Tampilkan postingan dengan label Yosua Hakim Hakim Rut 25. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yosua Hakim Hakim Rut 25. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Januari 2025

Yosua Hakim Hakim Rut 25

 


umat-Nya. Apakah engkau hendak memiliki 

pula tanah mereka itu? 24 Bukankah engkau akan memiliki apa yang diberi 

oleh Kamos, allahmu? Demikianlah kami memiliki segala yang direbut bagi 

kami oleh TUHAN, Allah kami. 25 Lagipula, apakah engkau lebih baik dari 

Balak bin Zipor, raja Moab? Pernahkah ia menuntut hak kepada orang Israel 

atau pernahkah ia berperang melawan mereka? 26 saat   orang Israel diam di 

Hesybon dengan segala anak kotanya, di Aroer dengan segala anak kotanya, 

dan di segala kota sepanjang kedua tepi sungai Arnon selama tiga ratus 

tahun, mengapa pada waktu itu engkau tidak melepaskan kota-kota itu?  

27 Jadi aku tidak bersalah terhadap engkau, namun  engkau berbuat jahat ter-

hadap aku dengan berperang melawan aku. TUHAN, Hakim itu, Dialah yang 

menjadi hakim pada hari ini antara orang Israel dan bani Amon. 28 namun 


raja bani Amon tidak mendengarkan perkataan yang disampaikan kepadanya 

oleh utusan-utusan Yefta. 

Dalam perikop ini kita mendapati perundingan antara Yefta, yang 

sekarang menjadi hakim orang Israel, dan raja bani Amon (yang tidak 

disebutkan namanya),supaya  pertikaian antara kedua bangsa itu, 

sekiranya mungkin, dapat diselesaikan tanpa pertumpahan darah. 

I. Yefta, sebagai orang yang berkuasa, mengirim utusan kepada raja 

bani Amon, yang dalam peperangan ini menjadi pihak penyerang, 

untuk menuntut penjelasan atas alasannya menyerbu negeri 

Israel: “Apakah urusanmu dengan aku, sehingga engkau menda-

tangi aku untuk memerangi negeriku? (ay. 12). Seandainya aku 

terlebih dahulu datang ke negerimu untuk merampas milikmu, 

maka ini cukup menjadi alasan bagimu untuk memerangiku, 

sebab  bukankah kekerasan harus dilawan dengan kekerasan? 

Akan namun , mengapa engkau datang sebagai seteru seperti itu ke 

negeriku?” Demikianlah Yefta menyebut negeri itu, baik atas nama 

Allah maupun Israel. Nah, tuntutan yang wajar ini menunjukkan, 

1. Bahwa Yefta tidak suka berperang, meskipun ia sendiri seorang 

pahlawan yang gagah perkasa, namun  berkeinginan untuk 

mencegah perang lewat jalan damai. jika  ia dapat meyakin-

kan para penyerang untuk undur dengan nalar, ia tidak akan 

memaksa mereka untuk melakukan itu dengan pedang. Perang 

haruslah menjadi pilihan terakhir, yang tidak boleh dipertim-

bangkan sampai semua cara lain untuk menyelesaikan pertikai-

an telah dicoba dan gagal, ratio ultima regum – pilihan terakhir 

bagi para raja. Pedoman ini harus dipegang pada waktu kita 

sedang mencari keadilan. Pedang keadilan, begitu pula halnya 

dengan pedang perang, tidak boleh dipergunakan sampai 

semua pihak yang bertikai sudah terlebih dahulu berusaha 

memahami satu sama lain dan menyelesaikan perkara-perkara 

yang sedang diperselisihkan dengan cara-cara yang lebih halus 

(1Kor. 6:1). 

