Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 1



Ibn ‘Arabi (560-638), seorang sufi-filsuf terbesar dalam sejarah Islam.1 Ajaran 

metafisika Ibn ‘Arabi identik dengan ajaran wahdatul wujud bahwa tidak ada 

sesuatupun yang wujud kecuali Tuhan, sebagai Wujud Mutlak. Segala sesuatu selain 

Tuhan yaitu  manifestasi diri-Nya. Kosmos yaitu  lokus manifestasi Tuhan, 

sedangkan manusia sempurna (insan kamil) yaitu  lokus manifestasi yang paling 

sempurna.2  

Dalam konsep kosmologi3 Ibn ‘Arabi, kosmos semesta dan seisinya yaitu  

theophany (tajalli)4 Tuhan yang sempurna.  Konsep tajalli yaitu  konsep sentral dari 

keseluruhan pemikiran kosmologi Ibn ‘Arabi.5 Tajalli diterjemahkan juga dengan 

Self-Disclosure,6 Self-Revelation, Self-Manifestation dan Theophani.7 Tajalli 

terkadang diinterpretasikan oleh penerusnya sebagai kehadiran (al-hadrat), seperti 

halnya Sadr al-Din Qunawi dan Dawoud bin Mahmoud Qaysari bahwa tajalli yaitu  

kehadiran dari Dzat Sang Maha Absolut sampai alam mulk (The Five Devine 

Presence).8 Hal ini memberi gambaran bahwa kosmologi Ibn ‘Arabi merupakan 

ketersusunan realitas mulai dari derajat esensi-Nya sampai alam fisik. Di alam fisik 

 

 


inilah partikularisasi nama-nama dan sifat-sifat-Nya termanifestasi. Manusia sebagai 

mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos.sebab  alam raya yaitu  theophani-

Nya, maka seluruh pemahaman kita mengarah pada satu “asal” segala sesuatu yaitu  

Dia.Penjelasan ini berakar dari hadist qudsi: “Aku ciptakan semesta alam supaya 

Aku dapat menyatakan diri kadang melalui sifat Luthfku, dan dilain waktu dengan 

sifat Qahrku”.Sesungguhnya al-Haqq yaitu  cermin bagi kosmos, mereka tidak 

melihat cermin selain bentuk mereka sendiri dalam bentuk yang bertingkat-tingkat.  sebab  Ia (Manusia) yaitu  cermin tajalli al-Haqq bersama kosmos dengan 

penampakan nama-namaNya dan sifat-sifatNya.  Tujuan Tuhan menciptakan 

kosmos bukan hanya untuk melihat diri-Nya, namun  juga untuk memperlihatkan diri-

Nya. Dia yaitu  harta tersembunyi (kanz makhfi) yang hanya bisa dikenal manusia 

melalui kosmos.

 

  Sachiko Murata 

menguraikan bahwa kosmos yaitu  lokus dari dualitas nyata dan kemajemukan nyata. 

Eksistensi yang pertama yaitu  Dzat yang wajib atau yang mesti ada dan segala sesuatu yang 

mungkin ada atau yang mungkin tidak, tergantung pada keadaan yang ditentukan oleh Dzat 

yang wajib. Pada Tuhan, dualitas diprefigurasikan oleh esensi dan ketuhanan dan mewujud 

dalam nama-nama Ilahi yang saling melengkapi. Namun dualitas pertama yang mungkin 

dapat secara layak disebut ontologis, tampak dalam perbedaan antara Tuhan dan segala 

sesuatu selain Tuhan. Sesudah itu barulah kita dapat membahas dua realitas yang berbeda 

sebagai eksistensi yang kedua dianggap seperti bayangan sekilas atau bahkan metaforis, sebab 

ia sepenuhnya tergantung kepada eksistensi yang pertama. 

Perumpamaan bahwa al-khalq yaitu  cermin bagi al-Haqq menekankan aspek 

ontologis, sedangkan perumpamaan al-Haqq yaitu  cermin bagi al-khalq 

menekankan aspek epistemologis. Keduanya yaitu  satu dan mempunyai peran 

secara timbal balik. Al-Haqq mempunyai wujud dan peran mutlak, al-khalq 

mempunyai wujud dan peran relative. Al-Haqq berkehendak untuk melihat esensi 

nama-nama-Nya, maka Dia mewujudkan kosmos atau al-Haqq mewujudkan kosmos 

sebab  Dia ingin melihat esensi nama-nama atau diri-Nya pada level absolute dan 

level relative. Pada level absolut meliputi al-Ahadiyah, al-Wahidiyah dan al-A’yan 

al-Tsabitah  dan pada level relatif yaitu  mencerminkan keseluruhan diriNya yakni 

kosmos. 

Seluruh kosmos semesta seperti yang disimbolkan dalam al-Qur’an yaitu  

“surat” dan “ayat” Tuhan  yang diciptakan melalui Nafas ar-Rahman, diterjemahkan 

oleh Chittick sebagai Merchifull Breath. Melalui awan dalam totalitasnya kosmos 

mengambil bentuk, Awan yaitu  imaginasi al-Haqq sebab  Tuhan memberi bentuk 

pada setiap ciptaan. Setiap wujud sesuatu menjadi nyata di dalamnya sehingga ia 

disebut Nyata. Dalam firman-Nya,“Dia yang awal dan yang akhir. Dia yang nyata 

dan yang batin” (QS.  Al-Hadid [57]: 3). 

Bagi Ibn ‘Arabi Awan identik dengan Nafas Ar Rahman, meskipun kadang dia 

membedakan keduanya, bahwa Awan mewujud melalui Nafas.18 Ada lima cara 

bagaimana Tuhan mewujud sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah.

Pertama melalui awan, kedua melalui tempat yang tinggi,  ketiga mewujud 

melalui langit, keempat mewujud melalui alam semesta, kelima mewujud dalam 

segala sesuatu.

Nafas menjadi starting point untuk memahami dimensi antara Tuhan dengan 

penciptaan. Nafas Ar-Rahman yaitu  awan yang membebaskan kesempitan entitas- 

entitas abadi (nama Tuhan) yang menyatakan dari penampakan luar Sebagai Nafas 

Ilahi, awan yaitu  nafas yang dihembuskan di dalam Wujud Ilahi (di dalam hakikat-

Nya al-Haqq), awan yaitu  konfigurasi makhluk (dan kemungkinan-Nya untuk 

 

 

 

terkonfigurasi) pada Sang Pencipta. Dia merupakan Pencipta ciptaan yakni yang 

pada-Nya termanifestasi segala bentuk kosmos semesta. Dia yang pada-Nya terbeber 

keanekaragaman tak terbatas dari berbagai theofani yang berganti-ganti.

Tuhan sebagai Realitas Universal yang digambarkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai 

yang Maha Benar dan kosmos. Ia tidak digambarkan oleh eksistensi, tidak pula non-

eksistensi, tidak oleh kesementaraan, tidak pula keabadian. Jika kesementaraan 

digambarkan dengan hal itu, Ia pada asalnya yaitu  kesementaraan dan tidak ada 

satupun objek pengetahuan, baik yang bersifat abadi ataupun tidak, dapat diketahui 

hingga hakikat-Nya terpahami.  Dalam setiap eksistensi sesuatu, Ia senantiasa tidak 

lepas dari hakikat-Nya, sebab  Ia bukan keseluruhan dan bukan pula sebagian. 

Manusia tidak dapat meraih pengetahuan tentang hal itu jika hanya mengandalkan 

pada pembuktian logika, sebab  tidak seorang-pun mengetahui hal ini kecuali 

Tuhan24 Dalam Realitas ini kosmos mewujud melalui Sang Maha Benar, Dia yaitu  

akar dari segala eksistensi.

