Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 13. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 13. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 13


 kkan karakter antipemerintah.28

Idenberg kemudian menunjukkan bahwa laporan-laporan daerah tidak 

mengindikasikan persoalan saat ini, namun  kekhawatiran mengenai peristiwa 

pada masa depan. Dia puas isebab  Rinkes dan Hazeu menunjukkan bahwa 

Sarekat Islam tidak bisa disamakan dengan Gerakan Nasional di India. Oleh 

isebab  itu, dia memutuskan untuk memperluas pengakuan pada cabang-

cabang Sarekat Islam lokal yang patuh pada pengawasan para pejabat setempat, 

seperti halnya ajaran Islam dan tarekat diawasi, bukannya ditekan oleh 

pemerintah pusat. Oleh isebab  itu, Rinkes ditunjuk untuk memimpin Komite 

Sentral bekerja sama dengan Tjokroaminoto yang mudah dikendalikan, yang 

dengan cepat naik sebagai pemimpin pergerakan, sementara seorang sekutu 

lain, Hasan Djajadiningrat (w. 1920), mengawasi cabang Banten dari Serang.29

Menteri Koloni, Jan Hendrik de Waal Malefijt (1852–1931), meminta 

dukungan Snouck bagi para mantan asistennya pada Oktober 1913. Namun, 

Snouck juga mengungkapkan pandangan bahwa gerakan ini  mempunyai 

cita-cita egalitarian yang hendak membongkar penindasan tradisional kelas 

priayi, yang mematuhi Belanda secara sewenang-wenang. Misalnya, dia 

mengingat tahun-tahun pertamanya di Jawa saat  menemui seorang bupati 

yang memendam kebencian membabi buta terhadap sebuah tarekat “yang tak 

berbahaya”. 

Di mata Snouck, keadaan akhirnya berubah dan sebuah revolusi 

intelektual besar tengah dibentuk oleh kalangan elite yang melek bahasa Belanda 

dengan melanjutkan fondasi berupa usaha Holle di Priangan dan diilhami 

oleh teladan Jepang dan Tiongkok Republikan. Sejauh berkaitan dengan 

Islam, Snouck menunjuk pada kuliahnya sendiri di Akademi Pemerintah pada 

1911 dan mengukuhkan pandangan Rinkes bahwa nama Sarekat Islam tidak 

menandakan sebuah gerakan keagamaan per se, namun  kerangka bagi orang-

orang pribumi yang mengidentifikasi diri mereka berbeda dari orang-orang 

Tiongkok dan Eropa. Oleh isebab  itu, tak perlu menyamakan kelahiran 

Sarekat Islam dengan peristiwa Cilegon, dan para pejabat pribumi harus diberi 

instruksi bahwa pembentukan organisasi demi tujuan-tujuan kewarga an 

sama sekali tidak berbahaya bagi pemerintah yang baik.30

Snouck mengulangi argumen-argumen semacam itu berminggu-

minggu dan berbulan-bulan berikutnya. Dalam Indologenblad dan Locomotief, 

dia menguraikan sejarah penindasan kekuasaan kolonial dan mengejek 

“sepenuhnya legenda” gagasan bahwa pemerintahan Belanda telah mendorong 

perkembangan intelektual. Dalam periode “Etis”, “berbagai hasrat penduduk 

pribumi” akan “disatukan secara harmonis” dengan kehendak “apa yang 

230  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

disebut ibu pertiwi”. sesudah  melihat kebangkitan Jepang dan Republik 

Tiongkok, Sarekat Islam benar-benar berdiri menentang kesewenang-

wenangan, namun  Belanda tidak perlu mengkhawatirkan pertumpahan darah 

religius. Makna harfiah dari kata Sarekat Islam tidak memberikan indikasi 

sebenarnya mengenai watak asosiasi ini , yang bagaimanapun karakternya 

sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.31

Snouck dan Idenberg barangkali sama-sama senang dengan 

berkembangnya hubungan antara Tjokroaminoto dan Rinkes dan, belakangan, 

dengan bagian yang dimainkan Agoes Salim dalam upaya kolaboratif “untuk 

mewujudkan sebuah tempat bagi Pribumi di dunia”.32 Bagaimanapun, seperti 

yang ditunjukkan oleh waktu, Salim memilih Sarekat Islam sebagai fokus 

utama kesetiaannya—sebuah posisi yang dia ungkapkan dalam surat kabar 

Neratja—isebab  beberapa tahun di Mekah memberinya pengalaman bahwa 

Islam memiliki kekuatan dan kepentingan Belanda tidak selalu sejalan dengan 

kepentingannya. Dukungan untuk Sarekat Islam juga datang dari Mekah. 

Pada 1913 Konsul Wolff melaporkan bahwa Muhammad Hasan b. Qasim dari 

Tangerang telah menerbitkan sebuah risalah di Mekah berisi dukungan untuk 

Sayyid ‘Utsman dan menyeru semua “kerabat” untuk bergabung dengan 

gerakan ini .33 Begitu pula Raden Mukhtar, putra mantan komandan 

Manggabesar kelahiran Bogor, di Batavia, memberikan dukungannya dalam 

bentuk sebuah puisi berbahasa Sunda, puisi yang kemudian diterjemahkan 

ke bahasa Melayu oleh Kiai Hasan Lengkong. Sementara itu, seorang Arab 

bernama “Gadrawi” menyusun teksnya sendiri mengenai persoalan gerakan.34

Akan namun , persoalannya sama sekali tidak jelas di Kota Suci. Aboe 

Bakar dan ‘Abd al-Hamid Kudus melaporkan desas-desus yang bertahan lama 

bahwa Belanda sedang menyusun rencana untuk Kristenisasi orang-orang 

Jawa. Sebagian desas-desus itu bersumber dari klaim-klaim yang disiarkan 

dari Singapura pada 1911. Oleh isebab  itu, Wolff memungkasi suratnya pada 

Oktober 1913 dengan pengamatan berikut:

Pemerintah, yang sudah dikenal tidak bersahabat dengan Islam, sekarang 

dianggap musuh yang nyata .... sesudah  ribuan jemaah haji pulang ke kediaman 

mereka, dan masing-masing menuturkan kepada orang-orang sekitarnya 

mengenai apa yang dilihat dan didengar di Tanah Suci, memberi tahu mereka 

berbagai peringatan yang dicetak mengenai agama Kristen. Melawan ocehan dan 

desas-desus merupakan pekerjaan sia-sia. Pemerintah sebaiknya menunjukkan 

bahwa prinsip kebebasan beragama sama sekali tidak dilanggar.35

Pemerintah bisa jadi telah memutuskan bahwa aspek keagamaan Sarekat 

Islam hanyalah penyebutan, namun  semakin banyak muslim menerima 

penamaan itu apa adanya. Mereka memandang kebijakan apa pun yang 

ditujukan pada Sarekat Islam yaitu  dalam kerangka keagamaan. Pada tahun 

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  231

berikutnya, Ahmad Khatib menerbitkan sebuah risalah berbahasa Arab berisi 

dukungan terhadap organisasi itu dan tanggapan atas kritik Sufi serupa dengan 

yang dikeluhkan Sayyid ‘Utsman. Ahmad Khatib mengidentifikasi Sarekat 

Islam sebagai badan yang didirikan untuk menegakkan prinsip-prinsip Islam, 

membangkitkan perniagaan dan pertanian demi kesejahteraan para anggotanya, 

serta mengembangkan pembelajaran yang membantu “kemajuan dalam 

agama dan dunia serta kemajuan putra-putra Tanah Air”.36 Ahmad Khatib 

sama sekali tidak tertarik pada kolaborasi seluruh gereja Kristen di tanah air 

yang dikendalikan Belanda. Dia percaya Sarekat Islam akan berfungsi sebagai 

benteng penghalang perkawinan silang yang menyebar perlahan akibat kontak 

dengan orang-orang Kristen.37 Dia juga menerbitkan risalah lain yang isinya 

menyangkal serangan-serangan ilmiah terhadap otoritas Ilahiah, menyatukan 

berbagai serangan itu dengan agama Kristen dan Yahudi sebagai sistem 

keyakinan yang cacat, dengan cara yang sama Snouck—seorang penganut 

teori evolusi yang diakuinya secara terbuka—diserang oleh pengikutnya yang 

kontroversial Hasan Mustafa pada 1903.38 Barangkali Ahmad Khatib sekali 

lagi bersepakat dengan Sayyid ‘Utsman. Namun, kemungkinan besar Sayyid 

‘Utsman tidak pernah membaca tulisan Ahmad Khatib. Sayyid ‘Utsman 

meninggal pada Januari 1914 atau sekitar empat belas bulan sebelum Ahmad 

Khatib wafat di Kota Suci pada Maret 1916.

