Tampilkan postingan dengan label ayub 18. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 18. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 18


 y. 29): “Belum pernahkah kamu bertanya-tanya 

kepada orang-orang yang lewat di jalan, orang biasa-biasa saja, 

siapa saja yang bersedia menjawab? Aku tidak bertanya, seperti 

Elifas (5:1), kepada orang-orang yang kudus, melainkan kepada 

anak-anak manusia. Maukah engkau berpaling kepada mereka? 

Berpalinglah ke mana saja engkau mau, dan engkau akan mene-

mukan mereka punya pikiran yang sama denganku, bahwa hu-

kuman bagi orang-orang berdosa lebih dirancangkan untuk dunia 

yang lain daripada untuk dunia ini, sesuai dengan nubuat 

Henokh, keturunan ketujuh dari Adam (Yud. 14). Dapatkah kamu 

menyangkal petunjuk-petunjuk kebenaran ini? Siapa saja yang 

telah banyak mengamati segala tindakan penyelenggaraan Allah 

terhadap umat manusia di dunia ini dapat menyampakain petun-

juk-petunjuk kebenaran ini kepada kalian.” Sekarang,  

1. Apa yang sedang dinyatakan Ayub di sini? Dua hal: 

(1) Bahwa orang berdosa yang tidak mau bertobat pasti akan 

dihukum di dunia yang lain, dan biasanya hukuman mere-

ka ditangguhkan sampai nanti saat  mereka dihukum di 

dunia lain itu. 

(2) Oleh sebab itu kita tidak perlu merasa aneh apabila mereka 

sangat makmur dalam dunia ini dan tidak mengalami 

tanda murka Allah yang kelihatan. namun  mereka dibiarkan 

sekarang, sebab mereka akan dihukum kelak. namun  orang-

orang yang melakukan kejahatan berkembang, supaya me-

reka dipunahkan untuk selama-lamanya (Mzm. 92:8). 

Orang-orang berdosa di sini dipandang, 

[1] Hidup dengan sangat berkuasa, sehingga tidak hanya 

memberi ketakutan bagi orang-orang perkasa di dunia 

orang-orang hidup (Yeh. 32:27), namun  juga menimbul-

kan ketakutan terhadap yang bijak dan baik. Semua 

orang dibuatnya tercengang, sampai tidak ada yang 

berani menggugat kelakuannya (ay. 31). Tidak seorang 

pun berani menegurnya, memberitahukan jalannya 

yang fasik, dan apa yang akan menjadi kesudahannya. 

Dengan demikian ia berbuat dosa dengan aman, dan 

tidak mengenal malu atau takut. Orang bebal akan dibi-

nasakan oleh kelalaiannya, dengan cara, sebab  kesom-

bongannya sendiri, tidak ditegur, supaya jangan ia ber-

balik lalu bertobat sehingga mencegah kehancurannya. 

Mereka yang ditetapkan untuk binasa yaitu  yang dibi-

arkan terus dalam dosa (Hos. 4:17). Tidak seorang pun 

berani menggugat kelakuannya, apalagi membalas den-

dam kepadanya dan menyuruh dia mengembalikan apa 

yang telah ia dapatkan dengan tidak adil. Seperti hu-

kum, ia bagaikan seekor lalat besar yang terbang mene-

robos sarang laba-laba, yang mana sarang tersebut 

hanya mampu menahan lalat-lalat kecil. Hal ini menge-

raskan para pendosa di dalam cara mereka yang ber-

dosa, sehingga mereka dapat menggertak hukum dan 

membuatnya takut untuk berurusan dengan mereka. 

Namun ada satu hari yang akan datang, di mana me-

reka akan diberitahukan akan semua kesalahan mereka 

yang tidak ingin mereka dengar sekarang. Pada waktu 

itu dosa-dosa mereka akan diperlihatkan di hadapan 

mereka, dan jalan-jalan mereka dinyatakan di depan 

mereka. Dan hal ini akan membuat mereka kebingung-

an dan hilang akal saat itu, sebab  tidak mau ditegur di 

dunia ini dan menjadi insaf. Barang siapa tidak mem-

perbaiki kesalahan yang telah mereka perbuat akan 

dibuat membayar ganjarannya. 

[2] Akan mati dan dikuburkan dalam kemegahan dan kebe-

saran (ay. 32-33). Tidak ada penawarnya, ia harus mati. 

Ini bagian semua orang. Namun engkau harus melaku-

kan apa pun yang dapat engkau pikirkan untuk lepas 

dari cela kematian.  

Pertama, ia harus dimakamkan dengan acara pema-

kaman yang megah, suatu hal yang buruk untuk di-

banggakan siapa pun, namun sebagian orang mengang-

gapnya hal yang hebat. Dia dibawa ke kuburan dengan 

dikelilingi kehormatan dan penghargaan teman-teman-

nya terhadap jenazahnya. Orang kaya itu juga mati, lalu 

dikubur, namun kita tidak disebut-sebutkan mengenai 

bagaimana orang miskin itu dikubur (Luk. 16:22).  

Kedua, jiratnya dirawat orang, batu nisan yang me-

gah didirikan bagi orang fasik, dengan sebuah pujian 

Hic jacet – Di sini berbaring. Mungkin yang dimaksud 

yaitu  pembalsaman jasadnya untuk mengawetkannya, 

yang merupakan semacam penghormatan kuno yang 

dilakukan oleh orang Mesir bagi orang-orang besar. Ia 

akan menjaga dan mengawasi kuburnya (demikian arti-

nya), tinggal di dalam sana seorang diri dengan tenang, 

layaknya penjaga di menaranya.  

Ketiga, dengan nyaman ia ditutupi oleh gumpalan-

gumpalan tanah di lembah. Orang akan berusaha mem-

beri bau-bauan yang wangi untuk menghilangkan bau 

busuk kuburan, layaknya lampu-lampu yang dinyalakan 

untuk mengenyahkan kegelapannya, yang mungkin me-

rujuk kepada kata sebelumnya menjaga kuburnya. Na-

mun semua itu hanyalah olok-olok, sebab apalah artinya 

lampu atau minyak wangi bagi orang yang sudah mati?  

Keempat, kematiannya akan diumumkan, untuk me-

ngurangi aib kematian, bahwa kematian yaitu  bagian 

semua orang. Dia hanya menyerah kepada takdir, dan 

setiap orang akan mengikuti dia, dan yang mendahului 

dia tidak terbilang banyaknya. Perhatikan, kematian ada 

di seluruh bumi: saat  kita akan berjalan menyeberangi 

lembah gelap itu kita harus mempertimbangkan, 

1. Bahwa ada tak terbilang banyaknya yang mendahu-

lui kita. Jalan itu sudah dijalani sebelumnya, se-

hingga dapat membantu mengurangi kengerian akan 

kematian. Mati yaitu  ire ad plures – untuk pergi ke-

pada sekelompok orang banyak.  

2. Bahwa setiap orang akan mengikuti kita. Sebagai-

mana telah ada jalan yang sudah dijalani sebelum-

nya, maka ada rombongan panjang di belakang. Kita 

bukanlah orang pertama atau terakhir yang berjalan 

di jalan yang gelap itu. Setiap orang harus berjalan 

sesuai dengan urutan giliran masing-masing, urutan 

yang ditentukan Allah. 

2. Dari semua ini Ayub menyimpulkan penyimpangan dalam pen-

dapat para sahabatnya (ay. 34) bahwa, 

(1) Dasar pendapat mereka busuk, dan mereka membuat duga-

an yang salah: “Semua jawabanmu yaitu  tipu daya belaka. 

Apa yang kau katakan tidak hanya tidak terbukti, namun 

juga terbantahkan, dan di dasarnya ada kesalahan dan 

tipu daya yang tidak dapat engkau perbaiki.” 