Hampir seluruh filsuf klasik, seperti Plato, Aristoteles , berpendapat bahwa 

kosmos berasal dari suatu realitas yang transenden. Beragam argument menolak 

Tuhan sebagai pencipta kosmos semenjak bangkitnya sains modern pada abad ke-16 

yang dipicu oleh pemikiran Copernicus, Kepler, Galileo, berusaha untuk membuat 

sains dan agama berjarak dan berhadapan.Hal ini berarti bahwa theisme sudah 

kadaluarsa dan teori penciptaan tidak dibutuhkan lagi sebab  agama dianggap 

bertentangan dengan kebenaran ilmiah. Dikotomi ini juga dipicu oleh khutbah 

Nietzche (1844 – 1900) atas alasan kebebasaan manusia bahwa Tuhan telah mati 

 

 Begitu pula dengan Auguste Comte (1798–1857) mengumumkan 

bahwa sains positivistik memang bertentangan dengan agama, Comte telah 

membuang dua tahapan perkembangan pemikiran manusia yang diusung 

sebelumnya, yakni tahapan teologis dan metafisis dan akhirnya hany mengakui 

paradigm positivism yang bersifat pasti.30 Senada dengan Comte, Durkhemian 

menganggap agama hanya sebagai fenomena kognitif, sistim proposisi-proposisi dan 

hanya menyediakan penjelasan terkait dengan hal-hal supranatural. Bagi mereka ilmu 

positivistiklah satu-satunya yang memiliki kriteria rasionalitas dan kebenaran, maka 

penjelasan yang berbau keyakinan dinyatakan ‘salah’. Sama halnya dengan 

pernyataan Edward Taylor, agama hanya produk inferensi-inferensi teoritis yang 

dilakukan oleh filsuf-filsuf primitif dan dalam kacamata positivistik yaitu  keliru.

Polemik tersebut disebabkan oleh faktor epistemologi yang berbeda, dimana sains 

mendasarkan pada data empirik sementara agama berbasis pada iman dan wahyu.

Para pemikir agama atau kaum tradisionalis berupaya untuk mengembalikan 

makna hakiki kosmos, bahwa kosmos bukanlah sebuah realitas yang independen 

melainkan berasal dari sumber spiritual diluar dirinya.Dalam tradisi Islam kosmos 

merupakan keseluruhan kalimat Tuhan yang diartikulasikan dalam Nafas ar-Rahman, 

sebab nya setiap sesuatu di dalam kosmos merupakan tanda atau bukti tentang 

Realitas-Nya. Kosmos diartikan sebagai bahasa Ilahi, dalam makna puncaknya 

 

 Kata tradisi dimaknai sebagai istilah untuk menggantikan istilah agama dan gerakan ini 

dikenal dengan filsafat perennial. Bahwa tradisi dimaknai sebagai, “Kebenaran atau prinsip-

prinsip dari Yang Ilahi yang diwahyukan atau disingkapkan kepada manusia, dan sebenarnya 

juga kepada keseluruhan kosmis, melalui berbagai sarana yang dikenal dengan Nabi, Rasul, 

Avatara, Logos, dan saran transmisi lain, bersama segenap percabangan serta penerapan 

prinsip-prinsip ini dalam berbagai wilayah kehidupan, termasuk hukum, struktur sosial, seni, 

simbolisme, sains, dan tentu saja juga mencakup Pengetahuan Suprim (Mistik) beserta sarana 

pencapaiannya”. 

 

yaitu  Tuhan itu sendiri. Kosmos juga berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan 

sebuah tanda yang menunjukkan pada sesuatu yang lain. Kosmos bukan sekumpulan 

fakta empirik namun  merupakan ekspresi Ilahi untuk membangun pemahaman dan 

kesadaran. Maka kosmologi dapat didefinisikan sebagai pengetahuan mengenai tanda 

dan pemahaman mengenai apa yang tanda itu tunjukkan.

Kalimat di atas dapat dipahami, bahwa kosmologi merupakan sains suci yang 

terkait dengan wahyu dan doktrin metafisik, namun  telah direduksi oleh sains modern 

sehingga makna asalnya telah dilupakan.Kosmologi yang berbasis sains hanya 

didasarkan semata-mata pada eksistensi material dan korporeal. Pada akhirnya, 

sains membangun asumsi bahwa semesta muncul dengan sendirinya akibat hukum-

hukum fisika. Perbedaan tujuan pencarian intelektual Islam dan saintifik modern 

yaitu  pada interpretasi tentang pengetahuan dan kemahatahuan. Cendikiawan 

Muslim melakukannya dengan melihat pada akar-akar dan prinsip-prinsip serta 

mensintesiskan semua pengetahuan dan menyatukan subjek yang mengetahui dan 

objek pengetahuannya. Sebaliknya, kalangan saintis modern melihat pada cabang-

cabang, aplikasi-aplikasi dan fakta-fakta, lalu berujung menganalisa objek-objek, 

menjumlah data dan merangkai teori-teori. Teori evolusi  teori relativitas  dan 

teori big bang hanya melihat alam sebagai dimensi fisik semata. Kebenaran hanya 

disebut kebenaran jika terverifikasi secara empirik.45 Capaian sains hanya 

menjadikan metode ilmiah sebagai pemahaman dan tidak mengakui komponen 

apapun yang tanpa komponen materi. Dengan demikian kosmos hanya ditandai 

 

 

sebagai benda-benda dan fakta ilmiah.. Teori relativitas berujung pada gambaran 

bahwa alam semesta terbatas pada ruang dan berkembang luas tak terhindarkan 

bermula dari dentuman besar. Dalam teori tersebut, alam berawal sebab  peristiwa 

fisik yang tanpa sebab.

Keith Ward mengemukakan klaim Darwin yang menyatakan bahwa hipotesis 

tentang Tuhan tidak dibutuhkan, sebab  alam secara organik mampu berkembang 

biak dengan sendirinya. Demikian halnya, teori evolusi membentuk pandangan dunia 

yang menekankan bahwa kosmos muncul dengan sendiri, tanpa pencipta, yaitu 

sebuah dunia yang berkembang lewat mutasi-mutasi acak organisme. Oppenheimer 

menyatakan bahwa kosmologi Newton  memandang kosmos sebagai mesin raksasa 

yang memiliki keteraturan sendiri. Dengan demikian kosmos bukan hanya sebagai 

penyebab kejadian dan pergerakan benda-benda, termasuk manusia. Kosmos juga 

bersifat objektif, dalam arti tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan manusia.

Descartes (1596-1650) 50 meyakini bahwa kosmos semesta materi yaitu  sebuah 

mesin tak ada tujuan kehidupan ataupun spiritualitas, sebab  kosmos hanya bekerja 

sesuai dengan hukum mekanik dan segala sesuatu di dalam alam materi dapat 

dijelaskan menurut pengertian keteraturan dan gerakan bagian-bagiannya.51 Bagi 

Descartes, semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas. Dalam 

pandangan tersebut, semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan ditolak. 

