Tampilkan postingan dengan label kosmologi islam 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kosmologi islam 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Desember 2024

kosmologi islam 1



Pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang alam semesta dipenuhi penjelasan dengan 

visi mistik dan visi rasionil. Sebagai seorang sufi yang agung Ibnu ’Arabi dikenal 

dengan sebutan “Syaykh al-Akbar” dan dinisbatkan sebagai pencetus paham 

wahdat al-wujûd. Dengan konsepi paham wahdat al-wujûd inilah Ibnu ‘Arabi 

mendasari pemikiran kosmologinya yang oleh para pemikir muslim lainnya 

disebut dengan kosmologi sufi. Ibnu ‘Arabi, mengungkapkan betapa keseluruhan 

sifat kosmos itu merupakan gema dari berbagai nama dan sifat Tuhan dan 

sesungguhnya hanya ada satu wujud, satu realitas, dan segala entitas yang ada 

(termasuk makhluk alam) hanyalah refleksi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan di 

atas cermin noneksistensi. 

Penciptaan alam semesta beserta isinya atau kosmos dalam teori Ibnu 

‘Arabi adalah konsep tajalli (teofani, penampakan) wujud Tuhan pada alam 

empiris yang serba ganda. Konsep tajalli ini merupakan tiang filsafat Ibnu ‘Arabi 

tentang wahdat al-wujûd karena tajalli ditafsirkan dengan penciptaan, yaitu cara 

munculnya yang banyak dari Yang satu tanpa akibat, Yang satu itu menjadi 

banyak. Tuhan menciptakan kosmos agar dapat melihat diri-Nya dan 

memperlihatkan diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya 

melalui eksistensi kosmos. Ibnu ‘Arabi banyak menggunakan istilah metaforis 

dalam mengungkapkan hubungan Tuhan dan kosmos, salah satunya adalah 

tentang cermin. Kosmos ini adalah cermin tempat Tuhan melihat diri-Nya. 

keingginan untuk melihat diri-Nya merupakan tujuan dan sebab penciptaan 

kosmos. 

Kosmos merupakan “wadah manifestasi” (locus of manifestation) dari 

tajalli nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Sebagai wadah manifestasi Tuhan, 

kosmos dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi di istilahkan dengan “dunia kecil” dan 

“dunia besar”. Yaitu, mikrokosmos “dunia kecil” untuk manusia dan 

makrokosmos “dunia besar” bagi alam semesta. Antara mikrokosmos dengan 

makrokosmos ada  kesesuaian baik secara lahir maupun batin. Namun, 

manusia yang diciptakan Tuhan menurut kesatuan nama-nama-Nya dengan kedua 

tangan-Nya menjadikan manusia sebagai khalifah dan pengemban amanah sejati 

alam serta seluruh isinya.  

Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah 

kajian kepustakaan (Library Research), yaitu menelaah buku-buku dan tulisan 

yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas. Sedangkan pemecahan 

masalah skripsi ini akan menggunakan metode deduktif, yaitu metode penelitian 

yang berangkat dari pemikiran Ibnu ‘Arabi secara umum, kemudian digunakan 

untuk menilai secara sistematis partikulasi-partikulasi dari pemikran Ibnu ‘Arabi 

tentang kosmologi sufi yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini. 

 

Setiap manusia pasti pernah mempertanyakan keberadaan dirinya 

dalam alam semesta ini. Mulai dari mengapa mereka ada di dunia ini? 

Bagaimana asal mula mereka ada di dunia? Bagaimana asal semesta, dunia 

dan semua benda-benda yang menghiasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini, 

betapa pun disampaikan dengan cara yang sederhana, akan tetapi mengandung 

nilai kosmologis yang sangat tinggi, karena pertanyaan-pertanyaan seperti itu 

dapat membawa manusia pada kajian terperinci mengenai alam semesta. 

Kosmos, dalam pengertianya sebagai keteraturan atau keselarasan 

alam semesta, sebagai lawan dari chaos,1 telah banyak menyita perhatian 

manusia dalam sejarah keberadaanya. Dalam pandangan manusia kuno, alam 

merupakan sesuatu yang sangat misterius dan sangat ditakuti. Manusia merasa 

dirinya sebagai anak-anak dan mahluk lemah yang dikuasai oleh citra-citra 

Tuhan atau orang tua yang mewujud dalam kekuatan alam.2 Manusia, pada 

masa itu sangat tergantung kepada alam disertai sikap tunduk dengan tujuan 

pokok untuk mendatangkan harmoni dan kesatuan (integrasi) dengan alam. 

Kemudian, pada abad pertengahan dimana manusia dipandang sebagai 

salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk lainnya. Para                                                  

agamawan melalui otoritas gereja berpandangan bahwa bumi sebagai tempat 

manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta (geosentris), namun 

pandangan ini kemudian digoyahkan oleh Galileo yang membuktikan bahwa 

bumi tempat tinggal manusia, tidak merupakan pusat alam raya. Bumi hanya 

bagian kecil dari planet-planet yang mengitari matahari (heliosentris)3. 

Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini , mulai bertentangan 

dengan penafsiran Al-Kitab (Kristen) sekaligus membuka satu lembaran baru 

dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan dan krisis-

krisis lainnya. 

Tema kosmologi yang didalam pembahasannya mencakup alam 

semesta dengan segala isinya, kemudian berlanjut dengan teori evolusi 

(seleksi alam dan survival of the fittest) yang dikemukakan oleh Darwin, 

dimana segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori 

ini , tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang 

ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan 

masa sesudahnya.  

Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri dan ilmu pengetahuan 

sejak masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk lebih jauh menolak 

kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula kekaguman yang 

berlebihan kepada otoritas sains sehingga terlepas dari nilai-nilai spiritual 

keagamaan. 

                                                 

Modernitas, sebagai puncak dari perkembangan sains sekaligus 

merupakan periode sejarah baru bagi umat manusia, melihat bahwa “agama” 

dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Baik masyarakat 

umum maupun para ilmuwan zaman ini mempunyai pandangan bahwa 

pandangan dunia agama, bersifat apriori yang bertitik tolak dari sebuah 

keyakinan untuk sampai kepada kesimpulan yang sejalan dengan 

keyakinannya dan bersifat absolut; sedangkan ilmu pengetahuan bertitik tolak 

dari sebuah keraguan dan kesimpulan-kesimpulannya bersifat tentatif dan 

verifiabel. Dengan demikian, keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, 

terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi formal material, metode 

penelitian, kriteria kebenaran, dan bahkan peran yang dimainkan oleh 

ilmuwan dan status teori masing-masing sampai pada institusi 

penyelenggaranya.

Dari sudut pandang di atas, dengan demikian kosmologi, sebagai suatu 

bidang dari ilmu pengetahuan yang membahas tentang alam semesta, baik 

berupa struktur spesial, temporal dan kompositional alam semesta, bagi para 

pemikir Barat merupakan wilayah kajian sains dan bukan agama. Artinya, 

Islam sebagai sebuah agama juga tidak memiliki perspektif ilmiah mengenai 

kehidupan, termasuk tidak memiliki perspektif mengenai kosmologi, karena 

kosmologi merupakan ilmu pengetahuan (sains). Para pemikir Barat 

nampaknya tidak akrab dengan sumber-sumber ajaran Islam, al-Quran dan al-

                                                 

Hadis, serta khazanah pemikiran Islam, sehingga dengan tanpa beban 

mengeliminir Islam dalam persoalan-persoalan ilmu pengetahuan termasuk di 

dalamnya kosmologi.  

Akar keseluruhan dari kosmologi Islam sebenarnya ada  dalam al-

Quran dan kajian-kajian kosmologi Islam paling awal bisa dicari dalam karya-

karya para penafsir al-Quran generasi pertama dalam sejarah Islam. Banyak 

skema kosmologi dikembangkan oleh kaum muslim yang didasarkan atas 

ajaran-ajaran al-Quran, tapi dengan memakai  bahasa-bahasa berbeda 

seperti simbolisme huruf dan hirarki cahaya. al-Quran sendiri memuat prinsip-

prinsip kosmologis seperti ada  dalam ayat-ayat tentang singgasana (ayat 

al-Kursi) dan cahaya (ayat al-Nur). Ayat ini  menjadi objek kajian kitab 

tafsir oleh semua golongan penafsir al-Quran, yaitu para teolog, filosof dan 

bahkan dari golongan sufi. Beberapa karya penting mengenai kosmologi al-

Quran antara lain, Misykat al-Anwar karya al-Ghazali dan tafsir ayat al-Nur, 

karya Shadr al-Din Syirazi5. Selain itu, skema kosmologis juga dapat dijumpai 

dalam berbagai halaqah yang mengkaji naskah-naskah Pythagorean dan 

hermeneutik yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab sejak abad ke-2 

H/8 M dan abad sesudahnya.  

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kosmologi, dipandang sebagai 

ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan tema yang sangat akrab dan sering 

muncul dalam khasanah keilmuan atau sains Islam. Hal ini  senada 

                                                 

dengan pengertian tentang konsep sains dalam Islam sebagiamana yang 

dinyatakan oleh S. H. Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam 

Islam berdasarkan gagasan tentang tauhid, yang menjadi inti dari al-Quran6. 

Dengan demikian menurut Nasr, seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni 

dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan 

Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang 

mengungkapkan “ketauhidan alam”. 

Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari 

sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam 

harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan 

dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan 

penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayat kauniyah yang tersebar diseluruh 

penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi. 

Jadi, yang dimaksud ilmu dalam Islam adalah semua pengetahuan, baik 

pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat 

untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian 

mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.  

Al-Quran, yang merupakan kitab suci sekaligus sumber rujukan utama 

bagi umat Islam mengungkapkan pandangan dunia (world view)-nya  yang 

tidak semata-mata menekankan dunia fisik, melainkan dunia spiritual. Para 

ulama melihat alam semesta tidak terutama pada alam itu sendiri, tetapi pada 

                                                 

hubungan-hubungan analogis dan alegorisnya, serta peran manusia dalam 

keseluruhan sistem yang mengaturnya. Para kosmolog muslim membuat 

teoretisasi yang membedakan, dalam pandangan dunia Islam adanya tiga 

realitas kosmologis (makrokosmos al-‘Alam al-Kabir, mikrokosmos al-‘Alam 

as-Sagir, dan metakosmos). Makrokosmos adalah alam semesta pada 

biasanya , mikrokosmos adalah manusia, dan metakosmos adalah Allah. Jika 

kedua alam  (makrokosmos dan mikrokosmos) itu diciptakan oleh Allah, Rabb 

al-‘Alamin, apakah mungkin kedua alam itu tidak saling berhubungan, atau 

keduanya terpisah dari hubungannya dengan Sang Pencipta, seperti yang 

banyak disangka oleh ilmuan Barat. Kaum arif (al-‘Arifun) dari kalangan 

muslim seringkali mencoba menemukan misteri-misteri yang tersembunyi 

atau sangat tersembunyi di balik teks-teks ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi 

mengenai hubungan antara tiga realitas di atas, serta makna dan peran sentral 

manusia di dalam rangkaian hubungan itu. al-Quran menekankan berbagai 

fenomena alam ini  sebagai tanda-tanda Allah (ayatullah) yang harus 

dicermati dan diambil pelajaran oleh manusia atau mahluk ciptaan-Nya yang 

paling mulia sehingga mendatangkan hikmah atau signifikansinya bagi 

kehidupan manusia7. Pemikiran mereka tidak pernah jauh dari keinginan 

mencari jejak-jejak Sang Pencipta untuk menemukan cara yang paling bijak 

untuk mendekatkan diri dan mengabdi kepada-Nya. 