(2) sebab  itu bangunan mereka lemah dan goyah: “Alangkah 

hampanya penghiburanmu bagiku. Semua yang engkau kata-

kan tidak memberi aku kelegaan. Engkau memberitahuku 

bahwa aku akan kembali makmur apabila aku berpaling 

kepada Allah, namun engkau melanjutkan dengan anggap-

an, bahwa kesalehan sudah pasti dimahkotai dengan ke-

makmuran, yang yaitu  salah. Jadi bagaimana mungkin 

kesimpulanmu itu memberikan aku penghiburan?” Perhati-

kan, di mana tidak ada kebenaran, di situ tidak ada peng-

hiburan yang bisa diharapkan. 

 

 

 

  

PASAL  22  

lifas di sini memulai serangannya yang ketiga kepada Ayub yang 

malang. Sesudah dia menyusul Bildad, namun  Zofar mundur dan 

meninggalkan arena. Sungguh sedih hati Ayub, seperti halnya 

banyak orang yang jujur, saat  disalahpahami oleh teman-teman-

nya. Ia telah menjelaskan bahwa kemakmuran orang fasik di dunia 

ini merupakan sebuah misteri Penyelenggaraan Allah, namun  para 

sahabatnya itu memahami penjelasannya itu sebagai penghinaan 

terhadap Sang Penyelenggara, bahwa seakan Ia menyetujui kejahatan 

orang fasik. Dan sebab  itu mereka menegur dia. Dalam pasal ini,  

I. Elifas menegur Ayub atas keluhannya terhadap Allah, dan 

akan tindakan-Nya terhadap dia, seakan-akan dia mengang-

gap Allah telah berbuat salah kepadanya (ay. 2-4).  

II. Ia menuduh Ayub dengan banyak kejahatan berat dan pe-

langgaran ringan, yang sebab nya dia menganggap Allah 

sekarang sedang menghukum Ayub. Menurut Elifas, kejahat-

an Ayub itu yaitu ,  

1. Penindasan dan ketidakadilan (ay. 5-11).  

2. Tidak mengakui dan tidak percaya Allah (ay. 12-14).  

III. Elifas membandingkan kasus Ayub dengan kasus dunia masa 

dahulu kala (ay. 15-20).  

IV. Ia memberi Ayub nasihat yang sangat baik, meyakinkan dia 

bahwa, jika dia mau menerimanya, Allah akan berbelaskasih-

an kepadanya dan dia akan kembali kepada keadaannya 

yang semula (ay. 21-30).  

Teguran Elifas yang Ketiga  

(22:1-4) 

1 Maka Elifas, orang Téman, menjawab: 2 “Apakah manusia berguna bagi 

Allah? Tidak, orang yang berakal budi hanya berguna bagi dirinya sendiri.  

3 Apakah ada manfaatnya bagi Yang Mahakuasa, kalau engkau benar, atau 

keuntungannya, kalau engkau hidup saleh? 4 Apakah sebab  takutmu akan 

Allah, maka engkau dihukum-Nya, dan dibawa-Nya ke pengadilan? 

Elifas di sini menyindir bahwa, sebab  Ayub mengeluh begitu banyak 

tentang kesengsaraannya, dia menganggap Allah tidak adil dalam 

mencelakainya. Namun sindiran tidak berdasar dan keras. Ayub jauh 

dari berpikir demikian. Jadi, apa yang Elifas katakan di sini tidaklah 

adil diterapkan kepada Ayub, namun  isi perkataan itu sendiri memang 

sangat bagus dan benar,  

I. Bahwa saat  Allah berbuat baik kepada kita, hal itu bukan 

sebab  Ia berutang jasa kepada kita. Seandainya dia benar demi-

kian, maka orang pun akan punya alasan untuk berkata, saat  

Ia mencelakai kita, “Ia sungguh tidak adil dengan kita.” sebab  

itu, barang siapa mengaku-ngaku ia telah berjasa dalam suatu 

hal dan menjadikan Allah berutang kepadanya, maka kiranya dia 

membuktikan hal itu, maka ia pasti tidak akan kehilangan 

upahnya (Rm. 11:35). Siapakah yang pernah memberikan sesuatu 

kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Elifas di sini 

menunjukkan bahwa kebenaran dan kesempurnaan orang yang 

paling baik di dunia sama sekali tidak bermanfaat atau memberi 

keuntungan kepada Allah, dan sebab nya mereka tidak dapat 

menganggap diri memiliki jasa apa pun.  

1.  Kesalehan manusia tidaklah berguna bagi Allah, tidak ada ke-

untungannya (ay. 1-2). Apabila ada sesuatu jasa kepada Allah 

yang dapat kita lakukan, mungkin sekali itu yaitu  kesalehan 

kita, hidup kita yang benar, dan berusaha hidup dengan 

sempurna. Namun, jika hal ini pun tidak dapat memberi jasa, 

maka pasti tidak ada hal lain lagi yang dapat menimbulkan 

jasa. Apabila seorang manusia tidak dapat membuat Allah 

sebagai orang yang berutang oleh sebab  kehidupan salehnya, 

dan kejujurannya, serta ketaatannya kepada hukum-hukum-

Nya, maka apalagi dengan kecerdasan, pengetahuan dan hik-

mat duniawinya. Nah, Elifas di sini bertanya apakah ada ma-

nusia yang berguna kepada Allah. Tentu tidak ada seorang 

pun. Sama sekali tidak ada. Orang yang berakal budi hanya 

berguna bagi dirinya sendiri. Perhatikanlah, hikmat dan ke-

salehan kita sendiri, itulah yang memberi dan akan memberi 

keuntungan kepada kita sendiri. Yang terpenting untuk ber-

hasil yaitu  hikmat (KJV: Hikmat berguna untuk mengarahkan,  

Pkh. 10:10). Ibadah itu berguna dalam segala hal (1Tim. 4:8). 

Jikalau engkau bijak, kebijakanmu itu bagimu sendiri (Ams. 

9:12). Keuntungan agama tak terhingga lebih besar daripada 

kerugiannya, yang akan tampak demikian saat  keduanya 

ditimbang. Namun dapatkah seorang manusia berguna bagi 

Allah? Tidak, sebab kesempurnaan Allah itu sedemikian sem-

purnanya hingga Ia tidak dapat menerima kegunaan atau ke-

untungan apa pun dari manusia. Apakah yang dapat ditam-

bahkan kepada yang tak terbatas? Sebaliknya, kelemahan dan 

ketidaksempurnaan manusia itu begitu kurangnya hingga ia 

tidak dapat memberikan guna atau keuntungan kepada Allah. 

Dapatkah terang sebuah lilin berguna bagi matahari atau 

setitik air timba bagi lautan? Orang yang bijaksana hanyalah 

berguna bagi dirinya sendiri, bagi arah hidup dan pertahanan-

nya, penghiburan dan penghormatannya. Dengan hikmatnya 

manusia dapat menghibur dan memperkaya diri sendiri. namun  

dapatkah dia berguna bagi Allah? Tidak. Allah tidak butuh kita 

atau bantuan kita. Sebaliknya, kita akan tamat, untuk sela-

manya tamat, tanpa Dia. namun  Allah tetap bahagia, selama-

nya bahagia, tanpa kita. Apakah ada manfaatnya bagi Yang 

Mahakuasa, suatu tambahan bagi kemuliaan dan kekayaan-

Nya, kalau kita hidup saleh? Seandainya pun kemuliaan dan 

kekayaan kita itu benar-benar sempurna, apakah itu akan 

menjadikan Allah lebih baik? Maka apalagi kalau semuanya 

itu jauh dari sempurna.  

2. Kesalehan manusia tidaklah menyenangkan Allah. Memang 

Allah telah berfirman bahwa Ia sangat senang dengan orang 

saleh. Wajah-Nya menatap mereka dan bersuka di dalam me-

reka dan doa-doa mereka. namun  semuanya itu tidak menam-

bahkan apa-apa kepada kepuasan yang tak terbatas yang 

sudah dimiliki oleh Sang Akal Budi Abadi dalam diri-Nya sen-

diri. Allah dapat menikmati diri-Nya sendiri tanpa kita, semen-

tara kita sendiri hampir tidak dapat menikmati diri sendiri 

kalau tanpa teman-teman kita. Semua kebenaran ini semakin 

mengagungkan kerendahan diri-Nya, bahwa meskipun segala 

pelayanan kita tidak ada gunanya atau memberi kesenangan 

bagi-Nya, namun Ia mengundang, mendorong dan menerima-

nya juga. 

