esensial, independen, dalam keberadannya dengan
dirinya sendiri yang tidak membutuhkan (kepada apapun). Dan Dialah yang
memberi karunia wujud secara esensial untuk al-hadith ini. Maka ternisbahlah
(relasi) kepadanya.”110
Penjelasan di atas menjelaskan hubungan antara yang wajib al-wujud dan
mumkin al-wujud, bahwa esensi mumkin al-wujud bukanlah wujud. Sesuatu yang
esensinya bukan wujud sudah pasti membutuhkan sesuatu yang mempunyai wujud
secara esensial. Hal ini bermakna bahwa manusia dan alam sebagai wujud relatif
membutuhkan keberadaan Sang wajib al-wujud yakni Tuhan. Hubungan ini
diistilahkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai al-irtibab al-iftiqari, yakni hubungan kefakiran
dalam arti kefakiran mumkin yang tidak mempunyai wujud.111 Hal ini merupakan
bahawa nama Tuhan sebagai Al-Ghani Sang Maha Independen dan sifat makhluk
yang dipenden (fakir) merupakan gambaran Sang Wujud Mutlak dan yang
kontingen.112
Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa asal dari keberadaan manusia dan
kosmos yaitu diri Tuhan sendiri yang men-tajalli dalam bentuk alam shagir
(mikrokosmos) dan alam kabir (makrokosmos), sehingga bisa dimaknai bahwa esensi
makrokosmos juga ada dalam mikrokosmos. Hal ini mencerminkan tidak saja sisi
fisik, namun juga sisi ke-Ilahi-an.113
Ketika al-Haqq berkehendak untuk melihat Nama-NamaNya yang indah
(asmaul husna) atau esensi DiriNya… Dan Dia telah mewujudkan semuanya... Di
mana alam menjadi objek kehendak al-Haqq sekaligus menjadi Sebab atau raison de
etre kewujudan alam. Dengan kata lain, al-Haqq berkehendak untuk melihat esensi
Nama-Nama atau DiriNya maka Ia mewujudkan alam. 114
Qaysari menjelaskan bahwa mashi’ah atau iradah keduanya yaitu tajalli al-
Dzati (Self Disclosure). Maka kalimat al-Haqq berkehendak sama dengan ketika al-
Haqq bertajalli esensi-Nya.115 Objek kehendak (manifestasi) yaitu DiriNya sendiri
dengan kata lain Dia yang berkehendak sebagai subjek dan yang Dia kehendaki
sebagai objek menyatu pada masa yang sama mewujudkan bipolarity.
Tidak ada ukuran umum antara Prinsip tertinggi dan manifestasi kosmiknya.
Prinsip itu hanya dari dirinya sendiri dan tetap tidak terpengaruh oleh ekspresinya;
namun sebab pada tingkat realitas kita memang ada, harus ada kemungkinan titik
kontak antara kita dan Tuhan; sebab itu ketidakterbandingan antara kedua istilah itu
harus dengan cara tertentu sendiri dan melakukannya dengan tepat melalui "titik-
titik persimpangan yang dapat kita sebut" manifestasi Ilahi.116
Senada dengan Schoun, Sachiko Murata mengilustrasikan titik pertemuan
Tuhan dengan kosmos sebagai cahaya (Nur) yang menyinari kegelapan (zhulmah).
Allah yaitu cahaya maha sempurna, alam yaitu kegelapan. Cahaya yaitu Allah,
Wujud, Hakikat, sementara kegelapan (kosmos) yaitu ketiadaan. namun sejauh
kosmos dipahami sebagai tempat manifestasi dan tanda-tanda Ilahi maka kosmos
yaitu campuran atau pertemuan antara Cahaya dan kegelapan.117
Prinsip memanifestasikan dirinya tidak hanya sebagai dunia, namun juga di dalam
dunia, kalau tidak, kita tidak akan memiliki titik referensi dalam kaitannya dengan
Yang Tak Terbatas. Untuk menegaskan bahwa ada kosmos berarti mengatakan
bahwa yang terakhir harus mencakup ke dalam dirinya sendiri, manifestasi dari apa
yang ia manifestasikan oleh keberadaannya dalam hubungan Tuhan-dunia, ciptaan-
Pencipta, manifestasi-Prinsip, tercermin dalam ciptaan itu sendiri.
Secara tegas berarti diskursus dualitas Tuhan dan kosmos yang menganut prinsip
ketakperbandingan (tanzih) dan prinsip keserupaan (tashbih). Prinsip yang pertama
merujuk, tak ada yang bisa mengenal Tuhan kecuali Tuhan itu sendiri, namun pada
prinsip kedua kita melihat Tuhan dan hubungan-Nya dengan kosmos melalui sifat-
sifat Ilahi yang menampakkan jejak dan tanda-tandaNya dalam ektensi kosmos.119
Pada bidang refleksi, semacam simetri definitif antara Yang Tak Terbatas dan
yang terbatas; akibatnya, manifestasi Prinsip tidak dapat ditempatkan pada titik yang
benar-benar ditentukan, dan itulah sebabnya perlu untuk membedakan, dalam apa
yang tampak pada pandangan pertama murni secara verbal, antara "Prinsip
manifestasi" dan "Prinsip yang dimanifestasikan", sesuai dengan apakah
penekanannya pada "manifestasi" atau "Prinsip". Perbedaan ini menunjukkan bahwa
di dunia ini tidak ada "titik persimpangan" yang unik dan mutlak antara yang Ilahi
dan manusia, sehingga selalu ada keunggulan satu atau yang lain dari dua "kutub".
Terlebih lagi, hal yang sama berlaku untuk semua simbolisme: suatu simbol dapat
diartikan "horizontal" dari sudut pandang analogi, atau "vertikal" dari sudut pandang
identitas: perbedaan antara lingkaran konsentris yang mencerminkan pusat dan
radiasi yang mencapainya.120
Dari penjelasan di atas tentang hubungan eksistensial antara Tuhan, kosmos, dan
manusia merupakan keniscayaan sebab tidak ada yang lain selain Dia. Ketika
penjelasan tentang Sang Tak Terbatas yang mentajalli dalam form alam dan manusia
maka yang muncul yaitu hubungan antara Sang Pengada(Wujud) dan yang
diadakan(mawujud) namun ketika pembicaraan kita tentang Sang Absolut(Al Haqq)
maka semuanya lebur.
B. Tiga Derajat Kesadaran Spiritual Dengan Tiga Basis Epistimologi
Titik awal dari konsep perjalanan jiwa manusia mengkonfirmasi al-Qur’an
bahwa ada 3 derajat keyakinan dalam pengetahuan, yakni ainul yaqin (Q.S. At-
Takasur [102]:7), ilmu yaqin (Q.S. At-Takasur [102]:5), haqqul yaqin (Q.S. Al-
Waqi’ah [56]:95). Hal ini paralel dengan visi yang mendasarkan pada kesadaran
Iman, Islam, dan Ihsan sebagai tiga prinsip dasar dalam eksistensi kesadaran manusia.
Sehingga untuk menuju kesempurnaan atau kesadaran tertinggi (Highest
consciousness) melalui tiga fase perjalanan, yaitu The law (Shariat), The Path
(Thariqah), dan The Knowledge (Haqiqah).121 Tiga elemen ini bukan sebuah tangga
yang terpisah antara satu fase dengan fase lainnya namun merupakan satu rangkaian,
dimana ketiga-tiganya yaitu perjalanan menuju tangga kesadaran tertinggi dan
lapisan terdalam. Hierarki kesadaran ini secara tekstual merujuk pada penjelasan al-
Qur’an bahwa Tuhan menciptakan makhluk secara bertingkat, sebagaimana ayat
berikut:
“Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya dan Tuhan
tempat-tempat terbitnya matahari’’ (QS. As-Safaat [37]:5).
