Pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang alam semesta dipenuhi penjelasan dengan
visi mistik dan visi rasionil. Sebagai seorang sufi yang agung Ibnu ’Arabi dikenal
dengan sebutan “Syaykh al-Akbar” dan dinisbatkan sebagai pencetus paham
wahdat al-wujûd. Dengan konsepi paham wahdat al-wujûd inilah Ibnu ‘Arabi
mendasari pemikiran kosmologinya yang oleh para pemikir muslim lainnya
disebut dengan kosmologi sufi. Ibnu ‘Arabi, mengungkapkan betapa keseluruhan
sifat kosmos itu merupakan gema dari berbagai nama dan sifat Tuhan dan
sesungguhnya hanya ada satu wujud, satu realitas, dan segala entitas yang ada
(termasuk makhluk alam) hanyalah refleksi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan di
atas cermin noneksistensi.
Penciptaan alam semesta beserta isinya atau kosmos dalam teori Ibnu
‘Arabi adalah konsep tajalli (teofani, penampakan) wujud Tuhan pada alam
empiris yang serba ganda. Konsep tajalli ini merupakan tiang filsafat Ibnu ‘Arabi
tentang wahdat al-wujûd karena tajalli ditafsirkan dengan penciptaan, yaitu cara
munculnya yang banyak dari Yang satu tanpa akibat, Yang satu itu menjadi
banyak. Tuhan menciptakan kosmos agar dapat melihat diri-Nya dan
memperlihatkan diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya
melalui eksistensi kosmos. Ibnu ‘Arabi banyak menggunakan istilah metaforis
dalam mengungkapkan hubungan Tuhan dan kosmos, salah satunya adalah
tentang cermin. Kosmos ini adalah cermin tempat Tuhan melihat diri-Nya.
keingginan untuk melihat diri-Nya merupakan tujuan dan sebab penciptaan
kosmos.
Kosmos merupakan “wadah manifestasi” (locus of manifestation) dari
tajalli nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Sebagai wadah manifestasi Tuhan,
kosmos dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi di istilahkan dengan “dunia kecil” dan
“dunia besar”. Yaitu, mikrokosmos “dunia kecil” untuk manusia dan
makrokosmos “dunia besar” bagi alam semesta. Antara mikrokosmos dengan
makrokosmos ada kesesuaian baik secara lahir maupun batin. Namun,
manusia yang diciptakan Tuhan menurut kesatuan nama-nama-Nya dengan kedua
tangan-Nya menjadikan manusia sebagai khalifah dan pengemban amanah sejati
alam serta seluruh isinya.
Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah
kajian kepustakaan (Library Research), yaitu menelaah buku-buku dan tulisan
yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas. Sedangkan pemecahan
masalah skripsi ini akan menggunakan metode deduktif, yaitu metode penelitian
yang berangkat dari pemikiran Ibnu ‘Arabi secara umum, kemudian digunakan
untuk menilai secara sistematis partikulasi-partikulasi dari pemikran Ibnu ‘Arabi
tentang kosmologi sufi yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini.
Setiap manusia pasti pernah mempertanyakan keberadaan dirinya
dalam alam semesta ini. Mulai dari mengapa mereka ada di dunia ini?
Bagaimana asal mula mereka ada di dunia? Bagaimana asal semesta, dunia
dan semua benda-benda yang menghiasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini,
betapa pun disampaikan dengan cara yang sederhana, akan tetapi mengandung
nilai kosmologis yang sangat tinggi, karena pertanyaan-pertanyaan seperti itu
dapat membawa manusia pada kajian terperinci mengenai alam semesta.
Kosmos, dalam pengertianya sebagai keteraturan atau keselarasan
alam semesta, sebagai lawan dari chaos,1 telah banyak menyita perhatian
manusia dalam sejarah keberadaanya. Dalam pandangan manusia kuno, alam
merupakan sesuatu yang sangat misterius dan sangat ditakuti. Manusia merasa
dirinya sebagai anak-anak dan mahluk lemah yang dikuasai oleh citra-citra
Tuhan atau orang tua yang mewujud dalam kekuatan alam.2 Manusia, pada
masa itu sangat tergantung kepada alam disertai sikap tunduk dengan tujuan
pokok untuk mendatangkan harmoni dan kesatuan (integrasi) dengan alam.
Kemudian, pada abad pertengahan dimana manusia dipandang sebagai
salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk lainnya. Para
agamawan melalui otoritas gereja berpandangan bahwa bumi sebagai tempat
manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta (geosentris), namun
pandangan ini kemudian digoyahkan oleh Galileo yang membuktikan bahwa
bumi tempat tinggal manusia, tidak merupakan pusat alam raya. Bumi hanya
bagian kecil dari planet-planet yang mengitari matahari (heliosentris)3.
Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini , mulai bertentangan
dengan penafsiran Al-Kitab (Kristen) sekaligus membuka satu lembaran baru
dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan dan krisis-
krisis lainnya.
Tema kosmologi yang didalam pembahasannya mencakup alam
semesta dengan segala isinya, kemudian berlanjut dengan teori evolusi
(seleksi alam dan survival of the fittest) yang dikemukakan oleh Darwin,
dimana segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori
ini , tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang
ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan
masa sesudahnya.
Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri dan ilmu pengetahuan
sejak masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk lebih jauh menolak
kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula kekaguman yang
berlebihan kepada otoritas sains sehingga terlepas dari nilai-nilai spiritual
keagamaan.
Modernitas, sebagai puncak dari perkembangan sains sekaligus
merupakan periode sejarah baru bagi umat manusia, melihat bahwa “agama”
dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Baik masyarakat
umum maupun para ilmuwan zaman ini mempunyai pandangan bahwa
pandangan dunia agama, bersifat apriori yang bertitik tolak dari sebuah
keyakinan untuk sampai kepada kesimpulan yang sejalan dengan
keyakinannya dan bersifat absolut; sedangkan ilmu pengetahuan bertitik tolak
dari sebuah keraguan dan kesimpulan-kesimpulannya bersifat tentatif dan
verifiabel. Dengan demikian, keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri,
terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi formal material, metode
penelitian, kriteria kebenaran, dan bahkan peran yang dimainkan oleh
ilmuwan dan status teori masing-masing sampai pada institusi
penyelenggaranya.
Dari sudut pandang di atas, dengan demikian kosmologi, sebagai suatu
bidang dari ilmu pengetahuan yang membahas tentang alam semesta, baik
berupa struktur spesial, temporal dan kompositional alam semesta, bagi para
pemikir Barat merupakan wilayah kajian sains dan bukan agama. Artinya,
Islam sebagai sebuah agama juga tidak memiliki perspektif ilmiah mengenai
kehidupan, termasuk tidak memiliki perspektif mengenai kosmologi, karena
kosmologi merupakan ilmu pengetahuan (sains). Para pemikir Barat
nampaknya tidak akrab dengan sumber-sumber ajaran Islam, al-Quran dan al-
Hadis, serta khazanah pemikiran Islam, sehingga dengan tanpa beban
mengeliminir Islam dalam persoalan-persoalan ilmu pengetahuan termasuk di
dalamnya kosmologi.
Akar keseluruhan dari kosmologi Islam sebenarnya ada dalam al-
Quran dan kajian-kajian kosmologi Islam paling awal bisa dicari dalam karya-
karya para penafsir al-Quran generasi pertama dalam sejarah Islam. Banyak
skema kosmologi dikembangkan oleh kaum muslim yang didasarkan atas
ajaran-ajaran al-Quran, tapi dengan memakai bahasa-bahasa berbeda
seperti simbolisme huruf dan hirarki cahaya. al-Quran sendiri memuat prinsip-
prinsip kosmologis seperti ada dalam ayat-ayat tentang singgasana (ayat
al-Kursi) dan cahaya (ayat al-Nur). Ayat ini menjadi objek kajian kitab
tafsir oleh semua golongan penafsir al-Quran, yaitu para teolog, filosof dan
bahkan dari golongan sufi. Beberapa karya penting mengenai kosmologi al-
Quran antara lain, Misykat al-Anwar karya al-Ghazali dan tafsir ayat al-Nur,
karya Shadr al-Din Syirazi5. Selain itu, skema kosmologis juga dapat dijumpai
dalam berbagai halaqah yang mengkaji naskah-naskah Pythagorean dan
hermeneutik yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab sejak abad ke-2
H/8 M dan abad sesudahnya.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kosmologi, dipandang sebagai
ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan tema yang sangat akrab dan sering
muncul dalam khasanah keilmuan atau sains Islam. Hal ini senada
dengan pengertian tentang konsep sains dalam Islam sebagiamana yang
dinyatakan oleh S. H. Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam
Islam berdasarkan gagasan tentang tauhid, yang menjadi inti dari al-Quran6.
Dengan demikian menurut Nasr, seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni
dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan
Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang
mengungkapkan “ketauhidan alam”.
Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari
sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam
harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan
penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayat kauniyah yang tersebar diseluruh
penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi.
Jadi, yang dimaksud ilmu dalam Islam adalah semua pengetahuan, baik
pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat
untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian
mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.
Al-Quran, yang merupakan kitab suci sekaligus sumber rujukan utama
bagi umat Islam mengungkapkan pandangan dunia (world view)-nya yang
tidak semata-mata menekankan dunia fisik, melainkan dunia spiritual. Para
ulama melihat alam semesta tidak terutama pada alam itu sendiri, tetapi pada
hubungan-hubungan analogis dan alegorisnya, serta peran manusia dalam
keseluruhan sistem yang mengaturnya. Para kosmolog muslim membuat
teoretisasi yang membedakan, dalam pandangan dunia Islam adanya tiga
realitas kosmologis (makrokosmos al-‘Alam al-Kabir, mikrokosmos al-‘Alam
as-Sagir, dan metakosmos). Makrokosmos adalah alam semesta pada
biasanya , mikrokosmos adalah manusia, dan metakosmos adalah Allah. Jika
kedua alam (makrokosmos dan mikrokosmos) itu diciptakan oleh Allah, Rabb
al-‘Alamin, apakah mungkin kedua alam itu tidak saling berhubungan, atau
keduanya terpisah dari hubungannya dengan Sang Pencipta, seperti yang
banyak disangka oleh ilmuan Barat. Kaum arif (al-‘Arifun) dari kalangan
muslim seringkali mencoba menemukan misteri-misteri yang tersembunyi
atau sangat tersembunyi di balik teks-teks ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi
mengenai hubungan antara tiga realitas di atas, serta makna dan peran sentral
manusia di dalam rangkaian hubungan itu. al-Quran menekankan berbagai
fenomena alam ini sebagai tanda-tanda Allah (ayatullah) yang harus
dicermati dan diambil pelajaran oleh manusia atau mahluk ciptaan-Nya yang
paling mulia sehingga mendatangkan hikmah atau signifikansinya bagi
kehidupan manusia7. Pemikiran mereka tidak pernah jauh dari keinginan
mencari jejak-jejak Sang Pencipta untuk menemukan cara yang paling bijak
untuk mendekatkan diri dan mengabdi kepada-Nya.
