nubuwwah al-Insani. Formnya dalam martabat
pertama dari segi kenabian insani yaitu Adam ‘alaihisalam. Sementara martabat
jam’iy dan dan khatami terakhirnya yaitu Muhammad.
Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa hikmah al-fardiyyah termanifestasi kepada ruh
Muhammadiyyah sebagai keberadaan yang paling sempurna di kalangan manusia.
Kesempurnaan ini yaitu ta’ayyun awal yang berada di titik puncak segala
keberadaan dan juga berada di titik akhir segala keberadaan. Ibn ‘Arabi menyatakan
bahwa riwayat keawalan kalimat Muhammadiyah sebagai berikut:
ينبَمدآوَايبنَتنك يَنطلاَوَءالما210
“Aku sudah menjadi nabi sementara adam masih dalam keadaan air dan
tanah liat”.
Ibn Turkah memaknakan riwayat ini seperti yang dijelaskan oleh Muhammad
Baqir211 Muhammad sebagai Nabi yang merupakan mazhar kepada segala sesuatu
sebagaimana adanya dan segala sesuatu terpadu di dalamnya (all-comprehensive)
sementara Adam pada saat itu berada dalam tafriqah212 al-Asma (keterpisahan) maka
dinyatakan Adam berada di antara air dan tanah.
Hakikat insan kamil merupakan esensi yang supraindividual dan maqam
kenabiannya juga maqam kenabian mutlak. Sehingga para nabi sebagaimana Adam
mempersonifikasi dalam bentuk Adamiyyah yang pada akhirnya merupakan
personifikasi dari Muhammad individual.
“Afrad yang pertama yaitu tiga. Dan apapun yang tertambah pada yang
pertama ini (al-awwaliyyah) dari kalangan afrad, maka ia yaitu darinya”
Qaysari214 menyatakan bahwa tiga yang dimaksud disini yaitu bahwa al-dhat
al-Ilahiyyah (the Divine Essence), martabat al-Ilahiyyah (the degree of Divinity), al-
Haqiqat al-Ruhaniyyah al-Muhammadiyyah (the Reality of Muhammadan Spritiality)
juga dipanggil sebagai al-Aql al-Awwal (The First Intellect) dan apapun yang
bertambah darinya yaitu produk dari hasil tiga tersebut. Penjelasan ini dalam istilah
al-Fardiyyah al-awwaliyyah (keganjilan pertama) merupakan penyebab segala
manifestasi.
“Maka beliau ‘alaihissalam yaitu bukti yang paling jelas terhadap
Rabbnyya. sebab telah didatangkan kepada beliau jawami’ al-kalim (yaitu
segala kalimat-kalimat yang mana semuanya yaitu objek-objek Nama-Nama
“Adam”. Maka ia yaitu dalil yang paling mirip pada trinitasnya. Sedangkan
dalil yaitu dalil untuk dirinya sendiri.”
Muhammad Baqir memaknai ruh Muhammad sebagai dalil yang terang terhadap
Rabb-nya sebab Rabb tidak akan tampil kecuali melalui marbub dan mazharnya.
Dengan demikian, Ruh Muhammad yaitu manifestasi Rabb yang paling terang dan
jelas. Semua kalimat-kalimat terekspresi dalam hakikat Muhammadiyyah dan semua
kesempurnaan al-dhath sceara komprehensif telah terekspresi melalui wujud
Muhammad. Selanjutnya, Muhammad Baqir menjelaskan bahwa hakikat insan ini
lebih mirip kepada trinitas (al-dhat al-Ilahiyyah (the Divine Essence), martabat al-
Ilahiyyah (the degree of Divinity), al-Haqiqat al-Ruhaniyyah al-Muhammadiyyah
(the Reality of Muhammadan Spirituality).216 Seperti diagram di bawah ini:
al-dhat al-Ilahiyyah → Minor Term
al-Haqiqat al-Ruhaniyyah → Middle Term
al-Muhammadiyyah
martabat al-Ilahiyyah → Major Term
Manusia sebagai insan kamil merupakan perpaduan (jam’iyyah) dari sifat Tuhan
serta semua realitas alam. Dengan kata lain, manusia yaitu “totalitas alam” (ma’ju
al-alam). Ibn ‘Arabi mendefinisikan manusia sebagai “miniatur alam” (mukhtasar
al-alam) atau alam sogir (mikrokosmos) . Sesuai dengan perkataanya:
“Ia yaitu manusia, yang baharu, yang azali, ia yaitu bentuk yang kekal,
yang abadi, dan Kata (Logos) yang memisahkan dan yang memadukan.”
Jasad manusia merupakan baharu (hadits) dari aspek badaniahnya sedangkan
ruh manusia merupakan azali dari aspek Ilahinya. Yang mana menjadi Kata (Logos)
pembeda antara Tuhan dengan alam. Maka dari itu, manusia yaitu penengah atau
perantara (barzakh) antara keduanya. 218
Di sisi lain, manusia juga merupakan penyatu antara semua Nama-Nama Tuhan
dan penyatu antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat kemakhlukan. Menurut Ibn ‘Arabi ,
manusia terdiri dari dua salinan. Salinan yang pertama yaitu yang tampak (nuskhah
zahirah) yang diartikan sama seperti alam. Sedangkan, salinan kedua yaitu yang
tidak tampak (nuskhah batinah) yang disamakan dengan kehadiran Ilahi219.
Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan manusia dengan alam seperti ruh dengan
jasad. Seperti yang dikutip oleh Kautsar di bawah ini:
“Manusia yaitu ruh alam dan alam yaitu jasad... Jika anda memperhatikan
alam tanpa manusia, niscaya anda akan menemukannya seperti tubuh yyang
tidak terbentuk tanpa ruh. Kesempurnaan alam sebab manusia seperti
kesempurnaan jasad sebab ruh. Manusia ditiupkan ke dalam tubuh alam. sebab
itu, ia yaitu tujuan (al-maqsud) alam.”
Manusia dalam mencapai kesempurnaannya atau insan kamil disebabkan oleh
sifat “perpaduan” (jam’iyyah) sehingga manusia disebut khalifah. Dengan sebutan
tersebut manusia menjadi pemelihara alam yang ditunjuk oleh Tuhan. Alam dapat
terpelihara secara terus-menerus sebab ada manusia sempurna (insan kamil) di
dalamnya.221 Sebagaimana penjelasan Ibn ‘Arabi di bawah ini:
“Dia [Allah] menundukkan (sakhkhara) kepadanya [Adam, manusia]
segala sesuatu, yang tinggi dan yang rendah, sebab kesempurnaan
bentuknya. Sebagaimana tidak sesuatupun dalam alam yang tidak memuji
Tuhan, demikian pula tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak tunduk
(musakhkhar) kepada manusia sebab sesuatu yang diberikan kepadanya oleh
hakikat bentuknya. Allah Ta’ala berkata: “Dia menundukkan kepadamu
semua yang ada di langit dan yang ada di bumi, [sebagai rahmat] dari Dia.”
[Qs. 45:13] sebab itu, segala sesuatu yang ada dalam alam tunduk kepada
manusia. Barang siapa yang mengetahui ini yaitu Manusia Sempurna,
sedangkan barang siapa yang tidaak mengetahuinya yaitu Manusia Binatang
(al-insan al-hayawan)”
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi manusia digolongkan menjadi Manusia sempurna
(insan kamil) atau hamba Tuan (‘abd Rabb) dan al-insan al-hayawan atau hamba
nalar (‘abd nazar). Hamba Tuan atau gnostik (arif) mengetahui Tuhan dari segi
tajalli-Nya kepadanya dengan penyingkapan intuitif (kashf) dan rasa (dzawq).
