naruhnya
di bawah kakimu (Kis. 4:35), bukan dalam pelukanmu.
(2) Bahwa dia akan hidup aman tenteram. Sementara kekaya-
an manusia biasanya memperhadapkan dia kepada baha-
ya, dan Ayub sendiri mengakui bahwa dalam kekayaannya
dia tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman (3:26),
namun dia akan aman-aman saja saat bertobat dan di-
berkati. Sebab Yang Mahakuasa akan menjadi pembelamu.
Bahkan Ia akan menjadi pertahananmu (ay. 25). Ia akan
menjadi timbunan emasmu, demikianlah tafsirannya, dan
kata yang sama yang dipakai (ay. 24) untuk emas, namun
juga menyatakan arti suatu pertahanan yang kuat, se-
bab uang yaitu suatu perlindungan, perlindungan uang
(Pkh. 7:12). Orang-orang duniawi menjadikan emas sebagai
allah mereka, orang-orang saleh menjadikan Allah sebagai
emas mereka. Dan orang-orang yang diperkaya dengan per-
kenanan dan anugerah-Nya akan sungguh-sungguh di-
katakan memiliki kelimpahan dari emas yang terbaik, dan
ditimbun dengan baik pula. Kita membacanya, “Ia akan
menjadi perlindunganmu terhadap serbuan dari para pen-
jarah: kekayaanmu tidak akan terjatuh seperti ke dalam
tangan orang-orang Syeba dan Kasdim,” yang, dipikirkan
beberapa penafsir, merupakan arti dari perkataan ini, Eng-
kau akan menjauhkan kecurangan dari dalam kemahmu,
dengan menerimanya sebagai sebuah janji. “Kecurangan
atau kejahatan yang dirancangkan terhadap engkau akan
dijauhkan dan tidak akan menjamah engkau.” Perhatikan-
lah, orang-orang akan aman tenteram apabila mereka
menjadikan Yang Mahakuasa sebagai perlindungan mereka
(Mzm. 91:1-3).
2. Bahwa jiwanya akan sejahtera, dan dia akan diperkaya dengan
berkat-berkat rohani, yang merupakan berkat terbaik.
(1) Bahwa dia pasti akan menjalani suatu kehidupan yang
berbahagia di dalam Allah (ay. 26): “Maka sungguh-sungguh
engkau akan bersenang-senang sebab Yang Mahakuasa.
Seperti itulah jadinya saat Yang Mahakuasa menjadi
timbunan emasmu, yaitu saat engkau bersenang-senang
di dalam Dia, seperti orang-orang duniawi bersenang-se-
nang di dalam uang mereka. Ia akan menjadi kekayaanmu,
perlindunganmu, kemuliaanmu. Sebab Ia akan menjadi
kesukaanmu.” Cara mendapatkan apa yang diinginkan hati
kita yaitu dengan menjadikan Allah kesukaan hati kita
(Mzm. 37:4). Apabila Allah sendiri memberikan diri-Nya
menjadi kesukaan kita, maka Ia tidak akan menolak apa
yang baik bagi kita. “Namun sekarang, Allah merupakan
suatu kengerian bagi engkau. Ia menjadi demikian oleh
pengakuanmu sendiri (6:4; 16:9; 19:11). namun , jika engkau
mau kembali kepada-Nya, maka, pada saat itulah, Ia akan
menjadi kesukaanmu. Dan akan menjadi suatu kesukaan
bagi engkau saat engkau berpikir tentang Dia, meng-
gantikan yang menyakitkan saat dahulu engkau berpikir
tentang Dia.” Tak ada kesukaan yang dapat dibandingkan
dengan kesukaan yang dimiliki oleh jiwa yang dipenuhi
anugerah di dalam Yang Mahakuasa. Dan orang-orang
yang berlaku ramah kepada Dia, dan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada-Nya, akan mendapat perkenanan-Nya
tidak hanya sebagai kekuatan mereka, namun juga nyanyian
kegirangan mereka.
(2) Bahwa dia pasti akan memiliki suatu keyakinan yang pe-
nuh kerendahan hati kepada Allah, seperti mereka yang di-
katakan hatinya tidak menuduh mereka (1Yoh. 3:21). “Maka
engkau akan menengadah kepada Allah dengan keberani-
an, dan tidak takut, seperti dirimu sekarang yang takut
mendekat kepada-Nya. Mukamu sekarang tertunduk, dan
engkau terlihat sedih. namun , saat engkau berdamai de-
ngan Allah, engkau tidak akan malu tersipu-sipu lagi, tidak
akan gemetar lagi, dan tidak menundukkan kepala lagi,
seperti yang engkau lakukan sekarang, melainkan dengan
gembira dan dengan jaminan penuh kasih karunia, engkau
akan menampilkan diri kepada-Nya, berdoa di hadapan-
Nya, dan mengharapkan berkat-berkat dari-Nya.”
(3) Bahwa dia pasti akan terus ada dalam persekutuan yang
tetap dengan Allah, “Begitu hubungan dengan-Nya dibangun,
maka akan terus dipertahankan-Nya dan engkau akan ber-
suka tak terkatakan. Surat-menyurat tetap ada antara eng-
kau dan sorga” (ay. 27).
[1] “Melalui doa, engkau mengirimkan surat kepada Allah: eng-
kau berdoa kepada-Nya” (kata aslinya yaitu , engkau
akan melipatgandakan doa-doamu) “kepada Dia, dan Ia
tidak akan menganggap suratmu mengganggu, kendati
banyak dan panjang. Makin sering kita datang meng-
hampiri takhta anugerah, maka makin disambut. Se-
mua bebanmu, kekuranganmu, kekhawatiranmu, dan
ketakutanmu, engkau akan kirimkan ke sorga untuk
mendapat tuntunan dan kekuatan, hikmat, dan penghi-
buran, dan kesuksesan.”
[2] “Ia, melalui penyelenggaraan dan anugerah-Nya, akan
menjawab surat-suratmu itu, dan memberi engkau apa
yang engkau minta, entah benda, entah kebaikan: Ia
akan mengabulkan doamu, dan engkau akan menge-
tahuinya melalui apa yang Ia lakukan bagi engkau dan
di dalam engkau.”
[3] “Maka melalui puji-pujian engkau akan membalas ja-
waban penuh kemurahan hati yang dikirimkan-Nya ke-
padamu: Engkau akan membayar nazarmu, dan akan
diterima-Nya dan akan membalasnya dengan anugerah
demi anugerah berikutnya.” Perhatikanlah, saat Allah
melakukan apa yang kita doakan di dalam kesusahan
kita, maka kita harus dengan sadar menepati apa yang
telah kita janjikan kepada-Nya saat meminta, sebab
kalau tidak, kita berbuat curang terhadap Dia. Jika kita
tidak menjanjikan sesuatu selain berjanji untuk ber-
syukur, maka itu pun sudah cukup, sebab bersyukur
sudah termasuk semuanya (Mzm. 116:17).
