gian besar merupakan kota
Tionghoa, Kartawidjaja mulai bersiap melaksanakan ibadah haji di bawah
bimbingan dua sayyid, yang segera dia tinggalkan, sesudah memutuskan
192 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
bahwa pengetahuan dalam buku-bukunya sudah mencukupi.13 Namun,
pada suatu hari, dia menerima sahabatnya Raden Wira Adibrata, putra Wakil
Bupati. Muhammad bukanlah nabi, klaim Adibrata, yang tampaknya sudah
dikristenkan oleh J.L. Zegers (1845–1919) dari Organisasi Misi Belanda
(NZV). Kartawidjaja mengusir Adibrata, namun sesudah merenung dia mulai
bertanya-tanya bagaimana seharusnya orang muslim menerima Perjanjian
Lama dan Baru tanpa pernah membaca keduanya. Atas restu guru Sufi-nya,
dia diberi kutipan-kutipan Injil oleh dua orang Tionghoa setempat. sesudah
membacanya, dia berhenti shalat dan menghadiri misa seorang misionaris
lain, O. van der Brug. Perbuatannya itu mengundang kunjungan gurunya.
Kedua sayyid dan banyak pengikut “Arab” mereka, semua menyatakan bahwa
Kartawidjaja mengkhianati ayah dan kakeknya yang ulama.
Dalam pikiran Kartawidjaja, dia tetaplah muslim isebab tidak dibaptis.
Ini terlepas dari kenyataan bahwa dia memainkan peran sebagai pemeluk baru
yang penuh semangat dan bahkan memainkannya dengan sigap. Dia terlibat
perdebatan dengan para cendekiawan menggunakan Al-Quran terjemahan
bahasa Jawa yang dihasilkan oleh Lange & Co. (Batavia 1858), sebuah karya
yang dia nyatakan “diyakini kebenarannya oleh para cendekiawan Jawa
dan Mekah”.14 Tampaknya Kartawidjaja merasa dirinya dipasrahi sebuah
misi dalam komunitas intelektualnya sendiri, yakni komunitas ulama Jawa.
Komunitas ini secara resmi dia tinggalkan seiring pembaptisannya pada hari
Natal 1899. Istrinya melarikan diri ke rumah seorang syekh Arab dan halaman
rumahnya dipenuhi kerumunan tidak bersahabat selama beberapa waktu.
Selanjutnya, shalat dan kerudung ditekankan dalam komunitas yang para
pemimpinnya ingin menarik batas tegas di sekeliling orang-orang Kristen.
Juga disebarkan kabar bahwa mayat orang-orang murtad tidak akan dishalati.
sesudah melalui berbagai kesulitan, Kartawidjaja pindah ke Pekalongan.
Dalam laporannya dia mencatat perpindahan agama orang-orang Jawa
terkemuka lainnya di Cirebon. Dia akhirnya pindah ke Bangodua pada 1902.
Orang-orang Muslim berusaha membawanya kembali ke dalam jemaah.
Ajakan mereka ditolak dan dijawab dengan khotbah mengenai kemustahilan
naiknya Nabi ke Langit dalam satu malam. Halaman-halaman terakhir laporan
Kartawidjaja (yang bisa jadi merupakan penutup yang ditambahkan oleh para
penerjemah misionaris) diyakini memaparkan alasannya untuk keniscayaan
berpindah agama. Yang paling penting tampaknya yaitu pertemuan agama
Kristen dan modernitas:
Orang-orang Jawa yaitu Mohammedan, santri, dan cendekiawan Islam.
Mereka meniru orang-orang Arab membenci orang-orang Belanda yang Kristen,
yang disebut orang-orang Kafir Nazarine. Dalam buku mengenai ajaran agama
berjudul al-Mufid, orang-orang Mohammedan dilarang mengadopsi pakaian
dan kebiasaan orang-orang Belanda seperti jaket, topi, dasi, sendok, garpu,
PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN — 193
dsb. Tidakkah itu aneh? Belakangan ini semua Mohammedan, bahkan para
cendekiawan dan guru, mengenakan pakaian bermodel Belanda: topi, jas, dasi,
dsb., dan mereka menggunakan garpu dan sendok. Semua orang tidak mematuhi
perintah buku itu. Demikianlah, Tuhan mengajari kaum Mohammedan
bahwa apa yang ada dalam buku-buku mereka bukanlah kehendak-Nya,
melainkan diletakkan di sana oleh orang-orang yang mendapat ilham dari Roh
Kudus. Berbagai persiapan sudah dibuat untuk kaum Mohammedan guna
mendapatkan sedikit pengetahuan; orang-orang Belanda mengajari mereka
sedikit matematika dan menulis dalam aksara Jawa dan Belanda. Pemerintah
menyediakan tenaga pendidik di seluruh Hindia Belanda untuk anak-anak
pribumi. Kita bisa mendapatkan pakaian-pakaian indah, segala jenis perabot
dan dekorasi untuk rumah, beraneka ragam peralatan. Kita memiliki berbagai
mesin; telegraf; kapal uap; rel kereta; emas, perak, dan tembaga, serta uang
kertas. Kita bisa pergi haji ke Mekah dengan mudah. Pemerintah melakukan
itu semua. Semua yaitu bantuan dari orang-orang Kristen untuk kaum
Mohammedan dan semua orang yang hidup di Hindia Belanda. Jika Tuhan
berkenan, kaum Mohammedan akan ... memahami bahwa tidak ada anugerah
... selain melalui orang-orang Belanda.15
Misionaris yang baru tiba C.J. Hoekendijk (1873–1948) pada Maret
1900 dengan penuh kegembiraan menulis bahwa Kartawidjaja, “seorang
lelaki yang cakap dalam hal kitab suci, Koran, bahasa Jawa, bahasa Sunda,
dan bahasa Melayu”, mendesak para ulama agar mengabarkan keselamatan
yang dibawa Perjanjian Baru. Sebulan kemudian, dia mencatat bahwa
Kartawidjaja dan seorang lagi dari kalangan atas yaitu pribumi pertama
yang dikristenkan oleh van der Brug.16 Hoekendijk tampaknya terkesan oleh
hal itu dan menikmati ketidaknyamanan yang timbul akibat kehadirannya di
Indramayu:
saat datang ke kampoeng Arab, saya mendengar suara-suara dari kejauhan:
“Misionaris! Misionaris!” Orang-orang menjauh dari jalan agar tidak tertular
saya, yang lain meludah ke tanah menunjukkan perasaan mereka. Mereka
mencoba membuat istri Kartawidjaja tidak setia. Bagi mereka, Kartawidjaja
sudah kafir, oleh isebab itu bisa diperlakukan sesuka hati. Mereka mengancam
jiwanya berkali-kali, yang setiap kali dia jawab, “Mati untuk Yesus yaitu
kebahagiaan tertinggi; saya tetaplah seorang saksi untuk-Nya.” Di Djati Barang
orang-orang mengancam akan membakar rumah-rumah orang Kristen sehingga
hanya sedikit yang secara terbuka berani menyatakan diri mereka untuk Yesus.
Kartawidjaja dicaci-maki, DOEKAT dipermalukan, dan MAKDOER tidak
diakui oleh saudara-saudaranya.17
Kartawidjaja juga disebutkan dalam beberapa edisi koran metropolitan
yang menyampaikan laporan-laporan Hoekendijk. Pada Juni 1900 dia
dilaporkan menghadiri sebuah debat publik dengan Wedana Jati Barang.18
194 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Dalam debat itu, Kartawidjaja gagal meyakinkan sang Wedana, dan Indramayu
pada akhirnya terbukti menjadi kekecewaan besar bagi misi Belanda.
