Tampilkan postingan dengan label ayub 19. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 19. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 19


 naruhnya 

di bawah kakimu (Kis. 4:35), bukan dalam pelukanmu. 

(2) Bahwa dia akan hidup aman tenteram. Sementara kekaya-

an manusia biasanya memperhadapkan dia kepada baha-

ya, dan Ayub sendiri mengakui bahwa dalam kekayaannya 

dia tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman (3:26), 

namun dia akan aman-aman saja saat  bertobat dan di-

berkati. Sebab Yang Mahakuasa akan menjadi pembelamu. 

Bahkan Ia akan menjadi pertahananmu (ay. 25). Ia akan 

menjadi timbunan emasmu, demikianlah tafsirannya, dan 

kata yang sama yang dipakai (ay. 24) untuk emas, namun  

juga menyatakan arti suatu pertahanan yang kuat, se-

bab uang yaitu  suatu perlindungan, perlindungan uang 

(Pkh. 7:12). Orang-orang duniawi menjadikan emas sebagai 

allah mereka, orang-orang saleh menjadikan Allah sebagai 

emas mereka. Dan orang-orang yang diperkaya dengan per-

kenanan dan anugerah-Nya akan sungguh-sungguh di-

katakan memiliki kelimpahan dari emas yang terbaik, dan 

ditimbun dengan baik pula. Kita membacanya, “Ia akan 

menjadi perlindunganmu terhadap serbuan dari para pen-

jarah: kekayaanmu tidak akan terjatuh seperti ke dalam 

tangan orang-orang Syeba dan Kasdim,” yang, dipikirkan 

beberapa penafsir, merupakan arti dari perkataan ini, Eng-

kau akan menjauhkan kecurangan dari dalam kemahmu, 

dengan menerimanya sebagai sebuah janji. “Kecurangan 

atau kejahatan yang dirancangkan terhadap engkau akan 

dijauhkan dan tidak akan menjamah engkau.” Perhatikan-

lah, orang-orang akan aman tenteram apabila mereka 

menjadikan Yang Mahakuasa sebagai perlindungan mereka 

(Mzm. 91:1-3). 

2. Bahwa jiwanya akan sejahtera, dan dia akan diperkaya dengan 

berkat-berkat rohani, yang merupakan berkat terbaik. 

(1) Bahwa dia pasti akan menjalani suatu kehidupan yang 

berbahagia di dalam Allah (ay. 26): “Maka sungguh-sungguh 

engkau akan bersenang-senang sebab  Yang Mahakuasa. 

Seperti itulah jadinya saat  Yang Mahakuasa menjadi 

timbunan emasmu, yaitu saat  engkau bersenang-senang 

di dalam Dia, seperti orang-orang duniawi bersenang-se-

nang di dalam uang mereka. Ia akan menjadi kekayaanmu, 

perlindunganmu, kemuliaanmu. Sebab Ia akan menjadi 

kesukaanmu.” Cara mendapatkan apa yang diinginkan hati 

kita yaitu  dengan menjadikan Allah kesukaan hati kita 

(Mzm. 37:4). Apabila Allah sendiri memberikan diri-Nya 

menjadi kesukaan kita, maka Ia tidak akan menolak apa 

yang baik bagi kita. “Namun sekarang, Allah merupakan 

suatu kengerian bagi engkau. Ia menjadi demikian oleh 

pengakuanmu sendiri (6:4; 16:9; 19:11). namun , jika engkau 

mau kembali kepada-Nya, maka, pada saat itulah, Ia akan 

menjadi kesukaanmu. Dan akan menjadi suatu kesukaan 

bagi engkau saat  engkau berpikir tentang Dia, meng-

gantikan yang menyakitkan saat  dahulu engkau berpikir 

tentang Dia.” Tak ada kesukaan yang dapat dibandingkan 

dengan kesukaan yang dimiliki oleh jiwa yang dipenuhi 

anugerah di dalam Yang Mahakuasa. Dan orang-orang 

yang berlaku ramah kepada Dia, dan menyerahkan diri 

sepenuhnya kepada-Nya, akan mendapat perkenanan-Nya 

tidak hanya sebagai kekuatan mereka, namun  juga nyanyian 

kegirangan mereka.  

(2) Bahwa dia pasti akan memiliki suatu keyakinan yang pe-

nuh kerendahan hati kepada Allah, seperti mereka yang di-

katakan hatinya tidak menuduh mereka (1Yoh. 3:21). “Maka 

engkau akan menengadah kepada Allah dengan keberani-

an, dan tidak takut, seperti dirimu sekarang yang takut 

mendekat kepada-Nya. Mukamu sekarang tertunduk, dan 

engkau terlihat sedih. namun , saat  engkau berdamai de-

ngan Allah, engkau tidak akan malu tersipu-sipu lagi, tidak 

akan gemetar lagi, dan tidak menundukkan kepala lagi, 

seperti yang engkau lakukan sekarang, melainkan dengan 

gembira dan dengan jaminan penuh kasih karunia, engkau 

akan menampilkan diri kepada-Nya, berdoa di hadapan-

Nya, dan mengharapkan berkat-berkat dari-Nya.”  

(3) Bahwa dia pasti akan terus ada dalam persekutuan yang 

tetap dengan Allah, “Begitu hubungan dengan-Nya dibangun, 

maka akan terus dipertahankan-Nya dan engkau akan ber-

suka tak terkatakan. Surat-menyurat tetap ada antara eng-

kau dan sorga” (ay. 27).  

[1] “Melalui doa, engkau mengirimkan surat kepada Allah: eng-

kau berdoa kepada-Nya” (kata aslinya yaitu , engkau 

akan melipatgandakan doa-doamu) “kepada Dia, dan Ia 

tidak akan menganggap suratmu mengganggu, kendati 

banyak dan panjang. Makin sering kita datang meng-

hampiri takhta anugerah, maka makin disambut. Se-

mua bebanmu, kekuranganmu, kekhawatiranmu, dan 

ketakutanmu, engkau akan kirimkan ke sorga untuk 

mendapat tuntunan dan kekuatan, hikmat, dan penghi-

buran, dan kesuksesan.”  

[2] “Ia, melalui penyelenggaraan dan anugerah-Nya, akan 

menjawab surat-suratmu itu, dan memberi engkau apa 

yang engkau minta, entah benda, entah kebaikan: Ia 

akan mengabulkan doamu, dan engkau akan menge-

tahuinya melalui apa yang Ia lakukan bagi engkau dan 

di dalam engkau.”  

[3] “Maka melalui puji-pujian engkau akan membalas ja-

waban penuh kemurahan hati yang dikirimkan-Nya ke-

padamu: Engkau akan membayar nazarmu, dan akan 

diterima-Nya dan akan membalasnya dengan anugerah 

demi anugerah berikutnya.” Perhatikanlah, saat  Allah 

melakukan apa yang kita doakan di dalam kesusahan 

kita, maka kita harus dengan sadar menepati apa yang 

telah kita janjikan kepada-Nya saat  meminta, sebab  

kalau tidak, kita berbuat curang terhadap Dia. Jika kita 

tidak menjanjikan sesuatu selain berjanji untuk ber-

syukur, maka itu pun sudah cukup, sebab  bersyukur 

sudah termasuk semuanya (Mzm. 116:17). 