2. Bahwa Yefta benar-benar ingin mencari keadilan, dan tidak me-

rancangkan hal lain selain berbuat adil. jika  bani Amon 

dapat meyakinkan dirinya bahwa Israel telah berbuat jahat ke-

pada mereka, maka ia siap memulihkan hak-hak mereka. Apa-

bila tidak, maka serangan mereka jelas menunjukkan bahwa 

mereka berbuat jahat kepada Israel, sehingga ia pun siap mem-

pertahankan hak-hak orang Israel. Rasa keadilan harus me-

mandu dan memimpin kita dalam semua tindakan kita. 

II. Raja bani Amon pada kesempatan ini menyampaikan tuntutan-

nya, yang seharusnya sudah disampaikannya sebelum ia menye-

rang Israel (ay. 13). Dalihnya yaitu  sebagai berikut, “Israel sudah 

sekian lama merampas tanahku. Oleh sebab itu, sekarang, kem-

balikanlah tanah itu.” Beralasan bagi kita untuk meyakini bahwa 

bani Amon, saat   mengadakan serangan ini kepada Israel, tidak 

memiliki  maksud lain selain untuk merampas dan menjarah 

negeri itu, serta memperkaya diri mereka sendiri dengan hasil 

rampasan. Ini sama seperti yang telah mereka perbuat sebelum-

nya di bawah kepemimpinan Eglon (3:13), saat   tidak ada tuntut-

an seperti ini yang mereka buat, meskipun perkara ini masih 

segar pada waktu itu. Akan namun , saat   Yefta menuntut alasan 

di balik permusuhan mereka, dan mereka, sebab  tidak mau 

menanggung malu, tidak dapat mengakui apa niat dan maksud 

mereka yang sesungguhnya, maka mereka pun membuka-buka 

kembali catatan-catatan lama yang sudah usang, atau menyelidiki 

kembali adat istiadat yang sudah kuno. Dan dari semuanya itu, 

dikemukakanlah alasan ini untuk memenuhi keperluan pada saat 

ini, sebagai dalih palsu bahwa serangan itu dapat dibenarkan. 

Bahkan orang-orang yang berbuat kesalahan terbesar pun mem-

punyai rasa keadilan yang begitu rupa dalam hati nurani mereka, 

sehingga mereka ingin terlihat berbuat benar. Kembalikanlah 

semua tanah itu. Lihatlah betapa goyahnya dasar pijakan yang di 

atasnya kita menggenggam harta duniawi kita. Apa yang kita pikir 

telah kita pegang erat-erat, dapat dituntut dari kita, dan direnggut 

dari tangan kita. Orang-orang yang telah tiba di Kanaan sorgawi 

tidak perlu takut bahwa hak-hak mereka akan digugat. 

III. Yefta memberikan jawaban yang sangat lengkap dan memuaskan 

atas tuntutan ini, dengan memperlihatkan bahwa tuntutan itu 

sama sekali tidak adil dan tidak masuk akal, dan bahwa bani 

Amon tidak memiliki  hak apa pun atas negeri yang terbentang 

di antara sungai Arnon dan sungai Yabok ini, yang sekarang 

menjadi milik suku Ruben dan suku Gad. Sebagai orang yang 

memahami betul sejarah negerinya, Yefta menunjukkan, 

1. Bahwa Israel tidak pernah merampas tanah dari orang Moab 

ataupun dari bani Amon. Ia menyebutkan keduanya bersama-

sama sebab  mereka yaitu  saudara, anak-anak Lot, tetangga 

dekat, dan memiliki  kepentingan yang sama, memiliki allah 

yang sama, yakni Kamos, dan mungkin pada waktu-waktu ter-

tentu memiliki  raja yang sama. Tanah yang menjadi seng-

keta itu direbut Israel bukan dari orang Moab ataupun bani 

Amon (orang Israel mendapat perintah khusus dari Allah untuk 

tidak menyerang mereka dan tidak merampas milik mereka [Ul. 