II. Bahwa saat  Allah membatasi atau memarahi kita hal itu bukan 

sebab  Ia takut kita membahayakan diri-Nya atau sebab  Ia men-

dengki kita (ay. 4): “Apakah sebab  Allah takut kepadamu, maka 

engkau dihukum-Nya, dan menurunkanmu dari kemakmuranmu 

agar engkau tidak tumbuh terlalu besar melebihi-Nya, seperti 

yang terkadang dilakukan raja-raja untuk mengekang kebesaran 

rakyatnya yang sedang tumbuh, jangan sampai dia menjadi 

tangguh?” Iblis memang menasihati orangtua pertama kita bahwa 

Allah melarang mereka untuk makan buah dari pohon pengetahu-

an sebab  takut kepada mereka, jangan sampai mereka akan 

menjadi seperti allah, sehingga menjadi saingan-Nya. namun  ini 

suatu pikiran yang jahat dan rendah. Allah memarahi orang baik 

sebab  Ia mengasihi mereka, namun  Ia tidak pernah memarahi 

orang besar sebab  takut kepadanya. Ia tidak terlibat dalam urus-

an dengan manusia, yaitu, bertengkar dengan mereka dan men-

cari kesempatan untuk melawan mereka, sebab  merasa takut 

jangan sampai mereka menenggelamkan kehormatan-Nya atau 

membahayakan kepentingan-Nya. Para pembesar menghukum 

penyerang mereka sebab  takut kepada mereka. Firaun menindas 

bangsa Israel sebab  dia takut kepada mereka. Oleh sebab  takut-

lah maka Raja Herodes membantai bayi-bayi di Betlehem. Demi-

kian pula orang-orang Yahudi menganiaya Kristus dan para mu-

rid-Nya. namun  Allah, tidak seperti mereka, tidak menyimpangkan 

keadilan sebab  takut kepada orang (35:5-8). 

Ayub Dituduh Melakukan Berbagai Kejahatan  

(22:5-14) 

5 Bukankah kejahatanmu besar dan kesalahanmu tidak berkesudahan? 6 Ka-

rena dengan sewenang-wenang engkau menerima gadai dari saudara-sauda-

ramu, dan merampas pakaian orang-orang yang melarat; 7 orang yang ke-

hausan tidak kauberi minum air, dan orang yang kelaparan tidak kauberi 

makan, 8 namun  orang yang kuat, dialah yang memiliki tanah, dan orang yang 

disegani, dialah yang mendudukinya. 9 Janda-janda kausuruh pergi dengan 

tangan hampa, dan lengan yatim piatu kauremukkan. 10 Itulah sebabnya

Kitab Ayub 22:5-14 

 419 

engkau dikelilingi perangkap, dan dikejutkan oleh kedahsyatan dengan tiba-

tiba. 11 Terangmu menjadi gelap, sehingga engkau tidak dapat melihat dan 

banjir meliputi engkau. 12 Bukankah Allah bersemayam di langit yang tinggi? 

Lihatlah bintang-bintang yang tertinggi, betapa tingginya! 13 namun  pikirmu: 

Tahu apa Allah? Dapatkah Ia mengadili dari balik awan-awan yang gelap?  

14 Awan meliputi Dia, sehingga Ia tidak dapat melihat; Ia berjalan-jalan 

sepanjang lingkaran langit! 

Elifas dan rekan-rekannya telah menarik kesimpulan dan mengutuki 

Ayub sebagai seorang fasik dan munafik. namun  tak seorang pun dari 

mereka yang memberi rincian kejahatannya, sampai Elifas melaku-

kannya di sini, yang secara pasti dan tegas menuduh dia dengan 

banyak kejahatan besar dan pelanggaran ringan, yang, jika Ayub 

memang benar-benar bersalah atasnya, maka dapat membenarkan 

tindakan mereka dalam mengecam dia dengan keras seperti itu. 

“Ayolah,” kata Elifas, “kita sudah terlalu lama berbelit-belit, terlalu 

lembut terhadap Ayub dan takut mendukakan dia, sehingga hanya 

menguatkan dia dalam membenarkan dirinya sendiri. Sudah tiba 

waktunya untuk berurusan dengan dia terang-terangan. Kita sudah 

menyatakan dia bersalah dengan memakai perumpamaan, namun  hal 

itu tidak berhasil meyakinkan dia. Dia tidak mau mengakui diri ber-

salah. Maka kita harus memberi tahu dia langsung saja, Engkaulah 

orangnya,  si penguasa kejam, si penindas, si kafir itu, yang kita per-

bincangkan selama ini. Bukankah kejahatanmu besar? Pastilah begi-

tu, sebab jika tidak persoalanmu tidaklah sedemikian hebat. Aku 

mohon kepadamu dan mengetuk hati nuranimu. Bukankah kesalah-

anmu tidak berkesudahan, baik dalam jumlah maupun kekejiannya?” 

Secara ketat, tidak ada yang tak terbatas selain Allah. namun  yang dia 

maksudkan yaitu  ini, bahwa dosa-dosa Ayub lebih daripada yang 

dapat dihitung dan lebih keji daripada yang dapat dipikirkan. Dosa, 

yang dilakukan terhadap Keagungan yang Tak Terbatas, di dalamnya 

ada semacam kejahatan yang tak terbatas. Akan namun , saat  Elifas 

menuduh Ayub dengan sedemikian keras ini, malah dengan berani 

memerinci hal-hal yang khusus pula, menyampaikan tuduhan yang 

tidak diketahuinya, maka kita dapat belajar dari sini,  

1. Untuk marah terhadap orang-orang yang secara tidak adil menge-

cam dan menuduh saudara-saudaranya. sebab  sepantas penge-

tahuan saya, Elifas, dengan memfitnah Ayub seperti ini, bersalah 

atas suatu dosa yang sama besarnya dengan kesalahan orang-

orang Syeba dan Kasdim yang telah merampok Ayub. Sebab nama 

baik seseorang lebih berharga dan mulia daripada kekayaannya. 

Sangatlah bertentangan dengan semua hukum keadilan, amal, 

dan persahabatan, untuk mengajukan atau menerima umpatan, 

iri hati, dan sangkaan jahat terhadap orang lain. Dan terlebih 

buruk dan hina lagi jika kita melakukan perbuatan demikian 

sampai menggusarkan orang yang sedang dalam kesusahan dan 

menambah kesengsaraan mereka. Elifas tidak dapat menyebutkan 

contoh-contoh dari kesalahan Ayub dalam hal apa pun secara 

khusus yang disebutkan di sini, namun tampaknya bertekad untuk 

memfitnah dia dengan berani, dan melemparkan semua tuduhan 

sedapatnya kepada Ayub, dengan tidak ragu bahwa beberapa 

orang pasti akan berpihak kepadanya.  

2. Untuk mengasihani orang-orang yang dicela dan dikutuk demi-

kian. Ketidakberdosaan itu sendiri tidak akan aman dari lidah 

palsu dan busuk. Ayub, yang dipuji sendiri oleh Allah sebagai 

orang yang terbaik di dunia, seorang yang bijak dan baik hati, 

dituduh oleh seorang sahabatnya sebagai seorang penjahat yang 

paling besar. Kiranya kita tidak merasa heran jika suatu waktu 

kita juga dihina seperti ini, melainkan belajar bagaimana meng-

atasi kabar-kabar jahat maupun yang baik, dan menyerahkan 

perkara kita, seperti yang dilakukan oleh Ayub di sini, kepada Dia 

yang menghakimi dengan adil.  

