Tampilkan postingan dengan label halal haram menurut islam 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label halal haram menurut islam 12. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Januari 2025

halal haram menurut islam 12

 


, sedangkan orang yang tidak

sedang berhaji, mereka memiliki ibadah berkurban. Karena itu, kita

mendapatkan karunia dan rahmat Allah bahwa Dia memberikan bagian

bagi kaum muslimin yang tidak sedang berhaji dari manasiknya orangyang berhaji, misalnya menjauhi perbuatan memotong rambut dan kuku

pada sepuluh hari di awal bulan Dzul Hijjah.34e) Tujuannya adalah agar

kaum muslimin yang tidak sedang menjalankan ibadah haji ikut ambil

bagian dalam beribadah kepada Allah bagi saudara mereka yang sedang

beribadah haji, dengan meninggalkan beberapa larangan tersebut. Selain

itu, tujuannya agar mereka ikut merasakan taqarub kepada Allah seperti

orang yang sedang beribadah haji dengan berkurban. Sebab, seandainya

bukan karena syariat ini tentu saja menyembelih kurbanbagi kaum mus￾limin yang tidak sedang beribadah haji adalah bid'ah. Dan tentu manusia

dilarang mengerjakannya. Akan tetapi, Allah menetapkan syariat ini un￾tuk mewujudkan beberapa kebaikan yang agung.

. Pendapat yang menyatakan bahwa berkurban itu wajib lebih kuat

daripada yang menyatakan tidak waiib. Akan tetapi, syaratnya adalah

mampu. Adapun orang tidak mampu yang rezekinya hanya cukup un￾tuk menghidupi keluarga atau orang yang punya hutang, maka ia tidak

wajib berkurban. Bahkan, bila ia memiliki hutang hendaknya ia mengu￾tamakan bayar hutang dahulu sebelum berkurban.HUKUM RI,UBUT, KUrcU, DAN KULIT ONNNC

YANG H gNDAK BERI<URBAN

iapa vang membiarkannya mendapat pahala danbila melaku￾kannya maka ia berhak mendapatkan hukuman atas perbua￾tannya itu. Dalilnya adalah sabda Rasulullah"g: berikut ini :

"lika telah masuk tnnggnl sepuluh (Dzttl Hijjah), dart salnh seornng

dari knlian ingirr berlturbnn, nutkn jnngnnlah in menganfuil ranfuut,

hilit (ryang sda rnmbutn!1l), ataupurt kukttnya sedikit pun.":sot

Larangan itu pada dasarnya hukumnya haram. Hikmah dari lara￾ngan tersebut, bahwa Allah r'* dengan rahmat-Nya ketika mengkhusus￾kan kurban untuk kaum muslimin yang sedang beribadah haji, Dia me￾nurunkan syariat berbagai keharaman dan larangan untuk manasik haji.

Semua larangan itu bila ditinggalkan oleh manusia, ia akan mendapat￾kan pahala. Sementara itu, kaum muslimin yang tidak berihram untuk

ibadah haji ataupun umrah, mereka disyariatkan agar berkurban sebagai

kesamaan hewan kurban bagi yang berihram. Allah juga mensyariatkan

agar mereka tidak mengambil rambut, kulit, dan kuku hewan kurbannya

karena orang yang sedang berihram tidak rnengambil rambutnya sama

sekali. Artinya tidak ada kesenanganbagi mereka. Maka kaum muslimin

yang tidak berihram menclapatkan pahala seperti yang sedang berihram

dalam persoalan ini. Inilah keaclilan kebijaksanaan Allah r',' bagi ham￾ba-hamba-Nya. Sebagaimana muadzin mendapatkan pahalanya karena

adzannya maka orang yang mendengarkan pun mendapatkan pahala

bila menirukannya, sehingga ada syariat menirukan adzan.Itulah salah satu pendapat dalam persoalan ini, sedang pendapat

kedua adalah: Pendapat kedua menyatakanbahwa hukumnya makruh,

bukan haram. Hanya saja, yang lebih kuat adalah yang mengharam￾kannya. Karena haram itu merupakan hukum dasar dari larangan, te￾rutama dalam perkara yang jelas merupakan ibadah. Karena Nabi $;

menguatkan larangan tersebut dengan sabda beliau, "Maka janganlah

mengambil." Huruf Nun tersebut adalah untuk penguat.

Sabda beliau, "Siapa yang berkurbnn," dapat dipahami bahwa orang

yang dirinya diniatkan sebagai pengurban tidak ada dosabila ia melaku￾kan itu. Dalilnya adalah sebagai berikut : Pertama, bahwa hukum itu￾lah yang tampak jelas dari redaksi hadits. Yaitu bahwa larangan tersebut

berlaku khusus bagi siapa yang berkurban. Maka dengan demikian, la￾rangan ini khusus berlaku bagi kepala keluarga, sedangkan keluarga￾nya yang diikutkan dalam niat berkurban tidak terkena larangan ini. Ini

karena Nabi mengaitkan hukum tersebut dengan orang yang berkur￾ban. Pemahamannya bahwa orang yang diikutkan dalam niat kurban

tidak terkena hukum tersebut.

Kedua, bahwa nabi $; pernah berkurban untuk keluarga beliau

dan tidak pernah ada riwayat bahwa beliau bersabda kepada mereka,

"langanlah kalian mengnmbil rambut, kuku, maupun kulit kalian sedikit pun."

Kalau ini haram bagi mereka, tentu beliau sudah melarang mereka.Ini￾lah pendapat yang lebih kuat.

Bila seseorang bertanya, 'Apakah sasaran ucapan orang yang me￾ngatakary 'Larangan itu haram bagi orang yang berkurban atau orang

yang diikutkan dalam niat kurban?" Kami katakan, sasarannya bahwa

mereka mengiyaskan orang yang berkurban dengan orang yang diikut￾kan dalam kurbannya. Karena mereka sama-sama mendapatkan pa￾hala. Kedua-duanya mendapatkan pahala karena kurban itu. Karena

keduanya bersama dalam pahala maka keduanya juga bersama dalam

hukum.

Bila dikatakan, qiyas seperti itu tidak benar. Karena qiyas terse￾but bertentangan dengan nash, sedangkan qiyas yang bertentangan

dengan nash merupakan ungkapan yang tidak benar. Artinya tidak di￾percaya dan tidak dijadikan rujukan hukum. Selain itu, menyamakan

itu tidak boleh. Karena, meski kedua belah pihak mendapatkan pahala

karena kurban itu, namun pahala orang yang mengorbankan uangnya

untuk membeli hewan kurban dan lelah karena menyembelihnya (bila

disembelih sendiri) tidak sama dengan pahala orang yang hanya di￾ikutkan dalam niat kurban. Bahala orang yang mengeluarkan hartan￾ya untuk membeli hewan kurban itu lebih besar daripada yang tidak

mengeluarkan apa-apa.

Maksud hari kesepuluh bulan Dzul Hijjah hingga kurban disem￾belih adalah bahwa bila pengurban langsung menyembelih hewan kur￾bannya pada hari itu juga, maka hukum ini sudah lepas darinya. Namun

bila ia mengakhirkan penyembelihannya sampai kari kedua atau ketiga,

maka hukum tersebut tetap berlaku baginya sampai hewan kurbannya

disembelih.

Sabda beliau, "Rambutnya." Makna rambut di sini sudah jelas, yaitu

seluruh rambut yang hukumnya sunnah dihilangkan maupun yang mu￾bah, tidak boleh dipotong atau dicukur. Maksud sabda beliau, "sedikit

pt)n," adalah mencakup sedikit maupun banyak. Contoh rambut yang

hukumnya sunnah dihilangkan adalah rambut ketiak dan rambut ke￾maluan. Sedangkan rambut yang mubah untuk dihilangkan adalah

rambut kepala. Dengan demikian orang tidak boleh menggundul atau

mengurangi sedikit pun dari rambut kepalanya sebelum hewan kur￾bannya disembelih.

Maksud sabda beliau, "Atau kulitnya," adalahjanganlah mengam￾bil sedikit pun dari kulitnya. Pertanyaannya, apakah mungkin manusia

mengambil bagian dari kulitnya meski sedikit? Kita katakan, mungkin

saja. Misalnya seperti ini: Pertama,bila orang yang hendak berkurban

belum dikhitan dan ingin khitan pada hari-hari yang dilarang itu, maka

kita katakary "Janganlah ia dikhitan karena Anda akan mengambil se￾bagian dari kulit Anda." Kedua, sebagian orang lalai sehingga Anda bisa

menemukan orang yang memotong kulitnya karena ada luka di kakinya.

