ikaitkan dengan pengetahuan Tuhan (6:38,59; 10:61; 11:6; 22:70;
27:74 f.; 34:3; dll.), atau kejadian-kejadian yang telah ditetapkan
Tuhan sebelumnya (17:58; 35:11; 57:22; dll.). Orang-orang yang
meninggal dikatakan menetap dalam kitãb Tuhan hingga Hari
Berbangkit (30:56).
Dua istilah lain – yakni sûrah () dan âyah () – mesti
dikemukakan di sini dalam rangka melengkapkan pengenalan dan
pemahaman kita mengenai asal-usul al-Quran. Kedua kata ini
kini telah menjadi istilah-istilah teknis yang digunakan untuk
merujuk bagian-bagian tertentu di dalam tubuh al-Quran. Sûrah
merupakan nama yang digunakan untuk merujuk “bab” al-Quran
yang seluruhnya berjumlah 114 – menurut perhitungan mushaf
utsmani yang disepakati. Sementara ãyah digunakan untuk merujuk
bagian yang lebih kecil dari surat. Jumlah ayat sangat bervariasi di
dalam ke-114 surat dan tidak ada kesepakatan di kalangan
sarjana Muslim mengenai penghitungan jumlah keseluruhannya.
Kata sûrah muncul sembilan kali di dalam al-Quran dalam
bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk jamak (suwar ). 11
Penggunaannya di dalam al-Quran merujuk kepada suatu unit
wahyu yang “diturunkan” Tuhan (9:64,86,124,127; 24:1; 47:20),
bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini. Secara
kontekstual, penggunaan kata sûrah sebagai suatu unit wahyu
memiliki kemiripan dengan beberapa penggunaan kata ãyah, qur’ãn
dan kitãb di dalam al-Quran. Musuh-musuh Nabi ditantang
mendatangkan “suatu sûrah yang semisalnya” (2:23; 10:38) atau
“sepuluh suwar yang semisalnya” (11:13 cf. 28:49, di mana
tantangannya adalah mendatangkan suatu kitãb dari Tuhan). Jadi,
terlihat bahwa makna umum kata sûrah yang bisa disimpulkan di
sini adalah unit wahyu terpisah yang diturunkan kepada Nabi
dari waktu ke waktu. namun , al-Quran tidak memberi indikasi apa
pun tentang panjang pendeknya unit wahyu ini .
Istilah berikutnya, ãyah (jamak: ãyãt), muncul sekitar 400 kali
dalam al-Quran, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak.
Penggunaan kata ini di dalam al-Quran dapat dikelompokkan ke
dalam empat konteks (siyãq). Dalam konteks pertama, kata ãyah
merujuk kepada fenomena kealaman – termasuk manusia – yang
disebut sebagai “tanda-tanda” (ãyãt) kemahakuasaan dan karunia
Tuhan (45:3-4; 41:37,39; 42:29,32; 2:28; 10:4; 22:66; 30:40,46; 16:14;
36:73; dll.).
Dalam konteks kedua, kata ãyah diterapkan kepada peristiwa-
peristiwa atau obyek-obyek luar biasa yang dikaitkan dengan tugas
seorang utusan Tuhan dan cenderung mengkonfirmasi pesan
ketuhanan yang dibawanya (43:46-48; 40:78; 17:59; 20:17-24; 27:12-
14; 7:130-136; 7:73; 3:49; 15:73-75; 29:24; 54:15; dll.). Seirama dengan
ini, oposan-oposan Nabi Muhammad juga menuntutnya mem-
pertunjukkan suatu “tanda” (2:118; 6:37; 10:20; 13:7; 20:133; 21:5;
29:50), yang tentu saja tidak merujuk kepada “ayat-ayat” al-Quran,
namun kepada mukjizat. Sebagaimana disebutkan dalam 40:78,
penciptaan “tanda-tanda” merupakan hak privilese eksklusif Tuhan
dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk
menciptakannya atas kehendak pribadi. Seandainya suatu “tanda”
dari jenis mukjizat ini dibawa Muhammad kepada mereka, maka
mereka – seperti ditegaskan dalam 30:58 – tetap tidak akan beriman.
Jadi, sehubungan dengan Muhammad, al-Quran pada faktanya
menolak bahwa ia memiliki mukjizat dalam pengertian
supranatural (mã fawqa al-fithrah). Namun, dalam tahun-tahun
terakhir kehidupannya, beberapa keberhasilan eksternal Nabi
dirujuk sebagai “tanda,” seperti janji perolehan pampasan perang
yang berlimpah (48:20) dan kemenangan dalam Perang Badr (3:13).
Bahkan, mayoritas sarjana Muslim memandang bahwa al-Quran
itu sendiri adalah mukjizat terbesar Nabi (cf. 11:12-13; 6:33-35; dll.).12
Dalam konteks ketiga, kata ãyah merujuk kepada “tanda-tanda”
yang dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus Tuhan (39: 71; 6:130
cf. 67:8; 40:50), atau dalam kebanyakan kasus dibacakan oleh
Muhammad sendiri (31:7; 45:25; 46:7; 62:2; 65:11; dll.). Pembacaan
“tanda-tanda” ini menambah keyakinan kaum beriman, namun para
penentang Nabi mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa
silam” (asãthîr al-awwalîn, 6:25; 8:31; 16:24; 23:83; 25:5; 27:68; 46:17;
68:15; 83:13) – di dalam al-Quran, terma asãthîr al-awwalîn merujuk
kepada kisah pengazaban umat-umat terdahulu (misalnya 8:31 dan
68:15) dan kebangkitan kembali pada Hari Pengadilan (misalnya
23:83; 27:68; 46:17).
Dalam konteks terakhir – yakni konteks keempat – kata ãyah
disebut sebagai bagian al-qur’ãn atau kitãb atau sûrah (10:1; 11:1;
13:1; 15:1; 24:1; 26:2; 27:1; 28:2; 31:2; dll.), yang diturunkan Tuhan
(2:99,202; 3:108; 22:16; 24:34; dll.). Dengan demikian, kata ãyah
dalam konteks ini memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras
dengan pemahaman kita dewasa ini tentangnya. namun , sebagaimana
dengan sûrah, al-Quran juga tidak memberi indikasi tentang
panjang pendeknya unit-unit wahyu ini .
Jika hadits dimasukkan ke dalam pertimbangan untuk melihat
panjang pendeknya unit-unit wahyu yang diterima Nabi, maka
jawaban yang diperoleh sangat beragam. ada berita yang
mengabarkan bahwa Muhammad menerima wahyu al-Quran secara
ayat per ayat atau huruf per huruf, kecuali surat 19 dan 12 yang
turun sekaligus.13 Menurut pandangan lain, Nabi menerima satu
atau dua ayat,14 satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga
sepuluh ayat, dan lain-lain.15 Sekalipun tidak ada kejelasan dari al-
Quran dan hadits tentang panjang pendeknya unit wahyu yang
diterima Nabi, gagasan tentang unit wahyu barangkali bisa dibangun
dengan mencermati konteks literer al-Quran sendiri – baik dalam
bentuk peralihan akhiran rima dan peralihan gagasan dalam suatu
surat – dan mengeksploitasi perbendaharaan klasik Islam, semisal
riwayat-riwayat asbãb al-nuzûl dan lainnya. Langkah semacam ini
tentunya akan sangat membantu dalam usaha menyusun aransemen
kronologis unit-unit wahyu yang diterima Nabi.
