ng.
Pada hari terjadinya Fathu Makkah, Abu Sufyan bin Harb
memperhatikan rombongan pasukan muslimin. lalu ia melihat
seorang pria yang membawa panji Gathfan dan Abu Sufyan bertanya
kepada orang di sampingnya: “Siapakah orang itu?!” Mereka menjawab:
“Dia yaitu Nu’aim bin Mas’ud.” Abu Sufyan berkata: “Amat keji
perbuatan yang ia lakukan kepada kita pada perang Khandaq. Demi Allah,
dulunya dia yaitu orang yang paling memusuhi Muhammad. Sekarang
dia membawa panji kaumnya bersama Muhammad, dan turut serta untuk
memerangi kita di bawah panji yang dibawanya.
Khabbab bin Al Aratti
“Semoga Allah Merahmati Khabbab. Ia Telah Masuk Islam sebab
Keinginannya, Berhijrah sebab Taat dan Hidup Sebagai Mujahid.”
(Ali bin Abi Thalib)
Ummu Anmar Al Khuza’iyah pergi ke pasar An Nakhasin148 di Mekkah.
Ia ingin membeli seorang budak untuk membantunya, dan memanfaatkan
tenaganya. Ia memperhatikan wajah-wajah budak yang ditawarkan untuk
dijual. Pilihannya jatuh pada seorang anak kecil yang belum lagi baligh. Ia
mendapati anak ini sehat badannya dan tanda-tanda kecerdasan
terpancar jelas di wajahnya. Hal itu yang membuat Ummu Anmar tertarik
untuk membelinya. Ummu Anmar lalu menyerahkan uang untuk
membelinya, lalu membawa pulang bocah budak ini .
Di tengah jalan, Ummu Anmar menoleh kepada budak kecil tadi dan
bertanya: “Siapa namamu, wahai anak?” Ia menjawab: “Khabbab.” Ummu
Anmar bertanya lagi: “Lalu siapa nama ayahmu?” Ia menjawab: “Al Aratt.”
Ummu Anmar bertanya kembali: “Dari mana engkau berasal?” Ia
menjawab: “Dari Najd.” Ummu Anmar menukas: “Kalau begitu engkau
yaitu orang Arab!!” Ia membalas: “Benar, saya berasal dari Bani Tamim.”
Ummu Anmar bertanya: “Lalu apa yang membuatmu sampai ke tangan
para penjual budak di Mekkah?!!”
Ia menjawab: “Sebuah kabilah Arab telah menyerang kampung kami.
Mereka mengambil hewan ternak, menyandera para wanita dan anak-
anak. Dan aku termasuk seorang anak yang tertangkap. Aku terus menjadi
budak dengan tuan yang silih berganti sehingga aku di bawa ke Mekkah.
dan kini aku berada di tanganmu.
Ummu Anmar mengirimkan budaknya ini ke seorang pandai besi yang
ada di Mekkah untuk diajarkan kepadanya bagaimana cara membuat
pedang. Dengan cepat budak ini mempelajari dan menguasai cara
pembuatan pedang.
Begitu Khabbab sudah semakin besar, Ummu Anmar menyewakan
untuknya sebuah toko dan membelikan segala perabotannya. Dan di toko
ini , Khabbab mulai mengkomersialkan keahliannya dalam membuat
pedang.
148
Pasar budak
Tidak terlalu lama, nama Khabbab sudah terkenal di Mekkah. Banyak
orang yang datang kepadanya untuk membeli pedang. Sebab ia terkenal
dengan sifat amanah, jujur dan sempurna dalam membuat pedang.
Meski Khabbab masih berusia muda akan tetapi ia memiliki pemikiran
dan kearifan seperti orang dewasa.
Jika ia sudah selesai melaksanakan tugasnya, ia sering menyendiri dan
berpikir tentang masyarakat jahiliah yang terjerembab dalam kerusakan
dari mulai kaki hingga ujung kepala mereka.
Ia merasa aneh dengan kebodohan dan kesesatan yang terjadi pada
kehidupan masyarakat Arab sehingga dirinya menjadi salah satu korban
dari sifat mereka ini .
Dia sering mengatakan: “Malam ini harus segera berakhir.”
Dia berharap agar umurnya diperpanjang sehingga ia sempat melihat
sirnanya kegelapan dan terbitnya terang.
Penantian Khabbab tidak berlangsung lama. Telah sampai pada dirinya
bahwa ada sebuah sinar yang muncul dan keluar dari seorang pemuda
Bani Hasyim yang dikenal dengan Muhammad bin Abdullah.
Khabbab pun pergi menjumpainya, dan mendengarkan sabdanya. Ia
amat terpesona dengan sinarnya.
Khabbab pun menjulurkan tangannya kepada orang ini dan
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu
hamba dan Rasul-Nya.
Dia telah menjadi orang keenam yang masuk Islam di muka bumi ini
sehingga ada orang yang berkata: “Waktu telah mendahului Khabbab
sehingga ia menjadi orang yang keenam dalam Islam.”
Khabbab tidak menyembunyikan keislamannya dari siapapun. Danhal
itu segera terdengar oleh Ummu Anmar, dan ia pun menjadi marah
dibuatnya. Ia lalu mengajak saudaranya yang bernama Siba bin
Abdul Uzza dan mereka juga berjumpa dengan sekelompok pemuda
Khuza’ah. Semuanya berangkat untuk menemui Khabbab dan mereka
mendapati Khabbab sedang tekun melakukan tugasnya. Maka datanglah
Siba menghadapi Khabbab dan berkata kepadanya: “Kami telah mendengar
sebuah berita tentangmu yang kami sendiri tidak mempercayainya.”
Khabbab bertanya: “Berita apa itu?!” Siba berkata: “Banyak orang yang
mengatakan bahwa engkau telah keluar dari agama dan kini engkau
menjadi pengikut seorang pemuda dari Bani Hasyim.”
Khabbab lalu berkata dengan tenang: “Aku tidak keluar dari agama,
akan tetapi aku telah beriman kepada Allah Yang Esa dan tidak memiliki
sekutu baginya. Aku telah menyingkirkan berhala-berhala kalian dan aku
bersaksi bahwa Muhammad bin Abdullah yaitu utusan-Nya.”
Begitu kalimat yang diucapkan Khabbab sampai di telinga Siba dan
orang-orang yang bersamanya, maka mereka langsung merangsek ke arah
Khabbab untuk memukulinya dengan tangan mereka, dan menendangnya
dengan kaki mereka. Dan mereka melemparkan ke tubuhnya benada apa
saja dari besi pemukul dan potongan besi yang dapat mereka raih. Sehingga
Khabbab terpuruk ke tanah kehilangan kesadaran dengan darah
berlumuran.
Menyebarlah di Mekkah kisah yang telah terjadi antara Khabbab dan
tuannya dengan begitu cepat bagaikan api yang membakar daun kering.
Semua manusia keheranan dengan keberanian yang dimiliki Khabbab.
Sebabnya belum pernah mereka dengar bahwa ada orang yang menjadi
pengikut Muhammad lalu berdiri di depan manusia untuk menyatakan
keislaman dirinya dengan begitu tegas dan menantang seperti Khabbab.
Para pemuka Quraisy pun kaget oleh kisah Khabbab ini. Tidak pernah
terbersit di hati mereka bahwa akan ada seorang budak seperti budak
Ummu Anmar yang tidak memiliki keluarga yang dapat melindunginya
dapat begitu berani dan keluar dari kekuasaan tuannya. Budak terseut telah
berani mencela tuhan-tuhan mereka dengan jelas, dan menganggap bodoh
agama bapak dan leluhur mereka. Dan para pembesar Quraisy semakin
yakin bahwa budak ini akan semakin berani lagi.