Al-Quran berulang kali menegaskan bahwa segala sesuatu adalah
tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu menggambarkan
hakikat dan realitas Allah. Akibatnya, banyak pemikir Muslim, khususnya
para ahli kosmologi, melihat segala sesuatu di alam semesta sebagai refleksi
nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Nama-nama dan sifat-sifat ini
menggambarkan dan melukiskan berbagai kualitas, seperti diantaranya:
keagungan, keindahan, kehidupan, pengetahuan. Oleh karena itu dimensi
kualitatif segala sesuatu, sejauh dapat dibedakan dari dimensi kuantitatif atau
material, menjadi sangat menarik perhatian.8
Prinsip bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tanda-tanda Allah,
sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran, diungkapkan pula dengan cara lain
dalam sebuah Hadis Qudsi yang sangat populer di kalangan sufi, bahkan
sering kali dijadikan basis konseptualnya dalam memandang hubungan-
hubungan kosmologis. Dalam Hadis Qudsi itu Allah berfirman: "Aku pada
mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka
Ku ciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal padaKu" .
diketahui oleh makhluk. Sebaliknya, ciptaan-ciptaan Allah atau alam semesta
itulah yang memberitahukan adanya Khazanah Tersembunyi, yaitu Allah.
Membicarakan kosmologi spiritual Islam dalam sejarah
perkembangannya, tidak mungkin bisa lepas dari beberapa tokoh dan aliran di
dalamnya. Seperti misalnya kosmologi Masysyai (peripatetik) yang
dikembangkan oleh al-Kindi dan al-Farabi, dan mencapai puncaknya melalui
Ibn Sina. Orang Barat menyebutnya “filsafat Wujud”. Dan kosmologi Syiah
Ismailiyah yang populer dengan dunia korpus Jabir, Ikhwan al-Safa populer
dengan nuansa Phytagoras. Secara umum korelasi kosmologi ini berhubungan
dengan siklus kenabian dan imamah (keimaman). Tidak ketinggalan juga
kosmologi Ibnu ‘Arabi yang dalam pemikiran Islam dikenal sebagai
kosmologi Sufi.
Doktrin kosmologi Ibnu ‘Arabi dapat terlihat dalam tulisan-tulisannya,
ilmu dan nama-nama serta sifat-sifat Allah (al-Ashma Wa al-Shifat) yang
berfungsi sebagai landasan bagi elaborasi ilmu kosmos, betapa keseluruhan
sifat kosmos ini merupakan gema dari berbagai nama dan sifat Allah dan
betapa masing-masing tingkat eksistensi kosmis itu sendiri adalah kehadiran
Ilahi (al-Hadarat al-Illahiyat al-Khams) yang bermula dari Dzat Allah (al-
Hahut), melalui alam nama-nama alam dan sifat-sifat (al-Lahut), alam
malaikat utama (al-Jabarut), alam malaikat lebih rendah dan subtil (al-
Malakut) dan alam-alam materi (al-Mulk).
Ibnu ‘Arabi menjelaskan tingkatan-tingkatan realitas kosmis
berdasarkan ajarannya yang terkenal “Wahdat al-Wujud” (kesatuan wujud
yang transenden), yang menyatakan bahwa sesungguhnya hanya satu realitas
wujud, satu realitas, dan semua yang lain hanyalah refleksi dari nama-nama
dan sifat-sifat Allah di atas cermin noneksistensi
Mengkaji pandangan kosmologi Ibnu ‘Arabi yang demikian tentu
sangatlah berguna untuk masyarakat Modern seperti saat ini, karena
modernitas hanya cenderung pada rasionalitas dan empiris. Akibatnya
masyarakat Modern menjadi sangat matrealistik, bahkan rela membunuh
“Tuhan” dalam belantara sains. Kosmologi, yang di dalamnya berbicara
tentang serangkaian keyakinan dan pandangan universal yang tersistematis
mengenai manusia dan alam semesta, atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’
(wujud), akan sangat kering dan hampa makna jika hanya dipandang secara
positivistik saja, sehinga alam hanya akan ditempatkan sebagai objek atau
sumber daya yang perlu di manfaatkan dan dieksploitasi seoptimal mungkin
tanpa adanya rasa tanggung jawab moral serta transendental.
Kosmologi Ibnu ‘Arabi dengan coraknya yang menekankan dimensi
spiritual melihat, bahwa keberadaan kosmos bukan semata-mata merupakan
objek fisik (materi) dan terpisah dari manusia sehingga hubungan yang
terbangun antara manusia dan alam lebih bercorak ekploitatif-ekonomis. Tapi
lebih dari itu, kosmos yang didalamnya termasuk manusia dan alam beserta
isinya dalam pandangan Ibnu Arabi, adalah manifestasi dari jumlah
keseluruhan sifat-sifat dan sekaligus efek nama-nama Tuhan. Sehinga kosmos
merupakan wadah bagi tajalli Tuhan.
Bagaimana proses tajalli Tuhan dalam kosmos, peran serta posisi
manusia dan alam sebagai bagian dari kosmos dan keterkaitan antara satu
dengan lainnya inilah yang menjadi fokus dari kajian penelitian ini nantinya.
B. Rumusan Masalah
Dengan mempertimbangkan latar belakang masalah di atas dan agar
dalam pembahasan nantinya lebih terarah dengan baik dalam menjelaskan
objek yang dimaksud. Maka penyusun perlu mengidentifikasi pokok masalah
yang akan menjadi objek pembahasan. Adapun rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1 Bagaimana hubungan antara wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan dengan
kosmos dalam konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi ?
2 Bagaimana hubungan antara manusia sebagai mikrokosmos dan alam
sebagai makrokosmos dalam konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1 Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana hubungan antara
wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan dengan kosmos dalam konsep
kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi.
2 Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana hubungan antara
manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos dalam
konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengembangkan cakrawala pengetahuan yang berwawasan
Islam dan menambah khazanah pengetahuan bagi penulis sendiri serta
bagi siapa saja yang nantinya membaca skripsi ini.
2. Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa menjadi kontribusi
pemikiran dalam wacana kosmologi Islam dan mempermudah bagi
siapa saja yang ingin mengkaji atau meneliti tentang pemikiran Ibnu
‘Arabi.
3. Diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan
pemahaman yang tidak hannya melihat kosmos dari sisi materialnya
saja, tapi juga keterkaitan atau hubungan antara alam, manusia dan
Tuhan.
D. Telaah Pustaka
Abu Bakar Muhyiddin Muhammad Ali bin Muhammad al-Hatimi al-
Th’i al-Andalusi, atau yang akrab dikenal dengan Ibnu ‘Arabi atau Ibn al-
Arabi, merupakan penulis karya-karya tasawuf yang paling berpengaruh
dalam sejarah Islam. Karya-karya Ibnu ‘Arabi ibarat lautan yang luas.
Tercatat, dalam studi komprehensif ada 850 karya yang dinisbatkan pada
Ibnu ‘Arabi, dan menurut Osman Yahya paling tidak 700 diantaranya
merupakan karyanya yang autentik
Produktifitas serta orisinilitas pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang tema-
tema tasawuf memang tergolong sukses dalam menarik perhatian para
pemikir sesudahnya hingga saat ini. Terbukti, paling tidak ada ratusan
lebih karya yang telah diterbitkan dan membahas tentangnya. Baik itu berupa
buku, jurnal maupun artikel yang ditulis oleh para pemikir barat maupun
timur, termasuk di Indonesia.
Claude Addas, dalam bukunya Quest for the Red Sulphur dan R.W.J.
Agusti dalam Sufism of Andalusia, merupakan sebagian tokoh yang
menjadikan riwayat hidup Ibnu ‘Arabi sebagai fokus kajiannya. Letak
perbedaan hanya, bagi yang pertama banyak memaparkan biografi Ibnu
‘Arabi, sedangkan yang kedua lebih banyak mengenai riwayat hidup dan
zaman yang memberi penjelasan tentang tujuh puluh orang Maghribi yang
menurut beliau dari mereka itulah “mengambil manfaat di jalan akhirat”.
Michel Chodkiewicz, dalam bukunya Seal of the Saints dan An Ocean
Without Shore, yang coba memberikan gambaran dengan jelas tentang
kedalaman pemikiran ajaran Ibnu ‘Arabi tentang kewalian dan Al-Quran.
Sedangkan Henry Corbin, dalam bukunya Creative Imagination in the Sufism
of Ibnu ‘Arabi menyajikan ajaran Ibnu ‘Arabi dengan cara sendiri. Sthephen
Hirtenstein bahkan menulis tentang ajaran dan kehidupan spiritual pribadi
Ibnu ‘Arabi sekaligus dalam satu buku, yang sudah diterjemahkan kedalam
bahasa indonesia dengan judul: Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran
dan Kehidupan Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi. Selain itu ada juga
yang hanya merupakan terjemah dari potongan karya-karya Ibnu ‘Arabi
berdasarkan tema-tema tertentu saja. Seperti, William C. Chittick yang
mencoba menerjemahkan bagian-bagian dalam Futuhat Al-Makiyah dalam
buku The Sufi Part of Knowladge dan The Self Disclosure of God. Ada juga
Agela Seymour yang menerjemahkan 12 bab dari Fusus Al-Hikam dalam The
Wisdom of the Prophet.
Sementara dari timur, ada beberapa tokoh Intelektual yang
menulis buku tentang Ibnu ‘Arabi. Sebut saja, A.E. Afifi yang bukunya telah
terjemahkan ke dalam bahasa indonesia: Filsafat Mistik Ibnu ‘Arabi. Di
dalamnya ia coba memaparkan pemikiran Ibnu ‘Arabi dari segi Onologi,
logos, etika, dan estetika. Tokoh lain dari timur yaitu S.H. Nashr yang
memasukkan pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam tiga besar pemikir Islam dalam
buku Three Muslim Sages yang meskipun karyanya sangat pendek tapi sangat
cukup representaif dalam memaparkan bagian tertentu dari pemikiran Ibnu
‘Arabi.
Dan dalam konteks lokal Indonesia, juga ada beberapa pemikir
yang coba untuk mengupas pemikiran Ibnu ‘Arabi. Seperti, Dr. Kautsar
Azhari Noer dengan judul: Ibnu ‘Arabi, Wahdatul Wujud dalam Perdebatan.
Karya ini merupakan sebuah disertasi yang coba mengangkat pemikiran
wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi yang dibandingkan dengan panteisme, beserta
polemik pemakaian istilah ini .
Tokoh yang kedua, Dr. Yunasril Ali, berhasil menulis sebuah buku
tentang konsep Insan Kamil dari Ibnu ‘Arabi yang dikembangkan oleh Al-Jilli.
Buku yang juga berasal dari disertasi penulis ini diberi judul Manusia Citra
Illahi, Pengembangan konsep Insan Kamil Ibnu Arabi & oleh Al Jilli.
