Ibn ‘Arabi (560-638), seorang sufi-filsuf terbesar dalam sejarah Islam.1 Ajaran
metafisika Ibn ‘Arabi identik dengan ajaran wahdatul wujud bahwa tidak ada
sesuatupun yang wujud kecuali Tuhan, sebagai Wujud Mutlak. Segala sesuatu selain
Tuhan yaitu manifestasi diri-Nya. Kosmos yaitu lokus manifestasi Tuhan,
sedangkan manusia sempurna (insan kamil) yaitu lokus manifestasi yang paling
sempurna.2
Dalam konsep kosmologi3 Ibn ‘Arabi, kosmos semesta dan seisinya yaitu
theophany (tajalli)4 Tuhan yang sempurna. Konsep tajalli yaitu konsep sentral dari
keseluruhan pemikiran kosmologi Ibn ‘Arabi.5 Tajalli diterjemahkan juga dengan
Self-Disclosure,6 Self-Revelation, Self-Manifestation dan Theophani.7 Tajalli
terkadang diinterpretasikan oleh penerusnya sebagai kehadiran (al-hadrat), seperti
halnya Sadr al-Din Qunawi dan Dawoud bin Mahmoud Qaysari bahwa tajalli yaitu
kehadiran dari Dzat Sang Maha Absolut sampai alam mulk (The Five Devine
Presence).8 Hal ini memberi gambaran bahwa kosmologi Ibn ‘Arabi merupakan
ketersusunan realitas mulai dari derajat esensi-Nya sampai alam fisik. Di alam fisik
inilah partikularisasi nama-nama dan sifat-sifat-Nya termanifestasi. Manusia sebagai
mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos.sebab alam raya yaitu theophani-
Nya, maka seluruh pemahaman kita mengarah pada satu “asal” segala sesuatu yaitu
Dia.Penjelasan ini berakar dari hadist qudsi: “Aku ciptakan semesta alam supaya
Aku dapat menyatakan diri kadang melalui sifat Luthfku, dan dilain waktu dengan
sifat Qahrku”.Sesungguhnya al-Haqq yaitu cermin bagi kosmos, mereka tidak
melihat cermin selain bentuk mereka sendiri dalam bentuk yang bertingkat-tingkat. sebab Ia (Manusia) yaitu cermin tajalli al-Haqq bersama kosmos dengan
penampakan nama-namaNya dan sifat-sifatNya. Tujuan Tuhan menciptakan
kosmos bukan hanya untuk melihat diri-Nya, namun juga untuk memperlihatkan diri-
Nya. Dia yaitu harta tersembunyi (kanz makhfi) yang hanya bisa dikenal manusia
melalui kosmos.
Sachiko Murata
menguraikan bahwa kosmos yaitu lokus dari dualitas nyata dan kemajemukan nyata.
Eksistensi yang pertama yaitu Dzat yang wajib atau yang mesti ada dan segala sesuatu yang
mungkin ada atau yang mungkin tidak, tergantung pada keadaan yang ditentukan oleh Dzat
yang wajib. Pada Tuhan, dualitas diprefigurasikan oleh esensi dan ketuhanan dan mewujud
dalam nama-nama Ilahi yang saling melengkapi. Namun dualitas pertama yang mungkin
dapat secara layak disebut ontologis, tampak dalam perbedaan antara Tuhan dan segala
sesuatu selain Tuhan. Sesudah itu barulah kita dapat membahas dua realitas yang berbeda
sebagai eksistensi yang kedua dianggap seperti bayangan sekilas atau bahkan metaforis, sebab
ia sepenuhnya tergantung kepada eksistensi yang pertama.
Perumpamaan bahwa al-khalq yaitu cermin bagi al-Haqq menekankan aspek
ontologis, sedangkan perumpamaan al-Haqq yaitu cermin bagi al-khalq
menekankan aspek epistemologis. Keduanya yaitu satu dan mempunyai peran
secara timbal balik. Al-Haqq mempunyai wujud dan peran mutlak, al-khalq
mempunyai wujud dan peran relative. Al-Haqq berkehendak untuk melihat esensi
nama-nama-Nya, maka Dia mewujudkan kosmos atau al-Haqq mewujudkan kosmos
sebab Dia ingin melihat esensi nama-nama atau diri-Nya pada level absolute dan
level relative. Pada level absolut meliputi al-Ahadiyah, al-Wahidiyah dan al-A’yan
al-Tsabitah dan pada level relatif yaitu mencerminkan keseluruhan diriNya yakni
kosmos.
Seluruh kosmos semesta seperti yang disimbolkan dalam al-Qur’an yaitu
“surat” dan “ayat” Tuhan yang diciptakan melalui Nafas ar-Rahman, diterjemahkan
oleh Chittick sebagai Merchifull Breath. Melalui awan dalam totalitasnya kosmos
mengambil bentuk, Awan yaitu imaginasi al-Haqq sebab Tuhan memberi bentuk
pada setiap ciptaan. Setiap wujud sesuatu menjadi nyata di dalamnya sehingga ia
disebut Nyata. Dalam firman-Nya,“Dia yang awal dan yang akhir. Dia yang nyata
dan yang batin” (QS. Al-Hadid [57]: 3).
Bagi Ibn ‘Arabi Awan identik dengan Nafas Ar Rahman, meskipun kadang dia
membedakan keduanya, bahwa Awan mewujud melalui Nafas.18 Ada lima cara
bagaimana Tuhan mewujud sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah.
Pertama melalui awan, kedua melalui tempat yang tinggi, ketiga mewujud
melalui langit, keempat mewujud melalui alam semesta, kelima mewujud dalam
segala sesuatu.
Nafas menjadi starting point untuk memahami dimensi antara Tuhan dengan
penciptaan. Nafas Ar-Rahman yaitu awan yang membebaskan kesempitan entitas-
entitas abadi (nama Tuhan) yang menyatakan dari penampakan luar Sebagai Nafas
Ilahi, awan yaitu nafas yang dihembuskan di dalam Wujud Ilahi (di dalam hakikat-
Nya al-Haqq), awan yaitu konfigurasi makhluk (dan kemungkinan-Nya untuk
terkonfigurasi) pada Sang Pencipta. Dia merupakan Pencipta ciptaan yakni yang
pada-Nya termanifestasi segala bentuk kosmos semesta. Dia yang pada-Nya terbeber
keanekaragaman tak terbatas dari berbagai theofani yang berganti-ganti.
Tuhan sebagai Realitas Universal yang digambarkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai
yang Maha Benar dan kosmos. Ia tidak digambarkan oleh eksistensi, tidak pula non-
eksistensi, tidak oleh kesementaraan, tidak pula keabadian. Jika kesementaraan
digambarkan dengan hal itu, Ia pada asalnya yaitu kesementaraan dan tidak ada
satupun objek pengetahuan, baik yang bersifat abadi ataupun tidak, dapat diketahui
hingga hakikat-Nya terpahami. Dalam setiap eksistensi sesuatu, Ia senantiasa tidak
lepas dari hakikat-Nya, sebab Ia bukan keseluruhan dan bukan pula sebagian.
Manusia tidak dapat meraih pengetahuan tentang hal itu jika hanya mengandalkan
pada pembuktian logika, sebab tidak seorang-pun mengetahui hal ini kecuali
Tuhan24 Dalam Realitas ini kosmos mewujud melalui Sang Maha Benar, Dia yaitu
akar dari segala eksistensi.