Orang yang terluka tersebut pasti merasakan pedihnya luka. Bila ia ber￾henti terasa enak tetapi bila dibawa bergerak, luka tersebut membuatnya

kesakitan. Kalau di luka itu ada kulit yang mati, ia harus membiarkannya

agar tidak terlepas atau bertambah lebar lukanya sampai hewannya di￾sembelih.

Sebagai catatary penulis tidak membicarakan tentang satu hal

yang ada di hadits tersebuf yaitu kuku. Saya tidak mengetahui ada satu

pun ulama yang meremehkan hukumnya. Bisa jadi, penulis tidak mem￾bahasnya dengan tujuan agar singkat, sehingga cukup menyebutkan

dua saja dan meninggalkan persoalan kuku ini. Akan tetapi, hukumnyasama saja, tidak boleh memotong kuku sedikit pun. Hanya saja, sean￾dainya kukunya patah dan terganggu karenanya, ia boleh menghilang￾kan bagian yang mengganggu tersebut dan tidak ada dosa dalam hal

ini. Demikian pula bila ia tiba-tiba melihat ada satu helai rambut yang

jatuh, atau ada bulu mata yang tumbuhnya mengganggu mata, maka

mengambilnya dengan penjepit rambttt dibolehkan. Karena tindakan

ini untuk menyingkirkan gangguan.

Dapat dipahami clari ungkapan penulis bahwa bila seseorang me￾ngambil sesuatu dari larangan tersebut, tidak ada kewajiban membayar

fidyah dan hukumnya memang demikian. Tidak benar bila ini diqiyas￾kan dengan orang yang berihram. Karena ada perbedaan yang nyata

antara keduanya, yaitu : Pertama, orang yang sedang ihram hanya di￾haramkan mencukur rambut kepala, sedangkan rambut lainnya hanya

diqiyaskan. Sementara itu, hadits untuk orang yang tidak berihram ini

berlaku umum untuk rambut kelapa dan rambut lainnya. Kedua, orang

yang berihram tidak dilarang mengambil sedikit dari kulitnya, sedang￾kan orang yang tidak berihram dilarang. Ketiga, orang yang berihram

dibebani beberapa larangan lainnya selain larangan mencukur rambut

kepala. Larangan dalam ihram itu lebih kuat karenanya wajib mem￾bayar fidyah, sedangkan larangan dalam hadits ini tidak ada kewajiban

membayar fidyah.

Yang menjadi persoalan, seandainya seseorang melanggar Iara￾ngan tersebut, apakah kurbannya diterima? jawabannya, ya. Kurbannya

diterima, akan tetapi ia termasuk orang yang bermaksiat. Adapun ke￾yakinan yang populer di kalangan masyarakat umum bahwa bila se￾seorang mengambil sedikit dari rambut, kulit atau kukunya pada hari￾hari yang dilarang tersebut maka kurbannya tidak diterima maka ini

keyakinan yang tidak benar. Karena tidak ada kaitannya antara keabsa￾han kurban dan pelanggaran tiga larangan tersebut. Bila ternyata, sese￾orang baru berniat untuk kurban pada hari ke duabelas Dzul Hijjah dan

pada hari sebelumnya ia telah mengambil sedikit dari rambut, kulit, dan

kukunya, maka kurbannya sah. Larangan ini berlaku sejak seseorang

berniat kurban.


HUrcUU MIITUIErcRI CINCIN KAWIN DARI

PrnRrc BAGI Lnru-Lnrl

akai cincin kawin bagi laki-laki maupun perempuan

termasuk perkara yang baru (bid'ah) dan bisa jadi terma￾suk perkara yang diharamkan. Pasalnya, sebagian orang

meyakini bahwa cincin kawin merupakan penyebab langgengnya kasih

sayang antara suami dan istri. Karena itu, ada yang bercerita kepada

kami bahwa sebagian orang menuliskan nama istrinya di cincin kawin

tersebut. Dan sebaliknya, nama suami ditulis di cincin kawin istrinya.

Keduanya seolah-olah ingin hubungan kasih sayangnya langgeng kare￾na cincin kawin itu. Ini merupakan kesyirikan sebab keduanya meya￾kini itu sebagai sebab. Padahal Allah tidak menjadikan cincin kawin

sebagai sebab, baik secara takdir maupun secara syariat. Maka tidak

ada hubungan antara cincin kawin dan kasih sayang. Banyak pasangan

suami istri tanpa cincin kawin tetapi kasih dan sayang keduanya sa￾ngat kuat. Sebaliknya, banyak pasangan suami stri yang memiliki cincin

kawin tetapi hubungan keduanya dalam kesengsaraan, kemarahan, dan

kelelahan.

Jadi, cincin kawin itu, bila diadakan karena akidah yang rusak

ini, maka merupakan kesyirikan. Sedangkan bila itu diadakan tanpa

ada keyakinan rusak tersebut, maka perbuatan ini termasuk tasyabbuh

terhadap selain kaum muslimin. Karena cincin kawin merupakan bu￾daya orang Nasrani. Karenanya, wajib bagi setiap orang beriman men￾jauhi semua perkara yang tidak ada dalam agamanya. Adapun tentang

memakai cincin perak bagi laki-laki selama itu hanyalah cincin biasa

tanpa diikuti dengan keyakinan bahwa itu merupakan cincin kawin

yang mengikat antara suami dan istri, maka ini tidak apa-apa. Karena

cincin perak bagi laki-laki dibolehkan. Sedangkan cincin emas haram

bagi laki-laki. Sebab, Nabi ffi pernah melihat cincin emas di jari salah

seorang sahabat, lalu beliau melepas dan melemparkannya seraya ber￾sabda:Salah se\rang di antara kalian menginginkan barq api nerakn dan

mel e t akknnny a di t an g anfl! aMTNcUNGKAPKAN S TcenR TInnNG-TE RA￾NGAN KHITBAH UNTUrc WNNITA YANG

SroRNc MtNynr-nNr MASI InoeH KRruNR

SUNUI Wnrnr DAN KRnTNR TAmrc BAIN

aram hukumnya mengungkapkan khitbah secara terang￾terangan untuk wanita yang sedang menjalani masa id￾dah. Yang membedakan antara khitbah dan khutbah

adalah harakat dhammah pada huruf kha'. Khutbah adalah kata-kata

yang diucapkan oleh khatib, misalnya khutbah Jumat. Sedangkan khit￾bah adalah permintaan persetujuan menikah dari seorang wanita. Allah

Ta'ala berfirman :

"Dan tidak ada dosa bagi knmu meminang ntanita-wanita itu dengan

sindiran... " (Al-Baqarah [2] : 235)

Terang-terangan (tashrlh) maknanya adalah mengucapkan kata￾kata yang tidak ada interpretasi lain selain nikah. Misalnya seseorang

mengucapkan, "Saya mohon engkau menikah denganku." Atau, "Me￾nikahlah denganku." Atau, mengatakan kepada wali perempuan yang

diinginkannya, "Nikahkanlah anakmu denganku." Atau dengan ung￾kapan yang semisal itu. Semua ungkapan ini tidak ada taksiran lain se￾lain nikah.

Wanita yang sedang menjalani iddah maksudnya adalah wanita

yang menjalani masa iddah karena pernikahannya dengan orang lain.

Misalnya wanita yang menjalani masa iddah karena suaminya wafat,

wanita yang menjalani masa iddah karena talak raj'i, dan wanita yang

menjalani masa iddah karena talak ba'in. Mengungkapkan khitbah se￾cara terang-terangan kepada wanita yang sedang menjalani masa iddah

seperti itu tidak dibolehkan secara mutlak.

Seorang laki-laki tidak boleh secara terang-terangan mengungkap￾kan pinangan atau khitbahnya kepada wanita yang menjalani masaiddah karena suaminya wafat. Dalilnya adalah firman Allah Ta'aIa, "Dan

tidak ada dosa bngi ksmu meminang wanitn-wanita itu dengan sindiran..." (Al￾Baqarah [2] z 235). Pemahamannya bahwa ketika kalian mengungkaP￾kan secara terang-terangan berarti ada penghalang atau larangan bagi

kalian.