Istilah teknis lainnya yang digunakan di dalam al-Quran untuk
merujuk wahyu yang diturunkan kepada Muhammad akan dibahas
secara singkat berikut ini.16 ada tiga kata benda (ism) dari
kata kerja dzakara (), “mengingat” atau “menyebut,” yang
digunakan untuk wahyu dalam pengertian “peringatan.” Jadi kata
dzikr () ada antara lain dalam 7: 63,69; 12:104; 15:6,9; 16:44;
38:37; 68:52; dan 81:27. Kata dzikrã () ditemukan antara lain
dalam 6:69,90; 11:114,120; dan 74: 31. Sementara kata tadzkirah
( ) ada antara lain dalam 69:48; 73:19; dan 76:29. Sepanjang
ketiga kata benda ini diterapkan kepada pesan yang diwahyukan
atau suatu bagian darinya, maka penekanannya adalah pada aspek
“peringatan” yang dikandungnya. Dalam beberapa bagian al-Quran,
Muhammad diperintahkan untuk memberi peringatan kepada
manusia (50:45; 51:55; 52:29; dll.), dan dalam 88:21 ia sendiri disebut
sebagai seorang pemberi peringatan (mudzakkir).
Di sebelas tempat di dalam al-Quran, wahyu yang diturunkan
kepada Muhammad juga dirujuk sebagai tanzîl (), “yang
diturunkan.” Dalam bagian awal surat-surat 32, 39, 40, 45 dan 46,
kata tanzîl dikaitkan dengan kata kitâb dalam konstruksi tanzîl al-
kitâb. Sementara dalam surat 41 disebutkan: “Hã-Mîm () suatu
tanzîl dari Yang Maha Pengasih … suatu kitâb….” Dalam konstruksi
semacam ini, tanzîl bisa bermakna “apa-apa yang diturunkan” atau
“suatu pesan yang diwahyukan,” sebagaimana bisa dilihat dalam
26:192; 56:80; dan 69:43. Dengan demikian, jika terma ini
dipandang sebagai nama alternatif untuk al-Quran atau bagiannya,
maka ia memberi penekanan terhadap karakter kewahyuan al-
Quran atau bagiannya.
Nama alternatif lain yang digunakan untuk al-Quran, menurut
mayoritas sarjana Muslim, adalah furqãn (
). Para mufassir Mus-
lim berusaha mengaitkan istilah ini dengan kata kerja faraqa,
“diskriminasi, memisahkan, membedakan,” dan menjelaskannya
memiliki makna teologis “pembeda antara yang hak dan batil.”
Namun, makna semacam ini barangkali tidak dapat ditemukan
dalam penggunaan kata furqãn oleh al-Quran. Dalam beberapa
konteks di mana kata furqãn dikaitkan dengan sesuatu yang
diturunkan Tuhan kepada Muhammad (8:29,41; 2:185; 3:3f.; 25:1),
terlihat bahwa kata ini sangat mungkin bermakna
“pertolongan” atau “salvasi”17 – yang bisa disinonimkan dengan
nashr – mengingat signifikansi kemenangan dalam Perang Badr,
yang merupakan konsteks sebagian ayat-ayat ini , diperoleh
berkat pertolongan Tuhan. Makna semacam ini bisa diterapkan
terhadap dua konteks al-Quran lainnya (2:53 dan 21:48) yang
menyebutkan pemberian furqãn kepada Musa. Pemberian furqãn
di sini mungkin merujuk kepada pertolongan Tuhan saat
menyelamatkan orang-orang Israel keluar dari Mesir.18 Dengan
demikian, sejauh furqãn dipandang sebagai suatu bagian al-Quran,
maka hal ini terletak pada aspeknya yang mengekspresikan
signifikansi kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badr atas
pertolongan Tuhan.
Terma terakhir yang relevan disinggung di sini adalah hikmah
( ), “kebijaksanaan” atau sophia. Kata ini di dalam al-Quran
tidak hanya diasosiasikan dengan ãyah dan kitãb (2:129, 151; 3:164;
62:2), namun dalam 2:231 dan 4:113, misalnya, ada rujukan
kepada penurunannya. Dalam 33:34 disebutkan bahwa ãyah dan
hikmah dibacakan di rumah istri-istri Nabi. Sangat mungkin bahwa
hikmah merujuk kepada aturan-aturan kewarga an yang
diwahyukan Tuhan di dalam al-Quran, sebab – mengingat pertalian
eratnya dengan kata kitâb, dan derivasinya dari akar kata hakama
– dalam 4:105 Muhammad diperintahkan untuk mengadili
(tahkum) manusia berdasar kitâb yang diturunkan kepadanya.
beberapa mufassir Muslim berusaha menafsirkan kata hikmah
dengan tindakan ekstra-quranik (Sunnah) Nabi, namun makna
semacam ini tidak cocok diterapkan terhadap 33:34 yang dirujuk
di atas.
Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan
bahwa baik dari segi derivasi (isytiqãq) ataupun sinonim (murãdif )
terma al-Quran, kesemuanya menggagaskan suatu konsepsi yang
padu dan kohesif tentang karakter kewahyuan al-Quran. Jadi, dalam
nama alternatif apa pun yang dinisbatkan al-Quran terhadap
dirinya, kesemuanya kembali kepada gagasan tentang asal-usul
ilahiahnya, bahwa ia bersumber dari Allah, Tuhan semesta alam.
Tentang Sumber-sumber al-Quran
Kaum Muslimin pada umumnya meyakini bahwa al-Quran
bersumber dari Allah, dan al-Quran sendiri – seperti ditunjukkan
di atas – juga mengkonfirmasinya. Keyakinan tentang sumber
ilahiah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan
keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan
semacam itu, tidak seorang pun yang dapat mengklaim dirinya
sebagai Muslim, bahkan dalam suatu pengertian nominal. namun ,
keyakinan ini telah mendapat tantangan serius saat
diproklamasikan pertama kali oleh al-Quran dan berlanjut hingga
dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.
Pengakuan Muhammad bahwa ia merupakan penerima wahyu
dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat
manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab yang sezaman
dengannya. Al-Quran sendiri tidak menyembunyikan adanya
oposisi yang serius terhadap Nabi, namun justeru merekam rentetan
peristiwa ini tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan
negatif para oposan kontemporer Nabi mengenai asal-usul genetik
atau sumber wahyu yang diterimanya – termasuk ejekan dan celaan
musuh-musuh Muhammad – berikut bantahan terhadap
miskonsepsi mereka.
Dalam dua bagian al-Quran (52:29 dan 69:42), para penentang
Nabi memandangnya sebagai kãhin (“tukang tenung”) dan wahyu-
wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenung.”
Demikian pula, dalam beberapa bagian al-Quran (21:5; 37:36; 52:30
cf. 69:41) ia dituduh sebagai syã‘ir (“penyair”), atau di tempat lain
(15:6; 68:51; 7:184; 37:36; 44:14; 23:70; 34:8; 51:52) sebagai majnûn
(“kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya”).19 beberapa
bagian al-Quran lainnya menginformasikan bahwa Muhammad
dianggap para penentangnya sebagai sãhir (“tukang sihir,” 10:2;
38:4; 51:52) atau mashûr (“korban sihir,” 17:47; 25:8), dan wahyu-
wahyu yang diterimanya sebagai sihr (“sihir,” 6:7; 11:7; 21:3; 34:43;
37:15; 43:30; 46:7; 52:15; 54:2; 74:2).
Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit
mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Quran berasal dari ruh-
ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam
konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun
penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh
jin atau setan.20 Terhadap konsepsi ini, al-Quran mengemukakan
bahwa jin-jin telah mencapai langit yang ternyata dijaga ketat dan
penuh dengan bintang-bintang penyambar, dan dari tempat
tersembunyi mereka berusaha menguping “berita-berita langit.”
namun , setelah pengutusan Muhammad, tak satu pun di antara
mereka yang bisa berbuat demikian (72:8-9). Hal senada juga
dikatakan berulangkali oleh al-Quran sehubungan dengan setan-
setan yang secara sembunyi-sembunyi berusaha mencuri berita
langit, namun dihalau dengan sambaran bintang (15:16-18; 67:5;
dll.). Jadi, bagi al-Quran, berita-berita langit yang disampaikan
Muhammad, tidaklah berasal dari inspirasi setaniah atau jin, sebab
sejak pengutusannya, baik jin maupun setan tidak lagi bisa
mendekati “langit.”