Mari kita lihat hal-hal khusus dari tuduhan Elifas ini, 

I. Ia menuduh Ayub dengan penindasan dan ketidakadilan, yaitu, 

saat  dia dulu makmur, dia tidak hanya tidak berbuat baik de-

ngan kekayaan dan kekuasaannya, namun  juga banyak mencelakai 

orang dengan semuanya itu. Tuduhan ini sepenuhnya palsu, se-

perti tampak jelas melalui penjelasan Ayub tentang dirinya sendiri 

(29:12, dll.) dan perilaku baik yang digambarkan Allah tentang 

dirinya (ps. 1). Meskipun begitu, 

1. Elifas memerinci tuduhannya ini atas beberapa macam per-

buatan dengan yakinnya, seakan-akan dia dapat memanggil 

saksi-saksi untuk membuktikan setiap tuduhannya tersebut. 

Ia memberi tahu Ayub,  

(1) Bahwa Ayub telah berbuat jahat dan tak kenal belas kasih-

an terhadap orang miskin. Sebagai seorang pejabat Ayub 

seharusnya melindungi mereka dan menolong dengan ke-

butuhan mereka. namun  Elifas curiga bahwa Ayub tidak 

pernah berbuat baik apa pun kepada mereka, melainkan 

hanya berbuat kejahatan dengan kekuasaannya itu. Bahwa 

untuk suatu utang yang tidak banyak, Ayub masih juga 

menuntut dilunasi, dan menyita dengan jalan kekerasan 

barang suatu barang jaminan yang sangat bernilai, bahkan 

dari saudaranya, yang ia tahu sangat jujur dan mampu un-

tuk membayar kembali utangnya (ay. 6), dengan sewenang-

wenang engkau menerima gadai dari saudara-saudara-

mu. Atau, seperti yang ditulis dalam Septuaginta, engkau 

telah membawa pergi saudara-saudaramu sebagai barang 

gadai, dan untuk hal yang sia-sia, memenjarakan mereka, 

memperbudak mereka, sebab  mereka tidak punya apa-apa 

untuk membayar utang. Bahwa Ayub merampas satu-satu-

nya pakaian dari para penyewa dan kreditur yang bang-

krut, sehingga dia menelanjangi mereka, dan meninggalkan 

mereka demikian (hukum Musa telah melarang hal ini, Kel. 

22:26, Ul. 24:13). Bahwa Ayub tidak beramal kepada orang 

miskin, tidak, tidak kepada para pelancong yang miskin 

dan janda-janda miskin: “Tidak kauberi minum barang se-

gelas air sejuk (yang tidak berarti apa-apa bagimu) kepada 

orang yang kehausan, saat  dia memintanya (ay. 7) dan 

yang akan segera binasa sebab  kekurangan air. Bah-

kan, orang yang kelaparan tidak kauberi makan dalam kela-

paran mereka, tidak hanya tidak memberi mereka makan, 

namun  melarang untuk memberi, yang sama dengan mena-

han kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerima-

nya (Ams. 3:27). Janda-janda miskin, yang saat  suami 

mereka masih hidup tidak pernah menyusahkan orang, 

namun  sekarang dipaksa untuk mencari kelegaan, engkau 

suruh pergi dengan tangan hampa dan bersedih hati dari 

pintu kemahmu (ay. 9). Orang-orang yang datang kepada-

mu untuk mencari keadilan, engkau suruh pergi tanpa di-

dengar perkaranya, tanpa ditolong. Bahkan, kendati mere-

ka datang kepadamu dengan tangan penuh, engkau meme-

ras mereka, dan menyuruh mereka pergi dengan tangan 

kosong. Dan, yang paling parah dari yang lainnya, lengan 

yatim piatu engkau remukkan. Orang-orang yang sebenar-

nya masih sanggup membantu diri sendiri meskipun sedi-

kit saja, engkau buat tidak berdaya sama sekali untuk 

menolong diri sendiri.” Inilah bagian terhitam yang secara 

tidak langsung dituduhkan Elifas: lengan yatim piatu eng-

kau remukkan. Ia tidak berkata, “Engkau meremukkan 

mereka,” namun  secara tidak langsung memaksudkannya 

demikian, dan jika mereka diremukkan, dan engkau yang 

berkuasa tidak menolong mereka, maka engkau dapat di-

tuduh yang meremukkan mereka. “Mereka diremukkan oleh 

orang-orang bawahanmu, dan engkau bersekongkol dalam 

hal ini, yang membuat engkau turut bersalah.”  

(2) Bahwa Ayub telah bersikap pilih kasih kepada orang kaya 

dan orang besar (ay. 8): “namun  orang yang kuat, apabila 

bersalah sebab  suatu kejahatan, ia tidak pernah diper-

soalkan: dialah yang memiliki tanah. Dialah yang mendu-

dukinya. Jika dia melakukan suatu tindakan yang sangat 

tidak adil, atau jika suatu tindakan dengan begitu adil 

dituduhkan terhadapnya, dia pasti akan menang di peng-

adilanmu. Orang miskin tidak engkau beri makan di depan 

kemahmu, sementara orang kaya dijamu di mejamu.” Ber-

lawanan dengan hal ini yaitu  hukum Kristus tentang ke-

murahan hati (Luk. 14:12-14), dan Salomo berkata, Orang 

yang memberi hadiah kepada orang kaya, hanya merugikan 

diri saja. 

2. Elifas menghubungkan semua masalah Ayub sekarang dengan 

dosa-dosa yang dituduhkan ini (ay. 10-11): “Orang-orang yang 

bersalah atas dosa-dosa seperti ini biasanya menjerumuskan 

diri mereka sendiri ke dalam keadaan seperti yang engkau 

alami sekarang ini, Ayub. sebab  itulah kami menyimpulkan 

bahwa engkau selama ini bersalah dengan semua dosa itu.”  

(1) “Penyelenggaraan Allah biasanya menghajar dan memper-

malukan orang-orang yang demikian. sebab  itu engkau di-

kelilingi perangkap, sehingga, ke mana pun engkau melang-

kah atau memandang, engkau mendapati diri dalam kesu-

litan. Dan semua orang sekarang berlaku keras terhadap 

engkau seperti yang engkau perbuat terhadap orang miskin 

dahulu.”  

(2) “Hati nurani mereka bisa jadi akan menakut-nakuti dan 

menuduh mereka. Tidak ada dosa yang membuat tangisan 

di sana lebih keras daripada dosa kekejaman. Oleh sebab  

itu, engkau dikejutkan oleh kedahsyatan dengan tiba-tiba. 

Dan, kendati engkau tidak mau mengakuinya, rasa bersa-

lah seperti inilah yang menciptakan semua kengerian ini 

terhadap engkau.” Zofar telah menyindir tentang hal ini 

(20:19-20).  

(3) “Mereka dibawa kepada nasib akhir mereka, dibuat begitu 

terkejut dan bingung sehingga mereka tidak tahu harus 

berbuat apa, dan itu pula yang terjadi padamu, Ayub. Se-

bab terangmu menjadi gelap sehingga engkau tidak dapat 

melihat mengapa Allah menentang engkau, dan tidak dapat 

melihat jalan terbaik apa yang harus engkau ambil, sebab 

banjir meliputi engkau.” Yaitu, “Engkau ada di dalam kabut, 

di tengah-tengah air yang hitam pekat, di dalam awan 

tebal.” Perhatikanlah, orang-orang yang tidak menunjuk-

kan belas kasihan akan dengan adil disangkal pengharap-

annya dalam mendapatkan belas kasihan bagi penghiburan 

mereka. Maka, apa yang dapat mereka harapkan selain pe-

rangkap, kegelapan, dan ketakutan terus-menerus?  

II. Elifas menuduh Ayub seorang kafir, tidak percaya Tuhan, bejat, 

dan menganggap semua ini yang menjadi dasar perilakunya yang 

tidak adil dan penindas. orang yang tidak takut Allah tidak akan 

menghargai manusia. Elifas seperti menganggap Ayub seorang 

Epikurian, yang memang mengakui keberadaan Allah, namun  me-

nyangkal penyelenggaraan-Nya, dan lebih suka membatasi diri 

dengan hiburan dari dunia atas dan tidak peduli dengan manusia 

dan urusan dunia bawah ini. 