“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak
berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang
Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar” (QS. An-Naba
[78]:38).
“(Jahannam) itu mempunyai tujuh pintu. Setiap pintu (telah ditetapkan)
untuk golongan tertentu dari mereka” (QS. Al-Hijr [15]:44).
1. Derajat shari’at dan Basis Logika
Shari’at secara etimologi122 dari akar kata jalan, Ia yaitu jalan yang membawa
seseorang kepada Tuhan.123 Hal ini berarti shari’at yaitu jalan yang merupakan sisi
dzahir yang berarti sebuah fase untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Haydar Amuli mengatakan bahwa shari’at merupakan aspek formal dari doktrin
ajaran Islam yang merupakan tingkatan pertama atau tahap awal dalam perjalanan
spiritual.124 Shari’at juga dapat diartikan sebagai engkau menyembah-Nya atau
engkau ditegakkan dengan perintah-Nya (tuqima bi amrihi).125 Shari’at
menyempurnakan aspek-aspek lahiriyah. Sesungguhnya, pembenaran ucapan-ucapan
para Nabi dalam hati dan pengamalan berdasarkan hal tersebut merupakan shari’at.
Aspek shari’at bagi Haydar Amuli sebagai gambaran ranah bagi para Fuqoha
dan Teolog yang digambarkan sebagai Musa yakni sisi eksoterik dari Kenabian.126
Shari’at merupakan perintah hukum sisi eksoterik mengenai perintah dan larangan
yang menjadi penghantar menuju fase selanjutnya (eksoterik menuju esoterik).
sebab shariat merupakan titik awal perjalanan mi’raj menuju ke hakikat, keduanya
merupakan dua sisi dari satu substansi sebagaimana lahir dan batin dan bukan
merupakan keterpisahan dalam satu hakikat eksistensi.127 Senada dengan penjelasan
Hamzah Fansuri dengan menukil Hadis:
‘al-shari’atu aqwali’
yang shari’at [itu] perkataanku128
Bahwa shari’at yaitu apa yang diajarkan Nabi, dengan menyatakan:
“ketahuilah olehmu bahwa yang dinamai shari’at itu, yaitu sabda
nabi, menyuruh kita berbuat baik, melarang kita berbuat jahat”129
Hamzah Fansuri menjelaskan bahwa shari’at bukan hanya sekedar amalan fisik
atau amalan verbal namun shari’at dari sisi prinsip substansialnya yaitu iman130,
dengan merujuk pada Hadis Nabi bahwa:
“Allah itu Esa - tiada dua – tiada sekutu – tiada serupa – dan tiada
bertempat”131
Seperti juga dalam firman-Nya:
‘ءيْش هلثْمك سيْل
(Q.S. Asy-Syura [42]: 11)
Syekh Ragib al-Jerahi memaknai shari’at sebagai ‘’jalan’’, yaitu jalan yang
benar, sebuah rute perjalanan yang baik, yang dapat ditempuh oleh siapapun.
Mayoritas sufi yaitu muslim dan shari’ah yang secara tradisional menjadi dasar
tasawuf juga berasal dari islam. Shari’at memberi kita petunjuk untuk hidup secara
tepat di dunia, sebab tanpa kehidupan teratur yang dibangun dari prinsip moral dan
etika yang kuat, maka tidak ada mistisisme yang berkembang.132
Sementara Ibn ‘Arabi membedakan dua sudut pandang yang menunjuk pada dua
perintah Tuhan. Pertama, amar takwini dengan kalam ‘’kun’’, maka kosmos
mewujud, yang kedua yaitu amar taklifi, perintah Tuhan melalui perantara kenabian
dan rasul yang disebut shari’at. Perintah taklifi disebutkan dalam al-Qur’an agar
manusia beriman dan melaksanakan rukun islam. Perintah takwini yaitu kehendak
Tuhan yang ditujukan bagi penciptaan kosmos sesuai dengan ayat ‘’sesungguhnya
keaadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya
‘’jadilah’’ maka jadilah dia’’ (QS. Yasin [36]:80). namun dalam peritah taklifi
manusia memiliki kebebasan untuk taat atau membangkang petunjuk shari’at.133
Dengan mengikuti petunjuk shari’at seorang hamba dapat mengaktualisasikan
kemuliaan akhlaknya melalui cara yang terpuji sesuai apa yang dikehendaki olehnya.
Dengan demikian, hamba yang tunduk pada aturan shari’at yaitu mereka yang
memiliki akhlak yang mulia. Aktualisasai kehambaan memiliki makna yang pertama,
secara esensial manusia tunduk pada perintah takwini baik dia menginginkan atau
tidak. Kedua, manusia yaitu objek perintah taklifi, sesuai dengan firmanNya ‘’tidak
aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba kepadaku’’ (QS. Az-Zariyat
[51]: 56)134
Secara eksistensial seluruh kosmos bersujud kepada Allah sebagaimana
firmanNya ‘’apakah kamu tidak mengetahui bahwa segala yang ada di langit dan
bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang yang melata
dan sebagian besar daripada manusia bersujud kepada Allah?’’ (QS. Al-Hajj [22]:
18)135
Chittick menerangkan bahwa shari’at memiliki landasan ontologis dan
penjelasan tentang Ahkam dan Khabar di mana shari’at dimaknai sebagai hukum,
perintah (amr), dan larangan (nahi). Atau dengan penjelasan lain, dalam perspektif
hukum, bahwa shari’at dimaknai wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.136
shari’at juga dimaknai sebagai kewajiban atau amar terhadap arkanul Islam, yakni
syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.137
Ibn Arabi menjelaskan bahwa lima hukum shari’at dan lima level eksistensi
dijelaskan sebagai berikut. Perkara wajib muncul dari pena, perkara sunnah muncul
dari Lauh Mahfudz, perkara terlarang muncul dari ‘Arsy, perkara makruh muncul dari
kursi, dan perkara mubah muncul dari Sidratul Muntaha. Hal ini mnejelaskan bahwa
perkara mubah menjadi bagian dari jiwa138 sebab kebahagiaan jiwa makhluk
berakhir di Sidratul Muntaha dan di akar-akarnya terdapat pohon Zaqqum139 yang
kepadanya berakhir jiwa yang sengsara. Pembagian hukum shari’at muncul di
Sidratul Muntaha sebab terkait dari salah atu hukum tersebut berakhir seperti pada
saat dia muncul, sebab hukum tidak dikenali pembagiannya sebelum turun hingga
Sidratul Muntaha. Selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan, bahwa akal pertama (pena)
memandang kepada amal fardu, begitu pula Lauh memandag kepada amal sunnah
‘Arsy memandang kepada hukum terlarang (haram). sebab ‘Arsy yaitu tempat
persemayaman Ar-Rahman maka Allah hanya mamndang dengan mata rahmat. Itulah
yang menyebabkan pelaku amal-amal terlarang akan berakhir pada rahmat.
