Tampilkan postingan dengan label hukum islam 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum islam 6. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Desember 2024

hukum islam 6


 . 9/1975 o f marriage and Law No. 41/2004 o f  

religious endowment, book two o f the KHI have no other 

supporting legislation whilst articles available in the book two are 

very limited. Hence, there are many jurisprudential questions left 

by the KHI with regards o f Islamic inheritance in negara kita .

K a t a  K u n c i : Hukum Kewarisan Islam, Kompilasi Hukum Islam, Kepastian 

Hukum

Pendahuluan

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat 

Islam di dunia. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan 

kehidupan di negara atau daerah itu  memberi pengaruh atas hukum 

kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas pada perkara yang bukan 

merupakan hal pokok atau esensial dalam ketentuan waris Islam.

Khusus hukum kewarisan Islam di negara kita , ada beberapa perbedaan 

dikalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi menjadi dua 

golongan, yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan madzhab sunny 

(madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang cenderung bersifat 

patrilineal dan kedua, ajaran Hazairin yang cenderung bilateral.

Dalam perkembangan hukum Islam di negara kita  selanjutnya lahirlah 

Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui 

dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI 

yaitu  kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta 

bahan-bahan lainnya yang merupakan hokum materil PA dalam 

meyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kehadiran KHI 

ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran 

putusan PA terhadap masalah-masalah yang menjadi kewenangannya,

dipicu  dasar acuan putusannya yaitu  pendapat para ulama yang ada 

dalam kitab- kitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara 

yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda 

antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.

Tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di 

negara kita , yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan 

tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sebab 

untuk dapat berlakunya hukum Islam di negara kita , harus ada antara lain 

hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan 

warga . Dengan lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA 

diarahkam kepada persepsi penegakan hukum yang sama.

KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II 

tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasal-pasal hukum 

perkawinan dalam Buku I yang terdiri dari 170 pasal, telah memuat materi 

hukum yang rinci. Di samping itu selain Buku I KHI juga telah ada UU lain 

yang mengatur tentang perkawinan, sepert i UU no. 1 th. 1974 dan PP no.9 

tahun 1975. Berbeda dengan hukum kewarisan dalam Buku II yang begitu 

singkat jika dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum kewarisan 

hanya terdiri dari 23 pasal (pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam 

Buku III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan namun 

telah ada perundang - undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP no. 28 

tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.

Dari uraian di atas tampaknya Buku II KHI ini memerlukan penjelasan 

lebih lanjut, karena banyak hal -hal yang tampaknya belum jelas dan belum 

dijelaskan. Hal ini seperti terlihat dalam perincian kelompok ahli waris, 

belum jelas siapa-siapa orangnya, bagaimana bagian masing-masing dan 

bagaimana tentang konsep pengganti ahi waris. Hal ini dikaitkan dengan 

tujuan dari penyusunan KHI itu sendiri, yaitu untuk terciptanya kesatuan 

pemahaman menuju kesatuan dan terciptanya kepastian hukum.

Dalam KHI buku II ini, walaupun singkat namun memuat beberapa 

masalah. Selain tentang kewarisan dalam Buku II KHI ini juga diatur tentang 

wasiat dan hibah. Adapun dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan 

yang mengatur tentang kewarisan dan hal-hal yang berhubungan dengan 

kewarisan itu , terutama tentang kelompok ahli waris dan bagiannya 

masing-masing. Di sini juga akan dibahas tentang konsep pengganti ahli 

waris, hal ini karena terkait erat dengan masalah kewarisan.

Pengertian Hukum Kewarisan

Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal 171 

ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan yaitu  hukum yang mengatur 

tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, 

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa 

bagiannya masing-masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup 

ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan 

dari pewaris kepada ahli waris

5. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris, 

ahli waris dan harta warisan atau tirkah.

Pewaris

Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris yaitu  

orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal 

berdasar  putusan pengadilan beragama Islam, meniggalkan ahli waris 

dan harta peninggalan."

Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan 

disyaratkan untuk pewaris yaitu  telah meninggal dunia, baik secara hakiki 

ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang 

syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik 

secara hakiki, hukum atau takdiri.

Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan 

beragama Islam dan memiliki  ahli waris dan harta peninggalan. Syarat- 

syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.

Ahli Waris

Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ): 

"Ahli waris yaitu  orang yang pada saat meninggal dunia memiliki 

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama 

Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris"

Dari pasal 171 ayat (c) ini, pertama, menurut penulis perlu adanya 

penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi itu  seakan- 

akan yang meninggal itu yaitu  ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya 

bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan 

apakah ahli waris itu  disyaratkan hidup atau tidak seperti telah 

diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya 

pewarisan yaitu  hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara 

hakiki maupun hukum. Untuk yang kedua ini perlu penjelasan, karena hal 

ini akan terkait dengan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, apakah 

mereka mewaris karena imperatif atau sebagai alternatif untuk mencapai 

keadilan seperti ditempuh oleh wasiat wajibah atau secara otomatis dan 

seharusnya mereka mendapatkannya seperti pendapat Hazairin.

Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi itu  yaitu  : "Ahli 

waris yaitu  orang yang masih hidup atau dinyatakan masih hidup oleh 

putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris memiliki  hubungan 

darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan 

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."

Selanjutnya ahli waris yang ada  pada KHI seperti itu  di atas 

pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh Islam, dengan 

pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, karena 

di negara kita  tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan 

ahli waris pengganti seperti cucu laki-laki maupun perempuan dari anak 

perempuan bersamaan anak laki-laki, di mana anak perempuan itu  telah 

meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.

Dari pasal-pasal 174, 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris 

itu  terdiri atas :

1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, 

paman, kakek dan suami.

2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, 

nenek dan isteri

3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti yaitu  

seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki- laki atau 

perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat 

disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris yaitu ; memiliki  

hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam. Tentang 

beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172

194

KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam bila  diketahui dari 

kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedang  

bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut 

ayahnya atau lingkungannya."

4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun 

tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti 

disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan 

menurut penulis hal ini perlu ditegaskan.

A d a n y a  H a r t a  P e n i n g g a l a n  ( T i r k a h ) .

Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan 

terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada 

beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian maurus (harta 

waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu bahwa tirkah memiliki  arti 

yang lebih luas dari maurus. KHI yang merupakan intisari dari berbagai 

pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu 

seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan yaitu  harta yang 

ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi 

miliknya maupun hak-haknya."

sedang  tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e) 

'"Harta waris yaitu  harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama 

setelah dipakai  untuk keperluan pewaris selama sakit sampai 

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan 

pemberian untuk kerabat."

Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta 

peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia yaitu  berupa :

1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, 

termasuk piutang yang akan ditagih.

2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat 

seseorang meninggal dunia

3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing- 

masing.

4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri, 

misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal 

pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu 

suku itu .

195

Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan 

peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris, 

yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan 

suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk 

keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran 

hutang si mati dan wasiat.

Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara pengertian 

tirkah dan maurus .

Halangan Menjadi Ahli Waris

Salah satu syarat terjadinya pewarisan yaitu  tidak adanya halangan 

pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI 

disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:

"Seorang terhalang menjadi ahli waris bila  dengan putusan hakim yang 

telah memiliki  ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena :

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau 

menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa 

pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan 

hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".

Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di 

atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs menurut para ulama 

dalam fiqh mawaris. Ketentuan di atas tampaknya diadopsi dari BW pasal 

838 tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas (onwardig)  untuk 

menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian (wettelijk 

erfrecht).

Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli waris menurut 

KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris tampak bahwa yang 

terkandung dalam pasal 173 ini hanya pembunuhan. Adapun perbudakan dan 

berlainan agama tidak ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima, 

karena di negara kita  tidak ada perbudakan. Adapun tentang berbeda agama 

walaupun tidak dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang 

halangan seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga 

mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan juga. Hal 

ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan ayat (c) tentang pewaris dan 

ahli waris yang harus beragama Islam. Dari kedua ayat ini dapat diketahui

196

bahwa beragama Islam menjadi salah satu syarat bagi pewaris dan ahli waris 

agar terjadi pewarisan. Karena beragama Islam menjadi salah satu syarat 

terjadi pewarisan, maka berbeda agama menjadi salah satu penghalang 

pewarisan. Jadi akan lebih baik bila  173 yang mengatur tentang 

terhalangnya seseorang menjadi ahli waris ditambah dengan berbeda agama.

Kelompok Ahli Waris

Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174, 

selengkapnya pasal itu  berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, 

anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan 

perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan 

dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

2. bila  semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan pengelompokan 

berdasar  sebab-sebab terjadinya pewarisan, yaitu karena hubungan darah 

(nasabiyah), dan karena perkawinan (sababiyah). Jika dibandingkan dengan 

pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak 

mencantumkan ahli waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena 

di negara kita  tidak mengenal perbudakan. Selanjutnya menurut para ulama, 

dalam fiqh mawaris pengelompokan ahli waris itu juga terbagi atas tiga 

kelompok lain, yaitu: dzawi al furudh, ashabah dan dzawi al arham.

Jadi menurut para ulama dalam fiqh mawaris ada  pengelompokan 

yang jelas tentang ahli waris dan bagiannya serta cara membagikan bagian 

itu  kepada masing-masing ahli waris.