Hampir seluruh filsuf klasik, seperti Plato, Aristoteles , berpendapat bahwa
kosmos berasal dari suatu realitas yang transenden. Beragam argument menolak
Tuhan sebagai pencipta kosmos semenjak bangkitnya sains modern pada abad ke-16
yang dipicu oleh pemikiran Copernicus, Kepler, Galileo, berusaha untuk membuat
sains dan agama berjarak dan berhadapan.Hal ini berarti bahwa theisme sudah
kadaluarsa dan teori penciptaan tidak dibutuhkan lagi sebab agama dianggap
bertentangan dengan kebenaran ilmiah. Dikotomi ini juga dipicu oleh khutbah
Nietzche (1844 – 1900) atas alasan kebebasaan manusia bahwa Tuhan telah mati
Begitu pula dengan Auguste Comte (1798–1857) mengumumkan
bahwa sains positivistik memang bertentangan dengan agama, Comte telah
membuang dua tahapan perkembangan pemikiran manusia yang diusung
sebelumnya, yakni tahapan teologis dan metafisis dan akhirnya hany mengakui
paradigm positivism yang bersifat pasti.30 Senada dengan Comte, Durkhemian
menganggap agama hanya sebagai fenomena kognitif, sistim proposisi-proposisi dan
hanya menyediakan penjelasan terkait dengan hal-hal supranatural. Bagi mereka ilmu
positivistiklah satu-satunya yang memiliki kriteria rasionalitas dan kebenaran, maka
penjelasan yang berbau keyakinan dinyatakan ‘salah’. Sama halnya dengan
pernyataan Edward Taylor, agama hanya produk inferensi-inferensi teoritis yang
dilakukan oleh filsuf-filsuf primitif dan dalam kacamata positivistik yaitu keliru.
Polemik tersebut disebabkan oleh faktor epistemologi yang berbeda, dimana sains
mendasarkan pada data empirik sementara agama berbasis pada iman dan wahyu.
Para pemikir agama atau kaum tradisionalis berupaya untuk mengembalikan
makna hakiki kosmos, bahwa kosmos bukanlah sebuah realitas yang independen
melainkan berasal dari sumber spiritual diluar dirinya.Dalam tradisi Islam kosmos
merupakan keseluruhan kalimat Tuhan yang diartikulasikan dalam Nafas ar-Rahman,
sebab nya setiap sesuatu di dalam kosmos merupakan tanda atau bukti tentang
Realitas-Nya. Kosmos diartikan sebagai bahasa Ilahi, dalam makna puncaknya
Kata tradisi dimaknai sebagai istilah untuk menggantikan istilah agama dan gerakan ini
dikenal dengan filsafat perennial. Bahwa tradisi dimaknai sebagai, “Kebenaran atau prinsip-
prinsip dari Yang Ilahi yang diwahyukan atau disingkapkan kepada manusia, dan sebenarnya
juga kepada keseluruhan kosmis, melalui berbagai sarana yang dikenal dengan Nabi, Rasul,
Avatara, Logos, dan saran transmisi lain, bersama segenap percabangan serta penerapan
prinsip-prinsip ini dalam berbagai wilayah kehidupan, termasuk hukum, struktur sosial, seni,
simbolisme, sains, dan tentu saja juga mencakup Pengetahuan Suprim (Mistik) beserta sarana
pencapaiannya”.
yaitu Tuhan itu sendiri. Kosmos juga berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan
sebuah tanda yang menunjukkan pada sesuatu yang lain. Kosmos bukan sekumpulan
fakta empirik namun merupakan ekspresi Ilahi untuk membangun pemahaman dan
kesadaran. Maka kosmologi dapat didefinisikan sebagai pengetahuan mengenai tanda
dan pemahaman mengenai apa yang tanda itu tunjukkan.
Kalimat di atas dapat dipahami, bahwa kosmologi merupakan sains suci yang
terkait dengan wahyu dan doktrin metafisik, namun telah direduksi oleh sains modern
sehingga makna asalnya telah dilupakan.Kosmologi yang berbasis sains hanya
didasarkan semata-mata pada eksistensi material dan korporeal. Pada akhirnya,
sains membangun asumsi bahwa semesta muncul dengan sendirinya akibat hukum-
hukum fisika. Perbedaan tujuan pencarian intelektual Islam dan saintifik modern
yaitu pada interpretasi tentang pengetahuan dan kemahatahuan. Cendikiawan
Muslim melakukannya dengan melihat pada akar-akar dan prinsip-prinsip serta
mensintesiskan semua pengetahuan dan menyatukan subjek yang mengetahui dan
objek pengetahuannya. Sebaliknya, kalangan saintis modern melihat pada cabang-
cabang, aplikasi-aplikasi dan fakta-fakta, lalu berujung menganalisa objek-objek,
menjumlah data dan merangkai teori-teori. Teori evolusi teori relativitas dan
teori big bang hanya melihat alam sebagai dimensi fisik semata. Kebenaran hanya
disebut kebenaran jika terverifikasi secara empirik.45 Capaian sains hanya
menjadikan metode ilmiah sebagai pemahaman dan tidak mengakui komponen
apapun yang tanpa komponen materi. Dengan demikian kosmos hanya ditandai
sebagai benda-benda dan fakta ilmiah.. Teori relativitas berujung pada gambaran
bahwa alam semesta terbatas pada ruang dan berkembang luas tak terhindarkan
bermula dari dentuman besar. Dalam teori tersebut, alam berawal sebab peristiwa
fisik yang tanpa sebab.
Keith Ward mengemukakan klaim Darwin yang menyatakan bahwa hipotesis
tentang Tuhan tidak dibutuhkan, sebab alam secara organik mampu berkembang
biak dengan sendirinya. Demikian halnya, teori evolusi membentuk pandangan dunia
yang menekankan bahwa kosmos muncul dengan sendiri, tanpa pencipta, yaitu
sebuah dunia yang berkembang lewat mutasi-mutasi acak organisme. Oppenheimer
menyatakan bahwa kosmologi Newton memandang kosmos sebagai mesin raksasa
yang memiliki keteraturan sendiri. Dengan demikian kosmos bukan hanya sebagai
penyebab kejadian dan pergerakan benda-benda, termasuk manusia. Kosmos juga
bersifat objektif, dalam arti tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan manusia.
Descartes (1596-1650) 50 meyakini bahwa kosmos semesta materi yaitu sebuah
mesin tak ada tujuan kehidupan ataupun spiritualitas, sebab kosmos hanya bekerja
sesuai dengan hukum mekanik dan segala sesuatu di dalam alam materi dapat
dijelaskan menurut pengertian keteraturan dan gerakan bagian-bagiannya.51 Bagi
Descartes, semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas. Dalam
pandangan tersebut, semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan ditolak.