(4) Bahwa dia pasti akan memiliki kepuasan batin di dalam
pengelolaan semua urusan hidupnya (ay. 28): “Apabila eng-
kau memutuskan berbuat sesuatu, maka akan tercapai
maksudmu,” yaitu, “Engkau akan mengatur semua rencana
dan tujuanmu dengan hikmat yang begitu luar biasa, anu-
gerah, dan penyerahan diri kepada kehendak Allah, se-
hingga segala sesuatunya akan menjadi seperti isi hatimu,
seperti yang engkau inginkan. Engkau akan menyerahkan
pekerjaanmu kepada TUHAN dengan iman dan doa, dan
pikiranmu teguh. Engkau akan tenang dan senang, apa
pun yang terjadi (Ams. 16:3). Anugerah Allah ini akan be-
kerja di dalam dirimu. Bahkan, kadang-kadang penyeleng-
garaan Allah akan memberi engkau satu-satunya yang eng-
kau inginkan dan doakan, dan memberikannya menurut
cara, jalan dan waktumu. Jadilah kepadamu seperti yang
kaukehendaki.” saat pada suatu waktu suatu urusan
berhasil persis seperti yang telah kita rencanakan, dan
setiap tindakan kita tidak ada yang gagal, atau kita tidak
perlu mengubah rencana, maka kita harus mengakui peng-
genapan dari janji ini, Apabila engkau memutuskan berbuat
sesuatu, maka akan tercapai maksudmu. “Sekarang ini
engkau mengeluh tentang kegelapan di sekelilingmu, namun
nanti cahaya terang menyinari jalan-jalanmu.” Yaitu, “Allah
akan menuntun dan mengarahkan engkau, dan dengan sen-
dirinya akan mengikuti, tentu saja, bahwa Ia akan memper-
kaya dan membuatmu berhasil di dalam semua usahamu.
Hikmat Allah akan menjadi penuntunmu, perkenanan-Nya
menjadi penghiburanmu, dan jalan-jalanmu berada di ba-
wah terang hikmat dan perkenanan-Nya itu sehingga eng-
kau akan menikmati dengan rasa suka apa yang ada seka-
rang dan apa yang akan datang nanti” (Mzm. 90:17).
(5) Bahkan di waktu-waktu bencana dan bahaya yang menim-
pa semua orang, dia akan mendapat sukacita dan pengha-
rapan yang berlimpah (ay. 29): “saat Allah merendahkan
orang yang angkuh di sekelilingmu, menggagalkan mereka
dalam semua usaha mereka, mematahkan semangat mere-
ka, membuat mereka tenggelam, putus asa, dan berputus
asa, engkau akan berkata, Allah menyelamatkan aku yang
tadinya menundukkan kepala. Engkau akan mendapati
bahwa di dalam dirimu tidak hanya akan ada sesuatu yang
menahan engkau bertahan di bawah masalahmu, dan men-
jaga engkau agar tidak menjadi lemah, namun juga meng-
angkat engkau mengatasi masalahmu dan memampukan
engkau untuk lebih bersukacita lagi.” saat orang akan
mati ketakutan sebab kecemasan, maka murid-murid
Kristus akan bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab
penyelamatanmu sudah dekat (Luk. 21:26-28). Demikian-
lah murid-murid Kristus dijadikan melintasi puncak bukit-
bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan (Yes. 58:14),
dan apa yang akan mengangkat muka mereka yaitu ke-
percayaan akan hal ini, yaitu bahwa Allah akan menyela-
matkan orang yang menundukkan kepala, yang rendah
hati. Orang-orang yang merendahkan diri akan ditinggikan,
tidak hanya dalam kehormatan, namun juga dalam peng-
hiburan.
3. Bahwa Ayub akan menjadi berkat bagi negerinya dan saluran
berkat bagi banyak orang (ay. 30, KJV): Dia, sebagai jawaban
atas doa-doamu, membebaskan orang yang tidak bersalah, dan
melakukan hal yang demikian sebab kebersihan tanganmu,
yang merupakan syarat agar doa-doa kita diterima (1Tim. 2:8).
Namun, sebab kita mungkin menganggap bahwa orang yang
tidak bersalah tidak membutuhkan pembebasan (itulah nasib
Sodom yang malang sebab mendapat berkat dari doa-doa
pengantaraan Abraham), maka saya cenderung setuju dengan
tafsiran tambahan atas ayat di atas tadi sebagai, Orang-orang
yang tidak bersalah akan meluputkan negeri, dengan nasihat
mereka (Pkh. 9:14-15) dan melalui doa-doa mereka serta kare-
na bagian mereka di sorga (Kis. 27:24). Atau, Ia akan meluput-
kan orang-orang yang tidak bersalah dan mereka diluputkan
sebab kebersihan tanganmu. Perhatikanlah, orang yang baik
merupakan suatu kebaikan bagi banyak orang. Orang-orang
berdosa mengalami kebaikan sebab jasa orang-orang saleh,
baik mereka menyadarinya atau tidak. Jika Elifas bermaksud
(sebagaimana yang diduga oleh beberapa penafsir) menyindir
bahwa doa-doa Ayub tidak terkabul dan tangannya tidak bersih,
maka dia akan melihat kesalahannya itu, saat terbukti bahwa
Ayub lebih mendapat perkenanan di sorga daripada dirinya.
Sebab, dia dan tiga sahabatnya, yang dalam hal ini tidak tidak
bersalah, diluputkan oleh kebersihan tangan Ayub (42:8).
PASAL 23
asal ini memulai jawaban Ayub kepada Elifas. Dalam jawaban ini
ia tidak mengindahkan sahabat-sahabatnya, entah sebab ia
menganggap hal itu tidak ada gunanya, atau sebab ia begitu me-
nyukai nasihat baik dari Elifas di akhir pembicaraannya sebelum ini,
hingga ia tidak mau menjawab celaan menjengkelkan Elifas di awal
tuturannya. Sebaliknya, ia berseru kepada Allah, memohon agar per-
karanya didengarkan. Ayub yakin bahwa permohonannya akan dika-
bulkan, sebab hati nuraninya sendiri bersaksi perihal ketulusannya.
Di seluruh pasal ini tampak adanya pergumulan antara kedagingan
dan roh, ketakutan dan iman.
I. Ayub mengeluhkan keadaannya yang celaka, terutama un-
durnya Allah daripadanya, sehingga perkaranya tidak dide-
ngar oleh-Nya (ay. 2-5), dan ia tidak dapat memahami makna
perlakuan Allah terhadap dirinya (ay. 8-9), dan tidak ada
harapan akan memperoleh kelegaan (ay. 13-14). Hal ini mem-
buat batinnya ditusuk rasa kesesakan dan ketakutan (ay. 15-
17).
II. Di tengah semua keluhan ini, Ayub menghibur diri dengan
jaminan akan mendapat pengampunan Allah (ay. 6-7). Ia ya-
kin penuh akan ketulusannya, dan Allah sendiri yang men-
jadi saksinya (ay. 10-12). Demikianlah terang dari siang hari-
nya, seperti yang disebutkan dalam Zakharia 14:6-7, yaitu
tidak benar-benar terang ataupun sepenuhnya gelap, namun
“malampun menjadi siang.”
Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas;
Ayub Berseru dari Manusia kepada Allah
(23:1-7)
1 namun Ayub menjawab: 2 “Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberon-
takan, tangan-Nya menekan aku, sehingga aku mengaduh. 3 Ah, semoga aku
tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. 4 Maka
akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kupenuhi mulutku dengan
kata-kata pembelaan. 5 Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang
diberikan-Nya kepadaku dan aku akan mengerti, apa yang difirmankan-Nya
kepadaku. 6 Sudikah Ia mengadakan perkara dengan aku dalam kemaha-
kuasaan-Nya? Tidak, Ia akan menaruh perhatian kepadaku. 7 Orang jujurlah
yang akan membela diri di hadapan-Nya, dan aku akan bebas dari Hakimku
untuk selama-lamanya.
Ayub yakin bahwa para sahabatnya telah memperlakukannya dengan
tidak benar. Oleh sebab itu, seburuk apa pun ia, ia tidak mau menye-
rah begitu saja, atau membiarkan mereka menentukan keputusan
terakhir. Di sini,
I. Ayub membenarkan kemarahannya terhadap kesesakan yang di-
alaminya (ay. 2): Sekarang ini kuakui bahwa keluh kesahku men-
jadi pemberontakan (KJV: pahit), sebab penderitaan, penyebab
keluhan ini, memang demikian adanya, memang pahit. Ingatlah
akan ipuh dan racun dalam sengsaraku dan pengembaraanku.
Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan dibuat pahit olehnya (Rat.
3:19-20). Sekarang ini keluh kesahku dianggap sebagai pemberon-
takan (demikianlah yang dipahami beberapa penafsir). Sahabat-
sahabatnya menafsirkan ungkapan lugu akibat kesedihannya itu
sebagai celaan terhadap Allah dan penyelenggaraan-Nya, lalu me-
nyebutnya sebagai pemberontakan. “Namun,” katanya, “aku tidak
mengeluh selain terdapat alasan untuk itu. Tangan-Nya menekan
aku, sehingga aku mengaduh. Bahkan sekarang ini pun, sesudah
segala sesuatu yang telah kamu katakan untuk menginsafkan
dan menghiburku, kepedihan tubuhku dan luka-luka rohku sede-
mikian rupa hingga aku mempunyai cukup alasan untuk menge-
luh apabila rasanya lebih pahit daripada sesungguhnya.” Kita
bersalah kepada Allah apabila keluhan kita lebih besar daripada
tekanan yang kita rasakan, seperti anak-anak pembangkang,
yang saat menangis tanpa alasan, lalu diberi sesuatu untuk di-
tangisi. Namun, kita tidak akan bersalah kepada diri sendiri
walaupun tekanan yang kita rasakan lebih berat daripada keluh-
an kita, sebab sedikit perkataan membawa kebaikan.
II. Ayub meninggalkan kecaman sahabat-sahabatnya dan mengalih-
kan seruannya kepada penghakiman Allah yang adil. Dan baginya
ini menjadi bukti bahwa dia bukanlah orang munafik, sebab
andai kata ia memang orang munafik, maka ia tidak akan berani
membawa perkaranya kepada Allah seperti ini. Rasul Paulus juga
menghibur dirinya demikian, bahwa Dia, yang menghakiminya,
ialah Tuhan, dan sebab itu ia tidak mau memusingkan dirinya
dengan penghakiman manusia (1Kor. 4:3-4), namun bersedia me-
nunggu sampai hari penentuan keputusan tiba. Sebaliknya, Ayub
tidak sabar dan sangat merindukan hari penghakiman itu. Ia
ingin agar perkaranya segera ditangani, tampaknya, oleh suatu
panitia khusus. Sang rasul merasa perlu menekankan agar orang-
orang Kristen yang sedang menderita, menantikan kedatangan
Sang Hakim dengan sabar (Yak. 5:7-9).
1. Ayub begitu yakin akan pengadilan Allah hingga ia ingin tam-
pil di peradilan itu (ay. 3): Ah, semoga aku tahu mendapatkan
Dia! Ayat ini tampaknya dengan tepat mengungkapkan isi hati
yang saleh dari jiwa yang insaf bahwa oleh dosa ia telah
kehilangan Allah, dan jiwanya akan binasa selamanya apabila
tidak mendapatkan kembali perkenanan-Nya. “Ah, seandainya
saja aku tahu bagaimana bisa memperoleh kembali perkenan-
an-Nya! Bagaimana aku bisa datang ke dalam kovenan-Nya
dan bersekutu dengan-Nya!” (Mi. 6:6-7). Inilah seruan jiwa
yang malang sebab ditinggalkan. “Apakah kamu melihat jan-
tung hatiku? Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia! Ah, se-
moga Ia yang telah membuka jalan menuju diri-Nya sendiri
mau memimpin dan menuntunku ke dalamnya!” Namun, di
sini Ayub tampaknya terlalu mengeluhkan sahabat-sahabat-
nya memperlakukan dia dengan tidak baik, hingga ia tidak
tahu lagi bagaimana harus memohon kepada Allah untuk
memperoleh keadilan. Ia bahkan ingin mendatangi takhta-Nya
dan menuntut keadilan. Sungguh merupakan hikmat dan ke-
wajiban kita untuk dengan sabar menantikan kematian dan
penghakiman. Dan jika kita mempertimbangkan semua hal se-
bagaimana seharusnya, maka penantian itu tidak dapat tidak
pasti akan disertai rasa takut dan gentar yang kudus. Sebalik-
nya, keinginan yang menggebu-gebu terhadap kematian atau
penghakiman, tanpa rasa takut dan gentar yang kudus, meru-
pakan perbuatan dosa dan bodoh, dan tidak pantas kita laku-
kan. Adakah kita tahu seperti apa kematian dan penghakiman
itu, dan begitu siap menyambutnya, hingga kita tidak membu-
tuhkan waktu untuk lebih mempersiapkan diri? Celakalah
mereka yang menginginkan hari TUHAN dalam kepanasan hati
(Am. 5:18).
2. Ayub begitu meyakini kebenaran perkaranya hingga ingin se-
kali memaparkannya di hadapan pengadilan Allah (ay. 4):
“Akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan menempat-
kannya dalam terang yang sesungguhnya. Aku akan menun-
jukkan bukti-bukti ketulusanku dengan cara yang tepat, dan
akan kupenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan untuk
membuktikannya.” Kita juga dapat mengajukan pembelaan se-
perti ini, namun dengan cara berdoa, di mana kita dengan
penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, bah-
kan dapat datang di tumpuan kaki takhta kasih karunia. Kita
tidak saja memperoleh jalan masuk dengan bebas, namun juga
kebebasan untuk berbicara. Kita diizinkan,
(1) Untuk mengajukan permohonan dengan terperinci, mema-
parkan perkara kita di hadapan Allah, untuk mengutara-
kan seluruh masalah, dan untuk meletakkan seluruh pen-
deritaan kita di hadapannya dengan cara yang menurut
kita paling pantas. Kita tidak berani bersikap sebebas itu
terhadap raja-raja duniawi dibandingkan jiwa yang kudus
dan rendah hati di hadapan Allah.
(2) Untuk menyampaikan permohonan kita dengan mendesak-
desak. Kita diperbolehkan, bukan hanya untuk berdoa, te-
tapi juga berseru. Bukan hanya meminta, namun juga men-
desak dengan kuat. Bahkan lebih dari itu, untuk memenuhi
mulut kita dengan kata-kata pembelaan. Tidak untuk meng-
gerakkan hati Allah sebab Ia sudah sangat memahami
kebaikan perkara kita tanpa kita harus memperlihatkan-
nya, namun untuk menggerakkan hati kita sendiri, untuk
membangkitkan kesungguhan kita serta mendorong iman
kita dalam doa.
3. Ayub begitu yakin akan menerima perkataan yang membela
dia dari Allah, hingga ia pun rindu mendengarnya (ay. 5): “Aku
akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepa-
daku.” Yaitu, “Aku akan dengan senang hati mendengar apa
yang hendak dikatakan Allah mengenai perkara yagn menjadi
perbantahan di antara kalian dan aku, dan bersedia menerima
penghakiman-Nya.” Sikap seperti ini sangat patut bagi kita di
tengah semua sengketa. Biarkan firman Allah menentukannya,
biarlah kita mengetahui jawaban-Nya dan memahami apa yang
dikatakan-Nya. Ayub tahu betul apa yang akan dikatakan
sahabat-sahabatnya. Mereka akan menyalahkan dan menja-
tuhkan dia. “namun ,” kata Ayub, “aku ingin sekali mengetahui
jawaban-jawaban yang diberikan-Nya kepadaku, sebab aku
yakin penghakiman-Nya sesuai dengan kebenaran, sedangkan
penghakiman mereka tidak demikian halnya. Aku tidak bisa
memahami mereka. Perkataan mereka begitu jauh dari per-
karanya. Sebaliknya, apa yang dikatakan oleh-Nya akan kupa-
hami dan oleh sebab itu membuatku sangat puas.”
