Tampilkan postingan dengan label ayub 31. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 31. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 31

 


ing 

bintang-bintang yang letaknya begitu jauh. saat  awan mencurah-

kan hujan lebat, sehingga debu membeku menjadi tanah liat, dan 

gumpalan tanah berlekat-lekatan (ay. 38), siapa dapat mencurah-

kan tempayan-tempayan langit? Siapa yang dapat menghentikan 

awan sehingga hujan tidak turun terus-menerus? Kuasa dan ke-

baikan Allah dalam hal ini perlu diakui, bahwa Ia memberikan 

cukup hujan kepada bumi, namun  tidak membuatnya jenuh de-

ngan hujan. Ia membuat bumi lembek, namun  tidak menenggelam-

kannya. Ia membuat tanah siap dibajak, dan siap untuk ditanami 

benih. Sama seperti kita tidak dapat memerintahkan hujan turun, 

begitu juga kita tidak dapat memerintahkan supaya cuaca bagus 

tanpa Allah. Begitu perlu dan begitu terus-menerusnya ketergan-

tungan kita kepada Allah. 

V. Allah menyediakan makanan bagi makhluk-makhluk yang lebih 

rendah, dan oleh penyelenggaraan-Nyalah, bukan oleh pemeliha-

raan atau jerih payah kita, mereka diberi makan. Pasal berikut 

seluruhnya membahas contoh-contoh tentang kuasa dan kebaik-

an Allah menyangkut hewan, dan oleh sebab itu beberapa penaf-

sir memindahkan ketiga ayat terakhir pasal ini ke pasal berikut. 

Ketiga ayat tersebut berbicara tentang persediaan yang dibuat, 

1. Untuk singa (39:1-2). “Dapat saja engkau beralasan bahwa 

awan dan bintang bergantung kepadamu, sebab mereka ber-

ada jauh di atasmu. Namun, di bumi engkau menganggap diri-

mu paling tinggi. Oleh sebab  itu mari kita mengujinya: Dapat-

kah engkau memburu mangsa untuk singa betina? Engkau 

menganggap diri hebat sebab  pernah memiliki berlimpah ter-

nak, lembu sapi, keledai, dan unta, yang diberi makan di pa-

lunganmu. namun  dapatkah engkau memelihara singa-singa, 

dan singa-singa muda, kalau mereka merangkak di dalam sa-

rangnya menantikan mangsa? Tidak, engkau tidak perlu mela-

kukannya. Mereka mampu mengurus diri sendiri tanpa ban-

tuanmu: engkau tidak dapat melakukannya, sebab engkau ti-

dak memiliki sarana untuk memuaskan mereka. Engkau tidak 

berani melakukannya. Kalaupun engkau datang untuk mem-

beri mereka makan, mereka akan menerkammu. Sebaliknya, 

Aku mampu melakukannya.” Lihatlah kecukupan sempurna 

penyelenggaraan Allah: Ia memiliki sarana untuk memuaskan 

selera setiap makhluk hidup, bahkan yang paling rakus sekali-

pun. Lihatlah kelimpahan penyelenggaraan ilahi, sehingga di 

mana pun juga ia memberi hidup, di sana pula ia memberi 

penghidupan, bahkan kepada makhluk-makhluk yang tidak 

saja tidak bermanfaat, namun  juga yang berbahaya bagi manu-

sia. Dan lihatlah kedaulatan Penyelenggaraan-Nya, sehingga ia 

membiarkan sebagian makhluk dibunuh demi menyokong hi-

dup makhluk-makhluk lain. Domba yang tidak menyakiti di-

cabik-cabik untuk memuaskan selera singa-singa muda, yang 

adakalanya dibuat kekurangan dan menderita kelaparan un-

tuk menghukum kekejaman mereka, sementara orang-orang 

yang takut akan Allah tidak kekurangan apa pun. 

2. Untuk anak-anak burung gagak (39:3). Sama seperti hewan-

hewan buas rakus, begitu pula burung rakus ini diberi makan 

oleh Penyelenggaraan Allah. Siapa selain Allah yang menyedia-

kan mangsa bagi burung gagak? Bukan manusia. Manusia 

hanya memelihara makhluk-makhluk yang memang, atau 

mungkin bermanfaat baginya. namun  Allah memperhatikan se-

mua hasil karya tangan-Nya, bahkan yang paling rendah dan 

tidak berharga sekalipun. Terutama anak-anak burung gagak 

sangat perlu makanan, dan Allah memenuhi kebutuhan mere-

ka (Mzm. 147:9). Cara Allah memberi makan burung-burung, 

terutama burung-burung ini (Mat. 6:26), sungguh menguatkan 

hati kita untuk mempercayai Dia bagi makanan kita sehari-

hari. Lihatlah di sini, 

(1) Betapa mengenaskan keadaan yang sering menimpa anak-

anak burung gagak yang berkeliaran sebab  tidak ada ma-

kanan. Kata orang, burung-burung gagak yang sudah de-

wasa menelantarkan anak-anak mereka, dan tidak menye-

diakan makanan seperti yang dilakukan burung-burung 

lain bagi anak-anak mereka. Sungguh benar bahwa orang-

orang yang rakus terhadap orang lain, biasa bersikap ke-

jam dan tidak wajar terhadap anak-anak mereka sendiri. 

(2) Apa yang terpaksa mereka lakukan dalam kesesakan itu: 

mereka berkaok-kaok, sebab mereka memang tergolong 

makhluk-makhluk berisik, dan hal ini diartikan sebagai ber-

seru-seru kepada Allah. sebab  merupakan seruan alam, 

seruan ini dipandang sebagai ditujukan kepada Allah alam 

semesta. Jeritan anak-anak burung gagak ini sangatlah 

menghibur untuk mendorong kita supaya berdoa, meski-

pun kita hanya dapat berseru, ya Abba, ya Bapa!. 

(3) Apa yang dilakukan Allah bagi mereka. Dengan satu atau 

lain cara, Ia menyediakan makanan bagi mereka, supaya 

mereka bisa tumbuh besar, dan menjadi dewasa. Dan Dia 

yang memperhatikan anak-anak burung gagak tentu tidak 

akan membiarkan umat-Nya dan anak-anak mereka keku-

rangan. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh 

belas kasihan Allah, untuk memberi kita alasan untuk me-

renungkan betapa banyak kebaikan yang dikerjakan Allah 

kita, setiap hari, melebihi apa yang kita sadari. 

 

 

 

  

PASAL 39  

llah melanjutkan di sini untuk menunjukkan kepada Ayub be-

tapa tidak beralasan baginya untuk menuduh Dia tidak berbaik 

hati, padahal begitu besar kasih-Nya kepada makhluk ciptaan yang 

lebih rendah hingga memperhatikan mereka dengan begitu baik. Ia 

juga menginsafkan Ayub untuk tidak membual tentang diri sendiri 

dan perbuataan baiknya di hadapan Allah, yang tidak ada apa-apa-

nya dibandingkan belas kasih ilahi. Ia juga menunjukkan kepada 

Ayub betapa besar alasannya bagi dia untuk merendahkan diri, ka-

rena begitu sedikit yang ia ketahui tentang kodrat dan seluk-beluk 

makhluk ciptaan di sekelilingnya, apalagi sampai memiliki pengaruh 

atas mereka. Dan sebab  itu ia haruslah tunduk kepada Allah yang 

kepada-Nya semua makhluk itu bergantung. Allah secara khusus 

berbicara mengenai,  

I. Kambing gunung dan rusa betina (ay. 4-7).  

II. Keledai liar (ay. 8-11).  

III. Lembu hutan (ay. 12-15).  

IV. Burung merak (ay. 16, KJV).  

V. Burung unta (ay. 16-21).  

VI.  Kuda (ay. 22-28).  

VII. Burung elang dan rajawali (ay. 29-33). 


Ketakacuhan Manusia terhadap Binatang, 

Gambaran tentang Kambing Gunung, 

Rusa Betina, dan Lembu Hutan 

(39:4-15)∗ 

4 Apakah engkau mengetahui waktunya kambing gunung beranak, atau meng-

amat-amati rusa waktu sakit beranak? 5 Dapatkah engkau menghitung berapa 

lamanya sampai genap bulannya, dan mengetahui waktunya beranak? 6 De-

ngan membungkukkan diri mereka melahirkan anak-anaknya, dan mengeluar-

kan isi kandungannya. 7 Anak-anaknya menjadi kuat dan besar di padang, me-

reka pergi dan tidak kembali lagi kepada induknya. 8 Siapakah yang mengum-

bar keledai liar, atau siapakah yang membuka tali tambatan keledai jalang?  

