ing
bintang-bintang yang letaknya begitu jauh. saat awan mencurah-
kan hujan lebat, sehingga debu membeku menjadi tanah liat, dan
gumpalan tanah berlekat-lekatan (ay. 38), siapa dapat mencurah-
kan tempayan-tempayan langit? Siapa yang dapat menghentikan
awan sehingga hujan tidak turun terus-menerus? Kuasa dan ke-
baikan Allah dalam hal ini perlu diakui, bahwa Ia memberikan
cukup hujan kepada bumi, namun tidak membuatnya jenuh de-
ngan hujan. Ia membuat bumi lembek, namun tidak menenggelam-
kannya. Ia membuat tanah siap dibajak, dan siap untuk ditanami
benih. Sama seperti kita tidak dapat memerintahkan hujan turun,
begitu juga kita tidak dapat memerintahkan supaya cuaca bagus
tanpa Allah. Begitu perlu dan begitu terus-menerusnya ketergan-
tungan kita kepada Allah.
V. Allah menyediakan makanan bagi makhluk-makhluk yang lebih
rendah, dan oleh penyelenggaraan-Nyalah, bukan oleh pemeliha-
raan atau jerih payah kita, mereka diberi makan. Pasal berikut
seluruhnya membahas contoh-contoh tentang kuasa dan kebaik-
an Allah menyangkut hewan, dan oleh sebab itu beberapa penaf-
sir memindahkan ketiga ayat terakhir pasal ini ke pasal berikut.
Ketiga ayat tersebut berbicara tentang persediaan yang dibuat,
1. Untuk singa (39:1-2). “Dapat saja engkau beralasan bahwa
awan dan bintang bergantung kepadamu, sebab mereka ber-
ada jauh di atasmu. Namun, di bumi engkau menganggap diri-
mu paling tinggi. Oleh sebab itu mari kita mengujinya: Dapat-
kah engkau memburu mangsa untuk singa betina? Engkau
menganggap diri hebat sebab pernah memiliki berlimpah ter-
nak, lembu sapi, keledai, dan unta, yang diberi makan di pa-
lunganmu. namun dapatkah engkau memelihara singa-singa,
dan singa-singa muda, kalau mereka merangkak di dalam sa-
rangnya menantikan mangsa? Tidak, engkau tidak perlu mela-
kukannya. Mereka mampu mengurus diri sendiri tanpa ban-
tuanmu: engkau tidak dapat melakukannya, sebab engkau ti-
dak memiliki sarana untuk memuaskan mereka. Engkau tidak
berani melakukannya. Kalaupun engkau datang untuk mem-
beri mereka makan, mereka akan menerkammu. Sebaliknya,
Aku mampu melakukannya.” Lihatlah kecukupan sempurna
penyelenggaraan Allah: Ia memiliki sarana untuk memuaskan
selera setiap makhluk hidup, bahkan yang paling rakus sekali-
pun. Lihatlah kelimpahan penyelenggaraan ilahi, sehingga di
mana pun juga ia memberi hidup, di sana pula ia memberi
penghidupan, bahkan kepada makhluk-makhluk yang tidak
saja tidak bermanfaat, namun juga yang berbahaya bagi manu-
sia. Dan lihatlah kedaulatan Penyelenggaraan-Nya, sehingga ia
membiarkan sebagian makhluk dibunuh demi menyokong hi-
dup makhluk-makhluk lain. Domba yang tidak menyakiti di-
cabik-cabik untuk memuaskan selera singa-singa muda, yang
adakalanya dibuat kekurangan dan menderita kelaparan un-
tuk menghukum kekejaman mereka, sementara orang-orang
yang takut akan Allah tidak kekurangan apa pun.
2. Untuk anak-anak burung gagak (39:3). Sama seperti hewan-
hewan buas rakus, begitu pula burung rakus ini diberi makan
oleh Penyelenggaraan Allah. Siapa selain Allah yang menyedia-
kan mangsa bagi burung gagak? Bukan manusia. Manusia
hanya memelihara makhluk-makhluk yang memang, atau
mungkin bermanfaat baginya. namun Allah memperhatikan se-
mua hasil karya tangan-Nya, bahkan yang paling rendah dan
tidak berharga sekalipun. Terutama anak-anak burung gagak
sangat perlu makanan, dan Allah memenuhi kebutuhan mere-
ka (Mzm. 147:9). Cara Allah memberi makan burung-burung,
terutama burung-burung ini (Mat. 6:26), sungguh menguatkan
hati kita untuk mempercayai Dia bagi makanan kita sehari-
hari. Lihatlah di sini,
(1) Betapa mengenaskan keadaan yang sering menimpa anak-
anak burung gagak yang berkeliaran sebab tidak ada ma-
kanan. Kata orang, burung-burung gagak yang sudah de-
wasa menelantarkan anak-anak mereka, dan tidak menye-
diakan makanan seperti yang dilakukan burung-burung
lain bagi anak-anak mereka. Sungguh benar bahwa orang-
orang yang rakus terhadap orang lain, biasa bersikap ke-
jam dan tidak wajar terhadap anak-anak mereka sendiri.
(2) Apa yang terpaksa mereka lakukan dalam kesesakan itu:
mereka berkaok-kaok, sebab mereka memang tergolong
makhluk-makhluk berisik, dan hal ini diartikan sebagai ber-
seru-seru kepada Allah. sebab merupakan seruan alam,
seruan ini dipandang sebagai ditujukan kepada Allah alam
semesta. Jeritan anak-anak burung gagak ini sangatlah
menghibur untuk mendorong kita supaya berdoa, meski-
pun kita hanya dapat berseru, ya Abba, ya Bapa!.
(3) Apa yang dilakukan Allah bagi mereka. Dengan satu atau
lain cara, Ia menyediakan makanan bagi mereka, supaya
mereka bisa tumbuh besar, dan menjadi dewasa. Dan Dia
yang memperhatikan anak-anak burung gagak tentu tidak
akan membiarkan umat-Nya dan anak-anak mereka keku-
rangan. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh
belas kasihan Allah, untuk memberi kita alasan untuk me-
renungkan betapa banyak kebaikan yang dikerjakan Allah
kita, setiap hari, melebihi apa yang kita sadari.
PASAL 39
llah melanjutkan di sini untuk menunjukkan kepada Ayub be-
tapa tidak beralasan baginya untuk menuduh Dia tidak berbaik
hati, padahal begitu besar kasih-Nya kepada makhluk ciptaan yang
lebih rendah hingga memperhatikan mereka dengan begitu baik. Ia
juga menginsafkan Ayub untuk tidak membual tentang diri sendiri
dan perbuataan baiknya di hadapan Allah, yang tidak ada apa-apa-
nya dibandingkan belas kasih ilahi. Ia juga menunjukkan kepada
Ayub betapa besar alasannya bagi dia untuk merendahkan diri, ka-
rena begitu sedikit yang ia ketahui tentang kodrat dan seluk-beluk
makhluk ciptaan di sekelilingnya, apalagi sampai memiliki pengaruh
atas mereka. Dan sebab itu ia haruslah tunduk kepada Allah yang
kepada-Nya semua makhluk itu bergantung. Allah secara khusus
berbicara mengenai,
I. Kambing gunung dan rusa betina (ay. 4-7).
II. Keledai liar (ay. 8-11).
III. Lembu hutan (ay. 12-15).
IV. Burung merak (ay. 16, KJV).
V. Burung unta (ay. 16-21).
VI. Kuda (ay. 22-28).
VII. Burung elang dan rajawali (ay. 29-33).
Ketakacuhan Manusia terhadap Binatang,
Gambaran tentang Kambing Gunung,
Rusa Betina, dan Lembu Hutan
(39:4-15)∗
4 Apakah engkau mengetahui waktunya kambing gunung beranak, atau meng-
amat-amati rusa waktu sakit beranak? 5 Dapatkah engkau menghitung berapa
lamanya sampai genap bulannya, dan mengetahui waktunya beranak? 6 De-
ngan membungkukkan diri mereka melahirkan anak-anaknya, dan mengeluar-
kan isi kandungannya. 7 Anak-anaknya menjadi kuat dan besar di padang, me-
reka pergi dan tidak kembali lagi kepada induknya. 8 Siapakah yang mengum-
bar keledai liar, atau siapakah yang membuka tali tambatan keledai jalang?
