Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 9


  esensial, independen, dalam keberadannya dengan 

dirinya sendiri yang tidak membutuhkan (kepada apapun). Dan Dialah yang 

memberi karunia wujud secara esensial untuk al-hadith ini. Maka ternisbahlah 

(relasi) kepadanya.”110 

Penjelasan di atas menjelaskan hubungan antara yang wajib al-wujud dan 

mumkin al-wujud, bahwa esensi mumkin al-wujud bukanlah wujud. Sesuatu yang 

esensinya bukan wujud sudah pasti membutuhkan sesuatu yang mempunyai wujud 

secara esensial. Hal ini bermakna bahwa manusia dan alam sebagai wujud relatif 

membutuhkan keberadaan Sang wajib al-wujud yakni Tuhan. Hubungan ini 

diistilahkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai al-irtibab al-iftiqari, yakni hubungan kefakiran 

dalam arti kefakiran mumkin yang tidak mempunyai wujud.111 Hal ini merupakan 

bahawa nama Tuhan sebagai Al-Ghani Sang Maha Independen dan sifat makhluk 

yang dipenden (fakir) merupakan gambaran Sang Wujud Mutlak dan yang 

kontingen.112 

Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa asal dari keberadaan manusia dan 

kosmos yaitu  diri Tuhan sendiri yang men-tajalli dalam bentuk alam shagir 

(mikrokosmos) dan alam kabir (makrokosmos), sehingga bisa dimaknai bahwa esensi 

makrokosmos juga ada dalam mikrokosmos. Hal ini mencerminkan tidak saja sisi 

fisik, namun  juga sisi ke-Ilahi-an.113 

Ketika al-Haqq berkehendak untuk melihat Nama-NamaNya yang indah 

(asmaul husna) atau esensi DiriNya… Dan Dia telah mewujudkan semuanya... Di 

mana alam menjadi objek kehendak al-Haqq sekaligus menjadi Sebab atau raison de 

etre kewujudan alam. Dengan kata lain, al-Haqq berkehendak untuk melihat esensi 

Nama-Nama atau DiriNya maka Ia mewujudkan alam. 114 

Qaysari menjelaskan bahwa mashi’ah atau iradah keduanya yaitu  tajalli al-

Dzati (Self Disclosure). Maka kalimat al-Haqq berkehendak sama dengan ketika al-

Haqq bertajalli esensi-Nya.115 Objek kehendak (manifestasi) yaitu  DiriNya sendiri 

dengan kata lain Dia yang berkehendak sebagai subjek dan yang Dia kehendaki 

sebagai objek menyatu pada masa yang sama mewujudkan bipolarity.  

Tidak ada ukuran umum antara Prinsip tertinggi dan manifestasi kosmiknya. 

Prinsip itu hanya dari dirinya sendiri dan tetap tidak terpengaruh oleh ekspresinya; 

namun  sebab  pada tingkat realitas kita memang ada, harus ada kemungkinan titik 

kontak antara kita dan Tuhan; sebab  itu ketidakterbandingan antara kedua istilah itu 

harus dengan cara tertentu sendiri dan melakukannya dengan tepat melalui "titik-

titik persimpangan yang dapat kita sebut" manifestasi Ilahi.116  

Senada dengan Schoun, Sachiko Murata mengilustrasikan titik pertemuan 

Tuhan dengan kosmos sebagai cahaya (Nur) yang menyinari kegelapan (zhulmah). 

Allah yaitu  cahaya maha sempurna, alam yaitu  kegelapan. Cahaya yaitu  Allah, 

Wujud, Hakikat, sementara kegelapan (kosmos) yaitu  ketiadaan. namun  sejauh 

kosmos dipahami sebagai tempat manifestasi dan tanda-tanda Ilahi maka kosmos 

yaitu  campuran atau pertemuan antara Cahaya dan kegelapan.117 

Prinsip memanifestasikan dirinya tidak hanya sebagai dunia, namun  juga di dalam 

dunia, kalau tidak, kita tidak akan memiliki titik referensi dalam kaitannya dengan 

Yang Tak Terbatas. Untuk menegaskan bahwa ada kosmos berarti mengatakan 

bahwa yang terakhir harus mencakup ke dalam dirinya sendiri, manifestasi dari apa 

yang ia manifestasikan oleh keberadaannya dalam hubungan Tuhan-dunia, ciptaan-

Pencipta, manifestasi-Prinsip, tercermin dalam ciptaan itu sendiri.

 

Secara tegas berarti diskursus dualitas Tuhan dan kosmos yang menganut prinsip 

ketakperbandingan (tanzih) dan prinsip keserupaan (tashbih). Prinsip yang pertama 

merujuk, tak ada yang bisa mengenal Tuhan kecuali Tuhan itu sendiri, namun  pada 

prinsip kedua kita melihat Tuhan dan hubungan-Nya dengan kosmos melalui sifat-

sifat Ilahi yang menampakkan jejak dan tanda-tandaNya dalam ektensi kosmos.119  

Pada bidang refleksi, semacam simetri definitif antara Yang Tak Terbatas dan 

yang terbatas; akibatnya, manifestasi Prinsip tidak dapat ditempatkan pada titik yang 

benar-benar ditentukan, dan itulah sebabnya perlu untuk membedakan, dalam apa 

yang tampak pada pandangan pertama murni secara verbal, antara "Prinsip 

manifestasi" dan "Prinsip yang dimanifestasikan", sesuai dengan apakah 

penekanannya pada "manifestasi" atau "Prinsip". Perbedaan ini menunjukkan bahwa 

di dunia ini tidak ada "titik persimpangan" yang unik dan mutlak antara yang Ilahi 

dan manusia, sehingga selalu ada keunggulan satu atau yang lain dari dua "kutub". 

Terlebih lagi, hal yang sama berlaku untuk semua simbolisme: suatu simbol dapat 

diartikan "horizontal" dari sudut pandang analogi, atau "vertikal" dari sudut pandang 

identitas: perbedaan antara lingkaran konsentris yang mencerminkan pusat dan 

radiasi yang mencapainya.120 

Dari penjelasan di atas tentang hubungan eksistensial antara Tuhan, kosmos, dan 

manusia merupakan keniscayaan sebab  tidak ada yang lain selain Dia. Ketika 

penjelasan tentang Sang Tak Terbatas yang mentajalli dalam form alam dan manusia 

maka yang muncul yaitu  hubungan antara Sang Pengada(Wujud) dan yang 

diadakan(mawujud) namun  ketika pembicaraan kita tentang Sang Absolut(Al Haqq) 

maka semuanya lebur.  

 

B. Tiga Derajat Kesadaran Spiritual Dengan Tiga Basis Epistimologi 

Titik awal dari konsep perjalanan jiwa manusia mengkonfirmasi al-Qur’an 

bahwa ada 3 derajat keyakinan dalam pengetahuan, yakni ainul yaqin (Q.S. At-

Takasur [102]:7), ilmu yaqin (Q.S. At-Takasur [102]:5), haqqul yaqin (Q.S. Al- 

Waqi’ah [56]:95). Hal ini paralel dengan visi yang mendasarkan pada kesadaran 

Iman, Islam, dan Ihsan sebagai tiga prinsip dasar dalam eksistensi kesadaran manusia. 

Sehingga untuk menuju kesempurnaan atau kesadaran tertinggi (Highest 

consciousness) melalui tiga fase perjalanan, yaitu The law (Shariat), The Path 

(Thariqah), dan The Knowledge (Haqiqah).121 Tiga elemen ini bukan sebuah tangga 

yang terpisah antara satu fase dengan fase lainnya namun  merupakan satu rangkaian, 

dimana ketiga-tiganya yaitu  perjalanan menuju tangga kesadaran tertinggi dan 

lapisan terdalam. Hierarki kesadaran ini secara tekstual merujuk pada penjelasan al-

Qur’an bahwa Tuhan menciptakan makhluk secara bertingkat, sebagaimana ayat 

berikut: 

 

 

“Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya dan Tuhan 

tempat-tempat terbitnya matahari’’ (QS. As-Safaat [37]:5). 