Paradigma sains hanya ditujukan pada sesuatu yang benar-benar diketahui secara
empirik.52 Paradigma mekanistik Descartes dan Newtonian menurut Frithjof Capra53,
J. Donal Walters,54 Seyyed Hossein Nasr dan Rene Guenon dianggap sebagai
paradigma reduksionistik.55 Hal senada juga dikemukakan oleh Armahedi Mahzar
bahwa pemikiran materialisme menjadi titik berat dalam paradigma reduksionistik
Newton.56 Paradigma reduksionistik meyakini bahwa sistem yang kompleks tidak
lain hanyalah kumpulan partikel-partikel dan bahwa nilainya dapat direduksi kepada
nilai konstituten individu – dan alam semesta bagi kaum reduksionis hanya sekedar
partikel-partikel benda yang bergerak secara otomatis laksana mesin.57 Pandangan di
atas disebut saintisme.58
Saintisme merupakan sebuah ideologi yang didasarkan pada asumsi bahwa sains
memberikan semua pengetahuan yang dapat kita kenali. Hanya ada satu realitas yang
alamiah, dan sains memiliki monopoli atas pengetahuan yang kita miliki tentang
alam. Agama dianggap mengklaim menyediakan tentang hal-hal yang supranatural,
hanya memberikan pengetahuan semu yaitu, impresi yang salah tentang fiksi yang
tidak ada.59 Saintisme tidak memberi peluang bagi aktivitas spiritual, keyakinan pada
alam transendental dan metafisika. Semua bentuk kegiatan yang terkait dengan
agama dan spiritualitas dipandang irasional dan dianggap tahayul.60 Pernyatan ini,
sama halnya dengan asumsi bahwa metafisika tidak memiliki nilai dan eksistensi
ontologi metafisika masih dipertanyakan sebab tidak dapat membuktikan dan
penemuan apapun.61
Pandangan di atas memperjelas bahwa kosmologi yang bernafas saintifik62
menolak dimensi realitas transenden.63 Pada umumnya para filosofis dan ilmuan
atheistik menolak keberadaan Tuhan dalam penciptaan alam. Sebagaimana Feber
menyebutkan, bahwa alam semesta ini tercipta dari beberapa proses alami, dan
munculnya kita di dalamnya, sesungguhnya merupakan akibat dari hukum-hukum
fisika.64
Menurut Gould, alam semesta yang tanpa tujuan itu “mengasyikkan” dan
“menggairahkan”.65 Dalam bahasa Marquis de Laplace (1749-1827) manusia tidak
memerlukan hipotesis tentang adanya Tuhan atau “campur tangan” Tuhan dalam
menciptakan dan mengatur alam semesta ini.66 Argumen di atas memunculkan
indikasi ilmiah bahwa segala sesuatu ‘’Ada” berdasarkan rancangan ditolak.. Sains
dapat melegitimasi dunia terpisah dari Tuhan sebab pernyataan sains sebagai norma
pernyataan kognitif dan menolak apapun yang tidak berdasarkan verifikasi empiris.
Sejak zaman Hume, kaum empiris membedakan secara radikal antara ilmu,
teologi dan metafisika transendental, dan menolak terhdap konsep apapun yang tidak
bisa di definisikan dalam terminologi yang mengacu pada berbagai hal yang bisa
ditangkap oleh pengalaman indrawi.67 sebab Epistemologi Barat mendasarkan pada
emperisme Hume, dan menolak epistemologi metafisika dan agama.68 Ernst Mach
(1838-1916) menyebut bahwa pandangan empirisme indera sajalah yang menjadikan
data dan bahan pengetahuan satu-satunya teori ilmiah yang memiliki verifikasi dan
keabsahan.69 Bagi sains, substansi alam yaitu atom yang hanya mengakui sebab
efisien yang berimplikasi pada sebab dari gerak alam. Maka dari itu sains tidak bisa
melihat alam sebagai simbol.70 Sains modern sejak Giordano Bruno telah
menghancurkan batas-batas semesta sehingga meruntuhkan pengertian sebenarnya
dari kosmos. Hal ini sepadan dengan berkurangnya “sifat metafisis atau teologi’’ di
Barat yang tak lagi mengenal makna simbolik alam.71
Paradigma saintisme ditolak oleh Naquib al-Attas sebab sains hanya mengakui
keilmiahan pada ranah empirik dan menolak Realitas Tuhan.72 Selanjutnya, Naquib
menjelaskan, bahwa hal ini disebabkan oleh metode yang diaplikasikan dalam sains
yaitu metode rasionalisme filosofis, metode rasionalisme sekular dan metode
empirisme Filsufis. Bagi Naquib, filsafat modern telah menjadi penafsir sains.
Interpretasi yang dihasilkan menjadi pandangan dunia (worldview) yang
menitikberatkan pada asumsi dasar bahwa sains merupakan satu-satunya
pengetahuan autentik dan hanya menyentuh aspek fenomena yang diobservasi dan
berupa teori yang direduksi oleh unsur inderawi.73 Sains modern tidak sekedar
menjelaskan alam namun juga merumuskan teologinya sendiri tentang alam, bahwa
kosmos hanyalah agreget materi yang berjalan berdasarkan hukum tertentu yang
hanya bisa dipaham secara ilmiah.74
Mehdi Golshani berpandangan bahwa, saintisme yang menafikan peran filsafat
akan mengancam perkembangan sains dimasa depan, sebab konsep mendasar yang
digunakan sains merupakan persoalan filosofis seperti ruang, materi, waktu, gerak
bahkan alam semesta.75 Sementara metafisika sangat berguna bagi pengembangan
pemikiran agama dan keyakinan sebab hal-hal yang bersifat abstrak tidak mungkin
dianalisa melalui sains yang mendasarkan pada kebenaran empiris.76 Murata juga
menolak pandangan analisis fisik matematis yang bersifat kuantitatif sebab baginya
pembicaran tentang Tuhan dalam relasinya dengan alam dan manusia bersifat
kualitatif.77 Selanjutnya, Murata menjelaskan bahwa kosmos yaitu ayat atau tanda
Tuhan. Ketika al-Qur’an menuntun manusia untuk melihat segala sesuatu sebagi
tanda, maka manusia melihat alam bukan sebagi objek selain Tuhan.78
Kritik terhadap epistemologi sains modern juga muncul dari kaum tradisionalis
sekaligus perenialis.79 Beberapa tokoh kunci tradisionalis seperti Rene Guenon,
Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr, Martin Lings dan Titus Buckhardt berupaya
memposisikan sains modern dalam kerangka metafisika serta membandingkannya
dengan tradisi ilmiah pra-modern dalam menjelaskan ciri-ciri utamanya. Menurut
mereka, sains tradisional mempelajari kosmos dengan merujuk pada prinsip-prinsip
sains dan wahyu sedangkan sains modern hanya berdasarkan prinsip rasio manusia.
Sains modern mengabaikan aspek kesucian kosmos dan merusak apa yang ada
didalamnya.80 Asumsi saintis terhadap kaum tradisionalis dianggap menolak untuk
mempelajari dan mengeksplorasi alam semesta. Namun kaum tradisionalis
membantah anggapan tersebut dan menyatakan bahwa mereka justru berusaha
menekankan pentingnya mempelajari alam semesta sebab alam merupakan tanda
dari Sang Pencipta.
Saintisme bagi Nasr merupakan epistemologi indrawi dan empirik yang hasilnya
hanyalah objektifitas kosmos yang hampa ontologis, spritual dan moral.82. Kaum
materialis83 meyakini, bahwa semua fenomena pada akhirnya dapat dijelaskan dalam
kerangka aksi komponen material dan merupakan satu-satunya sebab efektif di alam
semesta. Dalam pandangan ini keyakinan agama tidak dapat diterima. Sifat sains
yang rasional, empiris dan objektif mengabaikan aspek non material yakni nilai.84
Nasr berpendapat bahwa kosmologi barat mereduksi hierarki realitas yang memiliki
hubungan erat dengan tingkat pengetahuan metafisika dan menjadi filsafat
rasionalistik,85 yang secara perlahan sekedar dijadikan pelengkap bagi sains dan
matematik, sehingga berfungsi sebagai metode dan pengklarifikasi konsistensi logis
dari sains, kemudian melahirkan sebuah kosmologi yang didasarkan pada tingkatan
eksistensi material semata.86
Robbert J. Russel berpendapat, bahwa filsafat dan teologi bisa menyelamatkan
klaim-klaim saintifik yang berlebihan dan bisa memberi kerangka metafisika yang
layak bagi sains.87 Sementara Nasser Mansour berkesimpulan bahwa agama dan sains
bukan sesuatu yang bersifat dikotomis, ia merumuskan empat pandangan terkait
antara hubungan sains dan agama yakni konflik dari sisi sains, independensi dari
dominasi agama, dialog di bawah otoritas agama dan integrasi.88 Selanjutnya John F.
