, sedangkan orang yang tidak
sedang berhaji, mereka memiliki ibadah berkurban. Karena itu, kita
mendapatkan karunia dan rahmat Allah bahwa Dia memberikan bagian
bagi kaum muslimin yang tidak sedang berhaji dari manasiknya orangyang berhaji, misalnya menjauhi perbuatan memotong rambut dan kuku
pada sepuluh hari di awal bulan Dzul Hijjah.34e) Tujuannya adalah agar
kaum muslimin yang tidak sedang menjalankan ibadah haji ikut ambil
bagian dalam beribadah kepada Allah bagi saudara mereka yang sedang
beribadah haji, dengan meninggalkan beberapa larangan tersebut. Selain
itu, tujuannya agar mereka ikut merasakan taqarub kepada Allah seperti
orang yang sedang beribadah haji dengan berkurban. Sebab, seandainya
bukan karena syariat ini tentu saja menyembelih kurbanbagi kaum muslimin yang tidak sedang beribadah haji adalah bid'ah. Dan tentu manusia
dilarang mengerjakannya. Akan tetapi, Allah menetapkan syariat ini untuk mewujudkan beberapa kebaikan yang agung.
. Pendapat yang menyatakan bahwa berkurban itu wajib lebih kuat
daripada yang menyatakan tidak waiib. Akan tetapi, syaratnya adalah
mampu. Adapun orang tidak mampu yang rezekinya hanya cukup untuk menghidupi keluarga atau orang yang punya hutang, maka ia tidak
wajib berkurban. Bahkan, bila ia memiliki hutang hendaknya ia mengutamakan bayar hutang dahulu sebelum berkurban.HUKUM RI,UBUT, KUrcU, DAN KULIT ONNNC
YANG H gNDAK BERI<URBAN
iapa vang membiarkannya mendapat pahala danbila melakukannya maka ia berhak mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Dalilnya adalah sabda Rasulullah"g: berikut ini :
"lika telah masuk tnnggnl sepuluh (Dzttl Hijjah), dart salnh seornng
dari knlian ingirr berlturbnn, nutkn jnngnnlah in menganfuil ranfuut,
hilit (ryang sda rnmbutn!1l), ataupurt kukttnya sedikit pun.":sot
Larangan itu pada dasarnya hukumnya haram. Hikmah dari larangan tersebut, bahwa Allah r'* dengan rahmat-Nya ketika mengkhususkan kurban untuk kaum muslimin yang sedang beribadah haji, Dia menurunkan syariat berbagai keharaman dan larangan untuk manasik haji.
Semua larangan itu bila ditinggalkan oleh manusia, ia akan mendapatkan pahala. Sementara itu, kaum muslimin yang tidak berihram untuk
ibadah haji ataupun umrah, mereka disyariatkan agar berkurban sebagai
kesamaan hewan kurban bagi yang berihram. Allah juga mensyariatkan
agar mereka tidak mengambil rambut, kulit, dan kuku hewan kurbannya
karena orang yang sedang berihram tidak rnengambil rambutnya sama
sekali. Artinya tidak ada kesenanganbagi mereka. Maka kaum muslimin
yang tidak berihram menclapatkan pahala seperti yang sedang berihram
dalam persoalan ini. Inilah keaclilan kebijaksanaan Allah r',' bagi hamba-hamba-Nya. Sebagaimana muadzin mendapatkan pahalanya karena
adzannya maka orang yang mendengarkan pun mendapatkan pahala
bila menirukannya, sehingga ada syariat menirukan adzan.Itulah salah satu pendapat dalam persoalan ini, sedang pendapat
kedua adalah: Pendapat kedua menyatakanbahwa hukumnya makruh,
bukan haram. Hanya saja, yang lebih kuat adalah yang mengharamkannya. Karena haram itu merupakan hukum dasar dari larangan, terutama dalam perkara yang jelas merupakan ibadah. Karena Nabi $;
menguatkan larangan tersebut dengan sabda beliau, "Maka janganlah
mengambil." Huruf Nun tersebut adalah untuk penguat.
Sabda beliau, "Siapa yang berkurbnn," dapat dipahami bahwa orang
yang dirinya diniatkan sebagai pengurban tidak ada dosabila ia melakukan itu. Dalilnya adalah sebagai berikut : Pertama, bahwa hukum itulah yang tampak jelas dari redaksi hadits. Yaitu bahwa larangan tersebut
berlaku khusus bagi siapa yang berkurban. Maka dengan demikian, larangan ini khusus berlaku bagi kepala keluarga, sedangkan keluarganya yang diikutkan dalam niat berkurban tidak terkena larangan ini. Ini
karena Nabi mengaitkan hukum tersebut dengan orang yang berkurban. Pemahamannya bahwa orang yang diikutkan dalam niat kurban
tidak terkena hukum tersebut.
Kedua, bahwa nabi $; pernah berkurban untuk keluarga beliau
dan tidak pernah ada riwayat bahwa beliau bersabda kepada mereka,
"langanlah kalian mengnmbil rambut, kuku, maupun kulit kalian sedikit pun."
Kalau ini haram bagi mereka, tentu beliau sudah melarang mereka.Inilah pendapat yang lebih kuat.
Bila seseorang bertanya, 'Apakah sasaran ucapan orang yang mengatakary 'Larangan itu haram bagi orang yang berkurban atau orang
yang diikutkan dalam niat kurban?" Kami katakan, sasarannya bahwa
mereka mengiyaskan orang yang berkurban dengan orang yang diikutkan dalam kurbannya. Karena mereka sama-sama mendapatkan pahala. Kedua-duanya mendapatkan pahala karena kurban itu. Karena
keduanya bersama dalam pahala maka keduanya juga bersama dalam
hukum.
Bila dikatakan, qiyas seperti itu tidak benar. Karena qiyas tersebut bertentangan dengan nash, sedangkan qiyas yang bertentangan
dengan nash merupakan ungkapan yang tidak benar. Artinya tidak dipercaya dan tidak dijadikan rujukan hukum. Selain itu, menyamakan
itu tidak boleh. Karena, meski kedua belah pihak mendapatkan pahala
karena kurban itu, namun pahala orang yang mengorbankan uangnya
untuk membeli hewan kurban dan lelah karena menyembelihnya (bila
disembelih sendiri) tidak sama dengan pahala orang yang hanya diikutkan dalam niat kurban. Bahala orang yang mengeluarkan hartanya untuk membeli hewan kurban itu lebih besar daripada yang tidak
mengeluarkan apa-apa.
Maksud hari kesepuluh bulan Dzul Hijjah hingga kurban disembelih adalah bahwa bila pengurban langsung menyembelih hewan kurbannya pada hari itu juga, maka hukum ini sudah lepas darinya. Namun
bila ia mengakhirkan penyembelihannya sampai kari kedua atau ketiga,
maka hukum tersebut tetap berlaku baginya sampai hewan kurbannya
disembelih.
Sabda beliau, "Rambutnya." Makna rambut di sini sudah jelas, yaitu
seluruh rambut yang hukumnya sunnah dihilangkan maupun yang mubah, tidak boleh dipotong atau dicukur. Maksud sabda beliau, "sedikit
pt)n," adalah mencakup sedikit maupun banyak. Contoh rambut yang
hukumnya sunnah dihilangkan adalah rambut ketiak dan rambut kemaluan. Sedangkan rambut yang mubah untuk dihilangkan adalah
rambut kepala. Dengan demikian orang tidak boleh menggundul atau
mengurangi sedikit pun dari rambut kepalanya sebelum hewan kurbannya disembelih.
Maksud sabda beliau, "Atau kulitnya," adalahjanganlah mengambil sedikit pun dari kulitnya. Pertanyaannya, apakah mungkin manusia
mengambil bagian dari kulitnya meski sedikit? Kita katakan, mungkin
saja. Misalnya seperti ini: Pertama,bila orang yang hendak berkurban
belum dikhitan dan ingin khitan pada hari-hari yang dilarang itu, maka
kita katakary "Janganlah ia dikhitan karena Anda akan mengambil sebagian dari kulit Anda." Kedua, sebagian orang lalai sehingga Anda bisa
menemukan orang yang memotong kulitnya karena ada luka di kakinya.