KEPRIHATINAN KRISTEN, PARA PENASIHAT YANG BAIK HATI, 

KECEMASAN INGGRIS

Bukan hanya para pejabat Belanda dan syekh Naqsyabandiyyah yang gelisah 

oleh pembentukan Sarekat Islam. Kekhawatiran juga menghinggapi para 

misionaris yang sudah begitu menyusahkan Sayyid ‘Utsman dan Ahmad 

Khatib, termasuk mereka yang terlibat dalam penerbitan autobiografi 

Kartawidjaja. Berbagai prosiding warga  Misi Belanda pada 1914 hanya 

sedikit menyebut-nyebut pemeluk baru kebanggaan mereka, Kartawidjaja, 

atau autobiografinya yang baru saja dicetak, dibandingkan yang mereka berikan 

untuk fenomena umum terkini di Hindia. Para utusan menyatakan bahwa 

Sarekat Islam yaitu  hasil dari rasa frustrasi kaum Muslim menghadapi dunia 

modern dan upaya orang-orang Jawa pada khususnya untuk mendapatkan 

tempat di dalamnya dengan mendirikan sekolah, surat kabar, dan rumah 

sakit, seperti Kristenisasi yang dilakukan Belanda.39 Beberapa misionaris 

bahkan menyatakan bahwa terdapat lapangan bermain yang tidak seimbang. 

Direktur Misi, M. Lindenborn (1876–1923) menyindir bahwa kemunculan 

Sarekat Islam terkait dengan keberpihakan resmi dari pihak pemerintah 

kolonial terhadap Islam. Tuduhan semacam ini sama sekali bukan hal baru. 

Pada 1909 seorang misionaris di Manado, Sulawesi, mengeluh bahwa jika 

232  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

negara mengizinkan sekolah-sekolah muslim di kawasan yang waktu dan 

uangnya sudah dihabiskan untuk lembaga-lembaga Kristen, Belanda justru 

akan melemahkan investasi mereka sendiri. Lagi pula, menghadapi pilihan 

antara Islam dan agama Kristen yang lebih “kaku”, orang-orang pribumi 

selalu cenderung pada yang pertama.40

berdasar  apa yang terjadi di belakang layar kita juga bisa menyatakan 

bahwa Kantor Urusan Pribumi memberikan pengesahan resmi pada bentuk 

praktik Islam yang lebih kaku. Ini jelas terlihat dalam pengawasan terhadap 

pengadilan-pengadilan agama dan berbagai putusannya. Para pejabat pribumi 

menetapkan bahwa, misalnya, perempuan Indo-Eropa harus masuk Islam 

jika mereka hendak menerima warisan dari suami muslim mereka. Contoh 

lain, calon tertentu untuk pengadilan agama harus memiliki pengetahuan 

yurisprudensi yang lebih teknis serta pengetahuan yang berdasar pada bahasa 

Arab bukannya Melayu. Seperti yang ditulis Hazeu mengenai seorang 

penghulu yang menjanjikan pada 1908 (dan bukannya tanpa beberapa 

kekeliruan transliterasi yang ganjil):

Di kalangan Sjâfi‘i, buku-buku Fiqh yang paling banyak digunakan bisa 

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu karya-karya berupa ikhtisar dan komentar 

berdasar : 1) Moeharrar karya ar-Râfi‘î; 2) Moechtasar karya Aboe Sjoedjâ’; 

dan 3) Qoerrat al-‘ain karya Malaibârî. Di Jawa, yang paling banyak digunakan 

dari ketiga kelompok qitâb ini  yaitu : Fathoel-Qarîb, Fathoel-Moe‘în, 

Minhâdj at-Tâlibîn, Fath al-Wahhâb, Toehfah karya Ibn-Hadjar, Nihâjah karya 

ar-Ramlî, Hasjijah karya Ibrahîm al-Bâdjoeri, dan beberapa lainnya. Secara 

umum diakui bahwa siapa pun yang hendak menjadi seorang cendekiawan harus 

mempelajari salah satu dari teks-teks [berbahasa Arab] itu secara penuh dan di 

bawah bimbingan seorang guru yang pandai. Dia tidak boleh berpuas dengan 

sekadar mempelajari beberapa buklet dasar seperti Safînatan-Nadjât dan Qitâb 

Sittîn, dan beberapa terjemahan bahasa Melayu dari buku-buku komentar, 

meskipun, dari sudut pandang yuridis, tak ada yang keliru dengan buku-buku 

ini . Jika pernyataannya sendiri bisa dipercayai, Mas Hadji Moehamad 

Idris telah mempelajari beberapa buku fiqh sederhana berbahasa Arab dan, 

sejauh yang bisa saya tentukan dari daftar judulnya, beberapa karya berbahasa 

Melayu, di antaranya ada beberapa yang merupakan karya ahli hukum Batavia 

ternama Sajjid Oethman. Teks-teks yang disebut belakangan patut dikagumi 

dan beberapa di antaranya disusun dengan maksud memberi bimbingan bagi 

para Panghoeloe dan anggota Priesterraad yang bodoh. Namun, tak satu pun 

dari hal ini mengubah fakta bahwa dia harus lebih memilih mengkaji salah satu 

karya-karya standar yang sudah disebutkan di atas.

Hazeu, yang berwenang secara hukum meski merasa tidak nyaman 

sebagai seorang Arabis, menanggapi keluhan dari Manado pada tahun itu. 

Dia menegaskan bahwa negara harus tampil sebagai penjamin yang tidak 

memihak terhadap kebebasan beragama atau harus menghadapi berbagai 

konsekuensinya. Enam tahun kemudian, Snouck dalam kuliah-kuliah 

Amerikanya pada 1914 memuji para misionaris isebab  keterlibatan mereka 

dengan orang-orang Muslim. Snouck menanggapi Lindenborn secara terbuka 

dengan menyatakan bahwa dia tidak pernah berusaha membatasi kerja misi 

di antara jutaan “orang Indonesia yang terbentuk oleh sejarah dari Hindia 

Belanda”, dan jauh dari sekadar manifestasi segelintir “orang-orang Muslim 

yang maju”. Sarekat Islam yaitu  tanda positif bahwa ratusan ribu orang 

mengusahakan perubahan, pendidikan, dan kemajuan. Pada tahun-tahun 

berikutnya Snouck mendorong poin ini  lebih jauh, menegaskan bahwa 

Sarekat Islam sangat berutang pada pemerintah kolonial dan Idenberg.42

Tentu saja rapat-rapat umum yang kian membesar, meski menyertakan 

bendera Belanda dan doa untuk Ratu, disaksikan dengan rasa tidak senang oleh 

pihak pabrik gula yang sudah lama menentang berbagai kebijakan Snouck. 