Wanita yang menjalani masa iddah karena talakba'in adalah mere￾ka yang sedang bercerai dalam kondisi suami masih hidup. Artinya, ia

adalah wanita yang dicerai oleh suaminya. Cerai jenis ini berasal dari

suami, baik karena istrinya ditalak tiga, atau karend lalak'iwadh, atau

karena fasakh yang sebenarnya tidak ditalak, tetapi karena pernikahan

dibatalkan. Misalnya istri mendapatkan cacat pada suaminya sehingga

perkawinannya dibatalkan. Atau sebaliknya, yakni pernikahan diba￾talkan karena suami mendapatkan cacat pada istrinya. Namury fasakh

sebelum suami menggauli istrinya tidak mengakibatkan adanya masa

iddah.

wanita yang ditalak ba'in adalah wanita yang dicerai oleh suami￾nya dan suami tidak boleh rujuk kepadanya lagi. saat wanita menjalani

masa iddah karena talak ba'in ini, tidak boleh bagi seorang Pun me￾ngungkapkan khitbah secara terang-terangan kepadanya.

Perkataan penulis, "Kecuali dengan sindiran," maksudnya adalah

bila keinginan untuk meminang diungkapkan dengan sindiran, bukan

dengan terang-terangan, maka ini boleh. Dalilnya adalah firman Allah

yang sudah disebutkan sebelumny a, "Dan tidnk ada dosa bagi kamu memi￾nang wanita-wnnitct itu dengan sindiran.'," (Al-Baqarah [2] : 235). Konteks

ayat tersebut meniadakan penghalang bagi sindiran. Pemahamannya/

pinangan dianggap sah bila diungkapkan dengan terang-terangan/ se￾dangkan sindiran hanyalah langkah awal untuk menunjukkan keingi￾nan seseorang untuk melamar wanita, tanpa mengungkapkannya Secara

terang-terangan untuk melamarnya. Misalnya, seseorang berkata, "Bila

masa iddahmu telah selesai, kabarilah saya." Atau, "Jangan sia-siakan

diriku dari dirimu." Atal), 'Aku ingin memiliki wanita seperti dirimu."

Atau ungkapan sejenis. semua ungkapan ini tidak disebut terang-teran￾gan. Inilah sindiran. Dan ini boleh diucapkan kepada wanita yang se￾dang menjalani masa iddah karena suaminya wafat atau karena talak

ba'in.Perkataan penulis, "Mengungkapkan khitbah secara terang-tera￾ngan dan sindiran bagi suami yang menalak istrinya di bawah talak

tiga." Maksudnya, bagi suami yang menceraikan istrinya sebelum talak

tiga, misalnya menceraikan istrinya dengan talak'iwadh. Umpamanya,

orang yang bersepakat dengan istrinya untuk menceraikan istrinya

tersebut dengan sejumlah uang.Ini merupakan talak iwadh. Allah me￾namakan talak'iwadh ini dengan istilah fidai karena wanita (istri) mem￾beli dirinya dari suaminya sendiri. Dalam hal ini, Allah berfirman :

L. :i->:-xo6\4\4;a-i.)t

" Makn tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan

oleh istri untuk menebus dirinya..." (Al-Baqarah [2]:229).

Bila seorang istri membeli dirinya dari suaminya dan kita mengata￾kary "Suaminya boleh rujuk kepadanya karena wanita membeli dirinya

darinya." Karena itu, kita mengatakan, "Ia tidak boleh rujuk kepada is￾trinya kecuali dengan mengembalikan uangnya." Karena itulah, penu￾lis mengatakary "Kedua-duanya boleh." Yakni, terang-terangan maupun

sindiran dibolehkan bagi suaminya yang menalaknya sebelum talak

tiga. Sebenarnya, bila penulis memakai ungkapan, "Selain talaktiga,"

tentu lebih jelas lagi.

Semua bentuk fasakh (pembatalan nikah) dianggap sebagai ce￾rai, misalnya batal karena ada cacat pada suami atau istri. Atau, adanya

kesulitan dalam membayar mahar, nafkah atau semacamnya yang bisa

menjadi penyebab batalnya pernikahan atau fasakh. Keduanya dianggap

sebagai cerai. Akan tetapi, dibolehkan bagi suami yang pernikahannya

dibatalkan oleh istrinya (khulu') untuk menyatakan lamarannya kembali

dengan terang-terangan atau dengan sindiran. Suami juga boleh melak￾sanakan akad nikah saat itu jugaHur<utrzt KuttsnH DENGAN TrRnNc￾TERANGAN DAN SINNIRAN TIRHNOEP

WANITA YANG STORNC BTTURRITzI

pakah boleh mengungkapkan khitbah dengan terang￾terangan dan sindiran terhadap wanita yang sedangber￾ihram haji atau umrah? ]awabannya, tidak boleh sebab

tidak dibolehkan mengadakan akad nikah dengan wanita yang sedang

berihram. Maka, diharamkan pula mengungkapkan khitbah dengan

terang-terangan dan sindiran kepadanya. Jadi, kuncinya bahwa setiap

orang yang tidak boleh mengadakan akad nikah dengan wanita berih￾ram, maka mengungkapkan khitbah kepadanya sedara terang-terangan

diharamkan. Adapun pengungkapan secara sindiran, ada perinciannya.

Semua ini sudah bisa dipahami dari ungkapan penulis.31NuSyuz ADALAH SEnunH KruercsIATAN

ffft"m wanita ituberagam. Ada yang shalihah, sepertiyang

.<YT disampaikan oleh Allah Ta'aIa, "...Wanitn-wanita yang

\y L kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka..."

(An-Nisa' [4] :34). Wanita-wanita seperti ini memiliki akhlak dan adab

yang tinggi terhadap suami. Di antara kaum wanita ada yang memiliki

perangai kebalikannya, yarlu wanita-wanita yang memiliki perangai

nusyuz. Kata nusyuz berasal dari kata an-nasyaza. Yaitu, tanah yang

membukit. Makna ini sangat erat kaitannya dengan larangan perbua￾tan nusyuz. Dimana, seorang wanita merasa tinggi dari suaminya, som￾bong di hadapannya, serta tidak memenuhi hak suami. Di antara contoh

penggunaan kata nusyuz adalah seperti yang disebutkan para fuqaha

terkait manasik haji, 'Apabila mendaki nusyuz (tempat yang tinggi),

maka ia membaca talbiyah."

Nusyuz menurut pengertian syariat, penulis berkata, "Yaitu pem￾bangkangan istri terhadap suami terkait hal-hal yang menjadi kewajiban

istri." Perkataan penulis, "Terkait hal-hal yang menjadi kewajiban istri."

Yakni, mencakup hak-hak suami. Untuk hal-hal di luar kewajiban istri,

tetap menyebabkan tindakan nusyuz jika istri terang-terangan dalam

membangkang kepada suami. Jika suami berkata kepada istri, 'Aku

ingin kamu menjadi pembantu di rumah orang-orang dengan imbalan

nang." Perintah ini tidak wajib dilaksanakan istri. Jika istri enggan me￾menuhi permintaan suami untuk berhubungan badan di atas ranjang,

maka istri dianggap nusyuz.

Tampak dari perkataan penulis, "Enggan memenuhi permintaan

suami untuk berhubunganbadan," bahwa jika istri enggan memenuhi

permintaan suami terkait pelayanan yang lazim, seperti menyiapkan

makanan dan tempat tidur untuk suami, maka keengganan ini tidak

dianggap nusyuz, hal ini berdasarkan ketentuan bahwa istri tidak wajib

melayani suami. Namun pendapat yang shahih, bahwa istri wajib mela￾yani suami dalam urusan yanglazim. Karena itu, di dalam bab 'Perem￾puan yang Haram Dinikahi'telah dibahas kebolehan menikahi seorang

budak perempuan untuk keperluan pelayanan. Ini menunjukkan bahwamelayani suami merupakan salah satu tujuan pernikahan. Pendapat ini

shahih.

Jika suami mengajak istri ke tempat tidur dan meskipun istri me￾menuhi ajakan itu namun dengan muka cemberuf sikap benci dan be￾rat hati, maka tindakan ini terbilang sebagai nusyuz. Jika istri memenu￾hi ajakan suami dengan terpaksa, tindakan ini juga termasuk nusyuz.

Alasan mengapa istri dianggap nusyuz meski telah memenuhi ajakan

suami, bahwa memenuhi ajakan suami dengan enggan, benci dan ter￾paksa merupakan pemenuhan yang tidak mewujudkan semPurnanya

hubungan badan.