  

“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak 

berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang 

Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar” (QS. An-Naba 

[78]:38). 


“(Jahannam) itu mempunyai tujuh pintu. Setiap pintu (telah ditetapkan) 

untuk golongan tertentu dari mereka” (QS. Al-Hijr [15]:44). 

 

1. Derajat shari’at dan Basis Logika  

Shari’at secara etimologi122 dari akar kata jalan, Ia yaitu  jalan yang membawa 

seseorang kepada Tuhan.123 Hal ini berarti shari’at yaitu  jalan yang merupakan sisi 

dzahir yang berarti sebuah fase untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan. 

Haydar Amuli mengatakan bahwa shari’at merupakan aspek formal dari doktrin 

ajaran Islam yang merupakan tingkatan pertama atau tahap awal dalam perjalanan 

spiritual.124 Shari’at juga dapat diartikan sebagai engkau menyembah-Nya atau 

engkau ditegakkan dengan perintah-Nya (tuqima bi amrihi).125 Shari’at 

menyempurnakan aspek-aspek lahiriyah. Sesungguhnya, pembenaran ucapan-ucapan 

para Nabi dalam hati dan pengamalan berdasarkan hal tersebut merupakan shari’at.  

Aspek shari’at bagi Haydar Amuli sebagai gambaran ranah bagi para Fuqoha 

dan Teolog yang digambarkan sebagai Musa yakni sisi eksoterik dari Kenabian.126 

Shari’at merupakan perintah hukum sisi eksoterik mengenai perintah dan larangan 

yang menjadi penghantar menuju fase selanjutnya (eksoterik menuju esoterik). 

sebab  shariat merupakan titik awal perjalanan mi’raj menuju ke hakikat, keduanya 

 


merupakan dua sisi dari satu substansi sebagaimana lahir dan batin dan bukan 

merupakan keterpisahan dalam satu hakikat eksistensi.127 Senada dengan penjelasan 

Hamzah Fansuri dengan menukil Hadis:  

‘al-shari’atu aqwali’ 

yang shari’at [itu] perkataanku128 

Bahwa shari’at yaitu  apa yang diajarkan Nabi, dengan menyatakan: 

“ketahuilah olehmu bahwa yang dinamai shari’at itu, yaitu  sabda 

nabi, menyuruh kita berbuat baik, melarang kita berbuat jahat”129 

Hamzah Fansuri menjelaskan bahwa shari’at bukan hanya sekedar amalan fisik 

atau amalan verbal namun  shari’at dari sisi prinsip substansialnya yaitu  iman130, 

dengan merujuk pada Hadis Nabi bahwa: 

“Allah itu Esa - tiada dua – tiada sekutu – tiada serupa – dan tiada 

bertempat”131 

Seperti juga dalam firman-Nya: 

‘ءيْش هلثْمك سيْل  

(Q.S. Asy-Syura [42]: 11)  

Syekh Ragib al-Jerahi memaknai shari’at sebagai ‘’jalan’’, yaitu jalan yang 

benar, sebuah rute perjalanan yang baik, yang dapat ditempuh oleh siapapun. 

Mayoritas sufi yaitu  muslim dan shari’ah yang secara tradisional menjadi dasar 

tasawuf juga berasal dari islam. Shari’at memberi kita petunjuk untuk hidup secara 

tepat di dunia, sebab  tanpa kehidupan teratur yang dibangun dari prinsip moral dan 

etika yang kuat, maka tidak ada mistisisme yang berkembang.132 

Sementara Ibn ‘Arabi membedakan dua sudut pandang yang menunjuk pada dua 

perintah Tuhan. Pertama, amar takwini dengan kalam ‘’kun’’, maka kosmos 

mewujud, yang kedua yaitu  amar taklifi, perintah Tuhan melalui perantara kenabian 

dan rasul yang disebut shari’at. Perintah taklifi disebutkan dalam al-Qur’an agar 

 

 

manusia beriman dan melaksanakan rukun islam. Perintah takwini yaitu  kehendak 

Tuhan yang ditujukan bagi penciptaan kosmos sesuai dengan ayat ‘’sesungguhnya 

keaadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya 

‘’jadilah’’ maka jadilah dia’’ (QS. Yasin [36]:80). namun  dalam peritah taklifi 

manusia memiliki kebebasan untuk taat atau membangkang petunjuk shari’at.133 

Dengan mengikuti petunjuk shari’at seorang hamba dapat mengaktualisasikan 

kemuliaan akhlaknya melalui cara yang terpuji sesuai apa yang dikehendaki olehnya. 

Dengan demikian, hamba yang tunduk pada aturan shari’at yaitu  mereka yang 

memiliki akhlak yang mulia. Aktualisasai kehambaan memiliki makna yang pertama, 

secara esensial manusia tunduk pada perintah takwini baik dia menginginkan atau 

tidak. Kedua, manusia yaitu  objek perintah taklifi, sesuai dengan firmanNya ‘’tidak 

aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba kepadaku’’ (QS. Az-Zariyat 

[51]: 56)134 

Secara eksistensial seluruh kosmos bersujud kepada Allah sebagaimana 

firmanNya ‘’apakah kamu tidak mengetahui bahwa segala yang ada di langit dan 

bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang yang melata 

dan sebagian besar daripada manusia bersujud kepada Allah?’’ (QS. Al-Hajj [22]: 

18)135 

Chittick menerangkan bahwa shari’at memiliki landasan ontologis dan 

penjelasan tentang Ahkam dan Khabar di mana shari’at dimaknai sebagai hukum, 

perintah (amr), dan larangan (nahi). Atau dengan penjelasan lain, dalam perspektif 

hukum, bahwa shari’at dimaknai wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.136 

shari’at juga dimaknai sebagai kewajiban atau amar terhadap arkanul Islam, yakni 

syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.137 

Ibn Arabi menjelaskan bahwa lima hukum shari’at dan lima level eksistensi 

dijelaskan sebagai berikut. Perkara wajib muncul dari pena, perkara sunnah muncul 

dari Lauh Mahfudz, perkara terlarang muncul dari ‘Arsy, perkara makruh muncul dari 

kursi, dan perkara mubah muncul dari Sidratul Muntaha. Hal ini mnejelaskan bahwa 

perkara mubah menjadi bagian dari jiwa138 sebab  kebahagiaan jiwa makhluk 

berakhir di Sidratul Muntaha dan di akar-akarnya terdapat pohon Zaqqum139 yang 

kepadanya berakhir jiwa yang sengsara. Pembagian hukum shari’at muncul di 

 


 

Sidratul Muntaha sebab  terkait dari salah atu hukum tersebut berakhir seperti pada 

saat dia muncul, sebab hukum tidak dikenali pembagiannya sebelum turun hingga 

Sidratul Muntaha. Selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan, bahwa akal pertama (pena) 

memandang kepada amal fardu, begitu pula Lauh memandag kepada amal sunnah 

‘Arsy memandang kepada hukum terlarang (haram). sebab  ‘Arsy yaitu  tempat 

persemayaman Ar-Rahman maka Allah hanya mamndang dengan mata rahmat. Itulah 

yang menyebabkan pelaku amal-amal terlarang akan berakhir pada rahmat. 