Para penjajah dan penyokong Kristenisasi yang lebih keras mengetahui 

sepenuhnya bahwa mereka berada dalam bahaya kehilangan kendali atas 

media beraksara Latin yang sebelumnya mereka monopoli. Oleh isebab  

itu, para misionaris seperti Hoekendijk mencurahkan lebih banyak waktu 

untuk menerbitkan pamflet-pamflet, terutama mengingat bahwa publik 

Hindia sekarang sangat menyukai novelet-novelet detektif dan surat kabar. 

Para misionaris khawatir bahwa literasi mendatangkan ancaman terhadap 

jiwa-jiwa yang diajari membaca oleh mereka sendiri. Literasi bagaimanapun 

yaitu  alat untuk menyebarkan risalah-risalah mereka dan alat yang juga akan 

dimanfaatkan oleh Biro Pustaka Rakyat (Volkslectuur) yang baru dibentuk. 

Bagaimanapun, panji-panji jihad dan azimat-azimat sakti sudah dibuang. Ini 

yaitu  kabar baik. Para misionaris, pembaharu, dan pejabat Kantor Urusan 

Pribumi semuanya bisa sepakat mengenai hal ini .

Di bagian lain Nusantara, terdapat bukti bahwa Kantor Urusan 

Pribumi bersimpati terhadap aktivitas para pembaharu muslim. Menulis 

dari Sumatra Barat pada 1914, van Ronkel melaporkan sebuah desas-desus 

umum bahwa “zaman tarekat sudah lewat” dan sebagai gantinya hanya 

agama baru “ortodoksi” yang muncul, tampaknya membawa serta kebencian 

kepada orang kafir, perlawanan terhadap kekuasaan, dan barangkali bahkan 

benih-benih Perang Padri baru. Namun, dalam arti tertentu, van Ronkel 

menggunakan pandangan ini, yang diajukan oleh Residen setempat yang 

meminta penyelidikannya, sebagai lawan bikinan yang mudah dikalahkan.

Dia membangun sebuah narasi sekitar konflik antara Islam “umum” dan 

“universal”, menggambarkan yang disebut belakangan sebagai produk gerakan 

yang tumbuh dengan pesat yang mengatasnamakan “kemajuan” melawan apa 

yang dilihatnya sebagai khas Islam Indonesische.46 Baginya, Islam Indonesische 

yaitu  sebuah perpaduan antara pengetahuan setempat dan praktik tarekat. 

Van Ronkel berhenti tepat sebelum memuji sikap Ahmad Khatib yang 

berseberangan, seperti halnya Veth dan Keijzer menghentikan penghormatan 

mereka kepada kaum Padri dan Wahhabi.

Pendekatan van Ronkel dipengaruhi oleh pembacaannya terhadap 

manuskrip-manuskrip Sufi yang dihubungkan dengan wali Burhan al-Din 

dari Ulakan dan oleh laporan-laporan lisan yang diterimanya mengenai 

berbagai sikap para pengikut Ahmad Khatib. Yang terutama di antara 

mereka yaitu  Abdallah Ahmad yang “politis”, Haji Rasul yang “fanatik”, 

Haji Muhammad Jamil yang “praktis”, dan Haji Muhammad Tayyib yang 

“kolot”, yang membuat persaingan antartarekat sebelumnya menjadi tak 

berarti. Juga jelas bahwa van Ronkel tidak melihat mereka sebagai kaum Padri 

yang dilahirkan kembali, menggambarkan yang terakhir ini sebagai sekadar 

terilhami oleh Wahhabiyyah. Van Ronkel juga mencatat sambil lalu bahwa 

“Penasihat 1893” mengutuk mereka lebih isebab  metodologi ketimbang 

teologi mereka. Sejak saat itu, tegas van Ronkel, mayoritas buku tarekat jika 

selamat dari pembakaran yang konon dilakukan Imam Bonjol, telah ditulis 

(ulang) oleh para guru tarekat. Sementara van Ronkel mengklaim bahwa 

banyak orang Minangkabau kembali dari Tanah Suci sama tak tahunya seperti 

saat mereka berangkat, banyak orang meninggalkan praktik tarekat lokal dari 

tanah air mereka hanya untuk mendapatkan praktik-praktik yang baru di 

Kota Suci. Atau jika tidak, mereka kembali untuk berkampanye menentang 

adat dan tarekat sekaligus. Guru “bidah” sesekali masih bisa ditemui di 

dataran rendah, namun  para guru metode lama berada di bawah ancaman dari 

sekolah-sekolah modern yang baru, baik yang didirikan oleh para pembaharu 

maupun Belanda.

Pada umumnya, van Ronkel sudah melakukan usaha terbaiknya 

untuk sejalan dengan pemikiran umum yang digariskan Snouck. namun , ini 

tidak berarti bahwa penilaian-penilaiannya diterima tanpa kritik. Rinkes 

menunjukkan bahwa presentasi van Ronkel agak sepihak, terutama terkait 

dengan identifikasinya terhadap Kaum Muda yang reformis sebagai pembawa 

ortodoksi terbaru. Van Ronkel menilai perselisihan ini  bisa digambarkan 

secara lebih akurat sebagai memisahkan faksi adat yang secara umum bercorak 

“nasionalistis” dan faksi syari‘ah yang bercorak “pan-islamis-sosial” yang 

tidak selalu modernis. Tampaknya Rinkes masih punya berbagai gagasan 

independen mengenai bagaimana seharusnya Islam ditafsirkan. Bahkan, 

beberapa berkasnya menunjukkan minat terhadap ilmu gaib dan takhayul.

Bagaimanapun, yang tidak dimiliki sang pejabat yang selalu menggerutu ini 

yaitu  taktik dan sekutu di kalangan atas. Pastinya ada sebagian pihak di 

kalangan berkuasa yang khawatir Rinkes menjadi terlalu dekat dengan warga 

negara muslimnya. Bahkan, beredar kabar angin bahwa dia sudah masuk 

Islam. Selain ini, Rinkes juga membuat khawatir Inggris di Singapura. Baru 

pada 1916 terdengar desah lega saat  dia diutus ke Jeddah selama satu 

tahun. Dia kembali pada 1917 untuk mengawasi Biro Pustaka Rakyat, sebuah 

cabang dari Kantor Urusan Pribumi yang dibentuk pada tahun itu sesudah  

kembalinya Hazeu.

saat  kembali secara tak terduga ke Kantor Urusan Pribumi sebagai 

Komisioner Tinggi-nya, Hazeu mendapati dirinya mengawasi perubahan 

terakhir sang penjaga, setidaknya terkait dengan para sekutu pribumi. Sayyid 

‘Utsman dan Aboe Bakar Djajadiningrat sudah meninggal, dan Hasan 

Mustafa telah memutuskan bahwa dirinya sudah tak bisa terus:

Tak diragukan lagi Yang Mulia Dr. C. Snouck Hurgronje dan Dr. G.A.J. Hazeu 

mengetahui apa yang telah saya lakukan demi mendukung negara, [terkait 

dengan] persoalan-persoalan politik dan fanatisme sebagai bagian dari berbagai 

peristiwa besar seperti Perang Atjeh, dan Pemberontakan di Banten ... dan, 

selain itu, penyebaran agama oleh para guru tarekat. Demikian pula, saya telah 

memberikan berbagai saran dan tulisan yang bermanfaat bagi negara sehingga 

pada saat ini saya merasa sudah berbakti demi membelanya.51

Sudah menjadi tugas Hazeu untuk membuat rekomendasi agar Hasan 

Mustafa menerima pensiun dan gelar Penasihat Kehormatan. Waktunya 

kelihatan tepat. Bidang-bidang keahlian Hasan Mustafa, pemberontakan 

dan tarekat, terlihat seperti berita lama; Muhammadiyah dan Sarekat Islam 

melaju pesat menuju arah yang menggairahkan; dan ada cendekiawan- 

cendekiawan baru yang akan memberikan pengesahan pada negara. Hazeu 

sudah menyatakan pada 1909, misalnya, bahwa pada “masa-masa modern 

ini”, tidaklah sulit menemukan fatwa yang menawarkan “perspektif lebih 

luas” mengenai berbagai hal. Dia memberikan contoh sebuah fatwa yang 

mengesahkan pengalihan hak beberapa tanah wakaf di Jawa Barat untuk 

pembangunan rel kereta api,

Bukti lain mengenai para mufti yang mudah dikendalikan bisa dijumpai 

dalam arsip-arsip Jawi Hiswara (lihat di bawah) dari 1918. Bukti ini  

menunjuk pada meningkatnya ketegangan di dalam Sarekat Islam, yang 

harus dikatakan, telah kehabisan tenaga isebab  Komite Sentral-nya (CSI) 