Meskipun pengkristenan orang-orang Tionghoa terus berlanjut, surat-surat
yang dikirimkan ke Tanah Air semakin sering bicara tentang mustahilnya
mengkristenkan orang-orang pribumi. Para misionaris, orang-orang Arab
setempat, dan anggota pesantren dalam kenyataannya sepakat tentang siapa
yang bisa jadi Kristen dan siapa yang bisa memeluk Islam. Kemudian, mereka
bersepakat mengenai apa itu muslim yang sebenarnya.
IBLIS BANDUNG
Kisah Kartawidjaja menambah bukti mengenai meningkatnya polarisasi
sosial di Jawa pada pengujung abad kesembilan belas, menunjukkan betapa
momok Kristenisasi dan hubungannya dengan modernitas semakin menjadi
sumber kegelisahan. Persis momok inilah yang disebut-sebut saat ketulusan
Snouck sebagai seorang muslim ditantang secara terbuka di luar kalangan
Belanda. Pada 1902 berbagai laporan sampai ke Misbah al-sharq di Kairo
mengenai seorang “qadi pengkhianat” dari Bandung, Hasan Mustafa, yang
“menyebarkan gagasan modernnya yang menolak kebangkitan kembali dan
Hari Kiamat, menyeru kaum Muslim agar meninggalkan shalat fardu”:
Dia mendapatkan jalan untuk menipu orang-orang Muslim dari kalangan
atas yang bodoh dalam hal-hal keislaman sampai mereka cenderung pada
ajaran-ajarannya dan mengikutinya dalam kemurtadannya sebagai sebuah
kelompok .... Dia mengirimkan surat-surat dan para murid ke desa-desa di
sekitar Bandung untuk membuat orang tersesat dari jalan yang benar. Dia telah
dipersiapkan dan ditempatkan di jalur ini oleh seorang Belanda, Dr. Snouck,
yang mengklaim dirinya Islam bernama ‘Abd al-Ghaffar untuk menipu kaum
Muslim dan memperdaya orang-orang bertauhid. Dia yaitu seseorang yang
kata-katanya mendapatkan arti penting sangat besar dalam pemerintah Belanda
dan di kalangan orang-orang besarnya. Dan, dia telah menjelaskan strategi
barunya kepada mereka untuk mencapai tujuan yang sudah lama diharapkan
untuk mengubah agama orang-orang Priangan ... menjadi agama Kristen.19
Menurut sang penulis, Hasan Mustafa telah membantu Snouck di
Mekah sampai dia ditemukan dan diusir, sesudah hanya belajar “sedikit”
ilmu bahasa dan hukum. Dia kemudian diberi pekerjaan dalam pemerintah
sejalan dengan kebijakan untuk menggunakan para pengkhianat yang digaji
besar untuk menyesatkan kaum Muslim setempat. sesudah menjadi qadi di
Aceh dan Bandung, Hasan Mustafa dengan mantap memajukan rencana-
rencana Snouck untuk melakukan Kristenisasi. Berbagai upaya dilakukan
untuk mencopotnya dari jabatannya, dan beberapa bangsawan telah meminta
bantuan Sayyid ‘Utsman. Usaha itu tidak berhasil isebab Sayyid ‘Utsman
PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN — 195
menyatakan dirinya tidak mampu membantu lantaran “kuatnya kepercayaan
pemerintah Belanda kepada qadi ini”.
Ada unsur kebenaran dalam kisah ini. sesudah pengabdiannya yang tidak
menyenangkan di Aceh dan kembali menjadi Penghulu Kepala di Bandung,
sesuatu telah terjadi kepada Hasan Mustafa. Sementara Kartawidjaja memeluk
agama Kristen di Cirebon yang tak jauh dari situ, sekutu Snouck yang
orang Sunda ini tampaknya kembali ke akar Sufi-nya (yang juga akar guru
Kartawidjaja) dan mulai mengajarkan filsafat spekulatif dalam bahasa ibunya.
isebab bahasa Mustafa dianggap sangat sulit dipahami, tidak mengherankan
bahwa orang-orang ‘Alawi setempat gelisah dan mengirimkan keluhan mereka
ke Pers Mesir.
Surat kedua dikirim ke Misbah al-sharq, namun tampaknya tidak
diterbitkan, malah berakhir dengan Hasan Mustafa bersama dengan
korespondensi yang berisi kritikan tajam. Surat kedua ini, “Penolakan
terhadap Iblis Bandung dengan Penegasan atas Yang Mahahidup dan Maha-
abadi”, memerinci serangkaian tuduhan. Di antara kekeliruan-kekeliruan
lainnya, Hasan Mustafa menolak ortodoksi Ghazalian dan mendukung filsafat
Wujudi yang menyangkal sifat-sifat Tuhan. Dia bahkan dituduh menjadi “iblis
berserban” yang menyesatkan sekelompok Sufi. Para Sufi bisa diselamatkan
isebab membatasi pencarian mereka pada pertanyaan mengenai tingkatan-
tingkatan Ketuhanan dan menerima ketetapan yang menjamin makhluk-
Nya. Adapun “kaum materialis” (pseudo-Kristen) yang bidah pengikut Hasan
Mustafa yaitu jenis lain. Dia mengklaim bahwa materi dibentuk dan diberi
nyawa oleh peristiwa-peristiwa acak, bahwa penciptaan makhluk melalui
sesuatu yang disebut “seleksi alam” (al-intikhab al-tabi’i).20
Tampaknya gagasan-gagasan Darwin telah dibaptis isebab asosiasi!
Hasan Mustafa yang jelas-jelas murka menulis bantahan poin-demi-poin dan
mengejek sang penulis anonim sebagai anak muda yang masih hijau dengan
kesombongan yang diberikan oleh pendidikan sekolah desa. Dia memberikan
penjelasan terperinci mengenai keimanan yang benar serta sifat Tuhan
dan makhluk, dan melanjutkan tulisannya dengan menanggapi apa yang
dianggapnya sebagai serangan rasis. Dia mengklaim bahwa sang penulis dengan
sembrono membuat hierarki bahasa-bahasa “sehingga dia berpikir bahwa
bahasa Arab lebih dekat kepada Tuhan ketimbang bahasa Melayu, bahasa
Melayu lebih dekat dibandingkan bahasa Jawa, dan bahasa Jawa lebih dekat
ketimbang bahasa Sunda”. Dia menyimpulkan bahwa apa yang sebenarnya
menjadi keberatan si penulis yaitu perbedaan-perbedaan kultural yang
memecah belah orang-orang Muslim dalam soal-soal seperti praktik tarekat
serta ritual kematian, dan berpendapat bahwa, sesudah semua dipertimbangkan,
perbedaan-perbedaan semacam itu tidak akan pernah teratasi. “Orang Jawa
yaitu orang Jawa, dan orang Sunda yaitu orang Sunda”.21
196 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Snouck dan Hasan Mustafa mengira Sayyid ‘Utsman berada di balik
semua perkara ini. saat didesak oleh kolega Sunda-nya, sang sayyid mengaku
tidak tahu apa-apa, dan berbalik mendesak Hasan Mustafa mengirim bantahan
untuk diterbitkan.22 Kalaupun memang benar terjadi, ini tetap tidak akan
cukup bagi para pencela Hasan Mustafa yang paling bersemangat. Seseorang
yang mengirimkan sebuah surat sangat keji sekitar enam bulan sesudah
kemunculan artikel pertama, bahkan mengklaim telah membandingkan apa
yang sudah ditulis Hasan Mustafa dengan apa yang dijelaskan dalam kitab-
kitab Yahudi, Kristen, dan Majusi,” dan tentu saja tidak menemukan sesuatu
pun yang berharga dalam tulisan-tulisan sang qadi yang disebutnya sebagai
“yang buruk, tercela, terkutuk, dan jahat”.23
Jika di Jawa Barat mulai muncul rasa jengkel dan kegelisahan dengan
perdebatan mengenai Tuhan, makhluk, dan yang modern, kemarahan benar-
benar meledak di Jawa Timur. Snouck kelihatannya tidak pernah mengunjungi
satu pun pesantren terkenal di Sidoarjo. Kawasan ini, atau tepatnya dusun
kecil Gedangan, yaitu panggung bagi pemberontakan yang berantakan pada
Mei 1904. Jika dilihat sekilas, pemberontakan ini sangat mirip Cilegon sekitar
enam belas tahun sebelumnya. Sebuah pemberontakan yang menimbulkan
kepanikan di kalangan Belanda dan deklarasi penuh semangat dari Kairo.