                                                 

Al-Quran berulang kali menegaskan bahwa segala sesuatu adalah 

tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu menggambarkan 

hakikat dan realitas Allah. Akibatnya, banyak pemikir Muslim, khususnya 

para ahli kosmologi, melihat segala sesuatu di alam semesta sebagai refleksi 

nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Nama-nama dan sifat-sifat ini 

menggambarkan dan melukiskan berbagai kualitas, seperti diantaranya: 

keagungan, keindahan, kehidupan, pengetahuan. Oleh karena itu dimensi 

kualitatif segala sesuatu, sejauh dapat dibedakan dari dimensi kuantitatif atau 

material, menjadi sangat menarik perhatian.8

Prinsip bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tanda-tanda Allah, 

sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran, diungkapkan pula dengan cara lain 

dalam sebuah Hadis Qudsi yang sangat populer di kalangan sufi, bahkan 

sering kali dijadikan basis konseptualnya dalam memandang hubungan-

hubungan kosmologis. Dalam Hadis Qudsi itu Allah berfirman: "Aku pada 

mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka 

Ku ciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal padaKu" .

diketahui oleh makhluk. Sebaliknya, ciptaan-ciptaan Allah atau alam semesta 

itulah yang memberitahukan adanya Khazanah Tersembunyi, yaitu Allah.  

Membicarakan kosmologi spiritual Islam dalam sejarah 

perkembangannya, tidak mungkin bisa lepas dari beberapa tokoh dan aliran di 

dalamnya. Seperti misalnya kosmologi Masysyai (peripatetik) yang 

dikembangkan oleh al-Kindi dan al-Farabi, dan mencapai puncaknya melalui 

Ibn Sina. Orang Barat menyebutnya “filsafat Wujud”. Dan kosmologi Syiah 

Ismailiyah yang populer dengan dunia korpus Jabir, Ikhwan al-Safa populer 

dengan nuansa Phytagoras. Secara umum korelasi kosmologi ini berhubungan 

dengan siklus kenabian dan imamah (keimaman). Tidak ketinggalan juga 

kosmologi Ibnu ‘Arabi yang dalam pemikiran Islam dikenal sebagai 

kosmologi Sufi. 

Doktrin kosmologi Ibnu ‘Arabi dapat terlihat dalam tulisan-tulisannya, 

ilmu dan nama-nama serta sifat-sifat Allah (al-Ashma Wa al-Shifat) yang 

berfungsi sebagai landasan bagi elaborasi ilmu kosmos, betapa keseluruhan 

sifat kosmos ini merupakan gema dari berbagai nama dan sifat Allah dan 

betapa masing-masing tingkat eksistensi kosmis itu sendiri adalah kehadiran 

Ilahi (al-Hadarat al-Illahiyat al-Khams) yang bermula dari Dzat Allah (al-

Hahut), melalui alam nama-nama alam dan sifat-sifat (al-Lahut), alam 

malaikat utama (al-Jabarut), alam malaikat lebih rendah dan subtil (al-

Malakut) dan alam-alam materi (al-Mulk).

Ibnu ‘Arabi menjelaskan tingkatan-tingkatan realitas kosmis 

berdasarkan ajarannya yang terkenal “Wahdat al-Wujud” (kesatuan wujud 

yang transenden), yang menyatakan bahwa sesungguhnya hanya satu realitas 

wujud, satu realitas, dan semua yang lain hanyalah refleksi dari nama-nama 

dan sifat-sifat Allah di atas cermin noneksistensi

Mengkaji pandangan kosmologi Ibnu ‘Arabi yang demikian tentu 

sangatlah berguna untuk masyarakat Modern seperti saat ini, karena 

modernitas hanya cenderung  pada rasionalitas dan empiris. Akibatnya 

masyarakat Modern menjadi sangat matrealistik, bahkan rela membunuh 

“Tuhan” dalam belantara sains. Kosmologi, yang di dalamnya berbicara 

tentang serangkaian keyakinan dan pandangan universal yang tersistematis 

mengenai manusia dan alam semesta, atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’ 

(wujud), akan sangat kering dan hampa makna jika hanya dipandang secara 

positivistik saja, sehinga alam hanya akan ditempatkan sebagai objek atau 

sumber daya yang perlu di manfaatkan dan dieksploitasi seoptimal mungkin 

tanpa adanya rasa tanggung jawab moral serta transendental.  

Kosmologi Ibnu ‘Arabi dengan coraknya yang menekankan dimensi 

spiritual melihat, bahwa keberadaan kosmos bukan semata-mata merupakan 

objek fisik (materi) dan terpisah dari manusia sehingga hubungan yang 

terbangun antara manusia dan alam lebih bercorak ekploitatif-ekonomis. Tapi 

lebih dari itu, kosmos yang didalamnya termasuk manusia dan alam beserta 

isinya dalam pandangan Ibnu Arabi, adalah manifestasi dari jumlah 

                                                 

keseluruhan sifat-sifat dan sekaligus efek nama-nama Tuhan. Sehinga kosmos 

merupakan wadah bagi tajalli Tuhan.  

Bagaimana proses tajalli Tuhan dalam kosmos, peran serta posisi 

manusia dan alam sebagai bagian dari kosmos dan keterkaitan antara satu 

dengan lainnya inilah yang menjadi fokus dari kajian penelitian ini nantinya. 

B. Rumusan  Masalah 

Dengan mempertimbangkan latar belakang masalah di atas dan agar 

dalam pembahasan nantinya lebih terarah dengan baik dalam menjelaskan 

objek yang dimaksud. Maka penyusun perlu mengidentifikasi pokok masalah 

yang akan menjadi objek pembahasan. Adapun rumusan masalah adalah 

sebagai berikut:  

1 Bagaimana hubungan antara wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan dengan 

kosmos dalam konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi ? 

2 Bagaimana hubungan antara manusia sebagai mikrokosmos dan alam 

sebagai makrokosmos dalam konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi ?  

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 

Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian 

ini adalah sebagai berikut:  

1 Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana hubungan antara 

wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan dengan kosmos dalam konsep 

kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi. 

2 Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana hubungan antara 

manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos dalam 

konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi. 

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 

1. Untuk mengembangkan cakrawala pengetahuan yang berwawasan 

Islam dan menambah khazanah pengetahuan bagi penulis sendiri serta 

bagi siapa saja yang nantinya membaca skripsi ini.  

2. Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa menjadi kontribusi 

pemikiran dalam wacana kosmologi Islam dan mempermudah bagi 

siapa saja yang ingin mengkaji atau meneliti tentang pemikiran Ibnu 

‘Arabi. 

3. Diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan 

pemahaman yang tidak hannya melihat kosmos dari sisi materialnya 

saja, tapi juga keterkaitan atau hubungan antara alam, manusia dan 

Tuhan. 

D. Telaah Pustaka 

Abu Bakar Muhyiddin Muhammad Ali bin Muhammad al-Hatimi al-

Th’i al-Andalusi, atau yang akrab dikenal dengan Ibnu ‘Arabi atau Ibn al-

Arabi, merupakan penulis karya-karya tasawuf  yang paling berpengaruh 

dalam sejarah Islam. Karya-karya Ibnu ‘Arabi ibarat lautan yang luas. 

Tercatat, dalam studi komprehensif  ada  850 karya yang dinisbatkan pada 

Ibnu ‘Arabi, dan menurut Osman Yahya paling tidak 700 diantaranya 

merupakan karyanya yang autentik

Produktifitas serta orisinilitas pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang tema-

tema tasawuf  memang tergolong sukses dalam menarik perhatian para 

pemikir sesudahnya hingga saat ini. Terbukti, paling tidak ada  ratusan 

lebih karya yang telah diterbitkan dan membahas tentangnya. Baik itu berupa 

buku, jurnal maupun artikel yang ditulis oleh para pemikir barat maupun 

timur, termasuk di Indonesia.  

Claude Addas, dalam bukunya Quest for the Red Sulphur dan R.W.J. 

Agusti dalam Sufism of Andalusia, merupakan sebagian tokoh yang 

menjadikan riwayat hidup Ibnu ‘Arabi sebagai fokus kajiannya. Letak 

perbedaan hanya, bagi yang pertama banyak memaparkan biografi Ibnu 

‘Arabi, sedangkan yang kedua lebih banyak mengenai riwayat hidup dan 

zaman yang memberi penjelasan tentang tujuh puluh orang Maghribi yang 

menurut beliau dari mereka itulah “mengambil manfaat di jalan akhirat”. 

Michel Chodkiewicz, dalam bukunya Seal of the Saints dan  An Ocean 

Without Shore, yang coba memberikan gambaran dengan jelas tentang 

kedalaman pemikiran ajaran Ibnu ‘Arabi tentang kewalian dan Al-Quran. 

Sedangkan Henry Corbin, dalam bukunya Creative Imagination in the Sufism 

of Ibnu ‘Arabi menyajikan ajaran Ibnu ‘Arabi dengan cara sendiri. Sthephen 

Hirtenstein bahkan menulis tentang ajaran dan kehidupan spiritual pribadi 

                                                 

Ibnu ‘Arabi sekaligus dalam satu buku, yang sudah diterjemahkan kedalam 

bahasa indonesia dengan judul: Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran 

dan Kehidupan Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi. Selain itu ada juga 

yang hanya merupakan terjemah dari potongan karya-karya Ibnu ‘Arabi 

berdasarkan tema-tema tertentu saja. Seperti, William C. Chittick yang 

mencoba menerjemahkan bagian-bagian dalam Futuhat Al-Makiyah dalam 

buku The Sufi Part of Knowladge dan The Self Disclosure of God. Ada juga 

Agela Seymour yang menerjemahkan 12 bab dari Fusus Al-Hikam dalam The 

Wisdom of the Prophet. 

Sementara dari timur, ada  beberapa tokoh Intelektual yang 

menulis buku tentang Ibnu ‘Arabi. Sebut saja, A.E. Afifi  yang bukunya telah 

terjemahkan ke dalam bahasa indonesia: Filsafat Mistik Ibnu ‘Arabi. Di 

dalamnya ia coba memaparkan pemikiran Ibnu ‘Arabi dari segi Onologi, 

logos, etika, dan estetika. Tokoh lain dari timur yaitu S.H. Nashr  yang 

memasukkan pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam tiga besar pemikir Islam dalam 

buku  Three Muslim Sages yang meskipun karyanya sangat pendek tapi sangat 

cukup representaif dalam memaparkan bagian tertentu dari pemikiran Ibnu 

‘Arabi. 

Dan dalam konteks lokal Indonesia, juga ada  beberapa pemikir 

yang coba untuk mengupas pemikiran Ibnu ‘Arabi. Seperti, Dr. Kautsar 

Azhari Noer dengan judul: Ibnu ‘Arabi, Wahdatul Wujud dalam Perdebatan. 

Karya ini  merupakan sebuah disertasi yang coba mengangkat pemikiran 

wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi yang dibandingkan dengan panteisme, beserta 

polemik pemakaian istilah ini .  

Tokoh yang kedua, Dr. Yunasril Ali, berhasil menulis sebuah buku 

tentang konsep Insan Kamil dari Ibnu ‘Arabi yang dikembangkan oleh Al-Jilli. 

Buku yang juga berasal dari disertasi penulis ini diberi judul  Manusia Citra 

Illahi, Pengembangan konsep Insan Kamil  Ibnu Arabi & oleh Al Jilli. 