2:9, 19], dan perintah ini dilaksanakan dengan penuh ketaatan). 

namun  tanah itu didapati Israel sebagai milik Sihon, raja orang 

Amori, dan dari tangannyalah tanah itu direbut Israel dengan 

adil dan terhormat, seperti yang akan dipaparkan Yefta kemu-

dian. jika  orang Amori, sebelum orang Israel datang ke 

negeri itu, telah merampas tanah ini dari orang Moab atau 

bani Amon, yang tampaknya memang demikian (Bil. 21:26; 

Yos. 13:25), maka Israel tidak berkepentingan untuk mencari 

tahu tentang hal itu atau bertanggung jawab untuk itu. jika  

bani Amon telah kehilangan tanah ini beserta hak mereka 

atasnya, maka orang Israel tidak berkewajiban untuk mengem-

balikan kepemilikan atas tanah itu kepada mereka. Kepenting-

an orang Israel yaitu  menaklukkan bagi bangsa Israel sendiri, 

bukan bagi bangsa lain. Inilah pembelaan pertama Yefta, 

“Tidak bersalah atas pelanggaran yang dituduhkan.” 

2. Bahwa Israel sama sekali tidak merampas hak milik bangsa 

lain mana pun selain keturunan Kanaan yang memang telah 

dikutuk dan dikhususkan untuk ditumpas (yang salah satu-

nya yaitu  orang Amori [Kej. 10:16]), sampai-sampai orang 

Israel tidak mau memaksa untuk lewat melalui negeri orang 

Edom, yang yaitu  keturunan Esau, ataupun orang Moab, 

yang yaitu  keturunan Lot. Sebaliknya, bahkan sesudah  perja-

lanan yang sangat panjang melintasi padang gurun, yang 

membuat orang Israel sangat letih secara menyedihkan (ay. 

16), saat   raja negeri Edom, dan lalu  raja negeri Moab, 

menolak bersikap ramah terhadap mereka dengan membiar-

kan mereka berjalan melalui kedua negeri itu (ay. 17), dari-

pada menyinggung atau mengganggu kedua negeri itu, meski-

pun sungguh kelelahan, mereka bersedia menanggung keletih-

an lebih lanjut dengan berjalan mengelilingi baik tanah Edom 

maupun tanah Moab, dan tidak melanggar batas kedua negeri 

tersebut (ay. 18). Perhatikanlah, orang-orang yang berusaha  

untuk tidak menyinggung orang lain dapat memperoleh peng-

hiburan dari tindakan mereka itu, dan menyerukannya seba-

gai pembelaan mereka terhadap orang-orang yang menuduh 

mereka telah berbuat tidak adil dan jahat. Kejujuran kita akan 

terbukti di lalu  hari (Kej. 30:33) dan akan membungkam-

kan kepicikan orang-orang yang bodoh (1Ptr. 2:15). 