Sedangkan hamba nalar mengetahui Tuhan dengan nalar pikiran dan akal, ia juga
merupakan golongan yang terikat dengan badan dan hawa nafsunya serta tidak
mengetahui realita-realitas segala sesuatu dan hijab tebal antara hamba dengan Rabb-
nya.
“sebab wujud Manusia sempurna yaitu menurut gambar sempurna
[Tuhan], maka ia berhak menerima khilafah dan kewakilan dari Allah Ta’ala
di alam. Mari kita jelaskan pada bagian imi timbulnya khilafah,
kedudukannya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia
dengan Manusia Binatang belaka, namun dengan manusia dan khalifah.
Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam
kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khalifah. Menurut pendapat kita,
Manusia Binatang benar-benar bukanlah khilafah”
Menurut Chittick, manusia sempurna (Insan kamil225) bersifat tetap dalam
esensinya seperti Wujud Tuhan yang mengalami transformasi dan transmutasi
dengan “berpartisipasi” dalam kebaqaan dan penyingkapan diri Tuhan. Manusia
merupakan barzakh dari barzakh-barzakh, dunia internal yang mencakup dunia-
dunia internal lainnya, pemisah dan perantara antara Wujud Absolut dan ketiadaan
Absolut. Dalam dunia korporeal (jasad atau jism) manusia sempurna sama dengan
manusia lainnya.
RELEVANSI KOSMOLOGI IBN ‘ARABI DENGAN KESADARAN TAUHID
MANUSIA
Bab ini yaitu analisa terhadap ajaran kosmologi sufi Ibn ‘Arabi dan
relevansinya terhadap kesadaran tauhid manusia. Bahwa ajaran kosmologi Ibn ‘Arabi
melahirkan kesadaran relasional dengan mengurai relasi kausalitas, relasi simbolik,
dan relasi eksistensial antara Tuhan, Manusia dan Kosmos. Dilanjutkan dengan tiga
kesadaran dan epsitimologisnya yang meliputi derajat shari’at sebagai pintu awal
perjalanan spiritual, derajat thariqat sebagai tangga kesadaran intelek, dan derajat
hakikat sebagai akhir perjalnan ma’rifat. Pada bagian akhir bab ini membahas
pendakian puncak perjalanan jiwa manusia dari mana berasal dan ke mana manusia
kembali, serta urgensi ajaran tasawuf dalam kehidupan modern dan implikasinya
pada dimensi etik.
A. Melahirkan Kesadaran Relasional
Pada sub bab ini mengurai kesadaran manusia terhadap sebab eksistensialnya,
kesadaran terhadap simbolik kosmos dan bagaimana relasi eksistensialnya dengan
Tuhan dan semesta kosmos.
1. Relasi Kausalitas: Tuhan Sebagai Sang Penyebab
Pertanyaan tentang sebab diri dan benda-benda lain, yaitu polemik yang cukup
menggasak mental manusia sejak kemunculannya dan memposisikan dirinya sebagai
pertanyaan yang paling mengakar ketika dihadapkan pada pemikiran para filosof. Hal
ini yang membawa para filosof Yunani untuk sampai pada kesimpulan mengenai
unsur pertama dari semua benda-benda dalam alam. Filsafat bermula dengan
persoalan kausalitas dan masalah kausalitas bukanlah sebuah dilema yang dituju
manusia, melainkan kausalitaslah yang berjalan menuju manusia. Hukum kausalitas
telah memenuhi pemikiran manusia dan menyibukkan semua kontemplasi dan
perenungannya.
Teori kausalitas1 yang puncaknya yaitu pada zaman Aristoteles (384-322)2
berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab, yakni sebab materi
(material cause), sebab bentuk (formal cause), sebab efisien (efficient cause), dan
sebab final (final cause).3 Dari empat sebab di atas Aristoteles membagi menjadi 2
kategori yakni; pertama, sebab internal (materi dan bentuk); kedua, sebab eksternal
(efisien dan final). 4 Berangkat dari prinsip fundamental inilah Aristoteles dapat
membuktikan bahwa didalam alam semesta ada penyebab yang tidak disebabkan
yaitu Tuhan.5 Peristiwa kejadian alam semesta menuju kepada tujuan yang harmonis
dengan adanya empat anasir; air, api, tanah, dan udara berjalan sesuai dengan jalur
eksistensinya seperti halnya api dan udara menjulang ke atas sedangkan tanah dan air
merujuk ke bawah.6 Hal tersebut hakikatnya menuju kepada Penggerak yang
Sempurna yang sesuai dengan ungkapan Aristoteles, ‘Ia menggerakkan sebab
dicintai’ (‘Kinei de hos eromenon: He produces motion as being loved’)7.
Penjelasan Ibn ‘Arabi bahwa hubungan alam semesta dengan Allah yaitu
hubungan antara yang Mumkinul Wujud dan Wajibul Wujud sebab kosmos tidak
memiliki level eksistensial dalam ke-azali-an, sebab itu yaitu level bagi Yang
Wajib Wujud melalui Dzat . Dia lah yaitu Allah yang tidak ada sesuatu apapun
bersama-Nya.8 Hal ini memberi penjelasan bahwa prinsip kausalitas dalam tasawuf9
berbeda dengan penjelasan filsafat. sebab kausalitas dalam tasawuf yaitu
hubungan antara Wujud Qadim (substance) dan Hudus (contingent). Yang
meniscayakan hubungan ini sebagai hubungan antara Ruh Tuhan dan Ruh manusia
dan juga alam semesta dalam bentuk al-mahabbah, al-ma’rifat, al-hulul dan al-
ittihad.10 Penjelasan bahwa Ruh manusia berasal dari Ruh-Nya berdasarkan ayat al-
Qur’an.
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud.” (Q.S. Al-Shad [38]:72).
Terkait hubungan antara ruh Tuhan dan ruh manusia, Hamzah Fansuri
memberikan perumpamaan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia tak ubahnya
laut dan buih, seperti yang disampaikannya bahwa, ‘sebab Rahman seperti laut, dan
Adam seperti buih.’ 11 Perumpamaan tersebut juga bermakna bahwa laut dan buih
ibarat hubungan antara cinta dan kerinduan. Hubungan cinta dan kerinduan inilah
yang menjadi titik awal hubungan Tuhan dengan manifestasinya.
Berpijak dari sistem ontologis “Sang Realitas Tertinggi”, merindukan12
keindahan diri-Nya (jamaliyah)13. Dia mengungkapan kepada diri-Nya dalam esensi-
Nya, tak obahnnya cermin ajaib yang memantulakan kesempurnaan esensi-Nya
(kamalat Dzatiyah) dalam keindahan abadi dan terus berlangsung14. Dalam semua
kasus, hubungan yaitu salah satu bentuk tasbih, dalam arti bahwa kosmos dipahami
sebagai refleksi atau bayangan dari kenyataan dengan cara yang tidak dapat dipenuhi
sepenuhnya oleh pikiran rasional.15 Perenungan pertama dalam refleksi keindahan
yaitu Nama-nama yang paling Indah (al-asmaul husna)16 dan sifat Sublim (al sifat
al-’ulya.17Kerinduan ini menjadi determinasi pertama dari derajat awal
manifestasinya (al al-fayd al-aqdas)18.