TAT-RT BID,AH

alak bid'ah, bisa terjadi karena waktu atau karena bila￾ngan. Talak bidhh karena waktu terbatas pada dua ben￾tuk: Suami mentalak istri ketika haid, atau mentalaknya

pada masa suci dan ia telah menggaulinya pada masa suci itu. Istri telah

haid dan tidak diketahui hamil. Talak bid'ah karena bilangan adalah

suami mentalak istri lebih dari satu kali, misalnya menjatuhkan dua kali

talak dengan mengatakary'Kamu tertalak dua kali talak." Atau, "Kamu

tertalak tiga." Ini adalah talak bid'ah, karena sunnah menghendaki se￾orang suami mentalak istrinya satu kali talak.Huruu ZUIHRR

hihar adalah tindakan suami menyamakan istrinya dengan

ibunya dengan berkata, "Kamu bagiku seperti purlggung

ibuku." Ini adalah zhihar menurut ijma'. Pada masa jahili￾yah, zhihar dinilai sebagai talak ba'in. Untuk itu, jika seseorang berkata,

"Zhrhar yang saya maksud adalah talak." Kita katakan, talak itu tidak

bisa diterima meski kamu menghendakinya. Sebab, kalau kita terima

niatnya berarti kita mengembalikan hukum Islam ke hukum jahiliyah.

Juga, karena kata-kata tersebut adalah kata-kata zhihar yang tegas, dan

redaksi yang tegas tidak bisa diterima dari orang yang menginginkan

sebaliknya. Misalnya, ia berkata kepada istrinya, "Kamu tertalak tiga."

Setelah itu berkata, "Maksudnya satu." Klaim ini tidak diterima. Seperti

itu juga jika ia berkata, "Kamu tertalak satu." Setelah itu berkata, "Mak￾sudnya tiga." Klaim ini juga tidak diterima, dengan alasan '. Pertama,

klaim tersebut menyalahi redaksi yang tegas, dan klaim yang menyala￾hi redaksi tegas tidak bisa diterima. Kedua, andai kita terima klaimnya

tersebut sebagai talak, artinya kita mengembalikan hukum zhihar dari

hukum Islam ke hukum jahiliyah. Ini tidak boleh.

Sementara jika ia menyamakan istrinya dengan selain ibunya,

misalnya berkata, "Kamu bagiku seperti punggung saudara perempuan￾ku." Bagi yang berpedoman pada zhahir Al-Quran tidak menyatakan

kata-kata tersebut sebagai zhrhar, sebab punggung ibu berbeda dengan

punggung saudara perempuan, karena menilai punggung ibu sebagai

sesuatu yang halal itu lebih besar dari anggapan halalnya punggung

saudara perempuan. Hanya saja menyamakan istri yang halal digauli

dengan ibu yang haram digauli lebih buruk daripada menyamakan istri

dengan saudara perempuan, misalnya. Karena itu tidak bisa diqiyas￾kan. Hanya saja mayoritas ahli ilmu tidak sependapat, karena zhihar

tidak hanya terkait dengan ibu saja, tapi di samping ibu juga mencakup

perempuan lain.

Penulis berkata, "Zhthar hukumnya haram. Karena itu, jika ada

lelaki yang menyamakan istrinya baik sebagian atau keseluruhan tubuh￾nya dengan orang yang haram baginya untuk selamanya... dst.Perkataan penulis, "Hukumnya haram." Dalilnya adalah firman

Allah ,w, "Dan sesungguhnya mereka benar-bennr nrcngucnpknrt suntu per￾kataanmunkar dnn dusta," (Al-Mujadilah [58] : 2). Perkataan munkar jelas

haram, sama seperti perkataan dusta. Dengan demikian zhihar hukum￾nya haram berdasarkan nash Al-Quran.

Jika ada yang bertanya, "Apa dalilnya bahwa zhihar merupakan

perkataan munkar dan dusta?" Kita jawab, bahwa redaksi, "Kamu bagi￾ku seperti pungg ung ibuku," mencakup berita dan tuntutan. Dari sisi

berita, istri tersebut tidak seperti punggung ibunya, ini merupakan per￾kataan dusta. Juga mengandung tuntutan, maksudnya tuntutan meng￾haramkan istri, ini haram hukumnya, sehingga merupakan perkataan

munkar. Perkataan tersebut munkar dari sisi tuntutan menjatuhkan zhi￾har, dan dusta dari sisi statusnya sebagai berita bohong.

Perkataan penulis, "Karena itu, jika ada lelaki yang menyamakan

istrinya," bersifat umum, mencakup lelaki balig dan kecil yang telah

berakal. Orang tidak berakal dan orang gila tidak termasuk, karena

keduanya tidak memiliki kehendak. Dari perkataan penulis, "Karena

itu jika ada lelaki yang menyamakan istrinya." Kita memahami bahwa

pelaku zhihar haruslah telah menikahi istri dalam akad yang sah. Jika

ia menjatuhkan zhihar pada seorang perempuan, kemudian setelah itu

baru menikahinya, maka tidak disebul zhthar, karena ketika menikahi

si perempuan statusnya bukan sebagai istri. Perkataan penulis ini be￾nar, bahwa zhihar hanya sah jika dijatuhkan oleh suami. Pendapat yang

masyhur di dalam madzhab Hambali menyatakan bahwa zhihar sah

dilakukan oleh lelaki asing. Sehingga sah hukumnya jika ia berkata

kepada seorang perempuan yang belum dinikahinya, "Kamu bagiku

seperti punggung ibuku." Selanjutnya bila ia menikahi perempuan

tersebut, kita sampaikan padanya, "Jangan kamu gauli dan dekati pe￾rempuan itu sebelum menebus kafarat zhThar." Namun menurut penda￾pat yang shahih, zhihar seperti itu tidak sah, berdasarkan firman Allah

w, "Dan orang-ornng yang menzhihnr istri rnereka." (Al-Mujadilah [58] : 3).

Sebelumnya telah dijelaskary ila' hanyabisa diberlakukan terhadap istri

yang dinikahi secara sah.

Misalnya, suami berkata kepada istri, "Tanganmu bagiku seperti

punggung ibuku." Maka, ia dianggap telah menjatuhkan zhlhar, karena

keharaman tidak terbagi-bagi. Tidak ada perempuan yang tangannya

haram sementara badannya halal, atau sebaliknya. Karena itu jika suami

mentalak salah satu bagian tubuh istrinya, artinya si istri tertalak secara

keseluruhan.

Misalnya, suami berkata kepada istri, "Kamu bagiku seperti tangan

ibuku." Perkataan ini sah sebagai zhihar. Karena itu tidak ada bedanya

apakah sebagian atau keseluruhan dari pihak yang disamakan (istri)

dan obyek persamaan (ibu), karena semuanya haram. Karena itu penu￾lis menyatakan, "Maka ia adalah zhThar." Dengan pernyataan tersebut,

penulis menyampaikan bahwa obyek persamaan haruslah mahram se￾lamanya, untuk mengecualikan perempuan yang haram hingga jangka

waktu tertentu, seperti saudara perempuan istri. Misalnya, ia berkata

kepada istrinya, "Kamu bagiku seperti punggung saudara perempuan￾mu." Dalam hal ini selama status istri masih ada, maka si istri haram

baginya, namun jika si istri telah tertalak ba'in dan saudara perempuan

istri halal baginya, maka perkataan tersebut tidak dianggap zhihar,ka￾rena si laki-laki tidak menyamakan istrinya dengan perempuan yang

tidak haram baginya untuk selamanya.

Misalnya, ia menyamakan istrinya dengan perempuan asing yang

belum dinikahi dengan berkata, "Kamu bagiku seperti si Fulanah." Ka￾ta-kata ini tidak dianggap zhlhar, karena si Fulanah tidak haram bagi

dirinya. Misalnya, ia menyamakan istrinya dengan punggung ayahnya

dengan berkata, "Kamu bagiku seperti punggung ayahku." Istrinya ti￾dak menjadi haram, karena penulis menyatakan "Perempuan yang ha￾ram selamanya." Dengan demikian jika ia menyamakan istrinya dengan

lelaki manapun, istrinya tidak menjadi tidak haram baginya.