Kemudian Kursi melihat kepada amal makruh dan memandangnya berdasarkan apa 

yang dia lihat di dalamnya. Kursi berada di bawah ruang lingkup 'Arsy, sementara 

‘Arsy yaitu  tempat persemayaman Ar-Rahman dan Kursi yaitu  tempat Dia 

meletakkan kaki-Nya, sebab nya Dia menyegerakan maaf dan ampunan bagi para 

pelaku amal-amal makruh. Itulah mengapa orang yang meninggalkannya akan 

mendapat pahala, sedangkan pelakunya tidak terkena hukuman.140 

Perbuatan hamba senantiasa berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: Yang 

Mahakuasa telah menetapkan hal-hal yang (1) diwajibkan dan (2) dilarang (haram), 

sehingga Dia mengeluarkan perintah dan larangan; Dia juga (3) menetapkan 

kebebasan untuk menentukan pilihan, sunnah. (4) Dia lebih menghendaki jika suatu 

perbuatan ditinggalkan daripada dilaksanakan, makruh dan (5) tidak mencela jika 

dilakukan ataupun menghendakinya supaya dilaksanakan, mubah. Tidak ada lagi 

jenis yang ke empat.141 

Ibn Arabi menjelaskan bahwa Allah hanya menshari’atkan perbuatan yang 

mampu dilaksanakan manusia sebab nya telah ditegaskan bahwa Tuhan memiliki 

hujjah yang nyata dan kuat. Seluruh gerakan atau perbuatan manusia berada dalam 

jalan yang lurus tanpa kecuali. sebab  jalan lurus merupakan kemestian yang 

dikehendaki oleh nama Allah, seperti firman-Nya (QS. Taha [20]:50). sebab  itulah 

segala sesuatu pada dasarnya senantiasa berada di garis eksistensial, meskipun 

sebagian jalan membingungkan bagi manusia. Maka, ketika umat Islam melakukan 

shalat senantiasa membaca al-fatihah dan menyebutkan tiga jalan yang berbeda, 

‘’tunjukilah kami ke jalan (1) yang lurus, jalan mereka yang telah engkau beri nikmat, 

bukan (2) jalan mereka yang engkau murkai, bukan pula (3) jalan mereka yang 

engkau sesatkan. Penjelasan ini membuktikan bahwa kedua jalan itu ada jalan lurus 

dan dua jalan lainnya yaitu  jalan yang sesat, namun  secara takwini setiap jalan yaitu  

jalan lurus sebab  berasal dari Tuhan.142 

Perintah shari’at untuk mendirikan shalat yaitu  merupakan jalan Tuhan 

agar manusia mendekatkan diri dan berelasi dengan-Nya, sebab  shalat yaitu  cara 

menuju kepada cahaya-Nya agara manusia mendapat petunjuk. Sebagaimana firman-

Nya: 

  

‘’Dia jadikan bagi kalian bintang-bintang agar kalian bisa menjadikannya 

sebagai petunjuk dalam kegelapan baik di darat maupun di laut’’ (QS. Al-

An’am [6]: 97). 

Ibn ‘Arabi menegaskan, bahwa makna ‘’kegelapan di darat’’ yaitu  perjalanan 

secara lahiriah dengan amal-amal yang dilakukan oleh fisik, sedangkan ‘’kegelapan 

di laut’’yaitu  perjalanan batin secara maknawi dengan amalan-amalan jiwa.143 

Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa musholli (orang yang shalat) yang sudah sampai 

di rumah (manzil) diistilahkan dengan pelepasan dua sandal sebagai simbol seseorang 

yang sedang melakukan perjalanan atau sedang bermunajat seperti halnya firman 

Allah dalam hadits qudsi berikut: 


“Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku. 

Separuhnya untuk-Ku dan separuhnya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-

Ku apa yang ia pinta.” Kemudian Dia berkata, “Hamba berkata, ‘segala puji 

bagi Allah Rabb alam semesta” 

Shari’at yaitu  hukum abadi dan transenden, seluruh ajaran shari’at terkandung 

dalam al-Qur’an dalam garis-garis besarnya. Sehingga, untuk sampai pada 

pemahaman hukum dibutuhkan sumber-sumber lain, baik yang berupa sunnah Nabi, 

ijma Ulama atau pun Qiyas.144 Secara esensial, untuk sampai pada pemahaman 

shari’at dibutuhkan penggunaan akal sebagai alat agar dapat memahami makna dari 

maqasid shari’at  yang ada dalam al-Qur’an.145 Akal atau intelligence memungkinkan 

seseorang untuk menangkap makna penting dari tanda-tanda Tuhan. Seperti halnya, 

penjelasan ayat berikut ini: 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan 

malam.. ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah [2]: 

164). 

Dan ketika dikatakan pada mereka, “Ikuti lah peraturan-peraturan yang 

diturunkan Tuhan”, mereka menjawab, “Tidak, kami hanya mengikuti 

kebiasaan yang telah kami dapatkan dari nenek-moyang kami.” Apakah akan 

diikuti juga walaupun nenek-moyang mereka itu tidak berakal sama sekali dan 

tidak pula mendapat petunjuk dari Tuhan? (QS. Al-Baqarah [2]:170). 

Dan ketika kamu mengajak mereka untuk shalat, mereka membuat ajakan 

itu menjadi buah ejekan dan permainan. Itu sebab  mereka benar-benar kaum 

yang tidak mau mempergunakan akalnya (QS. Al-Maidah [5]:58). 

 

Sesungguhnya di situ terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (QS. 

Ar-Ra’d [13]: 4), QS. Ar-Rum [30]: 24). 

Apakah mereka itu tidak pernah bepergian di muka bumi ini, supaya hatinya 

tersentak untuk memikirkan kemusnahan atau telinganya terngiang untuk 

mendengarkan? Sebenarnya yang buta itu bukan mata di kepala, melainkan 

hati yang ada di dada (QS. Al-Hajj [22]: 46). 

Dengan penjelasan al-Qur’an di atas, akal dapat melihat apa yang tersembunyi 

dan mengungkapkan apa yang tidak diketahui. Akal dikaitkan dengan sifat-sifat 

positif dan hubungannya dengan cahaya Ilahi. 146 Tuhan menciptakan akal sebagai 

makhluk pertama di antara makhluk-makhluk ruhaniyyah. Akal atau rasio 

dikontraskan dengan kebodohan dari sisi samudera yang asin dan gelap. Sehingga 

akal menjadi instrumen pembeda antara manusia dan makhluk yang lain. Meskipun 

ada penjelasan lain bahwa akal atau rasio memiliki keterbatasan sehingga akal perlu 

dibimbing oleh ruh. sebab  akal indrawi yaitu  akal yang terbatas dan berbeda 

dengan intelek atau akal ruhani (qalb). 

Menurut Ibn Arabi akal (rasio) memiliki batasan sebab  keberadaannya sebagai 

alat untuk berfikir dan menganalisa, bukan dari segi keberadaannya untuk menerima. 

Berbeda dengan intelek atau qalb yang fungsinya yaitu  mnerima cahaya-cahaya 

iman. Akal bersandarkan pada bukti-bukti yang memiliki wujud.148 

Dalam tingkatan pengetahuan, Ibn ‘Arabi membedakan ilmu menjadi tiga, yakni 

yang pertama ilmu akal (ilmu rasional) yaitu ilmu yang diperoleh setelah melakukan 

pengamatan nalar terhadap dalil atau bukti. Ilmu jenis ini memungkinkan terjadinya 

kesalahan. Ilmu yang kedua yaitu  ilmu ahwal yang diraih melalui zawq. Yang ketiga 

yaitu  ilmu asrar yaitu ilmu Ilahi yang di atas jangkauan akal. Ilmu ini didapat 

manusia melalui tiupan nafas ruhul kudus ke dalam hati yang hanya dikhususkan 

kepada para wali dan Nabi. Ilmu ini terdapat dua jenis, yang pertama dapat dipahami 

oleh akal, yang kedua terbagi menjadi dua, yaitu ilmu ahwal dan yang lainnya yaitu  

ilmu akhbar.

Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa yang menyebabkan adanya kebingungan 

(hayrah) dalam ilmu kita tentang Allah swt. yaitu  sebab  kita mencari ma’rifat 

tentang Dzat -Nya ta’ala wa jalla dengan dua cara, yakni melalui pencarian dalil aqli 

atau dinamakan dengan ‘’mushahadah’’. Dalil aqli menolak adanya penyaksian, 

sementara dalil naqli pernah mengisyaratkan tentangnya namun tidak menerangkan 

dengan jelas. Dalil aqli menolak pemahaman tentang hakikat Dzat  Allah dengan cara 

penetapan sifat personal yang Dia sifati. Akal melalui nalarnya hanya bisa memahami 

sifat-sifat negasi, bukan yang lain, hal ini yang dinamakan dengan ma’rifat. Allah 

swt. telah memerintahkan kita untuk mencari ilmu tentang tauhid kepada-Nya, namun 


 

Dia tidak memerintahkan untuk mencari ilmu tentangnya. Bahkan Dia melarang hal 

tersebut melalui firman-Nya: 

ن الله مكرذيحوهسف 

‘’Dan Allah memperingatkan kalian tentang dirinya” (QS. Ali-Imran [3]: 

28). 

Rasulullah Saw. juga melarang untuk memikirkan Dzat  Allah Swt., sebab bagaimana 

mungkin Dia yang ‘’tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya’’ bisa diketahui 

Dzat -Nya?150 Allah Swt. memerintahkan untuk mencari ilmu tentang Tauhid dalam 

firman-Nya: 

الله لْا هلا لْ ،هنا ملعاف 

“Maka ketahuilah bahwasannya tiada Tuhan selain Allah” (QS. 

Muhammad [47]: 19). 

Haydar Amuli mengaitkan shari’at dengan tauhid. Ke-Esaan Tuhan (tauhid) 

mempunyai makna bahwa terdapat penolakan dari banyaknya Tuhan dan afirmasi 

dari Tuhan yang Satu. Tauhid ini terbagi menjadi dua jenis Tauhid, jenis yang 

pertama terhubung dengan taqlid dari orang-orang biasa (awam), jenis yang kedua 

terhubung dengan persepsi dan intelektual dari kalangan elit dan ulama.  

Tauhid orang-orang biasa (awam) dalam hal shari’at ditunjukkan dengan 

mempercayai Tuhan itu Satu, bahwa Dia tidak memiliki hubungan dengan ke-Ilahian-

Nya, tidak ada saingannya yang setara dengan-Nya. Tauhid ini disebut juga dengan 

Tauhid imitasi (taqlid).151 Mereka mempercayai tidak ada Tuhan yang seperti Dia, 

Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Golongan orang-orang ini memegang 

teguh pada kepercayaannya dan sadar akan firman Allah. Mereka yang mempunyai 

kepercayaan hidup dalam menjaga Islam di dunia ini akan selamat, aman, dan 

terhormat, dan pada dunia berikutnya mereka akan dikasihi oleh Allah.152 Manifestasi 

Tauhid yang menolak syirik besar, sebab nya terdapat qiblah (arah Makkah yang 

dihadap ketika beribadah). Oleh sebab nya, hidup dan harta benda diselamatkan dan 

rumah perdamaian (House of Peace) itu dibuat, sebab  qiblah penyembahan orang-

orang muslim biasa menjadi sah walaupun tindakan dan kepercayaan mereka tidak 

berdasarkan bukti dan alasan.153 

Tauhid golongan elit dan ulama didasarkan pada alasan bahwa ke-Esaan Tuhan 

berdasarkan pembuktian intelektual. Mereka mengakui bahwa keberadaan lebih dari 

satu Tuhan tidak dapat diterima. Orang-orang ini mengakui Tuhan berdasarkan bukti 

dan penelitian ilmiah bukan dari pengalaman aktual. Mereka sadar akan kebenaran 



dari aspek-aspeknnya saja. Mereka akan menjadi orang yang diselamatkan (dari Api) 

dan memasuki surga (Exterior Garden) seperti yang dijanjikan pada Hari 

Kebangkitan.154 Tauhid ini disebut juga Tauhid tindakan (action). sebab  mereka 

mendemostrasikan Aktor dari aksinya dan Pencipta dan ciptaannya.  

Pandangan Abu Isma’il al-Harawi dalam bukunya Manazil al-Sa’irin Tauhid 

yang dirujuk oleh Haidar Amuli terbagi menjadi tiga jenis. Jenis pertama, yaitu 

Tauhid dari golongan orang-orang umum yang disebut dengan shahadah. Jenis 

kedua, Tauhid dari golongan elit yang berdasarkan realitas spiritual. Jenis ketiga, 

Tauhid dari golongan paling elit dari golongan elit.155   

 

2. Derajat Thariqat dan Basis Intelek 

Fase ini disebut fase the path atau inner journey, sebagai elemen sisi batin 

(esoteric). Dengan kata lain bahwa Thariqat yaitu  jalan spiritual yang merupakan 

pengembangan ke dalam dan menarik dari shariat. Menurut Syekh Ragib al Jerahi, 

Thariqah secara literal bermakna jalan tanpa rambu di padang pasir yang ditempuh 

kaum Badui dari oasis ke oasis. Bila shari’ah merujuk pada amalan jasmaniah agama, 

maka thariqah merujuk pada amalan rohaniah tasawuf. Bila shari’ah membuat 

penampilan luar kita bersih dan menarik, maka thariqah diciptakan untuk 

membersihkan dan menyucikan rohani kita. Satu sama lain saling mendukung.156 

Fase Thariqat157 yaitu  jalan kesucian untuk mencapai kesempurnaan rohaniah 

tertinggi. Hamzah Fansuri dalam Kitab zinat al-wahidin, bahwa Thariqat yaitu  

perbuatan Nabi dengan mengutip Hadist Nabi: 

‘ Al-Thariqatu af’ali’ 

Yang Thariqat yaitu  perbuatanku.  

Menurut Hamzah Fansuri, awal dari Thariqat yaitu  taubatan nasuha.158 Hal ini 

merujuk pada firman :  

 اوۡبوۡت اوۡنماٰ نيۡذلّا اهّي اٰيا ّٰللّا لىا ا 

“Hai orang-orang yang beriman,  ertaubatlah kepada Allah” (Q.S. 

At-Tahrim [66]: 8). 

 


“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan 

menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 222). 

Thariqat tidak ada tanpa adanya shari’at. Namun, Thariqat bisa ada tanpa 

adanya hakikat sebab  Thariqat merupakan tingkatan menengah. Thariqat 

menyempurnakan aspek batiniah yang setara dengan para ulama dan hukuma dalam 

maqam mereka. Thariqat menggambarkan makna engkau menghadirkan-Nya atau 

engkau menegakkan perintah-Nya (taqumu bi amrihi).159 Dapat dikatakan pula 

bahwa Thariqat merupakan realisasi (tahqiq) atas perbuatan mereka serta 

mengamalkannya.  

Keyakinan (faith) yaitu  konformitas dari kecerdasan dan keinginan untuk 

mengungkapkan kebenaran. Konformitas ini bisa formal dan penting, dalam artian 

bahwa objek iman160 (faith) yaitu  bentuk dogmatis atau esensi dari kebenaran. Iman 

(faith) disebut kepercayaan ketika elemen volitive lebih mendominasi daripada 

intelektual, dan disebut pengetahuan atau gnosis ketika intelektual lebih dominan 

daripada elemen volitive.161   

Keyakinan (Tauhid) dalam fase Thariqat didasarkan pada dua golongan. 

