ting yang menarik perhatian di s in i:
a. Mengenai porsi perbandingan bagian wanita dan bagian laki-laki masih
dipertahankan secara ketat bahwa bagian anak laki-laki yaitu dua
berbanding satu dengan anak perempuan (pasal 176), walaupun
sebenarnya cukup banyak orang termasuk dari kalangan umat Islam
sendiri yang menginginkan penentuan bagian yang sama antara laki-
laki dan perempuan. Tetapi karena dalil Al Quran tentang hal ini cukup
tegas kompilasi Hukum Islam menuangkannya sebagaimana itu di
atas.
b. Mengenai prinsip musyawarah dalam pembagian waris juga
dimungkinkan. Pasal 183 menentukan bahwa para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan,
setelah masing-masing menyadari bagiannya. Ketentuan ini akan
membuka peluang, setelah para pihak yang terlibat menentukan bagian-
bagian masing-masing yang seharusnya mereka terima selanjutnya
mereka tentukan secara musyawarah misalnya semua harta dibagi sama
di antara ahli waris.
c. Penentuan bagian dari masing-masing ahli waris yaitu sesuai dengan
ketentuan faraid yang umumnya ditentukan kasus per kasus seperti
dapat dilihat dalam pasal 177-182.
56
d. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik.
Pasal 189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan
pertanian yang luasnya kurang dari 2 Ha yang harus dipertahankan dan
dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga
tanahnya tetap dipegang oleh seorang ahli waris saja.
Pasal 187 mengatur tentang tatacara pembagian warisan, yang
selanjutnya harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 192 dan 193 yang ada di
bawah Bab tentang "Aul dan rad" (istilah ini perlu dicarikan padanannya
dalam bahasa negara kita ), pasal 190 mengatur tentang pembagian warisan
bagi mereka yang memiliki istri lebih dari seorang.
Masih ada ketentuan lain yang seharusnya dimasukkan dalam Bab
mengenai ahli waris yaitu tentang waris pengganti sebagaimana yang diatur
dalam pasal 185. Dengan adanya ketentuan seperti ini dalam kompilasi maka
kita sudah mengambil sikap bahwa dalam hukum Islam negara kita
dimungkinkan terjadinya penggantian tempat dalam warisan, walaupun
dalam paham yang lain hal yang demikian tidak dikenal dalam hukum Islam.
Bab V mengatur tentang wasiat (pasal 194-209) baik menyangkut
mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-
hal yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. sedang Bab VI (pasal 210-
214) yaitu tentang hibah yang hanya diatur secara singkat.
6.3 HUKUM PERWAKAFAN
Bagian terakhir atau Buku Ke-III Kompilasi Hukum Islam yaitu
tentang Hukum Perwakafan. Adapun sistematikanya yaitu sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum (pasal 215)
Bab II Fungsi, unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (pasal 216-222)
Bab III Tatacara perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (pasal 223-
224)
Bab IV Perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf (pasal 225-
227)
Bab V Ketentuan Peralihan (pasal 228)
Apa yang diatur dalam Bab ini isinya jauh lebih sedikit bilamana
dibandingkan dengan dua buku terdahulu sehingga tidak banyak hal yang
perlu dikomentari dalam bagian ini. Selain itu materi hukum yang termuat
dalam bagian ini juga sedikit berbeda dengan materi hukum yang diatur
57
dalam dua buku terdahulu yang disebut sebagai materi hukum yang bersifat
peka, maka persoalan mengenai perwakafan yaitu termasuk dalam
lapangan hukum yang bersifat sedikit agak netral.
Satu komentar yang bersifat umum dalam bagian ini ialah sebagian
besar dari Pasal-pasalnya memiliki banyak kemiripan dengan apa yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik. Hanya saja PP No. 28 Tahun 1977 terbatas pada perwakafan
Tanah milik sedang kompilasi yaitu perwakafan pada umumnya. Du
plikasi memang tidak mungkin dihindari sama sekali tetapi kenyataan yang
ada dapat menimbulkan kesan bahwa kompilasi Buku ke-III hanya
merupakan copy belaka dari PP No. 28 Tahun 1989 dengan menghilangkan
perwakafan Tanah Milik menjadi perwakafan saja.