III. Ayub menghibur diri dengan pengharapan bahwa Allah akan
memperlakukannya dengan baik berkaitan dengan masalah ini
(ay. 6-7). Perhatikanlah, sungguh sangat bermanfaat bagi kita
agar saat berurusan dengan Allah dalam segala hal, kita tetap
berpikir yang baik tentang diri-Nya. Ayub percaya,
1. Bahwa Allah tidak akan menguasainya, bahwa Ia tidak akan
menanganinya baik melalui kedaulatan mutlak maupun
keadilan yang keras. Bukan dengan tangan teracung maupun
dengan tangan besi: Sudikah Ia mengadakan perkara dengan
aku dalam kemahakuasaan-Nya? Tidak. Sahabat-sahabat
Ayub menyalahkan dia dengan segenap kekuatan mereka.
Namun, akankah Allah berbuat demikian juga? Tidak. Kekua-
saan-Nya sepenuhnya adil dan kudus, seperti apa pun kekua-
saan manusia. Terhadap orang-orang yang dengan keras ke-
pala tetap tidak mau percaya dan bertobat, Allah akan meng-
adakan perkara dalam kemahakuasaan-Nya. Kebinasaan me-
reka akan datang dari kemuliaan kekuatan-Nya. Sebaliknya,
terhadap umat-Nya sendiri yang mengasihi-Nya dan percaya
kepada-Nya, Ia akan bertindak dengan penuh belas kasihan.
2. Sebaliknya, Ia akan memampukannya untuk mengajukan per-
karanya sendiri kepada Allah: “Ia akan menaruh perhatian ke-
padaku, untuk menopang dan mendukungku dalam meme-
lihara ketulusanku.” Perhatikanlah, kuasa yang sama yang
dilibatkan untuk melawan orang berdosa yang sombong, di-
pakai juga bagi orang-orang kudus yang rendah hati, yang
menang bersama Allah berkat kekuatan yang diperoleh dari-
Nya, seperti yang dialami Yakub (Hos. 12:4; Mzm. 68:36).
3. Bahwa hasil peradilan-Nya pasti akan menyenangkan (ay. 7).
Di sana, di pengadilan sorga kelak, saat hukuman terakhir
akan dijatuhkan, orang jujurlah yang akan membela diri di
hadapan-Nya dan terbebas dalam keadilan-Nya. Sekarang ini
bahkan mereka yang tulus hatinya sekalipun sering kali me-
nerima hukuman dari Tuhan, dan mereka tidak dapat membela
diri. Ketulusan itu sendiri tidak dapat melindungi orang dari
bencana atau fitnahan. Namun, pada hari itu mereka tidak
akan dihukum bersama-sama dengan dunia, meskipun Allah
bisa saja mendatangkan penderitaan melalui hak istimewa-
Nya. Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang
benar dan orang fasik (Mal. 3:18). Begitu besar perbedaan yang
terdapat di antara mereka dalam kehidupan mereka di keke-
kalan nanti. Sekarang ini kita memang nyaris tidak dapat
membedakan keadaan mereka. Dilihat dari penampilan la-
hiriah, begitu kecil perbedaan yang tampak di antara mereka,
sebab segala sesuatu menjadi serupa. Namun, pada saat itu
saat hukuman terakhir dijatuhkan, “Aku akan bebas dari
Hakimku untuk selama-lamanya.” Artinya, “Aku akan disela-
matkan dari kecaman tidak adil para sahabatku dan dari
hukuman ilahi yang sekarang ini begitu menakutkanku.”
Orang-orang yang diserahkan kepada Allah yang merupakan
pemilik dan penguasa mereka, akan diselamatkan dari Dia
yang merupakan hakim dan penuntut balas mereka. Tidak ada
cara untuk lari dari keadilan-Nya selain dengan lari kepada
pengasihan-Nya.
Rahasia Penyelenggaraan Allah
(23:8-12)
8 Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana; atau ke barat,
tidak kudapati Dia; 9 di utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke
selatan, aku tidak melihat Dia. 10 sebab Ia tahu jalan hidupku; seandainya
Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas. 11 Kakiku tetap mengikuti
jejak-Nya, aku menuruti jalan-Nya dan tidak menyimpang. 12 Perintah dari
bibir-Nya tidak kulanggar, dalam sanubariku kusimpan ucapan mulut-Nya.
Dalam perikop ini,
I. Ayub mengeluh sebab ia tidak dapat memahami maksud penye-
lenggaraan Allah menyangkut dirinya. Ia benar-benar hilang akal
(ay. 8-9): kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana, dst. Elifas
menyuruh dia berlaku ramah terhadap Allah. “Memang itulah
yang kuinginkan dengan sepenuh hati,” kata Ayub, “kalau saja
aku tahu caranya untuk bersikap ramah terhadap Dia.” Ia sendiri
sangat rindu datang menghadap Allah dan didengarkan perkara-
nya, namun Sang Hakim tidak ditemukannya. Ke mana pun ia
mencari, ia tidak dapat melihat tanda kemunculan Allah baginya
untuk membersihkan dirinya, bahwa ia tidak bersalah. Tidak per-
lu diragukan lagi bahwa Ayub percaya Allah ada di mana-mana.
Namun tampaknya di sini ia mengeluhkan tiga hal:
1. Bahwa ia tidak mampu memusatkan pikirannya atau menilai
dengan jernih berbagai hal yang berkecamuk di benaknya.
Pikirannya begitu kacau dan hilang kendali akibat banyak ke-
sesakan yang dialaminya, hingga ia bagaikan orang yang se-
dang ketakutan, atau kehabisan akal. Ia berlari kian kemari
dengan bingung, tanpa bisa berpikir apa-apa. Akibat kekacau-
an dan goncangan yang dialami rohnya, ia tidak mampu ber-
pegang pada apa yang ia tahu ada dalam diri Allah. Seandai-
nya saja ia menyertakan iman dalam apa yang ia tahu ada
pada Allah itu, dan merenungkannya, maka hal itu tentu akan
menyokongnya. Ini merupakan hal yang lazim dikeluhkan
orang-orang yang sedang sakit atau sedih, yaitu bahwa saat
hendak memikirkan hal yang baik, mereka tidak mampu ber-
buat apa-apa dengannya.
2. Bahwa Ayub tidak dapat menemukan penyebab semua kese-
sakannya, atau dosa yang menyulut murka Allah sehingga
beperkara dengannya. Ia meninjau seluruh perilaku hidupnya,
memeriksa setiap sisinya, dan tidak dapat memahami dalam
hal apa ia lebih berdosa dibanding orang lain sehingga harus
dihukum lebih berat daripada mereka. Ia juga tidak dapat me-
mahami apa tujuan Allah dalam membuatnya menderita se-
perti ini.
3. Bahwa ia tidak dapat melihat ujung dari perkara ini di kemu-
dian hari, apakah Allah akan membebaskannya, atau kalau-
pun memang demikian halnya, kapan atau dengan cara apa Ia
akan melakukannya. Ia tidak melihat tanda-tandanya, dan ti-
dak ada yang bisa mengatakan sampai berapa lama lagi kese-
sakan ini akan berlangsung. Jemaat juga mengeluhkan hal ini
(Mzm. 74:9). Ia sama sekali kehilangan akal mengenai apa yang
direncanakan Allah dengan dirinya. Apa pun dugaan yang ia
pikirkan, selalu saja terdapat hal lain yang muncul untuk mene-
piskannya.
II. Ayub percaya diri sepenuhnya, bahwa Allah sendiri yang menjadi
saksi bagi ketulusannya, dan oleh sebab itu ia tidak ragu bahwa
akhir dari perkaranya ini akan baik.