Paradigma sains hanya ditujukan pada sesuatu yang benar-benar diketahui secara 

 


empirik.52 Paradigma mekanistik Descartes dan Newtonian menurut Frithjof Capra53, 

J. Donal Walters,54 Seyyed Hossein Nasr dan Rene Guenon dianggap sebagai 

paradigma reduksionistik.55 Hal senada juga dikemukakan oleh Armahedi Mahzar 

bahwa pemikiran materialisme menjadi titik berat dalam paradigma reduksionistik 

Newton.56 Paradigma reduksionistik meyakini bahwa sistem yang kompleks tidak 

lain hanyalah kumpulan partikel-partikel dan bahwa nilainya dapat direduksi kepada 

nilai konstituten individu – dan alam semesta bagi kaum reduksionis hanya sekedar 

partikel-partikel benda yang bergerak secara otomatis laksana mesin.57 Pandangan di 

atas disebut saintisme.58 

Saintisme merupakan sebuah ideologi yang didasarkan pada asumsi bahwa sains 

memberikan semua pengetahuan yang dapat kita kenali. Hanya ada satu realitas yang 

alamiah, dan sains memiliki monopoli atas pengetahuan yang kita miliki tentang 

alam. Agama dianggap mengklaim menyediakan tentang hal-hal yang supranatural, 

hanya memberikan pengetahuan semu yaitu, impresi yang salah tentang fiksi yang 

tidak ada.59 Saintisme tidak memberi peluang bagi aktivitas spiritual, keyakinan pada 

alam transendental dan metafisika. Semua bentuk kegiatan yang terkait dengan 

agama dan spiritualitas dipandang irasional dan dianggap tahayul.60 Pernyatan ini, 

 

 

sama halnya dengan asumsi bahwa metafisika tidak memiliki nilai dan eksistensi 

ontologi metafisika masih dipertanyakan sebab  tidak dapat membuktikan dan 

penemuan apapun.61 

Pandangan di atas memperjelas bahwa kosmologi yang bernafas saintifik62 

menolak dimensi realitas transenden.63 Pada umumnya para filosofis dan ilmuan 

atheistik menolak keberadaan Tuhan dalam penciptaan alam. Sebagaimana Feber 

menyebutkan, bahwa alam semesta ini tercipta dari beberapa proses alami, dan 

munculnya kita di dalamnya, sesungguhnya merupakan akibat dari hukum-hukum 

fisika.64  

Menurut Gould, alam semesta yang tanpa tujuan itu “mengasyikkan” dan 

“menggairahkan”.65 Dalam bahasa Marquis de Laplace (1749-1827) manusia tidak 

memerlukan hipotesis tentang adanya Tuhan atau “campur tangan” Tuhan dalam 

menciptakan dan mengatur alam semesta ini.66 Argumen di atas memunculkan 

indikasi ilmiah bahwa segala sesuatu ‘’Ada” berdasarkan rancangan ditolak.. Sains 

dapat melegitimasi dunia terpisah dari Tuhan sebab  pernyataan sains sebagai norma 

pernyataan kognitif dan menolak apapun yang tidak berdasarkan verifikasi empiris.  

Sejak zaman Hume, kaum empiris membedakan secara radikal antara ilmu, 

teologi dan metafisika transendental, dan menolak terhdap konsep apapun yang tidak 

bisa di definisikan dalam terminologi yang mengacu pada berbagai hal yang bisa 

ditangkap oleh pengalaman indrawi.67 sebab  Epistemologi Barat mendasarkan pada 

emperisme Hume, dan menolak epistemologi metafisika dan agama.68 Ernst Mach 

 


(1838-1916) menyebut bahwa pandangan empirisme indera sajalah yang menjadikan 

data dan bahan pengetahuan satu-satunya teori ilmiah yang memiliki verifikasi dan 

keabsahan.69 Bagi sains, substansi alam yaitu  atom yang hanya mengakui sebab 

efisien yang berimplikasi pada sebab dari gerak alam. Maka dari itu sains tidak bisa 

melihat alam sebagai simbol.70 Sains modern sejak Giordano Bruno telah 

menghancurkan batas-batas semesta sehingga meruntuhkan pengertian sebenarnya 

dari kosmos. Hal ini sepadan dengan berkurangnya “sifat metafisis atau teologi’’ di 

Barat yang tak lagi mengenal makna simbolik alam.71  

Paradigma saintisme ditolak oleh Naquib al-Attas sebab  sains hanya mengakui 

keilmiahan pada ranah empirik dan menolak Realitas Tuhan.72 Selanjutnya, Naquib 

menjelaskan, bahwa hal ini disebabkan oleh metode yang diaplikasikan dalam sains 

yaitu  metode rasionalisme filosofis, metode rasionalisme sekular dan metode 

empirisme Filsufis.  Bagi Naquib, filsafat modern telah menjadi penafsir sains. 

Interpretasi yang dihasilkan menjadi pandangan dunia (worldview) yang 

menitikberatkan pada asumsi dasar bahwa sains merupakan satu-satunya 

pengetahuan autentik dan hanya menyentuh aspek fenomena yang diobservasi dan 

berupa teori yang direduksi oleh unsur inderawi.73 Sains modern tidak sekedar 

menjelaskan alam namun  juga merumuskan teologinya sendiri tentang alam, bahwa 

kosmos hanyalah agreget materi yang berjalan berdasarkan hukum tertentu yang 

hanya bisa dipaham secara ilmiah.74 

Mehdi Golshani berpandangan bahwa, saintisme yang menafikan peran filsafat 

akan mengancam perkembangan sains dimasa depan, sebab konsep mendasar yang 

digunakan sains merupakan persoalan filosofis seperti ruang, materi, waktu, gerak 

bahkan alam semesta.75 Sementara metafisika sangat berguna bagi pengembangan 

pemikiran agama dan keyakinan sebab  hal-hal yang bersifat abstrak tidak mungkin 

dianalisa melalui sains yang mendasarkan pada kebenaran empiris.76 Murata juga 

 


menolak pandangan analisis fisik matematis yang bersifat kuantitatif sebab  baginya 

pembicaran tentang Tuhan dalam relasinya dengan alam dan manusia bersifat 

kualitatif.77 Selanjutnya, Murata menjelaskan bahwa kosmos yaitu  ayat atau tanda 

Tuhan. Ketika al-Qur’an menuntun manusia untuk melihat segala sesuatu sebagi 

tanda, maka manusia melihat alam bukan sebagi objek selain Tuhan.78 

Kritik terhadap epistemologi sains modern juga muncul dari kaum tradisionalis 

sekaligus perenialis.79 Beberapa tokoh kunci tradisionalis seperti Rene Guenon, 

Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr, Martin Lings dan Titus Buckhardt berupaya 

memposisikan sains modern dalam kerangka metafisika serta membandingkannya 

dengan tradisi ilmiah pra-modern dalam menjelaskan ciri-ciri utamanya. Menurut 

mereka, sains tradisional mempelajari kosmos dengan merujuk pada prinsip-prinsip 

sains dan wahyu sedangkan sains modern hanya berdasarkan prinsip rasio manusia. 

Sains modern mengabaikan aspek kesucian kosmos dan merusak apa yang ada 

didalamnya.80 Asumsi saintis terhadap kaum tradisionalis dianggap menolak untuk 

mempelajari dan mengeksplorasi alam semesta. Namun kaum tradisionalis 

membantah anggapan tersebut dan menyatakan bahwa mereka justru berusaha 

menekankan pentingnya mempelajari alam semesta sebab  alam merupakan tanda 

dari Sang Pencipta.