Perkiraan pemuka Quraisy tadi tidak meleset. Keberanian Khabbab
rupanya telah mampu menggerakkan para sahabatnya yang lain untuk
menyatakan keislaman mereka. Maka mereka mulai mengucapkan kalimat
kebenaran dengan terang-terangan satu demi satu.
Para pemuka Quraisy berkumpul di Mekkah dan sebagian dari mereka
saat itu yaitu Abu Sufyan bin Harb, Al Walid bin Al Mughirah, Abu Jahl
bin Hisyam dan mereka semua sedang berbicara tentang Muhammad.
Mereka melihat bahwa kekuatan Muhammad dari hari ke hari bahkan dari
waktu ke waktu semakin bertambah kuat dan besar.
Maka suku Quraisy bertekad untuk mencegah penyakit ini sebelum
semakin parah. Dan mereka memutuskan agar setiap anggota kabilah
menyiksa pengikut Muhammad sehingga mereka murtad dari agamanya
atau hingga mereka mati.
Kepada Siba dan kaumnya diberikan tanggung jawab untuk melakukan
penyiksaan kepada Khabbab. Maka setiap kali hari terasa panas dan sinar
mentari terasa membakar bumi, mereka akan membawa Khabbab ke
lembah Mekkah. Mereka menanggalkan pakaian Khabbab dan
memakaikan padanya pakaian besi. Mereka tidak memberikan air kepada
Khabbab sehingga jika ia sudah merasa amat payah, maka mereka akan
berkata kepadanya: “Siapa menurutmu Muhammad itu?” Ia menjawab:
“Dia yaitu hamba dan Rasul Allah. Ia datang kepada kami dengan
membawa agama petunjuk dan kebenaran agar dapat mengeluarkan kami
dari kegelapan menuju cahaya.”
Lalu mereka memukulkan tangan mereka ke tubuhnya dan berkata:
“Menurutmu apakah Lata dan Uzza itu?” Ia menjawab: “Keduanya yaitu
berhala yang tuli dan bisu, tidak memberikan mudharat ataupun manfaat.”
Lalu mereka membawakan batu-batu yang panas dan menempelkan batu
ini di punggung Khabbab. Mereka membiarkan bebatuan panas
ini di punggung Khabbab sehingga keluarlah keringat dari kedua
pundaknya.
Ummu Anmar tidak kalah bengis dari saudaranya yang bernama Siba.
Dia pernah melihat Rasulullah Saw yang mempir di toko Khabbab dan
berbicara kepadanya. Maka ia langsung marah dengan pemandangan yang
telah dilihatnya.
lalu setiap hari ia mendatangi Khabbab dan langsung mengambil
besi panas dari tempat pembakarannya lalu ia meletakkannya di atas
kepala Khabbab sehingga kepalanya melepuh dan ia hilang kesadaran...
dan Khabbab sering berdo’a jelek untuk Ummu Anmar dan saudaranya
yang bernama Siba.
Begitu Rasulullah Saw mengizinkan kepada para sahabatnya untuk
berhijrah, maka Khabbab pun mempersiapkan diri untuk berhijrah.
Akan tetapi Khabbab tidak pergi meninggalkan Mekkah kecuali sesudah
Allah mengabulkan do’a yang ia panjatkan bagi keburukan Ummu Anmar.
Ummu Anmar terkena penyakit sakit kepala yang belum pernah terdengar
penyakit kepala sehebat itu. Ummu Anmar meraung sebab kesakitan
seperti seekor anjing yang menggonggong.
Maka anak-anaknya mencari tabib ke seluruh tempat yang dapat
membantu menghilangkan penyakit yang diderita ibu mereka. Ada orang
yang menyarankan bahwa Ummu Anmar tidak akan sembuh dari
penyakitnya kecuali bila ia mau menyulut kepalanya dengan api.
Maka Ummu Anmar pun menyulut kepalanya dengan besi yang
dipanaskan, maka sesudah ia melakukannya ia pun terbebas dari sakit
kepala yang dideritanya.
Dalam perlindungan Bangsa Anshar di Madinah Khabbab merasakan
ketenangan yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Ia begitu senang
berada di dekat NabiSaw tanpa adanya halangan dan rintangan.
Ia turut-serta mendampingi Nabi Saw dalam perang Badr dan berjuang
di bawah komandonya.
Ia juga turut-serta dalam perang Uhud, dan Allah membuat hatinya
saat ia melihat Siba bin Abdul Uzza saudara Ummu Anmar yang
menjumpai kematiannya di tangan Singa Allah yang bernama Hamzah bin
Abdul Muthalib.
Ia diberikan umur yang panjang sehingga ia merasakan kepemimpinan
semua khulafa ar rasyidin yang empat. Dan Khabbab hidup di bawah
pengawasan mereka dengan hidup yang mulia.
Suatu hari ia mendatangi Umar bin Khattab dalam ruangan
kekhilafahannya. Umar langsung menaikan tempat duduk buat Khabbab
dan Umar terlihat berlebihan dalam mendekatkan diri kepadanya. Umar
berkata kepada Khabbab: “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk
mendapatkan posisi seperti ini selain Bilal.” lalu Umar bertanya
kepada Khabbab penyiksaan yang paling keras ia rasakan dari kaum
musyrikin, namun Khabbab merasa enggan untuk menceritakannya. Begitu
Umar mendesak agar Khabbab bercerita maka Khabbab menyibakan
selendang dari punggungnya. Maka kagetlah Umar dengan apa yang ia
lihat di punggung Khabbab. Umar bertanya: “Bagaimana bisa seperti ini?!”
Khabbab menjawab: “Kaum musyrikin menyalakan kayu bakar sehingga
menjadi bara lalu mereka menanggalkan bajuku. lalu mereka
menarik tubuhku untuk tidur di atasnya, sehingga daging punggungku
terkelupas dari tulang. Tidak ada yang memadamkan api ini kecuali
air keringat yang berjatuhan dari tubuhku.
Khabbab pada paruh lain dalam hidupnya hidup berkecukupan sesudah
merasakan kefakiran. Ia memiliki emas dan perak yang tidak pernah ia
bayangkan sebelumnya.
Akan tetapi ia mempergunakan uangnya dengan cara yang tidak
pernah dibayangkan oleh orang lain.
Ia meletakkan dirham dan dinarnya pada sebuah tempat di dalam
rumahnya yang telah diketahui oleh orang-orang fakir miskin yang
membutuhkan.
Ia tidak pernah menyembunyikannya dan juga tidak pernah
menguncinya. Orang-orang fakir dan miskin tadi selalu datang ke
rumahnya dan mengambil harta ini sekehendak mereka tanpa perlu
meminta atau izin terlebih dahulu.
Meski demikian, Khabbab masih merasa khawatir bila dirinya akan
dihisab nanti atau akan diadzab sebab harta ini .
Beberapa orang sahabatnya bercerita: “Kami menjenguk Khabbab saat
ia sekarat. Ia berkata: ‘Di tempat ini terdapat 80 ribu dirham. Demi Allah,
aku tidak pernah menyembunyikannya dan aku tidak pernah menghalangi
orang yang memintanya.’ lalu ia menangis.
Para sahabatnya bertanya: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia
berkata: ‘Aku menangis sebab banyak sahabatku yang sudah wafat namun
mereka tidak mendapatkan ganjaran kebaikan mereka di dunia ini
sedikitpun. Sedangkan aku masih hidup hingga sekarang dan mendapatkan
harta seperti ini yang membuatku khawatir bahwa ini yaitu ganjaran
kebaikan yang pernah aku lakukan.’