Hal ini jika dibandingkan dengan KHI, seperti yang tercantum dalam 

pasal 174, tampak bahwa pengelompokan ahli waris dalam fiqh mawaris 

lebih jelas dari pengelompokan ahli waris dalam KHI pasal 174. KHI hanya 

menyebutkan ahli waris berdasar  nasabiyah dan sababiyah saja. Adapun 

istilah dzawi al furudh dan ashabah tidak disebutkan dalam pengelompokan 

ahli waris tetapi disebutkan dalam pasal tentang aul dan radd ll Sedang 

tentang dzawi al arham, KHI tidak pernah menyebut istilah ini, baik dalam 

pasal-pasal maupun dalam penjelasannya.

197

Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa walaupun KHI tidak menyebutkan 

dzawi al furudh dan ashabah dalam pasal yang mengatur tentang 

pengelompokan ahli waris namun secara eksplisit KHI mengakuinya, seperti 

tercantum dalam pasal 192 dan 193, namun di sini masih belum jelas siapa- 

siapa saja yang termasuk dalam kedua kelompok itu  dan bagaimana 

penentuan bagian masing-masing.

Selanjutnya dalam pasal 174 ini, masih ada beberapa hal yang menjadi 

pertanyaan berkenaan dengan pengelompokan ahli waris, seperti kakek dan 

nenek, siapakah yang dimaksud? Karena menurut ulama sunni dalam fiqh 

mawaris kakek dan nenek itu tidak semua sama. Mereka dibedakan antara 

kakek dan nenek yang shahih yaitu  termasuk dzawi al furudh atau ashabah 

dan kakek dan nenek ghair ash shaih yang termasuk dalam dzawi al arham. 

Ataukah KHI tidak membedakan kakek dan nenek seperti penggolongan 

sunni itu , seperti yang dianut oleh madzhab Ja'fariyah.

Dari uraian di atas, nampak bahwa KHI tidak menyebut istilah dzawi al 

arham. KHI juga tidak mengatur secara jelas apa nama kelompok bagi ahli 

waris yang termasuk dzawi al arham itu . Mereka yang termasuk dzawi 

al arham ini antara lain yaitu  kakek ghair ash shaih seperti ayah dari ibu 

pewaris, anak-anak dari saudara perempuan dan saudara perempuan dari 

ayah. Dari sini dapat diketahui bahwa KHI belum secara jelas mengatur 

pengelompokan ahli waris itu . Demikian juga urutan prioritas 

penerimaannya.

Ketidakjelasan pengelompokan itu  akan menimbulkan persepsi 

yang berbeda dalam penyelesaian kasus kewarisan. Pemahaman ini mungkin 

akan berbenturan antara penyelesaian menurut fiqh mawaris sebagaimana 

dikemukakan oleh para ulama, dengan yang diinginkan oleh KHI itu sendiri, 

atau dengan dugaan bahwa KHI tidak mengenal kelompok dzawi al arham. 

Karena dalam madzhab Syi'ah yaitu Ja'fariyah tidak mengenal 

pengelompokan ahli waris atas tiga kelompok seperti ulama sunni di atas, 

demikian pula kewarisan Islam yang pernah ditawarkan Hazairin.

Beberapa contoh kasus yang mungkin menimbulkan permasalahan 

dalam penyelesaiannya antara lain sebagai berikut:

1. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ibu pewaris (ummu ummi al 

mayyit) dan kakek, yaitu ayah dari ibu pewaris (Abu ummi al mayyit). 

Nenek dalam contoh di atas termasuk dzawi al furudh (jaddat 

shahihat), sedang kakek termasuk dzawi al arham (Jadd ghair shahih). 

Menurut para ulama dalam fiqh mawaris, harta warisan seluruhnya 

jatuh ke tangan nenek melalui jalur r add, sedang kakek tidak mendapat 

bagian sama sekali. Dalam hal ini KHI tidak jelas mengaturnya, apakah

198

terhadap kakek yang termasuk dzawi al arham itu  KHI memberi 

bagian atau tidak.

2. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ayah dari ibu pewaris 

(;ummu abi ummi al mayyit) dan cucu laki-laki dari saudara laki-laki 

kakek shahih (Ibnu ibni akhi al j  add ash shahih). Dalam contoh ini 

nenek termasuk dzawi al arham (jaddat ghair ash shahihat), sedang  

cucu dari saudara kakek termasuk kelompok ashabah. Jadi harta 

warisan jatuh seluruhnya kepada cucu dari saudara kakek itu , 

sedang nenek tidak mendapat bagian. KHI dalam contoh di atas tidak 

jelas mengaturnya, sebab tidak menyebutkan secara jelas rincian nenek 

dan urutan prioritas penerimaan ahli waris.

Sehubungan dengan uraian di atas, dalam KHI perlu dipertegas tentang 

pengelompokan ahli waris dan perioritas penerimaannya. Hal ini sangat 

penting untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran dalam rangka 

kesatuan persepsi menuju kejelasan dan kesatuan serta kepastian hukum. 