(4) Bahwa dia pasti akan memiliki kepuasan batin di dalam 

pengelolaan semua urusan hidupnya (ay. 28): “Apabila eng-

kau memutuskan berbuat sesuatu, maka akan tercapai 

maksudmu,” yaitu, “Engkau akan mengatur semua rencana 

dan tujuanmu dengan hikmat yang begitu luar biasa, anu-

gerah, dan penyerahan diri kepada kehendak Allah, se-

hingga segala sesuatunya akan menjadi seperti isi hatimu, 

seperti yang engkau inginkan. Engkau akan menyerahkan 

pekerjaanmu kepada TUHAN dengan iman dan doa, dan 

pikiranmu teguh.  Engkau akan tenang dan senang, apa 

pun yang terjadi (Ams. 16:3). Anugerah Allah ini akan be-

kerja di dalam dirimu. Bahkan, kadang-kadang penyeleng-

garaan Allah akan memberi engkau satu-satunya yang eng-

kau inginkan dan doakan, dan memberikannya menurut 

cara, jalan dan waktumu. Jadilah kepadamu seperti yang 

kaukehendaki.” saat  pada suatu waktu suatu urusan 

berhasil persis seperti yang telah kita rencanakan, dan 

setiap tindakan kita tidak ada yang gagal, atau kita tidak 

perlu mengubah rencana, maka kita harus mengakui peng-

genapan dari janji ini, Apabila engkau memutuskan berbuat 

sesuatu, maka akan tercapai maksudmu. “Sekarang ini 

engkau mengeluh tentang kegelapan di sekelilingmu, namun  

nanti cahaya terang menyinari jalan-jalanmu.” Yaitu, “Allah 

akan menuntun dan mengarahkan engkau, dan dengan sen-

dirinya akan mengikuti, tentu saja, bahwa Ia akan memper-

kaya dan membuatmu berhasil di dalam semua usahamu. 

Hikmat Allah akan menjadi penuntunmu, perkenanan-Nya 

menjadi penghiburanmu, dan jalan-jalanmu berada di ba-

wah terang hikmat dan perkenanan-Nya itu sehingga eng-

kau akan menikmati dengan rasa suka apa yang ada seka-

rang dan apa yang akan datang nanti” (Mzm. 90:17). 

(5) Bahkan di waktu-waktu bencana dan bahaya yang menim-

pa semua orang, dia akan mendapat sukacita dan pengha-

rapan yang berlimpah (ay. 29): “saat  Allah merendahkan 

orang yang angkuh di sekelilingmu, menggagalkan mereka 

dalam semua usaha mereka, mematahkan semangat mere-

ka, membuat mereka tenggelam, putus asa, dan berputus 

asa, engkau akan berkata, Allah menyelamatkan aku yang 

tadinya menundukkan kepala. Engkau akan mendapati 

bahwa di dalam dirimu tidak hanya akan ada sesuatu yang 

menahan engkau bertahan di bawah masalahmu, dan men-

jaga engkau agar tidak menjadi lemah, namun  juga meng-

angkat engkau mengatasi masalahmu dan memampukan 

engkau untuk lebih bersukacita lagi.” saat  orang akan 

mati ketakutan sebab  kecemasan,  maka murid-murid 

Kristus akan bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab 

penyelamatanmu sudah dekat (Luk. 21:26-28). Demikian-

lah murid-murid Kristus dijadikan melintasi puncak bukit-

bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan (Yes. 58:14), 

dan apa yang akan mengangkat muka mereka yaitu  ke-

percayaan akan hal ini, yaitu bahwa Allah akan menyela-

matkan orang yang menundukkan kepala, yang rendah 

hati. Orang-orang yang merendahkan diri akan ditinggikan, 

tidak hanya dalam kehormatan, namun  juga dalam peng-

hiburan. 

3. Bahwa Ayub akan menjadi berkat bagi negerinya dan saluran 

berkat bagi banyak orang (ay. 30, KJV): Dia, sebagai jawaban 

atas doa-doamu, membebaskan orang yang tidak bersalah, dan 

melakukan hal yang demikian sebab  kebersihan tanganmu, 

yang merupakan syarat agar doa-doa kita diterima (1Tim. 2:8). 

Namun, sebab  kita mungkin menganggap bahwa orang yang 

tidak bersalah tidak membutuhkan pembebasan (itulah nasib 

Sodom yang malang sebab  mendapat berkat dari doa-doa 

pengantaraan Abraham), maka saya cenderung setuju dengan 

tafsiran tambahan atas ayat di atas tadi sebagai, Orang-orang 

yang tidak bersalah akan meluputkan negeri, dengan nasihat 

mereka (Pkh. 9:14-15) dan melalui doa-doa mereka serta kare-

na bagian mereka di sorga (Kis. 27:24). Atau, Ia akan meluput-

kan orang-orang yang tidak bersalah dan mereka diluputkan 

sebab  kebersihan tanganmu. Perhatikanlah, orang yang baik 

merupakan suatu kebaikan bagi banyak orang. Orang-orang 

berdosa mengalami kebaikan sebab  jasa orang-orang saleh, 

baik mereka menyadarinya atau tidak. Jika Elifas bermaksud 

(sebagaimana yang diduga oleh beberapa penafsir) menyindir 

bahwa doa-doa Ayub tidak terkabul dan tangannya tidak bersih, 

maka dia akan melihat kesalahannya itu, saat  terbukti bahwa 

Ayub lebih mendapat perkenanan di sorga daripada dirinya. 

Sebab, dia dan tiga sahabatnya, yang dalam hal ini tidak tidak 

bersalah, diluputkan oleh kebersihan tangan Ayub (42:8). 

 

 

 

  

PASAL  23  

asal ini memulai jawaban Ayub kepada Elifas. Dalam jawaban ini 

ia tidak mengindahkan sahabat-sahabatnya, entah sebab  ia 

menganggap hal itu tidak ada gunanya, atau sebab  ia begitu me-

nyukai nasihat baik dari Elifas di akhir pembicaraannya sebelum ini, 

hingga ia tidak mau menjawab celaan menjengkelkan Elifas di awal 

tuturannya. Sebaliknya, ia berseru kepada Allah, memohon agar per-

karanya didengarkan. Ayub yakin bahwa permohonannya akan dika-

bulkan, sebab  hati nuraninya sendiri bersaksi perihal ketulusannya. 

Di seluruh pasal ini tampak adanya pergumulan antara kedagingan 

dan roh, ketakutan dan iman. 

I. Ayub mengeluhkan keadaannya yang celaka, terutama un-

durnya Allah daripadanya, sehingga perkaranya tidak dide-

ngar oleh-Nya (ay. 2-5), dan ia tidak dapat memahami makna 

perlakuan Allah terhadap dirinya (ay. 8-9), dan tidak ada 

harapan akan memperoleh kelegaan (ay. 13-14). Hal ini mem-

buat batinnya ditusuk rasa kesesakan dan ketakutan (ay. 15-

17). 

II. Di tengah semua keluhan ini, Ayub menghibur diri dengan 

jaminan akan mendapat pengampunan Allah (ay. 6-7). Ia ya-

kin penuh akan ketulusannya, dan Allah sendiri yang men-

jadi saksinya (ay. 10-12). Demikianlah terang dari siang hari-

nya, seperti yang disebutkan dalam Zakharia 14:6-7, yaitu 

tidak benar-benar terang ataupun sepenuhnya gelap, namun  

“malampun menjadi siang.” 


Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas; 

Ayub Berseru dari Manusia kepada Allah  

(23:1-7) 

1 namun  Ayub menjawab: 2 “Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberon-

takan, tangan-Nya menekan aku, sehingga aku mengaduh. 3 Ah, semoga aku 

tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. 4 Maka 

akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kupenuhi mulutku dengan 

kata-kata pembelaan. 5 Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang 

diberikan-Nya kepadaku dan aku akan mengerti, apa yang difirmankan-Nya 

kepadaku. 6 Sudikah Ia mengadakan perkara dengan aku dalam kemaha-

kuasaan-Nya? Tidak, Ia akan menaruh perhatian kepadaku. 7 Orang jujurlah 

yang akan membela diri di hadapan-Nya, dan aku akan bebas dari Hakimku 

untuk selama-lamanya. 

Ayub yakin bahwa para sahabatnya telah memperlakukannya dengan 

tidak benar. Oleh sebab itu, seburuk apa pun ia, ia tidak mau menye-

rah begitu saja, atau membiarkan mereka menentukan keputusan 

terakhir. Di sini, 

I. Ayub membenarkan kemarahannya terhadap kesesakan yang di-

alaminya (ay. 2): Sekarang ini kuakui bahwa keluh kesahku men-

jadi pemberontakan (KJV: pahit), sebab  penderitaan, penyebab 

keluhan ini, memang demikian adanya, memang pahit. Ingatlah 

akan ipuh dan racun dalam sengsaraku dan pengembaraanku. 

Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan dibuat pahit olehnya (Rat. 

3:19-20). Sekarang ini keluh kesahku dianggap sebagai pemberon-

takan (demikianlah yang dipahami beberapa penafsir). Sahabat-

sahabatnya menafsirkan ungkapan lugu akibat kesedihannya itu 

sebagai celaan terhadap Allah dan penyelenggaraan-Nya, lalu me-

nyebutnya sebagai pemberontakan. “Namun,” katanya, “aku tidak 

mengeluh selain terdapat alasan untuk itu. Tangan-Nya menekan 

aku, sehingga aku mengaduh. Bahkan sekarang ini pun, sesudah 

segala sesuatu yang telah kamu katakan untuk menginsafkan 

dan menghiburku, kepedihan tubuhku dan luka-luka rohku sede-

mikian rupa hingga aku mempunyai cukup alasan untuk menge-

luh apabila rasanya lebih pahit daripada sesungguhnya.” Kita 

bersalah kepada Allah apabila keluhan kita lebih besar daripada 

tekanan yang kita rasakan, seperti anak-anak pembangkang, 

yang saat  menangis tanpa alasan, lalu diberi sesuatu untuk di-

tangisi. Namun, kita tidak akan bersalah kepada diri sendiri 

walaupun tekanan yang kita rasakan lebih berat daripada keluh-

an kita, sebab  sedikit perkataan membawa kebaikan. 

II. Ayub meninggalkan kecaman sahabat-sahabatnya dan mengalih-

kan seruannya kepada penghakiman Allah yang adil. Dan baginya 

ini menjadi bukti bahwa dia bukanlah orang munafik, sebab 

andai kata ia memang orang munafik, maka ia tidak akan berani 

membawa perkaranya kepada Allah seperti ini. Rasul Paulus juga 

menghibur dirinya demikian, bahwa Dia, yang menghakiminya, 

ialah Tuhan, dan sebab  itu ia tidak mau memusingkan dirinya 

dengan penghakiman manusia (1Kor. 4:3-4), namun  bersedia me-

nunggu sampai hari penentuan keputusan tiba. Sebaliknya, Ayub 

tidak sabar dan sangat merindukan hari penghakiman itu. Ia 

ingin agar perkaranya segera ditangani, tampaknya, oleh suatu 

panitia khusus. Sang rasul merasa perlu menekankan agar orang-

orang Kristen yang sedang menderita, menantikan kedatangan 

Sang Hakim dengan sabar (Yak. 5:7-9). 

1. Ayub begitu yakin akan pengadilan Allah hingga ia ingin tam-

pil di peradilan itu (ay. 3): Ah, semoga aku tahu mendapatkan 

Dia! Ayat ini tampaknya dengan tepat mengungkapkan isi hati 

yang saleh dari jiwa yang insaf bahwa oleh dosa ia telah 

kehilangan Allah, dan jiwanya akan binasa selamanya apabila 

tidak mendapatkan kembali perkenanan-Nya. “Ah, seandainya 

saja aku tahu bagaimana bisa memperoleh kembali perkenan-

an-Nya! Bagaimana aku bisa datang ke dalam kovenan-Nya 

dan bersekutu dengan-Nya!” (Mi. 6:6-7). Inilah seruan jiwa 

yang malang sebab  ditinggalkan. “Apakah kamu melihat jan-

tung hatiku? Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia! Ah, se-

moga Ia yang telah membuka jalan menuju diri-Nya sendiri 

mau memimpin dan menuntunku ke dalamnya!” Namun, di 

sini Ayub tampaknya terlalu mengeluhkan sahabat-sahabat-

nya memperlakukan dia dengan tidak baik, hingga ia tidak 

tahu lagi bagaimana harus memohon kepada Allah untuk 

memperoleh keadilan. Ia bahkan ingin mendatangi takhta-Nya 

dan menuntut keadilan. Sungguh merupakan hikmat dan ke-

wajiban kita untuk dengan sabar menantikan kematian dan 

penghakiman. Dan jika kita mempertimbangkan semua hal se-

bagaimana seharusnya, maka penantian itu tidak dapat tidak 

pasti akan disertai rasa takut dan gentar yang kudus. Sebalik-

nya, keinginan yang menggebu-gebu terhadap kematian atau 

penghakiman, tanpa rasa takut dan gentar yang kudus, meru-

pakan perbuatan dosa dan bodoh, dan tidak pantas kita laku-

kan. Adakah kita tahu seperti apa kematian dan penghakiman 

itu, dan begitu siap menyambutnya, hingga kita tidak membu-

tuhkan waktu untuk lebih mempersiapkan diri? Celakalah 

mereka yang menginginkan hari TUHAN dalam kepanasan hati 

(Am. 5:18). 

2. Ayub begitu meyakini kebenaran perkaranya hingga ingin se-

kali memaparkannya di hadapan pengadilan Allah (ay. 4): 

“Akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan menempat-

kannya dalam terang yang sesungguhnya. Aku akan menun-

jukkan bukti-bukti ketulusanku dengan cara yang tepat, dan 

akan kupenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan untuk 

membuktikannya.” Kita juga dapat mengajukan pembelaan se-

perti ini, namun  dengan cara berdoa, di mana kita dengan 

penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, bah-

kan dapat datang di tumpuan kaki takhta kasih karunia. Kita 

tidak saja memperoleh jalan masuk dengan bebas, namun  juga 

kebebasan untuk berbicara. Kita diizinkan, 

(1) Untuk mengajukan permohonan dengan terperinci, mema-

parkan perkara kita di hadapan Allah, untuk mengutara-

kan seluruh masalah, dan untuk meletakkan seluruh pen-

deritaan kita di hadapannya dengan cara yang menurut 

kita paling pantas. Kita tidak berani bersikap sebebas itu 

terhadap raja-raja duniawi dibandingkan jiwa yang kudus 

dan rendah hati di hadapan Allah. 

(2) Untuk menyampaikan permohonan kita dengan mendesak-

desak. Kita diperbolehkan, bukan hanya untuk  berdoa, te-

tapi juga berseru. Bukan hanya meminta, namun  juga men-

desak dengan kuat. Bahkan lebih dari itu, untuk memenuhi 

mulut kita dengan kata-kata pembelaan. Tidak untuk meng-

gerakkan hati Allah sebab  Ia sudah sangat memahami 

kebaikan perkara kita tanpa kita harus memperlihatkan-

nya, namun  untuk menggerakkan hati kita sendiri, untuk 

membangkitkan kesungguhan kita serta mendorong iman 

kita dalam doa. 

3. Ayub begitu yakin akan menerima perkataan yang membela 

dia dari Allah, hingga ia pun rindu mendengarnya (ay. 5): “Aku 

akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepa-

daku.” Yaitu, “Aku akan dengan senang hati mendengar apa 

yang hendak dikatakan Allah mengenai perkara yagn menjadi 

perbantahan di antara kalian dan aku, dan bersedia menerima 

penghakiman-Nya.” Sikap seperti ini sangat patut bagi kita di 

tengah semua sengketa. Biarkan firman Allah menentukannya, 

biarlah kita mengetahui jawaban-Nya dan memahami apa yang 

dikatakan-Nya. Ayub tahu betul apa yang akan dikatakan 

sahabat-sahabatnya. Mereka akan menyalahkan dan menja-

tuhkan dia. “namun ,” kata Ayub, “aku ingin sekali mengetahui 

jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepadaku, sebab aku 

yakin penghakiman-Nya sesuai dengan kebenaran, sedangkan 

penghakiman mereka tidak demikian halnya. Aku tidak bisa 

memahami mereka. Perkataan mereka begitu jauh dari per-

karanya. Sebaliknya, apa yang dikatakan oleh-Nya akan kupa-

hami dan oleh sebab  itu membuatku sangat puas.” 