Kemudian Kursi melihat kepada amal makruh dan memandangnya berdasarkan apa
yang dia lihat di dalamnya. Kursi berada di bawah ruang lingkup 'Arsy, sementara
‘Arsy yaitu tempat persemayaman Ar-Rahman dan Kursi yaitu tempat Dia
meletakkan kaki-Nya, sebab nya Dia menyegerakan maaf dan ampunan bagi para
pelaku amal-amal makruh. Itulah mengapa orang yang meninggalkannya akan
mendapat pahala, sedangkan pelakunya tidak terkena hukuman.140
Perbuatan hamba senantiasa berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: Yang
Mahakuasa telah menetapkan hal-hal yang (1) diwajibkan dan (2) dilarang (haram),
sehingga Dia mengeluarkan perintah dan larangan; Dia juga (3) menetapkan
kebebasan untuk menentukan pilihan, sunnah. (4) Dia lebih menghendaki jika suatu
perbuatan ditinggalkan daripada dilaksanakan, makruh dan (5) tidak mencela jika
dilakukan ataupun menghendakinya supaya dilaksanakan, mubah. Tidak ada lagi
jenis yang ke empat.141
Ibn Arabi menjelaskan bahwa Allah hanya menshari’atkan perbuatan yang
mampu dilaksanakan manusia sebab nya telah ditegaskan bahwa Tuhan memiliki
hujjah yang nyata dan kuat. Seluruh gerakan atau perbuatan manusia berada dalam
jalan yang lurus tanpa kecuali. sebab jalan lurus merupakan kemestian yang
dikehendaki oleh nama Allah, seperti firman-Nya (QS. Taha [20]:50). sebab itulah
segala sesuatu pada dasarnya senantiasa berada di garis eksistensial, meskipun
sebagian jalan membingungkan bagi manusia. Maka, ketika umat Islam melakukan
shalat senantiasa membaca al-fatihah dan menyebutkan tiga jalan yang berbeda,
‘’tunjukilah kami ke jalan (1) yang lurus, jalan mereka yang telah engkau beri nikmat,
bukan (2) jalan mereka yang engkau murkai, bukan pula (3) jalan mereka yang
engkau sesatkan. Penjelasan ini membuktikan bahwa kedua jalan itu ada jalan lurus
dan dua jalan lainnya yaitu jalan yang sesat, namun secara takwini setiap jalan yaitu
jalan lurus sebab berasal dari Tuhan.142
Perintah shari’at untuk mendirikan shalat yaitu merupakan jalan Tuhan
agar manusia mendekatkan diri dan berelasi dengan-Nya, sebab shalat yaitu cara
menuju kepada cahaya-Nya agara manusia mendapat petunjuk. Sebagaimana firman-
Nya:
‘’Dia jadikan bagi kalian bintang-bintang agar kalian bisa menjadikannya
sebagai petunjuk dalam kegelapan baik di darat maupun di laut’’ (QS. Al-
An’am [6]: 97).
Ibn ‘Arabi menegaskan, bahwa makna ‘’kegelapan di darat’’ yaitu perjalanan
secara lahiriah dengan amal-amal yang dilakukan oleh fisik, sedangkan ‘’kegelapan
di laut’’yaitu perjalanan batin secara maknawi dengan amalan-amalan jiwa.143
Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa musholli (orang yang shalat) yang sudah sampai
di rumah (manzil) diistilahkan dengan pelepasan dua sandal sebagai simbol seseorang
yang sedang melakukan perjalanan atau sedang bermunajat seperti halnya firman
Allah dalam hadits qudsi berikut:
“Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku.
Separuhnya untuk-Ku dan separuhnya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-
Ku apa yang ia pinta.” Kemudian Dia berkata, “Hamba berkata, ‘segala puji
bagi Allah Rabb alam semesta”
Shari’at yaitu hukum abadi dan transenden, seluruh ajaran shari’at terkandung
dalam al-Qur’an dalam garis-garis besarnya. Sehingga, untuk sampai pada
pemahaman hukum dibutuhkan sumber-sumber lain, baik yang berupa sunnah Nabi,
ijma Ulama atau pun Qiyas.144 Secara esensial, untuk sampai pada pemahaman
shari’at dibutuhkan penggunaan akal sebagai alat agar dapat memahami makna dari
maqasid shari’at yang ada dalam al-Qur’an.145 Akal atau intelligence memungkinkan
seseorang untuk menangkap makna penting dari tanda-tanda Tuhan. Seperti halnya,
penjelasan ayat berikut ini:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan
malam.. ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS. Al-Baqarah [2]:
164).
Dan ketika dikatakan pada mereka, “Ikuti lah peraturan-peraturan yang
diturunkan Tuhan”, mereka menjawab, “Tidak, kami hanya mengikuti
kebiasaan yang telah kami dapatkan dari nenek-moyang kami.” Apakah akan
diikuti juga walaupun nenek-moyang mereka itu tidak berakal sama sekali dan
tidak pula mendapat petunjuk dari Tuhan? (QS. Al-Baqarah [2]:170).
Dan ketika kamu mengajak mereka untuk shalat, mereka membuat ajakan
itu menjadi buah ejekan dan permainan. Itu sebab mereka benar-benar kaum
yang tidak mau mempergunakan akalnya (QS. Al-Maidah [5]:58).
Sesungguhnya di situ terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (QS.
Ar-Ra’d [13]: 4), QS. Ar-Rum [30]: 24).
Apakah mereka itu tidak pernah bepergian di muka bumi ini, supaya hatinya
tersentak untuk memikirkan kemusnahan atau telinganya terngiang untuk
mendengarkan? Sebenarnya yang buta itu bukan mata di kepala, melainkan
hati yang ada di dada (QS. Al-Hajj [22]: 46).
Dengan penjelasan al-Qur’an di atas, akal dapat melihat apa yang tersembunyi
dan mengungkapkan apa yang tidak diketahui. Akal dikaitkan dengan sifat-sifat
positif dan hubungannya dengan cahaya Ilahi. 146 Tuhan menciptakan akal sebagai
makhluk pertama di antara makhluk-makhluk ruhaniyyah. Akal atau rasio
dikontraskan dengan kebodohan dari sisi samudera yang asin dan gelap. Sehingga
akal menjadi instrumen pembeda antara manusia dan makhluk yang lain. Meskipun
ada penjelasan lain bahwa akal atau rasio memiliki keterbatasan sehingga akal perlu
dibimbing oleh ruh. sebab akal indrawi yaitu akal yang terbatas dan berbeda
dengan intelek atau akal ruhani (qalb).
Menurut Ibn Arabi akal (rasio) memiliki batasan sebab keberadaannya sebagai
alat untuk berfikir dan menganalisa, bukan dari segi keberadaannya untuk menerima.
Berbeda dengan intelek atau qalb yang fungsinya yaitu mnerima cahaya-cahaya
iman. Akal bersandarkan pada bukti-bukti yang memiliki wujud.148
Dalam tingkatan pengetahuan, Ibn ‘Arabi membedakan ilmu menjadi tiga, yakni
yang pertama ilmu akal (ilmu rasional) yaitu ilmu yang diperoleh setelah melakukan
pengamatan nalar terhadap dalil atau bukti. Ilmu jenis ini memungkinkan terjadinya
kesalahan. Ilmu yang kedua yaitu ilmu ahwal yang diraih melalui zawq. Yang ketiga
yaitu ilmu asrar yaitu ilmu Ilahi yang di atas jangkauan akal. Ilmu ini didapat
manusia melalui tiupan nafas ruhul kudus ke dalam hati yang hanya dikhususkan
kepada para wali dan Nabi. Ilmu ini terdapat dua jenis, yang pertama dapat dipahami
oleh akal, yang kedua terbagi menjadi dua, yaitu ilmu ahwal dan yang lainnya yaitu
ilmu akhbar.
Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa yang menyebabkan adanya kebingungan
(hayrah) dalam ilmu kita tentang Allah swt. yaitu sebab kita mencari ma’rifat
tentang Dzat -Nya ta’ala wa jalla dengan dua cara, yakni melalui pencarian dalil aqli
atau dinamakan dengan ‘’mushahadah’’. Dalil aqli menolak adanya penyaksian,
sementara dalil naqli pernah mengisyaratkan tentangnya namun tidak menerangkan
dengan jelas. Dalil aqli menolak pemahaman tentang hakikat Dzat Allah dengan cara
penetapan sifat personal yang Dia sifati. Akal melalui nalarnya hanya bisa memahami
sifat-sifat negasi, bukan yang lain, hal ini yang dinamakan dengan ma’rifat. Allah
swt. telah memerintahkan kita untuk mencari ilmu tentang tauhid kepada-Nya, namun
Dia tidak memerintahkan untuk mencari ilmu tentangnya. Bahkan Dia melarang hal
tersebut melalui firman-Nya:
ن الله مكرذيحوهسف
‘’Dan Allah memperingatkan kalian tentang dirinya” (QS. Ali-Imran [3]:
28).
Rasulullah Saw. juga melarang untuk memikirkan Dzat Allah Swt., sebab bagaimana
mungkin Dia yang ‘’tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya’’ bisa diketahui
Dzat -Nya?150 Allah Swt. memerintahkan untuk mencari ilmu tentang Tauhid dalam
firman-Nya:
الله لْا هلا لْ ،هنا ملعاف
“Maka ketahuilah bahwasannya tiada Tuhan selain Allah” (QS.
Muhammad [47]: 19).
Haydar Amuli mengaitkan shari’at dengan tauhid. Ke-Esaan Tuhan (tauhid)
mempunyai makna bahwa terdapat penolakan dari banyaknya Tuhan dan afirmasi
dari Tuhan yang Satu. Tauhid ini terbagi menjadi dua jenis Tauhid, jenis yang
pertama terhubung dengan taqlid dari orang-orang biasa (awam), jenis yang kedua
terhubung dengan persepsi dan intelektual dari kalangan elit dan ulama.
Tauhid orang-orang biasa (awam) dalam hal shari’at ditunjukkan dengan
mempercayai Tuhan itu Satu, bahwa Dia tidak memiliki hubungan dengan ke-Ilahian-
Nya, tidak ada saingannya yang setara dengan-Nya. Tauhid ini disebut juga dengan
Tauhid imitasi (taqlid).151 Mereka mempercayai tidak ada Tuhan yang seperti Dia,
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Golongan orang-orang ini memegang
teguh pada kepercayaannya dan sadar akan firman Allah. Mereka yang mempunyai
kepercayaan hidup dalam menjaga Islam di dunia ini akan selamat, aman, dan
terhormat, dan pada dunia berikutnya mereka akan dikasihi oleh Allah.152 Manifestasi
Tauhid yang menolak syirik besar, sebab nya terdapat qiblah (arah Makkah yang
dihadap ketika beribadah). Oleh sebab nya, hidup dan harta benda diselamatkan dan
rumah perdamaian (House of Peace) itu dibuat, sebab qiblah penyembahan orang-
orang muslim biasa menjadi sah walaupun tindakan dan kepercayaan mereka tidak
berdasarkan bukti dan alasan.153
Tauhid golongan elit dan ulama didasarkan pada alasan bahwa ke-Esaan Tuhan
berdasarkan pembuktian intelektual. Mereka mengakui bahwa keberadaan lebih dari
satu Tuhan tidak dapat diterima. Orang-orang ini mengakui Tuhan berdasarkan bukti
dan penelitian ilmiah bukan dari pengalaman aktual. Mereka sadar akan kebenaran
dari aspek-aspeknnya saja. Mereka akan menjadi orang yang diselamatkan (dari Api)
dan memasuki surga (Exterior Garden) seperti yang dijanjikan pada Hari
Kebangkitan.154 Tauhid ini disebut juga Tauhid tindakan (action). sebab mereka
mendemostrasikan Aktor dari aksinya dan Pencipta dan ciptaannya.
Pandangan Abu Isma’il al-Harawi dalam bukunya Manazil al-Sa’irin Tauhid
yang dirujuk oleh Haidar Amuli terbagi menjadi tiga jenis. Jenis pertama, yaitu
Tauhid dari golongan orang-orang umum yang disebut dengan shahadah. Jenis
kedua, Tauhid dari golongan elit yang berdasarkan realitas spiritual. Jenis ketiga,
Tauhid dari golongan paling elit dari golongan elit.155
2. Derajat Thariqat dan Basis Intelek
Fase ini disebut fase the path atau inner journey, sebagai elemen sisi batin
(esoteric). Dengan kata lain bahwa Thariqat yaitu jalan spiritual yang merupakan
pengembangan ke dalam dan menarik dari shariat. Menurut Syekh Ragib al Jerahi,
Thariqah secara literal bermakna jalan tanpa rambu di padang pasir yang ditempuh
kaum Badui dari oasis ke oasis. Bila shari’ah merujuk pada amalan jasmaniah agama,
maka thariqah merujuk pada amalan rohaniah tasawuf. Bila shari’ah membuat
penampilan luar kita bersih dan menarik, maka thariqah diciptakan untuk
membersihkan dan menyucikan rohani kita. Satu sama lain saling mendukung.156
Fase Thariqat157 yaitu jalan kesucian untuk mencapai kesempurnaan rohaniah
tertinggi. Hamzah Fansuri dalam Kitab zinat al-wahidin, bahwa Thariqat yaitu
perbuatan Nabi dengan mengutip Hadist Nabi:
‘ Al-Thariqatu af’ali’
Yang Thariqat yaitu perbuatanku.
Menurut Hamzah Fansuri, awal dari Thariqat yaitu taubatan nasuha.158 Hal ini
merujuk pada firman :
اوۡبوۡت اوۡنماٰ نيۡذلّا اهّي اٰيا ّٰللّا لىا ا
“Hai orang-orang yang beriman, ertaubatlah kepada Allah” (Q.S.
At-Tahrim [66]: 8).
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 222).
Thariqat tidak ada tanpa adanya shari’at. Namun, Thariqat bisa ada tanpa
adanya hakikat sebab Thariqat merupakan tingkatan menengah. Thariqat
menyempurnakan aspek batiniah yang setara dengan para ulama dan hukuma dalam
maqam mereka. Thariqat menggambarkan makna engkau menghadirkan-Nya atau
engkau menegakkan perintah-Nya (taqumu bi amrihi).159 Dapat dikatakan pula
bahwa Thariqat merupakan realisasi (tahqiq) atas perbuatan mereka serta
mengamalkannya.
Keyakinan (faith) yaitu konformitas dari kecerdasan dan keinginan untuk
mengungkapkan kebenaran. Konformitas ini bisa formal dan penting, dalam artian
bahwa objek iman160 (faith) yaitu bentuk dogmatis atau esensi dari kebenaran. Iman
(faith) disebut kepercayaan ketika elemen volitive lebih mendominasi daripada
intelektual, dan disebut pengetahuan atau gnosis ketika intelektual lebih dominan
daripada elemen volitive.161
Keyakinan (Tauhid) dalam fase Thariqat didasarkan pada dua golongan.