Sebagai acuan pengelompokan itu , bisa dipakai pengelompokan ahli 

waris menurut pendapat para ulama dalam fiqh mawaris, terutama dari flqh 

sunni yang telah lama dianut oleh umat Islam di negara kita  termasuk prioritas 

penerimaannya.

Ahli Waris Pengganti

Tentang ahli waris pengganti ini dalam KHI diatur dalam pasal 185 

KHI. Adapun bunyi lengkapnya yaitu  sebagai berikut:

1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dibandingkan  si pewaris maka 

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang 

itu  dalam pasal 173.

2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli 

waris yang sederajat dengan yang digantikan.

Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185 

itu  merupakan hal yang baru dalam hukum kewarisan Islam di 

negara kita . Menurut Yahya Harahap bahwa ketentuan ini merupakan 

terobosan terhadap penyelewengan hak cucu atas harta warisan ayah, bila  

ayah meninggal lebih dahulu dari pada kakek.

Dari pengertian ahli waris pengganti yang diberikan oleh Yahya 

Harahap itu , menurut penulis KHI tidak memberi batasan yang jelas,

199

maka pemahaman tentang ahli waris pengganti seperti dimaksud pasal 185 

ayat (1) itu dapat diartikan secara luas. Sehingga pengertian ahli waris yang 

digantikan itu meliputi garis lurus ke bawah dan juga dari garis 

menyamping. Jadi pasal ini selain bisa menampung cucu dari pewaris baik 

dari anak laki-laki atau perempuan juga bisa menampung anak-anak 

(keturunan) saudara-saudara yang lebih dahulu meninggal dunia dengan 

tentunya tetap memperhatikan aturan hijab menghijab antara derajat yang 

lebih tinggi dengan yang lebih rendah.

Pengaturan tentang cucu yang terhalang oleh saudara orang tuanya 

yang masih hidup inipun telah diatur di negara-negara Islam lainnya. Seperti 

Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah, yang diikuti oleh Sudan, 

Suriah, Maroko, dan Tunisia dengan beberapa variasi. 15 Menurut Yusuf 

Qardhawi, pemerintah Mesir menjadikan wasiat wajibah dalam perundang- 

undangan merupakan perpaduan ijtihad iniqa’I  (selektif) dan insya’I  

(kreatif).

Abu Zahrah menambahkan kenyataan sering anak-anak yang kematian 

ayah itu  hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya 

hidup dalam kecukupan. Anak yatim itu  menderita karena kehilangan 

ayah dan kehilangan hak kewarisan. Memang biasanya seseorang berwasiat 

untuk cucu yatim itu. Tetapi sering pula ia meninggal sebelum 

melakukannya, karena itulah Undang-Undang mengambil alih aturan yang 

tidak dikenal dalam madzhab-madzhab empat, tetapi menjadi pendapat 

beberapa ulama lain.

Kalau negara-negara Islam, seperti Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia 

memasukkan cucu atau cucu-cucu dalam kasus itu  dengan wasiat 

wajibah dengan beberapa variasi. sedang  Pakistan dan negara kita  

memakai konsep ahli waris pengganti.

Hal yang perlu diperhatikan dari pasal 185 ini yaitu  bahwa isi pasal 

itu  tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya. 18 Tetapi 

pasal ini bersifat tentatif atau altematf. Hal mana diserahkan kepada 

pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini 

bisa dilihat dari kata d a p a t  dalam pasal itu . Sifat alternatif atau tidak 

imperatif dalam pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli 

waris pengganti dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa 

kasus, kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu pewaris.

Hal lain yang perlu diingat yaitu  bahwa bagian ahli waris pengganti 

tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, 

bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat 

waris karena keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak

200

dari semula dianggap sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli 

waris, tentu tidak diperlukan pembahasan khusus seperti yang disebutkan 

dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris 

yang sesungguhnya tidak akan terlalu dirugikan.

Penutup

Materi pengaturan hukum kewarisan dalam Buku IIKHI di samping memuat 

hal-hal baru dalam pewarisan Islam juga ada  kekurang sempumaan dan 

tampak masih banyak yang belum jelas, sehingga masih perlu 

disempurnakan. Namun demikian, ketentuan muatan hukum kewarisan 

sebagai bagian dari fiqh negara kita  yang juga berdimensi q a n u n  (hukum 

positif) bagi negara negara kita  perlu dipertahankan dan dikembangkan untuk 

diterapkan. Terutama bagi instansi terkait dan warga  yang memerlu­

kannya. Hal ini sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum yang 

selama ini dibutuhkan oleh warga  muslim negara kita .