Relasi cinta kerinduan yang menjadi sebab adanya manifestasi (tajalli). Hasil
dari pancaran (fayd) merupakan exterioriDzat ion dari “kanzan mahfi” dari tingkatan
ontologis yang paling tinggi sampai tingkatan terendah. Hubungan ini dilukiskan oleh
Ibn Arabi:
“Sebagaimana yang tampak (zahir) dari bentuk manusia memuji
dengan lidahnya ruh dan jiwa yang mengaturnya, begitu pula Allah
menjadikan bentuk alam bertasbih memuji-Nya, namun kita tidak mengerti
tasbih mereka sebab kita tidak mengetahui semua bentuk alam. Segala
sesuatu yaitu lidah al-Haqq, yang mengungkapkan pujian kepada al-Haqq.
sebab itu, Dia berkata: “Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta,” (Q.S:
Al-Fatihah [1]:1) yaitu segala akibat pujian kembali kepada-Nya; maka Dia
yaitu yang memuji dan dipuji.”19
Hubungan relasional ini yaitu hubungan gerak yang secara ontologi ruh alam
yang ada dalam bentuknya itu yaitu al-Haqq yang menggerakan dan mengatur alam
dan seisinya, baik alam makro atau alam mikro. Ruh alam yaitu al-Haqq tidak bisa
dipisahkan sebab definisi “rububiyah” ataupun “uluhiyyah” mencakup alam20.
Seperti yang diungkap oleh Ibn ‘Arabi:
“Definisi manusia mencakup yang tampak dan yang tidak tampak
daripadamu sebab bentuk yang tetap ketika ruh yang mengaturnya hilang
daripadanya, ia tidak disebut manusia lagi. namun dapat dikatakan itu yaitu
bentuk manusia, yang tidak berbeda dengan bentuk kayu dan batu. Kepada
bentuk semacam itu tidak bisa diberikan nama manusia kecuali secara kiasan,
bukan dalam arti sebenarnya. Al-Haqq tidak mungkin menghilang dari bentuk
alam, sebab alam secara implisit ada dalam definisi “ketuhanan” (uluhiyyah)
dalam arti sebenarnya, bukan secara kiasan, sebagaimana definisi manusia
ketika ia hidup.”
Hubungan kesatuan antara al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq (alam) terlihat dalam
konsep ontologis Ibn ‘Arabi. Dimana dalam konsep ini Tuhan bukan hanya tidak
tampak dari alam namun juga tampak dalam alam. Disebabkan oleh sistem tajalli.
Seperti halnya yang diungkap oleh Izutsu:
…bukan hanya yang ‘tersembunyi’ (batin) dari alam yang merupakan al-
Haqq itu sendiri, namun juga ‘yang terlihat’ (zahir)-nya yaitu al-Haqq, sebab
‘yang terlihat’ dari alam, sebagaimana kita saksikan, secara esensial yaitu
bentuk-bentuk manifestasi Tuhan (teofani, tajalli). Dalam pengertian ini, baik
zahir maupun yang batin dari alam harus didefinisikan dalam kaitan dengan
ketuhanan.22
Dalam struktur ontologis Ibn ‘Arabitidak ada garis pemisah antara yang memuji
(al-mutsni) dan yang dipuji (al-mutsna’alyhi). Yang memuji yaitu bentuk alam
(surat al-alam) dan bentuk alam itu sendiri tidak lain daripada yang tampak dari al-
Haqq (zahir al-Haqq).
Mengenal al-Haqq layaknya mengenal manusia, seperti halnya yang disabdakan
oleh Nabi bahwa mengenal Rabb tergantung kepada mengenal diri yang merupakan
marbub, sebab Rabb sebagai Rabb menuntut adanya al-marbub23. Ibn Arabi juga
menjelaskan:
Bahwa ma’ifat insan akan dirinya yaitu muqadimah terhadap ma’ifat
terhadap Rabbnya sebab ma’ifat kepada Rabbnya yaitu hasil dari ma’ifat
kepada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, sabda Nabi yang menyatakan: Barang
siapa yang telah mengenal dirinya maka sesungguhkan dia telah mengenal
Rabbnya
Ibn ‘Arabi menggunakan pemikiran bahwa sebab dan akibat terkait satu sama
lain dalam wujud, sembari menjelaskan kenapa ia menolak pemikiran bahwa untuk
mengetahui diri, seseorang harus mengenal Tuhan terlebih dahulu.25 Seperti
penjelasan Ibn ‘Arabi sebagai berikut:
“Maka Dia tidak akan dikenali sehingga kita dikenali. Beliau pernah
bersabda: barangsiapa telah mengenal dirinya telah mengenal Rabbnya.
Sedangkan beliau yaitu al-khalq yang paling mengenal Allah.”
Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa mempertautkan pengetahuan ma’rifat
ketuhanan dengan pengetahuan tentang diri manusia keduanya hanya bisa diketahui
secara general namun tidak secara rinci.27
Selain relasi antara Ruh dan jasad, esensi dan manifestasi, yang Satu dengan
yang banyak. Hubungan tajalli ini dalam banyak bentuk yang muncul dari yang
Tunggal, tidak hanya terbatas pada alam. Chittick mengurai bahwa hubungan antara
yang Absolut dan yang Relatif sebagai hubungan sebab akibat yaitu hubungan
substansi dan aksiden, hubungan antara yang Qodim yang hudust, hubungan yang
qudus dan yang profan yaitu hubungan esensial yang diistilahkan dengan relasi al-
wahid dan al-katsir.28
Yang Satu yaitu sumber metafisis pada yang banyak atau dalam struktur logika
matematika bahwa bilangan yang satu yaitu sumber semua bilangan. Namun yang
banyak pada hakikatnya yaitu Satu. Paralel dengan relasi yang Satu mengakibatkan
atau sebagai penyebab dari yang banyak yaitu yang batin, yang dlohir, bahwa
hubungan kausalitas ini yaitu pengetahuan tentang wujud tunggal dengan melihat
keberagaman. Hal ini merujuk pada konsep Ibn ‘Arabi bahwa Allah bisa dikenali
dengan adanya alam, sebab Allah yaitu satu hakikat yang korelatif bersama al-
ma’luh.29 Hal ini merujuk pada pernyataan Ibn ‘Arabi:
‘Iya. Yang akan dikenali yaitu esensi yang Qadim lagi Azali, namun
Dia tidak dikenali sebagai Ilah sehingga al-Ma’luh dikenali. Dan ini
yaitu dalil keatasnya.’