Adapun mengenai skripsi yang telah disusun oleh mahasiswa-
mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, lebih khususnya program study
Aqidah dan Filsafat, sejauh pengamatan penulis belum ada yang membahas
tentang konsep Kosmologi Ibnu ‘Arabi. Berikut skripsi-skripsi yang telah
disusun: mengenai Epistemologi (Ahmad Kharim, 1987), Pandangan tentang
Tuhan (Ali M. S 3053), tentang Wujud (Alimuddin, 3695), Panteisme
(Hariyanto, 0585383), dan tenang Kejahatan (Ahmad Sahida Rahem,
9251213). Sebagian skripsi itu pun sudah lama dibahas sehinga kondisinya
ada yang nyaris tidak bisa dibaca.13 Sedangkan skripsi terbaru tentang Ibnu
‘Arabi adalah, tahun 2003 yang disusun oleh Saltana dengan judul Hubungan
kualitatif antara Tuhan dan Manusia Menurut Ibnu ‘Arabi, dan oleh Ahmad
Muflih dengan judul, Agama Menurut Pandangan Ibnu ‘Arabi (Studi atas
Konsep Kesatuan Agama-agama). Pada tahun 2004, Siti Rabi’ah dengan
judul, Pengaruh Neo Platonisme dalam Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi, dan
Ahmad Gazali dengan judul Al-haqiqah Almuhammadiyyah dalam Pemikian
Mistik Ibnu ‘Arabi, Sebuah tinjauan tasawuf falsafi, dan yang paling baru
sejauh penelitian penulis adalah skripsi yang disusun oleh Muhammd Hasan,
dengan judul Shalat dalam Pandangan Ibnu ‘Arabi
Dengan demikian sejauh penelitian awal yang dilakukan penulis,
pembahasan yang fokus tentang konsep kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi sejauh ini
belum ada. Padahal kosmologi merupakan salah-satu tema yang sering muncul
dalam karya-karya Ibnu ‘Arabi. Seperti pemikirannya tentang sifat-sifat Allah
(al-Ashma Wa al-Shifat) yang berfungsi sebagai landasan kosmologi dalam
pemkran Ibnu ‘Arabi.
E. Metode Penilitian
Agar suatu penelitian lebih terarah dan sistematis, tentunya diperlukan
suatu metode yang jelas, begitu juga dengan penelitian ini, tentunya ada
metode tertentu yang penulis gunakan untuk memaparkan, mengkaji serta
menganalisis data-data yang ada untuk diteliti.
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis termasuk jenis penelitian pustaka
(library research), yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai
sumber datanya.Sumber data terdiri dari sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah buku atau literatur yang
menjadi rujukan utama dan dalam penelitian ini adalah kitab al-Futuhat
al-Makiyyah, Fushush al-Hikam, dan Tadbirat al-Ilahyyah fi Islah al-
Mamlakah al-nsaniyyah, yang merupakan karya singkatnya dalam bidang
kosmologi. Sedangkan sumber data sekunder adalah karya-karya Ibnu
Arabi yang telah diterjemakan dalam bahasa Indonesia seperti Risalah
Kemesraan, Catur Ilahi, dan Menakar Jiwa yang Suci, Introspeksi Jiwa
Ibnu ‘Arabi, juga karya-karya penulis lain yang membahas baik secara
dekriptif atau pun dalam bentuk kritik terhadap Ibnu ‘Arabi, serta bahan-
bahan lain yang mendukung.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan bersifat eksploratif dalam artian
menggali data yang berkaitan untuk kemudian menganalisis konsep dan
karakteristik pemikirannya dengan mengacu pada berbagai data dari
sumber-sumber yang diperoleh.
3. Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah historis-
filosofis. Pendekata historis-filosofis bertujuan untuk menelusuri sisi-sisi
historis sebuah objek penelitian sejarah perkembangan sebuah pemikiran
serta mencari dasar dari pemikiran ini .
4. Metode Analisis Data
Metode yang dipakai oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini
nantinya adalah metode deduktif,17 yaitu metode penelitian yang
berangkat dari pemikiran Ibnu ‘Arabi secara umum, kemudian digunakan
untuk menilai secara sistematis partikulasi-partikulasi dari pemikiran Ibnu
Arabi tentang kosmologi sufi.
F. Sistematika Pembahasan
Agar skripsi ini menjadi enak dan gampang untuk dicermati, maka
diperlukan sistematika pembahasan yang jelas dan runtut. Karena itu skripsi
ini direncanakan terdiri dari lima Bab dengan penjelasan sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang membahas tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua akan membahas tentang riwayat hidup tokoh yang dikaji
beserta karya-karyanya, dimana bab ini meliputi beberapa sub pembahasan.
Yaitu: riwayat hidup, karya-karyanya, dan yang terakhir mengenai pemikiran-
pemikirannya yang meliputi, pemikiran tentang ketuhanan, pemikiran tentang
alam, dan pemikiran tentang manusia dari tokoh yang bersangkutan.
Bab tiga akan membahas tentang hubungan antara wujud, nama dan
sfat-sifat Tuhan dengan kosmos, dari tokoh yang bersangkutan, yang terdiri
dalam beberapa sub pembahasan. Yaitu: wujud Tuhan dan kosmos, dan nama
dan sifat-sifat Tuhan dengan kosmos dari pemkiran tokoh yang bersangkutan.
Bab empat menjelaskan tentang makrokosmos dan mikrokosmos, yang
terdiri dalam beberapa sub pembahasan. Yaitu: alam sebagai makrokosmos,
yang meliputi, pengertian dan hakikat alam semesta, dan penciptaan alam
semesta. Dan, manusia sebagai mikrokosmos, yang meliputi pengertian dan
hakikat manusia, dan penciptaan manusia, serta peran manusia dalam kosmos.
Bab lima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh
rangkaian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban atas permasalahan
yang ada.
BAB IV
MAKROKOSMOS DAN MIKROKOSMOS
A. Alam Semesta Sebagai Makrokosmos
1. Pengertian dan Hakikat Alam Semesta
Apa yang disebut dengan alam semesta sering disinonimkan
dengan istilah-istilah lain, seperti semesta raya, jagad raya, atau kosmos.
Dalam tema-tema Islam, alam semesta atau kosmos (al-‘Alam) bisa
didefinsikan sebaga “segala sesuatu selain Allah” (ma siwa Allah),119 dan
merupakan tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu
mengambarkan hakikat dan realitas Allah.
Namun, alam semesta yang dipahami sebagai “segala sesuatu
selain Allah” atau tanda-tanda (ayat) Allah, bukanlah sesuatu yang lain di
setiap sisinya, karena ia merupakan keseluruhan jumlah kata-kata yang
diartikulasikan dalam nafas Dzat Yang Maha Pengasih,120 dan nafas sepe-
nuhnya tidak berbeda dari Dzat Yang Bernafas. Atau, alam semesta adalah
“Penyingkapan-Diri” (tajalli) Tuhan didalam wadah manifestasi-Nya.
Melalui alam semesta, Tuhan menampilkan karakteristik dan
kepemilikannya, yakni, nama-nama khusus dan universalnya, baik nama
Tuhan yang sembilan puluh sembilan maupun entitas abadi-Nya. Maka,
nafas Dzat Yang Maha Pengasih mengeluarkan realitas abstrak dan maya
ke dalam bidang eksistensi dan bidang kongkret.
Di satu sisi, alam semesta ini lain dari Tuhan, karena Esensi Tuhan
bersemayam secara tak terbatas melampauinya. Di sisi lain, alam semesta
identik dengan Tuhan, karena tidak ada yang lain di dalamnya yang bukan
nama-Nya. Kata-kata yang tak bertepi yang difirmankan Tuhan adalah
sama dengan nafas, dan nafas itu sendiri sama dengan Dzat Yang Maha
Pengasih. Maka, pada dasarnya kata-kata ini sama dengan Dzat Yang
Maha Pengasih.121 Inilah yang dikemukakan al-Quran, “Kasih sayang-Ku
meliputi segala sesuatu” (QS al-A’raf [7]: 156). Nafas Yang Maha
Pengasih merupakan eksistensi abadi, “kasih sayang bagi segala yang
berwujud”, dan manifestasi cinta Allah kepada Perbendaharaan Yang
Tersembunyi: “Karena kecintaan untuk dikenal ini, Allah bernafas, dan
nafas itu menjadi bermanifestasi.”
Secara etimologis, kata “alam” merupakan derivasi dari kata alima
ya’lamu yang berarti mengetahui. Kata jadian ‘alam atau ‘alamat berarti
tanda, pertanda atau sign (dalam bahasa Inggris). Dari kata ‘ilm dengan
derivasinya yang ada sebanyak 105 kali dalam al-Qur’an, dan kata
‘alam itu sendiri ditemukan dalam 91 ayat yang kebanyakan hampir 46
ayat disambungkan dengan sifat Allah SWT Yang Maha Pemelihara alam.
Al-Qur’an terkadang menunjuk hakikat alam semesta secara lebih
abstrak. diantaranya ayat al-Qur’an (QS al-Anbiya’ [21]: 30)
menyebutkan, jagad raya ini adalah sebuah massa (ratqh). Atau, susunan
unsur-unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Massa atau susunan unsur-
unsur itu berada dalam perbentangan. Sehingga alam semesta dalam
perspektif al-Qur’an dapat dipahami sebagai perbentangan unsur-unsur
yang saling mempunyai keterkaitan. Sedangkan jagad raya, di mana alam
semesta yang terbentang ini, mempunyai atau mencakup pula hukum-
hukum atau sebab-sebab alamiahnya
Atas dasar itu, pertama-tama alam semesta dapat dikatakan sebagai
sebuah wujud atau subjek, yaitu bumi dengan segala isinya, langit dengan
keseluruhan yang ada di dalamnya, dan jagat raya sebagai
makrokosmos seluruhnya. Kemudian ia dapat dipandang sebagai pola-
pola, watak-watak dan kecenderungan-kecenderungan dalam posisi dan
perannya sebagai subjek. Dengan perkataan lain, alam semesta ini
merupakan “makhluk hidup” dengan watak-watak yang melekat pada
dirinya. Atau, makhluk hidup yang melakukan perguliran dan peredaran
dalam regularitas dan stabilitas tertentu yang alamiah.
Namun secara hakikat, alam semesta haruslah dipahami sebagai
suatu wujud dari keberadaan Allah, keesaan-Nya, kebesaran-Nya,
kemahakuasaan-Nya, dan belas-kasih-Nya. Sebab alam semesta dan
seluruh isinya serta hukum-hukumnya tidak ada tanpa keberadaan Allah
Yang Maha Esa. Segala sesuatu, termasuk langit dan bumi, merupakan
ciptaan Allah Yang Maha Kuasa (QS Fushilat [41]:11). Allah adalah
pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta serta
pemeliharanya Yang Maha Pengasih (QS al-Fatiha [1]:1-3) sebagai
ciptaannya, alam semesta ini menyerah kepada kehendak Allah (al-Imran
[3]:83), dan memuji Allah (QS al-Zariat [57]:1). Antara Alam semesta
(makhluk) dan Allah (Khaliq) mempunyai keterikatan erat, dan bahkan
meskipun mempunyai hukumnya sendiri, ciptaan sangat bergantung pada
Pencipta yang tak terhinggga dan mutlak. Sebagaimana yang dinyatakan
Ibnu ‘Arabi, bahwa segala sesuatu memanifestasikan Allah, segala sesuatu
menjadi tanda-tanda Allah, segala sesuatu mencerminkan Allah, segala
sesuatu itu bukan lah selain Allah, “Semuanya adalah Dia”. Atau seperti
yang dinyatakannya, “Tak ada yang bereksistensi kecuali Allah.
Keberadaan kita pun terjadi melalui Dia. Mereka yang bereksistensi
melalui sesuatu yang lain pada hakikatnya tidaklah bereksistensi.”123
Atas dasar itu, alam semesta secara rill adalah makrokosmos atau
jagat raya beserta keseluruhan yang ada di dalamnya yang tampak dalam
kasat mata ini, dan juga stabilitas dan regularitas alamiyahnya sejauh dapat
diidentifikasi dalam batas-batas pikiran manusia. Sedangkan alam semesta
secara hakiki tidak lain adalah wujud “keesaan Allah” yang menunjuk
pada ciptaan-ciptaan-Nya, dan hukum-hukum Allah yang terpikirkan oleh
manusia (sunnatullah) serta hukum-hukum Allah yang mutlak atau absolut
sifatnya (takdir). Dengan kata lain, hakikat alam semesta ini ada yang
tampak dalam pandangan mata, dan ada pula yang tidak tampak atau
hanya ada dalam kerangka pikiran logis semata, atau bahkan tak
terpikirkan sama sekali.