hanya punya sedikit cara untuk mengembangkan cadangan dana tunai 

yang dibutuhkan untuk menopang rencananya yang lebih besar. Kritik 

terhadap para penasihat juga semakin meningkat, seperti saat  Gubernur 

Jenderal menolak permohonan dari CSI untuk mendapatkan akses dana 

yang dikumpulkan di masjid-masjid Jawa. Dana ini merupakan dana yang 

dikumpulkan dan dibagikan oleh negara sejak Snouck melaksanakan survei-

surveinya pada 1889–91.

C.S.I. meminta informasi dari Pemerintah Tinggi mengenai “status dan 

tujuan mengenai keuangan masjid” isebab  pada masa-masa belakangan 

ini bisa dikatakan bahwa hampir tak seorang pun di antara muslim di 

Hindia memahami perkara ini, atau lebih lagi memiliki gagasan yang jelas 

mengenai keyakinan agama mereka. Ini membuktikan bahwa berbagai saran 

Dr. Snouck Hurgronje masih harus ditanamkan di kepala mereka. Dengan 

mengingat ketentuan Konstitusi Hindia ... yang menyatakan bahwa “semua 

orang sepenuhnya bebas melaksanakan keyakinan mereka”, kami ingat akan 

keadaan pengelolaan keuangan masjid dan apa yang terkait dengannya pada 

masa-masa belakangan ini isebab  sebagian besar muslim merasa bahwa mereka 

tidak bebas, atau dibatasi dalam pelaksanaan agama mereka. Bahkan, ada yang 

merasa bahwa Islam di Hindia dipimpin oleh sebuah pemerintah nonmuslim. 

Apakah pemerintahan semacam ini sah? Mengingat situasi ini, kami Pribumi 

Muslim, yang sekarang dengan sadar melangkah menuju lapangan kemajuan, 

meminta pengakuan sejelas mungkin dari pemerintah mengenai apakah kami 

tidak siap menerima kemajuan isebab  kami tidak bisa mengelola rumah 

(yakni agama) kami sendiri. Tidak! Semestinya tidak ada pengakuan semacam 

itu. Kami tidak lagi senang ada orang lain turut campur dalam rumah kami. 

Namun, kami bukan orang-orang congkak. Kirimkan Dr. Snouck Hurgronje 

untuk mempelajari Islam selama dua ratus tahun lagi! Dia tidak akan pernah 

mengetahui, memahami, apalagi merasakan Islam kami yang sebenarnya. Dan, 

kami juga tidak perlu bertanya kepada seorang bupati isebab  jawabannya pasti 

akan sejalan dengan nasihat Dr. Snouck Hurgronje.

Meski ini bukanlah kali pertama seorang Penasihat dikritik secara 

terbuka oleh anggota Sarekat Islam, kritiknya jauh lebih eksplisit ketimbang 

sebelumnya dalam pembingkaian Islam. Pastinya pemerintah kolonial 

semakin sadar bahwa politik tengah mengalami perubahan dan bahwa mereka 

tidak bisa lagi bersandar pada pendidikan mereka dan nasihat Snouck. Untuk 

tujuan ini , Hazeu, yang tidak terdidik sebagai Islamolog, mendesak 

Gubernur Jenderal untuk memperluas kantornya dengan mempekerjakan 

salah seorang lulusan terbaru Snouck, B.J.O. Schrieke (1890–1945). Putra 

seorang pendeta Protestan, Schrieke telah beradaptasi dengan metode Snouck 

di Leiden. Dia mempertahankan tesis mengenai Serat Bonang pada 1916. 

Tesisnya itu lebih dari sekadar kajian diplomatik mengenai salah satu teks 

pertama yang dibawa pulang ke Belanda. Seluruh bagian pendahuluannya, 

memanfaatkan berbagai hagiografi yang diterbitkan dan teks-teks dalam 

perpustakaan Snouck, menuturkan kisah perpindahan agama di Hindia ke 

dalam Islam. Namun, terlepas dari jarak kritis sang pengarang, gagasan bahwa 

para wali pendiri yaitu  penyokong yang sadar terhadap pengetahuan tarekat 

ortodoks tidak dipertanyakan secara ketat. Schrieke barangkali meragukan 

legenda Jawa yang mengklaim bahwa Sunan Bonang telah dibaiat oleh Sunan 

Gunung Jati (dan sebaliknya). Namun, jelas bahwa seperti gurunya, Schrieke 

merasa bahwa tarekat pasti sudah hadir di Jawa pada masa hidup kedua wali 

ini . Schrieke juga mengikuti jejak gurunya menuju Hindia dan menulis 

sebuah laporan mengenai perlunya Kantor Urusan Pribumi tetap mengetahui 

berbagai perkembangan Islam secara global. Dia mendesak bahwa demi tujuan 

ini perlulah kiranya mengangkat para pakar (seperti dirinya) dan membuat 

rujukan spesifik pada manipulasi Inggris terhadap persoalan khalifah. Hazeu 

menyampaikan laporan ini  kepada Gubernur Jenderal, yang bersedia 

memberi Schrieke sebuah jabatan di Batavia.

Islam memang mengemuka dalam banyak diskusi. Salah satu pernyataan 

yang lebih kabur, kontribusi seseorang yang mengaku ahli Jawa, akan 

menentukan hasilnya. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Jawi Hiswara 

pada Januari 1918, Nabi digambarkan oleh Djojodikoro sebagai peminum 

alkohol dan pemadat. Kelompok putihan Jawa murka dan Tjokroaminoto 

memimpin sebuah rapat akbar di Surabaya bersama Hasan b. Sumayt dari al-

Irsyad. Bersama Syekh Rubaya dari al-Irsyad, rapat akbar ini  dilanjutkan 

dengan pendirian Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) pada awal 

Februari.

Para penasihat Belanda jelas terganggu oleh huru-hara bernuansa Islam 

secara terbuka (dan begitu tak terduga) ini , yang menjalar menjadi 

pertarungan internal antara berbagai faksi dalam komunitas Arab isebab  

Jam’iyyat al-Khayr yang disokong ‘Alawi segera mengorganisasi rapat akbar dan 

pidato mereka sendiri. Meski demikian, para penasihat merasa bisa mengatasi 

keadaan dan tampil netral. Sebagai seorang penasihat mengenai afair Jawi 

Hiswara, Schrieke membela bahasa Djojodikoro sebagai sejenis permainan 

kata “Jawa-sejati” yang bisa ditemukan dalam buku-buku panduan “mistiko-

magis”. Belakangan dia mencatat bahwa komentar yang sangat serupa sudah 

muncul di surat kabar berbahasa Jawa itu (dan di bawah editor yang sama) 

pada 1914, tanpa membangkitkan reaksi apa pun.58 Saat itu barangkali 

Schrieke merasa bisa mengendalikan kedua pihak. Dia memberi tahu 

Idenberg bahwa dia menerima tawaran dari seorang cendekiawan setempat 

untuk mengeluarkan fatwa “menyatakan bahwa orang tidak boleh melibatkan 

pemerintah (kafir) dalam urusan ini”, namun  dia tidak menerimanya “isebab  

rasa hormat pada lawannya”, seorang sayyid yang digambarkannya sebagai 

“guru paling berpengaruh di sini yang, dengan segala ketulusan”, telah 

menggantungkan harapannya kepada pemerintah. Snouck menuliskan dengan 

pensil di tepi salinan laporan Schrieke miliknya tentang siapa persisnya yang 

dimaksud sebagai cendekiawan yang bisa dikendalikan itu dan lawannya yang 

tulus: Ahmad Surkati dan ‘Ali b. ‘Abd al-Rahman al-Habsyi.