9 Kepadanya telah Kuberikan tanah dataran sebagai tempat kediamannya dan 

padang masin sebagai tempat tinggalnya. 10 Ia menertawakan keramaian kota, 

tidak mendengarkan teriak si penggiring; 11 ia menjelajah gunung-gunung pa-

dang rumputnya, dan mencari apa saja yang hijau. 12 Apakah lembu hutan 

mau takluk kepadamu, atau bermalam dekat palunganmu? 13 Dapatkah eng-

kau memaksa lembu hutan mengikuti alur bajak dengan keluan, atau apakah 

ia akan menyisir tanah lembah mengikuti engkau? 14 Percayakah engkau kepa-

danya, sebab  kekuatannya sangat besar? Atau kauserahkankah kepadanya 

pekerjaanmu yang berat? 15 Apakah engkau menaruh kepercayaan kepadanya, 

bahwa ia akan membawa pulang hasil tanahmu, dan mengumpulkannya di 

tempat pengirikanmu? 

Allah di sini menunjukkan kepada Ayub betapa sedikit yang diketa-

huinya tentang binatang liar yang berlarian liar di padang gurun dan 

hidup sesuka hatinya, namun tetap dipelihara oleh Penyelenggaraan 

ilahi. Seperti,  

I. Kambing gunung dan rusa betina. Yang diperhatikan tentang me-

reka yaitu  saat melahirkan dan membesarkan anak-anak mere-

ka. Sebab, seperti setiap makhluk diberi makan, demikian pula 

setiap jenis binatang dipelihara, oleh perhatian dari Penyeleng-

garaan ilahi, dan, sebagaimana kita ketahui, tak satu pun yang 

punah hingga hari ini. Amatilah di sini,  

1. Mengenai kelahiran anak-anak mereka,  

(1) Manusia sepenuhnya acuh tak acuh tentang waktu saat  

mereka melahirkan (ay. 4-5). Akankah kita berlagak tahu 

apa yang ada di dalam rahim Sang Penyelenggara atau apa 

yang akan didatangkan oleh suatu hari, sedangkan waktu

                                                 

∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Pasal 39:1-4 versi KJV dijumpai 

pada pasal 39:4-7 versi LAI. Versi KJV pasal 39 terdiri atas 30 ayat (39:1-30) sedangkan pada 

versi LAI pasal 39 terdiri atas 38 ayat (39:1-38) – ed. 

 mengandung dari seekor rusa betina atau seekor kambing 

gunung saja kita tidak tahu?  

(2) Kendati mereka melahirkan anak-anak mereka dengan ba-

nyak kesulitan dan penderitaan, dan tidak ada bantuan 

dari manusia, namun, oleh penyelenggaraan yang baik dari 

Allah, anak-anak mereka dapat dilahirkan dengan selamat, 

dan penderitaan mereka hilang dan dilupakan (ay. 3). Be-

berapa penafsir mengartikannya bahwa Allah melalui ban-

tuan guntur menolong rusa betina melahirkan anak (Lih. 

Mzm. 29:9). Kiranya diamati, untuk kelegaan perempuan 

yang melahirkan, bahwa Allah bahkan menolong rusa be-

tina untuk melahirkan anak mereka. Maka tidakkah Allah 

jauh lebih menolong perempuan dan menyelamatkan me-

reka dalam melahirkan anak, yang merupakan anak-anak 

kovenan dengan Dia?  

2. Mengenai pertumbuhan anak-anak mereka (ay. 7): Anak-anak-

nya menjadi kuat dan besar. Meskipun mereka dilahirkan da-

lam kesusahan, namun setelah induk mereka menyusuinya 

sebentar, mereka menyingkir ke ladang-ladang gandum, dan 

tidak menjadi beban lagi bagi induknya. Ini menjadi teladan 

bagi anak-anak manusia, supaya saat  mereka bertumbuh 

besar, jangan selalu bergantung pada orangtua mereka dan 

meminta-minta dari mereka, melainkan berdiri sendiri untuk 

mencari penghidupan sendiri dan membalas jasa orangtua 

mereka.  

II. Keledai liar, ciptaan yang sering kita baca di dalam Alkitab, yang 

dikatakan oleh sebagian orang sebagai liar. Manusia dikatakan 

dilahirkan bagaikan  keledai liar, sangat sulit diatur. Dua hal yang 

dikaruniakan oleh Penyelenggaraan kepada keledai liar:  

1. Sebuah kebebasan yang tanpa ikatan (ay. 8):  Siapakah selain 

Allah yang mengumbar keledai liar? Allah telah memberinya 

suatu sifat, maka Ia juga memberinya izin untuk itu. Keledai 

yang jinak terikat untuk bekerja. namun  keledai liar tidak ada 

ikatan. Perhatikanlah, kebebasan dari tugas dan kebebasan 

untuk bersenang-senang yaitu  hak istimewa yang dipunyai 

seekor keledai liar. Amat disayangkan bahwa anak-anak ma-

nusia harus merindukan kebebasan yang demikian atau me-

mantaskan diri untuk hal itu. Lebih baik bekerja dan berguna 

daripada berkeliaran tanpa bermanfaat. Namun jika di antara 

manusia, Penyelenggaraan ilahi memberikan sebagian orang 

kebebasan dan membiarkan mereka hidup bersenang-senang, 

sementara yang lain ditakdirkan untuk menderita, janganlah 

kita heran akan hal itu: begitulah juga yang terjadi di antara 

makhluk-makhluk yang kasar.  

2. Sebuah tempat tinggal terbuka (ay. 9): padang masin sebagai 

tempat tinggalnya, di mana ia memiliki cukup ruang untuk 

berjalan mondar-mandir dan menghirup udara untuk kese-

nangannya, sebagaimana yang memang dilakukan oleh keledai 

liar (Yer. 2:24), seolah-olah ia harus hidup bergantung pada 

udara, sebab itu yaitu  padang masin (tandus – pen.), yaitu 

tempat tinggalnya. Amatilah, keledai yang jinak, yang bekerja 

dan berguna bagi manusia, diberi palungan (tempat makan) 

oleh tuannya untuk berlindung dan mendapat makanan serta 

tinggal di tanah yang subur: namun  keledai liar, yang memiliki 

kebebasannya, harus hidup di tanah yang tandus. Orang yang 

tidak bekerja, janganlah ia makan. Orang yang bekerja biarlah 

makan dari tangannya dan juga memenuhi segala kebutuhan-

nya. Yakub, si gembala, memiliki sup kacang merah yang baik 

untuk persediaannya, sedangkan Esau, seorang pemburu, 

nyaris binasa sebab  kelaparan. Penjelasan lebih lanjut ten-

tang kebebasan dan kehidupan keledai liar kita temukan da-

lam ayat 10-11.  

(1) Ia tidak mempunyai pemilik atau tunduk kepada siapa 

pun: Ia menertawakan keramaian kota. Kalau orang ber-

usaha untuk menangkapnya lalu mengepungnya, ia akan 

segera lari, dan teriak si penggiring tidak didengarkannya. 