Berbagai tuduhan yang dilayangkan para penentang al-Quran
kepada Muhammad tentang sumber-sumber setaniah wahyunya –
sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai konteks al-Quran di atas
– pada hakekatnya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan mereka
kepada pekabaran yang didakwahkannya tentang azab Tuhan yang
akan menimpa mereka, seperti tercermin dalam kisah pengazaban
umat-umat terdahulu, atau akan menimpa mereka kelak di Hari
Berbangkit. Dalam bab lalu telah ditunjukkan bahwa dakwah Nabi
semacam ini merupakan gagasan yang nonsen bagi orang-orang
pagan Arab, sebab dalam weltanschauung mereka eksistensi satu-
satunya yang dikenal adalah kehidupan di dunia ini, dan yang
dapat membinasakannya hanyalah masa (dahr).
Selain respon tentang sumber setaniah al-Quran, dalam
berbagai kesempatan kitab suci ini juga membantah tuduhan para
oposan Nabi. Sebagian besar konteks ayat-ayat al-Quran yang
dirujuk di atas memuat bantahan terhadap tuduhan ini .
Dalam 69:40-43, misalnya, disebutkan: “Sungguh ia (al-Quran)
merupakan perkataan rasul yang mulia, bukan perkataan penyair
… dan bukan pula perkataan tukang tenung…. Suatu tanzîl dari
Tuhan semesta alam.” Demikian pula, dalam 36:69 dinyatakan:
“Kami tidak mengajarkannya syair, dan (syair itu) tidak layak
baginya.” Di tempat lain (7:184 cf. 81:22), al-Quran menegaskan:
“Teman mereka itu (Muhammad) tidaklah kerasukan jin; ia
hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.” Tentang konsepsi
al-Quran sebagai sihir, kitab suci ini membantahnya: “Apakah
(pekabaran al-Quran) ini sihir atau apakah kalian buta?”(52:15).
Sementara tentang sumber-sumber setaniah wahyu yang diterima
Nabi, al-Quran memberi respon: “Dan ia (al-Quran) bukanlah
perkataan setan yang terkutuk” (81:25), “Setan-setan tidaklah
membawanya (al-Quran) turun; mereka tidak patut dan tidak kuasa
berbuat demikian. Sesungguhnya mereka dihalangi untuk
mendengar-kannya (al-Quran)” (26:210-212). Bagi al-Quran, setan-
setan justeru memberi inspirasi kepada pendusta yang banyak
berbuat dosa: “Inginkah engkau Aku kabarkan kepada siapa setan-
setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak
dosanya” (26:221-222). Jadi, dalam berbagai sanggahan al-Quran
ini selalu ditegaskan bahwa Allah-lah yang merupakan sumber
inspirasi wahyu Muhammad.
Di samping gagasan-gagasan di atas, para oposan kontemporer
Nabi juga menuduhnya membuat-buat atau mengada-adakan al-
Quran (10:38; 11:13; 32:3; 46:8; 25:4; 34:8,43; 21:5; 16:101).
Sehubungan dengan gagasan tentang al-Quran sebagai rekayasa
imajinasi kreatif Muhammad, Nabi diperintahkan menjawab: “Jika
aku (Muhammad) mengada-adakannya, maka kamu tidak memiliki
kekuasaan sedikit pun untuk menghalangi aku (Muhammad) dari
(azab) Allah” (46:8). Di bagian lainnya (16: 102), al-Quran merespon:
“Ruh Kudus telah menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu
dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang beriman dan
sebagai petunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri.” Dalam responnya yang lebih keras, kitab suci ini
bahkan menantang para oposan Nabi untuk membuat perkataan
(hadîts) semisal wahyu yang diterima Nabi (52:34), atau suatu surat
(10:38; 2:23), atau sepuluh surat (11:13), atau suatu kitab semisal
al-Quran (17:88; 28:49).21
Aspek tantangan (tahaddî ) yang disebutkan terakhir di atas,
telah dikembangkan sedemikian rupa di dalam ‘ulûm al-qur’ãn
untuk menopang doktrin i‘jãz al-qur’ãn dari segi kualitas bahasanya.
Di sini, ditekankan bahwa ketidakmampuan manusia untuk
menandingi bahasa al-Quran merupakan salah satu bukti
kemukjizatan kitab suci ini . namun , lantaran penekanan yang
berlebihan terhadap doktrin ini, ayat-ayat tantangan di atas telah
dikemukakan dalam urutan kronologis pewahyuan terbalik – yakni
tahapan pertama adalah tantangan mendatangkan suatu kitab
semisal al-Quran (17:88; 28:49), tahapan kedua adalah tantangan
mendatangkan sepuluh surat semisal al-Quran (11:13), dan tahapan
ketiga adalah tantangan mendatangkan satu surat semisal al-Quran
(10:38).22
Merupakan hal yang logis jika tantangan semacam ini diajukan
selaras dengan perkembangan kuantitas wahyu yang ada di tangan
Nabi dari waktu ke waktu. Jadi, saat kepada Nabi baru diturunkan
beberapa surat, oposan-oposannya ditantang untuk mendatangkan
perkataan atau sebuah surat yang semisal itu. saat belasan surat
telah diwahyukan kepada Nabi, mereka ditantang untuk
mendatangkan sepuluh surat semisal itu. Dan saat wahyu-wahyu
al-Quran dalam perbendaharaan Nabi telah mengambil bentuk
seperti kitãb, maka para oposan Muhammad ditantang untuk
mendatangkan yang seperti itu.
Di samping gagasan tentang sumber-sumber setaniah al-Quran
di atas, Para penentang Nabi juga menuduhnya memperoleh
pengetahuan wahyu lewat transmisi manusiawi (6:105; 16:103; 44:14;
25:4). Pengetahuan wahyu yang diperolehnya adalah “dongeng-
dongeng masa silam” (asãthîr al-awwalîn) yang telah disalinnya
dan didiktekan kepadanya tiap pagi dan petang (25:5). Secara
singkat, dapat dikemukakan bahwa para oposan Nabi
memandangnya memperoleh inspirasi qurani dari sumber-sumber
ahli kitab – yakni kaum Yahudi dan Kristen.23 namun , Al-Quran
menyanggah pandangan ini dengan menegaskan bahwa
Muhammad tidak pernah membaca suatu kitab suci pun dan tidak
pernah pula menulisnya; sebab jika seandainya terjadi demikian,
para penentang Nabi akan memiliki argumen yang kuat untuk
meragukannya (29:48). Demikian pula, dugaan bahwa yang telah
mengajarkan al-Quran kepada Muhammad adalah orang asing
(a‘jamî), ditolak dengan mengemukakan bahwa al-Quran yang
diwahyukan kepada Muhammad itu dalam bahasa Arab yang jelas,
yang tentunya berbeda dari tutur kata a‘jamî (16:103). Sementara
yang disebut-sebut para penentang Nabi sebagai asãthîr al-awwalîn,
ditegaskan al-Quran bersumber dari Tuhan: “ Ia (asãthîr al-awwalîn)
diturunkan oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah)
yang maha pengampun lagi maha penyayang” (25:5-6).
Salah satu bagian al-Quran yang secara ringkas mengungkapkan
gagasan-gagasan para oposan Nabi sehubungan dengan sumber-
sumber atau asal-usul genetik wahyu yang diterimanya, berikut
respon al-Quran terhadapnya, adalah 25:4-9 berikut ini:
Orang-orang kafir (penentang Muhammad) itu berkata:
“(pekabaran al-Quran) ini tidak lain hanya suatu kebohongan
yang direkayasanya, dan dia tentunya dibantu oleh kaum lain.”