1. Sesudah Ayub nyaris tersesat dalam kebingungan perihal pu-
tusan hikmat ilahi, ia akhirnya bisa duduk dengan tenang
dengan pikiran ini: “Meskipun aku tidak mengetahui jalan
yang diambil-Nya, sebab melalui laut jalan-Nya dan lorong-Nya
melalui muka air yang luas, pikiran dan jalan-jalan-Nya sangat
jauh melebihi pikiran dan jalan kita. Jadi betapa lancangnya
kita apabila menganggap diri mampu menilainya, namun Ia
tahu jalan hidupku” (ay. 10). Yaitu,
(1) Ayub tahu tentang hal itu. Sahabat-sahabatnya mengha-
kimi apa yang tidak mereka ketahui, dan oleh sebab itu
menuduhnya melakukan kesalahan yang tidak pernah
dilakukannya. Sebaliknya, Allah yang mengetahui setiap
langkah Ayub, tidak akan berbuat demikian (Mzm. 139:3).
Perhatikanlah, sungguh merupakan penghiburan besar bagi
orang-orang yang dengan tulus berpendapat bahwa Allah
memahami maksud mereka, meskipun manusia tidak, tidak
dapat, atau tidak mau mengerti.
(2) Ayub mengakui hal itu: “Allah tahu bahwa meskipun aku
adakalanya telah mengambil langkah yang salah, aku ma-
sih mengambil langkah yang baik, aku telah memilih jalan
kebenaran, dan oleh sebab itu Ia mengetahuinya.” Yaitu, Ia
menerimanya dan senang dengan hal itu, sebab Ia me-
ngenal jalan orang benar (Mzm. 1:6). Hal ini menghibur
sang nabi (Yer. 12:3), Engkau menguji bagaimana hatiku
terhadap Engkau. Dari hal inilah Ayub menyimpulkan, se-
andainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas.
Orang-orang yang tetap hidup menurut jalan yang ditunjuk-
kan TUHAN dapat menghibur diri sendiri saat sedang
mengalami kesusahan, dengan ketiga hal ini:
[1] Bahwa mereka sekadar diuji. Hal itu tidak dimaksud-
kan untuk menyakiti mereka, namun demi kehormatan
dan keuntungan mereka. Itu yaitu untuk membukti-
kan kemurnian iman mereka (1Ptr. 1:7).
[2] Bahwa sesudah mereka diuji secukupnya, mereka akan
keluar dari dapur peleburan, dan tidak akan ditinggal-
kan di dalamnya sampai hancur bagaikan ampas lebur-
an perak yang tidak berguna. Ujian itu akan berakhir.
Bukan untuk selama-lamanya Allah hendak berbantah.
[3] Bahwa mereka akan timbul seperti emas, murni kan-
dungan di dalam dirinya dan sangat mulia bagi orang
yang memurnikannya. Mereka akan timbul seperti emas
yang telah diakui dan terbukti kemurniannya, didapati
amat baik dan dibuat lebih baik lagi. Penderitaan ditim-
pakan kepada kita sesuai siapa kita sebenarnya. Orang-
orang yang memasuki dapur peleburan sebagai emas,
tidak akan timbul menjadi lebih buruk.
2. Hal yang mendorong Ayub berharap bahwa kesesakan yang
sedang dialaminya sekarang akan berakhir dengan baik ada-
lah kesaksian hati nuraninya, yaitu bahwa ia telah menjalani
hidup dengan baik dalam takut akan Allah.
(1) Bahwa jalan Allah yaitu jalan yang dilaluinya (ay. 11):
Kakiku tetap mengikuti jejak-Nya,” yaitu, “berpegangan pada
jejak-jejak-Nya, mengikuti dekat-dekat semua jejak lang-
kah-Nya. Aku telah berusaha keras menaati teladan-Nya.”
Orang-orang baik yaitu para pengikut Allah. Atau, “Aku
telah menyesuaikan diri dengan penyelenggaraan-Nya dan
berusaha keras memenuhi semua tujuannya, dengan meng-
ikuti Penyelenggaraan Allah langkah demi langkah.” Atau,
“Langkah-langkah-Nya yaitu langkah-langkah yang telah
ditetapkan-Nya untuk kuambil juga. Jalan iman dan kesa-
lehan yang sungguh, yaitu jalan yang telah kupelihara
dan aku tidak undur daripadanya. Aku tidak saja tidak
berpaling darinya dengan berlaku murtad darinya, namun
juga tidak sedikit pun berbelok darinya dengan sengaja me-
lakukan pelanggaran.” Mengikuti jejak Allah dan menuruti
jalan-Nya mengisyaratkan bahwa sang penggoda telah
memakai seluruh keahliannya melalui penipuan dan
kekuatan untuk menarik Ayub ke samping. Namun, de-
ngan penuh perhatian serta kebulatan hati, sampai seka-
rang ini ia telah bertekun melalui anugerah Allah. Jadi,
barang siapa ingin berbuat demikian, haruslah mengikuti
jejak dan menuruti jalan-Nya, mengikuti dengan kebulatan
hati dan terus berjaga-jaga.
(2) Bahwa firman Allah merupakan peraturan yang diikutinya
(ay. 12). Ayub menguasai diri dengan perintah dari bibir
Allah, dan tidak mau mundur darinya, namun terus maju
sesuai perintah itu. Kesulitan apa pun yang mungkin kita
temui dalam menjalani perintah Allah, meskipun menun-
tun kita melalui padang belantara sekalipun, janganlah
pernah membuat kita berpikir untuk mundur, namun harus
mendesak maju terus ke arah tujuan. Ayub memelihara hu-
kum Allah dalam tingkah lakunya, sebab baik penghakim-
an maupun kasih sayang-Nya memimpin dia ke sana: dalam
sanubariku kusimpan ucapan mulut-Nya (KJV: aku menghar-
gai ucapan mulut-Nya melebihi makananku). Artinya, Ayub
memandang ucapan mulut-Nya sebagai makan yang diper-
lukannya untuk hidupnya. Ia lebih baik hidup tanpa ma-
kanan sehari-hari daripada tanpa firman Allah. Aku telah
menyimpan ucapan mulut-Nya sebagaimana orang-orang
yang menyimpan persediaan dalam menghadapi penge-
pungan, atau sebagaimana Yusuf menyimpan persediaan
gandum sebelum kelaparan melanda. Elifas telah menyu-
ruh Ayub menaruh firman-Nya dalam hatinya (22:22). “Aku
melakukannya,” ujar Ayub, “dan selalu melakukannya, su-
paya aku jangan berdosa terhadap-Nya, dan supaya seperti
pengurus rumah yang baik, aku dapat menghasilkan ke-
baikan bagi orang-orang lain.” Perhatikanlah, firman Allah
bagi jiwa kita bagaikan makanan yang diperlukan bagi
tubuh kita. Firman itu menopang kehidupan rohani dan
menguatkan kita untuk melakukan kegiatan dalam kehi-
dupan ini. Tanpa firman itu, kita tidak akan bisa bertahan
hidup. Tidak ada suatu pun yang dapat menggantikan
kekurangan itu. Oleh sebab itu kita harus sangat menghar-
gainya, bersusah payah untuk bisa memperolehnya, lapar
mencarinya, menikmatinya dengan penuh sukacita, dan
memberi gizi kepada jiwa kita dengannya. Dan hal inilah
yang akan menjadi sukacita kita pada hari malapetaka,
seperti yang dialami Ayub di sini.