Begitu Khabbab menemui ajalnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
ra berdiri di hadapan kuburnya dan berkata: “Semoga Allah merahmati
Khabbab. Dia begitu semangat masuk ke dalam Islam. Berhijrah sebab
patuh kepada Rasul dan hidup sebagai seorang pejuang. Allah Swt tidak
akan pernah menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya.
Al Rabi’ Bin Ziyad Al Haritsi
“Tidak Ada Orang yang Begitu Percaya Kepadaku Sejak Aku Menjadi
Khalifah Sebagaimana yang Dilakukan Oleh Al Rabi Bin Ziyad.”
(Umar Bin Khattab)
Madinah Rasulullah Saw masih dirundung kesedihan sebab telah
kehilangan seorang yang amat mulia bernama Abu Bakar As Shiddiq.
Banyak utusan dan delegasi yang berdatangan dari segala penjuru
setiap hari untuk membai’at Khalifah yang baru, Umar bin Khattab dan
untuk menyatakan kepatuhan dan loyalitas mereka baik dalam kondisi
senang maupun susah.
Pada suatu pagi datanglah delegasi dari Bahrain untuk menghadap
Amirul Mukminin dan beberapa rombongan delegasi yang lainnya.
Umar Al Faruq ra senang sekali mendengar pembicaraan para delegasi
dengan harapan ia akan mendapatkan nasehat yang bermanfaat, ide yang
berguna atau nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan bagi ummat muslim secara
keseluruhan.
Ia meminta beberapa orang dari para hadirin saat itu untuk berbicara
akan tetapi apa yang mereka sampaikan tidak begitu berarti.
lalu khalifah menoleh kepada seorang pria yang beiau duga
sebagai orang baik. lalu Beliau menoleh ke arahnya dan berkata:
“Ungkapkanlah pendapatmu!”
lalu pria tadi memuji Allah dan berkata: “Ya Amirul Mukminin
amanat ummat yang telah Anda emban ini tiada lain merupakan ujian
Allah yang ditimpakan kepadamu. Maka bertaqwalah kepada Allah atas
amanah ini. Ketahuilah olehmu, anda ada seeang yankor domba tersesat di
tdepi sungai Eufrat maka pasti enrgkau akan ditanyakan di hari kiamat
nanti tentang domba tadi.”
Maka menangislah Umar dengan suara yang keras lalu berkata: “Tidak
ada orang yang berkata jujur kepadaku sejak aku menjadi khalifah
sebagaimana yang telah ia lakukan. Siapakah dirimu?!” Ia menjawab: “Al
rabi bin Ziyad Al Haritsi
Umar bertanya: “Apakah engkau saudaranya Al Muhajir bin Ziyad?”
Rabi menjawab: “Benar.”
Begitu pertemuan itu berakhir, Umar lalu memanggil Abu Musa Al
Asy’ari dan berkata: “Selidikilah siapa sebenarnya Rabi bin Ziyad! Jika ia
yaitu seorang sahabat maka pada dirinya terdapat kebaikan yang banyak
dan ia dapat membantu kita dalam mengemban tugas ini. Angkatlah ia
sebagai pegawai dan kirimkan kabar kepadaku tentang dirinya!”
Tidak berlangsung lama sesudah itu, Abu Musa Al Asy’ari menyiapkan
sebuah pasukan untuk menaklukkan Manadzir yang terletak di daerah Al
Ahwaz berdasarkan perintah Khalifah. Abu Musa Al Ays’ari mengajak serta
Rabi bin Ziyad dan saudaranya yang bernama Al Muhajir.
Abu Musa Al Asy’ari berhasil mengepung Manadzir dan melakukan
sebuah peperangan melawan penduduknya dengan begitu keras yang
jarang terjadi peperangan sedemikian keras.
Pasukan musyrikin menunjukkan kekuatan dan keteguhan yang amat
hebat yang tidak pernah terbersit sebelumnya, sehingga banyak sekali
korban berguguran di pihak muslimin yang tak pernah diperkirakan.
Pada saat itu kaum muslimin yang sedang melakukan perang ini
juga sedang melakukan puasa Ramadhan
Tatkala Al Muhajir saudara Rabi binZiyad melihat sudah banyak korban
yang berguguran pada pasukan muslimin, ia bertekad untuk
mempersembahkan dirinya demi mencari keridhaan Allah Swt. Al Muhajir
lalu melumurkan badannya dengan wewangian kematian dan mengenakan
kain kafan, lalu ia berwasiat kepada saudaranya…
Lalu datanglah Rabi menghadap Abu Musa dan berkata: “AL Muhajir
telah bertekad untuk mempersembahkan jiwanya mati di dalam perang dan
saat ini ia masih berpuasa. Pasukan muslimin semuanya sudah begitu
menderita akibat ganasnya perang dan laparnya berpuasa sehingga
melemahkan semangat mereka. Namun mereka masih saja tidak mau
berbuka. Apa pendapatmu?”
Abu Musa Al Asy’ari langsung berdiri dan menyerukan kepada
pasukannya: “Wahai ma’syaral muslimin, Aku bersumpah, agar mereka
yang berpuasa agar lekas berbuka atau tidak usah ikut berperang!”
lalu Abu Musa minum dari tempat minum yang ia bawa agar
prajurit yang lain mau mengikuti apa yang telah ia kerjakan.
Begitu Al Muhajir mendengar seruan Abu Musa, maka ia langsung
meminum seteguk air dan berkata: “Demi Allah, aku tidak minum air
ini sebab merasa haus. Akan tetapi aku meminumnya demi
memenuhi sumpah pemimpinku.”
lalu ia menghunuskan pedangnya dan mulai menerobos barisan
musuh dan ia menghadapi banyak musuh dengan tanpa rasa takut dan
gentar.
Begitu ia masuk menerobos pasukan musuh, lalu mereka segera
menyerang Al Muhajir dari segala penjuru dan menebaskan pedang
mereka dari depan dan dari belakang tubuhnya sehingga ia pun menemui
ajalnya.
lalu para musuh tadi memenggal kepala Al Muhajir lalu
memancangkannya pada sebuah tempat yang tinggi di medan
pertempuran.
Rabi lalu melihat kepala saudaranya itu dan berkata: “Amat beruntung
engkau dan berhak mendapatkan tempat kembali yang terbaik. Demi Allah,
aku akan membalas dendam untuk mu dan untuk semua korban yang
gugur di pihak muslimin, Insya Allah.”
Begitu Abu Musa melihat kesedihan pada diri Rabi akibat kematian
saudaranya, dan ia mengerti apa yang dirasakan oleh Rabi terhadap para
musuh Allah itu, maka Abu Musa mempersilahkan Rabi untuk memimpin
pasukan dan lalu berangkat menuju Al Sus untuk menaklukannya.
Rabi beserta pasukannya menyerang pasukan musyrikin bagaikan
serangan angin topan yang kencang. Mereka menghancurkan pertahanan
mereka bagaikan bebatuan yang jatuh dari dataran tinggi akibat longsor.
Rabi dan pasukannya berhasil memporak-porandakan barisan musuh dan
melemahkan kekuatan mereka. Dan akhirnya Allah berkenan menaklukan
kota Al Manadzir untuk Rabi bin Ziyad. Sehingga ia dapat mengalahkan
para musuh. Menawan beberapa orang untuk dijadikan budak, dan ia
mendapatkan harta ghanimah sesuai kehendak Allah.
