Tampilkan postingan dengan label ayub 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 4. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 4


 yang akan memberikan segala yang 

dipunyainya ganti nyawanya. Sebab, belum pernah ada orang yang 

menilai hidup ini lebih rendah daripada yang dilakukan Ayub. 

I. Tanpa rasa syukur ia bertengkar dengan kehidupan. Ia marah 

sebab  hidupnya tidak diambil darinya begitu ia menerimanya (ay. 

11-12): Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir? Lihatlah di sini, 

1. Betapa manusia merupakan makhluk lemah dan tak berdaya 

saat ia masuk ke dalam dunia, dan betapa tipis benang kehi-

dupan saat baru ditarik. Kita ada di ujung kematian sejak 

keluar dari kandungan, dan sangat dekat dengan embusan 

napas terakhir begitu mulai mengembuskan napas. Kita tidak 

mampu melakukan apa pun dengan kekuatan sendiri seperti 

halnya makhluk ciptaan lain. Sebaliknya, kita akan jatuh ke 

dalam kubur apabila lutut tidak menopang kita. Pelita kehi-

dupan yang baru menyala akan padam dengan sendirinya apa-

bila tidak mendapatkan susu yang bisa kita isap dan memper-

oleh minyak segar darinya. 

2. Betapa dengan murah hati dan lembut Penyelenggaraan ilahi 

yang diberikan Allah kepada kita saat kita masuk ke dalam 

dunia. Berkat hal inilah kita tidak mati waktu lahir, atau 

binasa waktu keluar dari kandungan. Mengapa kita tidak mati 

begitu dilahirkan? Ini bukanlah sebab  kita tidak layak untuk 

mati. Rumput liar sudah seharusnya dicabut begitu muncul. 

Sudah seharusnya ular naga dihancurkan sejak masih berada 

di dalam telur. Juga, kita tidak mati begitu dilahirkan bukan-

lah sebab  kita berbuat atau mampu mengurus diri dan ke-

amanan kita sendiri. Tidak satu pun makhluk ciptaan lahir 

dalam keadaan begitu tanpa daya seperti manusia. Bukanlah 

kekuasaan atau kekuatan tangan kitalah yang memelihara 

kita, melainkan kuasa dan Penyelenggaraan Allah yang meno-

pang kehidupan kita yang rapuh. Belas kasihan dan kesabar-

an-Nya menyelamatkan hidup kita yang terhilang. Berkat hal 

inilah lutut mencegah kita terjatuh. Kasih sayang alami dile-

takkan dalam hati para orangtua oleh tangan Allah pencipta 

alam semesta. Oleh sebab  itulah berkat dari susu menyertai 

bayi yang baru lahir dari kandungan. 

3. Betapa besar kesia-siaan serta kekesalan roh menyertai hidup 

manusia. Andai kata kita tidak memiliki Allah untuk dilayani 

di dunia ini, dan memiliki hal-hal lebih baik untuk diharapkan 

di dunia lain, maka mengingat berbagai kecakapan yang me-

lengkapi kita dan kesukaran yang mengelilingi kita, kita tentu 

akan sangat tergoda untuk berharap agar kita binasa waktu 

keluar dari kandungan, sehingga mencegah terjadinya banyak 

dosa dan kesengsaraan. 

Orang yang lahir hari ini, dan mati keesokan harinya, 

Kehilangan sedikit hari sukacita,  

namun berbulan-bulan dukacita. 

4.  Keburukan sikap tidak sabar, resah, dan tidak puas. Apabila 

sikap-sikap semacam itu berjaya, maka semua sikap itu sung-

guh tidak masuk akal, tidak saleh, dan tidak tahu berterima 

kasih. Menurutkan semua sikap itu sama saja dengan meng-

abaikan dan meremehkan perkenanan Allah. Tidak peduli se-

getir apa pun hidup ini, kita harus berkata, “sebab  belas ka-

sih Tuhanlah kita tidak mati begitu dilahirkan dari kandung-

an, bahwa kita tidak binasa.” Membenci kehidupan sungguh 

bertolak belakang dengan akal sehat dan perasaan terdalam 

umat manusia, dan akal sehat serta perasaan kita sendiri. 

Biarlah orang-orang yang tidak merasa puas mengecam hidup 

habis-habisan, pada akhirnya mereka akan enggan berpisah 

dengannya saat  saatnya tiba. Suatu saat  seorang tua, ka-

rena merasa letih menanggung bebannya, melemparkan be-

bannya dengan kesal dan memanggil-manggil Maut, dan Maut 

pun datang kepadanya, lalu menanyakan apa yang diinginkan-

nya. Orang itu menjawab, “Tidak ada, selain bantuan untuk 

memikul bebanku ini.” 

II.  Dengan berapi-api Ayub menyambut hangat kematian dan kubur, 

dan tampaknya mendambakan keduanya. Ingin mati supaya bisa 

berada bersama Kristus, supaya terbebas dari dosa, dan sebab  

rindu mengenakan tempat kediaman sorgawi di atas tempat ke-

diaman kita yang sekarang ini, merupakan pengaruh dan bukti 

anugerah. Namun, menginginkan kematian hanya supaya kita 

bisa beristirahat di dalam kubur dan terbebas dari semua ke-

sukaran hidup ini, berasal dari keinginan cemar. Pertimbangan 

Ayub di sini dapat dimanfaatkan untuk mendamaikan kita de-

ngan kematian saat ajal tiba, untuk menenteramkan kita saat ajal 

menyergap. Namun, janganlah memakai pertimbangan itu sebagai 

alasan untuk menentang hidup sementara masih berlanjut, atau 

sebab  merasa tidak tenteram di bawah bebannya. Sudah se-

harusnya kita bijaksana dan wajib berbuat sebaik-baiknya dalam 

keadaan hidup atau mati, sehingga dengan demikian jika kita 

hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk 

Tuhan, serta menjadi milik-Nya dalam hidup ataupun kematian 

(Rm. 14:8). Di sini Ayub meresahkan diri dengan berpikir bahwa 

seandainya saja ia mati begitu dilahirkan, dan dibawa dari kan-

dungan ke kubur, 

1. Keadaannya pasti sama baiknya dengan keadaan yang terbaik: 

Aku tentu akan ada (katanya dalam ay. 14) bersama-sama raja-

raja dan penasihat-penasihat di bumi, yang semarak, kekua-

saan, dan kebijakan mereka pun tidak dapat menjauhkan mere-

ka dari kematian, atau mengamankan mereka dari kubur, atau 

membedakan mereka dari debu tanah kubur. Bahkan para raja 

yang memiliki emas berlimpah, tidak dapat memakai nya 

untuk menyuap Maut supaya melewati mereka apabila ia 

datang untuk melaksanakan tugasnya. Dan kalaupun mereka 

memenuhi rumah mereka dengan perak, mereka akan dipaksa 

meninggalkan semua itu dan tidak akan pernah kembali ke 

sana lagi. Di sini disebutkan tentang raja-raja dan penasihat-

penasihat yang mendirikan kembali reruntuhan bagi dirinya. 