Mahram karena nasab ada tujuh, terhimpun di dalam firman Allah

14:',

- l-- t ;-2 t

',i l 

-V1 

oV.J gYt.rt--y

" D ihar amknn atas kamu (mengaw ini) ibu-ibumu, anak- an aktnu y ang

perempuah saudara-saudaramu llang perempuan, snudara-saudara

bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,

anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak￾anak perempuan dari snudara-sattdaramu yang perempuan... " ( An￾Nisa' l4l:23Mereka adalah ibu dan silsilah ke atasnya, anak perempuan dan

keturunannya, saudara perempuan, bibi dari jalur ayah dan silsilah ke

atas, bibi dari jalur ibu dan siisilah ke atasnya, anak perempuan dari

saudara lelaki dan keturunannya, anak perempuan dari saudara perem￾puan dan keturunannya. Perempuan-perempuan serupa dari jalur su￾suan juga haram dinikahi, berdasarkan sabda Nabi S :

4, liiv*wlr/ri

" (Perempuan-pereffipuan) dnri jatur susuan dihnramkan seperti keha￾raman karena j alur nasab." ssi t

Hadits ini menyempurnakan ayat Al-Quran, di mana Allah ue ber￾firmaru "Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara pereftrpuan sepersusu￾an." ( An-Nisa' [4] : 23). Lalu, sunnah menyempurnakan ayat Al-Quran

ini, maka kita bisa menyatakan, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut,

ibu sepersusuan dan silsilah ke atasnya, anak perempuan sepersusuan

dan keturunannya, saudara perempuan sepersusuan, bibi dari jalur

ayah sepersusuan dan silsilah ke atas, bibi dari jalur ibu sepersusuan

dan silsilah ke atasny4 anak perempuan dari saudara lelaki sepersusu￾an dan keturunannya, keponakan perempuan dari saudara perempuan

sepersusuan dan keturunannya, juga haram dinikahi. Misalnya, suami

berkata kepada istrinya, "Kamu bagiku seperti punggung ibu seper￾susuanku." Kata-kata ini sah sebagai zhihar, meski sebelumnya telah

kami sampaikan bahwa punggung ibu dari jalur nasab lebih haram dari

punggung ibu sepersusuan. Seperti itu juga anak perempuan dari sau￾dara perempuan dari jalur nasab juga lebih haram dari anak perempuan

dari saudara perempuan sepersusuan. Namun begitu, selama Nabi ffi

bersabda, "(Perempuan-perempuan) dnri jalur susuan diharnntkan seperti hnl￾nya dari jalur nasab," maka hukumnya sama.

Perkataan penulis, "Perempuan yang haram baginya selamanya

karena faktor nasab ataupun susuan." Secara zhahir, mahram karena

faktor pernikahan tidak termasuk dalam zhihar. Misalnya, suami me￾nyamakan istrinya dengan punggung mertua dengan berkata, "Kamu

bagiku seperti punggung ibumu." Secara zhahir kata-kata ini bukan zhi￾har karena penulis menyebut faktor nasab atau susuan, tidak menyebut

mahram karena faktor pernikahan. Hanya saja secara zhahir, mahram

karena faktor pernikahan sama seperti mahram karena faktor susuan.

Mahram karena faktor pernikahan bagi seorang suami adalah ibu

mertua dan silsilah ke atasnya, anak perempuan istri dan keturunannya

dengan syarat ibunya telah digauli, berdasarkan firman Allah v::, "Anak￾nnak istrimu ynng dalnm pemelihnrannmu dsri istri yang telnh kamu campuri."

( An-Nisa' [4] : 23). Misalnya, si suami berkata kepada istrinya, "Kamu

bagiku seperti anak perempuanmu dari si Fulan." Kata-kata ini sah se￾bagai zhihar, karena ia menyamakan istrinya dengan perempuan yang

haram ia nikahi karena faktor pernikahan. Misalnya, ia berkata, "Kamu

bagiku seperti punggung anak perempuanmu dariku." Kata-kata ini

sah sebagai zhihar karena ia menyamakan istrinya dengan perempuan

yang haram ia nikahi karena faktor nasab.

Kaidahnya adalah barangsiapa rnenyamakan istrinya atau seba￾gian tubuhnya dengan sebagian atau keseluruhan tubuh perempuan

yang haram dinikahinya untuk selamanya baik karena faktor nasab, su￾suan ataupun pernikahan, maka ia dianggap melakukan zhihar.3Qnzer (MTNUDUH BEnzrNn)

,-n adzaf haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar jika

/ "/ pihak yang dituduh telah menikah. Hikmah diharamkannya

\Z qad,zafadalah demi menjaga kehormatan manusia agar tidak

dile)f(kan dan menjaga citra supaya tidak dinodai. Sungguh ketetapan

yang amat bijak, sebab ketika manusia sudah saling melecehkary meng￾hina dan mencela, terjadi permusuhan dan kebencian, atau bahkan pe￾perangan dan saling serang disebabkan oleh hal-hal semacam ini. Kare￾na itulah, demi menjaga dan melindungi harga diri manusia serta citra

diri kaum muslimin, syariat mengharamkan qadzaf dan memberlaku￾kan hukuman duniawi untuk perkara ini. Allah ,;e berfirman :

t:i\ii+jri Ji 4 :i::li : :uli -*Ai'r;;'" rli J,,

'='"'e;Si @:

"Sesungguhnya orang-lrang yang menuduh perempuan yang baik￾baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), nrcrekn kena laknat di

dunia dan nkhirat, dan bagi mereka adzab yang besar." (An-Nur [24]

:23)

Ada dua hal besar yang menjadi konsekuensi qadzaf '. Pertama,

laknat di dunia dan akhirat, kita berlindung kepada Allah darinya. Ke￾dua, slksa besar.

Selanjutnya, Allah rls berfirma n, "Pada lnri (ketika),lidah, tangnn dan

kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadnp npa yang dahtilu mereka kerja￾kan. Di hari itu, Allah nkan memberi mereka balasan yang setimptnl menurut

semestinya, dan talrulah mereka bahzua Allah-lah yang benar, lagi yang nten￾jelaskan (segala sesuatu menuruthakikatyang sebenarnya)." (An-Nur l24l:24-

25). Diriwayatkan dari Nabi S, bahwasanya di antara dosa-dosa besar

yang membinasakan adalah menuduh berzina perempuan-perempuan

baik, beriman dan lalai (dari kemaksiatan)."asv1 Dengan demikian, qadzaf

termasuk dosa besar berdasarkan petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan

hikmah pemberlakuannya seperti telah kami singgung sebelumnya.

Hukuman qadzaf berbeda-beda berdasarkan pelakr qadzaf dan

obyek qadzaf. Ketentuan ini bisa diketahui melalui syarat-syrat qadzaf.

Penulis berkata, "Jika seorang mukallaf menuduh zina seorang muh￾shan, hukumannya adalah 80 kali cambuk jika ia berstatus merdeka dan

40 kali cambuk jika ia seorang budak." Perkataan penulis, "Jika seorang

mukallaf menuduh zina." Mukallaf adalah orang yang sudah balig dan

berakal, baik lelaki ataupun perempuan. Bahkan seandainya seorang

perempuan menuduh seorang lelaki berbuat zina, had qadzaf juga di￾berlakukan atas dirinya. Kata 'mukallaf' disebut penulis sekedar un￾tuk menjelaskan, sebab sebelumnya telah kita bahas pada syarat-syarat

umum dalam hukum had, bahwa disyaratkan agar pihak yang dihu￾kum had harus seorang balig dan berakal.

Perkataan penulis, "jika seorang mukallaf menuduh zina seorang

muhshan." Muhshan di sini berbeda dengan muhshan dalam bab zina.

Muhshan dalam pembahasan ini akan dijelaskan penulis selanjutnya,

yaitu "seorang muslim yang berakal, menjaga diri, taat beragama, dan

menggauli perempuan dengan karakter seperti dirinya." Pengertian

muhshan di sini berbeda dengan pengertian muhshan dalam bab zina.

Redaksi muhshan disebut dalam bentuk nakirah dalam konteks kalimat

syarat, dengan demikian berlaku secara umum mencakup perempuan

ataupun lelaki. Kata'muhshan'artinya seseorang yang terjaga. Kata ini

disebut lebih dulu untuk memberi pengertian yang umum dan menye￾luruh.