Bersinarlah bintang Rabi bin Ziyad sesudah peperangan Manadzir dan
namanya mulai disebut orang.
Dia pun menjadi salah seorang panglima ternama yang diharapkan
untuk menyelesaikan tugas-tugas berat.
Saat pasukan muslimin berniat untuk menaklukan negeri Sigistan,
mereka menunjuk Rabi untuk menjadi panglima pasukan, dan mereka
menaruh harapan kepadanya untuk dapat meraih kemenangan atas izin
Allah.
Berangkatlah Rabi bin Ziyad bersama para pasukannya untuk berjuang
di jalan Allah Swt ke negeri Sigistan melintasi sebuah padang pasir yang
panjangnya 75 farsakh yang sering membuat para hewan penunggu
padang pasir sering merasa keletihan.
Hal pertama yang ia jumpai di sana yaitu Rustaq Zaliq149 yang terletak
di perbatasan Sigistan, dan ini merupakan sebuah rustaq yang dipenuhi
oleh istana-istana yang besar dan dikelilingi oleh benteng-benteng yang
tinggi. Banyak sekali terdapat kenikmatan di dalamnya dan memiliki
banyak buah.
Panglima yang cerdas ini mengirimkan beberapa orang spionasenya
untuk menyusup ke dalam Rustaq Zaliq sebelum ia tiba di sana. Rabi telah
mengetahui bahwa penduduk Rustaq Zaliq sebentar lagi akan mengadakan
sebuah festival. Maka Rabi memutuskan untuk terus memantau aktivitas
penduduk tadi dan akan menyerang mereka dengan tiba-tiba pada malam
festival saat mereka sedang tidak siaga. lalu Rabi akan menebas leher
mereka dan mengalahkan mereka dengan mudah.
Akhirnya Rabi berhasil menawan 20 ribu tawanan dan salah seorang
Duhqan150 mereka juga turut menjadi tawanannya.
Di antara para tawanan terdapat beberapa orang budak milik Duhqan
dan didapati bahwa mereka telah membawakan 300 ribu dirham untuk
dibawakan kepada tuannya.
Al Rabi lalu berkata kepadanya: “Darimana harta ini?!” ia menjawab:
“Dari salah satu kampung, wahai tuan!” Rabi bertanya: “Apakah sebuah
kampung dapat memberikan harta sedemikian banyak kepadanya setiap
tahun?”
Ia menjawab: “Benar.” Rabi bertanya keheranan: “Bagaimana
caranya?!” Ia menjawab: “Dengan kapak, arit dan keringat kami!”
Begitu peperangan usai, sang duhqan menghadap Rabi untuk
menawarkan tebusan dirinya dan keluarganya.
Rabi lalu berkata kepadanya: “Aku akan membebaskanmu dengan
tebusan jikalah engkau mampu membayarkan fidyah kepada kaum
muslimin.” Ia bertanya: “Berapa yang kau mau?” Rabi berkata:
“Tancapkanlah tombak ini di tanah lalu datangkanlah emas dan perak
setinggi ini!” Ia berkata: “Baiklah, aku menerimanya.” lalu ia
mengeluarkan dari tempat penyimpanannya emas dan perak lalu
menuangkannya sehingga menutupi tombak yang dipancangkan.
Rabi bin Ziyad beserta pasukannya semakin kuat di negeri Sigistan.
Maka benteng-benteng kuat di sana roboh di bawah kaki kuda Rabi seperti
dedaunan pohon yang berguguran di tiup angin kencang.
149
Rustaq Zaliq yaitu sebuah kota yang besar dan berbenteng di negeri Sigistan
150
Duhqan yaitu kalimat Persia yang berarti kepala suku
Maka para penduduk desa dan kota segera menyambut kedatangannya
untuk meminta rasa aman dan tunduk kepadanya,sebelum Rabi
mengacungkan pedangnya di hadapan wajah mereka. Dan akhirnya
hingga Rabi mencapai kota Zarang ibu kota Sigistan.
Di sana ternyata musuh sudah menyiapkan segala kemampuannya, dan
mereka sudah menyiapkan beberapa pasukan untuk menghadapi pasukan
Rabi. Untuk menghadapi pasukan muslimin, mereka rupanya telah
menggunakan banyak bantuan. Pihak musuh telah bertekad untuk
memukul Rabi dan pasukannya mundur dari kota ini dan mengusir
pasukan muslimin dari Sigistan meski berapapun biaya yang mesti
dikeluarkan.
Maka berlangsunglah pertempuran yang sengit antara pasukan Rabi
melawan para musuhnya dengan begitu ganas yang masing-masing pihak
berharap akan banyaknya korban berjatuhan di pihak musuh.
Begitu nampak awal tanda kemenangan di pihak muslimin,
Marbazan151 negeri yang dikenal dengan nama Barwiz berusaha untuk
melakukan perdamaian dengan Rabi. Selagi Marbazam tadi memiliki
kekuatan,dan ia berharap akan mendapatkan persyaratan yang terbaik bagi
dirinya dan bagi kaumnya.
Maka Marbazan tadi mengirimkan seorang utusan untuk meminta Rabi
membuat janji bertemu dengannya dan untuk merundingkan perdamaian.
Rabi memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk menyiapkan
sebuah tempat untuk menyambut Barwiz. Ia juga memerintahkan mereka
untuk menumpukkan bangkai-bangkai pasukan Persia di sekeliling tempat
pertemuan. Sebagaimana ia menyuruh para prajuritnya untuk meletakkan
bangkai-bangkai lain secara tak beraturan pada pinggiran jalan yang akan
dilintasi Barwiz.
Dan Rabi yaitu seorang yang berpostur tinggi. Memiliki kepala yang
besar. Berkulit coklat. Berbadan besar yang dapat membuat gentar orang
yang memandangnya.
Begitu Barwiz menemuinya ia langsung gemetar sebab merasa takut
kepadanya. Hatinya semakin takut dengan pemandangan yang penuh
dengan bangkai manusia dan itu membuatnya takut mendekat ke arah
Rabi. Ia begitu merasa takut dan tidak berani berjabatan tangan dengan
Rabi.
Barwiz berbicara dengan suara terbata-bata kepada Rabi. Barwiz
melakukan perundingan dengan Rabi yang keputusannya yaitu bahwa
Barwiz harus memberikan 1000 budak yang membawa pada setiap kepala
151
Marbazan yaitu pemimpin dan ini merupakan sebuah kata dalam bahasa Persia
mereka sebuah piala dari emas. Maka Rabi menerimanya dan siap
berdamai dengan Barwiz atas jizyah ini.
Pada keesokan harinyua, Rabi bin Ziyad memasuki kota ini yang
dikelilingi oleh rombongan yang sholih yang meneriakkan kalimat tahlil
dan takbir.
Hari itu yaitu sebuah hari yang bersejarah dari sekian hari milik
Allah.
Rabi bin Ziyad menjadi pedang terhunus di tangan pasukan muslimin
yang mampu menebas para musuh-musuh Allah. Rabi berhasil
menaklukan banyak kota bagi pasukan muslimin, dan menjadi wali
(gubernur) mereka pada beberapa wilayah sehingga hal ini diketahui oleh
Bani Umayyah, yang lalu membuat Muawiyah bin Abu Sufyan
mengangkatnya sebagai seorang wali di Khurasan.
Padahal ia sendiri tidak begitu senang dengan wilayah ini .