Adapun mengenai skripsi yang telah disusun oleh mahasiswa-

mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, lebih khususnya program study 

Aqidah dan Filsafat, sejauh pengamatan penulis belum ada yang membahas 

tentang konsep Kosmologi Ibnu ‘Arabi. Berikut skripsi-skripsi yang telah 

disusun: mengenai Epistemologi (Ahmad Kharim, 1987), Pandangan tentang 

Tuhan (Ali M. S 3053), tentang Wujud (Alimuddin, 3695), Panteisme 

(Hariyanto, 0585383), dan tenang Kejahatan (Ahmad Sahida Rahem, 

9251213). Sebagian skripsi itu pun sudah lama dibahas sehinga kondisinya 

ada yang nyaris tidak bisa dibaca.13 Sedangkan skripsi terbaru tentang Ibnu 

‘Arabi adalah, tahun 2003 yang disusun oleh Saltana dengan judul Hubungan 

kualitatif antara Tuhan dan Manusia Menurut Ibnu ‘Arabi, dan oleh Ahmad 

Muflih dengan judul, Agama Menurut Pandangan Ibnu ‘Arabi (Studi atas 

Konsep Kesatuan Agama-agama). Pada tahun 2004, Siti Rabi’ah dengan 

judul, Pengaruh Neo Platonisme dalam Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi, dan 

Ahmad Gazali dengan judul Al-haqiqah Almuhammadiyyah dalam Pemikian 

                                                 

Mistik Ibnu ‘Arabi, Sebuah tinjauan tasawuf falsafi, dan yang paling baru 

sejauh penelitian penulis adalah skripsi yang disusun oleh Muhammd Hasan, 

dengan judul Shalat dalam Pandangan Ibnu ‘Arabi 

Dengan demikian sejauh penelitian awal yang dilakukan penulis, 

pembahasan yang  fokus tentang konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi sejauh ini 

belum ada. Padahal kosmologi merupakan salah-satu tema yang sering muncul 

dalam karya-karya Ibnu ‘Arabi. Seperti pemikirannya tentang sifat-sifat Allah 

(al-Ashma Wa al-Shifat) yang  berfungsi sebagai landasan kosmologi dalam 

pemkran Ibnu ‘Arabi. 

E. Metode Penilitian 

Agar suatu penelitian lebih terarah dan sistematis, tentunya diperlukan 

suatu metode yang jelas, begitu juga dengan penelitian ini, tentunya ada 

metode tertentu yang penulis gunakan untuk memaparkan, mengkaji serta 

menganalisis data-data yang ada untuk diteliti.  

1. Jenis Penelitian 

Penelitian yang dilakukan penulis termasuk jenis penelitian pustaka 

(library research), yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai 

sumber datanya.Sumber data terdiri dari sumber data primer dan sumber 

                                                 

data sekunder. Sumber data primer adalah buku atau literatur yang 

menjadi rujukan utama dan dalam penelitian ini adalah kitab al-Futuhat 

al-Makiyyah, Fushush al-Hikam, dan Tadbirat al-Ilahyyah fi Islah al-

Mamlakah al-nsaniyyah, yang merupakan karya singkatnya dalam bidang 

kosmologi. Sedangkan sumber data sekunder adalah karya-karya Ibnu 

Arabi yang telah diterjemakan dalam bahasa Indonesia seperti Risalah 

Kemesraan, Catur Ilahi, dan Menakar Jiwa yang Suci, Introspeksi Jiwa 

Ibnu ‘Arabi, juga karya-karya penulis lain yang membahas baik secara 

dekriptif atau pun dalam bentuk kritik terhadap Ibnu ‘Arabi, serta bahan-

bahan lain yang mendukung. 

2. Sifat Penelitian 

Penelitian yang akan dilakukan bersifat eksploratif dalam artian 

menggali data yang berkaitan untuk kemudian menganalisis konsep dan 

karakteristik pemikirannya dengan mengacu pada berbagai data dari 

sumber-sumber yang diperoleh.  

3. Pendekatan 

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah historis-

filosofis. Pendekata historis-filosofis bertujuan untuk menelusuri sisi-sisi 

historis sebuah objek penelitian sejarah perkembangan sebuah pemikiran 

serta mencari dasar dari pemikiran ini . 

  

                                                

4. Metode Analisis Data 

Metode yang dipakai oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini 

nantinya adalah metode deduktif,17 yaitu metode penelitian yang 

berangkat dari pemikiran Ibnu ‘Arabi secara umum, kemudian digunakan 

untuk menilai secara sistematis partikulasi-partikulasi dari pemikiran Ibnu 

Arabi tentang kosmologi sufi. 

F. Sistematika Pembahasan 

Agar skripsi ini menjadi enak dan gampang untuk dicermati, maka 

diperlukan sistematika pembahasan yang jelas dan runtut. Karena itu skripsi 

ini direncanakan terdiri dari lima Bab dengan penjelasan sebagai berikut: 

Bab pertama merupakan pendahuluan yang membahas tentang latar 

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, 

metode penelitian dan sistematika pembahasan. 

Bab dua akan membahas tentang riwayat hidup tokoh yang dikaji 

beserta karya-karyanya, dimana bab ini meliputi beberapa sub pembahasan. 

Yaitu: riwayat hidup, karya-karyanya, dan yang terakhir mengenai pemikiran-

pemikirannya yang meliputi, pemikiran tentang ketuhanan, pemikiran tentang 

alam, dan pemikiran tentang manusia dari tokoh yang bersangkutan. 

Bab tiga akan membahas tentang hubungan antara wujud, nama dan 

sfat-sifat Tuhan dengan kosmos, dari tokoh yang bersangkutan, yang terdiri 

                                                

dalam beberapa sub pembahasan. Yaitu: wujud Tuhan dan kosmos, dan nama 

dan sifat-sifat Tuhan dengan kosmos dari pemkiran tokoh yang bersangkutan.  

Bab empat menjelaskan tentang makrokosmos dan mikrokosmos, yang 

terdiri dalam beberapa sub pembahasan. Yaitu: alam sebagai makrokosmos, 

yang meliputi, pengertian dan hakikat alam semesta, dan penciptaan alam 

semesta. Dan, manusia sebagai mikrokosmos, yang meliputi pengertian dan 

hakikat manusia, dan penciptaan manusia, serta peran manusia dalam kosmos. 

Bab lima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh 

rangkaian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban atas permasalahan 

yang ada. 


BAB IV 

MAKROKOSMOS DAN MIKROKOSMOS 

 

A. Alam Semesta Sebagai Makrokosmos  

1. Pengertian dan Hakikat Alam Semesta 

Apa yang disebut dengan alam semesta sering disinonimkan 

dengan istilah-istilah lain, seperti semesta raya, jagad raya, atau kosmos. 

Dalam tema-tema Islam, alam semesta atau kosmos (al-‘Alam) bisa 

didefinsikan sebaga “segala sesuatu selain Allah” (ma siwa Allah),119 dan 

merupakan tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu 

mengambarkan hakikat dan realitas Allah. 

Namun, alam semesta yang dipahami sebagai “segala sesuatu 

selain Allah” atau tanda-tanda (ayat) Allah, bukanlah sesuatu yang lain di 

setiap sisinya, karena ia merupakan keseluruhan jumlah kata-kata yang 

diartikulasikan dalam nafas Dzat Yang Maha Pengasih,120 dan nafas sepe-

nuhnya tidak berbeda dari Dzat Yang Bernafas. Atau, alam semesta adalah 

“Penyingkapan-Diri” (tajalli)  Tuhan didalam wadah manifestasi-Nya. 

Melalui alam semesta, Tuhan menampilkan karakteristik dan 

                                                

kepemilikannya, yakni, nama-nama khusus dan universalnya, baik nama 

Tuhan yang sembilan puluh sembilan maupun entitas abadi-Nya. Maka, 

nafas Dzat Yang Maha Pengasih mengeluarkan realitas abstrak dan maya 

ke dalam bidang eksistensi dan bidang kongkret. 

Di satu sisi, alam semesta ini lain dari Tuhan, karena Esensi Tuhan 

bersemayam secara tak terbatas melampauinya. Di sisi lain, alam semesta 

identik dengan Tuhan, karena tidak ada yang lain di dalamnya yang bukan 

nama-Nya. Kata-kata yang tak bertepi yang difirmankan Tuhan adalah 

sama dengan nafas, dan nafas itu sendiri sama dengan Dzat Yang Maha 

Pengasih. Maka, pada dasarnya kata-kata ini  sama dengan Dzat Yang 

Maha Pengasih.121 Inilah yang dikemukakan al-Quran, “Kasih sayang-Ku 

meliputi segala sesuatu” (QS al-A’raf [7]: 156). Nafas Yang Maha 

Pengasih merupakan eksistensi abadi, “kasih sayang bagi segala yang 

berwujud”, dan manifestasi cinta Allah kepada Perbendaharaan Yang 

Tersembunyi: “Karena kecintaan untuk dikenal ini, Allah bernafas, dan 

nafas itu menjadi bermanifestasi.”

Secara etimologis, kata “alam” merupakan derivasi dari kata alima 

ya’lamu yang berarti mengetahui. Kata jadian ‘alam atau ‘alamat berarti 

tanda, pertanda atau sign (dalam bahasa Inggris). Dari kata ‘ilm dengan 

derivasinya yang ada  sebanyak 105 kali dalam al-Qur’an, dan kata 

                                                

‘alam itu sendiri ditemukan dalam 91 ayat yang kebanyakan hampir 46 

ayat disambungkan dengan sifat Allah SWT Yang Maha Pemelihara alam. 

Al-Qur’an terkadang menunjuk hakikat alam semesta secara lebih 

abstrak. diantaranya ayat al-Qur’an (QS al-Anbiya’ [21]: 30) 

menyebutkan, jagad raya ini adalah sebuah massa (ratqh). Atau, susunan 

unsur-unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Massa atau susunan unsur-

unsur itu berada dalam perbentangan. Sehingga alam semesta dalam 

perspektif al-Qur’an dapat dipahami sebagai perbentangan unsur-unsur 

yang saling mempunyai keterkaitan. Sedangkan jagad raya, di mana alam 

semesta yang terbentang ini, mempunyai atau mencakup pula hukum-

hukum atau sebab-sebab alamiahnya 

Atas dasar itu, pertama-tama alam semesta dapat dikatakan sebagai 

sebuah wujud atau subjek, yaitu bumi dengan segala isinya, langit dengan 

keseluruhan yang ada  di dalamnya, dan jagat raya sebagai 

makrokosmos seluruhnya. Kemudian ia dapat dipandang sebagai pola-

pola, watak-watak dan kecenderungan-kecenderungan dalam posisi dan 

perannya sebagai subjek. Dengan perkataan lain, alam semesta ini 

merupakan “makhluk hidup” dengan watak-watak yang melekat pada 

dirinya. Atau, makhluk hidup yang melakukan perguliran dan peredaran 

dalam regularitas dan stabilitas tertentu yang alamiah. 

Namun secara hakikat, alam semesta haruslah dipahami sebagai 

suatu wujud dari keberadaan Allah, keesaan-Nya, kebesaran-Nya, 

kemahakuasaan-Nya, dan belas-kasih-Nya. Sebab alam semesta dan 

seluruh isinya serta hukum-hukumnya tidak ada tanpa keberadaan Allah 

Yang Maha Esa. Segala sesuatu, termasuk langit dan bumi, merupakan 

ciptaan Allah Yang Maha Kuasa (QS Fushilat [41]:11). Allah adalah 

pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta serta 

pemeliharanya Yang Maha Pengasih (QS al-Fatiha [1]:1-3) sebagai 

ciptaannya, alam semesta ini menyerah kepada kehendak Allah (al-Imran 

[3]:83), dan memuji Allah (QS al-Zariat [57]:1). Antara Alam semesta 

(makhluk) dan Allah (Khaliq) mempunyai keterikatan erat, dan bahkan 

meskipun mempunyai hukumnya sendiri, ciptaan sangat bergantung pada 

Pencipta yang tak terhinggga dan mutlak. Sebagaimana yang dinyatakan 

Ibnu ‘Arabi, bahwa segala sesuatu memanifestasikan Allah, segala sesuatu 

menjadi tanda-tanda Allah, segala sesuatu mencerminkan Allah, segala 

sesuatu itu bukan lah selain Allah, “Semuanya adalah Dia”. Atau seperti 

yang dinyatakannya, “Tak ada yang bereksistensi kecuali Allah. 