Perkataan penulis, "Hukumannya adalah 80 kali cambuk jika ia

berstatus merdeka." Julida adalah fi'il madhi mnbni majhul (kata kerja lam￾pau pasif). Lalu siapa yang mengeksekusi hukum cambuk? Di dalam

kitab hudud sebelumnya telah kami jelaskan, bahwa yang mengekseku￾si adalah imam atau wakilnya.Inilah pendapat yang masyhur di dalam

madzhab dan pendapat ini benar. Sebagian ahli ilmu berpendapat,

bahwa had qadzaf dilakukan oleh obyek qadzaf atas pelaku qadzaf,ilkakita menganggap hukuman had tersebut sebagai hak obyek qadzaf.se￾mentara jika kita menganggap hukuman had tersebut sebagai hak Allah

'ue, maka yang mengeksekusi adalah imam' Perbedaan pendapat dalam

hal ini akan dibahas selanjutnya.

Perkataan penulis, "Hukumannya adalah B0 kali cambuk jika ia

berstatus merdeka." Jika pelaku qadzaf berstatus merdeka, hukuman￾nya adalah 80 kali cambuk, berdasarkan firman Allah ;e :

t t.".. ,-..t ,'-i : t?, -', rt. .. . t',i' t,' ' .ll'

t,u ^t:$Li ;lr--+; *r! l+jt+ -J ; -:-z^;\ ly-e Jr-P')

, t, t , , ".. t t , '."1,: r ,i ", -t'. o t.: / 

'

,.*1i !1:.. tf:Ai:; ep"1\1 rl\ 6r-4:, i-l \M !i 6*tl

2/

,..1r... 

"frlU

"Dan lrang-lrang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik￾baik (berbuat zina) dnn mereka tidakmendatangkan empat orang snk￾si, makn deralah mereka (yang menuduh itu) delnpanpuluh kali dera,

dan janganlah kamu terimn kesaksian merekn buat selama-Iamanya.

Dan mereka itulah lrang-lrnng yang fasik. Kecuali mereka yang ber￾taubat..." (An-Nur l24l : 4-51

Ayat yang mulia ini menyatakanl, "Yarmunsl muhshnnnt." Muhshnnat

adalah bentuk jamak muannats salim, artinya PeremPuan-PeremPuan

yang baik. Lantas, apakah kata ini khusus bagi perempuan ataukah ber￾laku secara umum, kemudian apakah umum secara lafal ataukah mak￾na. Zhahir ayat menyatakaan menyatakan bahwa kata tersebut khusus

untuk kaum perempuan. Namun sebagian ahli ilmu menyatakan,lnuh￾shanst adalah kata sifat untuk kata yang dihapus, kemudian mereka ber￾beda pendapat tentang penjabaran kata yang dihapus tersebut. Sebagian

mereka menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah jiwa-jiwa yang baik

-menjaga kesuciannya-. Sebagian yang lain menyatakan, bahwa mak￾sudnya adalah kemaluan-kemaluan yang terjaga. Dengan demikian,

kata tersebut umum mencakup kaum lelaki dan perempuan. Kalangan

yang menyatakan maksudnya adalah kemaluan bersandar kepada fir￾man Allah 'w, "Yang memelihara kehormatnnnya." (At-Tahrim [66] : 1-2).

Dengan demikian muhshan artinya kemaluan. Akan tetapi tidak disang￾sikan lagi bahwa takwil ini menyelisihi zhahir ayat,karena secara zhahir

yang dimaksud adalah kaum perempuan, namun dalam hal ini kaum

lelaki sama seperti kaum perempuan berdasarkan ijma'. Sehingga sisiumum kata ini berlaku secara maknawi, karena kaum lelaki dan perem￾puan tidak berbeda dalam masalah ini.

Allah ue menyebut tiga hal sebagai konsekuen si qadzaf : P ert ama,

hukuman dera. Kedua, kesaksian tidak diterima. Ketiga, dinyatakan

fasik.

Selanjutnya Allah ie berfirman, "Kecuali mereka yang bertnubnt."

(An-Nur l24l:5). Pertanyaannya, apakah pengecualian ini menghapus

ketiga hukum di atas ataukah hanya menghapus bagian terakhir saja,

ataukah menghapus hukum ketiga dan kedua? Pengecualian ini jelas

menghapus hukum yang ketiga. "Kecuali mereka yang bertaubat." Mak￾sudnya, jika mereka bertaubat dari tindakan qadzaf, maka sifat fasik hi￾lang dan kembali ke sifat adil. Tidak ada keraguan pada pengecualian

hukum terakhir ini, sebab pengecualian itu berlaku untuk kata paling

dekat yang disebut, dan yang demikian itu telah terjadi. Sebagian ulama

menyatakary pengecualian tersebut kembali kepada hukum ketiga dan

kedua. Bahwasanya ketika seseorang bertaubat dari qadzaf, kesaksian￾nya diterima. Sementara untuk hukum pertama (hukum dera) tidak bisa

ditarik lagi berdasarkan kesepakatan para ulama. Hanya saja sebagian

ulama menyatakan, hukum dera adalah hak Allah ,ie. Jika pelaku ber￾taubat sebelum ditangkap, hukuman ini gugur, artinya pengecualian

tersebut kembali kepada tiga hukum yang disebut di atas.

Kembali ke perkataan penulis, "Hukumannya adalah B0 kali cam￾buk jika ia berstatus merdeka dan 40 kali cambuk jika ia seorang budak'"

Maksudnya jika pelaku qadzaf berstatus budak maka hukumannya 40

kali dera. Para ulama menyatakary karena hukum had berlaku separuh￾nya bagi budak. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya, yakni di dalam fir￾man Allah 

'!M, , 

"Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka

atas mereka separuh hukuman dari hukuman perempuan-perempuan merdeka

yang bersuaral." ( An-Nisa' [4] : 25). Had qadzaf bagi budak ini berlaku

separuhnya, seperti halnya hukuman zinayang disebut dalam ayat.

Jadi, hukuman had bagi budak sebanyak 40 kali cambuk itu di￾dasarkan pada qiyas. Sebagian ulama menyatakan, orang merdeka

ataupun budak tetap dihukum dera sebanyak 80 kali karena ayat ber￾laku secara umum. Lantas hak atas hukuman itu untuk siapa? Tentu

untuk obyek qadzaf, di mana seseorang yang dituduh berzina tercoreng

kehormatannya, baik ia merdeka ataupun budak. Sehingga masalah ini

jelas, karena hukum had dalam hal ini milik siapa? Tentu milik Allah

Kekejian zina tidak sama antara orang merdeka dan budak, karena

itu hukumannya pun juga tidak sama. Sementara dalam hal ini siapa

yang dirugikan? Tentu pihak yang dituduh berbuat zina (obyek qadzaf).

Obyek qadzaf berkata, "Kehormatan saya tercoreng'" Tidak perduli apa￾kah ia berstatus merdeka ataupun budak. Karena itu pendapat yang

shahih menurut pendapat saya adalah pendapat kedua, bahwa budak

ataupun orang merdeka dihukum dera sebanyak 80 kali. Dalil kami

adalah firman Allah w berikut yang berlaku secara umum, "Dan lrang￾orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-bnik (berbuat zina) dan

mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, makn deralah mereka (yang

menuduh itu) delapanpuluh knli dera." (An-Nur [24] : 4). Alasan lain, kita

tidak mengenal pemberlakuan separuh hukuman bagi budak, karena

hukum dalam hal ini terkait dengan siapa? Terkait dengan orang lain,

berbeda dengan masalah zina. Dengan demikian qiyas dalam hal ini

tidak dibenarkan.36oNnmE ANRrc

alam momentum ini, menjadi kewajiban seseorang untuk

memilih nama yangbaik untuk anaknya, nama yang tidak

mengundang celaan dan hinaan bagi si anak ketika telah

dewasa. Karena, kadang kala ayah menyukai nama tertentu, hanya saja

di kemudian hari si anak menuai celaan karena nama tersebut, sehingga

menjadi celaan bagi si ayah pula. Seperti yang lazim diketahui bahwa

menyakiti seorang mukmin hukumnya haram, untuk itu seorang ayah

harus memilih nama yang baik dan disukai Allah L*v. Diriwayatkan dari

Nabi ffi beliau bersabda :

,F)t E, a, -L "i,' ;1 ,u^:ri :;i

"Nsma-namaynngpating disukai atmt aaaUn'. atrauitot dan Abdur￾rahman./t361)

Terkait dengan riwayat, "Naffia terbaik ndalah nama yang menghambn

dnn memuji," riwayat ini tidak berdasar dan tidak shahih dari Nabi M.

