Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 8

 


nubuwwah al-Insani. Formnya dalam martabat 

pertama dari segi kenabian insani yaitu  Adam ‘alaihisalam. Sementara martabat 

jam’iy dan dan khatami terakhirnya yaitu  Muhammad.  

Ibn ‘Arabi  menyatakan bahwa hikmah al-fardiyyah termanifestasi kepada ruh 

Muhammadiyyah sebagai keberadaan yang paling sempurna di kalangan manusia. 

Kesempurnaan ini yaitu  ta’ayyun awal yang berada di titik puncak segala 

keberadaan dan juga berada di titik akhir segala keberadaan. Ibn ‘Arabi  menyatakan 

bahwa riwayat keawalan kalimat Muhammadiyah sebagai berikut:  

ينبَمدآوَايبنَتنك يَنطلاَوَءالما210 

“Aku sudah menjadi nabi sementara adam masih dalam keadaan air dan 

tanah liat”. 

Ibn Turkah memaknakan riwayat ini seperti yang dijelaskan oleh Muhammad 

Baqir211 Muhammad sebagai Nabi yang merupakan mazhar kepada segala sesuatu 

sebagaimana adanya dan segala sesuatu terpadu di dalamnya (all-comprehensive) 

sementara Adam pada saat itu berada dalam tafriqah212 al-Asma (keterpisahan) maka 

dinyatakan Adam berada di antara air dan tanah.  

Hakikat insan kamil merupakan esensi yang supraindividual dan maqam 

kenabiannya juga maqam kenabian mutlak. Sehingga para nabi sebagaimana Adam 

mempersonifikasi dalam bentuk Adamiyyah yang pada akhirnya merupakan 

personifikasi dari Muhammad individual.  


“Afrad yang pertama yaitu  tiga. Dan apapun yang tertambah pada yang  

pertama ini (al-awwaliyyah) dari kalangan afrad, maka ia yaitu  darinya” 

Qaysari214 menyatakan bahwa tiga yang dimaksud disini yaitu  bahwa al-dhat 

al-Ilahiyyah (the Divine Essence), martabat al-Ilahiyyah (the degree of Divinity), al-

Haqiqat al-Ruhaniyyah al-Muhammadiyyah (the Reality of Muhammadan Spritiality) 

juga dipanggil sebagai al-Aql al-Awwal (The First Intellect) dan apapun yang 

bertambah darinya yaitu  produk dari hasil tiga tersebut. Penjelasan ini dalam istilah 

al-Fardiyyah al-awwaliyyah (keganjilan pertama) merupakan penyebab segala 

manifestasi.  


“Maka beliau ‘alaihissalam yaitu  bukti yang paling jelas terhadap 

Rabbnyya. sebab  telah didatangkan kepada beliau jawami’ al-kalim (yaitu 

segala kalimat-kalimat yang mana semuanya yaitu  objek-objek Nama-Nama 

“Adam”. Maka ia yaitu  dalil yang paling mirip pada trinitasnya. Sedangkan 

dalil yaitu  dalil untuk dirinya sendiri.” 

Muhammad Baqir memaknai ruh Muhammad sebagai dalil yang terang terhadap 

Rabb-nya sebab  Rabb tidak akan tampil kecuali melalui marbub dan mazharnya. 

Dengan demikian, Ruh Muhammad yaitu  manifestasi Rabb yang paling terang dan 

jelas. Semua kalimat-kalimat terekspresi dalam hakikat Muhammadiyyah dan semua 

 


kesempurnaan al-dhath sceara komprehensif telah terekspresi melalui wujud 

Muhammad. Selanjutnya, Muhammad Baqir menjelaskan bahwa hakikat insan ini 

lebih mirip kepada trinitas (al-dhat al-Ilahiyyah (the Divine Essence), martabat al-

Ilahiyyah (the degree of Divinity), al-Haqiqat al-Ruhaniyyah al-Muhammadiyyah 

(the Reality of Muhammadan Spirituality).216 Seperti diagram di bawah ini: 

 

 al-dhat al-Ilahiyyah   →  Minor Term  

 

al-Haqiqat al-Ruhaniyyah  →  Middle Term  

 al-Muhammadiyyah 

  

 martabat al-Ilahiyyah  →  Major Term  

 

Manusia sebagai insan kamil merupakan perpaduan (jam’iyyah) dari sifat Tuhan 

serta semua realitas alam. Dengan kata lain, manusia yaitu  “totalitas alam” (ma’ju 

al-alam). Ibn ‘Arabi  mendefinisikan manusia sebagai “miniatur alam” (mukhtasar 

al-alam) atau alam sogir (mikrokosmos) . Sesuai dengan perkataanya: 


“Ia yaitu  manusia, yang baharu, yang azali, ia yaitu  bentuk yang kekal, 

yang abadi, dan Kata (Logos) yang memisahkan dan yang memadukan.” 

Jasad manusia merupakan baharu (hadits) dari aspek badaniahnya sedangkan 

ruh manusia merupakan azali dari aspek Ilahinya. Yang mana menjadi Kata (Logos) 

pembeda antara Tuhan dengan alam. Maka dari itu, manusia yaitu  penengah atau 

perantara (barzakh) antara keduanya. 218 

Di sisi lain, manusia juga merupakan penyatu antara semua Nama-Nama Tuhan 

dan penyatu antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat kemakhlukan. Menurut Ibn ‘Arabi , 

manusia terdiri dari dua salinan. Salinan yang pertama yaitu  yang tampak (nuskhah 

zahirah) yang diartikan sama seperti alam. Sedangkan, salinan kedua yaitu  yang 

tidak tampak (nuskhah batinah) yang disamakan dengan kehadiran Ilahi219. 

 


Ibn ‘Arabi  menjelaskan hubungan manusia dengan alam seperti ruh dengan 

jasad. Seperti yang dikutip oleh Kautsar di bawah ini: 

“Manusia yaitu  ruh alam dan  alam yaitu  jasad... Jika anda memperhatikan 

 alam tanpa manusia, niscaya anda akan menemukannya seperti tubuh yyang 

tidak terbentuk tanpa ruh. Kesempurnaan alam sebab  manusia seperti 

kesempurnaan jasad sebab  ruh. Manusia ditiupkan ke dalam tubuh alam. sebab  

itu, ia yaitu  tujuan (al-maqsud) alam.” 

Manusia dalam mencapai kesempurnaannya atau insan kamil disebabkan oleh 

sifat “perpaduan” (jam’iyyah) sehingga manusia disebut khalifah. Dengan sebutan 

tersebut manusia menjadi pemelihara alam yang ditunjuk oleh Tuhan. Alam dapat 

terpelihara secara terus-menerus sebab  ada manusia sempurna (insan kamil) di 

dalamnya.221 Sebagaimana penjelasan Ibn ‘Arabi di bawah ini: 


“Dia [Allah] menundukkan (sakhkhara) kepadanya [Adam, manusia] 

segala  sesuatu, yang tinggi dan yang rendah, sebab  kesempurnaan 

bentuknya. Sebagaimana tidak sesuatupun dalam alam yang tidak memuji 

Tuhan, demikian pula tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak tunduk 

(musakhkhar) kepada manusia sebab  sesuatu yang diberikan kepadanya oleh 

hakikat bentuknya. Allah Ta’ala berkata: “Dia menundukkan kepadamu 

semua yang ada di langit dan yang ada di bumi, [sebagai rahmat] dari Dia.” 