201

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di negara kita , Jakarta: Akademi 

Pressindo, 1992

Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan 

Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta : 

IN IS ,1998

Ash Shabuni, M. Ali Al Mawarits Fi Syariat al Islamiyyah 'ala Dhau'i 

Kitabi Wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979

Coulson, The Succession In The Muslim Famili, Cambridge University 

Press, 1967

Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung: Al Ma'arif, 1975

Harahap,Yahya, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum 

Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 

(Jakarta: Al Hikmah, 1992

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an Dan Hadith, Jakarta: 

Tintamas, 1982

Mahluf, Husnain Muhammad, Al Mawarits Fi Syari'at al Islamiyyah, Kairo: 

Mathbah al Madani, 1976

Qardhawi,Yusuf, Ijtihad Kotemporer, Terjemahan Abu Barzani, Surabaya: 

Risalah Guti, 1995

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam 

Dengan Kewarisan KUH Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 1995

Rasyid, Raihan A. “Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah” dalam 

Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: al Hikmah dan Depag RI, 1995

Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Juz III, Semarang: Toha Putra, 1980

Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam dan perkembangannya Di Seluruh 

Dunia, Jakarta: Wijaya, 1984

Subekti R. dan Tjitrosudibjo R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 

Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982

Zahrah, M. Abu, A t Tirkah wa alMirats, (Kairo : Dar al Fikr,1975),

-------------------_5 jii Mirats 'Inda Ja'fariah, (Kairo: Dar al Fikr, tt),

202

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 41 TAHUN 2004 

TENTANG 

WAKAF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang 

memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola 

secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan 

untuk memajukan kesejahteraan umum;

b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah 

lama hidup dan dilaksanakan dalam warga , yang 

pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar 

dalam berbagai peraturan perundang-undangan;

c. bahwa berdasar  pertimbangan sebagaimana 

dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu 

membentuk Undang-Undang tentang Wakaf;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-

Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita 

DAN

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

203

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.

BAB I

KETENTUAN UMUM  

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Wakaf yaitu  perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau 

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan 

selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan 

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum 

menurut syariah.

2. Wakif yaitu  pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

3. Ikrar Wakaf yaitu  pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara 

lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda 

miliknya.

4. Nazhir yaitu  pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif 

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

5. Harta Benda Wakaf yaitu  harta benda yang memiliki daya tahan lama 

dan/atau manfaat jangka panjang serta memiliki  nilai ekonomi 

menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif.

6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, 

yaitu  pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk 

membuat akta Ikrar wakaf.

7. Badan Wakaf negara kita  yaitu  lembaga independen untuk 

mengembangkan perwakafan di negara kita .

8. Pemerintah yaitu  perangkat Negara Kesatuan Republik negara kita  

yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.

9. Menteri yaitu  menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.

204

BABU

DASAR-DASAR WAKAF

Bagian Pertama 

Umum

Pasal 2

Wakaf sah bila  dilaksanakan menurut syariah.

Pasal 3

Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Bagian Kedua 

Tujuan dan Fungsi Wakaf

Pasal 4

Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.

Pasal 5

Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda 

wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan 

umum.

Bagian Ketiga 

Unsur Wakaf

Pasal 6

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:

a. Wakif;

b. Nazhir;

c. Harta Benda Wakaf;

d. Ikrar Wakaf;

e. peruntukan harta benda wakaf;

f. jangka waktu wakaf.

205

Bagian Keempat 

Wakif

Pasal 7

Wakif meliputi:

a. perseorangan;

b. organisasi;

c. badan hukum.

Pasal 8

(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a 

hanya dapat melakukan wakaf bila  memenuhi persyaratan :

a. dewasa;

b. berakal sehal;

c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan

d. pemilik sah harta benda wakaf.

(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya 

dapat melakukan wakaf bila  memenuhi ketentuan organisasi untuk 

mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan 

anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.

(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c 

hanya dapat melakukan wakaf bila  memenuhi ketentuan badan 

hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum 

sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

Bagian Kelima 

Nazhir

Pasal 9

Nazhir meliputi:

a. perseorangan;

b. organisasi;

c. badan hukum.

206

Pasal 10

(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya

dapat menjadi Nazhir bila  memenuhi persyaratan :

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani; dan

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat

menjadi Nazhir bila  memenuhi persyaratan :

a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan 

nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, 

kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.

(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya

dapat menjadi Nazhir bila  memenuhi persyaratan :

a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan 

nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b. badan hukum negara kita  yang dibentuk sesuai dengan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku; dan

c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, 

pendidikan, kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.

Pasal 11

Nazhir memiliki  tugas :

a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan 

tujuan, fungsi, dan peruntukannya;

c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf negara kita .

Pasal 12

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir 

dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan

207

pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% 

(sepuluh persen).

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, 

Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf negara kita .

