tidak memperlihatkan diri-Nya kepada manusia, sedang di akhirat Tuhan
memperlihatkan diri-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan pada
waktu yang dikehendaki-Nya.78
Uraian di atas tampak bahwa para teolog terjebak dalam pemahaman
mereka akibat teologi yang mereka anut. Pemahaman ini “dipaksakan”
guna mendukung aliran teologi agar mendapatkan simpati dari masyarakat.
B. Anthropomorphisme (Tasybih)
Anthropomorphisme dalam bahasa Arab disebut tasybih. Term
tasybih berasal dari kata syabaha, yang secara harfiah berarti menyerupakan
atau menganggap sesuatu serupa dengan lainnya.Dalam ilmu kalam
berarti menyerupakan Tuhan dengan ciptaan-ciptaan-Nya, maka anthro-
pomorphisme (tasybih) yaitu mempertahankan bahwa keserupaan tertentu
dapat ditemukan antara Tuhan dan makhluk-Nya. Sedangkan menurut al-
Zarqaniy, tasybih berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang
lainnya. Contoh dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 25 :
اهباشتم هب اوتأاو
Pengertian ini senada dengan Abu Zahrah dalam kitabnya
Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah yang mengartikan bahwa tasybih yaitu
penyerupaan Tuhan dengan makhluk.81 Jadi anthropomorphisme (tasybih)
yang dimaksud dalam kalam yaitu penyerupaan sifat-sifat-Nya, nama-
nama-Nya dan menampakkan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam yang
serupa dengan makhluk-makhluk-Nya dalam tingkat tertentu.
Secara umum, aliran-aliran dalam teologi Islam dalam membahas
tasybih itu memiliki landasan pemikiran. Adapun sumber-sumber
landasan itu itu digali dari nilai-nilai normatif maupun doktrin
historitas sebagai akibat interaksi ideologi antar aliran, baik dalam aspek
politik maupun sosial budaya. Adapun pandangan terhadap paham
anthropomorphisme ini yaitu :
1. Mu’tazilah
a. Sumber normatif
1. Surat Ali Imran : 7
تٌاهَِباشَتَمُ رُخَأُاوَ بِاتَكِْلا ُّمأُا َّنهُ تٌامَكَحْمُ تٌايَاءَ هُنْمِ
“Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah
pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat.”
2. Surat Asy-syura: 11
رُيصِبَْلا عُيمِ َّسلا وَهُوَ ءٌيْشَ هِلِثْمِكَ سَيَْل
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
b. Doktrin dasar al-Tauhid (al-Usul al-Khamsah)
Doktrin al-tauhid Mu’tazilah berisikan tentang ke-Maha Esaan
Allah dan tidak ada satu pun yang menyerupai dengan-Nya.
Doktrin ini mengajarkan tentang pensucian Tuhan dari sifat-sifat
yang tidak mutlak (tanzih).
Salah satu cabang dari lima ajaran resmi Mu’tazilah, yaitu al-
tauhid (pengesaan Tuhan) menyatakan bahwa Allah swt. yaitu
Maha Esa, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, Maha
Melihat, Maha Mendengar, tidak menempati dimensi ruang dan
waktu dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat makhluknya.
Olehnya itu, Allah tidak dapat disamakan dengan makhluknya
(materi), maka sudah tentu Dia tidak dapat disifati dengan sifat-
sifat jasmaniyah (materi).
Qadiy Abd. Jabbar, sebagaimana yang dikutip oleh Harun
Nasution mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat memiliki
badan (materi). Dan Dia juga tidak memiliki sifat-sifat
jasmani.84 Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa
Tuhan memiliki sifat-sifat jasmani harus ditolak dengan
alasan hal ini dapat membawa seseorang pada pen-tasybih-
an (penggambaran).Menurut mereka, solusi terbaik yang
harus dilakukan yaitu dengan jalan memberi interpretasi lain
terhadap ayat-ayat ini , misalnya kata al-arsy (tahta kerajaan)
diberi interpretasi kekuasaan, al-’ain (mata) diartikan dengan
pengetahuan
Untuk mencari bukti apakah semua penganut aliran
Mu’tazilah itu memiliki pandangan yang sama tentang
penolakannya terhadap anthropomorphisme (tasybih) dalam
kalam, maka perlu penelusuran pemikiran dari tokoh-tokoh
Mu’tazilah.
