umat-Nya. Apakah engkau hendak memiliki
pula tanah mereka itu? 24 Bukankah engkau akan memiliki apa yang diberi
oleh Kamos, allahmu? Demikianlah kami memiliki segala yang direbut bagi
kami oleh TUHAN, Allah kami. 25 Lagipula, apakah engkau lebih baik dari
Balak bin Zipor, raja Moab? Pernahkah ia menuntut hak kepada orang Israel
atau pernahkah ia berperang melawan mereka? 26 saat orang Israel diam di
Hesybon dengan segala anak kotanya, di Aroer dengan segala anak kotanya,
dan di segala kota sepanjang kedua tepi sungai Arnon selama tiga ratus
tahun, mengapa pada waktu itu engkau tidak melepaskan kota-kota itu?
27 Jadi aku tidak bersalah terhadap engkau, namun engkau berbuat jahat ter-
hadap aku dengan berperang melawan aku. TUHAN, Hakim itu, Dialah yang
menjadi hakim pada hari ini antara orang Israel dan bani Amon. 28 namun
raja bani Amon tidak mendengarkan perkataan yang disampaikan kepadanya
oleh utusan-utusan Yefta.
Dalam perikop ini kita mendapati perundingan antara Yefta, yang
sekarang menjadi hakim orang Israel, dan raja bani Amon (yang tidak
disebutkan namanya),supaya pertikaian antara kedua bangsa itu,
sekiranya mungkin, dapat diselesaikan tanpa pertumpahan darah.
I. Yefta, sebagai orang yang berkuasa, mengirim utusan kepada raja
bani Amon, yang dalam peperangan ini menjadi pihak penyerang,
untuk menuntut penjelasan atas alasannya menyerbu negeri
Israel: “Apakah urusanmu dengan aku, sehingga engkau menda-
tangi aku untuk memerangi negeriku? (ay. 12). Seandainya aku
terlebih dahulu datang ke negerimu untuk merampas milikmu,
maka ini cukup menjadi alasan bagimu untuk memerangiku,
sebab bukankah kekerasan harus dilawan dengan kekerasan?
Akan namun , mengapa engkau datang sebagai seteru seperti itu ke
negeriku?” Demikianlah Yefta menyebut negeri itu, baik atas nama
Allah maupun Israel. Nah, tuntutan yang wajar ini menunjukkan,
1. Bahwa Yefta tidak suka berperang, meskipun ia sendiri seorang
pahlawan yang gagah perkasa, namun berkeinginan untuk
mencegah perang lewat jalan damai. jika ia dapat meyakin-
kan para penyerang untuk undur dengan nalar, ia tidak akan
memaksa mereka untuk melakukan itu dengan pedang. Perang
haruslah menjadi pilihan terakhir, yang tidak boleh dipertim-
bangkan sampai semua cara lain untuk menyelesaikan pertikai-
an telah dicoba dan gagal, ratio ultima regum – pilihan terakhir
bagi para raja. Pedoman ini harus dipegang pada waktu kita
sedang mencari keadilan. Pedang keadilan, begitu pula halnya
dengan pedang perang, tidak boleh dipergunakan sampai
semua pihak yang bertikai sudah terlebih dahulu berusaha
memahami satu sama lain dan menyelesaikan perkara-perkara
yang sedang diperselisihkan dengan cara-cara yang lebih halus
(1Kor. 6:1).
2. Bahwa Yefta benar-benar ingin mencari keadilan, dan tidak me-
rancangkan hal lain selain berbuat adil. jika bani Amon
dapat meyakinkan dirinya bahwa Israel telah berbuat jahat ke-
pada mereka, maka ia siap memulihkan hak-hak mereka. Apa-
bila tidak, maka serangan mereka jelas menunjukkan bahwa
mereka berbuat jahat kepada Israel, sehingga ia pun siap mem-
pertahankan hak-hak orang Israel. Rasa keadilan harus me-
mandu dan memimpin kita dalam semua tindakan kita.
II. Raja bani Amon pada kesempatan ini menyampaikan tuntutan-
nya, yang seharusnya sudah disampaikannya sebelum ia menye-
rang Israel (ay. 13). Dalihnya yaitu sebagai berikut, “Israel sudah
sekian lama merampas tanahku. Oleh sebab itu, sekarang, kem-
balikanlah tanah itu.” Beralasan bagi kita untuk meyakini bahwa
bani Amon, saat mengadakan serangan ini kepada Israel, tidak
memiliki maksud lain selain untuk merampas dan menjarah
negeri itu, serta memperkaya diri mereka sendiri dengan hasil
rampasan. Ini sama seperti yang telah mereka perbuat sebelum-
nya di bawah kepemimpinan Eglon (3:13), saat tidak ada tuntut-
an seperti ini yang mereka buat, meskipun perkara ini masih
segar pada waktu itu. Akan namun , saat Yefta menuntut alasan
di balik permusuhan mereka, dan mereka, sebab tidak mau
menanggung malu, tidak dapat mengakui apa niat dan maksud
mereka yang sesungguhnya, maka mereka pun membuka-buka
kembali catatan-catatan lama yang sudah usang, atau menyelidiki
kembali adat istiadat yang sudah kuno. Dan dari semuanya itu,
dikemukakanlah alasan ini untuk memenuhi keperluan pada saat
ini, sebagai dalih palsu bahwa serangan itu dapat dibenarkan.
Bahkan orang-orang yang berbuat kesalahan terbesar pun mem-
punyai rasa keadilan yang begitu rupa dalam hati nurani mereka,
sehingga mereka ingin terlihat berbuat benar. Kembalikanlah
semua tanah itu. Lihatlah betapa goyahnya dasar pijakan yang di
atasnya kita menggenggam harta duniawi kita. Apa yang kita pikir
telah kita pegang erat-erat, dapat dituntut dari kita, dan direnggut
dari tangan kita. Orang-orang yang telah tiba di Kanaan sorgawi
tidak perlu takut bahwa hak-hak mereka akan digugat.
III. Yefta memberikan jawaban yang sangat lengkap dan memuaskan
atas tuntutan ini, dengan memperlihatkan bahwa tuntutan itu
sama sekali tidak adil dan tidak masuk akal, dan bahwa bani
Amon tidak memiliki hak apa pun atas negeri yang terbentang
di antara sungai Arnon dan sungai Yabok ini, yang sekarang
menjadi milik suku Ruben dan suku Gad. Sebagai orang yang
memahami betul sejarah negerinya, Yefta menunjukkan,
1. Bahwa Israel tidak pernah merampas tanah dari orang Moab
ataupun dari bani Amon. Ia menyebutkan keduanya bersama-
sama sebab mereka yaitu saudara, anak-anak Lot, tetangga
dekat, dan memiliki kepentingan yang sama, memiliki allah
yang sama, yakni Kamos, dan mungkin pada waktu-waktu ter-
tentu memiliki raja yang sama. Tanah yang menjadi seng-
keta itu direbut Israel bukan dari orang Moab ataupun bani
Amon (orang Israel mendapat perintah khusus dari Allah untuk
tidak menyerang mereka dan tidak merampas milik mereka [Ul.
2:9, 19], dan perintah ini dilaksanakan dengan penuh ketaatan).
namun tanah itu didapati Israel sebagai milik Sihon, raja orang
Amori, dan dari tangannyalah tanah itu direbut Israel dengan
adil dan terhormat, seperti yang akan dipaparkan Yefta kemu-
dian. jika orang Amori, sebelum orang Israel datang ke
negeri itu, telah merampas tanah ini dari orang Moab atau
bani Amon, yang tampaknya memang demikian (Bil. 21:26;
Yos. 13:25), maka Israel tidak berkepentingan untuk mencari
tahu tentang hal itu atau bertanggung jawab untuk itu. jika
bani Amon telah kehilangan tanah ini beserta hak mereka
atasnya, maka orang Israel tidak berkewajiban untuk mengem-
balikan kepemilikan atas tanah itu kepada mereka. Kepenting-
an orang Israel yaitu menaklukkan bagi bangsa Israel sendiri,
bukan bagi bangsa lain. Inilah pembelaan pertama Yefta,
“Tidak bersalah atas pelanggaran yang dituduhkan.”