Keberadaan kita pun terjadi melalui Dia. Mereka yang bereksistensi 

melalui sesuatu yang lain pada hakikatnya tidaklah bereksistensi.”123

Atas dasar itu, alam semesta secara rill adalah makrokosmos atau 

jagat raya beserta keseluruhan yang ada di dalamnya yang tampak dalam 

kasat mata ini, dan juga stabilitas dan regularitas alamiyahnya sejauh dapat 

diidentifikasi dalam batas-batas pikiran manusia. Sedangkan alam semesta 

secara hakiki tidak lain adalah wujud “keesaan Allah” yang menunjuk 

pada ciptaan-ciptaan-Nya, dan hukum-hukum Allah yang terpikirkan oleh 

                                                 

manusia (sunnatullah) serta hukum-hukum Allah yang mutlak atau absolut 

sifatnya (takdir). Dengan kata lain, hakikat alam semesta ini ada yang 

tampak dalam pandangan mata, dan ada pula yang tidak tampak atau 

hanya ada  dalam kerangka pikiran logis semata, atau bahkan tak 

terpikirkan sama sekali. 

2. Penciptaan Alam Semesta 

Dalam konteks kejadian atau penciptaan alam semesta, Ibnu ‘Arabi 

mempunyai teori bahwa alam semesta ini merupakan proses tajalli secara 

kesinambungan tanpa kesudahan (tasalsul). Proses tajalli merupakan 

proses penampakan diri Tuhan secara terus-menerus tanpa awal dan akhir 

dari yang tidak dikenal secara mutlak kepada bentuk yang lebih nyata 

(bentuk kongkrit yang telah ditentukan dan dikhususkan) yang tidak 

terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk ini  tidak ada yang sama dan tidak 

akan terulang walaupun secara hampir sama. Semuanya terjadi dalam 

perubahan secara kesinambungan terus-menerus tanpa henti. Setiap detik 

perubahan alam temporal ini adalah proses penciptaan Tuhan, seperti 

firman-Nya: “Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS al-Rahman, [55]:

karena itu mahluk ciptaan-Nya tidak akan berhenti bereksistensi, 

sedangkan Dia juga tidak akan pernah berhenti mencipta.”

Ciptaan Tuhan adalah baru karena alam temporal terjadi dan 

hancur, wujud dan non-wujud saling berganti setiap detik terus-menerus 

secara kesinambungan selama-lamanya. Penciptaan-Nya itu tidak dapat 

dihalangi sebagaimana firman Allah: “dan pemberian Tuhanmu tidak 

dapat dihalangi” (QS al-Isra’, [17]: 20). Penciptaan-Nya (Pemberian-Nya) 

secara terus-menerus ialah mengikuti kemampuan atau kesiapan lokus 

penerimaan yang telah ditetapkan karena setiap sesuatu yang ada di alam 

semesta mempunya sifat dan keadaan yang berbeda lagi unik. 

Terjadinya alam semesta ini merupakan tanda kewujudan-Nya bagi 

manusia yang memakai  akal dalam kehidupannya seperti firman-Nya: 

“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya 

malam dan siang terhadap tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-

orang yang berakal”. (al-Imran, [3]:190). 

Alam semesta, yang merupakan cermin dan tanda Tuhan yang 

tidak akan pernah ada tanpa tajalli-Nya. Penciptaan alam ini dapat terjadi 

disebabkan kehendak (ridha) Tuhan. Ini dinyatakan dalam fitman-Nya: 

“’jadilah’! Maka terjadilah ia” (QS Yasin, [38]: 82). Kehendak (Iradat) 

rindu dan cinta Tuhan mengenali Diri-Nya dan keinginan untuk 

memperkenalkan Diri-Nya kepada mahluk dinyatakan pula di dalam hadis, 

                                                

bahwa sebagai khazanah yang masih tersembunyi Allah menginginkan 

untuk diketahui dan untuk itulah Dia menciptakan mahluk.  

Sampai disini dapat dilihat bahwa tujuan penciptaan alam semesta 

adalah kehendak cinta Tuhan untuk mengenali Diri-Nya dan 

memperkenalkan Diri-Nya. Alam semesta adalah bagaikan cermin bagi 

Tuhan untuk mengenali Diri-Nya sendiri sekaligus memperkenalkan Diri-

Nya kepada makhluk. Alam adalah lokus penampakan perbuatan-

perbuatan Diri-Nya yang mengambarkan sifat-sifat-Nya yang dapat 

berbentuk nama-nama-Nya sendiri.  

Penciptaan alam semesta merupakan proses dari tajalli Tuhan, 

yang dalam bab sebelumnya telah disebutkan bahwa tajali Tuhan menurut 

Ibnu ‘Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan 

kedua martabat wahidiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan 

wujud tunggal dan mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas 

(sifat) apa pun, sehingga Ia belum dikenal oleh siapa pun. Pada martabat 

wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik, di 

luar batas ruang dan waktu, dan dalam citra sifat-sifat-Nya, Sifat-sifat 

ini  terjelma dalam asma Tuhan, yang sering juga disebut hakikat 

semesta (al-Hakikat al-Kulliyyah). Pembahasan tentang hakikat alam 

semesta inilah yang menjadi kunci masuk dalam pemkiran Ibnu ‘Arabi 

tentang penciptaan alam semesta. 

                                                 

Hakikat semesta (al-Hakikat al-Kulliyyah) merupakan “milik 

bersama“ antara Tuhan dan makhluk. Oleh karena itu, ia tidak dapat 

disifati dengan wujud (ada) maupun ‘adam (tiada), tidak dapat disifati 

dengan baru ataupun qadim, karena bila ia berada pada “ada” yang qadim 

ia pun qadim, tetapi bila ia berada pada “ada” yang baru ia pun baru. “Jadi, 

wujud dari hakikat Muhammad ini mempakan suatu bentuk wujud 

tersendiri yang menghubungkan antara Yang Mutlak dan alam yang 

terbatas. Ia disebut qadim jika dipandang sebagai ilmu Tuhan yang qadim, 

tetapi ia dikatakan baru karena memanifestasikan diri pada alam yang 

terbatas dan baru.”128 Artinya, jika hakikat semesta ini  disandarkan 

kepada keadaan Allah dan atribut-atributnya maka keberadaan hakikat 

semesta ini  bersifat kekal, dan jika hakikat semesta ini  

disandarkan kepada segala sesuatu selain Allah yang mempunyai sifat 

sementara dan keberadaannya disebabkan oleh sesuatu yang lain, maka 

hakikat alam semesta ini  bersifat sementara. 

Dari hakikat semesta itu dunia mencapai wujud-nya karena 

intervensi dari Allah. Allah memberikan wujud kepada alam semesta 

dengan memunculkan alam semesta dari wujud yang kekal dan dengan 

demikian ia menandaskan kekekalan kita. Mengenai hakikat itu tidak 

dapat dikatakan, bahwa ia ada sebelum dunia, maupun dunia itu ada 

sesudah hakikat ini . Hanya dapat dikatakan, bahwa ia merupakan 

                                                 

akar dari segala sesuatu pada biasanya , akar dari substansi, lingkup yang 

meliputi kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Arabi: 

Kalaulah itu bukan karena penetrasi Tuhan, dengan melalui 

bentuknya, di dalam semua eksistensi, maka dunia ini mungkin 

tidak ada, persis seperti kalaulah itu bukan karena al-Haqa’iq al-

Ma‘qulat al-Kulliyyah (realitas-realitas universal) yang dapat 

dipahami, maka tentu tidak akan ada ahkam (prediksi-prediksi) 

tentang objek-objek yang eksternal.  

Manifestasi Allah yang pertama ialah semacam kabut (al-‘Ama, al-

Haba) yang juga digambarkan sebagai hakikat Muhammad (al-Hakikah 

al-Muhammadiyyah) dan pernafasan Allah. Nafas itu ada dalam pangkuan 

Allah sebelum dunia diciptakan. Nafas itu tidak ber “ada” dan “tiada”, 

sesuatu lingkungan yang berupa kemungkinan semata-mata untuk bisa 

“ada” (pure possibility). Kadang-kadang lingkup kemungkinan itu 

dilukiskan sebagai hakikat semesta dalam keseluruhan yang bersama-sama 

dimliiki Allah dan buah ciptaan. Kadang-kadang digambarkan sebagai 

nafas Allah untuk mewujudkan lingkungan “ada” yang tidak niscaya 

(contingent), tanpa mematahkan kebersatuan dalam “ada” dengan Allah. 

Kabut itu merupakan unsur pasif dalam proses penciptaan, sedangkan 

cahaya ilahi yang terpancar dari Allah merupakan prinsip aktif. Dari 

perpaduan kedua prinsip itu terjadilah segala sesuatu yang ada di alam 

semesta ini.

Pada hakikatnya kedua prinsip itu bersatu dengan zat Allah, 

demikian juga segala sesuatu yang terjadi karena perpaduan kedua unsur 

itu. Dalam sebuah perumpamaan yang diuraikan panjang lebar, Ibnu 

‘Arabi menerangkan sebagai berikut:  

Kabut purba itu adalah cermin. Bila cahaya Allah terbentur pada 

cermin itu maka segala buah ciptaan nampak sebagai gambar-

gambar. Sebagai gambar dalam cermin sama dan tidak sama 

dengan dia yang mencerminkan diri, demkian juga hubungannya 

dengan Allah. Gambar-gambar tu merupakan manifestasi lahiriyah 

mengenai Allah, segi yang nampak dari zat ke-Allah-an.

Namun, betapa beragamnya bentuk-bentuk manifestasi itu, itu 

semua satu dan tunggal dalam hakikat yang Tunggal. “seseorang bijak 

sejati yang oleh Allah telah diberi intusi mistik mengenai segala hal-ihwal 

menurut hakikatnya, dia tahu, bahwa seluruh dunia ini mulia mengenali 

hakikatnya. Makhluk-makhluk yang ditopang oleh hakikat yang satu itu 

tidak mempunnyai perbedaan dalam derajat kemuliaan. Cacing yang 

paling hina pun sama dengan Akal Budi Pertama sejauh kita mengamati 

kemuliaan hakikatnya. Perbedaan tingkat derajat hanya terwujud dalam 

bentuk-bentuk.

Mengenai tingkatan dalam pewujudan yang terjadi, dimana hakikat 

Muhammad merupakan tajalli Tuhan yang pertama, yang di lain tempat, 

juga disebut oleh Ibnu ‘Arabi dengan Akal Awal (al-Akl al-Awwal) dan al-

Kalam. Dalam Akal Awal itu Allah menuangkan segala pengetahuan 

                                                 

mengenai segala-sesuatu yang ingin diciptakan-Nya serta pengetahuan 

mengenai nama-nama Ilahi yang menjadi aktif pada saat segala-sesuatu itu 

diwujudkan. Kemudian keluarlah dari Akal Awal itu penampakan kedua, 

yakni jiwa universal yang oleh Ibnu Arabi digambarkan sebagai Lembaran 

yang tersimpan dengan baik (al-Lauh al-Mahfuz). Diatas lembaran 

ini  al-Kalam, Akal Awal, menulis segala sesuatu yang oleh Allah 

diberi pra-pengetahuan-Nya. Adapun tulisan itu ialah penampakan ketiga, 

yakni alam raya. Ini semua terjadi dalam lingkup cahaya murni, tetapi 

sambil terjadinya proses tajalli ke tingkat yang lebih bawah, maka cahaya 

itu tercampur dengan kegelapan. Demikian berturut-turut terjadi Materi 

(kebendaan) Universal dan Tubuh Universal atau Tahta Ilahi. Itulah yang 

muncul dari dunia materi, kemudian al-Kursi yang mencakup lingkungan 

bintang-bintang yang tetap, lingkaran ketujuh planet, lingkaran keempat 

unsur, akhirnya dunia mineral, dunia tumbuhan, dunia hewan-hewan, para 

malakait, para jin, dan umat manusia. Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu 

‘Arabi dalam futuhat :  

Ketahuilah, Allah Ta'ala telah ada sebelum Ia menjadikan 

makhluk, dan bukan (dengan arti) kedahuluan waktu ... Adalah (Ia 

Yang) Mahatinggi dan Mahaagung, berada pada ‘ama’ di 

bawahnya tidak ada hawa dan di atas pun tidak ada, ia (‘ama’)  

itulah permulaan mazhar Ilahi dimana Ia menyatakan diri-Nya. Di 

dalamnya (‘ama’) terpancar nur zat Tuhan ... Tatkala ‘ama’ 

tercelup oleh nur, terjadilah padanya citra para malaikat yang 

terpesona (terhadap Tuhan), yang berada di atas alam (benda--

benda) material, tidak ada arasy dan makhluk yang mendahului 

mereka. Tatkala Ia (Allah) selesai menjadikan malaikat-malaikat 

itu, Ia pun ber-tajalli pada mereka. Tajalli ini  memunculkan 

suatu “kegaiban”, yang menjadi ruh mereka, yakni citra (para 

malaikat) itu. Kemudian Tuhan ber-tajalli pada mereka dengan 

nama-Nya al-Jamil (Yang Mahaindah), maka mereka pun merasa 

terpesona dalam kemahaagungan-Nya terhadap kemahaindahan-

Nya, sedangkan mereka tidak menyadarinya. Tatkala Tuhan ingin 

menciptakan alam tadwin dan tasthbir (maksudnya: qalam dan 

lawh mahfuz) Ia pun menunjuk salah satu dari malaikat yang 

sedang bersedih, yang merupakan malaikat pertama yang muncul 

di antara para malaikat; nur (malaikat) itu disebut “akal” dan 

“pena”, dan Allah pun ber-tajalli padanya dalam menyatakan ... 

apa yang ingin diciptakan-Nya dari makhluk tanpa batas.