MENGENAI GEDANGAN
Jihad, wahai Muslimin! Jihad, wahai Muslimin! ... [ini yaitu ] revolusi Jawi!24
(al-Liwa’, Agustus 1904)
Saya punya cukup senapan dan senjata dari beragam jenis. Kalau orang-orang
pribumi berusaha memberontak kembali seperti kali terakhir di Gedangan,
saya bisa memasok banyak teman saya dengan senjata-senjata itu.25 (Engelsch
Maleisch-Hollandsch ... Samenspraken en Woordenlijst, sekitar 1910)
Jumat 27 Mei 1904—hari kelahiran Nabi. Sekerumunan lelaki Jawa
berpakaian kain putih mengacung-acungkan beliung, golok, dan lembing,
bergerak menuju sekelompok serdadu Belanda penjaga sebuah jembatan
yang dibantu sekelompok polisi dari Pabrik Gula Sroeni yang terletak tak
jauh dari situ. Para serdadu melepaskan tembakan pertama, barisan terdepan
orang-orang Jawa itu berjatuhan, mati atau sekarat. Banyak yang ditangkap
di tempat, para pemimpinnya ditahan di rumah seorang kiai yang dibunuh di
dekat situ segera sesudah nya.26
Tidak seperti keadaan di Cilegon, serangan ini bukan sepenuhnya
kejutan. Sudah muncul kecurigaan saat Belanda menemukan beberapa surat
yang konon dikirim oleh “Imam Sultan Mahdi”. Surat-surat ini berisi ajakan
bagi orang-orang Jawa untuk membunuh orang-orang Eropa, melembagakan
PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN — 197
hukum Islam, dan menunggu tanda semisal bendera putih dan daun pisang
di lapangan-lapangan. Surat-surat itu juga menunjuk kepada kiai yang
sudah gugur, Hasan Mu’min (1854–1904). Pesantren-pesantren didatangi,
nama-nama para guru dan murid didaftar, dan mata-mata dikirimkan ke
perkumpulan-perkumpulan malam para pemimpin gerombolan. Semua ini,
dan pembunuhan yang diakui atas seorang mata-mata, memastikan bahwa
pasukan Belanda beserta bala bantuan yang bersemangat sudah siap dan
menunggu.
saat berbagai peristiwa terjadi, lebih banyak serdadu dikirim untuk
mengawasi para pekerja pabrik yang sikapnya berubah-ubah dan para
penduduk desa yang marah. Inti permasalahan tetap tidak jelas untuk
beberapa waktu. Timbul pertanyaan: siapa yang memerintahkan tembakan
pertama? Bagaimana Asisten Residen bisa berakhir di selokan bersama
seorang penyerang? Snouck menasihati Gubernur Jenderal yang baru, Van
Heutsz—yang sudah diejeknya secara pribadi sebagai orang yang gila disiplin
dengan sedikit minat pada kebijakan apa pun yang berbau Kristen apalagi
prinsip-prinsip “Etis” yang diusulkan Snouck untuk memajukan orang-orang
Indonesia melalui pendidikan Belanda—Cilegon telah mengajari bahwa
hanya sedikit hal yang bisa diketahui sampai keadaan menjadi tenang.27
Di sisi lain, bicara melalui pers Kairo, seorang koresponden Arab
berusaha menghubungkan urusan terakhir di Jawa dengan apa pun, mulai
bangkitnya Kepang hingga tipu daya Snouck dan Hasan Mustafa, yang sekali
lagi dikutuk sebagai tokoh Kristenisasi dan penyokong materialisme “Naturis”.
Sementara itu, orang yang dituduh sebagai pemimpin kaum materialis
memandang bahwa berbagai peristiwa di Gedangan hanya memiliki sedikit
hubungan yang masuk akal dengan tarekat-tarekat Sufi internasional, meski
pabrik gula setempat telah mengeluarkan sebuah publikasi yang menuduhnya
memiliki kaitan, baik dengan Kairo maupun dengan “Qadiriyyah”. Dalam
pandangan Snouck, berdasar laporan yang dikirimkan oleh wakilnya,
G.A.J. Hazeu (1870–1929), Hasan Mu’min lebih terdorong oleh ramalan-
ramalan milenarian ketimbang ajaran-ajaran tarekat apa pun. Hasan Mu’min
digambarkan orang-orang setempat semula yaitu pedagang alas tenun dengan
pekerjaan sambilan mengobati. Dilahirkan di Magelang, pada mulanya dia
merantau ke Semarang dan Pekalongan, tempat dia bertemu Kiai Krapyak.
Mengingat pesantren Sidosremo musnah terbakar, Hasan Mu’min pergi ke
sebuah pondok di Tirim untuk beberapa lama, kemudian ke sebuah pesantren
di kawasan Sidoarjo yang dipimpin penghulu saat itu. Pernikahan singkatnya
dengan sepupu dan penerus guru ini menjadikannya santri terkemuka.
Dia tidak mengajarkan teks apa pun atau ajaran tarekat dalam arti formal,
namun azimat-azimatnya semakin dihargai oleh para petani, pedagang kecil,
dan nelayan. Seiring berlalunya waktu, kemasyhuran menjadikannya titik
198 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
pusat yang masuk akal bagi orang-orang yang memiliki keluhan. Pada 1903
Kiai Krapyak memberi tahu bahwa dirinya akan memiliki peran dalam sebuah
negara yang segera didirikan oleh sang Mahdi. Dia pun mulai mengharapkan
tempat dalam sejarah.28
Seperti dicatat Hazeu, memang terdapat banyak sekali keluhan
setempat. Keluhan-keluhan itu terentang dari percekcokan keluarga dan
keluhan seorang mantan kepala desa (yang secara mengejek disebut “Pak
Padri”), pajak yang berat, pencemaran sumur isebab pekerjaan pemerintah
untuk Surabaya hingga pemasangan rel kereta api di atas pemakaman muslim.