9 Kepadanya telah Kuberikan tanah dataran sebagai tempat kediamannya dan
padang masin sebagai tempat tinggalnya. 10 Ia menertawakan keramaian kota,
tidak mendengarkan teriak si penggiring; 11 ia menjelajah gunung-gunung pa-
dang rumputnya, dan mencari apa saja yang hijau. 12 Apakah lembu hutan
mau takluk kepadamu, atau bermalam dekat palunganmu? 13 Dapatkah eng-
kau memaksa lembu hutan mengikuti alur bajak dengan keluan, atau apakah
ia akan menyisir tanah lembah mengikuti engkau? 14 Percayakah engkau kepa-
danya, sebab kekuatannya sangat besar? Atau kauserahkankah kepadanya
pekerjaanmu yang berat? 15 Apakah engkau menaruh kepercayaan kepadanya,
bahwa ia akan membawa pulang hasil tanahmu, dan mengumpulkannya di
tempat pengirikanmu?
Allah di sini menunjukkan kepada Ayub betapa sedikit yang diketa-
huinya tentang binatang liar yang berlarian liar di padang gurun dan
hidup sesuka hatinya, namun tetap dipelihara oleh Penyelenggaraan
ilahi. Seperti,
I. Kambing gunung dan rusa betina. Yang diperhatikan tentang me-
reka yaitu saat melahirkan dan membesarkan anak-anak mere-
ka. Sebab, seperti setiap makhluk diberi makan, demikian pula
setiap jenis binatang dipelihara, oleh perhatian dari Penyeleng-
garaan ilahi, dan, sebagaimana kita ketahui, tak satu pun yang
punah hingga hari ini. Amatilah di sini,
1. Mengenai kelahiran anak-anak mereka,
(1) Manusia sepenuhnya acuh tak acuh tentang waktu saat
mereka melahirkan (ay. 4-5). Akankah kita berlagak tahu
apa yang ada di dalam rahim Sang Penyelenggara atau apa
yang akan didatangkan oleh suatu hari, sedangkan waktu
∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Pasal 39:1-4 versi KJV dijumpai
pada pasal 39:4-7 versi LAI. Versi KJV pasal 39 terdiri atas 30 ayat (39:1-30) sedangkan pada
versi LAI pasal 39 terdiri atas 38 ayat (39:1-38) – ed.
mengandung dari seekor rusa betina atau seekor kambing
gunung saja kita tidak tahu?
(2) Kendati mereka melahirkan anak-anak mereka dengan ba-
nyak kesulitan dan penderitaan, dan tidak ada bantuan
dari manusia, namun, oleh penyelenggaraan yang baik dari
Allah, anak-anak mereka dapat dilahirkan dengan selamat,
dan penderitaan mereka hilang dan dilupakan (ay. 3). Be-
berapa penafsir mengartikannya bahwa Allah melalui ban-
tuan guntur menolong rusa betina melahirkan anak (Lih.
Mzm. 29:9). Kiranya diamati, untuk kelegaan perempuan
yang melahirkan, bahwa Allah bahkan menolong rusa be-
tina untuk melahirkan anak mereka. Maka tidakkah Allah
jauh lebih menolong perempuan dan menyelamatkan me-
reka dalam melahirkan anak, yang merupakan anak-anak
kovenan dengan Dia?
2. Mengenai pertumbuhan anak-anak mereka (ay. 7): Anak-anak-
nya menjadi kuat dan besar. Meskipun mereka dilahirkan da-
lam kesusahan, namun setelah induk mereka menyusuinya
sebentar, mereka menyingkir ke ladang-ladang gandum, dan
tidak menjadi beban lagi bagi induknya. Ini menjadi teladan
bagi anak-anak manusia, supaya saat mereka bertumbuh
besar, jangan selalu bergantung pada orangtua mereka dan
meminta-minta dari mereka, melainkan berdiri sendiri untuk
mencari penghidupan sendiri dan membalas jasa orangtua
mereka.
II. Keledai liar, ciptaan yang sering kita baca di dalam Alkitab, yang
dikatakan oleh sebagian orang sebagai liar. Manusia dikatakan
dilahirkan bagaikan keledai liar, sangat sulit diatur. Dua hal yang
dikaruniakan oleh Penyelenggaraan kepada keledai liar:
1. Sebuah kebebasan yang tanpa ikatan (ay. 8): Siapakah selain
Allah yang mengumbar keledai liar? Allah telah memberinya
suatu sifat, maka Ia juga memberinya izin untuk itu. Keledai
yang jinak terikat untuk bekerja. namun keledai liar tidak ada
ikatan. Perhatikanlah, kebebasan dari tugas dan kebebasan
untuk bersenang-senang yaitu hak istimewa yang dipunyai
seekor keledai liar. Amat disayangkan bahwa anak-anak ma-
nusia harus merindukan kebebasan yang demikian atau me-
mantaskan diri untuk hal itu. Lebih baik bekerja dan berguna
daripada berkeliaran tanpa bermanfaat. Namun jika di antara
manusia, Penyelenggaraan ilahi memberikan sebagian orang
kebebasan dan membiarkan mereka hidup bersenang-senang,
sementara yang lain ditakdirkan untuk menderita, janganlah
kita heran akan hal itu: begitulah juga yang terjadi di antara
makhluk-makhluk yang kasar.
2. Sebuah tempat tinggal terbuka (ay. 9): padang masin sebagai
tempat tinggalnya, di mana ia memiliki cukup ruang untuk
berjalan mondar-mandir dan menghirup udara untuk kese-
nangannya, sebagaimana yang memang dilakukan oleh keledai
liar (Yer. 2:24), seolah-olah ia harus hidup bergantung pada
udara, sebab itu yaitu padang masin (tandus – pen.), yaitu
tempat tinggalnya. Amatilah, keledai yang jinak, yang bekerja
dan berguna bagi manusia, diberi palungan (tempat makan)
oleh tuannya untuk berlindung dan mendapat makanan serta
tinggal di tanah yang subur: namun keledai liar, yang memiliki
kebebasannya, harus hidup di tanah yang tandus. Orang yang
tidak bekerja, janganlah ia makan. Orang yang bekerja biarlah
makan dari tangannya dan juga memenuhi segala kebutuhan-
nya. Yakub, si gembala, memiliki sup kacang merah yang baik
untuk persediaannya, sedangkan Esau, seorang pemburu,
nyaris binasa sebab kelaparan. Penjelasan lebih lanjut ten-
tang kebebasan dan kehidupan keledai liar kita temukan da-
lam ayat 10-11.
(1) Ia tidak mempunyai pemilik atau tunduk kepada siapa
pun: Ia menertawakan keramaian kota. Kalau orang ber-
usaha untuk menangkapnya lalu mengepungnya, ia akan
segera lari, dan teriak si penggiring tidak didengarkannya.