Dari sini, dapat dimengerti bahwa dengan cara yang demikian, 

Allah menciptakan “bentuk-bentuk” dari materi Universal yang 

merupakan dasar dari segala yang ada dalam semesta secara materi, 

kemudian menurut kemampuan masing-masing dari bentuk-bentuk materi 

ini  menuangkan (mencitrakan) “ruh-ruh.” 

Ibnu ‘Arabi memberikan keterangan tentang ruh-ruh ini  

dalam Futuhat. Bagaikan huruf-huruf yang secara potensial sudah ada  

dalam tinta.  

saat  Allah mempersiapkan bentuk-bentuk didunia ini, maka 

terjadilah ruh universal, seperti pena dan tangan kanan (dalam 

perumpamaan sebelumnya) serta ruh-ruh masing-masing, seperti 

tinta dalam pena, dan bentuk-bentuk seeperti huruf-huruf di papan 

tulis, artinya bila ruh universal mengeluarkan nafasnya diatas 

bentuk-bentuk dunia, maka ruh-ruh itu muncul, masing-masing 

menurut bentuk yang dijiwainya…”Tidak ada satu mahlukpun 

yang tidak dijiwai oleh ruh, sekalipun dalam sementara mahlukruh 

itu dapat mengamati, dalam sementara mahluk lain tidak.

Alam semesta yang didalamnya termasuk manusia, dengan 

demikian dalam pandangan Ibnu ‘Arabi diciptakan menurut bentuk Tuhan. 

Tuhan dan kosmos sama-sama menunjukkan segala sesuatu di dalam 

                                                 

realitas, sementara masing-masing adalah gambar cermin dari yang lain. 

Oleh karena itu, setiap nama Tuhan menemukan wadah tajalli di dalam 

makrokosmos. Sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Arabi, kosmos adalah jumlah 

keseluruhan sifat-sifat dan sekaligus efek nama-nama Tuhan. Perbedaan 

fundamental antara Tuhan dan seluruh alam semesta adalah bahwa Tuhan 

eksis karena Esensi-Nya dan tidak membutuhkan kosmos, sementara jagat 

raya tidak memiliki eksistensi di dalam esensinya dan semuanya 

membutuhkan Tuhan. Sebagaimana kita jumpai pada bab sebelumnya, kita 

hanya dapat berbicara tentang wujud kosmos dari sisi tertentu, bukan dari 

berbagai seginya. Kosmos ada hanya dalam batas-batas tertentu, 

kebanyakan berupa refleksi yang bisa disebut eksis dalam sebuah cermin. 

Namun Tuhan tidak dapat tidak ada, yang dapat dikatakan bahwa wujud 

merupakan milikNya semata, atau katakanlah, wujud dalah Dia dan Dia 

adalah wujud.

Pada dasarnya, manusia dan kosmos adalah serupa, bahwa masing-

masing diciptakan menurut bentuk Tuhan. Namun kosmos mencerminkan 

nama-nama Tuhan secara berbeda (tafshil). Akibatnya, setiap dan masing-

masing nama Tuhan menampilkan sifat-sifat dan efeknya di dalam kosmos 

dengan tunggal atau pada barbagai kombinasi dengan nama-nama atau 

kelompok nama lain. Oleh karena itu, dalam totalitas ruang dan waktunya, 

kosmos menampilkan panorama kemungkinan eksistensial yang sangat 

luas. Sebaliknya, manusia menunjukkan sifat dan efek semua nama Tuhan 

                                                 

ini  relatif dengan mode yang tidak variatif (ijmal). Sifat-sifat dari 

semua nama ini  terkumpul bersama dan terpusat di dalam setiap diri 

mereka. Tuhan menciptakan kosmos menurut segi keserbaragaman nama-

Nya, sebaliknya Dia menciptakan manusia menurut kesatuan nama-Nya, 

adalah fakta bahwa masing-masing dan setiap nama merujuk kepada 

Realitas tunggal. Dari segi lahir, jasad manusia merupakan miniature alam 

semesta (al-Kawn al-Jami’), sedangkan dari segi batin manusia merupakan 

citra Tuhan.136 Ibnu ‘Arabi sering mengekspresikan ide ini  dengan 

menggunakan istilah “dunia kecil” dan “dunia besar”. Yaitu, mikrokosmos 

dan makrokosmos. biasanya , dia menggambarkan “manusia kecil” atau 

mikrokosmos untuk manusia dan “manusia besar” atau makrokosmos 

untuk alam semesta.  

Karena manusia adalah bagian dari kosmos, maka kosmos 

bukanlah bentuk Tuhan yang lengkap tanpa manusia. Akan tetapi, 

mikrokosmos dan makrokosmos berada pada kutub yang sama. 

Makrokosmos, dalam penyebarannya yang tak terbatas, adalah tidak sadar 

dan pasif. Manun mikrokosmos, melalui terpusatnya semua atribut Tuhan 

secara intens, adalah sadar dan aktif. Manusia mengenal kosmos dan dapat 

membentuknya menurut tujuan mereka, namun kosmos tidak mengetahiu 

manusia dan tidak dapat membentuk mereka sepanjang kosmos 

merupakan instrument pasif didalam kekuasaan Tuhan.

Fakta bahwa mikrokosmos mendominasi makrokosmos me-

nyebabkan Ibnu ‘Arabi menulis pada permulaan Fushus al-Hikam bahwa 

manusia adalah ruh kosmos, sementara itu kosmos tanpa manusia laksana 

tubuh yang proporsional dan sangat seimbang, siap dan menunggu Tuhan 

meniupkan ruh-Nya kepadanya, namun tetap tak bernyawa sepanjang 

manusia tidak datang. Demikian pula, Ibnu ‘Arabi menulis dalam Futuhat 

sebagai berikut:  

Seluruh kosmos adalah diferensiasi Adam, sementara Adam 

merupakan buku yang sangat komprehensif. Dalam kaitannya 

dengan kosmos, dia seperti ruh dalam hubungannya dengan tubuh. 

Karena membawa semua ini bersama-sama, maka kosmos 

merupakan “manusia besar”, selama manusia di dalamnya. Namun 

jika kalian melihat kosmos sendirian, tanpa manusia di dalamnya, 

kalian akan menemukannya seperti tubuh yang berbentuk tanpa 

ruh. Kesempurnaan kosmos karena kehadiran manusia bagaikan 

kesempurnaan tubuh karena ruh. Manusia “dimasukkan ke dalam“ 

tubuh kosmos, sehingga dia merupakan tujuan dari kosmos. 

Dengan demikan, manusia adalah realitas batiniah dari kosmos, 

sementara kosmos adalah bentuk manifes manusia dan, karena hubungan 

yang organik antara manusia dan kosmos, Ibnu 'Arabi menyebut manusia 

sempurna dengan “Pilar” kosmos. Tanpa mereka, kosmos akan runtuh dan 

mati, inilah yang juga akan terjadi di hari akhir saat  manusia sempurna 

yang terakhir terpisah dari dunia ini. 

 

                                                

B. Manusia Sebagai Mikrokosmos 

1. Pengertian dan Hakikat Manusia 

Sepanjang sejarah Islam, telah banyak pembahasan mengenai 

pengertian dan hakikat manusia baik secara filosofis, teologis, dan sufistik. 

Namun satu hal yang mendasar, di mana semua madzhap pemkiran Islam 

bahkan umat Islam kebanyakan sama-sama setuju adalah kebenaran bahwa 

Tuhan merupakan penyebab penciptaan manusia, atau secara filosofis, 

Tuhan adalah penyebab ontologis penciptaan manusia.139  

Allah menetapkan segala sesuatu. “Dan tidak ada segala sesuatu 

pun melainkan pada Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkan 

melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS al-Hijr [15]: 21). Ayat diatas 

menunjukkan bahwa dari Allah-lah setiap khazanah kehidupan berasal. 

Sedangkan ketetapan (ukuran) berkaitan bukan hanya dengan isu, apakah 

manusia memilik kemampuan untuk membuat pilihan bebas atau tidak. 

Tapi merupakan prinsip penciptaan itu sendiri. tanpa memandang apa pun 

kemungkinan eksistensinya, Allah menetapkan dan menentukan 

naturalisnya, “Ia memberikan segala sesuatu dengan bentuknya masing-

masing.” (QS Thaha [20]: 50).140

Dari pengamatan sepintas saja tampak bahwa jika dibandingkan 

dengan makhluk lainnya, manusia menujukkan karakteristik yang sangat 

                                                 

unik, berbeda dalam berbagai dimensi, aspek, struktur, hal, sifat, dan 

aktivitasnya. Namun, di balik itu, pada saat yang sama, manusia juga 

dalam berbagai tataran eksistensinya tampak memiliki keserupaan-

keserupaan dengan ciptaan lainnya dalam alam semesta. Mungkin 

berdasarkan kenyataan ini, dan juga kenyataan-kenyataan tersembunyi 

lainnya, sehingga kebanyakan (kalau bukan keseluruhan) kosmolog 

Muslim menyebut manusia sebagai mikrokosmos untuk membedakannya 

dengan makrokosmos, kendatipun pada biasanya  orang memahami 

bahwa ia merupakan bagian alam semesta, atau yang “selain-Nya.” Ibnu 

‘Arabi, misalnya menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk serba 

mencakup (al-kawn al-jami‘), untuk merujuk kepada manusia sempurna 

(al-insan al-kamil), 141 yakni mencakup al-haqqiyah dan al-khalqiyyah.  

Keunikan manusia dari makhluk lain di alam semesta diungkapkan 

dalam al-Quran, misalnya dalam ayat-ayat: “Sesungguhnya Kami telah 

menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami 

kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”, (QS. al-Tin [95] 4-

5), Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud 

kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu 

menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang 

(lebih) tinggi?" (QS. Shaad [38]: 75). Dan, “Sesungguhnya Kami telah 

mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka 

                                                 

semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan 

mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya 

manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. al-Ahzab [33]: 72). 

Para kosmologi Muslim, dalam analisis-analisisnya membuktikan 

keunikan manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Sachiko Murata dengan 

sangat bagus dan tampaknya merangkum berbagai pendapat yang selaras. 

Ada dua perbedaan mendasar antara manusia dan makhluk lainnya. Yang 

pertama adalah bahwa manusia merupakan totalitas, sementara makhluk-

makhluk lainnya adalah bagian dari totalitas. Manusia memanifestasikan 

seluruh sifat makrokosmos, sementara makhluk-makhluk lainnya 

memanifestasikan sebagian sifat dengan mengesampingkan yang lainnya. 

Manusia diciptakan dalam citra Allah, sementara makhluk-makhluk 

lainnya hanyalah sebagian bentuk dan konfigurasi kualitas-kualitas 

Allah.