Beberapa orang mengartikannya sebagai makam atau tanda 

peringatan yang mereka persiapkan bagi diri sendiri saat  

mereka masih hidup. Misalnya saja Sebna (Yes. 22:16), yang 

menggali kuburnya sendiri. Emas yang dimiliki para raja dan 

perak yang mereka gunakan untuk memenuhi rumah, diarti-

kan sebagai harta yang menurut mereka biasa diletakkan di 

dalam makam orang-orang besar. Kebiasaan semacam itu te-

lah dipakai  demi memelihara martabat mereka, jika mung-

kin, di sisi lain kematian, dan bahkan untuk menjaga agar 

mereka tidak terbaring bersama orang-orang dari golongan 

rendah. Namun, semua itu tidak akan ada gunanya. Maut 

yaitu , dan tetap akan menyamaratakan manusia tanpa dapat 

ditahan. Mors sceptra ligonibus æquat – Maut membaurkan 

tongkat kerajaan dengan sekop. Orang kaya dan orang miskin 

bertemu di dalam kubur. Di sana anak gugur yang disembunyi-

kan (ay. 16), anak yang belum pernah melihat terang, atau 

yang baru membuka mata dan mengintip dunia sebab  tidak 

menyukainya, memejamkannya kembali dan cepat-cepat me-

ninggalkan dunia. Lalu ia terbaring tenang dan damai, terba-

ring sama tinggi dan sama aman dengan para raja, penasihat, 

dan pembesar yang memiliki emas. “Oleh sebab itu,” kata 

Ayub, “aku lebih suka terbaring di sana dalam debu daripada 

di sini di tengah abu!” 

2. Keadaannya pasti jauh lebih baik daripada sekarang (ay. 13): 

“Jikalau tidak, aku sekarang berbaring dan tenang, yang seka-

rang tidak bisa kulakukan, sehingga aku tidak dapat tenang 

namun  masih gelisah dan resah. Jikalau tidak, tentu aku sudah 

tertidur di sana, sedangkan sekarang rasa kantuk telah me-

ninggalkanku. Jikalau tidak, aku tentu mendapat istirahat  di 

sana, sedangkan sekarang aku tetap gelisah.” Sekarang, saat  

kehidupan dan kefanaan semakin dibuat lebih banyak jelas 

oleh terang Injil dibanding dahulu, orang Kristen yang ber-

sungguh-sungguh dapat memberikan kesaksian lebih baik 

mengenai keuntungan yang bisa didapatkan melalui kematian: 

“Pastilah aku sudah berada bersama Tuhan. Tentulah aku 

sudah melihat kemuliaan-Nya muka dengan muka, dan tidak 

lagi melalui kaca yang buram.” Akan namun , semua yang di-

dambakan Ayub yaitu  istirahat dan ketenangan di dalam 

kubur sebab  rasa takut akan berita buruk dan rasa sakit 

akibat luka boroknya. Seharusnya aku telah mendapat isti-

rahat (jika aku mati begitu dilahirkan). Andai kata ia mampu 

menahan amarahnya, ketenangan hatinya, seperti yang dicatat 

dalam dua pasal sebelum ini, serta sepenuhnya pasrah kepada 

kehendak kudus Allah dan menyetujuinya tanpa membantah, 

maka mungkin sekarang ia sudah tenang. Paling tidak, jiwa-

nya sudah bisa nyaman, meskipun tubuhnya sedang kesakit-

an (Mzm. 25:13). Amatilah betapa indah ia menggambarkan 

istirahat di dalam kubur, yang (asalkan jiwa juga beristirahat 

di dalam Allah) dapat menyertai kemenangan kita atasnya. 

(1) Di sana orang-orang yang sekarang sedang mengalami ke-

sesakan akan berada di luar jangkauan kesusahan (ay. 17): 

Di sanalah orang fasik berhenti menimbulkan huru-hara. 

saat  para penganiaya mati, mereka tidak akan dapat lagi 

menganiaya. Kebencian dan kecemburuan mereka akan 

hilang. Herodes telah menyusahkan jemaat, namun saat  

dimakan cacing-cacing, ia tidak mampu menyusahkan lagi. 

saat  orang-orang yang dianiaya mati, mereka sudah ter-

lepas dari bahaya teraniaya lebih lanjut. Andai kata Ayub 

telah beristirahat di dalam kuburnya, ia tidak akan digang-

gu orang Syeba dan Kasdim. Tidak akan ada musuh yang 

menimbulkan kesusahan baginya. 

(2) Di sana orang-orang yang sekarang bekerja membanting 

tulang akan melihat akhir kerja keras mereka. Di sanalah 

mereka yang kehabisan tenaga mendapat istirahat. Sorga 

lebih dari sekadar peristirahatan bagi jiwa orang-orang 

kudus, sedangkan kubur hanyalah peristirahatan bagi tu-

buh jasmani mereka. Di dunia ini ziarah mereka merupa-

kan ziarah yang meletihkan. Mereka menjadi letih dengan 

dosa dan dunia. Mereka lelah sebab  pelayanan, penderita-

an, dan pengharapan mereka. namun , di dalam kubur mere-

ka beristirahat dari jerih lelah mereka (Why. 14:13; Yes. 57:2). 

Di sana mereka merasa nyaman dan tidak mengeluh lagi. Di 

sana orang-orang percaya beristirahat di dalam Yesus. 

(3) Orang-orang yang diperbudak di sini akan bebas di sana. 

Kematian bagaikan kebebasan dari penjara, pembebasan 

bagi yang tertindas, dan kemerdekaan bagi hamba (ay. 18): 

Di sana para tawanan, yang meskipun tidak dapat berjalan 

dengan bebas, namun bersama-sama menjadi tenang. Me-

reka tidak diharuskan bekerja dan membanting tulang di 

rumah penjara. Mereka tidak lagi dihina dan diinjak-injak, 

diancam, serta dibuat ketakutan oleh para mandor kejam: 

mereka tidak lagi mendengar suara pengerah atau penin-

das. Orang-orang yang di sini dijatuhi hukuman menjadi 

hamba seumur hidup, yang tidak bisa menyebut apa pun 

sebagai milik mereka, bahkan tubuh mereka sendiri sekali-

pun, di dalam sana tidak lagi berada di bawah perintah 

atau kendali orang. Di sana budak bebas dari pada tuan-

nya, yang merupakan alasan yang baik mengapa orang-

orang yang berkuasa harus memakai  kekuasaan me-

reka dengan benar, sedangkan orang-orang yang menjadi 

bawahan harus tunduk dengan sabar, sebab  waktunya 

tidak lama. 

(4) Di sana orang-orang dengan derajat berbeda jauh dengan 

yang lain akan disejajarkan (ay. 19): orang kecil dan orang 

besar sama. Di sana mereka sama, jadi satu, dan semua 

sama-sama merdeka di antara orang mati. Semarak dan 

kedudukan membosankan yang menyertai orang-orang be-

sar akan berakhir di sana. Semua ketidaknyamanan orang 

miskin dan kedudukan mereka yang rendah juga berakhir. 

Kematian dan kubur tidak membeda-bedakan. 

Disamaratakan oleh kematian, penguasa maupun budak,  

Orang berhikmat maupun orang bodoh,  

pengecut maupun pemberani, 

Terbaring bercampur tanpa dibedakan dalam kubur.  

– Sir R. Blackmore 

Keluhan Ayub tentang Kehidupannya 

(3:20-26) 

20 Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah-susah, dan hidup kepada 

yang pedih hati; 21 yang menantikan maut, yang tak kunjung tiba, yang me-

ngejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam; 22 yang bersukaria dan 

bersorak-sorai dan senang, bila mereka menemukan kubur; 23 kepada orang 

laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah? 24 sebab  ganti 

rotiku yaitu  keluh kesahku, dan keluhanku tercurah seperti air. 25 sebab  

yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah 

yang mendatangi aku. 26 Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; 

aku tidak mendapat istirahat, namun  kegelisahanlah yang timbul.” 

sebab  merasa tidak ada gunanya berharap agar ia tidak dilahirkan 

atau mati begitu lahir, di sini Ayub mengeluh sebab  hidupnya seka-

rang masih berlanjut dan tidak terputus. saat  manusia terus ber-

bantah, tidak ada akhirnya. Hati yang cemar akan melanjutkan peri-

laku itu. Sesudah mengutuki hari kelahirannya, di sini ia memohon-

kan kematiannya. Memulai pertentangan dan ketidaksabaran sama 

saja dengan membuka aliran air. 