Golongan pertama yaitu golongan awam, dimana kesaksian mereka yaitu
kesaksian dengan penglihatan mata batin (the eye of inner vision) bahwa Tuhan itu
Satu tidak ada yang selain Dia. Mereka yaitu golongan yang berhenti mencari sebab
dari peristiwa yang muncul. Mereka bergantung dengan kepercayaannya dan
menyerahkan urusan mereka kepada-Nya.162
Menurut Abu Isma’il al-Harawi, golongan elit memberikan kesaksian
berdasarkan kebenaran dan kenyataan (realita). Tauhid dengan pengabaian terhadap
penyebab manifestasi, muncul atas argumen intelektual. Tauhid ini memiliki makna
bahwa tidak ada kesaksian berdasarkan bukti rasional. Mereka memberikan kesaksian
supremasi Yang Nyata dalam Kuasa dan Pengetahuan-Nya, mereka memberikan
kesaksian atas penempatan-Nya atas segala hal di tempat yang seharusnya. Tauhid
ini cenderung kepada pengetahuan batin (inner knowledge).
Perjalanan spiritual para salik diawali dengan pengosongan diri (takhalli) dan
memperbanyak amal kebajikkan (tahalli) untuk sampai pada fase tajalli sebagai fase
puncak kesadaran jiwa melalui satu maqam ke maqam yang lain. Menurut Chittick
dengan mengutip Ibn ‘Arabi bahwa ada dua cara dalam pencapaian kesadaran yaitu
satu melalui ikhtiar (ilmu husuli) dan yang kedua merupakan anugerah (ilmu
khuduri).163 Menurut imam al-Qusyairy an-Nayshaburi tahapan-tahapan (maqamat)
para penempuh jalan sufi pertama melalui tahapan taubat, mujahadah, khalwat dan
uzlah, taqwa, wara’, zuhud, muhadharah, mukashafah dan mushahadah.164
Fase Thariqat sering dipararelkan dengan kesadaran (pengetahuan) yang
berbasis pada intelek atau imajinasi sebagai mode persepsi yang lebih tinggi dari
ranah rasio. Di mana dalam konteks kebutuhan metafisik memungkinkan perjalanan
kembali ab extra ad intra-ke luar dunia, perjalanan ke delapan iklim dari dunia luar
(indera) ke dunia internal (spirit). Dunia indera dan dunia kognitif menyediakan
dasar untuk memproses dunia tempat kita hidup, sementara dunia imajinasi yang
aktif secara spiritual berfungsi sebagai jembatan antara dunia indera yang lebih
rendah dalam interaksi dengan pikiran rasional dan dunia pola pikir murni dari
realitas spiritual dalam interaksi dengan intelek.165
Imajinasi spiritual memungkinkan manusia untuk membayangkan realitas
pengalaman spiritual yang lebih tinggi yang terjadi selama berdoa dan meditasi dan
yang berfungsi sebagai pendahuluan untuk pengalaman spiritual langsung. Selain
itu, mereka dapat melihat kebenaran dan kebenaran makna spiritual dari wahyu di
satu sisi dan pesan simbolis dan pewahyuan dari tatanan alam di luar pola pikir
materi dan pikiran yang dibatasi oleh pikiran yang murni rasional ke tingkat yang
lebih tinggi dalam berpikir dan merpersepsi. Seperti itu dalam perspektif tradisional,
imajinasi berfungsi sebagai organ penerimaan pengetahuan yang lebih tinggi seperti
halnya kecerdasan, dengan kekuatan kognitif dan persepsi dari tatanan tertinggi yang
banyak membantu manusia dalam pencarian mereka untuk pemahaman yang lebih
benar tentang realitas di mana mereka berada.166
Dalam perspektif Sufi secara esensial manusia berkesadaran (bersaksi atau
bershahadat) kepada Tuhan mereka sebab perjanjian primordial ini manusia
mengenali dan mengakui Tuhan sebagai Rabb-nya sebagai pemilik, pencipta,
pengatur, pengasih, pemelihara, dan Dialah Sang Absolut maka pada posisi ini
manusia sadar akan dirinya sebagai hamba seperti dijelaskan dalam ayat :
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribah
kepada-Ku” (Q.S. Az- Zariyat [51]: 56).
Kebersaksian ini merujuk pada ayat:
يْنمؤْم اوناك امو ۖ انتيابآ اوبذّك نيذّلا رباد انعْطقو اّنم ةحْمرب هعم نيذلّاو هانيْنْْأف
“Maka kami selamatkan Hud beserta orang-orang yang bersamanya
dengan rahmat yang besar dari Kami, dan Kami tumpas orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami, dan tiyaitu mereka orang-orang yang
beriman.” (Q.S. Al-A’raf [7:] 72).
Kutipan di bawah ini memberi gambaran esensi imajinasi sebagai dunia
perantara antara spirit dan dunia jasad:
Tidak ada yang lebih tinggi dari transisi dunia antara tubuh atau jiwa dan
materi atau spirit, dan membedakan lingkup antara roh (spirit) dunia dan dunia
roh (spirit) daripada dunia imajinasi atau dalam Bahasa Inggris yaitu dunia
imajinal (mundus imaginalis), dalam literatur tradisional yaitu perantara dan
tempat mediatori dalam pikiran dan mental manusia yang sebenarnya yaitu
kemampuan dan cara persepsi untuk realitas yang lebih tinggi. Henry Corbin
menyebutkan bahwa dunia perantara merujuk pada ‘delapan iklim’ yang
menandai tanah genting antara dunia indrawi dan fenomenal bumi dalam
fenomena agung alam semesta sidereal, dan dunia jiwa yang luar biasa yang
merefleksikan fenomena supernatural dari dimensi vertikal dengan akses
langsung dan tak terbantahkan ke kecerdasan, hati, dan kecerdasan
manusia.167
Di tahap tertinggi kecerdasan manusia sebagai kecerdasan yang diperoleh tidak
menerima kecerdasan dari akal dengan tindakan abstraksi, tapi menerima langsung
dari kecerdasan Ilahi yang disebut juga kecerdasan perantara (Agent Intellect).168
Menurut Schuon, pada mulanya seolah-olah terlihat tidak ada hubungan antara
intelektualitas dan ortodoksi sebab term ortodoksi sengaja dimaknai dengan
konfirmitas atau pengukuhan sehingga ortodoksi kesannya tidak tampak intelektual
sebab ortodoksi berdasarkan taqlid. Sementara intelektual merujuk kepada makna
eksplorasi mendalam atau bahwa intelektualitas yaitu pemikiran yang kreatif.
