yang akan memberikan segala yang
dipunyainya ganti nyawanya. Sebab, belum pernah ada orang yang
menilai hidup ini lebih rendah daripada yang dilakukan Ayub.
I. Tanpa rasa syukur ia bertengkar dengan kehidupan. Ia marah
sebab hidupnya tidak diambil darinya begitu ia menerimanya (ay.
11-12): Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir? Lihatlah di sini,
1. Betapa manusia merupakan makhluk lemah dan tak berdaya
saat ia masuk ke dalam dunia, dan betapa tipis benang kehi-
dupan saat baru ditarik. Kita ada di ujung kematian sejak
keluar dari kandungan, dan sangat dekat dengan embusan
napas terakhir begitu mulai mengembuskan napas. Kita tidak
mampu melakukan apa pun dengan kekuatan sendiri seperti
halnya makhluk ciptaan lain. Sebaliknya, kita akan jatuh ke
dalam kubur apabila lutut tidak menopang kita. Pelita kehi-
dupan yang baru menyala akan padam dengan sendirinya apa-
bila tidak mendapatkan susu yang bisa kita isap dan memper-
oleh minyak segar darinya.
2. Betapa dengan murah hati dan lembut Penyelenggaraan ilahi
yang diberikan Allah kepada kita saat kita masuk ke dalam
dunia. Berkat hal inilah kita tidak mati waktu lahir, atau
binasa waktu keluar dari kandungan. Mengapa kita tidak mati
begitu dilahirkan? Ini bukanlah sebab kita tidak layak untuk
mati. Rumput liar sudah seharusnya dicabut begitu muncul.
Sudah seharusnya ular naga dihancurkan sejak masih berada
di dalam telur. Juga, kita tidak mati begitu dilahirkan bukan-
lah sebab kita berbuat atau mampu mengurus diri dan ke-
amanan kita sendiri. Tidak satu pun makhluk ciptaan lahir
dalam keadaan begitu tanpa daya seperti manusia. Bukanlah
kekuasaan atau kekuatan tangan kitalah yang memelihara
kita, melainkan kuasa dan Penyelenggaraan Allah yang meno-
pang kehidupan kita yang rapuh. Belas kasihan dan kesabar-
an-Nya menyelamatkan hidup kita yang terhilang. Berkat hal
inilah lutut mencegah kita terjatuh. Kasih sayang alami dile-
takkan dalam hati para orangtua oleh tangan Allah pencipta
alam semesta. Oleh sebab itulah berkat dari susu menyertai
bayi yang baru lahir dari kandungan.
3. Betapa besar kesia-siaan serta kekesalan roh menyertai hidup
manusia. Andai kata kita tidak memiliki Allah untuk dilayani
di dunia ini, dan memiliki hal-hal lebih baik untuk diharapkan
di dunia lain, maka mengingat berbagai kecakapan yang me-
lengkapi kita dan kesukaran yang mengelilingi kita, kita tentu
akan sangat tergoda untuk berharap agar kita binasa waktu
keluar dari kandungan, sehingga mencegah terjadinya banyak
dosa dan kesengsaraan.
Orang yang lahir hari ini, dan mati keesokan harinya,
Kehilangan sedikit hari sukacita,
namun berbulan-bulan dukacita.
4. Keburukan sikap tidak sabar, resah, dan tidak puas. Apabila
sikap-sikap semacam itu berjaya, maka semua sikap itu sung-
guh tidak masuk akal, tidak saleh, dan tidak tahu berterima
kasih. Menurutkan semua sikap itu sama saja dengan meng-
abaikan dan meremehkan perkenanan Allah. Tidak peduli se-
getir apa pun hidup ini, kita harus berkata, “sebab belas ka-
sih Tuhanlah kita tidak mati begitu dilahirkan dari kandung-
an, bahwa kita tidak binasa.” Membenci kehidupan sungguh
bertolak belakang dengan akal sehat dan perasaan terdalam
umat manusia, dan akal sehat serta perasaan kita sendiri.
Biarlah orang-orang yang tidak merasa puas mengecam hidup
habis-habisan, pada akhirnya mereka akan enggan berpisah
dengannya saat saatnya tiba. Suatu saat seorang tua, ka-
rena merasa letih menanggung bebannya, melemparkan be-
bannya dengan kesal dan memanggil-manggil Maut, dan Maut
pun datang kepadanya, lalu menanyakan apa yang diinginkan-
nya. Orang itu menjawab, “Tidak ada, selain bantuan untuk
memikul bebanku ini.”
II. Dengan berapi-api Ayub menyambut hangat kematian dan kubur,
dan tampaknya mendambakan keduanya. Ingin mati supaya bisa
berada bersama Kristus, supaya terbebas dari dosa, dan sebab
rindu mengenakan tempat kediaman sorgawi di atas tempat ke-
diaman kita yang sekarang ini, merupakan pengaruh dan bukti
anugerah. Namun, menginginkan kematian hanya supaya kita
bisa beristirahat di dalam kubur dan terbebas dari semua ke-
sukaran hidup ini, berasal dari keinginan cemar. Pertimbangan
Ayub di sini dapat dimanfaatkan untuk mendamaikan kita de-
ngan kematian saat ajal tiba, untuk menenteramkan kita saat ajal
menyergap. Namun, janganlah memakai pertimbangan itu sebagai
alasan untuk menentang hidup sementara masih berlanjut, atau
sebab merasa tidak tenteram di bawah bebannya. Sudah se-
harusnya kita bijaksana dan wajib berbuat sebaik-baiknya dalam
keadaan hidup atau mati, sehingga dengan demikian jika kita
hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk
Tuhan, serta menjadi milik-Nya dalam hidup ataupun kematian
(Rm. 14:8). Di sini Ayub meresahkan diri dengan berpikir bahwa
seandainya saja ia mati begitu dilahirkan, dan dibawa dari kan-
dungan ke kubur,
1. Keadaannya pasti sama baiknya dengan keadaan yang terbaik:
Aku tentu akan ada (katanya dalam ay. 14) bersama-sama raja-
raja dan penasihat-penasihat di bumi, yang semarak, kekua-
saan, dan kebijakan mereka pun tidak dapat menjauhkan mere-
ka dari kematian, atau mengamankan mereka dari kubur, atau
membedakan mereka dari debu tanah kubur. Bahkan para raja
yang memiliki emas berlimpah, tidak dapat memakai nya
untuk menyuap Maut supaya melewati mereka apabila ia
datang untuk melaksanakan tugasnya. Dan kalaupun mereka
memenuhi rumah mereka dengan perak, mereka akan dipaksa
meninggalkan semua itu dan tidak akan pernah kembali ke
sana lagi. Di sini disebutkan tentang raja-raja dan penasihat-
penasihat yang mendirikan kembali reruntuhan bagi dirinya.
Beberapa orang mengartikannya sebagai makam atau tanda
peringatan yang mereka persiapkan bagi diri sendiri saat
mereka masih hidup. Misalnya saja Sebna (Yes. 22:16), yang
menggali kuburnya sendiri. Emas yang dimiliki para raja dan
perak yang mereka gunakan untuk memenuhi rumah, diarti-
kan sebagai harta yang menurut mereka biasa diletakkan di
dalam makam orang-orang besar. Kebiasaan semacam itu te-
lah dipakai demi memelihara martabat mereka, jika mung-
kin, di sisi lain kematian, dan bahkan untuk menjaga agar
mereka tidak terbaring bersama orang-orang dari golongan
rendah. Namun, semua itu tidak akan ada gunanya. Maut
yaitu , dan tetap akan menyamaratakan manusia tanpa dapat
ditahan. Mors sceptra ligonibus æquat – Maut membaurkan
tongkat kerajaan dengan sekop. Orang kaya dan orang miskin
bertemu di dalam kubur. Di sana anak gugur yang disembunyi-
kan (ay. 16), anak yang belum pernah melihat terang, atau
yang baru membuka mata dan mengintip dunia sebab tidak
menyukainya, memejamkannya kembali dan cepat-cepat me-
ninggalkan dunia. Lalu ia terbaring tenang dan damai, terba-
ring sama tinggi dan sama aman dengan para raja, penasihat,
dan pembesar yang memiliki emas. “Oleh sebab itu,” kata
Ayub, “aku lebih suka terbaring di sana dalam debu daripada
di sini di tengah abu!”