I. Secara umum Ayub menganggap berat apabila kehidupan seng-

sara diperpanjang (ay. 20-22): Mengapa terang diberikan kepada 

yang bersusah-susah, dan hidup kepada yang pedih hati? Melalui 

penderitaan rohani, kegetiran jiwa membuat hidup getir juga. 

Mengapa Ia memberikan terang? (demikianlah makna aslinya). 

Yang dimaksudkannya yaitu  Allah, namun Ayub tidak menyebut 

nama-Nya, meskipun Iblis telah berkata, “Ia pasti mengutuki Eng-

kau di hadapan-Mu.” Dengan samar-samar Ayub menyindir Pe-

nyelenggaraan ilahi sebagai tidak adil dan tidak baik sebab  mem-

biarkan hidup berlanjut sementara kenyamanannya diangkat. 

Kehidupan disebut terang, sebab  menyenangkan dan berguna 

untuk berjalan dan bekerja. Seperti halnya terang lilin, semakin 

lama lilin itu menyala, semakin pendek jadinya, dan semakin

 mendekati kandilnya. Dikatakan bahwa terang itu diberikan ke-

pada kita. Sebab seandainya tidak diperbarui setiap hari sebagai 

karunia segar, terang itu akan lenyap. Namun, Ayub beranggapan 

bahwa bagi orang-orang yang sedang menderita sengsara, hidup 

yaitu  dōron adōron – karunia dan bukan karunia. Bagi Ayub, 

hidup yaitu  karunia yang lebih baik tidak usah ada, jika terang 

itu hanyalah supaya mereka dapat melihat kesengsaraan mereka. 

Seperti itulah kesia-siaan hidup manusia, sehingga adakalanya 

hanya menyusahkan jiwa. Begitu mudah sifat maut itu berubah, 

hingga meskipun secara alami ditakuti, namun didambakan juga 

bahkan bahkan oleh alam. Di sini Ayub berbicara tentang orang-

orang yang, 

1. Merindukan kematian setelah hidup mereka jauh dari kenya-

manan dan kegunaannya, dibebani usia lanjut, kelemahan, 

rasa sakit atau penyakit, kemiskinan atau aib, namun kema-

tian itu tidak mau datang juga. Sementara pada saat yang 

sama, kematian mendatangi banyak orang yang gentar terha-

dapnya dan hendak menjauhkannya dari diri mereka. Kelang-

sungan dan masa hidup haruslah sesuai dengan kehendak 

Allah, bukan dengan kehendak kita. Sungguh tidak pantas 

bila ditanyakan seberapa lama kita akan hidup dan kapan kita 

akan mati. Waktu kita berada di tangan yang lebih baik dari-

pada tangan kita sendiri. 

2. Mengejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam. Arti-

nya, mereka rela memberikan apa pun demi bisa terbebas dari 

dunia ini. Dapat kita duga dari sini bahwa waktu itu pikiran 

untuk orang membunuh diri sendiri tidak begitu diterima atau 

disarankan. Sebab, kalau tidak, orang-orang yang merindukan 

kematian waktu itu tidak perlu bersusah payah, begitu mereka 

ingin (seperti yang dikatakan Seneca), langsung melakukan-

nya, jika mereka suka. 

3. Menyambut kematian dengan gembira, dan senang, bila mere-

ka menemukan kubur, dan melihat diri sendiri memasukinya. 

Jika kesengsaraan hidup ini begitu berjaya, bertentangan de-

ngan harapan manusia, hingga membuat orang merindukan 

kematian, maka bukankah pengharapan dan gambaran akan 

hidup yang lebih baik melalui kematian seharusnya membuat 

kematian itu lebih didambakan, dan kita tidak perlu lagi takut 

kepadanya? Mendambakan kematian bisa saja merupakan 

dosa, namun merindukan sorga bukanlah dosa. 

II. Ayub merasa hampir tidak mungkin mampu menghadapi derita-

nya, hingga tidak ada yang dapat melegakannya dari kesakitan 

dan kesengsaraan selain melalui kematian. Ia tidak dapat mene-

mukan jalan lain lagi untuk memberikan kelegaan. Bersikap begi-

tu tidak sabar dalam hidup sebab  semua kesesakan yang kita 

hadapi, tidak saja tidak wajar, namun  juga tidak berterima kasih 

kepada Sang Pemberi kehidupan. Ketidaksabaran juga menun-

jukkan sikap yang memperturut keinginan dosa dan ketidak-

pedulian kita tentang keadaan kita di masa mendatang. Biarlah 

kita senantiasa mempersiapkan diri dengan sungguh untuk me-

nyambut dunia lain, dan berserah kepada Allah untuk mengatur 

kepindahan kita ke sana dengan cara yang menurut-Nya pantas: 

“Ya Tuhan, kapan pun dan dengan cara yang sesuai kehendak-

Mu.” Baiklah kita mengucapkannya dengan kepasrahan sedemi-

kian rupa, hingga andai kata Ia menyerahkannya kepada kita, 

maka kita akan menyerahkannya kembali kepada-Nya. Di tengah 

kenyamanan hidup berlimpah, anugerah mengajarkan kepada 

kita agar bersedia untuk mati. Demikian juga di tengah kesesakan 

paling berat sekalipun, kita harus bersedia hidup. Sebagai alasan 

untuk membenarkan diri dalam kerinduannya untuk mati, Ayub 

mengungkapkan betapa sedikit penghiburan dan kepuasan yang 

telah diterimanya dalam hidup ini. 

1. Dalam kesesakannya, berbagai masalah terus dirasakannya, 

dan mungkin akan terus berlanjut. Ayub merasa sudah jenuh 

dengan hidup, sebab , 

(1) Ia tidak memperoleh penghiburan dalam hidupnya. sebab  

ganti rotiku yaitu  keluh kesahku (ay. 24). Dukacita hidup 

menghalangi sekaligus mengharapkan sokongan hidup. 

Bahkan lebih dari itu, penderitaan merampas selera ma-

kannya. Dukacitanya menggantikan makanannya, penderi-

taan menjadi rotinya tiap hari. Bahkan, begitu luar biasa-

nya rasa sakit dan penderitaannya hingga ia tidak saja 

mengeluh namun  meraung. Keluhannya tercurah seperti air 

yang mengalir tanpa henti. Guru kita sudah terbiasa me-

rasakan dukacita, jadi kita pun harus seperti itu juga. 

(2) Ia tidak memiliki pengharapan untuk memperbaiki keada-

annya: jalannya tersembunyi, dan ia telah dikepung Allah 

(ay. 23). Ia tidak melihat jalan keluar untuk kelepasan, 

tidak tahu cara bertindak yang harus diambilnya. Jalannya 

disekat dengan duri-duri, hingga tidak dapat menemukan 

jalan keluar (Lih. Ayb. 23:8; Rat. 3:7). 

2. Bahkan semasa masih hidup makmur pun Ayub senantiasa 

ada dalam ketakutan, sehingga ia tidak pernah merasa tenang 

dan tenteram (ay. 25-26). Ia tahu begitu banyak tentang kesia-

siaan dunia beserta semua kesesakannya. Ia tentu saja lahir di 

dalamnya, dan tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman. 

Yang sekarang membuat dukacitanya semakin menyengsara-

kan yaitu  sebab  ia sama sekali tidak menyadari suatu 

kelalaiannya ataupun sikapnya yang merasa aman dalam 

masa kemakmurannya. Hal ini bisa saja yang menyulut ama-

rah Allah sehingga terpaksa menghajarnya sekarang. 

(1) Sebenarnya dalam masa kemakmurannya, Ayub tidak meng-

abaikan atau acuh tak acuh dengan semua urusannya, te-

tapi tetap takut terhadap masalah, sehingga berlaku waspa-

da. Ia takut kalau-kalau sementara sedang berpesta, anak-

anaknya melakukan pelanggaran terhadap Allah (1:5). Ia 

takut kalau-kalau para pelayannya mengganggu para te-

tangganya. Ia sangat memperhatikan kesehatannya sendiri, 

dan menangani diri serta urusannya dengan sangat hati-

hati. Namun, semua ini ternyata tidak ada gunanya. 