Orang yang terluka tersebut pasti merasakan pedihnya luka. Bila ia berhenti terasa enak tetapi bila dibawa bergerak, luka tersebut membuatnya
kesakitan. Kalau di luka itu ada kulit yang mati, ia harus membiarkannya
agar tidak terlepas atau bertambah lebar lukanya sampai hewannya disembelih.
Sebagai catatary penulis tidak membicarakan tentang satu hal
yang ada di hadits tersebuf yaitu kuku. Saya tidak mengetahui ada satu
pun ulama yang meremehkan hukumnya. Bisa jadi, penulis tidak membahasnya dengan tujuan agar singkat, sehingga cukup menyebutkan
dua saja dan meninggalkan persoalan kuku ini. Akan tetapi, hukumnyasama saja, tidak boleh memotong kuku sedikit pun. Hanya saja, seandainya kukunya patah dan terganggu karenanya, ia boleh menghilangkan bagian yang mengganggu tersebut dan tidak ada dosa dalam hal
ini. Demikian pula bila ia tiba-tiba melihat ada satu helai rambut yang
jatuh, atau ada bulu mata yang tumbuhnya mengganggu mata, maka
mengambilnya dengan penjepit rambttt dibolehkan. Karena tindakan
ini untuk menyingkirkan gangguan.
Dapat dipahami clari ungkapan penulis bahwa bila seseorang mengambil sesuatu dari larangan tersebut, tidak ada kewajiban membayar
fidyah dan hukumnya memang demikian. Tidak benar bila ini diqiyaskan dengan orang yang berihram. Karena ada perbedaan yang nyata
antara keduanya, yaitu : Pertama, orang yang sedang ihram hanya diharamkan mencukur rambut kepala, sedangkan rambut lainnya hanya
diqiyaskan. Sementara itu, hadits untuk orang yang tidak berihram ini
berlaku umum untuk rambut kelapa dan rambut lainnya. Kedua, orang
yang berihram tidak dilarang mengambil sedikit dari kulitnya, sedangkan orang yang tidak berihram dilarang. Ketiga, orang yang berihram
dibebani beberapa larangan lainnya selain larangan mencukur rambut
kepala. Larangan dalam ihram itu lebih kuat karenanya wajib membayar fidyah, sedangkan larangan dalam hadits ini tidak ada kewajiban
membayar fidyah.
Yang menjadi persoalan, seandainya seseorang melanggar Iarangan tersebut, apakah kurbannya diterima? jawabannya, ya. Kurbannya
diterima, akan tetapi ia termasuk orang yang bermaksiat. Adapun keyakinan yang populer di kalangan masyarakat umum bahwa bila seseorang mengambil sedikit dari rambut, kulit atau kukunya pada harihari yang dilarang tersebut maka kurbannya tidak diterima maka ini
keyakinan yang tidak benar. Karena tidak ada kaitannya antara keabsahan kurban dan pelanggaran tiga larangan tersebut. Bila ternyata, seseorang baru berniat untuk kurban pada hari ke duabelas Dzul Hijjah dan
pada hari sebelumnya ia telah mengambil sedikit dari rambut, kulit, dan
kukunya, maka kurbannya sah. Larangan ini berlaku sejak seseorang
berniat kurban.
HUrcUU MIITUIErcRI CINCIN KAWIN DARI
PrnRrc BAGI Lnru-Lnrl
akai cincin kawin bagi laki-laki maupun perempuan
termasuk perkara yang baru (bid'ah) dan bisa jadi termasuk perkara yang diharamkan. Pasalnya, sebagian orang
meyakini bahwa cincin kawin merupakan penyebab langgengnya kasih
sayang antara suami dan istri. Karena itu, ada yang bercerita kepada
kami bahwa sebagian orang menuliskan nama istrinya di cincin kawin
tersebut. Dan sebaliknya, nama suami ditulis di cincin kawin istrinya.
Keduanya seolah-olah ingin hubungan kasih sayangnya langgeng karena cincin kawin itu. Ini merupakan kesyirikan sebab keduanya meyakini itu sebagai sebab. Padahal Allah tidak menjadikan cincin kawin
sebagai sebab, baik secara takdir maupun secara syariat. Maka tidak
ada hubungan antara cincin kawin dan kasih sayang. Banyak pasangan
suami istri tanpa cincin kawin tetapi kasih dan sayang keduanya sangat kuat. Sebaliknya, banyak pasangan suami stri yang memiliki cincin
kawin tetapi hubungan keduanya dalam kesengsaraan, kemarahan, dan
kelelahan.
Jadi, cincin kawin itu, bila diadakan karena akidah yang rusak
ini, maka merupakan kesyirikan. Sedangkan bila itu diadakan tanpa
ada keyakinan rusak tersebut, maka perbuatan ini termasuk tasyabbuh
terhadap selain kaum muslimin. Karena cincin kawin merupakan budaya orang Nasrani. Karenanya, wajib bagi setiap orang beriman menjauhi semua perkara yang tidak ada dalam agamanya. Adapun tentang
memakai cincin perak bagi laki-laki selama itu hanyalah cincin biasa
tanpa diikuti dengan keyakinan bahwa itu merupakan cincin kawin
yang mengikat antara suami dan istri, maka ini tidak apa-apa. Karena
cincin perak bagi laki-laki dibolehkan. Sedangkan cincin emas haram
bagi laki-laki. Sebab, Nabi ffi pernah melihat cincin emas di jari salah
seorang sahabat, lalu beliau melepas dan melemparkannya seraya bersabda:Salah se\rang di antara kalian menginginkan barq api nerakn dan
mel e t akknnny a di t an g anfl! aMTNcUNGKAPKAN S TcenR TInnNG-TE RANGAN KHITBAH UNTUrc WNNITA YANG
SroRNc MtNynr-nNr MASI InoeH KRruNR
SUNUI Wnrnr DAN KRnTNR TAmrc BAIN
aram hukumnya mengungkapkan khitbah secara terangterangan untuk wanita yang sedang menjalani masa iddah. Yang membedakan antara khitbah dan khutbah
adalah harakat dhammah pada huruf kha'. Khutbah adalah kata-kata
yang diucapkan oleh khatib, misalnya khutbah Jumat. Sedangkan khitbah adalah permintaan persetujuan menikah dari seorang wanita. Allah
Ta'ala berfirman :
"Dan tidak ada dosa bagi knmu meminang ntanita-wanita itu dengan
sindiran... " (Al-Baqarah [2] : 235)
Terang-terangan (tashrlh) maknanya adalah mengucapkan katakata yang tidak ada interpretasi lain selain nikah. Misalnya seseorang
mengucapkan, "Saya mohon engkau menikah denganku." Atau, "Menikahlah denganku." Atau, mengatakan kepada wali perempuan yang
diinginkannya, "Nikahkanlah anakmu denganku." Atau dengan ungkapan yang semisal itu. Semua ungkapan ini tidak ada taksiran lain selain nikah.
Wanita yang sedang menjalani iddah maksudnya adalah wanita
yang menjalani masa iddah karena pernikahannya dengan orang lain.
Misalnya wanita yang menjalani masa iddah karena suaminya wafat,
wanita yang menjalani masa iddah karena talak raj'i, dan wanita yang
menjalani masa iddah karena talak ba'in. Mengungkapkan khitbah secara terang-terangan kepada wanita yang sedang menjalani masa iddah
seperti itu tidak dibolehkan secara mutlak.
Seorang laki-laki tidak boleh secara terang-terangan mengungkapkan pinangan atau khitbahnya kepada wanita yang menjalani masaiddah karena suaminya wafat. Dalilnya adalah firman Allah Ta'aIa, "Dan
tidak ada dosa bngi ksmu meminang wanitn-wanita itu dengan sindiran..." (AlBaqarah [2] z 235). Pemahamannya bahwa ketika kalian mengungkaPkan secara terang-terangan berarti ada penghalang atau larangan bagi
kalian.