2. Keadaannya pasti jauh lebih baik daripada sekarang (ay. 13):
“Jikalau tidak, aku sekarang berbaring dan tenang, yang seka-
rang tidak bisa kulakukan, sehingga aku tidak dapat tenang
namun masih gelisah dan resah. Jikalau tidak, tentu aku sudah
tertidur di sana, sedangkan sekarang rasa kantuk telah me-
ninggalkanku. Jikalau tidak, aku tentu mendapat istirahat di
sana, sedangkan sekarang aku tetap gelisah.” Sekarang, saat
kehidupan dan kefanaan semakin dibuat lebih banyak jelas
oleh terang Injil dibanding dahulu, orang Kristen yang ber-
sungguh-sungguh dapat memberikan kesaksian lebih baik
mengenai keuntungan yang bisa didapatkan melalui kematian:
“Pastilah aku sudah berada bersama Tuhan. Tentulah aku
sudah melihat kemuliaan-Nya muka dengan muka, dan tidak
lagi melalui kaca yang buram.” Akan namun , semua yang di-
dambakan Ayub yaitu istirahat dan ketenangan di dalam
kubur sebab rasa takut akan berita buruk dan rasa sakit
akibat luka boroknya. Seharusnya aku telah mendapat isti-
rahat (jika aku mati begitu dilahirkan). Andai kata ia mampu
menahan amarahnya, ketenangan hatinya, seperti yang dicatat
dalam dua pasal sebelum ini, serta sepenuhnya pasrah kepada
kehendak kudus Allah dan menyetujuinya tanpa membantah,
maka mungkin sekarang ia sudah tenang. Paling tidak, jiwa-
nya sudah bisa nyaman, meskipun tubuhnya sedang kesakit-
an (Mzm. 25:13). Amatilah betapa indah ia menggambarkan
istirahat di dalam kubur, yang (asalkan jiwa juga beristirahat
di dalam Allah) dapat menyertai kemenangan kita atasnya.
(1) Di sana orang-orang yang sekarang sedang mengalami ke-
sesakan akan berada di luar jangkauan kesusahan (ay. 17):
Di sanalah orang fasik berhenti menimbulkan huru-hara.
saat para penganiaya mati, mereka tidak akan dapat lagi
menganiaya. Kebencian dan kecemburuan mereka akan
hilang. Herodes telah menyusahkan jemaat, namun saat
dimakan cacing-cacing, ia tidak mampu menyusahkan lagi.
saat orang-orang yang dianiaya mati, mereka sudah ter-
lepas dari bahaya teraniaya lebih lanjut. Andai kata Ayub
telah beristirahat di dalam kuburnya, ia tidak akan digang-
gu orang Syeba dan Kasdim. Tidak akan ada musuh yang
menimbulkan kesusahan baginya.
(2) Di sana orang-orang yang sekarang bekerja membanting
tulang akan melihat akhir kerja keras mereka. Di sanalah
mereka yang kehabisan tenaga mendapat istirahat. Sorga
lebih dari sekadar peristirahatan bagi jiwa orang-orang
kudus, sedangkan kubur hanyalah peristirahatan bagi tu-
buh jasmani mereka. Di dunia ini ziarah mereka merupa-
kan ziarah yang meletihkan. Mereka menjadi letih dengan
dosa dan dunia. Mereka lelah sebab pelayanan, penderita-
an, dan pengharapan mereka. namun , di dalam kubur mere-
ka beristirahat dari jerih lelah mereka (Why. 14:13; Yes. 57:2).
Di sana mereka merasa nyaman dan tidak mengeluh lagi. Di
sana orang-orang percaya beristirahat di dalam Yesus.
(3) Orang-orang yang diperbudak di sini akan bebas di sana.
Kematian bagaikan kebebasan dari penjara, pembebasan
bagi yang tertindas, dan kemerdekaan bagi hamba (ay. 18):
Di sana para tawanan, yang meskipun tidak dapat berjalan
dengan bebas, namun bersama-sama menjadi tenang. Me-
reka tidak diharuskan bekerja dan membanting tulang di
rumah penjara. Mereka tidak lagi dihina dan diinjak-injak,
diancam, serta dibuat ketakutan oleh para mandor kejam:
mereka tidak lagi mendengar suara pengerah atau penin-
das. Orang-orang yang di sini dijatuhi hukuman menjadi
hamba seumur hidup, yang tidak bisa menyebut apa pun
sebagai milik mereka, bahkan tubuh mereka sendiri sekali-
pun, di dalam sana tidak lagi berada di bawah perintah
atau kendali orang. Di sana budak bebas dari pada tuan-
nya, yang merupakan alasan yang baik mengapa orang-
orang yang berkuasa harus memakai kekuasaan me-
reka dengan benar, sedangkan orang-orang yang menjadi
bawahan harus tunduk dengan sabar, sebab waktunya
tidak lama.
(4) Di sana orang-orang dengan derajat berbeda jauh dengan
yang lain akan disejajarkan (ay. 19): orang kecil dan orang
besar sama. Di sana mereka sama, jadi satu, dan semua
sama-sama merdeka di antara orang mati. Semarak dan
kedudukan membosankan yang menyertai orang-orang be-
sar akan berakhir di sana. Semua ketidaknyamanan orang
miskin dan kedudukan mereka yang rendah juga berakhir.
Kematian dan kubur tidak membeda-bedakan.
Disamaratakan oleh kematian, penguasa maupun budak,
Orang berhikmat maupun orang bodoh,
pengecut maupun pemberani,
Terbaring bercampur tanpa dibedakan dalam kubur.
– Sir R. Blackmore
Keluhan Ayub tentang Kehidupannya
(3:20-26)
20 Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah-susah, dan hidup kepada
yang pedih hati; 21 yang menantikan maut, yang tak kunjung tiba, yang me-
ngejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam; 22 yang bersukaria dan
bersorak-sorai dan senang, bila mereka menemukan kubur; 23 kepada orang
laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah? 24 sebab ganti
rotiku yaitu keluh kesahku, dan keluhanku tercurah seperti air. 25 sebab
yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah
yang mendatangi aku. 26 Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman;
aku tidak mendapat istirahat, namun kegelisahanlah yang timbul.”
sebab merasa tidak ada gunanya berharap agar ia tidak dilahirkan
atau mati begitu lahir, di sini Ayub mengeluh sebab hidupnya seka-
rang masih berlanjut dan tidak terputus. saat manusia terus ber-
bantah, tidak ada akhirnya. Hati yang cemar akan melanjutkan peri-
laku itu. Sesudah mengutuki hari kelahirannya, di sini ia memohon-
kan kematiannya. Memulai pertentangan dan ketidaksabaran sama
saja dengan membuka aliran air.
I. Secara umum Ayub menganggap berat apabila kehidupan seng-
sara diperpanjang (ay. 20-22): Mengapa terang diberikan kepada
yang bersusah-susah, dan hidup kepada yang pedih hati? Melalui
penderitaan rohani, kegetiran jiwa membuat hidup getir juga.