Yang semakin membuat ia tidak suka menjadi wali di sana yaitu saat
Ziyad bin Abihi salah seorang wali pemuka Bani Umayyah mengirimkan
sebuah surat kepadanya yang berbunyi: “Amirul Mukminin Muawiyah bin
Abu Sufyan memerintahkan kamu untuk menyisakan emas dan perak hasil
ghanimah perang untuk disetorkan kepada baitul maal muslimin. Engkau
boleh membagikan selebihnya kepada para mujahidin!”
Lalu Rabi membalas surat ini dengan: “Aku mendapati dalam
Kitabullah Swt memerintahkan bukan seperti apa yang kau perintahkan
dengan mengatas-namakan Amirul Mukminin.”
Pada hari Jum’at sesudah surat ini ia terima, Rabi pergi ke masjid
untuk melakukan shalat dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Ia
menjadi khatib yang menyampaikan khutbah Jum’at kepada seluruh
manusia. lalu ia berkata: “Wahai manusia. Aku sudah bosan dengan
kehidupan, dan aku akan membacakan sebuah do’a, maka kalian harus
mengamini apa yang aku bacakan!” lalu ia berdo’a:
“Ya Allah, jika kau menghendaki kebaikan untuk diriku, maka cabutlah
nyawaku untuk menghadapmu sesegera mungkin dan jangan
diperlambat!”
Maka semua manusia mengaminkan do’a ini .
Matahari di hari itu belum juga tenggelam, namun Rabi bin Ziyad telah
kembali ke pangkuan Tuhannya.
Abdullah bin Salam
“Siapa yang Ingin Melihat Seorang Ahli Surga, Silahkan Melihat
kepada Abdullah Bin Salam.”
Hushain bin Salam yaitu seorang kepala pendeta Yahudi terkemuka di
Yatsrib. Penduduk Madinah meski menganut agama yang berbeda, namun
mereka memuliakan dan menghormati Hushain. Sebab ia dikenal sebagai
orang yang bertaqwa dan sholih yang senantiasa bersikap istiqomah dan
jujur.
Hushain menjalani hidupnya dengan begitu tenang dan damai, akan
tetapi kehidupan yang ia jalani amat berarti dan bermanfaat. Ia membagi
waktu hidupnya dalam tiga kegiatan:
Sebagian ia gunakan di gereja untuk memberikan nasehat kepada
ummat sekaligus beribadah. Sebagian lagi ia gunakan di kebun untuk
merawat pohon-pohon kurma. Dan sebagian lagi ia gunakan untuk
mempelajari ilmu agama yang ia dapatkan lewat kitab Taurat.
Setiap kali ia membaca Taurat ia termenung memikirkan berita yang
menyatakan akan munculnya seorang Nabi di Mekkah yang akan
melengkapi risalah para Nabi terdahulu sekaligus menjadi pemungkas
mereka.
Hushain lalu mencari-cari tanda dan ciri Nabi yang dinanti-nanti ini.
Dan ia semakin gembira saat ia mengetahui bahwa Nabi ini akan
berhijrah dari kampungnya menuju Yatsrib tempat tinggalnya yang baru.
Setiap kali ia membaca berita ini atau saat ia terbersit untuk mengingat
Nabi ini maka ia akan berdo’a kepada Allah Swt agar ia dikaruniai umur
panjang sehingga ia dapat menyaksikan kemunculan Nabi yang ditunggu-
tunggu ini dengan hati yang gembira dan ia akan menjadi orang pertama
yang akan beriman kepadanya.
Allah Swt mengabulkan do’a Hushain bin Salam sehingga Ia
memperpanjang usia Hushain hingga waktu dimana Nabi yang membawa
petunjuk dan kebenaran ini diutus.
Ia juga diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk dapat berjumpa dan
bersahabat dengan Nabi ini , dan beriman kepada kebenaran yang
diturunkan kepada Beliau.
Kita akan memberikan kesempatan kepada Hushain untuk
menceritakan keislamannya, sebab ia lebih pantas dan lebih mengetahui
akan hal ini.
Hushain bin Salam berkisah:
Begitu aku mendengar berita kemunculan Rasulullah Saw, aku
mencoba untuk mencari tahu tentang nama, nasab, sifat, waktu dan tempat
Beliau. Aku mencoba mencocokkan semua data ini dengan apa yang
telah tertuliskan dalam kitab suci kami sehingga aku merasa yakin akan
kenabian Beliau dan kebenaran dakwahnya. Dan aku mencoba untuk
merahasiakan hal ini dari kaum Yahudi dan aku berusaha untuk tidak
berbicara tentang Beliau.
Hingga pada hari Rasulullah Saw meninggalkan Mekkah dan menuju
Madinah.
Begitu Beliau tiba di Yatsrib dan singgah di Quba152, salah seorang
datang kepada kami untuk mengumumkan berita kedatangan Beliau. Saat
itu aku sedang berada di atas pohon kurma untuk mengerjakan tugasku
dan bibiku yang bernama Khalidah binti Al Harits sedang duduk di bawah
pohon. Begitu aku mendengar berita ini , maka aku langsung berseru:
Allahu Akbar… Allahu Akbar!
Maka bibiku berkata saat ia mendengar aku bertakbir: “Allah akan
menolakmu! Demi Allah, jika engkau mendengar berita bahwa Musa bin
Imran telah datang, pasti engkau tidak akan melakukan hal yang lebih dari
itu.”
Aku berkata kepadanya: “Wahai bibi, Demi Allah, dia yaitu saudara
Musa bin Imran dan memiliki agama yang sama dengannya. Ia telah diutus
sebagai Nabi sama seperti Musa.”
Lalu bibiku terdiam sesaat dan ia pun bertanya: “Apakah dialah seorang
Nabi yang sering kali diceritakan bahwa dia akan diutus untuk
membenarkan Nabi-Nabi yang diutus sebelumnya dan sekaligus menjadi
pamungkas risalah Tuhannya?!”
Aku menjawab: “Benar!” Ia berkata: “Baiklah kalau begitu!”
Sesegera mungkin aku pergi untuk menjumpai Rasulullah Saw. Aku
dapati manusia sedang berdesakan di depan pintu rumah tempat Beliau
singgah. Aku lalu menyelinap di antara kerumunan orang sehingga aku
begitu dekat dengan Beliau.
Hal pertama yang aku dengar dari Beliau yaitu sabdanya: “Wahai
manusia, sebarkanlah salam, berilah makan, shalatlah pada malam hari di
152
Quba yaitu sebuah desa yang berjarak dua mil dari Madinah
kala manusia tertidur, maka kalian akan masuk ke dalam surga dengan
selamat!”
Aku begitu memperhatikan Beliau dengan seksama, dan aku semakin
yakin bahwa wajah Beliau bukanlah tampang seorang pendusta.
lalu aku mendekat ke arahnya dan aku bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu utusan Allah.
lalu Beliau menoleh ke arahku dan bertanya: “Siapa namamu?!”