Penghiburan Ayub dalam Ketulusannya
(23:13-17)
13 namun Ia tidak pernah berubah – siapa dapat menghalangi Dia? Apa yang
dikehendaki-Nya, dilaksanakan-Nya juga. 14 sebab Ia akan menyelesaikan
apa yang ditetapkan atasku, dan banyak lagi hal yang serupa itu dimaksud-
kan-Nya. 15 Itulah sebabnya hatiku gemetar menghadapi Dia, kalau semua-
nya itu kubayangkan, maka aku ketakutan terhadap Dia. 16 Allah telah mem-
buat aku putus asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatiku gemetar;
17 sebab bukan sebab kegelapan aku binasa, dan bukan juga sebab muka-
ku ditutupi gelap gulita.”
Beberapa penafsir berpendapat, dalam perikop ini Ayub mengeluh
bahwa Allah telah memperlakukannya dengan tidak adil dan dengan
curang, sebab terus menghukumnya tanpa jeda sedikit pun, meski-
pun ia memiliki bukti-bukti yang tidak perlu diragukan lagi dan
dapat memperlihatkan bahwa ia tidak bersalah. Saya enggan berpikir
bahwa Ayub yang saleh itu akan menuduh Allah yang kudus itu
berlaku tidak adil. Bagaimanapun, keluhannya memang pahit dan
penuh kejengkelan. Ia menganggap dirinya terpaksa bersabar, sesua-
tu yang tidak dapat dilakukannya tanpa memandang kepada Allah
sebab telah memperlakukannya dengan keras. Ia terpaksa menang-
gungnya sebab tidak dapat berbuat lain. Hal terburuk yang diucap-
kannya yaitu bahwa entah mengapa, Allah telah memperlakukan-
nya seperti itu.
I. Ayub mengemukakan kebenaran-kebenaran yang baik, kebenaran
yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan (ay. 13-14),
1. Bahwa rencana Allah bersifat kekal: Ia tidak pernah berubah –
siapa dapat menghalangi Dia? Ia yaitu satu (demikianlah
yang dikatakan beberapa penafsir), atau dalam keutuhan. Ia
tidak punya penasihat yang berkuasa memberi petunjuk ke-
pada-Nya sehingga Ia dapat dibujuk untuk mengubah maksud
tujuan-Nya: Ia menyatu dengan diri-Nya sendiri, dan tidak
pernah berubah pikiran, serta tidak pernah mengubah tindak-
an-Nya. Doa memang telah berhasil mengubah cara Allah dan
penyelenggaraan-Nya, namun kehendak dan tujuan-Nya tidak
pernah berubah. Sebab, segala perbuatan-Nya telah diketahui
Allah.
2. Bahwa kuasa-Nya tidak dapat dilawan: Apa yang dikehendaki-
Nya atau rancangannya, akan dilaksanakan-Nya juga. Tidak
ada suatu pun yang dapat menghalang-halangi-Nya atau mem-
berikan petunjuk baru kepada-Nya. Manusia menginginkan ba-
nyak hal yang tidak boleh, tidak bisa, atau tidak berani mereka
lakukan. Sebaliknya, Allah memiliki kedaulatan yang tidak ter-
bantahkan. Kehendak-Nya begitu sangat murni dan benar
hingga sungguh sangat cocok apabila Ia melanjutkan seluruh
kebulatan tekad-Nya. Ia juga memiliki kuasa yang tidak dapat
dikendalikan. Tidak ada seorangpun yang dapat menolak ta-
ngan-Nya. TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya (Mzm.
135:6), dan akan senantiasa melakukannya, sebab itulah
selalu yang terbaik.
3. Bahwa segala sesuatu yang dilakukan-Nya yaitu sesuai de-
ngan putusan kehendak-Nya (ay. 14): Ia akan menyelesaikan
apa yang ditetapkan atasku. Apa pun yang terjadi pada kita,
Allah sendirilah yang menyelesaikannya (Mzm. 57:3). Seluruh
perbuatan-Nya sangat mengagumkan, dan akan tampak saat
rahasia Allah tergenapi seluruhnya. Ia melaksanakan semua,
dan hanya semua yang telah ditetapkan-Nya, dalam waktu
dan cara yang sudah ditetapkan-Nya. Hal ini dapat membung-
kam kita, sebab apa yang telah ditetapkan-Nya tidak dapat di-
ubah. Namun, mengingat bahwa saat Allah menetapkan kita
menerima hidup yang kekal dan kemuliaan sebagai tujuan
kita, Ia juga menetapkan keadaan dan penderitaan ini di jalan
hidup kita, apa pun itu. sebab itu, kita harus menerima se-
mua ini dengan berdiam diri saja, dan harus yakin bahwa se-
mua itu yaitu demi yang terbaik bagi kita. Walaupun apa
yang dilakukan-Nya belum kita ketahui sekarang ini, kita akan
mengetahuinya kelak.
4. Bahwa segala sesuatu yang dilakukan-Nya yaitu sesuai de-
ngan kebiasaan penyelenggaraan-Nya: banyak lagi hal yang
serupa itu dimaksudkan-Nya. Artinya, Ia melakukan banyak
hal dalam tindakan penyelenggaraan-Nya yang tidak dapat
kita jelaskan, sehingga hendaklah kita berserah penuh kepada
kedaulatan-Nya yang mutlak. Apa pun kesesakan yang kita
alami, orang-orang lain pun pernah mengalaminya. Perkara
kita bukanlah satu-satunya. Semua saudara di seluruh dunia
menanggung penderitaan yang sama (1Ptr. 5:9). Apakah kita
terkena penyakit atau mengalami kesakitan, jatuh miskin, dan
kehilangan segalanya? Apakah anak-anak kita mati, atau
teman-teman kita bersikap tidak ramah? Inilah yang ditetap-
kan Allah atas kita, dan banyak lagi hal yang serupa itu dimak-
sudkan-Nya. Demi kepentingan-Nya-kah bumi harus menjadi
sunyi?
II. Namun Ayub tidak memanfaatkan kebenaran-kebenaran yang baik
ini. Seandainya mempertimbangkannya dengan baik, ia mungkin
akan berkata, “Itulah sebabnya aku merasa tenang dan senang,
bisa berdamai dengan jalan Allahku menyangkut diriku. Oleh
sebab itu aku akan bersukacita dalam pengharapan bahwa se-
mua kesesakanku akhirnya akan menjadi baik.” Namun sebalik-
nya, Ayub malah berkata, Itulah sebabnya hatiku gemetar meng-
hadapi Dia (ay. 15). Orang-orang yang gemetar menghadapi Dia
memang merupakan jiwa-jiwa yang tertekan. Sama seperti sang
pemazmur yang saat mengingat Allah, maka ia mengerang (Mzm.
77:4). Lihatlah betapa bingung Ayub yang malang itu sekarang,
sebab ia bertentangan dengan dirinya sendiri. Ia baru saja merasa
tertekan sebab ketidakhadiran Allah (ay. 8-9), namun sekarang
ia justru gemetar di hadapan-Nya. Kalau semuanya itu kubayang-
kan, maka aku ketakutan terhadap Dia. Apa yang sedang dirasa-
kannya sekarang membuatnya semakin ketakutan. Jika dipikir-
kan, memang ada hal-hal yang akan memperlihatkan bahwa kita
mempunyai alasan untuk takut terhadap Allah, yaitu keadilan
dan kemurnian-Nya yang tanpa batas, dibandingkan dengan
keadaan kita yang berdosa dan kotor. Namun, bila kita mengingat
semua itu lalu merenungkan kasih karunia-Nya dalam diri
seorang Penebus, dan kepatuhan kita kepada anugerah itu, maka
ketakutan kita akan lenyap, dan kita akan melihat pengharapan
di dalam diri-Nya. Lihatlah kesan apa saja yang tertanam dalam
diri Ayub akibat luka-luka rohnya.