Hazeu menyatakan bahwa, “sejauh berkaitan dengan para guru agama yang
sebenarnya”, atau orang-orang seperti Hasan Mu’min yang merupakan “para
doekoen desa sederhana yang bisa mengumpulkan lingkaran orang-orang
terampil di sekitar mereka dalam kondisi luar biasa”, pengawasan akan
dibiarkan di tangan polisi biasa, dan militer tidak perlu ikut campur. Zaman
sedang berubah di bawah dampak global kapital terhadap sebuah bangsa yang
sangat membutuhkan pembangunan intelektual dan kewarga an.29
Jika Hazeu memandang peristiwa-peristiwa ini sekadar sebagai
salah satu tanggapan terhadap serangan kapital, pihak-pihak lain melihat
dalam diri Hasan Mu’min sebuah pertanda yang mengingatkan berbagai
konsekuensi atas perlakuan buruk terhadap kaum Muslim. Sebuah surat
yang dikirim kepada Snouck dari Singapura menyebutkan Sidoarjo dalam
kaitannya dengan ketegangan yang meningkat di Riau. sesudah mengunjungi
Tanjung Pinang pada Juni 1904, Haji ‘Abd al-Jabbar dari Sambas menyatakan
“sangat terkejut” oleh perilaku pemerintah di sana:
Belanda sangat buruk memperlakukan orang dan tidak menghargai Islam
.... Seorang kepala kampung bernama Haji Muhammad Tayyib dipecat dari
jabatannya isebab menggelar mawlid di rumahnya hingga pukul 2.00 dini
hari, meskipun rumahnya berada di kampung Melayu yang sangat jauh dari
permukiman Belanda. Sementara itu, orang-orang Belanda bisa melakukan apa
pun yang mereka suka jika berpesta, baik di rumah maupun di ruang dansa,
dengan musik band atau drum dan biola, menari dan membuat kebisingan
lain sembari menyulut petasan hingga larut malam, padahal mereka dekat
masjid tempat orang-orang sedang shalat. Yang lebih [mengejutkan] yaitu
mereka memaksa menanami kuburan orang-orang Muslim sehingga makam-
makamnya hilang, yang dilakukan oleh para tahanan Belanda yang memerintah
negeri ini. Semua muslim di negeri ini, dan negeri-negeri tetangga, sangat
tersinggung. Mereka ingin mengeluh, tapi takut menghadapi kekuasaan.
Mereka pun hanya mengeluh diam-diam. Jadilah itu potensi pemberontakan
melawan pemerintah. Orang-orang selalu menyalahkan para Haji, mengatakan
mereka menghasut orang. Oleh isebab itu, saya menulis kepada Tuan dengan
harapan Paduka Yang Mulia membantu mendiskusikan perilaku dan tindakan
orang-orang Belanda yang tidak patut sehingga Orang-Orang Besar Batavia
PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN — 199
bisa mengeluarkan kebijakan dan memberikan bimbingan yang lebih baik,
agar tidak terjadi kerusuhan dan pemberontakan seperti yang baru saja terjadi
di negeri Jawa, Sidoarjo. isebab Paduka Yang Mulia paling tahu tentang
orang-orang Muslim, meskipun banyak yang tidak melaksanakan semua yang
diwajibkan agama mereka.30
Snouck mendapati sosok Van Heutsz sebagai gubernur jenderal yang
tidak menyukai pandangan-pandangan “liberal”-nya. Nasihatnya mengenai
Gedangan ditolak, sampai-sampai dia berpandangan bahwa dirinya
harus kembali ke Belanda agar punya harapan untuk mengubah budaya
kelembagaan yang bekerja di lapangan. Kekhawatiran ‘Abd al-Jabbar mengenai
ketidakpekaan Belanda saat berurusan dengan praktik keagamaan muslim
memang beralasan. Banyak pejabat yang kemungkinan besar membuat
kesalahan demikian masih harus diyakinkan bahwa pendapat terakhir sudah
disampaikan dalam masalah agama. Salah seorangnya yaitu Konsul Jeddah,
C.C.M. Henny (l. 1856). Henny bukanlah penyuka Snouck dan menilai
Afair Gedangan tak lain hanyalah manifestasi terakhir dari gerakan royalis
yang terbatas dan sebuah identitas “nasional” yang diterakan oleh “sang guru
Sufi”.31
sesudah menyimpulkan bahwa tidaklah adil menyalahkan pabrik gula
dalam peristiwa-peristiwa di Sidoarjo, Henny menyatakan bahwa para Sufi
Asia Tenggara terus menggunakan hubungan mereka dengan para aristokrat
lokal untuk mendorong perlawanan terhadap pemerintah pendudukan yang
mana pun. Selain itu, dia mengkhawatirkan potensi pengaruh “nasional”
(yakni pan-Jawi) para pemimpin Syattariyyah di Patani yang memiliki
hubungan dengan Mekah (sudah terjadi pemberontakan di Siam pada 1902),
dengan menyebut kesamaan berbagai contoh Buddhisme chauvinistik di
Siam dan Jepang.
Di sini kita mendapati sebuah tarekat utama, meski tidak sepenuhnya, terbatas
pada ras Melayu sehingga secara khas berciri NASIONAL. Berkedudukan di
negara bawahan yang jauh dari Mekah, terletak di perbatasan kerajaan Buddha,
dihuni bangsa yang berhubungan dengan orang-orang Jepang yang menjadi
teladan yang dihormati dengan kekaguman simpatik oleh semua bangsa
Oriental; sebuah tarekat yang akhirnya memperoleh simpati para pejabat
pribumi.
Henny kemudian mengklaim bahwa Belanda “sama sekali tidak
melakukan apa pun” untuk mempelajari sekte-sekte lokal di wilayah-wilayah
seberang laut mereka. “Tak ada yang akan memberi kebahagiaan lebih besar
kepada saya,” ungkap sang konsul yang tak banyak membaca itu, “ketimbang
memiliki kesempatan untuk melaksanakan studi ini selama beberapa bulan di
perpustakaan Den Haag.”32
200 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Meski Henny tidak pernah mendapatkan cuti panjang yang dia
harapkan, suratnya mengantarkan kita ke sebuah babak baru dalam kisah
ini: yakni kembalinya Snouck ke Belanda pada 1906 dan peran mengawasi
pendidikan generasi baru para pejabat-cendekiawan. Meski para pejabat baru
ini terutama masih akan sibuk dengan urusan-urusan hukum dan legislasi
dalam kerja sehari-hari mereka di kalangan orang-orang Muslim, gigi filologis
mereka akan diuji coba pada manuskrip-manuskrip yang sering kali berupa
manuskrip mistis. Dalam proses pendidikan ini, Sufisme tarekat sebenarnya
dianggap sebagai keprihatinan masa lalu untuk kelas-kelas pejabat dan sebagai
bentuk keagamaan kuno yang harus diarahkan menuju keimanan pribadi
yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman modern. Dalam usaha ini, para
pejabat-cendekiawan Belanda, pendeta, dan muslim pembaharu lebih sering
bersepakat dibandingkan yang akan diakui oleh historiografi nasionalis
modern.
Dalam perannya sebagai mufti tak resmi bagi Hindia Belanda yang tak dapat
disangkal keislamannya, Snouck dipandang sebagai pelayan bagi negara dan
Islam sekaligus. Pelayanan semacam itu (dan sikap pilih kasih yang diduga
diterimanya) membuat jengkel para misionaris yang semula memberikan data
etnografis dan sambutan hangat kepada sang cendekiawan itu. Pastinya hal-
hal itu juga melukai perasaan orang-orang Muslim yang tidak secara langsung
menerima keuntungan dari kebijakan-kebijakannya, terutama mereka yang
berminat untuk menjalin hubungan dengan Imperium Utsmani dan terbitan-
terbitan berkalanya. Untuk tujuan ini , ironis bahwa serangan mereka
yang berorientasi global kepada Snouck dibingkai dalam kerangka menjaga
batas-batas praktik Sufi yang diyakini dilanggar oleh Hasan Mustafa. Selain
itu, sementara para misionaris menganggap Snouck sedang mengislamkan
Jawa, sebagian orang Arab khawatir proyeknya ditujukan untuk melapangkan
jalan agama Kristen. Apa pun beragam sudut pandang yang bermain, semua
orang sekali lagi diingatkan oleh kejutan yang tak dikehendaki di Gedangan.