2. Bahwa Israel sama sekali tidak merampas hak milik bangsa
lain mana pun selain keturunan Kanaan yang memang telah
dikutuk dan dikhususkan untuk ditumpas (yang salah satu-
nya yaitu orang Amori [Kej. 10:16]), sampai-sampai orang
Israel tidak mau memaksa untuk lewat melalui negeri orang
Edom, yang yaitu keturunan Esau, ataupun orang Moab,
yang yaitu keturunan Lot. Sebaliknya, bahkan sesudah perja-
lanan yang sangat panjang melintasi padang gurun, yang
membuat orang Israel sangat letih secara menyedihkan (ay.
16), saat raja negeri Edom, dan lalu raja negeri Moab,
menolak bersikap ramah terhadap mereka dengan membiar-
kan mereka berjalan melalui kedua negeri itu (ay. 17), dari-
pada menyinggung atau mengganggu kedua negeri itu, meski-
pun sungguh kelelahan, mereka bersedia menanggung keletih-
an lebih lanjut dengan berjalan mengelilingi baik tanah Edom
maupun tanah Moab, dan tidak melanggar batas kedua negeri
tersebut (ay. 18). Perhatikanlah, orang-orang yang berusaha
untuk tidak menyinggung orang lain dapat memperoleh peng-
hiburan dari tindakan mereka itu, dan menyerukannya seba-
gai pembelaan mereka terhadap orang-orang yang menuduh
mereka telah berbuat tidak adil dan jahat. Kejujuran kita akan
terbukti di lalu hari (Kej. 30:33) dan akan membungkam-
kan kepicikan orang-orang yang bodoh (1Ptr. 2:15).
3. Bahwa di dalam peperangan yang memampukan orang Israel
merebut tanah ini dari tangan Sihon raja orang Amori, Sihon-
lah yang menjadi pihak penyerang, dan bukan Israel (ay. 19-
20). Orang Israel menyampaikan permohonan yang penuh ke-
rendahan hati kepada Sihon untuk berjalan melalui negerinya,
dengan bersedia memberinya jaminan bahwa mereka akan
bertindak dengan santun saat melintasi negerinya. “Izinkan-
lah kiranya kami berjalan (kata mereka) ke tempat yang kami
tuju, yaitu, ke negeri Kanaan, yang merupakan satu-satunya
tempat yang kami sebut sebagai tempat kami, dan ke sanalah
kami terus bergerak maju, tanpa sedikit pun niat untuk ber-
diam di tempat ini.” Akan namun , Sihon tidak hanya menolak
permohonan Israel ini, seperti yang telah dilakukan Edom dan
Moab (andaikan Sihon hanya menolak mereka, siapa tahu
Israel juga akan berjalan keliling melewati suatu jalan lain?),
namun juga ia mengerahkan seluruh pasukannya, dan berpe-
rang melawan orang Israel (ay. 20). Sihon tidak hanya mence-
gah mereka masuk ke negerinya, namun juga hendak menghabisi
mereka dari muka bumi (Bil. 21:23-24), dan tidak menginginkan
apa pun selain kebinasaan mereka (ay. 20). Oleh sebab itu, di
dalam peperangan dengan Sihon, orang Israel melakukan pem-
belaan diri yang wajar dan perlu. Oleh sebab nya, sesudah ber-
hasil mengalahkan pasukan Sihon, orang Israel dibenarkan un-
tuk merampas negeri Sihon sebagai sesuatu yang telah diambil
darinya, untuk memberikan pembalasan lebih lanjut atas se-
rangan tersebut. Demikianlah Israel lalu menduduki ne-
geri ini, dan tanpa ragu akan mempertahankan hak mereka
atasnya. Sungguh tidak masuk akal jika bani Amon meng-
gugat hak mereka, sebab dahulu orang Amorilah yang men-
jadi penduduk negeri itu, dan semata-mata negeri serta daerah
orang Amorilah yang pada saat itu diduduki orang Israel (ay.
21-22).
4. Yefta menyampaikan pembelaan berdasar pemberian dari
pihak yang berkuasa, dan membuat pengakuan atas dasar itu
(ay. 23-24). Bukan Israel, sebab mereka sangat kelelahan
sesudah berjalan jauh, dan tidak siap untuk berperang dalam
waktu yang begitu cepat, melainkan Tuhan Allah Israel, yang
yaitu Raja segala bangsa, yang empunya bumi dan segala
isinya. Dialah yang menghalau orang Amori dan menempatkan
Israel di tanah mereka. Allah memberikan tanah itu kepada
orang Israel melalui pengalihan kepemilikan yang cepat dan
istimewa, sehingga bangsa Israel berhak atas tanah itu, yang
dapat mereka pertahankan tanpa bisa digugat siapa pun. Aku
menyerahkan Sihon beserta negerinya ke dalam tanganmu (Ul.
2:24). Allah menyerahkan semuanya itu kepada bangsa Israel,
dengan memberi mereka kemenangan sempurna atas bangsa
yang pada waktu itu menduduki tanah itu, kendati dengan
keadaan bangsa Israel yang sangat tidak menguntungkan
pada waktu itu. “Apakah menurutmu Allah memberikan negeri
itu kepada kami, melalui cara yang sungguh luar biasa,
dengan tujuansupaya kami mengembalikannya lagi kepada
orang Moab atau bani Amon? Tidak, kami sangat menghargai
perkenanan Allah, sehingga kami tidak akan melepaskannya
dengan semudah itu.” Untuk menguatkan pembelaan ini, Yefta
menegaskan sebuah alasan secara ad hominem – diarahkan
kepada pribadi orang yang menjadi lawan bicara: Bukankah
engkau akan memiliki apa yang diberi oleh Kamos, allahmu?
Yefta tidak hanya mengarahkan perhatian kepada sikap manu-
sia secara umum untuk mempertahankan apa yang menjadi
milik mereka dari serangan orang lain, namun juga kepada
agama segenap bangsa secara umum, yang, menurut mereka,
mewajibkan mereka untuk memanfaatkan dengan sebaik-baik-
nya apa yang telah diberikan allah-allah mereka kepada mere-
ka. Bukan berarti bahwa Yefta menganggap Kamos sebagai
allah, hanya saja Kamos itu allahmu. Sungguh mengherankan
bahwa para penyembah allah-allah hina seperti itu, yang tidak
berdaya untuk berbuat kebaikan ataupun kejahatan, mengg-
anggap diri mereka berhutang budi kepada para allah itu atas
segala sesuatu yang mereka miliki (Hos. 2:11, ini semuanya
pemberian kepadaku, yang dihadiahkan kepadaku oleh para
kekasihku [lihat Hakim-hakim 16:24]). Mereka menjadikan hal
ini sebagai alasan mengapa mereka mau mempertahankan
milik mereka mati-matian, bahwa semuanya itu merupakan
pemberian allah-allah mereka. “Engkau menganggap hak ke-
pemilikanmu itu baik. Bukankah kami juga dapat berpendapat
demikian?” Bani Amon telah menghalau penduduk yang sebe-
lumnya mendiami negeri mereka. Mereka menganggap bahwa
mereka melakukannya dengan pertolongan Kamos allah mere-
ka, namun sesungguhnya Yahweh, Allah bangsa Israellah yang
melakukannya bagi mereka, seperti yang dikatakan dengan
jelas dalam Ulangan 2:19, 21. “Nah,” tegas Yefta, “kami mem-
punyai hak kepemilikan yang benar atas negeri kami, sama
seperti engkau memiliki hak kepemilikan yang benar atas
negerimu.” Perhatikanlah, satu perbuatan yang menunjukkan
penghargaan dan penghormatan yang wajib kita tunaikan ke-
pada Allah, sebagai Allah kita, yaitu memiliki dengan benar
apa yang telah diberikan-Nya kepada kita untuk dimiliki. Lalu
menerima itu dari-Nya, memanfaatkannya bagi Dia, memeli-
haranya demi Dia, dan melepaskannya saat Dia meminta-
nya. Allah telah memberikannya kepada kita untuk dimiliki,
bukan untuk dinikmati. Allah sendiri sajalah yang harus
dinikmati.
5. Yefta menyampaikan pembelaan berdasar hukum kepemi-
likan menurut lamanya waktu kepemilikan itu.
(1) Hak bangsa Israel tidak pernah dipersengketakan pada
waktu mereka pertama kali memasuki negeri itu (ay. 25).
