Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 2

 


ra. Di sisi lain, orang-

orang Yahudi Arab berkeyakin bahwa, berbeda dengan manusia

pada umumnya, mereka mempunyai hubungan keakraban yang

khusus dengan Tuhan (62:6).

Sehubungan dengan pemeluk agama Kristen dari kalangan

orang Arab, dikabarkan bahwa keseluruhan yang mereka ketahui

dari kepercayaan Kristen hanyalah minum anggur (khamr).51

Informasi-informasi yang diberikan al-Quran juga menunjukkan

bahwa  orang-orang Arab  Kristen ini bukanlah  pengikut aliran

ortodoksi agama ini , yang menjadi mazhab resmi di Impe-

rium Bizantium. Mereka pada dasarnya adalah pengikut sekte

monofisit dan nestorian yang merupakan representasi Gereja Timur.

Kalau tidak, tentunya Muhammad – misalnya – tidak akan

mengenal ajaran mereka bahwa bukan pribadi Isa sendiri yang

disalib, melainkan orang lain (4:157); dan bahwa ajaran trinitas

Kristen bukanlah terdiri dari Bapak, Anak dan Ruh Kudus, namun 

Tuhan, Yesus dan Maryam (5:116).

Di tiga tempat dalam al-Quran disebutkan pemeluk agama

lainnya, yakni shãbi’ûn, bersama-sama ahli kitab.52  Nama ini

biasanya dikaitkan dengan pengikut dua sekte keagamaan yang

terpisah: (i) Orang Mandean atau Subba yang mempraktekkan

ritus baptis di Mesopotamia; dan (ii) orang Sabean di Harran yang

merupakan sekte pagan penyembah bintang. Tidak jelas sekte

manakah yang dimaksudkan al-Quran dengan istilah shãbi’ûn.

Para ahli berbeda pendapat tentang hal ini.53  namun , keberadaan

kedua pengikut sekte ini  di dan di sekitar Makkah dan 

Madinah tidak dapat ditelusuri jejaknya.

Dalam rujukan terakhir al-Quran di atas (22:l7) juga disebutkan

pengikut agama Majusiyah, yakni orang-orang Majus. Bagian al-

Quran ini merupakan rujukan satu-satunya kepada majûs. Pengikut

agama Majusiyah ada  di Yaman, Oman, Bahrain dan di Per-

sia sendiri, tempat asal agama ini . Pada masa penyebarluasan

Islam yang belakangan, baik orang-orang shãbi’ûn maupun majûs

diperlakukan sebagai ahli kitab.

Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada umumnya

adalah politeisme. Sekalipun kebanyakan orang Arab mengakui

dan menerima gagasan tentang Allah sebagai pencipta alam semesta

dan manusia,54  yang  menundukkan matahari dan bulan,55  dan 

yang menurunkan hujan, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi

sesudah matinya,56  namun  penyembahan aktual mereka pada

faktanya ditujukan kepada tuhan-tuhan lain yang dipandang

sebagai perantara-perantara kepada Allah. Konsepsi pagan semacam

ini direkam al-Quran dalam beberapa kesempatan.57  Selain itu, al-

Quran juga mengemukakan nama tuhan-tuhan – atau tepatnya

dewi-dewi – ini : al-lãt, al-‘uzzã, dan al-manãt, yang dipandang

kaum pagan Arab sebagai puteri-puteri Tuhan,58  dan  wadd, suwã‘,

yagûts, dan nasr, yang merupakan dewa-dewa Arab kuno.59  Namun,

dalam situasi-situasi tertentu, mereka biasanya menganut

monoteisme temporal tanpa peduli akan implikasi sikap ini .

saat  berada dalam keadaan bahaya, mereka biasanya mengesakan

tuhan dengan ketulusan yang sangat. namun , setelah lepas dari

marabahaya, mereka melupakan apa yang telah lalu dan kembali

menyekutukan Tuhan.

Bahwa kaum pagan Arab melalaikan kewajiban menyembah

Tuhan dalam kehidupan keseharian mereka, namun  dalam situasi-

situasi terjepit selalu ingat kepada-Nya, ditunjukkan al-Quran

dengan mengatakan bahwa sumpah-sumpah paling sakral yang

lazim digunakan pada masa pra-Islam adalah sumpah-sumpah yang

menyebut kata allãh.61  Demikian pula, menjelang kelahiran seorang

anak, suami-istri biasanya  memohon kepada Tuhan agar diberi anak

yang saleh. namun , setelah diberi, mereka kembali menyekutukan

Allah.62  Selain itu, kaum pagan Arab juga mengenal Allah sebagai

Tuhan pemilik Ka‘bah, rabb al-bayt (l06:3).

Dari kepercayaan politeisme di atas – di mana Allah dipandang

sebagai Tuhan Tertinggi di samping tuhan-tuhan atau dewa-dewi

lain yang lebih rendah63  – individu-individu tertentu di Arabia

bergerak kepada kepercayaan terhadap satu tuhan saja. Gagasan

Yudeo-Kristiani, terutama tentang monoteisme, barangkali turut

memberi andil pada munculnya kesadaran keagamaan ini .

namun , watak dan kandungan ekspresi keagamaannya terlihat lebih

bersifat kearaban. Contohnya, Umaiyah ibn Abi al-Salt – orang

sezaman Nabi yang berasal dari Thaif – melukiskan agamanya

dalam salah satu kumpulan sajak sebagai “hanifisme” dan

“monoteisme.”64  Kesejatian kumpulan sajak yang ditulis al-Salt

ini, yang berbicara tentang dîn al-hanîfîyah sebagai satu-satunya

agama yang bisa bertahan hingga Hari Kebangkitan, memang telah

diragukan beberapa  peneliti.65  Namun, keberadaan orang-orang

Arab tertentu yang menganut kepercayaan monoteistik semacam

itu pada masa pra-Islam merupakan suatu kenyataan historis yang

tidak dapat dipungkiri.

Kehidupan Nabi Muhammad

Muhammad saw. dilahirkan di Makkah sekitar 570, di tengah-

tengah keluarga atau klan (banû) Hasyim dari suku Quraisy yang

pamornya saat  itu tengah surut.66  Ayahnya, Abd Allah, adalah

seorang pedagang – sebagaimana profesi rata-rata orang Quraisy –

yang meninggal saat  ia masih berada dalam kandungan ibunya,

Aminah. saat  berusia sekitar 6 tahun, ibunya menyusul kepergian

ayahnya, dan si kecil Muhammad lalu diasuh kakeknya, Abd al-

Muththalib, yang juga meninggal saat  ia berusia sekitar 8 tahun.

Selanjutnya, Muhammad diasuh pamannya, Abu Thalib, pemimpin

banu Hasyim yang relatif miskin, namun  terhormat. Orang inilah

yang memberikan “perlindungan” kepada Nabi dan membelanya

secara mati-matian dari berbagai tantangan berat yang diajukan

pemuka-pemuka suku Quraisy terhadap agama baru yang

didakwahkannya, sekalipun terlihat bahwa Abu Thalib sendiri tidak

pernah menerima atau meyakini kepercayaan keponakannya.

Solidaritas kesukuan, yang merupakan karakteristik asasi kode etik

(muruwwah) suku-suku di Arabia, memang mengharuskan Abu

Thalib melindungi dan menuntut balas atas setiap kerugian yang

diderita Muhammad.

Sementara keyatiman dan kepapaan Muhammad dalam

kehidupan awalnya dikonfirmasi al-Quran dalam 93:6-8:

Bukankah Dia (Tuhanmu) mendapatimu sebagai yatim lalu

Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu dalam keadaan

bingung lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu

dalam keadaan kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan.

