Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 14. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 14. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 14


 ng. 

Pada hari terjadinya Fathu Makkah, Abu Sufyan bin Harb 

memperhatikan rombongan pasukan muslimin. lalu  ia melihat 

seorang pria yang membawa panji Gathfan dan Abu Sufyan bertanya 

kepada orang di sampingnya: “Siapakah orang itu?!” Mereka menjawab: 

“Dia yaitu  Nu’aim bin Mas’ud.” Abu Sufyan berkata: “Amat keji 

perbuatan yang ia lakukan kepada kita pada perang Khandaq. Demi Allah, 

dulunya dia yaitu  orang yang paling memusuhi Muhammad. Sekarang 

  

dia membawa panji kaumnya bersama Muhammad, dan turut serta untuk 

memerangi kita di bawah panji yang dibawanya. 


Khabbab bin Al Aratti 

“Semoga Allah Merahmati Khabbab. Ia Telah Masuk Islam sebab  

Keinginannya, Berhijrah sebab  Taat dan Hidup Sebagai Mujahid.” 

(Ali bin Abi Thalib) 

 

Ummu Anmar Al Khuza’iyah pergi ke pasar An Nakhasin148 di Mekkah. 

Ia ingin membeli seorang budak untuk membantunya, dan memanfaatkan 

tenaganya. Ia memperhatikan wajah-wajah budak yang ditawarkan untuk 

dijual. Pilihannya jatuh pada seorang anak kecil yang belum lagi baligh. Ia 

mendapati anak ini  sehat badannya dan tanda-tanda kecerdasan 

terpancar jelas di wajahnya. Hal itu yang membuat Ummu Anmar tertarik 

untuk membelinya. Ummu Anmar lalu menyerahkan uang untuk 

membelinya, lalu  membawa pulang bocah budak ini . 

Di tengah jalan, Ummu Anmar menoleh kepada budak kecil tadi dan 

bertanya: “Siapa namamu, wahai anak?” Ia menjawab: “Khabbab.” Ummu 

Anmar bertanya lagi: “Lalu siapa nama ayahmu?” Ia menjawab: “Al Aratt.” 

Ummu Anmar bertanya kembali: “Dari mana engkau berasal?” Ia 

menjawab: “Dari Najd.” Ummu Anmar menukas: “Kalau begitu engkau 

yaitu  orang Arab!!” Ia membalas: “Benar, saya berasal dari Bani Tamim.” 

Ummu Anmar bertanya: “Lalu apa yang membuatmu sampai ke tangan 

para penjual budak di Mekkah?!!” 

Ia menjawab: “Sebuah kabilah Arab telah menyerang kampung kami. 

Mereka mengambil hewan ternak, menyandera para wanita dan anak-

anak. Dan aku termasuk seorang anak yang tertangkap. Aku terus menjadi 

budak dengan tuan yang silih berganti sehingga aku di bawa ke Mekkah. 

dan kini aku berada di tanganmu. 

  

Ummu Anmar mengirimkan budaknya ini ke seorang pandai besi yang 

ada di Mekkah untuk diajarkan kepadanya bagaimana cara membuat 

pedang. Dengan cepat budak ini mempelajari dan menguasai cara 

pembuatan pedang. 

Begitu Khabbab sudah semakin besar, Ummu Anmar menyewakan 

untuknya sebuah toko dan membelikan segala perabotannya. Dan di toko 

ini , Khabbab mulai mengkomersialkan keahliannya dalam membuat 

pedang. 

                                                     

148

 Pasar budak 

  


  

Tidak terlalu lama, nama Khabbab sudah terkenal di Mekkah. Banyak 

orang yang datang kepadanya untuk membeli pedang. Sebab ia terkenal 

dengan sifat amanah, jujur dan sempurna dalam membuat pedang. 

  

Meski Khabbab masih berusia muda akan tetapi ia memiliki pemikiran 

dan kearifan seperti orang dewasa. 

Jika ia sudah selesai melaksanakan tugasnya, ia sering menyendiri dan 

berpikir tentang masyarakat jahiliah yang terjerembab dalam kerusakan 

dari mulai kaki hingga ujung kepala mereka. 

Ia merasa aneh dengan kebodohan dan kesesatan yang terjadi pada 

kehidupan masyarakat Arab sehingga dirinya menjadi salah satu korban 

dari sifat mereka ini . 

Dia sering mengatakan: “Malam ini harus segera berakhir.” 

Dia berharap agar umurnya diperpanjang sehingga ia sempat melihat 

sirnanya kegelapan dan terbitnya terang. 

  

Penantian Khabbab tidak berlangsung lama. Telah sampai pada dirinya 

bahwa ada sebuah sinar yang muncul dan keluar dari seorang pemuda 

Bani Hasyim yang dikenal dengan Muhammad bin Abdullah. 

Khabbab pun pergi menjumpainya, dan mendengarkan sabdanya. Ia 

amat terpesona dengan sinarnya. 

Khabbab pun menjulurkan tangannya kepada orang ini  dan 

bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu  

hamba dan Rasul-Nya. 

Dia telah menjadi orang keenam yang masuk Islam di muka bumi ini 

sehingga ada orang yang berkata: “Waktu telah mendahului Khabbab 

sehingga ia menjadi orang yang keenam dalam Islam.” 

  

Khabbab tidak menyembunyikan keislamannya dari siapapun. Danhal 

itu segera terdengar oleh Ummu Anmar, dan ia pun menjadi marah 

dibuatnya. Ia lalu  mengajak saudaranya yang bernama Siba bin 

Abdul Uzza dan mereka juga berjumpa dengan sekelompok pemuda 

Khuza’ah. Semuanya berangkat untuk menemui Khabbab dan mereka 

mendapati Khabbab sedang tekun melakukan tugasnya. Maka datanglah 

Siba menghadapi Khabbab dan berkata kepadanya: “Kami telah mendengar 

sebuah berita tentangmu yang kami sendiri tidak mempercayainya.” 


Khabbab bertanya: “Berita apa itu?!” Siba berkata: “Banyak orang yang 

mengatakan bahwa engkau telah keluar dari agama dan kini engkau 

menjadi pengikut seorang pemuda dari Bani Hasyim.” 

Khabbab lalu berkata dengan tenang: “Aku tidak keluar dari agama, 

akan tetapi aku telah beriman kepada Allah Yang Esa dan tidak memiliki 

sekutu baginya. Aku telah menyingkirkan berhala-berhala kalian dan aku 

bersaksi bahwa Muhammad bin Abdullah yaitu  utusan-Nya.” 

Begitu kalimat yang diucapkan Khabbab sampai di telinga Siba dan 

orang-orang yang bersamanya, maka mereka langsung merangsek ke arah 

Khabbab untuk memukulinya dengan tangan mereka, dan menendangnya 

dengan kaki mereka. Dan mereka melemparkan ke tubuhnya benada apa 

saja dari besi pemukul dan potongan besi yang dapat mereka raih. Sehingga 

Khabbab terpuruk ke tanah kehilangan kesadaran dengan darah 

berlumuran. 

  

Menyebarlah di Mekkah kisah yang telah terjadi antara Khabbab dan 

tuannya dengan begitu cepat bagaikan api yang membakar daun kering. 

Semua manusia keheranan dengan keberanian yang dimiliki Khabbab. 

Sebabnya belum pernah mereka dengar bahwa ada orang yang menjadi 

pengikut Muhammad lalu berdiri di depan manusia untuk menyatakan 

keislaman dirinya dengan begitu tegas dan menantang seperti Khabbab. 

Para pemuka Quraisy pun kaget oleh kisah Khabbab ini. Tidak pernah 

terbersit di hati mereka bahwa akan ada seorang budak seperti budak 

Ummu Anmar yang tidak memiliki keluarga yang dapat melindunginya 

dapat begitu berani dan keluar dari kekuasaan tuannya. Budak terseut telah 

berani mencela tuhan-tuhan mereka dengan jelas, dan menganggap bodoh 

agama bapak dan leluhur mereka. Dan para pembesar Quraisy semakin 

yakin bahwa budak ini akan semakin berani lagi. 