Ia menertawakan orang-orang yang hidup di tengah kera-

maian dan hiruk pikuk kota (demikian kata Uskup Patrick), 

ia menganggap dirinya lebih bahagia di hutan belantara.  

(2) Tanpa pemilik, maka tidak ada yang memberinya makan 

atau perbekalan, melainkan harus mencari sendiri: Gunung-

gunung yaitu  padang rumputnya, dan tandus padang itu. 

Di sanalah ia mencari apa saja yang hijau, sedapat mung-

kin dan mengambilnya. Sedangkan keledai yang bekerja 

memiliki segala sesuatu yang hijau secara berlimpah, tanpa 

harus mencarinya. Dari binatang liar ini dan binatang lain-


nya kita dapat menyimpulkan betapa tidak patut kita harus 

memberi hukum kepada Sang Penyelenggara, yang tidak 

dapat memberi hukum bahkan kepada seekor keledai liar.  

III. Lembu hutan, atau rhem, seekor makhluk yang kuat (Bil. 23:22), 

kekar dan sombong (Mzm. 92:11; TB: banteng). Ia sanggup untuk 

melayani namun  tidak mau. Dan Allah di sini menantang Ayub jika 

ia mampu memaksanya bekerja. Ayub berharap segala sesuatu 

seharusnya berjalan sesuai dengan yang diinginkannya. “sebab  

engkau berlagak”, kata Allah, “mampu membawa segala sesuatu 

mengikuti pengaruhmu, maka cobalah lembu hutan dan mari kita 

lihat keahlianmu. Kini sebab  semua lembu sapi dan keledaimu 

telah hilang, maka cobalah apakah lembu hutan dapat mela-

yanimu sebagai gantinya (ay. 12) dan apakah ia akan puas de-

ngan persediaan yang biasa engkau berikan kepada segala lembu 

sapi dan keledaimu dahulu: Akankah ia bermalam dekat palung-

anmu? Tidak.”  

1. “Engkau tidak mampu menjinakkannya, atau memaksanya 

mengikuti alur bajak, atau memaksanya menyisir tanah lem-

bah” (ay. 13). Ada binatang yang bersedia untuk melayani 

manusia, yang senang melayani dan mencintai tuan mereka. 

namun  ada juga yang tidak akan pernah mau dibuat melayani 

manusia, sebagai akibat dosa. Manusia telah memberontak 

dari ketundukannya kepada Pembuatnya, dan sebab nya se-

cara adil dihukum dengan pemberontakan makhluk ciptaan di 

bawahnya dari ketundukan mereka kepadanya. Akan namun , 

seperti contoh dari kehendak baik Allah kepada manusia, ada 

sebagian binatang yang masih berguna baginya. Kendati lem-

bu hutan (yang menurut beberapa tafsiran yaitu  semacam 

binatang bertanduk) tidak akan mau melayaninya atau tunduk 

kepada tangannya di alur bajaknya, namun ada lembu yang 

jinak yang mau, dan binatang lain yang tidak ferae naturae – 

memiliki sifat liar, yang dapat dijadikan peliharaan manusia, 

yang untuknya dia menyediakan perbekalan dan yang berguna 

baginya. Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?  

2. “Engkau tidak berani memercayainya. Kendati kekuatannya 

sangat besar, namun engkau tidak akan menyerahkan pekerja-

anmu kepadanya, seperti yang engkau lakukan dengan keledai 

dan lembu sapimu, yang dapat dikendalikan bahkan oleh se-


orang anak kecil, dan membebankan kepadanya semua kesu-

sahan. Engkau tidak akan pernah bergantung kepada lembu 

hutan, yang tidak mungkin mau datang membantu pekerjaan 

panenmu, apalagi untuk membawa pulang hasil tanahmu, dan 

mengumpulkannya di tempat pengirikanmu” (ay. 14-15). Dan, 

sebab  ia tidak mau bekerja di sekitar ladang, maka ia tidak 

mendapat makanan sebaik sapi yang jinak, sebab  mulutnya 

tidak diberangus untuk menginjak hasil panen. Namun kare-

nanya ia tidak akan menarik bajak, sebab  tuan yang mem-

buatnya tidak pernah merancangnya untuk hal demikian. Sifat 

bekerja yaitu  karunia Allah seperti halnya kemampuan un-

tuk bekerja. Dan merupakan suatu anugerah yang besar jika, 

saat  Allah memberi kekuatan untuk melayani, Ia juga mem-

beri hati untuk melakukannya. Inilah yang harus kita doakan, 

yang harus kita pikirkan, sebab  binatang tidak dapat melaku-

kannya. Sebab, seperti di antara binatang, demikian pula di 

antara manusia, orang-orang yang tidak mau berjerih payah 

atau berbuat baik, pantas dianggap liar dan lebih baik dibuang 

saja ke padang gurun.  

Penjelasan tentang Burung Unta 

(39:16-21)∗ 

16 Dengan riang sayap burung unta berkepak-kepak, namun  apakah kepak 

dan bulu itu menaruh kasih sayang? 17 Sebab telurnya ditinggalkannya di 

tanah, dan dibiarkannya menjadi panas di dalam pasir, 18 namun  lupa, bahwa 

telur itu dapat terpijak kaki, dan diinjak-injak oleh binatang-binatang liar.  

19 Ia memperlakukan anak-anaknya dengan keras seolah-olah bukan anak-

nya sendiri; ia tidak peduli, kalau jerih payahnya sia-sia, 20 sebab  Allah 

tidak memberikannya hikmat, dan tidak membagikan pengertian kepadanya. 

21 Apabila ia dengan megah mengepakkan sayapnya, maka ia menertawakan 

kuda dan penunggangnya. 

Burung unta yaitu  seekor binatang yang indah, seekor burung yang 

besar, namun  tidak bisa terbang. Sebagian orang menyebutnya unta 

bersayap. Allah di sini memberi gambaran tentangnya dan amatilah, 

                                                 

∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 13-18 versi KJV dijumpai 

pada ayat 16-21 versi LAI – ed. 


I. Kesamaannya dengan burung merak, yaitu, sayapnya yang indah 

(ay. 16): Dengan riang sayap burung unta (KJV: burung merak) ber-

kepak-kepak, engkaukah itu yang memberinya sayap? Sayap-

sayap yang indah membuat burung menjadi sombong. Burung 

merak yaitu  lambang kesombongan. Pada waktu ia mengepak, 

dan memperlihatkan sayapnya yang indah, dan Salomo dalam 

segala kemuliaannya tidak dapat menandinginya. Burung unta 

juga memiliki bulu-bulu sayap yang bagus, namun  ia burung yang 

bodoh. Sebab hikmat tidak selalu berjalan bersama keindahan 

dan kegembiraan. Burung-burung lain tidaklah iri kepada burung 

merak atau burung unta sebab  warna mereka yang indah, juga 

tidak mengeluh sebab  kurang indah dari mereka. Lalu mengapa-

kah kita harus kesal jika kita melihat orang lain memakai pakaian 

yang lebih baik daripada yang dapat kita pakai? Allah mem-

berikan karunia-Nya secara berlainan dan karunia-karunia yang 

paling bernilai bukanlah yang tampil cemerlang. Siapakah yang 

tidak lebih menyukai suara dari burung bulbul daripada ekor 

burung merak, daripada mata burung elang dan sayapnya yang 

dapat membuatnya membumbung tinggi, dan kasih sayang dari 

burung bangau, daripada sayap dan bulu-bulu yang indah dari 

burung unta, yang tidak dapat pernah terangkat di atas bumi dan 

yang tak punya kasih sayang?  