Mengapa Ia memberikan terang? (demikianlah makna aslinya).
Yang dimaksudkannya yaitu Allah, namun Ayub tidak menyebut
nama-Nya, meskipun Iblis telah berkata, “Ia pasti mengutuki Eng-
kau di hadapan-Mu.” Dengan samar-samar Ayub menyindir Pe-
nyelenggaraan ilahi sebagai tidak adil dan tidak baik sebab mem-
biarkan hidup berlanjut sementara kenyamanannya diangkat.
Kehidupan disebut terang, sebab menyenangkan dan berguna
untuk berjalan dan bekerja. Seperti halnya terang lilin, semakin
lama lilin itu menyala, semakin pendek jadinya, dan semakin
mendekati kandilnya. Dikatakan bahwa terang itu diberikan ke-
pada kita. Sebab seandainya tidak diperbarui setiap hari sebagai
karunia segar, terang itu akan lenyap. Namun, Ayub beranggapan
bahwa bagi orang-orang yang sedang menderita sengsara, hidup
yaitu dōron adōron – karunia dan bukan karunia. Bagi Ayub,
hidup yaitu karunia yang lebih baik tidak usah ada, jika terang
itu hanyalah supaya mereka dapat melihat kesengsaraan mereka.
Seperti itulah kesia-siaan hidup manusia, sehingga adakalanya
hanya menyusahkan jiwa. Begitu mudah sifat maut itu berubah,
hingga meskipun secara alami ditakuti, namun didambakan juga
bahkan bahkan oleh alam. Di sini Ayub berbicara tentang orang-
orang yang,
1. Merindukan kematian setelah hidup mereka jauh dari kenya-
manan dan kegunaannya, dibebani usia lanjut, kelemahan,
rasa sakit atau penyakit, kemiskinan atau aib, namun kema-
tian itu tidak mau datang juga. Sementara pada saat yang
sama, kematian mendatangi banyak orang yang gentar terha-
dapnya dan hendak menjauhkannya dari diri mereka. Kelang-
sungan dan masa hidup haruslah sesuai dengan kehendak
Allah, bukan dengan kehendak kita. Sungguh tidak pantas
bila ditanyakan seberapa lama kita akan hidup dan kapan kita
akan mati. Waktu kita berada di tangan yang lebih baik dari-
pada tangan kita sendiri.
2. Mengejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam. Arti-
nya, mereka rela memberikan apa pun demi bisa terbebas dari
dunia ini. Dapat kita duga dari sini bahwa waktu itu pikiran
untuk orang membunuh diri sendiri tidak begitu diterima atau
disarankan. Sebab, kalau tidak, orang-orang yang merindukan
kematian waktu itu tidak perlu bersusah payah, begitu mereka
ingin (seperti yang dikatakan Seneca), langsung melakukan-
nya, jika mereka suka.
3. Menyambut kematian dengan gembira, dan senang, bila mere-
ka menemukan kubur, dan melihat diri sendiri memasukinya.
Jika kesengsaraan hidup ini begitu berjaya, bertentangan de-
ngan harapan manusia, hingga membuat orang merindukan
kematian, maka bukankah pengharapan dan gambaran akan
hidup yang lebih baik melalui kematian seharusnya membuat
kematian itu lebih didambakan, dan kita tidak perlu lagi takut
kepadanya? Mendambakan kematian bisa saja merupakan
dosa, namun merindukan sorga bukanlah dosa.
II. Ayub merasa hampir tidak mungkin mampu menghadapi derita-
nya, hingga tidak ada yang dapat melegakannya dari kesakitan
dan kesengsaraan selain melalui kematian. Ia tidak dapat mene-
mukan jalan lain lagi untuk memberikan kelegaan. Bersikap begi-
tu tidak sabar dalam hidup sebab semua kesesakan yang kita
hadapi, tidak saja tidak wajar, namun juga tidak berterima kasih
kepada Sang Pemberi kehidupan. Ketidaksabaran juga menun-
jukkan sikap yang memperturut keinginan dosa dan ketidak-
pedulian kita tentang keadaan kita di masa mendatang. Biarlah
kita senantiasa mempersiapkan diri dengan sungguh untuk me-
nyambut dunia lain, dan berserah kepada Allah untuk mengatur
kepindahan kita ke sana dengan cara yang menurut-Nya pantas:
“Ya Tuhan, kapan pun dan dengan cara yang sesuai kehendak-
Mu.” Baiklah kita mengucapkannya dengan kepasrahan sedemi-
kian rupa, hingga andai kata Ia menyerahkannya kepada kita,
maka kita akan menyerahkannya kembali kepada-Nya. Di tengah
kenyamanan hidup berlimpah, anugerah mengajarkan kepada
kita agar bersedia untuk mati. Demikian juga di tengah kesesakan
paling berat sekalipun, kita harus bersedia hidup. Sebagai alasan
untuk membenarkan diri dalam kerinduannya untuk mati, Ayub
mengungkapkan betapa sedikit penghiburan dan kepuasan yang
telah diterimanya dalam hidup ini.
1. Dalam kesesakannya, berbagai masalah terus dirasakannya,
dan mungkin akan terus berlanjut. Ayub merasa sudah jenuh
dengan hidup, sebab ,
(1) Ia tidak memperoleh penghiburan dalam hidupnya. sebab
ganti rotiku yaitu keluh kesahku (ay. 24). Dukacita hidup
menghalangi sekaligus mengharapkan sokongan hidup.
Bahkan lebih dari itu, penderitaan merampas selera ma-
kannya. Dukacitanya menggantikan makanannya, penderi-
taan menjadi rotinya tiap hari. Bahkan, begitu luar biasa-
nya rasa sakit dan penderitaannya hingga ia tidak saja
mengeluh namun meraung. Keluhannya tercurah seperti air
yang mengalir tanpa henti. Guru kita sudah terbiasa me-
rasakan dukacita, jadi kita pun harus seperti itu juga.
(2) Ia tidak memiliki pengharapan untuk memperbaiki keada-
annya: jalannya tersembunyi, dan ia telah dikepung Allah
(ay. 23). Ia tidak melihat jalan keluar untuk kelepasan,
tidak tahu cara bertindak yang harus diambilnya. Jalannya
disekat dengan duri-duri, hingga tidak dapat menemukan
jalan keluar (Lih. Ayb. 23:8; Rat. 3:7).
2. Bahkan semasa masih hidup makmur pun Ayub senantiasa
ada dalam ketakutan, sehingga ia tidak pernah merasa tenang
dan tenteram (ay. 25-26). Ia tahu begitu banyak tentang kesia-
siaan dunia beserta semua kesesakannya. Ia tentu saja lahir di
dalamnya, dan tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman.
Yang sekarang membuat dukacitanya semakin menyengsara-
kan yaitu sebab ia sama sekali tidak menyadari suatu
kelalaiannya ataupun sikapnya yang merasa aman dalam
masa kemakmurannya. Hal ini bisa saja yang menyulut ama-
rah Allah sehingga terpaksa menghajarnya sekarang.
(1) Sebenarnya dalam masa kemakmurannya, Ayub tidak meng-
abaikan atau acuh tak acuh dengan semua urusannya, te-
tapi tetap takut terhadap masalah, sehingga berlaku waspa-
da. Ia takut kalau-kalau sementara sedang berpesta, anak-
anaknya melakukan pelanggaran terhadap Allah (1:5). Ia
takut kalau-kalau para pelayannya mengganggu para te-
tangganya. Ia sangat memperhatikan kesehatannya sendiri,
dan menangani diri serta urusannya dengan sangat hati-
hati. Namun, semua ini ternyata tidak ada gunanya.