[Qs. 45:13] sebab  itu, segala sesuatu yang ada dalam alam tunduk kepada 

manusia. Barang siapa yang mengetahui ini yaitu  Manusia Sempurna, 

sedangkan barang siapa yang tidaak mengetahuinya yaitu  Manusia Binatang 

(al-insan al-hayawan)” 

 

Dalam pandangan Ibn ‘Arabi  manusia digolongkan menjadi Manusia sempurna 

(insan kamil) atau hamba Tuan (‘abd Rabb) dan al-insan al-hayawan atau hamba 

nalar (‘abd nazar). Hamba Tuan atau gnostik (arif) mengetahui Tuhan dari segi 

tajalli-Nya kepadanya dengan penyingkapan intuitif (kashf) dan rasa (dzawq). 

Sedangkan hamba nalar mengetahui Tuhan dengan nalar pikiran dan akal, ia juga 

merupakan golongan yang terikat dengan badan dan hawa nafsunya serta tidak 

mengetahui realita-realitas segala sesuatu dan hijab tebal antara hamba dengan Rabb-

nya.

“sebab  wujud Manusia sempurna yaitu  menurut gambar sempurna 

[Tuhan], maka ia berhak menerima khilafah dan kewakilan dari Allah Ta’ala 

di alam. Mari kita jelaskan pada bagian imi timbulnya khilafah, 

kedudukannya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia 

dengan Manusia Binatang belaka, namun  dengan manusia dan khalifah. 

Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam 

kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khalifah. Menurut pendapat kita, 

Manusia Binatang benar-benar bukanlah khilafah” 

Menurut Chittick, manusia sempurna (Insan kamil225) bersifat tetap dalam 

esensinya seperti Wujud Tuhan yang mengalami transformasi dan transmutasi 

dengan “berpartisipasi” dalam kebaqaan dan penyingkapan diri Tuhan. Manusia 

merupakan barzakh dari barzakh-barzakh, dunia internal yang mencakup dunia-

dunia internal lainnya, pemisah dan perantara antara Wujud Absolut dan ketiadaan 

Absolut. Dalam dunia korporeal (jasad atau jism) manusia sempurna sama dengan 

manusia lainnya. 

 

 


RELEVANSI KOSMOLOGI IBN ‘ARABI DENGAN KESADARAN TAUHID 

MANUSIA 

 

Bab ini yaitu  analisa terhadap ajaran kosmologi sufi Ibn ‘Arabi dan 

relevansinya terhadap kesadaran tauhid manusia. Bahwa ajaran kosmologi Ibn ‘Arabi 

melahirkan kesadaran relasional dengan mengurai relasi kausalitas, relasi simbolik, 

dan relasi eksistensial antara Tuhan, Manusia dan Kosmos. Dilanjutkan dengan tiga 

kesadaran dan epsitimologisnya yang meliputi derajat shari’at sebagai pintu awal 

perjalanan spiritual, derajat thariqat sebagai tangga kesadaran intelek, dan derajat 

hakikat sebagai akhir perjalnan ma’rifat. Pada bagian akhir bab ini membahas 

pendakian puncak perjalanan jiwa manusia dari mana berasal dan ke mana manusia 

kembali, serta urgensi ajaran tasawuf dalam kehidupan modern dan implikasinya 

pada dimensi etik. 

 

A. Melahirkan Kesadaran Relasional  

Pada sub bab ini mengurai kesadaran manusia terhadap sebab eksistensialnya, 

kesadaran terhadap simbolik kosmos dan bagaimana relasi eksistensialnya dengan 

Tuhan dan semesta kosmos. 

 

1. Relasi Kausalitas: Tuhan Sebagai Sang Penyebab 

Pertanyaan tentang sebab diri dan benda-benda lain, yaitu  polemik yang cukup 

menggasak mental manusia sejak kemunculannya dan memposisikan dirinya sebagai 

pertanyaan yang paling mengakar ketika dihadapkan pada pemikiran para filosof. Hal 

ini yang membawa para filosof Yunani untuk sampai pada kesimpulan mengenai 

unsur pertama dari semua benda-benda dalam alam. Filsafat bermula dengan 

persoalan kausalitas dan masalah kausalitas bukanlah sebuah dilema yang dituju 

manusia, melainkan kausalitaslah yang berjalan menuju manusia. Hukum kausalitas 

telah memenuhi pemikiran manusia dan menyibukkan semua kontemplasi dan 

perenungannya. 

Teori kausalitas1 yang puncaknya yaitu  pada zaman Aristoteles (384-322)2 

berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab, yakni sebab materi 

(material cause), sebab bentuk (formal cause), sebab efisien (efficient cause), dan 

 

sebab final (final cause).3 Dari empat sebab di atas Aristoteles membagi menjadi 2 

kategori yakni; pertama, sebab internal (materi dan bentuk); kedua, sebab eksternal 

(efisien dan final). 4 Berangkat dari prinsip fundamental inilah Aristoteles dapat 

membuktikan bahwa didalam alam semesta ada penyebab yang tidak disebabkan 

yaitu Tuhan.5 Peristiwa kejadian alam semesta menuju kepada tujuan yang harmonis 

dengan adanya empat anasir; air, api, tanah, dan udara berjalan sesuai dengan jalur 

eksistensinya seperti halnya api dan udara menjulang ke atas sedangkan tanah dan air 

merujuk ke bawah.6 Hal tersebut hakikatnya menuju kepada Penggerak yang 

Sempurna yang sesuai dengan ungkapan Aristoteles, ‘Ia menggerakkan sebab  

dicintai’ (‘Kinei de hos eromenon: He produces motion as being loved’)7. 

Penjelasan Ibn ‘Arabi bahwa hubungan alam semesta dengan Allah yaitu  

hubungan antara yang Mumkinul Wujud dan Wajibul Wujud sebab  kosmos tidak 

memiliki level eksistensial dalam ke-azali-an, sebab  itu yaitu  level bagi Yang 

Wajib Wujud melalui Dzat . Dia lah yaitu  Allah yang tidak ada sesuatu apapun 

bersama-Nya.8 Hal ini memberi penjelasan bahwa prinsip kausalitas dalam tasawuf9 

berbeda dengan penjelasan filsafat. sebab  kausalitas dalam tasawuf yaitu  

hubungan antara Wujud Qadim (substance) dan Hudus (contingent). Yang 

meniscayakan hubungan ini sebagai hubungan antara Ruh Tuhan dan Ruh manusia 

dan juga alam semesta dalam bentuk al-mahabbah, al-ma’rifat, al-hulul dan al-

ittihad.10 Penjelasan bahwa Ruh manusia berasal dari Ruh-Nya berdasarkan ayat al-

Qur’an. 

 

 

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup 

kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan 

bersujud.” (Q.S. Al-Shad [38]:72). 

Terkait hubungan antara ruh Tuhan dan ruh manusia, Hamzah Fansuri 

memberikan perumpamaan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia tak ubahnya 

laut dan buih, seperti yang disampaikannya bahwa, ‘sebab  Rahman seperti laut, dan 

Adam seperti buih.’ 11 Perumpamaan tersebut juga bermakna bahwa laut dan buih 

ibarat hubungan antara cinta dan kerinduan. Hubungan cinta dan kerinduan inilah 

yang menjadi titik awal hubungan Tuhan dengan manifestasinya.  

Berpijak dari sistem ontologis “Sang Realitas Tertinggi”, merindukan12 

keindahan diri-Nya (jamaliyah)13. Dia mengungkapan kepada diri-Nya dalam esensi-

Nya, tak obahnnya cermin ajaib yang memantulakan kesempurnaan esensi-Nya 

(kamalat Dzatiyah) dalam keindahan abadi dan terus berlangsung14. Dalam semua 

kasus, hubungan yaitu  salah satu bentuk tasbih, dalam arti bahwa kosmos dipahami 

sebagai refleksi atau bayangan dari kenyataan dengan cara yang tidak dapat dipenuhi 

sepenuhnya oleh pikiran rasional.15 Perenungan pertama dalam refleksi keindahan 

yaitu  Nama-nama yang paling Indah (al-asmaul husna)16 dan sifat Sublim (al sifat 

al-’ulya.17Kerinduan ini menjadi determinasi pertama dari derajat awal 

manifestasinya (al al-fayd al-aqdas)18. 