Golongan pertama yaitu  golongan awam, dimana kesaksian mereka yaitu  

kesaksian dengan penglihatan mata batin (the eye of inner vision) bahwa Tuhan itu 

Satu tidak ada yang selain Dia. Mereka yaitu  golongan yang berhenti mencari sebab 

dari peristiwa yang muncul. Mereka bergantung dengan kepercayaannya dan 

menyerahkan urusan mereka kepada-Nya.162 

Menurut Abu Isma’il al-Harawi, golongan elit memberikan kesaksian 

berdasarkan kebenaran dan kenyataan (realita). Tauhid dengan pengabaian terhadap 

penyebab manifestasi, muncul atas argumen intelektual. Tauhid ini memiliki makna 

bahwa tidak ada kesaksian berdasarkan bukti rasional. Mereka memberikan kesaksian 

supremasi Yang Nyata dalam Kuasa dan Pengetahuan-Nya, mereka memberikan 

 


kesaksian atas penempatan-Nya atas segala hal di tempat yang seharusnya. Tauhid 

ini cenderung kepada pengetahuan batin (inner knowledge). 

Perjalanan spiritual para salik diawali dengan pengosongan diri (takhalli) dan 

memperbanyak amal kebajikkan (tahalli) untuk sampai pada fase tajalli sebagai fase 

puncak kesadaran jiwa melalui satu maqam ke maqam yang lain. Menurut Chittick 

dengan mengutip Ibn ‘Arabi bahwa ada dua cara dalam pencapaian kesadaran yaitu 

satu melalui ikhtiar (ilmu husuli) dan yang kedua merupakan anugerah (ilmu 

khuduri).163 Menurut imam al-Qusyairy an-Nayshaburi tahapan-tahapan (maqamat) 

para penempuh jalan sufi pertama melalui tahapan taubat, mujahadah, khalwat dan 

uzlah, taqwa, wara’, zuhud, muhadharah, mukashafah dan mushahadah.164 

Fase Thariqat sering dipararelkan dengan kesadaran (pengetahuan) yang 

berbasis pada intelek atau imajinasi sebagai mode persepsi yang lebih tinggi dari 

ranah rasio. Di mana dalam konteks kebutuhan metafisik memungkinkan perjalanan 

kembali ab extra ad intra-ke luar dunia, perjalanan ke delapan iklim dari dunia luar 

(indera) ke dunia internal (spirit). Dunia indera dan dunia kognitif menyediakan 

dasar untuk memproses dunia tempat kita hidup, sementara dunia imajinasi yang 

aktif secara spiritual berfungsi sebagai jembatan antara dunia indera yang lebih 

rendah dalam interaksi dengan pikiran rasional dan dunia pola pikir murni dari 

realitas spiritual dalam interaksi dengan intelek.165 

Imajinasi spiritual memungkinkan manusia untuk membayangkan realitas 

pengalaman spiritual yang lebih tinggi yang terjadi selama berdoa dan meditasi dan 

yang berfungsi sebagai pendahuluan untuk pengalaman spiritual langsung. Selain 

itu, mereka dapat melihat kebenaran dan kebenaran makna spiritual dari wahyu di 

satu sisi dan pesan simbolis dan pewahyuan dari tatanan alam di luar pola pikir 

materi dan pikiran yang dibatasi oleh pikiran yang murni rasional ke tingkat yang 

lebih tinggi dalam berpikir dan merpersepsi. Seperti itu dalam perspektif tradisional, 

imajinasi berfungsi sebagai organ penerimaan pengetahuan yang lebih tinggi seperti 

halnya kecerdasan, dengan kekuatan kognitif dan persepsi dari tatanan tertinggi yang 

banyak membantu manusia dalam pencarian mereka untuk pemahaman yang lebih 

benar tentang realitas di mana mereka berada.166 

Dalam perspektif Sufi secara esensial manusia berkesadaran (bersaksi atau 

bershahadat) kepada Tuhan mereka sebab  perjanjian primordial ini manusia 

mengenali dan mengakui Tuhan sebagai Rabb-nya sebagai pemilik, pencipta, 

pengatur, pengasih, pemelihara, dan Dialah Sang Absolut maka pada posisi ini 

manusia sadar akan dirinya sebagai hamba seperti dijelaskan dalam ayat : 

 


 “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribah 

kepada-Ku” (Q.S. Az- Zariyat [51]: 56). 

Kebersaksian ini merujuk pada ayat: 

يْنمؤْم اوناك امو ۖ انتيابآ اوبذّك نيذّلا رباد انعْطقو اّنم ةحْمرب هعم نيذلّاو هانيْنْْأف 

“Maka kami selamatkan Hud beserta orang-orang yang bersamanya 

dengan rahmat yang besar dari Kami, dan Kami tumpas orang-orang yang 

mendustakan ayat-ayat Kami, dan tiyaitu  mereka orang-orang yang 

beriman.” (Q.S. Al-A’raf [7:] 72). 

Kutipan di bawah ini memberi gambaran esensi imajinasi sebagai dunia 

perantara antara spirit dan dunia jasad: 

Tidak ada yang lebih tinggi dari transisi dunia antara tubuh atau jiwa dan 

materi atau spirit, dan membedakan lingkup antara roh (spirit) dunia dan dunia 

roh (spirit) daripada dunia imajinasi atau dalam Bahasa Inggris yaitu dunia 

imajinal (mundus imaginalis), dalam literatur tradisional yaitu perantara dan 

tempat mediatori dalam pikiran dan mental manusia yang sebenarnya yaitu  

kemampuan dan cara persepsi untuk realitas yang lebih tinggi. Henry Corbin 

menyebutkan bahwa dunia perantara merujuk pada ‘delapan iklim’ yang 

menandai tanah genting antara dunia indrawi dan fenomenal bumi dalam 

fenomena agung alam semesta  sidereal, dan dunia jiwa yang luar biasa yang 

merefleksikan fenomena supernatural dari dimensi vertikal dengan akses 

langsung dan tak terbantahkan ke kecerdasan, hati, dan kecerdasan 

manusia.167   

Di tahap tertinggi kecerdasan manusia sebagai kecerdasan yang diperoleh tidak 

menerima kecerdasan dari akal dengan tindakan abstraksi, tapi menerima langsung 

dari kecerdasan Ilahi yang disebut juga kecerdasan perantara (Agent Intellect).168 

Menurut Schuon, pada mulanya seolah-olah terlihat tidak ada hubungan antara 

intelektualitas dan ortodoksi sebab  term ortodoksi sengaja dimaknai dengan 

konfirmitas atau pengukuhan sehingga ortodoksi kesannya tidak tampak intelektual 

sebab  ortodoksi berdasarkan taqlid. Sementara intelektual merujuk kepada makna 

eksplorasi mendalam atau bahwa intelektualitas yaitu  pemikiran yang kreatif.