Saintisme bagi Nasr merupakan epistemologi indrawi dan empirik yang hasilnya 

hanyalah objektifitas kosmos yang hampa ontologis, spritual dan moral.82. Kaum 

materialis83 meyakini,  bahwa semua fenomena pada akhirnya dapat dijelaskan dalam 

kerangka aksi komponen material dan merupakan satu-satunya sebab efektif di alam 

semesta. Dalam pandangan ini keyakinan agama tidak dapat diterima. Sifat sains 

yang rasional, empiris dan objektif mengabaikan aspek non material yakni nilai.84 

Nasr berpendapat bahwa kosmologi barat mereduksi hierarki realitas yang memiliki 

hubungan erat dengan tingkat pengetahuan metafisika dan menjadi filsafat 

rasionalistik,85 yang secara perlahan sekedar dijadikan pelengkap bagi sains dan 

matematik, sehingga berfungsi sebagai metode dan pengklarifikasi konsistensi logis 

dari sains, kemudian melahirkan sebuah kosmologi yang didasarkan pada tingkatan 

eksistensi material semata.86 

Robbert J. Russel berpendapat, bahwa filsafat dan teologi bisa menyelamatkan 

klaim-klaim saintifik yang berlebihan dan bisa memberi kerangka metafisika yang 

layak bagi sains.87 Sementara Nasser Mansour berkesimpulan bahwa agama dan sains 

bukan sesuatu yang bersifat dikotomis, ia merumuskan empat pandangan terkait 

antara hubungan sains dan agama yakni konflik dari sisi sains, independensi dari 

dominasi agama, dialog di bawah otoritas agama dan integrasi.88 Selanjutnya John F. 

Haught89 menyatakan saintisme sebagai suatu kepercayaan yang diposisikan sebagai 

 

 

satu-satunya cara untuk memahami seluruh kebenaran. Paradigma ini menjadikan 

metode ilmiah sebagai alat untuk membuktikan sesuatu demi mencapai kebenaran 

ilmiah.90  

Untuk mengurai kesenjangan antara paradigma sains dan agama ia menawarkan 

skema empat lapis yakni: skema konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.91 Ian G. 

Barbour92 menawarkan  skema serupa untuk menengahi konflik sains dan agama 

dengan mengusulkan empat kategori antara lain; konflik, independensi, dialog dan 

integrasi. Ia menekankan bahwa semua model pada dasarnya terbatas dan parsial, 

tidak satupun yang utuh dalam menggambarkan realitas.93 Bagi Barbour, semua jalan 

yaitu  proses untuk memahami Tuhan sebagai perancang, pemelihara dan penentu 

ketidakpastian kuantum dan sebagai sebab top-down. Baginya,  dengan beribadah 

(baca: kontemplasi) manusia dapat menyadari misteri Tuhan dan kecenderungan 

sistem pemikiran apapun yang mengklaim sebagai peta menuju Tuhan.94 Menurut 

Huston Smith, kehidupan, pengetahuan, dan lingkungan apa pun tidak akan memiliki 

makna dan sulit dimengerti kecuali didasari oleh pemahaman dimensi adi duniawi.95 

Selanjutnya, menurut Karen Amstrong bahwa manusia dan apa pun yang dihasilkan 

tidak terlepas dari dimensi Ketuhanan yang sakral.96 

Schuon (1907-1998), melihat aliran modernisme terlepas dari Scientia Sacra97 

dan Philosopia Perrenis.98 Senada dengan Schuon, Nasr mengistilahkan era sains 

 


modern sebagai the plight of modern man (era kejatuhan manusia modern).99 

Selanjutnya, Nasr mengusulkan untuk mengakhiri keterputusan realitas dan kosmos 

dengan Scientia Sacra, yang dapat menetukan tingkat realitas dan bisa menyingkap 

makna secara simbolik dan spiritual.100 Jika tidak ada pengetahuan metafisika101 

seperti ini berdampak pada fakta baru dan buta terhadap kebenaran Realitas yang 

lebih Tinggi. Struktur kosmos menjadi sebab pesan spiritual pada manusia dan 

perspektif ini bisa dijelaskan oleh kosmologi tradisional102. Kosmos yaitu  

 


  Gambaran tentang alam semesta yang dihadirkan oleh sains modern menjadi 

semakin kompleks, kabur dan asing dari gambaran alami. Namun demikian, terpisah dari 

setiap pertanyaan keadaan menyangkut validitas relatifnya, sains modern muncul sebagai 

faktor berpengaruh di dalam pemikiran kontemporer; contohnya Ia yaitu  bagian dari diri kita 

dan bagian dari alam semesta. Maka, sebab puncak sains modern tidak dapat tidak selain 

sebagai sebab puncak dari benda, dan seperti semua benda termasuk gambaran alami, 

gambaran sains dapat dianggap sebagai simbol dari sebabnya, yakni symbol dari refleksi 

parsial dari sebuah sebab ditingkat penampakan. namun  ketika yang dipertimbangkan hanya 

bentuk luarnya, maka bentuk itu kurang-lebih menjadi penutup yang tak dapat ditembus, yang 

menyembunyikan sebab, meskipun jika signifikansi simboliknya dapat ditemukan, bentuk 

luar itupun dapat menyingkapkan adanya sebab. 

manifestasi dari intelek universal dan logos merupakan bagian integral dari seluruh 

alam makna.103 Dalam pandangan tradisional bahwa tatanan ciptaan terdiri dari tiga 

keadaan fundamental; yakni materi (bendawi), psikis (animistik) dan spiritual 

(malakut).104 Dalam terminologi Sufi, ketiga keadaan ini berturut-turut disebut alam 

nasut, malakut dan jabarut.105 Doktrin lima kehadiran Tuhan (al-Khadaraat al-khams 

al-Ilahiyyat106) untuk menggambarkan hierarki seluruh Realitas107 dari ketiga 

keberadaan vertikal atau menaik (nasut, malakut dan jabarut) dan yang keempat 

yaitu  sifat-sifat Ilahiyyat (al-Asma al-Shifatiyyah) merupakan hierarki yang lebih 

tinggi yang diistilahakan sebagai lahut, dan yang paling atas yaitu  esensi Ilahiyah 

(al-Dzat) dan derajat ini diistilahkan sebagai hahut.108 

Dengan demikian kosmos yaitu  sebuah wahyu dari sumber asalnya yang tak 

lain asal itu sendiri yakni Tuhan. Nasr mendefinisikan kosmos sebagai buku yang 

berisi wahyu primordial dan manusia yaitu  keberadaan yang esensial, elemen 

konstitutif yang direfleksikan pada cermin kosmik.109 Chittick mendefinisikan 

kosmologi sebagai ilmu yang menghantar pemahaman kita pada kesadaran tentang 

Tuhan melalui tanda yang ada pada alam dan jiwa manusia.110  Jika kosmos yaitu  

sebuah buku besar sebagai tanda-tanda Tuhan, dengan demikian kosmos merupakan 

sumber pengetahuan mengenai simbol dan kesadaran.111 

Gambaran di atas menjelaskan bahwa perspektif sains tentang kosmos hanya 

didasarkan pada dimensi fenomena bahwa bumi di bawah dan langit di atas, matahari 

bergerak teratur melintasi cakrawala. Selanjutnya kosmos dalam perspektif filsafat 

yaitu  adanya sebab akibat (causality), struktur kosmos, teori-teori penciptaan dan 

asal usul. Teologi lebih cenderung pada berdebatan tentang Dzat, sifat serta af’al nya 

Tuhan serta kebaharuan atau kekadiman kosmos. Pandangan teolog tentang tanzih 

menjelaskan bahwa deskripsi mengenai Hakikat Tuhan tidak memuat gambaran utuh 

 

 

tentang wujud sebab  gambaran tanzih tidak menyatakan tanda-tanda yang tampak 

dalam kosmos dan kitab suci secara memuaskan sebab  analisa kalam yaitu  analisa 

rasionalis yang tidak memahami hal-hal selain Tuhan.112  

Kosmos dalam perspektif tasawuf dipahami sebagai suatu yang membawa 

kepada kesadaran pada sesuatu yang lain, maka kosmos yaitu  tanda epistemologi – 

yang meniscayakan kesadaran pada yang ditandakan oleh alam. Artinya alam akan 

menghantarkan kesadaran kepada Tuhan. Asal usul kosmos atau ‘origin’ atau disebut 

kosmogeni – secara metafisika dimulai dari Sang Absolut – sebagai Realitas yang tak 

terbatas (infinite) – maka ia akan memancar (radiate/fayd) dan memanifestasi dalam 

berbagai form derajat eksistensi. Maka kosmos bukan ciptaan seperti halnya 

perspektif teologi – sebab  dalam perspektif Sufi, kosmos yaitu  tajalli (penampakan 

Ilahi). 

Dari berbagai penjelasan di atas membuktikan bahwa epistemologi yang berbeda 

antara sains, teologi, filsafat dan metafisika – menghasilkan paradigma yang berbeda 

dalam memahami Tuhan, kosmos dan manusia, sehingga perspektif sains, teologi dan 

filsafat tanpa perspektif metafisika hanya akan menghantarkan pada kesadaran level 

permukaan dan pesan spiritual kosmos akan terputus dari Realitas asalnya yakni 

Tuhan. Hal ini bisa dilihat dari prinsip metafisik Ibn ‘Arabi yang menitik beratkan 

pada konsep sentral ‘Realitas Tunggal’ yang di dalamnya terkandung segalanya 

(infinite), darinya termanifestasi dan memancar (radiate) segala kemungkinan 

(possibility). 

Pada akhirnya, secara praksis, kesadaran tauhid tidak hanya terbatas pada 

kesalehan individu namun  juga melahirkan kesalehan sosial dan dalam dimensi etiknya 

berimplikasi kesadaran terhadap lingkungan semesta. 

 

B. Identifikasi, Rumusan dan Pembatasan Masalah 

Identifikasi Masalah 

1. Perdebatan tentang kosmologi tetap penting untuk dibicarakan. 

2. Masalah apakah Tuhan terlibat dalam penjagaan semesta atau cukup sebagai 

peletak batu pertama, juga masih menjadi perdebatan baik dalam sains atau 

filsafat. 

3. Masalah kekadiman alam atau waktu juga masih menjadi perdebatan dalam 

teologi. 

4. Argumen sains apakah alam muncul dengan sendirinya atau dicipta. 

5. Kesadaran tentang alam – sebagai kesadaran tauhid juga masih diperdebatkan 

dalam Kosmologi Atheistik atau Theistik.    

Rumusan Masalah 

 

 

juga menjadi ikhtiar untuk mengetahui celah yang belum dibahas oleh penulis yang 

lain. Beberapa diantaranya secara ringkas dijabarkan sebagai berikut: 

Penelitian yang ditulis oleh Ahmed Abdel Meguid berjudul “The Hermeneutics 

of Religious Imagination and Human Nature in Kant & Ibn al-‘Arabī”, kajian ini 

meneliti dan membandingkan dimensi pemikiran ketuhanan antara Immanuel Kant 

dan Ibn Arabi. Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik untuk 

manganalisa pemikiran keduanya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Immanuel 

Kant lebih menekankan pada dimensi moral dalam filsafat ketuhanannya, sedangkan 

Ibn Arabi lebih menempatkan pandangan filosofis dan pengalaman mistik manusia 

dalam konsep ketuhanannya.113 Persamaan Penelitian tersebut dengan kajian penulis 

yaitu  mengkaji tentang aspek realitas ketuhanan dari kedua tokoh, sedangkan 

perbedaannya dengan kajian penulis tidak menekankan aspek kesadaran kosmik.  

Penelitian yang ditulis oleh Jason N. Blum berjudul “Mystical Experience: 

Interpretation and Comparison”, membantah pandangan bahwa pengalaman mistik 

tidak dapat dialami secara langsung namun melalui perantara atau media. Penelitian 

ini menggunakan pendekatan fenomenologi hermeneutik terhadap teks-teks dan 

praktek keagamaan dari lima agama yaitu Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha. 

Peneliti menemukan adanya kesamaan dalam pengalaman mistik kelima agama 

tersebut. Kesamaan itu yaitu  bahwa pengalaman mistik tidak bersifat konseptual 

dan tanpa bahasa namun  pengalaman bersifat langsung tanpa perantara.114 Persamaan 

penelitian ini dengan buku penulis bahwa puncak pengalaman mistik manusia 

merupakan kesadaran tertinggi dalam perjalanan spiritual. Perbedaan kajian ini 

dengan kajian penulis secara spesifik tidak menjelaskan tentang kesadaran kosmis 

sebagai kesadaran spiritual. 

Penelitian yang ditulis oleh Mukhtar Hussain Ali berjudul “Qaysaris 

Muqaddima to His Sharh Fusus al-hikam: A Translation of the First Five Chapters 

Together with a Commentary on Some of Their Themes” menganalisa syarah fusus 

al hikam yang ditulis Dawd Qaisyari. Kajian ini fokus kepada bab muqaddimah yang 

terkait dengan doktrin wahdah al wujud, derajat kehadiran Tuhan, hakikat 

Muhammad dan seterusnya. Kesimpulan dari kajian ini bahwa Qasyari 

mengembangkan ontologi prinsip metafisika Ibn Arabi dengan mensyarah setiap 

pokok bahasan dalam muqaddimah fusus al-hikam berdasarkan ajaran dari guru-

gurunya, yaitu: Sayyid Jalaluddin Astiyani, Ayatullah Jawadi Amuli, dan Syeih al-

Akram al Majidi. Bahwa pengetahuan-pengetahuan mistik tidak hanya berdasarkan

pengalaman tapi juga berdasarkan perolehan rasio dan transmisi.115 Ada benang 

merah antara Penelitian ini dengan kajian penulis terkait dengan doktrin metafisika 

‘Ibn Arabi meskipun penelitian ini tidak membahas tentang kesadaran kosmik. 

Penelitian yang ditulis oleh Adil S. Dhanidina berjudul “Experiencing Tawhid 

Ibn Arabi and the Power ofI magination”, kajian ini menemukan prinsip tauhid Ibn 

Arabi tentang konsep tanzih dan tashbih yang terkesan paradox dan kontradiktif 

namun secara esensial yaitu  satu. Berdasarkan doktrin ontologisnya tentang 

wahdatul wujud yang bertumpu pada perumusan “Dia dan Bukan Dia” (huwa la 

huwa) dimana tanzih yaitu  penjelasan tentang Dzat-Nya sebagai aspek yang tidak 

memiliki hubungan dengan segala sesuatu yang diciptakan, sedangkan asepk tashbih 

menegaskan bahwa tuhan identik dengan ciptaannya. Pemahaman ini harus 

direkonsiliasi melalui konsep imajinasi, sehingga tidak dipahami kontradiktif.116 

Persamaan Penelitian ini dengan kajian penulis yaitu  terkait dengan sifat tanzih 

Tuhan yang tak tersentuh dan tak terbandingkan serta tidak dapat didefinisikan 

dengan cara apapun, namun  konsep tasbihnya yaitu  tajalli. Perbedaan Penelitian ini 

tidak fokus pada kajian cosmic consciousness. 

Penelitian yang ditulis Nader Ahmed M. Al-samani  “An Analytic Philosophical 

Approach To Ibn ‘Arabi ’s Conception of Ultimate Reality”, objek material penelitian 

ini yaitu  Realitas Tertinggi dalam konsep Ibn ‘Arabi. Peneliti menemukan 

inkonsistensi dalam konsep Ibn ‘Arabi yang kemudian mengusulkan tiga poin yakni 

tentang Realitas Tertinggi itu sendiri, kedua tentang Realitas Alam, ketiga terkait 

hubungan Tuhan dan Alam. Dengan menggunakan pendekatan Analisis-Filsufis, 

peneliti mengembangkan interpretasi tentang Realitas Tertinggi pada tiga aspek 

konsep dasar yakni: Doktrin Ketunggalan Wujud, Realitas Tertinggi sebagai Dzat, 

dan Realitas Tertinggi sebagai Tuhan.117 Dalam penelitian ini tidak ditemukan uraian 

tentang konsep kosmologi Ibn ‘Arabi yang terkait dengan kesadaran kosmik. 

Persamaan penelitian ini dengan kajian penulis juga mengurai tentang konsep 

Realitas Tertinggi sebagai sumber segala wujud.    

Penelitian yang ditulis oleh Aydogan Kars “World is an Imagination : A 

Phenomenological Approach to The Ontology And Hermeneutics of Ibn Al- Arabi”. 

Penelitian ini menggunakan metode hermenetika fenomenologi Heidegger, Gadamer, 

Merleau-ponty untuk menelusuri pernyataan ontologis Ibn ‘Arabi tentang barzakh 

 

 

sekaligus digunakan untuk membandingkan ontologi dan hermenetika Ibn ‘Arabi 

dengan ketiga tokoh tersebut. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa dunia sebagai 

imajinasi berhubungan dengan struktur teks dan membutuhkan sebuah interpretasi 

sebagai pemaknaan agar dunia bisa dibaca secara berbeda pada setiap manifestasi 

keberadaan yang sifatnya temporal118 Persamaan penelitian ini dengan kajian penulis 

dalam hal mengeksplor tentang barzakh sebagai alam imajinasi atau alam yang 

menghubungkan dua dunia dalam struktur kosmologi Ibn ‘Arabi. Perbedaannya 

yaitu  penelitian ini tidak menyentuh hal-hal terkait dengan kesadaran kosmik. 

Penelitian yang dilakukan oleh Sara Haq Hussaini “Beyond Binary Barzakh: 

Using the Theme of Liminality in Islamic Thought to Question the Gender Binary” 

Kajian ini yaitu  kajian tentang ketimpangan yang terjadi dalam pemikiran Islam dan 

menyoal tentang ketimpangan binari gender dengan menganalisa konsep metafisika 

Ibn ‘Arabi  mengenai barzakh. Kajian ini menggunakan metode refleksi dan mistis 

atau feminis terhadap puisi-puisi Rumi, Khan, Ibn ‘Arabi yang dianggapnya penuh 

dengan paradok. Kajian ini tidak sistematis, tidak ada titik tekan mana yang paradok 

dari Rumi, dari Khan, ataupun Ibn ‘Arabi. Istilah-istilah kunci dari ketiganya juga 

tidak dieksplore dan menyulitkan pembaca sebab  diulas dengan sederhana, namun  

ketika dia bicara tentang Ibn ‘Arabi  bisa mengeksplore terminologi-terminologi yang 

dikaji dan menganggap semua itu meaning less sebab  tidak bisa dipahami dengan 

bahasa duniawi.119 

Penelitian yang dilakukan oleh Hany Talaat Ahmed Ibrahim “Ibn ‘Arabi’s 

Metaphisics of Love: a Textual Study of Chapter 178 of al-Futuhat al-Makkiyyah.” 

Penelitian ini yaitu  sebuah analisa teks terhadap pemikiran Ibn ‘Arabi dalam 

Futuhat al-Makiyyah di chapter 178. Dengan mengeksplore doktrin ontologi Ibn 

‘Arabi serta fokus pada tema love dan artikulasi metafisiknya. Dengan merujuk pada 

perkembangan etimologi dan teologi dari tema cinta yang berbeda-beda dari teks al-

Qur’an, Sunnah, dan Sufisme awal. Penelitian ini juga menganalisa tentang 

kosmologi, ontologi dan psikilogi dengan mereferensi pada perkembangan teori cinta 

dalam tradisi Sufi sebelum Ibn ‘Arabi. Kesimpulan Penelitian ini yaitu  bahwa cinta 

manusia kepada Tuhan disebab kan sebuah kualitas jiwa yang disebabkan sebab  

eksistensi Tuhan.120 Relevansi penelitian ini dengan kajian penulis yaitu  terkait 

dengan al-harkah al-hubbiyyah sebagai basis penciptaan. 

Penelitian yang dilakukan oleh Michael Wehring Wolfe “The World Could Not 

Contain the Pages: A Sufi Reading of the Gospel of John Based on the Writings of 

 

 

Muhyi al-Din Ibn al-‘Arabi (1165-1240CE).”121 Penelitian ini menjadikan pemikiran 

Ibn ‘Arabi sebagai metode pembacaan terhadap injil Johanes, dan membandingkan 

tradisi Kristen dan Islam dimana titik perbedaan dan titik kesamaannya dalam 

konteks Yesus sebagai Son of God. Islam menolak tradisi kematian Yesus yang 

disalib, sementara Ibn ‘Arabi mengakomodir doktrin bahwa Yesus yaitu  kalimat 

yang ditubuhkan. Penelitian ini relevan dengan kajian penulis sebab  terkait dengan 

alam atau yang selain Dia yaitu  Dia (Theophani).  

Penelitian yang dilakukan oleh Mikko Telaranta “Aristotelian Elements in the 

Thinking of Ibn al-‘Arabi and the Young Martin Heidegger.”122 Penelitian ini 

menganalisa ide dasar Aristotalian terhadap filsafat Heidegger dan pemikiran mistis 

Ibn ‘Arabi. Kesimpulan penelitian ini bahwa Heidegger tidak terpengaruh oleh tradisi 

scholastic Aristoteles. Namun ide dasar filsafat Aristotalian bisa diaplikasikan 

terhadap ide mistik Ibn ‘Arabi dan menunjukkan bahwa fisika Aristotalian 

mempengaruhi pemikiran filsafat Islam secara keseluruhan.  

Penelitian yang ditulis oleh Rahmi Meldayati “Psiko-Ekologi Perspektif Ibn 

‘Arabi.” Kajian ini menelaah lingkungan dengan perspektif Ibn ‘Arabi dan 

menggunakan pendekatan hermenetik terhadap teks konsepsi tajalli. Kesimpulan 

kajian ini yaitu  bahwa pemikiran Ibn ‘Arabi bisa dijadikan landasan terhadap 

kelestarian alam sebab  bangunan epistemologi pengetahuan Ibn ‘Arabi merupakan 

perpaduan antara basis rasional dan basis spiritual transendental yang bisa mengurai 

persoalan krisis lingkungan, serta kesadaran spiritualitas pada perilaku manusia 

terhadap alam berdampak pada kelestarian alam.123 Kajian ini ditulis secara sederhana 

dan tidak banyak mengutip langsung tentang konsep tajalli dari karya Ibn ‘Arabi. 

Perbedaan kajian ini dengan kajian penulis sebab  sama sekali tidak menyentuh 

pembahasan yang terkait dengan kesadaran kosmik. 