2. Penciptaan Alam Semesta
Dalam konteks kejadian atau penciptaan alam semesta, Ibnu ‘Arabi
mempunyai teori bahwa alam semesta ini merupakan proses tajalli secara
kesinambungan tanpa kesudahan (tasalsul). Proses tajalli merupakan
proses penampakan diri Tuhan secara terus-menerus tanpa awal dan akhir
dari yang tidak dikenal secara mutlak kepada bentuk yang lebih nyata
(bentuk kongkrit yang telah ditentukan dan dikhususkan) yang tidak
terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk ini tidak ada yang sama dan tidak
akan terulang walaupun secara hampir sama. Semuanya terjadi dalam
perubahan secara kesinambungan terus-menerus tanpa henti. Setiap detik
perubahan alam temporal ini adalah proses penciptaan Tuhan, seperti
firman-Nya: “Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (QS al-Rahman, [55]:
karena itu mahluk ciptaan-Nya tidak akan berhenti bereksistensi,
sedangkan Dia juga tidak akan pernah berhenti mencipta.”
Ciptaan Tuhan adalah baru karena alam temporal terjadi dan
hancur, wujud dan non-wujud saling berganti setiap detik terus-menerus
secara kesinambungan selama-lamanya. Penciptaan-Nya itu tidak dapat
dihalangi sebagaimana firman Allah: “dan pemberian Tuhanmu tidak
dapat dihalangi” (QS al-Isra’, [17]: 20). Penciptaan-Nya (Pemberian-Nya)
secara terus-menerus ialah mengikuti kemampuan atau kesiapan lokus
penerimaan yang telah ditetapkan karena setiap sesuatu yang ada di alam
semesta mempunya sifat dan keadaan yang berbeda lagi unik.
Terjadinya alam semesta ini merupakan tanda kewujudan-Nya bagi
manusia yang memakai akal dalam kehidupannya seperti firman-Nya:
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terhadap tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-
orang yang berakal”. (al-Imran, [3]:190).
Alam semesta, yang merupakan cermin dan tanda Tuhan yang
tidak akan pernah ada tanpa tajalli-Nya. Penciptaan alam ini dapat terjadi
disebabkan kehendak (ridha) Tuhan. Ini dinyatakan dalam fitman-Nya:
“’jadilah’! Maka terjadilah ia” (QS Yasin, [38]: 82). Kehendak (Iradat)
rindu dan cinta Tuhan mengenali Diri-Nya dan keinginan untuk
memperkenalkan Diri-Nya kepada mahluk dinyatakan pula di dalam hadis,
bahwa sebagai khazanah yang masih tersembunyi Allah menginginkan
untuk diketahui dan untuk itulah Dia menciptakan mahluk.
Sampai disini dapat dilihat bahwa tujuan penciptaan alam semesta
adalah kehendak cinta Tuhan untuk mengenali Diri-Nya dan
memperkenalkan Diri-Nya. Alam semesta adalah bagaikan cermin bagi
Tuhan untuk mengenali Diri-Nya sendiri sekaligus memperkenalkan Diri-
Nya kepada makhluk. Alam adalah lokus penampakan perbuatan-
perbuatan Diri-Nya yang mengambarkan sifat-sifat-Nya yang dapat
berbentuk nama-nama-Nya sendiri.
Penciptaan alam semesta merupakan proses dari tajalli Tuhan,
yang dalam bab sebelumnya telah disebutkan bahwa tajali Tuhan menurut
Ibnu ‘Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan
kedua martabat wahidiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan
wujud tunggal dan mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas
(sifat) apa pun, sehingga Ia belum dikenal oleh siapa pun. Pada martabat
wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik, di
luar batas ruang dan waktu, dan dalam citra sifat-sifat-Nya, Sifat-sifat
ini terjelma dalam asma Tuhan, yang sering juga disebut hakikat
semesta (al-Hakikat al-Kulliyyah). Pembahasan tentang hakikat alam
semesta inilah yang menjadi kunci masuk dalam pemkiran Ibnu ‘Arabi
tentang penciptaan alam semesta.
Hakikat semesta (al-Hakikat al-Kulliyyah) merupakan “milik
bersama“ antara Tuhan dan makhluk. Oleh karena itu, ia tidak dapat
disifati dengan wujud (ada) maupun ‘adam (tiada), tidak dapat disifati
dengan baru ataupun qadim, karena bila ia berada pada “ada” yang qadim
ia pun qadim, tetapi bila ia berada pada “ada” yang baru ia pun baru. “Jadi,
wujud dari hakikat Muhammad ini mempakan suatu bentuk wujud
tersendiri yang menghubungkan antara Yang Mutlak dan alam yang
terbatas. Ia disebut qadim jika dipandang sebagai ilmu Tuhan yang qadim,
tetapi ia dikatakan baru karena memanifestasikan diri pada alam yang
terbatas dan baru.”128 Artinya, jika hakikat semesta ini disandarkan
kepada keadaan Allah dan atribut-atributnya maka keberadaan hakikat
semesta ini bersifat kekal, dan jika hakikat semesta ini
disandarkan kepada segala sesuatu selain Allah yang mempunyai sifat
sementara dan keberadaannya disebabkan oleh sesuatu yang lain, maka
hakikat alam semesta ini bersifat sementara.
Dari hakikat semesta itu dunia mencapai wujud-nya karena
intervensi dari Allah. Allah memberikan wujud kepada alam semesta
dengan memunculkan alam semesta dari wujud yang kekal dan dengan
demikian ia menandaskan kekekalan kita. Mengenai hakikat itu tidak
dapat dikatakan, bahwa ia ada sebelum dunia, maupun dunia itu ada
sesudah hakikat ini . Hanya dapat dikatakan, bahwa ia merupakan
akar dari segala sesuatu pada biasanya , akar dari substansi, lingkup yang
meliputi kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Arabi:
Kalaulah itu bukan karena penetrasi Tuhan, dengan melalui
bentuknya, di dalam semua eksistensi, maka dunia ini mungkin
tidak ada, persis seperti kalaulah itu bukan karena al-Haqa’iq al-
Ma‘qulat al-Kulliyyah (realitas-realitas universal) yang dapat
dipahami, maka tentu tidak akan ada ahkam (prediksi-prediksi)
tentang objek-objek yang eksternal.
Manifestasi Allah yang pertama ialah semacam kabut (al-‘Ama, al-
Haba) yang juga digambarkan sebagai hakikat Muhammad (al-Hakikah
al-Muhammadiyyah) dan pernafasan Allah. Nafas itu ada dalam pangkuan
Allah sebelum dunia diciptakan. Nafas itu tidak ber “ada” dan “tiada”,
sesuatu lingkungan yang berupa kemungkinan semata-mata untuk bisa
“ada” (pure possibility). Kadang-kadang lingkup kemungkinan itu
dilukiskan sebagai hakikat semesta dalam keseluruhan yang bersama-sama
dimliiki Allah dan buah ciptaan. Kadang-kadang digambarkan sebagai
nafas Allah untuk mewujudkan lingkungan “ada” yang tidak niscaya
(contingent), tanpa mematahkan kebersatuan dalam “ada” dengan Allah.
Kabut itu merupakan unsur pasif dalam proses penciptaan, sedangkan
cahaya ilahi yang terpancar dari Allah merupakan prinsip aktif. Dari
perpaduan kedua prinsip itu terjadilah segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini.
Pada hakikatnya kedua prinsip itu bersatu dengan zat Allah,
demikian juga segala sesuatu yang terjadi karena perpaduan kedua unsur
itu. Dalam sebuah perumpamaan yang diuraikan panjang lebar, Ibnu
‘Arabi menerangkan sebagai berikut:
Kabut purba itu adalah cermin. Bila cahaya Allah terbentur pada
cermin itu maka segala buah ciptaan nampak sebagai gambar-
gambar. Sebagai gambar dalam cermin sama dan tidak sama
dengan dia yang mencerminkan diri, demkian juga hubungannya
dengan Allah. Gambar-gambar tu merupakan manifestasi lahiriyah
mengenai Allah, segi yang nampak dari zat ke-Allah-an.
Namun, betapa beragamnya bentuk-bentuk manifestasi itu, itu
semua satu dan tunggal dalam hakikat yang Tunggal. “seseorang bijak
sejati yang oleh Allah telah diberi intusi mistik mengenai segala hal-ihwal
menurut hakikatnya, dia tahu, bahwa seluruh dunia ini mulia mengenali
hakikatnya. Makhluk-makhluk yang ditopang oleh hakikat yang satu itu
tidak mempunnyai perbedaan dalam derajat kemuliaan. Cacing yang
paling hina pun sama dengan Akal Budi Pertama sejauh kita mengamati
kemuliaan hakikatnya. Perbedaan tingkat derajat hanya terwujud dalam
bentuk-bentuk.
Mengenai tingkatan dalam pewujudan yang terjadi, dimana hakikat
Muhammad merupakan tajalli Tuhan yang pertama, yang di lain tempat,
juga disebut oleh Ibnu ‘Arabi dengan Akal Awal (al-Akl al-Awwal) dan al-
Kalam. Dalam Akal Awal itu Allah menuangkan segala pengetahuan
mengenai segala-sesuatu yang ingin diciptakan-Nya serta pengetahuan
mengenai nama-nama Ilahi yang menjadi aktif pada saat segala-sesuatu itu
diwujudkan. Kemudian keluarlah dari Akal Awal itu penampakan kedua,
yakni jiwa universal yang oleh Ibnu Arabi digambarkan sebagai Lembaran
yang tersimpan dengan baik (al-Lauh al-Mahfuz). Diatas lembaran
ini al-Kalam, Akal Awal, menulis segala sesuatu yang oleh Allah
diberi pra-pengetahuan-Nya. Adapun tulisan itu ialah penampakan ketiga,
yakni alam raya. Ini semua terjadi dalam lingkup cahaya murni, tetapi
sambil terjadinya proses tajalli ke tingkat yang lebih bawah, maka cahaya
itu tercampur dengan kegelapan. Demikian berturut-turut terjadi Materi
(kebendaan) Universal dan Tubuh Universal atau Tahta Ilahi. Itulah yang
muncul dari dunia materi, kemudian al-Kursi yang mencakup lingkungan
bintang-bintang yang tetap, lingkaran ketujuh planet, lingkaran keempat
unsur, akhirnya dunia mineral, dunia tumbuhan, dunia hewan-hewan, para
malakait, para jin, dan umat manusia. Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu
‘Arabi dalam futuhat :
Ketahuilah, Allah Ta'ala telah ada sebelum Ia menjadikan
makhluk, dan bukan (dengan arti) kedahuluan waktu ... Adalah (Ia
Yang) Mahatinggi dan Mahaagung, berada pada ‘ama’ di
bawahnya tidak ada hawa dan di atas pun tidak ada, ia (‘ama’)
itulah permulaan mazhar Ilahi dimana Ia menyatakan diri-Nya. Di
dalamnya (‘ama’) terpancar nur zat Tuhan ... Tatkala ‘ama’
tercelup oleh nur, terjadilah padanya citra para malaikat yang
terpesona (terhadap Tuhan), yang berada di atas alam (benda--
benda) material, tidak ada arasy dan makhluk yang mendahului
mereka. Tatkala Ia (Allah) selesai menjadikan malaikat-malaikat
itu, Ia pun ber-tajalli pada mereka. Tajalli ini memunculkan
suatu “kegaiban”, yang menjadi ruh mereka, yakni citra (para
malaikat) itu. Kemudian Tuhan ber-tajalli pada mereka dengan
nama-Nya al-Jamil (Yang Mahaindah), maka mereka pun merasa
terpesona dalam kemahaagungan-Nya terhadap kemahaindahan-
Nya, sedangkan mereka tidak menyadarinya. Tatkala Tuhan ingin
menciptakan alam tadwin dan tasthbir (maksudnya: qalam dan
lawh mahfuz) Ia pun menunjuk salah satu dari malaikat yang
sedang bersedih, yang merupakan malaikat pertama yang muncul
di antara para malaikat; nur (malaikat) itu disebut “akal” dan
“pena”, dan Allah pun ber-tajalli padanya dalam menyatakan ...
apa yang ingin diciptakan-Nya dari makhluk tanpa batas.