(2) Ayub tidak merasa diri aman, ataupun memanjakan diri
dengan kenyamanan dan ketenteraman. Ia tidak memper-
cayakan diri kepada kekayaannya, atau membuai diri sen-
diri dengan pengharapan akan kelangsungan kesenangan-
nya. Namun kesusahan datang juga, untuk meyakinkan
dan mengingatkannya pada kesia-siaan dunia ini, yang
tidak dilupakannya saat masih hidup tenteram. Demi-
kianlah jalan Ayub tersembunyi, sebab ia tidak tahu meng-
apa Allah menentangnya. Sekarang perenungan ini, bukan-
nya memperparah namun justru meringankan penderitaan-
nya. Tidak ada suatu pun yang dapat meringankan kesu-
sahan kita dibanding kesaksian nurani kita, bahwa sampai
tingkat tertentu kita telah melaksanakan kewajiban kita
pada masa kemakmuran. Dan kesadaran bahwa kesukaran
pasti akan datang, sehingga kita menantikannya, akan me-
ringankannya saat kesukaran itu benar-benar tiba. Sema-
kin tidak mengejutkan, semakin tidak menakutkan pula
rasanya.
PASAL 4
yub melampiaskan amarahnya dengan berapi-api, sehingga de-
gan demikian memecahkan es kebisuan di antara dirinya dengan
para sahabatnya. Lalu sekarang, dalam pasal ini, dengan bersung-
guh-sungguh sahabat-sahabatnya itu datang mengungkapkan peni-
laian mereka atas perkaranya. Boleh jadi di tempat terpisah mereka
telah mengutarakan dan membandingkan pendapat mereka satu sama
lain, serta membicarakannya. Lalu mereka semua pun sependapat
tentang keputusan mereka, bahwa penderitaan Ayub jelas-jelas mem-
buktikan bahwa ia seorang munafik. Namun, mereka tidak melon-
tarkan tuduhan ini kepada Ayub sampai ia mengutarakan ketidak-
puasan dan ketidaksabarannya. Mereka menuduh ia menyindir Allah,
dan dengan begitu memperkuat prasangka buruk yang sebelum itu
mereka bayangkan tentang diri dan tabiatnya. Sekarang mereka me-
nyerangnya dengan cara menakut-nakuti. Maka dimulailah saling
debat yang dalam waktu singkat menjadi panas. Para lawan Ayub ada-
lah ketiga sahabatnya itu. Ayub sendiri merupakan pihak yang ditun-
tut. Elihu tampil pertama sebagai penengah, dan akhirnya Allah sen-
diri memberikan keputusan tentang perselisihan itu, termasuk pelak-
sanaannya. Hal yang dipertanyakan dalam perdebatan itu yaitu
apakah Ayub seorang yang jujur atau bukan. Ini merupakan perta-
nyaan yang sama yang menjadi perdebatan di antara Allah dan Iblis
dalam dua pasal pertama. Iblis mengalah dan tidak berani berang-
gapan bahwa dengan mengutuki hari kelahirannya, Ayub sama saja
dengan mengutuki Allahnya. Tidak, Iblis tidak dapat menyangkal
bahwa Ayub masih memegang teguh kesalehannya. Namun, sahabat-
sahabat Ayub bersikeras, bahwa jika dia memang seorang yang tulus,
dia tentu tidak akan mengalami penderitaan yang separah dan mele-
tihkan seperti itu. Oleh sebab itu mereka mendesaknya untuk meng-
akui bahwa ia memang seorang munafik dalam pengakuannya seba-
gai orang beragama. “Tidak,” sahut Ayub, “aku tidak akan pernah
melakukan hal itu. Aku memang telah menyakiti hati Allah, namun
meskipun demikian, hatiku tetap tulus terhadap-Nya.” Dan ia masih
memegang teguh penghiburan yang diperolehnya melalui ketulusan-
nya itu. Dalam pasal ini, Elifas yang mungkin yaitu yang tertua di
antara ketiga sahabat itu, atau yang paling cakap, mulai berbicara
kepada Ayub.
I. Ia berbicara kepada seorang pendengar yang sabar (ay. 2).
II. Ia memuji Ayub dengan mengakui keunggulan serta pelayan-
an Ayub yang berguna bagi orang lain sesuai pengakuannya
dirinya sebagai seorang beragama (ay. 3-4).
III. Ia menuduh Ayub munafik dalam pengakuan imannya. Ia
mendasarkan tuduhannya itu pada kesesakan yang sedang
dialami Ayub serta perilaku Ayub dalam penderitaannya itu
(ay. 5-6).
IV. Ia menarik kesimpulan bahwa kejahatan manusialah yang
senantiasa mendatangkan penghukuman Allah (ay. 7-11).
V. Ia membenarkan pernyataannya melalui penglihatan yang di-
dapatnya, yang mengingatkannya kepada kemurnian tak ter-
bantahkan dari penghakiman Allah, serta kehinaan, kelemah-
an, dan dosa manusia (ay. 12-21). Melalui semua ini ia bertu-
juan menjatuhkan semangat Ayub dan membuatnya bertobat
dan bersabar di bawah semua penderitaan yang di alaminya.
Teguran Elifas
(4:1-6)
1 Maka berbicaralah Elifas, orang Teman: 2 “Kesalkah engkau, bila orang men-
coba berbicara kepadamu? namun siapakah dapat tetap menutup mulutnya?
3 Sesungguhnya, engkau telah mengajar banyak orang, dan tangan yang lemah
telah engkau kuatkan; 4 orang yang jatuh telah dibangunkan oleh kata-katamu,
dan lutut yang lemas telah kaukokohkan; 5 namun sekarang, dirimu yang tertim-
pa, dan engkau kesal, dirimu terkena, dan engkau terkejut. 6 Bukankah takut-
mu akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi
pengharapanmu?
Di dalam ayat-ayat ini,
I. Elifas meminta maaf atas masalah yang sekarang hendak dida-
tangkannya kepada Ayub melalui pembicaraannya (ay. 2): “Kesal-
kah engkau dan menganggapnya jahat, bila orang menawarkan
teguran dan nasihat, dan mencoba berbicara kepadamu?” Kami
mempunyai alasan untuk khawatir kalau-kalau engkau akan
bersikap demikian. Namun, tidak ada jalan keluar lain untuk itu:
“Siapakah dapat tetap menutup mulutnya?” Amatilah,
1. Betapa dengan rendah hati Elifas berbicara tentang diri dan
upayanya sendiri. Ia tidak mau melaksanakan tugas itu se-
orang diri, melainkan dengan sikap merendah mengikutserta-
kan sahabat-sahabatnya. “Kami mau bercakap-cakap dengan-
mu.” Orang-orang yang mengajukan perkara mereka kepada
Allah sudah seharusnya merasa senang menerima pertolong-
an, supaya tidak menderita dalam kelemahan mereka. Elifas
tidak mau menjanjikan banyak hal, namun memohon agar di-
perbolehkan menguji atau mencoba, serta berusaha menawar-
kan apa pun yang mungkin ada hubungannya dan cocok bagi
perkara Ayub. Dalam menghadapi masalah sulit, sungguh
pantas apabila kita tidak berpura-pura lagi, namun mencoba apa
pun yang dapat dikatakan atau dilakukan. Banyak percakapan
bermutu yang memakai judul karangan sederhana.