Sesuai dengan tujuannya semula bahwa kompilasi ini akan memuat
materi hukum Islam yang diangkat dari berbagai pendapat hukum dikenal
dalam hukum Islam maka Kompilasi Hukum Islam ini harus memuat hukum
substantif dari Hukum Islam yang dalam hal ini materi hukum perwakafan
sebagaimana yang diatur dalam kita-kitab fikih. sedang PP No. 28 tahun
1977 seharusnya lebih menitikberatkan pada aspek proseduralnya yang
menyangkut masalah tata cara dan prosedur administratif lainnya. Akan
tetapi, karena PP No. 28 Tahun 1977 tidak hanya mengatur masalah
prosedural semata tetapi juga banyak yang bersifat hukum substantifnya,
maka seharusnya Kompilasi membatasi diri dari hal-hal yang bersifat teknis
dan lebih banyak memperdalam apa yang bersifat substantif itu . Hal ini
nanti dapat dilihat bilamana kita membahas materi buku ke-III Kompilasi
Hukum Islam tentang perwakafan.
Ketentuan umum, yaitu pasal 215 memuat uraian dari berbagai
pengertian. Empat pengertian yaitu wakaf, wakif, ikrar dan nadzir yaitu
mengambil over dari Pasal 1 PP No, 28 Tahun 1977. Selanjutnya
ditambahkan tentang pengertian benda wakaf dan pejabat pembuat Akta
Ikrar Wakaf. Pasal 215 ayat (7) isinya yaitu sama dengan pasal 9 ayat (2)
PP No. 28 Tahun 1977.
Mengenai fungsi wakaf yang diatur dalam pasal 216 yaitu sama
dengan apa yang diatur dalam pasal 2 PP No. 28 Tahun 1977 bahwa fungsi
wakaf yaitu mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan
wakaf. Mengenai syarat-syarat wakaf yang disebut dalam pasal 217 ayat (1)
dan (2) memiliki kemiripan dengan pasal 3 PP, sedang ayat (3) yaitu
mirip dengan Pasal 4 PP. Selanjutnya Pasal 218 mirip dengan pasal 5
sedang pasal 219 mirip dengan pasal 6 kecuali di sini ditambahkan
dengan bunyi teks dari sumpah yang harus diucapkan oleh nadzir yang tidak
58
dimasukkan dalam pasal 6 itu . Pasal 220 mirip dengan Pasal 7 dan
Pasal 222 mirip dengan Pasal 8 sedang pasal 221 yaitu merupakan
ketentuan yang hanya ada dalam kompilasi.
Mengenai tata cara perwakafan yang diatur dalam Pasal 223 mirip
dengan Pasal 9 akan tetapi karena ada semacam keinginan untuk
memaksakan pasal itu perwakafan pada umumnya dengan Pasal 9 yang
memang khusus berlaku untuk tanah maka timbul semacam kerancuan. Pasal
223 tidak menyebut sertifikat sebagai alat bukti sebagaimana Pasal 9, tetapi
dengan menyebutkan pada ayat (4) huruf b "jika benda yang diwakafkan
berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari
Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan
pemilikan benda tidak bergerak itu ", pada hal sebenarnya kalau
seandainya disebutkan sebagaimana Pasal 9 sertifikat Hak milik atau bukti
lain tidaklah serumit seperti itu di atas dan tidak akan menimbulkan
kesan untuk tanah yang sudah bersertifikat masih diperlukan bukti seperti
itu di atas. Dapat ditambahkan bahwa ketentuan yang mirip dengan apa
yang itu di atas dalam pasal 9 yaitu sebagai keterangan bahwa tanah
yang bersangkutan tidak dalam sengketa.
Hal yang sama muncul dalam masalah pendaftarkan benda wakaf
(Pasal 224) dibandingkan dengan Pasal 10 PP tentang pendaftaran wakaf
tanah milik. Dalam PP yang secara yuridis memang berkaitan dengan
pendaftaran tanah yang ditentukan dana Undang-undang Pokok Agraria dan
PP No. 10 Tahun 1961 mandaftarkan perwakafan kepada Bupati/Waliko-
tamadya yang pada waktu itu memang membawahi Sub-Direktorat Agraria
dimana untuk masa sekarang harus dibaca Kantor Pertahanan Kabupaten/
Kotamadya. Ketentuan ini memang cocok untuk tanah.
Pasal 224 Kompilasi yang mengatur Pendaftaran Benda Wakaf yang
tentunya mencakup tanah/benda tetap dan bukan tanah atau benda bergerak,
menentukan bahwa setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan
mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftar perwakafan benda
yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestariannya. Yang
menjadi tidak jelas di sini dalam pengertian apa pendaftaran dimaksud dan
apakah tugas camat untuk melakukan pendaftaran benda wakaf dimaksud
dan apa konsekuensi yuridisnya. Untuk tanah sesuai dengan ketentuan
itu di atas pendaftarannya harus kepada BPN maka masih perlu untuk
dipersoalkan apakah masih harus didaftarkan lagi sesuai dengan ketentuan
pasal 223 Kompilasi. Kalau ini hanya ditujukan kepada benda bergerak juga
59
masih tidak jelas makna dari pendaftaran yang disebutkan untuk menjaga
keutuhan dan kelestariannya.
Mengenai perubahan penggunaan benda wakaf sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 225 pada dasarnya mirip dengan pasal 11 PP, hanya saja
bedanya kalau dalam Pasal 11 untuk perubahan diperlukan persetujuan
tertulis dari Menteri Agama, tetapi dalam pasal 225 perubahan diberikan
dengan persetujuan Kepala Kantor Urusan Agama atas saran dari Majelis
Ulama Kecamatan dan Camat setempat Kalau apa yang diaturkan dalam
Pasal 225 diberlakukan juga untuk perwakafan tanah akan ada
penyimpangan yang cukup drastis dari PP No. 28 Tahun 1977.
Selanjutnya mengenai persoalan penyelesaian perselisihan benda wakaf
yang diatur dalam Pasal 226 memiliki kemiripan dengan Pasal 12 PP akan
tetapi dalam redaksi yang dapat mengundang tafsiran yang jauh berbeda.
Pasal 12 PP No. 28 Tahun 1977 merumuskan penyelesaian perselisihan
sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui
Pengadilan Agama setempat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. sedang pasal 226 berbunyi penyelesaian
perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir
diajukan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Jadi Pengadilan Agama hanya
memeriksa persoalan benda wakaf yang dalam pengertian PP No. 28 Tahun
1977 mungkin tidak menjadi kompetisi Pengadilan Agama tetapi Pengadilan
Negeri, karena Pengadilan Agama hanya berwenang memeriksa dan
mengadili perkara tentang wakaf.
Mengenai benda yang menjadi objek perwakafan, dalam pasal 50 UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditentukan dalam hal teijadi
sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain (yang sudah tentu
berkenaan dengan benda yang diwakafkan) dalam hal perkara-perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus yang mengenai
objek yang menjadi sengketa itu harus diputuskan lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 227 tentang pengawasan memiliki kemiripan dengan pasal 13
PP No. 20 Tahun 1977. Pengawasan menurut Pasal 13 hanya ditentukan
secara umum bahwa pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya
diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
sedang pasal 227 menentukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama oleh Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan
Agama yang mewilayahinya. Jadi di sini hanya dalam bentuk terbatas dan
60
Memberi wewenang/tugas tambahan kepada Pengadilan Agama untuk
melakukan pengawasan terhadap nadzir bersama-sama dengan KUA dan
MUI kecamatan.
Sekedar tambahan mengenai persoalan ini, dalam peraturan Menteri
Agama No. 1 Tahun 1978 tentang pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 diatur
tentang pengawasan dan bimbingan dalam Pasal 14 yang menentukan bahwa
pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah dilakukan oleh unit-unit
Organisasi Departemen Agama secara hirarkhis sebagai diatur dalam
keputusan Menteri Agama tentang susunan Organisasi dan tata kerja
Departemen Agama.
61
BUKU I
HUKUM PERKAWINAN
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau
pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk
bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul
yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua
orang saksi;
d. Mahar yaitu pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji
talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin
terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah yaitu harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan atak atau hadhonah yaitu kegiatan mengasuh,
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri
sendiri;
h. Perwalian yaitu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan
dan atas nama anak yang tidak memiliki kedua orang tua, orang tua
yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
Disalin dari “Kompilasi Hukum Islam di negara kita ”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
63
i. Khuluk yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan
Memberi tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah yaitu pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak
berupa bendaatau uang dan lainnya.
BABU
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam yaitu pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan yaitu sah, bila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi warga Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan itu apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak memiliki kekuatan Hukum.
64
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau
isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan
surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan
perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Pasal 9
(1) bila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang
dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan
Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat
diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
65
BAB III
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercaya.
Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih
perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria
lain, selama pinangan pria itu belum putus atau belum ada
penolakan dari pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata
cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri; ?
66
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang N o.l tahun 1974 yakni calon
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4)
dan (5) UU N o.l Tahun 1974.
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa
diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah mena
nyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi
nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat
dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan perni
kahan tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
67
Bagian Ketiga
Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara
laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung
ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
(2) bila dalam satu kelompok wali nikah ada beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi
wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita.
(3) Ababila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang
paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat
yang seayah.
(4) bila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni
sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah,
68
mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan
yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
bila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi
syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna
wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser
kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah bila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama
tentang wali itu .
Bagian Keempat
Saksi Nikah
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-
laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu
atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan.
69
Bagian Kelima
Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak berselang waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada
pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang
tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu yaitu
untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
BABY
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai
wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasar atas kesederhanaan dan kemudahan yang
dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu
menjadi hak pribadinya.
70
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) bila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh
ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum
ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar-mahar bukan merupakan rukun dalam
perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah,
tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam
keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) bila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar
belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
bila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti
dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain
yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang
mahar yang hilang.
Pasal 37
bila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang
ditetapkan, penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) bila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi
calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan
mahal dianggap lunas.
(2) bila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami
harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama
Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
71
BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita dipicu :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkan
nya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas
isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu
qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus
ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan
sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke
atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu :
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain;
72
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang
memiliki hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan itu pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya
telah ditalak raj'i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita bila pria itu sedang memiliki 4 (empat) orang isteri yang
keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah
talak raj'i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali
perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj'i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili'an.
(2) Larangan itu pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi
telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan itu putus
ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam.
73
BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk:
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2) bila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-
sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan
Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan
tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai
Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian itu dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta
probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.
Pasal 48
(1) bila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama
atau harta syarikat, maka perjanjian itu tidak boleh menghilangkan
kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
74
(2) bila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan
itu pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama
atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya
kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik
yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang
diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan itu pada ayat (1) dapat juga
diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat
perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi
harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan
pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan
bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3) Sejak pendaftaran itu , pencabutan telah mengikat kepada suami
isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak
tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat
kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan
tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh
merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak
ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri
untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan
gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
75
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan
keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan
biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.
BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melang
sungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) bila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya
masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3) bila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
76
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memiliki kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya Memberi izin kepada seorang suami yang
akan beristeri lebih dari seorang bila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disem
buhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang N o.l Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami bila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
bila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-
kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat
penilaian Hakim.
Pasal 56
77
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau Memberi persetujuan, dan permohonan
izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasar atas salah satu alasan
yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri
yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan
yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon
isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
bersangkutan.
(2) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai
kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah
perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang
masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang
calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.
78
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban
mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam
daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan
pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan bila pencegahan belum
dicabut.
Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali
permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau
denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau
pasal 12 Undang-undang N o.l Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal 69
(1) bila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan
itu ada larangan menurut Undang-undang No.l Tahun 1974 maka
ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan itu disertai
dengan alasan-alasan penolakannya.
79
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai
Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk
Memberi keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan itu diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat
dan akan Memberi ketetapan, bila akan menguatkan penolakan
itu ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsung
kan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan itu hilang dan para pihak yang ingin
kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
Perkawinan batal bila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah memiliki empat orang isteri sekalipun salah satu
dari keempat isterinya dalam iddah talak raj'i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili' annya;
c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas isteri itu pernah menikah dengan pria
lain kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul dan pria itu dan telah
habis masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki hubungan
darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang N o.l Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau
keatas.
2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu
atau ayah tiri.
80
4. berhubungan sesusuan, yaitu omg tua sesusuan, anak sesusuan dan
bibi atau paman sesusuan.
e. isteri yaitu saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan
isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan bila :
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang N o .l. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan bila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan bila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
(3) bila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat
memakai haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
81
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana itu dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau
perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama
memiliki kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumai atau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu ;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber'itikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang
tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum
antara anak dengan orang tuanya.
BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dan susunan warga .
82
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
Pasal 78
(1) Suami isteri harus memiliki tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami
isteri bersama.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) Suami yaitu kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri yaitu seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam warga .
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) Suami yaitu pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan
tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2) Suami wajib melindungi isterinya dan Memberi segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib Memberi pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
83
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya ramah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti itu pada ayat (4) huruf
a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari
isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana itu pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur bila isteri
nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-
anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman yaitu tempat tinggal yang layak untuk isteri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat ramah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berapa alat perlengkapan ramah tangga maupun sarana
penunjang lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dari Seorang
Pasal 82
(1) Suami yang memiliki isteri lebih dari seorang berkewajiban
Memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing
84
isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang
ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian
perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya
dalam satu tempat kediaman.
Bagian Keenam
Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1)
kecuali dengan alasan yang sah.
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya
itu pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-
hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami itu pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah
isteri nusyuz.
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus
didasarkan atas bukti yang sah.
BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
85
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh
olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hasiah atau warisan yaitu dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
bila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama,
maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun
harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta
suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana itu dalam pasal 85 di atas dapat
berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun
kewajiban.
86
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan
pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta
isteri
Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki isteri
lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
memiliki isteri lebih dari seorang sebagaimana itu ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga
atau keempat.
Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan
Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita
jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai,
bila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan
sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk
keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
87
Pasal 96
1. bila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri
atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa yaitu 21
tahun, sepanjang anak itu tidak bercacat fisik maupun mental atau
belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak itu mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban itu bila kedua orang tuanya
tidak mampu.
Pasal 99
Anak yang sah yaitu :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri itu .
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
88
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li'an.
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu
180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya
perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya
melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia
mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat
diterima.
Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran
atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiran alat bukti lainnya itu dalam ayat (1) tidak ada,
maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal
usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasar bukti-bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetapan pengadilan Agama itu ayat (2), maka instansi
Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama
itu mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya.
bila ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada
ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan
ibunya.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun yaitu hak ibunya;
89
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya
yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak
diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena
keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban itu pada ayat (1).
BAB XV
PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun
dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas
perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat itu .
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak itu atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum
untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya
sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan
hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya
90
bila wali itu pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan
atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban
Memberi bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya
untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang
yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan itu
menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang
tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat
kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat
(4) Undang-undang N o.l tahun 1974, pertanggungjawaban wali
itu ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap
satu tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di
bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21
tahun atau telah menikah.
(2) bila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang
mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah
perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut
kepatutan atau bil ma'ruf kalau wali fakir.
91
BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang dipicu karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasar gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama itu berusaha dan tidak berhasil menda
maikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
92
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak yaitu ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj'I yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah.
Pasal 119
1. Talak Ba'in Shughraa yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba'in Shughraa sebagaimana itu pada ayat (1) yaitu :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atau khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba'in Kubraa yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali,
kecuali bila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan
orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan hadis masa
iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny yaitu talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
itu .
93
Pasal 122
Talak bid'I yaitu talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah
dicampuri pada waktu suci itu .
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang pengadilan.
Pasal 125
Li'an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk
selama-lamanya.
Pasal 126
Li'an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya,
sedang isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran itu .
Pasal 127
Tata cara li'an diatur sebagai berikut:
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau
pengingkaran anak itu diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
“laknat Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran
itu dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran itu dengan sumpah
empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran itu tidak
benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas
dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran itu benar”;
c. Tata cara pada huruf a dan huruf b itu merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan;
d. bila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka
dianggap tidak terjadi li'an.
Pasal 128
Li'an hanya sah bila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan
Agama.
94
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta
meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
itu , dan terhadap keputusan itu dapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi.
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh
hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak
dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga,
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya memiliki kekuatan hukum tetap suami
mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri
oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah
terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak
baginya memiliki kekuatah hukum yang tetap maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan
bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan
95
pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada
suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua
Pengadilan Agama memberitahukan gugatan itu kepada tergugat
melalui perwakilan Republik negara kita setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan itu dalam pasal 116 huruf b,
dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat
meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima bila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan itu dalam pasal 116 huruf f,
dapat d