Dalam prinsip kausalitas, alam menjadi sebab ontologis kesadaran kita terhadap
adanya Tuhan dan kesadaran terhadap alam kepada Tuhan menjadi sebab
epistimologis. Dan Tuhan secara ontologis yaitu sebab sementara alam yaitu
akibat. Penjelasan ini memberi pemahaman bahwa Tuhan yaitu sebab epistimologis
dan juga menjadi sebab ontologis (al-burhan al-limmi) dimana secara prinsip
kausalitas paling kuat dan kokoh.31
Qaysari menjelaskan bahwa mengenal Tuhan sebagai al-llah, sebagai pemilik
nama-nama dan kualitas tidak akan mungkin kecuali dengan melibatkan perhatian
terhadap alam, sebab alam yaitu dalil atas keberadaan al-llah sebagai ‘ilah. Kata
alam diderivasi dari kata al-‘alamah yang berarti dalil atau tanda.32 Qaysari
mendasarkan pada pernyataan Ibn ‘Arabi sebagai berikut:
“Kemudian setelah ini di dalam keadaan keduanya, dikaruniakan kepada
kamu kashf (penyingkapan) bahwa al-Haqq Diri-Nya sendiri yaitu dalil
keatas Diri-Nya dan juga ke atas uluhiyyah-Nya”
Banyak penjelasan rasional34 terkait hubungan antara Tuhan dengan kosmos
dijelaskan oleh para filsuf dan teolog, akan namun Ibn ‘Arabi cenderung memandang
hal ini dengan kritis, terutama jika terminologi tidak didasarkan pada al-Qur’an dan
hadits. Misalnya, para filsuf muslim menyebut Tuhan sebagai sebab (‘ilah) terhadap
alam semesta dan alam semesta yaitu efeknya (ma’lul). Konsep ini menduduki
posisi yang amat penting dalam pemikiran para filsuf muslim yang dalam perspektif
Ibn ‘Arabi pemikiran itu disebut dengan “penguat atas sebab”. Namun, Ibn ‘Arabi
menyadari penerapan istilah sebab terhadap Tuhan yaitu salah, sebab relasi atas
sebab dan akibat sesuatu yang tak terpisahkan. Tidak akan ada sebab tanpa akibat.35
Tuhan hadir dalam segala bentuk keberadaan, ketika kesadaran mereka menuju
pada-Nya, namun tidak termanifestasi dalam kosmos serta dalam bentuk wujudnya.
Tuhan selalu hadir bersama kosmos, namun kosmos tidak hadir bersama-Nya selama
tidak menyaksikan-Nya.
Kesadaran Tuhan akan kosmos yaitu keniscayaan sebab kesadaran Tuhan
terhadap diriNya yang tak terbatas, maka dengan kalam Kun (be) segala kemungkinan
(possibility) semua termanifestasi. Meskipun secara ontologis semua entitas pada
hakikatnya bertasbih (berkesadaran) namun banyak manusia yang lalai, yang tidak
bertafakkur, yang tidak memiliki kesadaran bertauhid. Dalam al-Qur’an banyak ayat
yang mengindikasikan tentang kelalaian manusia. Hal ini dimaksudkan bahwa hanya
mereka orang-orang yang sadar yang hadir sebagai seorang saksi mengenai kehadiran
Tuhan dan termasuk golongan orang-orang yang memiliki bashirah.37
Ibn’Arabi memberi penekanan pada kesadaran ini, bahwa bashirah yaitu
penglihatan batin para ahli kashf yang memiliki kemampuan mata batin yang melihat
alam sebagai al-tajalli al-wujudi al-Haqqani yang memanifes dalam cermin-cermin
sebagai bentuk al-a’yan al-thabitah. Ia eksis pada level eksternal konkrit dengan al-
tajalli al-wujudi, yakni alam yaitu manifestasi dirinya sendiri. Hal tersebut dapat
dilihat pada pernyataannya dibawah ini:
“Sesungguhnya alam tidak lain dan tidak bukan yaitu tajalli-Nya dalam
berbagai form entitas permanen-Nya yang mana wujud mereka itu mustahil
tanpa-Nya. Dan ia menjadi berbagai ragam dan juga terformalisasi sesuai
dengan haqiqat-haqiqat entitas tersebut dan juga ahwalnya”38
Keberadaan manusia merupakan amazing miracle sebab dengan adanya
manusia menjadi bukti tentang adanya Sang Kesadaran dan membuktikan tentang
immorality (keabadian jiwa). Sehingga kosmos dan manusia melahirkan kesadaran
relasional antara Tuhan dan manifestasinya.
2. Relasi Simbolik: Kosmos Sebagai Simbol Anagogic
Simbol yaitu refleksi atau bayangan dari realitas tertinggi, yang memiliki
makna bahwa segala sesuatu yaitu proyeksi dari yang di Atas.39 Simbol yaitu
kualitas yang mempunyai kekuatan untuk melahirkan kesadaran pada manusia untuk
mempersepsikannya. Untuk sampai pada pemahaman simbol, kita kembali pada
prinsip metafisik. Pertama, kesadaran kita terhadap ketakterbatasan Tuhan, maka
apapun yaitu manifestasi dan tajalli-Nya. Kedua, kesadaran kita terhadap hirarki
manifestasi.
Berbicara tentang simbolis dalam konteks spiritual yaitu membicarakan dalam
aspek operatifnya dalam kesadaran spiritual. Seperti halnya penjelasan di bawah ini
yang dirujuk oleh Muhammad Baqir:
‘a symbol is anything that serves as a direct support for spiritual realiDzat
ion…’40
Relasi simbolik ini merupakan relasi antara simbol (cosmos) dan yang
disimbolkan (metacosmos). Relasi ini disebut juga dengan anagogical symbol.
Snodgrass menjelaskan bahwa simbol yaitu hakikat yang bersifat anagogik, sebuah
kata dari bahasa Yunani yang bermakna mengarah ke atas (anago) dan yang
dimaksudkan dengan mengarah ke atas yaitu dalam konteks kesadaran spiritual.41
Simbol merupakan perangkat yang dapat membawa manusia kembali kepada
yang Ilahi atau dengan kata lain kosmos merupakan simbol fisik terhadap sesuatu
yang bersifat supra fisik.42 Dalam hirarki atau derajat eksistensi, alam fisik
merupakan sebuah proyeksi ataupun manifestasi Sang Maha Realitas. Simbol
menghantarkan manusia kepada kesadaran intelegensi yang terhubung dengan
intelek. Realitas ini akan tersingkap melalui inisiasi simbolis seperti sebuah tangga
yang membawa manusia mendaki sampai pada kesadaran tertinggi (highest
consciousness).
Kesadaran kosmik (Cosmic Consciousness)43 yang dimaksud disini yaitu
kesadaran kosmos terhadap metacosmos yang dalam hal ini yaitu kesadaran
mikrokosmos terhadap Big cosmos yakni Tuhan. Kosmos sebagai gambaran
kebenaran dan merupakan simbol keberadaan-Nya, dipahami sebagai sebuah kitab
yang mengisyaratkan bahwa semua hakikat, rahasia dan hikmah terkumpul
didalamnya. Kesadaran terhadap kosmik yaitu sebuah kesadaran kosmos akan
kehidupan dan keteraturan alam semesta. Kesadaran ini didasarkan pada wahyu dan
filsafat yang lebih tinggi terhadap asal terciptanya kosmos.44
Kesadaran kosmik (Cosmic Conciousness) bersumber dari pencerahan
intelektual atau iluminasi (illumination). Dengan demikian, manusia yang berada
pada tahapan ini memiliki ‘sense of immortality’, yaitu kesadaran akan hidup abadi.45
Hal ini pararel dengan penjelasan metafisika bahwa kesadaran terhadap manifestasi
merupakan kesadaran objektif manusia terhadap Sang Illahi.46
Kesadaran bahwa kosmos merupakan sebuah simbol atau tanda mempunyai
makna dan fungsi penjelas bahwa kosmos bukan benda mati akan namun sebagai
realitas fisik yang merujuk pada entitas supraphysical. 47 sebab simbol yaitu
ekspresi fisik dari Realitas, maka kosmos yaitu ekspresi imanen Tuhan (tajalli). Ini
berarti bahwa kosmos memiliki esensi spiritual dan tidak semata-mata bersifat
material.48
Ibn ‘Arabi mendeskripsikan kosmos sebagai lingkaran dan memulai
penjelasannya mengenai Realitas dengan istilah cahaya dan kegelapan sebagai
metaphor (majaz).49 Kosmos menjadi nyata dalam bentuk-Nya yang memberikan
keberadaan di dalam sensasi dan makna yaitu cahaya diatas cahaya.50 Merujuk pada
ayat al-Qur’an:
‘Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang didalamnya ada
pelita besar. Pelita itu didalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan
bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak
pula di barat, yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walalupun
tidak disentuh api. Chaya diatas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi
petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.’ (Q.S. An-Nur [24]:35).