Ayat pertama (93:6) yang dikutip di atas memberi petunjuk

tentang keyatiman Muhammad. Ayat terakhir (9:8) meng-

ungkapkan kehidupan  awalnya yang penuh kekurangan. Sementara

ayat yang berada di antara keduanya (93:7) – yang mengindikasikan

tentang jalan sesat (dlãll) yang ditempuh Muhammad pada masa

mudanya, sebelum beroleh petunjuk (hudã) – dipersengketakan

maknanya di kalangan mufassir Muslim. beberapa  mufassir

mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan kesesatan di

sini adalah kekafiran, berdasar  beberapa riwayat yang

mengemukakan bahwa Muhammad berada dalam urusan kaumnya

(kekafiran) hingga 40 tahun. Sementara mufassir lain yang

menekankan doktrin ma‘shûm – yakni para nabi terpelihara dari

dosa besar maupun dosa kecil baik sebelum maupun sesudah

pengangkatannya sebagai nabi – menolak pengertian kekafiran

semacam itu, dan berusaha  menjelaskan “kesesatan” ini  sebagai

“tersesat” di lorong-lorong kota Makkah, “tersesat” dari rumah

Halimah – pengampu yang menyusuinya saat  kecil – atau dengan

menakwilkannya sehingga yang “tersesat” adalah kaum Nabi.67

Sekalipun Muhammad berasal dari banu Hasyim yang

dihormati di Makkah, akan namun  secara personal tampaknya ia –

sebelum pengutusannya sebagai nabi – tidak begitu diperhitungkan

di kalangan penduduk kota ini . Hal ini bisa dilihat dari protes

yang dikemukakan kaumnya saat  ia memperoleh wahyu Tuhan,

sebagaimana direkam al-Quran dalam 43:31, “Dan mereka berkata:

‘Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang kuat dari

salah satu dari dua negeri (yakni Makkah dan Thaif) ini’.”

Bagian al-Quran lainnya bisa dijadikan indikasi tentang hal

ini, apabila disepakati bahwa kisah-kisah nabi terdahulu pada

faktanya merujuk kepada situasi yang dihadapi Nabi. Bagian al-

Quran ini  adalah 11:91, yang mengisahkan protes yang

dikemukakan kaum Nabi Syu‘aib kepadanya:

Dan mereka berkata: “Hai Syu‘aib, kami tidak banyak mengerti

tentang apa yang kamu katakan. namun  sesungguhnya kami

melihat bahwa kamu merupakan seorang yang lemah di antara

kami. Kalau tidak sebab  keluargamu tentu kami telah

merajammu. Dan kamu bukanlah orang yang berwibawa di

sisi kami.”

Di samping hal-hal di atas, yang secara umum tidak begitu

berarti atau bahkan bisa dikatakan “tidak mengungkapkan sesuatu

pun,”68  hanya sedikit yang diketahui tentang bagian kehidupan

Muhammad sebelum pengangkatannya sebagai Nabi. Berpijak pada

al-Quran dan laporan-laporan sejaman, dapat dipastikan bahwa

Muhammad adalah seorang yang suka bermeditasi atau bertafakur,

introvert, pemalu, agak penyendiri, dan concern akan kegelapan

yang tengah menyelimuti warga nya. Semasa muda, ia dikenal

sebagai al-amîn (“orang yang dapat dipercaya”), yang merupakan

indikasi tentang kejujuran dan kepekaan moralnya yang tinggi.

Pada usia dua puluhan, ia menjalankan misi dagang Khadijah

(w. 619), seorang janda kaya Makkah, ke Siria – suatu pengalaman

yang pernah dijalani semasa kecilnya bersama pamannya, Abu

Thalib. Khadijah, yang kagum akan kejujuran Muhammad,

kemudian meminangnya sebagai suami. saat  itu, Muhammad

berusia sekitar 25 tahun dan Khadijah sekitar 40 tahun. Selama

lima belas tahun berikutnya Muhammad terlihat melanjutkan

perniagaan dengan modal bersama dan tidak menikah hingga

wafatnya Khadijah, saat  Nabi berusia sekitar 50 tahun.

Tahap selanjutnya kehidupan Muhammad dimulai saat  ia

berusia sekitar 40 tahun. Sebagaimana diketahui dari laporan-

laporan sezaman, beberapa waktu setelah menikah dengan

Khadijah, Muhammad secara teratur pergi ke Gua Hira yang

terletak tidak jauh di sebelah utara kota Makkah. Keluhuran budi

pekerti telah mendorongnya melakukan tahannuts – biasa diartikan

sebagai tabarrur, melakukan perbuatan bajik (birr) dengan memberi

makan fakir miskin, atau ta‘abbud, beribadah, atau keduanya, yakni

tabarrur dan ta‘abbud 69  – ke gua itu untuk beberapa hari dan

terkadang beberapa minggu.

Selama dalam tahannuts Muhammad melakukan renungan-

renungan mendalam. Yang direnungkannya tidak diragukan lagi

adalah masalah-masalah tentang Tuhan, Pencipta yang Mutlak dan

Pemelihara alam semesta, dan  tentang ciptaannya – khususnya

masalah-masalah kewarga an manusia: disparitas sosio-

ekonomik, praktek-praktek niaga para pedagang kaya yang

eksploitatif dan amoral, dan  cara penghamburan kekayaan yang

tidak  bertanggungjawab dalam kaitannya dengan nestapa fakir

miskin, yatim piatu dan orang-orang tertindas, seperti tercermin


dalam praktek warga  Quraisy.

Proses batiniah pengalaman religio-moral ini  mencapai

puncaknya pada suatu malam – belakangan dirayakan kaum

Muslimin sebagai “malam keputusan” (laylatu-l-qadr) – saat  ia

sedang tenggelam dalam relung renungan terdalam di Gua Hira.

Muhammad diseru oleh utusan wahyu, Jibril, kepada risalah Tuhan.

Ia melihat utusan spiritual ini dalam suatu visi (ru’yah) di “ufuk

tertinggi”. Mengalami ledakan spiritual yang tiba-tiba, Muhammad

merasa pasif secara total. Ia pulang ke rumah dalam keadaan

menggigil bersimbah keringat, kemudian mengisahkan pengalaman

batin itu kepada istrinya. Khadijah menenangkannya dengan

menegaskan kesejatian pengalaman penerimaan wahyu ini ,

sebab  Muhammad dalam kenyataannya adalah orang yang baik

dan tidak mungkin dirasuki ruh jahat. Setelah itu, ia tidak pernah

lagi ke Gua Hira untuk bertafakur, namun  memulai misi historisnya

sebagai utusan Allah untuk umat manusia.

Pengalaman pertama kenabian Muhammad, menurut riwayat,

terjadi saat  ia berusia sekitar 40 tahun atau lebih sedikit, kira-

kira pada tahun ke-13 atau ke-15 atau ke-10 sebelum Hijriah.70

Hal ini barangkali secara tidak langsung dikonfirmasi oleh al-Quran

(10:16). Pernyataan al-Quran dalam ayat ini – “Sesungguhnya aku

telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum

pewahyuan al-Quran)” – memang mengindikasikan bahwa saat 

diangkat sebagai nabi, Muhammad bukan lagi anak muda berusia

remaja. Ia berada dalam usia matang untuk pengalaman kenabian

ini .

Muhammad tidak pernah berkeinginan menjadi nabi atau

secara sadar mempersiapkan diri untuk itu. Hal ini dengan jelas

dikemukakan al-Quran di beberapa tempat.71  Namun, secara

naturalistik, dapat dikatakan bahwa ia – walaupun tanpa

disadarinya – telah mempersiapkan diri untuk diangkat menjadi

nabi. Sejak kecil ia memiliki kepekaan yang intensif dan alami

terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi manusia. Kepekaan

ini semakin tajam saat  ia menjadi yatim piatu dalam usia yang

masih belia. Muhammad tentu saja tidak berusaha  secara sadar

untuk menambah kemampuan-kemampuan alaminya melebihi

manusia-manusia lain, sehingga saat  seluruh faktor alami itu

berkolaborasi menuju suatu tujuan yang sangat kuat, maka hal ini

harus dikembalikan kepada Tuhan.

saat  orang-orang pagan Arab mempermasalahkan

penunjukkannya sebagai nabi dan mempertanyakan kenapa wahyu

ilahi tidak diturunkan kepada “orang besar” di Makkah dan Thaif

(43:31), al-Quran mengemukakan jawaban yang bersifat religius

dan naturalistik. Pada sisi religius dikatakan: “apakah mereka yang

mendistribusikan rahmat Tuhanmu?” (43:32). Sementara jawaban

naturalistik terungkap dalam 6:l24: “Allah mengetahui di mana

menempatkan kerasulan-Nya.”72

Pada mulanya, Muhammad mendakwahkan risalah

kenabiannya secara privat kepada keluarga dan teman-teman

dekatnya. Istrinya, Khadijah, dan keponakannya, Ali ibn Abi Thalib

(w.661), merupakan orang-orang pertama yang membenarkan

kerasulannya. Pada umumnya, pengikut-pengikut awal Nabi berasal

dari kalangan tertindas yang tidak memiliki posisi sosial penting,

meskipun beberapa di antaranya adalah pedagang kaya – seperti

Abu Bakr al-Shiddiq (w. 634) – dan individu-individu yang

mengalami fermentasi keagamaan – seperti Utsman ibn Maz’un.

namun , aristokrasi pedagang Makkah, yang memiliki pengaruh besar

dalam warga , menolak dakwah Nabi dan menggunakan

pengaruh mereka untuk membendungnya.73  Mereka memandang

dakwah Islam sebagai suatu ancaman terhadap tradisi “bapak-bapak

kami,” yaitu politeisme, yang darinya mereka beroleh keuntungan

material dan privilese sosial-ekonomi.