Buku yang ditulis oleh Muhammad Iqbal Irham “Menghidupkan Spiritualitas 

Islam: Kajian Terhadap Konsep Hudur Ibn ‘Arabi” merupakan kajian terhadap 

konsep kehadiran Tuhan dalam kesadaran ma’rifat dan urgensinya terhadap 

kehidupan modern. Buku ini merupakan kajian teks terhadap terminologi yang 

bersifat teknis sebagai upaya memahami konsep Hudur dan kegunaannya dalam 

praktik spiritual. Persamaan buku ini dengan kajian penulis yaitu  terkait dengan 

 

 

pemahaman Hudur sebagai kesadaran tentang Realitas Tertinggi, namun  buku 

Muhammad Iqbal Irham tidak memfokuskan pada kesadaran tauhid.124 

Buku yang ditulis oleh Suwito NS. ”Etika Lingkungan (Ecological Ethics) 

dalam Kosmologi Sufi” berasal dari disertasi yang mengkaji terhadap pemikiran dua 

tokoh Sufi yaitu; al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi. Buku ini menjelaskan garis besar dua 

aliran tasawuf yang terkait dengan hubungan antara Tuhan dan kosmos dan 

menekankan pada dua hal yaitu sejarah dan jalur geneologis aliran tasawuf keduanya 

serta kerangka fikir yang dibangun oleh kedua Sufi tersebut. Metode yang digunakan 

dalam peneltian ini memusatkan kajiannya pada bahan library research yang bersifat 

descriptive, analytic, dan comparative yang mendasarkan pada kajian tek dengan 

menggunakan pendekatan cosmogonic approach,yang terkait dengan asal usul 

kosmos dan relasi antara kosmos dan Tuhan. Sumber primer yang digunakan yaitu  

Misykat al-Anwar, Ihya Ulum al-Din, Mahk al-Nazhar fi al-Manthiq, Maqashid al-

Falasifah, Mizan al-‘Amal, Kimiya Sa’adah dan karya-karya Ibn ‘Arabi, al-Futuhat 

al-Makiyyah, Fusus al-Hikam. Kesimpulan buku ini yaitu  bahwa pandangan Ibn 

‘Arabi dan al-Ghazali melahirkan transformasi kesadaran berlingkungan dengan 

mengelaborasi basis spiritual.125 Perbedaan buku ini dengan kajian penulis yaitu  

pada titik tekanannya hanya menyentuh ranah aksiologi dan tidak mengeksplor hal-

hal yang terkait dengan kesadaran kosmik.  

Buku yang dikarang oleh Mohammad Haj Yousef “Ibn ‘Arabi Time and 

Cosmology”. Buku ini membangun model kosmologi baru dengan tema: The Single 

Monad, menjelaskan pentingnya penciptaan dalam waktu dan peranannya dalam 

proses penciptaan kosmos dan hubungannya dengan Sang Pencipta (The Creator).  

Buku ini mengurai banyak paragraf yang Ibn ‘Arabi tulis dalam Futuhat Makkiyah 

tentang kosmos, bagaimana asal penciptaan – melalui Nafas Ar-Rahman atau pun 

melalui  Universal Intelect. Buku ini juga mengeksplor bagaimana pafa filsuf Muslim 

menggunakan argumen filsufis mengenai waktu dan penciptaan dan membandingkan 

pandangan original Ibn ‘Arabi dengan teori modern tentang fisika dan kosmologi. 

Titik tekan kajian ini yaitu  satu model kosmologi yang terintegrasi yang didasari 

oleh pandangan Ibn ‘Arabi tentang Kesatuan Wujud dengan pemetaan penciptaan 

dalam satu minggu, dan dirangkai menjadi tema The Single Monad: sebagai simbolik 

metafisika yang aktual.126 Persamaan buku ini dengan kajian penulis yaitu  terkait 

pembahasan tentang kosmologi Ibn ‘Arabi, namun  pembahasan Mohammad Haj 

Yousef lebih banyak mengeksplor tentang waktu penciptaan dan prinsip-prinsip asal 

usul penciptaan. Perbedaan buku Mohammad Haj Yousef dengan kajian penulis 

 

 

yaitu  tidak ditemukannya poin yang terkait dengan alam sebagai simbol kesadaran 

kosmik. 

Buku dengan judul “Ibn ‘Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan”127 karya 

Kautsar Azhari Noer, buku ini menjadi sangat penting bagi penulis sebab  di 

dalamnya berisi pemaparan dan gagasan wahdatul wujud Ibn ‘Arabi sebagai 

penjelasan filosofis yang tidak hanya menjelaskan transendensi Tuhan namun  juga 

menjelaskan imanensi Tuhan. Persamaan buku ini dengan kajian penulis yaitu  

terkait dengan keseluruhan doktrin metafisika Ibn ‘Arabi, namun  tema yang menjadi 

fokus kajiannya tidak terkait dengan kesadaran kosmik. 

Buku dengan judul “Paths to Transendece” yang ditulis oleh Reza Shah-

Kazemi. Buku ini mengkaji prinsip metafisika terhadap transendensi dan puncak 

realisasi spiritual tiga tokoh dari tradisi Hindu (Shankara), Muslim (Ibn ‘Arabi) dan 

Kristen (Meister Echkhart).128 Metode kajian ini menggunakan pendekatan paralel 

dan menganalisa perspektif dan term masing-masing tokoh sebagai basis 

perbandingan. Studi ini fokus pada koneksivitas antara kesadaran transedensi sebagai 

sebuah gagasan atau prinsip dengan modalitas konkret dari pencapaian spiritual. 

Kajian ini diakhiri dengan teks dan wacana penting dari ketiga tokoh. Relevansi 

kajian ini dengan kajian penulis yaitu  perspektif dari kesadaran spiritual masing-

masing tokoh mistik di atas secara otoritatif dapat dijadikan rujukan bagi penulis.  

Buku karya William C. Chittick: “The Self-Disclosure of God”. Buku ini 

mengurai prinsip-prinsip ajaran kosmologi Ibn ‘Arabi yang merujuk pada kitab 

Futuhat Makkiyah dengan menghadirkan bab-bab tentang Tuhan dan kosmos, 

keteraturan alam dan struktur mikrokosmos129. Buku ini menjadi rujukan sekunder 

dalam buku penulis. Selain itu, terdapat juga buku karya William C. Chittick 

berjudul“Sience of the Cosmos Sience of the Soul.” Buku ini menjelaskan hubungan 

ontologis antara Tuhan dengan kosmos sehingga alam bukan lagi menjadi objek-

objek yang terisolasi di dalam ruang hampa ontologis, spiritual dan moral. 130  

Buku karya William C. Chittick: “The Sufi Path of Knowledge”, merupakan 

studi sistematis tentang berbagai aspek metafisika Ibn ‘Arabi dengan merujuk sumber 

tunggal Futuhat Makkiyah yang di dalamnya lebih dari enam ratus bagian dari al-

Futuhat diterjemahkan dalam buku ini131 sehingga buku ini menjadi rujukan yang 

sangat penting bagi penulis. 

 

 

Buku karya William C. Chittick: “The Vision of Islam”, buku ini 

mempresentasikan kajian komprehensif yang berawal dari wilayah kebenaran iman 

yang diwahyukan, kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh visi 

Islam yang di dalamnya berisi hadits, praktik, iman spiritualitas dan pandangan Islam 

atas sejarah. 132 

Selanjutnya buku “Deciphering the Signs of God a Phenomenological Approach 

to Islam” karya Annemarie Schimmel menjadi rujukan penulis sebab  buku ini 

mencoba mengungkap tanda-tanda Tuhan yang ada di alam semest.133 Schimmel 

menggunakan pendekatan fenomenologi Friedrich Heiler, buku ini menelaah seluruh 

fenomena lahiriah kosmos dan menjabarkan aspek-aspek suci lewat berbagai 

fenomena.  

Buku “Sufism and Taoism” karya Toshihiko Izutsu yaitu  studi perbandingan 

antara Ibn ‘Arabi dan Lao-tzu dan Chuang-tzu melalui analisis semantik secara 

metodologis tentang istilah-istilah kunci yang terkait dengan ketiga tokoh.134 Karya 

ini terletak pada kedalaman interpretasinya tentang istilah-istilah kunci dan kaitannya 

satu sama lain.  

Henry Corbin dalam bukunya “Creative Imagination in the Sufism Ibn ‘Arabi” 

mengungkapkan kajian yang mendalam tentang perumpamaan mistik dan 

simbolisme spiritual Ibn ‘Arabi135 seperti halnya komentar Kautsar Azhari Noer136 

meskipun menggunakan pendekatan fenomenologis, Corbin terlalu jauh melibatkan 

diri dalam pemikiran mistik Ibn ‘Arabi sehingga yang muncul yaitu  subjektivitas, 

ia bukan lagi menjadi seorang peneliti yang netral dan melakukan penelitian secara 

murni namun  telah berfilsafat.  