Haught89 menyatakan saintisme sebagai suatu kepercayaan yang diposisikan sebagai
satu-satunya cara untuk memahami seluruh kebenaran. Paradigma ini menjadikan
metode ilmiah sebagai alat untuk membuktikan sesuatu demi mencapai kebenaran
ilmiah.90
Untuk mengurai kesenjangan antara paradigma sains dan agama ia menawarkan
skema empat lapis yakni: skema konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.91 Ian G.
Barbour92 menawarkan skema serupa untuk menengahi konflik sains dan agama
dengan mengusulkan empat kategori antara lain; konflik, independensi, dialog dan
integrasi. Ia menekankan bahwa semua model pada dasarnya terbatas dan parsial,
tidak satupun yang utuh dalam menggambarkan realitas.93 Bagi Barbour, semua jalan
yaitu proses untuk memahami Tuhan sebagai perancang, pemelihara dan penentu
ketidakpastian kuantum dan sebagai sebab top-down. Baginya, dengan beribadah
(baca: kontemplasi) manusia dapat menyadari misteri Tuhan dan kecenderungan
sistem pemikiran apapun yang mengklaim sebagai peta menuju Tuhan.94 Menurut
Huston Smith, kehidupan, pengetahuan, dan lingkungan apa pun tidak akan memiliki
makna dan sulit dimengerti kecuali didasari oleh pemahaman dimensi adi duniawi.95
Selanjutnya, menurut Karen Amstrong bahwa manusia dan apa pun yang dihasilkan
tidak terlepas dari dimensi Ketuhanan yang sakral.96
Schuon (1907-1998), melihat aliran modernisme terlepas dari Scientia Sacra97
dan Philosopia Perrenis.98 Senada dengan Schuon, Nasr mengistilahkan era sains
modern sebagai the plight of modern man (era kejatuhan manusia modern).99
Selanjutnya, Nasr mengusulkan untuk mengakhiri keterputusan realitas dan kosmos
dengan Scientia Sacra, yang dapat menetukan tingkat realitas dan bisa menyingkap
makna secara simbolik dan spiritual.100 Jika tidak ada pengetahuan metafisika101
seperti ini berdampak pada fakta baru dan buta terhadap kebenaran Realitas yang
lebih Tinggi. Struktur kosmos menjadi sebab pesan spiritual pada manusia dan
perspektif ini bisa dijelaskan oleh kosmologi tradisional102. Kosmos yaitu
Gambaran tentang alam semesta yang dihadirkan oleh sains modern menjadi
semakin kompleks, kabur dan asing dari gambaran alami. Namun demikian, terpisah dari
setiap pertanyaan keadaan menyangkut validitas relatifnya, sains modern muncul sebagai
faktor berpengaruh di dalam pemikiran kontemporer; contohnya Ia yaitu bagian dari diri kita
dan bagian dari alam semesta. Maka, sebab puncak sains modern tidak dapat tidak selain
sebagai sebab puncak dari benda, dan seperti semua benda termasuk gambaran alami,
gambaran sains dapat dianggap sebagai simbol dari sebabnya, yakni symbol dari refleksi
parsial dari sebuah sebab ditingkat penampakan. namun ketika yang dipertimbangkan hanya
bentuk luarnya, maka bentuk itu kurang-lebih menjadi penutup yang tak dapat ditembus, yang
menyembunyikan sebab, meskipun jika signifikansi simboliknya dapat ditemukan, bentuk
luar itupun dapat menyingkapkan adanya sebab.
manifestasi dari intelek universal dan logos merupakan bagian integral dari seluruh
alam makna.103 Dalam pandangan tradisional bahwa tatanan ciptaan terdiri dari tiga
keadaan fundamental; yakni materi (bendawi), psikis (animistik) dan spiritual
(malakut).104 Dalam terminologi Sufi, ketiga keadaan ini berturut-turut disebut alam
nasut, malakut dan jabarut.105 Doktrin lima kehadiran Tuhan (al-Khadaraat al-khams
al-Ilahiyyat106) untuk menggambarkan hierarki seluruh Realitas107 dari ketiga
keberadaan vertikal atau menaik (nasut, malakut dan jabarut) dan yang keempat
yaitu sifat-sifat Ilahiyyat (al-Asma al-Shifatiyyah) merupakan hierarki yang lebih
tinggi yang diistilahakan sebagai lahut, dan yang paling atas yaitu esensi Ilahiyah
(al-Dzat) dan derajat ini diistilahkan sebagai hahut.108
Dengan demikian kosmos yaitu sebuah wahyu dari sumber asalnya yang tak
lain asal itu sendiri yakni Tuhan. Nasr mendefinisikan kosmos sebagai buku yang
berisi wahyu primordial dan manusia yaitu keberadaan yang esensial, elemen
konstitutif yang direfleksikan pada cermin kosmik.109 Chittick mendefinisikan
kosmologi sebagai ilmu yang menghantar pemahaman kita pada kesadaran tentang
Tuhan melalui tanda yang ada pada alam dan jiwa manusia.110 Jika kosmos yaitu
sebuah buku besar sebagai tanda-tanda Tuhan, dengan demikian kosmos merupakan
sumber pengetahuan mengenai simbol dan kesadaran.111
Gambaran di atas menjelaskan bahwa perspektif sains tentang kosmos hanya
didasarkan pada dimensi fenomena bahwa bumi di bawah dan langit di atas, matahari
bergerak teratur melintasi cakrawala. Selanjutnya kosmos dalam perspektif filsafat
yaitu adanya sebab akibat (causality), struktur kosmos, teori-teori penciptaan dan
asal usul. Teologi lebih cenderung pada berdebatan tentang Dzat, sifat serta af’al nya
Tuhan serta kebaharuan atau kekadiman kosmos. Pandangan teolog tentang tanzih
menjelaskan bahwa deskripsi mengenai Hakikat Tuhan tidak memuat gambaran utuh
tentang wujud sebab gambaran tanzih tidak menyatakan tanda-tanda yang tampak
dalam kosmos dan kitab suci secara memuaskan sebab analisa kalam yaitu analisa
rasionalis yang tidak memahami hal-hal selain Tuhan.112
Kosmos dalam perspektif tasawuf dipahami sebagai suatu yang membawa
kepada kesadaran pada sesuatu yang lain, maka kosmos yaitu tanda epistemologi –
yang meniscayakan kesadaran pada yang ditandakan oleh alam. Artinya alam akan
menghantarkan kesadaran kepada Tuhan. Asal usul kosmos atau ‘origin’ atau disebut
kosmogeni – secara metafisika dimulai dari Sang Absolut – sebagai Realitas yang tak
terbatas (infinite) – maka ia akan memancar (radiate/fayd) dan memanifestasi dalam
berbagai form derajat eksistensi. Maka kosmos bukan ciptaan seperti halnya
perspektif teologi – sebab dalam perspektif Sufi, kosmos yaitu tajalli (penampakan
Ilahi).