Dari sini, dapat dimengerti bahwa dengan cara yang demikian,
Allah menciptakan “bentuk-bentuk” dari materi Universal yang
merupakan dasar dari segala yang ada dalam semesta secara materi,
kemudian menurut kemampuan masing-masing dari bentuk-bentuk materi
ini menuangkan (mencitrakan) “ruh-ruh.”
Ibnu ‘Arabi memberikan keterangan tentang ruh-ruh ini
dalam Futuhat. Bagaikan huruf-huruf yang secara potensial sudah ada
dalam tinta.
saat Allah mempersiapkan bentuk-bentuk didunia ini, maka
terjadilah ruh universal, seperti pena dan tangan kanan (dalam
perumpamaan sebelumnya) serta ruh-ruh masing-masing, seperti
tinta dalam pena, dan bentuk-bentuk seeperti huruf-huruf di papan
tulis, artinya bila ruh universal mengeluarkan nafasnya diatas
bentuk-bentuk dunia, maka ruh-ruh itu muncul, masing-masing
menurut bentuk yang dijiwainya…”Tidak ada satu mahlukpun
yang tidak dijiwai oleh ruh, sekalipun dalam sementara mahlukruh
itu dapat mengamati, dalam sementara mahluk lain tidak.
Alam semesta yang didalamnya termasuk manusia, dengan
demikian dalam pandangan Ibnu ‘Arabi diciptakan menurut bentuk Tuhan.
Tuhan dan kosmos sama-sama menunjukkan segala sesuatu di dalam
realitas, sementara masing-masing adalah gambar cermin dari yang lain.
Oleh karena itu, setiap nama Tuhan menemukan wadah tajalli di dalam
makrokosmos. Sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Arabi, kosmos adalah jumlah
keseluruhan sifat-sifat dan sekaligus efek nama-nama Tuhan. Perbedaan
fundamental antara Tuhan dan seluruh alam semesta adalah bahwa Tuhan
eksis karena Esensi-Nya dan tidak membutuhkan kosmos, sementara jagat
raya tidak memiliki eksistensi di dalam esensinya dan semuanya
membutuhkan Tuhan. Sebagaimana kita jumpai pada bab sebelumnya, kita
hanya dapat berbicara tentang wujud kosmos dari sisi tertentu, bukan dari
berbagai seginya. Kosmos ada hanya dalam batas-batas tertentu,
kebanyakan berupa refleksi yang bisa disebut eksis dalam sebuah cermin.
Namun Tuhan tidak dapat tidak ada, yang dapat dikatakan bahwa wujud
merupakan milikNya semata, atau katakanlah, wujud dalah Dia dan Dia
adalah wujud.
Pada dasarnya, manusia dan kosmos adalah serupa, bahwa masing-
masing diciptakan menurut bentuk Tuhan. Namun kosmos mencerminkan
nama-nama Tuhan secara berbeda (tafshil). Akibatnya, setiap dan masing-
masing nama Tuhan menampilkan sifat-sifat dan efeknya di dalam kosmos
dengan tunggal atau pada barbagai kombinasi dengan nama-nama atau
kelompok nama lain. Oleh karena itu, dalam totalitas ruang dan waktunya,
kosmos menampilkan panorama kemungkinan eksistensial yang sangat
luas. Sebaliknya, manusia menunjukkan sifat dan efek semua nama Tuhan
ini relatif dengan mode yang tidak variatif (ijmal). Sifat-sifat dari
semua nama ini terkumpul bersama dan terpusat di dalam setiap diri
mereka. Tuhan menciptakan kosmos menurut segi keserbaragaman nama-
Nya, sebaliknya Dia menciptakan manusia menurut kesatuan nama-Nya,
adalah fakta bahwa masing-masing dan setiap nama merujuk kepada
Realitas tunggal. Dari segi lahir, jasad manusia merupakan miniature alam
semesta (al-Kawn al-Jami’), sedangkan dari segi batin manusia merupakan
citra Tuhan.136 Ibnu ‘Arabi sering mengekspresikan ide ini dengan
menggunakan istilah “dunia kecil” dan “dunia besar”. Yaitu, mikrokosmos
dan makrokosmos. biasanya , dia menggambarkan “manusia kecil” atau
mikrokosmos untuk manusia dan “manusia besar” atau makrokosmos
untuk alam semesta.
Karena manusia adalah bagian dari kosmos, maka kosmos
bukanlah bentuk Tuhan yang lengkap tanpa manusia. Akan tetapi,
mikrokosmos dan makrokosmos berada pada kutub yang sama.
Makrokosmos, dalam penyebarannya yang tak terbatas, adalah tidak sadar
dan pasif. Manun mikrokosmos, melalui terpusatnya semua atribut Tuhan
secara intens, adalah sadar dan aktif. Manusia mengenal kosmos dan dapat
membentuknya menurut tujuan mereka, namun kosmos tidak mengetahiu
manusia dan tidak dapat membentuk mereka sepanjang kosmos
merupakan instrument pasif didalam kekuasaan Tuhan.
Fakta bahwa mikrokosmos mendominasi makrokosmos me-
nyebabkan Ibnu ‘Arabi menulis pada permulaan Fushus al-Hikam bahwa
manusia adalah ruh kosmos, sementara itu kosmos tanpa manusia laksana
tubuh yang proporsional dan sangat seimbang, siap dan menunggu Tuhan
meniupkan ruh-Nya kepadanya, namun tetap tak bernyawa sepanjang
manusia tidak datang. Demikian pula, Ibnu ‘Arabi menulis dalam Futuhat
sebagai berikut:
Seluruh kosmos adalah diferensiasi Adam, sementara Adam
merupakan buku yang sangat komprehensif. Dalam kaitannya
dengan kosmos, dia seperti ruh dalam hubungannya dengan tubuh.
Karena membawa semua ini bersama-sama, maka kosmos
merupakan “manusia besar”, selama manusia di dalamnya. Namun
jika kalian melihat kosmos sendirian, tanpa manusia di dalamnya,
kalian akan menemukannya seperti tubuh yang berbentuk tanpa
ruh. Kesempurnaan kosmos karena kehadiran manusia bagaikan
kesempurnaan tubuh karena ruh. Manusia “dimasukkan ke dalam“
tubuh kosmos, sehingga dia merupakan tujuan dari kosmos.
Dengan demikan, manusia adalah realitas batiniah dari kosmos,
sementara kosmos adalah bentuk manifes manusia dan, karena hubungan
yang organik antara manusia dan kosmos, Ibnu 'Arabi menyebut manusia
sempurna dengan “Pilar” kosmos. Tanpa mereka, kosmos akan runtuh dan
mati, inilah yang juga akan terjadi di hari akhir saat manusia sempurna
yang terakhir terpisah dari dunia ini.
B. Manusia Sebagai Mikrokosmos
1. Pengertian dan Hakikat Manusia
Sepanjang sejarah Islam, telah banyak pembahasan mengenai
pengertian dan hakikat manusia baik secara filosofis, teologis, dan sufistik.
Namun satu hal yang mendasar, di mana semua madzhap pemkiran Islam
bahkan umat Islam kebanyakan sama-sama setuju adalah kebenaran bahwa
Tuhan merupakan penyebab penciptaan manusia, atau secara filosofis,
Tuhan adalah penyebab ontologis penciptaan manusia.139
Allah menetapkan segala sesuatu. “Dan tidak ada segala sesuatu
pun melainkan pada Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkan
melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS al-Hijr [15]: 21). Ayat diatas
menunjukkan bahwa dari Allah-lah setiap khazanah kehidupan berasal.
Sedangkan ketetapan (ukuran) berkaitan bukan hanya dengan isu, apakah
manusia memilik kemampuan untuk membuat pilihan bebas atau tidak.
Tapi merupakan prinsip penciptaan itu sendiri. tanpa memandang apa pun
kemungkinan eksistensinya, Allah menetapkan dan menentukan
naturalisnya, “Ia memberikan segala sesuatu dengan bentuknya masing-
masing.” (QS Thaha [20]: 50).140
Dari pengamatan sepintas saja tampak bahwa jika dibandingkan
dengan makhluk lainnya, manusia menujukkan karakteristik yang sangat
unik, berbeda dalam berbagai dimensi, aspek, struktur, hal, sifat, dan
aktivitasnya. Namun, di balik itu, pada saat yang sama, manusia juga
dalam berbagai tataran eksistensinya tampak memiliki keserupaan-
keserupaan dengan ciptaan lainnya dalam alam semesta. Mungkin
berdasarkan kenyataan ini, dan juga kenyataan-kenyataan tersembunyi
lainnya, sehingga kebanyakan (kalau bukan keseluruhan) kosmolog
Muslim menyebut manusia sebagai mikrokosmos untuk membedakannya
dengan makrokosmos, kendatipun pada biasanya orang memahami
bahwa ia merupakan bagian alam semesta, atau yang “selain-Nya.” Ibnu
‘Arabi, misalnya menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk serba
mencakup (al-kawn al-jami‘), untuk merujuk kepada manusia sempurna
(al-insan al-kamil), 141 yakni mencakup al-haqqiyah dan al-khalqiyyah.
Keunikan manusia dari makhluk lain di alam semesta diungkapkan
dalam al-Quran, misalnya dalam ayat-ayat: “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”, (QS. al-Tin [95] 4-
5), Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud
kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang
(lebih) tinggi?" (QS. Shaad [38]: 75). Dan, “Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. al-Ahzab [33]: 72).
Para kosmologi Muslim, dalam analisis-analisisnya membuktikan
keunikan manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Sachiko Murata dengan
sangat bagus dan tampaknya merangkum berbagai pendapat yang selaras.
Ada dua perbedaan mendasar antara manusia dan makhluk lainnya. Yang
pertama adalah bahwa manusia merupakan totalitas, sementara makhluk-
makhluk lainnya adalah bagian dari totalitas. Manusia memanifestasikan
seluruh sifat makrokosmos, sementara makhluk-makhluk lainnya
memanifestasikan sebagian sifat dengan mengesampingkan yang lainnya.
Manusia diciptakan dalam citra Allah, sementara makhluk-makhluk
lainnya hanyalah sebagian bentuk dan konfigurasi kualitas-kualitas
Allah.