 


Relasi cinta kerinduan yang menjadi sebab adanya manifestasi (tajalli). Hasil 

dari pancaran (fayd) merupakan exterioriDzat ion dari “kanzan mahfi” dari tingkatan 

ontologis yang paling tinggi sampai tingkatan terendah. Hubungan ini dilukiskan oleh 

Ibn Arabi: 

“Sebagaimana yang tampak (zahir) dari bentuk manusia memuji 

 dengan lidahnya ruh dan jiwa yang mengaturnya, begitu pula Allah 

menjadikan bentuk alam bertasbih memuji-Nya, namun  kita tidak mengerti 

tasbih mereka sebab  kita tidak mengetahui semua bentuk alam. Segala 

sesuatu yaitu  lidah al-Haqq, yang mengungkapkan pujian kepada al-Haqq. 

sebab  itu, Dia berkata: “Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta,” (Q.S: 

Al-Fatihah [1]:1) yaitu segala akibat pujian kembali kepada-Nya; maka Dia 

yaitu  yang memuji dan dipuji.”19 

Hubungan relasional ini yaitu  hubungan gerak yang secara ontologi ruh alam 

yang ada dalam bentuknya itu yaitu  al-Haqq yang menggerakan dan mengatur alam 

dan seisinya, baik alam makro atau alam mikro. Ruh alam yaitu al-Haqq tidak bisa 

dipisahkan sebab  definisi “rububiyah” ataupun “uluhiyyah” mencakup alam20. 

Seperti yang diungkap oleh Ibn ‘Arabi: 

 

 

“Definisi manusia mencakup yang tampak dan yang tidak tampak 

daripadamu sebab  bentuk yang tetap ketika ruh yang mengaturnya hilang 

daripadanya, ia tidak disebut manusia lagi. namun  dapat dikatakan itu yaitu  

bentuk manusia, yang tidak berbeda dengan bentuk kayu dan batu. Kepada 

bentuk semacam itu tidak bisa diberikan nama manusia kecuali secara kiasan, 

bukan dalam arti sebenarnya. Al-Haqq tidak mungkin  menghilang dari bentuk 

alam, sebab  alam secara implisit ada dalam definisi “ketuhanan” (uluhiyyah) 

dalam arti sebenarnya, bukan secara kiasan, sebagaimana definisi manusia 

ketika ia hidup.” 

 


 

Hubungan kesatuan antara al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq (alam) terlihat dalam 

konsep ontologis Ibn ‘Arabi. Dimana dalam konsep ini Tuhan bukan hanya tidak 

tampak dari alam namun  juga tampak dalam alam. Disebabkan oleh sistem tajalli. 

Seperti halnya yang diungkap oleh Izutsu: 

…bukan hanya yang ‘tersembunyi’ (batin) dari alam yang merupakan al-

Haqq itu sendiri, namun  juga ‘yang terlihat’ (zahir)-nya yaitu  al-Haqq, sebab  

‘yang terlihat’ dari alam, sebagaimana kita saksikan, secara esensial yaitu  

bentuk-bentuk manifestasi Tuhan (teofani, tajalli). Dalam pengertian ini, baik 

zahir maupun yang batin dari alam harus didefinisikan dalam kaitan dengan 

ketuhanan.22 

Dalam struktur ontologis Ibn ‘Arabitidak ada garis pemisah antara yang memuji 

(al-mutsni) dan yang dipuji (al-mutsna’alyhi). Yang memuji yaitu  bentuk alam 

(surat al-alam) dan bentuk alam itu sendiri tidak lain daripada yang tampak dari al-

Haqq (zahir al-Haqq). 

Mengenal al-Haqq layaknya mengenal manusia, seperti halnya yang disabdakan 

oleh Nabi bahwa mengenal Rabb tergantung kepada mengenal diri yang merupakan 

marbub, sebab  Rabb sebagai Rabb menuntut adanya al-marbub23. Ibn Arabi juga 

menjelaskan: 

 

Bahwa ma’ifat insan akan dirinya yaitu  muqadimah terhadap ma’ifat 

terhadap Rabbnya sebab  ma’ifat kepada Rabbnya yaitu  hasil dari ma’ifat 

kepada dirinya sendiri. Oleh sebab  itu, sabda Nabi yang menyatakan: Barang 

siapa yang telah mengenal dirinya maka sesungguhkan dia telah mengenal 

Rabbnya 

 

Ibn ‘Arabi menggunakan pemikiran bahwa sebab dan akibat terkait satu sama 

lain dalam wujud, sembari menjelaskan kenapa ia menolak pemikiran bahwa untuk 

mengetahui diri, seseorang harus mengenal Tuhan terlebih dahulu.25 Seperti 

penjelasan Ibn ‘Arabi sebagai berikut: 

 


“Maka Dia tidak akan dikenali sehingga kita dikenali. Beliau pernah 

bersabda: barangsiapa telah mengenal dirinya telah mengenal Rabbnya. 

Sedangkan beliau yaitu  al-khalq yang paling mengenal Allah.”  

Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa mempertautkan pengetahuan ma’rifat 

ketuhanan dengan pengetahuan tentang diri manusia keduanya hanya bisa diketahui 

secara general namun  tidak secara rinci.27  

Selain relasi antara Ruh dan jasad, esensi dan manifestasi, yang Satu dengan 

yang banyak. Hubungan tajalli ini dalam banyak bentuk yang muncul dari yang 

Tunggal, tidak hanya terbatas pada alam. Chittick mengurai bahwa hubungan antara 

yang Absolut dan yang Relatif sebagai hubungan sebab akibat yaitu  hubungan 

substansi dan aksiden, hubungan antara yang Qodim yang hudust, hubungan yang 

qudus dan yang profan yaitu  hubungan esensial yang diistilahkan dengan relasi al-

wahid dan al-katsir.28  

Yang Satu yaitu  sumber metafisis pada yang banyak atau dalam struktur logika 

matematika bahwa bilangan yang satu yaitu  sumber semua bilangan. Namun yang 

banyak pada hakikatnya yaitu  Satu. Paralel dengan relasi yang Satu mengakibatkan 

atau sebagai penyebab dari yang banyak yaitu  yang batin, yang dlohir, bahwa 

hubungan kausalitas ini yaitu  pengetahuan tentang wujud tunggal dengan melihat 

keberagaman. Hal ini merujuk pada konsep Ibn ‘Arabi bahwa Allah bisa dikenali 

dengan adanya alam, sebab  Allah yaitu  satu hakikat yang korelatif bersama al-

ma’luh.29 Hal ini merujuk pada pernyataan Ibn ‘Arabi: 

 

‘Iya. Yang akan dikenali yaitu  esensi yang Qadim lagi Azali, namun  

 Dia tidak dikenali sebagai Ilah sehingga al-Ma’luh dikenali. Dan ini 

 yaitu  dalil keatasnya.’ 