Surkati belakangan konon memandang rendah orang-orang Belanda 

(selain Snouck), dan dia mengampanyekan agar negara tetap berada di luar 

urusan-urusan Islam. Di sisi lain, dia tetap menghormati beberapa penerus 

Snouck. Dia mencari mereka dengan harapan mereka akan mengizinkannya 

menjadi pimpinan dalam soal-soal agama di bawah kekuasaan Belanda. Sehari 

sesudah  Schrieke menulis laporannya, orang Sunda itu mengulangi tawarannya 

kepada Rinkes. Surkati menulis bahwa dia telah tinggal di bawah kekuasaan 

Belanda selama tujuh tahun dan dia mengagumi pekerjaan “orang-orang 

besar” seperti para penasihat yang bekerja demi mengangkat moral warga . 

Surkati berharap dapat berkontribusi terhadap usaha ini  melalui berbagai 

khotbah yang memberikan “sebuah program yang jelas terkait dengan semua 

kelas yang terhormat, jika ini menyenangkan pemerintah”. Dia meramalkan 

bahwa hal ini akan menghasilkan keamanan menyeluruh, pemahaman yang 

lebih baik antara pemerintah dan yang diperintah, dan meningkatkan praktik 

agama, yang terakhir dianggapnya sangat penting dalam iklim pascaperang.

Al-Habsyi, penerus Sayyid ‘Utsman, juga sama inginnya agar Belanda 

berpihak pada kaum ‘Alawi. Meski terdapat hubungan yang hangat antara 

Surkati dan para penasihat di Jawa, di Sumatra Schrieke beralih memberikan 

dukungan lebih jauh kepada pengikut Ahmad Khatib, khususnya ‘Abdallah 

Ahmad saat  dia ditugasi untuk mengawasi atmosfer yang makin tegang di 

Pesisir Barat Sumatra pada 1919. Beberapa bukunya, seperti serangan-serangan 

Ahmad Khatib yang dicetak di Padang, langsung bersumber dari ‘Abdallah 

Ahmad, yang kali pertama memantiknya dan ikut serta dalam perdebatan 

al-Imam. Schrieke bahkan turun tangan memberi mereka pengakuan sebagai 

otoritas muslim dalam perdebatan publik yang sengit mengenai doktrin dan 

jabatan di Raad Agama

Sebagian besar dari yang dipikirkan Schrieke mengenai gerakan 

reformis sebagai kekuatan modernisasi yang rasional bisa dikumpulkan dari 

korespondensinya dengan ‘Abdallah Ahmad.    yang dibuat mendapat 

dukungan lebih jauh dari artikel yang dikirimkannya kepada TBG pada 

Februari 1920. sesudah  memulai dengan diskusi mengenai Perang Padri dan 

membongkar penyamaan sebelumnya oleh Veth antara kaum Islamis dataran 

tinggi dan Wahhabiyyah, Schrieke memerinci berbagai persoalan yang 

tengah diperdebatkan di Sumatra Barat; dari bangkitnya Naqsyabandiyyah 

dan “ortodoksi” Mekah yang baru di bawah Syekh Isma‘il hingga gerakan 

tandingan para elite Adat dan kaum ‘Alawi di Singapura dan Batavia. 

Dengan melakukan hal ini  dia secara terlalu sengaja meniru gurunya, 

menunjukkan bahwa pemahaman yang tepat terhadap “Islam ortodoks 

masa kini” harus didasarkan pada “penafsiran mutakhir terhadap teks-teks 

otoritatif ”, yang dalam pikirannya berarti tulisan-tulisan Snouck serta tulisan-

tulisan Ahmad Khatib.

  

Snouck bisa jadi secara fisik tidak berada di Indonesia pada dekade kedua 

abad kedua puluh, namun  para penasihat yang dididiknya sangat tersedia. 

Misi mereka (demikian anggapan mereka) yaitu  melanjutkan pekerjaan 

Snouck dengan mengawasi transisi Indonesia menuju dunia modern. 

Mereka mengira bahwa mereka membimbing sebuah gerakan orang-orang 

Indonesia menuju ruang publik ortodoks dan menjauh dari kendali personal 

spiritual para guru mistis. Mereka masih membina hubungan dengan para 

cendekiawan elite, namun  mereka juga senang dengan berbagai suara Sarekat 

Islam yang independen namun  kolaboratif dan nada egalitarian gerakan Irsyadi 

yang bersekutu dengannya. Untuk saat itu, negara memberi restu sementara 

beberapa pejabatnya yang berpandangan kurang liberal menyaksikan dengan 

gelisah. Bagaimanapun, tak lama lagi mereka akan mendapatkan momen 

isebab  ternyata perkara-perkara yang modern tidaklah begitu mantap berada 

dalam kendali seperti yang diandaikan para penasihat itu. 

Tidak semua unsur gerakan nasional se-“modern” (atau sesabar) Kaum Muda Sumatra. Pada 1916 Sarekat Islam cabang Padang yang baru saja 

didirikan segera terpecah antara para pewaris Ahmad Khatib dan mereka yang 

berafiliasi dengan elite tradisional dan para sekutu Sufi (baru) mereka yang 

dipimpin Khatib ‘Ali yang Naqsyabandi.1 Dua insiden membuat kaum Etisis 

Snouck terluka dan terbunuh pada 1919. Yang pertama, kunjungan perwakilan 

Sarekat Islam untuk “Pulau-Pulau Luar”, Abdoel Moeis (1883–1959), ke 

Sulawesi pada Mei menimbulkan pemogokan menentang kerja paksa dan 

pembunuhan Kontrolir di Toli-Toli, J.P. De Kat Angelino. Kemudian, pada 

awal Juni, seorang guru kecil dari Garut dan beberapa anggota keluarganya 

ditembak di rumah mereka sesudah  menolak permintaan Asisten Residen 

untuk mengirim beras.2

Perincian insiden yang terakhir, yang kadang dikenal sebagai Peristiwa 

Garut, segera diperdebatkan, terutama jumlah para pengikut sang guru, 

Haji Hasan dari Cimareme, dan apakah mereka merencanakan serangan 

terhadap para serdadu pemerintah di luar rumah. Di satu pihak, komandan 

Belanda yakin bahwa para penduduk menyiapkan diri untuk menyerang. Di 

pihak lain, para saksi mengklaim bahwa mereka sedang melantunkan dzikr 

tarekat.3 Namun, meski dirinya yaitu  pengamal dzikr, Haji Hasan paling 

banter memiliki hubungan tak langsung dengan apa yang belakangan oleh 

para pejabat disebut “Seksi B” (Afdeling B) dari cabang Sarekat Islam di 

Ciamis, yang dibentuk sesudah  gerakan ini  menyebar ke Dataran Tinggi 

Priangan dan, seperti di Padang, merekrut anggota jaringan tarekat yang lebih 

tua yang sekarang menyadari bahwa lebih praktis menyusupi SI ketimbang 

memeranginya. Seorang Sufi, Haji Samsari dari Tasikmalaya, mengklaim 

bergabung dengan Sarekat Islam pada 1917 isebab  program kemajuannya 

terlihat menikmati restu pemerintah. Namun, dia mengeluh bahwa cabang 

ini  menjadi radikal sesudah  pada 1919 Ciamis dikunjungi Sukino dari 

Batavia dan dua orang syekh; penjual azimat Haji Sulayman dari Cawi dan 

Haji Adra‘i sang pewaris Muhammad Garut yang dijumpai Snouck pada 1889.

Afdeling B saat itu dibentuk oleh Sosrokardono. Dia mendeklarasikan 

anggotanya yaitu  tentara Sarekat Islam yang bertekad meraih kembali 

kemerdekaan. Samsari kemudian diberi tahu oleh Haji Sulayman bahwa Afdeling 

B disiapkan untuk merebut kendali atas rakyat Jawa “sehingga kemerdekaan 

kita berada di tangan kita sekali lagi .... Dan, jika kita menguasainya, kita bisa 

menentukan hukum negeri ini sekali lagi”.4 Berbeda dari Samsari, Haji Hasan 

hanya membeli azimat dari Sulayman; azimat yang gagal melindunginya seperti 

yang secara menyedihkan dicatat oleh beberapa orang dalam surat kabar Melayu. 

Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum (menjabat 

1916–21), yang juga dikirimkan kepada Volksraad (sebuah parlemen simbolis 

yang didirikan pada 1918), Hazeu mendapati bahwa Haji Hasan sekadar 

berusaha mempertahankan tanahnya agar tak dirampas oleh Wedana, yang 

didukung oleh Bupati yang angkuh. Oleh isebab  itu, Hazeu menyarankan agar 

para pejabat pribumi yang terlibat dalam penyerangan ini  dipecat. Adapun 

para pengawas Eropa mereka, terutama J.L. Kal, sang Asisten Residen yang 

telah memerintahkan tembakan yang membunuh orang-orang desa, disarankan 

mendapat teguran isebab  tidak melakukan pengawasan dengan pantas.5

Agoes Salim turut bergabung. Dia menulis berbagai peristiwa secara 

saksama dalam surat kabarnya Neratja, yang diperbanyak di sebuah percetakan 

yang semula disubsidi oleh Biro Pustaka Rakyat. Semula dia menyebut baik 

pejabat Toli-Toli yang terbunuh dan Haji Hasan sama-sama sebagai korban 

dari sebuah sistem kolonial yang kaku. Dia menyambut penunjukan Hazeu 

sebagai penyelidik, dan mengecam pengkhianatan para penyedia azimat. Lagi 

pula, tegas Salim, seorang syahid sejati ingin mati demi agama dan bangsanya 

sehingga secara logis seharusnya tidak menggunakan azimat pelindung. Dia 

juga menyerupakan orang-orang Belanda yang teguh memerangi bangsa 

Spanyol pada abad keenam belas dengan orang-orang Jawa, Lombok, dan 

Aceh yang memerangi Belanda pada abad kesembilan belas.6

Tjokroaminoto berusaha menenangkan keadaan sembari mengenalkan 

sudut pandang pribumi kepada khalayak Belanda. Dia menyatakan dalam 

sebuah surat kabar liberal:

Kami dengan senang hati menghendaki kerja sama dari unsur-unsur Eropa yang 

bermaksud baik kepada kami, walaupun saya tidak berani menjamin apakah ini 

bisa memiliki dampak pada surat kabar kami. Saya sendiri dengan senang hati 

akan bekerja untuk tujuan ini, meskipun ada beberapa faktor yang berperan 

berada di luar kendali saya. Pada tahun-tahun belakangan ini terdapat kampanye 

dalam berbagai surat kabar Eropa menentang SI dan para pemimpinnya, yang 

tidak bisa tidak memunculkan sedikit kebencian yang pastinya bergema dalam 

surat kabar kami.

Tak diragukan lagi sebuah kampanye tengah dijalankan atas perintah 

pabrik gula dan berbagai unsur dalam Pamong Praja. Koran-koran seperti 

Soerabaijasch Handelsblad menuduh Hazeu yang keras kepala telah 

mengabaikan Residen Kawasan Priangan yang aristokratis, L. De Stuers. 

Sementara itu, veteran Aceh H.C. Zentgraaff (1874–1940)—yang menjadi 

sebuah pemeo untuk cacian konservatif—mengklaim bahwa Hazeu memuji-

muji para pejabat yang ditunjuknya sendiri dalam birokrasi pribumi.8

Sementara itu, Socialistische Gids yang liberal mengungkapkan harapan 

bahwa peristiwa Garut memungkinkan Sarekat Islam untuk membersihkan 

diri dari berbagai unsur yang tak dikehendaki, dan terutama pembersihan 

yang tidak lagi bersifat simbolis:

Sebagaimana akan jelas bagi pembaca berbagai surat kabar, S.I. Afdeling B 

terutama didirikan oleh orang-orang yang lebih religius, yakni, mereka yang 

melihat, atau ingin melihat, S.I. lebih sebagai sebuah perserikatan kaum 

Mohammedan sejati yang membentuk, atau harus membentuk, sebuah benteng 

dari orang-orang dengan gagasan lain di negeri ini; mis., terhadap orang-orang 

Kristen dan para penganut Hindu. saat  kita menyadari bahwa para anggota 

S.I. yang terkemuka menganggap “sarekat” lebih sebagai sebuah asosiasi 

nasional sehingga kedua kelompok ini , hingga saat ini, terus-menerus 

saling bertentangan di lubuk hati masing-masing; dan [saat  kita menyadari] 

bahwa pengaruh orang-orang Arab cukup besar terhadap kelompok yang 

pertama sedangkan para pemimpin terkemuka, seperti Tuan Tjokroaminoto, 

Abdoelmoeis, Hasan Djajadiningrat, dan rekan-rekan, hanya menghormati 

kelompok pertama ini isebab  takut terhadap pengaruh mereka atas massa yang 

besar dan ... isebab  uang, kita mengerti betapa besar makna perkara Garoet 

bagi seluruh gerakan S.I. Namun, sejak saat ini, kelompok orang-orang yang 

lebih murni harus melantunkan nada yang lebih tenang, dan gerakan ini harus 

melangkah maju ke arah yang lebih murni nasional.

Akan namun , waktu yang menentukan dan ternyata menuturkan kisah 

yang sangat berbeda. Seperti sesudah  pemberontakan Gedangan empat belas 

tahun sebelumnya, Hazeu diabaikan. Pada November Van Limburg Stirum 

melemahkan berbagai rekomendasi Hazeu berdasar  saran Direktur Pamong 

Praja yang baru dinaikkan pangkatnya, F.L. Broekveldt, yang menyatakan diri 

“bahkan lebih tidak berminat dibandingkan Residen De Stuers untuk mencari 

kambing hitam”. Pernyataan ini  menegaskan bahwa Hazeu sekadar 

merangkum pendapat-pendapat “beberapa jurnalis”. Broekveldt bahkan 

menolak saran bahwa sang Wedana dan Bupati seharusnya mendapat sanksi, 

dan akhirnya diputuskan untuk menyelamatkan wajah kedua pejabat itu dengan 

mengalihkan hukuman kepada para pengikut Haji Hasan yang selamat.

Beberapa pengamat sudah mengantisipasi putusan demikian. Dengan 

meningkatnya tekanan terhadap Sarekat Islam oleh para pejabat Belanda pada 

September 1919, Salim mencatat bahwa orang-orang pribumi yaitu  satu-

satunya pihak yang dibuat seperti penjahat. Namun, dia masih bisa menikmati 

penangkapan Sosrokardono bulan itu, sementara mingguan liberal De Taak 

menawarkan analisisnya sendiri mengenai laporan Hazeu pada November. 