(2) Ayub tidak merasa diri aman, ataupun memanjakan diri 

dengan kenyamanan dan ketenteraman. Ia tidak memper-

cayakan diri kepada kekayaannya, atau membuai diri sen-

diri dengan pengharapan akan kelangsungan kesenangan-

nya. Namun kesusahan datang juga, untuk meyakinkan 

dan mengingatkannya pada kesia-siaan dunia ini, yang 

tidak dilupakannya saat  masih hidup tenteram. Demi-

kianlah jalan Ayub tersembunyi, sebab ia tidak tahu meng-

apa Allah menentangnya. Sekarang perenungan ini, bukan-

nya memperparah namun  justru meringankan penderitaan-

nya. Tidak ada suatu pun yang dapat meringankan kesu-

sahan kita dibanding kesaksian nurani kita, bahwa sampai 

tingkat tertentu kita telah melaksanakan kewajiban kita 

pada masa kemakmuran. Dan kesadaran bahwa kesukaran 

pasti akan datang, sehingga kita menantikannya, akan me-

ringankannya saat kesukaran itu benar-benar tiba. Sema-

kin tidak mengejutkan, semakin tidak menakutkan pula 

rasanya. 

 

 

 

 

 

PASAL  4  

yub melampiaskan amarahnya dengan berapi-api, sehingga de-

gan demikian memecahkan es kebisuan di antara dirinya dengan 

para sahabatnya. Lalu sekarang, dalam pasal ini, dengan bersung-

guh-sungguh sahabat-sahabatnya itu datang mengungkapkan peni-

laian mereka atas perkaranya. Boleh jadi di tempat terpisah mereka 

telah mengutarakan dan membandingkan pendapat mereka satu sama 

lain, serta membicarakannya. Lalu mereka semua pun sependapat 

tentang keputusan mereka, bahwa penderitaan Ayub jelas-jelas mem-

buktikan bahwa ia seorang munafik. Namun, mereka tidak melon-

tarkan tuduhan ini kepada Ayub sampai ia mengutarakan ketidak-

puasan dan ketidaksabarannya. Mereka menuduh ia menyindir Allah, 

dan dengan begitu memperkuat prasangka buruk yang sebelum itu 

mereka bayangkan tentang diri dan tabiatnya. Sekarang mereka me-

nyerangnya dengan cara menakut-nakuti. Maka dimulailah saling 

debat yang dalam waktu singkat menjadi panas. Para lawan Ayub ada-

lah ketiga sahabatnya itu. Ayub sendiri merupakan pihak yang ditun-

tut. Elihu tampil pertama sebagai penengah, dan akhirnya Allah sen-

diri memberikan keputusan tentang perselisihan itu, termasuk pelak-

sanaannya. Hal yang dipertanyakan dalam perdebatan itu yaitu  

apakah Ayub seorang yang jujur atau bukan. Ini merupakan perta-

nyaan yang sama yang menjadi perdebatan di antara Allah dan Iblis 

dalam dua pasal pertama. Iblis mengalah dan tidak berani berang-

gapan bahwa dengan mengutuki hari kelahirannya, Ayub sama saja 

dengan mengutuki Allahnya. Tidak, Iblis tidak dapat menyangkal 

bahwa Ayub masih memegang teguh kesalehannya. Namun, sahabat-

sahabat Ayub bersikeras, bahwa jika dia memang seorang yang tulus, 

dia tentu tidak akan mengalami penderitaan yang separah dan mele-

tihkan seperti itu. Oleh sebab itu mereka mendesaknya untuk meng-

akui bahwa ia memang seorang munafik dalam pengakuannya seba-

gai orang beragama. “Tidak,” sahut Ayub, “aku tidak akan pernah 

melakukan hal itu. Aku memang telah menyakiti hati Allah, namun  

meskipun demikian, hatiku tetap tulus terhadap-Nya.” Dan ia masih 

memegang teguh penghiburan yang diperolehnya melalui ketulusan-

nya itu. Dalam pasal ini, Elifas yang mungkin yaitu  yang tertua di 

antara ketiga sahabat itu, atau yang paling cakap, mulai berbicara 

kepada Ayub.  

I.   Ia berbicara kepada seorang pendengar yang sabar (ay. 2). 

II. Ia memuji Ayub dengan mengakui keunggulan serta pelayan-

an Ayub yang berguna bagi orang lain sesuai pengakuannya 

dirinya sebagai seorang beragama (ay. 3-4). 

III. Ia menuduh Ayub munafik dalam pengakuan imannya. Ia 

mendasarkan tuduhannya itu pada kesesakan yang sedang 

dialami Ayub serta perilaku Ayub dalam penderitaannya itu 

(ay. 5-6). 

IV. Ia menarik kesimpulan bahwa kejahatan manusialah yang 

senantiasa mendatangkan penghukuman Allah (ay. 7-11). 

V. Ia membenarkan pernyataannya melalui penglihatan yang di-

dapatnya, yang mengingatkannya kepada kemurnian tak ter-

bantahkan dari penghakiman Allah, serta kehinaan, kelemah-

an, dan dosa manusia (ay. 12-21). Melalui semua ini ia bertu-

juan menjatuhkan semangat Ayub dan membuatnya bertobat 

dan bersabar di bawah semua penderitaan yang di alaminya. 

Teguran Elifas 

(4:1-6) 

1 Maka berbicaralah Elifas, orang Teman: 2 “Kesalkah engkau, bila orang men-

coba berbicara kepadamu? namun  siapakah dapat tetap menutup mulutnya?  

3 Sesungguhnya, engkau telah mengajar banyak orang, dan tangan yang lemah 

telah engkau kuatkan; 4 orang yang jatuh telah dibangunkan oleh kata-katamu, 

dan lutut yang lemas telah kaukokohkan; 5 namun  sekarang, dirimu yang tertim-

pa, dan engkau kesal, dirimu terkena, dan engkau terkejut. 6 Bukankah takut-

mu akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi 

pengharapanmu? 

Di dalam ayat-ayat ini, 

I. Elifas meminta maaf atas masalah yang sekarang hendak dida-

tangkannya kepada Ayub melalui pembicaraannya (ay. 2): “Kesal-

kah engkau dan menganggapnya jahat, bila orang menawarkan 

teguran dan nasihat, dan mencoba berbicara kepadamu?” Kami 

mempunyai alasan untuk khawatir kalau-kalau engkau akan 

bersikap demikian. Namun, tidak ada jalan keluar lain untuk itu: 

“Siapakah dapat tetap menutup mulutnya?” Amatilah, 

1. Betapa dengan rendah hati Elifas berbicara tentang diri dan 

upayanya sendiri. Ia tidak mau melaksanakan tugas itu se-

orang diri, melainkan dengan sikap merendah mengikutserta-

kan sahabat-sahabatnya. “Kami mau bercakap-cakap dengan-

mu.” Orang-orang yang mengajukan perkara mereka kepada 

Allah sudah seharusnya merasa senang menerima pertolong-

an, supaya tidak menderita dalam kelemahan mereka. Elifas 

tidak mau menjanjikan banyak hal, namun  memohon agar di-

perbolehkan menguji atau mencoba, serta berusaha menawar-

kan apa pun yang mungkin ada hubungannya dan cocok bagi 

perkara Ayub. Dalam menghadapi masalah sulit, sungguh 

pantas apabila kita tidak berpura-pura lagi, namun  mencoba apa 

pun yang dapat dikatakan atau dilakukan. Banyak percakapan 

bermutu yang memakai  judul karangan sederhana. 