Dalam prinsip kausalitas, alam menjadi sebab ontologis kesadaran kita terhadap 

adanya Tuhan dan kesadaran terhadap alam kepada Tuhan menjadi sebab 

epistimologis. Dan Tuhan secara ontologis yaitu  sebab sementara alam yaitu  

 


 

akibat. Penjelasan ini memberi pemahaman bahwa Tuhan yaitu  sebab epistimologis 

dan juga menjadi sebab ontologis (al-burhan al-limmi) dimana secara prinsip 

kausalitas paling kuat dan kokoh.31  

Qaysari menjelaskan bahwa mengenal Tuhan sebagai al-llah, sebagai pemilik 

nama-nama dan kualitas tidak akan mungkin kecuali dengan melibatkan perhatian 

terhadap alam, sebab  alam yaitu  dalil atas keberadaan al-llah sebagai ‘ilah. Kata 

alam diderivasi dari kata al-‘alamah yang berarti dalil atau tanda.32 Qaysari 

mendasarkan pada pernyataan Ibn ‘Arabi sebagai berikut: 


“Kemudian setelah ini di dalam keadaan keduanya, dikaruniakan kepada 

kamu kashf (penyingkapan) bahwa al-Haqq Diri-Nya sendiri yaitu  dalil 

keatas Diri-Nya dan juga ke atas uluhiyyah-Nya” 

Banyak penjelasan rasional34 terkait hubungan antara Tuhan dengan kosmos 

dijelaskan oleh para filsuf dan teolog, akan namun  Ibn ‘Arabi cenderung memandang 

hal ini dengan kritis, terutama jika terminologi tidak didasarkan pada al-Qur’an dan 

hadits. Misalnya, para filsuf muslim menyebut Tuhan sebagai sebab (‘ilah) terhadap 

alam semesta dan alam semesta yaitu  efeknya (ma’lul). Konsep ini menduduki 

posisi yang amat penting dalam pemikiran para filsuf muslim yang dalam perspektif 

Ibn ‘Arabi pemikiran itu  disebut dengan “penguat atas sebab”. Namun, Ibn ‘Arabi 

menyadari penerapan istilah sebab terhadap Tuhan yaitu  salah, sebab  relasi atas 

sebab dan akibat sesuatu yang tak terpisahkan. Tidak akan ada sebab tanpa akibat.35  

Tuhan hadir dalam segala bentuk keberadaan, ketika kesadaran mereka menuju 

pada-Nya, namun tidak termanifestasi dalam kosmos serta dalam bentuk wujudnya. 

 

 

 

Tuhan selalu hadir bersama kosmos, namun  kosmos tidak hadir bersama-Nya selama 

tidak menyaksikan-Nya.

Kesadaran Tuhan akan kosmos yaitu  keniscayaan sebab  kesadaran Tuhan 

terhadap diriNya yang tak terbatas, maka dengan kalam Kun (be) segala kemungkinan 

(possibility) semua termanifestasi. Meskipun secara ontologis semua entitas pada 

hakikatnya bertasbih (berkesadaran) namun  banyak manusia yang lalai, yang tidak 

bertafakkur, yang tidak memiliki kesadaran bertauhid. Dalam al-Qur’an banyak ayat 

yang mengindikasikan tentang kelalaian manusia. Hal ini dimaksudkan bahwa hanya 

mereka orang-orang yang sadar yang hadir sebagai seorang saksi mengenai kehadiran 

Tuhan dan termasuk golongan orang-orang yang memiliki bashirah.37   

Ibn’Arabi memberi penekanan pada kesadaran ini, bahwa bashirah yaitu  

penglihatan batin para ahli kashf yang memiliki kemampuan mata batin yang melihat 

alam sebagai al-tajalli al-wujudi al-Haqqani yang memanifes dalam cermin-cermin 

sebagai bentuk al-a’yan al-thabitah. Ia eksis pada level eksternal konkrit dengan al-

tajalli al-wujudi, yakni alam yaitu  manifestasi dirinya sendiri. Hal tersebut dapat 

dilihat pada pernyataannya dibawah ini: 

“Sesungguhnya alam tidak lain dan tidak bukan yaitu  tajalli-Nya dalam 

berbagai form entitas permanen-Nya yang mana wujud mereka itu mustahil 

tanpa-Nya. Dan ia menjadi berbagai ragam dan juga terformalisasi sesuai 

dengan haqiqat-haqiqat entitas tersebut dan juga ahwalnya”38   

Keberadaan manusia merupakan amazing miracle sebab  dengan adanya 

manusia menjadi bukti tentang adanya Sang Kesadaran dan membuktikan tentang 

immorality (keabadian jiwa). Sehingga kosmos dan manusia melahirkan kesadaran 

relasional antara Tuhan dan manifestasinya. 

 

2. Relasi Simbolik: Kosmos Sebagai Simbol Anagogic 

Simbol yaitu  refleksi atau bayangan dari realitas tertinggi, yang memiliki 

makna bahwa segala sesuatu yaitu  proyeksi dari yang di Atas.39 Simbol yaitu  

kualitas yang mempunyai kekuatan untuk melahirkan kesadaran pada manusia untuk 

mempersepsikannya. Untuk sampai pada pemahaman simbol, kita kembali pada 

prinsip metafisik. Pertama, kesadaran kita terhadap ketakterbatasan Tuhan, maka 

apapun yaitu  manifestasi dan tajalli-Nya. Kedua, kesadaran kita terhadap hirarki 

manifestasi. 

 


 

Berbicara tentang simbolis dalam konteks spiritual yaitu  membicarakan dalam 

aspek operatifnya dalam kesadaran spiritual. Seperti halnya penjelasan di bawah ini 

yang dirujuk oleh Muhammad Baqir:  

‘a symbol is anything that serves as a direct support for spiritual realiDzat 

ion…’40 

Relasi simbolik ini merupakan relasi antara simbol (cosmos) dan yang 

disimbolkan (metacosmos). Relasi ini disebut juga dengan anagogical symbol. 

Snodgrass menjelaskan bahwa simbol yaitu  hakikat yang bersifat anagogik, sebuah 

kata dari bahasa Yunani yang bermakna mengarah ke atas (anago) dan yang 

dimaksudkan dengan mengarah ke atas yaitu  dalam konteks kesadaran spiritual.41 

Simbol merupakan perangkat yang dapat membawa manusia kembali kepada 

yang Ilahi atau dengan kata lain kosmos merupakan simbol fisik terhadap sesuatu 

yang bersifat supra fisik.42 Dalam hirarki atau derajat eksistensi, alam fisik 

merupakan sebuah proyeksi ataupun manifestasi Sang Maha Realitas. Simbol 

menghantarkan manusia kepada kesadaran intelegensi yang terhubung dengan 

intelek. Realitas ini akan tersingkap melalui inisiasi simbolis seperti sebuah tangga 

yang membawa manusia mendaki sampai pada kesadaran tertinggi (highest 

consciousness). 

Kesadaran kosmik (Cosmic Consciousness)43 yang dimaksud disini yaitu  

kesadaran kosmos terhadap metacosmos yang dalam hal ini yaitu  kesadaran 

mikrokosmos terhadap Big cosmos yakni Tuhan. Kosmos sebagai gambaran 

kebenaran dan merupakan simbol keberadaan-Nya, dipahami sebagai sebuah kitab 

yang mengisyaratkan bahwa semua hakikat, rahasia dan hikmah terkumpul 

didalamnya. Kesadaran terhadap kosmik yaitu  sebuah kesadaran kosmos akan 

kehidupan dan keteraturan alam semesta. Kesadaran ini didasarkan pada wahyu dan 

filsafat yang lebih tinggi terhadap asal terciptanya kosmos.44 

Kesadaran kosmik (Cosmic Conciousness) bersumber dari pencerahan 

intelektual atau iluminasi (illumination). Dengan demikian, manusia yang berada 

 


pada tahapan ini memiliki ‘sense of immortality’, yaitu kesadaran akan hidup abadi.45 

Hal ini pararel dengan penjelasan metafisika bahwa kesadaran terhadap manifestasi 

merupakan kesadaran objektif manusia terhadap Sang Illahi.46 

Kesadaran bahwa kosmos merupakan sebuah simbol atau tanda mempunyai 

makna dan fungsi penjelas bahwa kosmos bukan benda mati akan namun  sebagai 

realitas fisik yang merujuk pada entitas supraphysical. 47 sebab  simbol yaitu  

ekspresi fisik dari Realitas, maka kosmos yaitu  ekspresi imanen Tuhan (tajalli).  Ini 

berarti bahwa kosmos memiliki esensi spiritual dan tidak semata-mata bersifat 

material.48 

Ibn ‘Arabi mendeskripsikan kosmos sebagai lingkaran dan memulai 

penjelasannya mengenai Realitas dengan istilah cahaya dan kegelapan sebagai 

metaphor (majaz).49 Kosmos menjadi nyata dalam bentuk-Nya yang memberikan 

keberadaan di dalam sensasi dan makna yaitu cahaya diatas cahaya.50 Merujuk pada 

ayat al-Qur’an:   

 

‘Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan 

 cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang didalamnya ada 

pelita besar. Pelita itu didalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan 

bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak  dari pohon yang 

diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di  timur dan tidak 

pula di barat, yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walalupun 

tidak disentuh api. Chaya diatas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi 

petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah 

membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha 

Mengetahui segala sesuatu.’ (Q.S. An-Nur [24]:35). 