Di sisi lain, al-Ghazali mendefinisikan51 cahaya dalam dirinya sebagai bentuk
yang terlihat dan membuat sesuatu yang lain terlihat. Termasuk, Tuhan yaitu cahaya
yang Nyata, sumber dari setiap tingkatan cahaya yang hubungannya dengan cahaya-
Nya termetafora di dalam alam.52
Nama Ilahi ‘Sang Cahaya’ (al-Nur) mengarah kepada fakta bahwa nama Ilahi
‘the manifest’ seperti halnya cahaya Tuhan yang berasal dari manifest diri-Nya dan
membawa hal lainnya ke dalam manifestasi (al-zahir fi nafsihi al-muzhir li-
ghayrihi).53 Seperti ayat :
ّللّٱ ىدهْيميلع ءىْش لّكب لّلّٱو ۗ ساّنلل لثٰمْلْْٱ لّلّٱ برضْيو ۚ ءٓاشي نم هرونل
“Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang-orang yang Dia
kehendaki dan Allah membuat simbol untuk manusia dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nur [24]:35).
Ibn ‘Arabi juga menggambarkan kosmos sebagai tanda, penanda, tanda jalan54,
dan gambar Tuhan.55 Ibn ‘Arabi mengafirmasi ayat al-Qur’an yaitu (Qs. An Nahl
[16]:11,12,13), bahwa kosmos sebagai ungkapan Tuhan atau “The Divine
Languange” untuk manusia. Sebagai monolog Tuhan yang diwahyukan dalam form
bahasa Arab maka al-Qur’an yaitu kalam-Nya dasar-dasar sifat-Nya dan deskripsi
tentang diri-Nya oleh diri-Nya. Penggambaran Realitas kebenaran sebagai Tuhan
diinterpretasi sesuai dengan tahapan-tahapan intelektual manusia sehingga
pemahaman terhadap kalam dan Realitas (al-Haq) memungkinkan beragam. Atau
dengan penjelasan lain, tahapan intelektual ini diistilahkan dengan ‘ilm al-yaqin, ‘ayn
al-yaqin, dan haqq al-yaqn. 56 Derajat kepastian pengetahuan tersebut apakah
berwujud atau tersembunyi, empiris atau trasedental, sebagai derajat yang berelasi
dan menunjuk pada kepercayaan iman.
Kesadaran akan Realitas Absolut sesuai dengan tahapan intelektual manusia
sebagai lokus dan subjek yang berkesadaran. Sisi lain manusia menjadi objek
pengetahuan Tuhan, sisi lainnya manusia menjadi subjek untuk membaca Tuhan dan
kosmos.57
Kosmos merupakan lokus penyingkapan diri Tuhan58, Dengan demikian berarti
Kosmos merupakan mazahir Tuhan (kehadiran Tuhan).59 Schuon menggunakan
istilah God-the-Inward untuk Dzat Tuhan dan God-the-Outward untuk
manifestasinya60. God-inward dimanifestasikan dalam mikrokosmos oleh intelek dan
makrokosmos dibuktikan oleh makhluk murni dan dalam kaitannya dengan realitas
total, Dia yaitu diri-Nya. Intelek terselubung oleh ego; menjadi dunia; di luar wujud
atau diri oleh alam semesta yang dimanifestasikan.61 God-Outward dimanifestasikan
oleh keberadaan kita dalam semua aktualitasnya, kemudian oleh keberadaan dunia
yang dicerminkan dalam dirinya sendiri dan fortiori oleh maya, dicerminkan bukan
sebagai kekuatan 'mendahului' namun (dalam aspek universal) 'eksternalisasi': dalam
hubungan ini maya itu sendiri yang dikandungnya dimana merupakan tabir tempat
semua fenomena terjalin.
Menurut Guenon, dalam sudut pandang kosmologis, untuk sampai pada
pemahaman relasi simbolik dari manifestasi corporeal sehingga terhubung dengan
manifestasi subtle atau immaterial melalui ilmu ma’rifat (metafisika). Membaca
kosmos baik dalam bentuk teks (al-Qur’an) maupun monumental (makrokosmos dan
mikrokosmos) destinasi dari pemahaman yang diperoleh yaitu untuk memahami
segala bentuk kosmos (teks dan monumen) yaitu pada puncak pemahaman
metafisika.62 Hal ini merujuk pada ayat berikut:
روملْْا عجرْت لّلّا لىإو ۚ ضرْلْْاو تاوامسّلا كلْم هل
“Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah segala
urusan dikembalikan” (Q.S. Al-Hadid [57]:5).
في امو تاوامسّلا في ام هل ميظعلْا يّلعلْا وهو ۖ ضرْلْْا
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan Dia yang
Mahatinggi lagi Mahabesar” (Q.S. Asy-Syura [42]:4).
هتياآ نْموموقت نْأ ءامسّلا نوجرتْخ مْتْنأ اذإ ضرْلْْا نم ةوعْد مْكاعد اذإ ّثم ۚ هرمْبأ ضرْلْْاو
“Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah berdirinya langit dan bumi iradah-
Nya. Kemudian bila Dia memanggilmu sekali panggil dari bumi seketika itu
kamu keluar” (Q.S. Ar-Rum [30]:25).
Kosmos juga diidentikan dengan wajah Tuhan (face of God). Chittick
mengatakan bahwa istilah wajah Tuhan sebagai istilah yang lebih konkrit
dibandingkan dengan makna dalam kamus, sebab ‘face’ mengindikasikan atau
sinonim dengan sebutan arti Dzat (essence), realitas (haqiqa), dan keduanya setara
dengan kata nafs atau self63. Dalam pemahaman ini, wajah yaitu sebuah simbol
nonmanifes dan manifest, sebab wajah yaitu sesuatu yang menghantarkan pada
esensi.64
Maka dari itu, kosmos atau wajah Tuhan memiliki makna yang secara horizontal
dan vertikal berelasi dan saling memperkuat secara ontologis, bahwa simbol
menghantarkan pada makna tertinggi dan terdalam sebagai manifes Keindahan
(jamaliyah), Keagungan (jalaliyah) Tuhan. Dengan begitu representasi simbolis dari
alam menyediakan sebuah struktur dan kunci untuk manusia kembali kepada Tuhan.65
Kosmos juga disebut sebagai kitab al-Afaqi dan al-Anfusi.66
Kitab al-Afaqi dari sudut keluasan wujud dan tafsir form-form serta ayat-ayat
dan hukum-hukumnya dikenali sebagai kitab al-Furqani.67 Sementara kitab al-Anfusi
dari sudut ketunggalan dan ‘indivisibility’ dan ‘comprehensiveness’ dikenali sebagai
kitab al-Qurani.68
Tanda-tanda dan ayat-ayatNya ditemukan dalam kosmos (di dunia luar) dan di
dalam diri kita sendiri. al-Qur’an mengatakan :
فيو قافلْْا في انتياآ مْهيرنس لّك ىٰلع هّنأ كبّرب فكْي ْلموأ ۗ قّلْْا هّنأ مْله يّْبتي ٰتّح مْهسفنْأ
ديهش ءيْش.