II. Kekhususan dari burung unta,  

1. Tidak perduli terhadap anaknya. Untungnya sifat ini hanya di-

miliki si burung unta, sebab  sangat jelek. Amatilah,  

(1) Bagaimana dia membiarkan telurnya. Ia tidak pergi ke tem-

pat yang terpencil dan membuat sebuah sarang di sana, 

seperti yang dilakukan oleh burung pipit dan burung la-

yang-layang (Mzm. 84:4), dan bertelur dan menetaskan 

anaknya di sana. Kebanyakan burung, dan juga binatang 

yang lain, secara aneh dituntun oleh naluri alamiahnya 

dalam menyediakan perlindungan bagi anak-anaknya. Te-

tapi burung unta yaitu  suatu monster dalam hal sifat, 

sebab ia menjatuhkan telur-telurnya di mana saja di atas 

tanah dan tidak peduli untuk mengeraminya. Jika pasir 

dan matahari mengeraminya, baik dan baguslah itu. Me-

reka dapat membantunya, sebab ia tidak mau menghangat-


kan telurnya (ay. 17). Bahkan, ia tidak peduli untuk men-

jaga mereka: kaki pengelana dapat menginjak mereka, 

dan binatang-binatang liar menginjak-injak mereka (ay. 18). 

namun  lalu bagaimana sampai anak-anaknya dapat lahir 

dan mengapakah jenis burung ini tidak dapat punah? Kita 

harus menduga bahwa entah Allah, melalui suatu penye-

lenggaraan khusus, lewat panas matahari dan pasir (demi-

kian pikir sebagian orang), mengerami telur-telur yang ter-

abaikan dari burung unta itu, sama seperti Ia memberi ma-

kan anak-anak burung gagak, atau kendati burung unta 

sering meninggalkan telur-telurnya, namun  tidaklah selalu.  

(2) Alasan mengapa dia membiarkan telur-telurnya. Hal itu 

terjadi,  

[1] sebab  ia tidak punya kasih sayang (ay. 19): Ia memper-

lakukan anak-anaknya dengan keras seolah-olah bukan 

anaknya sendiri. Berlaku keras terhadap apa pun ada-

lah hal yang tidak patut, bahkan dalam diri binatang 

buas, apalagi pada makhluk ciptaan yang berakal budi  

yang membanggakan diri manusiawi. Terutama lagi jika 

berlaku keras terhadap yang muda, yang tidak sanggup 

menolong diri sendiri dan sebab nya butuh belas kasih-

an, yang tidak memberikan perlawanan sehingga tidak 

patut diperlakukan dengan kasar. Dan yang paling ja-

hat yaitu  berlaku keras terhadap anak-anak sendiri, 

seakan-akan mereka bukan anaknya, padahal mereka 

sungguh-sungguh bagian dari dirinya. Usaha burung 

unta untuk menetaskan telurnya sia-sia dan hilang per-

cuma, sebab  ia tidak memiliki rasa khawatir dan per-

hatian terhadap mereka. Orang sangat mungkin akan 

kehilangan usaha mereka jika sama sekali tidak kha-

watir akan kehilangan hasilnya.  

[2] sebab  kekurangan hikmat (ay. 20): sebab  Allah tidak 

memberikannya hikmat. Hal ini menyatakan bahwa ke-

cakapan yang dimiliki binatang lain untuk memelihara 

dan menjaga anak-anak mereka yaitu  karunia Allah, 

dan jika hal itu tidak ada, maka Allah memang tidak 

memberikannya, sehingga dengan kebodohan burung 

unta, serta hikmat semut, kita dapat belajar untuk men-

jadi bijaksana. Sebab,  


Pertama, Sama seperti tidak pedulinya burung unta 

terhadap telur-telur mereka, demikian pula begitu tidak 

pedulinya banyak orang terhadap jiwa mereka sendiri. 

Mereka tidak menyedikan perbekalan  bagi jiwa mereka, 

tempat tinggal yang aman baginya, dan membiarkannya 

terbuka terhadap Iblis dan segala godaannya. Dan ini me-

rupakan bukti pasti bahwa mereka kekurangan hikmat.  

Kedua, Begitu tidak pedulinya banyak orangtua ter-

hadap anak-anak mereka. Sebagian orangtua tidak pe-

duli terhadap tubuh anak-anak mereka, tidak meme-

lihara tempat tinggal bagi mereka, bagi perut mereka, 

dan sebab  itu lebih buruk lagi daripada orang kafir, 

dan sama buruknya dengan burung unta. namun  lebih 

banyak lagi yang tidak peduli terhadap jiwa anak-anak 

mereka, tidak peduli terhadap pendidikan mereka, me-

ngirim mereka ke luar negeri kepada dunia tanpa pe-

ngetahuan, tanpa dipersenjatai, lupa betapa rusaknya 

dunia ini oleh hawa nafsu, yang pasti akan menghan-

curkan mereka. Dengan demikian usaha mereka dalam 

membesarkan anak-anak mereka menjadi sia-sia. Lebih 

baik bagi negeri mereka seandainya anak-anak mereka 

tidak dilahirkan.  

Ketiga, betapa acuh tak acuhnya banyak hamba Tu-

han terhadap jemaatnya, yang harus mereka dampingi. 

Namun mereka meninggalkan jemaat begitu saja di 

bumi, dan lupa betapa sibuknya Iblis menanam ilalang 

saat  manusia tidur. Mereka mengabaikan orang-orang 

yang seharusnya mereka jaga dan sungguh-sungguh 

berlaku keras terhadap mereka.  

2. Mementingkan diri sendiri. Ia meninggalkan telur-telurnya di 

dalam bahaya, namun , kalau dirinya sendiri berada dalam ba-

haya, maka tidak ada makhluk ciptaan yang akan berusaha 

lebih keras untuk keluar dari bahaya seperti burung unta (ay. 

21). Dengan gagah ia mengepak-ngepakkan sayapnya, kekuat-

an yang kemudian menjadikannya lebih baik daripada ke-

indahannya, dan, dengan pertolongan sayapnya itu ia berlari 

begitu cepatnya hingga seorang penunggang kuda dengan ke-

cepatan penuh pun tidak dapat mengalahkannya: Ia menerta-

wakan kuda dan penunggangnya. Mereka yang memiliki paling 


sedikit rasa kasih secara alamiah yaitu  yang paling banyak 

berusaha untuk melindungi diri sendiri. Jangan kiranya pe-

nunggang menjadi sombong sebab  ketangkasan kudanya ke-

tika seekor binatang seperti burung unta ini pun dapat berlari 

cepat mendahuluinya.  

Gambaran tentang Kuda Perang 

(39:22-28)∗ 

22 Engkaukah yang memberi tenaga kepada kuda? Engkaukah yang menge-

nakan surai pada tengkuknya? 23 Engkaukah yang membuat dia melompat 

seperti belalang? Ringkiknya yang dahsyat mengerikan. 24 Ia menggaruk tanah 

lembah dengan gembira, dengan kekuatan ia maju menghadapi senjata. 25 Ke-

dahsyatan ditertawakannya, ia tidak pernah kecut hati, dan ia pantang mun-

dur menghadapi pedang. 26 Di atas dia tabung panah gemerencing, tombak 

dan lembing gemerlapan; 27 dengan garang dan galak dilulurnya tanah, dan 

ia meronta-ronta kalau kedengaran bunyi sangkakala; 28 ia meringkik setiap 

kali sangkakala ditiup; dan dari jauh sudah diciumnya perang, gertak para 

panglima dan pekik. 