Disusun oleh “seorang humanis sejati” dan “seorang teladan pengetahuan dan 

objektivitas”, analisis itu menyatakan bahwa rakyat mencari seorang pahlawan 

saat  ditindas oleh pemerintah yang hanya sedikit memedulikan pendapat 

mereka. Dengan demikian, penawaran Hazeu yaitu  sebuah monumen tak 

disengaja yang didirikan di atas kuburan sang pahlawan Cimareme.11

Akan namun , dalam kenyataannya, peristiwa di Cimareme menandai 

kematian karier dinas Hazeu. Broekveldt telah mengusulkan Asisten Residen 

Brebes, sang veteran R.A. Kern (1875–1958), sebagai pengganti potensial 

untuk Kal, si pejabat yang gagal di Garut. Justru Kern segera mendapatkan 

tempat lebih terhormat di Kantor Urusan Pribumi saat  Hazeu yang 

sakit hati kembali ke Leiden sebagai profesor bahasa Jawa.12 Salim sendiri 

mengerahkan para pembacanya dan berusaha menyelamatkan Sarekat Islam 

dari kehancuran perlahan, pertama melalui Tjokroaminoto. Belakangan, 

Tjokroaminoto menjadi presiden organisasi saat  dia dan Abdoel Moeis pada 

1921 menyerukan jalur keagamaan yang lebih “berdisiplin” dan memaksakan 

pengusiran orang-orang komunis dari eksekutif lembaga, CSI. Meski Rinkes 

gagal menahan laju Neratja dengan pandangan pro-Sarekat Islam-nya yang 

“radikal”, dia mampu menarik Salim dan Abdoel Moeis lebih dekat kepadanya 

dengan menawari mereka peranan dalam Biro Pustaka Rakyat.13

Sementara itu, orang-orang Arab tertentu terus bertengkar mengenai 

martabat yang harus diberikan kepada mereka, atau mengenai apakah mereka 

bisa dianggap peserta yang setara dalam perjuangan nasional. Seperti sudah 

kita lihat, sebagian orang merasa bahwa lelaki yang telah menyingkirkan 

nama “Arabisch” dari gelar resminya lebih menyukai kelompok Irsyadi 

dengan kerugian para sayyid ‘Alawi yang telah melayani Belanda dan Inggris 

dalam membentuk pengetahuan mengenai, dan dengan demikian kebijakan 

terhadap, Islam di kawasan. Banyak di antara orang-orang ini terhubung 

dengan berbagai silsilah awal reformisme di Nusantara, dan melanjutkan 

dialog mereka selama bertahun-tahun. Salah seorangnya yaitu  ‘Abdallah 

al-‘Attas, yang dijumpai Snouck di Jeddah pada 1884, dan tetap berada di 

sisi Jawi dari pemisah ini terlepas dari warisan ‘Alawi-nya. Yang lain yaitu  

Muhammad Salim al-Kalali dari al-Imam, yang belakangan membantu H.J.K. 

Cowan muda (l. 1907) menafsirkan prasasti kuno Pasai.

Hal serupa bisa dikatakan mengenai mantan kolega al-Kalali, 

Muhammad b. ‘Aqil, yang bersama dengan ‘Ali b. Ahmad b. Syahab menjadi 

penasihat terkemuka bagi Inggris di Batavia dan Singapura (seperti yang 

sangat diketahui Belanda). Keduanya bertanggung jawab untuk menyusun 


daftar orang-orang Arab yang dicurigai digunakan Inggris untuk menghalangi 

gerak bebas orang-orang Irsyadi ke Hadramaut. Dalam daftar ini, Inggris 

menggambarkan Bin Syahab sebagai “orang Arab yang pertama-tama dan 

paling bisa diandalkan serta setia di Jawa”.sesudah  Perang Dunia Pertama, 

W.H. Lee Warner di Singapura masih membacakan sebuah ceramah panjang 

yang sejalan dengan persepsi sayyid mengenai peran mereka yang seharusnya 

dalam mengarahkan Islam di Nusantara. TKNM, “meski tak dapat diragukan 

merupakan langkah cerdik”, telah gagal. Sementara itu, kekerasan lain bisa 

ditunjukkan sebagai akibat kelaparan (sebenarnya ditimbulkan oleh blokade 

Inggris pada masa perang terhadap Hindia yang netral) “orang-orang pribumi 

pada masa tekanan nasional yang menyedihkan”.

Andai materi semacam itu ditimbulkan oleh pengaruh murni Islam fanatik—tipe 

“jehad”—atau oleh pengaruh (yang kurang murni secara keagamaan, namun  sama-

sama gilanya isebab  berusaha memanaskan keadaan) orang-orang Arab terdidik 

yang unggul yang didukung oleh para agen penghasut Eropa, yakni ... oleh sang 

Said dengan api keagamaannya atau oleh sang Sjech tak bermoral, yang didukung 

oleh emas Jerman, pesta pembunuhan akan terjadi di mana-mana di seluruh bagian 

penduduk Belanda, terutama saat  kekuatan militer dan angkatan laut Belanda 

setempat sepenuhnya disusupi—sebagaimana yang terjadi—oleh kecenderungan 

Bolsyevik. Oleh isebab  itu, Belanda tampaknya bertekad untuk mengurangi, 

sebisa mereka, kekuatan unsur-unsur Arab (untuk memengaruhi pribumi di titik 

paling rentan seorang muslim, agamanya), dengan memanas-manasi berbagai 

perselisihan antarkelas Arab, terutama perselisihan-perselisihan yang muncul dalam 

program Al Irsyad. Belanda seperti halnya orang-orang Arab pendukung gerakan 

ini, merujuk pada “penghapusan berbagai perselisihan kelas yang lama”, bukan 

dengan sebutan yang sebenarnya, yakni memanas-manasi berbagai perselisihan itu 

hingga titik bakar sekadar dengan upaya untuk menghapuskannya. Pemerintah 

Belanda sangat mengetahui bahwa tak ada seorang Said pun akan menyerahkan 

hak-hak istimewanya tanpa pertarungan sengit.

Lee Warner, yang tidak menyadari kemungkinan bahwa Inggris sendiri 

yang memanas-manasi perselisihan ini , kemudian menuduh Hazeu 

“yang tergila-gila pro-Jerman” telah “melacurkan pengetahuannya yang tak 

diragukan mengenai berbagai perkara Islam” untuk membantu Manqusy 

dalam “rencana-rencana anti-Inggris”-nya dan demi “mempermalukan orang-

orang Islam penyokong Inggris yang paling hangat”. Padahal, tugas sejati 

Hazeu sebagai seorang pejabat Belanda seharusnya “untuk menenangkan, 

bukannya membantu perkembangan, berbagai potensi ledakan”.16

Bisa dinyatakan bahwa, pada 1919, Belanda dan Inggris telah memulai 

dua jalur sangat berbeda dalam memerintah rakyat Muslim mereka. Secara 

garis besar, Inggris lebih menyukai bantuan kelompok elite tepercaya dari masa 

lalu, sementara Kantor Urusan Pribumi dan negara Belanda (yang memilih 

mengikuti Kantor ini ) mengalihkan harapan kepada para pemimpin 

berbagai organisasi baru seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, dan berbagai badan 

seperti Jong Java dan Jong Sumatranen Bond untuk bertindak sebagai katup 

pelepas bagi uap nasionalis. Baru belakangan Inggris sepenuhnya menyadari 

seberapa jauh kebijakan-kebijakan mereka telah terputus oleh berbagai intrik 

Sayyid Bin Syahab dan Bin ‘Aqil. Namun, berbagai ramalan ‘Alawi tampaknya 

menjadi kenyataan saat  Hazeu dipaksa keluar pada 1920. Adapun W.N. 