Perkiraan pemuka Quraisy tadi tidak meleset. Keberanian Khabbab 

rupanya telah mampu menggerakkan para sahabatnya yang lain untuk 

menyatakan keislaman mereka. Maka mereka mulai mengucapkan kalimat 

kebenaran dengan terang-terangan satu demi satu. 

  

Para pemuka Quraisy berkumpul di Mekkah dan sebagian dari mereka 

saat itu yaitu  Abu Sufyan bin Harb, Al Walid bin Al Mughirah, Abu Jahl 

bin Hisyam dan mereka semua sedang berbicara tentang Muhammad. 

Mereka melihat bahwa kekuatan Muhammad dari hari ke hari bahkan dari 

waktu ke waktu semakin bertambah kuat dan besar. 

Maka suku Quraisy bertekad untuk mencegah penyakit ini sebelum 

semakin parah. Dan mereka memutuskan agar setiap anggota kabilah 

  

menyiksa pengikut Muhammad sehingga mereka murtad dari agamanya 

atau hingga mereka mati. 

  

Kepada Siba dan kaumnya diberikan tanggung jawab untuk melakukan 

penyiksaan kepada Khabbab. Maka setiap kali hari terasa panas dan sinar 

mentari terasa membakar bumi, mereka akan membawa Khabbab ke 

lembah Mekkah. Mereka menanggalkan pakaian Khabbab dan 

memakaikan padanya pakaian besi. Mereka tidak memberikan air kepada 

Khabbab sehingga jika ia sudah merasa amat payah, maka mereka akan 

berkata kepadanya: “Siapa menurutmu Muhammad itu?” Ia menjawab: 

“Dia yaitu  hamba dan Rasul Allah. Ia datang kepada kami dengan 

membawa agama petunjuk dan kebenaran agar dapat mengeluarkan kami 

dari kegelapan menuju cahaya.” 

Lalu mereka memukulkan tangan mereka ke tubuhnya dan berkata: 

“Menurutmu apakah Lata dan Uzza itu?” Ia menjawab: “Keduanya yaitu  

berhala yang tuli dan bisu, tidak memberikan mudharat ataupun manfaat.” 

Lalu mereka membawakan batu-batu yang panas dan menempelkan batu 

ini  di punggung Khabbab. Mereka membiarkan bebatuan panas 

ini  di punggung Khabbab sehingga keluarlah keringat dari kedua 

pundaknya. 

  

Ummu Anmar tidak kalah bengis dari saudaranya yang bernama Siba. 

Dia pernah melihat Rasulullah Saw yang mempir di toko Khabbab dan 

berbicara kepadanya. Maka ia langsung marah dengan pemandangan yang 

telah dilihatnya. 

lalu  setiap hari ia mendatangi Khabbab dan langsung mengambil 

besi panas dari tempat pembakarannya lalu  ia meletakkannya di atas 

kepala Khabbab sehingga kepalanya melepuh dan ia hilang kesadaran... 

dan Khabbab sering berdo’a jelek untuk Ummu Anmar dan saudaranya 

yang bernama Siba. 

  

Begitu Rasulullah Saw mengizinkan kepada para sahabatnya untuk 

berhijrah, maka Khabbab pun mempersiapkan diri untuk berhijrah. 

Akan tetapi Khabbab tidak pergi meninggalkan Mekkah kecuali  sesudah  

Allah mengabulkan do’a yang ia panjatkan bagi keburukan Ummu Anmar. 

Ummu Anmar terkena penyakit sakit kepala yang belum pernah terdengar 

penyakit kepala sehebat itu. Ummu Anmar meraung sebab  kesakitan 

seperti seekor anjing yang menggonggong. 

Maka anak-anaknya mencari tabib ke seluruh tempat yang dapat 

membantu menghilangkan penyakit yang diderita ibu mereka. Ada orang 

yang menyarankan bahwa Ummu Anmar tidak akan sembuh dari 

penyakitnya kecuali bila ia mau menyulut kepalanya dengan api. 

Maka Ummu Anmar pun menyulut kepalanya dengan besi yang 

dipanaskan, maka  sesudah  ia melakukannya ia pun terbebas dari sakit 

kepala yang dideritanya. 

  

Dalam perlindungan Bangsa Anshar di Madinah Khabbab merasakan 

ketenangan yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Ia begitu senang 

berada di dekat NabiSaw tanpa adanya halangan dan rintangan. 

Ia turut-serta mendampingi Nabi Saw dalam perang Badr dan berjuang 

di bawah komandonya. 

Ia juga turut-serta dalam perang Uhud, dan Allah membuat hatinya 

saat ia melihat Siba bin Abdul Uzza saudara Ummu Anmar yang 

menjumpai kematiannya di tangan Singa Allah yang bernama Hamzah bin 

Abdul Muthalib. 

Ia diberikan umur yang panjang sehingga ia merasakan kepemimpinan 

semua khulafa ar rasyidin yang empat. Dan Khabbab hidup di bawah 

pengawasan mereka dengan hidup yang mulia. 

  

Suatu hari ia mendatangi Umar bin Khattab dalam ruangan 

kekhilafahannya. Umar langsung menaikan tempat duduk buat Khabbab 

dan Umar terlihat berlebihan dalam mendekatkan diri kepadanya. Umar 

berkata kepada Khabbab: “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk 

mendapatkan posisi seperti ini selain Bilal.” lalu  Umar bertanya 

kepada Khabbab penyiksaan yang paling keras ia rasakan dari kaum 

musyrikin, namun Khabbab merasa enggan untuk menceritakannya. Begitu 

Umar mendesak agar Khabbab bercerita maka Khabbab menyibakan 

selendang dari punggungnya. Maka kagetlah Umar dengan apa yang ia 

lihat di punggung Khabbab. Umar bertanya: “Bagaimana bisa seperti ini?!” 

Khabbab menjawab: “Kaum musyrikin menyalakan kayu bakar sehingga 

menjadi bara lalu  mereka menanggalkan bajuku. lalu  mereka 

menarik tubuhku untuk tidur di atasnya, sehingga daging punggungku 

terkelupas dari tulang. Tidak ada yang memadamkan api ini  kecuali 

air keringat yang berjatuhan dari tubuhku. 

  

Khabbab pada paruh lain dalam hidupnya hidup berkecukupan  sesudah  

merasakan kefakiran. Ia memiliki emas dan perak yang tidak pernah ia 

bayangkan sebelumnya. 

Akan tetapi ia mempergunakan uangnya dengan cara yang tidak 

pernah dibayangkan oleh orang lain. 

Ia meletakkan dirham dan dinarnya pada sebuah tempat di dalam 

rumahnya yang telah diketahui oleh orang-orang fakir miskin yang 

membutuhkan. 

Ia tidak pernah menyembunyikannya dan juga tidak pernah 

menguncinya. Orang-orang fakir dan miskin tadi selalu datang ke 

rumahnya dan mengambil harta ini  sekehendak mereka tanpa perlu 

meminta atau izin terlebih dahulu. 

Meski demikian, Khabbab masih merasa khawatir bila dirinya akan 

dihisab nanti atau akan diadzab sebab  harta ini . 

  

Beberapa orang sahabatnya bercerita: “Kami menjenguk Khabbab saat 

ia sekarat. Ia berkata: ‘Di tempat ini terdapat 80 ribu dirham.  Demi Allah, 

aku tidak pernah menyembunyikannya dan aku tidak pernah menghalangi 

orang yang memintanya.’ lalu  ia menangis. 

Para sahabatnya bertanya: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia 

berkata: ‘Aku menangis sebab  banyak sahabatku yang sudah wafat namun 

mereka tidak mendapatkan ganjaran kebaikan mereka di dunia ini 

sedikitpun. Sedangkan aku masih hidup hingga sekarang dan mendapatkan 

harta seperti ini yang membuatku khawatir bahwa ini yaitu  ganjaran 

kebaikan yang pernah aku lakukan.’ 