Sekitar dua tahun setelah pewahyuan pertama, saat  Nabi

menyampaikan pesan-pesan Ilahi secara terbuka kepada khalayak

ramai, timbul suatu oposisi yang aktif terhadap Islam, dan para

pengikutnya yang tidak begitu kuat mengalami penindasan keji.

Pemuka suku Quraisy mencoba membujuk Abu Thalib susaha 

mempengaruhi keponakannya agar menghentikan dakwahnya, atau

menarik perlindungan banu Hasyim terhadap Nabi, namun usaha 

ini mengalami kegagalan. Mereka juga menyebarkan propaganda

di kalangan pemimpin-pemimpin suku di Arabia pada musim haji

yang isinya menentang Muhammad, namun  aksi ini malah

menghasilkan efek sebaliknya: nama Nabi dan misi kenabiannya

semakin dikenal secara luas di berbagai penjuru jazirah Arab.

Di tengah kondisi yang mengharu-biru ini, al-Quran

mengekspresikan diri dalam berbagai cara. Kitab ini sering

mengecam orang Makkah dengan ungkapan-ungkapan bahwa

mereka tidak mengerti, mereka tuli, bisu dan buta, hati mereka

terkunci, mereka laksana binatang bahkan lebih sesat lagi, dan

sebagainya.74  Situasi Makkah di kala itu sering dihubungkan

dengan umat-umat terdahulu yang diazab Allah sebab  tidak

mendengar seruan nabi-nabi mereka.75  Di sisi lain, al-Quran

menegaskan bahwa kitab suci ini  tidak diturunkan kepada

Nabi agar ia menderita (20:2), dan  menghiburnya agar tidak

bersedih sebab  keingkaran kaumnya terhadap ajaran yang

dibawanya (18:6). Muhammad hanyalah seorang “pewarta kabar

gembira” (basyîr) dan “pemberi peringatan” (nadzîr).76  Bukanlah

tugasnya untuk menjaga atau memaksa orang-orang yang ingkar

itu (88:22; 50:45); “sesungguhnya Allah-lah yang memberi

pendengaran (yakni membuat mereka mendengar petunjuk) kepada

siapa saja yang Dia kehendaki, dan engkau (Muhammad) tidak

dapat membuat orang-orang di dalam kubur bisa mendengar”

(35:22). Jika Tuhan menghendaki, maka umat manusia di dunia

ini seluruhnya akan diberi hidayah dan menjadi satu kaum (5:48;

6:35; 10: 99; dll.).

Menghadapi penyiksaan sistematis terhadap pengikut-

pengikutnya yang rentan – dirujuk dalam al-Quran di beberapa

tempat77  – Muhammad menasehati mereka untuk berhijrah secara

temporal ke Ethiopia (Habsyi). Pada 615, beberapa orang

pengikutnya menuruti saran ini . Di waktu yang sama,

beberapa pemuka Quraisy yang berpengaruh dan kuat – paling

terkenal di antaranya adalah Hamzah ibn Abd al-Muthalib (w.

625) dan Umar ibn Khaththab (w. 644) – menyatakan keimanannya

kepada risalah Nabi. Panik menghadapi perkembangan baru ini,

anggota-anggota penting majelis syura Makkah memutuskan

memboikot klan Nabi, banu Hasyim. Sekalipun tindakan

ekskomunikasi atau pengucilan ini telah menyebabkan penderitaan

yang sangat bagi banu Hasyim, tindakan itu pada umumnya

dipandang tidak membawa hasil yang diharapkan. Anggota-anggota

klan lain, yang terkait dengan banu Hasyim, secara sembunyi-

sembunyi menyuplai bahan makanan dan bantuan-bantuan

lainnya.

Menyadari bahwa mereka tidak dapat membungkam dakwah

Nabi atau menghancurkan gerakannya, orang-orang Quraisy

mencoba menempuh jalan kompromi. Mereka berjanji akan

mengikuti agama Nabi jika ia mengenyampingkan pengikut-

pengikutnya dari kelas rendahan, sebab  merupakan hal yang tidak

patut bila mereka mesti duduk berdampingan dengan orang-or-

ang seperti itu, khususnya saat  pemuka-pemuka suku Arab

ini  mengunjungi Nabi. namun , al-Quran memberi peringatan

keras kepada Muhammad susaha  tidak meninggalkan pengikut-

pengikut setianya demi memenuhi tuntutan elit Quraisy.78

Sebelum mengajukan tawaran kompromi, orang-orang Quraisy

telah berusaha  melakukan negosiasi dengan Muhammad mengenai

beberapa  masalah doktrinal yang diajarkannya: Jika Nabi

memodifikasi ajarannya untuk mengakomodasikan dewa-dewa

lokal mereka sebagai perantara-perantara manusia  kepada Tuhan,

dan barangkali menghapuskan gagasan tentang kebangkitan

kembali manusia, maka mereka akan menjadi muslim. Tentang

kebangkitan kembali, tidak ada kompromi yang  bisa ditawarkan.

Sementara tentang dewa-dewa perantara, dalam riwayat dikatakan

bahwa pada masa hijrah ke Ethiopia, saat  janin warga  Mus-

lim tengah berada dalam situasi sangat genting, Nabi suatu saat 

cenderung kepada kompromi dan membacakan beberapa ayat

dalam surat 53 yang memperkenankan syafaat dewa-dewa pagan

Arab.79  Namun, ayat-ayat ini segera dihapus dan diganti dengan

ayat-ayat yang kini ada  di dalam surat ini .

Bahwa orang-orang Makkah telah berulangkali membujuk

Muhammad agar mau berkompromi, disinggung al-Quran dalam

beberapa  kesempatan.80  namun , usaha  ini tidak membawa hasil

yang semestinya, sehingga orang-orang Quraisy mulai menyusun

rencana untuk mengusir Nabi dari kota Makkah. Dalam l7:76

disebutkan: “Sungguh mereka hampir membuatmu gelisah di sana

(Makkah) agar engkau terusir dari sana. Jika demikian halnya, maka

mereka tidak akan hidup sepeninggalmu kecuali untuk sebentar

saja.” Apabila kisah-kisah para nabi sebelum Muhammad

dipandang mencerminkan situasi yang dihadapi Nabi – yang tentu

saja dapat dijustifikasi dan  didukung berbagai riwayat yang sampai

kepada kita melalui biografi-biografi (sîrah) Nabi – maka dapat

diinventarisasi rencana-rencana yang dibuat para penentang Islam

dari kalangan kaum Quraisy untuk membunuhnya, misalnya

dengan membakarnya hidup-hidup (21: 68; 29:24), merajamnya

(11:91; 18:20; 19:46; 44:20; 36:18), atau membunuhnya saat  sedang

tidur (27:49).

Pada 619, Khadijah dan Abu Thalib secara berturut-turut

meninggal. Kepergian kedua orang ini merupakan suatu kehilangan

yang sangat berat bagi Nabi. Ia kehilangan bantuan duniawi yang

sangat penting baginya untuk mempertahankan kelangsungan

misinya. Pemimpin baru banu Hasyim, Abu Lahab, menarik

perlindungan klannya atas Muhammad. Tindakan ini dikecam

keras dalam surat 111. Menghadapi situasi kritis semacam itu,

Nabi berusaha  mencari dukungan bagi perjuangannya dengan

mengunjungi kota Thaif dan berdakwah di sana. Di kota ini ,

ia tidak hanya diperlakukan secara keji, namun  juga dilempari batu,

dan akhirnya terpaksa kembali ke Makkah.