III. Ayub menghibur diri dengan pengharapan bahwa Allah akan 

memperlakukannya dengan baik berkaitan dengan masalah ini 

(ay. 6-7). Perhatikanlah, sungguh sangat bermanfaat bagi kita 

agar saat  berurusan dengan Allah dalam segala hal, kita tetap 

berpikir yang baik tentang diri-Nya. Ayub percaya,  

1. Bahwa Allah tidak akan menguasainya, bahwa Ia tidak akan 

menanganinya baik melalui kedaulatan mutlak maupun 

keadilan yang keras. Bukan dengan tangan teracung maupun 

dengan tangan besi: Sudikah Ia mengadakan perkara dengan 

aku dalam kemahakuasaan-Nya? Tidak. Sahabat-sahabat 

Ayub menyalahkan dia dengan segenap kekuatan mereka. 

Namun, akankah Allah berbuat demikian juga? Tidak. Kekua-

saan-Nya sepenuhnya adil dan kudus, seperti apa pun kekua-

saan manusia. Terhadap orang-orang yang dengan keras ke-

pala tetap tidak mau percaya dan bertobat, Allah akan  meng-

adakan perkara dalam kemahakuasaan-Nya. Kebinasaan me-

reka akan datang dari kemuliaan kekuatan-Nya. Sebaliknya, 

terhadap umat-Nya sendiri yang mengasihi-Nya dan percaya 

kepada-Nya, Ia akan bertindak dengan penuh belas kasihan. 

2. Sebaliknya, Ia akan memampukannya untuk mengajukan per-

karanya sendiri kepada Allah: “Ia akan menaruh perhatian ke-

padaku, untuk menopang dan mendukungku dalam meme-

lihara ketulusanku.” Perhatikanlah, kuasa yang sama yang 

dilibatkan untuk melawan orang berdosa yang sombong, di-

pakai juga bagi orang-orang kudus yang rendah hati, yang 

menang bersama Allah berkat kekuatan yang diperoleh dari-

Nya, seperti yang dialami Yakub (Hos. 12:4; Mzm. 68:36). 

3. Bahwa hasil peradilan-Nya pasti akan menyenangkan (ay. 7). 

Di sana, di pengadilan sorga kelak, saat  hukuman terakhir 

akan dijatuhkan, orang jujurlah yang akan membela diri di 

hadapan-Nya dan terbebas dalam keadilan-Nya. Sekarang ini 

bahkan mereka yang tulus hatinya sekalipun sering kali me-

nerima hukuman dari Tuhan, dan mereka tidak dapat membela 

diri. Ketulusan itu sendiri tidak dapat melindungi orang dari 

bencana atau fitnahan. Namun, pada hari itu mereka tidak 

akan dihukum bersama-sama dengan dunia, meskipun Allah 

bisa saja mendatangkan penderitaan melalui hak istimewa-

Nya. Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang 

benar dan orang fasik (Mal. 3:18). Begitu besar perbedaan yang 

terdapat di antara mereka dalam kehidupan mereka di keke-

kalan nanti. Sekarang ini kita memang nyaris tidak dapat 

membedakan keadaan mereka. Dilihat dari penampilan la-

hiriah, begitu kecil perbedaan yang tampak di antara mereka, 

sebab segala sesuatu menjadi serupa. Namun, pada saat itu 

saat  hukuman terakhir dijatuhkan, “Aku akan bebas dari 

Hakimku untuk selama-lamanya.” Artinya, “Aku akan disela-

matkan dari kecaman tidak adil para sahabatku dan dari 

hukuman ilahi yang sekarang ini begitu menakutkanku.” 

Orang-orang yang diserahkan kepada Allah yang merupakan 

pemilik dan penguasa mereka, akan diselamatkan dari Dia 

yang merupakan hakim dan penuntut balas mereka. Tidak ada 

cara untuk lari dari keadilan-Nya selain dengan lari kepada 

pengasihan-Nya.

Rahasia Penyelenggaraan Allah 

(23:8-12) 

8 Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana; atau ke barat, 

tidak kudapati Dia; 9 di utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke 

selatan, aku tidak melihat Dia. 10 sebab  Ia tahu jalan hidupku; seandainya 

Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. 11 Kakiku tetap mengikuti 

jejak-Nya, aku menuruti jalan-Nya dan tidak menyimpang. 12 Perintah dari 

bibir-Nya tidak kulanggar, dalam sanubariku kusimpan ucapan mulut-Nya. 

Dalam perikop ini, 

I. Ayub mengeluh sebab  ia tidak dapat memahami maksud penye-

lenggaraan Allah menyangkut dirinya. Ia benar-benar hilang akal 

(ay. 8-9): kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana, dst. Elifas 

menyuruh dia berlaku ramah terhadap Allah. “Memang itulah 

yang kuinginkan dengan sepenuh hati,” kata Ayub, “kalau saja 

aku tahu caranya untuk bersikap ramah terhadap Dia.” Ia sendiri 

sangat rindu datang menghadap Allah dan didengarkan perkara-

nya, namun  Sang Hakim tidak ditemukannya. Ke mana pun ia 

mencari, ia tidak dapat melihat tanda kemunculan Allah baginya 

untuk membersihkan dirinya, bahwa ia tidak bersalah. Tidak per-

lu diragukan lagi bahwa Ayub percaya Allah ada di mana-mana. 

Namun tampaknya di sini ia mengeluhkan tiga hal: 

1. Bahwa ia tidak mampu memusatkan pikirannya atau menilai 

dengan jernih berbagai hal yang berkecamuk di benaknya. 

Pikirannya begitu kacau dan hilang kendali akibat banyak ke-

sesakan yang dialaminya, hingga ia bagaikan orang yang se-

dang ketakutan, atau kehabisan akal. Ia berlari kian kemari 

dengan bingung, tanpa bisa berpikir apa-apa. Akibat kekacau-

an dan goncangan yang dialami rohnya, ia tidak mampu ber-

pegang pada apa yang ia tahu ada dalam diri Allah. Seandai-

nya saja ia menyertakan iman dalam apa yang ia tahu ada 

pada Allah itu, dan merenungkannya, maka hal itu tentu akan 

menyokongnya. Ini merupakan hal yang lazim dikeluhkan 

orang-orang yang sedang sakit atau sedih, yaitu bahwa saat  

hendak memikirkan hal yang baik, mereka tidak mampu ber-

buat apa-apa dengannya. 

2. Bahwa Ayub tidak dapat menemukan penyebab semua kese-

sakannya, atau dosa yang menyulut murka Allah sehingga 

beperkara dengannya. Ia meninjau seluruh perilaku hidupnya, 

memeriksa setiap sisinya, dan tidak dapat memahami dalam 

hal apa ia lebih berdosa dibanding orang lain sehingga harus 

dihukum lebih berat daripada mereka. Ia juga tidak dapat me-

mahami apa tujuan Allah dalam membuatnya menderita se-

perti ini. 

3. Bahwa ia tidak dapat melihat ujung dari perkara ini di kemu-

dian hari, apakah Allah akan membebaskannya, atau kalau-

pun memang demikian halnya, kapan atau dengan cara apa Ia 

akan melakukannya. Ia tidak melihat tanda-tandanya, dan ti-

dak ada yang bisa mengatakan sampai berapa lama lagi kese-

sakan ini akan berlangsung. Jemaat juga mengeluhkan hal ini 

(Mzm. 74:9). Ia sama sekali kehilangan akal mengenai apa yang 

direncanakan Allah dengan dirinya. Apa pun dugaan yang ia 

pikirkan, selalu saja terdapat hal lain yang muncul untuk mene-

piskannya. 

II.   Ayub percaya diri sepenuhnya, bahwa Allah sendiri yang menjadi 

saksi bagi ketulusannya, dan oleh sebab  itu ia tidak ragu bahwa 

akhir dari perkaranya ini akan baik. 