“Balak, yang pada waktu itu menjadi raja Moab, yang dari-
nya sebagian besar tanah ini telah direbut oleh orang
Amori, dan yang paling berkepentingan serta paling mampu
melawan kami, kalau memang ia keberatan kami diam di
negeri ini, tetap diam saja, dan tidak pernah berusaha me-
lawan Israel.” Balak tahu bahwa ia telah kehilangan tanah
itu secara jujur oleh orang Amori dan ia tidak mampu me-
rebut kembali tanah itu. Mau tidak mau Balak mengakui
bahwa orang Israel telah memenangkan tanah itu dari
orang Amori dengan cara yang jujur, sehingga yang dipikir-
kannya hanyalah mengamankan apa yang tersisa yang ma-
sih dimilikinya. Balak tidak pernah mengaku-aku berhak
atas apa yang sudah hilang darinya (lihat Bil. 22:2-3). “Ba-
lak pada waktu itu menerima cara Allah dalam membagi-
bagi kerajaan, dan tidakkah engkau mau berbuat hal yang
sama sekarang?”
(2) Kepemilikan Israel atas negeri itu tidak pernah dipermasa-
lahkan sebelumnya (ay. 26). Yefta menegaskan bahwa bang-
sa Israel telah mempertahankan negeri ini sebagai milik
mereka selama 300 tahun, dan orang Amon selama waktu
itu tidak pernah berusaha merebutnya dari tangan mereka,
sama sekali tidak, sekalipun pada saat orang Amon mempu-
nyai kuasa untuk menindas mereka (3:13-14). Oleh sebab
itu, dengan beranggapan bahwa hak kepemilikan Israel ini
pada mulanya tidak begitu jelas (yang lalu ternyata
dibuktikan jelas oleh Yefta), namun, sebab tidak ada tun-
tutan akan hal itu selama sekian banyak angkatan, maka
tidak diragukan lagi bahwa bani Amon dilarang masuk un-
tuk menduduki negeri itu selama-lamanya. Hak yang su-
dah sekian lama tidak digugat akan dianggap tidak dapat
diganggu gugat.
6. Melalui sejumlah pembelaan ini, Yefta membenarkan dirinya
sendiri dan apa yang diperjuangkannya (“Aku tidak bersalah
terhadap engkau dengan mengambil atau mempertahankan
sesuatu yang bukan hakku. jika aku memang bersalah,
maka aku akan segera mengembalikannya”), dan ia mengutuk
bani Amon: “Engkau berbuat jahat terhadap aku dengan
berperang melawan aku, dan engkau harus bersiap menerima
hasil sebagaimana mestinya” (ay. 27). Bagi saya, ini merupa-
kan bukti bahwa orang Israel, dalam masa-masa kemakmuran
dan kekuasaan mereka sebab memang mereka menikmati
beberapa masa seperti itu pada zaman hakim-hakim, telah
berperilaku sangat sopan terhadap semua bangsa di sekeliling
mereka. Mereka tidak mengusik atau menindas bangsa-bangsa
tersebut, entah untuk membalas dendam atau sebagai kedok
untuk menyebarkan agama mereka. Itulah sebabnya raja bani
Amon, saat hendak mencari kesempatan untuk bertikai
dengan mereka, terpaksa melihat kembali ke masa 300 tahun
yang lampau untuk menemukan alasan. Sudah sepatutnya
umat Allah tiada beraib dan tiada bernoda seperti itu, dan
tidak bercela.
7. Untuk menyelesaikan pertikaian ini, Yefta menyerahkan diri-
nya kepada Allah dan pedangnya, serta raja bani Amon yang
bertikai dengannya (ay. 27-28): TUHAN, Hakim itu, Dialah yang
menjadi hakim pada hari ini. Dengan menyerahkan perkara ini
secara khidmat kepada Hakim langit dan bumi, Yefta mungkin
bermaksud untuk mencegah bani Amon maju berperang dan
memaksa mereka mundur, saat mereka melihat bahwa
kebenaran perkara itu ternyata melawan mereka, atau untuk
membenarkan dirinya sendiri dalam menaklukkan mereka
jika mereka memutuskan untuk tetap maju. Perhatikan-
lah, perang yaitu seruan kepada sorga, kepada Allah Sang
Hakim atas segalanya, yang dapat memutuskan hasil akhir-
nya. jika muncul persengketaan mengenai hak-hak yang
kebenarannya diragukan, Allah dengan perang ini dimohon
untuk memutuskannya. jika hak-hak yang kebenarannya
sudah jelas ternyata dilanggar atau disanggah, Allah dengan
perang ini diminta untuk membenarkan yang benar dan meng-
hukum yang salah. Seperti halnya pedang keadilan dibuat bagi
orang durhaka dan orang lalim (1Tim. 1:9), demikian pula
pedang perang dibuat bagi para raja dan bangsa yang durhaka
dan lalim. Oleh sebab itu, di dalam perang, mata ini harus
senantiasa tertuju kepada Allah, dan harus selalu diingat
bahwa sungguh berbahaya untuk berkeinginan atau berharap
agar Allah membela kejahatan.
Baik permohonan maaf Yefta maupun pembelaannya tidak
dihiraukan oleh raja bani Amon. Mereka telah merasakan
kenikmatan dari jarahan Israel, selama delapan belas tahun
mereka menindas Israel (10:8), dan sekarang mereka berharap
untuk menjadi penguasa atas pohon yang buahnya sudah
begitu sering memperkaya mereka. Raja bani Amon tidak men-
dengarkan perkataan Yefta, sebab hatinya telah mengeras
bagi kehancurannya.
Nazar Yefta
(11:29-40)
29 Lalu Roh TUHAN menghinggapi Yefta; ia berjalan melalui daerah Gilead
dan daerah Manasye, lalu melalui Mizpa di Gilead, dan dari Mizpa di
Gilead ia berjalan terus ke daerah bani Amon. 30 Lalu bernazarlah Yefta
kepada TUHAN, katanya: “Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani
Amon itu ke dalam tanganku, 31 maka apa yang keluar dari pintu rumahku
untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani
Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembah-
kannya sebagai korban bakaran.” 32 lalu Yefta berjalan terus untuk
berperang melawan bani Amon, dan TUHAN menyerahkan mereka ke dalam
tangannya. 33 Ia menimbulkan kekalahan yang amat besar di antara mereka,
mulai dari Aroer sampai dekat Minit – dua puluh kota banyaknya – dan
sampai ke Abel-Keramim, sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan
orang Israel. 34 saat Yefta pulang ke Mizpa ke rumahnya, tampaklah anak-
nya perempuan keluar menyongsong dia dengan memukul rebana serta
menari-nari. Dialah anaknya yang tunggal; selain dari dia tidak ada anaknya
laki-laki atau perempuan. 35 Demi dilihatnya dia, dikoyakkannyalah bajunya,
sambil berkata: “Ah, anakku, engkau membuat hatiku hancur luluh dan eng-
kaulah yang mencelakakan aku; aku telah membuka mulutku bernazar
kepada TUHAN, dan tidak dapat aku mundur.” 36 namun jawabnya kepada-
nya: “Bapa, jika engkau telah membuka mulutmu bernazar kepada TUHAN,
maka perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kauucapkan itu,
sebab TUHAN telah mengadakan bagimu pembalasan terhadap musuhmu,
yakni bani Amon itu.” 37 Lagi katanya kepada ayahnya: “Hanya izinkanlah
aku melakukan hal ini: berilah keluasan kepadaku dua bulan lamanya,
susaha aku pergi mengembara ke pegunungan dan menangisi kegadisanku
bersama-sama dengan teman-temanku.” 38 Jawab Yefta: “Pergilah,” dan ia
membiarkan dia pergi dua bulan lamanya. Maka pergilah gadis itu bersama-
sama dengan teman-temannya menangisi kegadisannya di pegunungan.
39 sesudah lewat kedua bulan itu, kembalilah ia kepada ayahnya, dan ayahnya
melakukan kepadanya apa yang telah dinazarkannya itu; jadi gadis itu tidak
pernah kenal laki-laki. Telah menjadi adat di Israel, 40 bahwa dari tahun ke
tahun anak-anak perempuan orang Israel selama empat hari setahun
meratapi anak perempuan Yefta, orang Gilead itu.