Sekembalinya ke Makkah, Muhammad mengunjungi kemah-

kemah suku Arab yang datang ke kota itu untuk melakukan ziarah

tahunan (haji). Di sini, ia berdakwah dan mendapat sambutan

positif dari sekelompok peziarah yang berasal dari Yatsrib

(Madinah). Para peziarah ini bahkan mengundangnya ke Yatsrib

untuk tinggal bersama mereka dan  memberikan jaminan

keamanan atasnya. Setelah membahas syarat-syarat kepindahan

selama dua musim haji, akhirnya suatu perjanjian – dikenal sebagai

Perjanjian Aqabah – disepakati. Pada 622, Muhammad, dengan

ditemani Abu Bakr, berhijrah dari Makkah ke Madinah.81  Peristiwa

eksodus ini, pada masa pemerintahan Khalifah ke-2, Umar ibn

Khaththab, dijadikan sebagai tonggak inisiasi era Islam.

Langkah pertama yang dilakukan Nabi setiba di Madinah

adalah membangun masjid, tempat sembahyang yang merupakan

pusat kehidupan Islam. Al-Quran merujuk peristiwa ini (9:108 f.)

dengan menegaskan bahwa masjid ini  didirikan atas dasar

ketakwaan. Langkah lain yang dilakukan Nabi di waktu itu adalah

menciptakan fondasi kewarga an dengan mengikat tali

persaudaraan antara kaum Muslimin yang berhijrah mengikutinya

(muhãjirûn) dan penduduk setempat yang menerima klaim

kenabiannya (anshãr,“penolong”). Sebagaimana diketahui dari

berbagai riwayat, mayoritas populasi Arab di Madinah segera

menyatakan keimanan mereka pada waktu Muhammad tiba di

kota ini  atau segera setelah itu.

Namun, masalah politik yang genting kini muncul, sebab  –

menurut hukum kesukuan Quraisy – Nabi dan para pengikutnya

yang berasal dari Makkah dipandang sebagai buronan atau

pengkhianat yang harus dimusnahkan sekalipun berdomisili di

Madinah. Sementara penduduk kota Madinah sendiri terpecah

belah. Di samping dua suku besar – yakni Aus dan Khazraj – yang

saling bermusuhan, ada tiga suku Yahudi lainnya di Madinah:

banu Qainuqa, banu Qurayzhah dan banu Nadir. Sekalipun suku-

suku Yahudi ini terpecah-belah dan memihak kepada salah satu

dari kedua suku besar di atas, mereka merupakan suatu kelompok

tersendiri.

Di sisi lain, di kalangan kedua suku Arab yang telah menerima

Islam ada  sekelompok orang yang disebut al-Quran sebagai

munãfiqûn. Kelompok ini adalah pengikut Abd Allah ibn Ubay

yang berasal dari suku Khazraj. saat  Muhammad tiba di

Madinah, Abd Allah ibn Ubay secara lahiriah menyatakan

keislamannya, namun  secara diam-diam menyembunyikan rencana

menggerogoti Islam. Orang-orang munafik inilah yang secara

rahasia menggalang hubungan dengan orang-orang pagan Makkah

dan suku-suku Yahudi, dan  secara konstan melancarkan intrik-

intrik terhadap kaum muslimin.82

Dalam beberapa bulan setelah tiba di Madinah, Muhammad

berembuk dengan penduduk kota ini  dan menghasilkan

suatu kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah, atau –

sebagaimana biasa diistilahkan – Konstitusi Madinah. Piagam

ini merupakan dasar pembentukan federasi suku-suku di kota

itu berpijak pada tradisi kesukuan Arab yang ada. Isinya

menguraikan hak dan kewajiban seluruh kelompok yang berdiam

di kota ini . Nabi diakui sebagai kepala arbitrator Madinah

untuk menyelesai-kan segala perselisilahan antar-komunal. Orang-

orang Yahudi diberi jaminan otonomi keagamaan dan kultural,

dan  diakui sebagai suatu komunitas bersama-sama kaum

Muslimin. namun , kesepakatan yang tertuang dalam Piagam

Madinah ini tidak bertahan lama,83  lantaran perubahan situasi

dan kondisi yang sangat cepat.

Dokumen piagam ini  ada  antara lain dalam biografi

Nabi yang disusun Ibn Ishaq (w. 768).84  Seluruh sarjana, baik Mus-

lim maupun Barat, memberi kata sepakat tentang otentisitasnya.85

Yang menjadi masalah di kalangan mereka adalah apakah dokumen

itu merupakan dokumen tunggal atau terdiri dari beberapa

dokumen. Julius Wellhausen memandangnya sebagai satu kesatuan,

dan menduganya dibuat antara tahun pertama Hijriyah hingga

sebelum Perang Badr. Sementara W.M. Watt dan R.B. Serjeant

menganggapnya terdiri dari beberapa pakta yang digabung ke dalam

satu dokumen. Paruhan pertama dokumen itu, menurut Watt,

berasal dari masa sebelum Badr, dan sisanya dari berbagai masa

setelah Badr.

Serjeant memberikan penanggalan lebih rinci terhadap berbagai

pakta dalam Piagam Madinah. Menurutnya, piagam ini terdiri

dari delapan dokumen terpisah yang, secara umum, disusun

menurut tatanan pembuatannya. Dokumen 1 dan 2 merupakan

pakta yang dibuat segera setelah Muhammad tiba di Madinah.

Dokumen 3 dan 4 dibuat sebelum Badr dan mendefinisikan

hubungan Muslim-Yahudi di dalam warga  Madinah.

Dokumen 5 mengakui kembali status orang-orang  Yahudi setelah

ketegangan antara mereka dan umat Islam pasca-Badr. Dokumen

6, yang memproklamasikan Madinah sebagai wilayah suci (harãm),

berasal dari masa belakangan. Dokumen 7 kembali menekankan

hubungan Muslim-Yahudi, yang kali ini mengungkapkan aliansi

antara kaum Muslimin dan banu Qurayzhah, segera sebelum

pengepungan Madinah pada 5H/627. Dokumen terakhir

merupakan ketentuan tambahan untuk dokumen 6 tentang

kesakralan Madinah.

Setelah berhasil melakukan konsolidasi di Madinah, Nabi

beralih pada tugas lainnya yang merupakan faktor penentu dalam

tugas kenabiannya, yakni mengislamkan Makkah. Sebagaimana

diketahui, Makkah – di samping pengaruh komersial dan politiknya

– merupakan suatu kota yang menjadi pusat keagamaan orang-

orang Arab. Dengan menarik kota ini  menerima Islam, agama

ini tentunya akan menyebar ke daerah-daerah Arab lainnya. sebab 

itu, kurang lebih satu tahun setelah hijrah, Ka‘bah di Makkah

dinyatakan al-Quran sebagai objek haji, atau “tempat berkumpul

dan tempat yang aman bagi manusia” (2:125). Sekitar enam bulan

kemudian, tempat ini  ditetapkan sebagai arah yang dituju

dalam shalat, menggantikan posisi Yerusalem (2:142-150).

Pada titik ini, beberapa  penulis Barat mengungkapkan bahwa

tindakan-tindakan di atas merupakan indikasi yang kuat kepada

“nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam yang dilakukan Nabi sebab 

dikecewakan orang-orang Yahudi Madinah yang menolak

mengikutinya. Snouck Hurgronje, sehubungan dengan teori

“arabisasi” ini, misalnya, mengemukakan:

Pada mulanya, Muhammad yakin bahwa ia membawa kepada

orang-orang Arab apa yang diterima orang-orang Kristen dari

Isa, orang-orang Yahudi dari Musa, dan seterusnya, dan  untuk

menentang orang-orang kafir ia dengan penuh keyakinan

menyebut sebagai bukti “orang-orang berilmu” (16:41; 21:7),

yang kepadanya seseorang hanya perlu bertanya dalam rangka

memperoleh konfirmasi tentang kebenaran ajarannya. Di

Madinah ia mengalami kekecewaan, sebab   para ahli kitab

tidak mau mengakuinya. sebab  itu, ia mengusaha kan suatu

otoritas bagi dirinya yang berada di luar kontrol mereka, yang

sekaligus tidak berkontradiksi dengan wahyu-wahyu

terdahulunya. Ia kemudian berpaling kepada nabi-nabi

terdahulu yang tidak dapat membantahnya.86

Pernyataan di atas merupakan formula klasik yang dirumuskan

kalangan orientalis pada umumnya untuk menunjukkan bahwa

saat  kaum Yahudi dan Kristen di Madinah menolak mengakui

risalah kenabian Muhammad, ia lalu berpaling kepada Ibrahim –

yang dikatakan di dalam al-Quran bukan seorang Yahudi atau

Kristen, namun  seorang yang hanîf dan muslim87  – dan pada titik

inilah terjadi “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam. Kiblat – arah

dalam shalat – yang semula ke Yerusalem, diubah menghadap ke

Ka‘bah di Makkah; sementara ziarah keagamaan ke Ka‘bah

ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam,

Pandangan tentang “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam ini

secara sederhana dapat ditolak dengan mengemukakan bahwa

monoteisme al-Quran yang sejak semula terkait erat dengan

humanisme dan rasa keadilan sosio-ekonomik, bukanlah sesuatu

yang khas Arab. Bahwa Nabi dengan segera terlibat konflik dengan

kaum-kaum Yahudi Madinah, merupakan suatu kenyataan historis

yang tidak dapat dipungkiri siapapun. Hal ini dirujuk al-Quran

dalam berbagai kesempatan.89  Argumentasi tentang peran Yahudi

dalam kasus perpindahan kiblat tampaknya terlalu dibesar-besarkan.