2. Betapa dengan lembut ia membicarakan perkara Ayub dan 

penderitaan yang sedang dideritanya sekarang: “Apabila kami 

menyampaikan isi hati kami, kesalkah engkau? Apakah eng-

kau akan menganggapnya jahat? Apakah engkau akan meng-

anggapnya sebagai penderitaanmu sendiri atau sebagai kesa-

lahan kami? Akankah kami dianggap kasar dan kejam apabila 

kami memperlakukanmu dengan terus terang dan tegas? Se-

moga tidak demikian halnya. Mudah-mudahan apa yang kami 

sampaikan dengan maksud baik tidak dipandang jahat, namun  

jika demikian adanya, kami minta maaf.” Perhatikanlah, kita 

memang harus khawatir kalau-kalau membuat kesal siapa 

pun, terutama orang-orang yang memang sedang bersedih, 

supaya kita tidak menambahkan penderitaan kepada orang-

orang yang menderita, seperti yang dilakukan musuh-musuh 

Daud (Mzm. 69:27). Kita harus menunjukkan kita takut ber-

kata bahwa apa yang kita duga akan membuat kesal orang 

lain, meskipun hal itu sangat penting. Allah sendiri, walaupun 

sudah sepantasnya Ia mendatangkan penderitaan, tidak mem-

buat orang menderita dengan sesuka hati (Rat. 3:33). 

3. Betapa dengan yakin ia berbicara tentang kebenaran dan kete-

patan apa yang hendak dikatakannya: Siapakah dapat tetap 

menutup mulutnya? Sungguh merupakan semangat saleh demi 

kehormatan Allah dan kesejahteraan rohani Ayub, yang mem-

buat Elifas merasa perlu berbicara kepadanya. “Siapa yang da-

pat menahan diri dari berbicara demi mempertahankan nama 

baik kehormatan Allah, yang kami dengar telah dicela, dan 

juga demi mengasihi jiwamu yang kami lihat sedang dalam 

keadaan bahaya?” Perhatikanlah, sungguh merupakan rasa 

iba yang bodoh apabila kita tidak menegur sahabat kita, bah-

kan yang sedang mengalami penderitaan, sebab  kesalahan 

mereka dalam berkata-kata atau dalam perbuatan, hanya 

sebab  takut kalau-kalau kita menyinggung perasaan mereka. 

Apakah orang menganggapnya sebagai hal yang baik atau 

jahat, kita harus dengan bijaksana dan lemah lembut melaku-

kan tugas kita dan menunjukkan hati nurani yang baik. 

II.  Elifas menuduh Ayub atas dua hal. 

1. Perilakunya dalam menghadapi penderitaan. Elifas menuduh-

nya telah bersikap lemah dan berkecil hati, dan ada banyak 

alasannya untuk mendukung tuduhannya itu (ay. 3-5). Dalam 

ayat 3-4 ini, 

(1) Elifas memperhatikan jasa Ayub dahulu demi menghibur 

orang lain. Ia mengakui bahwa Ayub telah mengajar ba-

nyak orang. Bukan saja anak-anak dan hamba-hambanya 

sendiri, melainkan banyak orang lain juga, misalnya para 

tetangga dan teman-teman, semua orang yang berada di 

sekitar lingkungan kegiatannya. Ia tidak saja mendorong 

dan menerima orang-orang yang pekerjaannya mengajar, 

serta menanggung biaya untuk mengajar orang-orang mis-

kin, namun  ia sendiri pun mengajar banyak orang. Meski-

pun dia sendiri orang besar, dia tidak merasa semua itu 

terlampau rendah baginya (Raja Salomo sendiri seorang 

pengkhotbah). Walaupun sangat sibuk, ia masih mempu-

nyai waktu untuk melakukannya. Ia mengunjungi para 

tetangga, berbicara dengan mereka tentang jiwa mereka, 

dan memberi mereka nasihat baik. Oh, seandainya saja te-

ladan Ayub ini ditiru oleh orang-orang besar kita! Apabila 

mendapati orang-orang yang nyaris jatuh ke dalam dosa, 

atau tenggelam dalam kesesakan mereka, kata-katanya 

menopang mereka. Ia sangat cekatan menawarkan hal yang 

tepat untuk menguatkan orang-orang dalam menghadapi 

cobaan. Ia menopang mereka dalam beban yang mereka 

pikul, dan menghibur hati nurani yang menderita. Ayub 

memiliki dan memakai  lidah orang terpelajar, dan 

tahu cara memakai  kata tepat pada waktunya kepada 

orang-orang yang letih lesu, dan sangat mengerahkan diri 

dalam pekerjaan yang baik itu. Dengan nasihat serta peng-

hiburan yang sesuai, tangan yang lemah telah ia kuatkan 

sehingga dapat bekerja demi pekerjaan, pelayanan, dan ke-

sejahteraan rohani. Ia menguatkan lutut yang goyah se-

hingga mampu menopang orang dalam perjalanan yang 

memikul beban. Tidak saja menjadi tugas kita untuk me-

nguatkan tangan yang lemah dan lutut yang goyah dengan 

mendorong serta menguatkan hati kita sendiri dalam me-

laksanakan tugas (Ibr. 12:12), namun  kita juga harus me-

nguatkan tangan lemah orang lain sebagaimana halnya di 

sini. Kita harus sedapat mungkin menguatkan lutut mere-

ka yang goyah, dengan berkata kepada orang-orang yang 

tawar hati: Kuatkanlah hatimu (Yes. 35:3-4). Sepertinya 

ucapan itu dipinjam dari situ. Perhatikanlah, kata-kata se-

perti itu sudah seharusnya berlimpah dalam memberikan 

kemurahan hati rohani. Perkataan baik yang diucapkan 

dengan tepat dan bijaksana, dapat melakukan kebaikan 

lebih daripada yang kita sangka. Namun, mengapa Elifas 

menyebutkan semua kebaikan Ayub itu di sini? 

[1] Boleh jadi Elifas memuji Ayub atas kebaikan yang per-

nah dilakukannya, supaya dengan demikian membuat 

teguran yang direncanakannya itu lebih dapat diterima 

oleh Ayub. Pujian yang patut merupakan kata pengan-

tar yang baik bagi celaan yang pada patut disampaikan. 

Hal ini akan membantu menyingkirkan prasangka, ser-

ta menunjukkan bahwa teguran itu tidak datang dari 

niat jahat. Sebelum menegur jemaat Korintus, Paulus 

memuji mereka terlebih dahulu (1Kor. 21:2).  

[2] Elifas ingat bagaimana Ayub telah banyak menghibur 

orang lain, dan memakai  hal ini sebagai alasan 

mengapa ia boleh berharap menghibur juga. Namun, 

jika untuk menghibur orang, mereka perlu meyakinkan 

orang itu lebih dulu, maka itulah yang telah mereka 

lakukan. Kalau Penghibur itu datang, Ia akan meng-

insafkan dunia akan dosa (Yoh. 16:8). 

[3] Mungkin Elifas mengucapkan kata-katanya dengan 

nada iba, sambil mengeluh bahwa melalui beratnya 

penderitaan yang sedang dialaminya itu, Ayub tidak 

dapat menerapkan pada dirinya sendiri penghiburan 

yang sebelum itu telah diberikannya kepada orang lain. 

Lebih mudah memberikan nasihat baik daripada meneri-

manya, dan lebih mudah mengkhotbahkan kelemah-

lembutan dan kesabaran daripada melakukannya. Facile 

omnes, cum valemus, rectum consilium ægrotis damus – 

saat  sedang sehat, kita semua merasa mudah memberi-

kan nasihat baik pada orang yang sakit – Terent. 