Di sisi lain, al-Ghazali mendefinisikan51 cahaya dalam dirinya sebagai bentuk 

yang terlihat dan membuat sesuatu yang lain terlihat. Termasuk, Tuhan yaitu  cahaya 

 


yang Nyata, sumber dari setiap tingkatan cahaya yang hubungannya dengan cahaya-

Nya termetafora di dalam alam.52  

Nama Ilahi ‘Sang Cahaya’ (al-Nur) mengarah kepada fakta bahwa nama Ilahi 

‘the manifest’ seperti halnya cahaya Tuhan yang berasal dari manifest diri-Nya dan 

membawa hal lainnya ke dalam manifestasi (al-zahir fi nafsihi al-muzhir li-

ghayrihi).53 Seperti ayat : 

 ّللّٱ ىدهْيميلع ءىْش لّكب لّلّٱو ۗ ساّنلل لثٰمْلْْٱ لّلّٱ برضْيو ۚ ءٓاشي نم هرونل  

“Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang-orang yang Dia 

kehendaki dan Allah membuat simbol untuk manusia dan Allah Maha 

Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nur [24]:35). 

Ibn ‘Arabi juga menggambarkan kosmos sebagai tanda, penanda, tanda jalan54, 

dan gambar Tuhan.55 Ibn ‘Arabi mengafirmasi ayat al-Qur’an yaitu (Qs. An Nahl 

[16]:11,12,13), bahwa kosmos sebagai ungkapan Tuhan atau “The Divine 

Languange” untuk manusia. Sebagai monolog Tuhan yang diwahyukan dalam form 

bahasa Arab maka al-Qur’an yaitu  kalam-Nya dasar-dasar sifat-Nya dan deskripsi 

tentang diri-Nya oleh diri-Nya. Penggambaran Realitas kebenaran sebagai Tuhan 

diinterpretasi sesuai dengan tahapan-tahapan intelektual manusia sehingga 

pemahaman terhadap kalam dan Realitas (al-Haq) memungkinkan beragam. Atau 

dengan penjelasan lain, tahapan intelektual ini diistilahkan dengan ‘ilm al-yaqin, ‘ayn 

al-yaqin, dan haqq al-yaqn. 56 Derajat kepastian pengetahuan tersebut apakah 

berwujud atau tersembunyi, empiris atau trasedental, sebagai derajat yang berelasi 

dan menunjuk pada kepercayaan iman.  

Kesadaran akan Realitas Absolut sesuai dengan tahapan intelektual manusia 

sebagai lokus dan subjek yang berkesadaran. Sisi lain manusia menjadi objek 

pengetahuan Tuhan, sisi lainnya manusia menjadi subjek untuk membaca Tuhan dan 

kosmos.57    

Kosmos merupakan lokus penyingkapan diri Tuhan58, Dengan demikian berarti 

Kosmos merupakan mazahir Tuhan (kehadiran Tuhan).59 Schuon menggunakan 

 


 

istilah God-the-Inward untuk Dzat  Tuhan dan God-the-Outward untuk 

manifestasinya60. God-inward dimanifestasikan dalam mikrokosmos oleh intelek dan 

makrokosmos dibuktikan oleh makhluk murni dan dalam kaitannya dengan realitas 

total, Dia yaitu  diri-Nya. Intelek terselubung oleh ego; menjadi dunia; di luar wujud 

atau diri oleh alam semesta yang dimanifestasikan.61 God-Outward dimanifestasikan 

oleh keberadaan kita dalam semua aktualitasnya, kemudian oleh keberadaan dunia 

yang dicerminkan dalam dirinya sendiri dan fortiori oleh maya, dicerminkan bukan 

sebagai kekuatan 'mendahului' namun  (dalam aspek universal) 'eksternalisasi': dalam 

hubungan ini maya itu sendiri yang dikandungnya  dimana merupakan tabir tempat 

semua fenomena terjalin.  

Menurut Guenon, dalam sudut pandang kosmologis, untuk sampai pada 

pemahaman relasi simbolik dari manifestasi corporeal sehingga terhubung dengan 

manifestasi subtle atau immaterial melalui ilmu ma’rifat (metafisika). Membaca 

kosmos baik dalam bentuk teks (al-Qur’an) maupun monumental (makrokosmos dan 

mikrokosmos) destinasi dari pemahaman yang diperoleh yaitu  untuk memahami 

segala bentuk kosmos (teks dan monumen) yaitu  pada puncak pemahaman 

metafisika.62 Hal ini merujuk pada ayat berikut: 

روملْْا عجرْت لّلّا لىإو ۚ ضرْلْْاو تاوامسّلا كلْم هل 

“Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah segala 

urusan dikembalikan” (Q.S. Al-Hadid [57]:5). 

في امو تاوامسّلا في ام هل ميظعلْا يّلعلْا وهو ۖ ضرْلْْا 

“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan Dia yang 

Mahatinggi lagi Mahabesar” (Q.S. Asy-Syura [42]:4). 

 هتياآ نْموموقت نْأ ءامسّلا نوجرتْخ مْتْنأ اذإ ضرْلْْا نم ةوعْد مْكاعد اذإ ّثم ۚ هرمْبأ ضرْلْْاو 

    

“Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah berdirinya langit dan bumi iradah-

Nya. Kemudian bila Dia memanggilmu sekali panggil dari bumi seketika itu 

kamu keluar” (Q.S. Ar-Rum [30]:25). 

Kosmos juga diidentikan dengan wajah Tuhan (face of God). Chittick 

mengatakan bahwa istilah wajah Tuhan sebagai istilah yang lebih konkrit 

dibandingkan dengan makna dalam kamus, sebab  ‘face’ mengindikasikan atau 

sinonim dengan sebutan arti Dzat  (essence), realitas (haqiqa), dan keduanya setara 

 


dengan kata nafs atau self63. Dalam pemahaman ini, wajah yaitu  sebuah simbol 

nonmanifes dan manifest, sebab  wajah yaitu  sesuatu yang menghantarkan pada 

esensi.64 

Maka dari itu, kosmos atau wajah Tuhan memiliki makna yang secara horizontal 

dan vertikal berelasi dan saling memperkuat secara ontologis, bahwa simbol 

menghantarkan pada makna tertinggi dan terdalam sebagai manifes Keindahan 

(jamaliyah), Keagungan (jalaliyah) Tuhan. Dengan begitu representasi simbolis dari 

alam menyediakan sebuah struktur dan kunci untuk manusia kembali kepada Tuhan.65 

Kosmos juga disebut sebagai kitab al-Afaqi dan al-Anfusi.66  

Kitab al-Afaqi dari sudut keluasan wujud dan tafsir form-form serta ayat-ayat 

dan hukum-hukumnya dikenali sebagai kitab al-Furqani.67 Sementara kitab al-Anfusi 

dari sudut ketunggalan dan ‘indivisibility’ dan ‘comprehensiveness’ dikenali sebagai 

kitab al-Qurani.68  

Tanda-tanda dan ayat-ayatNya ditemukan dalam kosmos (di dunia luar) dan di 

dalam diri kita sendiri. al-Qur’an mengatakan : 

 فيو قافلْْا في انتياآ مْهيرنس لّك ىٰلع هّنأ كبّرب فكْي ْلموأ ۗ قّلْْا هّنأ مْله يّْبتي ٰتّح مْهسفنْأ

 ديهش ءيْش.  