Selanjutnya bagi Schuon ortodoksi yaitu prinsip dari homogenity formal yang
cocok untuk setiap perspektif spiritual secara otentik. sebab ortodoksi merupakan
aspek dari semua intelektualitas yang genuine yakni bahwa ortodoksi itu yaitu
kebenaran dan bukan hanya sekedar kesetiaan terhadp sebuah sistem. Menjadi
ortodok maknanya yaitu berpartisipasi dalam sebuah doktrin yang tepat yang
disebut tradisi.170
Senada dengan Schuon, Golamreza Aavani menggarisbawahi penjelasan dari
Rumi, apa yang disebut reason, menunjuk pada fakultas analitik sementara intelek
merujuk pada makna aspek sintetik integratif. Aql mencakup kepada dua aspek,
reason dan intelek. Selanjutnya dia menjelaskan kata aql lebih jauh memiliki konotasi
yang lain seperti halnya filosof klasik (Yunani) memaknai aql atau nouse yaitu
sebuah substansi imaterial dimana eksistensinya tidak tergantung pada eksistensi raga
sebab aql mempunyai fungsi psikologis dan kosmologis; hal ini berbeda dengan
perspektif modern (golongan rasionalis) yang hanya menekankan aql sebagai satu
fakultas yang penting dan paling bagus diantara fakultas jiwa yang lain.171
Bagi Schuon Intelek yaitu kemampuan menerima dan bukan kekuatan
produktif. Intelek tidak menciptakan, menerima, dan cukup mentransmisikan. Intelek
yaitu cermin yang mencerminkan kenyataan dengan cara yang cukup efektif.172
Guenon membedakan logika (logic) dengan ‘intuisi intelektual’ yang merupakan
persepsi langsung dari kebenaran. Logika bisa beroperasi sesuai dengan intelektual
atau sebaliknya menempatkan dirinya ke keadaan eror. Logika tidak lebih dari buta,
tidak nyata, dan digambarkan sebagai ‘esoterisme kebodohan’. Logika tidak lain
yaitu ilmu tentang koordinasi mental, kesimpulan rasional, karnanya logika tidak
dapat mencapai hal-hal yang bersifat universal dan transenden dengan sumber daya-
nya sendiri.173
Pikiran (mind) dianalogikan dengan kecerdasan (intelek) sejauh pikiran sejenis
intelek. Akan namun kedua hal tersebut bertentangan karna karakternya terbatas, tidak
langsung, dan diskursif.174 Intuisi intelektual menyiratkan pemahaman tentang
Realitas (Being), baik dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan
sesuatu yang lain. Oleh sebab itu, intuisi memungkinkan pemahaman di satu sisi
bahwa ‘Being’ tidak harus didefinisikan pada setiap kesempatan untuk memenuhi
kebutuhan artificial akan hubungan sebab akibat. Being melekat dalam intelek maka
jika mengatakan ‘Intellect’ berarti mengatakan ‘sense of Being’.175
Maka pada kesadaran thariqat merupakan barzakh yang menghubungkan antara
kesadaran syariat yang berbasis logika dan kesadaran hakikat yang berbasis shuhud
3. Derajat Hakikat dan Basis Shuhud
Syekh Ragib al-Jerahi menjelaskan bahwa haqiqah yaitu makna terdalam dari
praktik dan petunjuk yang ada pada shari’ah dan thariqah.pencapaian pada tingkat
haqiqah ini menegaskan dan memperkukuh praktik dua tingkat pertama. Sebelum
mencapai tingkat haqiqah, seluruh praktik merupakan bentuk peniruan.176
Gabungan antara penyempurnaan aspek batiniah dan lahiriyah yang setara
dengan para arif dalam maqam merupakan Hakikat177. Dapat dimaknai juga, engkau
menyaksikan-Nya dan engkau tegak sebab -Nya(taqumu bihi). Hakikat merupakan
derajat tertinggi yang tidak ada tanpa adanya shariat dan tarekat. Seperti yang
dikatakan Nabi Muhammad SAW:
“Shari’ah yaitu ucapanku, Thariqat perbuatanku, dan hakikat keadaanku”178
Ditegaskan pula oleh Amir al-Mu’minin as:
“Shari’ah yaitu sungai dan hakikat yaitu samudera. Para fuqaha berkeliling
di sekitar sungai, para hukuma di samudera sedang menyelami mutiara, dan
para arif berlayar di atas bahtera”. 179
Fase kesadaran hakikat merupakan puncak kesadaran dalam evolusi spiritual
manusia, sebab di fase ini disebut juga fase kesadaran ma’rifat. Dimana terbukanya
hijab (unveiling) menuju Sang Kebenaran. Manusia yang sampai pada tahapan ini
yaitu manusia yang berada pada level tertinggi setelah melewati kesadaran sensorial
dan kesadaran intelektual.180 Intelek inilah dalam paradigma metafisika identik
dengan qalb (Heart) yang terdalam yang kadang disebut Fu’ad181, qalb182 yaitu
tempat penglihatan batiniah dan cahaya ma’rifat.183
Qalb merupakan dimensi batin manusia yang terkadang dalam al-Qur’an disebut
juga ruh.184 Dengan sebab dimensi qalb inilah sebagai substansi spiritual manusia
menyadari dan mengetahui Rabb-nya. Perjanjian primordial (perjanjian alastu) antara
manusia dengan Rabb-nya juga disebut dengan perjanjian tauhid berdasarkan ayat:
ۛ نادْهش ۛ ىٰلب اولاق
Dimensi tauhid inilah yang kemudian menghantarkan manusia pada
kesadaran untuk tunduk (taslim) (Q.S Al-A’raf [7]: 172).
Pengetahuan yang objek tertingginya yaitu Tuhan yang maha Benar.
Pengetahuan ma’rifat ini laksana matahari, seperti hal-nya sabda Nabi; bahwa
‘pengetahuan yaitu cahaya’. Ketika al-Qur’an berbicara tentang Allah sebagai
cahaya langit dan bumi:
ضرْلْْاو تاوامسّلا رون لّلّا
Allah yaitu cahaya. Dan pengetahuan itu sendiri yaitu Wujud. Maka prinsip
Wujud185 kesadaran dan kebahagiaan186 yaitu tiga mata rantai Yang Niscaya. (QS.
An-Nur [24]: 35). Pada fase ini terjadi penyatuan antara Tuhan dan manusia, dimana
sampainya jiwa pada hakekat kesatuan (ayn al-jami) dalam asshuhud al-Dzat i,
manusia menyaksikan Wajah-Nya Yang Maha Tinggi, semua itu dicapai sebab
ridlo-Nya. Fase ini disebut maqam al-baqa ba’d al-fana.
Meskipun kecerdasan manusia bersifat objektif, manusia mampu menghakimi,
menalar, mengasimilasi, namun manusia tetap membutuhkan bantuan rahmat Ilahi.
Sehingga manusia mampu melakukan transendensi diri. Hal ini memperjelas bahwa
untuk memahami kebenaran manusia membutuhkan tuntunan Ilahi. 188
Demikian juga dengan jiwa, kepekaan, dan kapasitas cinta yang dimiliki oleh
manusia untuk mencintai diartikan objektif, oleh sebab itu manusia tertarik pada
esensi atau dalam kesempurnaan primordial yakni kecenderunganya terhadap
kebaikan, kedermawanan, dan kasih saying. Demikian pula, manusia mampu
menemukan kebahagiaan dirinya dalam kepribadian selestialnya yang belum
sepenuhnya menjadi miliknya. Sifat khusus ini muncul dari totalitas dan objektivitas
primordialnya bersamaan dengan hak-hak dan tanggungjawabnya189.