Dari berbagai penjelasan di atas membuktikan bahwa epistemologi yang berbeda
antara sains, teologi, filsafat dan metafisika – menghasilkan paradigma yang berbeda
dalam memahami Tuhan, kosmos dan manusia, sehingga perspektif sains, teologi dan
filsafat tanpa perspektif metafisika hanya akan menghantarkan pada kesadaran level
permukaan dan pesan spiritual kosmos akan terputus dari Realitas asalnya yakni
Tuhan. Hal ini bisa dilihat dari prinsip metafisik Ibn ‘Arabi yang menitik beratkan
pada konsep sentral ‘Realitas Tunggal’ yang di dalamnya terkandung segalanya
(infinite), darinya termanifestasi dan memancar (radiate) segala kemungkinan
(possibility).
Pada akhirnya, secara praksis, kesadaran tauhid tidak hanya terbatas pada
kesalehan individu namun juga melahirkan kesalehan sosial dan dalam dimensi etiknya
berimplikasi kesadaran terhadap lingkungan semesta.
B. Identifikasi, Rumusan dan Pembatasan Masalah
Identifikasi Masalah
1. Perdebatan tentang kosmologi tetap penting untuk dibicarakan.
2. Masalah apakah Tuhan terlibat dalam penjagaan semesta atau cukup sebagai
peletak batu pertama, juga masih menjadi perdebatan baik dalam sains atau
filsafat.
3. Masalah kekadiman alam atau waktu juga masih menjadi perdebatan dalam
teologi.
4. Argumen sains apakah alam muncul dengan sendirinya atau dicipta.
5. Kesadaran tentang alam – sebagai kesadaran tauhid juga masih diperdebatkan
dalam Kosmologi Atheistik atau Theistik.
Rumusan Masalah
juga menjadi ikhtiar untuk mengetahui celah yang belum dibahas oleh penulis yang
lain. Beberapa diantaranya secara ringkas dijabarkan sebagai berikut:
Penelitian yang ditulis oleh Ahmed Abdel Meguid berjudul “The Hermeneutics
of Religious Imagination and Human Nature in Kant & Ibn al-‘Arabī”, kajian ini
meneliti dan membandingkan dimensi pemikiran ketuhanan antara Immanuel Kant
dan Ibn Arabi. Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik untuk
manganalisa pemikiran keduanya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Immanuel
Kant lebih menekankan pada dimensi moral dalam filsafat ketuhanannya, sedangkan
Ibn Arabi lebih menempatkan pandangan filosofis dan pengalaman mistik manusia
dalam konsep ketuhanannya.113 Persamaan Penelitian tersebut dengan kajian penulis
yaitu mengkaji tentang aspek realitas ketuhanan dari kedua tokoh, sedangkan
perbedaannya dengan kajian penulis tidak menekankan aspek kesadaran kosmik.
Penelitian yang ditulis oleh Jason N. Blum berjudul “Mystical Experience:
Interpretation and Comparison”, membantah pandangan bahwa pengalaman mistik
tidak dapat dialami secara langsung namun melalui perantara atau media. Penelitian
ini menggunakan pendekatan fenomenologi hermeneutik terhadap teks-teks dan
praktek keagamaan dari lima agama yaitu Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha.
Peneliti menemukan adanya kesamaan dalam pengalaman mistik kelima agama
tersebut. Kesamaan itu yaitu bahwa pengalaman mistik tidak bersifat konseptual
dan tanpa bahasa namun pengalaman bersifat langsung tanpa perantara.114 Persamaan
penelitian ini dengan buku penulis bahwa puncak pengalaman mistik manusia
merupakan kesadaran tertinggi dalam perjalanan spiritual. Perbedaan kajian ini
dengan kajian penulis secara spesifik tidak menjelaskan tentang kesadaran kosmis
sebagai kesadaran spiritual.
Penelitian yang ditulis oleh Mukhtar Hussain Ali berjudul “Qaysaris
Muqaddima to His Sharh Fusus al-hikam: A Translation of the First Five Chapters
Together with a Commentary on Some of Their Themes” menganalisa syarah fusus
al hikam yang ditulis Dawd Qaisyari. Kajian ini fokus kepada bab muqaddimah yang
terkait dengan doktrin wahdah al wujud, derajat kehadiran Tuhan, hakikat
Muhammad dan seterusnya. Kesimpulan dari kajian ini bahwa Qasyari
mengembangkan ontologi prinsip metafisika Ibn Arabi dengan mensyarah setiap
pokok bahasan dalam muqaddimah fusus al-hikam berdasarkan ajaran dari guru-
gurunya, yaitu: Sayyid Jalaluddin Astiyani, Ayatullah Jawadi Amuli, dan Syeih al-
Akram al Majidi. Bahwa pengetahuan-pengetahuan mistik tidak hanya berdasarkan
pengalaman tapi juga berdasarkan perolehan rasio dan transmisi.115 Ada benang
merah antara Penelitian ini dengan kajian penulis terkait dengan doktrin metafisika
‘Ibn Arabi meskipun penelitian ini tidak membahas tentang kesadaran kosmik.
Penelitian yang ditulis oleh Adil S. Dhanidina berjudul “Experiencing Tawhid
Ibn Arabi and the Power ofI magination”, kajian ini menemukan prinsip tauhid Ibn
Arabi tentang konsep tanzih dan tashbih yang terkesan paradox dan kontradiktif
namun secara esensial yaitu satu. Berdasarkan doktrin ontologisnya tentang
wahdatul wujud yang bertumpu pada perumusan “Dia dan Bukan Dia” (huwa la
huwa) dimana tanzih yaitu penjelasan tentang Dzat-Nya sebagai aspek yang tidak
memiliki hubungan dengan segala sesuatu yang diciptakan, sedangkan asepk tashbih
menegaskan bahwa tuhan identik dengan ciptaannya. Pemahaman ini harus
direkonsiliasi melalui konsep imajinasi, sehingga tidak dipahami kontradiktif.116
Persamaan Penelitian ini dengan kajian penulis yaitu terkait dengan sifat tanzih
Tuhan yang tak tersentuh dan tak terbandingkan serta tidak dapat didefinisikan
dengan cara apapun, namun konsep tasbihnya yaitu tajalli. Perbedaan Penelitian ini
tidak fokus pada kajian cosmic consciousness.
Penelitian yang ditulis Nader Ahmed M. Al-samani “An Analytic Philosophical
Approach To Ibn ‘Arabi ’s Conception of Ultimate Reality”, objek material penelitian
ini yaitu Realitas Tertinggi dalam konsep Ibn ‘Arabi. Peneliti menemukan
inkonsistensi dalam konsep Ibn ‘Arabi yang kemudian mengusulkan tiga poin yakni
tentang Realitas Tertinggi itu sendiri, kedua tentang Realitas Alam, ketiga terkait
hubungan Tuhan dan Alam. Dengan menggunakan pendekatan Analisis-Filsufis,
peneliti mengembangkan interpretasi tentang Realitas Tertinggi pada tiga aspek
konsep dasar yakni: Doktrin Ketunggalan Wujud, Realitas Tertinggi sebagai Dzat,
dan Realitas Tertinggi sebagai Tuhan.117 Dalam penelitian ini tidak ditemukan uraian
tentang konsep kosmologi Ibn ‘Arabi yang terkait dengan kesadaran kosmik.