2. Betapa dengan lembut ia membicarakan perkara Ayub dan
penderitaan yang sedang dideritanya sekarang: “Apabila kami
menyampaikan isi hati kami, kesalkah engkau? Apakah eng-
kau akan menganggapnya jahat? Apakah engkau akan meng-
anggapnya sebagai penderitaanmu sendiri atau sebagai kesa-
lahan kami? Akankah kami dianggap kasar dan kejam apabila
kami memperlakukanmu dengan terus terang dan tegas? Se-
moga tidak demikian halnya. Mudah-mudahan apa yang kami
sampaikan dengan maksud baik tidak dipandang jahat, namun
jika demikian adanya, kami minta maaf.” Perhatikanlah, kita
memang harus khawatir kalau-kalau membuat kesal siapa
pun, terutama orang-orang yang memang sedang bersedih,
supaya kita tidak menambahkan penderitaan kepada orang-
orang yang menderita, seperti yang dilakukan musuh-musuh
Daud (Mzm. 69:27). Kita harus menunjukkan kita takut ber-
kata bahwa apa yang kita duga akan membuat kesal orang
lain, meskipun hal itu sangat penting. Allah sendiri, walaupun
sudah sepantasnya Ia mendatangkan penderitaan, tidak mem-
buat orang menderita dengan sesuka hati (Rat. 3:33).
3. Betapa dengan yakin ia berbicara tentang kebenaran dan kete-
patan apa yang hendak dikatakannya: Siapakah dapat tetap
menutup mulutnya? Sungguh merupakan semangat saleh demi
kehormatan Allah dan kesejahteraan rohani Ayub, yang mem-
buat Elifas merasa perlu berbicara kepadanya. “Siapa yang da-
pat menahan diri dari berbicara demi mempertahankan nama
baik kehormatan Allah, yang kami dengar telah dicela, dan
juga demi mengasihi jiwamu yang kami lihat sedang dalam
keadaan bahaya?” Perhatikanlah, sungguh merupakan rasa
iba yang bodoh apabila kita tidak menegur sahabat kita, bah-
kan yang sedang mengalami penderitaan, sebab kesalahan
mereka dalam berkata-kata atau dalam perbuatan, hanya
sebab takut kalau-kalau kita menyinggung perasaan mereka.
Apakah orang menganggapnya sebagai hal yang baik atau
jahat, kita harus dengan bijaksana dan lemah lembut melaku-
kan tugas kita dan menunjukkan hati nurani yang baik.
II. Elifas menuduh Ayub atas dua hal.
1. Perilakunya dalam menghadapi penderitaan. Elifas menuduh-
nya telah bersikap lemah dan berkecil hati, dan ada banyak
alasannya untuk mendukung tuduhannya itu (ay. 3-5). Dalam
ayat 3-4 ini,
(1) Elifas memperhatikan jasa Ayub dahulu demi menghibur
orang lain. Ia mengakui bahwa Ayub telah mengajar ba-
nyak orang. Bukan saja anak-anak dan hamba-hambanya
sendiri, melainkan banyak orang lain juga, misalnya para
tetangga dan teman-teman, semua orang yang berada di
sekitar lingkungan kegiatannya. Ia tidak saja mendorong
dan menerima orang-orang yang pekerjaannya mengajar,
serta menanggung biaya untuk mengajar orang-orang mis-
kin, namun ia sendiri pun mengajar banyak orang. Meski-
pun dia sendiri orang besar, dia tidak merasa semua itu
terlampau rendah baginya (Raja Salomo sendiri seorang
pengkhotbah). Walaupun sangat sibuk, ia masih mempu-
nyai waktu untuk melakukannya. Ia mengunjungi para
tetangga, berbicara dengan mereka tentang jiwa mereka,
dan memberi mereka nasihat baik. Oh, seandainya saja te-
ladan Ayub ini ditiru oleh orang-orang besar kita! Apabila
mendapati orang-orang yang nyaris jatuh ke dalam dosa,
atau tenggelam dalam kesesakan mereka, kata-katanya
menopang mereka. Ia sangat cekatan menawarkan hal yang
tepat untuk menguatkan orang-orang dalam menghadapi
cobaan. Ia menopang mereka dalam beban yang mereka
pikul, dan menghibur hati nurani yang menderita. Ayub
memiliki dan memakai lidah orang terpelajar, dan
tahu cara memakai kata tepat pada waktunya kepada
orang-orang yang letih lesu, dan sangat mengerahkan diri
dalam pekerjaan yang baik itu. Dengan nasihat serta peng-
hiburan yang sesuai, tangan yang lemah telah ia kuatkan
sehingga dapat bekerja demi pekerjaan, pelayanan, dan ke-
sejahteraan rohani. Ia menguatkan lutut yang goyah se-
hingga mampu menopang orang dalam perjalanan yang
memikul beban. Tidak saja menjadi tugas kita untuk me-
nguatkan tangan yang lemah dan lutut yang goyah dengan
mendorong serta menguatkan hati kita sendiri dalam me-
laksanakan tugas (Ibr. 12:12), namun kita juga harus me-
nguatkan tangan lemah orang lain sebagaimana halnya di
sini. Kita harus sedapat mungkin menguatkan lutut mere-
ka yang goyah, dengan berkata kepada orang-orang yang
tawar hati: Kuatkanlah hatimu (Yes. 35:3-4). Sepertinya
ucapan itu dipinjam dari situ. Perhatikanlah, kata-kata se-
perti itu sudah seharusnya berlimpah dalam memberikan
kemurahan hati rohani. Perkataan baik yang diucapkan
dengan tepat dan bijaksana, dapat melakukan kebaikan
lebih daripada yang kita sangka. Namun, mengapa Elifas
menyebutkan semua kebaikan Ayub itu di sini?
[1] Boleh jadi Elifas memuji Ayub atas kebaikan yang per-
nah dilakukannya, supaya dengan demikian membuat
teguran yang direncanakannya itu lebih dapat diterima
oleh Ayub. Pujian yang patut merupakan kata pengan-
tar yang baik bagi celaan yang pada patut disampaikan.
Hal ini akan membantu menyingkirkan prasangka, ser-
ta menunjukkan bahwa teguran itu tidak datang dari
niat jahat. Sebelum menegur jemaat Korintus, Paulus
memuji mereka terlebih dahulu (1Kor. 21:2).
[2] Elifas ingat bagaimana Ayub telah banyak menghibur
orang lain, dan memakai hal ini sebagai alasan
mengapa ia boleh berharap menghibur juga. Namun,
jika untuk menghibur orang, mereka perlu meyakinkan
orang itu lebih dulu, maka itulah yang telah mereka
lakukan. Kalau Penghibur itu datang, Ia akan meng-
insafkan dunia akan dosa (Yoh. 16:8).
[3] Mungkin Elifas mengucapkan kata-katanya dengan
nada iba, sambil mengeluh bahwa melalui beratnya
penderitaan yang sedang dialaminya itu, Ayub tidak
dapat menerapkan pada dirinya sendiri penghiburan
yang sebelum itu telah diberikannya kepada orang lain.
Lebih mudah memberikan nasihat baik daripada meneri-
manya, dan lebih mudah mengkhotbahkan kelemah-
lembutan dan kesabaran daripada melakukannya. Facile
omnes, cum valemus, rectum consilium ægrotis damus –
saat sedang sehat, kita semua merasa mudah memberi-
kan nasihat baik pada orang yang sakit – Terent.