Ia menertawakan orang-orang yang hidup di tengah kera-
maian dan hiruk pikuk kota (demikian kata Uskup Patrick),
ia menganggap dirinya lebih bahagia di hutan belantara.
(2) Tanpa pemilik, maka tidak ada yang memberinya makan
atau perbekalan, melainkan harus mencari sendiri: Gunung-
gunung yaitu padang rumputnya, dan tandus padang itu.
Di sanalah ia mencari apa saja yang hijau, sedapat mung-
kin dan mengambilnya. Sedangkan keledai yang bekerja
memiliki segala sesuatu yang hijau secara berlimpah, tanpa
harus mencarinya. Dari binatang liar ini dan binatang lain-
nya kita dapat menyimpulkan betapa tidak patut kita harus
memberi hukum kepada Sang Penyelenggara, yang tidak
dapat memberi hukum bahkan kepada seekor keledai liar.
III. Lembu hutan, atau rhem, seekor makhluk yang kuat (Bil. 23:22),
kekar dan sombong (Mzm. 92:11; TB: banteng). Ia sanggup untuk
melayani namun tidak mau. Dan Allah di sini menantang Ayub jika
ia mampu memaksanya bekerja. Ayub berharap segala sesuatu
seharusnya berjalan sesuai dengan yang diinginkannya. “sebab
engkau berlagak”, kata Allah, “mampu membawa segala sesuatu
mengikuti pengaruhmu, maka cobalah lembu hutan dan mari kita
lihat keahlianmu. Kini sebab semua lembu sapi dan keledaimu
telah hilang, maka cobalah apakah lembu hutan dapat mela-
yanimu sebagai gantinya (ay. 12) dan apakah ia akan puas de-
ngan persediaan yang biasa engkau berikan kepada segala lembu
sapi dan keledaimu dahulu: Akankah ia bermalam dekat palung-
anmu? Tidak.”
1. “Engkau tidak mampu menjinakkannya, atau memaksanya
mengikuti alur bajak, atau memaksanya menyisir tanah lem-
bah” (ay. 13). Ada binatang yang bersedia untuk melayani
manusia, yang senang melayani dan mencintai tuan mereka.
namun ada juga yang tidak akan pernah mau dibuat melayani
manusia, sebagai akibat dosa. Manusia telah memberontak
dari ketundukannya kepada Pembuatnya, dan sebab nya se-
cara adil dihukum dengan pemberontakan makhluk ciptaan di
bawahnya dari ketundukan mereka kepadanya. Akan namun ,
seperti contoh dari kehendak baik Allah kepada manusia, ada
sebagian binatang yang masih berguna baginya. Kendati lem-
bu hutan (yang menurut beberapa tafsiran yaitu semacam
binatang bertanduk) tidak akan mau melayaninya atau tunduk
kepada tangannya di alur bajaknya, namun ada lembu yang
jinak yang mau, dan binatang lain yang tidak ferae naturae –
memiliki sifat liar, yang dapat dijadikan peliharaan manusia,
yang untuknya dia menyediakan perbekalan dan yang berguna
baginya. Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
2. “Engkau tidak berani memercayainya. Kendati kekuatannya
sangat besar, namun engkau tidak akan menyerahkan pekerja-
anmu kepadanya, seperti yang engkau lakukan dengan keledai
dan lembu sapimu, yang dapat dikendalikan bahkan oleh se-
orang anak kecil, dan membebankan kepadanya semua kesu-
sahan. Engkau tidak akan pernah bergantung kepada lembu
hutan, yang tidak mungkin mau datang membantu pekerjaan
panenmu, apalagi untuk membawa pulang hasil tanahmu, dan
mengumpulkannya di tempat pengirikanmu” (ay. 14-15). Dan,
sebab ia tidak mau bekerja di sekitar ladang, maka ia tidak
mendapat makanan sebaik sapi yang jinak, sebab mulutnya
tidak diberangus untuk menginjak hasil panen. Namun kare-
nanya ia tidak akan menarik bajak, sebab tuan yang mem-
buatnya tidak pernah merancangnya untuk hal demikian. Sifat
bekerja yaitu karunia Allah seperti halnya kemampuan un-
tuk bekerja. Dan merupakan suatu anugerah yang besar jika,
saat Allah memberi kekuatan untuk melayani, Ia juga mem-
beri hati untuk melakukannya. Inilah yang harus kita doakan,
yang harus kita pikirkan, sebab binatang tidak dapat melaku-
kannya. Sebab, seperti di antara binatang, demikian pula di
antara manusia, orang-orang yang tidak mau berjerih payah
atau berbuat baik, pantas dianggap liar dan lebih baik dibuang
saja ke padang gurun.
Penjelasan tentang Burung Unta
(39:16-21)∗
16 Dengan riang sayap burung unta berkepak-kepak, namun apakah kepak
dan bulu itu menaruh kasih sayang? 17 Sebab telurnya ditinggalkannya di
tanah, dan dibiarkannya menjadi panas di dalam pasir, 18 namun lupa, bahwa
telur itu dapat terpijak kaki, dan diinjak-injak oleh binatang-binatang liar.
19 Ia memperlakukan anak-anaknya dengan keras seolah-olah bukan anak-
nya sendiri; ia tidak peduli, kalau jerih payahnya sia-sia, 20 sebab Allah
tidak memberikannya hikmat, dan tidak membagikan pengertian kepadanya.
21 Apabila ia dengan megah mengepakkan sayapnya, maka ia menertawakan
kuda dan penunggangnya.
Burung unta yaitu seekor binatang yang indah, seekor burung yang
besar, namun tidak bisa terbang. Sebagian orang menyebutnya unta
bersayap. Allah di sini memberi gambaran tentangnya dan amatilah,
∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 13-18 versi KJV dijumpai
pada ayat 16-21 versi LAI – ed.
I. Kesamaannya dengan burung merak, yaitu, sayapnya yang indah
(ay. 16): Dengan riang sayap burung unta (KJV: burung merak) ber-
kepak-kepak, engkaukah itu yang memberinya sayap? Sayap-
sayap yang indah membuat burung menjadi sombong. Burung
merak yaitu lambang kesombongan. Pada waktu ia mengepak,
dan memperlihatkan sayapnya yang indah, dan Salomo dalam
segala kemuliaannya tidak dapat menandinginya. Burung unta
juga memiliki bulu-bulu sayap yang bagus, namun ia burung yang
bodoh. Sebab hikmat tidak selalu berjalan bersama keindahan
dan kegembiraan. Burung-burung lain tidaklah iri kepada burung
merak atau burung unta sebab warna mereka yang indah, juga
tidak mengeluh sebab kurang indah dari mereka. Lalu mengapa-
kah kita harus kesal jika kita melihat orang lain memakai pakaian
yang lebih baik daripada yang dapat kita pakai? Allah mem-
berikan karunia-Nya secara berlainan dan karunia-karunia yang
paling bernilai bukanlah yang tampil cemerlang. Siapakah yang
tidak lebih menyukai suara dari burung bulbul daripada ekor
burung merak, daripada mata burung elang dan sayapnya yang
dapat membuatnya membumbung tinggi, dan kasih sayang dari
burung bangau, daripada sayap dan bulu-bulu yang indah dari
burung unta, yang tidak dapat pernah terangkat di atas bumi dan
yang tak punya kasih sayang?