Allah, sesudah memperlihatkan kuasa-Nya di dalam makhluk-makh-

luk ciptaan yang kuat dan memandang rendah manusia, di sini 

menunjukkan lagi kuasa-Nya dalam seekor makhluk yang nyaris 

tidak terkalahkan dalam kekuatan, namun  yang sangat jinak dan 

berguna bagi manusia, yaitu kuda, terutama kuda yang diperlengkapi 

untuk hari perperangan dan yang berguna bagi manusia saat  ia 

sangat memerlukannya pada kesempatan tidak biasanya. Tampaknya 

di negeri Ayub ada sejenis kuda yang sangat unggul kualitasnya. Ayub 

dahulunya mungkin memelihara banyak ternak, meskipun tidak dise-

but di antara semua miliknya. Ternaknya ini pastilah sangat bernilai 

lebih daripada yang diperuntukkan bagi negeri dan peperangan, di 

mana hanya kuda saja yang disimpan saat itu, kuda tidak dipakai  

untuk melakukan pekerjaan rendah seperti yang kebanyakan kita 

lakukan dewasa ini. Mengenai kuda yang berbadan besar itu, bina-

tang yang kekar itu, di sini diamati,  

1. Bahwa ia memiliki suatu semangat dan kekuatan yang sangat 

besar (ay. 22): Engkaukah yang memberi tenaga kepada kuda? Ia 

memakai  kekuatannya bagi manusia, namun  kekuatannya 

tidak berasal dari dirinya: Allah yang memberikan kekuatan kepa-

                                                 

∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 19-28 versi KJV dijumpai 

pada ayat 22-28 versi LAI – ed. 


danya. Allah-lah sumber dari segala kekuatan alam, namun diri-

Nya sendiri tidak suka kepada kegagahan kuda (Mzm. 147:10), 

dan memberi tahu kita bahwa kuda yaitu  harapan yang sia-sia 

untuk mencapai kemenangan (Mzm. 33:17). Untuk berlari, mena-

rik, dan membawa, tidak ada makhluk ciptaan yang luar biasa 

berguna bagi manusia, yang memiliki kekuatan yang begitu besar 

seperti halnya kuda. Kuda juga begitu gagah dan berani, yang 

tidak ditakuti seperti belalang, melainkan berani dan maju meng-

hadapi bahaya. Merupakan suatu berkat bagi manusia untuk me-

miliki pelayan yang demikian, yang, kendati sangat kuat, tunduk 

kepada pengendalian seorang anak kecil, dan tidak memberontak 

melawan tuannya. Namun, janganlah kita mengandalkan kekuat-

an dari seekor kuda (Hos. 14:4; Mzm. 20:8; Yes. 31:1, 3).  

2. Bahwa leher dan lubang hidungnya terlihat bagus. Lehernya dike-

nakan surai, yang besar dan terurai, yang membuatnya tangguh 

dan menjadi hiasan baginya. Keagungan lubang hidungnya, saat  

ia meringkik, mengayunkan kepalanya dan melempar busa dari 

mulutnya, sangat mengerikan (ay. 23). Mungkin hanya ada pada 

waktu itu saja dan di dalam negeri tersebut, sejenis kuda yang 

kekar dan jinak daripada yang kita lihat sekarang.  

3. Bahwa ia sangat kejam dan bengis di dalam peperangan, dengan 

keberanian tanpa ampun, meskipun membahayakan hidupnya.  

(1) Lihat betapa gembiranya ia (ay. 24): Ia menggaruk tanah lem-

bah, tanpa mengetahui macam apa tanah tempat ia berdiri. Ia 

bangga akan kekuatannya, terlebih lagi untuk melayani ma-

nusia dan di bawah perintahnya, tidak seperti keledai liar yang 

memakai  kekuatannya untuk menghina manusia dan 

memberontak (ay. 11).  

(2) Lihat betapa bersemangatnya ia terlibat: Ia maju menghadapi 

senjata, penuh gairah, bukan oleh sebab  kebaikan perang atau 

ingin mendapat kehormatan, namun  hanya oleh bunyi sangka-

kala, gertak para panglima, dan pekik tentara, seperti mem-

bakar keberaniannya sehingga membuatnya melompat maju 

dengan penuh semangat, seakan-akan ia meringkik: Ha! ha! 

(ay. 28). Betapa luar biasanya makhluk-makhluk kasar ini di-

layakkan dan dicondongkan bagi pelayanan yang telah diran-

cang bagi mereka.  

(3) Lihat betapa beraninya ia, bagaimana ia menghina kematian 

dan bahaya yang paling mengancam (ay. 25): Kedahsyatan di-


tertawakannya, dan mengolok-oloknya. Ayunkan pedang kepa-

danya, teriaki dia, ayunkan tombak, untuk memaksanya mun-

dur, ia tidak akan mundur, malah terus merangsek maju, 

bahkan menggerakkan keberanian si penunggangnya.  

(4) Lihat betapa garangnya ia. Ia meronta-ronta dan berjingkrak-

jingkrak dan berlari maju dengan buas dan ganas menyong-

song musuh seakan dengan garang dan galak dilulurnya tanah 

(ay. 27, KJV: mau menelan tanah dengan garang dan galak). Ke-

gigihan seperti itu yaitu  sesuatu yang terpuji bagi seekor 

kuda daripada bagi seorang manusia, sebab  sifat garang dan 

galak tidak pantas bagi manusia. Gambaran tentang kuda 

perang ini akan menolong untuk menjelaskan sifat tersebut 

yang diberikan kepada orang berdosa yang kurang ajar (Yer. 

8:6). Sambil berlari semua mereka berpaling, seperti kuda yang 

menceburkan diri ke dalam pertempuran. Saat hati manusia 

sarat dengan keinginan untuk berbuat jahat, dan hanyut di 

jalan yang jahat oleh kegarangan nafsu dan hasrat yang tak 

terbendung, maka tidak ada lagi yang membuatnya takut akan 

murka Allah dan akibat mematikan dari dosa. Kiranya hati 

nuraninya sendiri dihadapkan dengan kutukan hukum, ke-

matian yang yaitu  upah dosa, dan semua kengerian dari 

Yang Mahakuasa di dalam rangkaian peperangan. Ia mener-

tawakan kedahsyatan ini, dan tidak merasa takut, dan tidak 

akan mundur dari pedang yang menyala-nyala dari Kerubim. 

Kiranya para hamba Tuhan mengangkat suara mereka seperti 

sangkakala, untuk memberitakan murka Allah terhadapnya. Ia 

mendengar suara sangkakala, namun  ia tidak mau diperingat-

kan, bahkan Allah dan para malaikat yang bersama-Nya pun 

tidak dipedulikannya. Namun, apa yang akan terjadi pada 

akhirnya sangatlah mudah untuk dilihat.  

Gambaran tentang Burung Elang dan Burung Rajawali  

(39:29-33)∗ 

29 Oleh pengertianmukah burung elang terbang, mengembangkan sayapnya 

menuju ke selatan? 30 Atas perintahmukah rajawali terbang membubung, dan 

membuat sarangnya di tempat yang tinggi? 31 Ia diam dan bersarang di bukit

                                                 

∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 26-30 versi KJV dijumpai 

pada ayat 29-33 versi LAI – ed. 


batu, di puncak bukit batu dan di gunung yang sulit didatangi. 32 Dari sana ia 

mengintai mencari mangsa, dari jauh matanya mengamat-amati; 33 anak-anak-

nya menghirup darah, dan di mana ada yang tewas, di situlah dia.” 

Burung-burung di udara yaitu  bukti dari kuasa dan penyelenggara-

an yang ajaib dari Allah, seperti halnya dengan binatang-binatang di 

bumi. Allah di sini merujuk secara khusus kepada dua burung yang 

hebat:  

1. Elang, seekor burung yang gagah dengan kekuatan dan kecer-

dasan yang tinggi, namun sekaligus burung pemangsa (ay. 29). 

Burung ini di sini diperhatikan sebab  cara terbangnya, yang 

cepat dan kuat, terutama untuk jalur yang diambilnya menuju ke 

selatan, ke mana ia mengikuti matahari di musim dingin, keluar 

dari daerah-daerah yang lebih dingin di utara, terutama saat  ia 

harus membuang bulu-bulunya dan memperbaruinya. Inilah hik-

matnya dan Allah-lah yang memberi hikmat ini, bukan manusia. 