Pasal 14

(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, 

Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf negara kita .

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam 

Harta Benda Wakaf

Pasal 15

Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan bila  dimiliki dan 

dikuasai oleh Wakif secara sah.

Pasal 16

(1) Harta benda wakaf terdiri dari:

a. benda tidak bergerak; dan

b. benda bergerak.

(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

meliputi:

a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- 

undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum 

terdaftar;

b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah 

sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

208

d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu  

harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

a. uang;

b. logam mulia;

c. surat berharga;

d. kendaraan;

e. hak atas kekayaan intelektual;

f. hak sewa; dan

g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan 

perundang-undangan yang bertaku.

Bagian Ketujuh 

Ikrar Wakaf

Pasal 17

(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan 

PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara 

lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh 

PPAIW.

Pasal 18

Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak 

dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena atasan yang dibenarkan 

oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang 

diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.

Pasal 19

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakaf atau kuasanya menyerahkan 

surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.

209

Pasal 20

Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :

a. dewasa;

b. beragama Islam;

c. berakal sehat;

d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Pasal 21

(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.

(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 

memuat:

a. nama dan identitas Wakif;

b. nama dan identitas Nazhir;

c. data dan keterangan harta benda wakaf;

d. peruntukan harta benda wakaf;

e. jangka waktu wakaf.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana 

dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan 

Peruntukan Harta Benda Wakaf

Pasal 22

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya 

dapat diperuntukan b ag i:

a. sarana dan kegiatan ibadah;

b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan 

dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

210

Pasal 23

(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.

(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, 

Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang 

dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

Bagian Kesembilan 

Wakaf dengan Wasiat

Pasal 24

Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat 

dilakukan bila  disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang 

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.

Pasal 25

Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu 

pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, 

kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris.

Pasal 26

(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah 

pewasiat yang bersangkutan meninggal dunia.

(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak 

sebagai kuasa wakaf.

(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 

(2) dilaksanakan sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam 

Undang-undang ini.

Pasal 27

Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, 

atas permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat 

memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan 

wasiat.

211

Bagian Kesepuluh

Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang 

Pasal 28

Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga 

keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.

Pasal 29

(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang 

dilakukan secara tertulis.

(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.

(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 

diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga keuangan syariah kepada 

Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.

Pasal 30

Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda 

wakaf berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari 

kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

BAB III

PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN 

HARTA BENDA WAKAF

Pasal 32

PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi 

yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf 

ditandatangani.

212

Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

32, PPAIW menyerahkan:

a. salinan akta ikrar wakaf;

b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait 

lainnya.

Pasal 33

Pasal 34

Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 35

Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 

disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.

Pasal 36

Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir 

melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan 

Badan Wakaf negara kita  atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah 

peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara 

pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 37

Menteri dan Badan Wakaf negara kita  mengadministrasikan pendaftaran harta 

benda wakaf.

Pasal 38

Menteri dan Badan Wakaf negara kita  mengumumkan kepada warga  

harta benda wakaf yang telah terdaftar.

Pasal 39

Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan 

pengumuman harta benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.

213

BAB IV

PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF

Pasal 40

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :

a. dij adikan j aminan;

b. disita;

c. dihibahkan;

d. dijual;

e. diwariskan;

f. ditukar; atau

g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Pasal 41

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f  dikecualikan 

bila  harta benda wakaf yang telah diwakafkan dipakai  untuk 

kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) 

berdasar  ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan 

tidak bertentangan dengan syariah.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya 

dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas 

persetujuan Badan Wakaf negara kita .

(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan 

pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar 

dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya 

sama dengan harta benda wakaf semula.

(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut 

dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 42

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.

214

Pasal 43

(1) Rengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan 

prinsip syariah.

(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.

(3) Dalam hal pengetolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang 

dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka dipakai  lembaga 

penjamin syariah.

Pasal 44

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir 

dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali 

atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf negara kita .

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan bila  

harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan 

peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Pasal 45

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir 

diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain bila  Nazhir yang 

bersangkutan:

a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;

b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan 

perundang-undanga’n yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau 

Nazhir badan hukum;

c. atas permintaan sendiri;

d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar 

ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta 

benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- 

undangan yang berlaku;

e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah memiliki  

kekuatan hukum tetap.

(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .

(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh 

Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan

215

dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang 

ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta 

benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan 

Pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

BADAN WAKAF negara kita  

Bagian Pertama 

Kedudukan dan Tugas

Pasal 47

(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, 

dibentuk Badan Wakaf negara kita .

(2) Badan Wakaf negara kita  merupakan lembaga independen dalam 

melaksanakan tugasnya.