Wanita yang menjalani masa iddah karena talakba'in adalah mereka yang sedang bercerai dalam kondisi suami masih hidup. Artinya, ia
adalah wanita yang dicerai oleh suaminya. Cerai jenis ini berasal dari
suami, baik karena istrinya ditalak tiga, atau karend lalak'iwadh, atau
karena fasakh yang sebenarnya tidak ditalak, tetapi karena pernikahan
dibatalkan. Misalnya istri mendapatkan cacat pada suaminya sehingga
perkawinannya dibatalkan. Atau sebaliknya, yakni pernikahan dibatalkan karena suami mendapatkan cacat pada istrinya. Namury fasakh
sebelum suami menggauli istrinya tidak mengakibatkan adanya masa
iddah.
wanita yang ditalak ba'in adalah wanita yang dicerai oleh suaminya dan suami tidak boleh rujuk kepadanya lagi. saat wanita menjalani
masa iddah karena talak ba'in ini, tidak boleh bagi seorang Pun mengungkapkan khitbah secara terang-terangan kepadanya.
Perkataan penulis, "Kecuali dengan sindiran," maksudnya adalah
bila keinginan untuk meminang diungkapkan dengan sindiran, bukan
dengan terang-terangan, maka ini boleh. Dalilnya adalah firman Allah
yang sudah disebutkan sebelumny a, "Dan tidnk ada dosa bagi kamu meminang wanita-wnnitct itu dengan sindiran.'," (Al-Baqarah [2] : 235). Konteks
ayat tersebut meniadakan penghalang bagi sindiran. Pemahamannya/
pinangan dianggap sah bila diungkapkan dengan terang-terangan/ sedangkan sindiran hanyalah langkah awal untuk menunjukkan keinginan seseorang untuk melamar wanita, tanpa mengungkapkannya Secara
terang-terangan untuk melamarnya. Misalnya, seseorang berkata, "Bila
masa iddahmu telah selesai, kabarilah saya." Atau, "Jangan sia-siakan
diriku dari dirimu." Atal), 'Aku ingin memiliki wanita seperti dirimu."
Atau ungkapan sejenis. semua ungkapan ini tidak disebut terang-terangan. Inilah sindiran. Dan ini boleh diucapkan kepada wanita yang sedang menjalani masa iddah karena suaminya wafat atau karena talak
ba'in.Perkataan penulis, "Mengungkapkan khitbah secara terang-terangan dan sindiran bagi suami yang menalak istrinya di bawah talak
tiga." Maksudnya, bagi suami yang menceraikan istrinya sebelum talak
tiga, misalnya menceraikan istrinya dengan talak'iwadh. Umpamanya,
orang yang bersepakat dengan istrinya untuk menceraikan istrinya
tersebut dengan sejumlah uang.Ini merupakan talak iwadh. Allah menamakan talak'iwadh ini dengan istilah fidai karena wanita (istri) membeli dirinya dari suaminya sendiri. Dalam hal ini, Allah berfirman :
L. :i->:-xo6\4\4;a-i.)t
" Makn tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya..." (Al-Baqarah [2]:229).
Bila seorang istri membeli dirinya dari suaminya dan kita mengatakary "Suaminya boleh rujuk kepadanya karena wanita membeli dirinya
darinya." Karena itu, kita mengatakan, "Ia tidak boleh rujuk kepada istrinya kecuali dengan mengembalikan uangnya." Karena itulah, penulis mengatakary "Kedua-duanya boleh." Yakni, terang-terangan maupun
sindiran dibolehkan bagi suaminya yang menalaknya sebelum talak
tiga. Sebenarnya, bila penulis memakai ungkapan, "Selain talaktiga,"
tentu lebih jelas lagi.
Semua bentuk fasakh (pembatalan nikah) dianggap sebagai cerai, misalnya batal karena ada cacat pada suami atau istri. Atau, adanya
kesulitan dalam membayar mahar, nafkah atau semacamnya yang bisa
menjadi penyebab batalnya pernikahan atau fasakh. Keduanya dianggap
sebagai cerai. Akan tetapi, dibolehkan bagi suami yang pernikahannya
dibatalkan oleh istrinya (khulu') untuk menyatakan lamarannya kembali
dengan terang-terangan atau dengan sindiran. Suami juga boleh melaksanakan akad nikah saat itu jugaHur<utrzt KuttsnH DENGAN TrRnNcTERANGAN DAN SINNIRAN TIRHNOEP
WANITA YANG STORNC BTTURRITzI
pakah boleh mengungkapkan khitbah dengan terangterangan dan sindiran terhadap wanita yang sedangberihram haji atau umrah? ]awabannya, tidak boleh sebab
tidak dibolehkan mengadakan akad nikah dengan wanita yang sedang
berihram. Maka, diharamkan pula mengungkapkan khitbah dengan
terang-terangan dan sindiran kepadanya. Jadi, kuncinya bahwa setiap
orang yang tidak boleh mengadakan akad nikah dengan wanita berihram, maka mengungkapkan khitbah kepadanya sedara terang-terangan
diharamkan. Adapun pengungkapan secara sindiran, ada perinciannya.
Semua ini sudah bisa dipahami dari ungkapan penulis.31NuSyuz ADALAH SEnunH KruercsIATAN
ffft"m wanita ituberagam. Ada yang shalihah, sepertiyang
.<YT disampaikan oleh Allah Ta'aIa, "...Wanitn-wanita yang
\y L kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka..."
(An-Nisa' [4] :34). Wanita-wanita seperti ini memiliki akhlak dan adab
yang tinggi terhadap suami. Di antara kaum wanita ada yang memiliki
perangai kebalikannya, yarlu wanita-wanita yang memiliki perangai
nusyuz. Kata nusyuz berasal dari kata an-nasyaza. Yaitu, tanah yang
membukit. Makna ini sangat erat kaitannya dengan larangan perbuatan nusyuz. Dimana, seorang wanita merasa tinggi dari suaminya, sombong di hadapannya, serta tidak memenuhi hak suami. Di antara contoh
penggunaan kata nusyuz adalah seperti yang disebutkan para fuqaha
terkait manasik haji, 'Apabila mendaki nusyuz (tempat yang tinggi),
maka ia membaca talbiyah."
Nusyuz menurut pengertian syariat, penulis berkata, "Yaitu pembangkangan istri terhadap suami terkait hal-hal yang menjadi kewajiban
istri." Perkataan penulis, "Terkait hal-hal yang menjadi kewajiban istri."
Yakni, mencakup hak-hak suami. Untuk hal-hal di luar kewajiban istri,
tetap menyebabkan tindakan nusyuz jika istri terang-terangan dalam
membangkang kepada suami. Jika suami berkata kepada istri, 'Aku
ingin kamu menjadi pembantu di rumah orang-orang dengan imbalan
nang." Perintah ini tidak wajib dilaksanakan istri. Jika istri enggan memenuhi permintaan suami untuk berhubungan badan di atas ranjang,
maka istri dianggap nusyuz.
Tampak dari perkataan penulis, "Enggan memenuhi permintaan
suami untuk berhubunganbadan," bahwa jika istri enggan memenuhi
permintaan suami terkait pelayanan yang lazim, seperti menyiapkan
makanan dan tempat tidur untuk suami, maka keengganan ini tidak
dianggap nusyuz, hal ini berdasarkan ketentuan bahwa istri tidak wajib
melayani suami. Namun pendapat yang shahih, bahwa istri wajib melayani suami dalam urusan yanglazim. Karena itu, di dalam bab 'Perempuan yang Haram Dinikahi'telah dibahas kebolehan menikahi seorang
budak perempuan untuk keperluan pelayanan. Ini menunjukkan bahwamelayani suami merupakan salah satu tujuan pernikahan. Pendapat ini
shahih.
Jika suami mengajak istri ke tempat tidur dan meskipun istri memenuhi ajakan itu namun dengan muka cemberuf sikap benci dan berat hati, maka tindakan ini terbilang sebagai nusyuz. Jika istri memenuhi ajakan suami dengan terpaksa, tindakan ini juga termasuk nusyuz.
Alasan mengapa istri dianggap nusyuz meski telah memenuhi ajakan
suami, bahwa memenuhi ajakan suami dengan enggan, benci dan terpaksa merupakan pemenuhan yang tidak mewujudkan semPurnanya
hubungan badan.
TAT-RT BID,AH
alak bid'ah, bisa terjadi karena waktu atau karena bilangan. Talak bidhh karena waktu terbatas pada dua bentuk: Suami mentalak istri ketika haid, atau mentalaknya
pada masa suci dan ia telah menggaulinya pada masa suci itu. Istri telah
haid dan tidak diketahui hamil. Talak bid'ah karena bilangan adalah
suami mentalak istri lebih dari satu kali, misalnya menjatuhkan dua kali
talak dengan mengatakary'Kamu tertalak dua kali talak." Atau, "Kamu
tertalak tiga." Ini adalah talak bid'ah, karena sunnah menghendaki seorang suami mentalak istrinya satu kali talak.Huruu ZUIHRR
hihar adalah tindakan suami menyamakan istrinya dengan
ibunya dengan berkata, "Kamu bagiku seperti purlggung
ibuku." Ini adalah zhihar menurut ijma'. Pada masa jahiliyah, zhihar dinilai sebagai talak ba'in. Untuk itu, jika seseorang berkata,
"Zhrhar yang saya maksud adalah talak." Kita katakan, talak itu tidak
bisa diterima meski kamu menghendakinya. Sebab, kalau kita terima
niatnya berarti kita mengembalikan hukum Islam ke hukum jahiliyah.
Juga, karena kata-kata tersebut adalah kata-kata zhihar yang tegas, dan
redaksi yang tegas tidak bisa diterima dari orang yang menginginkan
sebaliknya. Misalnya, ia berkata kepada istrinya, "Kamu tertalak tiga."
Setelah itu berkata, "Maksudnya satu." Klaim ini tidak diterima. Seperti
itu juga jika ia berkata, "Kamu tertalak satu." Setelah itu berkata, "Maksudnya tiga." Klaim ini juga tidak diterima, dengan alasan '. Pertama,
klaim tersebut menyalahi redaksi yang tegas, dan klaim yang menyalahi redaksi tegas tidak bisa diterima. Kedua, andai kita terima klaimnya
tersebut sebagai talak, artinya kita mengembalikan hukum zhihar dari
hukum Islam ke hukum jahiliyah. Ini tidak boleh.
Sementara jika ia menyamakan istrinya dengan selain ibunya,
misalnya berkata, "Kamu bagiku seperti punggung saudara perempuanku." Bagi yang berpedoman pada zhahir Al-Quran tidak menyatakan
kata-kata tersebut sebagai zhrhar, sebab punggung ibu berbeda dengan
punggung saudara perempuan, karena menilai punggung ibu sebagai
sesuatu yang halal itu lebih besar dari anggapan halalnya punggung
saudara perempuan. Hanya saja menyamakan istri yang halal digauli
dengan ibu yang haram digauli lebih buruk daripada menyamakan istri
dengan saudara perempuan, misalnya. Karena itu tidak bisa diqiyaskan. Hanya saja mayoritas ahli ilmu tidak sependapat, karena zhihar
tidak hanya terkait dengan ibu saja, tapi di samping ibu juga mencakup
perempuan lain.
Penulis berkata, "Zhthar hukumnya haram. Karena itu, jika ada
lelaki yang menyamakan istrinya baik sebagian atau keseluruhan tubuhnya dengan orang yang haram baginya untuk selamanya... dst.Perkataan penulis, "Hukumnya haram." Dalilnya adalah firman
Allah ,w, "Dan sesungguhnya mereka benar-bennr nrcngucnpknrt suntu perkataanmunkar dnn dusta," (Al-Mujadilah [58] : 2). Perkataan munkar jelas
haram, sama seperti perkataan dusta. Dengan demikian zhihar hukumnya haram berdasarkan nash Al-Quran.
Jika ada yang bertanya, "Apa dalilnya bahwa zhihar merupakan
perkataan munkar dan dusta?" Kita jawab, bahwa redaksi, "Kamu bagiku seperti pungg ung ibuku," mencakup berita dan tuntutan. Dari sisi
berita, istri tersebut tidak seperti punggung ibunya, ini merupakan perkataan dusta. Juga mengandung tuntutan, maksudnya tuntutan mengharamkan istri, ini haram hukumnya, sehingga merupakan perkataan
munkar. Perkataan tersebut munkar dari sisi tuntutan menjatuhkan zhihar, dan dusta dari sisi statusnya sebagai berita bohong.
Perkataan penulis, "Karena itu, jika ada lelaki yang menyamakan
istrinya," bersifat umum, mencakup lelaki balig dan kecil yang telah
berakal. Orang tidak berakal dan orang gila tidak termasuk, karena
keduanya tidak memiliki kehendak. Dari perkataan penulis, "Karena
itu jika ada lelaki yang menyamakan istrinya." Kita memahami bahwa
pelaku zhihar haruslah telah menikahi istri dalam akad yang sah. Jika
ia menjatuhkan zhihar pada seorang perempuan, kemudian setelah itu
baru menikahinya, maka tidak disebul zhthar, karena ketika menikahi
si perempuan statusnya bukan sebagai istri. Perkataan penulis ini benar, bahwa zhihar hanya sah jika dijatuhkan oleh suami. Pendapat yang
masyhur di dalam madzhab Hambali menyatakan bahwa zhihar sah
dilakukan oleh lelaki asing. Sehingga sah hukumnya jika ia berkata
kepada seorang perempuan yang belum dinikahinya, "Kamu bagiku
seperti punggung ibuku." Selanjutnya bila ia menikahi perempuan
tersebut, kita sampaikan padanya, "Jangan kamu gauli dan dekati perempuan itu sebelum menebus kafarat zhThar." Namun menurut pendapat yang shahih, zhihar seperti itu tidak sah, berdasarkan firman Allah
w, "Dan orang-ornng yang menzhihnr istri rnereka." (Al-Mujadilah [58] : 3).
Sebelumnya telah dijelaskary ila' hanyabisa diberlakukan terhadap istri
yang dinikahi secara sah.
Misalnya, suami berkata kepada istri, "Tanganmu bagiku seperti
punggung ibuku." Maka, ia dianggap telah menjatuhkan zhlhar, karena
keharaman tidak terbagi-bagi. Tidak ada perempuan yang tangannya
haram sementara badannya halal, atau sebaliknya. Karena itu jika suami
mentalak salah satu bagian tubuh istrinya, artinya si istri tertalak secara
keseluruhan.
Misalnya, suami berkata kepada istri, "Kamu bagiku seperti tangan
ibuku." Perkataan ini sah sebagai zhihar. Karena itu tidak ada bedanya
apakah sebagian atau keseluruhan dari pihak yang disamakan (istri)
dan obyek persamaan (ibu), karena semuanya haram. Karena itu penulis menyatakan, "Maka ia adalah zhThar." Dengan pernyataan tersebut,
penulis menyampaikan bahwa obyek persamaan haruslah mahram selamanya, untuk mengecualikan perempuan yang haram hingga jangka
waktu tertentu, seperti saudara perempuan istri. Misalnya, ia berkata
kepada istrinya, "Kamu bagiku seperti punggung saudara perempuanmu." Dalam hal ini selama status istri masih ada, maka si istri haram
baginya, namun jika si istri telah tertalak ba'in dan saudara perempuan
istri halal baginya, maka perkataan tersebut tidak dianggap zhihar,karena si laki-laki tidak menyamakan istrinya dengan perempuan yang
tidak haram baginya untuk selamanya.
Misalnya, ia menyamakan istrinya dengan perempuan asing yang
belum dinikahi dengan berkata, "Kamu bagiku seperti si Fulanah." Kata-kata ini tidak dianggap zhlhar, karena si Fulanah tidak haram bagi
dirinya. Misalnya, ia menyamakan istrinya dengan punggung ayahnya
dengan berkata, "Kamu bagiku seperti punggung ayahku." Istrinya tidak menjadi haram, karena penulis menyatakan "Perempuan yang haram selamanya." Dengan demikian jika ia menyamakan istrinya dengan
lelaki manapun, istrinya tidak menjadi tidak haram baginya.
Mahram karena nasab ada tujuh, terhimpun di dalam firman Allah
14:',
- l-- t ;-2 t
',i l
-V1
oV.J gYt.rt--y
" D ihar amknn atas kamu (mengaw ini) ibu-ibumu, anak- an aktnu y ang
perempuah saudara-saudaramu llang perempuan, snudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anakanak perempuan dari snudara-sattdaramu yang perempuan... " ( AnNisa' l4l:23Mereka adalah ibu dan silsilah ke atasnya, anak perempuan dan
keturunannya, saudara perempuan, bibi dari jalur ayah dan silsilah ke
atas, bibi dari jalur ibu dan siisilah ke atasnya, anak perempuan dari
saudara lelaki dan keturunannya, anak perempuan dari saudara perempuan dan keturunannya. Perempuan-perempuan serupa dari jalur susuan juga haram dinikahi, berdasarkan sabda Nabi S :
4, liiv*wlr/ri
" (Perempuan-pereffipuan) dnri jatur susuan dihnramkan seperti keharaman karena j alur nasab." ssi t
Hadits ini menyempurnakan ayat Al-Quran, di mana Allah ue berfirmaru "Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara pereftrpuan sepersusuan." ( An-Nisa' [4] : 23). Lalu, sunnah menyempurnakan ayat Al-Quran
ini, maka kita bisa menyatakan, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut,
ibu sepersusuan dan silsilah ke atasnya, anak perempuan sepersusuan
dan keturunannya, saudara perempuan sepersusuan, bibi dari jalur
ayah sepersusuan dan silsilah ke atas, bibi dari jalur ibu sepersusuan
dan silsilah ke atasny4 anak perempuan dari saudara lelaki sepersusuan dan keturunannya, keponakan perempuan dari saudara perempuan
sepersusuan dan keturunannya, juga haram dinikahi. Misalnya, suami
berkata kepada istrinya, "Kamu bagiku seperti punggung ibu sepersusuanku." Kata-kata ini sah sebagai zhihar, meski sebelumnya telah
kami sampaikan bahwa punggung ibu dari jalur nasab lebih haram dari
punggung ibu sepersusuan. Seperti itu juga anak perempuan dari saudara perempuan dari jalur nasab juga lebih haram dari anak perempuan
dari saudara perempuan sepersusuan. Namun begitu, selama Nabi ffi
bersabda, "(Perempuan-perempuan) dnri jalur susuan diharnntkan seperti hnlnya dari jalur nasab," maka hukumnya sama.
Perkataan penulis, "Perempuan yang haram baginya selamanya
karena faktor nasab ataupun susuan." Secara zhahir, mahram karena
faktor pernikahan tidak termasuk dalam zhihar. Misalnya, suami menyamakan istrinya dengan punggung mertua dengan berkata, "Kamu
bagiku seperti punggung ibumu." Secara zhahir kata-kata ini bukan zhihar karena penulis menyebut faktor nasab atau susuan, tidak menyebut
mahram karena faktor pernikahan. Hanya saja secara zhahir, mahram
karena faktor pernikahan sama seperti mahram karena faktor susuan.
Mahram karena faktor pernikahan bagi seorang suami adalah ibu
mertua dan silsilah ke atasnya, anak perempuan istri dan keturunannya
dengan syarat ibunya telah digauli, berdasarkan firman Allah v::, "Anaknnak istrimu ynng dalnm pemelihnrannmu dsri istri yang telnh kamu campuri."
( An-Nisa' [4] : 23). Misalnya, si suami berkata kepada istrinya, "Kamu
bagiku seperti anak perempuanmu dari si Fulan." Kata-kata ini sah sebagai zhihar, karena ia menyamakan istrinya dengan perempuan yang
haram ia nikahi karena faktor pernikahan. Misalnya, ia berkata, "Kamu
bagiku seperti punggung anak perempuanmu dariku." Kata-kata ini
sah sebagai zhihar karena ia menyamakan istrinya dengan perempuan
yang haram ia nikahi karena faktor nasab.
Kaidahnya adalah barangsiapa rnenyamakan istrinya atau sebagian tubuhnya dengan sebagian atau keseluruhan tubuh perempuan
yang haram dinikahinya untuk selamanya baik karena faktor nasab, susuan ataupun pernikahan, maka ia dianggap melakukan zhihar.3Qnzer (MTNUDUH BEnzrNn)
,-n adzaf haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar jika
/ "/ pihak yang dituduh telah menikah. Hikmah diharamkannya
\Z qad,zafadalah demi menjaga kehormatan manusia agar tidak
dile)f(kan dan menjaga citra supaya tidak dinodai. Sungguh ketetapan
yang amat bijak, sebab ketika manusia sudah saling melecehkary menghina dan mencela, terjadi permusuhan dan kebencian, atau bahkan peperangan dan saling serang disebabkan oleh hal-hal semacam ini. Karena itulah, demi menjaga dan melindungi harga diri manusia serta citra
diri kaum muslimin, syariat mengharamkan qadzaf dan memberlakukan hukuman duniawi untuk perkara ini. Allah ,;e berfirman :
t:i\ii+jri Ji 4 :i::li : :uli -*Ai'r;;'" rli J,,
'='"'e;Si @:
"Sesungguhnya orang-lrang yang menuduh perempuan yang baikbaik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), nrcrekn kena laknat di
dunia dan nkhirat, dan bagi mereka adzab yang besar." (An-Nur [24]
:23)
Ada dua hal besar yang menjadi konsekuensi qadzaf '. Pertama,
laknat di dunia dan akhirat, kita berlindung kepada Allah darinya. Kedua, slksa besar.
Selanjutnya, Allah rls berfirma n, "Pada lnri (ketika),lidah, tangnn dan
kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadnp npa yang dahtilu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah nkan memberi mereka balasan yang setimptnl menurut
semestinya, dan talrulah mereka bahzua Allah-lah yang benar, lagi yang ntenjelaskan (segala sesuatu menuruthakikatyang sebenarnya)." (An-Nur l24l:24-
25). Diriwayatkan dari Nabi S, bahwasanya di antara dosa-dosa besar
yang membinasakan adalah menuduh berzina perempuan-perempuan
baik, beriman dan lalai (dari kemaksiatan)."asv1 Dengan demikian, qadzaf
termasuk dosa besar berdasarkan petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan
hikmah pemberlakuannya seperti telah kami singgung sebelumnya.
Hukuman qadzaf berbeda-beda berdasarkan pelakr qadzaf dan
obyek qadzaf. Ketentuan ini bisa diketahui melalui syarat-syrat qadzaf.
Penulis berkata, "Jika seorang mukallaf menuduh zina seorang muhshan, hukumannya adalah 80 kali cambuk jika ia berstatus merdeka dan
40 kali cambuk jika ia seorang budak." Perkataan penulis, "Jika seorang
mukallaf menuduh zina." Mukallaf adalah orang yang sudah balig dan
berakal, baik lelaki ataupun perempuan. Bahkan seandainya seorang
perempuan menuduh seorang lelaki berbuat zina, had qadzaf juga diberlakukan atas dirinya. Kata 'mukallaf' disebut penulis sekedar untuk menjelaskan, sebab sebelumnya telah kita bahas pada syarat-syarat
umum dalam hukum had, bahwa disyaratkan agar pihak yang dihukum had harus seorang balig dan berakal.
Perkataan penulis, "jika seorang mukallaf menuduh zina seorang
muhshan." Muhshan di sini berbeda dengan muhshan dalam bab zina.
Muhshan dalam pembahasan ini akan dijelaskan penulis selanjutnya,
yaitu "seorang muslim yang berakal, menjaga diri, taat beragama, dan
menggauli perempuan dengan karakter seperti dirinya." Pengertian
muhshan di sini berbeda dengan pengertian muhshan dalam bab zina.
Redaksi muhshan disebut dalam bentuk nakirah dalam konteks kalimat
syarat, dengan demikian berlaku secara umum mencakup perempuan
ataupun lelaki. Kata'muhshan'artinya seseorang yang terjaga. Kata ini
disebut lebih dulu untuk memberi pengertian yang umum dan menyeluruh.
Perkataan penulis, "Hukumannya adalah 80 kali cambuk jika ia
berstatus merdeka." Julida adalah fi'il madhi mnbni majhul (kata kerja lampau pasif). Lalu siapa yang mengeksekusi hukum cambuk? Di dalam
kitab hudud sebelumnya telah kami jelaskan, bahwa yang mengeksekusi adalah imam atau wakilnya.Inilah pendapat yang masyhur di dalam
madzhab dan pendapat ini benar. Sebagian ahli ilmu berpendapat,
bahwa had qadzaf dilakukan oleh obyek qadzaf atas pelaku qadzaf,ilkakita menganggap hukuman had tersebut sebagai hak obyek qadzaf.sementara jika kita menganggap hukuman had tersebut sebagai hak Allah
'ue, maka yang mengeksekusi adalah imam' Perbedaan pendapat dalam
hal ini akan dibahas selanjutnya.
Perkataan penulis, "Hukumannya adalah B0 kali cambuk jika ia
berstatus merdeka." Jika pelaku qadzaf berstatus merdeka, hukumannya adalah 80 kali cambuk, berdasarkan firman Allah ;e :
t t.".. ,-..t ,'-i : t?, -', rt. .. . t',i' t,' ' .ll'
t,u ^t:$Li ;lr--+; *r! l+jt+ -J ; -:-z^;\ ly-e Jr-P')
, t, t , , ".. t t , '."1,: r ,i ", -t'. o t.: /
'
,.*1i !1:.. tf:Ai:; ep"1\1 rl\ 6r-4:, i-l \M !i 6*tl
2/
,..1r...
"frlU
"Dan lrang-lrang yang menuduh perempuan-perempuan yang baikbaik (berbuat zina) dnn mereka tidakmendatangkan empat orang snksi, makn deralah mereka (yang menuduh itu) delnpanpuluh kali dera,
dan janganlah kamu terimn kesaksian merekn buat selama-Iamanya.
Dan mereka itulah lrang-lrnng yang fasik. Kecuali mereka yang bertaubat..." (An-Nur l24l : 4-51
Ayat yang mulia ini menyatakanl, "Yarmunsl muhshnnnt." Muhshnnat
adalah bentuk jamak muannats salim, artinya PeremPuan-PeremPuan
yang baik. Lantas, apakah kata ini khusus bagi perempuan ataukah berlaku secara umum, kemudian apakah umum secara lafal ataukah makna. Zhahir ayat menyatakaan menyatakan bahwa kata tersebut khusus
untuk kaum perempuan. Namun sebagian ahli ilmu menyatakan,lnuhshanst adalah kata sifat untuk kata yang dihapus, kemudian mereka berbeda pendapat tentang penjabaran kata yang dihapus tersebut. Sebagian
mereka menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah jiwa-jiwa yang baik
-menjaga kesuciannya-. Sebagian yang lain menyatakan, bahwa maksudnya adalah kemaluan-kemaluan yang terjaga. Dengan demikian,
kata tersebut umum mencakup kaum lelaki dan perempuan. Kalangan
yang menyatakan maksudnya adalah kemaluan bersandar kepada firman Allah 'w, "Yang memelihara kehormatnnnya." (At-Tahrim [66] : 1-2).
Dengan demikian muhshan artinya kemaluan. Akan tetapi tidak disangsikan lagi bahwa takwil ini menyelisihi zhahir ayat,karena secara zhahir
yang dimaksud adalah kaum perempuan, namun dalam hal ini kaum
lelaki sama seperti kaum perempuan berdasarkan ijma'. Sehingga sisiumum kata ini berlaku secara maknawi, karena kaum lelaki dan perempuan tidak berbeda dalam masalah ini.
Allah ue menyebut tiga hal sebagai konsekuen si qadzaf : P ert ama,
hukuman dera. Kedua, kesaksian tidak diterima. Ketiga, dinyatakan
fasik.
Selanjutnya Allah ie berfirman, "Kecuali mereka yang bertnubnt."
(An-Nur l24l:5). Pertanyaannya, apakah pengecualian ini menghapus
ketiga hukum di atas ataukah hanya menghapus bagian terakhir saja,
ataukah menghapus hukum ketiga dan kedua? Pengecualian ini jelas
menghapus hukum yang ketiga. "Kecuali mereka yang bertaubat." Maksudnya, jika mereka bertaubat dari tindakan qadzaf, maka sifat fasik hilang dan kembali ke sifat adil. Tidak ada keraguan pada pengecualian
hukum terakhir ini, sebab pengecualian itu berlaku untuk kata paling
dekat yang disebut, dan yang demikian itu telah terjadi. Sebagian ulama
menyatakary pengecualian tersebut kembali kepada hukum ketiga dan
kedua. Bahwasanya ketika seseorang bertaubat dari qadzaf, kesaksiannya diterima. Sementara untuk hukum pertama (hukum dera) tidak bisa
ditarik lagi berdasarkan kesepakatan para ulama. Hanya saja sebagian
ulama menyatakan, hukum dera adalah hak Allah ,ie. Jika pelaku bertaubat sebelum ditangkap, hukuman ini gugur, artinya pengecualian
tersebut kembali kepada tiga hukum yang disebut di atas.
Kembali ke perkataan penulis, "Hukumannya adalah B0 kali cambuk jika ia berstatus merdeka dan 40 kali cambuk jika ia seorang budak'"
Maksudnya jika pelaku qadzaf berstatus budak maka hukumannya 40
kali dera. Para ulama menyatakary karena hukum had berlaku separuhnya bagi budak. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya, yakni di dalam firman Allah
'!M, ,
"Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka
atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka
yang bersuaral." ( An-Nisa' [4] : 25). Had qadzaf bagi budak ini berlaku
separuhnya, seperti halnya hukuman zinayang disebut dalam ayat.
Jadi, hukuman had bagi budak sebanyak 40 kali cambuk itu didasarkan pada qiyas. Sebagian ulama menyatakan, orang merdeka
ataupun budak tetap dihukum dera sebanyak 80 kali karena ayat berlaku secara umum. Lantas hak atas hukuman itu untuk siapa? Tentu
untuk obyek qadzaf, di mana seseorang yang dituduh berzina tercoreng
kehormatannya, baik ia merdeka ataupun budak. Sehingga masalah ini
jelas, karena hukum had dalam hal ini milik siapa? Tentu milik Allah
Kekejian zina tidak sama antara orang merdeka dan budak, karena
itu hukumannya pun juga tidak sama. Sementara dalam hal ini siapa
yang dirugikan? Tentu pihak yang dituduh berbuat zina (obyek qadzaf).
Obyek qadzaf berkata, "Kehormatan saya tercoreng'" Tidak perduli apakah ia berstatus merdeka ataupun budak. Karena itu pendapat yang
shahih menurut pendapat saya adalah pendapat kedua, bahwa budak
ataupun orang merdeka dihukum dera sebanyak 80 kali. Dalil kami
adalah firman Allah w berikut yang berlaku secara umum, "Dan lrangorang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-bnik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, makn deralah mereka (yang
menuduh itu) delapanpuluh knli dera." (An-Nur [24] : 4). Alasan lain, kita
tidak mengenal pemberlakuan separuh hukuman bagi budak, karena
hukum dalam hal ini terkait dengan siapa? Terkait dengan orang lain,
berbeda dengan masalah zina. Dengan demikian qiyas dalam hal ini
tidak dibenarkan.36oNnmE ANRrc
alam momentum ini, menjadi kewajiban seseorang untuk
memilih nama yangbaik untuk anaknya, nama yang tidak
mengundang celaan dan hinaan bagi si anak ketika telah
dewasa. Karena, kadang kala ayah menyukai nama tertentu, hanya saja
di kemudian hari si anak menuai celaan karena nama tersebut, sehingga
menjadi celaan bagi si ayah pula. Seperti yang lazim diketahui bahwa
menyakiti seorang mukmin hukumnya haram, untuk itu seorang ayah
harus memilih nama yang baik dan disukai Allah L*v. Diriwayatkan dari
Nabi ffi beliau bersabda :
,F)t E, a, -L "i,' ;1 ,u^:ri :;i
"Nsma-namaynngpating disukai atmt aaaUn'. atrauitot dan Abdurrahman./t361)
Terkait dengan riwayat, "Naffia terbaik ndalah nama yang menghambn
dnn memuji," riwayat ini tidak berdasar dan tidak shahih dari Nabi M.
Selanjutnya jika ayah kurang menyukai nama Abdullah' dan Abdurrahman' karena sudah banyak yang menggunakan nama seruPa di silsilah keturunannya, dan dikhawatirkan menimbulkan ketidakjelasan
seperti yang terdapat pada silsilah keturunan keluarga besar. Bahkan
bisa jadi surat untuk seseorang nyasar ke orang lain yang seruPa namanya, atau perlu menyebut nama kakek kelima misalnya. Maka, si ayah
boleh menggunakan nama lain, akan tetapi ia mesti nama yang sesuai
dan terbaik.
Haram hukumnya memberi nama berisi penyembahan untuk selain Allah 'se. Tidak boleh memberi nama seperti Abdurrasul (hamba
Rasul), Abdul Husain (hamba Husain), Abdul Ali (hamba Ali), dan Abdul Ka'bah (hamba Ka'bah). Ijma' mengharamkan nama-nama tersebut
seperti yang dinukil dari Ibnu Hazm, kecuali nama Abdul Muththallib.Diriwayatkan dari Nabi $, beliau bersabda, "Aku Nabi tidnkberdustn, nku
putra Abdul Muththallib.//362) Berdasarkan hadits ini sebagian ulama membolehkan pemberian nama Abdul Muththallib. Akan tetapi di dalam
hadits ini tidak ada dalil tentang kebolehan tersebut. Karena, hadits ini
disampaikan dalam bentuk khnbnr (pemberitahuan), bukan dalam bentuk insya' (tuntutan). Rasulullah :1$ hanya menyebut nama kakek beliau
saja, dan si penyandang nama pun sudah tiada. Pemberitahuan berbeda
dengan tuntutan. Karena itu, menurut pendapat yang kuat tidak boleh
memberi nama anak dengan nama Abdul Muththallib. Jika ada yang
bersandar pada sabda Rasulullah S; di atas, kita bantah bahwa sabda
tersebut disampaikan dalam konteks pemberitahuan. Karena itu, misalnya Anda memiliki ayah yang bernama Abdurrasul, Anda boleh berkata, 'Aku Fulan, putra Abdurrasul." Ini bukan sebagai persetujuan (atas
nama), tapi sekedar pemberitahuan saja. Apabila orang yang bernama
Abdurrasul masih hidup, ia mesti mengubah nama tersebut. Masalah
khabnr atau pemberitahuan lebih luas dari masalah insyn' (tuntutan). Dalam hal ini yang diharamkan adalah menganjurkan pemberian nama
yang tidak diperbolehkan.
Yang menjadi masalah, saat ini mulai ada nama-nama aneh yang
mulai marak dipergunakan, terlebih untuk kaum PeremPuan. Orangorang bercerita, ada seseorang yang memberi nama anak lelakinya
dengan nama Naktal, saat ditanya ia menjawab, "Karena Naktal adalah
saudara Nabi Yusuf '. "Fa arsil tny'ana nnktnl (sebab itu biarkan-lsh saudartr
knmi pergi bersamn knmi ngar ksmi mendnpnt jatah)." (Yusuf [12] : 53).363) Ini
disebabkan oleh ketidaktahuan, mereka ingin mendapatkanberkah dari
nama-nama yang disebutkan dalam Al-Quran, hingga mencomot begitu saja tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Nama-namayarrg selaiknya
dipilih adalah yang lazim di lingkungannya dan dikenal orang pada
umumnya, di samping tidak ada larangan syariat di dalamnya. Terkait
nama-nama asing, jika menjadi kekhususan orang-orang kafir, maka
hukumnya haram, karena memberi nama seperti ini merupakanbentuk
penyerupaan yang sangat kental dan tindakan terbesar yang membuat
mereka besar hati. Ketika orang-orang muslim memilih nama-namaorang kafir, seperti George dan semacamnya, sama artinya dengan mengagungkan mereka.
Untuk nama-nama malaikat, sebagian ulama menyatakan, bahwa
menggunakan nama-nama malaikat haram hukumnya. Ada juga yang
menyebut makruh. Ada pula yang menyatakan mubah. Pendapat paling sesuai adalah makruh, seperti nama Jibril, Mikail dan Israfil. Hendaknya kita tidak menggunakan nama-nama tersebut karena merupakan nama-nama malaikat.
Terkait kata-kata yang disebut di dalam Al-Quran dan tidak mengandung larangan, seperti kata Sundus (sutra tipis), tidak masalah untuk mempergunakannya, karena tidak mengandung larangan dan tidak
ada sikap pengagungan diri di dalamnya. Namun seperti yang telah
saya sampaikan, lebih baik memilih nama-nama yang lazirn dikenal
dan digunakan orang.
Pada dasarnya pemberian nama anak mengacu kepada ayah, karena ayah yang memiliki otoritas dalam hal ini. Meski demikian ayah
tetap harus meminta saran ibu dan saudara-saudara untuk memberi
nama anak, karena Nabi M bersabda,
$! {'F ui,,^tl,! {'* {'F
"Yang terbaik di antara kalnn adalah ,onf'r^rng baik terhadap
keluarga dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku."36a)
Sudah maklum bila seseorang bersikap terbuka dengan istri dan
meminta saran masalah-masalah seperti ini tentu baik adanya, di samping untuk menyenangkan hati. Kadang pendapat ibu dan pendapat
ayah berbeda dalam memberi nama anak. Dalam hal ini yang menjadi
rujukan adalah pilihan ayah. Namun jika memungkin kedua pendapat
disatukan dengan memilih nama lain yang disepakati kedua orang tua,
yang demikian ini lebih baik. Sebab, setiap kali diperoleh kesepakatan
itulah yang lebih baik dan menyenangkan.3IUAL Brr-r ANITNG DAN StnRNccn
idak boleh berjual beli anjing, karena Nabi $ melarang
jual beli anjing.:60) Meskipun, anjing bisa digunakan untuk
berburu. Bukankah Nabi ut membolehkan memelihara
anjing untuk tiga hal; menjaga tanaman, hewan ternak dan berburu?367)
Meski demikian anjing tetap tidakboleh diperjualbelikan meskipun untuk tujuan tersebut, yakni untuk berburu.
Jika ada yang bertanya, mengaPa jual beli anjing dilarang padahal
banyak manfaatnya, sementara hewan-hewan buas yang bisa digunakan
untuk berburu tidak dilarang untuk diperjualbelikan? Kita sampaikan,
pembedaan ini berdasarkan nash. Nabi # melarang harga penjualan
anjing.:tos) Hewan-hewan buas yang bisa digunakan untuk berburu tidak
bisa diqiyaskan dengan anjing, karena masuk ke dalam firman Allah
ue. berikut yang berlaku secara umum, "Padahal Allah telnh menghnlnlknn
jual beli." (Al-Baqarah [2] : 275). Alasan lain, hewan-hewan buas lebih
ringan bahayanya daripada anjing, karena ketika anjing menjilat belana,
bejana itu harus dicuci sebanyak tujuh kali salah satunya dengan tanah,
sementara ketika hewan-hewan buas lain menjilat bejana tidak diwajibkan mencucinya sebanyak tujuh kali ataupun dengan tanah. Dengan
demikian, perbedaan menjadi jelas dan qiyas tidak berlaku.