1. Elifas merujuk kepada sebuah kebenaran yang penting, yang 

menurutnya, jika Ayub mempertimbangkannya dengan baik, 

akan mencegahnya berkeluh kesah dengan begitu gusar dan 

membenarkan diri dengan konyol (ay. 12): Bukankah Allah ber-

semayam di langit yang tinggi? Ya, tidak diragukan lagi. Tidak 

ada langit yang lebih tinggi daripada langit tempat Allah ber-

semayam. Dan di langit yang tertinggi, tempat kediaman ke-

muliaan-Nya, Ia ada dalam suatu cara yang khusus. Di sana 

Ia berkenan untuk menyatakan diri dalam cara yang khusus 

kepada dunia atas, dan dari sana Ia berkenan untuk menyata-

kan diri dalam suatu cara yang cocok dengan dunia bawah ini. 

Di sanalah takhta-Nya. Di sanalah istana-Nya: Ia disebut Sor-

ga (Dan. 4:26). Jadi Elifas membuktikan bahwa seorang ma-

nusia tidak dapat berguna bagi Allah (ay. 2), sehingga dia ja-

nganlah bersaing dengan Allah (merupakan kebodohannya jika 

dia melakukannya), dan bahwa kita harus selalu menghadap 

Allah dengan penghormatan yang sangat besar. Sebab saat  

kita melihat bintang-bintang yang tertinggi, betapa tingginya 

mereka, kita seharusnya, di waktu yang sama, juga mem-

pertimbangkan keagungan Allah yang mengatasi segalanya, 

yang mengatasi bintang-bintang, dan betapa tingginya Dia. 

2. Elifas menuduh Ayub telah salah memakai  doktrin ini, 

yang seharusnya dapat dipergunakan dengan baik (ay. 13). 

“Hal ini seperti menindas kebenaran dengan kelaliman, menye-

rang agama dengan senjatanya sendiri, dan membalikkan sen-

jatanya menyerang dirinya sendiri. Engkau mengakui bahwa 

Allah bersemayam di langit yang tinggi, namun  kemudian eng-

kau menyimpulkan, Tahu apa Allah?” Orang-orang jahat meng-

usir takut akan Allah dari hati mereka dengan mengusir mata 

Allah keluar dari dunia (Yeh. 8:12), dan tidak peduli dengan 

apa yang mereka lakukan, dengan menipu diri sendiri bahwa 

Allah tidak tahu. Elifas mencurigai bahwa Ayub memiliki sua-

tu gagasan tentang Allah seperti ini, yaitu, sebab  Ia bersema-

yam di langit yang tinggi,  

(1) Maka tidak mungkin bagi-Nya untuk melihat dan mende-

ngar apa yang dilakukan di suatu tempat yang begitu jauh 

seperti bumi ini, apalagi ada awan yang gelap (ay. 13), ba-

nyak awan tebal (ay. 14), yang datang antara Dia dan kita, 

dan yang meliputi Dia, sehingga Ia tidak dapat melihat, 

apalagi mengadili urusan dunia di bawah ini. Seakan-akan 

Allah memiliki mata badani (10:4). Padahal, cakrawala yang 

membentang di langit itu tembus pandang bagi Dia, seperti 

bidang es bening (Yeh. 1:22). Jarak tempat tidak mencipta-

kan kesulitan bagi Dia yang memenuhi segala bidang yang 

seluas apa pun, termasuk jarak waktu bagi Dia yang ada-

lah kekal. Atau,  

(2) sebab  itu tidak layak bagi-Nya, dan hanya mengecilkan 

kemuliaan-Nya saja, untuk memusingkan diri dengan bagi-

an ciptaan yang lebih rendah ini: Ia berjalan-jalan sepan-

jang lingkaran langit, dan itu sudah cukup bagi-Nya untuk 

menikmati diri sendiri dan kesempurnaan serta kemuliaan-

Nya di dalam dunia yang tenang dan bercahaya itu. Jadi, 

mengapa Ia harus menyusahkan diri dengan kita? Ini 

benar-benar merupakan pemikiran yang tidak masuk akal, 

perbuatan yang sungguh fasik, yang dituduhkan Elifas di 

sini terhadap Ayub. Pemikiran seperti ini mengandaikan 

bahwa pekerjaan menjalankan pemerintahan itu yaitu  

suatu beban dan penghinaan bagi sang pemerintah terting-

gi, dan bahwa tindakan mengadili dan menunjukkan belas 

kasihan sangat berat seperti orang melakukan kerja keras, 

bagi Allah yang memiliki akal budi yang tak terbatas, bijak, 

suci, dan baik. Jika matahari saja, yang hanya suatu 

makhluk ciptaan, dan benda mati, dengan terang dan 

pengaruhnya dapat menjangkau bumi ini dan setiap bagi-

annya (Mzm. 19:7), bahkan dari ketinggian yang jauh dari 

langit yang dapat dilihat, tempat ia berada dan berjalan, 

menembus banyak awan yang tebal dan gelap, akankah 

kita mempersoalkan kesanggupan Sang Pencipta?  

Hukuman Ditimpakan ke Atas Orang Fasik  

(22:15-20) 

15 Apakah engkau mau tetap mengikuti jalan lama, yang dilalui orang-orang 

jahat, 16 mereka yang telah direnggut sebelum saatnya, yang alasnya diha-

nyutkan sungai; 17 mereka yang berkata kepada Allah: Pergilah dari pada 

kami! dan: Yang Mahakuasa dapat berbuat apa terhadap kami? 18 Namun 

Dialah juga yang memenuhi rumah mereka dengan segala yang baik – namun  

rancangan orang fasik yaitu  jauh dari padaku. 19 Hal itu dilihat oleh orang 

benar dan mereka bersukaria; orang yang tidak bersalah mengolok-olok 

mereka: 20 Sungguh, lawan kami telah dilenyapkan, dan peninggalan mereka 

telah habis dimakan api. 

Elifas, sesudah berusaha untuk menginsafkan Ayub, dengan mem-

bentangkan dosa-dosanya (seperti yang diduganya) di hadapannya, di 

sini berusaha untuk menyadarkannya untuk melihat dan merasakan 

kesengsaraan dan bahayanya sebab  dosa. Dan hal ini dilakukannya 

dengan membandingkan kasusnya dengan kasus orang-orang ber-

dosa dari dunia dahulu kala. Seakan-akan Elifas berkata, “Keadaan-

mu buruk sekarang ini, namun , kecuali engkau bertobat, keadaanmu 

akan menjadi lebih buruk, seperti keadaan nenek moyangmu – yang 

alasnya dihanyutkan sungai, seperti dunia lama (ay. 16), dan pening-

galan mereka telah habis dimakan api” (ay. 20), yaitu, orang-orang 

Sodom, yang, dibandingkan dengan dunia lama, hanyalah sedikit 

saja. Dan dua contoh tentang murka Allah terhadap dosa dan orang-

orang berdosa ini lebih dari sekali disampaikan bersama-sama, seba-

gai peringatan kepada dunia yang ceroboh, sebagaimana yang disam-

paikan oleh Juruselamat kita (Luk. 17:26, dst.) dan sang rasul (2Ptr. 