3. Bahwa di dalam peperangan yang memampukan orang Israel 

merebut tanah ini dari tangan Sihon raja orang Amori, Sihon-

lah yang menjadi pihak penyerang, dan bukan Israel (ay. 19-

20). Orang Israel menyampaikan permohonan yang penuh ke-

rendahan hati kepada Sihon untuk berjalan melalui negerinya, 

dengan bersedia memberinya jaminan bahwa mereka akan 

bertindak dengan santun saat   melintasi negerinya. “Izinkan-

lah kiranya kami berjalan (kata mereka) ke tempat yang kami 

tuju, yaitu, ke negeri Kanaan, yang merupakan satu-satunya 

tempat yang kami sebut sebagai tempat kami, dan ke sanalah 

kami terus bergerak maju, tanpa sedikit pun niat untuk ber-

diam di tempat ini.” Akan namun , Sihon tidak hanya menolak 

permohonan Israel ini, seperti yang telah dilakukan Edom dan 

Moab (andaikan Sihon hanya menolak mereka, siapa tahu 

Israel juga akan berjalan keliling melewati suatu jalan lain?), 

namun  juga ia mengerahkan seluruh pasukannya, dan berpe-

rang melawan orang Israel (ay. 20). Sihon tidak hanya mence-

gah mereka masuk ke negerinya, namun  juga hendak menghabisi 

mereka dari muka bumi (Bil. 21:23-24), dan tidak menginginkan 

apa pun selain kebinasaan mereka (ay. 20). Oleh sebab itu, di 

dalam peperangan dengan Sihon, orang Israel melakukan pem-

belaan diri yang wajar dan perlu. Oleh sebab nya, sesudah  ber-

hasil mengalahkan pasukan Sihon, orang Israel dibenarkan un-

tuk merampas negeri Sihon sebagai sesuatu yang telah diambil 

darinya, untuk memberikan pembalasan lebih lanjut atas se-

rangan tersebut. Demikianlah Israel lalu  menduduki ne-

geri ini, dan tanpa ragu akan mempertahankan hak mereka 

atasnya. Sungguh tidak masuk akal jika  bani Amon meng-

gugat hak mereka, sebab  dahulu orang Amorilah yang men-

jadi penduduk negeri itu, dan semata-mata negeri serta daerah 

orang Amorilah yang pada saat itu diduduki orang Israel (ay. 

21-22). 

4. Yefta menyampaikan pembelaan berdasar  pemberian dari 

pihak yang berkuasa, dan membuat pengakuan atas dasar itu 

(ay. 23-24). Bukan Israel, sebab  mereka sangat kelelahan 

sesudah  berjalan jauh, dan tidak siap untuk berperang dalam 

waktu yang begitu cepat, melainkan Tuhan Allah Israel, yang 

yaitu  Raja segala bangsa, yang empunya bumi dan segala 

isinya. Dialah yang menghalau orang Amori dan menempatkan 

Israel di tanah mereka. Allah memberikan tanah itu kepada 

orang Israel melalui pengalihan kepemilikan yang cepat dan 

istimewa, sehingga bangsa Israel berhak atas tanah itu, yang 

dapat mereka pertahankan tanpa bisa digugat siapa pun. Aku 

menyerahkan Sihon beserta negerinya ke dalam tanganmu (Ul. 

2:24). Allah menyerahkan semuanya itu kepada bangsa Israel, 

dengan memberi mereka kemenangan sempurna atas bangsa 

yang pada waktu itu menduduki tanah itu, kendati dengan 

keadaan bangsa Israel yang sangat tidak menguntungkan 

pada waktu itu. “Apakah menurutmu Allah memberikan negeri 

itu kepada kami, melalui cara yang sungguh luar biasa, 

dengan tujuansupaya  kami mengembalikannya lagi kepada 

orang Moab atau bani Amon? Tidak, kami sangat menghargai 

perkenanan Allah, sehingga kami tidak akan melepaskannya 

dengan semudah itu.” Untuk menguatkan pembelaan ini, Yefta 

menegaskan sebuah alasan secara ad hominem – diarahkan 

kepada pribadi orang yang menjadi lawan bicara: Bukankah 

engkau akan memiliki apa yang diberi oleh Kamos, allahmu? 