Aku menjawab: “Al Hushain bin Salam!” Beliau bersabda: “Bukan, tapi
namamu sekarang yaitu Abdullah bin Salam.” Aku pun berkata: “Benar,
Abdullah bin Salam… Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran,
aku tidak ingin mendapatkan nama lain sesudah hari ini!”
lalu aku segera pamit kepada Rasulullah untuk kembali ke rumah
dan untuk mengajak istri, anak-anakku dan seluruh keluargaku untuk
masuk Islam. Mereka semuanya masuk ke dalam Islam, termasuk bibiku
yang bernama Khalidah padahal saat itu ia sudah amat tua. lalu aku
berkata kepada mereka: “Rahasiakan keislamanku dan kalian semua
kepada kaum Yahudi sehingga aku izinkan!” Mereka menjawab: “Baiklah!”
lalu aku kembali menemui Rasulullah Saw dan aku berkata
kepada Beliau: “Ya Rasulullah, kaum Yahudi yaitu sebuah kaum yang
suka berbohong dan berdusta. Aku ingin sekali mengajak para pembesar
mereka untuk menghadapmu, lalu Engkau menyembunyikan aku di
salah satu kamar rumahmu lalu tanyakanlah kepada mereka kedudukanku
di sisi mereka sebelum mereka mengetahui keislamanku. Lalu ajaklah
mereka untuk memeluk Islam! Jika mereka mengetahui bahwa aku telah
masuk Islam, pasti mereka akan mencercaku dan mereka akan
memfitnahku dengan kebohongan.”
lalu Rasulullah Saw memasukkan aku ke sebuah kamar di
rumahnya, lalu Beliau mengundang para pembesar Yahudi untuk bertemu
dengan Beliau dan Beliau pun meminta mereka untuk masuk Islam dan
beriman. Rasul pun tak lupa mengingatkan mereka tentang kabar
kedatangan Beliau dalam kitab-kitab suci Yahudi.
Maka serta-merta para pembesar Yahudi tadi berselisih pendapat
dengan Nabi dan mereka menolak kebenaran yang Beliau bawa. Aku
mendengarkan semua kejadian itu. Begitu Rasulullah Saw merasa putus asa
untuk mengajak mereka beriman, lalu Beliau bertanya kepada mereka:
“Apa kedudukan Hushain bin Salam di sisi kalian?” Mereka menjawab:
“Dia yaitu pemimpin kami, anak pemimpin kami. Dia juga yaitu orang
berilmu yang kami miliki dan anak dari orang berilmu yang kami miliki.”
Rasul bertanya: “Jika ia telah masuk Islam, apakah kalian akan masuk
Islam juga?!”
Mereka menjawab: “Allah akan melarangnya! Tidak mungkin ia akan
masuk Islam. Allah akan melindunginya agar ia tidak masuk Islam.”
Lalu aku keluar untuk menemui mereka, dan aku berkata: “Wahai
bangsa Yahudi, bertaqwalah kalian kepada Allah dan terimalah apa yang
dibawa Muhammad kepada kalian! Demi Allah, sungguh kalian sudah
mengetahui bahwa dia yaitu Rasulullah. Engkau sudah mendapati bahwa
nama dan sifatnya telah tertulis di Taurat. Aku bersaksi bahwa dia yaitu
Rasulullah. Aku beriman, percaya dan mengenal Beliau.”
Mereka langsung berkata: “Engkau berdusta! Demi Allah, engkau
yaitu orang jahat dan anak orang jahat. Engkau yaitu orang bodoh dan
anak orang bodoh!” Mereka tidak berhenti untuk terus mencercaku.
Aku pun berkata kepada Rasulullah Saw: “Bukankah telah aku katakan
kepadamu bahwa Yahudi yaitu kaum yang berdusta dan bathil. Mereka
yaitu orang yang suka berkhianat dan berbuat dosa?”
Abdullah bin Salam menerima Islam bagai orang yang kehausan
mendapatkan minuman segar. Dia begitu cinta kepada Al Qur’an. Lisannya
tidak pernah lelah untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an yang jelas. Ia begitu
dekat dengan Nabi Saw sehingga ia bagaikan bayangan Beliau yang selalu
menyertai.
Ia bernazar atas dirinya bahwa ia akan mengerjakan amalan untuk
mengejar surga sehingga Rasulullah Saw memberikan kabar gembira
kepadanya bahwa ia berhak masuk surga dan kabar ini tersebar ramai di
kalangan para sahabat.
Mengenai kabar gembira ini ada sebuah kisah yang akan disampaikan
oleh Qais bin Abbad dan lainnya.
Qais berkisah:
Aku sedang duduk pada sebuah halaqah ilmu (majlis ilmu) di masjid
Rasulullah Saw di Madinah.
Di dalam halaqah ini terdapat seorang tua yang begitu tenang.
lalu orang tua ini menyampaikan sebuah pembicaraan kepada
manusia yang hadir dengan begitu indah dan membekas.
Begitu ia bangun dari tempatnya maka orang-orang berkata: “Siapa
yang ingin melihat seorang penghuni surga maka lihatlah orang ini!”
Aku pun bertanya: “Siapakah dia?” Mereka menjawab: “Dialah
Abdullah bin Salam!”
Aku berkata dalam hati: “Demi Allah, aku akan mengikutinya!” Aku
pun mulai mengikutinya… lalu ia pergi sehingga hampir keluar dari
kota Madinah. lalu ia masuk ke dalam rumahnya… lalu aku
pun meminta izin untuk masuk. Lalu ia mengizinkan aku.
Ia bertanya: “Apa yang engkau butuhkan, wahai keponakanku?” Aku
berkata kepadanya: “Aku mendengar orang-orang berbicara tentangmu –
saat kau keluar dari masjid-: “Siapa yang ingin melihat seorang ahli surga,
maka lihatlah orang ini! Maka aku pun mengikutimu untuk mengetahui
kebenaran berita ini, dan agar aku mengetahui bagaimana orang-orang
bisa tahu bahwa engkau yaitu ahli surga.”
Ia berkata: “Allah lebih mengetahui tentang ahli surga, wahai ananda!”
Aku berkata: “Benar, akan tetapi pasti ada sebab yang membuat mereka
berkata demikian.” Ia berkata: “Aku akan menceritakan kepadamu
mengenai penyebabnya.” Aku berkata: “Ceritakanlah! Semoga Allah akan
membalas kebaikanmu.”
Ia berkata: “Saat aku sedang tertidur di suatu malam pada masa
Rasulullah Saw, maka datanglah seseorang kepadaku dan berkata:
‘Bangunlah!’ aku pun langsung bangun. Ia lalu menarik tanganku.
lalu aku berada di jalan di sebelah kiri dan aku hendak
menyusurinya. lalu ia berkata kepadaku: “Tidak usah kau jalan di
sebelah situ, sebab itu bukan untukmu!” lalu aku tersadar bahwa aku
sudah berada di sebelah kanan jalan yang begitu terang. lalu pria
tadi berkata: “Susurilah jalan ini!” Maka aku pun menyusurinya sehingga
aku tiba di sebuah taman yang rindang dan amat luas. Taman ini
begitu hijau dan sejuk dipandang.
Di tengah taman ini terdapat tiang yang terbuat dari besi. Akarnya
berada di bumi dan ujungnya berada di langit. Di bagian atas tiang ini
ada sebuah ikatan yang terbuat dari emas.
lalu pria tadi berkata: “Naiklah dan ambillah emas ini !” Aku
menjawab: “Aku tidak bisa melakukannya.”
lalu ia mengambilkan seorang pembantu untukku yang
menolongku untuk naik. Maka aku pun mulai memanjat sehingga aku tiba
di ujung tiang ini . Maka akupun mengambil ikatan emas ini
dengan tanganku. Aku terus bergantungan di tiang tersbeut hingga pagi.
Keesokan paginya aku menghadap Rasulullah Saw dan aku
menceritakan mimpiku kepada Beliau. Beliau lalu bersabda: “Jalanan yang
kau lihat dalam mimpi berada di sebelah kirimu, jalanan ini yaitu
jalanan Ashabus Syimal (golongan kiri) dari penghuni neraka. Sedangkan
jalan yang kau lihat dalam mimpi berada di kananmu, maka jalan ini
yaitu jalan Ashabul Yamin (golongan kanan) dari ahli surga.