Pasal 48

Badan Wakaf negara kita  berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik 

negara kita  dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau 

Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 49

(1) Badan Wakaf negara kita  memiliki  tugas dan wewenang :

a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan 

mengembangkan harta benda wakaf;

b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf 

berskala nasional dan internasional;

c. Memberi  persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan 

dan status harta benda wakaf;

d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;

e. Memberi  persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;

216

f. Memberi  saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam 

penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan 

Wakaf negara kita  dapat bekeijasama dengan instansi Pemerintah baik 

Pusat maupun Daerah, organisasi warga , para ahli, badan 

internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 50

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan 

Wakaf negara kita  memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan 

Majelis Ulama negara kita .

Bagian Kedua 

Organisasi

Pasal 51

(1) Badan Wakaf negara kita  terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan 

Pertimbangan.

(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan 

unsur pelaksana tugas Badan Wakaf negara kita .

(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita .

Pasal 52

(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf negara kita  

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 

(satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari 

dan oleh para anggota.

(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan 

Pertimbangan Badan Wakaf negara kita  sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) ditetapkan oleh para anggota.

217

Bagian Ketiga 

Anggota

Pasal 53

Jumlah anggota Badan Wakaf negara kita  terdiri dari paling sedikit 20 (dua 

puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari 

unsur warga .

Pasal 54

(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf negara kita , setiap 

calon anggota harus memenuhi persyaratan :

a. warga negara negara kita ;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani;

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;

g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di 

bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang 

ekonomi syariah; dan

h. memiliki  komitmen yang tinggi untuk mengembangkan 

perwakafan nasional.

(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan 

mengenai persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf 

negara kita  ditetapkan oleh Badan Wakaf negara kita .

Bagian Keempat

Pengangkatan dan Pemberhentian 

Pasal 55

(1) Keanggotaan Badan Wakaf negara kita  diangkat dan diberhentikan oleh 

Presiden.

(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf negara kita  di daerah diangkat 

dan diberhentikan oleh Badan Wakaf negara kita .

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan 

pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 

ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf negara kita .

218

Pasal 56

Keanggotaan Badan Wakaf negara kita  diangkat untuk masa jabatan selama 

3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 57

(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf 

negara kita  diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.

(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf negara kita  kepada 

Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .

(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan 

Wakaf negara kita  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh 

Badan Wakaf negara kita , yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.

Pasal 58

Keanggotaan Badan Wakaf negara kita  yang berhenti sebelum berakhirnya 

masa j abatan diatur oleh Badan Wakaf negara kita .

Bagian Kelima 

Pembiayaan

Pasal 59

Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita , Pemerintah 

wajib membantu biaya operasional.

Bagian Keenam 

Ketentuan Pelaksanaan

Pasal 60

Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, per­

syaratan, dan tata cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata 

kerja Badan Wakaf negara kita  diatur oleh Badan Wakaf negara kita .

219

Bagian Ketujuh 

Pertanggungjawaban

Pasal 61

(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita  

dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit 

independen dan disampaikan kepada Menteri.

(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan 

kepada warga .

BAB VII

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 62

(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah 

untuk mencapai mufakat.

(2) bila  penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, 

atau pengadilan.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 63

(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap 

penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tu juan dan fungsi wakaf.

(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf negara kita .

(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 

ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan 

Majelis Ulama negara kita .

Pasal 64

Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf negara kita  dapat 

melakukan kerja sama dengan organisasi warga , para ahli, badan 

internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.

220

Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat memakai  akuntan 

publik.

Pasal 65

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh

Menteri dan Badan Wakaf negara kita  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63,

Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA 

DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Pertama 

Ketentuan Pidana

Pasal 67

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, 

menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak 

lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf 

yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/  

atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta 

rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda 

wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana 

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana 

denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja memakai  atau mengambil 

fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf 

melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ 

atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta 

rupiah).

221

Bagian Kedua 

Sanksi Administratif

Pasal 68

(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak 

didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan 

PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang 

wakaf bagi lembaga keuangan syariah;

c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan 

PPAIW.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan 

Peraturan Pemerintah.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 69

(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang dilakukan 

berdasar  ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 

sebelum diundangkannya Undang-undang ini, dinyatakan sah sebagai 

wakaf menurut Undang-undang ini.

(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan 

diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini 

diundangkan.

Pasal 70

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan 

masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti 

dengan peraturan yang baru berdasar  Undang-undang ini.

222

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- 

undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 

negara kita .

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 27 Oktober 2004

PRESIDEN REPUBLIK negara kita 

ttd..

Dr. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 27 Oktober 2004

MENTERI SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita ,

ttd.

PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  TAHUN 2004 NOMOR 159

223

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 41 TAHUN 2004 

TENTANG 

WAKAF

L UMUM

Tujuan Negara Kesatuan Republik negara kita  sebagaimana diamanatkan 

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  

Tahun 1945 antara lain yaitu  memajukan kesejahteraan umum. Untuk 

mencapai tujuan itu , perlu menggali dan mengembangkan potensi 

yang ada  dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat 

ekonomis.

Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, 

perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak 

hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi 

juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk 

memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan 

pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.

Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan warga  belum 

sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus 

harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar 

atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. 

Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau 

ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta 

benda wakaf tetapi karena juga sikap warga  yang kurang peduli 

atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya

224

dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, 

fungsi, dan peruntukan wakaf.

berdasar  pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan 

hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk 

Undang-undang tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai 

perwakafan berdasar  syariah dan peraturan perundang-undangan 

dicantumkan kembali dalam Undang-undang ini, namun ada  pula 

berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut:

1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna 

melindungi harta benda wakaf, Undang-undang ini menegaskan 

bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam 

akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang 

pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur 

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai 

wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-undang ini tidak 

memisahkan antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan 

harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan 

wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan warga  

umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum 

cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah 

dan bangunan, menurut Undang-undang ini Wakif dapat pula 

mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf 

bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam 

mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intetektual, hak 

sewa, dan benda bergerak lainnya.

Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan 

melalui Lembaga Keuangan Syariah.

Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu  badan 

hukum negara kita  yang dibentuk sesuai dengan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang 

keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan 

syariah.

Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui 

Lembaga Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif 

untuk mewakafkan uang miliknya.

3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan 

sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan

225

kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat 

ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan 

harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi 

dalam arti luas sepanjang pengelolaan itu  sesuai dengan 

prinsip manajemen dan ekonomi Syariah.

4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak 

ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan 

kemampuan profesional Nazhir.

5. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf 

negara kita  yang dapat memiliki  perwakafan di daerah sesuai 

dengan kebutuhan. Badan itu  merupakan lembaga independen 

yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan 

pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan 

pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan 

internasional, Memberi  persetujuan atas perubahan peruntukan 

dan status harta benda wakaf, dan Memberi  saran dan 

pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di 

bidang perwakafan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan 

hukum yaitu  perseorangan warga negara negara kita  atau warga

negara asing, organisasi negara kita  atau organisasi asing dan/atau 

badan hukum negara kita  atau badan hukum asing.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan 

hukum yaitu  perseorangan warga negara negara kita , organisasi 

negara kita  dan/atau badan hukum negara kita .

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14 

Ayat (1)

Dalam rangka pendaftaran Nazhir, Menteri harus proaktif untuk 

mendaftar para Nazhir yang sudah ada dalam warga .

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16 

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Yang dimaksud benda bergerak lain sesuai dengan syariah 

dan peraturan yang berlaku, antara lain mushaf, buku, dan 

kitab.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda 

wakaf oleh Wakif atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar 

diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran 

adanya hak Wakif atas harta benda wakaf dimaksud.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Yang dimaksud dengan pengadilan yaitu  pengadilan agama.

Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain para 

ahli waris, saksi, dan pihak penerima peruntukan wakaf.

Pasal 28

Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu  badan 

hukum negara kita  yang bergerak di bidang keuangan syariah.

Pasal 29

Ayat (1)

Pernyataan kehendak Wakif secara tertulis itu  dilakukan 

kepada Lembaga Keuangan Syariah dimaksud.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu  Badan 

Pertanahan Nasional.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yaitu  instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d  g o o d s )  yaitu  Badan Wakaf 

negara kita .

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu  Badan 

Pertanahan Nasional.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yaitu  instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d  g o o d s )  yaitu  Badan Wakaf 

negara kita .

Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf yaitu  

surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang 

berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan 

tercatat pada negara dengan status sebagai harta benda wakaf.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu  Badan 

Pertanahan Nasional.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yaitu  instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.

Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain 

uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d  g o o d s )  yaitu  Badan Wakaf 

negara kita .

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Yang dimaksud dengan mengumumkan harta benda wakaf yaitu  

dengan memasukan data tentang harta benda wakaf dalam register

umum. Dengan dimasukannya data tentang harta benda wakaf dalam

register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga

warga  dapat mengakses data itu .

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan 

secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, 

penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, 

pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, 

pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar 

swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun 

sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan 

dengan syariah.

Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah yaitu  badan 

hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu 

kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim 

asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Pembentukan perwakilan Badan Wakaf negara kita  di daerah 

dilakukan setelah Badan Wakaf negara kita  berkonsultasi dengan 

pemerintah daerah setempat.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan mediasi yaitu  penyelesaian sengketa 

dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh 

para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil 

menyelesaikan sengketa, maka sengketa itu  dapat dibawa 

kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase 

syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa 

itu  dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah 

syar'iyah.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.


Pasal 71

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBAR