Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 7


 tukan oleh pengetahuan apapun yang berasal 

dari selain Diri-Nya atau melalui dari selain Diri-Nya. Kemudian memberikan 

anugerah berupa wujud kepada seluruh kosmos sesuai dengan pengetahuan-

Nya tentang seluruh kosmos di dalam Diri-Nya sendiri dari keabadian - tanpa 

– permulaan. Maka kosmos yaitu  bentuk dan tempat dari penjelmaan 

Pengetahaun-Nya dan Sang Real tidak akan pernah berhenti mengendalikan 

semua perkara yang adda di dalam pengetahuan dan Wujud... segala hal 

menjadi nyata, menjadi nyata dan hanya dari-Nya, sebab tidak ada wujud lain 

yang boleh meyerupai wujud-Nya.”  

  

3. Nafas Ar-Rahman: Dimensi Kalam Kun 

Nafas yaitu  sebuah “uap” yakni “melepaskan kepenatan dalam bernafas” dan 

“menghembuskan kata-kata”; melalui cara yang sama, Nafas Sang Rahman 

merupakan Awan, yang membebaskan kesempitan-kesempitan entitas-entitas abadi 

(nama-nama Tuhan) – yang menyatakan diri melalui penampakan luar – dan – 

menggerakkan firman-Nya, yakni kosmos.  

Al-Haqq telah menisbahkan Nafas kepada nama-Nya Ar-Rahman sebagaimana 

ungkapan Nabi “sesungguhnya aku mendapatkan Nafas Ar-Rahman dari sebelah 

kanan.” Ibn ‘Arabi mengatakan: 

َدايجاَنمَهيلهلإاَبسنلاَهتبلطَامَهبَمحرَهنلأَ,نحمرّلاَلىاَسفنّلاَبسنفَسفنتَبركلاَاذلهو

قلحارهاظَيهَانلقَتىلاَلماعلاَروص.111 

 “Dan sebab  ketegangan maka ia bernafas, maka menisbatkan Nafas 

kepada Ar-Rahman sebab  Dia merahmati melalui apa yang dituntutnya oleh 

relasi Ilahiyyah yakni menjadikan form-form alam yang kami katakana: “Dia 

yaitu  Dzahir al-Haqq” 

 

Penyebab dari segala kehidupan dalam beragam bentuk “benda-benda yang 

terlahirkan” (al-muwaladat) yaitu  tiupan Ilahi. Seperti dalam Firman-Nya:  

يَحورَنمَهيفَتخفنوَتيوّسَاذإف 

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan penciptaan dan telah 

Kutiupkan di dalam dirinya dari sebagian Roh-Ku” (QS. Al-Hijr [15]: 29). 

Dari hembusan “Nafas” dengannya Allah Swt. memunculkan iman dan 

menghidupkan mahluk. Dari “Nafas” tersebut juga terbentuk formasi hukum shari’at 

dan bentuk keimanan dalam kalbu menjadi hidup. Segala bentuk kosmos yaitu  

kalimah (firman) Tuhan. Ibn ‘Arabi sering mengutip ayat: 

كوَلّلٱَلوسرَيمرْمَنبْٱَىسيعَحيسملْٱَانّّإَۖهنْمَّحٌوروَيمرْمَلىإَٓاهىقلْأَهٓتمل 

 

“Sesungguhnya Al-Masih (Isa putra Maryam) tercipta melalui friman-Nya 

yang disampaikan kepada maryam” (QS. Annisa[4]: 171). 

Dua hadits yang menjadi sumber ungkapan Ibn ‘Arabi mengenai Nafas Ar-

Rahman yaitu : 

112نحمرلاَسفنَنمَانَّإفَحيرلااوبستَلا 

“Jangan engkau kutuki angin, sebab  ia berasal dari Nafas Yang Maha 

Pengasih.” 

113نَميلاَلبقَنمَنييتيأَنحمرلاَسفنَدجلأَنا 

“Aku dapati Nafas Yang Maha Pengasih menghampiriku dari arah 

Yaman.”  

Kedua Nafas dalam hadits di atas merujuk pada arti berhembus, menjadi riang, 

menyenangkan, menghilangkan kesedihan. Pada hadits pertama Nabi merujuk pada 

kenyataan bahwa angin yaitu  s/ebuah sarana dari Tuhan untuk menghibur dan 

menyenangkan mahluk-Nya, dalam hadits kedua untuk menghibur kepada sebagian 

sabahatnya dalam menghadapi tantangan dari para keraabat mereka dalam 

menjalankan misi kenabian.

Tuhan menciptakan segala yang ada di alam raya ini dengan kata Kun 

(wujudlah), dengan kata Kun Tuhan mewujudkan segala yang diwujudkan, sehingga 

tidak pernah ada apapun yang wujud kecuali keluar dari hakikat yang tersembunyi 

dari kata Kun. Sementara tidak ada sesuatupun yang tersembunyi kecuali keluar dari 

rahasianya yang selalu terjaga.115 Sebagaimana firman-Nya: 

نَوكيفَ نْكَ هلَلوقنَ نْأَهن دْرأَاذإَء يْشلَانلوْقَا نّّإ 

“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu, apabila kami 

menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (wujudlah),” 

maka ia pun jadi (wujud).”(QS. An-Nahl [16]: 40). 

 

Ibn ‘Arabi mengatakan: 


“Saya merenungkan alam raya (kawn) dan pembentukannya, 

memperhatikan apa yang tersimpan dan pembukuannya, maka saya melihat 

bahwa alam raya (kosmos) ini seluruhnya yaitu  suatu Pohon, sementara 

pangkal cahayanya berasal dari satu benih Kun di mana  Kaf al-Kauniyyah 

(huruf Kaf dari Kun) dikawinkan dengan serbuk benih “Kami telah 

menciptakan kalian.” (QS. Al-Waqi’ah: 57). Dari penyerbukan benih tersebut 

muncul buah “sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut 

ukuran.” (QS. Al-Qamar: 49). Dari sini muncul dua dahan yang berbeda dari 

satu akar yang sama. Akar tersebut yaitu  al-Iradah (kehendak), sementara 

cabangnya yaitu  al-Qudrah (Kuasa). Dari jauhar (esensi) Kaf muncul dua 

makna yang berbeda: pertama yaitu  Kaf al-Kamaliyyah (kesempurnaan) 

“pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3). 

Dan kedua yaitu  Kaf al-Kufriyyah (kekufuran) “maka diantara mereka ada 

yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kufur.” (QS. Al-Baqarah: 

253). Sementara dari jauhar (esensi) Nun dari kata Kun muncul Nun Nakirah 

(ketidak tahuan) dan Nun ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan). “Pohon 

kejadian (Alam)” (Shajaratul-Kawn) yang tumbuh dari benih Kun, ia akan 

memiliki kebahagiaan yang ada dalam rahasia Kaf-nya sebagai gambaran 

firman Tuhan: “Kalian yaitu  umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” 

(QS. Ali-Imran: 110). 

Qaysari menjelaskan bahwa Nafas ar-Rahman merupakan Sir al-Hayah yang 

merupakan al-Huwiyat al-Ilahiyyah (The Devine Epsiety) yang menyebar dan 

mengalir pada segala sesutu sebab  rahasia ini yaitu  keghaiban yang tersembunyi 

dalam Nafas ar-Rahman. Qaisary mengaitkan Sir al-Hayah kepada al-Durrah al-

Bayda’ sebab  telah mencairnya mutiara menjadi air dan api. Dikatakan air sebab  

kebersihan dan kebeningannya sementara api sebab  bersinar dan mengkilap. Saat air 

dan api bercampur maka ia menjadi asap. Dari asaplah kemudian Tuhan menciptakan 

langit dan sisanya bumi.

Segala firman mewujud di dalam Nafas, yang mana Allah melukiskan firman-

Nya yang tunggal berupa “Jadilah!” sekalipun firman ini ditunjukan pada setiap 

“sesuatu” dalam keadaan noneksistensinya. Nafas manusia yang di analogikan 

dengan Nafas yang Maha Pengasih merupakan dasar dari pandangan Ibn ‘Arabi 

tentang kosmos. Melalui 28 huruf hijaiyah nama-nama segala sesuatu di ucapkan, 

begitupula dengan kosmos  yang memiliki perpaduan 28 abjad dan kemudian 

menghasilkan sesuatu yang tercipta. Makhraj (tempat keluarnya huruf) yaitu  

sebagai “sarana” setiap pengucapan abjad. Tergantung dari mana Nafas keluar; 

melalui tenggorokan, langit-langit mulut, ujung gigi dan sebagainya. Begitupula 

dengan kosmos, setiap huruf/realita kosmos menyatakan mewujud melalui cara yang 

berbeda-beda.118 Disini Ibn ‘Arabi mengaitkan hubungan antar Nafas manusia 

dengan Nafas Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan dalam Futuhat: 


“Dari Nafas Yang Maha Pengasih, “abjad” segala yang tercipta serta 

kosmos menjadi nyata sesuai dengan tingkatan makhraj yang melaluinya 

manusia menghembuskan Nafas-Nya, sebab  manusia yaitu  mahluk yang 

paling sempurna di dalam kosmos. Itulah makhraj huruf dari 28 abjad tersebut. 

Setiap huruf memiliki sebuah nama yang dicirikan dengan maqtha’ (“tempat 

vokalisasi huruf”). Yang pertama dari huruf-huruf tersebut yaitu  ha’ dan 

yang terakhir yaitu  waw.” 

 

C. Struktur Kosmos: Lima Derajat Realitas 

Ibn ‘Arabi membangun struktur kosmologi dengan menggunakan Al-Hadrah Al-

Khamsah Al-Ilahiyyah (lima prinsip kehadiran Tuhan) yang bertitik tolak dari medan 

Wujud (esensi Dzat ) - hingga alam materi (Mulk). 

Berdasarkan lima prinsip kehadiran Wujud, struktur kosmologi dalam 

pandangan Ibn ‘Arabi  dijelaskan oleh Qaysari bahwa;  setiap medan mewakili suatu 

kehadiran atau ragam ontologis Realitas Mutlak dalam Manifestasi-Nya120 yaitu 

maqam Ahadiyyah, maqam Wahidiyyah, alam Jabarut, alam Malakut dan alam Mulk. 

 Selanjutnya, Qaysari menjelaskan: 

.

‘Pertama dari al-hadarat al-Kulliyyah yaitu  hadrat al-Ghaib al-Mutlaq 

dan alamnya yaitu  alam al-a’yan al-thabitah di al-hadrat al-‘ilmiyyah.  

Dan yang bertentangan dengannya yaitu  hadrat al-shahadat al-mutlaqah 

dan alamnya yaitu  alam al-mulk. 

Dan hadrat al-ghaib al-mudhof yang terbagi kepada yang lebih dekat pada 

al-ghaib al-mutlaq dan alamnya yaitu  alam al-arwah al-jabarutiyyah dan al-

malakutiyyah yakni alam al-‘uqul dan al-nufus al-mujarradah dan kepada 

yang lebih dekat kepada al-shahadat , dan alamnya yaitu  alam al-mithal.  

Sesungguhnya al-ghaib al-mudhof terbagi kepada dua bagian sebab  al-

arwah mempunyai form-form mithaliyyah yang sesuai dengan alam al-

shahadat al-mutlaqah dan (ia juga mempunyai) form-form yang ‘aqliyyah 

mujarradah yang sesuai dengan al-ghaib al-mutlaq.  

Dan kelima yaitu  al-hadrat yang meliputi keempat-empat alam yang 

disebut. Dan alamnya yaitu  al-alam al-insani yang meliputi seluruh alam-

alam dan seisinya.  

Maka itu alam al-mulk yaitu  mazhar alam al-malakut dan ia yaitu  al-

alam al-mithali al-mutlaq dan ia pula yaitu  mazhar alam al-jabarut yaitu 

alam al-mujarradat, dan ia pula yaitu  mazhar alam al-a’yan al-thabitah, dan 

ia yaitu  al-asma al-Ilahiyyah dan al-hadrat al-wahidiyyah dan ia pula yaitu  

mazhar al-hadrat al-ahadiyyah.’   

 

Sebagian para Arifin menerangkan bahwa al-hadrat al-khams seperti halnya 

yang dilansir oleh Izutsu seperti yang tertera pada skema berikut: 

 

 


 

Hadrat pertama yaitu  al-Haqqyang belum termanifestasi yaitu al-hadrat al-

ghaib al-mutlak. Kedua al-Uluhiyyah yaitu al-hadrat al-asma wa al-sifat. Ketiga 

yaitu  al-Rububiyyah (al-hadrat al-af’al). Keempat yaitu  al-hadrat al-amsal wa l-

khayal. Kelima yaitu  hadrat al-hisiyyah.122  

Seperti yang dilansir oleh Muhammad Baqir dari penjelasan diatas, Qaysari 

memisahkan antara al-hadrat dan al-alam bahwa setiap al-hadrat (kehadiran 

didalamnya) memiliki alamnya sendiri. Qaysari menjelaskan bahwa al-hadrat 

dimulai dari dua titik ekstrem yakni Hadrat al-ghaib al-mutlaq dan Hadrat al-Shahadat 

al-mutlaq. Seperti skema di bawah ini123 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertama yaitu yang tersembunyi (al-ghaib) dan yang paling nyata (al-shahadat). 

Kehadiran pertama yaitu  al-hadrat al-Kuliyyah, atau al-hadrat al-ghaib al-mutlaq 

yang merupakan alam a’yan thabitah di maqam al-Wahidiyyah dan ini menunjukkan 

 


 

bahwa a’yan thabitah merupakan kehadiran al-ghaib, al-mutlaq (kehadiran al-

Dzat ).124 

Kedua yaitu  al-hadrat al-shahadat al-mutlaqah dan alamnya yaitu  alam al-

Mulk.  

Kemudian al-hadarat al-ghaib al-mudhof terbagi menjadi dua kehadiran. 

Pertama, yang dekat dengan al-ghaib al-mutlak. Kedua, yang dekat d engan al-

shahadat al-mutlaqah. Yang pertama yaitu  alam al-uqul dan al-nufus al-

mujarradah. Dan alam kedua yaitu  alam mithali.  

Yang terakhir yaitu  al-hadrat al-jami’ah (the all comprehensive presence)  

yaitu kehadiran yang meliputi seluruh kehadiran dan alamnya yaitu  alam al-insan 

yang meliputi seluruh alam dan insan yaitu  tanda kehadiran yang ‘all-

comprehensive’.125 

Kemudian penjelasan lainnya bahwa kehadiran Tuhan juga kadang diistilahkan 

dengan modus eksistensi-Nya melalui 4 tahapan.126 Tahap inti yaitu realitas tertinggi 

bahwa Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri dibungkus dalam persembunyian 

secara abadi tidak diketahui kecuali oleh diri-Nya sendiri. Tahap eksistensi umum 

(wujud amm) bahwa eksistensi Absolut yang diidentifikasi Qur’an sebagai 

kebenaran. Aspek swa-pengungkapan Tuhan melalui pancaran paling suci yang 

didalamnya mengandung manifestasi aktif, niscaya, Ilahiyah, pasif, kontingen, 

makhlukiyah. Manifestasi Esensi pada dirinya sendiri yang subjektif bagi Tuhan di 

mana  kesempurnaan esensial-Nya dan kecenderungan menjadi termanifestasi bagi-

Nya. Tahap eksistensi relatif (wujud idafi) bahwa eksistensi Absolut dikondisikan 

oleh indeterminasi namun bebas untuk menghubungkan dirinya dengan sesuatu. 

Tahapan terkahir yaitu  tahap eksistensi komprehensif (wujud jami) bahwa dunia 

empiris, dunia indera, pengalaman inderawi, di mana  Realitas eksistensi terbagi 

menjadi entitas-entitas partikular dan individual. 

 

1. Ahadiyyah: Maqam Dzat  

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa al-hadrat pertama yaitu  al-Haqq 

dalam al-hadrat al-Ghaib al-Mutlak yang kadang juga diistilahkan sebagai tajalli 

ghaib. Haqiqat al-Ghaib juga dinamakan sebagai manifestasi tajalli pertama yang 

disebut juga sebagai “at-tajalli al-ahadiy al-Dhati” juga sekaligus partikulasi 

pertama atau al-ta’ayyun al-awwal -“the First Entification”127 dari haqiqat al-Wujud. 


Ta’ayyun yaitu  “ahadiyyat al-jam” atau “martabat al-ahadiyyah”. Pada martabat 

ini semua Asma’ dan Sifat hilang (al-mustahlak) dan tenggelam, artinya tidak ada 

distinct antara Asma’ dan Sifat. Dengan kata lain Asma’ dan Sifat belum menjadi 

nyata. Semuanya berada di dalam martabat ini secara sintesis dalam wujud tunggal. 

Qaysari menjelaskan: 


“Haqiqat al-wujud ketika dilihat sebagai haqiqat yang disyaratkan tidak 

bersama dengan apapun, maka ia dinamakan oleh kaum sufi sebagai “al-

martabat al-Ahadiyyah” yang mana seluruh Asma’ dan sifat hilang di 

dalamnya. Dan ia juga dinamakan sebagai “jam’ al-jam” atau “haqiqat al-

Haqaiq” atau “al-‘Ama.” 

 

Maqam al-Ahadiyyah disebut juga al-‘Ama’. Martabat al-‘Amaiyyah berasal 

dari hadits Nabi ketika seorang Arab datang kepada Rasul dan bertanya: 


“Di mana kah Rabb kami sebelum Dia mencipta Ciptaan? Nabi menjawab: 

Dia berada di awan (al-‘Ama’) yang diatasnya tiada udara (al-hawa’) dan 

dibawahnya juga tiada hawa’.(HR. Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad-Hasan). 

Para Sufi memberikan tafsiran yang berbeda mengenai haqiqat al-‘Ama’.130 

Mulla Abd al-Razzaq al-Qashani menyatakan bahwa al-‘Ama’ yaitu  maqam al-

Ahadiyyah131 atau ta’ayyun al-awwal. sebab  maqam al-Ahadiyyah berada dalam 

hijab keagungan dan di langit transenden sehingga tidak ada akses sama sekali untuk 

mengenalinya. Sebagian Urafa selainnya menyatakan, martabat al-‘Imaiyyah yaitu  

maqam al-Wahidiyyah, sebab  ia berada diantara langit kemutlakan dan bumi relatif. 

Sebagaimana awan berada antara langit dan bumi, begitu juga maqam al-Wahidiyyah 

 

yang merupakan barzakh diantara wahdat al-Haqq (ketunggalan al-Haqq) dan 

kastrat al-khalq (ke-banyakan al-khalq). 

Mulla ‘Abd al-Razzaq mengkritik pendapat kedua sebab  menurut beliau, 

pendapat itu tidak konsisten dengan hadith Nabi.133 Dalam hadith, orang A’rabi 

bertanya kepada Nabi tentang Tuhan sebelum Dia mencipta ciptaan. Dan ketika Nabi 

menjawab “Dia berada di ‘Ama’.” Jelas maqam ‘Ama’ seharusnya berada diatas dan 

sebelum ciptaan. Sedangkan maqam al-wahidiyyah menurut Qashani, yaitu  maqam 

yang “muta’ayyan” yaitu determinasi dan manifestasi. Dan setiap yang “muta’ayyan” 

yaitu  mahluk (created). Maka maqam ‘Ama’ harus berada diatas maqam al-

Wahidiyyah, yaitu al-Ahadiyyah.134  

Persoalan kritikan diatas sepertinya terfokus pada ukuran “makhuqiyyah” 

(kemakhlukan) atau “ma’luliyyah” (al-ma’lul yaitu efek dari satu sebab). Apakah 

yang menyebabkan sesuatu itu menjadi makhluk? Menurut sebagian guru ‘Irfan, 

ukurannya yaitu  ‘al-wujud al-khariji135 (external concrete existence) setiap haqiqat. 

Al-Haqaiq dalam martabat al-Ahadiyyah136 dan al-Wahidiyyah semuanya disaksikan 

al-Haqq namun  masih berada dalam level wujud al-‘ilmi. Kemudian al-Haqq akan 

mewujudkan mereka dalam level wujud al-khariji atau al-‘aini.137 Jika dalam 

sebagian riwayat haqaiq yang berada dalam level “ilmi” dikatakan “al-khalq” atau 

sebagian Asma dianggap makhluk, kata “khalq” disitu sebenarnya artinya yaitu  

“taqdir” yaitu sesuatu yang ada kadarnya.   

namun , sebenarnya kedua maqam: al-Ahadiyyah dan al-Wahidiyyah bisa 

dikatakan sebagai “al-‘Ama’”. Para ‘Arifin seperti Qunawi terkadang menyatakan 

bahwa al-Ahadiyyah yaitu  “al-‘Ama’”, dan terkadang al-Wahidiyyah yaitu  “al-

‘Ama’.”  

 


Tajalli ini dinamakan “kamal al-Jala”-the perfectness of disclosure138- yaitu  

“origin” tajalli selanjutnya dan sebab yang membangkitkan manifestasi berbeda 

semua haqiqat dalam maqam al-Wahidiyyah. Tajalli dalam maqam al-Wahidiyyah ini 

sebenarnya berasal dari “raqiqat al-‘ishqiyyah al-tanzihiyyah” - the subtle love which 

causes incomparableness - yang menghubungkan antara dua kesempurnaan yaitu al-

Ahadiyyah dan al-Wahidiyyah. Tajalli dalam al-Ahadiyyah sebenarnya beserta 

dengan cinta pada Dirinya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadth “..maka Aku cinta 

agar Aku dikenali...”. Cinta inilah sumber semua “katsrah” yang tenggelam dalam 

al-ahadiyyah termanifestasi dalam al-wahidiyyah. Dan ia dinamakan sebagai “kamal 

al-istijla” 139- the perfectness of disclosureness.  

Maka, raqiqat al-‘ishqiyyah di-ta’bir-kan sebagai “kamal al-istijla” yang 

menyebabkan termanifesatsi haqiqat al-Wujud dalam form Asma dan Sifat secara 

berbeda dalam maqam al-Wahidiyyah. 

 

2. Wahidiyyah: Maqam Rububiyyah 

Al-hadrat al-Wahidiyyah yaitu  mazhar dari al-hadrat al-Ahadiyyah140 

Martabat ini diistilahkan juga dengan maqam Rububiyyah. Pada martabat rububiyyah 

atau dalam derajat wujud wahidiyyah semua nama termanifestasi. Seperti halnya 

yang dijelaskan oleh Qaysari dalam Sharh  Fusus al-Hikam bahwa dalam martabat 

wahidiyyah, mazahirnya al-Asma dan al-Shifat yaitu al-a’yan yang dinamakan 

sebagai martabat rububiyyah. 141 

Di martabat ini, al-A’yan akan dimanifestasikan dari wujud ilmiyyah kepada 

level wujud konkrit sesuai dengan level isti’dadd (kesiapan) mereka. Form atau 

kualitas manifestasi disebut al-Shifat, sementara esensi dalam form yaitu  kualitas 

al-Ism seperti halnya ketika esensi termanifestasi dalam ar-Rahmah (sifat 

kesayangan) akan terlihat sebagai ar-Rahman (Sang Penyayang) atau al-Qudrah 

yaitu sifat kekuasaan akan terlihat sebagai al-Qodir yaitu sebagai Sang Penguasa. 

Maka dari itu, beragam nama akan terjadi sebab  adanya beragam Shifat.142 

Penjelasan Qaysari terkait dengan al-Katsroh atau multivisitas terjadi perbedaan 

pertama dalam Realitas.143 

Penjelasan Qaysari mengenai nama (al-Asma) yaitu  manifestasi Dzat al-Haqq. 

Nama hanyalah indikasi kepada Realitas al-Rahman, al-Ghafur dan seterusnya. Jadi 

nama yang disebut yaitu  nama bagi nama yang secara metafisik yaitu  Realitas atau 

manifestasi al-Haqq. Yang berarti nama di sini bukanlah sebutan namun  merupaka 

manifestasi. Dengan kata lain, nama yaitu  sesuatu yang mengindikasikan atau 

merefleksikan objek yang dinamakan.   

Selanjutnya Qaysari menerangkan bahwa al-Asma dan al-Shifat dalam derajat 

rububiyyah atau wahidiyyah muncul dari maqam ahadiyyah yang diistilahkan sebagai 

mafatih al-Ghaib. Di mana  keberadaan mafatih al-Ghaib berada dalam batin Dzat 

al-Wujud yang merupakan makna-makna Inteligible (al-ma’qulah).144 Qaysari juga 

menjelaskan bahwa keberagaman al-Asma dari sisi al-Ilmu al-Dzat i, ilmu disini 

bermakna kesaadaran Dzat terhadap diriNya yang diisyaratkan dalam hadis kanzan 

makhfi. Kata kuntu yang bermakna “Aku” yaitu  "Iam”. Kesadaran inilah yang 

menyebabkan kesempurnaan diriNya dalam martabat Ahadiyyah. Nisbah terhadap 

kesempurnaan Dzat -Nya adaalah sumber munculnya nama-nama yang diistilahkan 

sebagai mafatih al-Ghaib al-Mudlof yakni mafatih ghaib yang memiliki relasi kepada 

Dzat al-Haqq.145  

Dalam maqam al-Wahidiyyah seluruh Asma dan Sifat akan termanifestasi secara 

berbeda. Qasyari menyatakan:  

“Ketika haqiqat al-wujud dilihat sebagai haqiqat yang disyaratkan 

bersama sesuatu, baik ia disyaratkan dengan segala yang lazim bagiNya, 

Universal (kulli) maupun partikular (juz’i), disini Ia dinamakan sebagai al-

Asma’ dan al-Sifat yaitu al-martabat al-Ilahiyyah yang diistilahkan disisi 

mereka sebagai al-Wahidiyyah dan “maqam al-jam”. 

Dan martabat yang sama ini ketika dilihat sebagai haqiqat yang 

menyampaikan mazahir al-asma’ yaitu al-A’yan dan al-Haqaiq kepada 

kesempurnaan yang layak untuknya sesuai dengan isti’dadd mereka dilevel 

konkrit, ia dinamakan sebagai martabat al-Rububiyyah.” 

 Haqiqat al-Wujud ketika memanifestasikan Diri-Nya dalam form al-Asma dan 

al-Sifat secara berbeda dalam maqam al-Wahidiyyah, juga dipanggil sebagai 

martabat al-Ilahiyyah. Di martabat ini, al-Asma akan ternyata (mazahir al-Asma’) 

dan termanifestasikan dalam form al-A’yan al-Thabitah atau al-Haqaiq. Al-‘A’yan 

disini masih berada dalam wujud ‘ilmiyyah. Kemudian, al-‘A’yan akan 

dimanifestasikan dari level wujud ‘ilmiyyah kepada level wujud konkrit sesuai 

dengan isti’dadd 147 mereka. Dari sisi ini (yaitu mewujudkan al-‘A’yan dari level ilmu 

kepada level konkrit), martabat ini diistilahkan sebagai martabat al-Rububiyyah. 

Nama-nama dan sifat Ilahiyyah yang merupakan manifestasi dari esensi 

dimaqam ini terlihat sebagai entitas eksistensial yang terpisah dan konkrit.148 

Sampai disini, sudah dijelaskan “origin” manifestasi al-Asma dan al-Sifat secara 

berbeda di maqam al-Wahidiyyah. Qasyari juga menjelaskan bahwa “origin” 

merupakan multiplicity al-Asma. 

Haqiqat al-Wujud dalam kemutlakan-Nya (Absolutness) yaitu  haqiqat yang 

tidak terbatas (Infinite). Dan dalam ketidakterbatasan-Nya Ia memanifestasikan 

diriNya (Self-Disclosure).149 Manifestasi ini dalam istilah ‘Irfan yaitu  “al-

Tajalliyat” dan “al-syu’unat”. Tajalli terjadi dalam berbagai rupa dan juga dalam 

berbagai derajat atau al-maratib.150  

Rupa atau kualitas manifestasi yaitu  al-Sifat, sementara Essensi dalam rupa 

atau kualitas yaitu  al-Ism. Dengan kata lain, Esensi ketika termanifestasi dengan 

satu sifat tertentu yaitu  nama. Seperti, Esensi yang termanifestasi dengan al-

Rahmah (yaitu sifat kesayangan)  akan terlihat sebagai al-Rahman (yaitu Penyayang), 

atau al-Qudrah (yaitu sifat kekuasaan) akan terlihat sebagai al-Qadir (yaitu 

Penguasa). Maka itu, banyaknya (multipicity) Nama akan terjadi sebab  ada 

banyaknya sifat. Dalam manifestasi inilah terjadinya “multiplicity” atau “al-katsrah” 

berbeda yang pertama dalam Realitas151. 

Qasyari menjelaskan, multiplicity al-Sifat sebenarnya terbangkit dari maratib al-

ghaibiyyah al-sifat.152 Ketika di maqam al-Ahadiyyah, al-Asma dan al-Sifat 

sebenarnya belum ada secara berbeda, namun  bisa dikatakan ia sudah ada secara 

sintesis dalam keberadaan tunggal maqam tersebut. Al-‘Asma’ dan al-Sifat di maqam 

itu masih ghaib, dan belum termanifestasi. Dalam keghaiban ini, al-‘Asma’ dan al-

Sifat diistilahkan sebagai Mafatih al-Ghaib.  

Qaysari juga menerangkan bahwa keberadaan Mafatih al-Ghaib ini dalam batin 

Dzat al-Wujud tidak berbeda dari keberadaan Dzat . Ia yaitu  makna-makna yang 

“intelligible” (al-ma’qulah) dalam ghaib al-wujud al-Haqq. Semua ‘al-ta’ayunat” 

dan “al-syu’unat” Dzat akan menjadi “muta’ayyan” lewat Mafatih al-Ghaib ini. Dan 

Ia sama sekali tidak akan menjadi maujud (existent) dengan keberadaan konkrit. 

Maka itu, ia hanya maujud dengan keberadaan ilmiyyah dan ma’dum (non-existent) 

dalam level wujud konkrit. Namun, ia tetap mempunyai “al-atsar” (effect) dan “al-

hukm” (property)

Qaysari menyatakan; multiplicity al-Asma dari satu sisi, berasal dari “al-‘ilm al-

Dzat i”. Ilmu ini yaitu  ilmu atau kesadaran Dzat terhadap DiriNya, yang 

diisyaratkan dalam hadith al-khanz al-makhfi dengan kata “Kuntu” yaitu “Aku 

yaitu ” (I am). Kesadaran al-Haqq terhadap DiriNya yaitu  sebab kesadaranNya 

terhadap semua kesempurnaan diriNya dalam martabat al-Ahadiyyah. Dzat al-Haqq 

nisbah kepada kesempurnaan tersebut yaitu  sumber empat Nama-Nama. Dan empat 

Nama ini diistilahkan sebagai “Mafatih al-Ghaib al-mudhof” yakni Mafatikh al-

Ghaib yang berelasi kepada Dzat al-Haqq. Dan empat nama ini yaitu  “al-‘ilmi” 

yaitu “al-zuhur” atau manifestasi “al-wujudi” yaitu “al-wijdan” atau penemuan, “al-

nuri” yaitu “al-izhar” atau menyatakan dan al-shuhudi yaitu al-hudur atau 

kehadiran. Setelah kesadaran terhadap kesempurnaan tersebut, mahabbah dan ‘Ishq 

Ilahi (Divine Love) akan melazimkan manifestasi Dzat dalam form al-Asma dan al-

Sifat secara berbeda.154 

Nama-nama Tuhan bagi Ibn ‘Arabi juga disebut barzakh (perantara posisi atau 

tengah) antara Tuhan dan alam. Penjelasan Ibn ‘Arabi dirujuk oleh Kautsar sebagai 

berikut: 

“Maka nama-nama Ilahi yaitu  barzakh antara kita dan Objek Yang 

Dinamai. Nama-nama itu mempunyai penglihatan kepada-Nya sebab  mereka 

yaitu  nama-nama-Nya, dan nama-nama itu mempunyai penglihatan kepada 

kita sebab  mereka memberikan kepada kita akibat-akibat yang berasal dari 

Objek Yang Dinamai. Maka nama-nama itu membuat Objek Yang Dinamai 

diketahui dan membuat kita diketahui.”155 

Setiap nama Tuhan dipahami sebagai hubungan antara Al-Haqq dan al-khalaq, 

yang satu dan yang banyak. Asmaul Husna yang tidak terbatas jumlahnya dimaknai 

sebagai penyebab yang berelasi dengan ciptaanNya. 

Dari penjelasan di atas mengenai al-Asma tidak ragu lagi bahwa  al-Asma yaitu  

manifestasi Dzat al-Haqq, dan Ia bukanlah nama yang disebut, seperti sebutan al-

Rahman, atau al-Ghafur. sebab  ia hanyalah sebutan yang mengindikasi kepada 

realitas al-Rahman atau al-Ghafur. Maka itu Nama atau al-Ism dalam metafisika 

yaitu  realitas atau manifestasi al-Haqq. Jadi, nama yang disebut sebenarnya yaitu  

nama bagi Nama156. 

Sebenarnya Dzat Tuhan tidak terjangkau oleh pengetahuan manusia sebab  Dzat 

-Nya terbebas dari hubungan dengan nama-nama Tuhan dan alam. sebab  hanya 

Tuhan lah yang mengetahui Dzat Tuhan itu sendiri. Penjelasan Ibnu ‘Arabi yang 

dikutip oleh Kautsar sebagai berikut: 

“Dari segi dirinya, Dzat Tuhan tidak mempunyai nama, sebab  Dzat itu 

bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama 

yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan 

pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, 

namun  pintu [untuk mengetahui Dzat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain 

Allah, sebab  tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.”157 

Ketidakbutuhan Dzat Tuhan kepada alam berarti pula ketidakbutuhannya 

kepada nama-nama. Penjelasan Ibnu ‘Arabi yang dikutip oleh Kautsar sebagai 

berikut: 

“Apabila Dzat Tuhan tidak butuh pada alam semesta, ketidakbutuhan itu 

sama dengan ketidakbutuhan-Nya kepada hubungan nama-nama-Nya, sebab  

nama-nama itu tidak hanya menunjukkan Dzat -Nya, namun  menunjukkan pada 

obyek-obyek yang dinamakan yang berbeda dengan Dzat itu. Hal itu 

dibutuhkan oleh akibat (efek) nama-nama itu”158 

Pernyataan Ibn ‘Arabi sering bertentangan dan terkesan tidak konsisten antara 

satu dengan yang lain. namun  jika dianalisis dengan mendalam sebenarnya hanya 

sebab  Ibn ‘Arabi ingin menekankan sisi tanzih dan sisi tashbih.  

Setiap ada Nama (al-Ism) pasti ada yang dinamakan (al-Musamma). Para ‘Arifin 

sering menyatakan bahwa Nama yaitu  identik dengan yang dinamakan. Dengan kata 

lain, nama yaitu  satu dengan yang dinamakan. Jelas maksud mereka dari Nama 

dalam pernyataan ini, bukanlah nama sebutan namun  Nama sebenarnya yaitu 

manifestasi159. 

Nama yaitu  sesuatu yang mengindikasikan atau lebih tepat lagi mereflesikan 

objek yang dinamakan. Setiap refleksi seperti yang ada pada cermin akan 

merefleksikan seluruh objek refleksi. Ketika diletakkan satu bunga merah didepan 

cermin, sudah pasti didalam cermin akan ada refleksi bunga merah yang persis identik 

dengan bunga merah (objeknya). Dan jelas sekali bahwa refleksi itu tidak pernah 

mempunyai identitas sendiri. Identitasnya yaitu  identitas objek yang direflesikan. 

Maka itu refleksi yaitu  identik dengan objek refleksi. Namun, antara dua ini masih 

ada perbedaan, sebab  satu yaitu  refleksi dan satu lagi yaitu  objek refleksi,


Qaysari mengisyaratkan kepada pembagian Sifat. Ada Sifat al-Ijabiyyah161 dan 

Sifat al-Salbiyyah.162 Dan Ijabiyyah terbagi kepada haqiqiyyah163 dan idafiyyah.164 

Dan Idafiyyah pula terbagi kepada idafiyyah murni daan idafiyyah yang berelasi 

dengan yang lain. Seperti yang tertera pada diagram berikut: 

 

 

 

 

 

 

 

Muhammad Baqir selain menjelaskan pembagian sifat al-Ijabiyyah dan al-

Sabiyyah juga menjelaskan tentang sifat Jalaliyyah, sifat Al Muhith, serta Ummahat 

Al-Asma. Sifat Jalaliyyah yaitu  sifat yang berkaitan dengan al-Qahr yaitu 

keagungan. Sementara sifat Jamaliyyah yaitu  sifat-sifat yang berkaitan dengan al-

Rahmah dan al-Lutf yaitu kasih sayang dan kehalusan. Dengan kata lain, sifat Jalali 

yaitu  transendensi al-Haqq, dan ini berarti Dia akan terhijab dengan hijab 

Keagungan. Dan sifat Jamali yaitu  immanensi165 yang berarti Dia sangat dekat 

sekali kepada segalanya, dan Dia akan mendekat. 

namun  di batin setiap sifat Jalal ada Jamal, begitu juga dalam batin setiap sifat 

Jamal ada Jalal. Ketika Sifat Jalal yang tajalli dan termanifestasi, ini berarti yang 

Maha Agung telah memanifestasi dan mendekatkan DiriNya. Seorang ‘arif yang 

meyaksikan Keagungan ini akan menjadi hampir hancur kalau tidak sebab  al-

 


Rahmah yang Jamali yang ada di batin al-Jalal166. Dan ketika sifat Jamal yang tajalli 

dan termanifestasi, ini berarti yang Maha Indah namun  sekaligus Maha Agung telah 

menampakkan DiriNya. Seorang ‘arif yang menyaksikan Keindahan ini, ketika 

mendekati al-Haqq akan semakin heran sebab  tidak bisa meraihNya. Ibn ‘Arabi 

menyimpulkan bahwa tajalli nama-nama sebagai representasi dari eksistensi 

substansial-Nya tidak mudah dipahami, hal ini tergantung pada kadar pengetahuan 

dan derajat keutamaan pada ‘arif.167 

Al-Muhith yang berasal dari kata “al-ihathah” yaitu “encompassing” atau 

meliputi. Sifat al-Muhith total berarti ia meliputi segala sesuatu dan tidak sesuatupun 

yang keluar dari wilayahnya. Dan sifat ini yaitu  induk dari sifat atau “al-ummahat” 

(secara literal artinya ibu-ibu sifat), yang dinamakan sebagai “al-Aimmah al-Sab’ah” 

(Tujuh Imam); al-hayat (kehidupan), al-‘ilm (ilmu), al-iradah (kehendak), al-qudrah 

(kuasa), al-sam’ (pendengaran), al-bashar (penglihatan) dan al-kalam 

(pembicaraan)168. 

Walaupun sifat-sifat ini yaitu  dasar bagi sifat-sifat selainnya, di antara tujuh 

Sifat ini, ada yang tergantung pada sebagian lainnya. Seperti keberadaan al-‘ilm yang 

tergantung atau bersyaratkan kepada al-hayat dan al-qudrah, begitu juga al-iradah 

yang bersyaratkan kepada al-iradah yang bersyaratkan kepada al-hayat dan al-

qudrah. Namun al-sam’u, al-bashar dan al-kalam pula bersyaratkan kepada al-hayat, 

al-qudrah, al-‘ilm dan al-iradah. Namun di antara tujuh Sifat ini, sifat al-hayat yaitu  

yang paling universal, sebab  semua enam sifat-sifat selainnya tidak termanifestasi 

tanpanya169. 