 “Kami akan menunjukan kepada mereka tanda-tanda kami di Horizon dan 

di dalam diri mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa itu yaitu  Dia 

yang nyata’. Tidak Cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas 

segala sesuatu?” (Q.S. Al-Fussilat [41] 53). 

Horizon yaitu  dunia (alam) yang kita lihat sementara diri (jiwa) yaitu  dunia 

pengalaman batin”69 Kosmos merupakan tanda Tuhan untuk mengetahui esensinya. 

Dalam mengetahui dirinya, Tuhan mengetahui semua tanda Wujud, semua 

kemungkinan permutasi dan manifestasinya dalam mengekspresikan pengetahuan-

Nya melalui kata kreatif ‘terjadi! Dia mengartikulasikan hal-hal bersamaan dengan 

wujud yang dasarnya dari kata-kata yang ada dan dikenal sebagai ‘Breath of All-

 


Merciful’.70 Mengingat bahwa Tuhan mengetahui semua hal dalam diri-Nya dan 

bahwa kosmos yaitu  eksterior dari pengetahuan ini, dan mengingat bahwa 

pengetahuan Tuhan yaitu  akar dari semua pengetahuan, tidak ada pengetahuan 

tentang Tuhan yang dapat dipahami tanpa kosmos.71  

Sufi memahami cinta sebagai motif untuk menciptakan kosmos. Seperti lainnya, 

Ibn ‘Arabi seringkali merujuk kepada hadits qudsi yang terkenal bahwa ungkapan 

Tuhan yaitu  harta yang tersembunyi (Hidden Treasure).  Kutipan yang selalu 

digunakannya berbunyi “Aku yaitu  harta tapi tidak diketahui, jadi aku senang untuk 

diketahui; Aku menciptakan ciptaan-ciptaan dan membuat diri-Ku diketahui oleh 

mereka, jadi mereka datang untuk mengetahui Aku.”72  

Beberapa teks Islam menyebutkan horizon dan diri sebagai ekspresi al-Qur’an 

yang setara dengan ‘makrokosmos’ dan ‘mikrokosmos’, istilah filosofis yang 

kembali ke sumber-sumber yunani. Studi kosmologi mencakup upaya untuk 

memahami pentingnya diri (nafs) dan cakrawala (afaqi), baik dunia besar maupun 

dunia kecil. Meskipun ayat al-Qur’an mengenai pengetahuan tentang diri dan 

horizom tampaknya menempatkan kedua pengetahuam ini pada tingkat yang sama. 

Ibn ‘Arabi melihat pengetahuan tentang kosmos sebagai sekunder untuk pengetahuan 

tentang diri, karna segala sesuatu di kosmos sudah ditemukan pada diri, yang 

diciptakan dalam tajalli Tuhan.73 

Secara teori menurut pendapat teologi, keberadaan Tuhan dibuktikan dengan 

manifestasi adanya makhluk (mikrokosmos dan makrokosmos).74 Ahli metafisika 

mempersepsikan Real (Yang Nyata) yang transenden melalui ‘tanda’ atau ‘jejaknya’ 

untuk melihat sebab dan akibat, prinsip dalam pola dasar atau manifestasi, dan pola 

dasar atau gagasan dalam proyeksi.  

Fenomena ‘membuktikan’ atau lebih tepatnya ‘memanifestasikan’ Realitas 

Ilahi melalui beberapa aspek: pertama, melalui keberadaannya yang murni dan 

sederhana; kedua, melalui kategori eksistensial seperti ruang dan waktu; ketiga 

melalui kualitas yang membedakan dan mengatur hal-hal seperti elemen, Dzat , 

bentuk; kee: mpat, melalui sifat seperti vital, sensorial, mental, moral dan intelektual 

atau spiritual; kelima, fenomena privatif dalam arti bahwa tidak adanya sesuatu yang 

membuktikan atau menyiratkan.75 

 


Secara logis hanya ada satu kesadaran ‘I (Aku)’ yang secara empiris yang dapat 

dipahami tanpa absurditas. Ketidakterbatasan ruang, waktu, jumlah, kebenaran 

formal, singkatnya limitasi kosmik diilustrasikan dengan ketidak-konsistensiannya. 

Kita bahkan akan mengatakan absurditasnya sebagai dimensi transenden yang 

kontradiksinya dapat dan harus diselesaikan. Keterbatasan empirik dan ekstrinsik 

harus dalam arti tertentu terbuka pada keterbatasan berprinsip dan instrinsik yang 

tidak lain yaitu  ketidakbatasan metafisik atau metakosmik. Bersamaan dengan itu, 

batas kondisi spasial dan temporal hanya dapat dijelaskan oleh imanensi prinsip-

infinitude, dimana kondisi ini merupakan proyeksi kontingen yang bertentangan, 

karna mereka menggambarkan sesuatu infinite (tidak terbatas) dari finite (terbatas).76 

Makhluk (mikrokosmos dan makrokosmos) akan mengatakan bahwa ada 

sesuatu yang misterius dan sakral di titik, momen, dan kesatuan bahwa terdapat begitu 

banyak celah menuju prototipe Ilahi. Prototipe Ilahi merupakan sebutan Sang Pusat, 

Maha hadir, Maha Sempurna. Sebagai sang Pusat masa kini yang satu dan sempurna. 

Sang Ilahi, dibuktikan dengan tanda-tanda-‘bukti-bukti’ Tuhan (the Proof of God) 

sangat terstruktur dalam dunia dan benda-benda.77  

Dengan demikian roh kita mempersepsikan secara intelektual dan sebab  itu 

secara intuitif, yang tak terbatas dalam ruang dan waktu, yang mutlak atau yang 

diperlukan dalam keberadaan hak-hak, kesempurnaan atau sesuatu yang baik dalam 

kualitas dan kemampuan dan Diri Tertinggi dalam keajaiban subjektivitas 

penglihatan. Bahwa bagi siapapun yang peka terhadap esensi segala sesuatu harus 

membuka intuisi subjek Sang Absolut yang menyilaukan, yang kesatuannya 

transenden dan imanen, dan tidak ambigu.78 

Paparan di atas memperjelas bahwa kosmos secara keseluruhan yaitu  

manifestasi dari khazanah yang tersembunyi dari nama-nama Ilahi. Begitu pula 

 

categories , such as space and time, and thirdly through qualities, which differentiate and 

arrange hierarchically such things as elements, substances, forms, next in the fourth place, 

come the faculties: vital, sensorial, mental, moral, and intellectual or spiritual. Fifthly we 

could even mention private phenomena, in the sense that the absence of a good proves, or 

indicates, the possibility of the presence of that good, a contrario and ad majorem Dei gloriam; 

an absence that cannot but be relative, since absolute evil does not exist.” Frithjof Schuon, 

Roots of the Human Condition..., 54. 