Sungguh mereka telah berbuat zalim dan berdusta. Dan mereka
berkata: “Inilah dongeng-dongeng masa silam yang telah
disalinnya untuk dirinya dan didiktekan kepadanya tiap pagi
dan petang.” Katakanlah (hai Muhammad): “Ia diturunkan
oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah) yang
maha pengampun lagi maha penyayang.” Dan mereka berkata:
“mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di
pasar? Mengapa tidak diturunkan malaikat kepadanya agar
memberi peringatan bersamanya? Dan (mengapa) tidak
diberikan kepadanya harta kekayaan atau kebun yang hasilnya
dapat dia nikmati?” Dan orang-orang yang zalim itu berkata:
“Kalian hanya mengikuti seorang lelaki yang terkena sihir.”
Lihatlah bagaimana mereka telah membuat perumpamaan-
perumpamaan tentang kamu (Muhammad). Mereka telah
tersesat dan tidak dapat menemukan jalan (yang benar).
Jadi, tanpa memutarbalikan fakta, al-Quran telah merekam
rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut-sudut
pandang orang yang semasa dengan Nabi mengenai asal-usul atau
sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Serempak dengan itu,
al-Quran juga merespon atau membantah berbagai tuduhan dan
miskonsepsi para oposan kontemporer Nabi. Sebagaimana terlihat,
respon spesifik al-Quran terhadap berbagai gagasan dan tuduhan
para penentang Muhammad memang berbeda untuk setiap
kasusnya. namun , dalam berbagai jawaban ini , kitab suci ini
selalu menekankan asal-usul ilahiahnya: Wahyu yang diterima
Muhammad itu bersumber dari Tuhan semesta alam.
Berbagai gagasan para oposan kontemporer Nabi tentang asal-
usul atau sumber al-Quran terlihat memiliki kemiripan dengan
konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan
hingga dewasa ini. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi
yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang
berbau apologetik. Pada abad pertengahan di Barat, Muhammad
digagaskan sebagai penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, dan
ajaran al-Quran yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu
bentuk Kristen yang sesat dan penuh bidah.24
Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan di atas, yang lebih
merupakan mitos dan fiksi imajinatif, memiliki pengaruh kuat di
kalangan sarjana Barat pada masa-masa selanjutnya, dan terlihat
sulit dienyahkan dari benak warga Barat hingga dewasa ini.
namun , konsepsi abad pertengahan itu secara sederhana bisa
diabaikan sebab tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian
ilmiah yang serius. Kepentingan utama yang ada di balik
penggagasannya lebih bersifat apologetik, sebab difokuskan pada
pembelaan keyakinan kristiani dan penyemaian rasa percaya diri
di kalangan umat Kristen. Gagasan ini secara reflektif
mengungkapkan bahwa walaupun umat Islam – musuh bebuyutan
Kristen dalam serangkaian Perang Salib saat itu – secara politik
lebih superior dibandingkan umat Kristen, secara religius kaum
anti-Kristus itu – salah satu istilah yang dilabelkan kepada umat
Islam – memeluk agama yang lebih inferior dari agama Kristen.
Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan itu tentu saja tidak
dapat disejajarkan dengan gagasan-gagasan Barat modern jika dilihat
pada tataran saintifik dan sofistikasinya. Karya Barat modern yang
berusaha melacak sumber-sumber al-Quran bisa dikatakan bermula
pada 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat
Mohammed aus dem Judentum aufgenommen?25 Sebagaimana
tercermin dari judulnya – “Apa yang telah Diadopsi Muhammad
dari Agama Yahudi?” – karya ini memusatkan perhatian pada anasir
Yahudi di dalam al-Quran. Dalam penelitiannya, Geiger sampai
kepada kesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang
tertuang di dalam al-Quran sejak sebermula telah menunjukkan
sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: Tidak hanya sebagian
besar kisah para nabi, namun berbagai ajaran dan aturan al-Quran
pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi.26 Namun, selama
hampir setengah abad setelah publikasi karya Geiger, tidak terlihat
teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada
1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan publikasinya,
Juedische Elemente im Koran (“Anasir Yahudi dalam al-Quran”),
yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.
Setelah kemunculan kedua karya di atas, beberapa besar sarjana
Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-
usul genetik al-Quran. Terjadi semacam peperangan akademik
antara sarjana-sarjana yang memandang al-Quran tidak lebih dari
tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap
agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi
berusaha keras membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Quran
secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan bahwa
Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya-
karya kesarjanaan Yahudi jenis ini antara lain ditulis oleh J.
Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran
(“Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam al-Quran,” 1925,
dicetak-ulang, 1964), C.C. Torey, The Jewish Foundation of Islam
(“Fondasi Yahudi Agama Islam,” 1933, dicetak-ulang, 1967), dan
Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (“Agama Yahudi dan
al-Quran,” 1962).27 Pencetakan-ulang karya-karya kesarjanaan
Yahudi itu memperlihatkan secara gamblang pengaruh gagasan
lama yang masih melekat di dunia akademik Barat. namun , kajian-
kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasi yang tragis
dengan terbitnya karya J. Wansbrough, Quranic Studies: Sources
and Methods of Scriptural Interpretation (“Kajian-kajian al-Quran:
Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci,” l977). Dalam buku ini,
Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-
Quran merupakan hasil “konspirasi” antara Muhammad dan
pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang secara
sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi.28
Sementara para sarjana Kristen juga melakukan usaha senada
dan berusaha membuktikan bahwa al-Quran itu tidak lebih dari
gema sumbang tradisi kristiani dan bahwa Muhammad hanyalah
seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh agama
Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-
sumber kristiani al-Quran ditulis Karl Friedrich Gerock, Versuch
einer Darstellung der Christologie des Korans (“usaha Peng-
ungkapan Kristologi al-Quran,” terbit pertama kali pada 1839).
Setelah suatu tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-
karya kesarjanaan Kristen lainnya tentang topik ini, seperti yang
disusun oleh Manneval, La Christologie du Koran (“Kristologi al-
Quran,”1887), Tor Andrae, Der Ursprung des Islams und das
Christentum (“Asal-usul Islam dan Agama Kristen,” 1926), dan J.
Henninger, Spuren christlicher Glaubenswahrheiten im Koran
(“Jejak Kebenaran Kepercayaan Kristen dalam al-Quran,” 1951).
namun , salah satu karya kesarjanaan Kristen paling menonjol dan
berpengaruh dalam kategori ini ditulis oleh Richard Bell, The
Origin of Islam in its Christian Environment (“Asal-usul Islam
dalam Lingkungan Kristennya,” 1926).
Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al-
Quran dalam salah satu dari kedua tradisi keagamaan semit, yakni
Yahudi dan Kristen, ada juga karya-karya kesarjanaan Barat
lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan
ini secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslimin.
Karya-karya kategori terakhir ini antara lain ditulis oleh W.
Rudolph, Die Abhaengigkeit des Qorans von Judentum und
Christentum (“Ketergantungan al-Quran pada Agama Jahudi dan
Kristen,” 1922), dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-
Chretienne (“Al-Quran dan Wahyu Yahudi-Kristen,” dua jilid,
1958). Sementara beberapa sarjana Barat lain, seperti W.M. Watt
dan H.A.R. Gibb, memperluas gagasan terakhir ini dengan
menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al-Quran
adalah milieu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani
yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.
Gagasan-gagasan yang berkembang di kalangan sarjana Barat
modern tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Quran di atas,
sebenarnya dipijakkan pada asumsi tentang difusi agama Yahudi
dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam.
namun , asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat
pembenaran dari informasi-informasi historis yang ada di
dalam al-Quran sendiri, jika kitab suci ini dipandang – dan sudah
semestinya dijadikan – sebagai sumber sejarah yang otoritatif.
Uraian-uraian dalam bab lalu justeru menunjukkan bahwa
pengaruh kedua tradisi keagamaan ini terhadap milieu
intelektual Arab terlihat tidak begitu meyakinkan.30 Memang benar
bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di
kalangan orang-orang Arab. Al-Quran sendiri bahkan
mengemukakan adanya usaha dari orang-orang Yahudi dan Kristen
dalam skala besar-besaran ataupun kecil-kecilan untuk menarik
orang-orang Arab ke dalam agamanya masing-masing. namun , usaha
ini tidak membuahkan hasil yang baik lantaran implikasi politik
kedua agama ini , dan – lebih dari itu – orang-orang Arab
terlihat lebih setia mengikuti tradisi “bapak-bapak kami.”
Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yudeo-Kristiani juga
dijadikan sebagai basis oleh para sarjana Barat untuk teori mereka
bahwa sumber inspirasi al-Quran adalah Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru – Tawrat dan Injil dalam istilah al-Quran. namun ,
kaum Muslimin barangkali akan menisbatkan kemiripan dalam
ketiga tradisi agama Ibrahim ini kepada kesamaan sumber kitab
suci masing-masing agama ini . Menurut keyakinan Islam,
seluruh kitab suci – bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit
itu – bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab
suci itu diutus oleh-Nya. Al-Quran memang menyebutkan bahwa
para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa
yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang
mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah
ini terpancar dari sumber tunggal: umm al-kitãb (“induk
segala kitab,” 43:4; 13:39) atau kitãb maknûn (“kitab yang
tersembunyi,” 56:78) atau lawh mahfûzh (“luh yang terpelihara,”
85:22), yang merupakan esensi Pengetahuan Tuhan. Dari esensi
kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada para
utusan Tuhan. Tawrat (2:53,87; 3:3,65; 5:44; 6:91; dll.) dan Zabur
(4:163; 17:55) – merujuk kepada Perjanjian Lama – dan Injil
(3:3,48,65; 5:46; 57:27; dll.), semuanya bersumber dari Allah. sebab
semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia mesti
mengimani seluruhnya. Di dalam al-Quran, di samping disebutkan
kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen,
Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan: “Aku
beriman kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah” (42:15 cf.
2:285; 4:136; 2:177). sebab itu, agama Allah tidak dapat dipecah-
pecah. Demikian juga dengan kenabian: Al-Quran mengharuskan
keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa
diskriminasi (2:136,285; 3:84; 4:152; dll.). Bagi al-Quran, “tidak
ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi
peringatan” (35:24 cf. 13:7). Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran
agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi
ajaran agama lain, namun sebab tiap-tiap agama ini berasal
dari satu sumber: Tuhan semesta alam.
Sekalipun uraian di atas mungkin bagi sementara kalangan
dipandang tidak memuaslegakan dan lebih bersifat dogmatis, namun
hanya jawaban semacam itulah yang barangkali bisa dikemukakan
jika dikaitkan dengan perspektif al-Quran tentangnya. Di kalangan
sarjana Barat sendiri pun masalah pelacakan sumber-sumber al-
Quran masih tetap merupakan bidang garap yang kontroversial.
Kajian-kajian semacam ini, misalnya, mendapat justifikasi dari W.M.
Watt. Ia mengemukakan dua alasan penting tentang relevansinya:
(i) kajian tentang sumber-sumber al-Quran tidak akan
menghilangkan gagasan-gagasan yang sumbernya ditemukan dan
juga tidak akan mengurangi nilai kebenaran dan validitas kitab
suci ini ; dan (ii) orang-orang yang menerima doktrin bahwa
al-Quran merupakan verbum dei (kalãm Allãh) yang qadîm bahkan
dapat mengkaji “sumber-sumber” dalam artian pengaruh-pengaruh
eksternal terhadap pemikiran orang-orang Arab pada masa
Muhammad. “Jika kedua butir ini diterima, akan terlihat bahwa
kajian tentang sumber-sumber dan pengaruh – di samping
merupakan hal yang sudah semestinya – memiliki tingkatan interes
yang moderat.”31
Meskipun karya-karya tentang asal-usul genetik al-Quran yang
ditulis para sarjana Barat belakangan ini terlihat lebih serius
ketimbang karya-karya sebelumnya, dan sekalipun ada beberapa
sarjana yang menjustifikasi dan membela mati-matian kepentingan
studi-studi semacam itu, usaha rekonstruksi elemen-elemen asing
al-Quran juga mendapat kecaman keras dari kalangan sarjana Barat
sendiri. Franz Rosenthal, misalnya, mengemukakan bahwa
meskipun kajian-kajian semacam itu berhasil menemukan bukti
yang meyakinkan mengenai pengaruh asing terhadap formasi spiri-
tual dan intelektual Muhammad, usaha -usaha ini “tidak
mungkin menjelaskan secara memuaskan keberhasilan Nabi dalam
menciptakan sesuatu dan mentransformasikannya ke dalam suatu
kekuatan abadi yang mempengaruhi seluruh umat manusia ….”32
Lebih jauh, Rosenthal bahkan menilai bahwa kajian-kajian semacam
ini hanya menyentuh kulit luar dan tidak pernah mencapai
intinya.33
Bahwa kajian tentang asal-usul genetik al-Quran dan berbagai
pendekatan yang digunakan di dalamnya memiliki kepentingan
historis tertentu, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah.
Akan namun , merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditolak bahwa
studi-studi semacam ini hanya memiliki manfaat yang sangat
terbatas dalam kaitannya dengan pemahaman al-Quran dan
gagasan-gagasannya. Sebaliknya, telaah-telaah semacam ini bahkan
cenderung mengaburkan dan mendistorsi kandungan kitab suci
itu. Lebih jauh, asumsi yang mendasari kajian-kajian ini adalah
praduga abad pertengahan bahwa Muhammad adalah “pengarang”
al-Quran. Apabila kitab suci itu merupakan rekayasa yang sadar
dari imajinasi kreatif Nabi, maka sumber-sumbernya secara pasti
dapat dilacak dalam milieunya. Prasangka semacam ini, seperti
telah disinggung di atas, justeru disangkal dengan tegas oleh al-
Quran sendiri saat menolak dakwaan-dakwaan senada yang
diajukan oposan kontemporer Nabi. Barangkali inilah sebabnya
mengapa Seyyed Hossein Nasr – sehubungan dengan prasangka
Barat mengenai asal-usul genetik al-Quran – menyatakan
keheranannya: “Pandangan semacam itu (yakni tentang asal-usul
non-ilahiah al-Quran – pen.) wajar dipertahankan oleh orang yang
menolak secara sepenuhnya seluruh wahyu, namun adalah aneh
mendengar pandangan-pandangan ini dikemukakan para
penulis yang sering menerima Kristen dan Yahudi sebagai
kebenaran yang diwahyukan.”
Wahyu Ilahi dan Nabi
Uraian-uraian tentang derivasi, sinonim dan sumber-sumber
al-Quran di atas dengan jelas memperlihatkan bagaimana konsepsi
kitab suci itu mengenai asal-usul dirinya. Wahyu-wahyu qurani
yang diterima Nabi, menurut gagasan ini, bersumber dari Allah.
Wahyu-wahyu ini , sebagaimana dengan wahyu-wahyu lain yang
diterima nabi-nabi sebelum Muhammad, terpancar dari “Luh yang
Terpelihara” (lawh mahfûzh, 85:22), yang hanya dapat disentuh
oleh yang disucikan (56:79). Luh ini juga disebut sebagai “Kitab
yang Tersembunyi” (kitãb maknûn, 56:78), atau “Induk Segala Kitab”
(umm al-kitãb, 13:39; 43:4), sebagaimana lazimnya ditafsirkan
demikian di kalangan sarjana Muslim. Dari esensi kitab primordial
inilah Jibril datang dan menyampaikan wahyu ilahi kepada Nabi.
Pernyataan sederhana ini mencakup permasalahan luas tentang
wahyu Ilahi dan Nabi yang akan didiskusikan berikut ini.
Kata wahyu (!"#$) bedan kata bentukan lain darinya
merupakan kata-kata yang frekuensi penggunaannya paling banyak
di dalam al-Quran. Kata-kata ini telah menjadi istilah-istilah teknis
dalam terminologi Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi
pesan Ilahi kepada para nabi.35 Di dalam al-Quran sendiri,
penggunaan kata wahy dan kata-kata bentukannya tidak hanya
dibatasi bagi para nabi, namun juga digunakan secara umum untuk
melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia
atau antara Tuhan dengan makhluk-Nya – termasuk para nabi.