Jika ada yang bertanya, bukankah di dalam riwayat Nasai dan
lainnya disebutkan pengecualian anjing pemburu?36e) Kita sampaikan,
benar. Hanya saja,parapeneliti (muhaqqiq) dari kalangan ahli hadits dan
fiqh menyatakan bahwa pengecualian ini menyimpang, sehingga tidak
bisa dijadikan acuan. Di samping itu andai pengecualian tersebut benar,
tentu larangan Nabi ffi terhadap harga penjualan anjing sia-sia, karena
anjing yang tidakbisa digunakan untukberburu, menjaga tanaman dan
hewan ternak tidak mungkin dijual. untuk itu larangan terhadap harga
penjualan anjing berlaku bagi anjing yang bisa digunakan dan boleh
dipelihara.
serangga tidak boleh diperlualbelikan. Alasannya, karena tidak
bermanfaat. Mengeluarkan harta untuk membeli serangga berarti menyia-nyiakannya, dan Nabi ffi melarang tindakan menyia-nyiakan harta.370)Dari alasan ini dapat diketahui bahwa jika serangga itu memiliki
manfaat, maka boleh memperjualbelikannya, karena ada tidaknya hukum terkait alasan yang ada. Di antara manfaat serangga, lintah untuk
menghisap darah dan cacing sebagai umpan untuk memancing ikan.3Junl Brlt BRNcrcRt
Bangkai tidak boleh diperjualbelikan, berdasarkan sabda Nabi $:
-'o'1,'6' /t' a;.lr G fr>
" Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli bangkai."372)
Pengharaman ini dinisbahkan kepada Allah ;e sebagai bentuk penegasan, karena menisbahkan sesuatu kepada Allah, artinya memutuskan perdebatan yang ada dalam hal tersebut, dan mustahil ada yang
mendebat Allah ue. Allah ue mengharamkan jual beli bangkai.
Para sahabat -mereka adalah sosok-sosok yang haus ilmu- mengutarakan sesuatu, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, menurut engkau
bagaimana dengan lemak bangkai yang bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan penerangan?" Perahu terbuat dari kayu
dan dicat dengan lemak sebagai pelicin agar air tidak meresap ke dalam
kayu, karena kalau air meresap ke dalam kayu akan menjadi berat. Lemak juga digunakan untuk meminyaki kulit. Ini sudah lazim, agar menjadi halus. Sebab, kulit menjadi halus bila diminyaki. Yastsshbahu bihan
nas, artinya dijadikan penerangan. Zaman dulu orang-orang menggunakan lemak layaknya gas. Lemak diletakkan dalam bejana kemudian
diberi sumbu, sumbu kemudian disulut dan mengeluarkan api sebagai
penerangan. Nabi menjawab, "Tidak, ia haram."373) .
Para ulama berbeda pendapat terkait jawaban Nabi g, "Tidak, ia
htram." Ada yang berpendapat, bahwa maksudnya adalah haram memperjualbelikan, karena jual beli adalah tema hadits itu. Jual beli menjadi
topik yang dibahas hadits, "sesungguhnya Allah mengharamknn jual beli
bnngkni." Para sahabat hanya bermaksud menanyakan pemanfaatan lemak bangkai, guna menegaskan kebolehan meperjualbelikannya. Mereka menjelaskan bahwa manfaat tersebut tidak hilang percuma, sehinggaseyogyanya dimanfaatkan. Tapi Nabi ff menjawab, "Tidak, ia-jualbelilemakbangkai- haram." Inilah pendapat yang shahih. Kata ganti yang disebut dalam jawaban Nabi $,' Ia hArnm," kembali kepada jual beli, bahkan
mencakup beberapa manfaat yang disebutkan para sahabat,yang demikian itu karena topik yang dibahas hadits adalah jual beli. Pendapat
lain menyatakan, "laharam," maksudnya memanfaatkan lemak bangkai
untuk keperluan-keperluan yang disebutkan oleh para sahabat. Lemak
bangkai tidak boleh digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki
kulit dan digunakan sebagai penerangan. Namun pendapat ini lemah.
Yang benar, lemak bangkai boleh digunakan untuk mengecat perahu,
meminyaki kulit dan digunakan sebagai penerangan.3TMrNlUnL BARANG YANG TrDAK Drrrzur_rrcr
alah satu syarat sah jual beli adalah barang berasal dari si
pemilik atau wakilnya. Dalil syarat ini adalah Al-Quran,
As-Sunnah dan akal. Dalil dari Al-Quran adalah firman
E,?i z-.
o r r 7, , o ., t-)-z-\i V lFl;
--t /, t
:!. . -(;. Jt;;ca$:,---t
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian..." (AnNisa' Ial z 29)
Seperti diketahui, tidak ada seorang pun yang rela ada orang lain
menggunakan dan menjual harta miliknya.
Dalil As-Sunnah adalah sabda Nabi g kepada Hakim bin Hizam:
'"o ' ^1 .l-w. J \, ;
,u' g
"langanlah engkau menjual barang yang bukan milikmu./'375)
Nabi ffi melarangnya menjual barang yang bukan miliknya. Maksudnya barang yang tidak berada dalam penguasaannya atau ia tidak
mampu mendapatkannya, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya, insya Allah.
Dalil dari akal adalah andai orang boleh menjual barang yang tidak dimiliki, tentu akan menimbulkan permusuhan dan kekacauan
yang mengganggu kehidupan manusia.Jual beli pihak pengganti pemilik barang hukumnya sah. Pihak
pengganti yang dimaksud ada empat; wakil, washi, wali dan nnzhir.
Mereka inilah yang menggantikan posisi pernilik barang.
Wakil adalah pihak yang diberi izin untuk bertindak saat pemilik
barang masih hidup. Misalnya, seseorang memberikan mobil kepada
o.rang lain dan berkata, "Juallah mobil ini." Pihak penerima disebut
wakil dan jual beli yang ia lakukan hukumnya sah, karena ia menempati posisi pemilik barang melalui penunjukan wakil, karena Nabi ffi
pernah menunjuk seorang wakil dalam jual beli.376t Demikian dalil dari
As-Sunnah.
Wnshi adalah pihak yang diperintahkan untuk bertindak setelah
pengangkatnya meninggal dunia. Misalnya, seseorang mewasiatkan sejumlah harta kepada Zaid. Zaid sebagai penerima wasiat (zaashi) boleh
menggunakan harta yang diwasiatkan untuk sesuatu yang ia anggap
pantas. Ia bukanlah pemilik harta, tetapi menempati posisi pemilik barang.
Nazhir adalah pihak yang diserahi wakaf artinya ia ditunjuk sebagai wakil dalam pengelolaan wakaf. Misalnya, seseorang berkata, "Rumah ini adalah wakaf untuk fakir miskin, nadzir (pengelola) nya adalah
Fulan bin Fulan." Pihak yang diserahi wakaf ini juga boleh menggunakan barang wakaf meski bukan pemiliknya, tapi ia menempati posisi pemilik barang wakaf. Pihak ini disebut nnzhir. Umar bin Khaththab mewakafkan harta miliknya yang berada di Khaibar dan berkata,
"Wakaf ini diurus oleh Hafshah kemudian keluarganya yang berpikiran
cemerlang."377) Hafshah ditunjuk Umar sebagai pengurus wakaf.
Ada dua perwalian; perwalian umum dan khusus. Perwalian
umum adalah perwalian para pemimpin seperti hakim. Mereka memiliki kekuasaan umum dalam mengurus harta yang tidak diketahui siapa pemiliknya, harta milik anak-anak yatim yang tidak memiliki wali
khusus dan harta-harta yang lain. Perwalian khusus adalah perwalian
terhadap anak yatim oleh orang tertentu, seperti perwalian paman terhadap keponakannya yang yatim. Kita memosisikan paman sebagai
wali, bukan wakil, sebab haknya dalam mempergunakan harta berasal
dari jalur syariat, sementara hakwakil, wnshi dannazhirberasal dari jalur
khusus yakni pemberian oleh pemilik harta. Perwalian seorang wali
bersumber dari syariat.
Berdasarkan hal tersebut, ketika seseorang mewakilkan orang lain
untuk menjual suatu barang,lalu orang lain itu menjual barang tersebut,
maka jual beli itu sah, meski ia bukan pemilik barang, tapi ia menggantikan posisi pemilik. Akan tetapi, wakil harus bertindak yang terbaik
menurut pandangannya. Ketika terdapat tambahan pada barang dagangary wakil tidak boleh menjualnya hingga tambahan itu berakhir. Berbeda dengan orang yang berjual beli sendiri, di mana ia boleh menjual
barang dagangan di bawah harga normal. Perbedaannya adalah orang
yang menjual dagangan milik orang lain harus mendapatkan keuntungan lebih, sementara yang menjual dagangan milik sendiri boleh melakukan apapun