 76 Teks asli: “But let us return to the objective ‘signs’ of God: the boundlessness of 

space, time, number, of formal differentiation, in short of the cosmic illimitaion, indicates, by 

its very inconceivability-we would even say its absurdity – a tranccendent dimension wherein 

the contradiction can and must be resolved; the empirical and extrinsic limitlessness must in 

a certain sense open onto a principal and instrinsic limitlessness, which is none other than the 

metaphysical or metacosmic infinite. Analogous to what holdstrue for subjectivity, the 

boundlessness of the spatial and temporal conditions can only be explained by the immanence 

of a principle-infinitude, of which these conditions are the contingent projections, apparently 

contradictory since they depict the Infinite by the finite.” Frithjof Schuon, Roots of the Human 

Condition, 

dengan manusia, dalam istilah Ibn ‘Arabi sebagai al kawn al jami’, yang diciptakan 

dalam citra-Nya (shurah Ilahi) sehingga dalam pemahaman ini manusia dan alam 

yaitu  simbol dari Sang Realitas Tertinggi.79 

 

3. Relasi Eksistensial: Antara Tuhan, Manusia, dan Kosmos  

Kesadaran eksistensial manusia sebagai makhluk empiris dan Ilahiah 

meniscayakan hubungan yang bersifat relasional antara Tuhan, manusia, dan alam. 

Hubungan antara Wujud (Tuhan) dan manifestasi (manusia dan alam) ibarat 

hubungan matahari dengan benda-benda yang disinari. Dialah Cahaya (Nur) dan yang 

lain yaitu  biasnya80. Bahwa Wujud yang satu melahirkan keragaman manifestasi 

yang bisa dipahami dengan indera sensorial, intelegensia, dan intelek dan berbagai 

perspektif lainnya yang berbeda. Tingkatan pengetahuan dan pengalaman spiritual 

yang otentik seperti kesaksian (shuhud) merasakan (dzawq) dan kondisi saling 

terhubung dari kesadaran trans-empiris (ahwal). Di mana pengetahuan ini yaitu  

penyatuan tauhid dalam jiwa manusia dengan inti kebenaran. 81  

Sebagai makhluk Ilahiah meniscayakan manusia membutuhkan adanya Tuhan 

sebagai pemberi segala yang dibutuhkan. Untuk itu, Tuhan yang transenden, infinite, 

realitas supranatural, supra kosmik dan seterusnya menjadi tempat manusia meminta, 

bermohon, dan berharap. Penjelas dalam hal ini yaitu  bukti bahwa manusia dan alam 

merupakan realitas kontingen (hudust, fakir, dan dependen). sebab  asal dari segala 

eksistensi yang dijumpai dalam kosmos yaitu  perbendaharaan dari nama-nama 

Tuhan... dan Dia lah tempat bersandar.82 

Tiga elemen yang menjadi substansi dimensi manusia – raga-jiwa-ruh – 

memiliki gerak eksistensial sesuai dengan fitrah bergerak menuju cahaya yang lebih 

tinggi yaitu Tuhan (return to God)83. Seluruh sejarah kehidupan manusia diwarnai 

oleh kebutuhan manusia terhadap Tuhan (agama), warna ini dibuktikan oleh simbol-

simbol budaya dan ritus-ritus yang merupakan esensi dan simbol keberagamaan, 

dimana dalam hal ini dimaknai sebagai kondisi esensial manusia.

Dalam diri manusia terdapat seluruh ciptaan dalam arti esensial. Manusia 

diciptakan menurut gambar Tuhan.85 Manusia diciptakan dengan sebuah tujuan 

sebagai hamba dan wakil Tuhan. Hamba yang berarti manusia sebagai makhluk pasif 

yang menerima dan tunduk kepada Tuhan. Wakil yang berarti manusia sebagai 

khalifah.86 Menurut Islam tujuan kemunculan manusia di dunia untuk memperoleh 

pengetahuan total tentang benda, untuk menjadi manusia universal (al-insan al-

kamil), cermin yang merefleksikan semua Nama dan Sifat Allah.87  Dengan bantuan 

alam, manusia dapat meninggalkan alam ini untuk menggapai keadaaan yang lebih 

mulia dibandingkan apa yang manusia terima sebelum kejatuhannya.88 

Kosmos memanifestasikan nama-nama Ilahi yang mempunyai hubungan dengan 

fisiologi dan etika manusia. Nama-nama tersebut menggambarkan masalah tatanan 

dan struktur kosmik, meskipun mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan 

masalah etika dan moral. Awal berarti kosmos muncul darinya sebab  Dia yaitu  

yang pertama, sedangkan Akhir berarti kembali kepada-Nya sebab  Dia yaitu  yang 

terakhir. Manifes (The Lowest) berarti sesuatu yang dapat dirasakan dengan bantuan 

indera penglihatan sedangkan Non-manifes (The Highest) berarti sesuatu yang 

melampaui 70 hingga 70.000 lapisan cahaya dan kegelapan dalam hal ini yaitu  

keberadaan Ilahi yang tersembunyi.89 

Corbin menggarisbawahi kehadiran Tuhan sebagai tindakan teofanik yang 

pertama kali wujud Ilahi menungkapkan diri-Nya, menunjukkan diri-Nya, dengan 

membedakan diri-Nya dalam wujud-Nya yang tersembunyi. Tindakan ini dipahami 

sebagai imajinasi aktif yang kreatif dari konsep awan primordial. Dia yaitu  pencipta 

ciptaan (Khaliq-Makhluq) yang berarti wujud Ilahi itu merupakan yang tersembunyi 

dan yang tersingkap, atau juga berarti bahwa Dia yaitu  yang Pertama (al-Awwal) 

dan yang Terakhir (al-Akhir).90 

Ibn ‘Arabi mengembangkan implikasi dari nama-nama tersebut Awal, Akhir, 

Manifes (al-Dzahir), dan Non-manifes (al-Bathin) untuk melihat satu entitas dari 

semua hal.91  Ibn ‘Arabi mengatakan ketika ciptaan diciptakan maka Yang Nyata 

tersembunyi; ketika Yang Nyata memanifes, ciptaan menghilang. Tuhan meliputi 

manusia dari belakang (min wara) namun  manusia tidak mengetahuinya. Dan 

pernyataan ini merujuk pada ayat: 


“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin” (Q.S. 

Al-Hadid [57]:3). 

Wujud yaitu  lingkaran (da’ira) sedangkan Tuhan yaitu  titik pusat (nuqta) dan 

lingkaran (muhit).92 Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa wajah manusia selalu mengarah 

ke titik pusat lingkaran, yaitu Tuhan. Manusia melakukan perjalanan mundur dengan 

wajah berada tetap menghadap pusat lingkaran.93 Tuhan ada di belakang kita, 

meliputi, sebab  Dia yaitu  Wujud.94 

Kisah-kisah simbolis penampakkan Ilahi, menurut Corbin, merupakan 

kosmografi mistik penggambaran dunia tengah atau dataran wujud terhadap 

hubungan realitas wujud haqiqi dan manifestasinya.95 

Kosmos tidak pernah berhenti di bidang wujud ad infinitum. Wajah kosmos tetap 

menghadap Awal yang menjadikannya ada. Sedangkan, bagian belakang kosmos 

tetap menghadap Akhir, ‘Yang Meliputi’ dimana kosmos mencapai ujungnya melalui 

bagian belakangnya, sebab  kosmos melihat ke belakang persis seperti yang terlihat 

di depan.96 

اوعجرْاف مْكل ماقم لا برثْي لهْأ يا مْهنْم ةٌفئاط تْلاق ذْإو  

“Dan ingatlah ketika segolongan diantara mereka berkata, ‘Wahai 

penduduk Yastrib (Madinah)! Tidak ada tempat bagimu, maka kembalillah 

kamu…” (Q.S. Al- Ahzab [33]:13). 

 Dalam pandangan Ibn ‘Arabi lingkaran didirikan dari dua busur yang sering 

disebut dengan ‘totalitas’ (al-majmu) yaitu yang Nyata (Real) dan ciptaan-Nya. 