Selanjutnya jika ayah kurang menyukai nama Abdullah' dan Abdur￾rahman' karena sudah banyak yang menggunakan nama seruPa di sil￾silah keturunannya, dan dikhawatirkan menimbulkan ketidakjelasan

seperti yang terdapat pada silsilah keturunan keluarga besar. Bahkan

bisa jadi surat untuk seseorang nyasar ke orang lain yang seruPa nama￾nya, atau perlu menyebut nama kakek kelima misalnya. Maka, si ayah

boleh menggunakan nama lain, akan tetapi ia mesti nama yang sesuai

dan terbaik.

Haram hukumnya memberi nama berisi penyembahan untuk se￾lain Allah 'se. Tidak boleh memberi nama seperti Abdurrasul (hamba

Rasul), Abdul Husain (hamba Husain), Abdul Ali (hamba Ali), dan Ab￾dul Ka'bah (hamba Ka'bah). Ijma' mengharamkan nama-nama tersebut

seperti yang dinukil dari Ibnu Hazm, kecuali nama Abdul Muththallib.Diriwayatkan dari Nabi $, beliau bersabda, "Aku Nabi tidnkberdustn, nku

putra Abdul Muththallib.//362) Berdasarkan hadits ini sebagian ulama mem￾bolehkan pemberian nama Abdul Muththallib. Akan tetapi di dalam

hadits ini tidak ada dalil tentang kebolehan tersebut. Karena, hadits ini

disampaikan dalam bentuk khnbnr (pemberitahuan), bukan dalam ben￾tuk insya' (tuntutan). Rasulullah :1$ hanya menyebut nama kakek beliau

saja, dan si penyandang nama pun sudah tiada. Pemberitahuan berbeda

dengan tuntutan. Karena itu, menurut pendapat yang kuat tidak boleh

memberi nama anak dengan nama Abdul Muththallib. Jika ada yang

bersandar pada sabda Rasulullah S; di atas, kita bantah bahwa sabda

tersebut disampaikan dalam konteks pemberitahuan. Karena itu, misal￾nya Anda memiliki ayah yang bernama Abdurrasul, Anda boleh berka￾ta, 'Aku Fulan, putra Abdurrasul." Ini bukan sebagai persetujuan (atas

nama), tapi sekedar pemberitahuan saja. Apabila orang yang bernama

Abdurrasul masih hidup, ia mesti mengubah nama tersebut. Masalah

khabnr atau pemberitahuan lebih luas dari masalah insyn' (tuntutan). Da￾lam hal ini yang diharamkan adalah menganjurkan pemberian nama

yang tidak diperbolehkan.

Yang menjadi masalah, saat ini mulai ada nama-nama aneh yang

mulai marak dipergunakan, terlebih untuk kaum PeremPuan. Orang￾orang bercerita, ada seseorang yang memberi nama anak lelakinya

dengan nama Naktal, saat ditanya ia menjawab, "Karena Naktal adalah

saudara Nabi Yusuf '. "Fa arsil tny'ana nnktnl (sebab itu biarkan-lsh saudartr

knmi pergi bersamn knmi ngar ksmi mendnpnt jatah)." (Yusuf [12] : 53).363) Ini

disebabkan oleh ketidaktahuan, mereka ingin mendapatkanberkah dari

nama-nama yang disebutkan dalam Al-Quran, hingga mencomot be￾gitu saja tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Nama-namayarrg selaiknya

dipilih adalah yang lazim di lingkungannya dan dikenal orang pada

umumnya, di samping tidak ada larangan syariat di dalamnya. Terkait

nama-nama asing, jika menjadi kekhususan orang-orang kafir, maka

hukumnya haram, karena memberi nama seperti ini merupakanbentuk

penyerupaan yang sangat kental dan tindakan terbesar yang membuat

mereka besar hati. Ketika orang-orang muslim memilih nama-namaorang kafir, seperti George dan semacamnya, sama artinya dengan me￾ngagungkan mereka.

Untuk nama-nama malaikat, sebagian ulama menyatakan, bahwa

menggunakan nama-nama malaikat haram hukumnya. Ada juga yang

menyebut makruh. Ada pula yang menyatakan mubah. Pendapat pa￾ling sesuai adalah makruh, seperti nama Jibril, Mikail dan Israfil. Hen￾daknya kita tidak menggunakan nama-nama tersebut karena merupa￾kan nama-nama malaikat.

Terkait kata-kata yang disebut di dalam Al-Quran dan tidak men￾gandung larangan, seperti kata Sundus (sutra tipis), tidak masalah un￾tuk mempergunakannya, karena tidak mengandung larangan dan tidak

ada sikap pengagungan diri di dalamnya. Namun seperti yang telah

saya sampaikan, lebih baik memilih nama-nama yang lazirn dikenal

dan digunakan orang.

Pada dasarnya pemberian nama anak mengacu kepada ayah, ka￾rena ayah yang memiliki otoritas dalam hal ini. Meski demikian ayah

tetap harus meminta saran ibu dan saudara-saudara untuk memberi

nama anak, karena Nabi M bersabda,

$! {'F ui,,^tl,! {'* {'F

"Yang terbaik di antara kalnn adalah ,onf'r^rng baik terhadap

keluarga dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap ke￾luargaku."36a)

Sudah maklum bila seseorang bersikap terbuka dengan istri dan

meminta saran masalah-masalah seperti ini tentu baik adanya, di sam￾ping untuk menyenangkan hati. Kadang pendapat ibu dan pendapat

ayah berbeda dalam memberi nama anak. Dalam hal ini yang menjadi

rujukan adalah pilihan ayah. Namun jika memungkin kedua pendapat

disatukan dengan memilih nama lain yang disepakati kedua orang tua,

yang demikian ini lebih baik. Sebab, setiap kali diperoleh kesepakatan

itulah yang lebih baik dan menyenangkan.3IUAL Brr-r ANITNG DAN StnRNccn

idak boleh berjual beli anjing, karena Nabi $ melarang

jual beli anjing.:60) Meskipun, anjing bisa digunakan untuk

berburu. Bukankah Nabi ut membolehkan memelihara

anjing untuk tiga hal; menjaga tanaman, hewan ternak dan berburu?367)

Meski demikian anjing tetap tidakboleh diperjualbelikan meskipun un￾tuk tujuan tersebut, yakni untuk berburu.

Jika ada yang bertanya, mengaPa jual beli anjing dilarang padahal

banyak manfaatnya, sementara hewan-hewan buas yang bisa digunakan

untuk berburu tidak dilarang untuk diperjualbelikan? Kita sampaikan,

pembedaan ini berdasarkan nash. Nabi # melarang harga penjualan

anjing.:tos) Hewan-hewan buas yang bisa digunakan untuk berburu tidak

bisa diqiyaskan dengan anjing, karena masuk ke dalam firman Allah

ue. berikut yang berlaku secara umum, "Padahal Allah telnh menghnlnlknn

jual beli." (Al-Baqarah [2] : 275). Alasan lain, hewan-hewan buas lebih

ringan bahayanya daripada anjing, karena ketika anjing menjilat belana,

bejana itu harus dicuci sebanyak tujuh kali salah satunya dengan tanah,

sementara ketika hewan-hewan buas lain menjilat bejana tidak diwa￾jibkan mencucinya sebanyak tujuh kali ataupun dengan tanah. Dengan

demikian, perbedaan menjadi jelas dan qiyas tidak berlaku.