II. Kekhususan dari burung unta,
1. Tidak perduli terhadap anaknya. Untungnya sifat ini hanya di-
miliki si burung unta, sebab sangat jelek. Amatilah,
(1) Bagaimana dia membiarkan telurnya. Ia tidak pergi ke tem-
pat yang terpencil dan membuat sebuah sarang di sana,
seperti yang dilakukan oleh burung pipit dan burung la-
yang-layang (Mzm. 84:4), dan bertelur dan menetaskan
anaknya di sana. Kebanyakan burung, dan juga binatang
yang lain, secara aneh dituntun oleh naluri alamiahnya
dalam menyediakan perlindungan bagi anak-anaknya. Te-
tapi burung unta yaitu suatu monster dalam hal sifat,
sebab ia menjatuhkan telur-telurnya di mana saja di atas
tanah dan tidak peduli untuk mengeraminya. Jika pasir
dan matahari mengeraminya, baik dan baguslah itu. Me-
reka dapat membantunya, sebab ia tidak mau menghangat-
kan telurnya (ay. 17). Bahkan, ia tidak peduli untuk men-
jaga mereka: kaki pengelana dapat menginjak mereka,
dan binatang-binatang liar menginjak-injak mereka (ay. 18).
namun lalu bagaimana sampai anak-anaknya dapat lahir
dan mengapakah jenis burung ini tidak dapat punah? Kita
harus menduga bahwa entah Allah, melalui suatu penye-
lenggaraan khusus, lewat panas matahari dan pasir (demi-
kian pikir sebagian orang), mengerami telur-telur yang ter-
abaikan dari burung unta itu, sama seperti Ia memberi ma-
kan anak-anak burung gagak, atau kendati burung unta
sering meninggalkan telur-telurnya, namun tidaklah selalu.
(2) Alasan mengapa dia membiarkan telur-telurnya. Hal itu
terjadi,
[1] sebab ia tidak punya kasih sayang (ay. 19): Ia memper-
lakukan anak-anaknya dengan keras seolah-olah bukan
anaknya sendiri. Berlaku keras terhadap apa pun ada-
lah hal yang tidak patut, bahkan dalam diri binatang
buas, apalagi pada makhluk ciptaan yang berakal budi
yang membanggakan diri manusiawi. Terutama lagi jika
berlaku keras terhadap yang muda, yang tidak sanggup
menolong diri sendiri dan sebab nya butuh belas kasih-
an, yang tidak memberikan perlawanan sehingga tidak
patut diperlakukan dengan kasar. Dan yang paling ja-
hat yaitu berlaku keras terhadap anak-anak sendiri,
seakan-akan mereka bukan anaknya, padahal mereka
sungguh-sungguh bagian dari dirinya. Usaha burung
unta untuk menetaskan telurnya sia-sia dan hilang per-
cuma, sebab ia tidak memiliki rasa khawatir dan per-
hatian terhadap mereka. Orang sangat mungkin akan
kehilangan usaha mereka jika sama sekali tidak kha-
watir akan kehilangan hasilnya.
[2] sebab kekurangan hikmat (ay. 20): sebab Allah tidak
memberikannya hikmat. Hal ini menyatakan bahwa ke-
cakapan yang dimiliki binatang lain untuk memelihara
dan menjaga anak-anak mereka yaitu karunia Allah,
dan jika hal itu tidak ada, maka Allah memang tidak
memberikannya, sehingga dengan kebodohan burung
unta, serta hikmat semut, kita dapat belajar untuk men-
jadi bijaksana. Sebab,
Pertama, Sama seperti tidak pedulinya burung unta
terhadap telur-telur mereka, demikian pula begitu tidak
pedulinya banyak orang terhadap jiwa mereka sendiri.
Mereka tidak menyedikan perbekalan bagi jiwa mereka,
tempat tinggal yang aman baginya, dan membiarkannya
terbuka terhadap Iblis dan segala godaannya. Dan ini me-
rupakan bukti pasti bahwa mereka kekurangan hikmat.
Kedua, Begitu tidak pedulinya banyak orangtua ter-
hadap anak-anak mereka. Sebagian orangtua tidak pe-
duli terhadap tubuh anak-anak mereka, tidak meme-
lihara tempat tinggal bagi mereka, bagi perut mereka,
dan sebab itu lebih buruk lagi daripada orang kafir,
dan sama buruknya dengan burung unta. namun lebih
banyak lagi yang tidak peduli terhadap jiwa anak-anak
mereka, tidak peduli terhadap pendidikan mereka, me-
ngirim mereka ke luar negeri kepada dunia tanpa pe-
ngetahuan, tanpa dipersenjatai, lupa betapa rusaknya
dunia ini oleh hawa nafsu, yang pasti akan menghan-
curkan mereka. Dengan demikian usaha mereka dalam
membesarkan anak-anak mereka menjadi sia-sia. Lebih
baik bagi negeri mereka seandainya anak-anak mereka
tidak dilahirkan.
Ketiga, betapa acuh tak acuhnya banyak hamba Tu-
han terhadap jemaatnya, yang harus mereka dampingi.
Namun mereka meninggalkan jemaat begitu saja di
bumi, dan lupa betapa sibuknya Iblis menanam ilalang
saat manusia tidur. Mereka mengabaikan orang-orang
yang seharusnya mereka jaga dan sungguh-sungguh
berlaku keras terhadap mereka.
2. Mementingkan diri sendiri. Ia meninggalkan telur-telurnya di
dalam bahaya, namun , kalau dirinya sendiri berada dalam ba-
haya, maka tidak ada makhluk ciptaan yang akan berusaha
lebih keras untuk keluar dari bahaya seperti burung unta (ay.
21). Dengan gagah ia mengepak-ngepakkan sayapnya, kekuat-
an yang kemudian menjadikannya lebih baik daripada ke-
indahannya, dan, dengan pertolongan sayapnya itu ia berlari
begitu cepatnya hingga seorang penunggang kuda dengan ke-
cepatan penuh pun tidak dapat mengalahkannya: Ia menerta-
wakan kuda dan penunggangnya. Mereka yang memiliki paling
sedikit rasa kasih secara alamiah yaitu yang paling banyak
berusaha untuk melindungi diri sendiri. Jangan kiranya pe-
nunggang menjadi sombong sebab ketangkasan kudanya ke-
tika seekor binatang seperti burung unta ini pun dapat berlari
cepat mendahuluinya.
Gambaran tentang Kuda Perang
(39:22-28)∗
22 Engkaukah yang memberi tenaga kepada kuda? Engkaukah yang menge-
nakan surai pada tengkuknya? 23 Engkaukah yang membuat dia melompat
seperti belalang? Ringkiknya yang dahsyat mengerikan. 24 Ia menggaruk tanah
lembah dengan gembira, dengan kekuatan ia maju menghadapi senjata. 25 Ke-
dahsyatan ditertawakannya, ia tidak pernah kecut hati, dan ia pantang mun-
dur menghadapi pedang. 26 Di atas dia tabung panah gemerencing, tombak
dan lembing gemerlapan; 27 dengan garang dan galak dilulurnya tanah, dan
ia meronta-ronta kalau kedengaran bunyi sangkakala; 28 ia meringkik setiap
kali sangkakala ditiup; dan dari jauh sudah diciumnya perang, gertak para
panglima dan pekik.