  

Begitu Khabbab menemui ajalnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib 

ra berdiri di hadapan kuburnya dan berkata: “Semoga Allah merahmati 

Khabbab. Dia begitu semangat masuk ke dalam Islam. Berhijrah sebab  

patuh kepada Rasul dan hidup sebagai seorang pejuang. Allah Swt tidak 

akan pernah menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya. 

Al Rabi’ Bin Ziyad Al Haritsi 

“Tidak Ada Orang yang Begitu Percaya Kepadaku Sejak Aku Menjadi 

Khalifah Sebagaimana yang Dilakukan Oleh Al Rabi Bin Ziyad.” 

(Umar Bin Khattab) 

 

Madinah Rasulullah Saw masih dirundung kesedihan sebab  telah 

kehilangan seorang yang amat mulia bernama Abu Bakar As Shiddiq. 

Banyak utusan dan delegasi yang berdatangan dari segala penjuru 

setiap hari untuk membai’at Khalifah yang baru, Umar bin Khattab dan 

untuk menyatakan kepatuhan dan loyalitas mereka baik dalam kondisi 

senang maupun susah. 

Pada suatu pagi datanglah delegasi dari Bahrain untuk menghadap 

Amirul Mukminin dan beberapa rombongan delegasi yang lainnya. 

Umar Al Faruq ra senang sekali mendengar pembicaraan para delegasi 

dengan harapan ia akan mendapatkan nasehat yang bermanfaat, ide yang 

berguna atau nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan bagi ummat muslim secara 

keseluruhan. 

Ia meminta beberapa orang dari para hadirin saat itu untuk berbicara 

akan tetapi apa yang mereka sampaikan tidak begitu berarti. 

lalu  khalifah menoleh kepada seorang pria yang beiau duga 

sebagai orang baik. lalu  Beliau menoleh ke arahnya dan berkata: 

“Ungkapkanlah pendapatmu!” 

lalu  pria tadi memuji Allah dan berkata: “Ya Amirul Mukminin 

amanat ummat yang telah Anda emban ini tiada lain merupakan ujian 

Allah yang ditimpakan kepadamu. Maka bertaqwalah kepada Allah atas 

amanah ini. Ketahuilah olehmu, anda ada seeang yankor domba tersesat di 

tdepi sungai Eufrat maka pasti enrgkau akan ditanyakan di hari kiamat 

nanti tentang domba tadi.” 

Maka menangislah Umar dengan suara yang keras lalu berkata: “Tidak 

ada orang yang berkata jujur kepadaku sejak aku menjadi khalifah 

sebagaimana yang telah ia lakukan. Siapakah dirimu?!” Ia menjawab: “Al 

rabi bin Ziyad Al Haritsi 

Umar bertanya: “Apakah engkau saudaranya Al Muhajir bin Ziyad?” 

Rabi menjawab: “Benar.” 

Begitu pertemuan itu berakhir, Umar lalu memanggil Abu Musa Al 

Asy’ari dan berkata: “Selidikilah siapa sebenarnya Rabi bin Ziyad! Jika ia 

yaitu  seorang sahabat maka pada dirinya terdapat kebaikan yang banyak 

  

dan ia dapat membantu kita dalam mengemban tugas ini. Angkatlah ia 

sebagai pegawai dan kirimkan kabar kepadaku tentang dirinya!” 

  

 Tidak berlangsung lama  sesudah  itu, Abu Musa Al Asy’ari menyiapkan 

sebuah pasukan untuk menaklukkan Manadzir yang terletak di daerah Al 

Ahwaz berdasarkan perintah Khalifah. Abu Musa Al Ays’ari mengajak serta 

Rabi bin Ziyad dan saudaranya yang bernama Al Muhajir. 

  

Abu Musa Al Asy’ari berhasil mengepung Manadzir dan melakukan 

sebuah peperangan melawan penduduknya dengan begitu keras yang 

jarang terjadi peperangan sedemikian keras. 

Pasukan musyrikin menunjukkan kekuatan dan keteguhan yang amat 

hebat yang tidak pernah terbersit sebelumnya, sehingga banyak sekali 

korban berguguran di pihak muslimin yang tak pernah diperkirakan. 

Pada saat itu kaum muslimin yang sedang melakukan perang ini  

juga sedang melakukan puasa Ramadhan 

Tatkala Al Muhajir saudara Rabi binZiyad melihat sudah banyak korban 

yang berguguran pada pasukan muslimin, ia bertekad untuk 

mempersembahkan dirinya demi mencari keridhaan Allah Swt. Al Muhajir 

lalu melumurkan badannya dengan wewangian kematian dan mengenakan 

kain kafan, lalu ia berwasiat kepada saudaranya… 

Lalu datanglah Rabi menghadap Abu Musa dan berkata: “AL Muhajir 

telah bertekad untuk mempersembahkan jiwanya mati di dalam perang dan 

saat ini ia masih berpuasa. Pasukan muslimin semuanya sudah begitu 

menderita akibat ganasnya perang dan laparnya berpuasa sehingga 

melemahkan semangat mereka. Namun mereka masih saja tidak mau 

berbuka. Apa pendapatmu?”  

Abu Musa Al Asy’ari langsung berdiri dan menyerukan kepada 

pasukannya: “Wahai ma’syaral muslimin, Aku bersumpah, agar mereka 

yang berpuasa agar lekas berbuka atau tidak usah ikut berperang!” 

lalu  Abu Musa minum dari tempat minum yang ia bawa agar 

prajurit yang lain mau mengikuti apa yang telah ia kerjakan. 

Begitu Al Muhajir mendengar seruan Abu Musa, maka ia langsung 

meminum seteguk air dan berkata: “Demi Allah, aku tidak minum air 

ini  sebab  merasa haus. Akan tetapi aku meminumnya demi 

memenuhi sumpah pemimpinku.”  

lalu  ia menghunuskan pedangnya dan mulai menerobos barisan 

musuh dan ia menghadapi banyak musuh dengan tanpa rasa takut dan 

gentar. 

Begitu ia masuk menerobos pasukan musuh, lalu mereka segera 

menyerang Al Muhajir dari segala penjuru dan menebaskan pedang 

mereka dari depan dan dari belakang tubuhnya sehingga ia pun menemui 

ajalnya. 

lalu  para musuh tadi memenggal kepala Al Muhajir lalu 

memancangkannya pada sebuah tempat yang tinggi di medan 

pertempuran. 

Rabi lalu melihat kepala saudaranya itu dan berkata: “Amat beruntung 

engkau dan berhak mendapatkan tempat kembali yang terbaik. Demi Allah, 

aku akan membalas dendam untuk mu dan untuk semua korban yang 

gugur di pihak muslimin, Insya Allah.” 

Begitu Abu Musa melihat kesedihan pada diri Rabi akibat kematian 

saudaranya, dan ia mengerti apa yang dirasakan oleh Rabi terhadap para 

musuh Allah itu, maka Abu Musa mempersilahkan Rabi untuk memimpin 

pasukan dan lalu  berangkat menuju Al Sus untuk menaklukannya. 

  

Rabi beserta pasukannya menyerang pasukan musyrikin bagaikan 

serangan angin topan yang kencang. Mereka menghancurkan pertahanan 

mereka bagaikan bebatuan yang jatuh dari dataran tinggi akibat longsor. 

Rabi dan pasukannya berhasil memporak-porandakan barisan musuh dan 

melemahkan kekuatan mereka. Dan akhirnya Allah berkenan menaklukan 

kota Al Manadzir untuk Rabi bin Ziyad. Sehingga ia dapat mengalahkan 

para musuh. Menawan beberapa orang untuk dijadikan budak, dan ia 

mendapatkan harta ghanimah sesuai kehendak Allah. 