Bukti semacam ini tentunya lebih berbobot jika dapat diperlihatkan

bahwa dalam rangka mengambil hati orang-orang Yahudi, Nabi telah

menunjuk Yerusalem sebagai kiblat setibanya di Madinah. Namun,

kenyataan historisnya tidaklah demikian. Berkiblat ke Yerusalem

tampaknya diperintahkan di Makkah saat  kaum Muslimin yang

tertindas tidak diperbolehkan pergi ke Ka‘bah – pusat keagamaan

seluruh bangsa Arab – untuk melakukan shalat. Penunjukan Yerusalem

sebagai kiblat juga pada hakikatnya ditujukan untuk menegaskan

perbedaan mendasar antara penyembah berhala dan kaum Muslimin.

Al-Quran sendiri mengatakan: “Dan tidaklah Kami jadikan kiblat

yang kamu ikuti sebelum ini (yakni Yerusalem) kecuali hanya untuk

mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke

belakang” (2:143).

Sementara penetapan haji ke Makkah tentu saja tidak ada

hubungannya dengan sikap orang-orang Yahudi Madinah terhadap

Nabi dan misi kenabiannya, namun  lebih didasarkan pada

pertimbangan yang bersifat politik dan ekonomik. Kekuasaan politik

dan ekonomik yang dimiliki Makkah – sebagai tempat suci yang

diziarahi seluruh bangsa Arab – jelas merupakan faktor penentu

diwajibkannya ziarah ke Makkah, disamping adanya kepercayaan

tentang kesucian Ka‘bah yang mesti ditegakkan kembali selaras

dengan tradisi keagamaan Ibrahim. sebab  itu, kontrol politik atas

Makkah mesti diperoleh Nabi untuk membuat perubahan-

perubahan ritual dan sosio-religius lainnya menjadi memungkinkan,

dan inilah yang diusaha kannya segera setelah hijrah ke Madinah.

Lebih jauh, jelas tidak ada untungnya bagi Nabi dan Islam untuk

melakukan kompromi dengan segelintir kaum Yahudi Madinah –

sekalipun posisi mereka sangat strategis di kota ini  – dengan

melepaskan Makkah dan, konsekuensinya, daerah-daerah Arab

lainnya.

Di samping itu, Nabi juga menyerang kafilah-kafilah dagang

Makkah yang hendak ke atau kembali dari Siria, tidak hanya untuk

mendapatkan pampasan perang, namun  terutama untuk mengisolasi

Makkah secara ekonomik agar penduduk kota ini  tunduk

kepada Islam. Dengan demikian, tindakan razia terhadap kafilah-

kafilah dagang ini jelas merupakan suatu strategi militer yang

cemerlang. Permusuhan aktif yang sejak semula ditunjukkan orang-

orang Makkah kepada Islam dan pandangan mereka tentang Nabi

bedan  kaum Muhajirin sebagai buronan atau pengkhianat yang

mesti dimusnahkan, barangkali telah membuat Nabi mengambil

tindakan untuk melakukan penyergapan terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah. Dengan kata lain, keadaan perang telah tercipta di

antara kedua belah pihak. Al-Quran sendiri memberi kesaksian yang

jelas tentangnya saat  merujuk kepada suatu bentrokan yang terjadi

antara suatu kafilah niaga Makkah dengan sekelompok Muhajirin

dalam bulan “haram” – bulan yang menurut norma antar-suku

Arabia dilarang melakukan peperangan.91  Dalam 2:217 disebutkan:

Mereka bertanya kepadamu tentang peperangan dalam bulan

haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa

besar; namun , lebih berat lagi adalah menghalangi manusia dari

jalan Allah dan kafir kepada-Nya, dan (menghalangi) orang

memasuki Masjid al-Haram dan  mengusir mereka dari

dalamnya. Mengusir orang dari kampung halamannya adalah

lebih berat di sisi Allah. Dan berbuat fitnah itu lebih berat dari

pada membunuh. Mereka (orang-orang Makkah) akan terus

memerangi kamu sampai berhasil memurtadkan kamu dari

agamamu, seandainya mereka sanggup.

Dengan demikian, dari bagian al-Quran di atas, dapat

disimpulkan bahwa serangkaian operasi militer atau razia yang

dilancarkan kaum Muslimin dari Madinah terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah bukanlah tanpa provokasi sebelumnya dari orang-

orang Quraisy. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya memuncak

dalam suatu peperangan terbuka di Badr, yang terletak beberapa

mil di barat daya Madinah. Suatu kafilah niaga Makkah yang

dipimpin Abu Sufyan, dengan sokongan 900 prajurit dari Makkah,

berhadapan dengan kurang lebih 300 tentara Muslim yang dipimpin

langsung Nabi pada bulan Ramadlan tahun ke-2 Hijriyah.

Hasilnya, kekalahan besar diderita pihak Makkah dan beberapa

pemimpin mereka tewas dalam pertempuran – diperkirakan sekitar

70 orang Quraisy, termasuk pemimpin aristokrat Makkah, Abu Jahal

– dan  banyak di antaranya yang tertawan pasukan Muslim. Sebagian

dari tawanan dilepaskan dengan tebusan, sementara sebagian lagi

dibebaskan dengan syarat mengajarkan kaum Muslimin membaca

dan menulis. Al-Quran menyebut kemenangan dalam Perang Badr

direbut berkat pertolongan Allah: “Sesungguhnya Allah telah

menolong kamu di Badr, padahal kamu (saat  itu) dalam keadaan

lemah. sebab  itu, bertakwalah kepada Allah, susaha  kamu

mensyukurinya” (3:123).

Segera setelah Perang Badr, Nabi menandatangani sebuah pakta

dengan beberapa suku Badui yang kuat. Hubungan ini dijalin suku-

suku ini  lantaran melihat kekuatan kaum Muslimin yang

semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam pakta itu, kedua

belah pihak bersumpah untuk saling tolong-menolong. namun ,

pakta ini tidak bertahan lama. Selang beberapa waktu kemudian,

Nabi menyerang suku Yahudi Madinah, banu Qainuqa, yang

berkomplot dengan orang-orang Makkah dalam melanggar isi

Piagam Madinah dan memaksa mereka angkat kaki ke

Transyordania.

Kekalahan pahit di Badr dan tetap dilakukannya razia terhadap

kafilah-kafilah dagang Makkah telah membuat orang-orang Quraisy

memandang perlu diambil langkah-langkah yang lebih tegas untuk

membalas kekalahan mereka. Pada 3H/625, 3000 prajurit Makkah

di bawah pimpinan Abu Sufyan bergerak ke Madinah. Di bawah

desakan para sahabat – yang sebenarnya bertentangan dengan

penilaiannya tentang memerangi pasukan Quraisy di kota Madinah

– Nabi memutuskan berperang di dekat Uhud.

Pada mulanya, pihak Makkah terdesak dalam pertempuran.

namun , pasukan pemanah Muslim yang ditempatkan di atas bukit

untuk melindungi balatentara Muslim lainnya, meninggalkan

posisi strategis mereka dan terjun ke kancah pertempuran, sebab 

khawatir tidak akan diperhitungkan dalam pembagian pampasan

perang. Akhirnya, keadaan berbalik secara drastis: pasukan Mus-

lim diporakporandakan bala tentara Makkah, dan tersebar desas-

desus bahwa Nabi –  yang terluka – telah gugur.93

Orang-orang Makkah tidak lagi melanjutkan pertempuran dan

kembali ke kota mereka dengan kemenangan gilang-gemilang di

tangan. Banyak sahabat Nabi yang gugur dalam pertempuran

Uhud, termasuk Hamzah ibn Abd al-Muthalib, dan kekalahan

balatentara Muslim ini juga memberi andil yang cukup besar dalam

menjatuhkan pamor mereka. Namun, dengan penuh kesabaran

Nabi berusaha  membangun kembali kekuatan moral pengikutnya.