B A G I A N E M PAT
MASA LALU SUFI,
MASA DEPAN
MODERN
berdasar hubungan yang akrab dengan orang-orang Jawa dan kerabat
mereka, saya sangat yakin bahwa mungkin ada sebuah kompromi antara Islam
dan humanisme di Indonesië dan, berdasar pengamatan terkini, saya tidak
berani menyangkal adanya kemungkinan yang sama untuk Turki dan Mesir.1
(Snouck kepada Nöldeke, Juni 1909)
Tiga bab terakhir mengamati Snouck yang tengah bekerja di Belanda, Arabia, dan Hindia, serta memberikan ulasan mengenai berbagai kritik dan intervensinya. berdasar pembacaan atas laporan-laporan
misionaris, Snouck mempertanyakan nilai teks-teks yang dihasilkan para rival
metropolitannya yang berorientasi yuridis, dan dia bertekad untuk memimpin
dengan teladan, dari lapangan, sebuah usaha mengubah orientasi Islamologi
sehingga bisa bermanfaat secara langsung bagi negara. Sejak saat itu, otoritas
kolonial memiliki seorang cendekiawan yang bisa mereka manfaatkan, yang
bisa memberikan jembatan menuju berbagai tempat dan orang yang dulu
dibayangkan berada di luar kemungkinan penyelidikan terperinci. Yang sangat
penting yaitu perumusannya kembali terhadap posisi tarekat-tarekat Sufi
dalam warga Hindia isebab hal ini memberinya kontak berharga dengan
para kritikus yang berpikiran sama terhadap praktik rakyat di kalangan elite
muslim, yang melihat adanya keuntungan dalam kerja sama dengan negara
yang mengakui mereka sebagai kekuatan untuk pemerintahan yang efektif.
Namun, pelayaran tidak selalu mulus bagi sang Orientalis ternama ini. Pada
akhir masa jabatannya di Hindia, Snouck menghadapi kritik dari kelompok
muslim muda yang berorientasi pada ibu kota intelektual baru. Barangkali
yang lebih buruk baginya, kian banyak pejabat Belanda yang tidak menyukai
apa yang mereka anggap sebagai kebijakan-kebijakan yang terlalu memberi
hati yang mereka khawatirkan berpotensi menciptakan kesetaraan sosial
antara orang-orang Eropa dan pribumi.
Hingga Snouck Hurgronje meninggalkan Hindia Belanda pada 1906, di
negeri ini tak ada sesuatu pun yang diketahui mengenai reformisme atau
modernisme, gerakan-gerakan keagamaan yang lebih baru dalam Islam. Selama
tinggal di Indonesia selama tujuh belas tahun, Snouck Hurgronje mengenal
Islam sebagaimana agama ini disampaikan oleh nenek moyang. Tak satu
pun dalam tulisan-tulisannya dari periode itu bisa ditemukan jejak mengenai
fenomena keagamaan pada masa-masa yang lebih baru.1
Demikian ditulis G.F. Pijper (1893–1988), salah seorang administrator kolonial terakhir yang dididik oleh Snouck Hurgronje, dan seorang cendekiawan
yang dikenal (seperti yang diharapkannya) isebab minatnya terhadap reformisme
dan dampaknya terhadap Hindia. Namun, meski reformisme Salafi Muhammad
‘Abduh (1849–1905) dan Muhammad Rasyid Rida (1865–1935) dari Kairo—
demikian gerakan ini dikenal isebab diklaim oleh mereka meniru praktik “para
leluhur saleh” (al-salaf al-salih) yang terbukti sahih—tetap memasuki warga
Hindia saat ‘Abd al-Ghaffar meninggalkan Batavia, kita menjadi tahu bahwa
saat gerakan ini mencapai Nusantara nyatanya punya tujuan yang sama
dengan gerakan yang sudah berlangsung di Asia Tenggara. Snouck bisa jadi tidak
merujuk modernisme Kairo dengan begitu banyak kata tapi, seperti yang akan
ditunjukkan bab-bab berikut. Dia dan para pembantunya telah membuka pintu
bagi penafsiran modernis terhadap Islam. Untuk memahami sampai pada titik ini,
kita perlu melangkah mundur dalam waktu dan ruang untuk melihat perspektif
yang lebih luas mengenai negeri-negeri Jawi.
AHMAD AL-FATANI DAN AHMAD KHATIB AL-MINANKABAWI
MENGENAI TAREKAT
Pada awal abad kedua puluh, karya-karya tercetak sudah selama beberapa
dekade menyediakan akses untuk menjangkau ajaran Islam. Sejauh itu tentu
S E P U L U H
DARI SUFISME KE SALAFISME
1 9 0 5 – 1 9 1 1
204 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
sudah jelas. Namun, publik muslim belum memiliki sarana untuk turut serta
dalam perdebatan-perdebatan keagamaan. Ini akan terus berlanjut hingga
khalayak yang terbiasa dengan seni cetak mengembangkan minat yang kuat
pada surat kabar. Sampai saat itu, dan meski mereka sendiri memainkan peran
dalam menciptakan publik pembaca, para Sufi dari tarekat-tarekat populer
dikritik oleh para lawan elite mereka sebagai korban ketololan, musuh
potensial bagi keamanan publik, dan orang-orang desa polos yang menjadi
gila isebab gairah.
Masih bisa dipertanyakan apakah kritik-kritik ini membuat khawatir
para syekh Sufi yang tetap sibuk mengajarkan pengetahuan secara pribadi dan
memberikan ijazah-ijazah yang sangat penting untuk transmisi lebih lanjut
pengetahuan tarekat dengan ujung pena mereka. Pengawasan ortodoksi
Sufi yaitu persoalan internal, dan para syekh di Mekah tetap merupakan
penentu akhir, baik bagi para raja maupun orang-orang awam. Salah satu
otoritas semacam itu yaitu pencetak Mekah Ahmad al-Fatani (1856–1908),
sama terkenalnya di daratan utama Asia Tenggara seperti halnya Nawawi
Banten di kepulauan. Pada 1905 al-Fatani menerima permohonan dari Raja
Muhammad IV di Kelantan, sebuah negara Melayu yang saat itu di bawah
kendali Siam. Dalam suratnya, Raja Kelantan meminta pendapat mengenai
apa yang diyakini sebagai praktik sebuah tarekat Sufi yang gurunya baru saja
tiba di kawasan ini dan telah mengumpulkan beberapa murid di Kota
Bharu.2
Guru yang dimaksud yaitu seorang Minangkabau Semenanjung
bernama Muhammad Sa‘id b. Jamal al-Din al-Linggi (alias Cik ‘Id, 1875–
1926). Cik ‘Id yaitu murid orang Mesir, Muhammad al-Dandarawi
(1839–1911), juga murid orang Sunda Ibrahim al-Duwayhi (1813–74),
dan mengikuti tradisi yang diciptakan oleh orang Maroko Ahmad b. Idris
(1750–1837). Sebenarnya al-Duwayhi telah memantapkan dirinya di Mesir
sebelum pindah ke Mekah pada 1855 untuk membangun pondoknya sendiri
di Jabal Abi Qubays. Di sana dia menyedot perhatian para calon Sufi yang
berdatangan dari seluruh penjuru, termasuk Melayu.3
Ternyata, Ahmadiyyah, demikian tarekat ini dikenal, telah dikenalkan
ke Kelantan pada 1870 oleh ‘Abd al-Samad b. Muhammad Salih (alias Tuan
Tabal, 1850–91), yang mewakili penafsiran sadar terhadap ajaran-ajaran
Idrisi. Persoalannya agak berbeda dengan Cik ‘Id, yang lebih menyukai
penafsiran mabuk dan populis al-Dandarawi, meski telah belajar di Mekah di
bawah bimbingan ulama yang tenang seperti Zayn al-Din Sumbawa, Nawawi
Banten, Ahmad Khatib al-Minankabawi, dan Ahmad al-Fatani.