Perbedaan mendasar kedua adalah bahwa makhluk-makhluk selain 

manusia, mempunyai jalur-jalur yang pasti dan tidak pernah menyimpang 

darinya. Jalur-jalur dibatasi oleh berbagai kualitas terbatas yang 

dimanifestasikannya. Sebaliknya, manusia tidak mempunyai hakikat yang 

pasti karena mereka memanifestasikan keseluruhan. Keseluruhan sama 

sekali tidak bisa didefinisikan, karena  ia identik dengan “bukan sesuatu,” 

bukan kualitas atau kualitas-kualitas khusus. Karena itu, manusia sangat 

                                                 

bertolak belakang dengan makhluk-makhluk lainnya dan manusia adalah 

misteri. Hakikat utama manusia tidak diketahui.143

Hakikat manusia, seperti dalam catatan Murata di atas, tidak 

diketahui. Ini tampaknya sejalan dengan pandangan banyak pemikir 

Muslim yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah ruhnya, 

sementara ruh itu sendiri diungkapkan oleh al-Quran sebagai entitas yang 

hanya diketahui oleh Allah. Demikian pula, al-Quran mengungkapkan 

bahwa faktor kesempurnaan manusia terletak pada ruh yang dihembuskan 

Allah kepadanya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ar-Ruh. 

Katakanlah: Al-Ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi 

pengetahuan, kecuali sedikit saja”, (QS. al-Isra’ [17]: 85). Berikut faktor-

faktor kesempurnaan manusia, seperti:  

1. Kejadian manusia dalam bentuk terbaik (ahsanu taqwim). 

2. Manusia dicipta berdasarkan bentuk atau citra Allah (ala surat Allah). 

3. Manusia dicipta dengan kedua Tangan Allah (khalaqtu bi yadayya), 

sementara makhluk lain hanya dengan perintah “Kun” (jadilah!).  

4. Ditiupkannya ruh Allah (ruhullah) kepada manusia. Serta,  

5. Manusia merupakan puncak penciptaan dengan kesempurnaan yang 

semakin meningkat. 

Semuanya itu telah menjadikannya makhluk yang paling 

refresentatif dan kualitatif mengemban tugas sebagai khalifah Allah 

(khalifatullah), mewakili Allah pada tataran makhluk. Menyandang status 

                                                

sebagai khalifah Allah berarti bahwa hanya manusialah dengan kualitas-

kualitas yang dimilikinya, atau dengan totalitasnya yang dapat menguasai 

alam semesta, menjamin keharmonisan, dan sekaligus dalam pengertian 

sebaliknya, hanya manusialah yang mampu mengacaukan alam semesta. 

Seperti yang diungkapkan Ibnu ‘Arabi: 

Iblis adalah [hanya] bagian alam semesta, dan pengabungan ini 

(jam’yah) [yang manusa miliki] tidak ada  pada iblis. Karena 

perpaduan in, manusia menjadi khalifah. Jika dia tidak terwujud 

dalam citra-Nya yang mengangkatnya sebagai khalifah di bumi, 

tentu tdak akan menjadi khalifah. Dan jika tidak ada dalam dirinya 

segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kawulanya, yang atasnya dia 

dijadikan khalifah –karena ketergantungan mereka kepadanya, ini 

merupakan kewajiban baginya untuk memberi mereka segala 

sesuatu yang mereka perlukan- dia tidak akan menjadi khalifah atas 

mereka. Jadi kekhalifahan hannya sesuai untuk Insan Kamil. Dia 

[Tuhan] menciptakan citra lahirnya (shurah zhahirah) dari realitas 

(haqa’iq) alam semesta dan bentuknya, dan Dia menciptakan citra 

batinya (shurah bhathinah) dalam citra-Nya.

Manusia (mikrokosmos) berbeda dengan makhluk-makhluk lain di 

alam semesta (makrokosmos), karena manusia mencerminkan kedua sisi 

sifat-sifat Allah. Inilah yang disimbolkan dengan dua tangan Allah yang 

diungkapkan dalam al-Quran: “Allah berfirman: Hai iblis, apakah yang 

menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Ku-ciptakan dengan 

kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu 

(merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (Qs. Shad, 38:75). 

Dalam hadis disebutkan juga bahwa Adam (manusia) diciptakan 

berdasarkan shurah Allah. Dengan demikian, hanya manusialah yang 

                                                 

mewakili gambaran dan citra lengkap Realitas Ilahi; sementara segala 

sesuatu lainnya memberikan gambaran dan citra tidak sempurna, yang 

didominasi oleh satu tangan saja tanpa lainnya. 

Manusia adalah totalitas yang lahir sekaligus dari tubuh ragawi dan 

jiwa spiritual. Karena itu, orang-orang bijak itu menemukan keserupaan 

bagi segala sesuatu yang ada di dunia materi dalam kondisi struktur 

tubuhnya. Segala sesuatu yang ada ini meliputi berbagai komposisi luar 

biasa dari segenap wilayah samawi dunia, berbagai jenis konstelasinya 

yang berbeda, gerakan-gerakan berbagai planetnya, komposisi seluruh 

pilar (arkan) dan ibunya (ummahat), ragam substansi mineralnya, berbagai 

jenis tanaman, kerangka tubuh binatangnya yang luar biasa.145

Catatan di atas mengungkapkan bahwa dimensi fisik manusia 

selaras dengan dimensi fisik alam semesta, yakni bahwa  struktur dan 

bentuk organ-organ tubuh manusia menyerupai struktur dan bentuk benda-

benda langit, juga dalam jiwa manusia dan penyerapan struktur tubuhnya 

oleh segenap inderanya, mereka menemukan berbagai keserupaan dengan 

jenis-jenis makhluk spiritual lain, seperti malaikat, jin, manusia, setan, 

jiwa hewani, dan aktivitas mereka dalam berbagai keadaan di dalam 

kosmos.  

 

 

                                                

2. Penciptaan Manusia 

Pada dasarnya, proses penciptaan manusia tidaklah berbeda dengan 

prinsip penciptaan Tuhan terhadap mahluk-mahluk lainnya -alam semesta 

dan segala sesuatu yang berada didalamnya selain manusia- sebagaiman 

telah disebutkan di bab terdahulu bahwa, manusia dan kosmos diciptakan 

menurut bentuk Tuhan dan merupakan cermin tajalli dari seluruh nama 

dan sifat-sifat Tuhan. Namun, yang membedakan antara penciptaan 

manusia dan kosmos adalah kenyataannya, bahwa manusia diciptakan 

dalam totalitasnya dan serba mencakupi. Sebagaimana yang diungkapkan 

oleh Ibnu ‘Arabi: 

Seperti halnya seluruh alam semesta tercipta dari unsur-unsur dasar 

bumi, air, api, dan udara, demikan pula halnya tubuh manusia. 

Sang pencipta berfirman: Dialah yang menciptakan kamu dari 

tanah … (QS. al-Mu’min [40]: 67). Kemudian Dia berfirman: … 

Kami telah menciptakan mereka dari tanah basah (QS. al-Shaffat 

[37]: 11), yakni campuran tanah dan air. Lalu Dia berfirman: 

Sesunguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah 

liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. 

(QS. al-Hijr [15]: 26), yakni campuran tanah, air, dan udara. 

Kemudian Dia berfirman: Dia menciptakan manusia dari tanah 

kering seperti tembikar. (QS. al-Rahman [55]: 14), yang 

menunjukkan adanya unsur api di dalam diri manusia. 

Di hubungkan dengan angin yang berhembus dari empat penjuru, 

tubuh manusia juga memiliki empat kekuatan: daya tarik 

(jadzibah), daya tolak (dafi’ah), daya ingat (masikah), dan daya 

cerna (hadhimah).  

Di dunia ini, ada hewan buas dan jinak. Di dalam diri kita ada 

amarah, balas dendam, hasrat untuk menguasai, berperang, dan 

berbuat kerusakan. Pada saat yang sama kita bekerja untuk mencari 

nafkah, kawin, membesarkan anak, dan sebagainya. Allah 

berfirman: … Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang 

(di dunia) dan mereka makan seperti makanya binatang-binatang. 

Dan mereka adalah tempat tingal mereka. (QS. Muhammad [47]: 

12). 

Para malaikat Allah mengembara di dunia ini. Manusia juga 

berusaha menyucikan dirinya dengan keihlasan, keimanan, dan 

ibadah. Alam semesta meliputi yang nampak maupun yang gaib. 

Demkian pula halnya manusia, yang memiliki wujud lahir dan 

batin. Di dunia ini ada langit dan bumi. Manusia juga naik dan 

turun.

Berpegang pada pernyataan diatas, dengan demikian bisa dikatakan 

bahwa pada dasarnya, manusia diciptakan dalam totalitasnya citra Tuhan 

dan didalam dirinya menghimpun segala sesuatu yang ada pada seluruh 

makhluk, maka tidak heran jika di atas Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa, 

manusia diciptakan dalam bentuk terbaik (ahsanu taqwim), dicipta 

berdasarkan bentuk atau citra Allah (ala surat Allah), dicipta dengan 

kedua Tangan Allah (khalaqtu bi yadayya), ditiupkannya ruh Allah 

(ruhullah) kepada manusia. Serta, manusia merupakan puncak penciptaan 

dengan kesempurnaan yang semakin meningat. Berikut proses penciptaan 

manusia yang membedakannya dengan alam semesta dan makhluk-

makhluk lainnya: 

1. Penciptaan Manusia dari Dua Tangan Tuhan 

Istilah “dua tangan Allah” muncul dalam firman Allah yang 

berbunyi:  “Hai iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud 

kepada apa yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah 

kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-

orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shad, [38]:75). Bagi kalangan tradisi 

hikmah, istilah dua tangan Tuhan itu dipandang sebagai salah satu 

simpul yang menjelaskan keunikan penciptaan manusia, sekaligus 

                                                 

merangkum dan menyimpan banyak misteri dalam tataran hubungan 

antara manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta 

(makrokosmos).147 Dua tangan Tuhan itu menunjuk kepada dua 

kategori nama-nama dan sifat-sifat Allah, yaitu sifat jalaliyyah dan 

sifat jamaliyyah. Sifat jalaliyyah adalah sifat-sifat Allah yang 

mencerminkan keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kekerasan-Nya. 

Sifat-sifat ini dikenal juga dengan sifat-sifat maskulin yang terungkap 

dalam nama-nama seperti al-‘Azhim, al-Qadir, dan al-Qahhar. 

Sedangkan sifat jamaliyyah adalah sifat-sifat yang mencerminkan 

kemurahan, kelembutan, kasih-sayang dan penerimaan-Nya. Sifat-sifat 

ini disebut juga sifat feminin Allah, seperti dalam nama-nama ar-

Rahman, ar-Rahim, at-Tawwab, dan al-Ghafir. Dua kategori nama dan 

sifat Allah ini bekerja sedemikian rupa untuk mempertahankan alam 

semesta. Kendatipun aktualisasi nama-nama dan sifat-sifat jalaliyyah 

(maskulin) cenderung tak tertahankan, terutama saat  Allah 

menunjukkan kekuasaan dan kekerasannya, misalnya dalam bentuk 

petaka dan penderitaan manusia dan bencana alam, namun di balik 

semua itu, sesungguhnya sifat-sifat jamaliyyah yang lebih dominan 

pada diri Allah. 

Dua tangan Tuhan juga mengungkapkan misteri keserba 

mencakupan manusia dari sisi bahwa manusia diciptakan, sekaligus 

mencerminkan dengan sempurna dua karakteristik polar Allah, al-

                                                 

Awwal dan al-Akhir, serta az-Zahir dan al-Batin, sebagaimana 

dinyatakan-Nya dalam Qs. Al-Hadid: 3, yaitu: “Dialah Yang Awal dan 

Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui 

segala sesuatu”. 

Manusia mencerminkan Yang Awal karena ruh manusia adalah 

makhluk yang pertama kali yang diciptakan Allah, dan merupakan ruh 

alam semesta, seperti pendapat Ibnu ‘Arabi di atas. Dalam literatur 

sufi, ruh yang merupakan ciptaan pertama itu disebut sebagai Nur 

Muhammad, atau dalam literatur filsafat Islam dikenal dengan Akal 

Pertama (al-‘Aql al-Awwal), sebagai wujud kedua setelah Allah. 