[4] Kebanyakan orang berpendapat Elifas menyebutkan
kebaikan Ayub itu untuk menegur Ayub atas ketidak-
senangan yang diperlihatkannya terhadap penderitaan-
nya. Elifas mencela Ayub dengan pengetahuan dan se-
mua perbuatan baik yang telah dilakukannya untuk
orang-orang lain. Ia seakan berkata, “Engkau yang telah
mengajar orang-orang lain, mengapa engkau tidak meng-
ajar diri sendiri? Bukankah ini merupakan bukti kemu-
nafikanmu, bahwa engkau memberi resep obat kepada
orang lain, padahal engkau sendiri tidak mau memi-
numnya. Dengan demikian engkau melakukan sesuatu
yang berlawanan dengan dirimu sendiri, dan bertindak
melawan dasar peganganmu sendiri. Engkau mengajar
orang lain agar tidak tawar hati, mengapa engkau sen-
diri tawar hati? (Rm. 2:21). Hai Tabib, sembuhkanlah
dirimu sendiri.” Orang yang menegur orang lain harus
bersiap mendengar teguran juga apabila mereka sendiri
bertindak menjengkelkan dan perlu ditegur.
(2) Elifas mencela Ayub sebab sikap patah semangatnya se-
karang (ay. 5). “Sekarang, dirimu yang tertimpa, sekarang
giliranmulah untuk menderita, dan cawan pahit yang di-
edarkan sekarang diletakkan ke dalam tanganmu, seka-
rang dirimu terkena, dan engkau terkejut.” Di sini,
[1] Elifas terlalu memandang enteng penderitaan Ayub: “Di-
rimu terkena,” atau dijamah. Iblis memakai kata
yang sama juga (1:11; 2:5). Seandainya saja Elifas mera-
sakan separuh dari penderitaan Ayub, ia akan berkata,
“Aku terhantam, aku dilukai.” Sebaliknya, saat mem-
bicarakan penderitaan Ayub, ia menyepelekan hal itu:
“Dirimu dijamah, dan engkau tidak tahan dijamah,” Noli
me tangere – Jangan jamah aku.
[2] Elifas terlampau membesar-besarkan kemarahan Ayub
dan melebih-lebihkannya: “Engkau tawar hati, atau lupa
diri sebab marah. Engkau meracau dan tidak tahu apa
yang kaukatakan.” Orang-orang yang sedang sangat ter-
tekan oleh derita haruslah diberi kelonggaran dan ke-
murahan hati atas apa yang mereka ucapkan. Apabila
kita memburuk-burukkan setiap perkataan, kita tidak
berbuat seperti yang kita ingin orang berbuat kepada
kita.
2. Tabiat umum Ayub sebelum penderitaannya. Elifas menuduh
Ayub jahat dan berhati palsu, dan kata-kata tuduhannya itu
sama sekali tidak berdasar serta tidak adil. Betapa kasar ia
mengolok-olok dan memarahi Ayub dengan pengakuan iman-
nya yang sungguh-sungguh itu, seolah-olah semua itu seka-
rang tidak berarti lagi dan terbukti hanya kepura-puraan
belaka (ay. 6): “Bukankah takutmu akan Allah yang menjadi
sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi pengharapan-
mu? Bukankah tampak sekarang bahwa semua itu sekadar
pura-pura semata? Sebab seandainya engkau bersungguh-
sungguh di dalamnya, maka Allah tidak akan menimpakan
penderitaan seberat ini kepadamu, dan engkau pun tentu
tidak akan berperilaku seperti ini dalam menghadapi penderi-
taan.” Hal inilah yang persis diincar Iblis, yaitu membuktikan
bahwa Ayub seorang munafik dan menyanggah tabiat yang di-
katakan Allah tentang dirinya. Iblis tidak dapat membuktikan
sendiri kepalsuan Ayub di hadapan Allah, sementara Allah
sendiri melihat dan berkata, Ayub memang saleh dan jujur.
sebab itu, Iblis berusaha keras melalui sahabat-sahabat
Ayub, supaya mereka menuduh Ayub dan membujuknya agar
mengaku bahwa dirinya memang seorang munafik. Seandai-
nya saja Iblis berhasil mencapai titik itu, ia pasti menang.
Habes confitentem reum – dari mulutmu sendiri aku akan
menghukummu. Akan namun , berkat anugerah Allah, Ayub di-
mampukan mempertahankan ketulusannya, dan tidak mau
bersaksi dusta melawan dirinya sendiri. Perhatikanlah, orang-
orang yang melontarkan kecaman kasar dan tanpa belas
kasihan kepada saudara-saudara mereka sendiri dan menye-
but mereka munafik, sebenarnya melakukan pekerjaan Iblis
dan melayani kepentingannya, lebih daripada yang mereka
sadari. Entah mengapa ayat ini diterjemahkan dengan makna
berbeda dalam beberapa terbitan Alkitab bahasa Inggris. Versi
asli dan semua versi kuno, meletakkan kata pengharapanmu
di depan kesalehan hidupmu. Demikian pula terjemahan Je-
newa dan kebanyakan terjemahan terakhir. Namun, salah satu
versi tahun 1612 menerjemahkan dengan, Bukankah takutmu
akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu
menjadi pengharapanmu? Baik terjemahan Assembly’s Anno-
tation maupun Tuan Pool memiliki tafsiran seperti itu. Dalam
terbitan tahun 1660 tertulis, “Bukankah takutmu akan Allah
yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi
pengharapanmu? Bukankah sekarang terlihat bahwa seluruh
hidup keagamaanmu, baik dalam hal ibadah maupun peri-
lakumu hanya terdapat di dalam pengharapan dan sandaran
supaya engkau menjadi kaya olehnya? Bukankah semua ini
sekadar gila akan uang dan harta?” Inilah hal utama yang di-
tawarkan Iblis. Bukankah agama menjadi pengharapanmu, dan
bukankah kesalehan hidupmu menjadi sandaranmu? Demikian-
lah menurut Tuan Broughton. Atau, “Bukankah demikian?
Tidakkah engkau berpikir bahwa itulah yang akan menjadi
perlindunganmu? Namun engkau telah tertipu.” Atau, “Bukan-
kah seharusnya demikian? Jika dilakukan dengan sungguh
hati, bukankah hal itu akan mencegahmu merasakan keputus-
asaan ini?” Memang benar, Jika engkau tawar hati pada masa
kesesakan, kecillah kekuatanmu dan kasih karuniamu (Ams.
24:10). Namun, ini tidak lalu berarti bahwa engkau tidak me-
miliki kasih karunia dan kekuatan sama sekali. Tabiat sese-
orang tidak dapat ditentukan melalui satu tindakan saja.
Teguran Elifas
(4:7-11)
7 Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang
yang jujur dipunahkan? 8 Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang mem-
bajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga. 9 Mereka binasa
oleh nafas Allah, dan lenyap oleh hembusan hidung-Nya. 10 Singa mengaum,
singa meraung – patahlah gigi singa-singa muda. 11 Singa binasa sebab
kekurangan mangsa, dan anak-anak singa betina bercerai-berai.