Selanjutnya bagi Schuon ortodoksi yaitu  prinsip dari homogenity formal yang 

cocok untuk setiap perspektif spiritual secara otentik. sebab  ortodoksi merupakan 

aspek dari semua intelektualitas yang genuine yakni bahwa ortodoksi itu yaitu  

kebenaran dan bukan hanya sekedar kesetiaan terhadp sebuah sistem. Menjadi 

ortodok maknanya yaitu  berpartisipasi dalam sebuah doktrin yang tepat yang 

disebut tradisi.170 

Senada dengan Schuon, Golamreza Aavani menggarisbawahi penjelasan dari 

Rumi, apa yang disebut reason, menunjuk pada fakultas analitik sementara intelek 

merujuk pada makna aspek sintetik integratif. Aql mencakup kepada dua aspek, 

reason dan intelek. Selanjutnya dia menjelaskan kata aql lebih jauh memiliki konotasi 

yang lain seperti halnya filosof klasik (Yunani) memaknai aql atau nouse yaitu  

sebuah substansi imaterial dimana eksistensinya tidak tergantung pada eksistensi raga 

sebab  aql mempunyai fungsi psikologis dan kosmologis; hal ini berbeda dengan 

perspektif modern (golongan rasionalis) yang hanya menekankan aql sebagai satu 

fakultas yang penting dan paling bagus diantara fakultas jiwa yang lain.171  

Bagi Schuon Intelek yaitu  kemampuan menerima dan bukan kekuatan 

produktif. Intelek tidak menciptakan, menerima, dan cukup mentransmisikan. Intelek 

yaitu  cermin yang mencerminkan kenyataan dengan cara yang cukup efektif.172  

Guenon membedakan logika (logic) dengan ‘intuisi intelektual’ yang merupakan 

persepsi langsung dari kebenaran. Logika bisa beroperasi sesuai dengan intelektual 

atau sebaliknya menempatkan dirinya ke keadaan eror. Logika tidak lebih dari buta, 

tidak nyata, dan digambarkan sebagai ‘esoterisme kebodohan’. Logika tidak lain 

yaitu  ilmu tentang koordinasi mental, kesimpulan rasional, karnanya logika tidak 

dapat mencapai hal-hal yang bersifat universal dan transenden dengan sumber daya-

nya sendiri.173 

Pikiran (mind) dianalogikan dengan kecerdasan (intelek) sejauh pikiran sejenis 

intelek. Akan namun  kedua hal tersebut bertentangan karna karakternya terbatas, tidak 

 


langsung, dan diskursif.174  Intuisi intelektual menyiratkan pemahaman tentang 

Realitas (Being), baik dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan 

sesuatu yang lain. Oleh sebab  itu, intuisi memungkinkan pemahaman di satu sisi 

bahwa ‘Being’ tidak harus didefinisikan pada setiap kesempatan untuk memenuhi 

kebutuhan artificial akan hubungan sebab akibat. Being melekat dalam intelek maka 

jika mengatakan ‘Intellect’ berarti mengatakan ‘sense of Being’.175  

Maka pada kesadaran thariqat merupakan barzakh yang menghubungkan antara 

kesadaran syariat yang berbasis logika dan kesadaran hakikat yang berbasis shuhud  

  

3. Derajat Hakikat dan Basis Shuhud  

Syekh Ragib al-Jerahi menjelaskan bahwa haqiqah yaitu  makna terdalam dari 

praktik dan petunjuk yang ada pada shari’ah dan thariqah.pencapaian pada tingkat 

haqiqah ini menegaskan dan memperkukuh praktik dua tingkat pertama. Sebelum 

mencapai tingkat haqiqah, seluruh praktik merupakan bentuk peniruan.176 

Gabungan antara penyempurnaan aspek batiniah dan lahiriyah yang setara 

dengan para arif dalam maqam merupakan Hakikat177. Dapat dimaknai juga, engkau 

menyaksikan-Nya dan engkau tegak sebab -Nya(taqumu bihi). Hakikat merupakan 

derajat tertinggi yang tidak ada tanpa adanya shariat dan tarekat. Seperti yang 

dikatakan Nabi Muhammad SAW: 

“Shari’ah yaitu  ucapanku, Thariqat perbuatanku, dan hakikat keadaanku”178  

Ditegaskan pula oleh Amir al-Mu’minin as:  

“Shari’ah yaitu  sungai dan hakikat yaitu  samudera. Para fuqaha berkeliling  

di sekitar sungai, para hukuma di samudera sedang menyelami mutiara, dan 

para arif berlayar di atas bahtera”. 179 

Fase kesadaran hakikat merupakan puncak kesadaran dalam evolusi spiritual 

manusia, sebab  di fase ini disebut juga fase kesadaran ma’rifat. Dimana terbukanya 

 


hijab (unveiling) menuju Sang Kebenaran. Manusia yang sampai pada tahapan ini 

yaitu  manusia yang berada pada level tertinggi setelah melewati kesadaran sensorial 

dan kesadaran intelektual.180 Intelek inilah dalam paradigma metafisika identik 

dengan qalb (Heart) yang terdalam yang kadang disebut Fu’ad181, qalb182 yaitu  

tempat penglihatan batiniah dan cahaya ma’rifat.183  

Qalb merupakan dimensi batin manusia yang terkadang dalam al-Qur’an disebut 

juga ruh.184 Dengan sebab dimensi qalb inilah sebagai substansi spiritual manusia 

menyadari dan mengetahui Rabb-nya. Perjanjian primordial (perjanjian alastu) antara 

manusia dengan Rabb-nya juga disebut dengan perjanjian tauhid berdasarkan ayat: 

ۛ نادْهش ۛ ىٰلب اولاق  

Dimensi tauhid inilah yang kemudian menghantarkan manusia pada 

kesadaran untuk tunduk (taslim) (Q.S Al-A’raf [7]: 172). 

Pengetahuan yang objek tertingginya yaitu  Tuhan yang maha Benar. 

Pengetahuan ma’rifat ini laksana matahari, seperti hal-nya sabda Nabi; bahwa 

‘pengetahuan yaitu  cahaya’. Ketika al-Qur’an berbicara tentang Allah sebagai 

cahaya langit dan bumi: 

 ضرْلْْاو تاوامسّلا رون لّلّا 

Allah yaitu  cahaya. Dan pengetahuan itu sendiri yaitu  Wujud. Maka prinsip 

Wujud185 kesadaran dan kebahagiaan186 yaitu  tiga mata rantai Yang Niscaya. (QS. 

An-Nur [24]: 35). Pada fase ini terjadi penyatuan antara Tuhan dan manusia, dimana 

sampainya jiwa pada hakekat kesatuan (ayn al-jami) dalam asshuhud al-Dzat i, 

manusia menyaksikan Wajah-Nya Yang Maha Tinggi, semua itu dicapai sebab  

ridlo-Nya. Fase ini disebut maqam al-baqa ba’d al-fana.

Meskipun kecerdasan manusia bersifat objektif, manusia mampu menghakimi, 

menalar, mengasimilasi, namun  manusia tetap membutuhkan bantuan rahmat Ilahi. 

Sehingga manusia mampu melakukan transendensi diri. Hal ini memperjelas bahwa 

untuk memahami kebenaran manusia membutuhkan tuntunan Ilahi. 188 

Demikian juga dengan jiwa, kepekaan, dan kapasitas cinta yang dimiliki oleh 

manusia untuk mencintai diartikan objektif, oleh sebab  itu manusia tertarik pada 

esensi atau dalam kesempurnaan primordial yakni kecenderunganya terhadap 

kebaikan, kedermawanan, dan kasih saying. Demikian pula, manusia mampu 

menemukan kebahagiaan dirinya dalam kepribadian selestialnya yang belum 

sepenuhnya menjadi miliknya. Sifat khusus ini muncul dari totalitas dan objektivitas 

primordialnya bersamaan dengan hak-hak dan tanggungjawabnya189.  