Persamaan penelitian ini dengan kajian penulis juga mengurai tentang konsep
Realitas Tertinggi sebagai sumber segala wujud.
Penelitian yang ditulis oleh Aydogan Kars “World is an Imagination : A
Phenomenological Approach to The Ontology And Hermeneutics of Ibn Al- Arabi”.
Penelitian ini menggunakan metode hermenetika fenomenologi Heidegger, Gadamer,
Merleau-ponty untuk menelusuri pernyataan ontologis Ibn ‘Arabi tentang barzakh
sekaligus digunakan untuk membandingkan ontologi dan hermenetika Ibn ‘Arabi
dengan ketiga tokoh tersebut. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa dunia sebagai
imajinasi berhubungan dengan struktur teks dan membutuhkan sebuah interpretasi
sebagai pemaknaan agar dunia bisa dibaca secara berbeda pada setiap manifestasi
keberadaan yang sifatnya temporal118 Persamaan penelitian ini dengan kajian penulis
dalam hal mengeksplor tentang barzakh sebagai alam imajinasi atau alam yang
menghubungkan dua dunia dalam struktur kosmologi Ibn ‘Arabi. Perbedaannya
yaitu penelitian ini tidak menyentuh hal-hal terkait dengan kesadaran kosmik.
Penelitian yang dilakukan oleh Sara Haq Hussaini “Beyond Binary Barzakh:
Using the Theme of Liminality in Islamic Thought to Question the Gender Binary”
Kajian ini yaitu kajian tentang ketimpangan yang terjadi dalam pemikiran Islam dan
menyoal tentang ketimpangan binari gender dengan menganalisa konsep metafisika
Ibn ‘Arabi mengenai barzakh. Kajian ini menggunakan metode refleksi dan mistis
atau feminis terhadap puisi-puisi Rumi, Khan, Ibn ‘Arabi yang dianggapnya penuh
dengan paradok. Kajian ini tidak sistematis, tidak ada titik tekan mana yang paradok
dari Rumi, dari Khan, ataupun Ibn ‘Arabi. Istilah-istilah kunci dari ketiganya juga
tidak dieksplore dan menyulitkan pembaca sebab diulas dengan sederhana, namun
ketika dia bicara tentang Ibn ‘Arabi bisa mengeksplore terminologi-terminologi yang
dikaji dan menganggap semua itu meaning less sebab tidak bisa dipahami dengan
bahasa duniawi.119
Penelitian yang dilakukan oleh Hany Talaat Ahmed Ibrahim “Ibn ‘Arabi’s
Metaphisics of Love: a Textual Study of Chapter 178 of al-Futuhat al-Makkiyyah.”
Penelitian ini yaitu sebuah analisa teks terhadap pemikiran Ibn ‘Arabi dalam
Futuhat al-Makiyyah di chapter 178. Dengan mengeksplore doktrin ontologi Ibn
‘Arabi serta fokus pada tema love dan artikulasi metafisiknya. Dengan merujuk pada
perkembangan etimologi dan teologi dari tema cinta yang berbeda-beda dari teks al-
Qur’an, Sunnah, dan Sufisme awal. Penelitian ini juga menganalisa tentang
kosmologi, ontologi dan psikilogi dengan mereferensi pada perkembangan teori cinta
dalam tradisi Sufi sebelum Ibn ‘Arabi. Kesimpulan Penelitian ini yaitu bahwa cinta
manusia kepada Tuhan disebab kan sebuah kualitas jiwa yang disebabkan sebab
eksistensi Tuhan.120 Relevansi penelitian ini dengan kajian penulis yaitu terkait
dengan al-harkah al-hubbiyyah sebagai basis penciptaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Michael Wehring Wolfe “The World Could Not
Contain the Pages: A Sufi Reading of the Gospel of John Based on the Writings of
Muhyi al-Din Ibn al-‘Arabi (1165-1240CE).”121 Penelitian ini menjadikan pemikiran
Ibn ‘Arabi sebagai metode pembacaan terhadap injil Johanes, dan membandingkan
tradisi Kristen dan Islam dimana titik perbedaan dan titik kesamaannya dalam
konteks Yesus sebagai Son of God. Islam menolak tradisi kematian Yesus yang
disalib, sementara Ibn ‘Arabi mengakomodir doktrin bahwa Yesus yaitu kalimat
yang ditubuhkan. Penelitian ini relevan dengan kajian penulis sebab terkait dengan
alam atau yang selain Dia yaitu Dia (Theophani).
Penelitian yang dilakukan oleh Mikko Telaranta “Aristotelian Elements in the
Thinking of Ibn al-‘Arabi and the Young Martin Heidegger.”122 Penelitian ini
menganalisa ide dasar Aristotalian terhadap filsafat Heidegger dan pemikiran mistis
Ibn ‘Arabi. Kesimpulan penelitian ini bahwa Heidegger tidak terpengaruh oleh tradisi
scholastic Aristoteles. Namun ide dasar filsafat Aristotalian bisa diaplikasikan
terhadap ide mistik Ibn ‘Arabi dan menunjukkan bahwa fisika Aristotalian
mempengaruhi pemikiran filsafat Islam secara keseluruhan.
Penelitian yang ditulis oleh Rahmi Meldayati “Psiko-Ekologi Perspektif Ibn
‘Arabi.” Kajian ini menelaah lingkungan dengan perspektif Ibn ‘Arabi dan
menggunakan pendekatan hermenetik terhadap teks konsepsi tajalli. Kesimpulan
kajian ini yaitu bahwa pemikiran Ibn ‘Arabi bisa dijadikan landasan terhadap
kelestarian alam sebab bangunan epistemologi pengetahuan Ibn ‘Arabi merupakan
perpaduan antara basis rasional dan basis spiritual transendental yang bisa mengurai
persoalan krisis lingkungan, serta kesadaran spiritualitas pada perilaku manusia
terhadap alam berdampak pada kelestarian alam.123 Kajian ini ditulis secara sederhana
dan tidak banyak mengutip langsung tentang konsep tajalli dari karya Ibn ‘Arabi.
Perbedaan kajian ini dengan kajian penulis sebab sama sekali tidak menyentuh
pembahasan yang terkait dengan kesadaran kosmik.