Dalam perikop ini kita mendapati Yefta bersorak-sorak atas keme-
nangan gemilang yang diraihnya, namun , sebagai noda dari sukacita-
nya itu, ia dibuat susah dan berduka oleh nazar yang dengan gega-
bah telah diucapkannya.
I. Kemenangan Yefta sungguh jelas, dan bersinar dengan sangat
terang, baik bagi kehormatannya, dalam membela perkara yang
benar, maupun bagi kehormatan Allah, dalam mengakui perkara
yang benar itu.
1. Allah memberikan roh yang luar biasa kepada Yefta, dan Yefta
pun memanfaatkannya dengan berani (ay. 29). saat tampak,
melalui suara bulat seluruh rakyat yang memilihnya sebagai
kepala mereka, bahwa Yefta mendapat panggilan yang begitu
jelas untuk berperang melawan bani Amon, dan, melalui keke-
rasan hati raja bani Amon yang menolak untuk mendengarkan
permohonan damai, bahwa Yefta memiliki alasan yang be-
gitu benar untuk melaksanakan perang itu, pada saat itulah
Roh Tuhan hinggap atasnya, dan sungguh meningkatkan sege-
nap kemampuan ragawi yang memang sudah dimilikinya. Roh
Tuhan itu memenuhinya dengan kuasa dari atas, dan mem-
buatnya semakin berani dan semakin bijak daripada sebelum-
sebelumnya, dan semakin terbakar oleh semangat yang kudus
untuk melawan musuh-musuh bangsanya. Dengan ini, Allah
meneguhkan Yefta di dalam tugasnya, dan memberinya jamin-
an keberhasilan di dalam usaha nya. sesudah digerakkan seperti
itu, Yefta tidak membuang-buang waktu, dan dengan tekad
yang gigih segera maju ke medan perang. Diberikan perhatian
khusus tentang cara yang dipakai Yefta untuk berjalan menuju
perkemahan musuh, mungkin sebab dipilihnya cara itu men-
jadi contoh dari kebijaksanaan luar biasa yang dengannya Roh
Tuhan telah memperlengkapi dia. Sebab barangsiapa hidup
dengan jujur menurut Roh akan dipimpin ke jalan yang benar.
2. Allah memberi Yefta keberhasilan yang gemilang, dan Yefta
pun memanfaatkan pemberian itu dengan gagah berani (ay.
32): TUHAN menyerahkan bani Amon ke dalam tangannya, dan
dengan demikian memberikan penghakiman atas pembelaan
Yefta dengan mendukung perkara yang benar, dan membuat
orang-orang yang tidak mau tunduk kepada kekuatan akal
budi, merasakan kekuatan perang. Sebab Dialah Hakim yang
adil, yang duduk di atas takhta. Yefta tidak menyia-nyiakan
keuntungan-keuntungan yang diberikan kepadanya, namun
terus mengejar dan menuntaskan kemenangannya. sesudah
mengalahkan habis-habisan pasukan bani Amon di medan pe-
rang, ia mengejar mereka hingga ke kota-kota mereka, dan di
sana ia memukul dengan mata pedang semua orang yang di-
temuinya bersenjata, sehingga mereka dibuat sama sekali tidak
berdaya untuk mengusik Israel (ay. 33). Akan namun , tidak
tampak bahwa ia membinasakan bani Amon sampai habis,
seperti Yosua yang telah menghabisi bangsa-bangsa yang di-
khususkan untuk ditumpas, atau bahwa Yefta mengajukan
dirinya untuk menjadi penguasa atas negeri itu, meskipun
sikap bani Amon yang mengaku-aku memiliki negeri Israel bisa
saja memberinya alasan untuk bertindak demikian. Hanya
saja Yefta memastikan agar bani Amon benar-benar ditunduk-
kan. Meskipun usaha jahat orang lain kepada kita akan mem-
benarkan kita untuk mempertahankan hak kita, namun itu
tidak memberi kita wewenang untuk menjahati mereka.
II. Nazar Yefta itu gelap, terlalu mengawang-awang dan diucapkan
dengan gegabah. Pada waktu Yefta berjalan keluar dari rumahnya
untuk melaksanakan tugas berbahaya ini, di dalam doanya ke-
pada Allah untuk menyertainya, ia mengucapkan suatu sumpah
atau nazar yang rahasia namun sungguh-sungguh kepada Allah.
Yaitu bahwa jika Allah dengan penuh rahmat mau membawa-
nya kembali pulang sebagai pemenang, maka siapa pun atau apa
pun yang pertama kali keluar dari rumahnya untuk menyambut-
nya akan diserahkan kepada Allah, dan dipersembahkan sebagai
korban bakaran. Sekembalinya pulang, oleh sebab berita keme-
nangan Yefta telah sampai ke rumahnya mendahului dia, putri
tunggalnya menyongsongnya dengan ungkapan-ungkapan suka-
cita yang memang pada tempatnya. Ini membuat pikiran Yefta
sungguh kacau, namun semuanya sudah terlambat. sesudah
mengambil beberapa saat untuk meratapi kemalangannya, putri
Yefta dengan senang hati tunduk kepada nazar Yefta. Nah,
1. Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil dari
kisah ini.
(1) Bahwa bahkan di dalam hati orang yang sungguh-sungguh
percaya pun tetap ada rasa tidak percaya dan keraguan.
Yefta memiliki cukup alasan untuk yakin bahwa ia akan
berhasil, terutama saat ia mendapati bahwa Roh Tuhan
menghinggapinya, namun demikian, saat ia betul-betul
akan menghadapi bani Amon, ia tampak ragu (ay. 30): Jika
Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke
dalam tanganku, maka aku akan berbuat ini dan itu. Dan
mungkin perangkap yang menjerat Yefta oleh nazarnya ini
dirancang untuk memperbaiki kelemahan imannya, dan
keangkuhan yang dimilikinya bahwa ia tidak bisa menjanji-
kan dirinya sendiri kemenangan kecuali ia menawarkan
sesuatu yang berharga untuk diserahkan kepada Allah
sebagai gantinya.
(2) Bahwa sekalipun begitu sangatlah baik, saat kita sedang
mengejar atau mengharapkan suatu belas kasih, untuk
bernazar kepada Allah bahwa kita akan melayani-Nya de-
ngan suatu perbuatan yang dapat diterima. Bukan sebagai
bayaran dari perkenanan yang kita inginkan, melainkan
sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya serta kesa-
daran kita yang mendalam akan kewajiban-kewajiban kita
untuk memberikan balasan menurut kebaikan yang dilaku-
kan kepada kita. Perkara yang mendasari nazar khusus se-
perti itu (Im. 27:2) haruslah merupakan sesuatu yang secara
jelas dan langsung dapat membantu meninggikan kemuliaan
Allah, serta memajukan kepentingan-kepentingan kerajaan-
Nya di antara manusia, atau membuat kita lebih giat dalam
melayani-Nya, dan dalam melakukan apa yang sebelumnya
memang sudah menjadi kewajiban kita.
(3) Bahwa kita harus sangat berhati-hati dan penuh pertim-
bangan sebelum membuat nazar-nazar seperti itu,supaya
jangan sampai, sebab menuruti perasaan yang sedang
kita rasakan, sekalipun itu semangat yang penuh kesaleh-
an, kita menjerat hati nurani kita sendiri, dan melibatkan
diri kita dalam rupa-rupa kebingungan, serta pada akhir-
nya terpaksa berkata di hadapan utusan Allah bahwa kita
khilaf (Pkh. 5:1-5). Suatu jerat bagi manusia ialah kalau ia
tanpa berpikir dan terburu-buru mengatakan “Kudus” tan-
pa mempertimbangkan dengan semestinya quid valeant
humeri, quid ferre recusent – apa yang mampu atau tidak
mampu kita laksanakan, dan tanpa menyisipkan syarat dan
ketentuan yang diperlukan, yang dapat mencegah kita ter-
jerat, dan sesudah bernazar baru menimbang-nimbang se-
gala sesuatu yang seharusnya sudah dipertimbangkan se-
belumnya (Ams. 20:25). Biarlah kemalangan Yefta ini men-
jadi peringatan bagi kita dalam perkara ini (lihat Ul. 23:22).