Perbedaan mendasar kedua adalah bahwa makhluk-makhluk selain
manusia, mempunyai jalur-jalur yang pasti dan tidak pernah menyimpang
darinya. Jalur-jalur dibatasi oleh berbagai kualitas terbatas yang
dimanifestasikannya. Sebaliknya, manusia tidak mempunyai hakikat yang
pasti karena mereka memanifestasikan keseluruhan. Keseluruhan sama
sekali tidak bisa didefinisikan, karena ia identik dengan “bukan sesuatu,”
bukan kualitas atau kualitas-kualitas khusus. Karena itu, manusia sangat
bertolak belakang dengan makhluk-makhluk lainnya dan manusia adalah
misteri. Hakikat utama manusia tidak diketahui.143
Hakikat manusia, seperti dalam catatan Murata di atas, tidak
diketahui. Ini tampaknya sejalan dengan pandangan banyak pemikir
Muslim yang menyatakan bahwa hakikat manusia adalah ruhnya,
sementara ruh itu sendiri diungkapkan oleh al-Quran sebagai entitas yang
hanya diketahui oleh Allah. Demikian pula, al-Quran mengungkapkan
bahwa faktor kesempurnaan manusia terletak pada ruh yang dihembuskan
Allah kepadanya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ar-Ruh.
Katakanlah: Al-Ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan, kecuali sedikit saja”, (QS. al-Isra’ [17]: 85). Berikut faktor-
faktor kesempurnaan manusia, seperti:
1. Kejadian manusia dalam bentuk terbaik (ahsanu taqwim).
2. Manusia dicipta berdasarkan bentuk atau citra Allah (ala surat Allah).
3. Manusia dicipta dengan kedua Tangan Allah (khalaqtu bi yadayya),
sementara makhluk lain hanya dengan perintah “Kun” (jadilah!).
4. Ditiupkannya ruh Allah (ruhullah) kepada manusia. Serta,
5. Manusia merupakan puncak penciptaan dengan kesempurnaan yang
semakin meningkat.
Semuanya itu telah menjadikannya makhluk yang paling
refresentatif dan kualitatif mengemban tugas sebagai khalifah Allah
(khalifatullah), mewakili Allah pada tataran makhluk. Menyandang status
sebagai khalifah Allah berarti bahwa hanya manusialah dengan kualitas-
kualitas yang dimilikinya, atau dengan totalitasnya yang dapat menguasai
alam semesta, menjamin keharmonisan, dan sekaligus dalam pengertian
sebaliknya, hanya manusialah yang mampu mengacaukan alam semesta.
Seperti yang diungkapkan Ibnu ‘Arabi:
Iblis adalah [hanya] bagian alam semesta, dan pengabungan ini
(jam’yah) [yang manusa miliki] tidak ada pada iblis. Karena
perpaduan in, manusia menjadi khalifah. Jika dia tidak terwujud
dalam citra-Nya yang mengangkatnya sebagai khalifah di bumi,
tentu tdak akan menjadi khalifah. Dan jika tidak ada dalam dirinya
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kawulanya, yang atasnya dia
dijadikan khalifah –karena ketergantungan mereka kepadanya, ini
merupakan kewajiban baginya untuk memberi mereka segala
sesuatu yang mereka perlukan- dia tidak akan menjadi khalifah atas
mereka. Jadi kekhalifahan hannya sesuai untuk Insan Kamil. Dia
[Tuhan] menciptakan citra lahirnya (shurah zhahirah) dari realitas
(haqa’iq) alam semesta dan bentuknya, dan Dia menciptakan citra
batinya (shurah bhathinah) dalam citra-Nya.
Manusia (mikrokosmos) berbeda dengan makhluk-makhluk lain di
alam semesta (makrokosmos), karena manusia mencerminkan kedua sisi
sifat-sifat Allah. Inilah yang disimbolkan dengan dua tangan Allah yang
diungkapkan dalam al-Quran: “Allah berfirman: Hai iblis, apakah yang
menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Ku-ciptakan dengan
kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu
(merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (Qs. Shad, 38:75).
Dalam hadis disebutkan juga bahwa Adam (manusia) diciptakan
berdasarkan shurah Allah. Dengan demikian, hanya manusialah yang
mewakili gambaran dan citra lengkap Realitas Ilahi; sementara segala
sesuatu lainnya memberikan gambaran dan citra tidak sempurna, yang
didominasi oleh satu tangan saja tanpa lainnya.
Manusia adalah totalitas yang lahir sekaligus dari tubuh ragawi dan
jiwa spiritual. Karena itu, orang-orang bijak itu menemukan keserupaan
bagi segala sesuatu yang ada di dunia materi dalam kondisi struktur
tubuhnya. Segala sesuatu yang ada ini meliputi berbagai komposisi luar
biasa dari segenap wilayah samawi dunia, berbagai jenis konstelasinya
yang berbeda, gerakan-gerakan berbagai planetnya, komposisi seluruh
pilar (arkan) dan ibunya (ummahat), ragam substansi mineralnya, berbagai
jenis tanaman, kerangka tubuh binatangnya yang luar biasa.145
Catatan di atas mengungkapkan bahwa dimensi fisik manusia
selaras dengan dimensi fisik alam semesta, yakni bahwa struktur dan
bentuk organ-organ tubuh manusia menyerupai struktur dan bentuk benda-
benda langit, juga dalam jiwa manusia dan penyerapan struktur tubuhnya
oleh segenap inderanya, mereka menemukan berbagai keserupaan dengan
jenis-jenis makhluk spiritual lain, seperti malaikat, jin, manusia, setan,
jiwa hewani, dan aktivitas mereka dalam berbagai keadaan di dalam
kosmos.
2. Penciptaan Manusia
Pada dasarnya, proses penciptaan manusia tidaklah berbeda dengan
prinsip penciptaan Tuhan terhadap mahluk-mahluk lainnya -alam semesta
dan segala sesuatu yang berada didalamnya selain manusia- sebagaiman
telah disebutkan di bab terdahulu bahwa, manusia dan kosmos diciptakan
menurut bentuk Tuhan dan merupakan cermin tajalli dari seluruh nama
dan sifat-sifat Tuhan. Namun, yang membedakan antara penciptaan
manusia dan kosmos adalah kenyataannya, bahwa manusia diciptakan
dalam totalitasnya dan serba mencakupi. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ibnu ‘Arabi:
Seperti halnya seluruh alam semesta tercipta dari unsur-unsur dasar
bumi, air, api, dan udara, demikan pula halnya tubuh manusia.
Sang pencipta berfirman: Dialah yang menciptakan kamu dari
tanah … (QS. al-Mu’min [40]: 67). Kemudian Dia berfirman: …
Kami telah menciptakan mereka dari tanah basah (QS. al-Shaffat
[37]: 11), yakni campuran tanah dan air. Lalu Dia berfirman:
Sesunguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
(QS. al-Hijr [15]: 26), yakni campuran tanah, air, dan udara.
Kemudian Dia berfirman: Dia menciptakan manusia dari tanah
kering seperti tembikar. (QS. al-Rahman [55]: 14), yang
menunjukkan adanya unsur api di dalam diri manusia.
Di hubungkan dengan angin yang berhembus dari empat penjuru,
tubuh manusia juga memiliki empat kekuatan: daya tarik
(jadzibah), daya tolak (dafi’ah), daya ingat (masikah), dan daya
cerna (hadhimah).
Di dunia ini, ada hewan buas dan jinak. Di dalam diri kita ada
amarah, balas dendam, hasrat untuk menguasai, berperang, dan
berbuat kerusakan. Pada saat yang sama kita bekerja untuk mencari
nafkah, kawin, membesarkan anak, dan sebagainya. Allah
berfirman: … Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang
(di dunia) dan mereka makan seperti makanya binatang-binatang.
Dan mereka adalah tempat tingal mereka. (QS. Muhammad [47]:
12).
Para malaikat Allah mengembara di dunia ini. Manusia juga
berusaha menyucikan dirinya dengan keihlasan, keimanan, dan
ibadah. Alam semesta meliputi yang nampak maupun yang gaib.
Demkian pula halnya manusia, yang memiliki wujud lahir dan
batin. Di dunia ini ada langit dan bumi. Manusia juga naik dan
turun.
Berpegang pada pernyataan diatas, dengan demikian bisa dikatakan
bahwa pada dasarnya, manusia diciptakan dalam totalitasnya citra Tuhan
dan didalam dirinya menghimpun segala sesuatu yang ada pada seluruh
makhluk, maka tidak heran jika di atas Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa,
manusia diciptakan dalam bentuk terbaik (ahsanu taqwim), dicipta
berdasarkan bentuk atau citra Allah (ala surat Allah), dicipta dengan
kedua Tangan Allah (khalaqtu bi yadayya), ditiupkannya ruh Allah
(ruhullah) kepada manusia. Serta, manusia merupakan puncak penciptaan
dengan kesempurnaan yang semakin meningat. Berikut proses penciptaan
manusia yang membedakannya dengan alam semesta dan makhluk-
makhluk lainnya:
1. Penciptaan Manusia dari Dua Tangan Tuhan
Istilah “dua tangan Allah” muncul dalam firman Allah yang
berbunyi: “Hai iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud
kepada apa yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah
kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-
orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shad, [38]:75). Bagi kalangan tradisi
hikmah, istilah dua tangan Tuhan itu dipandang sebagai salah satu
simpul yang menjelaskan keunikan penciptaan manusia, sekaligus
merangkum dan menyimpan banyak misteri dalam tataran hubungan
antara manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta
(makrokosmos).147 Dua tangan Tuhan itu menunjuk kepada dua
kategori nama-nama dan sifat-sifat Allah, yaitu sifat jalaliyyah dan
sifat jamaliyyah. Sifat jalaliyyah adalah sifat-sifat Allah yang
mencerminkan keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kekerasan-Nya.
Sifat-sifat ini dikenal juga dengan sifat-sifat maskulin yang terungkap
dalam nama-nama seperti al-‘Azhim, al-Qadir, dan al-Qahhar.
Sedangkan sifat jamaliyyah adalah sifat-sifat yang mencerminkan
kemurahan, kelembutan, kasih-sayang dan penerimaan-Nya. Sifat-sifat
ini disebut juga sifat feminin Allah, seperti dalam nama-nama ar-
Rahman, ar-Rahim, at-Tawwab, dan al-Ghafir. Dua kategori nama dan
sifat Allah ini bekerja sedemikian rupa untuk mempertahankan alam
semesta. Kendatipun aktualisasi nama-nama dan sifat-sifat jalaliyyah
(maskulin) cenderung tak tertahankan, terutama saat Allah
menunjukkan kekuasaan dan kekerasannya, misalnya dalam bentuk
petaka dan penderitaan manusia dan bencana alam, namun di balik
semua itu, sesungguhnya sifat-sifat jamaliyyah yang lebih dominan
pada diri Allah.
Dua tangan Tuhan juga mengungkapkan misteri keserba
mencakupan manusia dari sisi bahwa manusia diciptakan, sekaligus
mencerminkan dengan sempurna dua karakteristik polar Allah, al-
Awwal dan al-Akhir, serta az-Zahir dan al-Batin, sebagaimana
dinyatakan-Nya dalam Qs. Al-Hadid: 3, yaitu: “Dialah Yang Awal dan
Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu”.
Manusia mencerminkan Yang Awal karena ruh manusia adalah
makhluk yang pertama kali yang diciptakan Allah, dan merupakan ruh
alam semesta, seperti pendapat Ibnu ‘Arabi di atas. Dalam literatur
sufi, ruh yang merupakan ciptaan pertama itu disebut sebagai Nur
Muhammad, atau dalam literatur filsafat Islam dikenal dengan Akal
Pertama (al-‘Aql al-Awwal), sebagai wujud kedua setelah Allah.