2:5-6). Elifas menganggap Ayub telah mengikuti jalan lama yang dila-

lui orang-orang jahat (ay. 15) dan melihat apa akibatnya, apa akhir 

dari jalan mereka. Perhatikanlah, ada suatu jalan lama yang dilalui 

oleh orang-orang jahat. Baru saja agama masuk ke dalamnya, dosa 

segera mengikutinya. Meski sebuah jalan lama, jalan yang lebar, 

jalan yang pernah dilalui, jalan itu berbahaya dan memimpin kepada 

kehancuran. sebab  itu baik bagi kita untuk mewaspadainya, supaya 

jangan sekali-kali berani berjalan di dalamnya. Elifas di sini meng-

ingatkan Ayub akan jalan tersebut, mungkin untuk menentang apa 

yang dikatakan Ayub tentang kemakmuran orang fasik. Seakan-akan 

Elifas berkata, “Engkau mungkin dapat menemukan di sini atau di 

sana sebuah contoh tentang seorang fasik yang mengakhiri hari-

harinya dengan damai. namun  lihat juga apa yang terjadi dengan dua 

contoh besar tentang kebinasaan akhir dari orang-orang fasik, yaitu 

tenggelamnya seluruh dunia dan terbakarnya kota Sodom?” Segala 

sesuatu dibinasakan dalam dua peristiwa itu, dan Elifas berharap 

Ayub dalam berkaca dari sana. Amatilah,  

1. Kehancuran orang-orang berdosa (ay. 16): Mereka yang telah di-

renggut sebelum saatnya. Yaitu, mereka dibinasakan di tengah-

tengah masa hidup mereka, saat , seperti umur rata-rata manu-

sia pada waktu dahulu itu, banyak dari mereka secara alamiah 

hidup beberapa ratus tahun lebih lama, sehingga membuat mere-

ka yang dibinasakan sebelum waktunya bertambah menyedihkan. 

Mereka direnggut sebelum saatnya, untuk segera masuk ke dalam 

kekekalan. Dan dasar mereka, yaitu bumi yang di atasnya mereka 

membangun diri dan semua pengharapannya, dihanyutkan sungai, 

air bah yang didatangkan ke atas dunia orang-orang fasik (2Ptr. 

2:5). Perhatikanlah, orang-orang yang membangun di atas pasir 

memilih suatu dasar yang akan dihanyutkan saat  hujan turun 

dan banjir datang (Mat. 7:27), lalu bangunan mereka pun roboh 

dan mereka binasa di dalam reruntuhannya. Saat itu sudah ter-

lambat saat  mereka menyesali kebodohan mereka.  

2. Dosa orang-orang berdosa yang menyebabkan kehancuran terse-

but yaitu  (ay. 17): Mereka berkata kepada Allah: Pergilah dari 

pada kami! Ayub sebelumnya berbicara tentang orang-orang yang 

berbicara demikian namun tetap makmur (21:14). “Namun se-

muanya ini tidak demikian, kata Elifas. Mereka akhirnya menang-

gung apa akibatnya menantang Allah. Orang-orang yang bertekad 

untuk menaruh kekang pada leher nafsu dan hasrat mereka 

memulai dengan hal ini, yaitu mereka berkata kepada Allah, Pergi-

lah. Mereka melepaskan agama dan ibadah seluruhnya, benci me-

mikirkannya, dan hanya ingin hidup tanpa Allah di dunia. Mereka 

membungkam firman-Nya, dan menutup hati nurani, yang menjadi 

wakil-Nya. Yang Mahakuasa dapat berbuat apa kepada kami?” Be-

berapa penafsir menjadikan hal ini menunjukkan keadilan atas hu-

kuman mereka. Mereka berkata kepada Allah, Pergilah dari pada 

kami. Lalu apa yang dapat diperbuat oleh Yang Mahakuasa selain 

membinasakan mereka? Orang-orang yang tidak mau menyerah 

kepada tongkat kerajaan emas Allah harus menanti untuk dihan-

curkan berkeping-keping dengan tongkat besi-Nya. Sebagian pe-

nafsir lain mengartikan ayat ini sebagai menunjukkan ketidak-

adilan yang ada dalam diri orang fasik sehingga melakukan dosa 

ini: namun  apa yang dapat diperbuat Yang Mahakuasa terhadap 

kami? Kesalahan apa yang mereka temukan di dalam Dia, atau 

kapan Dia menyusahkan mereka? (Mi. 6:3; Yer. 2:5). Penafsir lain 

memahaminya sebagai alasan mereka berbuat dosa: Mereka ber-

kata kepada Allah, Pergilah, dan bertanya apa yang dapat diper-

buat Yang Mahakuasa bagi mereka. “Memangnya apa yang telah 

dilakukan-Nya sehingga kita harus menyembah Dia? Memangnya 

Dia mampu membuat kita sengsara dengan murka-Nya, atau 

membuat kita bahagia dengan kebaikan-Nya?” Seperti bantahan 

mereka di dalam Zefanya 1:12: TUHAN tidak berbuat baik dan 

tidak berbuat jahat. Pemikiran Elifas dalam hal ini sangat kabur, 

sebab  jelas ia menyebut Allah Yang Mahakuasa. Sebab, kalau 

Dia benar demikian, apa yang tidak dapat dilakukan-Nya? Jelas Ia 

mampu melakukan segala sesuatu, jadi tidak heran jika mereka 

yang meninggalkan agama sama sekali pastilah tidak takut 

kepada murka Allah dan tidak menginginkan perkenanan-Nya.  

3. Beratnya dosa ini: Namun Dialah juga yang memenuhi rumah 

mereka dengan segala yang baik (ay. 18). Baik orang-orang dari 

dunia purba dan orang Sodom menikmati banyak kesenangan 

jasmani. Sebab, mereka makan dan minum, membeli dan menjual, 

dll. (Luk. 17:27-28), sehingga mereka tidak punya alasan untuk 

bertanya apa yang dapat dilakukan oleh Yang Mahakuasa bagi 

mereka, sebab mereka telah hidup atas kelimpahan-Nya, tidak 

ada alasan untuk meminta-Nya pergi dari mereka yang telah 

begitu baik kepada mereka. Banyak orang yang rumahnya penuh 

dengan harta, namun  hati mereka kosong dari anugerah, dan 

sebab  itu ditetapkan bagi kehancuran.  

4. Elifas tidak setuju dengan prinsip dan cara hidup orang fasik:  

Rancangan orang fasik yaitu  jauh dari padaku. Ayub telah ber-

kata demikian juga (21:16) dan Elifas tidak mau ketinggalan. 

Mereka tidak dapat sepakat dalam prinsip mereka tentang Allah, 

namun mereka sepakat dalam menolak cara hidup orang-orang 

yang hidup tanpa Allah di dunia ini. Perhatikanlah, orang-orang 

yang berbeda satu dengan yang lain dalam hal-hal tertentu me-

ngenai keagamaan, dan terlibat dalam perdebatan tentangnya, ha-

ruslah bersepakat dan bersemangat untuk tampil melawan keka-

firan dan kehidupan tanpa agama. Mereka harus menjaga agar 

perdebatan mereka tidak menghalangi semangat atau kesatuan 

mereka dalam memajukan kepentingan Allah yang benar.  

5. Kesenangan dan kepuasan yang dimiliki oleh orang benar ada di,  

(1) Dalam melihat orang fasik dibinasakan (ay. 19). Mereka akan 

melihatnya, yaitu, mengamatinya, dan memperhatikannya (Hos. 

14:10). Dan mereka akan bersukaria, bukan sebab  melihat 

sesama ciptaan menderita atau sebab  mereka mendapat ke-

untungan duniawi, melainkan sebab  melihat Allah dimulia-

kan, firman Allah digenapi, kuasa penindas dipatahkan, se-

hingga orang-orang yang tertindas dilegakan. Juga, sebab  

mereka melihat dosa dipermalukan, melihat orang kafir dan 

orang yang tidak percaya dibuat kebingungan, dan peringatan 

yang adil diberikan kepada semua orang lain untuk menghin-

dari jalan-jalan orang fasik. Bahkan, mereka akan bersukaria 

mengolok-olok mereka, yaitu, mereka akan melakukannya de-

ngan adil, mereka akan melakukannya seperti Allah melaku-

kannya, dengan cara yang kudus (Mzm. 2:4; Ams. 1:26). Mere-

ka akan mengambil kesempatan saat itu untuk menunjukkan 

kebodohan orang-orang berdosa dan memperlihatkan betapa 

konyolnya prinsip-prinsip mereka, kendati mereka menyebut 

diri berakal budi. Lihatlah orang itu yang tidak menjadikan 

Allah tempat pengungsiannya dan lihatlah apa yang akan ter-

jadi (Mzm. 52:9). Beberapa penafsir memahami hal ini merujuk

 pada Nuh si orang benar itu dan keluarganya, yang melihat 

kehancuran dunia purba dan bersukaria di dalamnya, sebab 

hatinya sedih dengan kefasikan mereka. Lot, yang melihat 

kehancuran Sodom, memiliki alasan yang sama untuk bersu-

karia (2Ptr. 2:7-8).  