Ciptaan tumbuh dari yang Nyata dan kembali kepada yang Nyata, dan Wujud tetap 

selalu berbentuk lingkaran (circle).97 Dengan demikian bentuk lingkaran ini yaitu  

simbol dari manifestasi (exterioriDzat ion), sementara titik pusatnya yang ditengah 

yaitu  Tuhan (The Center). 

 Berdasarkan ayat dibawah ini: 

 ٰلّىدتف ناد ّثم نىدْأ وْأ يْْسوْق باق ناكف  

 “Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat, 

sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi)” (Q.S. An-

Najm [53]: 8-9). 

 

Ibn ‘Arabi membaca ayat diatas sebagai referensi eksplisit ke pengalaman 

visioner yang dikenal sebagai 'jalan setapak timbal balik (waystation)' di mana Tuhan 

turun dan hamba bangkit untuk menemuinya.98 Ibn ‘Arabi menjelaskan lebih detail 

mengenai lingkaran yang terbentuk dari dua busur. Ia menjelaskan bahwa penjelajah 

yang mencapai titik timbal balik (waystation) menemukan pusat dan lingkaran 

bertemu dan menjadi satu.99 

Penjelasan lain tentang pertemuan dua busur antara Tuhan dan hamba 

diistilahkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai pertemuan menaik dan menurun. Turunnya 

Tuhan ke qalbu seorang salik dan naiknya seorang salik dengan himmah yang kuat 

untuk ber-tawajjuh dengan-Nya.100 

Istilah yang lain yang digunakan untuk menunjuk pada pertemuan Tuhan dengan 

hamba sebagai titik jalan timbal balik di mana Tuhan berkata kepadanya ‘My ill is 

your engendered existence’. Menurut Lane's Lexicon, kata ill, merujuk pada apa pun 

yang memiliki kualitas yang mengharuskannya dianggap sakral, atau tidak dapat 

diganggu gugat, yang memiliki beberapa hak yang berkaitan dengan-Nya. 

Chittick dalam SPK menjelaskan bahwa pertemuan antara Tuhan dan hamba di 

mana Tuhan turun (munazalat) dan sebab  kehendak agar hati hamba memiliki hasrat 

untuk selalu bertemu (ijtima) dengan Tuhan.101 Sebuah interaksi pertemuan antara 

Tuhan dan hamba yang diilustrasikan Ibn ‘Arabi seperti yang dikutip Chittick berikut 

ini:  

Waystation sebagai tempat pemberhentian (manzilah) sebagai sebuah 

maqam yang melaluinya Tuhan turun kepadamu atau dengannya engkau 

melakukan pendakian menujuNya, perhatikan bahwa perbedaan antara turun 

kepada dengan mendaki menuju. Munazalat yaitu  Dia menghendaki turun 

kepadamu dan menempatkan di dalam hatimu hasrat untuk ingin selalu 

bertemu dengan-Nya. Hasratmu begitu lembut, suatu gerakan spiritual yang 

mengantarkanmu menuju ke arah-Nya dan engkau pun dapat “menyatu” 

dengan-Nya di antara berbagai “tempat perhentian”: engkau menatap pada-

Nya, sebelum engkau mencapai “tempat perhentian,” dan Dia pun turun 

kepadamu –melalui salah satu dari namaNya– sebelum Dia berada di “tempat 

perhentian.” Hal ini terjadi di luar kedua “tempat perhentian” tersebut melalui 

apa yang disebut “munazalat”.102 

Penjelajah atau pesalik yang menempuh perjalanan spiritual menemukan pusat 

atau Tuhan melalui himmah dengan mengumpukan semua daya baik fisik, jiwa atau 

spirit, sehingga gathering dengan Tuhan atau tawajjuh billah.103 Pertemuan ini 


menurut Chittick yaitu  merujuk pada maqam ridha, zuhud, tawakkal, atau maqam 

syukur. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ada beragam cara penyatuan antara 

manusia dan Tuhan, jalan yang satu yaitu  upaya atau ikhtiar manusia dan jalan yang 

kedua yaitu  bersifat anugerah. Tuhan hadir pada qalbu yang Dia kehendaki.  

Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri di dalam keadaan sadar, sebagai Dzat  

yang Tak Tergantung dengan apapun, namun  sifat ciptaan yang pasif dan reseptif 

sebab  Tuhan yaitu  hirarki yang atas sementara ciptaan yaitu  hirarki terbawah 

yang menggantungkan keberadaannya pada Sang Wujud.104 Wujud yaitu  

manifestasi dari kehadiran di dalam entitasnya. sebab  melalui Wujud semua properti 

menjadi manifestasi-negasi dan afirmasi; kebutuhan; kemungkinan dan 

ketidakmungkinan; Wujud dan ketiadaan; non-Wujud dan keadaan.105 

Tak ayal lagi bahwa Wujud Ilahi yang termanifestasi dalam kosmos dan manusia 

hanya bisa dipahami oleh hati seorang Arif yang menerima setiap bentuk kehadiran. 

Sehingga visi teofani hanya diberikan pada kesanggupan (isti’dad) hati seorang Arif 

dan hal ini dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi bahwa tajalli al-Haqq hanya bisa dipahami oleh 

qalbu Arif.106  

 Hubungan Tuhan, manusia, dan alam mengingatkan kita kepada asal segala 

sesuatu (kosmos) yang terdefinisikan ‘segala sesuatu selain Allah namun  di penjelasan 

lain, menyebutkan   لك  ءيش   كلاه   لإ   ههجو   bahwa tidak ada   apapun selain wajahNya. 

Terlihat ada kontradiksi antara Wujud yang satu dan yang lainnya. namun  para Sufi 

terutama Ibn ‘Arabi memberi penjelasan bahwa manusia dan kosmos (alam kabir dan 

alam shagir) yaitu  berasal dari nafs al-wahidah atau nafas yang satu dimana didalam 

sistem kosmologi Ibn ‘Arabi akar nafas inilah yang menjadi titik awal manifestasi 

terciptanya kosmos dan manusia.107 

Menurut Qaysari108 penjelasan ini menjadikan sebuah isyarat tentang Dzat  yang 

merupakan haqiqat al-haqaiq yang zahir padanya menjadi terbagi ‘Multiplicity’ atau 

‘manyness’ mazahir-Nya seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi yang dikutip 

Muhammad Baqir di bawah ini: 

‘Dan ketika telah terbukti hubungan antara sesutau yang mempunyai 

keberadaan konkrit dengan sesuatu yang tidak mempunyai keberadaan 

konkrit; dan hubungan ini yaitu  nisbah-nisbah non-eksistensial. Maka 

hubungan al-maujudat, sebagiannya dengan sebagian lainnya yaitu  lebih 

mudah difahami sebab  dalam apa keadaanpun diantara kedua-duanya 

terdapat penggabung (atau persamaan) dan ia yaitu  al-wujud al-‘ayni. Disana 


sudah ada penggabung dan terdapat hubungan (antara al-ghaibi dan al-ayni) 

sedangkan diantarannya tidak ada penggabung, apalagi jika ada penggabung 

sudah pasti hubungannya) lebih kuat dan real.’109 

Penjelasan yang lain tentang hubungan antara Tuhan (substance) dan 

manifestasi-Nya (contingent) dapat kita lihat: 

“Tidak ragu lagi bahwa al-muhdath (contingent existent) yaitu  sesuatu 

yang terbukti hudusnya (contingency) dan kebutuhannya kepada muhdith 

yang mewujudkannya. sebab  imkan yang merupakan esensialitas dirinya. 

Maka wujudnya (berasal) dari selainnnya. Dan ia berhubungan dengannya 

secara hubungan kebutuhaan. Maka keberadaan yang ia bersandar kepadanya 

wajib al-wujud secara