Ummahat al-Asma yaitu  al-Awwal, al-Akhir, al-Zahir, al-Batin, al-Awwal, al-

Akhir, al-Zahir, al-Batin. Dan semua empat Nama ini berada dalam satu Nama yaitu 

Nama Allah atau al-Rahman170. Seperti yang diisyaratkan dalam firman Ilahi: 

وَعدْاَوأَاللهاوعدْاَلقنىسلحاءآسملأاَهلفَاوعدتَامّيّاأَنحمرّلاَا  

“Katakan: serulah Allah atau al-Rahman. Yang mana saja kamu seru, maka 

Dia mempunyai al-Asma al-Husna.”(QS. Al-Isra [17]: 110). 

 

A. E. Afifi menjelaskan bagaimana Ibn ‘Arabi membahas Nama-Nama Tuhan 

dan atribut-atribut-Nya di dalam Futuhat, bahwa Ibn ‘Arabi mengidentifikasikan 

Nama-Nama Tuhan dengan apa yang ia namakan “al Hadarat“ kehadiran Tuhan 

sebagai metode pertama yang diinterpretasikan dalam bentuk Nama-Nama. Bahwa 

setiap Hadarat yaitu  pengungkapan (mewahyukan) dua implikasi dari satu nama 

Tuhan yakni aspek imanen-Nya dan transenden-Nya.171 

Setiap satu dari Nama Allah dan al-Rahman mempunyai Nama-Nama dibawah 

naunganNya. Dan setiap nama yaitu  mazharnya (yaitu empat zohirnya) secara azali 

dan abadi. Maka keazalianNya itu dari nama al-Awwal, dan keabadianNya dari nama 

al-Akhir, zuhurNya dari nama al-Zohir dan kebatinNya dari nama al-Batin. Nama-

Nama yang berkaitan dengan al-Ibda’ (kreatifitas) dan al-ijad (mewujudkan) berada 

dibawah naungan Nama al-Awwal, dan nama-nama yang berkaitan dengan al-i’adah 

(mengembalikan) dan al-jaza’ (pengganjaran) berada dibawah Nama al-Akhir. 

Nama-Nama yang berkaitan dengan kezahiran dan kebatinan berada dibawah 

naungan al-Zahir dan al-Batin. Maka itu segala sesuatu tidak kosong dari empat 

perkara ini; kezohiran, kebatinan, keawalan, dan keakhiran172. 

Qaysari menjelaskan bahwa Dzat yang termanifestasi dalam Asma yaitu  tajalli. 

Tajalli Dzat i yaitu  asma Dzat iyah. Tajalli Fi’ly yaitu  asma af’al. Tajalli sifat 

yaitu  asma sifat. Semua itu termanifestasi dalam Al-fayd Al muqaddas.173 Jika al-

Asma al Dzat iyyah yang termanifestasi dalam mazhar, tajalli itu disebut sebagai al-

tajalli al-Dzat i. Jika al-Asma al-Sifatiyyah yang termanifestasi dalam mazhar, tajalli 

itu dipanggil  al-tajalli al-sifati. Dan jika al-Asma al-Af’aliyyah yang termanifestasi 

dalam mazhar, tajalli itu diistilahkan sebagai al-tajalli al-fi’li174. 

3. Tiga Derajat Kosmos 

Menurut Ibn ‘Arabi kosmos ada dua jenis yaitu alam kabir dan alam soghir175. 

Penjelasan lainnya bahwa kosmos yang berfungsi sebagai ayat dalam jiwa manusia 

dan dalam horizon alam (QS. Fussilat [41]: 53), dengan demikian kosmos yang 

merupakan ayat atau tanda keberadaan Ilahi menjadi dalil eksistensial dan bukti 

(prove) tentang wujud Tuhan. Sehingga kosmos dalam pemahaman ini ada dalam dua 

dimensi yakni dimensi makrokosmos (Jabarut–Malakut–Mulk) dan dimensi 

mikrokosmos (Ruh–Jiwa–Raga), serta kesempurnaan manifestasi dalam dimensi 

insan kamil seperti halnya yang akan dijelaskan berikut ini. 

a. Dimensi Makrokosmos (Jabarut – Malakut – Mulk)  

Kehadiran Ilahi dalam bentuk al-Kawn atau alam kabir dimanifestasikan dalam 

beragam bentuk mulai dari alam ide hingga alam-alam yang dapat di indera (min al-

‘alam al ma’qul ila al-alam al-mahjuj). Segala potensi akan menjadi aktual dan 

empiris mulai dari alam arwah (rohani), alam mitsal (barzakh), alam ajsam 

(jasmaniah). Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi  di bawah ini yang dirujuk oleh 

Qaysari: 

Setiap alam di derajat bawah yaitu  mazhar dan tanda bagi alam di derajat 

atasnya. Maka itu, alam mulk yaitu  mazhar alam al-malakut yaitu al-‘alam 

al-mithali al-mutlaq. Ini berarti bahwa alam al-mithali akan termanifestasi 

didalam alam al-mulk. Dan alam al-mulk pula akan menjadi tanda kepada 

alam al-malakut. Dan alam al-malakut yaitu alam al-mithali pula yaitu  tanda 

dan mazhar bagi alam al-jabarut yaitu alam al-mujarradat. Alam Jabarrut 

yaitu  mazhar bagi alam a’yan yaitu hadrat al asma di maqam Wahidiyyah. 

Dan hadrat al-Wahadiyyah yaitu  mazhar bagi al-hadrat al-Ahadiyyah. 

Aspek eksterior dari arketip-arketip yaitu  pengembang aktif dari aktualisasi 

tentang potensialitas inheren dalam arketip permanen berdasarkan kebutuhan semua 

kondisi masa depan mereka. Di mana masing-masing aktualisasi serupa, sesuatu yang 

berbeda, sesuatu yang baru dari sebelumnya.177 

Alam mitsal (barzakh) atau alam malakut.178 Alam yang di mana  hal murni 

materi dispiritualkan dan yang spiritual dimaterikan dalam bentuk huruf dan suara 

sebagai keraguan sedikitpun. Alam Malakut atau alam mitsal yaitu  tanda dan 

mazhar bagi alam jabarut yaitu alam Mujarradat.179 Alam mitsal atau alam Malakut 

(barzakh) yang posisinya berada diaantara dua dimensi maka menurut Qaysari ia 

yaitu  batas pemisah antara alam ruh (Jabarrut) dan alam jism (Mulk). Barzakh tidak 

hanya sebagai pemisah namun  juga sebagai penghubung antara alam ruh dan alam 

jism. Esensi Alam mitsal ini yaitu  esensi ruhani yang tidak memiliki substansi 

material, ia juga tidak secara total imaterial seperti keberadaan intelektual, maka ia 

berada di bawah intelektual ruhani. Dimensi Alam mitsal yaitu  dimensi ruh yang 

memiliki karakteristik jism atau corporeal. Definisi yang demikian terkesan 

pardoksal sebab  kata sensible atau quantified tidak sama dengan pemahaman yang 

berlaku pada dimensi material. Maknanya yaitu  wilayah alam mitsal bukan wilayah 

indera lahiriah di mana  sensibility immaterial-nya sesuai dengan substansi 

keberadaannya.  

Alam mitsal atau alam Malakut memiliki dua derajat yakni alam mitsal mutlak 

dan alam mitsal al-muqayyad. Mitsal al-muqayyad yaitu  al-quwwat al-

muthakayyalah insan. Kata ‘al-muqayyad’ (conditional atau restricted) artinya form-

form mithali ini tergantung pada takhayyul (ketika manusia mencipta imajinasi-

imajinasi dalam dimensi khayalnya). Maka itu keberadaannya hanya tertegak dengan 

 

 

al-nufus al-juziyyah al-mutakhaliyyah (the particular imaginative souls). Imajinasi-

imajinasi yang dihasilkan fakultas khayal manusia.    

Alam mitsal (barzakh) atau alam Malakut. Alam ini merupakan determinasi 

yang keempat dari kehadiran Ilahi sebagai alam perantara, yaitu antara aspek interior 

dan eksterior (barzakh). Aspek interior (alam spirit) merupakan penentu aktif semua 

mawujud dalam hubungan dengan apa yang mungkin menjadi akibat bagi mereka. 