Mungkin hikmat luar biasa dari cara terbangnya elang setelah 

mendapat mangsanya tidak dipakai  saat itu sebagai bahan pe-

mikiran dan hiburan manusia, seperti yang sudah-sudah. Sangat 

disayangkan bahwa elang, yang diajar untuk terbang atas perin-

tah manusia dan dijadikan sebagai hiburan, sudah disalahguna-

kan untuk menghina Allah, sebab dari Allah-lah ia menerima hik-

mat yang membuat kecakapan terbangnya sebagai hal yang meng-

hibur dan berguna.  

2. Rajawali, seekor burung rajawi namun  seekor burung pemangsa 

pula. Kemampuan memangsanya diizinkan baginya, atau bahkan 

ia memang diberi kuasa untuk itu, supaya dapat menolong men-

damaikan kita untuk menerima kemakmuran para penindas di 

antara manusia. Rajawali di sini diperhatikan,  

(1) sebab  tingginya ia terbang. Tidak ada burung yang membu-

bung begitu tinggi, dengan kekuatan angin, dan mampu mena-

han sinar cahaya dari matahari. Nah, “Atas perintahmukah? 

(ay. 30). Dari engkaukah kekuatannya? Atau engkaukah yang 

mengatur terbangnya? Tidak. Oleh kuasa dan naluri alamiah 

yang telah diberikan Allah kepadanya sehingga ia dapat ter-

bang membubung tinggi jauh dari pandanganmu, apalagi 

suara panggilanmu.”  

(2) sebab  kekuatan dari sarangnya. Sarangnya yaitu  istana dan 

benteng pertahanannya. Ia membangunnya di bukit batu, di 

puncak bukit batu (ay. 31), yang mengamankannya dan anak-

anaknya jauh dari jangkauan bahaya. Orang-orang berdosa 

yang merasa aman menganggap diri aman-aman saja di dalam 

dosa-dosa mereka seperti rajawali merasa aman di dalam 

sarangnya di atas ketinggian, di puncak bukit batu. namun  Aku 

akan menurunkan engkau dari sana, demikianlah firman TU-

HAN (Yer. 49:16). Semakin tinggi orang-orang jahat duduk 

jauh di atas jangkauan kemarahan bumi,  semakin dekat me-

reka dengan pembalasan sorga.  

(3) sebab  ketajaman matanya (ay. 32): dari jauh matanya meng-

amat-amati, bukan ke atas, namun  ke bawah, mengintai mang-

sanya. Dalam hal ini ia yaitu  sebuah gambaran dari orang fa-

sik, yang, sementara dalam pengakuan agamanya dia tampak 

naik menuju sorga, menjaga mata dan hatinya mengamati mang-

sa di bumi, mengamati keuntungan duniawi, rumah janda atau 

yang lain yang berharap untuk ditelannya, di balik topeng kesa-

lehannya.  

(4) sebab  caranya memelihara diri sendiri dan anak-anaknya. Ia 

memangsa hewan-hewan yang masih hidup, yang ditangkap 

dan dirobek-robeknya, lalu dibawanya kepada anak-anaknya, 

dan diajarinya untuk menghirup darah. Mereka melakukannya 

melalui naluri dan tidak tahu cara yang labih baik. Namun 

bagi manusia yang memiliki akal budi dan hati nurani untuk 

haus akan darah yaitu  sesuatu yang sukar untuk dipercaya 

jika tidak ada contoh hal yang demikian di setiap zaman. Ia 

juga memangsa mayat manusia: Di mana ada yang tewas, di 

situlah dia. Burung-burung pemangsa ini dalam arti tertentu 

melebihi kuda, ayat 28, dari jauh sudah diciumnya perang. Ka-

rena itu, saat  suatu pembantaian besar harus terjadi di 

antara para musuh jemaah, burung-burung diundang kepada 

perjamuan Allah, perjamuan yang besar, untuk makan daging 

semua raja dan daging semua panglima (Why. 19:17-18). Juru-

selamat kita merujuk kepada naluri dari rajawali ini (Mat. 

24:28). Di mana ada bangkai, di situ burung nazar berkerumun. 

Setiap makhluk ciptaan akan memburu apa yang menjadi ma-

kanannya. Sebab Ia yang menyediakan makanan bagi makh-

luk ciptaan telah menanamkan ke dalam mereka kecenderung-

an yang demikian. Semua ini dan masih banyak contoh dari 

kekuatan dan kecerdasan alamiah ini di dalam makhluk-

makhluk ciptaan yang lebih rendah, yang tidak dapat kita 

jelaskan, mewajibkan kita untuk mengakui kelemahan dan ke-

bodohan kita sendiri serta harus memberi kemuliaan kepada 

Allah sebagai sumber segala keberadaan, kuasa, hikmat, dan 

kesempurnaan. 

PASAL 40  

alam pasal sebelumnya, Allah mengajukan banyak pertanyaan 

tak terduga untuk merendahkan hati Ayub. Sekarang, dalam 

pasal ini, 

I. Allah menuntut jawaban (39:34-35). 

II. Ayub merendahkan diri dengan menutup mulut (39:36-38). 

III. Untuk menyadarkan Ayub, Allah terus menantang dia de-

ngan mengemukakan jarak dan perbedaan yang tak terbatas 

antara Ayub dan Allah, yang menunjukkan bahwa ia sama 

sekali bukan tandingan-Nya. Allah menantang Ayub (40:1-2) 

untuk melawan Dia dalam hal keadilan (40:3), kekuatan (40:4), 

keagungan (40:5), dan kekuasaan atas orang-orang congkak 

(40:6-7). Kemudian Allah memberikan contoh kekuasaan-Nya 

atas salah satu jenis binatang yang disebut “Behemot” (40:10-

19). 

Ayub Merendahkan Diri 

(39:34-38)∗ 

34 Maka jawab TUHAN kepada Ayub: 35 “Apakah si pengecam hendak ber-

bantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!” 

36 Maka jawab Ayub kepada TUHAN: 37 “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; 

jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan 

tangan. 38 Satu kali aku berbicara, namun  tidak akan kuulangi; bahkan dua 

kali, namun  tidak akan kulanjutkan.” 

                                                 

∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Pasal 40:1-5 versi KJV 

dijumpai pada pasal 39:34-38 versi LAI. Versi KJV pasal 40 terdiri atas 24 ayat (40:1-24) 

sedangkan pada versi LAI pasal 40 terdiri atas 28 ayat (40:1-28) – ed. 

Dalam ayat-ayat di atas terdapat, 

I. Tantangan Allah kepada Ayub untuk merendahkannya. Setelah 

melontarkan banyak pertanyaan sukar kepada Ayub, untuk me-

nunjukkan bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang cara kerja 

alam, dan sebab  itu ia sama sekali tidak pantas menghakimi 

cara dan rancangan Sang Penyelenggara, kini Allah menuntaskan 

pertanyaan-Nya dengan satu tuntutan lagi, yang berfungsi sebagai 

penerapan dari semuanya. Tampaknya Allah sempat berhenti 

sejenak, seperti Elihu, guna memberi waktu kepada Ayub untuk 

menjawab atau memikirkan perkataan Allah. Namun, Ayub begitu 

kalut hingga ia tetap diam, sehingga Allah menyuruh dia men-

jawab (39:34-35). Tidak disebutkan bahwa sabda Allah yang ini 

diucapkan dari dalam badai, seperti sebelumnya. Oleh sebab  itu, 

sebagian penafsir beranggapan bahwa Allah mengatakannya de-

ngan suara yang tenang dan pelan, yang lebih menempelak bagi 

Ayub daripada suara badai, sama seperti yang dialami Elia (1Raj. 