Buku yang ditulis oleh Muhammad Iqbal Irham “Menghidupkan Spiritualitas
Islam: Kajian Terhadap Konsep Hudur Ibn ‘Arabi” merupakan kajian terhadap
konsep kehadiran Tuhan dalam kesadaran ma’rifat dan urgensinya terhadap
kehidupan modern. Buku ini merupakan kajian teks terhadap terminologi yang
bersifat teknis sebagai upaya memahami konsep Hudur dan kegunaannya dalam
praktik spiritual. Persamaan buku ini dengan kajian penulis yaitu terkait dengan
pemahaman Hudur sebagai kesadaran tentang Realitas Tertinggi, namun buku
Muhammad Iqbal Irham tidak memfokuskan pada kesadaran tauhid.124
Buku yang ditulis oleh Suwito NS. ”Etika Lingkungan (Ecological Ethics)
dalam Kosmologi Sufi” berasal dari disertasi yang mengkaji terhadap pemikiran dua
tokoh Sufi yaitu; al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi. Buku ini menjelaskan garis besar dua
aliran tasawuf yang terkait dengan hubungan antara Tuhan dan kosmos dan
menekankan pada dua hal yaitu sejarah dan jalur geneologis aliran tasawuf keduanya
serta kerangka fikir yang dibangun oleh kedua Sufi tersebut. Metode yang digunakan
dalam peneltian ini memusatkan kajiannya pada bahan library research yang bersifat
descriptive, analytic, dan comparative yang mendasarkan pada kajian tek dengan
menggunakan pendekatan cosmogonic approach,yang terkait dengan asal usul
kosmos dan relasi antara kosmos dan Tuhan. Sumber primer yang digunakan yaitu
Misykat al-Anwar, Ihya Ulum al-Din, Mahk al-Nazhar fi al-Manthiq, Maqashid al-
Falasifah, Mizan al-‘Amal, Kimiya Sa’adah dan karya-karya Ibn ‘Arabi, al-Futuhat
al-Makiyyah, Fusus al-Hikam. Kesimpulan buku ini yaitu bahwa pandangan Ibn
‘Arabi dan al-Ghazali melahirkan transformasi kesadaran berlingkungan dengan
mengelaborasi basis spiritual.125 Perbedaan buku ini dengan kajian penulis yaitu
pada titik tekanannya hanya menyentuh ranah aksiologi dan tidak mengeksplor hal-
hal yang terkait dengan kesadaran kosmik.
Buku yang dikarang oleh Mohammad Haj Yousef “Ibn ‘Arabi Time and
Cosmology”. Buku ini membangun model kosmologi baru dengan tema: The Single
Monad, menjelaskan pentingnya penciptaan dalam waktu dan peranannya dalam
proses penciptaan kosmos dan hubungannya dengan Sang Pencipta (The Creator).
Buku ini mengurai banyak paragraf yang Ibn ‘Arabi tulis dalam Futuhat Makkiyah
tentang kosmos, bagaimana asal penciptaan – melalui Nafas Ar-Rahman atau pun
melalui Universal Intelect. Buku ini juga mengeksplor bagaimana pafa filsuf Muslim
menggunakan argumen filsufis mengenai waktu dan penciptaan dan membandingkan
pandangan original Ibn ‘Arabi dengan teori modern tentang fisika dan kosmologi.
Titik tekan kajian ini yaitu satu model kosmologi yang terintegrasi yang didasari
oleh pandangan Ibn ‘Arabi tentang Kesatuan Wujud dengan pemetaan penciptaan
dalam satu minggu, dan dirangkai menjadi tema The Single Monad: sebagai simbolik
metafisika yang aktual.126 Persamaan buku ini dengan kajian penulis yaitu terkait
pembahasan tentang kosmologi Ibn ‘Arabi, namun pembahasan Mohammad Haj
Yousef lebih banyak mengeksplor tentang waktu penciptaan dan prinsip-prinsip asal
usul penciptaan. Perbedaan buku Mohammad Haj Yousef dengan kajian penulis
yaitu tidak ditemukannya poin yang terkait dengan alam sebagai simbol kesadaran
kosmik.
Buku dengan judul “Ibn ‘Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan”127 karya
Kautsar Azhari Noer, buku ini menjadi sangat penting bagi penulis sebab di
dalamnya berisi pemaparan dan gagasan wahdatul wujud Ibn ‘Arabi sebagai
penjelasan filosofis yang tidak hanya menjelaskan transendensi Tuhan namun juga
menjelaskan imanensi Tuhan. Persamaan buku ini dengan kajian penulis yaitu
terkait dengan keseluruhan doktrin metafisika Ibn ‘Arabi, namun tema yang menjadi
fokus kajiannya tidak terkait dengan kesadaran kosmik.
Buku dengan judul “Paths to Transendece” yang ditulis oleh Reza Shah-
Kazemi. Buku ini mengkaji prinsip metafisika terhadap transendensi dan puncak
realisasi spiritual tiga tokoh dari tradisi Hindu (Shankara), Muslim (Ibn ‘Arabi) dan
Kristen (Meister Echkhart).128 Metode kajian ini menggunakan pendekatan paralel
dan menganalisa perspektif dan term masing-masing tokoh sebagai basis
perbandingan. Studi ini fokus pada koneksivitas antara kesadaran transedensi sebagai
sebuah gagasan atau prinsip dengan modalitas konkret dari pencapaian spiritual.
Kajian ini diakhiri dengan teks dan wacana penting dari ketiga tokoh. Relevansi
kajian ini dengan kajian penulis yaitu perspektif dari kesadaran spiritual masing-
masing tokoh mistik di atas secara otoritatif dapat dijadikan rujukan bagi penulis.
Buku karya William C. Chittick: “The Self-Disclosure of God”. Buku ini
mengurai prinsip-prinsip ajaran kosmologi Ibn ‘Arabi yang merujuk pada kitab
Futuhat Makkiyah dengan menghadirkan bab-bab tentang Tuhan dan kosmos,
keteraturan alam dan struktur mikrokosmos129. Buku ini menjadi rujukan sekunder
dalam buku penulis. Selain itu, terdapat juga buku karya William C. Chittick
berjudul“Sience of the Cosmos Sience of the Soul.” Buku ini menjelaskan hubungan
ontologis antara Tuhan dengan kosmos sehingga alam bukan lagi menjadi objek-
objek yang terisolasi di dalam ruang hampa ontologis, spiritual dan moral. 130
Buku karya William C. Chittick: “The Sufi Path of Knowledge”, merupakan
studi sistematis tentang berbagai aspek metafisika Ibn ‘Arabi dengan merujuk sumber
tunggal Futuhat Makkiyah yang di dalamnya lebih dari enam ratus bagian dari al-
Futuhat diterjemahkan dalam buku ini131 sehingga buku ini menjadi rujukan yang
sangat penting bagi penulis.
Buku karya William C. Chittick: “The Vision of Islam”, buku ini
mempresentasikan kajian komprehensif yang berawal dari wilayah kebenaran iman
yang diwahyukan, kemudian memperlebar lingkaran sehingga mencakup seluruh visi
Islam yang di dalamnya berisi hadits, praktik, iman spiritualitas dan pandangan Islam
atas sejarah. 132
Selanjutnya buku “Deciphering the Signs of God a Phenomenological Approach
to Islam” karya Annemarie Schimmel menjadi rujukan penulis sebab buku ini
mencoba mengungkap tanda-tanda Tuhan yang ada di alam semest.133 Schimmel
menggunakan pendekatan fenomenologi Friedrich Heiler, buku ini menelaah seluruh
fenomena lahiriah kosmos dan menjabarkan aspek-aspek suci lewat berbagai
fenomena.
Buku “Sufism and Taoism” karya Toshihiko Izutsu yaitu studi perbandingan
antara Ibn ‘Arabi dan Lao-tzu dan Chuang-tzu melalui analisis semantik secara
metodologis tentang istilah-istilah kunci yang terkait dengan ketiga tokoh.134 Karya
ini terletak pada kedalaman interpretasinya tentang istilah-istilah kunci dan kaitannya
satu sama lain.
Henry Corbin dalam bukunya “Creative Imagination in the Sufism Ibn ‘Arabi”
mengungkapkan kajian yang mendalam tentang perumpamaan mistik dan
simbolisme spiritual Ibn ‘Arabi135 seperti halnya komentar Kautsar Azhari Noer136
meskipun menggunakan pendekatan fenomenologis, Corbin terlalu jauh melibatkan
diri dalam pemikiran mistik Ibn ‘Arabi sehingga yang muncul yaitu subjektivitas,
ia bukan lagi menjadi seorang peneliti yang netral dan melakukan penelitian secara
murni namun telah berfilsafat.