Jadi kata awhã (%$) digunakan dalam pengertian “memberi
isyarat” atau “menunjukkan” guna menggambarkan komunikasi
yang dilakukan Zakariya – setelah menjadi bisu – kepada kaumnya
(19:11). Dalam 6:112, dikatakan bahwa setan di kalangan jin dan
manusia saling “membisikkan” atau “memberi tahu secara
sembunyi-sembunyi” (yûhî ba‘dluhum ba‘dlan) gagasan-gagasan
muluk (cf. 6:121). Penerima wahyu, bahkan dari Tuhan, tidak
selalu seorang nabi. Kepada malaikat, Tuhan mewahyukan (yûhî,
“memerintahkan”) agar meneguhkan pendirian orang-orang
beriman (8:12); dan kepada ibu Nabi Musa, Tuhan mewahyukan
(awhã, “memberi ilham”) agar menyusui anaknya (28:7). Bahkan,
kepada lebah pun Tuhan mewahyukan (awhaynã, “memberi ilham”)
untuk membuat sarangnya di bukit-bukit dan pohon-pohon dan
rumah-rumah yang dibuat manusia (16:68). Pada Hari Penghabisan,
bumi akan mengeluarkan beban beratnya sebab Tuhan telah
“memerintahkan” (awhã) kepadanya untuk melakukan hal ini
(99:1-5). Demikian pula, Tuhan “memerintahkan” (awhã) kepada
setiap lapis langit tugas-tugas khususnya.
Dalam beberapa bagian al-Quran, kata-kata senada juga
digunakan untuk merujuk komunikasi pesan ilahi kepada para
nabi sebelum Muhammad (12:109; 16:43; 21:7,25; dll.): seperti
kepada Nuh (23:27; 11:36-37; dll.), Musa (7:160; 20:13,77; 26:52,63;
dll.), Yusuf (12:15), dan lain-lain. Pesan yang dikomunikasikan,
dalam kebanyakan kasus, berupa perintah untuk melakukan
sesuatu. Jadi, kepada Nuh, misalnya, “diperintahkan” membuat
bahtera berdasar “wahyu”. Begitu juga, kepada Musa
“diperintahkan” untuk melakukan eksodus di malam hari,
memukul laut dan batu karang dengan tongkatnya. Terkadang,
yang diwahyukan kepada para nabi adalah doktrin: “Katakanlah:
‘Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah
Tuhan yang esa’” (18:110; 21:108; 41:6; dll.).
namun , obyek utama wahyu di dalam al-Quran adalah
Muhammad. Dalam 13:30 disebutkan bahwa ia diutus untuk
membacakan apa-apa yang “diwahyukan” kepadanya; bahwa
petunjuk yang diperolehnya disebabkan oleh apa-apa yang
“diwahyukan” kepadanya (34:50). warga kontemporer Nabi
keheranan sebab ia menerima wahyu untuk memberi peringatan
dan kabar gembira (10:2). namun , Muhammad diperintahkan
mengatakan: “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak pula mengetahui
yang gaib. Aku juga tidak mengatakan kepadamu bahwa aku ini
malaikat. Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa-apa yang
diwahyukan kepadaku” (6:50).
Bahwa wahyu yang diterima Muhammad memiliki asal-usul
ilahiah, seperti telah ditunjukkan di bagian yang lalu, selalu
ditegaskan oleh al-Quran. Dalam 53:3-4 disebutkan: “Dan tidaklah
ia (Muhammad) berbicara mengikuti hawa nafsunya. Sungguh
(ucapannya) itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan” (cf.
6:93). Sementara di beberapa bagian al-Quran lainnya Muhammad
diperintahkan hanya mengikuti apa-apa yang diwahyukan
Tuhannya (6:50,106; 7:203; 10:109; 33:2; 46:9; 43:43; dll.). Ia tidak
mengharamkan makanan apa pun – kecuali bangkai, darah, daging
babi atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah – sebab
tidak menemukan larangan semacam itu eksis di dalam wahyu
yang diwahyukan kepadanya (6:145).
Kandungan wahyu yang diterima Muhammad dilukiskan
dengan berbagai cara di dalam al-Quran. Kisah keluarga Imran di
dalam surat 3 diinterupsi oleh suatu ayat (3:44) yang menyatakan:
“Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad).” Sementara kisah Yusuf diawali dengan
pernyataan: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) kisah pal-
ing bagus dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu” (12:3).
Demikian pula, Allah mewahyukan kepada Muhammad untuk
mengikuti agama Ibrahim (16:123). Dan pengetahuannya tentang
beberapa jin yang mendengar pembacaan al-Quran juga dinisbatkan
kepada wahyu ilahi (72:1), sebagaimana pengetahuannya tentang
perbantahan di kalangan malaikat pada waktu penciptaan manusia
(38:69 ff.).
Berbagai terma lain juga digunakan di dalam al-Quran untuk
menunjukkan kandungan wahyu. Dalam 5:48 disebutkan bahwa
Tuhan telah menurunkan kepada Muhammad al-kitãb dengan
kebenaran (cf. 13:1; 34:6; 22:54; 35:31; 47:2; 6:114; 4:105; 39:2,41;
3:3; 42:17; 32:3; 17:105; dll.), yang mengkonfirmasikan kitab-kitab
sebelumnya dan pelindung atasnya (cf. 6:92; 2:97; 35:31; 46:30;
6:92; 10:37; 12:111; dll.).36 Lebih jauh, kandungan wahyu juga
disebut sebagai ‘ilm (“ilmu,” 3:61; 2:120,145; 13:37; 45:17; cf. 30:29),
hikmah, (“hikmah,” 17:39; cf. 2:151,231,269; 3:164; 33:34; dll.),
hudã (“petunjuk,” 45:11,20; 3:138; 7:52,203; 12:111; dll.), syifã’
(“penawar,” 41:44; 10:57; 17:82), nûr (“cahaya,” 4:174; 5:15f.; 7:157;
42:52; 64:8), dan lain-lain. Sementara tujuan pewahyuan al-Quran
disebut dalam 6:19, “Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar
aku memberi peringatan kepadamu dengannya dan kepada orang-
orang yang sampai kepadanya (al-Quran)” (cf. 42:7; 6:92).
Deskripsi-deskripsi di atas dengan jelas memperlihatkan betapa
luas dan dalamnya kandungan semantik terma wahy dan awhã
dalam penggunaan al-Quran. Kata awhã barangkali memiliki
pengertian mendasar “komunikasi suatu gagasan melalui bisikan
yang cepat atau desakan.” 37 Pengertian ini selaras dengan contoh-
contoh yang diberikan di dalam kamus-kamus,38 di mana
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 75
ditunjukkan bahwa kecepatan atau kesekilasan merupakan bagian
dari konotasi akar kata ini . Dengan demikian, wahy secara
umum dapat bermakna gagasan yang dibisikkan, yang didesak
untuk ditindakkan atau dilakukan.
Namun yang menjadi kunci di sini adalah bagaimana proses
pewahyuan al-Quran kepada Muhammad. Al-Quran hanya
mengemukakan beberapa kecil petunjuk tentang hal ini. Gambaran
paling lengkap tentang mekanisme wahyu – yang dalam
kenyataannya paling sering dijadikan obyek spekulasi tafsir
beberapa besar sarjana Muslim – ada dalam 42: 51-52, yang
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dan Allah tidak berkata-kata kepada seorang manusia pun
kecuali:
(a) (melalui) wahyu
atau (b) dari balik tabir
atau (c) Dia mengutus utusan
yang mewahyukan dengan seizinnya apa-apa yang Dia
kehendaki ….
Dan demikianlah telah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari
perintah Kami….