Jika ada yang bertanya, bukankah di dalam riwayat Nasai dan

lainnya disebutkan pengecualian anjing pemburu?36e) Kita sampaikan,

benar. Hanya saja,parapeneliti (muhaqqiq) dari kalangan ahli hadits dan

fiqh menyatakan bahwa pengecualian ini menyimpang, sehingga tidak

bisa dijadikan acuan. Di samping itu andai pengecualian tersebut benar,

tentu larangan Nabi ffi terhadap harga penjualan anjing sia-sia, karena

anjing yang tidakbisa digunakan untukberburu, menjaga tanaman dan

hewan ternak tidak mungkin dijual. untuk itu larangan terhadap harga

penjualan anjing berlaku bagi anjing yang bisa digunakan dan boleh

dipelihara.

serangga tidak boleh diperlualbelikan. Alasannya, karena tidak

bermanfaat. Mengeluarkan harta untuk membeli serangga berarti me￾nyia-nyiakannya, dan Nabi ffi melarang tindakan menyia-nyiakan har￾ta.370)Dari alasan ini dapat diketahui bahwa jika serangga itu memiliki

manfaat, maka boleh memperjualbelikannya, karena ada tidaknya hu￾kum terkait alasan yang ada. Di antara manfaat serangga, lintah untuk

menghisap darah dan cacing sebagai umpan untuk memancing ikan.3Junl Brlt BRNcrcRt

Bangkai tidak boleh diperjualbelikan, berdasarkan sabda Nabi $:

-'o'1,'6' /t' a;.lr G fr>

" Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli bangkai."372)

Pengharaman ini dinisbahkan kepada Allah ;e sebagai bentuk pe￾negasan, karena menisbahkan sesuatu kepada Allah, artinya memutus￾kan perdebatan yang ada dalam hal tersebut, dan mustahil ada yang

mendebat Allah ue. Allah ue mengharamkan jual beli bangkai.

Para sahabat -mereka adalah sosok-sosok yang haus ilmu- mengu￾tarakan sesuatu, mereka berkata, "Wahai Rasulullah, menurut engkau

bagaimana dengan lemak bangkai yang bisa digunakan untuk menge￾cat perahu, meminyaki kulit dan penerangan?" Perahu terbuat dari kayu

dan dicat dengan lemak sebagai pelicin agar air tidak meresap ke dalam

kayu, karena kalau air meresap ke dalam kayu akan menjadi berat. Le￾mak juga digunakan untuk meminyaki kulit. Ini sudah lazim, agar men￾jadi halus. Sebab, kulit menjadi halus bila diminyaki. Yastsshbahu bihan

nas, artinya dijadikan penerangan. Zaman dulu orang-orang menggu￾nakan lemak layaknya gas. Lemak diletakkan dalam bejana kemudian

diberi sumbu, sumbu kemudian disulut dan mengeluarkan api sebagai

penerangan. Nabi menjawab, "Tidak, ia haram."373) .

Para ulama berbeda pendapat terkait jawaban Nabi g, "Tidak, ia

htram." Ada yang berpendapat, bahwa maksudnya adalah haram mem￾perjualbelikan, karena jual beli adalah tema hadits itu. Jual beli menjadi

topik yang dibahas hadits, "sesungguhnya Allah mengharamknn jual beli

bnngkni." Para sahabat hanya bermaksud menanyakan pemanfaatan le￾mak bangkai, guna menegaskan kebolehan meperjualbelikannya. Mere￾ka menjelaskan bahwa manfaat tersebut tidak hilang percuma, sehinggaseyogyanya dimanfaatkan. Tapi Nabi ff menjawab, "Tidak, ia-jualbelile￾makbangkai- haram." Inilah pendapat yang shahih. Kata ganti yang dise￾but dalam jawaban Nabi $,' Ia hArnm," kembali kepada jual beli, bahkan

mencakup beberapa manfaat yang disebutkan para sahabat,yang demi￾kian itu karena topik yang dibahas hadits adalah jual beli. Pendapat

lain menyatakan, "laharam," maksudnya memanfaatkan lemak bangkai

untuk keperluan-keperluan yang disebutkan oleh para sahabat. Lemak

bangkai tidak boleh digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki

kulit dan digunakan sebagai penerangan. Namun pendapat ini lemah.

Yang benar, lemak bangkai boleh digunakan untuk mengecat perahu,

meminyaki kulit dan digunakan sebagai penerangan.3TMrNlUnL BARANG YANG TrDAK Drrrzur_rrcr

alah satu syarat sah jual beli adalah barang berasal dari si

pemilik atau wakilnya. Dalil syarat ini adalah Al-Quran,

As-Sunnah dan akal. Dalil dari Al-Quran adalah firman

E,?i z-.

o r r 7, , o ., t-)-z-\i V lFl;

--t /, t

:!. . -(;. Jt;;ca$:,---t

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan pernia￾gaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian..." (An￾Nisa' Ial z 29)

Seperti diketahui, tidak ada seorang pun yang rela ada orang lain

menggunakan dan menjual harta miliknya.

Dalil As-Sunnah adalah sabda Nabi g kepada Hakim bin Hizam:

'"o ' ^1 .l-w. J \, ;

,u' g

"langanlah engkau menjual barang yang bukan milikmu./'375)

Nabi ffi melarangnya menjual barang yang bukan miliknya. Mak￾sudnya barang yang tidak berada dalam penguasaannya atau ia tidak

mampu mendapatkannya, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya, in￾sya Allah.

Dalil dari akal adalah andai orang boleh menjual barang yang ti￾dak dimiliki, tentu akan menimbulkan permusuhan dan kekacauan

yang mengganggu kehidupan manusia.Jual beli pihak pengganti pemilik barang hukumnya sah. Pihak

pengganti yang dimaksud ada empat; wakil, washi, wali dan nnzhir.

Mereka inilah yang menggantikan posisi pernilik barang.

Wakil adalah pihak yang diberi izin untuk bertindak saat pemilik

barang masih hidup. Misalnya, seseorang memberikan mobil kepada

o.rang lain dan berkata, "Juallah mobil ini." Pihak penerima disebut

wakil dan jual beli yang ia lakukan hukumnya sah, karena ia menem￾pati posisi pemilik barang melalui penunjukan wakil, karena Nabi ffi

pernah menunjuk seorang wakil dalam jual beli.376t Demikian dalil dari

As-Sunnah.

Wnshi adalah pihak yang diperintahkan untuk bertindak setelah

pengangkatnya meninggal dunia. Misalnya, seseorang mewasiatkan se￾jumlah harta kepada Zaid. Zaid sebagai penerima wasiat (zaashi) boleh

menggunakan harta yang diwasiatkan untuk sesuatu yang ia anggap

pantas. Ia bukanlah pemilik harta, tetapi menempati posisi pemilik ba￾rang.

Nazhir adalah pihak yang diserahi wakaf artinya ia ditunjuk se￾bagai wakil dalam pengelolaan wakaf. Misalnya, seseorang berkata, "Ru￾mah ini adalah wakaf untuk fakir miskin, nadzir (pengelola) nya adalah

Fulan bin Fulan." Pihak yang diserahi wakaf ini juga boleh menggu￾nakan barang wakaf meski bukan pemiliknya, tapi ia menempati po￾sisi pemilik barang wakaf. Pihak ini disebut nnzhir. Umar bin Khath￾thab mewakafkan harta miliknya yang berada di Khaibar dan berkata,

"Wakaf ini diurus oleh Hafshah kemudian keluarganya yang berpikiran

cemerlang."377) Hafshah ditunjuk Umar sebagai pengurus wakaf.

Ada dua perwalian; perwalian umum dan khusus. Perwalian

umum adalah perwalian para pemimpin seperti hakim. Mereka memi￾liki kekuasaan umum dalam mengurus harta yang tidak diketahui sia￾pa pemiliknya, harta milik anak-anak yatim yang tidak memiliki wali

khusus dan harta-harta yang lain. Perwalian khusus adalah perwalian

terhadap anak yatim oleh orang tertentu, seperti perwalian paman ter￾hadap keponakannya yang yatim. Kita memosisikan paman sebagai

wali, bukan wakil, sebab haknya dalam mempergunakan harta berasal

dari jalur syariat, sementara hakwakil, wnshi dannazhirberasal dari jalur

khusus yakni pemberian oleh pemilik harta. Perwalian seorang wali

bersumber dari syariat.

Berdasarkan hal tersebut, ketika seseorang mewakilkan orang lain

untuk menjual suatu barang,lalu orang lain itu menjual barang tersebut,

maka jual beli itu sah, meski ia bukan pemilik barang, tapi ia menggan￾tikan posisi pemilik. Akan tetapi, wakil harus bertindak yang terbaik

menurut pandangannya. Ketika terdapat tambahan pada barang daga￾ngary wakil tidak boleh menjualnya hingga tambahan itu berakhir. Ber￾beda dengan orang yang berjual beli sendiri, di mana ia boleh menjual

barang dagangan di bawah harga normal. Perbedaannya adalah orang

yang menjual dagangan milik orang lain harus mendapatkan keuntu￾ngan lebih, sementara yang menjual dagangan milik sendiri boleh mela￾kukan apapun