1. Sesudah Ayub nyaris tersesat dalam kebingungan perihal pu-

tusan hikmat ilahi, ia akhirnya bisa duduk dengan tenang 

dengan pikiran ini: “Meskipun aku tidak mengetahui jalan 

yang diambil-Nya, sebab melalui laut jalan-Nya dan lorong-Nya 

melalui muka air yang luas, pikiran dan jalan-jalan-Nya sangat 

jauh melebihi pikiran dan jalan kita. Jadi betapa lancangnya 

kita apabila menganggap diri mampu menilainya, namun Ia 

tahu jalan hidupku” (ay. 10). Yaitu, 

(1) Ayub tahu tentang hal itu. Sahabat-sahabatnya mengha-

kimi apa yang tidak mereka ketahui, dan oleh sebab itu 

menuduhnya melakukan kesalahan yang tidak pernah 

dilakukannya. Sebaliknya, Allah yang mengetahui setiap 

langkah Ayub, tidak akan berbuat demikian (Mzm. 139:3). 

Perhatikanlah, sungguh merupakan penghiburan besar bagi 

orang-orang yang dengan tulus berpendapat bahwa Allah 

memahami maksud mereka, meskipun manusia tidak, tidak 

dapat, atau tidak mau mengerti. 

(2) Ayub mengakui hal itu: “Allah tahu bahwa meskipun aku 

adakalanya telah mengambil langkah yang salah, aku ma-

sih mengambil langkah yang baik, aku telah memilih jalan 

kebenaran, dan oleh sebab itu Ia mengetahuinya.” Yaitu, Ia 

menerimanya dan senang dengan hal itu, sebab  Ia me-

ngenal jalan orang benar (Mzm. 1:6). Hal ini menghibur 

sang nabi (Yer. 12:3), Engkau menguji bagaimana hatiku 

terhadap Engkau. Dari hal inilah Ayub menyimpulkan, se-

andainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. 

Orang-orang yang tetap hidup menurut jalan yang ditunjuk-

kan TUHAN dapat menghibur diri sendiri saat  sedang 

mengalami kesusahan, dengan ketiga hal ini: 

[1] Bahwa mereka sekadar diuji. Hal itu tidak dimaksud-

kan untuk menyakiti mereka, namun  demi kehormatan 

dan keuntungan mereka. Itu yaitu  untuk membukti-

kan kemurnian iman mereka (1Ptr. 1:7). 

[2] Bahwa sesudah mereka diuji secukupnya, mereka akan 

keluar dari dapur peleburan, dan tidak akan ditinggal-

kan di dalamnya sampai hancur bagaikan ampas lebur-

an perak yang tidak berguna. Ujian itu akan berakhir. 

Bukan untuk selama-lamanya Allah hendak berbantah. 

[3] Bahwa mereka akan timbul seperti emas, murni kan-

dungan di dalam dirinya dan sangat mulia bagi orang 

yang memurnikannya. Mereka akan timbul seperti emas 

yang telah diakui dan terbukti kemurniannya, didapati 

amat baik dan dibuat lebih baik lagi. Penderitaan ditim-

pakan kepada kita sesuai siapa kita sebenarnya. Orang-

orang yang memasuki dapur peleburan sebagai emas, 

tidak akan timbul menjadi lebih buruk. 

2. Hal yang mendorong Ayub berharap bahwa kesesakan yang 

sedang dialaminya sekarang akan berakhir dengan baik ada-

lah kesaksian hati nuraninya, yaitu bahwa ia telah menjalani 

hidup dengan baik dalam takut akan Allah. 

(1) Bahwa jalan Allah yaitu  jalan yang dilaluinya (ay. 11): 

Kakiku tetap mengikuti jejak-Nya,” yaitu, “berpegangan pada 

jejak-jejak-Nya, mengikuti dekat-dekat semua jejak lang-

kah-Nya. Aku telah berusaha keras menaati teladan-Nya.” 

Orang-orang baik yaitu  para pengikut Allah. Atau, “Aku 

telah menyesuaikan diri dengan penyelenggaraan-Nya dan 

berusaha keras memenuhi semua tujuannya, dengan meng-

ikuti Penyelenggaraan Allah langkah demi langkah.” Atau, 

“Langkah-langkah-Nya yaitu  langkah-langkah yang telah 

ditetapkan-Nya untuk kuambil juga. Jalan iman dan kesa-

lehan yang sungguh, yaitu  jalan yang telah kupelihara 

dan aku tidak undur daripadanya. Aku tidak saja tidak 

berpaling darinya dengan berlaku murtad darinya, namun  

juga tidak sedikit pun berbelok darinya dengan sengaja me-

lakukan pelanggaran.” Mengikuti jejak Allah dan menuruti 

jalan-Nya mengisyaratkan bahwa sang penggoda telah 

memakai  seluruh keahliannya melalui penipuan dan 

kekuatan untuk menarik Ayub ke samping. Namun, de-

ngan penuh perhatian serta kebulatan hati, sampai seka-

rang ini ia telah bertekun melalui anugerah Allah. Jadi, 

barang siapa ingin berbuat demikian, haruslah mengikuti 

jejak dan menuruti jalan-Nya, mengikuti dengan kebulatan 

hati dan terus berjaga-jaga.  

(2) Bahwa firman Allah merupakan peraturan yang diikutinya 

(ay. 12). Ayub menguasai diri dengan perintah dari bibir 

Allah, dan tidak mau mundur darinya, namun  terus maju 

sesuai perintah itu. Kesulitan apa pun yang mungkin kita 

temui dalam menjalani perintah Allah, meskipun menun-

tun kita melalui padang belantara sekalipun, janganlah 

pernah membuat kita berpikir untuk mundur, namun  harus 

mendesak maju terus ke arah tujuan. Ayub memelihara hu-

kum Allah dalam tingkah lakunya, sebab  baik penghakim-

an maupun kasih sayang-Nya memimpin dia ke sana: dalam 

sanubariku kusimpan ucapan mulut-Nya (KJV: aku menghar-

gai ucapan mulut-Nya melebihi makananku). Artinya, Ayub 

memandang ucapan mulut-Nya sebagai makan yang diper-

lukannya untuk hidupnya. Ia lebih baik hidup tanpa ma-

kanan sehari-hari daripada tanpa firman Allah. Aku telah 

menyimpan ucapan mulut-Nya sebagaimana orang-orang 

yang menyimpan persediaan dalam menghadapi penge-

pungan, atau sebagaimana Yusuf menyimpan persediaan 

gandum sebelum kelaparan melanda. Elifas telah menyu-

ruh Ayub menaruh firman-Nya dalam hatinya (22:22). “Aku 

melakukannya,” ujar Ayub, “dan selalu melakukannya, su-

paya aku jangan berdosa terhadap-Nya, dan supaya seperti 

pengurus rumah yang baik, aku dapat menghasilkan ke-

baikan bagi orang-orang lain.” Perhatikanlah, firman Allah

 bagi jiwa kita bagaikan makanan yang diperlukan bagi 

tubuh kita. Firman itu menopang kehidupan rohani dan 

menguatkan kita untuk melakukan kegiatan dalam kehi-

dupan ini. Tanpa firman itu, kita tidak akan bisa bertahan 

hidup. Tidak ada suatu pun yang dapat menggantikan 

kekurangan itu. Oleh sebab itu kita harus sangat menghar-

gainya, bersusah payah untuk bisa memperolehnya, lapar 

mencarinya, menikmatinya dengan penuh sukacita, dan 

memberi gizi kepada jiwa kita dengannya. Dan hal inilah 

yang akan menjadi sukacita kita pada hari malapetaka, 

seperti yang dialami Ayub di sini. 

Penghiburan Ayub dalam Ketulusannya 

(23:13-17) 

13 namun  Ia tidak pernah berubah – siapa dapat menghalangi Dia? Apa yang 

dikehendaki-Nya, dilaksanakan-Nya juga. 14 sebab  Ia akan menyelesaikan 

apa yang ditetapkan atasku, dan banyak lagi hal yang serupa itu dimaksud-

kan-Nya. 15 Itulah sebabnya hatiku gemetar menghadapi Dia, kalau semua-

nya itu kubayangkan, maka aku ketakutan terhadap Dia. 16 Allah telah mem-

buat aku putus asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatiku gemetar;  

17 sebab bukan sebab  kegelapan aku binasa, dan bukan juga sebab  muka-

ku ditutupi gelap gulita.” 

Beberapa penafsir berpendapat, dalam perikop ini Ayub mengeluh 

bahwa Allah telah memperlakukannya dengan tidak adil dan dengan 

curang, sebab  terus menghukumnya tanpa jeda sedikit pun, meski-

pun ia memiliki bukti-bukti yang tidak perlu diragukan lagi dan 

dapat memperlihatkan bahwa ia tidak bersalah. Saya enggan berpikir 

bahwa Ayub yang saleh itu akan menuduh Allah yang kudus itu 

berlaku tidak adil. Bagaimanapun, keluhannya memang pahit dan 

penuh kejengkelan. Ia menganggap dirinya terpaksa bersabar, sesua-

tu yang tidak dapat dilakukannya tanpa memandang kepada Allah 

sebab  telah memperlakukannya dengan keras. Ia terpaksa menang-

gungnya sebab  tidak dapat berbuat lain. Hal terburuk yang diucap-

kannya yaitu  bahwa entah mengapa, Allah telah memperlakukan-

nya seperti itu. 

I. Ayub mengemukakan kebenaran-kebenaran yang baik, kebenaran 

yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan (ay. 13-14), 

1. Bahwa rencana Allah bersifat kekal: Ia tidak pernah berubah – 

siapa dapat menghalangi Dia? Ia yaitu  satu (demikianlah 

yang dikatakan beberapa penafsir), atau dalam keutuhan. Ia 

tidak punya penasihat yang berkuasa memberi petunjuk ke-

pada-Nya sehingga Ia dapat dibujuk untuk mengubah maksud 

tujuan-Nya: Ia menyatu dengan diri-Nya sendiri, dan tidak 

pernah berubah pikiran, serta tidak pernah mengubah tindak-

an-Nya. Doa memang telah berhasil mengubah cara Allah dan 

penyelenggaraan-Nya, namun kehendak dan tujuan-Nya tidak 

pernah berubah. Sebab, segala perbuatan-Nya telah diketahui 

Allah. 

2. Bahwa kuasa-Nya tidak dapat dilawan: Apa yang dikehendaki-

Nya atau rancangannya, akan dilaksanakan-Nya juga. Tidak 

ada suatu pun yang dapat menghalang-halangi-Nya atau mem-

berikan petunjuk baru kepada-Nya. Manusia menginginkan ba-

nyak hal yang tidak boleh, tidak bisa, atau tidak berani mereka 

lakukan. Sebaliknya, Allah memiliki kedaulatan yang tidak ter-

bantahkan. Kehendak-Nya begitu sangat murni dan benar 

hingga sungguh sangat cocok apabila Ia melanjutkan seluruh 

kebulatan tekad-Nya. Ia juga memiliki kuasa yang tidak dapat 

dikendalikan. Tidak ada seorangpun yang dapat menolak ta-

ngan-Nya. TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya (Mzm. 

135:6), dan akan senantiasa melakukannya, sebab  itulah 

selalu yang terbaik. 

3. Bahwa segala sesuatu yang dilakukan-Nya yaitu  sesuai de-

ngan putusan kehendak-Nya (ay. 14): Ia akan menyelesaikan 

apa yang ditetapkan atasku. Apa pun yang terjadi pada kita, 

Allah sendirilah yang menyelesaikannya (Mzm. 57:3). Seluruh 

perbuatan-Nya sangat mengagumkan, dan akan tampak saat  

rahasia Allah tergenapi seluruhnya. Ia melaksanakan semua, 

dan hanya semua yang telah ditetapkan-Nya, dalam waktu 

dan cara yang sudah ditetapkan-Nya. Hal ini dapat membung-

kam kita, sebab apa yang telah ditetapkan-Nya tidak dapat di-

ubah. Namun, mengingat bahwa saat  Allah menetapkan kita 

menerima hidup yang kekal dan kemuliaan sebagai tujuan 

kita, Ia juga menetapkan keadaan dan penderitaan ini di jalan 

hidup kita, apa pun itu. sebab  itu, kita harus menerima se-

mua ini dengan berdiam diri saja, dan harus yakin bahwa se-

mua itu yaitu  demi yang terbaik bagi kita. Walaupun apa 

yang dilakukan-Nya belum kita ketahui sekarang ini, kita akan 

mengetahuinya kelak. 

4. Bahwa segala sesuatu yang dilakukan-Nya yaitu  sesuai de-

ngan kebiasaan penyelenggaraan-Nya: banyak lagi hal yang 

serupa itu dimaksudkan-Nya. Artinya, Ia melakukan banyak 

hal dalam tindakan penyelenggaraan-Nya yang tidak dapat 

kita jelaskan, sehingga hendaklah kita berserah penuh kepada 

kedaulatan-Nya yang mutlak. Apa pun kesesakan yang kita 

alami, orang-orang lain pun pernah mengalaminya. Perkara 

kita bukanlah satu-satunya. Semua saudara di seluruh dunia 

menanggung penderitaan yang sama (1Ptr. 5:9). Apakah kita 

terkena penyakit atau mengalami kesakitan, jatuh miskin, dan 

kehilangan segalanya? Apakah anak-anak kita mati, atau 

teman-teman kita bersikap tidak ramah? Inilah yang ditetap-

kan Allah atas kita, dan banyak lagi hal yang serupa itu dimak-

sudkan-Nya. Demi kepentingan-Nya-kah bumi harus menjadi 

sunyi? 

II. Namun Ayub tidak memanfaatkan kebenaran-kebenaran yang baik 

ini. Seandainya mempertimbangkannya dengan baik, ia mungkin 

akan berkata, “Itulah sebabnya aku merasa tenang dan senang, 

bisa berdamai dengan jalan Allahku menyangkut diriku. Oleh 

sebab  itu aku akan bersukacita dalam pengharapan bahwa se-

mua kesesakanku akhirnya akan menjadi baik.” Namun sebalik-

nya, Ayub malah berkata, Itulah sebabnya hatiku gemetar meng-

hadapi Dia (ay. 15). Orang-orang yang gemetar menghadapi Dia 

memang merupakan jiwa-jiwa yang tertekan. Sama seperti sang 

pemazmur yang saat  mengingat Allah, maka ia mengerang (Mzm. 

77:4). Lihatlah betapa bingung Ayub yang malang itu sekarang, 

sebab ia bertentangan dengan dirinya sendiri. Ia baru saja merasa 

tertekan sebab  ketidakhadiran Allah (ay. 8-9), namun sekarang 

ia justru gemetar di hadapan-Nya. Kalau semuanya itu kubayang-

kan, maka aku ketakutan terhadap Dia. Apa yang sedang dirasa-

kannya sekarang membuatnya semakin ketakutan. Jika dipikir-

kan, memang ada hal-hal yang akan memperlihatkan bahwa kita 

mempunyai alasan untuk takut terhadap Allah, yaitu keadilan 

dan kemurnian-Nya yang tanpa batas, dibandingkan dengan 

keadaan kita yang berdosa dan kotor. Namun, bila kita mengingat 

semua itu lalu merenungkan kasih karunia-Nya dalam diri 

seorang Penebus, dan kepatuhan kita kepada anugerah itu, maka 

ketakutan kita akan lenyap, dan kita akan melihat pengharapan 

di dalam diri-Nya. Lihatlah kesan apa saja yang tertanam dalam 

diri Ayub akibat luka-luka rohnya. 