Dalam pandangan Abu Huzail, Tuhan yaitu Esa (ahad)
tidak seperti makhluk-Nya yang memiliki materi (struktur
fisik), bentuk, substansi dan terikat oleh dimensi ruang dan
waktu, maka Tuhan tidak dapat diketahui oleh panca indera,
tidak dapat tergambar oleh akal, mustahil dapat diterka dalam
hati. Ia Maha Tahu, berkuasa dan hidup, namun tidak seperti orang
(makhluk-Nya) mengetahui, kuasa dan hidup.87 Bahwa Tuhan
tidak sama dengan sesuatu (makhluk-Nya), dan ini merupakan
sikap dan menolak paham antropomorpisme atau dalam bahasa
Arab al-tajassum. Jadi dalam hal ini, ia sangat konsekuen dengan
pernyataan al-Qur’an, bahwa Allah:
ءٌيْشَ هِلِثْمِكَ سَيَْل
Menurut al-Nazhzham, Tuhan tidak memiliki sifat
dalam arti yang sebenarnya, sifat bagi Tuhan yaitu substansi
(zat) Tuhan itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak
mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan yang lainnya.
Menurut al-Nazhzham, Tuhan tetap mengetahui, berkuasa
dan hidup, hanya saja pengetahuan-Nya, kekuasaan-Nya, dan
hidup-Nya dan sifat penyerupaan yang lain yaitu zat Tuhan
sendiri. Konsep peniadaan sifat bagi Tuhan itu dimaksud untuk
meniadakan sifat-sifat yang tidak layak melekat pada Tuhan.
Tuhan bersemayang di atas arsy berarti untuk meniadakan
anggapan bahwa Tuhan lemah (‘ajz) demikian juga sifat-sifat
Tuhan lain.89 Al-Nazhzham mengajukan pandangannya tentang
peniadaan sifat bagi Tuhan yaitu dalam rangka untuk meng-
counter pendapat orang-orang Masehi yang mengakui adanya
konsep trinitas.90
Bila mencermati argumen tokoh Mu’tazilah di atas,
sesungguhnya mereka berusaha untuk mensucikan (tanzih)
Tuhan dari semua ungkapan anthropomorphisme dengan
semangat rasionalisme. Tuhan ditempatkan pada posisi
transendensi ilahi, artinya Tuhan jauh dari sifat dan zat yang
digambarkan oleh manusia. Tuhan hanya sebagai pencipta, dan
Ia tidak memiliki kewajiban untuk memelihara ciptaannya.
Selain itu, kaum Mu’tazilah hanya mengakui satu sifat
tunggal yaitu sifat immateri dan menafikkan sifat materi,
konsekuensinya Tuhan jauh dari nama maupun sifat jasmani.
Jika di dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang menggambarkan
Tuhan dengan sifat-sifat jasmani, maka ayat-ayat ini harus
diberi interpretasi lain, misalnya arsy (tahta kerajaan diberi
penafsiran kekuasaan, al-’ain (mata) diartikan pengetahuan, al-
wajh (muka) diartikan esensi dan lain sebagainya.91
2. Al-Asy’ariyah.
a. Sumber normatif
1. Surat al-Rahman: 27 (Tuhan memiliki wajah)
مِارَكْ ِإ�لْاوَ لِالَجَْلا وذُ كَِّبرَ هُجْوَ ٰىقَبْيَوَ
“Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang memiliki ke-
besaran dan kemuliaan.”
2. Surat Shaad: 75 (Tuhan memiliki tangan)
تَرْبَكْتَسْأَا ۖ َّيدَيَِب تُقْلَخَ امَِل دَجُسْتَ نْأَا كَعَنَمَ امَ سُيلِبِْإا ايَ لَاقَ
نَيِلاعَْلا نَمِ تَنُْك مْأَا
“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi
kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku.”