Dalam perikop ini Elifas mengajukan alasan lain untuk membuktikan
bahwa Ayub munafik. Ia memakai ketidaksabaran Ayub dalam meng-
hadapi penderitaan sebagai buktinya. Bahkan, sebab begitu berat
dan luar biasanya penderitaan itu, ia tidak melihat ada harapan
sama sekali untuk bisa keluar darinya. Guna memperkuat alasan-
nya, di sini Elifas memberikan dua asas yang sepertinya cukup ma-
suk di akal:
I. Bahwa orang-orang baik tidak pernah dihancurkan semacam itu.
Sebagai bukti mengenai hal ini ia meminta Ayub meninjaunya
sendiri (ay. 7): “Camkanlah ini, ingatlah segala sesuatu yang telah
kaulihat, dengar, atau baca, dan beri aku satu contoh apakah ada
seseorang yang tidak bersalah dan benar, namun celaka serta
binasa seperti engkau ini.” Jika kita memahami pernyataan Elifas
ini sebagai kehancuran terakhir dan kekal, maka asas ini memang
benar adanya. Tidak seorang pun yang tidak bersalah dan benar
akan binasa selamanya. Hanya manusia durhaka, yang harus
binasa (2Tes. 2:3). Asas ini salah diterapkan kepada Ayub. Ia
tidak binasa seperti itu atau punah. Manusia tidak akan binasa
sampai ia berada di neraka. Jika kita memahaminya sebagai ben-
cana yang bersifat sementara, maka asas Elifas itu tidak benar.
Orang benar binasa (Yes. 57:1). Nasib orang sama: baik orang
yang benar maupun orang yang fasik (Pkh. 9:2), baik dalam
kehidupan maupun kematian. Perbedaan yang besar dan pasti
yaitu sesudah kematian. Bahkan sebelum zaman Ayub (seawal
kehidupan ini) terdapat contoh-contoh yang cukup banyak yang
menentang asas ini. Bukankah Habel yang benar mati meskipun
tidak bersalah? Bukankah ia dibunuh di usia muda? Bukankah
Lot yang benar dibakar rumah dan tempat perlindungannya, lalu
terpaksa mengungsi dalam gua yang mengenaskan? Bukankah
Yakub yang benar, seorang Aram yang siap mati? (Ul. 26:5). Con-
toh-contoh lain yang serupa, tidak diragukan lagi ada, namun tidak
tercatat.
II. Bahwa orang-orang jahatlah yang sering kali dihancurkan seperti
itu. Untuk membuktikan hal ini Elifas menegaskan pengamatan-
nya sendiri (ay. 8): “Yang telah kulihat berulang kali, orang yang
membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga.
Mereka binasa oleh nafas Allah (ay. 9). Setiap hari kita melihat
contoh-contoh mengenai hal itu. Oleh sebab itu, mengingat bah-
wa engkau hancur seperti itu dan dibinasakan, kami mempunyai
alasan untuk berpikir bahwa apa pun pengakuan iman yang telah
kaubuat, ternyata engkau hanya membajak kejahatan dan mena-
bur kesusahan. Bahkan sama seperti yang kulihat dalam diri
orang lain, begitulah yang kulihat di dalam dirimu.”
1. Elifas berbicara tentang orang-orang berdosa pada umumnya,
orang berdosa yang giat dan cerdik, yang berusaha keras mela-
kukan dosa, sebab mereka membajak kejahatan. Mereka ber-
harap meraih keuntungan melalui dosa, sebab mereka mena-
bur kejahatan. Orang-orang yang membajak, tentu membajak
dengan pengharapan, namun apakah yang dihasilkan? Mereka
menuainya juga. Barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia
akan menuai kebinasaan dan kehancuran (Gal. 6:7-8). Tuaian
itu akan menjadi hari penderitaan yang sangat payah (Yes.
17:11). Ia akan menuainya juga. Artinya, hasil yang sesuai
dengan benih itu. Apa yang ditabur orang berdosa bukanlah
tubuh tanaman yang akan tumbuh. Namun, Allah akan mem-
berinya tubuh, tubuh kematian, yakni kesudahan semuanya
itu (Rm. 6:21). Mengenai kejahatan dan kesusahan ini, bebe-
rapa orang mengartikannya sebagai perbuatan tidak benar dan
kerugian yang diakibatkan kepada orang lain. Orang-orang
yang membajak dan menuainya akan menuainya juga. Arti-
nya, mereka akan dibalas sesuai dengan perilakunya sendiri.
Orang-orang yang menyusahkan akan disusahkan (2Tes. 1:6;
Yos. 7:25). Para perusak akan dirusak (Yes. 33:1), sedangkan
orang-orang yang menuntun ke penawanan, ia akan ditawan
(Why. 13:10). Selanjutnya, Elifas menggambarkan kehancuran
mereka (ay. 9): Mereka binasa oleh nafas Allah. Semua rencana
yang mereka upayakan dengan susah payah itu digagalkan.
Allah memotong tali-tali para pembajak itu (Mzm. 129:3-4).
Mereka sendiri dihancurkan, hukuman yang adil atas kejahat-
an mereka. Mereka binasa, artinya, mereka dihancurkan sama
sekali. Mereka lenyap, atau, mereka dihancurkan secara ber-
tahap oleh napas dan embusan hidung Allah. Artinya,
(1) Melalui murka-Nya. Amarah Allah merupakan kehancuran
orang berdosa, yang oleh sebab itu disebut benda-benda
kemurkaan-Nya, dan dikatakan bahwa napas-Nya mampu
menghanguskan tempat pembakaran (Yes. 30:33). Siapakah
yang mengenal kekuatan murka-Nya? (Mzm. 90:11).
(2) Melalui firman-Nya. Allah berbicara maka terjadilah itu, de-
ngan mudah dan pasti berhasil. Roh Allah melalui firman-
Nya melenyapkan orang berdosa. Dengan perkataan-Nya Ia
membunuh mereka (Hos. 6:5). Mengatakan dan melakukan
bukanlah dua hal yang berbeda bagi Allah. Manusia berdosa
dikatakan akan dimusnahkan dengan nafas mulut Kristus
(2Tes. 2:8. Bdk. Yes. 11:4; Why. 19:21). Ada yang berpenda-
pat bahwa dalam mempertalikan kehancuran orang berdosa
dengan napas Allah dan hembusan hidung-Nya, Elifas meru-
juk kepada angin yang merobohkan rumah anak-anak Ayub,
seolah-olah sebab itu mereka yaitu lebih besar dosanya
dari pada dosa semua orang yang lain, sebab mereka meng-
alami nasib itu (Luk. 13:2).
2. Elifas khususnya berbicara tentang para raja lalim dan penin-
das kejam, menyamakan mereka dengan singa (ay. 10-11).
Amatilah,
(1) Bagaimana Elifas menggambarkan kekejaman dan penin-
dasan mereka. Bahasa Ibrani memiliki lima nama berbeda
bagi singa, dan di sini semua nama itu dipakai untuk
menyatakan kekuatan mengoyak, keganasan, dan kekejam-
an luar biasa para penindas congkak. Mereka mengaum,
mengoyak, dan memangsa semua yang ada di sekeliling
mereka, dan membesarkan anak-anak mereka untuk ber-
buat sama (Yeh. 19:3). Iblis yaitu singa yang mengaum-
aum. Mereka mengambil bagian dalam tabiatnya dan me-
lakukan segala nafsunya. Mereka kuat bagaikan singa, dan
juga licik (Mzm. 10:9; 17:12). Dan sejauh keberhasilan yang
mereka raih, segala sesuatu di sekeliling mereka menjadi
tandus.
(2) Bagaimana Elifas menggambarkan kehancuran mereka, baik
kehancuran kekuasaan maupun diri mereka. Mereka akan
dicegah mendatangkan kerugian lebih lanjut dan harus mem-
pertanggungjawabkan kerugian yang telah mereka sebabkan.
Tindakan yang membawa hasil akan diambil,
[1] Supaya mereka tidak mendatangkan kengerian lagi.
Suara auman mereka akan dibungkam.
[2] Supaya mereka tidak mengoyak lagi. Allah akan melu-
cuti senjata mereka, dan mengangkat kuasa dari mere-
ka untuk mendatangkan kerugian: patahlah gigi singa-
singa muda (Lih. Mzm. 3:8). Demikianlah sisa murka itu
akan dikekang.