(4) Bahwa apa yang telah kita nazarkan dengan sungguh-
sungguh kepada Allah harus kita laksanakan dengan pe-
nuh rasa tanggung jawab, jika itu memang dapat di-
lakukan dan tidak melanggar hukum, meskipun itu sangat
sulit dan menyusahkan bagi kita. Rasa tanggung jawab Yef-
ta yang sungguh besar terhadap nazarnya itu haruslah se-
nantiasa menjadi milik kita juga (ay. 35): “Aku telah mem-
buka mulutku bernazar kepada TUHAN, dan tidak dapat
aku mundur,” artinya, “Aku tidak bisa menarik nazarku
sendiri, sudah terlambat, dan tidak ada kuasa apa pun di
bumi yang dapat menggugurkannya, atau melepaskanku
dari ikatanku.” Nazar itu milikku sendiri, dan tetap dalam
kuasaku (Kis. 5:4), namun sekarang tidak demikian adanya.
Bernazarlah dan bayarlah nazarmu itu (Mzm. 76:12). Kita
menipu diri sendiri jika kita mencoba mempermainkan
Allah. jika kita menerapkan sikap ini pada persetujuan
yang telah kita berikan dengan sungguh-sungguh, dalam
nazar suci kita, terhadap kovenan anugerah yang diadakan
dengan para pendosa yang malang di dalam Kristus, betapa
itu akan menjadi alasan yang kuat untuk melawan segala
dosa, yang melalui nazar itu kita telah mengikat diri untuk
tidak melakukannya, dan betapa itu menjadi pendorong
yang kuat bagi kita untuk melaksanakan kewajiban, yang
melalui nazar itu kita telah mengikat diri untuk melaku-
kannya, dan betapa itu menjadi jawaban yang siap sedia
terhadap setiap godaan! “Aku telah membuka mulutku
kepada TUHAN, dan tidak dapat aku mundur. Oleh sebab
itu, aku harus terus maju. Aku telah bernazar, dan aku
harus, aku akan, melaksanakannya. Janganlah pernah
aku berani mempermainkan Allah.”
(5) Bahwa sudah sepatutnya anak-anak dengan taat dan riang
hati tunduk kepada orangtua mereka di dalam Tuhan, dan
khususnya patuh terhadap tekad yang penuh kesalehan
dari orangtua mereka untuk menghormati Allah dan men-
jaga agama di dalam keluarga mereka, meskipun orangtua
mereka galak dan keras. Seperti orang-orang Rekhab, yang
selama sekian banyak angkatan dengan saleh mematuhi
perintah Yonadab bapa leluhur mereka untuk tidak minum
anggur, dan seperti putri Yefta di sini, yang demi memuas-
kan tuntutan hati nurani ayahnya, dan demi kehormatan
Allah serta negerinya, menyerahkan dirinya sebagai se-
orang yang dikhususkan untuk menjadi persembahan (ay.
36): “Perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kau-
ucapkan itu. Aku tahu bahwa aku ini kesayanganmu, namun
aku siap menerima bahwa Allah harus menjadi yang lebih
engkau sayangi.” Seorang ayah dapat membatalkan nazar
apa pun yang diucapkan putrinya (Bil. 30:5), namun putri-
nya itu tidak dapat membatalkan atau membuat tidak ber-
laku nazar yang diucapkan oleh sang ayah, sekalipun itu
nazar yang seperti ini. Perbuatan ini mengagungkan perin-
tah Allah yang kelima.
(6) Bahwa kesedihan sahabat-sahabat kita haruslah menjadi
kesedihan kita. Pada waktu putri Yefta pergi untuk mena-
ngisi nasibnya yang malang, teman-temannya sesama gadis
ikut pergi meratap bersamanya (ay. 38). Ia biasa bergaul
dengan teman-teman perempuan sebayanya, yang sudah
pasti berharap bahwa, sebab sekarang ayahnya sesaat
menjadi orang yang begitu hebat, segera sesudah ayahnya
itu kembali, mereka akan menari di pesta pernikahannya.
Akan namun mereka menjadi sangat kecewa saat mereka
diajak untuk pergi ke pegunungan bersamanya dan ikut
berbagi dalam kepedihannya. Orang-orang yang hanya mau
bersukaria bersama kita, dan tidak mau menangis bersama
kita, tidak layak disebut sebagai sahabat.
(7) Bahwa semangat kepahlawanan demi kehormatan Allah
dan Israel, meskipun dinodai oleh kelemahan dan ketidak-
bijaksanaan, pantas diingat sepanjang masa. Sudah sepan-
tasnya anak-anak perempuan Israel setiap tahun meraya-
kan kenangan yang terhormat akan putri Yefta ini, yang
bahkan tidak mengindahkan nyawanya sendiri seperti
seorang pahlawan yang mulia, saat Allah telah mengada-
kan pembalasan terhadap musuh-musuh Israel (ay. 36).
Suatu perbuatan langka dari seseorang yang lebih meng-
utamakan kepentingan umum daripada nyawanya sendiri
seperti itu tidak pernah boleh dilupakan. Kedudukannya
sebagai perempuan melarangnya untuk ikut berperang,
dan dengan begitu untuk ikut meregang nyawa di medan
pertempuran, sehingga sebagai gantinya, ia mempertaruh-
kan nyawanya lebih jauh lagi untuk menyemarakkan ke-
menangan ayahnya. Mungkin ia melakukannya dengan pe-
nuh kesadaran, sebab ia sudah tahu sedikit banyak ten-
tang nazar ayahnya, dan melakukannya dengan sengaja,
sebab ayahnya berkata kepadanya (ay. 35), engkau mem-
buat hatiku hancur luluh. Begitu gembiranya ia dengan
kemenangan yang membawa kebaikan bagi semua orang
itu, sehingga ia bersedia menyerahkan dirinya untuk diper-
sembahkan sebagai korban syukur untuk kemenangan itu,
dan akan menganggap hidupnya dikorbankan untuk hal
yang baik jika diserahkan dalam peristiwa yang begitu
besar itu. Putri Yefta memandang bahwa suatu kehormatan
untuk mati, bukan sebagai korban pendamaian bagi dosa
orang Israel sebab kehormatan itu disediakan untuk Kris-
tus semata, melainkan sebagai korban syukur atas belas
kasihan terhadap orang Israel.
(8) Dari keprihatinan Yefta pada kesempatan ini, kita harus
belajar untuk tidak menganggap aneh jika hari-hari
kemenangan kita di dunia ini, sebab satu atau lain alas-
an, ternyata menjadi hari-hari kedukaan kita, dan sebab
itu kita harus senantiasa bergembira dengan gentar. Kita
mengharapkan datangnya hari kemenangan pada masa
mendatang yang tidak akan ternodai.
2. Akan namun , ada beberapa pertanyaan sulit yang benar-benar
muncul perihal kisah ini, yang telah menjadi perbincangan di
antara para cendekiawan. Saya hanya akan membahas sedikit
mengenai hal ini, sebab Matthew Poole (theolog Inggris abad
ke-17 – pen.) telah mengupasnya dengan sangat mendalam di
dalam artikel nya, English Annotations on the Holy Bible.
(1) Sulit untuk mengatakan apa yang sesungguhnya dilakukan
Yefta terhadap putrinya dalam rangka memenuhi nazarnya
itu.
[1] Sebagian penafsir berpendapat bahwa Yefta hanya me-
netapkan putrinya menjadi seorang biarawati. Dan bah-
wa sebab mempersembahkan putrinya sebagai korban
bakaran, menurut salah satu bagian nazarnya sebab
mereka menganggap nazar itu bersifat pilihan, tidak
diperbolehkan dalam hukum Taurat, maka menurut
bagian yang lain dari nazarnya, Yefta menetapkan putri-
nya itu menjadi kepunyaan TUHAN. Artinya, putrinya
itu sama sekali mengasingkan diri dari segala urusan
duniawi, termasuk di dalamnya pernikahan, dan mem-
baktikan diri sepenuhnya untuk melakukan segenap
pekerjaan Allah seumur hidupnya. Pandangan ini mun-
cul oleh sebab dikatakan bahwa putri Yefta itu mena-
ngisi kegadisannya (ay. 37-38), dan bahwa ia tidak per-
nah kenal laki-laki (ay. 39). Akan namun , jika Yefta
memang mempersembahkannya sebagai korban, maka
cukup menjadi alasan bagi putrinya untuk meratapi.