Sedangkan aspek eksterior (alam jasad) merupakan penerima pasif yang mengandung 

manifestasi pasif, kontingen, makhlukiyah dari Eksistensi absolut.180 

Dalam realitas ada dua dimensi keberadaan yang berbeda antara satu dengan 

yang lain yakni dimensi ruhani (immaterial) dan dimensi jasmani (material). Dimensi 

material yaitu  dimensi mater (maddah) yang memiliki form jasmani. Sementara 

dimensi immaterial yaitu  bersubstansikan intelek nurani yang esensinya diistilahkan 

sebagai al-aql (intelektual). Diantara dua dimensi ini disebut dengan dimensi barzakh 

atau kadang disebut juga sebagai alam mitsal di mana  keberadaannya tidak 

bersubstansikan mater dan juga tidak bersubstansikan immaterial. Seperti halnya 

penjelasan Qaysari dibawah ini: 

“Ketahuilah, sesungguhnya al-‘Alam al-Mithali yaitu  alam ruhani dari 

substans nurani yang mirip dengan substansi jasmani sebab  keberadaannya  

yang sensible dan “quantified”. Dan ia (juga mirip) dengan substansi al-

mujarrad al-aqli (immaterial intellect) sebab  keberadaanya yang nurani. Dan 

ia bukanlah jisim murakkab yang material (compound corporeal material) dan 

juga bukan substans intelek yang mujarrad (intellectual immaterial 

substance). sebab  ia yaitu  barzakh dan batas pemisah antara keduanya. Dan 

setiap sesuatu yang merupakan barzakh diantara dua benda sudah pasti bukan 

kedua-keduanya: namun  ia akan mempunyai dua aspek yang mirip dengan 

kedua-duanya yang sesuai dengan alamnya. Allahumma! Mungkin saja bisa 

dikatakan bahwa sesungguhnya ia yaitu  jisim nurani yang berada dalam 

kehalusan yang paling mungkin (ia miliki) sehingga ia menjadi batas pemisah 

antara al-jauhar al-mujarradah al-latifah (subtle immaterial substance) dan 

al-jawahir al-jasmaniyah al-madiyyah al-kathifah (coarse material corporeal 

substances).”  

Setiap alam merupakan derajat dibawah dan tanda bagi alam dan derajat 

diatasnya. Maka alam Mulk yaitu  mazhar alam Malakut yaitu alam mitsal al-mutlak 

yang berarti bahwa alam mithal akan termanifestasi di alam Mulk, dan alam Mulk 

pula akan menjadi tanda kepada alam Malakut.182  

Perwujudan alam ini terdapat dalam al-a’yan al-tsabitah183 sebagai wujud dari 

ilmu-Nya setelah Nur Muhammad atau Akal pertama. Dalam arti lain alam diciptakan 

dari sesuatu yang telah ada yang terapat dalam pengetahuan-Nya tentang diri-Nya 

sendiri.184  Determinasi kelima yaitu dunia empiris (manifestasi dari derajat 

sebelumnya), dunia indera, pengalaman inderawi yang didalamnya kontingensi 

(imkan) merupakan kondisi yang tidak berubah.185 Nama-nama dan sifat-sifat 

Ilahiyah membutuhkan dalam realitasnya untuk diwujudkan dalam bentuk 

manifestasi mereka (mazhar) atau lokus manifestasi (menurut linguistik) dan bentuk 

(menurut metafisik).186  

 

b. Dimensi Mikrokosmos (Ruh – Jiwa – Raga) 

Alam mikrokosmos merupakan hakikat insan secara ijma. Hakikat insan akan 

termanifestasi didalam materi jasmani setelah termanifestasi di martabat intelek dan 

barzakh. Dan keberadaan materinya akan mencapai kesempurnaan setelah melalui 

penyempurnaan pergerakan substansial (substantial motion). Dari level ma’dani ke 

level nabati kemudian ke level insani. Maka apapun yang ada didalam makrokosmos 

secara tafsil juga berada dalam wujud insan secara ijmal dan kolektif. Hakikat insan 

ini yaitu  keberadaan yang didalamnya terkadang derajat realitas dari intelek, 

barzakh dan fisik (ruh-jiwa-raga).  

Seperti halnya penjelasan Qaysari dibawah ini: 

“Sebagaimana kamu telah mengetahi sesungggunya haqiqat insan 

mempunyai manifestasi-manifestasi di dalam alam (makrokosmos) secara 

tafsil (detail and differentiated), ketahuilah; bahwa dia juga mempunyai 

 


manifestasi-manifestasi di alam insani (mikrokosmos) secara ijmal 

(undifferentiated), dan lokus (manifestasi) penampilan yang pertama dalam 

alam insani yaitu  bentuk (form) abstrak sesuai form rasional.” 

Dengan demikian hakikat insan alam mikrokosmis paralel (correspondance) 

dengan alam makrokosmos. Seperti yang dikatakan Imam Ali R.A yang dijelaskan 

oleh Qaysari berikut ini: 


Artinya: Apakah kamu mengira dalam dirimu tubuh kecil padahal dalam 

dirimu terkandung keberadaan kolektif (alam besar). 

Seperti halnya diagram berikut ini189 

 

Ibn ‘Arabi menjelaskan al-kawn al-jami’ (insan kamil) merupakan insan dan 

khalifah yang memiliki al-jami’yyah al-Ilahiyyah di mana insan merupakan refleksi 

diri-Nya sebagai form al-jauhariyyah al-mutlaqah (form substansi absolut) sebagai 

penerima substansi seluruh alam. Seperti yang dijelaskan pada ungkapan di bawah 

ini: 

“Dan dinamakan apa yang dibicarakan ini (yaitu al-kawn al-jami’) sebagai 

insan dan khalifah. namun  insaniyyat (keinsanan)nya yaitu  sebab  

keumuman dimensinya dan kekomprehensifannya terhadap seluruh hakikat. 

Dan dia untuk al-Haqq yaitu  sebagai insan al-‘ayn (yaitu seperti pupil untuk 

mata). ‘Ayn yang dimaksudkan yaitu  mata yang dengannya terjadi 

penglihatan. Dan ia dipanggil sebagai al-basar. Maka itu ia dinamakan 

sebagai insan.”191 

Relasi antara kata insan dan al-kawn al-jami’ menurut Qaysari disebabkan oleh 

dua alasan. Yang pertama dimensi insan yang luas dan komprehensif sebagai 

keberadaan yang senantiasa berada dalam manifestasi baru (perpetual manifestation) 

dan tidak akan terhenti di satu manifestasi. Yang kedua melalui al-kawn al-jami’ al-

Haqq akan melihat diri-Nya. Hal ini mengisyaratkan bahwa insan kamil yaitu  

menjadi sebab bagi eksistensi alam (ijad al-’alam) dan substansi (baqa) serta 

kesempurnaannya, secara azali dan abadi, dunia dan akhirat.192 

Setelah penjelasan tentang correspondance antara hakikat insan yang ada sejajar 

dengan mikrokosmos maka penjejelasan dibawah ini hakikat insan juga meliputi 

martabat Ilahiyyah dan Rububiyyah sebab  hakikat insan juga memiliki hakikat al-

khafi193 dan al-akhfa.194 Seperti Maqalah Imam Ali R.A 

195ةعوملمجاَهذهَفيَعدوتسمََََََََََهفطلَوَههنكَ ءيشَلكَنم 

 “Dari segala sesuatu, terdapat esensi dan batinnya, sedangkan rahasia itu 

tersimpan dalam himpunan ini” 

 

 

    

Hakikat insan yaitu  sumber tajalli semua al-a’yan di maqam ilmu dan di 

maqam konkret. Hakikat insan yaitu  al-a’yan al-tsabitah di maqam ilmu dan a’yan 

kharijiyyah di maqam konkret. sebab  azahir yaitu   al-mazhar (penampakan) dan 

sebab  al-kull (the whole) dan al-juz (the part). Kesimpulannya yaitu  seluruh alam 

dalam berbagai derajatnya dan beragam lawazimnya yaitu  manfestasi hakikat insan.  