Sedangkan manusia sebagai akhir adalah karena manusia adalah tujuan 

akhir penciptaan alam semesta, dan juga karena manusia adalah 

tahapan akhir dari evolusi penciptaan kosmos yang bersifat progresif 

dan semakin meningkat kesempurnaannya. Dengan demikian, tidak 

ada makhluk yang lebih sempurna dari manusia. 

Manusia mencerminkan zahir (ketampakan) dan batin 

(ketersembunyian) Allah. Dalam hadis Khazanah Tersebumnyi 

terungkap bahwa Allah dalam kesendirian-Nya adalah Realitas 

Tersembunyi, yang sama sekali tidak dikenal oleh apa pun. Karena 

Allah suka untuk dikenal, maka Dia menciptakan makhluk sebagai 

cerminan-Nya. Setiap makhluk membawakan cerminan Allah dengan 

cara yang berbeda-beda, kecuali manusia yang mencerminkan Allah 

dalam pengertian yang paling sempuna. Alam semesta, atau selain-

Nya, adalah zuhurullah (ketampakan Allah, yakni aspek yang tampak 

dari Allah), yang dalam beberapa teori sufistik disebut sebagai aspek 

nasut-Nya. Ketampakan Allah dan bagaimana Allah menampakkan 

Diri juga dikenal dengan tajalli. Dalam diri manusia, dimensi 

jasmaninya merupakan zuhurullah dan dimensi ruhaninya adalah 

cerminan ketersembunyian-Nya. 

2. Ruh Allah Pada Manusia 

Dalam al-Quran, Allah berfirman: “Maka apabila aku telah 

menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh 

(ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” 

(QS. al-Hijr [15]: 29). Ayat ini  menunjukkan bahwa Allah 

membuat sempurna kejadian manusia dengan tiupan ruh Allah ke 

dalam diri manusia. Proses penyempurnaan kejadian manusia ini dapat 

dipahami dengan berbagai cara. Di antaranya dengan mendasarkan diri 

pada prinsip keberpasangan yang sudah dijelaskan di atas. Al-Qur’an 

di banyak tempat mengungkapkan bahwa penciptaan manusia (dalam 

hal ini, sebagian menggunakan prototipe manusia, yaitu Adam) 

menggunakan bahan tanah (dengan beberapa sifat atau karakter 

tanahnya). Tanah merupakan bagian dari bumi, dan bumi dalam 

pemikiran tradisi kearifan Islam, termasuk pemikiran para kosmolog 

Muslim dan para sufi, dipandang merupakan simbol dari entitas 

rendah.148 Jasmani manusia yang terbuat dari tanah dengan sendirinya 

                                                

dapat berarti dimensi rendah manusia. Dengan demikian, jika jasmani 

di pandang sebagai “yang rendah” dalam diri manusia, maka hal itu 

dapat dipandang tidak sempurna karena pasangan rendah tidak 

ditemukan, yaitu “yang tinggi.” Seperti halnya dalam makrokosmos, 

bumi tidak berarti tanpa langit; sebaliknya, langit pun tak akan aktual 

tanpa adanya bumi. Dalam konteks pemikiran Ibnu ‘Arabi, pada 

tataran ini manusia belum sempurna, belum menjadi al-kawn al-jami‘, 

belum menjadi al-insan al-kamil atau al-kitab al-jami‘ karena dalam 

dirinya hanya mencakup dimensi khalqiyyah atau dimensi penciptaan 

semata, sehingga sama saja dengan makhluk lainnya. 

Dengan ditiupkannya Ruh Ilahi, maka dalam diri manusia ada 

dimensi langit, yang merupakan dimensi ketinggian, sebagai pelengkap 

dimensi bumi yang dipresentasikan oleh aspek jasmaninya. Dalam 

beberapa keterangan, dimensi langit atau dimensi ketinggian ini 

disebut dengan istilah al-‘alam al-malakut (atau alam gaib, alam 

ruhani, alam batin), yang dikontraskan dengan al-‘alam al-mulk (atau 

alam syahadah, alam jasmani). Dengan demikian ditupkannya ruh 

Allah juga berarti melengkapi dimensi lahiriah manusia dengan 

dimensi batiniah, alam syahadah dengan alam gaibnya, atau alam 

manusianya (nasut-nya dengan malakut atau lahut-nya)149. 

Keberadaan alam malakut yang bersandingan dengan alam mulk, atau 

alam gaib yang bersanding dengan alam syahadah ini didukung oleh 

                                                 

banyak ayat al-Qur’an dan al-Hadis. Bahkan, al-Qur’an 

mengungkapkan dengan lebih jelas dalam kerangka korespondensi 

manusia, kosmos, dan Allah, bahwa segala sesuatu ada malakutnya, 

yakni sisi gaibnya, yang selaras dengan sifat-sifat Nyata dan 

Tersembunyi-Nya Allah. Dengan demikian, itu pun merupakan tanda-

tanda Allah. 

Dimensi langit dan dan dimensi bumi dalam diri manusia, di 

samping berarti menghubungkan -atau juga meyatukan- yang rendah 

dengan yang tinggi, juga mengaktualisasikan hubungan-hubungan 

aktif-reseptif dalam berbagai tataran kehidupan manusia. Dalam diri 

manusia langit dan bumi, seperti halnya dalam kosmos, tidaklah 

tunggal. Ada banyak langit dan ada banyak bumi, tergantung pada 

tataran mana yang sedang dibicarakan. Dari sudut penciptaan, semua 

tataran ini mengikuti prinsip aktif-reseptif. Langit bersifat aktif dalam 

hubungannya dengan bumi, sebaliknya, bumi bersifat reseptif dalam 

hubungannya dengan langit. Dengan demikian ruh manusia bersifat 

aktif dalam hubungannya dengan tubuh; dan tubuh bersifat reseptif 

dalam hubungannya dengan ruh. Jika hubungan-hubungan aktif-

reseptif ini berubah atau dikacaukan, maka kehidupan manusia, 

selanjutnya kehidupan alam semesta akan menjadi kacau pula. Dalam 

al-Qur’an banyak isyarat ke arah ini, seperti kekacauan pada tataran 

kehidupan manusia akibat manusia (dalam hal ini jiwa atau ruhaninya) 

justru tunduk kepada hawa nafsunya, yang berarti yang tinggi beralih 

menyimpang dari sifat aktif menjadi reseptif.  

3. Peran Manusia dalam Kosmos 

Struktur kepribadian manusia, yang di dalamnya terungkap 

berbagai fakultas spiritual, menjadi kajian para sufi dan banyak pemikir 

muslim lainnya. Fakultas-fakultas spiritual itu diteliti, karena dengannya 

para pencari kebenaran melakukan aktivitasnya, baik dalam pengertian 

melakukan pendakian spiritual atau pun  dalam meningkatkan fakultas-

fakultas spiritual itu sendiri. Mereka juga tertarik dengan sebuah hadis 

Nabi yang sangat terkenal dalam kalangan tradisi sufistik: “Barangsiapa 

yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”, dan sebuah 

ungkapan yang banyak diandalkan oleh ahli mistik, mengenal hati 

seseorang yang paling dalam berarti menemukan titik dimana yang Ilahi di 

temukan sebagai dulcis hospes anime, titik temu antara yang manusiawi 

dan yang ilahi.151 Mereka berupaya menemukan asosiasi-asoiasi yang 

mungkin dalam keterkaitan manusia dengan Tuhan dan dengan alam 

semesta (kosmos), dengan maksud untuk memperoleh pemahaman yang 

lebih baik tentang tiga realitas. Tuhan sebagai metakosmos, alam semesta 

sebagai makrokosmos, dan manusia sebagai mikrokosmos. 

                                                

Sebagaimana ditunjukkan dalam al-Qur'an, bahwa Allah akan 

menunjukkan kepada manusia tanda-tanda-Nya di segenap cakrawala dan 

dalam diri manusia sendiri,152 maka itu berarti bahwa tanda-tanda Tuhan 

dapat ditemukan dalam kedua realitas, kosmos dan manusia. Oleh karena 

itu, para pemikir muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan terlebih 

dahulu atau secara simultan merenungkan tanda-tanda Allah dalam diri 

manusia dan dalam alam semesta. 

Jika dalam perspektif kosmologi spiritual kosmos dibedakan dalam 

dua tataran, yaitu kosmos spiritual (alam ruhani)  dan kosmos fisikal (alam 

materi), maka dalam dunia manusia (mikrokosmos) ada  pula 

padanannya, yaitu dua unsur kepribadian manusia, yaitu jiwa (ruhani) dan 

badannya. Ruhani manusia membentuk hubungan keserasian dengan 

bagian alam spiritual dari kosmos, dan badan manusia membentuk 

hubungan keserasian dengan alam fisik kosmos. Sebagaimana yang di 

ungkapkan Ibnu ‘Arabi: “Ruh wujud yang besar (makrokosmos) ialah 

wujud yang kecil (mikrokosmos) ini. Kalau bukan karenanya (wujud yang 

kecil) tidaklah ia (wujud yang besar) berkata, sesungguhnya saya besar 

lagi perkasa”

Di tempat yang lain, Ibnu ‘Arabi juga mengatakan: 

                                                 

Bagi orang yang cermat, ada banyak hal di dalam alam semesta, 

tapi semuanya saling terkait. Orang dapat menemukan hal serupa 

dalam mikrokosmos manusia. Misalnya, dalam hubungan antara 

jiwa, yang merupakan khalifah Allah, dan yang lain yang di 

tugaskan untuk mengatur. Seperti, rambut serupa dengan hutan, 

lalu cairan tubuh –sebagian terasa manis, seperti air ludah; 

sebagian pahit, seperti air mata; sebagian lain berbisa, misalnya 

lendir- semuanya tak ubahnya air planet ini.

Lebih dari itu, asosiasi-asosiasi yang dapat dibuat dalam hubungan 

dengan realitas-realitas itu jauh lebih rumit dan mencakup semuanya, 

misalnya keserasian antara format fisik manusia dengan format ruhaninya. 

Dengan demikian, sifat-sifat dan karakteristik alam spiritual selaras pula 

dengan alam materi, dan dunia jiwa manusia juga selaras dengan 

karakteristik fisiknya. Hubungan-hubungan ini tentunya juga akan dengan 

sendirinya selaras dengan Tuhan, sebagaimana diungkapkan dalam al-

Qur'an bahwa Dialah yang zahir dan batin. Keselarasan ini menyiratkan 

adanya keteraturan di mana saja, dan itulah rancangan besar Allah, yang 

mau tidak mau harus dapat disimpulkan memiliki signifikansi yang luar 

biasa bagi kehidupan manusia. Allah menciptakan alam semesta dan 

kemudian menyempurnakannya, boleh jadi penyempurnaan itu berkaitan 

dengan penciptaan manusia yang memiliki kualitas-kualitas Ilahiah dan 

kosmologis secara menyeluruh (jam‘iyyah), dan seperti halnya Tuhan, 

manusia juga menjadi pusat dalam keteraturan alam semesta. Sachiko 

Murata menyimpulkan mengenai ini: 

Karena sentralitas dan “sifat serba menyeluruh” (jam‘iyyah) situasi 

manusia, maka hanya manusia sajalah yang bisa mengacaukan 

                                                 

harmoni atau keselarasan dan keseimbangan yang secara natural 

terjalin antara Allah dan kosmos. Lagi pula, disebabkan oleh situasi 

perantara yang mereka miliki, kenyataan bahwa mereka adalah 

wakil-wakil Allah, maka hanya manusia sajalah yang bisa menjalin 

harmoni dan keseimbangan yang sempurna antara Allah dan 

ciptaan (makhluk).