Buku “Allah Transcendent” karya Ian Richard Netton merupakan studi struktur
dan semiotik tentang fisalafat Islam, teologi dan kosmologi. Netton menggunakan
mode kritik sastra modern yang berasal dari strukturalisme, pos-strukturalisme dan
semiotik.137 Buku lain yaitu karya Seyyed Hossein Nasr: “Knowledge and The
Sacred”, buku ini menjelaskan bahwa manusia dapat mengetahui “Realitas Absolut”
melalui pengetahuan suci (Scientia Sacra) yang diperoleh dari wahyu dan pemikiran
manusia. Wahyu dapat ditemukan di dalam kitab suci agama-agama, sedangkan
pemikiran merupakan bentuk iluminasi yang diperoleh melalui intelektual oleh
orang-orang yang telah mencapai tingkat religius dan kesadaran spiritual. 138
Buku karya Seyyed Hossein Nasr “Islamic Cosmological Doctrines”, buku ini
membahas kosmologi Islam klasik yang dirumuskan oleh Ikhwan al-Safa, Al-Biruni
dan Ibnu Sina selama abad ke 10 dan 11 dan Nasr menulis buku ini berdasarkan pada
ajaran al-Qur’an dan mengintegrasikan berbagai unsur. 139 Buku karya Seyyed
Hossein Nasr “Three Muslim Sages”, dalam buku ini Nasr mendiskusikan tiga ahli
hikmah: Ibn Sina, Ibn ‘Arabi, dan Suhrawardi dengan mengeksplore sudut pandang
tiga madzhab penting dalam filsafat Islam yakni ilmuan filosof, illuminasionis, dan
Sufi dengan menampilkan aspek signifikan dan intelektualitas Islam dan menyingkap
cakrawala intelektual ketiga tokoh, dan buku ini menjadi rujukan penting sebagai
pengantar untuk mempelajari pemikiran ketiga tokoh tersebut. 140
Seluruh pijakan literatur review dan peta konsep dalam kajian penulis belum
ditemukan kajian dari beragam aspek pemikiran Ibn ‘Arabi dengan alat analisa
cosmic consciousness, sehingga penelitian ini dapat dikatakan kajian yang relatif baru
(novelty).
Penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis dengan alat analisa cosmic
consciousness Richard Mauriche Bucke. Dan metode pembacaan fenomenologi
hermenetika Heidegger untuk mengungkapkan fenomena secara ontologis.143 Teori
cosmic consciousness merupakan teori yang digagas oleh Mauriche Bucke yang
berdasarkan pada tiga kesadaran yakni: simple consciousness, self consciousness,
dan cosmic consciousness. Teori ini didasarkan pada fase-fase kesadaran manusia
dari tingkatan terendah sampai tingakatan tertinggi (highest consciousness).144
Fenomenologi hermenetik berperan untuk mengurai makna yang tersembunyi dibalik
teks, ide, dan pemikiran (bringing out a hidden meaning, bringing what is unkown to
light).145
Fenomenologi hermenitika Heidegger menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah
didasarkan pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, namun realitas yang
menampakkan diri apa adanya, sebagai ontologi menjadi fenomenologi tentang
Ada.146 Hermeneutika Heidegger bukan interpretasi atas fenomen namun “Interpretasi
Dasein”. Dengan demikian pemahaman dan interpretasi keberadaan Dasein yang
dapat terungkap.147 Menurut Heidegger, hakikat wujud melampaui kesadaran
subjektif. Dan sebab kesadaran wujud bersifat historis meskipun dimulai dengan
pengetahuan subjektif tentang wujud namun ia yaitu proses pemahaman yang
berkesinambungan. Terkait dengan hemenitika pembahasan yang belum diselesaikan
oleh Husserl, Heidegger menanganggapnya sebagai fenomologi untuk membangun
hermenitika wujud. Hal ini (Hermeneutic of Being) yang tertuang dalam bukunya
Being and Time.148 Metode fenomenologis Heidegger berpijak pada prinsip
membiarkan segala sesuatu tampil dan tampak seperti apa adanya bukan disebab kan
asumsi perintah subjek.149
Ada perbedaan antara fenomenologi Edmun Husserl dan fenomenologi Martin
Heidegger. Fenomenologi Husserl lebih merupakan studi tentang dunia kehidupan
yang telah ada dalam kesadaran manusia dan menolak kesadaran Descartes yang
mengemukakan bahwa keterarahan subjek (kesadaran) pada objek (fenomena),
dengan mengajukan konsep reduksi sebagai tahapan fenomenologi untuk sampai
pada objek murni, dan hal ini menjebak Husserl pada idealisme. Husserl tidak
bertujuan memperoleh pengetahuan tentang dunia sebagaimana adanya, sebagaimana
firman Tuhan, namun bertujuan memahami dunia yang tidak terkondisi oleh
lingkungan pengamat atau peneliti. Oleh sebab itu, fenomenologi Husserl tidak
memperhitungkan keterbatasan manusia sebagai subjek dalam mengetahui dan tidak
mempertimbangkan manusia yang berkesadaran dapat dipengaruhi oleh lingkungan
sosial budaya. Fenomenogi Husserl mengandaikan setiap eidos (hakikat) memiliki
nilai yang tak terbantahkan.150 Konsep Lebenswlt Husserl diadaptasi oleh Heidegger
dan dihubungkan dengan konsep tentang Ada, kebenaran, dan filsafat. Heidegger
memberi konsep baru (Lebenswlt) dengan mengaitkannya pada eksistensi yaitu
keberadaan manusia pada kerangka ruang dan waktu.151
Intinya, Husserl memahami esensi atau neomena melalui fenomena sementara
Heidegger memfokuskan persoalannya ke ontologi dan eksistensi. Husserl memilih
teori sedangkan Heidegger menekankan pada praktiknya. Meskipun keduanya
memfokuskan pada masalah epistemologi namun Heidegger lebih pada menjembatani
kesenjangan antara pengalaman subjektif dan pengetahuan objektif. 152
Bagi Heidegger substansi sebagai fenomena seringkali tersembunyi,
kegamangan pemahaman Dasein terhadap fenomena diakibatkan lantaran ketidak
pekaan subyek.153 Pengertian metode fenomenologi Heidegger, melihat relasi tak
terpisah antara manusia dengan dunianya. Istilah In-der-Welt-Sein atau Ada dalam
dunia mengisyaratkan satu fenomena yang hanya dapat dipahami dalam kerangka
relasional subjek dan dunia. Pengertian subjek bagi Heidegger tentang Dasein
menjadi teraksentuasi saat dimasukan ke dalam kerangka dunia. Begitu pula dengan
dunia alam, manusia lebih memahami makna-makna keberadaan dunia baginya.
Subjek di dalam dunia merupakan status dari Dasein. Subjek juga realitas dari
Dasein.
Fenomenologi memandang alam tidak sebatas esensinya sebagai definisi kaum
naturalis namun alam yaitu subjek yang intensional. Dengan demikian, manusia
berperan menyingkap pada pengungkapan dirinya yang tidak lagi menempati posisi
subjek namun sebagai Dasein atau subjek yang meng-Ada. Fenomenologi hermenetik
Heidegger penulis gunakan sebagai metode pembac