(2) Dalam melihat diri mereka dibedakan dari orang fasik, di  

mana orang fasik itu (ay. 20): “Peninggalan mereka telah habis 

dimakan api, seperti milikmu, Ayub. Kita orang benar tetap 

hidup makmur, yang merupakan suatu tanda bahwa kita 

yaitu  kesayangan sorga, dan di pihak yang benar.” Peraturan 

sama yang membuat Elifas mengecam Ayub, dipakai Elifas 

untuk memegahkan dirinya dan teman-temannya. Semua pe-

ninggalannya dihapuskan, sebab  itu dia yaitu  seorang yang 

jahat. Peninggalan kami tidak, sebab  itu kami ini orang be-

nar. Namun ini merupakan sebuah aturan yang menipu untuk 

menghakimi. Sebab tak seorang pun mengenal kasih atau 

kebencian melalui semua yang ada di hadapannya. Jika orang 

lain dilenyapkan, sedangkan kita tidak, maka daripada men-

cemooh mereka dan meninggikan diri sendiri, seperti yang di-

lakukan Elifas di sini, kita seharusnya bersyukur kepada Allah 

dan menerimanya sebagai suatu peringatan bagi diri sendiri 

untuk bersiap menghadapi bencana yang serupa.  

Nasihat yang Baik dari Elifas dan 

Dorongan untuk Kembali kepada Allah  

(22:21-30) 

21 Berlakulah ramah terhadap Dia, supaya engkau tenteram; dengan demi-

kian engkau memperoleh keuntungan. 22 Terimalah apa yang diajarkan mu-

lut-Nya, dan taruhlah firman-Nya dalam hatimu. 23 Apabila engkau bertobat 

kepada Yang Mahakuasa, dan merendahkan diri; apabila engkau menjauhkan 

kecurangan dari dalam kemahmu, 24 membuang biji emas ke dalam debu, emas 

Ofir ke tengah batu-batu sungai, 25 dan apabila Yang Mahakuasa menjadi 

timbunan emasmu, dan kekayaan perakmu, 26 maka sungguh-sungguh eng-

kau akan bersenang-senang sebab  Yang Mahakuasa, dan akan menengadah 

kepada Allah. 27 Jikalau engkau berdoa kepada-Nya, Ia akan mengabulkan 

doamu, dan engkau akan membayar nazarmu. 28 Apabila engkau memutus-

kan berbuat sesuatu, maka akan tercapai maksudmu, dan cahaya terang 

menyinari jalan-jalanmu. 29 sebab  Allah merendahkan orang yang angkuh 

namun  menyelamatkan orang yang menundukkan kepala! 30 Orang yang tidak 

bersalah diluputkan-Nya: engkau luput sebab  kebersihan tanganmu.” 

Rasanya saya hampir dapat memaafkan Elifas atas semua kecaman 

kerasnya terhadap Ayub, yang telah kita lihat di dalam permulaan 

pasal ini, kendati semua kecamannya itu sangat tidak benar dan 

tidak baik. Alasannya, sebab  nasihat dan dorongan baik yang dia 

berikan kepada Ayub dalam ayat-ayat ini. Dengan perkataannya yang 

baik ini Elifas menutup percakapannya, dan memang tidak ada lagi 

yang lebih baik dari itu, tidak ada lagi perkataan lain yang dapat 

mencapai tujuan selain nasihat dan dorongannya ini. Kendati dia 

menganggap Ayub sebagai seorang yang jahat, namun dia melihat 

ada alasan untuk berharap yang baik bagi Ayub, bahwa sebab  se-

mua ini, dia akan menjadi saleh dan makmur. Namun sungguh aneh 

bahwa dari mulut yang sama, dan hampir di dalam napas yang sama, 

air yang manis dan pahit dapat keluar bersamaan. Orang-orang yang 

baik, kendati mereka dibuat panas hati, kadang-kadang masih dapat 

berbicara dengan hati yang baik, malah mungkin lebih cepat sebelum 

orang lain menenangkan mereka. Elifas membentangkan di hadapan 

Ayub keadaan yang menyedihkan dari orang fasik, supaya dia dapat 

menakut-nakuti Ayub agar bertobat. Di sini, sebaliknya, dia menun-

jukkan kepada Ayub kebahagiaan yang dapat dipastikan bagi mereka 

yang sungguh-sungguh bertobat, dengan harapan dia dapat menarik 

dan mendorong Ayub kepada pertobatan. Para hamba Tuhan harus 

mengupayakan segala cara dalam berurusan dengan orang-orang, 

harus berbicara kepada mereka dari gunung Sinai dengan menunjuk-

kan kengerian hukum, dan dari gunung Sion dengan penghiburan 

kabar baik (Injil), harus memperhadapkan kepada mereka baik kehi-

dupan maupun kematian, kebaikan dan kejahatan, berkat dan ku-

tuk. Sekarang amatilah di sini,  

I. Nasihat baik yang diberikan Elifas kepada Ayub. Dan itu merupa-

kan nasihat yang baik pula buat kita semua, kendati, berkaitan 

dengan Ayub, nasihat tersebut dibangun berdasarkan dugaan 

yang keliru bahwa Ayub yaitu  seorang yang jahat yang sekarang 

menjadi orang asing dan musuh Allah.  

1. Berlakulah ramah terhadap Dia, mendekatlah kepada Allah. 

Merupakan kewajiban kita di setiap waktu, terutama saat  

kita sedang ditimpa bencana, untuk menyesuaikan diri, dan 

menenangkan diri, di dalam semua tindakan Penyelenggaraan 

ilahi. Bergabunglah kepada-Nya (kata beberapa penafsir). Me-

nyerahlah ke dalam kepentingan-Nya dan jangan lagi bermu-

suhan dengan Dia. Alkitab kita mengungkapkannya dengan 

baik, “Berlakulah ramah terhadap Dia. Jangan menjadi orang 

asing kepada-Nya seperti yang telah kauperbuat dengan mem-

buang rasa takut kepada Dia dan menahan doa di hadapan-

Nya.” Merupakan kewajiban dan kepentingan setiap dari kita 

untuk berlaku ramah terhadap Allah. Kita harus mengenal Dia, 

mengarahkan segenap hati dan perasaan kita kepada-Nya, 

bergabung dengan-Nya dalam suatu kovenan persahabatan. 

Setelah itu, jalinlah dan pertahankan terus hubungan yang 

tetap dengan Dia melalui cara-cara yang telah ditetapkan-Nya. 

Merupakan kehormatan bagi kita jika kita dimampukan untuk 

mendekat kepada Dia. Kita sengsara saat  oleh dosa kita 

kehilangan kedekatan dengan Allah, namun  sangat istimewa 

bagi kita bahwa melalui Kristus kita diundang untuk kembali 

kepada-Nya. Dan merupakan suatu kebahagiaan yang tak ter-

ucapkan untuk mengikat dan menumbuhkan kedekatan de-

ngan Dia.  

2. “Supaya engkau tenteram, tenteram dengan dirimu sendiri, 

tidak takut, gelisah, dan bingung. Jangan biarkan hatimu di-

susahkan, melainkan jadilah tenang. Berdamailah dengan 

Allahmu. Jangan meneruskan perang yang jahat ini. Jangan 

engkau mengeluhkan Allah sebagai musuh, namun  jadikanlah 

Dia sahabatmu.” Menjadi kepentingan setiap kita untuk ber-

damai dengan Allah, dan hal ini diperlukan untuk dapat ber-

hubungan akrab dan mengenal Dia dengan baik. Sebab Ber-

jalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji? 