[4] Kebanyakan orang berpendapat Elifas menyebutkan 

kebaikan Ayub itu untuk menegur Ayub atas ketidak-

senangan yang diperlihatkannya terhadap penderitaan-

nya. Elifas mencela Ayub dengan pengetahuan dan se-

mua perbuatan baik yang telah dilakukannya untuk 

orang-orang lain. Ia seakan berkata, “Engkau yang telah 

mengajar orang-orang lain, mengapa engkau tidak meng-

ajar diri sendiri? Bukankah ini merupakan bukti kemu-

nafikanmu, bahwa engkau memberi resep obat kepada 

orang lain, padahal engkau sendiri tidak mau memi-

numnya. Dengan demikian engkau melakukan sesuatu 

yang berlawanan dengan dirimu sendiri, dan bertindak 

melawan dasar peganganmu sendiri. Engkau mengajar 

orang lain agar tidak tawar hati, mengapa engkau sen-

diri tawar hati? (Rm. 2:21). Hai Tabib, sembuhkanlah 

dirimu sendiri.” Orang yang menegur orang lain harus 

bersiap mendengar teguran juga apabila mereka sendiri 

bertindak menjengkelkan dan perlu ditegur.  

(2) Elifas mencela Ayub sebab  sikap patah semangatnya se-

karang (ay. 5). “Sekarang, dirimu yang tertimpa, sekarang 

giliranmulah untuk menderita, dan cawan pahit yang di-

edarkan sekarang diletakkan ke dalam tanganmu, seka-

rang dirimu terkena, dan engkau terkejut.” Di sini, 

[1] Elifas terlalu memandang enteng penderitaan Ayub: “Di-

rimu terkena,” atau dijamah. Iblis memakai  kata 

yang sama juga (1:11; 2:5). Seandainya saja Elifas mera-

sakan separuh dari penderitaan Ayub, ia akan berkata, 

“Aku terhantam, aku dilukai.” Sebaliknya, saat  mem-

bicarakan penderitaan Ayub, ia menyepelekan hal itu: 

“Dirimu dijamah, dan engkau tidak tahan dijamah,” Noli 

me tangere – Jangan jamah aku. 

[2] Elifas terlampau membesar-besarkan kemarahan Ayub 

dan melebih-lebihkannya: “Engkau tawar hati, atau lupa 

diri sebab  marah. Engkau meracau dan tidak tahu apa 

yang kaukatakan.” Orang-orang yang sedang sangat ter-

tekan oleh derita haruslah diberi kelonggaran dan ke-

murahan hati atas apa yang mereka ucapkan. Apabila 

kita memburuk-burukkan setiap perkataan, kita tidak 

berbuat seperti yang kita ingin orang berbuat kepada 

kita. 

2. Tabiat umum Ayub sebelum penderitaannya. Elifas menuduh 

Ayub jahat dan berhati palsu, dan kata-kata tuduhannya itu 

sama sekali tidak berdasar serta tidak adil. Betapa kasar ia 

mengolok-olok dan memarahi Ayub dengan pengakuan iman-

nya yang sungguh-sungguh itu, seolah-olah semua itu seka-

rang tidak berarti lagi dan terbukti hanya kepura-puraan 

belaka (ay. 6): “Bukankah takutmu akan Allah yang menjadi 

sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi pengharapan-

mu? Bukankah tampak sekarang bahwa semua itu sekadar 

pura-pura semata? Sebab seandainya engkau bersungguh-

sungguh di dalamnya, maka Allah tidak akan menimpakan 

penderitaan seberat ini kepadamu, dan engkau pun tentu 

tidak akan berperilaku seperti ini dalam menghadapi penderi-

taan.” Hal inilah yang persis diincar Iblis, yaitu membuktikan 

bahwa Ayub seorang munafik dan menyanggah tabiat yang di-

katakan Allah tentang dirinya. Iblis tidak dapat membuktikan 

sendiri kepalsuan Ayub di hadapan Allah, sementara Allah 

sendiri melihat dan berkata, Ayub memang saleh dan jujur. 

sebab  itu, Iblis berusaha keras melalui sahabat-sahabat 

Ayub, supaya mereka menuduh Ayub dan membujuknya agar 

mengaku bahwa dirinya memang seorang munafik. Seandai-

nya saja Iblis berhasil mencapai titik itu, ia pasti menang. 

Habes confitentem reum – dari mulutmu sendiri aku akan 

menghukummu. Akan namun , berkat anugerah Allah, Ayub di-

mampukan mempertahankan ketulusannya, dan tidak mau 

bersaksi dusta melawan dirinya sendiri. Perhatikanlah, orang-

orang yang melontarkan kecaman kasar dan tanpa belas 

kasihan kepada saudara-saudara mereka sendiri dan menye-

but mereka munafik, sebenarnya melakukan pekerjaan Iblis 

dan melayani kepentingannya, lebih daripada yang mereka 

sadari. Entah mengapa ayat ini diterjemahkan dengan makna 

berbeda dalam beberapa terbitan Alkitab bahasa Inggris. Versi 

asli dan semua versi kuno, meletakkan kata pengharapanmu 

di depan kesalehan hidupmu. Demikian pula terjemahan Je-

newa dan kebanyakan terjemahan terakhir. Namun, salah satu 

versi tahun 1612 menerjemahkan dengan, Bukankah takutmu 

akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu 

menjadi pengharapanmu? Baik terjemahan Assembly’s Anno-

tation maupun Tuan Pool memiliki tafsiran seperti itu. Dalam 

terbitan tahun 1660 tertulis, “Bukankah takutmu akan Allah 

yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi 

pengharapanmu? Bukankah sekarang terlihat bahwa seluruh 

hidup keagamaanmu, baik dalam hal ibadah maupun peri-

lakumu hanya terdapat di dalam pengharapan dan sandaran 

supaya engkau menjadi kaya olehnya? Bukankah semua ini 

sekadar gila akan uang dan harta?” Inilah hal utama yang di-

tawarkan Iblis. Bukankah agama menjadi pengharapanmu, dan 

bukankah kesalehan hidupmu menjadi sandaranmu? Demikian-

lah menurut Tuan Broughton. Atau, “Bukankah demikian? 

Tidakkah engkau berpikir bahwa itulah yang akan menjadi 

perlindunganmu? Namun engkau telah tertipu.” Atau, “Bukan-

kah seharusnya demikian? Jika dilakukan dengan sungguh 

hati, bukankah hal itu akan mencegahmu merasakan keputus-

asaan ini?” Memang benar, Jika engkau tawar hati pada masa 

kesesakan, kecillah kekuatanmu dan kasih karuniamu (Ams. 

24:10). Namun, ini tidak lalu berarti bahwa engkau tidak me-

miliki kasih karunia dan kekuatan sama sekali. Tabiat sese-

orang tidak dapat ditentukan melalui satu tindakan saja. 

 

Teguran Elifas 

(4:7-11) 

7 Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang 

yang jujur dipunahkan? 8 Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang mem-

bajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga. 9 Mereka binasa 

oleh nafas Allah, dan lenyap oleh hembusan hidung-Nya. 10 Singa mengaum, 

singa meraung – patahlah gigi singa-singa muda. 11 Singa binasa sebab  

kekurangan mangsa, dan anak-anak singa betina bercerai-berai. 