1. Ia sangat ketakutan (ay. 16): Allah telah membuat dia putus 

asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatinya gemetar. Artinya, 

sama sekali tidak mampu menanggung apa pun, dan takut 

kepada apa pun yang bergerak. Ada orang yang hatinya sangat 

halus, seperti hati Yosia yang berhati lembut, dan gemetar 

mendengar firman Allah. namun , yang terjadi pada Ayub di sini 

yaitu  hati yang halus penuh kesedihan, yang memandang 

segala sesuatu yang ada sebagai hal yang menekan dan 

mengancam. 

2. Ayub sangat resah, dan sering mengeluh, sebab ia berselisih 

dengan Allah, 

(1) Sebab ia tidak mati sebelum kesesakan tiba, supaya ia ti-

dak pernah perlu melihatnya sebab bukan sebab  kegelap-

an aku binasa (ay. 17). Akan namun , andai kata di puncak 

kejayaannya ia mendapat panggilan untuk masuk kubur, 

ia pasti akan menganggapnya sulit. sebab  itu, supaya bisa 

membantu kita berdamai dengan kematian, kapan pun 

kematian itu datang, ada baiknya jika kita sadar bahwa 

kita tidak pernah tahu dengan cara buruk apa kita akan 

dibawa pergi dari dunia ini. Jadi, apabila kesesakan da-

tang, sungguh bodoh jika kita berharap tidak hidup untuk 

mengalaminya, dan sebab  itu lebih baik memanfaatkan-

nya sebaik mungkin. 

(2) sebab  ia dibiarkan hidup begitu lama di tengah kesesak-

annya, dan kegelapan tidak dijauhkan dari mukanya seka-

lipun ia tersembunyi di dalam kubur. Kita akan dapat me-

nanggung kegelapan dengan baik, jika kita ingat bahwa 

bagi orang-orang yang lurus hatinya, adakalanya muncul 

terang mengagumkan di tengah kegelapan. Meskipun demi-

kian, ada terang yang lebih mengagumkan lagi yang dise-

diakan bagi mereka setelah kematian. 

 

  

PASAL  24  

yub melampiaskan kemarahannya lewat berbagai keluhannya 

dalam pasal sebelumnya, dan hal ini memberi dia sedikit ke-

legaan. Dengan cara itu ia menghancurkan kemarahannya, dan seka-

rang ia dapat menenangkan diri untuk berbicara mengenai ajaran-

ajaran dasar yang diperdebatkan antara dirinya dan para sahabat-

nya, yaitu mengenai kemakmuran orang-orang fasik. Dalam pasal 21 

dia telah memperlihatkan bahwa banyak orang fasik dan duniawi 

serta yang tidak peduli untuk beribadah, justru hidup nyaman dan 

tenang. Sekarang dalam pasal ini ia melanjutkan dan menunjukkan 

bahwa banyak yang berbuat jahat kepada sesama, dan hidup bermu-

suhan secara terbuka dengan semua hukum keadilan dan kejujuran, 

namun maju dan berhasil dalam segala perbuatan hidup mereka 

yang tidak benar. Dan kita tidak melihat mereka dimintai pertang-

gungjawaban dalam dunia ini. Apa yang telah dikatakannya sebelum-

nya (12:6), “Amanlah kemah perusak,” diperluas di sini. Ia memapar-

kan sebuah pernyataan umum (ay. 1), bahwa hukuman orang fasik 

tidaklah selalu kelihatan atau tampak jelas seperti yang diduga oleh 

para sahabatnya itu, dan ia membuktikan pernyataan ini dengan 

contoh-contoh, yaitu  

I. Orang-orang yang dengan terang-terangan berbuat salah 

kepada sesama mereka yang malang tidak dimintai pertang-

gungjawaban, sementara yang dirugikan pun tidak dibela 

haknya (ay. 2-12), meskipun orang-orang fasik itu berlaku 

sangat kejam (ay. 21-22).  

II. Orang-orang yang dengan sembunyi-sembunyi melakukan 

kejahatan sering kali lolos tanpa tertangkap basah dan dihu-

kum (ay. 13-17).  

III. Sesungguhnya Allah menghukum orang-orang yang demikian 

dengan hukuman yang tersembunyi dan menyimpan mereka 

bagi hukuman yang akan datang (ay. 18-20, dan 23-25). Oleh 

sebab  itu, dengan melihat keseluruhan semua perkara ini, 

kita tidak dapat berkata bahwa semua orang yang ditimpa 

masalah itu orang fasik. Sebab tampak jelas bahwa orang 

yang makmur pun hidupnya tidak benar.  

Kemakmuran Lahiriah Orang Fasik 

(24:1-12) 

1 “Mengapa Yang Mahakuasa tidak mencadangkan masa penghukuman dan 

mereka yang mengenal Dia tidak melihat hari pengadilan-Nya? 2 Ada orang 

yang menggeser batas tanah, yang merampas kawanan ternak, lalu meng-

gembalakannya. 3 Keledai kepunyaan yatim piatu dilarikannya, dan lembu 

betina kepunyaan seorang janda diterimanya sebagai gadai, 4 orang miskin 

didorongnya dari jalan, orang sengsara di dalam negeri terpaksa bersembunyi 

semuanya. 5 Sesungguhnya, seperti keledai liar di padang gurun mereka 

keluar untuk bekerja mencari apa-apa di padang belantara sebagai makanan 

bagi anak-anak mereka. 6 Di ladang mereka mengambil makanan hewan, dan 

kebun anggur, milik orang fasik, dipetiki buahnya yang ketinggalan. 7 De-

ngan telanjang mereka bermalam, sebab  tidak ada pakaian, dan mereka 

tidak mempunyai selimut pada waktu dingin; 8 oleh hujan lebat di pegunung-

an mereka basah kuyup, dan sebab  tidak ada tempat berlindung, mereka 

mengimpitkan badannya pada gunung batu. 9 Ada yang merebut anak piatu 

dari susu ibunya dan menerima bayi orang miskin sebagai gadai. 10 Dengan 

telanjang mereka berkeliaran, sebab  tidak ada pakaian, dan dengan kelapar-

an mereka memikul berkas-berkas gandum; 11 di antara dua petak kebun 

mereka membuat minyak, mereka menginjak-injak tempat pengirikan sambil 

kehausan. 12 Dari dalam kota terdengar rintihan orang-orang yang hampir 

mati dan jeritan orang-orang yang menderita luka, namun  Allah tidak meng-

indahkan doa mereka. 

Sahabat-sahabat Ayub selalu berpikir positif bahwa mereka segera 

akan melihat kejatuhan orang-orang fasik, betapa pun makmurnya 

mereka untuk sementara waktu. Sama sekali tidak, kata Ayub. Mes-

kipun Yang Mahakuasa mencadangkan masa penghukuman, namun 

mereka yang mengenal Dia tidak melihat hari pengadilan-Nya (ay. 1, 

KJV: Meskipun waktu tidak tersembunyi bagi-Nya, namun orang yang 

mengenal Dia tidak juga melihat hari-Nya datang).  

1. Ayub mengakui bahwa waktu tidaklah tersembunyi bagi Yang 

Mahakuasa. Masa lalu tidaklah tersembunyi dari penghakiman-

Nya (Pkh. 3:15), masa sekarang tidaklah tersembunyi dari penye-

lenggaraan-Nya (Mat. 10:29), masa depan tidaklah tersembunyi 

dari kemahatahuan-Nya (Kis. 15:18). Allah yang mengatur dunia, 

jadi kita boleh yakin bahwa Ia memperhatikannya. Waktu-waktu 

buruk tidaklah tersembunyi dari Dia, kendati orang-orang jahat 

yang membuat waktu buruk tersebut berkata satu kepada yang 

lain, Ia telah meninggalkan bumi (Mzm. 94:6-7). Setiap waktu ma-

nusia ada di dalam tangan-Nya, dan di bawah pengawasan mata-

Nya, sebab  itu Ia berkuasa membuat waktu orang-orang fasik di 

dalam dunia ini menyengsarakan. Ia sudah mengetahui waktu 

kematian setiap orang, dan sebab nya, jika orang fasik mati sebe-

lum mereka dihukum sebab  kefasikan mereka, kita tidak dapat 

berkata, “Mereka luput dari Dia secara tidak terduga.” Sebelum 

itu terjadi, Ia telah melihatnya, bahkan, Ia telah menetapkannya. 