19:12-13). Pengajaranku menitik laksana hujan dan barulah ia 

mengadakan keajaiban. Meskipun Ayub tidak mengatakan apa 

pun, Alkitab menuliskan bahwa Allah menjawab dia, sebab Ia me-

ngetahui isi pikiran manusia dan dapat memberikan jawaban yang 

tepat atas diamnya mereka. Di sini,  

1. Allah mengajukan satu pertanyaan teguran kepada Ayub, 

“Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Maha-

kuasa? Masakan engkau mengajari Allah tentang hikmat, atau 

mengatur kehendak-Nya? Haruskah Allah menerima perintah 

dari setiap penggerutu dan mengubah keputusan-Nya untuk 

menyenangkan mereka?” Pertanyaan itu merupakan sindiran. 

Masakan kepada Allah diajarkan orang pengetahuan? (21:22). 

Secara tersirat, artinya orang yang berbantah dengan Allah 

sama dengan hendak mengajar Dia bagaimana seharusnya be-

kerja. Bila kita berbantah dengan sesama manusia yang tidak 

bekerja dengan baik, kita mengajari mereka bagaimana mela-

kukannya. Namun, masakan manusia hendak mengajari Pem-

buatnya? Barang siapa berbantah dengan Allah patut diang-

gap sebagai musuh-Nya. Masakan ia berlagak akan menang 

dalam perbantahan itu dan berhasil mengatur Allah? Kita 

tidak tahu apa-apa, jarak pandang kita pendek, namun  di ha-

dapan Allah, segala sesuatu telanjang dan terbuka. Kita ada-

lah makhluk ciptaan yang bergantung, namun  Dia Pencipta 

yang berdaulat, masakan kita hendak mengajari-Nya? Bebe-

rapa tafsiran membaca ayat 35 (KJV) sebagai, “Apakah bijak 

jika engkau berbantah dengan Yang Mahakuasa?” Jawabannya 

mudah, Tidak. Justru itulah kebodohan terbesar di dunia. 

Bijakkah bila kita berbantah dengan Dia, padahal sudah jelas 

bahwa kita pasti binasa bila menentang-Nya dan sudah jelas 

bahwa kita wajib tunduk kepada-Nya? 

2. Allah menuntut jawaban segera atas pertanyaan-Nya, “Hen-

daklah yang mencela Allah menjawab sesuai dengan nurani-

nya, dan jawablah demikian, ‘Jauhlah dari padaku untuk me-

ngecam atau berbantah dengan Yang Mahakuasa.’ Jawablah 

semua pertanyaan-Ku, jika engkau dapat. Jawablah sebab  

kelancangan dan keangkuhanmu, jawablah di hadapan peng-

adilan Allah, dan mari kita lihat kalau engkau tidak kebi-

ngungan dan hilang akal.” Barang siapa mencela segala firman 

atau perbuatan Allah, dia memandang dirinya terlalu tinggi 

dan merendahkan Allah. 

II. Ayub merendahkan dirinya. Kini Ayub sadar dan mulai luluh da-

lam penyesalan yang saleh. Saat teman-temannya berdebat de-

ngannya, ia tidak menyerah, namun  suara Tuhan itu penuh kuasa. 

Kalau Roh Kebenaran datang, Ia akan menginsafkan dunia. Saha-

bat-sahabat Ayub menuduhnya orang fasik, Elihu juga berbicara 

tajam kepadanya (34:7-8, 37). Akan namun , Allah tidak mengucap-

kan perkataan keras semacam itu. Adakalanya kita boleh berharap 

perlakuan Allah lebih baik dan teguran-Nya atas perbuatan kita 

lebih tulus daripada teman-teman kita. Di sini kita lihat orang saleh 

itu tunduk dan menyerahkan diri sebagai tawanan anugerah Allah. 

1. Ayub mengakui pelanggarannya dan tidak mengatakan apa-

apa untuk membenarkan diri (39:37), “Sesungguhnya, aku ini 

terlalu hina, bukan hanya remeh dan rendahan, namun  juga 

hina dan menjijikkan di mataku sendiri.” Ayub sekarang sadar 

bahwa ia telah berdosa, sebab  itu ia menyebut dirinya hina. 

Dosa merendahkan martabat kita, dan orang yang bertobat 

merendahkan diri, mencela dirinya, serta merasa malu teramat 

sangat. “Aku telah berbuat tidak pantas terhadap Bapaku, 

tidak tahu berterima kasih kepada yang memberkati aku, dan 

bertindak bodoh terhadap diri sendiri. Betapa hinanya aku 

ini.” Sekarang Ayub menghinakan dirinya seperti ia telah 

membenarkan dan membesarkan diri sebelumnya. Pertobatan 

mengubah cara pandang seseorang tentang dirinya sendiri. 

Ayub terlalu berani menuntut bicara dengan Allah, dan ber-

pikir dapat membela diri di hadapan-Nya. Namun, kini ia 

sadar akan kesalahannya dan mengakui dirinya sama sekali 

tidak mampu berdiri di hadapan Allah atau memberikan alas-

an apapun yang layak diperhatikan-Nya. Dia hanyalah cacing 

kotoran yang merayap di tanah milik Allah. saat  teman-

temannya berbicara kepadanya, ia membantah, sebab ia me-

rasa setara dengan mereka. Namun, saat  Allah yang ber-

bicara kepadanya, ia terdiam, sebab dibandingkan dengan-

Nya, ia memandang dirinya bukan siapa-siapa, bahkan lebih 

rendah dari apa pun, lebih buruk dari apa pun, ia hanyalah 

kesia-siaan dan kehinaan. Oleh sebab itu, katanya, “Jawab 

apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu?” Allah menuntut 

jawaban (39:35), maka sekarang Ayub memberikan alasan 

mengapa ia bungkam. Bukan sebab  kesal, namun  ia sudah 

insaf bahwa dirinya bersalah. Orang yang sungguh-sungguh 

menyadari keberdosaan dan kehinaannya tidak akan berani 

membenarkan diri di hadapan Allah, sebaliknya mereka malu 

atas apa yang pernah mereka pikirkan, dan sebagai wujud 

rasa malu itu, mereka menutup mulut. 

2. Ayub berjanji tidak akan bersikap lancang lagi seperti sebe-

lumnya, sebab Elihu telah mengatakan kepadanya bahwa 

ucapan itu seharusnya dihadapkan kepada Allah. Saat kita 

teledor dalam perkataan, kita harus bertobat, bukan meng-

ulanginya atau tetap bersikeras mempertahankannya. Ayub 

menyuruh dirinya diam (39:37), “Mulutku kututup dengan 

tangan untuk mengekangnya dan menekan segala kemarahan 

yang mungkin timbul dalam benakku, serta menahan agar 

pikiran-pikiran itu tidak tertumpah dalam perkataan yang 

kurang ajar.” Berpikir keliru pun sudah buruk, namun  berkata 

keliru lebih buruk lagi, sebab berkata keliru sama dengan 

mengizinkan pikiran jahat dan memberinya imprimatur – du-

kungan. Berbicara keliru menyebarluaskan fitnah. Itu sebab-

nya, bila engkau menyombongkan diri tanpa atau dengan ber-

pikir, tekapkanlah tangan pada mulut, jangan biarkan perkata-

an itu berlanjut (Ams. 30:32). Itu akan membuktikan bahwa 

engkau tidak mengizinkan pikiranmu yang salah terus ber-

kembang. Ayub telah mengeluarkan pikiran-pikiran jahatnya 

keluar, “Satu kali aku berbicara, bahkan dua kali,” artinya 

pada waktu yang berbeda, dalam beberapa tutur kata. Namun, 

sudah selesai, tidak akan kuulangi. Aku tidak akan memper-

tahankan ucapanku itu atau mengulanginya lagi, tidak akan 

kulanjutkan.” Dari situ, perhatikanlah apa arti pertobatan 

sejati, yakni  

(1) Meralat kesalahan kita dan mengubah prinsip keliru yang 

mendasari perbuatan kita. Apa yang selama ini telah kita 

pertahankan habis-habisan, sekali, bahkan dua kali, harus 

ditarik kembali begitu kita sadar bahwa itu salah. Kita 

tidak boleh lagi hidup dengan dasar pikiran itu, sebaliknya 

merasa malu sebab  telah menganutnya begitu lama.  