1. Ia sangat ketakutan (ay. 16): Allah telah membuat dia putus
asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatinya gemetar. Artinya,
sama sekali tidak mampu menanggung apa pun, dan takut
kepada apa pun yang bergerak. Ada orang yang hatinya sangat
halus, seperti hati Yosia yang berhati lembut, dan gemetar
mendengar firman Allah. namun , yang terjadi pada Ayub di sini
yaitu hati yang halus penuh kesedihan, yang memandang
segala sesuatu yang ada sebagai hal yang menekan dan
mengancam.
2. Ayub sangat resah, dan sering mengeluh, sebab ia berselisih
dengan Allah,
(1) Sebab ia tidak mati sebelum kesesakan tiba, supaya ia ti-
dak pernah perlu melihatnya sebab bukan sebab kegelap-
an aku binasa (ay. 17). Akan namun , andai kata di puncak
kejayaannya ia mendapat panggilan untuk masuk kubur,
ia pasti akan menganggapnya sulit. sebab itu, supaya bisa
membantu kita berdamai dengan kematian, kapan pun
kematian itu datang, ada baiknya jika kita sadar bahwa
kita tidak pernah tahu dengan cara buruk apa kita akan
dibawa pergi dari dunia ini. Jadi, apabila kesesakan da-
tang, sungguh bodoh jika kita berharap tidak hidup untuk
mengalaminya, dan sebab itu lebih baik memanfaatkan-
nya sebaik mungkin.
(2) sebab ia dibiarkan hidup begitu lama di tengah kesesak-
annya, dan kegelapan tidak dijauhkan dari mukanya seka-
lipun ia tersembunyi di dalam kubur. Kita akan dapat me-
nanggung kegelapan dengan baik, jika kita ingat bahwa
bagi orang-orang yang lurus hatinya, adakalanya muncul
terang mengagumkan di tengah kegelapan. Meskipun demi-
kian, ada terang yang lebih mengagumkan lagi yang dise-
diakan bagi mereka setelah kematian.
PASAL 24
yub melampiaskan kemarahannya lewat berbagai keluhannya
dalam pasal sebelumnya, dan hal ini memberi dia sedikit ke-
legaan. Dengan cara itu ia menghancurkan kemarahannya, dan seka-
rang ia dapat menenangkan diri untuk berbicara mengenai ajaran-
ajaran dasar yang diperdebatkan antara dirinya dan para sahabat-
nya, yaitu mengenai kemakmuran orang-orang fasik. Dalam pasal 21
dia telah memperlihatkan bahwa banyak orang fasik dan duniawi
serta yang tidak peduli untuk beribadah, justru hidup nyaman dan
tenang. Sekarang dalam pasal ini ia melanjutkan dan menunjukkan
bahwa banyak yang berbuat jahat kepada sesama, dan hidup bermu-
suhan secara terbuka dengan semua hukum keadilan dan kejujuran,
namun maju dan berhasil dalam segala perbuatan hidup mereka
yang tidak benar. Dan kita tidak melihat mereka dimintai pertang-
gungjawaban dalam dunia ini. Apa yang telah dikatakannya sebelum-
nya (12:6), “Amanlah kemah perusak,” diperluas di sini. Ia memapar-
kan sebuah pernyataan umum (ay. 1), bahwa hukuman orang fasik
tidaklah selalu kelihatan atau tampak jelas seperti yang diduga oleh
para sahabatnya itu, dan ia membuktikan pernyataan ini dengan
contoh-contoh, yaitu
I. Orang-orang yang dengan terang-terangan berbuat salah
kepada sesama mereka yang malang tidak dimintai pertang-
gungjawaban, sementara yang dirugikan pun tidak dibela
haknya (ay. 2-12), meskipun orang-orang fasik itu berlaku
sangat kejam (ay. 21-22).
II. Orang-orang yang dengan sembunyi-sembunyi melakukan
kejahatan sering kali lolos tanpa tertangkap basah dan dihu-
kum (ay. 13-17).
III. Sesungguhnya Allah menghukum orang-orang yang demikian
dengan hukuman yang tersembunyi dan menyimpan mereka
bagi hukuman yang akan datang (ay. 18-20, dan 23-25). Oleh
sebab itu, dengan melihat keseluruhan semua perkara ini,
kita tidak dapat berkata bahwa semua orang yang ditimpa
masalah itu orang fasik. Sebab tampak jelas bahwa orang
yang makmur pun hidupnya tidak benar.
Kemakmuran Lahiriah Orang Fasik
(24:1-12)
1 “Mengapa Yang Mahakuasa tidak mencadangkan masa penghukuman dan
mereka yang mengenal Dia tidak melihat hari pengadilan-Nya? 2 Ada orang
yang menggeser batas tanah, yang merampas kawanan ternak, lalu meng-
gembalakannya. 3 Keledai kepunyaan yatim piatu dilarikannya, dan lembu
betina kepunyaan seorang janda diterimanya sebagai gadai, 4 orang miskin
didorongnya dari jalan, orang sengsara di dalam negeri terpaksa bersembunyi
semuanya. 5 Sesungguhnya, seperti keledai liar di padang gurun mereka
keluar untuk bekerja mencari apa-apa di padang belantara sebagai makanan
bagi anak-anak mereka. 6 Di ladang mereka mengambil makanan hewan, dan
kebun anggur, milik orang fasik, dipetiki buahnya yang ketinggalan. 7 De-
ngan telanjang mereka bermalam, sebab tidak ada pakaian, dan mereka
tidak mempunyai selimut pada waktu dingin; 8 oleh hujan lebat di pegunung-
an mereka basah kuyup, dan sebab tidak ada tempat berlindung, mereka
mengimpitkan badannya pada gunung batu. 9 Ada yang merebut anak piatu
dari susu ibunya dan menerima bayi orang miskin sebagai gadai. 10 Dengan
telanjang mereka berkeliaran, sebab tidak ada pakaian, dan dengan kelapar-
an mereka memikul berkas-berkas gandum; 11 di antara dua petak kebun
mereka membuat minyak, mereka menginjak-injak tempat pengirikan sambil
kehausan. 12 Dari dalam kota terdengar rintihan orang-orang yang hampir
mati dan jeritan orang-orang yang menderita luka, namun Allah tidak meng-
indahkan doa mereka.
Sahabat-sahabat Ayub selalu berpikir positif bahwa mereka segera
akan melihat kejatuhan orang-orang fasik, betapa pun makmurnya
mereka untuk sementara waktu. Sama sekali tidak, kata Ayub. Mes-
kipun Yang Mahakuasa mencadangkan masa penghukuman, namun
mereka yang mengenal Dia tidak melihat hari pengadilan-Nya (ay. 1,
KJV: Meskipun waktu tidak tersembunyi bagi-Nya, namun orang yang
mengenal Dia tidak juga melihat hari-Nya datang).
1. Ayub mengakui bahwa waktu tidaklah tersembunyi bagi Yang
Mahakuasa. Masa lalu tidaklah tersembunyi dari penghakiman-
Nya (Pkh. 3:15), masa sekarang tidaklah tersembunyi dari penye-
lenggaraan-Nya (Mat. 10:29), masa depan tidaklah tersembunyi
dari kemahatahuan-Nya (Kis. 15:18). Allah yang mengatur dunia,
jadi kita boleh yakin bahwa Ia memperhatikannya. Waktu-waktu
buruk tidaklah tersembunyi dari Dia, kendati orang-orang jahat
yang membuat waktu buruk tersebut berkata satu kepada yang
lain, Ia telah meninggalkan bumi (Mzm. 94:6-7). Setiap waktu ma-
nusia ada di dalam tangan-Nya, dan di bawah pengawasan mata-
Nya, sebab itu Ia berkuasa membuat waktu orang-orang fasik di
dalam dunia ini menyengsarakan. Ia sudah mengetahui waktu
kematian setiap orang, dan sebab nya, jika orang fasik mati sebe-
lum mereka dihukum sebab kefasikan mereka, kita tidak dapat
berkata, “Mereka luput dari Dia secara tidak terduga.” Sebelum
itu terjadi, Ia telah melihatnya, bahkan, Ia telah menetapkannya.