  

Bersinarlah bintang Rabi bin Ziyad  sesudah  peperangan Manadzir dan 

namanya mulai disebut orang. 

Dia pun menjadi salah seorang panglima ternama yang diharapkan 

untuk menyelesaikan tugas-tugas berat. 

Saat pasukan muslimin berniat untuk menaklukan negeri Sigistan, 

mereka menunjuk Rabi untuk menjadi panglima pasukan, dan mereka 

menaruh harapan kepadanya untuk dapat meraih kemenangan atas izin 

Allah. 

  

Berangkatlah Rabi bin Ziyad bersama para pasukannya untuk berjuang 

di jalan Allah Swt ke negeri Sigistan melintasi sebuah padang pasir yang 

panjangnya 75 farsakh yang sering membuat para hewan penunggu 

padang pasir sering merasa keletihan. 

Hal pertama yang ia jumpai di sana yaitu  Rustaq Zaliq149 yang terletak 

di perbatasan Sigistan, dan ini merupakan sebuah rustaq yang dipenuhi 

oleh istana-istana yang besar dan dikelilingi oleh benteng-benteng yang 

tinggi. Banyak sekali terdapat kenikmatan di dalamnya dan memiliki 

banyak buah. 

  

Panglima yang cerdas ini mengirimkan beberapa orang spionasenya 

untuk menyusup ke dalam Rustaq Zaliq sebelum ia tiba di sana. Rabi telah 

mengetahui bahwa penduduk Rustaq Zaliq sebentar lagi akan mengadakan 

sebuah festival. Maka Rabi memutuskan untuk terus memantau aktivitas 

penduduk tadi dan akan menyerang mereka dengan tiba-tiba pada malam 

festival saat mereka sedang tidak siaga. lalu  Rabi akan menebas leher 

mereka dan mengalahkan mereka dengan mudah. 

Akhirnya Rabi berhasil menawan 20 ribu tawanan dan salah seorang 

Duhqan150 mereka juga turut menjadi tawanannya. 

Di antara para tawanan terdapat beberapa orang budak milik Duhqan 

dan didapati bahwa mereka telah membawakan 300 ribu dirham untuk 

dibawakan kepada tuannya. 

Al Rabi lalu berkata kepadanya: “Darimana harta ini?!” ia menjawab: 

“Dari salah satu kampung, wahai tuan!” Rabi bertanya: “Apakah sebuah 

kampung dapat memberikan harta sedemikian banyak kepadanya setiap 

tahun?” 

Ia menjawab: “Benar.” Rabi bertanya keheranan: “Bagaimana 

caranya?!” Ia menjawab: “Dengan kapak, arit dan keringat kami!” 

Begitu peperangan usai, sang duhqan menghadap Rabi untuk 

menawarkan tebusan dirinya dan keluarganya. 

Rabi lalu berkata kepadanya: “Aku akan membebaskanmu dengan 

tebusan jikalah engkau mampu membayarkan fidyah kepada kaum 

muslimin.” Ia bertanya: “Berapa yang kau mau?” Rabi berkata: 

“Tancapkanlah tombak ini di tanah lalu datangkanlah emas dan perak 

setinggi ini!”  Ia berkata: “Baiklah, aku menerimanya.” lalu  ia 

mengeluarkan dari tempat penyimpanannya emas dan perak lalu 

menuangkannya sehingga menutupi tombak yang dipancangkan. 

  

Rabi bin Ziyad beserta pasukannya semakin kuat di negeri Sigistan. 

Maka benteng-benteng kuat di sana roboh di bawah kaki kuda Rabi seperti 

dedaunan pohon yang berguguran di tiup angin kencang. 

                                                     

149

 Rustaq Zaliq yaitu  sebuah kota yang besar dan berbenteng di negeri Sigistan 

150

 Duhqan yaitu  kalimat Persia yang berarti kepala suku 

Maka para penduduk desa dan kota segera menyambut kedatangannya 

untuk meminta rasa aman dan tunduk kepadanya,sebelum Rabi 

mengacungkan pedangnya di hadapan wajah mereka. Dan akhirnya 

hingga Rabi mencapai kota Zarang ibu kota Sigistan. 

Di sana ternyata musuh sudah menyiapkan segala kemampuannya, dan 

mereka sudah menyiapkan beberapa pasukan untuk menghadapi pasukan 

Rabi. Untuk menghadapi pasukan muslimin, mereka rupanya telah 

menggunakan banyak bantuan. Pihak musuh telah bertekad untuk 

memukul Rabi dan pasukannya mundur dari kota ini  dan mengusir 

pasukan muslimin dari Sigistan meski berapapun biaya yang mesti 

dikeluarkan. 

Maka berlangsunglah pertempuran yang sengit antara pasukan Rabi 

melawan para musuhnya dengan begitu ganas yang masing-masing pihak 

berharap akan banyaknya korban berjatuhan di pihak musuh. 

Begitu nampak awal tanda kemenangan di pihak muslimin, 

Marbazan151 negeri yang dikenal dengan nama Barwiz berusaha untuk 

melakukan perdamaian dengan Rabi. Selagi Marbazam tadi memiliki 

kekuatan,dan ia berharap akan mendapatkan persyaratan yang terbaik bagi 

dirinya dan bagi kaumnya. 

Maka Marbazan tadi mengirimkan seorang utusan untuk meminta Rabi 

membuat janji bertemu dengannya dan untuk merundingkan perdamaian. 

  

Rabi memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk menyiapkan 

sebuah tempat untuk menyambut Barwiz. Ia juga memerintahkan mereka 

untuk menumpukkan bangkai-bangkai pasukan Persia di sekeliling tempat 

pertemuan. Sebagaimana ia menyuruh para prajuritnya untuk meletakkan 

bangkai-bangkai lain secara tak beraturan pada pinggiran jalan yang akan 

dilintasi Barwiz. 

Dan Rabi yaitu  seorang yang berpostur tinggi. Memiliki kepala yang 

besar. Berkulit coklat. Berbadan besar yang dapat membuat gentar orang 

yang memandangnya. 

Begitu Barwiz menemuinya ia langsung gemetar sebab  merasa takut 

kepadanya. Hatinya semakin takut dengan pemandangan yang penuh 

dengan bangkai manusia dan itu membuatnya takut mendekat ke arah 

Rabi. Ia begitu merasa takut dan tidak berani berjabatan tangan dengan 

Rabi. 

Barwiz berbicara dengan suara terbata-bata kepada Rabi. Barwiz 

melakukan perundingan dengan Rabi yang keputusannya yaitu  bahwa 

Barwiz harus memberikan 1000 budak yang membawa pada setiap kepala 

                                                     

151

 Marbazan yaitu  pemimpin dan ini merupakan sebuah kata dalam bahasa Persia 

mereka sebuah piala dari emas. Maka Rabi menerimanya dan siap 

berdamai dengan Barwiz atas jizyah ini. 

Pada keesokan harinyua, Rabi bin Ziyad memasuki kota ini  yang 

dikelilingi oleh rombongan yang sholih yang meneriakkan kalimat tahlil 

dan takbir. 

Hari itu yaitu  sebuah hari yang bersejarah dari sekian hari milik 

Allah.  

  

Rabi bin Ziyad menjadi pedang terhunus di tangan pasukan muslimin 

yang mampu menebas para musuh-musuh Allah. Rabi berhasil 

menaklukan banyak kota bagi pasukan muslimin, dan menjadi wali 

(gubernur) mereka pada beberapa wilayah sehingga hal ini diketahui oleh 

Bani Umayyah, yang lalu  membuat Muawiyah bin Abu Sufyan 

mengangkatnya sebagai seorang wali di Khurasan. 

Padahal ia sendiri tidak begitu senang dengan wilayah ini . 