Bukan meratapi kematiannya, sebab kematian itu di-
maksudkan bagi kehormatan Allah, dan ia akan ber-
sedia menjalaninya dengan penuh sukacita, melainkan
keadaan yang tidak menyenangkan dari kematian itu,
yang baginya lebih menyedihkan daripada perkara lain,
sebab ia merupakan anak tunggal ayahnya, harapan
ayahnya untuk meneruskan namanya dan keluarganya.
Yaitu bahwa ia tidak menikah, sehingga tidak mening-
galkan keturunan untuk mewarisi kehormatan dan ke-
kayaan ayahnya. Oleh sebab itu, diberi perhatian se-
cara khusus (ay. 34) bahwa selain dirinya, Yefta tidak
memiliki anak laki-laki ataupun perempuan. namun
yang membuat saya berpikir bahwa Yefta tidak berlaku
demikian untuk memenuhi nazarnya, atau lebih tepat-
nya untuk mengelak dari nazarnya, yaitu bahwa kita
tidak menjumpai adanya hukum, adat istiadat, atau
kebiasaan, di dalam seluruh isi Perjanjian Lama, yang
sedikit pun menyiratkan bahwa hidup selibat merupa-
kan suatu bagian atau peraturan dalam agama. Atau
bahwa siapa pun, laki-laki atau perempuan, dipandang
lebih kudus, atau lebih menjadi kepunyaan Tuhan, atau
dikhususkan bagi-Nya, jika ia hidup tidak menikah.
Hidup selibat juga bukan merupakan bagian dari hu-
kum para imam atau orang nazir. Debora dan Hulda,
keduanya nabiah, secara khusus dituliskan sebagai
perempuan-perempuan yang menikah. Selain itu, sean-
dainya putri Yefta hanya ditetapkan untuk menjalani
hidup selibat, maka ia tidak perlu meminta waktu se-
lama dua bulan ini untuk menangisi kegadisannya, ka-
rena ia memiliki seumur hidupnya untuk melakukan
itu, jika ia melihat alasan untuk melakukannya. Dia
pun tidak perlu bersedih seperti itu sebab akan me-
ninggalkan teman-temannya, sebab orang-orang yang
mendukung pandangan ini memahami bahwa apa yang
dikatakan dalam ayat 40 itu merupakan kunjungan
teman-temannya untuk berbicara dengan anak perem-
puan Yefta, seperti dalam tafsiran yang agak luas,
empat hari dalam setahun. Oleh sebab itu,
[2] Lebih besar kemungkinan bahwa Yefta mempersembah-
kan putrinya sebagai korban, persis seperti nazarnya,
oleh sebab kekeliruannya memahami hukum yang
berbicara tentang orang-orang yang dikhususkan untuk
ditumpas oleh kutukan Allah, seakan-akan hukum itu
berlaku pula bagi orang-orang yang dikhususkan untuk
ditumpas oleh nazar manusia (Im. 27:29, setiap orang
yang dikhususkan, yang harus ditumpas di antara
manusia, tidak boleh ditebus, pastilah ia dihukum mati),
dan oleh sebab kekurangtahuannya akan kuasa yang
diberikan hukum Taurat kepadanya dalam perkara ini
untuk menebus putrinya. usaha Abraham untuk mem-
persembahkan Ishak mungkin telah mengilhami Yefta,
dan membuatnya berpikir, jika Allah tidak berkenan
terhadap korban yang telah dinazarkannya ini, maka
Dia pasti akan mengirim seorang malaikat untuk
menghentikan tangannya, seperti yang telah diperbuat-
Nya kepada Abraham. jika putrinya itu memang
sengaja keluar untuk dijadikan korban, sebab siapa
tahu memang demikian adanya, mungkin Yefta berpikir
bahwa hal itu akan membuat perkaranya lebih jelas.
Volenti non sit injuria – Bagi orang yang setuju bahwa ia
akan terkena cedera, tidak dapat dianggap bahwa ia
dicederai oleh pihak lain. Yefta mungkin berpikiran
bahwa jika tidak ada kemarahan ataupun kebenci-
an, maka tidak ada pembunuhan, dan bahwa niat baik-
nya akan menguduskan perbuatan keji ini. Dan, sebab
ia telah membuat nazar seperti itu, ia memandang lebih
baik membunuh putrinya daripada melanggar nazar-
nya, dan menyerahkan kesalahan kepada penyeleng-
garaan Allah, yang telah membawa putrinya keluar
untuk menyongsongnya.
(2) Namun demikian, anggap saja bahwa Yefta betul memper-
sembahkan putrinya, pertanyaannya yaitu apakah tin-
dakan itu dibenarkan.
[1] Beberapa orang membenarkan tindakannya, dan ber-
pendapat bahwa ia telah berbuat benar, sebagai orang
yang lebih mengutamakan kehormatan Allah daripada
apa yang paling dikasihinya di dunia ini. Nama Yefta
disebutkan di antara orang-orang percaya yang ter-
nama, yang oleh iman telah melakukan perkara-perkara
besar (Ibr. 11:32). Dan ini termasuk salah satu perkara
besar yang dilakukan Yefta. Tindakan itu dilaksanakan
dengan seksama, sesudah melalui waktu pertimbangan
dan pemikiran selama dua bulan. Yefta tidak pernah
dipersalahkan atas perbuatannya itu oleh semua penu-
lis yang diilhami Allah. Meskipun perbuatan itu sangat
menjunjung wewenang orangtua, namun itu tidak mem-
benarkan siapa pun untuk berbuat serupa. Yefta yaitu
seorang yang sungguh luar biasa. Roh TUHAN meng-
hinggapi dia. Berbagai peristiwa di seputar kejadian
tersebut, yang sekarang tidak kita ketahui, bisa jadi
membuat tindakannya itu betul-betul luar biasa, dan
membenarkannya, namun tidak sampai sedemikian
rupa hingga dapat membenarkan perbuatan serupa.
Sebagian cendekiawan memandang korban ini sebagai
perlambang dari Kristus sang korban agung, yang sung-
guh suci dan murni tanpa noda, sama halnya dengan
putri Yefta yang sungguh masih gadis murni. Kristus
telah dikhususkan untuk mati oleh Bapa-Nya, dan
dengan begitu dijadikan kutuk atau laknat bagi kita.
Kristus menyerahkan diri-Nya, seperti halnya putri Yef-
ta, kepada kehendak Bapa-Nya: Janganlah seperti yang
Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehen-
daki. Akan namun ,
[2] Kebanyakan orang mengutuk Yefta. Ia telah berbuat
jahat dengan bernazar begitu gegabah, dan berbuat
lebih jahat lagi dengan melaksanakannya. Ia tidak
dapat terikat oleh nazarnya untuk melakukan apa yang
telah dilarang Allah melalui perintah-Nya yang keenam:
Jangan membunuh. Allah telah melarang korban per-
sembahan dalam wujud manusia, sehingga perbuatan
Yefta itu (menurut Dr. Lightfoot) sesungguhnya merupa-
kan persembahan terhadap Molokh. Ada kemungkinan,
alasan mengapa sang penulis kitab yang mendapat
ilham ilahi ini membiarkan akhir kisah ini tidak pasti
apakah Yefta pada akhirnya mengorbankan putrinya
atau tidak, yaitu supaya orang-orang yang di kemu-
dian hari benar-benar mengorbankan anak-anak mereka
tidak memperoleh pembenaran dari peristiwa ini. Me-
ngenai bacaan ini dan sejumlah bacaan lain yang serupa
di dalam sejarah suci, yang telah meninggalkan para
cendekiawan di dalam gelap, membuat mereka terbagi-
bagi pendapat, dan merasa ragu, kita tidak perlu terlalu
pusing memikirkannya. Apa yang penting bagi kesela-
matan kita, syukur kepada Allah, sudah cukup jelas.
PASAL 12
Di dalam pasal ini kita mendapati,
I. Perjumpaan Yefta dengan orang-orang Efraim, dan darah yang
tertumpah pada kesempatan yang tidak membahagiakan itu
(ay. 1-6), serta akhir dari hidup dan pemerintahan Yefta (ay.
7).
II. Uraian singkat tentang tiga hakim lain dari hakim-hakim Is-
rael: Ebzan (ay. 8-10), Elon (ay. 11-12), dan Abdon (ay. 13-15).