Sebelum Ayub menyelidiki alasan kemakmuran orang fasik, dia
menegaskan kemahatahuan Allah. Hal yang sama juga dilakukan
nabi-nabi lain, misalnya Yeremia (Yer. 12:1), yang dalam kasus
serupa menyatakan kebenaran Allah. Juga ada nabi lain yang
menyatakan kekudusan-Nya (Hab. 1:13), yang lain lagi kebaikan-
Nya kepada umat-Nya (Mzm. 73:1). Kebenaran-kebenaran umum
harus dipegang dengan teguh, kendati kita adakalanya sulit
menjelaskannya pada sebagian peristiwa tertentu.
2. Meskipun waktu tidaklah tersembunyi bagi Yang Mahakuasa, na-
mun Ayub menyatakan bahwa orang-orang yang mengenal Dia,
yaitu, mereka yang baik dan bijaksana, yang berlaku ramah ter-
hadap Dia, dan yang mengenal rahasia-Nya, tidak melihat hari
pengadilan-Nya, tidak melihat hari saat Dia mengadili orang-
orang fasik itu. Inilah hal yang dikeluhkan Ayub mengenai per-
karanya sendiri (23:8), bahwa dia tidak dapat melihat Allah tampil
membela perkaranya. Bahwa ia tidak melihat hari pengadilan
Allah terhadap orang-orang berdosa yang berani dan sangat jahat,
yaitu hari pengadilan-Nya (Mzm. 37:13). Kita percaya bahwa hari
itu akan tiba, namun kita tidak melihatnya, sebab hari itu akan
terjadi di masa yang akan datang, dan tanda-tandanya rahasia.
3. Kendati ini yaitu rahasia Penyelenggaraan ilahi, namun ada
alasan untuknya, dan kita akan segera tahu mengapa hukuman
ditangguhkan. Bahkan yang paling bijaksana dan mereka yang
mengenal Allah dengan sangat baik, juga tidak melihatnya. Allah
ingin melatih iman dan kesabaran mereka, dan menggairahkan doa-
doa mereka untuk memohonkan kedatangan kerajaan-Nya, yang
untuknya mereka siang malam berseru kepada-Nya (Luk. 18:7).
Sebagai bukti hal ini, bahwa hidup orang fasik sejahtera, Ayub
membeberkan dua macam orang yang tidak benar, yang dilihat
seluruh dunia berkembang makmur dalam kejahatan mereka:
I. Penguasa lalim, dan orang-orang yang berbuat kejahatan dengan
menyalahgunakan hukum dan kekuasaan. Merupakan suatu pe-
mandangan yang menyedihkan yang sering dilihat di bawah mata-
hari, ketidakadilan di tempat keadilan (Pkh. 3:16), air mata orang-
orang yang ditindas tidak diperhatikan, sementara di fihak orang-
orang yang menindas ada kekuasaan (Pkh. 4:1), hukum serta ke-
adilan diperkosa (Pkh. 5:7).
1. Mereka mengusir tetangga mereka dari tanah mereka sendiri,
yang diwariskan kepada mereka oleh leluhur mereka. Mereka
menggeser batas tanah, dengan berpura-pura bahwa batas ter-
sebut salah tempat (ay. 2), sehingga mereka melanggar hak-
hak tetangga mereka. Dengan cara ini mereka berpikir dapat
menjamin kepada keturunan mereka apa yang telah mereka
dengan jalan haram, dengan menjadikan batas tanah itu seba-
gai bukti bagi mereka, padahal itu seharusnya menjadi bukti
bagi pemilik yang sah. Tindakan seperti ini dilarang oleh hu-
kum Musa (Ul. 19:14), dengan ancaman kutukan (Ul. 27:17).
Memalsukan atau menghancurkan bukti perbuatan di masa
kita sekarang ini merupakan suatu kejahatan yang setara
dengan perbuatan tersebut.
2. Mereka mengusir tetangga mereka dari tanah pribadi mereka
atas nama keadilan. Dengan cara kekerasan mereka merampas
kawanan ternak, dengan pura-pura mengaku ternak itu ditelan-
tarkan, sehingga mereka perlu menggembalakannya. Seperti
orang kaya yang mengambil anak domba betina orang yang
miskin (2Sam. 12:4). Apabila seorang anak yatim yang malang
memiliki hanya seekor keledai miliknya untuk dipakainya
mendapatkan sedikit uang, mereka mencari-cari alasan untuk
merampasnya, sebab pemiliknya tidak dapat melawan me-
reka. Sama halnya jika peristiwa ini juga terjadi pada harta
satu-satunya yang dimiliki seorang janda, yaitu seekor lembu
betina untuk mengerjakan tanah peternakan kecil yang dimi-
likinya. Dengan alasan si janda menunggak membayar utang-
nya yang hanya sedikit atau membayar sewa, lembu ini pun
disita sebagai gadai, padahal itulah satu-satunya yang dimiliki
si janda tersebut. Sesungguhnya, Allah telah menyatakan di
antara gelar kehormatan-Nya untuk menjadi Bapa bagi anak
yatim dan Pelindung bagi para janda. Oleh sebab itu, orang-
orang yang tidak mau berbuat semampu-mampunya untuk
melindungi dan menolong anak yatim dan janda, mereka itu
tidak akan dipandang sebagai sahabatnya. Malahan, barang
siapa menyakiti dan menindas mereka, pasti akan diperhitung-
kan-Nya sebagai musuh-Nya.
3. Mereka memanfaatkan kesempatan apa saja untuk meleceh-
kan sesama mereka (ay. 4). Mereka akan menyesatkan sesama
mereka sedapat mungkin saat bertemu mereka di jalan,
sehingga orang miskin dan yang kekurangan dipaksa untuk
bersembunyi sebab tidak punya jalan lain untuk mengaman-
kan diri dari mereka. Mereka suka mengolok-olok orang dan
membodohi mereka serta menjahati mereka bila ada kesem-
patan. Terutama mereka suka mempermainkan orang-orang
miskin, dengan mengejar-ngejar mereka dan mengancam men-
jadikan mereka sebagai gelandangan. Dengan begitu orang
miskin mereka paksa melarikan diri, dan menjadi bahan ter-
tawaan mereka. Beberapa orang memahami tindakan tak ma-
nusiawi itu (ay. 9-10) dilakukan oleh para penindas dengan
memakai hukum sebagai topeng: Mereka merebut anak piatu
dari susu ibunya. Yaitu, setelah membuat mereka menjadi
bayi-bayi yang malang tidak berbapak, mereka menjadikan
bayi-bayi itu tidak beribu pula. Setelah mengambil kehidupan
bapak, mereka menghancurkan hati ibu, sehingga membuat
anak-anak menderita kelaparan dan ditinggalkan binasa. Fir-
aun dan Herodes merebut anak-anak dari air susu ibu dan
membunuh mereka dengan pedang. Kita juga membaca ten-
tang anak-anak yang diserahkan kepada si pembunuh (Hos.
9:13). Sungguh biadab para pembunuh yang senang mengisap
darah orang yang tidak bersalah. Mereka menerima bayi orang
miskin sebagai gadai, dan dengan demikian merampok harta
keluarga. Bahkan mereka mengambil orang miskin sebagai
gadai (sebagaimana dibaca oleh beberapa penafsir), sehingga
merebut anak yatim dari air susu ibunya, menangkap mereka
untuk menjadi budak-budak (Neh. 5:5). Kekejaman terhadap
orang miskin yaitu suatu kejah