Penjelasan ini berbeda dengan penjelasan para Arifin yang mengatakan bawa 

seluurh alam yaitu  manifestasi Al-Haqqtapi penjelasan yang ini hakikat insan adlah 

mazhar nama agung Allah dia juga termanifestasi dalam seluruh alam.197 Seperti 

halnya penjelasan Qaysari:   


“Ketika kamu sudah mengetahui haqiqat ini, kamu akan ketahui 

sesungguhnya haqiqat-haqiqat al-alam dalam (martabat) ilmu dan konkrit, 

semuanya yaitu  mazahir bagi haqiqat insan yang ia sendiri yaitu  mazhar 

bagi Nama Allah. Dan arwah mereka juga yaitu  “al-juz’iyyat” yaitu 

partikular-partikular al-Ruh al-A’zam al-Insani, baik ia yaitu  al-ruh al-falaki 

atau al-ruh al-‘unsuri atau al-ruh al-haiwani. Dan form-formnya juga yaitu  

form haqiqat tersebut dan lawazimnya yaitu  lawazim insan. Berdasarkan ini, 

al-alam al-mufassal (the detail and elaborate world) dinamakan sebagai al-

insan al-kabir disisi Ahlullah sebab  manifestasi haqiqat insan dan 

lawazimnya di dalam alam itu. Dan dengan ini, kekomprehensifan serta 

manifestasi al-asrar al-Ilahiyyah (Divine secrets) semuanya ada didalamnya 

 

(yaitu haqiqat insan) dan tidak pada selainnya. Maka itu teraktualisasi 

(maqam) al-khilafah (pada insan) dianatara semua haqiqat-haqiqat.” 

Manusia digambarkan melalui sifat-sifat yang dimiliki oleh kosmos. Manusia 

sebagai mikrokosmos yang mencerminkan dunia makrokosmos yang bersifat 

spiritual, imajinal, korporeal melalui ruh, jiwa (nafas), dan jasad (jism).199 

Menurut Ibn ‘Arabi, ruh terbagi menjadi dua yaitu ruhul ya’i dan ruhul amri. 

Yang dimaksud dengan ruhul ya’i yaitu  berdasarkan ayat 

   

“...dan aku telah meniupkan roh (ciptaan)-ku ke dalamnya” (QS Al Hijr 

[15]: 29) . 

Sementara ruhul amri berdasarkan ayat 

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah 

“Ruh itu termasuk urusan Tuhanku...”(QS Al-Isra [17]: 85).  

Ruh manusia (al-ruh al-idhafi) merupakan kesadaran Tuhan. Ruh yaitu  

sebuah term yang menggambarkan penyatuan dari sifat Tuhan sekaligus  sifat 

manusia. Hal ini merujuk pada ayat: 

“Kemudian, Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan-Nya) 

ke  dalam rubuh (nya) dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan 

dan hati bagimu, (namun ) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajadah 

[32]: 9). 

Sementara derajat jiwa didefinisikan oleh Ibn ‘Arabi sebagai alam barzakh di 

mana setiap rahasia darinya menjelaskan maqam-maqam dan ilmu-ilmu. Secara 

umum, terminologi nafas yaitu  akibat (ma’lul) dari sifat-sfiat hamba dan juga 

merupakan kelembutan insani. Nafas disebut barzakh sebab  jiwa memiliki dua sisi 

yaitu sisi yang satu menghadap ke ruh dan sisi yang lain menghadap ke jasad.201 

Jiwa (nafas) merupakan kesadaran manusia yang merupakan term dari sifat 

Ilahiah dan kosmis dari cahaya. Semua term setiap Nama-Nama Tuhan yang menyatu 

dalam manusia dan tak terbedakan (majmal). Jiwa manusia secara gradual tumbuh 

dan berkembang menjadi manusia. Jiwa manusia tumbuh melalui kegelapan menuju 

cahaya, dari kematian menuju kehidupan (hayat), kebodohan menuju pengetahuan 

(ilm), yang kemudian mencapai keselarasan secara total bersama ruh.  

Alam jasmani (ajsam) atau dunia terdiri dari jasad (tubuh) yang memiliki 

tingkatan-tingkatan.202 Manusia sebagai tajalli Allah (mikrokosmos) 

menggambarkan seluruh unsur kosmos203 dan memiliki semua daya termasuk daya 

nalar (roh) yang tidak dimiliki tumbuhan dan hewan. Manusia yaitu  puncak alam 

jasmani. Sifat dan asma Allah yang lengkap tercermin pada manusia (mikrokosmos). 

Allah memberi tiupan nafas al-rahman (dengan belas kasih dan cinta) pada 

penciptaannya. Hal ini merujuk pada (Qs. Al-A’raf [7]:156 dan At-Thalaq [65]:12). 

 

c. Dimensi Alam Insani:  Kesempurnaan Manifestasi  

Su’ad Hakim menjelaskan beberapa istilah yang disamakan dengan insan kamil 

dalam esensi dan metafisikanya yaitu al-imam al-mubin, al aqqul awwal, al-ruh al-

alam, Nur Muhammad, lauh al-mahfudz, arasy Tuhan, kalimah jami’ah, al-insan, 

mar’ah al-haqqah wal haqiqah, al insan, dan  al azali.204  

Ibn ‘Arabi yaitu  sufi pertama yang menggunakan istilah ini dalam wacana 

tasawuf dan filsafat Islam.205 Secara tegas, Ibn ‘Arabi menjelaskan perbedaan insan 

kamil pada tingkat universal dan pada tingkat partikular. Menurut Chittick, manusia 

sempurna yaitu  abadi dan permanen sedangkan pada tingkat partikular yaitu  para 

nabi dan waliyullah.206 

Insan kamil dalam teori Ibn ‘Arabi, tidak disebut sempurna kecuali jika ia telah 

menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, dimana kualitas-kualitas Tuhan ber-

tajalli pada jiwa sebagai wadah yang memiliki refleksi simbolik dalam bentuk 

kebajikan ruhaniah. Sebagai pola dasar (blue print) kosmos dan arketipe bani Adam 

yang secara potensial yaitu  Insan kamil.207 

Insan kamil disebut juga al-Jam’iyyat al-Ilahiyyah di mana  semua  nama dan 

sifat akan terekspresi sebab  insan kamil merupakan mazhar nama Allah yang 

merupakan nama ‘All-Comprehensive’.208 Menurut Qaysari, Insan kamil yaitu  Ruh 

Muhammad yang berada pada martabat Ghaib al-ghuyyub (The Hidden of all the 

hidden) di mana  ke-Absolutan-Nya dan non-entifikasi Ilahi. Sementara martabat 

keduanya yaitu  al-Ahadiy al-Jam’iy (the comprehensive Oneness) yang mana 

 


haqiqat esensial itu merealisasi untuk diri-Nya sendiri,  martabat ini disebut juga 

sebagai Al-Haqiqat Al-Haqaiq (the Reality of all realities).  

“Sesungguhnya hikmahnya yaitu  fardiyyah sebab  ia yaitu  keberadaan 

yang paling sempurna dikalangan spesies manusia ini. Dan sebab  itu, segala 

sesuatu dimulai dengannya dan juga berakhir dengannnya. “Beliau 

 sudah  menjadi nabi pada masa Adam berada di antara air dan tanah liat. 

Kemudian, dengan dimensi unsuriyahnya dia yaitu  penutup para nabi 

(khatim al-anbiya)” 

Hakikat insan ini disebut juga hakikat tunggal (fardiyyah) sebab  menurut Ibn 

‘Arabi , Muhammad yaitu  individu yang paling sempurna di kalangan manusia yang 

merupakan hakikat tunggal dan azali yang kadang juga disebut al-Ta’ayyun al-

Muhammadi maka dari itu, al-ayn al-thabith Muhammadi tampil sebagai al-fardiyah 

al-mutlaqah (the absolute singularity) melalui al-fayd al-aqdas. Dengan kata lain, 

bahwa hakikat Insani Ahadi merupakan barzakh atau perantara yang merupakan 

keterpaduan antara Dzat Tuhan, martabat Ilahiyyah, dan insan kamil merupakan 

barzakh kesempurnaan dari segi