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan di sini bahwa
permulaan bagian al-Quran di atas menafikan kemungkinan Tuhan
berbicara secara langsung kepada manusia, kecuali lewat ketiga
modus taklîm di atas. Tentang model wahyu pertama (a), ada
suatu consensus doctorum di kalangan sarjana Muslim bahwa yang
dimaksudkan dengan wahy di sini sinonim dengan ilhãm,
“inspirasi,”39 dan biasanya ditafsirkan sebagai “impian yang benar”
(ru’yat al-shãlihah). Penafsiran semacam ini bisa disimpulkan dari
penuturan al-Quran tentang kisah penyembelihan Ismail, putera
Nabi Ibrahim (39:101-112).40 Tentang model wahyu kedua (b),
biasanya ditafsirkan sebagai kalam ilahi dari balik tabir tanpa
melalui perantara, seperti dialami Nabi Musa (4:164; 7:143-144;
28:30; cf. 2:253). Sementara model wahyu ketiga (c), yakni lewat
perantaraan utusan spiritual, umumnya ditafsirkan sebagai
penyampaian wahyu Ilahi kepada nabi-nabi melalui perantaraan
malaikat Jibril atau Ruh Kudus. Bentuk pewahyuan terakhir inilah
– seperti terlihat dalam bagian akhir kutipan al-Quran di atas (42:52)
– yang dialami Muhammad.
Bahwa Jibril merupakan agen wahyu atau utusan spiritual yang
menyampaikan wahyu Ilahi kepada Muhammad, dikonfirmasi al-
Quran di beberapa tempat lainnya (2:97; 16:102; 26: 192-194; dll.).
Bahkan dalam bagian-bagian al-Quran ini dijelaskan bahwa Jibril
menyampaikan wahyu Ilahi ke dalam hati Nabi. Jadi dalam 26:192-
193, misalnya, disebutkan: “Dan sesungguhnya (al-Quran) ini
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-
rûh al-amîn, ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi
salah seorang pemberi peringatan.” Dengan demikian, wahyu dan
agennya jelas bersifat spiritual dan internal bagi Muhammad. Hal
ini juga dinyatakan dalam bagian al-Quran lainnya: “Jika Tuhan
menghendaki, maka akan Dia tutup mata hatimu (hai
Muhammad), sehingga tidak akan ada lagi wahyu yang datang
kepadamu” (42:24; cf. 17:85-86).
Jibril – agen spiritual penyampai wahyu Ilahi kepada
Muhammad – hanya disebutkan tiga kali di dalam al-Quran (2:97,
98; 66:4), dan keseluruhannya berasal dari periode Madinah. Dari
tiga kali pemunculan ini , seperti telah disinggung di atas,
hanya satu kali saja yang bertalian dengan pewahyuan al-Quran
(2:97). Pemunculannya yang sangat belakangan ini telah
menimbulkan spekulasi di kalangan sarjana Barat tentang pengaruh
tradisi Yudeo-Kristiani dalam identifikasi ini . Gagasan umum
yang dikembangkan di sini bisa diilustrasikan dengan ungkapan
W.M. Watt:
Pengalaman Muhammad tentang pewahyuan telah
ditafsirkannya dalam berbagai cara. Pertama kali ia
menganggap bahwa Tuhanlah yang berkata-kata secara langsung
kepadanya, sebagaimana anggapannya bahwa Tuhanlah yang
menampakkan dirinya kepadanya dalam rukyah-rukyahnya.
Kemudian, ..., gagasan ini ditolak untuk mendukung ide bahwa
suatu Ruh dihunjamkan ke dalam dirinya. Belakangan, saat
semakin akrab dengan gagasan-gagasan orang Yahudi dan
Kristen, yang darinya ia belajar mengenai malaikat sebagai
utusan Tuhan, Muhammad menganggap bahwa malaikatlah
yang membawa pesan ketuhanan kepadanya. Akhirnya, ia
memandang Jibril sebagai malaikat khusus yang membisikkan
pesan-pesan ilahi kepadanya atas nama Tuhan.41
Pandangan di atas mencerminkan suatu kegagalan dalam
mengapresiasi perkembangan misi kenabian Muhammad dalam
bentangan historisnya. Identifikasi-identifikasi tentang agen wahyu,
dalam kenyataannya berkembang selaras dengan perkembangan
misi ini , dan baru mencapai bentuk finalnya setelah Perang
Badr.42 Dalam proses perkembangan ini, al-Quran pada mulanya
menerima aspek-aspek tertentu keyakinan atau world-view
warga Arab, sebab tidak mungkin mengubahnya dalam
sesaat . Kepercayaan-kepercayaan pagan Arab itu kemudian
ditransformasikan atau diganti secara gradual dengan unsur-unsur
islami, hingga mencapai bentuk finalnya. Proses perkembangan
semacam ini, pada faktanya, terjadi dalam hampir keseluruhan
gagasan keagamaan Islam.43
Sebagai utusan spiritual yang menyampaikan pesan-pesan ilahi
kepada para nabi, Jibril lebih sering diidentifikasi di dalam al-
Quran sebagai rûh,44 dan di beberapa tempat sebagai malã’ikah
(“malikat”),45 rasûl karîm (“utusan mulia”),46 syadîd al-quwã (“yang
sangat kuat”, 53:5 cf. 81:20), dzû mirrah (“yang sangat cerdas”,
53:6), dan lainnya. Dalam kaitannya dengan nabi-nabi pra-
Muhammad, meski sebagiannya terkesan bahwa Tuhan berfirman
langsung kepada mereka, namun ada pernyataan umum di
dalam al-Quran: “Dia menghunjamkan Ruh dari Perintah-Nya
kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya”
(40:15 cf. 16:2), yang darinya dapat disimpulkan bahwa nabi-nabi
diberkahi Ruh Tuhan yang menyampaikan wahyu kepada mereka.
Demikian pula, setelah menyempurnakan bentuk jasmani Adam,
Tuhan juga memasukkan Ruh-Nya (15:29; 32:9; 38:72). Sehubungan
dengan Maryam, ibunda Isa al-Masih, dikatakan bahwa telah
ditiupkan ke dalam tubuhnya Ruh Tuhan sehingga ia hamil (19:17;
21:91; 66:12), dan Isa sendiri dinyatakan telah diperkuat dengan
“Ruh Kudus” (2:87, 253; 5: 110). Ruh Kudus inilah yang juga disebut
sebagai agen wahyu al-Quran (16:102).47
Karakteristik Ruh ini , dijelaskan Fazlur Rahman (w. 1988)
sebagai kandungan aktual wahyu, seperti yang dikesankan dalam
42:52 (cf. 40:15). Tokoh neo-modernis ini menduga bahwa Ruh
ini merupakan kekuatan atau fakultas atau keperantaraan yang
berkembang di dalam hati Nabi dan menjadi operasi wahyu yang
nyata saat dibutuhkan – sebagaimana lazimnya penafsiran yang
berkembang di kalangan filosof dan beberapa modernis muslim.
Menurut Rahman, pada mulanya Ruh itu turun dari “atas.”48 Di
dalam beberapa bagian al-Quran Ruh disebut berdampingan
dengan malaikat: “Dia menurunkan malaikat-malaikat dengan Ruh
dari perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya” (16:2; 40:15).49 Demikian pula, dalam bagian
al-Quran lainnya dikatakan: “Malaikat-malaikat dan Ruh naik
kepada-Nya dalam sehari yang lamanya lima puluh ribu tahun”
(70:4). Dalam 78:38 disebutkan: “Hari saat Ruh dan malaikat-
malaikat berdiri berbaris-baris.” Dan dalam 97:4 diungkapkan:
“Malaikat dan Ruh turun di malam (al-qadr) itu dengan izin Tuhan
mereka.” Dari bagian-bagian al-Quran semacam ini bisa
disimpulkan bahwa Ruh merupakan makhluk lain disamping
malaikat. namun , sebagaimana dikemukakan di atas, Ruh atau Jibril
terkadang juga diidentifikasi dalam al-Quran sebagai malaikat.
sebab itu, Ruh ini barangkali bisa dipandang sebagai bentuk
tertinggi malaikat yang secara khusus bertugas sebagai agen wahyu
(cf. 81:20f.).