Sedangkan manusia sebagai akhir adalah karena manusia adalah tujuan
akhir penciptaan alam semesta, dan juga karena manusia adalah
tahapan akhir dari evolusi penciptaan kosmos yang bersifat progresif
dan semakin meningkat kesempurnaannya. Dengan demikian, tidak
ada makhluk yang lebih sempurna dari manusia.
Manusia mencerminkan zahir (ketampakan) dan batin
(ketersembunyian) Allah. Dalam hadis Khazanah Tersebumnyi
terungkap bahwa Allah dalam kesendirian-Nya adalah Realitas
Tersembunyi, yang sama sekali tidak dikenal oleh apa pun. Karena
Allah suka untuk dikenal, maka Dia menciptakan makhluk sebagai
cerminan-Nya. Setiap makhluk membawakan cerminan Allah dengan
cara yang berbeda-beda, kecuali manusia yang mencerminkan Allah
dalam pengertian yang paling sempuna. Alam semesta, atau selain-
Nya, adalah zuhurullah (ketampakan Allah, yakni aspek yang tampak
dari Allah), yang dalam beberapa teori sufistik disebut sebagai aspek
nasut-Nya. Ketampakan Allah dan bagaimana Allah menampakkan
Diri juga dikenal dengan tajalli. Dalam diri manusia, dimensi
jasmaninya merupakan zuhurullah dan dimensi ruhaninya adalah
cerminan ketersembunyian-Nya.
2. Ruh Allah Pada Manusia
Dalam al-Quran, Allah berfirman: “Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
(QS. al-Hijr [15]: 29). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah
membuat sempurna kejadian manusia dengan tiupan ruh Allah ke
dalam diri manusia. Proses penyempurnaan kejadian manusia ini dapat
dipahami dengan berbagai cara. Di antaranya dengan mendasarkan diri
pada prinsip keberpasangan yang sudah dijelaskan di atas. Al-Qur’an
di banyak tempat mengungkapkan bahwa penciptaan manusia (dalam
hal ini, sebagian menggunakan prototipe manusia, yaitu Adam)
menggunakan bahan tanah (dengan beberapa sifat atau karakter
tanahnya). Tanah merupakan bagian dari bumi, dan bumi dalam
pemikiran tradisi kearifan Islam, termasuk pemikiran para kosmolog
Muslim dan para sufi, dipandang merupakan simbol dari entitas
rendah.148 Jasmani manusia yang terbuat dari tanah dengan sendirinya
dapat berarti dimensi rendah manusia. Dengan demikian, jika jasmani
di pandang sebagai “yang rendah” dalam diri manusia, maka hal itu
dapat dipandang tidak sempurna karena pasangan rendah tidak
ditemukan, yaitu “yang tinggi.” Seperti halnya dalam makrokosmos,
bumi tidak berarti tanpa langit; sebaliknya, langit pun tak akan aktual
tanpa adanya bumi. Dalam konteks pemikiran Ibnu ‘Arabi, pada
tataran ini manusia belum sempurna, belum menjadi al-kawn al-jami‘,
belum menjadi al-insan al-kamil atau al-kitab al-jami‘ karena dalam
dirinya hanya mencakup dimensi khalqiyyah atau dimensi penciptaan
semata, sehingga sama saja dengan makhluk lainnya.
Dengan ditiupkannya Ruh Ilahi, maka dalam diri manusia ada
dimensi langit, yang merupakan dimensi ketinggian, sebagai pelengkap
dimensi bumi yang dipresentasikan oleh aspek jasmaninya. Dalam
beberapa keterangan, dimensi langit atau dimensi ketinggian ini
disebut dengan istilah al-‘alam al-malakut (atau alam gaib, alam
ruhani, alam batin), yang dikontraskan dengan al-‘alam al-mulk (atau
alam syahadah, alam jasmani). Dengan demikian ditupkannya ruh
Allah juga berarti melengkapi dimensi lahiriah manusia dengan
dimensi batiniah, alam syahadah dengan alam gaibnya, atau alam
manusianya (nasut-nya dengan malakut atau lahut-nya)149.
Keberadaan alam malakut yang bersandingan dengan alam mulk, atau
alam gaib yang bersanding dengan alam syahadah ini didukung oleh
banyak ayat al-Qur’an dan al-Hadis. Bahkan, al-Qur’an
mengungkapkan dengan lebih jelas dalam kerangka korespondensi
manusia, kosmos, dan Allah, bahwa segala sesuatu ada malakutnya,
yakni sisi gaibnya, yang selaras dengan sifat-sifat Nyata dan
Tersembunyi-Nya Allah. Dengan demikian, itu pun merupakan tanda-
tanda Allah.
Dimensi langit dan dan dimensi bumi dalam diri manusia, di
samping berarti menghubungkan -atau juga meyatukan- yang rendah
dengan yang tinggi, juga mengaktualisasikan hubungan-hubungan
aktif-reseptif dalam berbagai tataran kehidupan manusia. Dalam diri
manusia langit dan bumi, seperti halnya dalam kosmos, tidaklah
tunggal. Ada banyak langit dan ada banyak bumi, tergantung pada
tataran mana yang sedang dibicarakan. Dari sudut penciptaan, semua
tataran ini mengikuti prinsip aktif-reseptif. Langit bersifat aktif dalam
hubungannya dengan bumi, sebaliknya, bumi bersifat reseptif dalam
hubungannya dengan langit. Dengan demikian ruh manusia bersifat
aktif dalam hubungannya dengan tubuh; dan tubuh bersifat reseptif
dalam hubungannya dengan ruh. Jika hubungan-hubungan aktif-
reseptif ini berubah atau dikacaukan, maka kehidupan manusia,
selanjutnya kehidupan alam semesta akan menjadi kacau pula. Dalam
al-Qur’an banyak isyarat ke arah ini, seperti kekacauan pada tataran
kehidupan manusia akibat manusia (dalam hal ini jiwa atau ruhaninya)
justru tunduk kepada hawa nafsunya, yang berarti yang tinggi beralih
menyimpang dari sifat aktif menjadi reseptif.
3. Peran Manusia dalam Kosmos
Struktur kepribadian manusia, yang di dalamnya terungkap
berbagai fakultas spiritual, menjadi kajian para sufi dan banyak pemikir
muslim lainnya. Fakultas-fakultas spiritual itu diteliti, karena dengannya
para pencari kebenaran melakukan aktivitasnya, baik dalam pengertian
melakukan pendakian spiritual atau pun dalam meningkatkan fakultas-
fakultas spiritual itu sendiri. Mereka juga tertarik dengan sebuah hadis
Nabi yang sangat terkenal dalam kalangan tradisi sufistik: “Barangsiapa
yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”, dan sebuah
ungkapan yang banyak diandalkan oleh ahli mistik, mengenal hati
seseorang yang paling dalam berarti menemukan titik dimana yang Ilahi di
temukan sebagai dulcis hospes anime, titik temu antara yang manusiawi
dan yang ilahi.151 Mereka berupaya menemukan asosiasi-asoiasi yang
mungkin dalam keterkaitan manusia dengan Tuhan dan dengan alam
semesta (kosmos), dengan maksud untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik tentang tiga realitas. Tuhan sebagai metakosmos, alam semesta
sebagai makrokosmos, dan manusia sebagai mikrokosmos.
Sebagaimana ditunjukkan dalam al-Qur'an, bahwa Allah akan
menunjukkan kepada manusia tanda-tanda-Nya di segenap cakrawala dan
dalam diri manusia sendiri,152 maka itu berarti bahwa tanda-tanda Tuhan
dapat ditemukan dalam kedua realitas, kosmos dan manusia. Oleh karena
itu, para pemikir muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan terlebih
dahulu atau secara simultan merenungkan tanda-tanda Allah dalam diri
manusia dan dalam alam semesta.
Jika dalam perspektif kosmologi spiritual kosmos dibedakan dalam
dua tataran, yaitu kosmos spiritual (alam ruhani) dan kosmos fisikal (alam
materi), maka dalam dunia manusia (mikrokosmos) ada pula
padanannya, yaitu dua unsur kepribadian manusia, yaitu jiwa (ruhani) dan
badannya. Ruhani manusia membentuk hubungan keserasian dengan
bagian alam spiritual dari kosmos, dan badan manusia membentuk
hubungan keserasian dengan alam fisik kosmos. Sebagaimana yang di
ungkapkan Ibnu ‘Arabi: “Ruh wujud yang besar (makrokosmos) ialah
wujud yang kecil (mikrokosmos) ini. Kalau bukan karenanya (wujud yang
kecil) tidaklah ia (wujud yang besar) berkata, sesungguhnya saya besar
lagi perkasa”
Di tempat yang lain, Ibnu ‘Arabi juga mengatakan:
Bagi orang yang cermat, ada banyak hal di dalam alam semesta,
tapi semuanya saling terkait. Orang dapat menemukan hal serupa
dalam mikrokosmos manusia. Misalnya, dalam hubungan antara
jiwa, yang merupakan khalifah Allah, dan yang lain yang di
tugaskan untuk mengatur. Seperti, rambut serupa dengan hutan,
lalu cairan tubuh –sebagian terasa manis, seperti air ludah;
sebagian pahit, seperti air mata; sebagian lain berbisa, misalnya
lendir- semuanya tak ubahnya air planet ini.
Lebih dari itu, asosiasi-asosiasi yang dapat dibuat dalam hubungan
dengan realitas-realitas itu jauh lebih rumit dan mencakup semuanya,
misalnya keserasian antara format fisik manusia dengan format ruhaninya.
Dengan demikian, sifat-sifat dan karakteristik alam spiritual selaras pula
dengan alam materi, dan dunia jiwa manusia juga selaras dengan
karakteristik fisiknya. Hubungan-hubungan ini tentunya juga akan dengan
sendirinya selaras dengan Tuhan, sebagaimana diungkapkan dalam al-
Qur'an bahwa Dialah yang zahir dan batin. Keselarasan ini menyiratkan
adanya keteraturan di mana saja, dan itulah rancangan besar Allah, yang
mau tidak mau harus dapat disimpulkan memiliki signifikansi yang luar
biasa bagi kehidupan manusia. Allah menciptakan alam semesta dan
kemudian menyempurnakannya, boleh jadi penyempurnaan itu berkaitan
dengan penciptaan manusia yang memiliki kualitas-kualitas Ilahiah dan
kosmologis secara menyeluruh (jam‘iyyah), dan seperti halnya Tuhan,
manusia juga menjadi pusat dalam keteraturan alam semesta. Sachiko
Murata menyimpulkan mengenai ini:
Karena sentralitas dan “sifat serba menyeluruh” (jam‘iyyah) situasi
manusia, maka hanya manusia sajalah yang bisa mengacaukan
harmoni atau keselarasan dan keseimbangan yang secara natural
terjalin antara Allah dan kosmos. Lagi pula, disebabkan oleh situasi
perantara yang mereka miliki, kenyataan bahwa mereka adalah
wakil-wakil Allah, maka hanya manusia sajalah yang bisa menjalin
harmoni dan keseimbangan yang sempurna antara Allah dan
ciptaan (makhluk).