[3] Supaya mereka tidak memperkaya diri dengan hasil
jarahan para tetangga mereka. Bahkan singa binasa
sebab kekurangan mangsa. Orang-orang yang telah ke-
kenyangan dengan hasil rampasan dan jarahan mung-
kin akhirnya akan diturunkan ke dalam kesesakan
hingga mati kelaparan.
[4] Supaya mereka tidak dapat meninggalkan pengganti
seperti yang mereka janjikan kepada diri sendiri: anak-
anak singa betina bercerai-berai, untuk mencari makan
sendiri, yang biasanya dibawakan singa dewasa bagi me-
reka. Biasanya singa itu menerkam supaya cukup makan
anak-anaknya (Nah. 2:12), namun sekarang anak-anak
singa itu harus bersusah payah sendiri. Boleh jadi de-
ngan mengatakan hal ini Elifas bertujuan menyindir
Ayub, seolah-olah ia yang terkaya dari semua orang di
sebelah timur, telah memperoleh harta miliknya dari
hasil jarahan dan memakai kekuasaannya untuk
menindas sesama. Namun, sekarang kekuasaan dan
hartanya telah lenyap, sedangkan keluarganya tercerai-
berai. Jika memang demikian maksud Elifas, maka be-
tapa malangnya orang yang dipuji-puji Allah itu diper-
lakukan dengan tidak benar seperti itu.
Teguran Elifas
(4:12-21)
12 Suatu perkataan telah disampaikan kepadaku dengan diam-diam dan telinga-
ku menangkap bisikannya, 13 waktu bermenung oleh sebab khayal malam,
saat tidur nyenyak menghinggapi orang. 14 Aku terkejut dan gentar, sehing-
ga tulang-tulangku gemetar. 15 Suatu roh melewati aku, tegaklah bulu roma-
ku. 16 Ia berhenti, namun rupanya tidak dapat kukenal. Suatu sosok ada di
depan mataku, suara berbisik-bisik kudengar: 17 Mungkinkah seorang manu-
sia benar di hadapan Allah, mungkinkah seseorang tahir di hadapan Pencip-
tanya? 18 Sesungguhnya, hamba-hamba-Nya tidak dipercayai-Nya, malaikat-
malaikat-Nyap didapati-Nya tersesat, 19 lebih-lebih lagi mereka yang diam da-
lam pondok tanah liat, yang dasarnya dalam debu, yang mati terpijat seperti
gegat. 20 Di antara pagi dan petang mereka dihancurkan, dan tanpa dihi-
raukan mereka binasa untuk selama-lamanya. 21 Bukankah kemah mereka
dicabut? Mereka mati, namun tanpa hikmat.
Sesudah berusaha meyakinkan Ayub tentang dosa dan kebodohan-
nya sebab rasa tidak senang dan ketidaksabarannya, di sini Elifas
menegaskan sebuah penglihatan yang dikaruniakan kepadanya, de-
ngan maksud untuk menginsafkan Ayub. Apa yang langsung datang
dari Allah akan dihormati secara khusus oleh semua orang, dan tidak
ragu lagi, Ayub juga demikian halnya. Ada yang berpendapat bahwa
Elifas menerima penglihatan ini belum lama sebelum itu, sejak ia
mendatangi Ayub dan memberi saran-saran kepadanya. Akan baik
halnya andai kata Elifas hanya menyampaikan inti penglihatan ini,
sebagai dasar untuk menegur Ayub atas sungut-sungutnya itu, dan
bukan menuduhnya sebagai seorang munafik. Ada pula yang berpen-
dapat Elifas memperoleh penglihatan itu sudah lama sebelum ia men-
datangi Ayub. Sebab dengan cara ini Allah sering kali menyampaikan
isi pikiran-Nya kepada anak-anak manusia pada abad-abad pertama
dunia (33:15). Boleh jadi Allah telah mengirim utusan ini kepada
Elifas dan pesan pada suatu waktu, saat Elifas sendiri sedang da-
lam keadaan tidak tenang, guna menenangkan dan menenteramkan-
nya. Perhatikanlah, kita harus menghibur orang lain dengan hal yang
telah menghibur kita (2Kor. 1:4), supaya kita dapat berusaha keras
menyadarkan orang lain dengan hal yang sangat sanggup menyadar-
kan kita. Pada masa itu umat Allah belum memiliki firman tertulis
yang dapat dikutip, dan oleh sebab itu Allah adakalanya memberi
tahu mereka bahkan tentang kebenaran-kebenaran umum melalui
cara-cara pewahyuan yang luar biasa. Kita yang memiliki Alkitab
(syukur kepada Allah) memiliki firman yang lebih pasti untuk dian-
dalkan, bahkan dibanding penglihatan-penglihatan dan suara-suara
(2Ptr. 1:19). Amatilah,
I. Cara pesan ini dikirimkan kepada Elifas, dan keadaan saat pesan
itu disampaikan kepada dia.
1. Pesan itu disampaikan dengan diam-diam, atau secara sembu-
nyi-sembunyi. Beberapa dari persekutuan terindah yang dija-
lani jiwa-jiwa penuh rahmat bersama Allah berlangsung secara
rahasia, tempat tiada mata dapat melihatnya, selain Dia yang
melihat segala sesuatu. Allah memiliki cara-cara untuk me-
nyadarkan, menasihati, dan menghibur umat-Nya, tanpa ter-
lihat oleh dunia. Juga melalui bisikan halus yang sama kuat
dan nyatanya seperti melalui pelayanan umum. Rahasia-Nya
diberitahukan-Nya kepada mereka (Mzm. 25:14, KJV). Sama
seperti roh jahat acapkali mencuri firman yang baik dari hati
(Mat. 13:19), demikian juga Roh yang baik adakalanya mema-
sukkan firman yang baik dengan diam-diam ke dalam hati,
sekiranya kita menyadari hal itu.
2. Telinganya menangkap bisikannya (ay. 12). Hanya sedikit saja
pengetahuan ilahi diterima orang terbaik di dunia. Dibanding-
kan dengan apa yang seharusnya diketahui, dan dengan apa
yang akan kita ketahui setelah masuk ke sorga, kita hanya
mengetahui sedikit saja. Sesungguhnya, semuanya itu hanya
ujung-ujung jalan-Nya (26:14). Sekarang aku hanya mengenal
dengan tidak sempurna (1Kor. 13:12). Lihatlah kerendahan
hati dan kesederhanaan Elifas. Ia tidak mengaku-ngaku me-
mahami dengan sepenuhnya, hanya sedikit saja.
3. Pesan itu disampaikan kepadanya melalui khayal malam (ay.
13, KJV: penglihatan-penglihatan malam), saat ia telah meng-
undurkan diri dari dunia dengan hiruk pikuknya, dan suasana
di sekelilingnya sudah tenang dan sunyi. Perhatikanlah, sema-
kin kita menjauh dari dunia dan perkara-perkara di dalamnya,
semakin layak pula kita bagi persekutuan dengan Allah. Keti-
ka kita berkata-kata dalam hati di tempat tidur, dan tetap diam
(Mzm. 4:5), maka itulah saat yang tepat bagi Roh Kudus untuk
bersekutu dengan kita. saat yang lain sedang tidur, Elifas
siap menerima kunjungan dari sorga. Boleh jadi, sama seperti
Daud, ia merenungkan Allah sepanjang kawal malam. Di te-
ngah perenungan yang baik itulah pesan ini disampaikan ke-
padanya. Kita akan mendengar lebih banyak dari Allah apabila
kita lebih banyak memikirk