Dalam permohonannya, Muhammad IV bertanya kepada Ahmad al-
Fatani mengenai keabsahan perkumpulan yang menempatkan lelaki dan
perempuan dari segala usia berkumpul bersama. Sang penguasa itu terutama
DARI SUFISME KE SALAFISME — 205
prihatin dengan berbagai visi mabuk yang dilaporkan oleh para pengikut
muda yang tersedot dalam ketidaksadaran diri isebab “terpesona” atau
“tertarik” oleh kehadiran Ilahiah (jadhba). Dalam mukadimah fatwanya,
yang sangat mungkin diselesaikan pada 1906, al-Fatani mengakui bahwa
dia pernah “masuk” Ahmadiyyah, namun mengakui bahwa pengalaman
“ketertarikan”-nya berbeda dari penggambaran sang raja. Oleh isebab itu,
apa yang diuraikan sesudah nya berasal dari pembacaannya yang luas terhadap
“kata-kata para Sufi” dari sudut pandang seorang dalam.4
Fatwa yang dihasilkan, yang agak panjang, tidak mengutuk tarekat ini ,
namun menawarkan penjelasan mengenai berbagai jenis “ketertarikan” yang
mungkin sebagiannya berdasar tulisan-tulisan Muhammad Abi l-Wahhab
al-Syadhili dan guru al-Sya‘rani, ‘Ali al-Khawass. Jenis-jenis ini terentang dari
keadaan keliru hingga momen-momen ekstase sejati yang dialami oleh seorang
“pejalan” sejati di jalan makrifat. Ini yaitu sebuah penjelasan klasik, namun
gambaran-gambaran al-Fatani bisa jadi sangat modern, seperti saat dia
menyerupakan pengalaman ketertarikan Ilahiah dengan bepergian naik kereta
yang melaju. Pastinya, kriteria utama untuk sebuah pengalaman sejati tetaplah,
seperti bisa diduga, pengetahuan mengenai hukum sebagaimana teladan sang
syekh. Bahkan, al-Fatani mengakui bahwa beberapa orang berbohong dengan
mengklaim mendapatkan visi untuk meruntuhkan guru mereka, dan dia
menekankan bahwa akses terhadap pengalaman esoteris sejati harus dibatasi
dan tidak dikomunikasikan kepada orang-orang yang tidak tahu.5
Al-Fatani juga mencatat sudah menjawab berbagai permohonan fatwa
mengenai praksis Sufi dari bagian-bagian lain Siam dan Perak, tempat orang-
orang yang tidak tahu diduga memasukkan berbagai praktik pra-Islam ke
ritual. Kritik-kritik demikian membuat dia sejajar dengan Sayyid ‘Utsman.
Di sisi lain, al-Fatani juga bersikap kritis terhadap para syekh Hadrami
yang tak disebut namanya, yang mendorong “gerakan ke sana kemari” dan
“lambaian tangan” oleh “orang-orang Jawa bodoh dan orang-orang awam
Melayu” yang menghadiri pembacaan puisi pujian yang dipimpin para syekh.
Akhirnya, al-Fatani menyiratkan bahwa tarekat yang dimaksud di Kelantan
bisa dinyatakan sahih, mengingat gurunya mengklaim sebuah kaitan dengan
Sidi Muhammad Salih dan Ahmad al-Dandarawi. Dia jelas menganut aliran
pemikiran bahwa tarekat bisa dianggap sesuai dengan ortodoksi. Sebagai
penutup, dia menegaskan bahwa pengetahuan mengenai ilmu-ilmu Islam
yang penting, baik lahir maupun batin, haruslah dituntut selain pengetahuan
(modern) tentang dunia. Dengan kombinasi pembelajaran inilah semua
muslim bisa “membela dan mengangkat kedaulatan Islam”.6
Akan namun , terdapat suara-suara Jawi lainnya di Mekah yang tidak
terlalu memberi hati pada golongan mabuk di Asia Tenggara. Barangkali yang
paling lantang yaitu Ahmad Khatib al-Minankabawi, yang dimintai putusan
206 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
dalam kasus masjid Palembang pada 1893. Dia mencela para syekh Sumatra
Barat. Ahmad Khatib lahir di Kota Gadang dan terkenal sebagai pembuat
onar pada masa mudanya. Dia berbakat dan ambisius. Kedatangannya ke
Mekah bersama adik sepupunya, Muhammad Tahir Jalal al-Din (1869–
1956), menjadi awal karier masyhurnya. Menurut sejarawan Jeddah ‘Abd al-
Jabbar, kakek Ahmad Khatib yaitu seorang pemukim Salafi dari Hijaz selama
pendudukan Wahhabi yang pertama, dan ditunjuk sebagai khatib di masjid
Kota Gadang.7 Naik daunnya Ahmad Khatib sebagai seorang cendekiawan
kemungkinan besar bermula pada akhir 1880-an, menyusul sebuah
pernikahan yang menguntungkan dengan putri sahabat karib Syarif ‘Awn al-
Rafiq. Dia tidak menarik perhatian Snouck hingga 1893 saat dia dimintai
putusan dalam kasus masjid Palembang. Ahmad Khatib menyibukkan diri
dengan mengutuk sistem waris tradisional di Sumatra Barat. Barangkali dia
terkenal isebab polemik-polemiknya menentang Khalidiyyah, yang mulai dia
tulis sekitar masa yang sama saat al-Fatani menanggapi Muhammad IV;
yang mungkin hanya berjarak beberapa ratus meter darinya.