Allah, sesudah memperlihatkan kuasa-Nya di dalam makhluk-makh-
luk ciptaan yang kuat dan memandang rendah manusia, di sini
menunjukkan lagi kuasa-Nya dalam seekor makhluk yang nyaris
tidak terkalahkan dalam kekuatan, namun yang sangat jinak dan
berguna bagi manusia, yaitu kuda, terutama kuda yang diperlengkapi
untuk hari perperangan dan yang berguna bagi manusia saat ia
sangat memerlukannya pada kesempatan tidak biasanya. Tampaknya
di negeri Ayub ada sejenis kuda yang sangat unggul kualitasnya. Ayub
dahulunya mungkin memelihara banyak ternak, meskipun tidak dise-
but di antara semua miliknya. Ternaknya ini pastilah sangat bernilai
lebih daripada yang diperuntukkan bagi negeri dan peperangan, di
mana hanya kuda saja yang disimpan saat itu, kuda tidak dipakai
untuk melakukan pekerjaan rendah seperti yang kebanyakan kita
lakukan dewasa ini. Mengenai kuda yang berbadan besar itu, bina-
tang yang kekar itu, di sini diamati,
1. Bahwa ia memiliki suatu semangat dan kekuatan yang sangat
besar (ay. 22): Engkaukah yang memberi tenaga kepada kuda? Ia
memakai kekuatannya bagi manusia, namun kekuatannya
tidak berasal dari dirinya: Allah yang memberikan kekuatan kepa-
∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 19-28 versi KJV dijumpai
pada ayat 22-28 versi LAI – ed.
danya. Allah-lah sumber dari segala kekuatan alam, namun diri-
Nya sendiri tidak suka kepada kegagahan kuda (Mzm. 147:10),
dan memberi tahu kita bahwa kuda yaitu harapan yang sia-sia
untuk mencapai kemenangan (Mzm. 33:17). Untuk berlari, mena-
rik, dan membawa, tidak ada makhluk ciptaan yang luar biasa
berguna bagi manusia, yang memiliki kekuatan yang begitu besar
seperti halnya kuda. Kuda juga begitu gagah dan berani, yang
tidak ditakuti seperti belalang, melainkan berani dan maju meng-
hadapi bahaya. Merupakan suatu berkat bagi manusia untuk me-
miliki pelayan yang demikian, yang, kendati sangat kuat, tunduk
kepada pengendalian seorang anak kecil, dan tidak memberontak
melawan tuannya. Namun, janganlah kita mengandalkan kekuat-
an dari seekor kuda (Hos. 14:4; Mzm. 20:8; Yes. 31:1, 3).
2. Bahwa leher dan lubang hidungnya terlihat bagus. Lehernya dike-
nakan surai, yang besar dan terurai, yang membuatnya tangguh
dan menjadi hiasan baginya. Keagungan lubang hidungnya, saat
ia meringkik, mengayunkan kepalanya dan melempar busa dari
mulutnya, sangat mengerikan (ay. 23). Mungkin hanya ada pada
waktu itu saja dan di dalam negeri tersebut, sejenis kuda yang
kekar dan jinak daripada yang kita lihat sekarang.
3. Bahwa ia sangat kejam dan bengis di dalam peperangan, dengan
keberanian tanpa ampun, meskipun membahayakan hidupnya.
(1) Lihat betapa gembiranya ia (ay. 24): Ia menggaruk tanah lem-
bah, tanpa mengetahui macam apa tanah tempat ia berdiri. Ia
bangga akan kekuatannya, terlebih lagi untuk melayani ma-
nusia dan di bawah perintahnya, tidak seperti keledai liar yang
memakai kekuatannya untuk menghina manusia dan
memberontak (ay. 11).
(2) Lihat betapa bersemangatnya ia terlibat: Ia maju menghadapi
senjata, penuh gairah, bukan oleh sebab kebaikan perang atau
ingin mendapat kehormatan, namun hanya oleh bunyi sangka-
kala, gertak para panglima, dan pekik tentara, seperti mem-
bakar keberaniannya sehingga membuatnya melompat maju
dengan penuh semangat, seakan-akan ia meringkik: Ha! ha!
(ay. 28). Betapa luar biasanya makhluk-makhluk kasar ini di-
layakkan dan dicondongkan bagi pelayanan yang telah diran-
cang bagi mereka.
(3) Lihat betapa beraninya ia, bagaimana ia menghina kematian
dan bahaya yang paling mengancam (ay. 25): Kedahsyatan di-
tertawakannya, dan mengolok-oloknya. Ayunkan pedang kepa-
danya, teriaki dia, ayunkan tombak, untuk memaksanya mun-
dur, ia tidak akan mundur, malah terus merangsek maju,
bahkan menggerakkan keberanian si penunggangnya.
(4) Lihat betapa garangnya ia. Ia meronta-ronta dan berjingkrak-
jingkrak dan berlari maju dengan buas dan ganas menyong-
song musuh seakan dengan garang dan galak dilulurnya tanah
(ay. 27, KJV: mau menelan tanah dengan garang dan galak). Ke-
gigihan seperti itu yaitu sesuatu yang terpuji bagi seekor
kuda daripada bagi seorang manusia, sebab sifat garang dan
galak tidak pantas bagi manusia. Gambaran tentang kuda
perang ini akan menolong untuk menjelaskan sifat tersebut
yang diberikan kepada orang berdosa yang kurang ajar (Yer.
8:6). Sambil berlari semua mereka berpaling, seperti kuda yang
menceburkan diri ke dalam pertempuran. Saat hati manusia
sarat dengan keinginan untuk berbuat jahat, dan hanyut di
jalan yang jahat oleh kegarangan nafsu dan hasrat yang tak
terbendung, maka tidak ada lagi yang membuatnya takut akan
murka Allah dan akibat mematikan dari dosa. Kiranya hati
nuraninya sendiri dihadapkan dengan kutukan hukum, ke-
matian yang yaitu upah dosa, dan semua kengerian dari
Yang Mahakuasa di dalam rangkaian peperangan. Ia mener-
tawakan kedahsyatan ini, dan tidak merasa takut, dan tidak
akan mundur dari pedang yang menyala-nyala dari Kerubim.
Kiranya para hamba Tuhan mengangkat suara mereka seperti
sangkakala, untuk memberitakan murka Allah terhadapnya. Ia
mendengar suara sangkakala, namun ia tidak mau diperingat-
kan, bahkan Allah dan para malaikat yang bersama-Nya pun
tidak dipedulikannya. Namun, apa yang akan terjadi pada
akhirnya sangatlah mudah untuk dilihat.
Gambaran tentang Burung Elang dan Burung Rajawali
(39:29-33)∗
29 Oleh pengertianmukah burung elang terbang, mengembangkan sayapnya
menuju ke selatan? 30 Atas perintahmukah rajawali terbang membubung, dan
membuat sarangnya di tempat yang tinggi? 31 Ia diam dan bersarang di bukit
∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 26-30 versi KJV dijumpai
pada ayat 29-33 versi LAI – ed.
batu, di puncak bukit batu dan di gunung yang sulit didatangi. 32 Dari sana ia
mengintai mencari mangsa, dari jauh matanya mengamat-amati; 33 anak-anak-
nya menghirup darah, dan di mana ada yang tewas, di situlah dia.”
Burung-burung di udara yaitu bukti dari kuasa dan penyelenggara-
an yang ajaib dari Allah, seperti halnya dengan binatang-binatang di
bumi. Allah di sini merujuk secara khusus kepada dua burung yang
hebat:
1. Elang, seekor burung yang gagah dengan kekuatan dan kecer-
dasan yang tinggi, namun sekaligus burung pemangsa (ay. 29).
Burung ini di sini diperhatikan sebab cara terbangnya, yang
cepat dan kuat, terutama untuk jalur yang diambilnya menuju ke
selatan, ke mana ia mengikuti matahari di musim dingin, keluar
dari daerah-daerah yang lebih dingin di utara, terutama saat ia
harus membuang bulu-bulunya dan memperbaruinya. Inilah hik-
matnya dan Allah-lah yang memberi hikmat ini, bukan manusia.