Manusia sebagai subjek yang bersifat kontingen dan sejauh itu memang 

kontingen, maka ia akan selalu mencari Yang Mutlak sebab  ia berasal dari Yang 

Mutlak. sebab  kemampuan mengungkapkan kepadanya bahwa setiap realitas positif 

yaitu  milik Yang Absolut, maka dengan demikian segala sesuatu yang kita sebut 

baik yaitu  berasal dari keniscayaan Sang Mutlak.190 

Kapasitas dan kecerdasan yang dimiliki manusia ujungnya yaitu  pencarian 

terhadap diri Sang Mutlak sebagai tempat kembali dan menyatu dalam esensi 

transenden Sang Keindahan dan Cinta Ilahi.191  

Ibn ‘Arabi kadang membedakan antara al-muqarrabun dengan al-ubbad, yang 

pertama yaitu  mereka yang mengalami fana’ sekaligus baqa’, yang kedua baru 

sampai pada maqam fana’.192 Perspektif Ibn’Arabi dalam taqarub ilallah (closeness) 

berbeda dengan Sufi lainnya yang menekankan pada cinta. Ibn ‘Arabi mendasarkan 

terminologi ilmu sebagai sifat Tuhan al-Alim dengan merujuk pada ayat Al-Qur’an, 

sebagaimana yang dikutip Chittick berikut ini193: 

 ميلع ءيْش لّكب لّلّاو 

“Tuhan Maha Tahu atas segala sesuatu” (QS. At-Taghabun [64]: 11). 

 اهملعْي لاإ ةقرو نْم طقسْت امو 

 “Tiada selembar daun pun yang jatuh terlepas dari pengetahuan-Nya” (Q.S. 

Al-An’am [6]:59) . 

 لّكب لّلّا نّإ ميلع ءيْش 

 

“Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu” (Q.S. Al-‘Ankabut 

[29]:62). 

Sifat al-‘Alim memiliki keluasan yang sama dengan sifat Rahman Rahim dan 

identik dengan Wujud194. Hal ini memberi pengertian bahwa wujud yaitu  akar dari 

setiap sesuatu, kosmos mewujud sebab  ilmuNya, begitu pula bahwa akar dari setiap 

pengetahuan manusia berasal dari Ilmu Tuhan.195 

Tuhan tidak pernah memerintahkan pada Nabi supaya menambah sesuatu 

kecuali ilmu sebab  segala kebaikan terkandung di dalamnya. Berdiam diri atau 

merenung dengan ilmu lebih baik daripada melakukan kebajikan dengan kebodohan 

dan ilmu ini yaitu  ilmu tentang Tuhan, kosmos, dan pemeliharaan dunia196. Ibn 

‘Arabi menunjuk pada ilmu197 yang diwarisi oleh wali-wali Tuhan yang berasal dari 

Nabi: 

 نيعبّتا نمو ناأ ةيرصب ىٰلع ۚ لّلّا لىإ وعدْأ يليبس هذهٰ لْق  

“Katakanlah hai Muhammad: inilah jalan agamaku, aku dan orang-orang 

yang mengikutiku menyeru kamu kepada Allah dengan Hujjah yang nyata” 

(Q.S. Yusuf [12]: 108). 

Pada fase hakikat, tingkatan pengetahuan manusia diperoleh dengan 

pengetahuan ma’rifat. Pengetahuan hanya dapat diraih melalui qalb (intelek) dan 

objek pengetahuannya yaitu  Tuhan itu sendiri. Ibn ‘Arabi untuk menjelaskan 

pengetahuan pada level ini, merujuk pada dua kata yaitu ilmu dan ma’rifat. Tapi 

kadang dia juga sering merujuk pada makna yang sama meskipun dalam al-Qur’an 

yang digunakan yaitu  kata ilmu bukan ma’rifat. Dalam tradisi Sufi ma’rifat 

diartikan sebagai wisdom atau kebijaksanaan (gnosis). Sementara ilmu memiliki 

makna pengetahuan.198  

Ilmu yang merupakan sifat Ilahi hanya dapat diraih melalui qalb (intelek) dan 

objek pengetahuan yaitu  sesuatu yang dikehendaki. Ilmu ma’rifat merupakan jenis 

pengetahuan langsung, yakni pengetahuan yang diperoleh dari penyingkapan (kashf), 

menyaksikan (shuhud), merasakan (zauq).199 Untuk itulah, fase kesadaran ma’rifat 

 


yaitu  fase dimana Tuhan hadir secara langsung sehingga ilmu hakikat ini disebut 

ilmu Hudluri200.  

Suhrawardi juga membagi pengetahuan menjadi dua jenis pengetahuan, yang 

pertama yaitu  pengetahuan diskursif filosofi yang berdasarkan sains logika dan 

sains demonstrasi (Burhan). Dan yang kedua yaitu  pengetahuan sapensial 

(Sapiential Knowledge) sebagai pengetahuan yang jauh lebih tinggi danmemiliki 

otoraitas daripada pengetahuan diskursif. Dan yang memiliki pengetahuan ini 

teosopher (hakim muta’allih).201  

Terjadi perbedaan penggunaan istilah namun  tidak pada makna diantara para 

sahabat-sahabat (ashab sufi) seperti penjelasan Ibn ‘Arabi dibawah ini: 

“Para Sufi kami saling tidak sepakat mengenai maqam ma’rifat dan 

maqam a’rif, ‘ilm dan ‘alim. Sebagian kelompok menyatakan bahwa maqam 

ma’rifat yaitu  maqam rabbaniyyah, sedangkan maqam ‘ilm yaitu  maqam 

Ilahiyyah. Kelompok lain menyatakan bahwa ma’rifat bersifat ketuhanan, 

sedangkan ‘ilm berada dibawahnya; Aku juga menyatakan bahwa apa yang 

kami maksud dengan ‘ilm yaitu  apa yang kami maksud dengan ma’rifat, dan 

apa yang kami maksud dengan ma’rifat yaitu  apa yang kami maksud dengan 

‘ilm… Dengan demikian perbedaan hanya terletak pada nama, tidak pada 

makna”202  

Ma’rifat yaitu  jenis pengetahuan yang bukan berangkat dari basis husuli atau 

memperkaya dari upaya rasional namun  Allah yang Maha Alim hadir dalam jiwa 

seseorang berdasarkan ayat berikut: 

 لّلّا اوقّتاو  ۗ  لّلّا مكملّعيو  ۗ ميلع ءيْش لّكب لّلّاو 

“Bertakwalah kepada Allah maka Allah akan mengajarkan kepadamu, dan 

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282). 

Penjelasan tentang maqam ma’rifat ini, Syekh Abdul Qadri Jailani merujuk pada 

hadits Qudsi: 

“Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan 

mengerjakan shalat sunnah yang diutamakn sehingga Aku mencintainya. 

Apabila Aku mencintainya, Aku menjadi teliinga yang dengannya ia 

 


mendengar, menjadi mata yang dengannya ia melihat, menjadi tangan yang 

dengannya ia bekerja, dan menjadi kaki yang dengannya ia berjalan”203  

Hadits tersebut dimaknai oleh para Sufi bahwa manusia terlepas dalam maqam 

ini terlepas dari ego individual. 

Penjelasan lain fase hakikat atau ma’rifat dipahami sebagai jalan (journey of life) 

yang secara natural ending dari perjalanan hidup manusia yaitu  kembali pada sang 

mutlak. Jalan ma’rifat ini yaitu  maqam para ahli kashf seperti halnya yang 

dijelaskan oleh Qaysari: 

“Ketahuilah sesungguhnya al-kashf secara literal yaitu  penyingkapan 

hijab. Seperti ketika dikatakan: kashafat al-mar’atu wajhaha artinya: 

Perempuan itu telah menyingkap wajahnya yaitu dia telah mengangkat 

niqabnya (kain yang menutup mukanya). Secara terminologis, ia (yaitu kashf 

yaitu  mengetahui al-ma’ani al-ghaibiyyah (yaitu makna-makna 

tersembunyi) dan al-umur al-haqiqiyyah (yaitu realitas-realitas) di sebalik 

hijab secara wujud (yaitu ontologis) dan juga shuhud (yaitu epistimologis)”204    

Hijab yang dimaksud yaitu  hijab yang menutup penglihatan manusia atau 

kesadaran manusia yang tidak bisa menembus hakikat kebenaran. Menyingkap hijab 

bukan berarti membuang hijab namun  sebuah kemampuan untuk menembus hijab 

sehingga kebenaran menjadi transparandan semua ini terjadi karna karunia Ilahi 

(divine grace). 

Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa ilmu yaitu  sifat Tuhan yang meliputi segala 

sesuatu sebab  itu ilmu Tuhan yaitu  yang terluas, untuk itulah Tuhan berfirman: 

املْع نّادل نْم هانمْلّعو نادنْع نْم ةحْمر هانيْتآ نادابع نْم ادبْع ادجوف 

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba Diantara hamba-hamba 

kami yang telah kami berikan padanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah 

kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (Q.S. Al-Kahf [18]: 65). 

Perjalanan menuju Tuhan yaitu  keniscayaan bahwa jalan suluk spiritual yaitu  

jalan menuju Dia, sebab  Tuhan yaitu  Sang Pemberi Petunjuk dan tidak sekedip 

mata pun jauh dari hambaNya.205 Kesadaran pada tahapan hakikat ini, sebagai 

kesadaran spiritualitas sejati menuju kesempurnaan diri, dilalui dengan beragam 

pendekatan dan didalamnya termasuk muhadharah, mushahadah dan mukashafah. 

Muhadharah bermakna kehadiran qalbu, mukashafah kehadiran qalbu dengan sifat-

sifatnya, sementara mushahadah hadirnya Al-Haqq tanpa dibayangkan. Apabila 

 

 

langit rahasia (sirri) telah bersih dari mega sitr maka matahari penyaksian terpancar 

dari bintang kemuliaan206. 

Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi di bawah ini: 

 تاذ ةدهاشم تحصوللاإ ,ةدهاشلما نم تمأ نادنع ةفشاكلما يهو تمأ ةدهاشلما تناكل قلْا

207 حصتلا 

Mukashafah lebih sempurna dari pada mushahadah, kecuali jika mushahadah 

Dzat-Nya Tuhan bisa terjangkau maka pastilah mushahadah lebih sempurna namun  

hal ini tidak mungkin terjadi. 

Selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa: 

208فيطللا فيثكت ةدهاشلماو ,فيثكلا فطلتةفشاكلماف,فطلأ انّ لْ تمأ ةفش اكلما 

Mukashafah lebih sempurna sebab  itu mukashafah lebih halus. Mukashafah 

melembutkan hal-hal yang kasar. Dan mushahadah mengkasarkan sesuatu yang 

lembut. Bait selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan: 

...سفنلا في ملعلا لوصحوهو قيرطلا كلذ ةياغ فشكلاو ,ملعلا لىإ قيرط ةدهاشلماف 

209 ةيونعلما ىوقلل فشكلاو يرغ لا ةي ّسلْا ىوقلل ادبأ ةدهاشلما نإف 

Mushahadah yaitu  jalan kepada pengetahuan sementara kashf yaitu  tujuan 

jalan tersebut. Kashf yaitu  hadirnya ilmu dalam jiwa... Mushahadah itu terjadi 

selamanya pada potensi inderawi sementara kashf terjadi pada potensi maknawi. 

Penjelasan yang lain untuk sampai pada tahapan muhaqiq yang harus dilalui 

dalam spiritual journey yaitu  ber-takhalluq bi akhlaq Illah yang berarti menjadikan 

nama-nama Allah dalam bentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi 

aktual. Menurut Ibn ‘Arabi, takhallaqu bersinonim dengan tasawuf. Berakhlak 

dengan Allah sama dengan berakhlak dengan al-Qur’an.210 

Menurut Chittick, Ibn ‘Arabi ketika berbicara tentang takhalluq juga merujuk 

pada apa yang dimaksud dengan para filosof ketika mereka berbicara tentang al 

tasyabbuh bil-Lah atau mencapai keserupaan dengan Tuhan. Kemudian, atau 

 

 

mencapai keserupaan dengan Akar dan mengidentifikasikan proses ini dengan 

pencapaian kesempurnaan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa takhalluq bagi Ibn 

‘Arabi menyebrang keluar wilayah perjalanan spiritual secara bersamaan meski ia 

menunjuk pada akar ontologis akhlak. Ber-takhalluq dengan Akar bermakna Tuhan 

mempunyai nama-nama yang indah dan kosmos mampu mengjewantahkannya 

melalui nama-nama yang menyatakan dengan perbuatan yang bermakna juga ber-

takhalluq dengan Akar berarti mengejewantahkan perbendahara-perbendaharaan 

serta akibat-akibat. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabi ingin mengatakan, “Tiada 

sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan, nama-namaNya, dan perbuatan-

perbuatanNya.”211  

Dengan demikian, dapat dipahami untuk sampai pada pendakian kesadaran 

tertinggi, manusia yang berakhlak dengan nama-nama Tuhan berarti pula manusia 

sampai pada hakikat pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan ma’rifat yang dilalui 

dari tahapan pendakian shari’at, Thariqat, dan hakikat. Perjalanan ini merupakan 

perjalanan ilmu, kesadaran yang ujungnya yaitu  Tauhid.  

 

C. Puncak Perjalanan Jiwa Manusia: Menuju Transkosmik 

Sesuai dengan prinsip kosmologi Ibn ‘Arabi tentang perjalanan jiwa bahwa 

setiap fase perjalanan spiritual memiliki framework dan fungsi yang berbeda antara 

satu derajat ke derajat lainnya namun  ending dari puncak perjalanan yang beragam 

kemudian lebur dalam wahdatul Wujud (kesatuan Wujud) ataupun nafsul wahidah 

(nafas yang satu). Penjelasan ini berangkat dari prinsip Nama-nama dan Sifat Tuhan 

yang memiliki jalur eksistensial masing-masing maka segala bentuk keragaman baik 

itu keragaman psikologis (sensorial), keragaman form (bentuk raga), dan keragaman 

kesadaran semua mengarah pada Yang Satu. Prinsip ini yaitu  prinsip metafisika Ibn 

‘Arabi dari Yang Satu muncul yang banyak, dari yang banyak kembali ke Satu.  

 

1. Kesadaran Manusia Kepada Asal  

Kesadaran manusia kepada asal merupakan kesadaran bahwa manusia tak hanya 

terdefinisikan sebagai makhluk ragawi namun  manusia juga merupakan makhluk 

spiritual yang menyadari bahwa ihwal manifestasi dari yang tak terbatas meniupkan 

ruh pada jasad. Maka hal ini meniscayakan pemahaman kita akan permulaan 

eksistensi manusia dan alam semesta. Dan tak dapat diingkari bahwa dalam diri 

manusia  tersembunyi sifat-sifat Ilahi yang menuntun pada kebaikan, kebenaran, 

pengetahuan, dan tujuan penciptaan. 

Secara metafisik dalam menapaki jalan spiritual manusia sadar pada asal dan 

pengetahuan yang benar yaitu  ingatan di mana manusia memiliki relasi atemporal 

dengan sumber Wujud sebelum kita turun ke bumi ini bisa dipahami dengan akal. 

Bahwa dengan kesadaran pada Asal ini manusia bisa mendefinisikan diri darimana, 

berada untuk apa, dan kembali kemana. Perjalanan spiritual ini sejak turunnya Adam 


dan Hawa dari singgasana langit bukan sekedar turunnya raga namun  juga turunnya 

seluruh elemen kemanusiaan.212  

Sebagai hamba manusia memiliki potensi, akhirnya definisi manusia bisa 

dinarasikan sebagai berikut: “Manusia yaitu  makhluk terbaik yang Tuhan ciptakan 

untuk menjadi khalifah di Bumi” 

Untuk itulah, Turun (descending)213 merupakan keniscayaan dalam prinsip 

kekhalifahan yang Allah anu