Seperti al-Fatani, al-Minankabawi menulis sebagai tanggapan atas
sebuah pertanyaan dari salah seorang muridnya mengenai sebuah tarekat
yang aktif di kampung halaman “Jawi” sang murid. Tidak seperti fatwa al-
Fatani, tanggapan Ahmad Khatib yang jauh lebih panjang tidak disimpan
dekat dengan pusat istana.8 Sebaliknya, Izhar zaghl al-kadhibin (Penjelasan
tentang Pemalsuan para Pendusta) karyanya dicetak di Padang pada Juni 1906
disertai sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh para mufti Mekah Ba Busayl,
‘Abd al-Karim Daghistani, dan Syu‘ayb b. ‘Abd al-Karim al-Maghribi, dan
dengan dukungan sekelompok ulama lokal.9
Buku ini menimbulkan badai di kalangan pengikut Khalidi
setempat. Di dalamnya, Ahmad Khatib mengkritik tajam Mawlana Khalid
isebab mengenalkan berbagai inovasi bidah, terutama rabita. Untuk
mendukung pernyataannya, dia menggunakan kumpulan hadis Nabi dan
tafsir Al-Quran, termasuk karya Syihab al-Din Mahmud al-Alusi (sekitar
1802–sekitar 1853). Dia juga memanfaatkan teks-teks otoritatif karya para
Sufi terdahulu dan berbagai buku panduan kaum Naqsyabandi yang lebih
baru. Sumber itu meliputi buku-buku al-Suhrawardi dan al-Kumushkhanawi,
dan sebuah teks yang disebutnya Fath al-rahman pada tarekat Naqsyabandiyya
dan Qadiriyya, yang sebenarnya yaitu Fath al-‘arifin karya Ahmad Khatib
dari Sambas. Namun, Ahmad Khatib yang ini menegaskan bahwa meski
buku-buku panduan ini menyajikan beberapa gagasan, bersamanya
ada pernyataan-pernyataan lain yang membuat rancu berbagai inovasi para
guru belakangan dengan praktik ritual, mengambil otoritas mazhab-mazhab
yuridis, dan mengklaim bahwa tarekat mereka sendiri memiliki hak untuk
ditiru tanpa pertanyaan.10
DARI SUFISME KE SALAFISME — 207
Ahmad Khatib menggunakan teks-teks ini sebagai tongkat retoris
untuk memukul para syekh yang (dia dengan susah payah menekankan)
pernah dia lihat di Mekah. isebab , di sanalah para calon wakil Sufi negeri-
negeri Jawi berkumpul untuk membeli ijazah-ijazah yang dibutuhkan untuk
menyedot keuntungan apa pun yang mereka bisa dari bangsa-bangsa Asia
Tenggara yang mudah percaya dan kaya; meski sejauh yang bisa dia katakan,
baik ijazah maupun perilaku mereka tidak sejalan dengan buku-buku panduan
mereka sendiri. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak bisa disandingkan
dengan para guru Sufisme sejati, termasuk orang-orang Naqsyabandi asli,
yang tarekatnya telah begitu direndahkan oleh para syekh seperti Sulayman
Afandi yang salah menafsiri Al-Quran dan karya-karya para Sufi terhormat,
seperti al-Sya‘rani.11
Jadi, tampaknya Ahmad Khatib mau menerima gagasan tentang tarekat
Sufi yang benar-benar terhormat, asalkan sesuai dengan praktik yang terbukti
kesahihannya dan sifat-sifat Tuhan tidak dihubungkan dengan Nabi atau
para wali. Dia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak menolak bahasa kaum
Sufi, namun hanya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya dan menjelaskan tindakan-tindakan serta silsilah-silsilah mana
yang benar-benar sampai ke Nabi. Dia bahkan mengulangi lagi pandangan
umumnya menjelang akhir karya ini saat dia secara eksplisit menyangkal
memiliki keberatan apa pun terhadap tarekat para Sufi yang sepenuhnya
sesuai dengan Syari‘ah.12 Dengan demikian, pendekatan Ahmad Khatib harus
dipandang sebagai satu lagi kritik elite yang menghargai nama-nama besar dari
masa lalu. Dia juga sama sekali bukan penganut Wahhabiyyah. Dalam hal ini
dia bisa disejajarkan dengan para cendekiawan Bagdad dan Damaskus yang
juga menjembatani kesenjangan antara reformisme Sufi dan “modernisme”
rasionalis yang secara retrospektif dilabeli sebagai Wahhabisme.13
Begitu pula keajaiban, meski jelas berada di luar jangkauan para
penjual minyak ular yang dibiarkan berjaya di bawah Sultan ‘Abd al-Hamid,
tidak dinafikan. Hal-hal demikian hanyalah milik masa lalu sebagaimana
kepercayaan terhadap kebenaran Isra Mikraj dan keberadaan Malaikat.
Sebenarnya gagasan yang sangat mirip diungkapkan oleh Zayn al-Din al-
Sumbawi sekitar dua dekade sebelumnya saat dia membela keabsahan
Isra Mikraj sebagai argumen menentang klaim para Sufi (yang tak disebut
namanya) yang menyatakan bahwa mereka telah melihat Tuhan.14
Di sisi lain, juga terdapat sosok-sosok yang sangat dihormati yang
mengukuhkan berbagai inovasi Naqsyabandi seperti keyakinan akan adanya
latifa, atau titik-titik pusat pada badan. Di antara mereka yaitu Muhammad
Salih al-Zawawi, yang menulis panduan singkat mengenai Mazhariyyah
sewaktu mengunjungi Riau pada 1880-an dan dicetak oleh Percetakan
Ahmadiyyah pada 1895.15 Pasca-wafatnya Muhammad Salih, putranya tetap
208 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
diasingkan di Jawi menyusul perselisihan dengan pelindung Ahmad Khatib,
‘Awn al-Rafiq, pada 1893. Bagaimanapun, orang-orang Khalidi Sumatra tidak
tinggal diam menerima risalah Ahmad Khatib. Berbagai deklarasi dikeluarkan
menuduh murtad orang Jawi yang berbasis di Mekah itu, dan Muhammad
Sa‘d Mungka dari Payakumbuh (1857–1912) menuduh bahwa Ahmad
Khatib telah menghina para wali dalam karyanya Irgham unuf al-muta‘anitin
(Memotong Hidung Orang-Orang yang Menjengkelkan).16 Kemudian, seorang
Khalidi yang lain, ‘Abdallah b. ‘Abdallah dari Tanah Darat, mengirimkan surat
pribadi berisi peringatan kepada Ahmad Khatib.
Datangnya risalah maupun ejekan pada 1907 berdampak pada
terdorongnya sang “Imam Mazhab Syafi‘i” itu mengambil tindakan lebih
jauh. Pada September Ahmad Khatib merancang sebuah bantahan terhadap
Muhammad Sa’d, al-Ayat al-bayyinat lil-munsifin (Tanda-Tanda yang Jelas
bagi Orang-Orang yang Saleh), diikuti pada Desember oleh risalah lebih
pendek meski sama tajam yang berjudul al-Sayf al-battar (Pedang yang
Tajam). Keduanya diterbitkan di Kairo pada 1908 bersama dengan cetakan
ulang Izhar zaghl al-kadhibin, yang didanai oleh warisan Ahmad al-Saqqaf,
mendiang dermawan Singapura dan mufti Mekah, yang patronasenya
memiliki legitimasi tertentu isebab pengarang keduanya direncanakan untuk
mengatasi semua bantahan yang mungkin dari Hindia.17
Barangkali sekadar bobot argumennya dipadukan dengan volume
kutipan yang dinukil, diperhitungkan untuk menguasai khalayak yang
dinyatakan Ahmad Khatib benar-benar tak berdaya dalam cengkeraman para
guru dan dengan bersikeras tidak mau meninggalkan berbagai tradisi nenek
moyang yang mereka hargai. sesudah menyatakan kembali sikapnya dalam
Ayat al-bayyinat mengenai persoalan berbagai inovasi yang diperkenalkan oleh
orang-orang Khalidi penipu semacam Sulayman Afandi dan Khalil Pasha,
Ahmad Khatib menyatakan bahwa dunia sudah tidak lagi memiliki mistikus
dengan wawasan yang benar sejak abad keempat Hijriah. Dalam Sayf al-battar-
nya, dia memberikan refleksi mengenai bahaya saling menuduh murtad yang
berlebihan di antara ulama. Ahmad Khatib jelas ingat perang yang membawa
Belanda ke Dataran Tinggi Padang. Dia menyebut lawan Khalidi-nya sebagai
perwakilan gerakan musyrik yang bertujuan mendapat keuntungan pribadi.18
Masih ada lagi. Di halaman-halaman terakhir Sayf al-battar, Ahmad
Khatib memberikan alasan-alasan pribadi bagi kekuatan perasaannya,
mengklaim bahwa “selama bertahun-tahun” dia sudah mencari orang-
orang makrifat, menjadikan dirinya “budak” saat dia mengikuti program-
program mereka. Namun, dia mendapati mereka tak lebih dari “para penipu
yang menjual agama demi dunia, mencari penghidupan menggunakan nama
tarekat”.19 Dan, dia punya kejutan lain untuk para penipu Padang:
DARI SUFISME KE SALAFISME — 209
[Seandainya aku mendapati keadaannya] sesuai dengan hasrat rendah kalian,
kalian akan memuji tanggapanku siang dan malam, menjunjungnya di atas
kepala. [Namun, keadaannya tidak demikian] sehingga sekelompok orang
dari kalian meminta bantuan Habib ‘Utsman Batavia yang terpelajar untuk
menanggapi Izhar isebab ingin mendapat bantuan yang kuat bagi berbagai
inovasi kalian. Sayyid ‘Utsman pun menjawab dengan menyatakan bahwa
kebenaran yang sejalan dengan Syari‘ah tidak bisa disalahkan. Dia juga
mengatakan bahwa kalian tidak seharusnya menganggap kekeliruan tindakan
kami dalam persoalan Syari‘ah akan menjadi penyebab permusuhan. isebab ,
tujuan kami tiada lain hanyalah untuk menyatakan kebenaran .... Bukanlah
niat kami untuk terlibat dalam persaingan dan permusuhan memperebutkan
nafsu rendah sebagaimana yang kalian pikir. Jawaban Habib ‘Utsman yang
mulia sudah sampai kepadaku. Jawaban itu yaitu perkataan seorang lelaki
yang hatinya disucikan Tuhan dari nafsu-nafsu rendah.20
Ternyata, sekelompok Naqsyabandi dari Bukit Tinggi memang menulis
surat meminta Sayyid ‘Utsman untuk menulis bantahan terhadap polemik dari
seorang lelaki yang mereka klaim didorong semata-mata oleh rasa cemburu.