Buku “Allah Transcendent” karya Ian Richard Netton merupakan studi struktur 

dan semiotik tentang fisalafat Islam, teologi dan kosmologi. Netton menggunakan 

mode kritik sastra modern yang berasal dari strukturalisme, pos-strukturalisme dan 

semiotik.137 Buku lain yaitu  karya Seyyed Hossein Nasr: “Knowledge and The 

Sacred”, buku ini menjelaskan bahwa manusia dapat mengetahui “Realitas Absolut” 

melalui pengetahuan suci (Scientia Sacra) yang diperoleh dari wahyu dan pemikiran 

manusia. Wahyu dapat ditemukan di dalam kitab suci agama-agama, sedangkan 

 

 

pemikiran merupakan bentuk iluminasi yang diperoleh melalui intelektual oleh 

orang-orang yang telah mencapai tingkat religius dan kesadaran spiritual. 138 

Buku karya Seyyed Hossein Nasr “Islamic Cosmological Doctrines”, buku ini 

membahas kosmologi Islam klasik yang dirumuskan oleh Ikhwan al-Safa, Al-Biruni 

dan Ibnu Sina selama abad ke 10 dan 11 dan Nasr menulis buku ini  berdasarkan pada 

ajaran al-Qur’an dan mengintegrasikan berbagai unsur. 139 Buku karya Seyyed 

Hossein Nasr “Three Muslim Sages”, dalam buku ini Nasr mendiskusikan tiga ahli 

hikmah: Ibn Sina, Ibn ‘Arabi, dan Suhrawardi dengan mengeksplore sudut pandang 

tiga madzhab penting dalam filsafat Islam yakni ilmuan filosof, illuminasionis, dan 

Sufi dengan menampilkan aspek signifikan dan intelektualitas Islam dan menyingkap 

cakrawala intelektual ketiga tokoh, dan buku ini menjadi rujukan penting sebagai 

pengantar untuk mempelajari pemikiran ketiga tokoh tersebut. 140 

Seluruh pijakan literatur review dan peta konsep dalam kajian penulis belum 

ditemukan kajian dari beragam aspek pemikiran Ibn ‘Arabi dengan alat analisa 

cosmic consciousness, sehingga penelitian ini dapat dikatakan kajian yang relatif baru 

(novelty). 

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis dengan alat analisa cosmic 

consciousness Richard Mauriche Bucke. Dan metode pembacaan fenomenologi 

hermenetika Heidegger untuk mengungkapkan fenomena secara ontologis.143 Teori 

cosmic consciousness merupakan teori yang digagas oleh Mauriche Bucke yang 

berdasarkan pada tiga kesadaran yakni: simple  consciousness, self consciousness, 

dan cosmic consciousness. Teori ini didasarkan pada fase-fase kesadaran manusia 

dari tingkatan terendah sampai tingakatan tertinggi (highest consciousness).144 

Fenomenologi hermenetik berperan untuk mengurai makna yang tersembunyi dibalik 

teks, ide, dan pemikiran (bringing out a hidden meaning, bringing what is unkown to 

light).145 

Fenomenologi hermenitika Heidegger menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah 

didasarkan pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, namun  realitas yang 

menampakkan diri apa adanya, sebagai ontologi menjadi fenomenologi tentang 

Ada.146 Hermeneutika Heidegger bukan interpretasi atas fenomen namun  “Interpretasi 

Dasein”. Dengan demikian pemahaman dan interpretasi keberadaan Dasein yang 

dapat terungkap.147 Menurut Heidegger, hakikat wujud melampaui kesadaran 

subjektif. Dan sebab  kesadaran wujud bersifat historis meskipun dimulai dengan 

pengetahuan subjektif tentang wujud namun  ia yaitu  proses pemahaman yang 

berkesinambungan. Terkait dengan hemenitika pembahasan yang belum diselesaikan 

oleh Husserl, Heidegger menanganggapnya sebagai fenomologi untuk membangun 

hermenitika wujud. Hal ini (Hermeneutic of Being) yang tertuang dalam bukunya 

Being and Time.148 Metode fenomenologis Heidegger berpijak pada prinsip 

 

 

 

membiarkan segala sesuatu tampil dan tampak seperti apa adanya bukan disebab kan 

asumsi perintah subjek.149 

Ada perbedaan antara fenomenologi Edmun Husserl dan fenomenologi Martin 

Heidegger. Fenomenologi Husserl lebih merupakan studi tentang dunia kehidupan 

yang telah ada dalam kesadaran manusia dan menolak kesadaran Descartes yang 

mengemukakan bahwa keterarahan subjek (kesadaran) pada objek (fenomena), 

dengan mengajukan konsep reduksi sebagai tahapan fenomenologi untuk sampai 

pada objek murni, dan hal ini menjebak Husserl pada idealisme. Husserl tidak 

bertujuan memperoleh pengetahuan tentang dunia sebagaimana adanya, sebagaimana 

firman Tuhan, namun  bertujuan memahami dunia yang tidak terkondisi oleh 

lingkungan pengamat atau peneliti. Oleh sebab  itu, fenomenologi Husserl tidak 

memperhitungkan keterbatasan manusia sebagai subjek dalam mengetahui dan tidak 

mempertimbangkan manusia yang berkesadaran dapat dipengaruhi oleh lingkungan 

sosial budaya. Fenomenogi Husserl mengandaikan setiap eidos (hakikat) memiliki 

nilai yang tak terbantahkan.150 Konsep Lebenswlt Husserl diadaptasi oleh Heidegger 

dan dihubungkan dengan konsep tentang Ada, kebenaran, dan filsafat. Heidegger 

memberi konsep baru (Lebenswlt) dengan mengaitkannya pada eksistensi yaitu 

keberadaan manusia pada kerangka ruang dan waktu.151 

Intinya, Husserl memahami esensi atau neomena melalui fenomena sementara 

Heidegger memfokuskan persoalannya ke ontologi dan eksistensi. Husserl memilih 

teori sedangkan Heidegger menekankan pada praktiknya. Meskipun keduanya 

memfokuskan pada masalah epistemologi namun  Heidegger lebih pada menjembatani 

kesenjangan antara pengalaman subjektif dan pengetahuan objektif. 152 

Bagi Heidegger substansi sebagai fenomena seringkali tersembunyi, 

kegamangan pemahaman Dasein terhadap fenomena diakibatkan lantaran ketidak 

pekaan subyek.153 Pengertian metode fenomenologi Heidegger, melihat relasi tak 

terpisah antara manusia dengan dunianya. Istilah In-der-Welt-Sein atau Ada dalam 

dunia mengisyaratkan satu fenomena yang hanya dapat dipahami dalam kerangka 

relasional subjek dan dunia. Pengertian subjek bagi Heidegger tentang Dasein 

menjadi teraksentuasi saat dimasukan ke dalam kerangka dunia. Begitu pula dengan 

dunia alam, manusia lebih memahami makna-makna keberadaan dunia baginya. 

Subjek di dalam dunia merupakan status dari Dasein. Subjek juga realitas dari 

Dasein. 

Fenomenologi memandang alam tidak sebatas esensinya sebagai definisi kaum 

naturalis namun  alam yaitu  subjek yang intensional. Dengan demikian, manusia 

 

 

 

berperan menyingkap pada pengungkapan dirinya yang tidak lagi menempati posisi 

subjek namun  sebagai Dasein atau subjek yang meng-Ada. Fenomenologi hermenetik 

Heidegger penulis gunakan sebagai metode pembac