Al-Quran, disamping mengeritik kaum Muslimin, juga menghibur

dan membangkitkan kembali semangat mereka setelah kekalahan

pahit ini .94  Sementara itu, orang-orang Yahudi Madinah yang

tidak ikut berpartisipasi dalam Perang Uhud tidak lagi

merahasiakan kegembiraan mereka atas kemalangan yang menimpa

kaum Muslimin. Demikian pula, suku-suku Badui yang terikat

pakta dengan kaum Muslimin tidak lagi menunjukkan sikap

bersahabat.

Pada 4H/624, salah satu suku Yahudi Madinah, banu Nadlir,

diusir dari kota itu lantaran sikap permusuhan yang mereka

tunjukkan kepada kaum Muslimin dan kecurigaan akan maksud

mereka membunuh Nabi. Mereka diperintahkan meninggalkan

Madinah dalam jangka waktu 10 hari dan diperkenankan membawa

segala harta bendanya. Pada mulanya, suku ini menyatakan

kesediaannya untuk angkat kaki, namun  Abd Allah ibn Ubay –

pemimpin kaum munafik Madinah – membujuk mereka agar tetap

tinggal dalam benteng dan berjanji akan mengirimkan bantuan

militer.

Berharap akan memperoleh bantuan – di samping dari Ubay,

juga dari banu Qurayzhah – mereka bersiap siaga untuk mengadakan

perlawanan kepada kaum Muslimin. saat  batas waktu yang

ditetapkan telah habis, kaum Muslimin mengepung benteng banu

Nadlir. Bala bantuan yang diharapkan suku Yahudi ini tidak kunjung

tiba. Akhirnya, setelah kaum Muslimin mulai menebang pohon-

pohon kurma mereka, banu Nadlir menyerah dan  terusir

sebagiannya ke Siria dan sebagian lagi ke Khaibar. Kisah pengusiran

suku Yahudi ini  dituturkan al-Quran dalam 59:1-17.

Sementara kaum Muslimin tengah berusaha  memulihkan

kondisinya, suatu ancaman besar kembali datang dari Makkah.

Kaum Quraisy, atas hasutan orang-orang Yahudi Khaibar dan

dengan bantuan suku-suku Badui lainnya mengerahkan sekitar

10.000 prajurit untuk menduduki Madinah. Mereka sadar bahwa

kemenangan di Uhud tidak begitu menentukan dan adalah lebih

penting menaklukkan Madinah untuk memadamkan api Islam.

Pada 5H/627, bergeraklah pasukan besar ini  ke Madinah yang

membuat penduduk Muslim di kota itu sangat kuatir. Kekuatiran

ini semakin menjadi-jadi lantaran sikap yang dipertontonkan kaum

munafik dan diketahuinya kenyataan bahwa kaum Yahudi Madinah

lainnya, banu Qurayzhah, menggalang persekutuan dengan orang-

orang Makkah.95

Nabi, atas saran  sahabat Salman al-Farisi, memerintahkan

penggalian parit-parit di depan bagian-bagian kota yang tidak

terlindungi. Balatentara Makkah bedan  sekutu-sekutunya

mengepung kota Madinah, namun  tidak berhasil memasuki, apalagi

mendudukinya. Pengepungan ini memakan waktu lama dan

berlarut-larut, sehingga melemahkan para pengepung itu sendiri.

Akhirnya, dengan kerugian sangat besar, pasukan pengepung pun

mengundurkan diri dan kembali ke Makkah. Kaum Muslimin

mengakhiri Perang “Parit” (khandaq, kata pinjaman dari bahasa

Persia) – demikian lazimnya perujukan kepada peperangan ini

dalam rekaman-rekaman sejarah – dengan kemenangan yang gilang

gemilang.

Perilaku suku-suku Badui, kaum munafik dan orang-orang

Yahudi selama beberapa kali peperangan barangkali cukup relevan

diamati sejenak. Apabila kaum Muslimin memperoleh kemenangan

dalam pertempuran, maka orang-orang Badui sangat bersemangat

untuk menggalang pakta perdamaian dan saling tolong-menolong

dengan kaum Muslimin; namun bila keadaan sebaliknya yang

terjadi, maka orang-orang Badui itu mengkhianati pakta-pakta yang

mereka buat. Al-Quran menggambarkan perilaku suku-suku Badui

ini sebagai berikut: “Orang-orang Badui itu adalah yang paling

hebat kekufuran dan kemunafikannya dan  yang paling condong

tidak melakukan batasan-batasan yang diturunkan Allah kepada

Rasul-Nya” (9:97). Sementara orang-orang munafik, yang

merupakan musuh dalam selimut, terlihat menghilang dengan

meninggalnya  Abd Allah ibn Ubay pada 9H/631.

Dalam kaitannya dengan kaum Yahudi, seperti telah diutarakan

di atas, mereka secara terang-terangan maupun gelap-gelapan telah

menjalin hubungan dengan Makkah dan kaum munafik. Al-Quran

berulang kali mempersalahkan mereka sebagai orang-orang yang

melanggar pakta-pakta.96  Itulah sebabnya, setelah setiap peperangan

besar, Nabi berpaling kepada salah satu suku Yahudi dan

mempersalahkannya lantaran tidak setia kepada perjanjian yang

dibuat: Setelah Badr, banu Qainuqa dipersalahkan dan diusir dari

Madinah; setelah Uhud, giliran banu Nadlir mendapatkan

perlakuan yang sama; dan setelah Perang Khandaq – dimana kaum

Yahudi Khaibar dan banu Qurayzhah menjalin persekongkolan

dengan orang-orang Makkah – suku Yahudi terakhir di Madinah

itu diserang kaum Muslimin. Peperangan yang mengakibatkan

dibantainya beberapa  besar orang-orang Yahudi banu Qurayzhah

ini, dan mengakibatkan punahnya suku ini , dirujuk al-Quran

di beberapa tempat.

Setelah melakukan “pembersihan” Yahudi di Madinah, kaum

Muslimin tetap melanjutkan sergapan terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah hingga 6H/626-7. Beberapa serbuan juga dilakukan

terhadap suku-suku Badui untuk menghukum mereka atas

pelanggaran-pelanggaran perjanjian yang dilakukan. Salah satu

ekspedisi punitif ini adalah yang dilakukan terhadap banu

Mushthaliq pada 5H. Ekspedisi ini menarik disebut, sebab  terkait

dengan suatu peristiwa yang menimpa Aisyah, (w. 678), salah satu

istri Nabi, dan menyebabkan ketegangan antara kaum Muhajirin

dan Anshar. Aisyah, yang tertinggal di suatu tempat setelah

ekspedisi itu, ditemukan dan dibawa pulang ke Madinah oleh

Shafwan ibn Mu‘aththal. Kejadian ini menimbulkan desas-desus

di kalangan kaum Muslimin yang membahayakan posisi Aisyah

sebagai isteri Nabi dan  mengancam putusnya pertalian saudara

antara Muhajirin dan Anshar.  Akhirnya, wahyu turun

menyelamatkan Aisyah dari berbagai desas-desus dan mencairkan

ketegangan antara kedua pengikut Nabi ini .

Pada penghujung 6H, posisi Nabi di Madinah semakin mapan.

Sekalipun masih menjadi buronan orang-orang Makkah dan tidak

diperkenankan berziarah ke tempat-tempat suci di kota ini ,

Nabi – mungkin melalui sejenis agensi rahasia yang dijalin lewat

klannya – mengetahui opini publik yang berkembang di Makkah

(cf. 48:11-17; 60:7-9). Jumlah yang makin membesar di kalangan

penduduk kota ini telah lelah berperang. Mereka mulai berpikir

bahwa adalah lebih menguntungkan bagi perniagaan Makkah, jika

perdamaian diwujudkan dengan musuh bebuyutannya yang tidak

terkalahkan, khususnya setelah Islam mewajibkan pengikutnya

berziarah ke Makkah.