Yang semakin membuat ia tidak suka menjadi wali di sana yaitu  saat 

Ziyad bin Abihi salah seorang wali pemuka Bani Umayyah mengirimkan 

sebuah surat kepadanya yang berbunyi: “Amirul Mukminin Muawiyah bin 

Abu Sufyan memerintahkan kamu untuk menyisakan emas dan perak hasil 

ghanimah perang untuk disetorkan kepada baitul maal muslimin. Engkau 

boleh membagikan selebihnya kepada para mujahidin!” 

Lalu Rabi membalas surat ini  dengan: “Aku mendapati dalam 

Kitabullah Swt memerintahkan bukan seperti apa yang kau perintahkan 

dengan mengatas-namakan Amirul Mukminin.” 

  

Pada hari Jum’at  sesudah  surat ini  ia terima, Rabi pergi ke masjid 

untuk melakukan shalat dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Ia 

menjadi khatib yang menyampaikan khutbah Jum’at kepada seluruh 

manusia. lalu  ia berkata: “Wahai manusia. Aku sudah bosan dengan 

kehidupan, dan aku akan membacakan sebuah do’a, maka kalian harus 

mengamini apa yang aku bacakan!” lalu  ia berdo’a: 

“Ya Allah, jika kau menghendaki kebaikan untuk diriku, maka cabutlah 

nyawaku untuk menghadapmu sesegera mungkin dan jangan 

diperlambat!” 

Maka semua manusia mengaminkan do’a ini . 

Matahari di hari itu belum juga tenggelam, namun Rabi bin Ziyad telah 

kembali ke pangkuan Tuhannya. 

Abdullah bin Salam 

“Siapa yang Ingin Melihat Seorang Ahli Surga, Silahkan Melihat 

kepada Abdullah Bin Salam.” 

 

Hushain bin Salam yaitu  seorang kepala pendeta Yahudi terkemuka di 

Yatsrib. Penduduk Madinah meski menganut agama yang berbeda, namun 

mereka memuliakan dan menghormati Hushain. Sebab ia dikenal sebagai 

orang yang bertaqwa dan sholih yang senantiasa bersikap istiqomah dan 

jujur. 

  

Hushain menjalani hidupnya dengan begitu tenang dan damai, akan 

tetapi kehidupan yang ia jalani amat berarti dan bermanfaat. Ia membagi 

waktu hidupnya dalam tiga kegiatan: 

Sebagian ia gunakan di gereja untuk memberikan nasehat kepada 

ummat sekaligus beribadah. Sebagian lagi ia gunakan di kebun untuk 

merawat pohon-pohon kurma. Dan sebagian lagi ia gunakan untuk 

mempelajari ilmu agama yang ia dapatkan lewat kitab Taurat. 

  

Setiap kali ia membaca Taurat ia termenung memikirkan berita yang 

menyatakan akan munculnya seorang Nabi di Mekkah yang akan 

melengkapi risalah para Nabi terdahulu sekaligus menjadi pemungkas 

mereka. 

Hushain lalu mencari-cari tanda dan ciri Nabi yang dinanti-nanti ini. 

Dan ia semakin gembira saat ia mengetahui bahwa Nabi ini  akan 

berhijrah dari kampungnya menuju Yatsrib tempat tinggalnya yang baru. 

Setiap kali ia membaca berita ini atau saat ia terbersit untuk mengingat 

Nabi ini maka ia akan berdo’a kepada Allah Swt agar ia dikaruniai umur 

panjang sehingga ia dapat menyaksikan kemunculan Nabi yang ditunggu-

tunggu ini dengan hati yang gembira dan ia akan menjadi orang pertama 

yang akan beriman kepadanya. 

  

Allah Swt mengabulkan do’a Hushain bin Salam sehingga Ia 

memperpanjang usia Hushain hingga waktu dimana Nabi yang membawa 

petunjuk dan kebenaran ini  diutus. 

  

Ia juga diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk dapat berjumpa dan 

bersahabat dengan Nabi ini , dan beriman kepada kebenaran yang 

diturunkan kepada Beliau. 

Kita akan memberikan kesempatan kepada Hushain untuk 

menceritakan keislamannya, sebab ia lebih pantas dan lebih mengetahui 

akan hal ini.  

Hushain bin Salam berkisah: 

Begitu aku mendengar berita kemunculan Rasulullah Saw, aku 

mencoba untuk mencari tahu tentang nama, nasab, sifat, waktu dan tempat 

Beliau. Aku mencoba mencocokkan semua data ini  dengan apa yang 

telah tertuliskan dalam kitab suci kami sehingga aku merasa yakin akan 

kenabian Beliau dan kebenaran dakwahnya. Dan aku mencoba untuk 

merahasiakan hal ini dari kaum Yahudi dan aku berusaha untuk tidak 

berbicara tentang Beliau. 

Hingga pada hari Rasulullah Saw meninggalkan Mekkah dan menuju 

Madinah. 

Begitu Beliau tiba di Yatsrib dan singgah di Quba152, salah seorang 

datang kepada kami untuk mengumumkan berita kedatangan Beliau. Saat 

itu aku sedang berada di atas pohon kurma untuk mengerjakan tugasku 

dan bibiku yang bernama Khalidah binti Al Harits sedang duduk di bawah 

pohon. Begitu aku mendengar berita ini , maka aku langsung  berseru: 

Allahu Akbar… Allahu Akbar! 

Maka bibiku berkata saat ia mendengar aku bertakbir: “Allah akan 

menolakmu! Demi Allah, jika engkau mendengar berita bahwa Musa bin 

Imran telah datang, pasti engkau tidak akan melakukan hal yang lebih dari 

itu.” 

Aku berkata kepadanya: “Wahai bibi, Demi Allah, dia yaitu  saudara 

Musa bin Imran dan memiliki agama yang sama dengannya. Ia telah diutus 

sebagai Nabi sama seperti Musa.” 

Lalu bibiku terdiam sesaat dan ia pun bertanya: “Apakah dialah seorang 

Nabi yang sering kali diceritakan bahwa dia akan diutus untuk 

membenarkan Nabi-Nabi yang diutus sebelumnya dan sekaligus menjadi 

pamungkas risalah Tuhannya?!” 

Aku menjawab: “Benar!” Ia berkata: “Baiklah kalau begitu!” 

Sesegera mungkin aku pergi untuk menjumpai Rasulullah Saw. Aku 

dapati manusia sedang berdesakan di depan pintu rumah tempat Beliau 

singgah. Aku lalu menyelinap di antara kerumunan orang sehingga aku 

begitu dekat dengan Beliau. 

Hal pertama yang aku dengar dari Beliau yaitu  sabdanya: “Wahai 

manusia, sebarkanlah salam, berilah makan, shalatlah pada malam hari di 

                                                     

152

 Quba yaitu  sebuah desa yang berjarak dua mil dari Madinah 

kala manusia tertidur, maka kalian akan masuk ke dalam surga dengan 

selamat!” 

Aku begitu memperhatikan Beliau dengan seksama, dan aku semakin 

yakin bahwa wajah Beliau bukanlah tampang seorang pendusta. 

lalu  aku mendekat ke arahnya dan aku bersaksi bahwa tiada 

Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu  utusan Allah. 

lalu  Beliau menoleh ke arahku dan bertanya: “Siapa namamu?!” 