Mungkin hikmat luar biasa dari cara terbangnya elang setelah
mendapat mangsanya tidak dipakai saat itu sebagai bahan pe-
mikiran dan hiburan manusia, seperti yang sudah-sudah. Sangat
disayangkan bahwa elang, yang diajar untuk terbang atas perin-
tah manusia dan dijadikan sebagai hiburan, sudah disalahguna-
kan untuk menghina Allah, sebab dari Allah-lah ia menerima hik-
mat yang membuat kecakapan terbangnya sebagai hal yang meng-
hibur dan berguna.
2. Rajawali, seekor burung rajawi namun seekor burung pemangsa
pula. Kemampuan memangsanya diizinkan baginya, atau bahkan
ia memang diberi kuasa untuk itu, supaya dapat menolong men-
damaikan kita untuk menerima kemakmuran para penindas di
antara manusia. Rajawali di sini diperhatikan,
(1) sebab tingginya ia terbang. Tidak ada burung yang membu-
bung begitu tinggi, dengan kekuatan angin, dan mampu mena-
han sinar cahaya dari matahari. Nah, “Atas perintahmukah?
(ay. 30). Dari engkaukah kekuatannya? Atau engkaukah yang
mengatur terbangnya? Tidak. Oleh kuasa dan naluri alamiah
yang telah diberikan Allah kepadanya sehingga ia dapat ter-
bang membubung tinggi jauh dari pandanganmu, apalagi
suara panggilanmu.”
(2) sebab kekuatan dari sarangnya. Sarangnya yaitu istana dan
benteng pertahanannya. Ia membangunnya di bukit batu, di
puncak bukit batu (ay. 31), yang mengamankannya dan anak-
anaknya jauh dari jangkauan bahaya. Orang-orang berdosa
yang merasa aman menganggap diri aman-aman saja di dalam
dosa-dosa mereka seperti rajawali merasa aman di dalam
sarangnya di atas ketinggian, di puncak bukit batu. namun Aku
akan menurunkan engkau dari sana, demikianlah firman TU-
HAN (Yer. 49:16). Semakin tinggi orang-orang jahat duduk
jauh di atas jangkauan kemarahan bumi, semakin dekat me-
reka dengan pembalasan sorga.
(3) sebab ketajaman matanya (ay. 32): dari jauh matanya meng-
amat-amati, bukan ke atas, namun ke bawah, mengintai mang-
sanya. Dalam hal ini ia yaitu sebuah gambaran dari orang fa-
sik, yang, sementara dalam pengakuan agamanya dia tampak
naik menuju sorga, menjaga mata dan hatinya mengamati mang-
sa di bumi, mengamati keuntungan duniawi, rumah janda atau
yang lain yang berharap untuk ditelannya, di balik topeng kesa-
lehannya.
(4) sebab caranya memelihara diri sendiri dan anak-anaknya. Ia
memangsa hewan-hewan yang masih hidup, yang ditangkap
dan dirobek-robeknya, lalu dibawanya kepada anak-anaknya,
dan diajarinya untuk menghirup darah. Mereka melakukannya
melalui naluri dan tidak tahu cara yang labih baik. Namun
bagi manusia yang memiliki akal budi dan hati nurani untuk
haus akan darah yaitu sesuatu yang sukar untuk dipercaya
jika tidak ada contoh hal yang demikian di setiap zaman. Ia
juga memangsa mayat manusia: Di mana ada yang tewas, di
situlah dia. Burung-burung pemangsa ini dalam arti tertentu
melebihi kuda, ayat 28, dari jauh sudah diciumnya perang. Ka-
rena itu, saat suatu pembantaian besar harus terjadi di
antara para musuh jemaah, burung-burung diundang kepada
perjamuan Allah, perjamuan yang besar, untuk makan daging
semua raja dan daging semua panglima (Why. 19:17-18). Juru-
selamat kita merujuk kepada naluri dari rajawali ini (Mat.
24:28). Di mana ada bangkai, di situ burung nazar berkerumun.
Setiap makhluk ciptaan akan memburu apa yang menjadi ma-
kanannya. Sebab Ia yang menyediakan makanan bagi makh-
luk ciptaan telah menanamkan ke dalam mereka kecenderung-
an yang demikian. Semua ini dan masih banyak contoh dari
kekuatan dan kecerdasan alamiah ini di dalam makhluk-
makhluk ciptaan yang lebih rendah, yang tidak dapat kita
jelaskan, mewajibkan kita untuk mengakui kelemahan dan ke-
bodohan kita sendiri serta harus memberi kemuliaan kepada
Allah sebagai sumber segala keberadaan, kuasa, hikmat, dan
kesempurnaan.
PASAL 40
alam pasal sebelumnya, Allah mengajukan banyak pertanyaan
tak terduga untuk merendahkan hati Ayub. Sekarang, dalam
pasal ini,
I. Allah menuntut jawaban (39:34-35).
II. Ayub merendahkan diri dengan menutup mulut (39:36-38).
III. Untuk menyadarkan Ayub, Allah terus menantang dia de-
ngan mengemukakan jarak dan perbedaan yang tak terbatas
antara Ayub dan Allah, yang menunjukkan bahwa ia sama
sekali bukan tandingan-Nya. Allah menantang Ayub (40:1-2)
untuk melawan Dia dalam hal keadilan (40:3), kekuatan (40:4),
keagungan (40:5), dan kekuasaan atas orang-orang congkak
(40:6-7). Kemudian Allah memberikan contoh kekuasaan-Nya
atas salah satu jenis binatang yang disebut “Behemot” (40:10-
19).
Ayub Merendahkan Diri
(39:34-38)∗
34 Maka jawab TUHAN kepada Ayub: 35 “Apakah si pengecam hendak ber-
bantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!”
36 Maka jawab Ayub kepada TUHAN: 37 “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina;
jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan
tangan. 38 Satu kali aku berbicara, namun tidak akan kuulangi; bahkan dua
kali, namun tidak akan kulanjutkan.”
∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Pasal 40:1-5 versi KJV
dijumpai pada pasal 39:34-38 versi LAI. Versi KJV pasal 40 terdiri atas 24 ayat (40:1-24)
sedangkan pada versi LAI pasal 40 terdiri atas 28 ayat (40:1-28) – ed.
Dalam ayat-ayat di atas terdapat,
I. Tantangan Allah kepada Ayub untuk merendahkannya. Setelah
melontarkan banyak pertanyaan sukar kepada Ayub, untuk me-
nunjukkan bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang cara kerja
alam, dan sebab itu ia sama sekali tidak pantas menghakimi
cara dan rancangan Sang Penyelenggara, kini Allah menuntaskan
pertanyaan-Nya dengan satu tuntutan lagi, yang berfungsi sebagai
penerapan dari semuanya. Tampaknya Allah sempat berhenti
sejenak, seperti Elihu, guna memberi waktu kepada Ayub untuk
menjawab atau memikirkan perkataan Allah. Namun, Ayub begitu
kalut hingga ia tetap diam, sehingga Allah menyuruh dia men-
jawab (39:34-35). Tidak disebutkan bahwa sabda Allah yang ini
diucapkan dari dalam badai, seperti sebelumnya. Oleh sebab itu,
sebagian penafsir beranggapan bahwa Allah mengatakannya de-
ngan suara yang tenang dan pelan, yang lebih menempelak bagi
Ayub daripada suara badai, sama seperti yang dialami Elia (1Raj.