“Kami akan menunjukan kepada mereka tanda-tanda kami di Horizon dan
di dalam diri mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa itu yaitu Dia
yang nyata’. Tidak Cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?” (Q.S. Al-Fussilat [41] 53).
Horizon yaitu dunia (alam) yang kita lihat sementara diri (jiwa) yaitu dunia
pengalaman batin”69 Kosmos merupakan tanda Tuhan untuk mengetahui esensinya.
Dalam mengetahui dirinya, Tuhan mengetahui semua tanda Wujud, semua
kemungkinan permutasi dan manifestasinya dalam mengekspresikan pengetahuan-
Nya melalui kata kreatif ‘terjadi! Dia mengartikulasikan hal-hal bersamaan dengan
wujud yang dasarnya dari kata-kata yang ada dan dikenal sebagai ‘Breath of All-
Merciful’.70 Mengingat bahwa Tuhan mengetahui semua hal dalam diri-Nya dan
bahwa kosmos yaitu eksterior dari pengetahuan ini, dan mengingat bahwa
pengetahuan Tuhan yaitu akar dari semua pengetahuan, tidak ada pengetahuan
tentang Tuhan yang dapat dipahami tanpa kosmos.71
Sufi memahami cinta sebagai motif untuk menciptakan kosmos. Seperti lainnya,
Ibn ‘Arabi seringkali merujuk kepada hadits qudsi yang terkenal bahwa ungkapan
Tuhan yaitu harta yang tersembunyi (Hidden Treasure). Kutipan yang selalu
digunakannya berbunyi “Aku yaitu harta tapi tidak diketahui, jadi aku senang untuk
diketahui; Aku menciptakan ciptaan-ciptaan dan membuat diri-Ku diketahui oleh
mereka, jadi mereka datang untuk mengetahui Aku.”72
Beberapa teks Islam menyebutkan horizon dan diri sebagai ekspresi al-Qur’an
yang setara dengan ‘makrokosmos’ dan ‘mikrokosmos’, istilah filosofis yang
kembali ke sumber-sumber yunani. Studi kosmologi mencakup upaya untuk
memahami pentingnya diri (nafs) dan cakrawala (afaqi), baik dunia besar maupun
dunia kecil. Meskipun ayat al-Qur’an mengenai pengetahuan tentang diri dan
horizom tampaknya menempatkan kedua pengetahuam ini pada tingkat yang sama.
Ibn ‘Arabi melihat pengetahuan tentang kosmos sebagai sekunder untuk pengetahuan
tentang diri, karna segala sesuatu di kosmos sudah ditemukan pada diri, yang
diciptakan dalam tajalli Tuhan.73
Secara teori menurut pendapat teologi, keberadaan Tuhan dibuktikan dengan
manifestasi adanya makhluk (mikrokosmos dan makrokosmos).74 Ahli metafisika
mempersepsikan Real (Yang Nyata) yang transenden melalui ‘tanda’ atau ‘jejaknya’
untuk melihat sebab dan akibat, prinsip dalam pola dasar atau manifestasi, dan pola
dasar atau gagasan dalam proyeksi.
Fenomena ‘membuktikan’ atau lebih tepatnya ‘memanifestasikan’ Realitas
Ilahi melalui beberapa aspek: pertama, melalui keberadaannya yang murni dan
sederhana; kedua, melalui kategori eksistensial seperti ruang dan waktu; ketiga
melalui kualitas yang membedakan dan mengatur hal-hal seperti elemen, Dzat ,
bentuk; kee: mpat, melalui sifat seperti vital, sensorial, mental, moral dan intelektual
atau spiritual; kelima, fenomena privatif dalam arti bahwa tidak adanya sesuatu yang
membuktikan atau menyiratkan.75
Secara logis hanya ada satu kesadaran ‘I (Aku)’ yang secara empiris yang dapat
dipahami tanpa absurditas. Ketidakterbatasan ruang, waktu, jumlah, kebenaran
formal, singkatnya limitasi kosmik diilustrasikan dengan ketidak-konsistensiannya.
Kita bahkan akan mengatakan absurditasnya sebagai dimensi transenden yang
kontradiksinya dapat dan harus diselesaikan. Keterbatasan empirik dan ekstrinsik
harus dalam arti tertentu terbuka pada keterbatasan berprinsip dan instrinsik yang
tidak lain yaitu ketidakbatasan metafisik atau metakosmik. Bersamaan dengan itu,
batas kondisi spasial dan temporal hanya dapat dijelaskan oleh imanensi prinsip-
infinitude, dimana kondisi ini merupakan proyeksi kontingen yang bertentangan,
karna mereka menggambarkan sesuatu infinite (tidak terbatas) dari finite (terbatas).76
Makhluk (mikrokosmos dan makrokosmos) akan mengatakan bahwa ada
sesuatu yang misterius dan sakral di titik, momen, dan kesatuan bahwa terdapat begitu
banyak celah menuju prototipe Ilahi. Prototipe Ilahi merupakan sebutan Sang Pusat,
Maha hadir, Maha Sempurna. Sebagai sang Pusat masa kini yang satu dan sempurna.
Sang Ilahi, dibuktikan dengan tanda-tanda-‘bukti-bukti’ Tuhan (the Proof of God)
sangat terstruktur dalam dunia dan benda-benda.77
Dengan demikian roh kita mempersepsikan secara intelektual dan sebab itu
secara intuitif, yang tak terbatas dalam ruang dan waktu, yang mutlak atau yang
diperlukan dalam keberadaan hak-hak, kesempurnaan atau sesuatu yang baik dalam
kualitas dan kemampuan dan Diri Tertinggi dalam keajaiban subjektivitas
penglihatan. Bahwa bagi siapapun yang peka terhadap esensi segala sesuatu harus
membuka intuisi subjek Sang Absolut yang menyilaukan, yang kesatuannya
transenden dan imanen, dan tidak ambigu.78
Paparan di atas memperjelas bahwa kosmos secara keseluruhan yaitu
manifestasi dari khazanah yang tersembunyi dari nama-nama Ilahi. Begitu pula
categories , such as space and time, and thirdly through qualities, which differentiate and
arrange hierarchically such things as elements, substances, forms, next in the fourth place,
come the faculties: vital, sensorial, mental, moral, and intellectual or spiritual. Fifthly we
could even mention private phenomena, in the sense that the absence of a good proves, or
indicates, the possibility of the presence of that good, a contrario and ad majorem Dei gloriam;
an absence that cannot but be relative, since absolute evil does not exist.” Frithjof Schuon,
Roots of the Human Condition..., 54.