Melihat kondisi Makkah semacam itu, pada 6H/628, Nabi

menyatakan keinginannya untuk melakukan umrah ke kota

ini . Bersama pengikutnya, Muhammad bergerak dari Madinah

ke Makkah. Ada bagian al-Quran yang mengisahkan bahwa Nabi

mengajak suku-suku Badui tertentu untuk menemaninya dalam

perjalanan itu, namun  mereka menolak ajakannya (48:llf.). saat 

mendekati Makkah, beberapa  prajurit dikirim dari dalam kota

untuk menahan kaum Muslimin. sebab  itu, Nabi memutuskan

berkemah di Hudaibiyah dan melakukan negosiasi dengan orang-

orang Quraisy. Ia mengutus Utsman ibn Affan (w. 656) ke Makkah

untuk berunding. namun , saat  tidak ada  tanda-tanda bahwa

Utsman akan kembali dan muncul desas-desus bahwa ia telah

dibunuh, Nabi mengumpulkan pengikutnya dan  mengambil

sumpah setia mereka – dikenal sebagai bay‘ah al-ridlwãn dan dirujuk

dalam 48:10,18 – untuk memerangi suku Quraisy hingga

kemenangan akhir tercapai. Akibat sumpah setia ini, kaum Quraisy

melepas Utsman dan mengirim utusan untuk melakukan

perundingan dengan kaum Muslimin, yang berujung dengan

ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah.

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kaum Muslimin akan

menunda ibadah umrahnya hingga tahun depan. Sebenarnya klausa

ini ditentang keras sebagian pengikut Nabi, namun  kenyataan bahwa

orang-orang Quraisy terpaksa berunding dan membuat  perjanjian

dengan   kaum  Muslimin  dalam kedudukan  yang  setara, jelas

merupakan suatu kemenangan diplomatik yang besar bagi kaum

Muslimin. Para sejarawan Barat modern bahkan memandang

perjanjian ini  sebagai suatu langkah diplomasi Nabi yang

piawai.99  Setelah penandatanganan perjanjian Hudaibiyah,

Muhammad dan pengikutnya kembali ke Madinah.

Pada permulaan 7H (628-9), Nabi dan pengikutnya

menaklukkan oase kaya Khaibar, yang dihuni orang-orang Yahudi.

Koloni Yahudi lainnya, Wadi al-Qura, juga jatuh ke tangan kaum

Muslimin dalam ekspedisi ini, yang mendatangkan banyak

pampasan  perang bagi mereka.100   Suatu hal baru  dilembagakan

Nabi dalam penaklukan Khaibar, yang pada masa-masa selanjutnya

dipraktekkan dalam penyebarluasan domain politik Islam: Nabi

tidak menghukum mati atau mengusir penduduk Khaibar, namun 

membiarkan mereka sebagaimana adanya dan mengharuskan

membayar iuran setiap tahun. Belakangan, dalam terminologi fiqh,

orang-orang taklukan semacam ini disebut dzimmî dan  iuran yang

mesti dibayar disebut jizyah (pajak kepala) dan kharaj (pajak tanah).

Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, pada 7H/629

Muhammad bedan  pengikutnya melakukan umrah ke Makkah.

Salah satu peristiwa yang signifikan di sini adalah masuk Islamnya

beberapa pemuka Quraisy yang penting seperti Amr ibn al-Ash

(w. 663) dan Khalid ibn Walid (w. 642). Setelah itu, Nabi tetap

melakukan ekspedisi-ekspedisi militernya. Suatu ekspedisi ke

Transyordania yang dipimpin Zayd ibn Tsabit (w. 655) mengalami

kekalahan di  Mu’ta.  namun , beberapa   besar  suku  Yahudi  kini

mulai  melihat sisi-sisi positif bila bergabung dengan kaum

Muslimin. Akhirnya, suku-suku ini – bahkan suku-suku besar

seperti banu Sulaim – bergabung dengan kaum Muslimin dan

menyatakan keislamannya.

Di perkirakan pada masa inilah Muhammad mengirim surat

kepada Raja Ethiopia, Gubernur Mesir, Kaisar Bizantium dan 

Persia, dan lainnya, yang berisi seruan kepada mereka untuk

memeluk Islam. Sebagian besar penulis Barat meragukan keabsahan

surat-surat ini  dan menilainya sebagai rekayasa belakangan

untuk menguniversalkan risalah yang dibawa Nabi. Skeptisisme

ini dikedepankan demi membela sudut pandang mereka tentang

Islam sebagai agama nasional Arab. namun , sebagaimana telah

ditunjukkan, gagasan tentang agama nasional itu sama sekali tidak

memiliki basis yang kuat.

Lantaran pelanggaran yang dilakukan orang-orang Quraisy

terhadap perjanjian Hudaibiyah – yakni dengan mendukung suku

Bakr melawan suku Khuza‘ah yang terikat perjanjian tolong-

menolong dengan kaum Muslimin – maka dengan dukungan bala-

tentara sebesar 10.000 prajurit Nabi bergerak ke Makkah untuk

menaklukkannya pada 8H/629. saat  pasukan Muslim tiba di

luar kota ini , pemuka-pemuka suku Quraisy – diantaranya

Abu Sufyan – diutus untuk merundingkan penyerahan kota

Makkah secara damai. Akhirnya, Nabi memasuki kota kelahirannya

praktis tanpa perlawanan dan hampir seluruh penduduk kota

ini  menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawanya.

Amnesti diumumkan bagi seluruh musuh Islam, dan berhala-

berhala penghias Ka‘bah dihancurkan.

Tahap akhir kehidupan Muhammad ditandai dengan meluas

otoritasnya ke sebagian besar penjuru Arabia. Selama dua tahun

setelah fath makkah, sebagian besar penduduk Arabia secara suka

rela memeluk Islam. Sementara kota Thaif dan suku-suku Hawazin

melakukan perlawanan sengit. namun , yang lebih dahulu diserbu

adalah suku-suku Hawazin. Dalam pertempuran melawan suku-

suku ini  di Hunain, hampir saja pasukan Muslim menghadapi

bencana lantaran rasa percaya diri yang berlebihan sebab 

berjumlah lebih besar dari musuh.101   Akhirnya, kemenangan bisa

mereka peroleh.

Langkah selanjutnya adalah menundukkan Thaif. Balatentara

Muslim mengepung kota itu yang berkesudahan dengan pernyataan

keislaman penduduknya. Setelah peristiwa ini, tidak ada lagi

konsentrasi suku-suku pengembara di Arabia – selain di bagian

utara – yang cukup kuat berperang melawan kaum Muslimin.

Sekitar 9H/ 630-1, sebagian besar suku-suku di Arabia mengirim

delegasi-delegasi ke Madinah untuk menyatakan ketundukannya

kepada kaum Muslimin dan merundingkan syarat-syarat

persekutuan sehubungan dengan pengakuan keislaman mereka.102

Pada tahun yang sama, Nabi bedan  30.000 prajurit Muslim

melakukan suatu ekspedisi militer terhadap kelompok-kelompok

Kristen di Transyordania. Ekspedisi ini, yang mencatat sukses besar,

tampaknya memiliki tujuan strategis untuk membuka rute

perluasan Islam ke Siria. Selama masa perhentian di Tabuk,

beberapa  negeri Kristen dan Yahudi di bagian utara Arabia – seperti

Raja Kristen Yuhanna di Aila, orang-orang Adzruh dan kaum

Yahudi di kota pelabuhan Makna – menyatakan ketundukannya

kepada otoritas kaum Muslimin. Sementara itu, kota penting

Dumat al-Jandal berhasil ditaklukkan pasukan Muslim di bawah

pimpinan Khalid ibn Walid. Al-Quran merujuk ekspedisi ini di

beberapa tempat.

Pada 10H/632, Nabi menunaikan ibadah haji ke Makkah, yang

merupakan ibadah haji terakhir baginya. Dalam kesempatan

pelaksanaan ibadah ini  ia menyampaikan suatu khutbah yang

menekankan persaudaraan kaum Muslimin, persamaan harkat dan

martabat manusia tanpa memandang warna kulit dan asal-usul

etnis, dan  menggantikan pertalian darah kesukuan dengan ikatan

keimanan. Khutbah ini merangkum berbagai pembaruan moral,

sosio-ekonomik dan keagamaan yang dicanangkan Muhammad.

Sekembalinya ke Madinah, Nabi jatuh sakit dan dipanggil

pulang ke hadirat Ilahi pada 13 Rabi‘ al-Awwal 11H, bertepatan

dengan 8 Juni 632. Sebelum ajal menjemputnya, Nabi masih sempat

merencanakan suatu ekspedisi ke utara, di luar tapal batas Arabia.