Dalam perikop ini Elifas mengajukan alasan lain untuk membuktikan 

bahwa Ayub munafik. Ia memakai ketidaksabaran Ayub dalam meng-

hadapi penderitaan sebagai buktinya. Bahkan, sebab  begitu berat 

dan luar biasanya penderitaan itu, ia tidak melihat ada harapan 

sama sekali untuk bisa keluar darinya. Guna memperkuat alasan-

nya, di sini Elifas memberikan dua asas yang sepertinya cukup ma-

suk di akal:  

I. Bahwa orang-orang baik tidak pernah dihancurkan semacam itu. 

Sebagai bukti mengenai hal ini ia meminta Ayub meninjaunya 

sendiri (ay. 7): “Camkanlah ini, ingatlah segala sesuatu yang  telah 

kaulihat, dengar, atau baca, dan beri aku satu contoh apakah ada 

seseorang yang tidak bersalah dan benar, namun celaka serta 

binasa seperti engkau ini.” Jika kita memahami pernyataan Elifas 

ini sebagai kehancuran terakhir dan kekal, maka asas ini memang 

benar adanya. Tidak seorang pun yang tidak bersalah dan benar 

akan binasa selamanya. Hanya manusia durhaka, yang harus 

binasa (2Tes. 2:3). Asas ini salah diterapkan kepada Ayub. Ia 

tidak binasa seperti itu atau punah. Manusia tidak akan binasa 

sampai ia berada di neraka. Jika kita memahaminya sebagai ben-

cana yang bersifat sementara, maka asas Elifas itu tidak benar. 

Orang benar binasa (Yes. 57:1). Nasib orang sama: baik orang 

yang benar maupun orang yang fasik (Pkh. 9:2), baik dalam 

kehidupan maupun kematian. Perbedaan yang besar dan pasti 

yaitu  sesudah kematian. Bahkan sebelum zaman Ayub (seawal 

kehidupan ini) terdapat contoh-contoh yang cukup banyak yang 

menentang asas ini. Bukankah Habel yang benar mati meskipun 

tidak bersalah? Bukankah ia dibunuh di usia muda? Bukankah 

Lot yang benar dibakar rumah dan tempat perlindungannya, lalu 

terpaksa mengungsi dalam gua yang mengenaskan? Bukankah 

Yakub yang benar, seorang Aram yang siap mati? (Ul. 26:5). Con-

toh-contoh lain yang serupa, tidak diragukan lagi ada, namun tidak 

tercatat. 

II. Bahwa orang-orang jahatlah yang sering kali dihancurkan seperti 

itu. Untuk membuktikan hal ini Elifas menegaskan pengamatan-

nya sendiri (ay. 8): “Yang telah kulihat berulang kali, orang yang 

membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga. 

Mereka binasa oleh nafas Allah (ay. 9). Setiap hari kita melihat 

contoh-contoh mengenai hal itu. Oleh sebab  itu, mengingat bah-

wa engkau hancur seperti itu dan dibinasakan, kami mempunyai 

alasan untuk berpikir bahwa apa pun pengakuan iman yang telah 

kaubuat, ternyata engkau hanya membajak kejahatan dan mena-

bur kesusahan. Bahkan sama seperti yang kulihat dalam diri 

orang lain, begitulah yang kulihat di dalam dirimu.” 

1. Elifas berbicara tentang orang-orang berdosa pada umumnya, 

orang berdosa yang giat dan cerdik, yang berusaha keras mela-

kukan dosa, sebab mereka membajak kejahatan. Mereka ber-

harap meraih keuntungan melalui dosa, sebab mereka mena-

bur kejahatan. Orang-orang yang membajak, tentu membajak 

dengan pengharapan, namun apakah yang dihasilkan? Mereka 

menuainya juga. Barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia 

akan menuai kebinasaan dan kehancuran (Gal. 6:7-8). Tuaian 

itu akan menjadi hari penderitaan yang sangat payah (Yes. 

17:11). Ia akan menuainya juga. Artinya, hasil yang sesuai 

dengan benih itu. Apa yang ditabur orang berdosa bukanlah 

tubuh tanaman yang akan tumbuh. Namun, Allah akan mem-

berinya tubuh, tubuh kematian, yakni kesudahan semuanya 

itu (Rm. 6:21). Mengenai kejahatan dan kesusahan ini, bebe-

rapa orang mengartikannya sebagai perbuatan tidak benar dan 

kerugian yang diakibatkan kepada orang lain. Orang-orang 

yang membajak dan menuainya akan menuainya juga. Arti-

nya, mereka akan dibalas sesuai dengan perilakunya sendiri. 

Orang-orang yang menyusahkan akan disusahkan (2Tes. 1:6; 

Yos. 7:25). Para perusak akan dirusak (Yes. 33:1), sedangkan 

orang-orang yang menuntun ke penawanan, ia akan ditawan 

(Why. 13:10). Selanjutnya, Elifas menggambarkan kehancuran 

mereka (ay. 9): Mereka binasa oleh nafas Allah. Semua rencana 

yang mereka upayakan dengan susah payah itu digagalkan. 

Allah memotong tali-tali para pembajak itu (Mzm. 129:3-4). 

Mereka sendiri dihancurkan, hukuman yang adil atas kejahat-

an mereka. Mereka binasa, artinya, mereka dihancurkan sama 

sekali. Mereka lenyap, atau, mereka dihancurkan secara ber-

tahap oleh napas dan embusan hidung Allah. Artinya, 

(1) Melalui murka-Nya. Amarah Allah merupakan kehancuran 

orang berdosa, yang oleh sebab itu disebut benda-benda 

kemurkaan-Nya, dan dikatakan bahwa napas-Nya mampu 

menghanguskan tempat pembakaran (Yes. 30:33). Siapakah 

yang mengenal kekuatan murka-Nya? (Mzm. 90:11). 

(2) Melalui firman-Nya. Allah berbicara maka terjadilah itu, de-

ngan mudah dan pasti berhasil. Roh Allah melalui firman-

Nya melenyapkan orang berdosa. Dengan perkataan-Nya Ia 

membunuh mereka (Hos. 6:5). Mengatakan dan melakukan 

bukanlah dua hal yang berbeda bagi Allah. Manusia berdosa 

dikatakan akan dimusnahkan dengan nafas mulut Kristus 

(2Tes. 2:8. Bdk. Yes. 11:4; Why. 19:21). Ada yang berpenda-

pat bahwa dalam mempertalikan kehancuran orang berdosa 

dengan napas Allah dan hembusan hidung-Nya, Elifas meru-

juk kepada angin yang merobohkan rumah anak-anak Ayub, 

seolah-olah sebab  itu mereka yaitu  lebih besar dosanya 

dari pada dosa semua orang yang lain, sebab  mereka meng-

alami nasib itu (Luk. 13:2). 

2. Elifas khususnya berbicara tentang para raja lalim dan penin-

das kejam, menyamakan mereka dengan singa (ay. 10-11). 

Amatilah, 

(1) Bagaimana Elifas menggambarkan kekejaman dan penin-

dasan mereka. Bahasa Ibrani memiliki lima nama berbeda 

bagi singa, dan di sini semua nama itu dipakai  untuk 

menyatakan kekuatan mengoyak, keganasan, dan kekejam-

an luar biasa para penindas congkak. Mereka mengaum, 

mengoyak, dan memangsa semua yang ada di sekeliling 

mereka, dan membesarkan anak-anak mereka untuk ber-

buat sama (Yeh. 19:3). Iblis yaitu  singa yang mengaum-

aum. Mereka mengambil bagian dalam tabiatnya dan me-

lakukan segala nafsunya. Mereka kuat bagaikan singa, dan 

juga licik (Mzm. 10:9; 17:12). Dan sejauh keberhasilan yang 

mereka raih, segala sesuatu di sekeliling mereka menjadi 

tandus. 

(2) Bagaimana Elifas menggambarkan kehancuran mereka, baik 

kehancuran kekuasaan maupun diri mereka. Mereka akan 

dicegah mendatangkan kerugian lebih lanjut dan harus mem-

pertanggungjawabkan kerugian yang telah mereka sebabkan. 

Tindakan yang membawa hasil akan diambil, 

[1] Supaya mereka tidak mendatangkan kengerian lagi. 

Suara auman mereka akan dibungkam. 

[2] Supaya mereka tidak mengoyak lagi. Allah akan melu-

cuti senjata mereka, dan mengangkat kuasa dari mere-

ka untuk mendatangkan kerugian: patahlah gigi singa-

singa muda (Lih. Mzm. 3:8). Demikianlah sisa murka itu 

akan dikekang. 