Adapun taman yang rimbun dan rindang itu yaitu Islam. Tiang yang
berada di tengahnya yaitu tiang agama. Sedangkan ikatannya yaitu Al
Urwah Al Wutsqa (Tali yang Kuat). Engkau senantiasa akan memegangnya
hingga engkau wafat!”
Khalid Bin Said Bin Al Ash
“Ayahku yaitu Orang Kelima. Dia yaitu Orang Pertama yang
Menuliskan Bismillahirrahmanirrahim.” (Putri Khalid)
Pada suatu sore yang tenang dan damai di Mekkah, berangkatlah Said
bin Al Ash bin Umayyah yang dijuluki dengan Abu Uhaihah dari rumahnya
di dataran tinggi Al Hajun153 untuk menuju Masjidil Haram. Ia sudah
mengenakan sorban merah yang amat mahal di kepalanya.
Ia menyingsingkan di bahunya sebuah selendang yang menjadi salah
satu perhiasan para raja Yaman, yang dipenuhi dengan benang emas.
Di depannya ada sebuah rombongan berjalan yang terdiri dari para
budak yang digiring dengan pedang. Di sebelah kanannya terdapat
beberapa orang putranya, salah satu dari mereka bernama Khalid.
Di sebelah kirinya terdapat beberapa orang pria dari kaumnya Bani
Abdi Syamsin dan mereka mengenakan pakaian dan perhiasan yang terbuat
dari sutra.
Begitu nampak kedatangan Abu Uhaihah di sekitar Masjidil Haram,
maka para penduduk berkata: “Sang Pemilik Mahkota sudah tiba!” Para
penduduk Mekkah memberikan gelar kepadanya seperti itu sebab jika
kepalanya sudah mengenakan sorban, maka tidak ada seorang pun dari
Quraisy yang akan mengenakan sorban dengan warna serupa kecuali ia
akan melepaskannya.
Para penduduk akan memberikan jalan kepadanya beserta
rombongannya sehingga ia menempati sebuah tempat tepat di bawah
Ka’bah.
Lalu datanglah menghadapnya Abu Sufyan bin Harb, Utbah bin Rabiah,
Abu Jahl bin Hisyam dan para pemuka Quraisy lainnya. Ia lalu bertanya
kepada mereka: “Benarkah kabar yang aku dengar bahwa Sa’d bin Abi
Waqash telah mengikuti jejak Muhammad?! Dan bahwa dia telah berani
menyerang seorang pria dari suku Quraisy, yang telah ia pecahkan
kepalanya sehingga darah bercucuran. Sebab pria tadi telah berani
melarangnya untuk shalat kepada selain berhala kita?” lalu ia
berkata: “Demi Lata dan Uzza, Jika kalian masih terus mengalah terhadap
Muhammad bin Abdullah sebab memandang bahwa ia masih termasuk
keluarga Bani Hasyim, maka aku sendiri yang akan menghadapinya. Dan
153
Al Hajun yaitu sebuah tempat di Mekkah dekat dari Masjidil Haram.
aku akan menghalangi Tuhan anak Abi Kabasyah154 untuk disembah di
Mekkah.”
lalu ia kembali dengan rombongannya seperti ia datang tadi.
Tidak ada yang tertinggal selain anaknya yang bernama Khalid.
Khalid bin Said bin Al Ash tinggal di Masjidil Haram dengan berpindah
dari majlis yang satu ke majlis lainnya demi mencari berita tentang
Muhammad dan untuk mendengarkan kisah tentang dakwahnya.
Namun dari berita yang ia dapatkan tentang Rasulullah Saw tidak ada
yang membenarkan kedengkian yang telah ia lihat dari ayahnya kepada
Muhammad dan para sahabatnya. Atau ada hal yang dapat membuktikan
kebenaran kedengkian yang ada pada diri pemuka Quraisy.
Begitu malam tiba, Khalid bin Said kembali ke rumahnya. Ia langsung
menuju kamarnya tanpa melewati kamar ayahnya untuk menyampaikan
ucapan selamat malam sebagaimana yang biasa ia lakukan setiap hari.
lalu ia langsung menuju pembaringannya yang empuk untuk tidur.
Akan tetapi matanya malam itu tidak bisa terpejam. Ia merasa ada
sesuatu yang membuat matanya tidak bisa tertidur.
Yang membuat hatinya menjadi resah pada malam itu yaitu tentang
Muhammad dan apa yang ia dakwahkan. Ia merasa khawatir jika ayahnya
akan menyiksa Muhammad dengan begitu kejam.
Pada bagian malam terakhir, rasa kantuk membuat ia terlelap dan
akhirnya ia pun menyerah tak kuasa menahan keinginan untuk tidur.
Tidak lama lalu ia langsung bangkit dengan rona wajah yang
berubah. Ia seperti terkaget dengan apa yang baru saja ia impikan.
Tubuhnya berguncang menahan apa yang baru saja ia alami, dan ia
berkata: “Aku bersumpah demi Allah, mimpi yang baru saja aku alami
yaitu benar. Aku tidak melihat bahwa mimpi ini yaitu dusta.”
Khalid telah melihat dalam mimpinya bahwa ia berdiri di tepi sebuah
lembah neraka jahannam yang amat dalam. Tidak ada yang tahu berapa
jauh kedalamannya. Di dalam lembah ini terdapat api yang berkobar
154
Abu Kabasyah: yaitu Al Harits bin Abdul Uzza bin Rifa’ah Al Sa’di yaitu suami Halimatus
Sa’diyah yaitu seorang ibu yang telah menyusui Rasul Saw.
dan menyala yang menimbulkan suara lolongan dan rintihan yang
membuat hati dan jiwa terasa copot ketakutan.
Begitu ia ingin mencoba untuk menjauhkan diri dari tepi lembah
ini , rupanya ayahnya menghalangi jalan untuknya. Ayahnya mencoba
dengan sekuat tenaga untuk mendorongnya masuk ke dalam lembah api.
Maka Khalid pun berusaha menghadapi ayahnya sekuat mungkin.
Khalid bergumul dengan ayahnya sampai ia merasa kelelahan, dan
hampir saja ia terjerumus ke dalam lembah neraka.
Lalu tiba-tiba datanglah Muhammad bin Abdullah menarik tubuhnya
dengan kedua tangan Beliau. Ia menarik Khalid ke arahnya dan
menolongnya agar tidak jatuh ke dalam lubang api neraka.
Belum juga pagi mulai terang benderang saat Khalid bin Said datang ke
rumah Abu Bakar As Shiddiq ra. Hal itu dilakukannya, sebab Khalid telah
mengenal dan percaya kepada Abu Bakar.
Khalid menceritakan kepada Abu Bakar tentang mimpinya. Abu Bakar
lalu berkata: “Allah Swt telah menginginkan kebaikan atasmu, ya Khalid!
Sebab Allah Swt telah mengutus Muhammad bin Abdullah dengan agama
petunjuk dan kebenaran. Dan agama ini akan mengungguli semua agama
yang ada meski para musyrikin membencinya. Ikutilah jejak Beliau, ya
Khalid! Jika engkau mau mengikutinya, maka pintu surga akan dibukakan
untukmu. Dan engkau akan terhijab dari api neraka. Sedangkan ayahmu
akan masuk ke dalam neraka, tempat yang ia ingin kau masuk ke
dalamnya.”
Khalid bin Said berangkat untuk menemui Rasulullah Saw. Pada saat itu
Rasulullah Saw sedang beribadah kepada Allah secara sembunyi-sembunyi
di Ajyad155. Lalu Khalid mengucapkan salam kepada Beliau dan berkata:
“Apa yang hendak kau dakwahkan kepada kami, ya Muhammad?”