(Am. 3:3). Hal ini harus segera kita lakukan, sebelum terlam-

bat. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau ber-

sama-sama dengan dia di tengah jalan. Dengan sungguh-sung-

guh kita didorong untuk segera melakukan ini. Beberapa 

penafsir membaca demikian, “Berlakulah ramah, Aku mohon 

kepadamu, terhadap Dia, dan berdamailah.” Allah sendiri me-

mohon demikian kepada kita. Para hamba Tuhan, demi Kris-

tus, memohon agar kita diperdamaikan. Bagaimana mungkin 

kita menolaknya?  

3. Terimalah apa yang diajarkan mulut-Nya (ay. 22). “Sesudah 

mendamaikan diri dengan Allah, tunduklah pada pemerintah-

an-Nya, dan bertekadlah untuk diatur oleh-Nya, agar engkau 

tetap menjaga diri di dalam kasih-Nya.” Kita menerima keber-

adaan dan pemeliharaan dari Allah. Dari Dia kita berharap 

untuk menerima kebahagiaan kita, dan dari Dia kita harus 

menerima hukum. Tuhan apa yang harus kami perbuat? (Kis. 

9:6). Dengan cara apa pun kita merima tanda kehendak-Nya, 

kita harus memperhatikan Dia. Entah Dia berbicara melalui 

Alkitab, hamba Tuhan, hati nurani, atau tindakan Penyeleng-

garaan-Nya, kita harus menerima pesan itu sebagai berasal 

dari mulut-Nya dan merendahkan jiwa kita kepada suara-Nya 

itu. Kendati di zaman Ayub, kita tidak tahu apakah sudah ada 

firman yang tertulis, namun pasti sudah ada penyataan dari 

kehendak Allah untuk diterima. Elifas memandang Ayub se-

bagai orang jahat dan mendesak dia untuk bertobat dan mem-

perbarui diri. Di sini mencakup perubahan pada diri orang 

berdosa, ia harus menerima hukum dari mulut Allah dan tidak 

lagi dari dunia dan kedagingan. Elifas, yang sekarang ini ber-

debat dengan Ayub, mendesakkan firman Allah untuk meng-

akhiri perdebatan. “Terimalah itu, dan ditundukkan oleh-

nya.” Carilah pengajaran dan kesaksian.  

4. Taruhlah firman-Nya dalam hatimu. Tidaklah cukup hanya me-

nerimanya, kita harus memeliharanya juga (Ams. 3:18). Kita 

harus menerimanya sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, se-

hingga harus dijaga. Dan kita harus menyimpannya dalam 

hati kita, sebagai sesuatu yang sangat berguna, sehinga siap 

bagi kita untuk dipakai  saat  ada kesempatan, dan tidak 

hilang saat  dibutuhkan.  

5. Bertobatlah kepada Yang Mahakuasa (ay. 23). “Jangan hanya 

berbalik dari dosa, namun  juga berbalik kepada Allah dan kewa-

jiban ibadahmu. Jangan hanya berpaling kepada Yang Maha-

kuasa setengah hati dan hanya baik-baik saja pada awalnya, 

namun  kembalilah kepada Dia. Pulanglah kepada Dia, benar-

benar sepenuhnya kembali kepada Dia, sampai engkau dapat 

menjangkau Yang Mahakuasa, dengan pembaruan diri yang 

menyeluruh, dengan perubahan dalam segenap hati dan 

hidupmu, dan dengan ketetapan hati yang teguh untuk terus 

melekat kepada-Nya.” Demikian kata Tuan Poole.  

6.  Jauhkanlah kecurangan dari dalam kemahmu. Inilah nasihat 

yang diberikan oleh Zofar kepada Ayub (11:14): “Jangan biar-

kan kecurangan ada dalam kemahmu. Buanglah jauh-jauh 

pelanggaranmu, makin jauh makin baik, tidak hanya dari hati 

dan tanganmu, namun  juga dari kemahmu. Bukan hanya diri-

mu yang tidak boleh berlaku fasik, namun  engkau juga harus 

menegur dan mencegah dosa di dalam diri orang-orang yang 

berada dalam tanggung jawabmu.” Perhatikanlah, reformasi 

keluarga yaitu  reformasi yang sangat diperlukan. Kita dan 

keluarga kita harus beribadah kepada TUHAN.  

II. Dorongan baik yang diberikan oleh Elifas kepada Ayub, bahwa dia 

akan sangat berbahagia, jika mau menerima nasihatnya yang baik 

ini. Secara umum, “Dengan demikian engkau memperoleh keun-

tungan (ay. 21). Keuntungan yang sekarang ini menjauh darimu, 

segala kebaikan yang diinginkan hatimu, yang sementara, yang 

rohani, keuntungan kekal, akan datang kepadamu. Allah akan 

datang kepadamu, dalam kovenan dan persekutuan dengan eng-

kau. Dan Ia akan membawa semua yang baik bersama-Nya, se-

mua kebaikan yang ada dalam diri-Nya. Engkau sekarang dihan-

curkan dan direndahkan, namun , jika engkau kembali kepada Allah, 

engkau akan dibangun kembali, dan kehancuranmu yang seka-

rang ini akan diperbaiki. Keluargamu akan dibangun kembali de-

ngan lahirnya anak-anak, di dalam harta kekayaanmu, dan jiwa-

mu dalam kekudusan dan penghiburan.” Janji-janji yang diberi-

kan Elifas di sini kepada Ayub dapat diringkas menjadi tiga pokok: 

1. Bahwa harta kekayaannya akan bertambah, dan berkat-berkat 

lahiriah akan dikaruniakan dengan berlimpah ke atasnya. Se-

bab kesalehan memiliki janji kehidupan itu. Dijanjikan, 

(1) Bahwa Ayub akan menjadi sangat kaya (ay. 24): “Engkau 

akan membuang biji emas ke dalam debu, dalam kelimpah-

an yang begitu besar, dan kekayaan perakmu (ay. 25), se-

mentara sekarang ini engkau menjadi miskin dan ditelan-

jangi dari semuanya itu.” Ayub dahulunya begitu kaya. 

Elifas mencurigai kalau Ayub memperoleh kekayaannya 

melalui penipuan dan penindasan, dan sebab nya semua-

nya diambil dari hidupnya: namun  jika dia mau kembali ke-

pada Allah dan kewajibannya,  

[1] Ia akan memiliki kekayaan yang lebih besar daripada 

yang pernah dimilikinya, tidak hanya ribuan domba dan 

lembu, kekayaan petani, namun  juga ribuan emas dan 

perak, kekayaan raja-raja (3:15). Kekayaan yang sangat 

berlimpah, kekayaan sejati, akan diperoleh melalui pela-

yanan kepada Allah daripada pelayanan kepada dunia.  

[2] Ia pasti akan memilikinya: “Engkau akan menyimpan-

nya (22:24, KJV) di tangan yang baik, dan memperta-

hankan apa yang diperoleh melalui kesalehan dengan 

jaminan yang lebih pasti daripada yang didapatkan me-

lalui kecurangan.” Engkau akan mendapat perak ke-

kuatan (demikianlah istilahnya), yang sebab  diperoleh 

dengan jujur, akan tahan pakai, perak seperti baja.  

[3] Ia, oleh anugerah Allah, akan dijaga dari mencondong-

kan hati kepada harta, seperti yang diduga Elifas telah 

dilakukan oleh Ayub. Maka kekayaan barulah merupa-

kan berkat saat  kita tidak terperangkap oleh cinta 

akan harta. Engkau akan menimbun emas. namun  bagai-

mana caranya? Bukan seperti menimbun harta dan 

bagianmu, namun  sebagai debu dan seperti batu-batu di 

tepi sungai. Begitu kecil engkau akan menilainya atau 

berharap darinya, sehingga engkau akan me