76 Teks asli: “But let us return to the objective ‘signs’ of God: the boundlessness of
space, time, number, of formal differentiation, in short of the cosmic illimitaion, indicates, by
its very inconceivability-we would even say its absurdity – a tranccendent dimension wherein
the contradiction can and must be resolved; the empirical and extrinsic limitlessness must in
a certain sense open onto a principal and instrinsic limitlessness, which is none other than the
metaphysical or metacosmic infinite. Analogous to what holdstrue for subjectivity, the
boundlessness of the spatial and temporal conditions can only be explained by the immanence
of a principle-infinitude, of which these conditions are the contingent projections, apparently
contradictory since they depict the Infinite by the finite.” Frithjof Schuon, Roots of the Human
Condition,
dengan manusia, dalam istilah Ibn ‘Arabi sebagai al kawn al jami’, yang diciptakan
dalam citra-Nya (shurah Ilahi) sehingga dalam pemahaman ini manusia dan alam
yaitu simbol dari Sang Realitas Tertinggi.79
3. Relasi Eksistensial: Antara Tuhan, Manusia, dan Kosmos
Kesadaran eksistensial manusia sebagai makhluk empiris dan Ilahiah
meniscayakan hubungan yang bersifat relasional antara Tuhan, manusia, dan alam.
Hubungan antara Wujud (Tuhan) dan manifestasi (manusia dan alam) ibarat
hubungan matahari dengan benda-benda yang disinari. Dialah Cahaya (Nur) dan yang
lain yaitu biasnya80. Bahwa Wujud yang satu melahirkan keragaman manifestasi
yang bisa dipahami dengan indera sensorial, intelegensia, dan intelek dan berbagai
perspektif lainnya yang berbeda. Tingkatan pengetahuan dan pengalaman spiritual
yang otentik seperti kesaksian (shuhud) merasakan (dzawq) dan kondisi saling
terhubung dari kesadaran trans-empiris (ahwal). Di mana pengetahuan ini yaitu
penyatuan tauhid dalam jiwa manusia dengan inti kebenaran. 81
Sebagai makhluk Ilahiah meniscayakan manusia membutuhkan adanya Tuhan
sebagai pemberi segala yang dibutuhkan. Untuk itu, Tuhan yang transenden, infinite,
realitas supranatural, supra kosmik dan seterusnya menjadi tempat manusia meminta,
bermohon, dan berharap. Penjelas dalam hal ini yaitu bukti bahwa manusia dan alam
merupakan realitas kontingen (hudust, fakir, dan dependen). sebab asal dari segala
eksistensi yang dijumpai dalam kosmos yaitu perbendaharaan dari nama-nama
Tuhan... dan Dia lah tempat bersandar.82
Tiga elemen yang menjadi substansi dimensi manusia – raga-jiwa-ruh –
memiliki gerak eksistensial sesuai dengan fitrah bergerak menuju cahaya yang lebih
tinggi yaitu Tuhan (return to God)83. Seluruh sejarah kehidupan manusia diwarnai
oleh kebutuhan manusia terhadap Tuhan (agama), warna ini dibuktikan oleh simbol-
simbol budaya dan ritus-ritus yang merupakan esensi dan simbol keberagamaan,
dimana dalam hal ini dimaknai sebagai kondisi esensial manusia.
Dalam diri manusia terdapat seluruh ciptaan dalam arti esensial. Manusia
diciptakan menurut gambar Tuhan.85 Manusia diciptakan dengan sebuah tujuan
sebagai hamba dan wakil Tuhan. Hamba yang berarti manusia sebagai makhluk pasif
yang menerima dan tunduk kepada Tuhan. Wakil yang berarti manusia sebagai
khalifah.86 Menurut Islam tujuan kemunculan manusia di dunia untuk memperoleh
pengetahuan total tentang benda, untuk menjadi manusia universal (al-insan al-
kamil), cermin yang merefleksikan semua Nama dan Sifat Allah.87 Dengan bantuan
alam, manusia dapat meninggalkan alam ini untuk menggapai keadaaan yang lebih
mulia dibandingkan apa yang manusia terima sebelum kejatuhannya.88
Kosmos memanifestasikan nama-nama Ilahi yang mempunyai hubungan dengan
fisiologi dan etika manusia. Nama-nama tersebut menggambarkan masalah tatanan
dan struktur kosmik, meskipun mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan
masalah etika dan moral. Awal berarti kosmos muncul darinya sebab Dia yaitu
yang pertama, sedangkan Akhir berarti kembali kepada-Nya sebab Dia yaitu yang
terakhir. Manifes (The Lowest) berarti sesuatu yang dapat dirasakan dengan bantuan
indera penglihatan sedangkan Non-manifes (The Highest) berarti sesuatu yang
melampaui 70 hingga 70.000 lapisan cahaya dan kegelapan dalam hal ini yaitu
keberadaan Ilahi yang tersembunyi.89
Corbin menggarisbawahi kehadiran Tuhan sebagai tindakan teofanik yang
pertama kali wujud Ilahi menungkapkan diri-Nya, menunjukkan diri-Nya, dengan
membedakan diri-Nya dalam wujud-Nya yang tersembunyi. Tindakan ini dipahami
sebagai imajinasi aktif yang kreatif dari konsep awan primordial. Dia yaitu pencipta
ciptaan (Khaliq-Makhluq) yang berarti wujud Ilahi itu merupakan yang tersembunyi
dan yang tersingkap, atau juga berarti bahwa Dia yaitu yang Pertama (al-Awwal)
dan yang Terakhir (al-Akhir).90
Ibn ‘Arabi mengembangkan implikasi dari nama-nama tersebut Awal, Akhir,
Manifes (al-Dzahir), dan Non-manifes (al-Bathin) untuk melihat satu entitas dari
semua hal.91 Ibn ‘Arabi mengatakan ketika ciptaan diciptakan maka Yang Nyata
tersembunyi; ketika Yang Nyata memanifes, ciptaan menghilang. Tuhan meliputi
manusia dari belakang (min wara) namun manusia tidak mengetahuinya. Dan
pernyataan ini merujuk pada ayat:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin” (Q.S.
Al-Hadid [57]:3).
Wujud yaitu lingkaran (da’ira) sedangkan Tuhan yaitu titik pusat (nuqta) dan
lingkaran (muhit).92 Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa wajah manusia selalu mengarah
ke titik pusat lingkaran, yaitu Tuhan. Manusia melakukan perjalanan mundur dengan
wajah berada tetap menghadap pusat lingkaran.93 Tuhan ada di belakang kita,
meliputi, sebab Dia yaitu Wujud.94
Kisah-kisah simbolis penampakkan Ilahi, menurut Corbin, merupakan
kosmografi mistik penggambaran dunia tengah atau dataran wujud terhadap
hubungan realitas wujud haqiqi dan manifestasinya.95
Kosmos tidak pernah berhenti di bidang wujud ad infinitum. Wajah kosmos tetap
menghadap Awal yang menjadikannya ada. Sedangkan, bagian belakang kosmos
tetap menghadap Akhir, ‘Yang Meliputi’ dimana kosmos mencapai ujungnya melalui
bagian belakangnya, sebab kosmos melihat ke belakang persis seperti yang terlihat
di depan.96
اوعجرْاف مْكل ماقم لا برثْي لهْأ يا مْهنْم ةٌفئاط تْلاق ذْإو
“Dan ingatlah ketika segolongan diantara mereka berkata, ‘Wahai
penduduk Yastrib (Madinah)! Tidak ada tempat bagimu, maka kembalillah
kamu…” (Q.S. Al- Ahzab [33]:13).
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi lingkaran didirikan dari dua busur yang sering
disebut dengan ‘totalitas’ (al-majmu) yaitu yang Nyata (Real) dan ciptaan-Nya.