Amarah Orang Efraim dan
Hukuman terhadap Orang Efraim
(12:1-7)
1 Dikerahkanlah orang Efraim, lalu mereka bergerak ke Zafon. Dan mereka
berkata kepada Yefta: “Mengapa engkau bergerak untuk memerangi bani
Amon dengan tidak memanggil kami untuk maju bersama-sama dengan
engkau? Sebab itu kami akan membakar rumahmu bersama-sama kamu!”
2 namun jawab Yefta kepada mereka: “Aku dan rakyatku telah terlibat dalam
peperangan yang hebat dengan bani Amon; lalu aku memanggil kamu, namun
kamu tidak datang menyelamatkan aku dari tangan mereka. 3 saat kulihat,
bahwa tidak ada yang datang menyelamatkan aku, maka aku mempertaruh-
kan nyawaku dan aku pergi melawan bani Amon itu, dan TUHAN menyerah-
kan mereka ke dalam tanganku. Mengapa pada hari ini kamu mendatangi
aku untuk berperang melawan aku?” 4 lalu Yefta mengumpulkan se-
mua orang Gilead, lalu mereka berperang melawan suku Efraim. Dan orang-
orang Gilead mengalahkan suku Efraim itu. Sebab orang-orang itu mengata-
kan: “Kamulah orang-orang yang telah lari dari suku Efraim!” – kaum Gilead
itu ada di tengah-tengah suku Efraim dan suku Manasye –. 5 Untuk meng-
hadapi suku Efraim itu, maka orang Gilead menduduki tempat-tempat
penyeberangan sungai Yordan. jika dari suku Efraim ada yang lari dan
berkata: “Biarkanlah aku menyeberang,” maka orang Gilead berkata kepada-
nya: “Orang Efraimkah engkau?” Dan jika ia menjawab: “Bukan,” 6 maka
mereka berkata kepadanya: “Coba katakan dahulu: syibolet.” Jika ia berkata:
sibolet, jadi tidak dapat mengucapkannya dengan tepat, maka mereka me-
nangkap dia dan menyembelihnya dekat tempat-tempat penyeberangan
sungai Yordan itu. Pada waktu itu tewaslah dari suku Efraim empat puluh
dua ribu orang. 7 Yefta memerintah sebagai hakim atas orang Israel enam
tahun lamanya. lalu matilah Yefta, orang Gilead itu, lalu dikuburkan di
sebuah kota di daerah Gilead.
Dalam perikop ini kita mendapati,
I. Kemarahan yang tidak masuk akal dari orang-orang Efraim ter-
hadap Yefta, sebab ia tidak mengajak mereka untuk membantu-
nya melawan bani Amon,supaya mereka dapat ikut menikmati
segala kemenangan dan jarahan yang diperoleh (ay. 1). Kesom-
bongan mendasari pertengkaran itu. Hanya sebab kesombongan-
lah timbul pertikaian. Orang-orang sombong menganggap bahwa
semua kehormatan telah lenyap jika mereka sendiri tidak me-
nerimanya, dan siapa dapat tahan terhadap cemburu? Orang
Efraim juga pernah bertengkar sebab alasan serupa dengan
Gideon (8:1), yang berasal dari suku Manasye di sisi sungai Yor-
dan yang mereka tempati, seperti Yefta berasal dari suku Manasye
di seberang lain sungai Yordan. Efraim dan Manasye berhubung-
an darah lebih dekat dibanding suku-suku lain, sebab keduanya
yaitu putra Yusuf. Namun demikian, mereka lebih cemburu satu
terhadap yang lain dibanding suku-suku lain. Yakub telah menyi-
langkan tangannya dan lebih mengutamakan Efraim, dengan
memandang jauh ke depan kepada kerajaan sepuluh suku yang
akan dipimpin Efraim, sesudah kesepuluh suku itu memberontak
terhadap keluarga Daud. sebab itu suku Efraim, tanpa merasa
puas dengan kehormatan yang terkandung di dalam janji itu,
marah jika sementara itu suku Manasye mendapatkan kehor-
matan apa saja. Sungguh disayangkan bahwa hubungan saudara
atau kerabat, yang seharusnya menjadi dorongan untuk menga-
sihi dan menciptakan kedamaian, justru mendatangkan perseli-
sihan dan perpecahan, seperti yang terbukti sering terjadi. Sau-
dara yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang
kuat, dan pertengkaran di antara saudara yaitu seperti palang
gapura sebuah puri. Amarah orang Efraim terhadap Yefta itu,
1. Tidak berdasar dan tidak adil. Mengapa engkau tidak memang-
gil kami untuk maju bersama-sama dengan engkau? Tentu saja
untuk alasan yang baik. sebab orang Gileadlah yang telah
mengangkat dia sebagai panglima mereka, dan bukan orang
Efraim, sehingga ia tidak berwenang untuk memanggil orang
Efraim. Seandainya usahanya itu gagal sebab tidak adanya
bantuan mereka, mereka mungkin masih pantas mempersa-
lahkan dia sebab tidak menginginkan bantuan mereka. Akan
namun , jika pekerjaan itu sudah terlaksana, dan terlaksana
dengan berhasil, sebab bani Amon ditaklukkan dan Israel
dibebaskan, maka tidak terjadi kerugian apa pun, meskipun
tangan orang Efraim tidak diikutsertakan di dalamnya.
2. Amarah orang Efraim terhadap Yefta itu kejam dan sungguh
tidak pada tempatnya. Mereka dikerahkan dengan hiruk-
pikuk, menyeberangi sungai Yordan sampai sejauh Mizpa di
Gilead, tempat Yefta tinggal. Tidak ada yang dapat memuaskan
kegeraman mereka selain membakar rumahnya beserta dirinya
sendiri di dalamnya. Terkutuklah kemarahan mereka, sebab
amarahnya keras. Kebencian-kebencian yang paling tidak
beralasan biasanya memendam kegeraman yang paling besar.
Sekarang Yefta sudah menjadi penakluk atas musuh-musuh
Israel. Seharusnya mereka datang untuk memberi selamat
kepadanya, dan menyampaikan kepadanya ucapan terima
kasih dari suku mereka atas pekerjaan-pekerjaan baik yang
telah dilakukannya. namun janganlah kita menganggap aneh
jika kita menerima kejahatan dari orang-orang yang sepa-
tutnya memberi kita kebaikan. Yefta sedang berkabung seka-
rang atas malapetaka yang menimpa keluarganya terkait
masalah putrinya, dan mereka seharusnya datang untuk ber-
belasungkawa dengannya dan menghiburnya. namun orang-
orang biadab memang senang menambahkan penderitaan atas
orang yang sedang menderita. Di dunia ini, akhir sebuah
masalah sering kali ternyata merupakan awal dari masalah
lain. Dan juga, janganlah kita pernah memegahkan diri seperti
orang yang sudah menanggalkan pedang.
II. Usaha Yefta yang penuh semangat untuk membela diri. Dia tidak
berusaha menenangkan mereka, seperti yang pernah dilakukan
Gideon dalam keadaan serupa. Sekarang orang Efraim lebih kasar
dibanding dahulu, sementara Yefta sama sekali tidak berwatak
lembut dan tenang seperti Gideon. Entah orang Efraim mau dite-
nangkan atau tidak, Yefta berusaha,
1. Untuk membenarkan dirinya sendiri (ay. 2-3). Ia menjelaskan
bahwa mereka sama sekali tidak memiliki alasan untuk
berselisih dengannya, sebab,
(1) Bukan demi mengejar kemuliaan ia telah melibatkan diri
dalam peperangan ini, melainkan demi membela negerinya,
yang dengannya bani Amon sedang terlibat peperangan
hebat.
(2) Yefta telah mengajak orang Efraim untuk datang dan ber-
gabung dengannya, meskipun ia tidak membutuhkan me-
reka ataupun terikat kewajiban apa pun untuk memberi-
kan penghormatan itu kepada mereka, namun mereka me-
nolak ajakan itu: Aku memanggil kamu, namun kamu tidak
datang menyelamatkan aku dari tangan mereka. Kalaupun
tuduhan mereka kepadanya benar, itu bukanlah alasan
yang dapat dibenarkan untuk bertikai. namun sepertinya
tuduhan itu tidak benar, dan, seperti yang sekarang ter-
lihat dari kejadian yang sesungguhnya, Yefta justru mem-
punyai alasan lebih besar untuk bertikai dengan mereka,
sebab mereka telah meninggalkan kepentingan-kepenting-
an bersama dari Israel saat sedang dibutuhkan. Bukan
hal baru jika orang-orang yang paling bersalah justru
paling ribut dalam menuduh orang yang tidak bersalah.