19:12-13). Pengajaranku menitik laksana hujan dan barulah ia
mengadakan keajaiban. Meskipun Ayub tidak mengatakan apa
pun, Alkitab menuliskan bahwa Allah menjawab dia, sebab Ia me-
ngetahui isi pikiran manusia dan dapat memberikan jawaban yang
tepat atas diamnya mereka. Di sini,
1. Allah mengajukan satu pertanyaan teguran kepada Ayub,
“Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Maha-
kuasa? Masakan engkau mengajari Allah tentang hikmat, atau
mengatur kehendak-Nya? Haruskah Allah menerima perintah
dari setiap penggerutu dan mengubah keputusan-Nya untuk
menyenangkan mereka?” Pertanyaan itu merupakan sindiran.
Masakan kepada Allah diajarkan orang pengetahuan? (21:22).
Secara tersirat, artinya orang yang berbantah dengan Allah
sama dengan hendak mengajar Dia bagaimana seharusnya be-
kerja. Bila kita berbantah dengan sesama manusia yang tidak
bekerja dengan baik, kita mengajari mereka bagaimana mela-
kukannya. Namun, masakan manusia hendak mengajari Pem-
buatnya? Barang siapa berbantah dengan Allah patut diang-
gap sebagai musuh-Nya. Masakan ia berlagak akan menang
dalam perbantahan itu dan berhasil mengatur Allah? Kita
tidak tahu apa-apa, jarak pandang kita pendek, namun di ha-
dapan Allah, segala sesuatu telanjang dan terbuka. Kita ada-
lah makhluk ciptaan yang bergantung, namun Dia Pencipta
yang berdaulat, masakan kita hendak mengajari-Nya? Bebe-
rapa tafsiran membaca ayat 35 (KJV) sebagai, “Apakah bijak
jika engkau berbantah dengan Yang Mahakuasa?” Jawabannya
mudah, Tidak. Justru itulah kebodohan terbesar di dunia.
Bijakkah bila kita berbantah dengan Dia, padahal sudah jelas
bahwa kita pasti binasa bila menentang-Nya dan sudah jelas
bahwa kita wajib tunduk kepada-Nya?
2. Allah menuntut jawaban segera atas pertanyaan-Nya, “Hen-
daklah yang mencela Allah menjawab sesuai dengan nurani-
nya, dan jawablah demikian, ‘Jauhlah dari padaku untuk me-
ngecam atau berbantah dengan Yang Mahakuasa.’ Jawablah
semua pertanyaan-Ku, jika engkau dapat. Jawablah sebab
kelancangan dan keangkuhanmu, jawablah di hadapan peng-
adilan Allah, dan mari kita lihat kalau engkau tidak kebi-
ngungan dan hilang akal.” Barang siapa mencela segala firman
atau perbuatan Allah, dia memandang dirinya terlalu tinggi
dan merendahkan Allah.
II. Ayub merendahkan dirinya. Kini Ayub sadar dan mulai luluh da-
lam penyesalan yang saleh. Saat teman-temannya berdebat de-
ngannya, ia tidak menyerah, namun suara Tuhan itu penuh kuasa.
Kalau Roh Kebenaran datang, Ia akan menginsafkan dunia. Saha-
bat-sahabat Ayub menuduhnya orang fasik, Elihu juga berbicara
tajam kepadanya (34:7-8, 37). Akan namun , Allah tidak mengucap-
kan perkataan keras semacam itu. Adakalanya kita boleh berharap
perlakuan Allah lebih baik dan teguran-Nya atas perbuatan kita
lebih tulus daripada teman-teman kita. Di sini kita lihat orang saleh
itu tunduk dan menyerahkan diri sebagai tawanan anugerah Allah.
1. Ayub mengakui pelanggarannya dan tidak mengatakan apa-
apa untuk membenarkan diri (39:37), “Sesungguhnya, aku ini
terlalu hina, bukan hanya remeh dan rendahan, namun juga
hina dan menjijikkan di mataku sendiri.” Ayub sekarang sadar
bahwa ia telah berdosa, sebab itu ia menyebut dirinya hina.
Dosa merendahkan martabat kita, dan orang yang bertobat
merendahkan diri, mencela dirinya, serta merasa malu teramat
sangat. “Aku telah berbuat tidak pantas terhadap Bapaku,
tidak tahu berterima kasih kepada yang memberkati aku, dan
bertindak bodoh terhadap diri sendiri. Betapa hinanya aku
ini.” Sekarang Ayub menghinakan dirinya seperti ia telah
membenarkan dan membesarkan diri sebelumnya. Pertobatan
mengubah cara pandang seseorang tentang dirinya sendiri.
Ayub terlalu berani menuntut bicara dengan Allah, dan ber-
pikir dapat membela diri di hadapan-Nya. Namun, kini ia
sadar akan kesalahannya dan mengakui dirinya sama sekali
tidak mampu berdiri di hadapan Allah atau memberikan alas-
an apapun yang layak diperhatikan-Nya. Dia hanyalah cacing
kotoran yang merayap di tanah milik Allah. saat teman-
temannya berbicara kepadanya, ia membantah, sebab ia me-
rasa setara dengan mereka. Namun, saat Allah yang ber-
bicara kepadanya, ia terdiam, sebab dibandingkan dengan-
Nya, ia memandang dirinya bukan siapa-siapa, bahkan lebih
rendah dari apa pun, lebih buruk dari apa pun, ia hanyalah
kesia-siaan dan kehinaan. Oleh sebab itu, katanya, “Jawab
apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu?” Allah menuntut
jawaban (39:35), maka sekarang Ayub memberikan alasan
mengapa ia bungkam. Bukan sebab kesal, namun ia sudah
insaf bahwa dirinya bersalah. Orang yang sungguh-sungguh
menyadari keberdosaan dan kehinaannya tidak akan berani
membenarkan diri di hadapan Allah, sebaliknya mereka malu
atas apa yang pernah mereka pikirkan, dan sebagai wujud
rasa malu itu, mereka menutup mulut.
2. Ayub berjanji tidak akan bersikap lancang lagi seperti sebe-
lumnya, sebab Elihu telah mengatakan kepadanya bahwa
ucapan itu seharusnya dihadapkan kepada Allah. Saat kita
teledor dalam perkataan, kita harus bertobat, bukan meng-
ulanginya atau tetap bersikeras mempertahankannya. Ayub
menyuruh dirinya diam (39:37), “Mulutku kututup dengan
tangan untuk mengekangnya dan menekan segala kemarahan
yang mungkin timbul dalam benakku, serta menahan agar
pikiran-pikiran itu tidak tertumpah dalam perkataan yang
kurang ajar.” Berpikir keliru pun sudah buruk, namun berkata
keliru lebih buruk lagi, sebab berkata keliru sama dengan
mengizinkan pikiran jahat dan memberinya imprimatur – du-
kungan. Berbicara keliru menyebarluaskan fitnah. Itu sebab-
nya, bila engkau menyombongkan diri tanpa atau dengan ber-
pikir, tekapkanlah tangan pada mulut, jangan biarkan perkata-
an itu berlanjut (Ams. 30:32). Itu akan membuktikan bahwa
engkau tidak mengizinkan pikiranmu yang salah terus ber-
kembang. Ayub telah mengeluarkan pikiran-pikiran jahatnya
keluar, “Satu kali aku berbicara, bahkan dua kali,” artinya
pada waktu yang berbeda, dalam beberapa tutur kata. Namun,
sudah selesai, tidak akan kuulangi. Aku tidak akan memper-
tahankan ucapanku itu atau mengulanginya lagi, tidak akan
kulanjutkan.” Dari situ, perhatikanlah apa arti pertobatan
sejati, yakni
(1) Meralat kesalahan kita dan mengubah prinsip keliru yang
mendasari perbuatan kita. Apa yang selama ini telah kita
pertahankan habis-habisan, sekali, bahkan dua kali, harus
ditarik kembali begitu kita sadar bahwa itu salah. Kita
tidak boleh lagi hidup dengan dasar pikiran itu, sebaliknya
merasa malu sebab telah menganutnya begitu lama.