Dunn di Batavia sangat optimis akan masa depannya di koloni, kalau bukan 

Akademi, tempat dia mengklaim bahwa sang mantan penasihat pastinya akan 

menemukan “peluang besar untuk menanamkan teori-teori berbahayanya ke 

dalam pikiran generasi masa depan para pejabat kolonial Belanda.” Dia juga 

melampirkan transkrip diskusi pada 29 Agustus 1919 antara Bin ‘Aqil dan 

Ajun Penasihat Schrieke yang diberinya pengantar dengan sebuah komentar 

mengenai para penasihat, yang “semula bermaksud melayani Pihak Berkuasa 

setiap kali muncul persoalan yang pelik mengenai agama”:

Penasihat seharusnya yaitu  orang terpelajar, bukan politisi. Hazeu melangkah 

terlalu jauh dan turut aktif berperan dalam urusan-urusan pribumi dan 

Arab. Dia berhasil memperoleh kepercayaan Gubernur Jenderal, yang sangat 

tidak berpengalaman dalam urusan-urusan oriental dan sangat mudah 

teperdaya oleh kepandaian sang pakar. Kontak langsung yang seharusnya ada 

antara pemerintah dan eksekutif sudah putus. Nasihat Hazeu lebih disukai 

ketimbang nasihat para Residen atau Direktur Pamong Praja dan, terdorong 

oleh keberhasilannya, dia melangkah begitu jauh hingga mencampuri urusan-

urusan lokal di berbagai distrik, sepenuhnya mengabaikan para pajabat 

yang berwenang, yang otoritasnya dihancurkan .... Di mata Hazeu yang 

berkecenderungan “etis”, semua yang dilakukan pribumi yaitu  baik dalam 

dirinya sendiri, atau setidaknya bisa dimaafkan. Namun, peristiwa Koedoes 

[sic] mengguncang kepercayaan Gubernur kepada Penasihat-nya, dan sejak 

saat itu pengaruh Hazeu mulai memudar. Ada anggapan bahwa pengetahuan 

teoretis sang “Penasihat” tidak bisa mengalahkan pengalaman orang yang 

berada di lapangan. Berbagai tindakan lebih keras diambil baik terhadap para 

“pembaharu” politik Eropa maupun pribumi, dan pendirian sang Penasihat 

perlahan mulai tak bisa dipertahankan.

Dunn pastinya terkekeh saat  dia membaca tanya-jawab Schrieke 

dan Bin ‘Aqil, saat yang pertama konon terdiam menanggapi jawaban pihak 

kedua mengenai kurangnya dukungan kalangan elite Arab untuk Belanda. Ini 

yaitu  persoalan “simpati”, kata Bin ‘Aqil, bertanya (di antara hal-hal lain) 

apakah orang-orang Arab pernah “berusaha mengangkat senjata melawan 

orang Belanda”; atau “berusaha menciptakan revolusi atau bahkan turut serta 

bersama orang-orang pribumi dalam kegiatan revolusioner mereka”; apalagi 

“membentuk perkumpulan rahasia dengan tujuan menghancurkan kedamaian 

negeri dan orang-orang Belanda”. Wawancara ini mestinya memanas saat  

Schrieke menyatakan bahwa orang-orang Arab tidak mendukung Belanda.

B.A.  Tuduhan itu tidak benar. Saya tahu tak ada satu bagian pun dari India 

Belanda [sic] berhasil dikuasai otoritas Belanda tanpa bantuan para 

SAID. Benar atau tidak?

D.S.  [sesudah  diam sejenak] Ya, dalam banyak kasus.

B.A.  Sebagai balasan, apa yang sudah dilakukan Belanda untuk orang-orang 

Arab umumnya, dan khususnya para SAID?

 [Di sini Dr. Schrieke tampaknya kebingungan dan berhenti menegaskan 

poin ini  tanpa memberikan jawaban terhadap pertanyaan terakhir. 

Sesaat kemudian dia menyatakan:]

D.S.  Orang-orang Arab memberikan simpati mereka kepada pemerintah-

pemerintah lain.

B.A.  Saya tidak mengakui mereka berbuat demikian. Namun, wajar jika 

seseorang menyukai siapa pun yang berbuat baik kepadanya dan 

membenci siapa pun yang berbuat jahat. Bagi yang berbuat baik kepada 

orang-orang Arab, tak diragukan lagi, mereka akan condongi dan dialah 

yang akan mereka cintai meski ini bukanlah kekhasan orang-orang Arab.

D.S.  Adakah cabang warga  Al-Irsjad di Singapura?

B.A.  Tidak.

D.S.  Kenapa?

B.A.  isebab , Pemerintah Inggris selalu mengawasi dan tidak akan pernah 

membiarkan apa pun yang bisa menghasilkan dampak buruk untuk 

masuk atau bertahan di dalam negerinya.

D.S.  Bukankah tidak adil melarang pendirian sebuah cabang Al-Irsjad di sana?

B.A.  Akankah sebuah pemerintah yang beradab membiarkan suatu penyakit 

menular seperti kolera memasuki negerinya?

....

D.S.  Al-Irsjad tidaklah seperti apa yang Anda yakini.

B.A.  Al-Irsjad seperti yang sudah saya jelaskan dan bisa dibandingkan 

penyakit menular. Jika melihat sejarah Hindia Belanda Timur, Anda 

akan menemukan bahwa persoalan di Padang yang merupakan penyebab 

hilangnya ratusan nyawa muncul dari sebuah gerakan yang karakternya 

mirip Al-Irsjad. Hal yang sama berlaku pada persoalan yang sekarang terjadi 

antara Nejd (kaum Wahabi) dan Hedjaz yang senjatanya sekarang sibuk 

bekerja demi menekan aktivitas kaum Wahabi. Pemerintah Inggris tidak 

membiarkan orang-orang semacam itu diterima sekadar untuk mencegah 

berbagai gagasan buruk dan aktivitas kaum Wahabi agar tidak berjaya.

D.S.  Apakah Anda khawatir akan ada pertempuran di antara orang-orang 

Arab isebab  Al-Irsjad?

B.A.  Tidak, isebab  para pemimpin Al-Irsjad yaitu  orang-orang dari suku 

para pembajak, pencuri, petani, kuli, dan badui, yang di tanah kelahiran 

mereka tidak bisa mengenakan pakaian seperti yang Anda lihat mereka 

pakai. Mereka sangat rendah dan menyadari berbagai kesulitan yang 

akan mereka hadapi. Mereka sepenuhnya tidak mampu menciptakan 

kesulitan apa pun berupa perkelahian. Mereka datang ke sini untuk 

tujuan yang sangat berbeda, meskipun, secara pasti, akan terjadi 

pemberontakan di kalangan pribumi isebab  pendidikan yang sekarang 

disebarkan oleh Al-Irsjad yang akan menciptakan perpecahan di kalangan 

diri mereka sendiri dan akhirnya akan menimbulkan pertumpahan 

darah. Pemerintah Belanda akan mendapati bahwa tugas paling sulit 

yaitu  memadamkan apinya, dan kemudian baru menyadari kenyataan 

bahwa mereka telah menciptakan persoalan ini dengan tetap diam dan 

pada saat ini memberikan dukungan pada gerakan Al-Irsjad. Ini harus 

dianggap sebagai kesalahan besar. Terkait dengan peristiwa sejenis ini, 

saya akan menunjukkan kepada Anda apa yang sudah menimpa Turki 

akibat membiarkan orang-orang jahat berbaur dengan pribumi negeri 

ini .

D.S.  [dengan penuh semangat] Anda tidak bisa mengatakan bahwa Pemerintah 

memberikan dukungan pada Al-Irsjad.

B.A.  Apa yang sudah saya jelaskan yaitu  fakta yang sangat diketahui oleh 

publik. Bagaimana tidak? Pemimpin gerakan itu yaitu  seorang pejabat 

Pemerintah (Manggoesj)—seseorang yang sangat dihormati oleh 

Pemerintah. Dia melakukannya di bawah pengawasan Pemerintah. 

Bagaimana mungkin Pemerintah tidak mengetahui apa yang diketahui 

publik? isebab  tidak puas, dia menyere