Di dalam al-Quran, Ruh selalu diasosiasikan dengan istilah
amr (“Perintah”), seperti dalam konstruksi rûh min amrinã, rûh
min amrihî, atau rûh min amri rabbî (16:2; 17:85; 40:15; 42:52),
“Ruh dari perintah Kami(-Nya, Tuhanku).” Amr biasanya
ditafsirkan sebagai “luh yang terpelihara,” yang di dalam al-Quran
juga disebut sebagai “Kitab yang tersembunyi” atau “Induk segala
kitab.”50 Dari esensi kitab langit inilah Ruh datang dan masuk ke
dalam hati nabi-nabi kemudian menyampaikan wahyu Allah; atau
dari amr itulah Ruh dibawa turun para malaikat ke dalam hati
mereka.
Sehubungan dengan pewahyuan al-Quran, dikemukakan
bahwa ia pertama kali diturunkan pada malam al-qadr atau malam
yang diberkahi Tuhan (97:1 dan 44:3-4). Malam ini, menurut
penjelasan bagian al-Quran lainnya (2:185), terjadi pada salah satu
malam di bulan Ramadlan. beberapa besar mufassir berusaha
menginterpretasikan malam ini dengan merujuk 8:41, yang
mengindikasikan pewahyuan furqãn pada “hari bertemunya dua
pasukan” – yakni bertemunya pasukan Islam dengan bala tentara
Quraisy dalam Perang Badr – dan menetapkan tanggal 17 Ramadlan
sebagai yang dimaksud oleh bagian-bagian al-Quran di atas. namun ,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemberian furqãn dalam
Perang Badr lebih merefleksikan “penyelamatan” atau pertolongan
Tuhan berupa penganugerahan kemenangan kepada kaum
Muslimin dalam pertempuran yang tidak seimbang itu. Lebih jauh,
beberapa hadits memberi penjelasan lain tentangnya.51 Sebagian
hadits mengemukakan laylatu-l-qadr terjadi pada malam ganjil di
bulan Ramadlan, sementara hadits lain menjelaskannya terjadi pada
malam ganjil di pertigaan terakhir bulan ini .52
Penurunan pertama al-Quran ini setidak-tidaknya dalam
bentuk embrionik dari lawh al-mahfûdz ke bayt al-‘izzah di langit
dunia – atau hati Nabi, sebagaimana dikemukakan beberapa
pemikir seperti Al-Gazali (w. 1111) dan Syah Wali Allah al-Dihlawi
(w. 1762).53 Dari bentuk embrionik ini kemudian berkembang
rincian-rincian al-Quran selama kurang lebih 20 (atau 23 atau 25)
tahun,54 selaras dengan perkembangan misi kenabian Muhammad.
Ibn Abbas (w. 687/8), salah seorang sahabat Nabi yang memiliki
otoritas dalam studi al-Quran, misalnya, mengemukakan bahwa
al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada laylat al-qadr,
setelah itu bagian demi bagiannya diturunkan secara berangsur-
angsur kepada Muhammad dari waktu ke waktu.55
Pendapat di atas dipandang paling sahih dan dipegang
mayoritas sarjana Muslim.56 namun , ada juga pandangan
minoritas lainnya yang berkembang di dalam Islam. Sebagian kecil
sarjana Muslim, misalnya, menganggap bahwa al-Quran diturunkan
ke langit dunia dalam 20 (atau 23 atau 25) kali laylatu-l-qadr. Pada
setiap malam ini diturunkan wahyu untuk kebutuhan satu
tahun, yang kemudian disampaikan kepada Nabi di sepanjang
tahun itu secara berangsur-angsur. Sementara minoritas sarjana
Muslim lainnya memandang bahwa permulaan turunnya al-Quran
adalah pada malam al-qadr. Setelah itu wahyu disampaikan dalam
berbagai kesempatan selama masa kenabian Muhammad secara
berangsur-angsur.
Penurunan gradual al-Quran, seperti terlihat, ditekankan dalam
seluruh pendapat yang berkembang, dan ini memang sejalan dengan
penegasan kitab suci itu sendiri. Bagi al-Quran, suatu pewahyuan
total pada suatu waktu – sekalipun dituntut para oposan Nabi
(25:32) – adalah mustahil, sebab kenyataan sesungguhnya bahwa
ia harus turun sebagai petunjuk bagi kaum Muslimin dari waktu
ke waktu, selaras dengan kebutuhan-kebutuhan yang muncul.
Sehubungan dengan ini, al-Quran mengungkapkan: “(Telah Kami
turunkan) sebuah Quran yang Kami bentangkan secara gradual
sehingga kamu (Muhammad) dapat membacakannya kepada
manusia secara bertahap, (sebab itu) Kami menurunkannya hanya
dalam bagian-bagian” (17:106).
Sehubungan dengan pengalaman kenabian Muhammad, yang
mesti ditekankan di sini adalah apa yang secara mental-spiritual
dilihatnya, sebab – seperti telah disebutkan – wahyu datang
kepadanya melalui hati. Hal semacam ini dengan gamblang
ditekankan dalam deskripsi-deskripsi al-Quran tentang rukyah Nabi,
yang lazimnya dikenal sebagai mi‘rãj (“kenaikan”) di kalangan umat
Islam. Salah satu penjelasan al-Quran yang cukup rinci tentang hal
ini (53:3-18) menyinggung tentang pengalaman penerimaan wahyu
dalam dua kesempatan berbeda. Dalam salah satu kesempatan
disebutkan bahwa Nabi “melihat” agen wahyu di “ufuk tertinggi,”
sementara di lain kesempatan ia melihatnya di sidratu-l-muntahã.
Dalam kedua peristiwa ini, disamping Nabi “naik,” agen wahyu
juga “turun,” dan pengalaman ini – seperti ditunjukkan dalam
ungkapan “Hatinya tidak mendustakan apa-apa yang dilihatnya” –
bersifat spiritual, bukan fisik, dan melibatkan pengembangan-diri
Nabi ke ufuk tertinggi (ufuq al-a‘lã ). Hal ini juga dikonfirmasi dua
bagian al-Quran lainnya (17:1; 81:19-24), yang menyinggung obyek-
obyek atau titik-titik pengalaman terjauh Nabi, yaitu “masjid terjauh”
(masjid al-aqshã )59 dan “ufuk paling nyata” (ufuq al-mubîn).
berdasar berbagai rujukan al-Quran itu, dapat dikemukakan
bahwa pengalaman kenabian Muhammad – yang lazim dikenal
sebagai mi‘rãj – terjadi lebih dari dua kali.
Dalam pengalaman spiritual Muhammad, sebagaimana telah
disinggung, ia secara aktual “melihat” dan “mendengar” gambaran
dan suara agen wahyu. beberapa bagian al-Quran bahkan
mengindikasikan lebih jauh bahwa Nabi mampu membedakan
antara kalam ilahi yang didengarnya dan pikiran-pikirannya sendiri.
Dalam 75:16-19 (cf. 20:114; 69:40 ff.; 10:15; 7:203; dll.) disinggung
bahwa sebab kegelisahannya untuk tetap memperoleh wahyu atau
mengharapkan wahyu-wahyu yang berbeda dari “bisikan” agen
wahyu, maka Nabi – seperti manusia-manusia lainnya – dengan
sengaja menggerakkan lidahnya. Namun perbuatan ini dicela
Tuhan. Keterangan al-Quran itu secara logis menunjukkan adanya
perbedaan antara wahyu dan kesadaran Nabi dalam pengalaman
spiritualnya.
Al-Quran sendiri secara tegas mengemukakan bahwa ia
diwahyukan secara verbal. namun , di sisi lain, ia juga menekankan
kaitan intimnya dengan kepribadian terdalam – hati dan pikiran –
Nabi. De