Mereka bermaksud mengirimkan bantahan ini kepada “para komandan”
Belanda di Pesisir Sumatra Barat.21 Mereka pastinya kecewa saat Sayyid
‘Utsman menjawab secara sangat diplomatis, mengakui dirinya mengetahui
buku Ahmad Khatib dan merujuk pada Watsiqa karyanya yang dia kirimkan
kepada mereka. sesudah mengakui prinsip-prinsip persaudaraan dalam
Islam dan perlunya meminta nasihat, dia mulai membahas persoalannya,
dengan terus-menerus merujuk pada karyanya sendiri. Dia menegaskan
bahwa Naqsyabandiyyah sejati yaitu sebuah tarekat terhormat dan bahwa
merupakan sebuah dosa besar mencaci maki para anggotanya jika mereka
benar-benar mengikuti ajaran-ajaran aslinya. Namun, peniruan semacam
itu sulit dilakukan, barangkali terlalu sulit bagi banyak orang yang berusaha
“menahan nafsu-nafsu rendah mereka”. Dan, dia melanjutkan:
... isebab alasan ini, berabad-abad telah berlalu yang tak seorang pun di
Melayu atau Jawa cukup berani mengaku sebagai pengikut Naqsyabandiyyah.
Padahal, orang-orang dari masa lalu lebih terpelajar, lebih taat terhadap Islam,
dan lebih menghormati praktik-praktik keagamaan. Hanya orang-orang
belakangan ini, sekitar lima puluh tahun ini, berani mengaku sebagai orang-
orang Naqsyabandiyyah meski tanpa sepenuhnya mematuhi syarat-syaratnya.
Jika persaudaraan mampu mengikuti semua persyaratan Sufi yang disebutkan
dalam bagian pertama Wathiqa al-wafiya, puji dan syukur milik Allah untuk
dukungannya, mengingat persyaratan-persyaratan ini maka persaudaraan
yaitu persaudaraan penyangkalan dunia, sedikit berhubungan dengan
dunia atau hasrat apa pun terhadap pujian atau kedudukan di atas orang-
orang, ataupun hasrat untuk membuat masalah, gangguan, atau kekacauan
di negeri ini. Semua itu yaitu berkah yang diperoleh melalui pengamalan
210 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
tarekat sebagaimana dijelaskan dalam bagian pertama Wathiqa al-wafiya.
Oleh isebab itu, kami mempersembahkan buku ini kepada persaudaraan agar
bisa dipelajari dan syarat-syarat tarekat yang disebutkan di dalamnya dapat
diikuti sejalan dengan teks-teks para ulama Syari‘ah dan tarekat .... [Hanyalah]
Naqsyabandiyyah yang tidak lengkap dalam syarat-syaratnya, sebagaimana
dinyatakan dalam bagian ketiga Wathiqa al-wafiya. Syarat yang ditolak para
ulama Syari‘ah dan tarekat, terutama para guru masa kini yang memasukkan
segala macam tambahan dalam bentuk berbagai inovasi seperti yang disebutkan
dalam bagian keempat Wathiqa al-wafiya. Dengan demikian, penolakan
Ahmad Khatib terhadap semua ini sama seperti penolakan para ulama Syari‘ah,
hakekat, dan tarekat, yang oleh isebab itu tidak bisa dianggap sebagai hinaan
atau fitnahan. Sebenarnya melakukan dzikr kepada Allah Yang Mahakuasa dan
memperoleh ijazah untuk ber-dzikr sesuai dengan Sunah tidak bisa dikutuk.22
Dengan demikian, tampaknya orang-orang Khalidi Padang, yang
pastinya naif isebab mengharapkan bantuan dari lawan kuno mereka, secara
tak disengaja menghubungkan sang sayyid tua di Batavia dengan orang
Minang yang lebih muda di Mekah. Sebenarnya lelaki yang lebih muda ini
bisa dibilang mendapatkan wibawa. Sementara itu, banyak salinan tanggapan
‘Utsman segera dikirimkan kembali oleh seorang pejabat setempat dengan
permintaan agar ditulis ulang dalam bahasa yang lebih sederhana untuk
warganya. Jelas bahwa terlepas dari persetujuan sang sayyid, karya-karya
Ahmad Khatib terbukti memiliki dampak yang menentukan di Sumatra
Barat.23
KEMUNCULAN DAN ARTI PENTING AL-IMAM
Terlepas dari apa yang mungkin mereka katakan dalam karya-karya tercetak,
para pengklaim ortodoksi Mekah terkini terhubung dengan sebuah tradisi
panjang kritisisme terhadap Sufisme mabuk. Kita mendengar hal ini dalam
tanggapan-tanggapan terhadap permohonan fatwa mereka, namun kita belum
mendengar suara publik muslim modern. Namun, masa itu sudah dekat
bagi para pembaca yang mulai terlibat dengan sekumpulan surat kabar
muslim baru yang diterbitkan di Singapura. Meskipun Ahmad Khatib konon
mengizinkan murid-muridnya membaca tulisan-tulisan Muhammad ‘Abduh
yang diterbitkan di Kairo, diyakini bahwa corong Melayu pertama bagi
gagasan-gagasan “modernis” yaitu surat kabar bulanan al-Imam. Surat kabar
ini terbit di Singapura mulai Juli 1906 sampai Desember 1908, berumur
pendek namun sangat berpengaruh.24
Sebagian besar dari dua ribu kopi dilaporkan dikirim kepada para
pelanggan di Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan Borneo. Disusun
di bawah para redaktur yang terdiri atas beberapa tokoh dari latar belakang
yang beragam, dan menawarkan artikel-artikel yang diterjemahkan dari pers
DARI SUFISME KE SALAFISME — 211
Mesir, bersama dengan komentar mengenai persoalan-persoalan lokal, al-
Imam menjembatani komunitas-komunitas Arab dan Jawi setempat dalam
dunia yang kadang mereka sebut sebagai “sisi Jawi kami”. Meski sebagian
pemain utama, seperti direktur pertama surat kabar ini yang kelahiran Shihr,
Muhammad Salim al-Kalali, tidak menutup-nutupi bahwa mereka berasal
dari sisi lain, editor pertama yang diangkat memiliki sejarah yang sangat
lokal. Mereka yaitu Syekh Tahir, seorang keturunan guru Naqsyabandi dari
Cangking dan Faqih Saghir. Syekh Tahir yaitu adik sepupu Ahmad Khatib,
yang ditemaninya pergi ke Mekah. Keduanya dilaporkan belajar