Yefta tidak hanya mengarahkan perhatian kepada sikap manu-

sia secara umum untuk mempertahankan apa yang menjadi 

milik mereka dari serangan orang lain, namun  juga kepada 

agama segenap bangsa secara umum, yang, menurut mereka, 

mewajibkan mereka untuk memanfaatkan dengan sebaik-baik-

nya apa yang telah diberikan allah-allah mereka kepada mere-

ka. Bukan berarti bahwa Yefta menganggap Kamos sebagai 

allah, hanya saja Kamos itu allahmu. Sungguh mengherankan 

bahwa para penyembah allah-allah hina seperti itu, yang tidak 

berdaya untuk berbuat kebaikan ataupun kejahatan, mengg-

anggap diri mereka berhutang budi kepada para allah itu atas 

segala sesuatu yang mereka miliki (Hos. 2:11, ini semuanya 

pemberian kepadaku, yang dihadiahkan kepadaku oleh para 

kekasihku [lihat Hakim-hakim 16:24]). Mereka menjadikan hal 

ini sebagai alasan mengapa mereka mau mempertahankan 

milik mereka mati-matian, bahwa semuanya itu merupakan 

pemberian allah-allah mereka. “Engkau menganggap hak ke-

pemilikanmu itu baik. Bukankah kami juga dapat berpendapat 

demikian?” Bani Amon telah menghalau penduduk yang sebe-

lumnya mendiami negeri mereka. Mereka menganggap bahwa 

mereka melakukannya dengan pertolongan Kamos allah mere-

ka, namun  sesungguhnya Yahweh, Allah bangsa Israellah yang 

melakukannya bagi mereka, seperti yang dikatakan dengan 

jelas dalam Ulangan 2:19, 21. “Nah,” tegas Yefta, “kami mem-

punyai hak kepemilikan yang benar atas negeri kami, sama 

seperti engkau memiliki  hak kepemilikan yang benar atas 

negerimu.” Perhatikanlah, satu perbuatan yang menunjukkan 

penghargaan dan penghormatan yang wajib kita tunaikan ke-

pada Allah, sebagai Allah kita, yaitu  memiliki dengan benar 

apa yang telah diberikan-Nya kepada kita untuk dimiliki. Lalu 

menerima itu dari-Nya, memanfaatkannya bagi Dia, memeli-

haranya demi Dia, dan melepaskannya saat   Dia meminta-

nya. Allah telah memberikannya kepada kita untuk dimiliki, 

bukan untuk dinikmati. Allah sendiri sajalah yang harus 

dinikmati. 

5. Yefta menyampaikan pembelaan berdasar  hukum kepemi-

likan menurut lamanya waktu kepemilikan itu. 

(1) Hak bangsa Israel tidak pernah dipersengketakan pada 

waktu mereka pertama kali memasuki negeri itu (ay. 25). 

“Balak, yang pada waktu itu menjadi raja Moab, yang dari-

nya sebagian besar tanah ini telah direbut oleh orang 

Amori, dan yang paling berkepentingan serta paling mampu 

melawan kami, kalau memang ia keberatan kami diam di 

negeri ini, tetap diam saja, dan tidak pernah berusaha me-

lawan Israel.” Balak tahu bahwa ia telah kehilangan tanah 

itu secara jujur oleh orang Amori dan ia tidak mampu me-

rebut kembali tanah itu. Mau tidak mau Balak mengakui 

bahwa orang Israel telah memenangkan tanah itu dari 

orang Amori dengan cara yang jujur, sehingga yang dipikir-

kannya hanyalah mengamankan apa yang tersisa yang ma-

sih dimilikinya. Balak tidak pernah mengaku-aku berhak 

atas apa yang sudah hilang darinya (lihat  Bil. 22:2-3). “Ba-

lak pada waktu itu menerima cara Allah dalam membagi-

bagi kerajaan, dan tidakkah engkau mau berbuat hal yang 

sama sekarang?” 

(2) Kepemilikan Israel atas negeri itu tidak pernah dipermasa-

lahkan sebelumnya (ay. 26). Yefta menegaskan bahwa bang-

sa Israel telah mempertahankan negeri ini sebagai milik 

mereka selama 300 tahun, dan orang Amon selama waktu 

itu tidak pernah berusaha  merebutnya dari tangan mereka, 

sama sekali tidak, sekalipun pada saat orang Amon mempu-

nyai kuasa untuk menindas mereka (3:13-14). Oleh sebab  

itu, dengan beranggapan bahwa hak kepemilikan Israel ini 

pada mulanya tidak begitu jelas (yang lalu  ternyata 

dibuktikan jelas oleh Yefta), namun, sebab  tidak ada tun-

tutan akan hal itu selama sekian banyak angkatan, maka 

tidak diragukan lagi bahwa bani Amon dilarang masuk un-

tuk menduduki negeri itu selama-lamanya. Hak yang su-

dah sekian lama tidak digugat akan dianggap tidak dapat 

diganggu gugat. 