Ciptaan tumbuh dari yang Nyata dan kembali kepada yang Nyata, dan Wujud tetap
selalu berbentuk lingkaran (circle).97 Dengan demikian bentuk lingkaran ini yaitu
simbol dari manifestasi (exterioriDzat ion), sementara titik pusatnya yang ditengah
yaitu Tuhan (The Center).
Berdasarkan ayat dibawah ini:
ٰلّىدتف ناد ّثم نىدْأ وْأ يْْسوْق باق ناكف
“Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat,
sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi)” (Q.S. An-
Najm [53]: 8-9).
Ibn ‘Arabi membaca ayat diatas sebagai referensi eksplisit ke pengalaman
visioner yang dikenal sebagai 'jalan setapak timbal balik (waystation)' di mana Tuhan
turun dan hamba bangkit untuk menemuinya.98 Ibn ‘Arabi menjelaskan lebih detail
mengenai lingkaran yang terbentuk dari dua busur. Ia menjelaskan bahwa penjelajah
yang mencapai titik timbal balik (waystation) menemukan pusat dan lingkaran
bertemu dan menjadi satu.99
Penjelasan lain tentang pertemuan dua busur antara Tuhan dan hamba
diistilahkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai pertemuan menaik dan menurun. Turunnya
Tuhan ke qalbu seorang salik dan naiknya seorang salik dengan himmah yang kuat
untuk ber-tawajjuh dengan-Nya.100
Istilah yang lain yang digunakan untuk menunjuk pada pertemuan Tuhan dengan
hamba sebagai titik jalan timbal balik di mana Tuhan berkata kepadanya ‘My ill is
your engendered existence’. Menurut Lane's Lexicon, kata ill, merujuk pada apa pun
yang memiliki kualitas yang mengharuskannya dianggap sakral, atau tidak dapat
diganggu gugat, yang memiliki beberapa hak yang berkaitan dengan-Nya.
Chittick dalam SPK menjelaskan bahwa pertemuan antara Tuhan dan hamba di
mana Tuhan turun (munazalat) dan sebab kehendak agar hati hamba memiliki hasrat
untuk selalu bertemu (ijtima) dengan Tuhan.101 Sebuah interaksi pertemuan antara
Tuhan dan hamba yang diilustrasikan Ibn ‘Arabi seperti yang dikutip Chittick berikut
ini:
Waystation sebagai tempat pemberhentian (manzilah) sebagai sebuah
maqam yang melaluinya Tuhan turun kepadamu atau dengannya engkau
melakukan pendakian menujuNya, perhatikan bahwa perbedaan antara turun
kepada dengan mendaki menuju. Munazalat yaitu Dia menghendaki turun
kepadamu dan menempatkan di dalam hatimu hasrat untuk ingin selalu
bertemu dengan-Nya. Hasratmu begitu lembut, suatu gerakan spiritual yang
mengantarkanmu menuju ke arah-Nya dan engkau pun dapat “menyatu”
dengan-Nya di antara berbagai “tempat perhentian”: engkau menatap pada-
Nya, sebelum engkau mencapai “tempat perhentian,” dan Dia pun turun
kepadamu –melalui salah satu dari namaNya– sebelum Dia berada di “tempat
perhentian.” Hal ini terjadi di luar kedua “tempat perhentian” tersebut melalui
apa yang disebut “munazalat”.102
Penjelajah atau pesalik yang menempuh perjalanan spiritual menemukan pusat
atau Tuhan melalui himmah dengan mengumpukan semua daya baik fisik, jiwa atau
spirit, sehingga gathering dengan Tuhan atau tawajjuh billah.103 Pertemuan ini
menurut Chittick yaitu merujuk pada maqam ridha, zuhud, tawakkal, atau maqam
syukur. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ada beragam cara penyatuan antara
manusia dan Tuhan, jalan yang satu yaitu upaya atau ikhtiar manusia dan jalan yang
kedua yaitu bersifat anugerah. Tuhan hadir pada qalbu yang Dia kehendaki.
Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri di dalam keadaan sadar, sebagai Dzat
yang Tak Tergantung dengan apapun, namun sifat ciptaan yang pasif dan reseptif
sebab Tuhan yaitu hirarki yang atas sementara ciptaan yaitu hirarki terbawah
yang menggantungkan keberadaannya pada Sang Wujud.104 Wujud yaitu
manifestasi dari kehadiran di dalam entitasnya. sebab melalui Wujud semua properti
menjadi manifestasi-negasi dan afirmasi; kebutuhan; kemungkinan dan
ketidakmungkinan; Wujud dan ketiadaan; non-Wujud dan keadaan.105
Tak ayal lagi bahwa Wujud Ilahi yang termanifestasi dalam kosmos dan manusia
hanya bisa dipahami oleh hati seorang Arif yang menerima setiap bentuk kehadiran.
Sehingga visi teofani hanya diberikan pada kesanggupan (isti’dad) hati seorang Arif
dan hal ini dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi bahwa tajalli al-Haqq hanya bisa dipahami oleh
qalbu Arif.106
Hubungan Tuhan, manusia, dan alam mengingatkan kita kepada asal segala
sesuatu (kosmos) yang terdefinisikan ‘segala sesuatu selain Allah namun di penjelasan
lain, menyebutkan لك ءيش كلاه لإ ههجو bahwa tidak ada apapun selain wajahNya.
Terlihat ada kontradiksi antara Wujud yang satu dan yang lainnya. namun para Sufi
terutama Ibn ‘Arabi memberi penjelasan bahwa manusia dan kosmos (alam kabir dan
alam shagir) yaitu berasal dari nafs al-wahidah atau nafas yang satu dimana didalam
sistem kosmologi Ibn ‘Arabi akar nafas inilah yang menjadi titik awal manifestasi
terciptanya kosmos dan manusia.107
Menurut Qaysari108 penjelasan ini menjadikan sebuah isyarat tentang Dzat yang
merupakan haqiqat al-haqaiq yang zahir padanya menjadi terbagi ‘Multiplicity’ atau
‘manyness’ mazahir-Nya seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi yang dikutip
Muhammad Baqir di bawah ini:
‘Dan ketika telah terbukti hubungan antara sesutau yang mempunyai
keberadaan konkrit dengan sesuatu yang tidak mempunyai keberadaan
konkrit; dan hubungan ini yaitu nisbah-nisbah non-eksistensial. Maka
hubungan al-maujudat, sebagiannya dengan sebagian lainnya yaitu lebih
mudah difahami sebab dalam apa keadaanpun diantara kedua-duanya
terdapat penggabung (atau persamaan) dan ia yaitu al-wujud al-‘ayni. Disana
sudah ada penggabung dan terdapat hubungan (antara al-ghaibi dan al-ayni)
sedangkan diantarannya tidak ada penggabung, apalagi jika ada penggabung
sudah pasti hubungannya) lebih kuat dan real.’109
Penjelasan yang lain tentang hubungan antara Tuhan (substance) dan
manifestasi-Nya (contingent) dapat kita lihat:
“Tidak ragu lagi bahwa al-muhdath (contingent existent) yaitu sesuatu
yang terbukti hudusnya (contingency) dan kebutuhannya kepada muhdith
yang mewujudkannya. sebab imkan yang merupakan esensialitas dirinya.
Maka wujudnya (berasal) dari selainnnya. Dan ia berhubungan dengannya
secara hubungan kebutuhaan. Maka keberadaan yang ia bersandar kepadanya
wajib al-wujud secara