(2) Berbalik dari setiap jalan menyimpang dan tidak menerus-

kannya walau selangkah saja. “Aku tidak akan menambahi-

nya. Aku tidak akan lagi mengumbar nafsuku begitu rupa 

lagi, membiarkan diriku terlalu bebas berbicara, dan tidak 

akan lagi mengulangi perkataan dan perbuatanku.” Kalau 

kita belum mengambil sikap yang demikian, kita belum 

benar-benar bertobat. Selanjutnya, perhatikanlah, orang 

yang berbantah dengan Allah pada akhirnya akan dibung-

kam. Ayub sangat berani dan gigih menuntut bicara de-

ngan Allah, ia berbicara terlalu lancang hendak membela 

perkaranya dan terlalu yakin bahwa ia akan dibenarkan. 

“Selaku pemuka aku akan menghadap Dia” (31:37), kata 

Ayub, dan “Boleh datang ke tempat Ia bersemayam” (23:3). 

Namun, Ayub segera merasakan akibatnya. Ia mencabut 

tuntutannya dan tidak menjawab. “Ya Tuhan, pada-Mulah 

segala hikmat dan kebenaran, aku telah berbuat bodoh dan 

fasik dalam meragukan semua itu.” 

Keadilan dan Kekuatan Ilahi;  

Kekuasaan Allah Atas Orang Congkak  

(40:1-9)∗ 

1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub: 2 “Bersiaplah engkau seba-

gai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau memberitahu Aku. 3 Apa-

kah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku su-

paya engkau dapat membenarkan dirimu? 4 Apakah lenganmu seperti lengan 

Allah, dan dapatkah engkau mengguntur seperti Dia? 5 Hiasilah dirimu de-

ngan kemegahan dan keluhuran, kenakanlah keagungan dan semarak! 6 Luap-

kanlah marahmu yang bergelora; amat-amatilah setiap orang yang congkak 

dan rendahkanlah dia! 7 Amat-amatilah setiap orang yang congkak, tunduk-

kanlah dia, dan hancurkanlah orang-orang fasik di tempatnya! 8 Pendamlah 

mereka bersama-sama dalam debu, kurunglah mereka di tempat yang ter-

sembunyi. 9 Maka Aku pun akan memuji engkau, sebab  tangan kananmu 

memberi engkau kemenangan.” 

Ayub telah sangat dipermalukan oleh sabda Allah sebelumnya, namun  

belum cukup. Ia telah direndahkan, namun  belum cukup rendah. Oleh 

sebab  itu, dalam ayat-ayat di atas, Allah melanjutkan debat-Nya de-

ngan cara dan tujuan yang sama seperti sebelumnya (40:1). Perhati-

kanlah, 

1. Barang siapa menerima dengan semestinya apa yang didengarnya 

dari Allah serta memanfaatkannya, ia akan mendengar lebih ba-

nyak lagi dari-Nya. 

2. Barang siapa sungguh-sungguh insaf akan dosa dan menyesali-

nya, ia masih perlu disadarkan lebih banyak lagi dan dibuat me-

nyesal lebih dalam lagi. Orang yang tengah diinsafkan, yang meli-

hat dosa-dosanya dengan jelas dan hancur hati sebab nya, harus 

belajar untuk tidak terlalu cepat berpuas diri. Keinsafan itu ber-

langsung tidak ada habisnya sampai tiba waktunya nanti, dan ka-

rena itu kita perlu bersiap untuk merendahkan diri begitu dalam 

agar luka bisa diselidiki sampai ke dasar hati dan tidak terlewat-

kan. Juga supaya kita tidak terburu-buru keluar dari tindakan 

menginsafkan diri. Saat hati kita mulai luluh dan melunak, hen-

daklah kita tetap tinggal dalam kesadaran itu dan mengejarnya, 

sehingga dampak pertobatannya lebih mujarab dan menyeluruh. 

Allah memulai dengan sebuah tantangan (40:2), sama seperti 

sebelumnya (38:3), “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki. Kalau 

engkau sungguh memiliki keberanian dan keyakinan seperti kata-

                                                 

∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV. Ayat 6-14 versi KJV dijumpai 

pada ayat 1-9 versi LAI – ed. 

mu, tunjukkanlah sekarang. Namun, sebentar lagi engkau akan 

melihat dan mengakui bahwa engkau bukan tandingan-Ku.” Ke-

rendahan inilah yang harus diperbuat terhadap setiap hati yang 

congkak pada akhirnya, baik dengan pertobatan maupun dengan 

kehancuran. Begitulah setiap gunung dan bukit cepat atau lam-

bat akan direndahkan. Kita harus mengakui bahwa, 

I. Kita tidak mampu bersaing melawan keadilan Allah. Tuhan itu 

benar dan kudus dalam segala tindakan-Nya terhadap kita, se-

mentara kita ini berdosa dan cemar dalam perlakuan kita ter-

hadap Dia. Ada berlimpah kesalahan yang harus kita salahkan 

kepada diri sendiri, dan tidak ada sesuatu pun kesalahan yang 

bisa kita limpahkan kepada-Nya (40:3), “Apakah engkau hendak 

meniadakan pengadilan-Ku? Akankah engkau menemukan hal-hal 

yang menyimpang pada apa yang Aku katakan dan lakukan, dan 

membuat laporan kesalahannya, untuk menyatakan penghakim-

an-Ku itu keliru dan tidak adil?” Banyak keluh kesah Ayub me-

ngandung nada seperti, “Aku berseru minta tolong, namun  tidak ada 

yang menjawab” (19:7). Namun, perkataan seperti itu sama sekali 

tidak pantas dibiarkan. Penghakiman Allah tidak dapat dan tidak 

boleh dibatalkan, sebab kita yakin bahwa semua itu berdasar 

pada kebenaran. Itu sebabnya, mempertanyakan keadilan Allah 

yaitu  lancang dan fasik. Firman-Nya, “Apakah engkau hendak 

mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu? 

Haruskah Aku mengorbankan kehormatan-Ku demi mendukung 

nama baikmu? Haruskah Aku dituduh berbuat tidak adil terha-

dapmu, sebab  engkau tidak dapat membersihkan diri dari ke-

caman?” Kita sepatutnya menyalahkan diri sendiri, sehingga Allah 

terbukti benar. Daud pun rela mengakui kejahatan yang diper-

buatnya di hadapan Allah, supaya ternyata Engkau adil dalam pu-

tusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu (Mzm. 51:6; Lih. Neh. 

9:33; Dan. 9:7). Sebaliknya, barang siapa menyalahkan Allah demi 

membenarkan diri sendiri sangatlah sombong dan tidak tahu apa-

apa tentang Allah maupun tentang dirinya. Dan waktunya akan 

tiba saat  kesalahan tidak dapat lagi diperbaiki dengan pertobat-

an, maka penghakiman kekal akan mengacaukan segala dalih 

dan membingungkan para tahanan, sebab sorga akan menyata-

kan kebenaran Allah dan seluruh dunia terbukti bersalah di 

hadapan-Nya. 

II. Kita tidak mampu bersaing melawan kekuatan Allah. Menentang 

Dia yaitu  kefasikan dan kelancangan besar. Hal itu bertentang-

an dengan akal sehat dan keadi