(3) Usaha itu sangat berbahaya, dan lebih beralasan bagi
orang Efraim untuk menaruh iba terhadap Yefta daripada
marah kepadanya: Aku mempertaruhkan nyawaku, artinya
“aku memperhadapkan diriku pada bahaya terbesar dalam
apa yang kulakukan, sebab aku hanya memiliki pasukan
yang begitu kecil.” Kehormatan yang membuat mereka iri
hati dibeli dengan harga yang sangat mahal. Mereka tidak
perlu menggerutu kepadanya sebab hal itu. Hanya sedikit
dari mereka yang mau memberanikan diri untuk bertindak
sedemikian jauh demi mendapatkan kehormatan itu.
(4) Yefta tidak mengambil kemuliaan dari keberhasilan itu bagi
dirinya sendiri, itu akan menjadi perbuatan yang tidak me-
nyenangkan, namun memberikan seluruh kemuliaan bagi
Allah: “TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tanganku.
Jika Allah berkenan memakaiku sejauh ini demi kemulia-
an-Nya, mengapa kamu harus merasa sakit hati sebab -
nya? Apakah kamu memiliki alasan apa saja untuk
berperang melawan aku? Bukankah itu sebenarnya sama
saja dengan berperang melawan Allah, yang di tangan-Nya
aku hanyalah alat yang tidak layak?”
2. saat jawaban yang pantas ini (meskipun tidak selembut
jawaban Gideon) tidak berhasil meredakan amarah mereka,
Yefta berusaha baik untuk membela diri dari kegeraman mere-
ka maupun untuk menghukum kekurangajaran mereka de-
ngan pedang, berdasar wewenangnya sebagai hakim Israel.
(1) Orang-orang Efraim tidak saja berselisih dengan Yefta,
namun juga, saat para tetangga dan sahabat Yefta tampil
untuk mendukungnya, mereka melecehkan para tetangga
dan sahabat Yefta, dan memaki mereka dengan kata-kata
kasar. Sebab di sini saya mengikuti apa yang dikatakan
dalam terjemahan kita, dan memandang ucapan mereka
itu sebagai kata-kata kasar (ay. 4). Mereka berkata dengan
mencemooh, “Kalian orang Gilead yang tinggal di seberang
sungai Yordan sini tidaklah lebih dari orang-orang yang
telah lari dari suku Efraim, sampah dan ampas dari suku-
suku Yusuf, yang kepalanya yaitu suku Efraim. Kalian
hanyalah orang-orang buangan dari kaum itu, dan me-
mang dipandang demikian di antara suku Efraim dan suku
Manasye. Siapa yang peduli terhadapmu? Semua tetang-
gamu tahu siapa kalian. Kalian tidak lebih daripada pelari-
an dan gelandangan, terpisah dari saudara-saudaramu,
dan dihalau kemari ke sudut tempat ini.” Orang Gilead me-
rupakan orang Israel sejati seperti halnya suku-suku lain.
Dan pada saat ini mereka telah membuat diri mereka me-
nonjol, baik dalam memilih Yefta maupun dalam bertempur
melawan bani Amon, mengatasi semua kaum Israel.
Namun demikian, mereka disebut pelarian dengan teramat
hina dan tidak adil. Sungguh jahat memberikan julukan-
julukan dengan tujuan mencela kepada orang ataupun
bangsa, seperti yang biasa terjadi, terutama kepada orang-
orang yang sedang ditimpa kemalangan lahiriah. Hal ini
acap kali menyulut pertengkaran-pertengkaran yang ber-
akibat buruk, seperti yang terjadi di sini. Lihat juga betapa
jahatnya lidah yang kasar itu, lidah yang suka mencaci
maki, dan yang bertutur kata tak pantas: lidah itu menya-
lakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan
oleh api neraka (Yak. 3:6). Sering juga lidah memotong le-
her orang yang menggunakannya, seperti yang terjadi di
sini (Mzm. 64:9). Seandainya orang-orang Efraim ini bisa
menahan diri dari kepuasan yang tidak seberapa untuk
menyebut orang Gilead sebagai pelarian, maka pertumpah-
an darah yang hebat bisa saja dicegah. Sebab perkataan
yang pedas membangkitkan marah, dan siapakah yang
tahu betapa besar hutan yang bisa dibakar oleh api yang
sekecil itu?
(2) Penghinaan ini membuat orang Gilead naik darah. Dan
penghinaan yang dilontarkan kepada mereka, seperti juga
kepada panglima mereka, harus dibalas.
[1] Mereka mengalahkan orang Efraim di medan pertem-
puran (ay. 4). Mereka berperang melawan orang Efraim,
dan, sebab Efraim hanyalah gerombolan perusuh yang
tidak memiliki pemimpin, mereka memukul mundur
orang Efraim, dan membuat orang Efraim lari tunggang-
langgang.
[2] Mereka mencegat orang Efraim sehingga orang Efraim
tidak bisa melarikan diri, dan dengan demikian menun-
taskan pembalasan mereka (ay. 5-6). Orang Gilead,
yang mungkin lebih mengenal tempat-tempat penyebe-
rangan sungai Yordan dibanding orang Efraim, meng-
amankan tempat-tempat itu dengan pengawal-pengawal
yang kuat, yang diperintahkan untuk membunuh setiap
orang Efraim yang mencoba menyeberangi sungai itu.
Di sini kita mendapati, pertama, tindakan yang cukup
kejam dalam membinasakan orang Efraim. Sudahlah
cukup hukuman yang dijatuhkan oleh kebanyakan
orang Gilead. saat orang Efraim dikalahkan habis-
habisan di medan pertempuran, tidak perlu ada tindak
kekerasan ini untuk membinasakan semua orang yang
hendak melarikan diri. Haruskah pedang makan terus-
menerus? Apakah Yefta harus dipuji atas tindakan ini,
saya tidak tahu. Ada kemungkinan ia memandangnya
sebagai tindak keadilan yang diperlukan. Kedua, tin-
dakan yang cukup cerdik untuk mengenali orang Ef-
raim. Tampaknya orang Efraim, meskipun mengguna-
kan bahasa yang sama dengan orang Israel lainnya,
memiliki kebiasaan mengucapkan huruf Ibrani shin
dengan lafal samekh menurut logat negeri mereka. Aneh-
nya, mereka sudah begitu terbiasa menggunakan logat
itu hingga tidak mampu mengucapkannya dengan cara
lain, bahkan untuk menyelamatkan nyawa mereka seka-
lipun. Kita belajar berbicara dengan cara meniru. Orang
yang pertama-tama mengucapkan s sebagai pengganti
sy, melakukannya entah sebab bunyi itu lebih singkat
atau sebab terdengar lebih halus, dan anak-anak me-
reka pun belajar mengucapkannya seperti mereka, se-
hingga orang bisa mengenali orang Efraim dari hal ini. Di
Inggris, kita bisa mengenali orang dari daerah pedesaan
barat atau utara, bahkan mungkin orang dari Shrop-
shire dan Cheshire, melalui lafalnya. Engkau seorang
Galilea, itu nyata dari bahasamu. Melalui cara ini orang
Efraim dikenali. jika orang Gilead mencegat sese-
orang yang mereka curigai sebagai orang Efraim, namun
orang itu menyangkalnya, mereka menyuruh dia meng-
ucapkan kata syibolet. Entah sebab orang itu memang
tidak dapat mengucapkannya, sebagaimana terjemahan
kita membacanya, ataukah sebab ia tidak ambil peduli
untuk melafalkannya dengan tepat, sebagaimana seba-
gian penafsir membacanya, maka dia mengucapkan
sibolet. Dengan demikian ketahuanlah bahwa ia orang
Efraim, dan lalu langsung dibunuh. Syibolet ber-
arti sungai atau kali: “Mintalah izin untuk menyeberangi
syibolet, sungai ini.” Orang-orang yang dibunuh dengan
cara itu melengkapi seluruh