(2) Berbalik dari setiap jalan menyimpang dan tidak menerus-
kannya walau selangkah saja. “Aku tidak akan menambahi-
nya. Aku tidak akan lagi mengumbar nafsuku begitu rupa
lagi, membiarkan diriku terlalu bebas berbicara, dan tidak
akan lagi mengulangi perkataan dan perbuatanku.” Kalau
kita belum mengambil sikap yang demikian, kita belum
benar-benar bertobat. Selanjutnya, perhatikanlah, orang
yang berbantah dengan Allah pada akhirnya akan dibung-
kam. Ayub sangat berani dan gigih menuntut bicara de-
ngan Allah, ia berbicara terlalu lancang hendak membela
perkaranya dan terlalu yakin bahwa ia akan dibenarkan.
“Selaku pemuka aku akan menghadap Dia” (31:37), kata
Ayub, dan “Boleh datang ke tempat Ia bersemayam” (23:3).
Namun, Ayub segera merasakan akibatnya. Ia mencabut
tuntutannya dan tidak menjawab. “Ya Tuhan, pada-Mulah
segala hikmat dan kebenaran, aku telah berbuat bodoh dan
fasik dalam meragukan semua itu.”
Keadilan dan Kekuatan Ilahi;
Kekuasaan Allah Atas Orang Congkak
(40:1-9)∗
1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub: 2 “Bersiaplah engkau seba-
gai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau memberitahu Aku. 3 Apa-
kah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku su-
paya engkau dapat membenarkan dirimu? 4 Apakah lenganmu seperti lengan
Allah, dan dapatkah engkau mengguntur seperti Dia? 5 Hiasilah dirimu de-
ngan kemegahan dan keluhuran, kenakanlah keagungan dan semarak! 6 Luap-
kanlah marahmu yang bergelora; amat-amatilah setiap orang yang congkak
dan rendahkanlah dia! 7 Amat-amatilah setiap orang yang congkak, tunduk-
kanlah dia, dan hancurkanlah orang-orang fasik di tempatnya! 8 Pendamlah
mereka bersama-sama dalam debu, kurunglah mereka di tempat yang ter-
sembunyi. 9 Maka Aku pun akan memuji engkau, sebab tangan kananmu
memberi engkau kemenangan.”
Ayub telah sangat dipermalukan oleh sabda Allah sebelumnya, namun
belum cukup. Ia telah direndahkan, namun belum cukup rendah. Oleh
sebab itu, dalam ayat-ayat di atas, Allah melanjutkan debat-Nya de-
ngan cara dan tujuan yang sama seperti sebelumnya (40:1). Perhati-
kanlah,
1. Barang siapa menerima dengan semestinya apa yang didengarnya
dari Allah serta memanfaatkannya, ia akan mendengar lebih ba-
nyak lagi dari-Nya.
2. Barang siapa sungguh-sungguh insaf akan dosa dan menyesali-
nya, ia masih perlu disadarkan lebih banyak lagi dan dibuat me-
nyesal lebih dalam lagi. Orang yang tengah diinsafkan, yang meli-
hat dosa-dosanya dengan jelas dan hancur hati sebab nya, harus
belajar untuk tidak terlalu cepat berpuas diri. Keinsafan itu ber-
langsung tidak ada habisnya sampai tiba waktunya nanti, dan ka-
rena itu kita perlu bersiap untuk merendahkan diri begitu dalam
agar luka bisa diselidiki sampai ke dasar hati dan tidak terlewat-
kan. Juga supaya kita tidak terburu-buru keluar dari tindakan
menginsafkan diri. Saat hati kita mulai luluh dan melunak, hen-
daklah kita tetap tinggal dalam kesadaran itu dan mengejarnya,
sehingga dampak pertobatannya lebih mujarab dan menyeluruh.
Allah memulai dengan sebuah tantangan (40:2), sama seperti
sebelumnya (38:3), “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki. Kalau
engkau sungguh memiliki keberanian dan keyakinan seperti kata-
∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 6-14 versi KJV dijumpai
pada ayat 1-9 versi LAI – ed.
mu, tunjukkanlah sekarang. Namun, sebentar lagi engkau akan
melihat dan mengakui bahwa engkau bukan tandingan-Ku.” Ke-
rendahan inilah yang harus diperbuat terhadap setiap hati yang
congkak pada akhirnya, baik dengan pertobatan maupun dengan
kehancuran. Begitulah setiap gunung dan bukit cepat atau lam-
bat akan direndahkan. Kita harus mengakui bahwa,
I. Kita tidak mampu bersaing melawan keadilan Allah. Tuhan itu
benar dan kudus dalam segala tindakan-Nya terhadap kita, se-
mentara kita ini berdosa dan cemar dalam perlakuan kita ter-
hadap Dia. Ada berlimpah kesalahan yang harus kita salahkan
kepada diri sendiri, dan tidak ada sesuatu pun kesalahan yang
bisa kita limpahkan kepada-Nya (40:3), “Apakah engkau hendak
meniadakan pengadilan-Ku? Akankah engkau menemukan hal-hal
yang menyimpang pada apa yang Aku katakan dan lakukan, dan
membuat laporan kesalahannya, untuk menyatakan penghakim-
an-Ku itu keliru dan tidak adil?” Banyak keluh kesah Ayub me-
ngandung nada seperti, “Aku berseru minta tolong, namun tidak ada
yang menjawab” (19:7). Namun, perkataan seperti itu sama sekali
tidak pantas dibiarkan. Penghakiman Allah tidak dapat dan tidak
boleh dibatalkan, sebab kita yakin bahwa semua itu berdasar
pada kebenaran. Itu sebabnya, mempertanyakan keadilan Allah
yaitu lancang dan fasik. Firman-Nya, “Apakah engkau hendak
mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu?
Haruskah Aku mengorbankan kehormatan-Ku demi mendukung
nama baikmu? Haruskah Aku dituduh berbuat tidak adil terha-
dapmu, sebab engkau tidak dapat membersihkan diri dari ke-
caman?” Kita sepatutnya menyalahkan diri sendiri, sehingga Allah
terbukti benar. Daud pun rela mengakui kejahatan yang diper-
buatnya di hadapan Allah, supaya ternyata Engkau adil dalam pu-
tusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu (Mzm. 51:6; Lih. Neh.
9:33; Dan. 9:7). Sebaliknya, barang siapa menyalahkan Allah demi
membenarkan diri sendiri sangatlah sombong dan tidak tahu apa-
apa tentang Allah maupun tentang dirinya. Dan waktunya akan
tiba saat kesalahan tidak dapat lagi diperbaiki dengan pertobat-
an, maka penghakiman kekal akan mengacaukan segala dalih
dan membingungkan para tahanan, sebab sorga akan menyata-
kan kebenaran Allah dan seluruh dunia terbukti bersalah di
hadapan-Nya.
II. Kita tidak mampu bersaing melawan kekuatan Allah. Menentang
Dia yaitu kefasikan dan kelancangan besar. Hal itu bertentang-
an dengan akal sehat dan keadi