Manusia sebagai subjek yang bersifat kontingen dan sejauh itu memang
kontingen, maka ia akan selalu mencari Yang Mutlak sebab ia berasal dari Yang
Mutlak. sebab kemampuan mengungkapkan kepadanya bahwa setiap realitas positif
yaitu milik Yang Absolut, maka dengan demikian segala sesuatu yang kita sebut
baik yaitu berasal dari keniscayaan Sang Mutlak.190
Kapasitas dan kecerdasan yang dimiliki manusia ujungnya yaitu pencarian
terhadap diri Sang Mutlak sebagai tempat kembali dan menyatu dalam esensi
transenden Sang Keindahan dan Cinta Ilahi.191
Ibn ‘Arabi kadang membedakan antara al-muqarrabun dengan al-ubbad, yang
pertama yaitu mereka yang mengalami fana’ sekaligus baqa’, yang kedua baru
sampai pada maqam fana’.192 Perspektif Ibn’Arabi dalam taqarub ilallah (closeness)
berbeda dengan Sufi lainnya yang menekankan pada cinta. Ibn ‘Arabi mendasarkan
terminologi ilmu sebagai sifat Tuhan al-Alim dengan merujuk pada ayat Al-Qur’an,
sebagaimana yang dikutip Chittick berikut ini193:
ميلع ءيْش لّكب لّلّاو
“Tuhan Maha Tahu atas segala sesuatu” (QS. At-Taghabun [64]: 11).
اهملعْي لاإ ةقرو نْم طقسْت امو
“Tiada selembar daun pun yang jatuh terlepas dari pengetahuan-Nya” (Q.S.
Al-An’am [6]:59) .
لّكب لّلّا نّإ ميلع ءيْش
“Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu” (Q.S. Al-‘Ankabut
[29]:62).
Sifat al-‘Alim memiliki keluasan yang sama dengan sifat Rahman Rahim dan
identik dengan Wujud194. Hal ini memberi pengertian bahwa wujud yaitu akar dari
setiap sesuatu, kosmos mewujud sebab ilmuNya, begitu pula bahwa akar dari setiap
pengetahuan manusia berasal dari Ilmu Tuhan.195
Tuhan tidak pernah memerintahkan pada Nabi supaya menambah sesuatu
kecuali ilmu sebab segala kebaikan terkandung di dalamnya. Berdiam diri atau
merenung dengan ilmu lebih baik daripada melakukan kebajikan dengan kebodohan
dan ilmu ini yaitu ilmu tentang Tuhan, kosmos, dan pemeliharaan dunia196. Ibn
‘Arabi menunjuk pada ilmu197 yang diwarisi oleh wali-wali Tuhan yang berasal dari
Nabi:
نيعبّتا نمو ناأ ةيرصب ىٰلع ۚ لّلّا لىإ وعدْأ يليبس هذهٰ لْق
“Katakanlah hai Muhammad: inilah jalan agamaku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku menyeru kamu kepada Allah dengan Hujjah yang nyata”
(Q.S. Yusuf [12]: 108).
Pada fase hakikat, tingkatan pengetahuan manusia diperoleh dengan
pengetahuan ma’rifat. Pengetahuan hanya dapat diraih melalui qalb (intelek) dan
objek pengetahuannya yaitu Tuhan itu sendiri. Ibn ‘Arabi untuk menjelaskan
pengetahuan pada level ini, merujuk pada dua kata yaitu ilmu dan ma’rifat. Tapi
kadang dia juga sering merujuk pada makna yang sama meskipun dalam al-Qur’an
yang digunakan yaitu kata ilmu bukan ma’rifat. Dalam tradisi Sufi ma’rifat
diartikan sebagai wisdom atau kebijaksanaan (gnosis). Sementara ilmu memiliki
makna pengetahuan.198
Ilmu yang merupakan sifat Ilahi hanya dapat diraih melalui qalb (intelek) dan
objek pengetahuan yaitu sesuatu yang dikehendaki. Ilmu ma’rifat merupakan jenis
pengetahuan langsung, yakni pengetahuan yang diperoleh dari penyingkapan (kashf),
menyaksikan (shuhud), merasakan (zauq).199 Untuk itulah, fase kesadaran ma’rifat
yaitu fase dimana Tuhan hadir secara langsung sehingga ilmu hakikat ini disebut
ilmu Hudluri200.
Suhrawardi juga membagi pengetahuan menjadi dua jenis pengetahuan, yang
pertama yaitu pengetahuan diskursif filosofi yang berdasarkan sains logika dan
sains demonstrasi (Burhan). Dan yang kedua yaitu pengetahuan sapensial
(Sapiential Knowledge) sebagai pengetahuan yang jauh lebih tinggi danmemiliki
otoraitas daripada pengetahuan diskursif. Dan yang memiliki pengetahuan ini
teosopher (hakim muta’allih).201
Terjadi perbedaan penggunaan istilah namun tidak pada makna diantara para
sahabat-sahabat (ashab sufi) seperti penjelasan Ibn ‘Arabi dibawah ini:
“Para Sufi kami saling tidak sepakat mengenai maqam ma’rifat dan
maqam a’rif, ‘ilm dan ‘alim. Sebagian kelompok menyatakan bahwa maqam
ma’rifat yaitu maqam rabbaniyyah, sedangkan maqam ‘ilm yaitu maqam
Ilahiyyah. Kelompok lain menyatakan bahwa ma’rifat bersifat ketuhanan,
sedangkan ‘ilm berada dibawahnya; Aku juga menyatakan bahwa apa yang
kami maksud dengan ‘ilm yaitu apa yang kami maksud dengan ma’rifat, dan
apa yang kami maksud dengan ma’rifat yaitu apa yang kami maksud dengan
‘ilm… Dengan demikian perbedaan hanya terletak pada nama, tidak pada
makna”202
Ma’rifat yaitu jenis pengetahuan yang bukan berangkat dari basis husuli atau
memperkaya dari upaya rasional namun Allah yang Maha Alim hadir dalam jiwa
seseorang berdasarkan ayat berikut:
لّلّا اوقّتاو ۗ لّلّا مكملّعيو ۗ ميلع ءيْش لّكب لّلّاو
“Bertakwalah kepada Allah maka Allah akan mengajarkan kepadamu, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282).
Penjelasan tentang maqam ma’rifat ini, Syekh Abdul Qadri Jailani merujuk pada
hadits Qudsi:
“Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
mengerjakan shalat sunnah yang diutamakn sehingga Aku mencintainya.
Apabila Aku mencintainya, Aku menjadi teliinga yang dengannya ia
mendengar, menjadi mata yang dengannya ia melihat, menjadi tangan yang
dengannya ia bekerja, dan menjadi kaki yang dengannya ia berjalan”203
Hadits tersebut dimaknai oleh para Sufi bahwa manusia terlepas dalam maqam
ini terlepas dari ego individual.
Penjelasan lain fase hakikat atau ma’rifat dipahami sebagai jalan (journey of life)
yang secara natural ending dari perjalanan hidup manusia yaitu kembali pada sang
mutlak. Jalan ma’rifat ini yaitu maqam para ahli kashf seperti halnya yang
dijelaskan oleh Qaysari:
“Ketahuilah sesungguhnya al-kashf secara literal yaitu penyingkapan
hijab. Seperti ketika dikatakan: kashafat al-mar’atu wajhaha artinya:
Perempuan itu telah menyingkap wajahnya yaitu dia telah mengangkat
niqabnya (kain yang menutup mukanya). Secara terminologis, ia (yaitu kashf
yaitu mengetahui al-ma’ani al-ghaibiyyah (yaitu makna-makna
tersembunyi) dan al-umur al-haqiqiyyah (yaitu realitas-realitas) di sebalik
hijab secara wujud (yaitu ontologis) dan juga shuhud (yaitu epistimologis)”204
Hijab yang dimaksud yaitu hijab yang menutup penglihatan manusia atau
kesadaran manusia yang tidak bisa menembus hakikat kebenaran. Menyingkap hijab
bukan berarti membuang hijab namun sebuah kemampuan untuk menembus hijab
sehingga kebenaran menjadi transparandan semua ini terjadi karna karunia Ilahi
(divine grace).
Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa ilmu yaitu sifat Tuhan yang meliputi segala
sesuatu sebab itu ilmu Tuhan yaitu yang terluas, untuk itulah Tuhan berfirman:
املْع نّادل نْم هانمْلّعو نادنْع نْم ةحْمر هانيْتآ نادابع نْم ادبْع ادجوف
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba Diantara hamba-hamba
kami yang telah kami berikan padanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah
kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (Q.S. Al-Kahf [18]: 65).
Perjalanan menuju Tuhan yaitu keniscayaan bahwa jalan suluk spiritual yaitu
jalan menuju Dia, sebab Tuhan yaitu Sang Pemberi Petunjuk dan tidak sekedip
mata pun jauh dari hambaNya.205 Kesadaran pada tahapan hakikat ini, sebagai
kesadaran spiritualitas sejati menuju kesempurnaan diri, dilalui dengan beragam
pendekatan dan didalamnya termasuk muhadharah, mushahadah dan mukashafah.
Muhadharah bermakna kehadiran qalbu, mukashafah kehadiran qalbu dengan sifat-
sifatnya, sementara mushahadah hadirnya Al-Haqq tanpa dibayangkan. Apabila
langit rahasia (sirri) telah bersih dari mega sitr maka matahari penyaksian terpancar
dari bintang kemuliaan206.
Seperti halnya penjelasan Ibn ‘Arabi di bawah ini:
تاذ ةدهاشم تحصوللاإ ,ةدهاشلما نم تمأ نادنع ةفشاكلما يهو تمأ ةدهاشلما تناكل قلْا
207 حصتلا
Mukashafah lebih sempurna dari pada mushahadah, kecuali jika mushahadah
Dzat-Nya Tuhan bisa terjangkau maka pastilah mushahadah lebih sempurna namun
hal ini tidak mungkin terjadi.
Selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa:
208فيطللا فيثكت ةدهاشلماو ,فيثكلا فطلتةفشاكلماف,فطلأ انّ لْ تمأ ةفش اكلما
Mukashafah lebih sempurna sebab itu mukashafah lebih halus. Mukashafah
melembutkan hal-hal yang kasar. Dan mushahadah mengkasarkan sesuatu yang
lembut. Bait selanjutnya Ibn ‘Arabi menjelaskan:
...سفنلا في ملعلا لوصحوهو قيرطلا كلذ ةياغ فشكلاو ,ملعلا لىإ قيرط ةدهاشلماف
209 ةيونعلما ىوقلل فشكلاو يرغ لا ةي ّسلْا ىوقلل ادبأ ةدهاشلما نإف
Mushahadah yaitu jalan kepada pengetahuan sementara kashf yaitu tujuan
jalan tersebut. Kashf yaitu hadirnya ilmu dalam jiwa... Mushahadah itu terjadi
selamanya pada potensi inderawi sementara kashf terjadi pada potensi maknawi.
Penjelasan yang lain untuk sampai pada tahapan muhaqiq yang harus dilalui
dalam spiritual journey yaitu ber-takhalluq bi akhlaq Illah yang berarti menjadikan
nama-nama Allah dalam bentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi
aktual. Menurut Ibn ‘Arabi, takhallaqu bersinonim dengan tasawuf. Berakhlak
dengan Allah sama dengan berakhlak dengan al-Qur’an.210
Menurut Chittick, Ibn ‘Arabi ketika berbicara tentang takhalluq juga merujuk
pada apa yang dimaksud dengan para filosof ketika mereka berbicara tentang al
tasyabbuh bil-Lah atau mencapai keserupaan dengan Tuhan. Kemudian, atau
mencapai keserupaan dengan Akar dan mengidentifikasikan proses ini dengan
pencapaian kesempurnaan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa takhalluq bagi Ibn
‘Arabi menyebrang keluar wilayah perjalanan spiritual secara bersamaan meski ia
menunjuk pada akar ontologis akhlak. Ber-takhalluq dengan Akar bermakna Tuhan
mempunyai nama-nama yang indah dan kosmos mampu mengjewantahkannya
melalui nama-nama yang menyatakan dengan perbuatan yang bermakna juga ber-
takhalluq dengan Akar berarti mengejewantahkan perbendahara-perbendaharaan
serta akibat-akibat. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabi ingin mengatakan, “Tiada
sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan, nama-namaNya, dan perbuatan-
perbuatanNya.”211
Dengan demikian, dapat dipahami untuk sampai pada pendakian kesadaran
tertinggi, manusia yang berakhlak dengan nama-nama Tuhan berarti pula manusia
sampai pada hakikat pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan ma’rifat yang dilalui
dari tahapan pendakian shari’at, Thariqat, dan hakikat. Perjalanan ini merupakan
perjalanan ilmu, kesadaran yang ujungnya yaitu Tauhid.
C. Puncak Perjalanan Jiwa Manusia: Menuju Transkosmik
Sesuai dengan prinsip kosmologi Ibn ‘Arabi tentang perjalanan jiwa bahwa
setiap fase perjalanan spiritual memiliki framework dan fungsi yang berbeda antara
satu derajat ke derajat lainnya namun ending dari puncak perjalanan yang beragam
kemudian lebur dalam wahdatul Wujud (kesatuan Wujud) ataupun nafsul wahidah
(nafas yang satu). Penjelasan ini berangkat dari prinsip Nama-nama dan Sifat Tuhan
yang memiliki jalur eksistensial masing-masing maka segala bentuk keragaman baik
itu keragaman psikologis (sensorial), keragaman form (bentuk raga), dan keragaman
kesadaran semua mengarah pada Yang Satu. Prinsip ini yaitu prinsip metafisika Ibn
‘Arabi dari Yang Satu muncul yang banyak, dari yang banyak kembali ke Satu.
1. Kesadaran Manusia Kepada Asal
Kesadaran manusia kepada asal merupakan kesadaran bahwa manusia tak hanya
terdefinisikan sebagai makhluk ragawi namun manusia juga merupakan makhluk
spiritual yang menyadari bahwa ihwal manifestasi dari yang tak terbatas meniupkan
ruh pada jasad. Maka hal ini meniscayakan pemahaman kita akan permulaan
eksistensi manusia dan alam semesta. Dan tak dapat diingkari bahwa dalam diri
manusia tersembunyi sifat-sifat Ilahi yang menuntun pada kebaikan, kebenaran,
pengetahuan, dan tujuan penciptaan.
Secara metafisik dalam menapaki jalan spiritual manusia sadar pada asal dan
pengetahuan yang benar yaitu ingatan di mana manusia memiliki relasi atemporal
dengan sumber Wujud sebelum kita turun ke bumi ini bisa dipahami dengan akal.
Bahwa dengan kesadaran pada Asal ini manusia bisa mendefinisikan diri darimana,
berada untuk apa, dan kembali kemana. Perjalanan spiritual ini sejak turunnya Adam
dan Hawa dari singgasana langit bukan sekedar turunnya raga namun juga turunnya
seluruh elemen kemanusiaan.212
Sebagai hamba manusia memiliki potensi, akhirnya definisi manusia bisa
dinarasikan sebagai berikut: “Manusia yaitu makhluk terbaik yang Tuhan ciptakan
untuk menjadi khalifah di Bumi”
Untuk itulah, Turun (descending)213 merupakan keniscayaan dalam prinsip
kekhalifahan yang Allah anu