Sebelum Ayub menyelidiki alasan kemakmuran orang fasik, dia 

menegaskan kemahatahuan Allah. Hal yang sama juga dilakukan 

nabi-nabi lain, misalnya Yeremia (Yer. 12:1), yang dalam kasus 

serupa menyatakan kebenaran Allah. Juga ada nabi lain yang 

menyatakan kekudusan-Nya (Hab. 1:13), yang lain lagi kebaikan-

Nya kepada umat-Nya (Mzm. 73:1). Kebenaran-kebenaran umum 

harus dipegang dengan teguh, kendati kita adakalanya sulit 

menjelaskannya pada sebagian peristiwa tertentu.  

2. Meskipun waktu tidaklah tersembunyi bagi Yang Mahakuasa, na-

mun Ayub menyatakan bahwa orang-orang yang mengenal Dia, 

yaitu, mereka yang baik dan bijaksana, yang berlaku ramah ter-

hadap Dia, dan yang mengenal rahasia-Nya, tidak melihat hari 

pengadilan-Nya, tidak melihat hari saat  Dia mengadili orang-

orang fasik itu. Inilah hal yang dikeluhkan Ayub mengenai per-

karanya sendiri (23:8), bahwa dia tidak dapat melihat Allah tampil 

membela perkaranya. Bahwa ia tidak melihat hari pengadilan 

Allah terhadap orang-orang berdosa yang berani dan sangat jahat, 

yaitu hari pengadilan-Nya (Mzm. 37:13). Kita percaya bahwa hari 

itu akan tiba, namun  kita tidak melihatnya, sebab  hari itu akan 

terjadi di masa yang akan datang, dan tanda-tandanya rahasia.  

3. Kendati ini yaitu  rahasia Penyelenggaraan ilahi, namun ada 

alasan untuknya, dan kita akan segera tahu mengapa hukuman 

ditangguhkan. Bahkan yang paling bijaksana dan mereka yang 

mengenal Allah dengan sangat baik, juga tidak melihatnya. Allah 

ingin melatih iman dan kesabaran mereka, dan menggairahkan doa-

doa mereka untuk memohonkan kedatangan kerajaan-Nya, yang 

untuknya mereka siang malam berseru kepada-Nya (Luk. 18:7). 

Sebagai bukti hal ini, bahwa hidup orang fasik sejahtera, Ayub 

membeberkan dua macam orang yang tidak benar, yang dilihat 

seluruh dunia berkembang makmur dalam kejahatan mereka:  

I. Penguasa lalim, dan orang-orang yang berbuat kejahatan dengan 

menyalahgunakan hukum dan kekuasaan. Merupakan suatu pe-

mandangan yang menyedihkan yang sering dilihat di bawah mata-

hari, ketidakadilan di tempat keadilan (Pkh. 3:16), air mata orang-

orang yang ditindas tidak diperhatikan, sementara di fihak orang-

orang yang menindas ada kekuasaan (Pkh. 4:1), hukum serta ke-

adilan diperkosa (Pkh. 5:7).  

1. Mereka mengusir tetangga mereka dari tanah mereka sendiri, 

yang diwariskan kepada mereka oleh leluhur mereka. Mereka  

menggeser batas tanah, dengan berpura-pura bahwa batas ter-

sebut salah tempat (ay. 2), sehingga mereka melanggar hak-

hak tetangga mereka. Dengan cara ini mereka berpikir dapat 

menjamin kepada keturunan mereka apa yang telah mereka 

dengan jalan haram, dengan menjadikan batas tanah itu seba-

gai bukti bagi mereka, padahal itu seharusnya menjadi bukti 

bagi pemilik yang sah. Tindakan seperti ini dilarang oleh hu-

kum Musa (Ul. 19:14), dengan ancaman kutukan (Ul. 27:17). 

Memalsukan atau menghancurkan bukti perbuatan di masa 

kita sekarang ini merupakan suatu kejahatan yang setara 

dengan perbuatan tersebut.  

2. Mereka mengusir tetangga mereka dari tanah pribadi mereka 

atas nama keadilan. Dengan cara kekerasan mereka merampas 

kawanan ternak, dengan pura-pura mengaku ternak itu ditelan-

tarkan, sehingga mereka perlu menggembalakannya. Seperti 

orang kaya yang mengambil anak domba betina orang yang 

miskin (2Sam. 12:4). Apabila seorang anak yatim yang malang 

memiliki hanya seekor keledai miliknya untuk dipakainya 

mendapatkan sedikit uang, mereka mencari-cari alasan untuk 

merampasnya, sebab  pemiliknya tidak dapat melawan me-

reka. Sama halnya jika peristiwa ini juga terjadi pada harta 

satu-satunya yang dimiliki seorang janda, yaitu seekor lembu 

betina untuk mengerjakan tanah peternakan kecil yang dimi-

likinya. Dengan alasan si janda menunggak membayar utang-

nya yang hanya sedikit atau membayar sewa, lembu ini pun 

disita sebagai gadai, padahal itulah satu-satunya yang dimiliki 

si janda tersebut. Sesungguhnya, Allah telah menyatakan di 

antara gelar kehormatan-Nya untuk menjadi Bapa bagi anak 

yatim dan Pelindung bagi para janda. Oleh sebab  itu, orang-

orang yang tidak mau berbuat semampu-mampunya untuk 

melindungi dan menolong anak yatim dan janda, mereka itu 

tidak akan dipandang sebagai sahabatnya. Malahan, barang 

siapa menyakiti dan menindas mereka, pasti akan diperhitung-

kan-Nya sebagai musuh-Nya.  

3. Mereka memanfaatkan kesempatan apa saja untuk meleceh-

kan sesama mereka (ay. 4). Mereka akan menyesatkan sesama 

mereka sedapat mungkin saat  bertemu mereka di jalan, 

sehingga orang miskin dan yang kekurangan dipaksa untuk 

bersembunyi sebab  tidak punya jalan lain untuk mengaman-

kan diri dari mereka. Mereka suka mengolok-olok orang dan 

membodohi mereka serta menjahati mereka bila ada kesem-

patan. Terutama mereka suka mempermainkan orang-orang 

miskin, dengan mengejar-ngejar mereka dan mengancam men-

jadikan mereka sebagai gelandangan. Dengan begitu orang 

miskin mereka paksa melarikan diri, dan menjadi bahan ter-

tawaan mereka. Beberapa orang memahami tindakan tak ma-

nusiawi itu (ay. 9-10) dilakukan oleh para penindas dengan 

memakai hukum sebagai topeng: Mereka merebut anak piatu 

dari susu ibunya. Yaitu, setelah membuat mereka menjadi 

bayi-bayi yang malang tidak berbapak, mereka menjadikan 

bayi-bayi itu tidak beribu pula. Setelah mengambil kehidupan 

bapak, mereka menghancurkan hati ibu, sehingga membuat 

anak-anak menderita kelaparan dan ditinggalkan binasa. Fir-

aun dan Herodes merebut anak-anak dari air susu ibu dan 

membunuh mereka dengan pedang. Kita juga membaca ten-

tang anak-anak yang diserahkan kepada si pembunuh (Hos. 

9:13). Sungguh biadab para pembunuh yang senang mengisap 

darah orang yang tidak bersalah. Mereka menerima bayi orang 

miskin sebagai gadai, dan dengan demikian merampok harta 

keluarga. Bahkan mereka mengambil orang miskin sebagai 

gadai (sebagaimana dibaca oleh beberapa penafsir), sehingga 

merebut anak yatim dari air susu ibunya, menangkap mereka 

untuk menjadi budak-budak (Neh. 5:5). Kekejaman terhadap 

orang miskin yaitu  suatu kejah