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi secara pasti tidak akan

membatasi perkembangan Islam hanya di jazirah Arab. Baginya,

Islam harus melangkah ke luar jazirah ini . berdasar  logika

semacam ini, keberadaan surat-surat yang ditulis Nabi kepada Raja

Ethiopia, Gubernur Mesir, dan kaisar-kaisar Bizantium dan  Per-

sia, yang berisi seruan kepada mereka untuk memeluk Islam, pada

prinsipnya dapat diterima sekalipun teks surat-surat ini  yang

kita warisi dewasa ini bisa diragukan otentisitasnya. Nabi

tampaknya telah menggariskan tekad bahwa Islam mesti melangkah

ke luar Arabia, sejalan dengan universalitas risalah yang

didengungkannya.


Kitab suci kaum Muslimin, yang berisi kumpulan wahyu Ilahiyang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih

23 tahun, secara populer dirujuk dengan nama “al-Qur’ãn” (



). Sebagian besar sarjana Muslim memandang nama ini 

secara sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari

kata kerja (fi‘l ) qara’a ( 

), “membaca.” D engan demikian al-qur’ãn

( 

) bermakna “bacaan” atau “yang dibaca” (maqrû’). 1   Dalam

manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal, kata ini ditulis tanpa

menggunakan hamzah – yakni al-qurãn – dan hal ini telah

menyebabkan beberapa  kecil sarjana Muslim memandang bahwa

terma itu diturunkan dari akar kata qarana (

 ), “menggabungkan

sesuatu dengan sesuatu yang lain” atau “mengumpulkan,” dan al-

qurãn (  

 ) berarti “kumpulan” atau “gabungan.”2  namun ,

pandangan minoritas ini harus diberi catatan bahwa penghilangan

hamzah merupakan suatu karakteristik dialek Makkah atau Hijazi,3

dan karakteristik tulisan al-Quran dalam aksara kufi yang awal. Di

samping itu, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah, terma qur’ãn

bertalian erat dengan akar kata qara’a dalam penggunaan al-Quran

sendiri.

Para sarjana Barat yang belakangan pada umumnya menerima

pandangan Friedrich Schwally bahwa kata qur’ãn merupakan derivasi

(isytiqãq) dari bahasa Siria atau Ibrani: qeryãnã, qiryãnî (“lectio,”

“bacaan” atau “yang dibaca”), yang digunakan dalam liturgi Kristen.4

Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa Semit lainnya dalam

kasus ini bisa saja dibenarkan, mengingat kontak-kontak yang

dilakukan orang-orang Arab dengan dunia di luarnya.5  Lewat

kontak-kontak semacam itu, berbagai kata non-Arab telah

dimasukkan ke dalam bahasa Arab atau “diarabkan.” namun ,

sebagaimana akan ditunjukan di bawah, terma qur’ãn – dalam

kaitannya dengan kitab suci kaum Muslimin – pada prinsipnya

berasal dari penggunaan al-Quran sendiri yang didasarkan pada

bentuk mashdar fu‘lãn dari akar kata qara’a.

Kata kerja qara’a ( 

) dan berbagai bentuk konjugasinya

(tashrîf) muncul 17 kali di dalam al-Quran. Kata kerja ini, dengan

rujukan kepada pembacaan wahyu (al-Quran) oleh Muhammad,

muncul dalam beberapa kesempatan (16:98; 17:45,106 cf. 7:204;

84:21).6  namun , dalam konteks lainnya (75:18; 87:6), disebutkan

bahwa Tuhanlah yang membacakan wahyu kepada Muhammad.

Dalam 73:20, ada  dua kali perintah membacakan bagian-bagian

termudah al-Quran, yang ditujukan kepada pengikut-pengikut

Muhammad saat  itu. Sementara dalam 26:198 f., dikatakan bahwa

jika al-Quran diturunkan kepada seorang non-Arab (a‘jam) lalu ia

bacakan kepada orang-orang kafir (Makkah), maka orang-orang

ini  tidak akan mempercayainya. Jadi, dalam keseluruhan

konteks yang telah dikemukakan, bisa dilihat pertalian erat antara

akar kata qara’a dengan al-Quran, yang membuktikan bahwa terma

al-qur’ãn memang diturunkan dari akar kata ini .

Kemunculan kata kerja qara’a – dengan makna “membaca” –

dalam konteks-konteks al-Quran lainnya tidak dikaitkan dengan

qur’ãn, namun  dengan kitãb. Dalam 17:93, Muhammad ditantang

orang-orang kafir untuk mendatangkan dari “langit” sebuah kitab

yang dapat mereka “baca” sebagai bukti kerasulannya. Dalam tiga

bagian al-Quran lainnya (17:14,71; dan 69:19), kata kerja ini 

dikaitkan dengan “pembacaan” kitab rekaman perbuatan manusia

di Hari Penghabisan. Konteks terakhir (10: 94) merujuk kepada

orang-orang tertentu yang sezaman dengan Nabi – barangkali

menunjuk kepada orang-orang Yahudi dan Kristen – sebagai “or-

ang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.” Jadi, dalam konteks

apapun,  kata kerja qara’a digunakan al-Quran dalam pengertian

“membaca,” baik dikaitkan dengan qur’ãn ataupun kitãb.

Kata qur’ãn, baik dengan atau tanpa kata sandang tertentu

(’adãt al-ta‘rîf, yakni al-), muncul sekitar 70 kali di dalam al-Quran

dengan pengertian yang beragam. Dalam 75:17-18, kata ini

digunakan untuk merujuk wahyu-wahyu individual yang

disampaikan satu-per-satu kepada Nabi,7  atau sebagai suatu istilah

umum untuk wahyu Ilahi yang diturunkan bagian demi bagian.8

Sementara pada sebagian konteks lainnya, al-qur’ãn – terkadang

tanpa artikel penentu (al ) – disebut sebagai suatu versi berbahasa

Arab dari al-kitãb yang ada di Lawh mahfûzh.9  Kata ini juga

merujuk kepada sekumpulan wahyu Ilahi yang diperintahkan

untuk dibaca.10  namun , penggunaan terma al-qur’ãn yang paling

dekat dengan pengertian yang dipahami dewasa ini – yakni sebagai

kitab suci kaum Muslimin – ada  di dalam suatu konteks

(9:111), di mana kata ini disebut secara bergandengan dengan dua

kitab suci lain (Tawrat dan Injil) dalam suatu konstruksi (tarkîb)

yang memberi kesan tentang tiga kitab suci yang paralel.

Sebagai alternatif untuk kata al-qur’ãn, kitab suci kaum

Muslimin juga lazim dirujuk dengan terma al-kitãb (

). Kata

ini muncul di dalam al-Quran sebanyak 255 kali dalam bentuk

tunggal dan 6 kali dalam bentuk jamak (kutub). Penggunaan kata

kitãb yang paling sering di dalam al-Quran adalah dalam kaitannya

dengan wahyu Tuhan kepada para nabi. Jadi, kepada para nabi

sebelum Muhammad telah diturunkan kitãb (2:213; 3:81; dll.). Kitãb

telah diturunkan Tuhan kepada anak keturunan Nuh dan Ibrahim

(57:26; 4:54; 6:84-89; 29:27), kepada Bani Israel (40:53; 45:16; dll.),

kepada Musa (2:53,87; 6:154; 11:110; 41:45; 17:2; 23:49; 25:35;

37:117; 28:43; 32:23; dll.), kepada Yahya (19:12) dan kepada Isa

(3:48; 5:110; dll.). Sementara kepada Muhammad sendiri juga

diturunkan kitãb yang mengkonfirmasi kitab-kitab wahyu

sebelumnya (3:43; 2:89; 3:7; 4:105; 5:48; 6:92; 16:64; 46:12,30; dll.).

Makna khusus yang baru dikemukakan ini – yakni sebagai

wahyu Tuhan yang diturunkan kepada para nabi – mesti dipisahkan

dari makna kata kitãb lainnya yang digunakan di dalam al-Quran.

Kata ini secara sederhana bisa berarti “sesuatu yang tertulis” atau

“sepucuk surat” (24:33; 27:28 f.). Dalam kaitannya dengan Hari

Akhirat, kata kitãb bisa bermakna “rekaman tertulis” perbuatan

manusia (17:71; 69:19-25; 84:7,10; 18:49; 39:69; dll.) yang dipegang

malaikat pengawas manusia (82:10-12), dan akan dibentangkan

terbuka di Hari Penghisaban (81:10). Kata kitãb juga secara khusus

d