Konsekuensi dari kesimpulan penalaran ini adalah keharusan 

manusia untuk mempertahankan keselarasan dalam hubungan-hubungan 

kosmologis, di mana ia menjalankan peran sentralnya. Keselarasan yang 

pertama kali harus diupayakan adalah keselarasan dalam diri manusia 

sendiri, yang mencakup keselarasan dalam struktur ruhaninya yang 

merupakan lokus dari segala upayanya. Keselarasan dan juga 

keseimbangan ruhani diperlukan, sekurang-kurangnya untuk mewujudkan 

superioritas jiwa atau ruhani manusia atas badan, yang dengan sendirinya 

akan berarti kekuatan jiwa akan dapat mengendalikan gerakan badan. Jika 

dikaitkan dengan bentuk-bentuk hubungan analogis dalam kosmos, yang 

berlaku baik dalam dunia fisik maupun dalam dunia ruhani, berupa 

hubungan atas-bawah atau hubungan aktif-reseptif, maka dalam diri 

manusia ada  juga bentuk-bentuk hubungan seperti itu. Hubungan 

seperti ini dapat, misalnya, disimpulkan dari sebuah hadis Nabi yang 

menyebutkan, “Ada sekerat daging didalam tubuh manusia: Jika ia bersih 

dan baik (shaluhat), niscaya seluruh tubuh akan menjadi baik (shalaha). 

Jika sekerat daging itu rusak (fasadat), niscaya seluruh tubuh akan rusak 

                                                 

(fasada). Sekerat daging itu adalah hati.”156 Dalam dunia ruhani atau dunia 

jiwa manusia, hati dipandang sebagai pusat acuan aktivitas ruhani, yang 

oleh Ibnu ‘Arabi disebutkan bahwa “Hati merupakan istana khalifah Allah, 

tempat penyimpanan rahasia, dan ia harus pantas dan patut. Ia merupakan 

‘peti besi’ tempat penyimpanan catatan rahasia, hukum dan titah sang 

khalifah.”

Kembali kepada persoalan fakultas spiritual manusia. Fakultas-

fakultas spiritual  mencakup ruh (ar-ruh), akal (al-‘aql), hati (al-qalb), 

jiwa (an-nafs), dan hawa nafsu (al-hawa). Deskripsi ini sedikit berbeda 

dan sangat rumit, jika dibandingkan dengan pandangan para pemikir 

muslim pada biasanya , seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Al-

Kindi, misalnya, menyebutkan tiga daya jiwa, yaitu: (1) daya syahwat atau 

seks (al-quwwat as-syahwaniyyah), (2) daya marah atau agresi (al-quwwat 

al-ghadabiyyah), dan (3) daya pikir (al-quwwat al-‘aqilah). 

Fakultas-fakultas spiritual ini oleh Ibnu ‘Arabi dijelaskan dalam 

sebuah struktur, yaitu struktur yang mengikuti analogi struktur kosmologi 

dan antropologi spiritual. Struktur spiritual ini, dalam pemikiran Ibnu 

‘Arabi -yang mencakup tinjauan kosmologis dan psikologis- dipandang 

memiliki keselarasan tertentu dengan struktur fisik manusia yang terdiri 

dari, misalnya, kepala, leher, dada, perut, organ pembuangan, paha, betis, 

dan kaki. Dalam konteks ini, karya yang paling menarik adalah at-

                                                 

Tadbirat al-Ilahiyyah fi Islah al-Mamlaka al-Insaniyah. Isi seluruh karya 

ini disusun atas dasar The Secret of Secret  karya Pseudo Aristoteles yang 

berhubungan dengan seni mengatur negara. Dalam buku ini, Ibnu ‘Arabi 

mengajarkan kita, bagaimana mengatur tubuh yang dipandang sebagai 

kerajaan.158 Spiritualitas atau jiwa manusia, yang mencerminkan sisi batin 

Allah, ada  juga hubungan-hubungan, korespondensi-korespondensi, 

atau analogi-analogi kualitatif, seperti telah dijelaskan di atas. Dengan 

demikian ada hubungan-hubungan atas-bawah, aktif-reseptif, keseluruhan-

bagian, kesederhanaan-kemajemukan, dan lain-lain. Rumitnya struktur 

kepribadian manusia, baik fisik maupun ruhaninya menjadikan 

kesimpulan-kesimpulan para pengkaji bersifat tentatif, dalam arti masih 

menyisakan ruang bagi pandangan dan penemuan lainnya, yang mungkin 

lebih akurat. 

Peran sentral manusia di dalam kosmos, mengandung pengertian 

bahwa hanya manusialah yang paling menentukan keserasian sekaligus 

kekacauan kosmos. Keserasian dan kekacauan kosmos dapat terwujud 

setelah sebelumnya manusia menciptakan atau membangun keselarasan 

atau kekacauan dunia spiritual yang ada di dalam dirinya. Dunia spiritual 

manusia mencakup beberapa fakultas, yang secara struktural menjalankan 

fungsi-fungsi aktif-reseptif dalam aras atas-bawah. Semuanya akan 

berjalan serasi jika strukturnya dapat dipertahankan sesuai dengan fitrah 

penciptaannya, atau sebaliknya. 

                                                  

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis 

uraikan dalam bab-bab sebelumnya, yaitu tentang kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi. 

Maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 

Pertama, pada tingkatan tertinggi, wujud adalah realitas Tuhan yang 

absolut dan tidak terbatas, yakni “Wujud Niscaya“ (wajib al-Wujud) yang 

menandakan Esensi Tuhan atau Hakikat (Dzat al-Haqq), satu-satunya realitas 

yang nyata di setiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah, wujud 

merupakan substansi yang meliputi “segala sesuatu selain Tuhan“ (Ma 

Siwaallah,) yang oleh Ibnu ‘Arabi sendiri di definisikan sebagai “kosmos”, 

“alam semesta” (al-Alam). 

Sebagai Esensi al-Haqq, wujud merupakan dasar dari segala sesuatu 

yang tidak dapat ditentukan, namun keberadaan wujud dapat diketahui dari 

segala sesuatu yang ada didalam bentuk apa pun. Wujud merupakan realitas 

tunggal “yang benar-benar ada itu Allah,” sedangkan alam semesta yang serba 

ganda ini hanyalah “wadah manifestasi” (locus of manifestation/mazhhar) dari 

tajalli nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang terbatas. Dengan 

demikian, hubungan antara Tuhan dan mahluk atau kosmos secara umum, 

dalam kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi merupakan proses tajalli Tuhan. Dimana 

Tuhan, sebagai khazanah yang masih tersembunnyi ingin dikenal dan ingin 

melihat citra-Nya melalui alam semesta. Tanpa adanya alam semesta ini, 

nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan akan senantiasa 

berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula, zat 

yang Maha Mutlak itu sendiri akan tetap dalam kesendirian-Nya, tanpa dapat 

dikenali oleh siapa pun. 

Kedua, manusia dan kosmos adalah serupa, karena masing-masing 

diciptakan menurut bentuk Tuhan. Namun, kosmos mencerminkan nama-

nama Tuhan menurut metode yang berbeda (tafshil). Akibatnya, setiap 

masing-masing nama Tuhan menampilkan sifat-sifat dan efeknya di dalam 

kosmos dengan tunggal atau pada berbagai kombinasi dengan nama-nama atau 

kelompok nama lain. Sebaliknya, manusia menunjukkan sifat dan efek semua 

nama Tuhan ini  dengan mode yang utuh (ijmal). Sifat-sifat dari semua 

nama ini  terkumpul bersama dan terpusat di dalam setiap diri manusia. 

Tuhan menciptakan kosmos menurut segi keragaman nama-Nya, sebaliknya, 

Tuhan menciptakan manusia menurut kesatuan nama-Nya. Oleh sebab itu, 

dalam mengekspresikan ide ini , Ibnu ‘Arabi memakai  istilah “dunia 

kecil” dan “dunia besar”. Yaitu, mikrokosmos “dunia kecil” untuk manusia 

dan makrokosmos “dunia besar” bagi alam semesta. 

Mengenai hubungan antara manusia dan kosmos, Ibnu ‘Arabi 

menyebutkan bahwa, manusia sebagai mikrokosmos merupakan realitas batin 

dari kosmos, sementara kosmos merupakan bentuk manifestasi lahir bagi 

manusia. Sehingga tanpa keberadaan manusia, kosmos sama-sekali tidak 

sempurna, sebagaimana ibarat tubuh tanpa keberadaan ruh didalamnya. 

Karena hubungan yang organik ini , Ibnu ‘Arabi menyebut manusia 

sempurna (yang merefleksikan semua nana-nama dan sifat-sifat Tuhan secara 

sempurna) sebagai “Pilar” kosmos.  

B. Saran-saran 

Setelah melalui proses pembahasan dan kajian dengan tema kosmologi 

sufi Ibnu ‘Arabi, kiranya penulis perlu untuk mengemukakan beberapa saran 

sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal ini  diatas. 

Pertama, dalam memahami kosmos sebagai keteraturan dan 

keselarasan alam semesta hendaknya kita perlu untuk mencermati bahwa alam 

semesta merupakan tanda-tanda (ayat) keberadaan dan kebesaran Tuhan Yang 

Maha Esa, serta adanya kesadaran diri bahwa kita (manusia) merupakan 

pemimpin atau khalifah yang diberikan tangung jawab oleh Tuhan untuk 

menjaga keteraturan itu sendiri. Manusia merupakan miniatur dari kosmos 

(mikrokosmos) dan merupakan pilar atau ruh dari kosmos. Dengan demikian 

keharmonisan alam dan lingkungan sosial atau kehancuran alam dan 

lingkungan sosial adalah tergantung pada kita umat manusia. 

Kedua, kajian terhadap kosmologi Islam secara umum dan kosmologi 

sufi Ibnu ‘Arabi khususnya merupakan tema yang menarik dan perlu untuk 

dilakukan secara mendalam, terlebih dalam era modern seperti sekarang ini. 

Maraknya isu-isu tentang krisis ekologis pada masyarakat modern seperti 

misalnya, global warming, banjir, longsor dan sederet panjang masalah-

masalah lainya, menunjukkan betapa pentingnya suatu pandangan kosmologis 

yang tidak hanya melihat alam secara material saja, sehingga kita bebas dan 

leluasa melakukan eksploitasi terhadap alam. Tapi, lebih pada hubungan 

relasional antara Tuhan sebagai Sang Pencipta dengan alam sebagai tanda-

tanda (ayat) Tuhan dan manusia sebagai pemimpin atau khalifah yang diberi 

amanah oleh Tuhan untuk menjaga dan melestarikan alam semesta beserta 

isinya. Sampai disini, perlu rasanya penulis memberikan saran kepada peneliti 

yang akan melakukan kajian serupa agar dalam peneltiannya nanti memilih 

fokus kajiannya pada isu-isu ekologis yang sedang dihadapi masyarakat 

modern saat ini, sehingga hasil penelitiannya ini  dapat memeberikan 

kontribusi positif kepada masyarakat saat ini. 

C. Penutup  

Puji syukur penulis ucapkan kepada Sang Khalik Penguasa Alam yang 

menguasai segala isi bumi dan langit, serta segala sesuatu yang terhampar 

diantaranya (antara bumi dan langit). Karena atas rahmat dan hidayah-Nya 

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan semoga tulisan yang sangat 

terbatas ini, dapat memberikan suatu pencerahan dan pemahaman yang 

bermanfaat sekaligus menambah wacana kita dalam melihat segala realitas 

yang dihadirkan Tuhan melaui alam semesta dengan segala isinya, serta 

kedalaman batin yang dianugrahkan Tuhan kepada kita (manusia). Sesuai 

dengan pembahasan yang diangkat, yaitu Kosmologi Sufi Ibnu ‘Arabi, semoga 

dapat memberikan cara pandang yang menyeluruh tentang realitas alam 

semesta yang tidak lain merupakan ayat-ayat Tuhan yang diperuntukkan bagi 

manusia dalam rangka mengantarkan kita kepada pemahaman tentang 

keberadaan Tuhan sekaligus juga sebagai rambu-rambu yang akan 

mengantarkan kita kepada kesempurnaan manusia (Insan Kamil). Amin…