Aku menjawab: “Al Hushain bin Salam!” Beliau bersabda: “Bukan, tapi 

namamu sekarang yaitu  Abdullah bin Salam.” Aku pun berkata: “Benar, 

Abdullah bin Salam… Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, 

aku tidak ingin mendapatkan nama lain  sesudah  hari ini!” 

lalu  aku segera pamit kepada Rasulullah untuk kembali ke rumah 

dan untuk mengajak istri, anak-anakku dan seluruh keluargaku untuk 

masuk Islam. Mereka semuanya masuk ke dalam Islam, termasuk bibiku 

yang bernama Khalidah padahal saat itu ia sudah amat tua. lalu  aku 

berkata kepada mereka: “Rahasiakan keislamanku dan kalian semua 

kepada kaum Yahudi sehingga aku izinkan!” Mereka menjawab: “Baiklah!” 

lalu  aku kembali menemui Rasulullah Saw dan aku berkata 

kepada Beliau: “Ya Rasulullah, kaum Yahudi yaitu  sebuah kaum yang 

suka berbohong dan berdusta. Aku ingin sekali mengajak para pembesar 

mereka untuk menghadapmu, lalu  Engkau menyembunyikan aku di 

salah satu kamar rumahmu lalu tanyakanlah kepada mereka kedudukanku 

di sisi mereka sebelum mereka mengetahui keislamanku. Lalu ajaklah 

mereka untuk memeluk Islam! Jika mereka mengetahui bahwa aku telah 

masuk Islam, pasti mereka akan mencercaku dan mereka akan 

memfitnahku dengan kebohongan.” 

lalu  Rasulullah Saw memasukkan aku ke sebuah kamar di 

rumahnya, lalu Beliau mengundang para pembesar Yahudi untuk bertemu 

dengan Beliau dan Beliau pun meminta mereka untuk masuk Islam dan 

beriman. Rasul pun tak lupa mengingatkan mereka tentang kabar 

kedatangan Beliau dalam kitab-kitab suci Yahudi. 

Maka serta-merta para pembesar Yahudi tadi berselisih pendapat 

dengan Nabi dan mereka menolak kebenaran yang Beliau bawa. Aku 

mendengarkan semua kejadian itu. Begitu Rasulullah Saw merasa putus asa 

untuk mengajak mereka beriman, lalu Beliau bertanya kepada mereka: 

“Apa kedudukan Hushain bin Salam di sisi kalian?” Mereka menjawab: 

“Dia yaitu  pemimpin kami, anak pemimpin kami. Dia juga yaitu  orang 

berilmu yang kami miliki dan anak dari orang berilmu yang kami miliki.” 

Rasul bertanya: “Jika ia telah masuk Islam, apakah kalian akan masuk 

Islam juga?!” 

Mereka menjawab: “Allah akan melarangnya! Tidak mungkin ia akan 

masuk Islam. Allah akan melindunginya agar ia tidak masuk Islam.” 

Lalu aku keluar untuk menemui mereka, dan aku berkata: “Wahai 

bangsa Yahudi, bertaqwalah kalian kepada Allah dan terimalah apa yang 

dibawa Muhammad kepada kalian! Demi Allah, sungguh kalian sudah 

mengetahui bahwa dia yaitu  Rasulullah. Engkau sudah mendapati bahwa 

nama dan sifatnya telah tertulis di Taurat. Aku bersaksi bahwa dia yaitu  

Rasulullah. Aku beriman, percaya dan mengenal Beliau.” 

Mereka langsung berkata: “Engkau berdusta! Demi Allah, engkau 

yaitu  orang jahat dan anak orang jahat. Engkau yaitu  orang bodoh dan 

anak orang bodoh!” Mereka tidak berhenti untuk terus mencercaku. 

Aku pun berkata kepada Rasulullah Saw: “Bukankah telah aku katakan 

kepadamu bahwa Yahudi yaitu  kaum yang berdusta dan bathil. Mereka 

yaitu  orang yang suka berkhianat dan berbuat dosa?” 

  

Abdullah bin Salam menerima Islam bagai orang yang kehausan 

mendapatkan minuman segar. Dia begitu cinta kepada Al Qur’an. Lisannya 

tidak pernah lelah untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an yang jelas. Ia begitu 

dekat dengan Nabi Saw sehingga ia bagaikan bayangan Beliau yang selalu 

menyertai. 

Ia bernazar atas dirinya bahwa ia akan mengerjakan amalan untuk 

mengejar surga sehingga Rasulullah Saw memberikan kabar gembira 

kepadanya bahwa ia berhak masuk surga dan kabar ini tersebar ramai di 

kalangan para sahabat. 

Mengenai kabar gembira ini ada sebuah kisah yang akan disampaikan 

oleh Qais bin Abbad dan lainnya. 

Qais berkisah:  

Aku sedang duduk pada sebuah halaqah ilmu (majlis ilmu) di masjid 

Rasulullah Saw di Madinah. 

Di dalam halaqah ini  terdapat seorang tua yang begitu tenang. 

lalu  orang tua ini  menyampaikan sebuah pembicaraan kepada 

manusia yang hadir dengan begitu indah dan membekas. 

Begitu ia bangun dari tempatnya maka orang-orang berkata: “Siapa 

yang ingin melihat seorang penghuni surga maka lihatlah orang ini!” 

Aku pun bertanya: “Siapakah dia?” Mereka menjawab: “Dialah 

Abdullah bin Salam!” 

Aku berkata dalam hati: “Demi Allah, aku akan mengikutinya!” Aku 

pun mulai mengikutinya… lalu  ia pergi sehingga hampir keluar dari 

kota Madinah. lalu  ia masuk ke dalam rumahnya… lalu  aku 

pun meminta izin untuk masuk. Lalu ia mengizinkan aku. 

Ia bertanya: “Apa yang engkau butuhkan, wahai keponakanku?” Aku 

berkata kepadanya: “Aku mendengar orang-orang berbicara tentangmu –

saat kau keluar dari masjid-: “Siapa yang ingin melihat seorang ahli surga, 

maka lihatlah orang ini! Maka aku pun mengikutimu untuk mengetahui 

kebenaran berita ini, dan agar aku mengetahui bagaimana orang-orang 

bisa tahu bahwa engkau yaitu  ahli surga.” 

Ia berkata: “Allah lebih mengetahui tentang ahli surga, wahai ananda!” 

Aku berkata: “Benar, akan tetapi pasti ada sebab yang membuat mereka 

berkata demikian.” Ia berkata: “Aku akan menceritakan kepadamu 

mengenai penyebabnya.” Aku berkata: “Ceritakanlah! Semoga Allah akan 

membalas kebaikanmu.” 

Ia berkata: “Saat aku sedang tertidur di suatu malam pada masa 

Rasulullah Saw, maka datanglah seseorang kepadaku dan berkata: 

‘Bangunlah!’ aku pun langsung bangun. Ia lalu  menarik tanganku. 

lalu  aku berada di jalan di sebelah kiri dan aku hendak 

menyusurinya. lalu  ia berkata kepadaku: “Tidak usah kau jalan di 

sebelah situ, sebab itu bukan untukmu!” lalu  aku tersadar bahwa aku 

sudah berada di sebelah kanan jalan yang begitu terang. lalu  pria 

tadi berkata: “Susurilah jalan ini!” Maka aku pun menyusurinya sehingga 

aku tiba di sebuah taman yang rindang dan amat luas. Taman ini  

begitu hijau dan sejuk dipandang. 

Di tengah taman ini  terdapat tiang yang terbuat dari besi. Akarnya 

berada di bumi dan ujungnya berada di langit. Di bagian atas tiang ini  

ada sebuah ikatan yang terbuat dari emas. 

lalu  pria tadi berkata: “Naiklah dan ambillah emas ini !” Aku 

menjawab: “Aku tidak bisa melakukannya.” 

lalu  ia mengambilkan seorang pembantu untukku yang 

menolongku untuk naik. Maka aku pun mulai memanjat sehingga aku tiba 

di ujung tiang ini . Maka akupun mengambil ikatan emas ini  

dengan tanganku. Aku terus bergantungan di tiang tersbeut hingga pagi. 

Keesokan paginya aku menghadap Rasulullah Saw dan aku 

menceritakan mimpiku kepada Beliau. Beliau lalu bersabda: “Jalanan yang 

kau lihat dalam mimpi berada di sebelah kirimu, jalanan ini  yaitu  

jalanan Ashabus Syimal (golongan kiri) dari penghuni neraka. Sedangkan 

jalan yang kau lihat dalam mimpi berada di kananmu, maka jalan ini  

yaitu  jalan Ashabul Yamin (golongan kanan) dari ahli surga. 