3. Surat Thahaa: 5 (Tuhan bersemayang di Arsy)
ىٰوَتَسْا شِرْعَْلا ىلَعَ نُ ٰمَحَّْرلا
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di
atas `Arsy.”
b. Dalil aqli
Doktrin dasar kaum Asy’ariyah tentang anthropomorphisme
(tasybih) menekankan bahwa Tuhan memiliki sifat keserupaan
dengan manusia dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa)
yaitu tidak memiliki bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la
yuhad).
Dalam mensifati Allah, kaum Asy’ariyah menolak pandangan
antrophormorphisme dan juga mengemukakan pendapat berbeda
dengan Mu’tazilah. Namun mereka tetap sepakat mengatakan
bahwa Allah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an
memiliki mata, tangan, wajah dan sebagainya.Allah
memiliki tangan dimana bumi dalam genggaman-Nya dan langit
dilipat pada hari kiamat. Sifat Allah ini berdasarkan rujukan pada
nas yang terang yaitu hakiki bukan majasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Mu’tazilah.
Kaum Asy’ariyah lebih lanjut mengatakan bahwa Allah
hidup dengan hayat, namun hayat yang tidak sama dengan
manusia. Menurut Asy’ari sifat-sifat Allah yang berupa tangan,
wajah, mata dan lain sebagainya tidak dapat diberi gambaran
atau interpretasi.94 Menurutnya bahwa Tuhan memiliki muka,
tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana
(bila kaifa), yaitu tidak memberikan bentuk dan batasan (la
yukayyaf wa la yuhad).95 Dengan kata lain, Tuhan memiliki
wajah, namun tidak seperti wajah hamba, dan Allah memiliki
tangan, namun tidak menyerupai tangan makhluk-Nya.
Dalam hal ini, al-Asy’ari berpegang pada dzahir nas
yang berkenaan dengan ayat-ayat yang mengandung anthro-
pomorphisme (tasybih), tanpa terperosok kepada paham
tasybihiyyat.96 Maksudnya, ayat-ayat al-Qur’an semestinya di-
pahami secara tekstual (makna lahiriyah), kecuali jika ada ayat
yang menerangkan makna lain terhadap ayat ini .
Al-Asy’ari lebih mengedepankan wahyu daripada menge-
depankan akal, sehingga akal kurang memiliki ruang gerak
sebab terikat pada dogma-dogma. Salah satu dari bukti
lemahnya peran akal yaitu memandang manusia pada posisi
lemah dan akalnya tak sanggup memberikan interpretasi jauh
tentang sifat-sifat jasmani Tuhan yang ini dalam al-Qur’an,
yang sesungguhnya memungkinkan untuk diberikan penafsiran
secara metaforis.
Al-Baqillani memberikan pandangannya tentang anthro-
pomorphisme dengan menjelaskan bahwa Allah bertangan,
bermuka seperti tangan dan wajah yang tersendiri dari anggota
dan bentuk “Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa). Pandangan al-
Baqillani kelihatannya mendukung posisi al-Asy’ari, terutama
metode penta’wilan ayat berdasarkan dzahir nas.
Ini nampak jelas saat ia memahami ayat mutasyabihat
secara tekstual (makna lahiriah) tanpa mencoba menta’wilkan
ayat secara metaforis sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
Mu’tazilah. Namun, dalam aspek metodologi berpikir, al-Baqillani
lebih rasional dibandingkan dengan gurunya (al-Asy’ari).
Penafsirannya tentang anthropomorphisme didekati dengan
filsafat ontologis yang bertumpuh pada perumusan ambigous;
“Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa). Tuhan dilihatnya dari
segi nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan penampakan-Nya
dalam bentuk alam, Tuhan yaitu tasyabuh, serupa dengan
makhluknya pada tingkat tertentu, saat Ia menampakkan diri-
Nya (mutajalli) memiliki keserupaan, walaupun dalam kadar
yang paling kecil dengan wujud alam.
Dapat pula dikatakan, bahwa alam keseluruhannya yaitu
bentuk-bentuk penampakan diri Tuhan, dari segi nama yang
tampak. Jika dikatakan bahwa Tuhan mendengar, melihat itu
berarti bahwa Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalla) dalam
alam.
Dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, al-Juwaini
berbeda dengan al-Asy’ari. Ia berpendapat bahwa tangan
Tuhan harus diartikan metaforis yakni kekuasaan, mata Tuhan
dita’wilkan mengetahui dan wajah Tuhan ditafsirkan dengan
wujud Tuhan dan sebagainya.
Pemakaian ta’wil (interpretasi metaforis) terhadap ayat-
ayat mutasyabihat ini menimbulkan kesan al-Juwaini berusaha
kembali pada ajaran Mu’tazilah, walaupun tidak secara dramatis.
Al-Juwaini menentang konsep anthropomorphisme (tasybih) al-
Asy’ari sebab ia lebih dekat dengan pemahaman tajassum.
Sedangkan arti yang lebih mungkin dapat dipahami dalam
persoalan tasybih yaitu dengan memberikan interpretasi
metaforis, sebab dalam suatu aspek al-Juwaini memberikan
kesempatan fungsi rasio yang lebih luas dan aspek lain yang
lebih penting yaitu upaya pensucian Tuhan dari sifat-
sifat yang tajassum dengan makhluknya. Disinilah nampak
sekali ciri pemikiran teologi al-Juwaini yang rasional yang
berusaha menjembatani antara wahyu dan akal pada persoalan
anthropomorphisme
3. Al-Maturidiyah
Kaum Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan dalam memahami
sifat-sifat Allah. Kedua golongan ini yaitu golongan Bukhara dan
Samarkhan. Golongan Bukhara dalam hal ini mengambil paham yang
berbeda dengan kaum Asy’ariyah. Tangan Allah yaitu sifat, dan bukan
anggota badan Allah.97 Ayat Baina Yadaiyyah Rahmatih, arti dua tangan
dalam ayat ini tidak dapat dipahami sebagai anggota badan, seperti
pada makhluk. Demikian juga arti istiwa’ (bersemayang) tidak dapat
diartikan bersemayangnya makhluk. Golongan Samarkhan yang dalam
banyak hal memilki pendapat yang sejalan dengan Mu’tazilah mengatakan
yang dimaksud dengan tangan, muka, mata yaitu kekuasaan Allah.
Secara umum Tuhan memiliki sifat-sifat, sebab Tuhan memiliki
kehendak dan kekuasaan mutlak.98 Hal yang menarik yaitu menjawab
problematika tentang kekekalan dengan argumennya bahwa sifat-sifat
Tuhan kekal melalui kekekalan yang ada dalam esensi Tuhan bukan
melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, selanjutnya dikemukakan bahwa
Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, namun sifat-sifat itu sendiri tidaklah
kekal.
Mengenai anthropomorphisme seperti Tuhan memiliki tangan,
menurut golongan ini tangan yang dimaksud yaitu sifat dan bukan anggota
badan Tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan,
daya dan kemauan. Mengenai sabda Tuhan atau al-Qur’an yaitu kekal,
sebab al-Qur’an yaitu sifat kekal dari Tuhan, satu tidak terbagi, tidak
berbahasa Arab, namun ucapan manusia ekspresi berlainan. Al-Bazdawi
memberi batasan bahwa sesungguhnya al-Qur’an bukanlah sabda Tuhan
namun merupakan tanda dari sabda Tuhan. Ia sebut sabda Tuhan dalam arti
kiasan.
Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang diketemukan seperti itu dikenal
dengan ayat-ayat mutasyabihat Dalam menyelesaikan persoalan seperti ini,
harus dilakukan perwakilan terhadap ayat-ayat yang mengandung makna
sifat-sifat seperti pernyataan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, mata
dan lainnya, maka al-Maturidi melakukan pentakwilan yaitu bahwa ayat-
ayat yang mutasyabihat (samar, tidak jelas) kepada yang muhkam (jelas
pengertiannya, misalnya dalam QS. Qaaf (50) : 16.
Dalam hal ini al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah bahwa ayat yang
menggambarkan Tuhan memiliki bentuk jasmani. Sedang al-Asy’ari
berpendapat bahwa sesuai dengan keterangan al-Qur’an bahwa Allah
memiliki muka, mata, tangan dan lain sebagainya, hal ini tidak
boleh diberi interpretasi atau takwil dan tidak dapat ditentukan bentuk dan batasan.