Beliau bersabda: “Aku mengajak kalian untuk beriman kepada Allah
Yang tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa aku yaitu hamba dan Rasul-Nya.
Dan agar kalian meninggalkan penyembahan kepada batu yang tidak dapat
melihat dan mendengar. Tidak dapat mendatangkan mudharat atau
manfaat. Yang tidak mampu membedakan orang yang datang untuk
beribadah kepadanya, dan orang yang akan membawa kecelakaan
baginya.”
Maka merekahlah kebahagiaan di wajah Khalid, dan ia berkata:
“Asyhadu an la ilaha illa-Llahu wa annaka Abdullahi wa Rasuluhu.”
155
Ajyad atau Jiyad yaitu sebuah jalan di Mekkah dan hingga kini masih ada dan terletak di
sebelah Masjid Al Haram
Maka Khalid bin Said Al Ash yaitu orang kelima atau keenam yang
masuk Islam di muka bumi. sebab tidak ada orang yang mendahuluinya
untuk mendapatkan kemuliaan yang agung ini selain Khadijah binti
Khuwailid, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Shiddiq, dan
Sa’d bin Abi Waqash ra.
Khalid bin Said meninggalkan istana ayahnya yang tinggi yang terletak
di dataran tinggi Al Hajun, dan ia meninggalkan kehidupannya yang
mewah dan nikmat.
Ia menghapalkan ayat-ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Saw, dan
ia beribadah kepada Allah secara sembunyi sebab khawatir akan aniaya
Quraisy.
Begitu Khalid telah lama menghilang dari rumah, maka ayahnya
mencari-cari dimana keberadaannya, namun ia tidak dapat menjumpainya.
Maka ayahnya mengutus beberapa orang untuk mencari informasi tentang
keberadaan anaknya. Akhirnya ayahnya mendapatkan berita bahwa
anaknya telah masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad.
Maka menjadi kalutlah sang pemimpin Mekkah ini. Sebab ia tidak
pernah menduga bahwa salah seorang putranya akan berani keluar dari
asuhannya, berpaling dari Lata dan Uzza lalu menjadi pengikut
Muhammad.
Maka ayahnya mengutus seorang budaknya yang bernama Rafi’ dan
kedua saudaranya yang bernama Aban dan Umar. Ketiganya berhasil
menemukan Khalid yang sedang melakukan shalat di sebuah jalan yang
membuat hati dan jiwa mereka menjadi damai.
Ketiganya lalu berkata kepada Khalid: “Ayahmu memanggilmu untuk
segera menemuinya. Ia menjadi marah sebab engkau telah berani
meninggalkan rumah tanpa seizinnya.”
Maka berangkatlah Khalid bersama ketiganya. Dan ketika ia sudah
bertemu dengan ayahnya, Khalid mengucapkan salam Islam kepadanya.
Ayahnya berkata kepadanya: “Celaka kamu. Apakah engkau telah
keluar dari agamamu, agama ayahmu dan agama kakekmu lalu kini kau
mengikuti Muhammad?!”
Khalid menjawab: “Aku tidak keluar, akan tetapi aku beriman kepada
Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku percaya dengan kenabian
Rasul-Nya yang bernama Muhammad Saw. dan aku menyingkirkan segala
berhala yang kalian sembah selain Allah.”
Ayahnya langsung berkata: “Celaka kamu! Apakah engkau mengatakan
bahwa engkau telah percaya kepada orang yang mengaku Nabi ini?”
Khalid menjawab: “Dia bukanlah orang yang mengaku Nabi, akan tetapi
dia yaitu orang yang jujur yang menyampaikan risalah Tuhannya. Ia
bertugas untuk memberi nasehat bagiku, bagimu dan bagi semua
manusia.”
Ayahnya berkata: “Engkau harus berpaling darinya dan
mendustakannya!” Khalid menjawab: “Aku tidak akan melakukannya selagi
di dalam tubuhku ada darah yang mengalir.” Ayahnya berkata: “Kalau
demikian, aku tidak akan memberi rizqiku kepadamu!” Khalid menjawab:
“Itu yaitu hal yang lebih rendah dari perkiraanku. Dan Allah yaitu
pemberi rizqi kepadamu dan kepadaku.”
Maka timbullah amarah pemuka Bani Abdi Syamsin ini terhadap
anaknya. lalu ia mendekat ke arah anaknya dengan membawa
sebuah tongkat besar yang telah ia siapkan. Lalu ayahnya memukulkan
tongkat ini ke kepala Khalid, lalu mengalirlah darah merah
berhamburan.
Ayahnya tidak berhenti memukulkan tongkat ke kepala dan tubuh
Khalid, sehingga darah terus mengalir.
lalu ayahnya memerintahkan agar Khalid diikat dengan tali dan
ia dikurung di sebuah kamar yang gelap. Ia tidak diberi makan dan minum
selama 3 hari.
lalu pada hari keempat datanglah beberapa orang dari anggota
keluarganya dan berkata: “Bagaimana kondisimu, ya Khalid?” Ia
menjawab: “Aku senantiasa berada dalam kenikmatan dari Allah Azza wa
Jalla.” Mereka bertanya: “Bukankah tepat kiranya bila kau kembali
menggunakan akal sehatmu dan mentaati ayahmu?!” Ia menjawab: “Akal
sehatku tidak pernah pergi dariku dan akupun tidak pernah
meninggalkannya. Dan aku tidak akan mentaati ayahku selagi ia
bermaksiat kepada Allah Swt.”
Mereka berkata kepadanya: “Katakan sebuah ucapan tentang Lata dan
Uzza yang dapat membuat ayahmu senang, maka ia akan mengurangi
penderitaanmu!” Khalid menjawab: “Lata dan Uzza yaitu dua batu yang
tuli dan bisu. Dan aku tidak akan mengatakan ucapan tentang keduanya
kecuali ucapan yang dapat membuat Allah dan Rasul-Nya ridha kepadaku.
Meski ayah akan melakukan apa saja yang ia suka kepadaku.”
Abu Uhaihah semakin mengencangkan tali pengikat pada diri Khalid. Ia
memerintahkan para pembantunya untuk mengeluarkan Khalid setiap hari
pada waktu siang ke padang pasir Mekkah. Para pembantu tadi
diperintahkan untuk melemparkan Khalid di antara bebatuan sehingga ia
akan terbakar oleh terik matahari.
Setiap kali mereka membawa Khalid lalu melemparkannya di terik
matahari, ia akan berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah memuliakan
aku dengan iman dan islam. Ini semua bagiku lebih ringan dari pada sesaat
teradzab di api neraka jahannam sebagaimana yang ayahku inginkan
untuk menjerumuskan aku ke dalamnya. Semoga Allah akan membalas
kebaikan Nabi-Nya atas jasa Beliau kepadaku dan kepada kaum muslimin
dengan balasan yang paling mulia.”
Suatu hari Khalid mempunyai kesempatan untuk melarikan diri dari
kurungan ayahnya dan pergi menemui Nabi Saw.
Tidak lama lalu kedua saudaranya yang bernama Umar dan Aban
bergabung bersamanya dalam rombongan kebaikan dan cahaya. Di saat
itulah Abu Uhaihah semakin geram dan ia berkata: “Demi Lata dan Uzza,
aku akan pergi jauh dari Mekkah dengan membawa hartaku, dan itu lebih
baik untukku. Dan aku akan meninggalkan mereka semua yang telah
mening