Adapun taman yang rimbun dan rindang itu yaitu  Islam. Tiang yang 

berada di tengahnya yaitu  tiang agama. Sedangkan ikatannya yaitu  Al 

Urwah Al Wutsqa (Tali yang Kuat). Engkau senantiasa akan memegangnya 

hingga engkau wafat!” 


Khalid Bin Said Bin Al Ash 

“Ayahku yaitu  Orang Kelima. Dia yaitu  Orang Pertama yang 

Menuliskan Bismillahirrahmanirrahim.” (Putri Khalid) 

 

Pada suatu sore yang tenang dan damai di Mekkah, berangkatlah Said 

bin Al Ash bin Umayyah yang dijuluki dengan Abu Uhaihah dari rumahnya 

di dataran tinggi Al Hajun153 untuk menuju Masjidil Haram. Ia sudah 

mengenakan sorban merah yang amat mahal di kepalanya. 

Ia menyingsingkan di bahunya sebuah selendang yang menjadi salah 

satu perhiasan para raja Yaman, yang dipenuhi dengan benang emas. 

Di depannya ada sebuah rombongan berjalan yang terdiri dari para 

budak yang digiring dengan pedang. Di sebelah kanannya terdapat 

beberapa orang putranya, salah satu dari mereka bernama Khalid. 

Di sebelah kirinya terdapat beberapa orang pria dari kaumnya Bani 

Abdi Syamsin dan mereka mengenakan pakaian dan perhiasan yang terbuat 

dari sutra. 

Begitu nampak kedatangan Abu Uhaihah di sekitar Masjidil Haram, 

maka para penduduk berkata: “Sang Pemilik Mahkota sudah tiba!” Para 

penduduk Mekkah memberikan gelar kepadanya seperti itu sebab  jika 

kepalanya sudah mengenakan sorban, maka tidak ada seorang pun dari 

Quraisy yang akan mengenakan sorban dengan warna serupa kecuali ia 

akan melepaskannya. 

Para penduduk akan memberikan jalan kepadanya beserta 

rombongannya sehingga ia menempati sebuah tempat tepat di bawah 

Ka’bah. 

Lalu datanglah menghadapnya Abu Sufyan bin Harb, Utbah bin Rabiah, 

Abu Jahl bin Hisyam dan para pemuka Quraisy lainnya. Ia lalu bertanya 

kepada mereka: “Benarkah kabar yang aku dengar bahwa Sa’d bin Abi 

Waqash telah mengikuti jejak Muhammad?! Dan bahwa dia telah berani 

menyerang seorang pria dari suku Quraisy, yang telah ia pecahkan 

kepalanya sehingga darah bercucuran. Sebab pria tadi telah berani 

melarangnya untuk shalat kepada selain berhala kita?” lalu  ia 

berkata: “Demi Lata dan Uzza, Jika kalian masih terus mengalah terhadap 

Muhammad bin Abdullah sebab  memandang bahwa ia masih termasuk 

keluarga Bani Hasyim, maka aku sendiri yang akan menghadapinya. Dan 

                                                     

153

 Al Hajun yaitu  sebuah tempat di Mekkah dekat dari Masjidil Haram. 

  


aku akan menghalangi Tuhan anak Abi Kabasyah154 untuk disembah di 

Mekkah.” 

lalu  ia kembali dengan rombongannya seperti ia datang tadi. 

Tidak ada yang tertinggal selain anaknya yang bernama Khalid. 

  

Khalid bin Said bin Al Ash tinggal di Masjidil Haram dengan berpindah 

dari majlis yang satu ke majlis lainnya demi mencari berita tentang 

Muhammad dan untuk mendengarkan kisah tentang dakwahnya. 

Namun dari berita yang ia dapatkan tentang Rasulullah Saw tidak ada 

yang membenarkan kedengkian yang telah ia lihat dari ayahnya kepada 

Muhammad dan para sahabatnya. Atau ada hal yang dapat membuktikan 

kebenaran kedengkian yang ada pada diri pemuka Quraisy. 

  

Begitu malam tiba, Khalid bin Said kembali ke rumahnya. Ia langsung 

menuju kamarnya tanpa melewati kamar ayahnya untuk menyampaikan 

ucapan selamat malam sebagaimana yang biasa ia lakukan setiap hari. 

lalu  ia langsung menuju pembaringannya yang empuk untuk tidur. 

Akan tetapi matanya malam itu tidak bisa terpejam. Ia merasa ada 

sesuatu yang membuat matanya tidak bisa tertidur. 

Yang membuat hatinya menjadi resah pada malam itu yaitu  tentang 

Muhammad dan apa yang ia dakwahkan. Ia merasa khawatir jika ayahnya 

akan menyiksa Muhammad dengan begitu kejam. 

  

Pada bagian malam terakhir, rasa kantuk membuat ia terlelap dan 

akhirnya ia pun menyerah tak kuasa menahan keinginan untuk tidur. 

Tidak lama lalu  ia langsung bangkit dengan rona wajah yang 

berubah. Ia seperti terkaget dengan apa yang baru saja ia impikan. 

Tubuhnya berguncang menahan apa yang baru saja ia alami, dan ia 

berkata: “Aku bersumpah demi Allah, mimpi yang baru saja aku alami 

yaitu  benar. Aku tidak melihat bahwa mimpi ini  yaitu  dusta.” 

  

Khalid telah melihat dalam mimpinya bahwa ia berdiri di tepi sebuah 

lembah neraka jahannam yang amat dalam. Tidak ada yang tahu berapa 

jauh kedalamannya. Di dalam lembah ini  terdapat api yang berkobar 

                                                     

154

 Abu Kabasyah: yaitu  Al Harits bin Abdul Uzza bin Rifa’ah Al Sa’di yaitu suami Halimatus 

Sa’diyah yaitu seorang ibu yang telah menyusui Rasul Saw. 

dan menyala yang menimbulkan suara lolongan dan rintihan yang 

membuat hati dan jiwa terasa copot ketakutan. 

Begitu ia ingin mencoba untuk menjauhkan diri dari tepi lembah 

ini , rupanya ayahnya menghalangi jalan untuknya. Ayahnya mencoba 

dengan sekuat tenaga untuk mendorongnya masuk ke dalam lembah api. 

Maka Khalid pun berusaha menghadapi ayahnya sekuat mungkin. 

Khalid bergumul dengan ayahnya sampai ia merasa kelelahan, dan 

hampir saja ia terjerumus ke dalam lembah neraka.  

Lalu tiba-tiba datanglah Muhammad bin Abdullah menarik tubuhnya 

dengan kedua tangan Beliau. Ia menarik Khalid ke arahnya dan 

menolongnya agar tidak jatuh ke dalam lubang api neraka. 

  

Belum juga pagi mulai terang benderang saat Khalid bin Said datang ke 

rumah Abu Bakar As Shiddiq ra. Hal itu dilakukannya, sebab Khalid telah 

mengenal dan percaya kepada Abu Bakar. 

Khalid menceritakan kepada Abu Bakar tentang mimpinya. Abu Bakar 

lalu berkata: “Allah Swt telah menginginkan kebaikan atasmu, ya Khalid! 

Sebab Allah Swt telah mengutus Muhammad bin Abdullah dengan agama 

petunjuk dan kebenaran. Dan agama ini akan mengungguli semua agama 

yang ada meski para musyrikin membencinya. Ikutilah jejak Beliau, ya 

Khalid! Jika engkau mau mengikutinya, maka pintu surga akan dibukakan 

untukmu. Dan engkau akan terhijab dari api neraka. Sedangkan ayahmu 

akan masuk ke dalam neraka, tempat yang ia ingin kau masuk ke 

dalamnya.”   

  

Khalid bin Said berangkat untuk menemui Rasulullah Saw. Pada saat itu 

Rasulullah Saw sedang beribadah kepada Allah secara sembunyi-sembunyi 

di Ajyad155. Lalu Khalid mengucapkan salam kepada Beliau dan berkata: 

“Apa yang hendak kau dakwahkan kepada kami, ya Muhammad?” 