Konsekuensi dari kesimpulan penalaran ini adalah keharusan
manusia untuk mempertahankan keselarasan dalam hubungan-hubungan
kosmologis, di mana ia menjalankan peran sentralnya. Keselarasan yang
pertama kali harus diupayakan adalah keselarasan dalam diri manusia
sendiri, yang mencakup keselarasan dalam struktur ruhaninya yang
merupakan lokus dari segala upayanya. Keselarasan dan juga
keseimbangan ruhani diperlukan, sekurang-kurangnya untuk mewujudkan
superioritas jiwa atau ruhani manusia atas badan, yang dengan sendirinya
akan berarti kekuatan jiwa akan dapat mengendalikan gerakan badan. Jika
dikaitkan dengan bentuk-bentuk hubungan analogis dalam kosmos, yang
berlaku baik dalam dunia fisik maupun dalam dunia ruhani, berupa
hubungan atas-bawah atau hubungan aktif-reseptif, maka dalam diri
manusia ada juga bentuk-bentuk hubungan seperti itu. Hubungan
seperti ini dapat, misalnya, disimpulkan dari sebuah hadis Nabi yang
menyebutkan, “Ada sekerat daging didalam tubuh manusia: Jika ia bersih
dan baik (shaluhat), niscaya seluruh tubuh akan menjadi baik (shalaha).
Jika sekerat daging itu rusak (fasadat), niscaya seluruh tubuh akan rusak
(fasada). Sekerat daging itu adalah hati.”156 Dalam dunia ruhani atau dunia
jiwa manusia, hati dipandang sebagai pusat acuan aktivitas ruhani, yang
oleh Ibnu ‘Arabi disebutkan bahwa “Hati merupakan istana khalifah Allah,
tempat penyimpanan rahasia, dan ia harus pantas dan patut. Ia merupakan
‘peti besi’ tempat penyimpanan catatan rahasia, hukum dan titah sang
khalifah.”
Kembali kepada persoalan fakultas spiritual manusia. Fakultas-
fakultas spiritual mencakup ruh (ar-ruh), akal (al-‘aql), hati (al-qalb),
jiwa (an-nafs), dan hawa nafsu (al-hawa). Deskripsi ini sedikit berbeda
dan sangat rumit, jika dibandingkan dengan pandangan para pemikir
muslim pada biasanya , seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Al-
Kindi, misalnya, menyebutkan tiga daya jiwa, yaitu: (1) daya syahwat atau
seks (al-quwwat as-syahwaniyyah), (2) daya marah atau agresi (al-quwwat
al-ghadabiyyah), dan (3) daya pikir (al-quwwat al-‘aqilah).
Fakultas-fakultas spiritual ini oleh Ibnu ‘Arabi dijelaskan dalam
sebuah struktur, yaitu struktur yang mengikuti analogi struktur kosmologi
dan antropologi spiritual. Struktur spiritual ini, dalam pemikiran Ibnu
‘Arabi -yang mencakup tinjauan kosmologis dan psikologis- dipandang
memiliki keselarasan tertentu dengan struktur fisik manusia yang terdiri
dari, misalnya, kepala, leher, dada, perut, organ pembuangan, paha, betis,
dan kaki. Dalam konteks ini, karya yang paling menarik adalah at-
Tadbirat al-Ilahiyyah fi Islah al-Mamlaka al-Insaniyah. Isi seluruh karya
ini disusun atas dasar The Secret of Secret karya Pseudo Aristoteles yang
berhubungan dengan seni mengatur negara. Dalam buku ini, Ibnu ‘Arabi
mengajarkan kita, bagaimana mengatur tubuh yang dipandang sebagai
kerajaan.158 Spiritualitas atau jiwa manusia, yang mencerminkan sisi batin
Allah, ada juga hubungan-hubungan, korespondensi-korespondensi,
atau analogi-analogi kualitatif, seperti telah dijelaskan di atas. Dengan
demikian ada hubungan-hubungan atas-bawah, aktif-reseptif, keseluruhan-
bagian, kesederhanaan-kemajemukan, dan lain-lain. Rumitnya struktur
kepribadian manusia, baik fisik maupun ruhaninya menjadikan
kesimpulan-kesimpulan para pengkaji bersifat tentatif, dalam arti masih
menyisakan ruang bagi pandangan dan penemuan lainnya, yang mungkin
lebih akurat.
Peran sentral manusia di dalam kosmos, mengandung pengertian
bahwa hanya manusialah yang paling menentukan keserasian sekaligus
kekacauan kosmos. Keserasian dan kekacauan kosmos dapat terwujud
setelah sebelumnya manusia menciptakan atau membangun keselarasan
atau kekacauan dunia spiritual yang ada di dalam dirinya. Dunia spiritual
manusia mencakup beberapa fakultas, yang secara struktural menjalankan
fungsi-fungsi aktif-reseptif dalam aras atas-bawah. Semuanya akan
berjalan serasi jika strukturnya dapat dipertahankan sesuai dengan fitrah
penciptaannya, atau sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis
uraikan dalam bab-bab sebelumnya, yaitu tentang kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi.
Maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, pada tingkatan tertinggi, wujud adalah realitas Tuhan yang
absolut dan tidak terbatas, yakni “Wujud Niscaya“ (wajib al-Wujud) yang
menandakan Esensi Tuhan atau Hakikat (Dzat al-Haqq), satu-satunya realitas
yang nyata di setiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah, wujud
merupakan substansi yang meliputi “segala sesuatu selain Tuhan“ (Ma
Siwaallah,) yang oleh Ibnu ‘Arabi sendiri di definisikan sebagai “kosmos”,
“alam semesta” (al-Alam).
Sebagai Esensi al-Haqq, wujud merupakan dasar dari segala sesuatu
yang tidak dapat ditentukan, namun keberadaan wujud dapat diketahui dari
segala sesuatu yang ada didalam bentuk apa pun. Wujud merupakan realitas
tunggal “yang benar-benar ada itu Allah,” sedangkan alam semesta yang serba
ganda ini hanyalah “wadah manifestasi” (locus of manifestation/mazhhar) dari
tajalli nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang terbatas. Dengan
demikian, hubungan antara Tuhan dan mahluk atau kosmos secara umum,
dalam kosmologi sufi Ibnu ‘Arabi merupakan proses tajalli Tuhan. Dimana
Tuhan, sebagai khazanah yang masih tersembunnyi ingin dikenal dan ingin
melihat citra-Nya melalui alam semesta. Tanpa adanya alam semesta ini,
nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan akan senantiasa
berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula, zat
yang Maha Mutlak itu sendiri akan tetap dalam kesendirian-Nya, tanpa dapat
dikenali oleh siapa pun.
Kedua, manusia dan kosmos adalah serupa, karena masing-masing
diciptakan menurut bentuk Tuhan. Namun, kosmos mencerminkan nama-
nama Tuhan menurut metode yang berbeda (tafshil). Akibatnya, setiap
masing-masing nama Tuhan menampilkan sifat-sifat dan efeknya di dalam
kosmos dengan tunggal atau pada berbagai kombinasi dengan nama-nama atau
kelompok nama lain. Sebaliknya, manusia menunjukkan sifat dan efek semua
nama Tuhan ini dengan mode yang utuh (ijmal). Sifat-sifat dari semua
nama ini terkumpul bersama dan terpusat di dalam setiap diri manusia.
Tuhan menciptakan kosmos menurut segi keragaman nama-Nya, sebaliknya,
Tuhan menciptakan manusia menurut kesatuan nama-Nya. Oleh sebab itu,
dalam mengekspresikan ide ini , Ibnu ‘Arabi memakai istilah “dunia
kecil” dan “dunia besar”. Yaitu, mikrokosmos “dunia kecil” untuk manusia
dan makrokosmos “dunia besar” bagi alam semesta.
Mengenai hubungan antara manusia dan kosmos, Ibnu ‘Arabi
menyebutkan bahwa, manusia sebagai mikrokosmos merupakan realitas batin
dari kosmos, sementara kosmos merupakan bentuk manifestasi lahir bagi
manusia. Sehingga tanpa keberadaan manusia, kosmos sama-sekali tidak
sempurna, sebagaimana ibarat tubuh tanpa keberadaan ruh didalamnya.
Karena hubungan yang organik ini , Ibnu ‘Arabi menyebut manusia
sempurna (yang merefleksikan semua nana-nama dan sifat-sifat Tuhan secara
sempurna) sebagai “Pilar” kosmos.
B. Saran-saran
Setelah melalui proses pembahasan dan kajian dengan tema kosmologi
sufi Ibnu ‘Arabi, kiranya penulis perlu untuk mengemukakan beberapa saran
sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal ini diatas.
Pertama, dalam memahami kosmos sebagai keteraturan dan
keselarasan alam semesta hendaknya kita perlu untuk mencermati bahwa alam
semesta merupakan tanda-tanda (ayat) keberadaan dan kebesaran Tuhan Yang
Maha Esa, serta adanya kesadaran diri bahwa kita (manusia) merupakan
pemimpin atau khalifah yang diberikan tangung jawab oleh Tuhan untuk
menjaga keteraturan itu sendiri. Manusia merupakan miniatur dari kosmos
(mikrokosmos) dan merupakan pilar atau ruh dari kosmos. Dengan demikian
keharmonisan alam dan lingkungan sosial atau kehancuran alam dan
lingkungan sosial adalah tergantung pada kita umat manusia.
Kedua, kajian terhadap kosmologi Islam secara umum dan kosmologi
sufi Ibnu ‘Arabi khususnya merupakan tema yang menarik dan perlu untuk
dilakukan secara mendalam, terlebih dalam era modern seperti sekarang ini.
Maraknya isu-isu tentang krisis ekologis pada masyarakat modern seperti
misalnya, global warming, banjir, longsor dan sederet panjang masalah-
masalah lainya, menunjukkan betapa pentingnya suatu pandangan kosmologis
yang tidak hanya melihat alam secara material saja, sehingga kita bebas dan
leluasa melakukan eksploitasi terhadap alam. Tapi, lebih pada hubungan
relasional antara Tuhan sebagai Sang Pencipta dengan alam sebagai tanda-
tanda (ayat) Tuhan dan manusia sebagai pemimpin atau khalifah yang diberi
amanah oleh Tuhan untuk menjaga dan melestarikan alam semesta beserta
isinya. Sampai disini, perlu rasanya penulis memberikan saran kepada peneliti
yang akan melakukan kajian serupa agar dalam peneltiannya nanti memilih
fokus kajiannya pada isu-isu ekologis yang sedang dihadapi masyarakat
modern saat ini, sehingga hasil penelitiannya ini dapat memeberikan
kontribusi positif kepada masyarakat saat ini.
C. Penutup
Puji syukur penulis ucapkan kepada Sang Khalik Penguasa Alam yang
menguasai segala isi bumi dan langit, serta segala sesuatu yang terhampar
diantaranya (antara bumi dan langit). Karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan semoga tulisan yang sangat
terbatas ini, dapat memberikan suatu pencerahan dan pemahaman yang
bermanfaat sekaligus menambah wacana kita dalam melihat segala realitas
yang dihadirkan Tuhan melaui alam semesta dengan segala isinya, serta
kedalaman batin yang dianugrahkan Tuhan kepada kita (manusia). Sesuai
dengan pembahasan yang diangkat, yaitu Kosmologi Sufi Ibnu ‘Arabi, semoga
dapat memberikan cara pandang yang menyeluruh tentang realitas alam
semesta yang tidak lain merupakan ayat-ayat Tuhan yang diperuntukkan bagi
manusia dalam rangka mengantarkan kita kepada pemahaman tentang
keberadaan Tuhan sekaligus juga sebagai rambu-rambu yang akan
mengantarkan kita kepada kesempurnaan manusia (Insan Kamil). Amin…