[3] Supaya mereka tidak memperkaya diri dengan hasil 

jarahan para tetangga mereka. Bahkan singa binasa 

sebab  kekurangan mangsa. Orang-orang yang telah ke-

kenyangan dengan hasil rampasan dan jarahan mung-

kin akhirnya akan diturunkan ke dalam kesesakan 

hingga mati kelaparan. 

[4] Supaya mereka tidak dapat meninggalkan pengganti 

seperti yang mereka janjikan kepada diri sendiri: anak-

anak singa betina bercerai-berai, untuk mencari makan 

sendiri, yang biasanya dibawakan singa dewasa bagi me-

reka. Biasanya singa itu menerkam supaya cukup makan 

anak-anaknya (Nah. 2:12), namun  sekarang anak-anak 

singa itu harus bersusah payah sendiri. Boleh jadi de-

ngan mengatakan hal ini Elifas bertujuan menyindir 

Ayub, seolah-olah ia yang terkaya dari semua orang di 

sebelah timur, telah memperoleh harta miliknya dari 

hasil jarahan dan memakai  kekuasaannya untuk 

menindas sesama. Namun, sekarang kekuasaan dan 

hartanya telah lenyap, sedangkan keluarganya tercerai-

berai. Jika memang demikian maksud Elifas, maka be-

tapa malangnya orang yang dipuji-puji Allah itu diper-

lakukan dengan tidak benar seperti itu.  

 

Teguran Elifas 

(4:12-21) 

12 Suatu perkataan telah disampaikan kepadaku dengan diam-diam dan telinga-

ku menangkap bisikannya, 13 waktu bermenung oleh sebab khayal malam, 

saat  tidur nyenyak menghinggapi orang. 14 Aku terkejut dan gentar, sehing-

ga tulang-tulangku gemetar. 15 Suatu roh melewati aku, tegaklah bulu roma-

ku. 16 Ia berhenti, namun  rupanya tidak dapat kukenal. Suatu sosok ada di 

depan mataku, suara berbisik-bisik kudengar: 17 Mungkinkah seorang manu-

sia benar di hadapan Allah, mungkinkah seseorang tahir di hadapan Pencip-

tanya? 18 Sesungguhnya, hamba-hamba-Nya tidak dipercayai-Nya, malaikat-

malaikat-Nyap didapati-Nya tersesat, 19 lebih-lebih lagi mereka yang diam da-

lam pondok tanah liat, yang dasarnya dalam debu, yang mati terpijat seperti 

gegat. 20 Di antara pagi dan petang mereka dihancurkan, dan tanpa dihi-

raukan mereka binasa untuk selama-lamanya. 21 Bukankah kemah mereka 

dicabut? Mereka mati, namun  tanpa hikmat. 

Sesudah berusaha meyakinkan Ayub tentang dosa dan kebodohan-

nya sebab  rasa tidak senang dan ketidaksabarannya, di sini Elifas 

menegaskan sebuah penglihatan yang dikaruniakan kepadanya, de-

ngan maksud untuk menginsafkan Ayub. Apa yang langsung datang 

dari Allah akan dihormati secara khusus oleh semua orang, dan tidak 

ragu lagi, Ayub juga demikian halnya. Ada yang berpendapat bahwa 

Elifas menerima penglihatan ini belum lama sebelum itu, sejak ia 

mendatangi Ayub dan memberi saran-saran kepadanya. Akan baik 

halnya andai kata Elifas hanya menyampaikan inti penglihatan ini, 

sebagai dasar untuk menegur Ayub atas sungut-sungutnya itu, dan 

bukan menuduhnya sebagai seorang munafik. Ada pula yang berpen-

dapat Elifas memperoleh penglihatan itu sudah lama sebelum ia men-

datangi Ayub. Sebab dengan cara ini Allah sering kali menyampaikan 

isi pikiran-Nya kepada anak-anak manusia pada abad-abad pertama 

dunia (33:15). Boleh jadi Allah telah mengirim utusan ini kepada 

Elifas dan pesan pada suatu waktu, saat  Elifas sendiri sedang da-

lam keadaan tidak tenang, guna menenangkan dan menenteramkan-

nya. Perhatikanlah, kita harus menghibur orang lain dengan hal yang 

telah menghibur kita (2Kor. 1:4), supaya kita dapat berusaha keras 

menyadarkan orang lain dengan hal yang sangat sanggup menyadar-

kan kita. Pada masa itu umat Allah belum memiliki firman tertulis 

yang dapat dikutip, dan oleh sebab  itu Allah adakalanya memberi 

tahu mereka bahkan tentang kebenaran-kebenaran umum melalui 

cara-cara pewahyuan yang luar biasa. Kita yang memiliki Alkitab 

(syukur kepada Allah) memiliki firman yang lebih pasti untuk dian-

dalkan, bahkan dibanding penglihatan-penglihatan dan suara-suara 

(2Ptr. 1:19). Amatilah, 

I.   Cara pesan ini dikirimkan kepada Elifas, dan keadaan saat pesan 

itu disampaikan kepada dia. 

1. Pesan itu disampaikan dengan diam-diam, atau secara sembu-

nyi-sembunyi. Beberapa dari persekutuan terindah yang dija-

lani jiwa-jiwa penuh rahmat bersama Allah berlangsung secara 

rahasia, tempat tiada mata dapat melihatnya, selain Dia yang 

melihat segala sesuatu. Allah memiliki cara-cara untuk me-

nyadarkan, menasihati, dan menghibur umat-Nya, tanpa ter-

lihat oleh dunia. Juga melalui bisikan halus yang sama kuat 

dan nyatanya seperti melalui pelayanan umum. Rahasia-Nya 

diberitahukan-Nya kepada mereka (Mzm. 25:14, KJV). Sama 

seperti roh jahat acapkali mencuri firman yang baik dari hati 

(Mat. 13:19), demikian juga Roh yang baik adakalanya mema-

sukkan firman yang baik dengan diam-diam ke dalam hati, 

sekiranya kita menyadari hal itu. 

2. Telinganya menangkap bisikannya (ay. 12). Hanya sedikit saja 

pengetahuan ilahi diterima orang terbaik di dunia. Dibanding-

kan dengan apa yang seharusnya diketahui, dan dengan apa 

yang akan kita ketahui setelah masuk ke sorga, kita hanya 

mengetahui sedikit saja. Sesungguhnya, semuanya itu hanya 

ujung-ujung jalan-Nya (26:14). Sekarang aku hanya mengenal 

dengan tidak sempurna (1Kor. 13:12). Lihatlah kerendahan 

hati dan kesederhanaan Elifas. Ia tidak mengaku-ngaku me-

mahami dengan sepenuhnya, hanya sedikit saja. 

3. Pesan itu disampaikan kepadanya melalui khayal malam (ay. 

13, KJV: penglihatan-penglihatan malam), saat  ia telah meng-

undurkan diri dari dunia dengan hiruk pikuknya, dan suasana 

di sekelilingnya sudah tenang dan sunyi. Perhatikanlah, sema-

kin kita menjauh dari dunia dan perkara-perkara di dalamnya, 

semakin layak pula kita bagi persekutuan dengan Allah. Keti-

ka kita berkata-kata dalam hati di tempat tidur, dan tetap diam 

(Mzm. 4:5), maka itulah saat yang tepat bagi Roh Kudus untuk 

bersekutu dengan kita. saat  yang lain sedang tidur, Elifas 

siap menerima kunjungan dari sorga. Boleh jadi, sama seperti 

Daud, ia merenungkan Allah sepanjang kawal malam. Di te-

ngah perenungan yang baik itulah pesan ini disampaikan ke-

padanya. Kita akan mendengar lebih banyak dari Allah apabila 

kita lebih banyak memikirk