Beliau bersabda: “Aku mengajak kalian untuk beriman kepada Allah 

Yang tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa aku yaitu  hamba dan Rasul-Nya. 

Dan agar kalian meninggalkan penyembahan kepada batu yang tidak dapat 

melihat dan mendengar. Tidak dapat mendatangkan mudharat atau 

manfaat. Yang tidak mampu membedakan orang yang datang untuk 

beribadah kepadanya, dan orang yang akan membawa kecelakaan 

baginya.” 

Maka merekahlah kebahagiaan di wajah Khalid, dan ia berkata: 

“Asyhadu an la ilaha illa-Llahu wa annaka Abdullahi wa Rasuluhu.” 

                                                     

155

 Ajyad atau Jiyad yaitu  sebuah jalan di Mekkah dan hingga kini masih ada dan terletak di 

sebelah Masjid Al Haram 

Maka Khalid bin Said Al Ash yaitu  orang kelima atau keenam yang 

masuk Islam di muka bumi. sebab  tidak ada orang yang mendahuluinya 

untuk mendapatkan kemuliaan yang agung ini selain Khadijah binti 

Khuwailid, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Shiddiq, dan 

Sa’d bin Abi Waqash ra. 

  

Khalid bin Said meninggalkan istana ayahnya yang tinggi yang terletak 

di dataran tinggi Al Hajun, dan ia meninggalkan kehidupannya yang 

mewah dan nikmat. 

Ia menghapalkan ayat-ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Saw, dan 

ia beribadah kepada Allah secara sembunyi sebab  khawatir akan aniaya 

Quraisy. 

Begitu Khalid telah lama menghilang dari rumah, maka ayahnya 

mencari-cari dimana keberadaannya, namun ia tidak dapat menjumpainya. 

Maka ayahnya mengutus beberapa orang untuk mencari informasi tentang 

keberadaan anaknya. Akhirnya ayahnya mendapatkan berita bahwa 

anaknya telah masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad. 

  

Maka menjadi kalutlah sang pemimpin Mekkah ini. Sebab ia tidak 

pernah menduga bahwa salah seorang putranya akan berani keluar dari 

asuhannya, berpaling dari Lata dan Uzza lalu menjadi pengikut 

Muhammad. 

Maka ayahnya mengutus seorang budaknya yang bernama Rafi’ dan 

kedua saudaranya yang bernama Aban dan Umar. Ketiganya berhasil 

menemukan Khalid yang sedang melakukan shalat di sebuah jalan yang 

membuat hati dan jiwa mereka menjadi damai. 

Ketiganya lalu berkata kepada Khalid: “Ayahmu memanggilmu untuk 

segera menemuinya. Ia menjadi marah sebab  engkau telah berani 

meninggalkan rumah tanpa seizinnya.” 

Maka berangkatlah Khalid bersama ketiganya. Dan ketika ia sudah 

bertemu dengan ayahnya, Khalid mengucapkan salam Islam kepadanya. 

Ayahnya berkata kepadanya: “Celaka kamu. Apakah engkau telah 

keluar dari agamamu, agama ayahmu dan agama kakekmu lalu kini kau 

mengikuti Muhammad?!” 

Khalid menjawab: “Aku tidak keluar, akan tetapi aku beriman kepada 

Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku percaya dengan kenabian 

Rasul-Nya yang bernama Muhammad Saw. dan aku menyingkirkan segala 

berhala yang kalian sembah selain Allah.” 

Ayahnya langsung berkata: “Celaka kamu! Apakah engkau mengatakan 

bahwa engkau telah percaya kepada orang yang mengaku Nabi ini?” 

  

Khalid menjawab: “Dia bukanlah orang yang mengaku Nabi, akan tetapi 

dia yaitu  orang yang jujur yang menyampaikan risalah Tuhannya. Ia 

bertugas untuk memberi nasehat bagiku, bagimu dan bagi semua 

manusia.” 

Ayahnya berkata: “Engkau harus berpaling darinya dan 

mendustakannya!” Khalid menjawab: “Aku tidak akan melakukannya selagi 

di dalam tubuhku ada darah yang mengalir.” Ayahnya berkata: “Kalau 

demikian, aku tidak akan memberi rizqiku kepadamu!” Khalid menjawab: 

“Itu yaitu  hal yang lebih rendah dari perkiraanku. Dan Allah yaitu  

pemberi rizqi kepadamu dan kepadaku.” 

Maka timbullah amarah pemuka Bani Abdi Syamsin ini terhadap 

anaknya. lalu  ia mendekat ke arah anaknya dengan membawa 

sebuah tongkat besar yang telah ia siapkan. Lalu ayahnya memukulkan 

tongkat ini  ke kepala Khalid, lalu mengalirlah darah merah 

berhamburan. 

Ayahnya tidak berhenti memukulkan tongkat ke kepala dan tubuh 

Khalid, sehingga darah terus mengalir. 

lalu  ayahnya memerintahkan agar Khalid diikat dengan tali dan 

ia dikurung di sebuah kamar yang gelap. Ia tidak diberi makan dan minum 

selama 3 hari. 

lalu  pada hari keempat datanglah beberapa orang dari anggota 

keluarganya dan berkata: “Bagaimana kondisimu, ya Khalid?” Ia 

menjawab: “Aku senantiasa berada dalam kenikmatan dari Allah Azza wa 

Jalla.” Mereka bertanya: “Bukankah tepat kiranya bila kau kembali 

menggunakan akal sehatmu dan mentaati ayahmu?!” Ia menjawab: “Akal 

sehatku tidak pernah pergi dariku dan akupun tidak pernah 

meninggalkannya. Dan aku tidak akan mentaati ayahku selagi ia 

bermaksiat kepada Allah Swt.” 

Mereka berkata kepadanya: “Katakan sebuah ucapan tentang Lata dan 

Uzza yang dapat membuat ayahmu senang, maka ia akan mengurangi 

penderitaanmu!” Khalid menjawab: “Lata dan Uzza yaitu  dua batu yang 

tuli dan bisu. Dan aku tidak akan mengatakan ucapan tentang keduanya 

kecuali ucapan yang dapat membuat Allah dan Rasul-Nya ridha kepadaku. 

Meski ayah akan melakukan apa saja yang ia suka kepadaku.” 

  

Abu Uhaihah semakin mengencangkan tali pengikat pada diri Khalid. Ia 

memerintahkan para pembantunya untuk mengeluarkan Khalid setiap hari 

pada waktu siang ke padang pasir Mekkah. Para pembantu tadi 

diperintahkan untuk melemparkan Khalid di antara bebatuan sehingga ia 

akan terbakar oleh terik matahari.  

Setiap kali mereka membawa Khalid lalu melemparkannya di terik 

matahari, ia akan berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah memuliakan 

aku dengan iman dan islam. Ini semua bagiku lebih ringan dari pada sesaat 

teradzab di api neraka jahannam sebagaimana yang ayahku inginkan 

untuk menjerumuskan aku ke dalamnya. Semoga Allah akan membalas 

kebaikan Nabi-Nya atas jasa Beliau kepadaku dan kepada kaum muslimin 

dengan balasan yang paling mulia.” 

Suatu hari Khalid mempunyai kesempatan untuk melarikan diri dari 

kurungan ayahnya dan pergi menemui Nabi Saw. 

Tidak lama lalu  kedua saudaranya yang bernama Umar dan Aban 

bergabung bersamanya dalam rombongan kebaikan dan cahaya. Di saat 

itulah Abu Uhaihah semakin geram dan ia berkata: “Demi Lata dan Uzza, 

aku akan pergi jauh dari Mekkah dengan membawa hartaku, dan itu lebih 

baik untukku. Dan aku akan meninggalkan mereka semua yang telah 

mening