6. Melalui sejumlah pembelaan ini, Yefta membenarkan dirinya 

sendiri dan apa yang diperjuangkannya (“Aku tidak bersalah 

terhadap engkau dengan mengambil atau mempertahankan 

sesuatu yang bukan hakku. jika  aku memang bersalah, 

maka aku akan segera mengembalikannya”), dan ia mengutuk 

bani Amon: “Engkau berbuat jahat terhadap aku dengan 

berperang melawan aku, dan engkau harus bersiap menerima 

hasil sebagaimana mestinya” (ay. 27). Bagi saya, ini merupa-

kan bukti bahwa orang Israel, dalam masa-masa kemakmuran 

dan kekuasaan mereka sebab  memang mereka menikmati 

beberapa masa seperti itu pada zaman hakim-hakim, telah 

berperilaku sangat sopan terhadap semua bangsa di sekeliling 

mereka. Mereka tidak mengusik atau menindas bangsa-bangsa 

tersebut, entah untuk membalas dendam atau sebagai kedok 

untuk menyebarkan agama mereka. Itulah sebabnya raja bani 

Amon, saat   hendak mencari kesempatan untuk bertikai 

dengan mereka, terpaksa melihat kembali ke masa 300 tahun 

yang lampau untuk menemukan alasan. Sudah sepatutnya 

umat Allah tiada beraib dan tiada bernoda seperti itu, dan 

tidak bercela.  

7. Untuk menyelesaikan pertikaian ini, Yefta menyerahkan diri-

nya kepada Allah dan pedangnya, serta raja bani Amon yang 

bertikai dengannya (ay. 27-28): TUHAN, Hakim itu, Dialah yang 

menjadi hakim pada hari ini. Dengan menyerahkan perkara ini 

secara khidmat kepada Hakim langit dan bumi, Yefta mungkin 

bermaksud untuk mencegah bani Amon maju berperang dan 

memaksa mereka mundur, saat   mereka melihat bahwa 

kebenaran perkara itu ternyata melawan mereka, atau untuk 

membenarkan dirinya sendiri dalam menaklukkan mereka 

jika  mereka memutuskan untuk tetap maju. Perhatikan-

lah, perang yaitu  seruan kepada sorga, kepada Allah Sang 

Hakim atas segalanya, yang dapat memutuskan hasil akhir-

nya. jika  muncul persengketaan mengenai hak-hak yang 

kebenarannya diragukan, Allah dengan perang ini dimohon 

untuk memutuskannya. jika  hak-hak yang kebenarannya 

sudah jelas ternyata dilanggar atau disanggah, Allah dengan 

perang ini diminta untuk membenarkan yang benar dan meng-

hukum yang salah. Seperti halnya pedang keadilan dibuat bagi 

orang durhaka dan orang lalim (1Tim. 1:9), demikian pula 

pedang perang dibuat bagi para raja dan bangsa yang durhaka 

dan lalim. Oleh sebab itu, di dalam perang, mata ini harus 

senantiasa tertuju kepada Allah, dan harus selalu diingat 

bahwa sungguh berbahaya untuk berkeinginan atau berharap 

agar Allah membela kejahatan. 

Baik permohonan maaf Yefta maupun pembelaannya tidak 

dihiraukan oleh raja bani Amon. Mereka telah merasakan 

kenikmatan dari jarahan Israel, selama delapan belas tahun 

mereka menindas Israel (10:8), dan sekarang mereka berharap 

untuk menjadi penguasa atas pohon yang buahnya sudah 

begitu sering memperkaya mereka. Raja bani Amon tidak men-

dengarkan perkataan Yefta, sebab  hatinya telah mengeras 

bagi kehancurannya. 

Nazar Yefta 

(11:29-40) 

29 Lalu Roh TUHAN menghinggapi Yefta; ia berjalan melalui daerah Gilead 

dan daerah Manasye, lalu  melalui Mizpa di Gilead, dan dari Mizpa di 

Gilead ia berjalan terus ke daerah bani Amon. 30 Lalu bernazarlah Yefta 

kepada TUHAN, katanya: “Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani

Amon itu ke dalam tanganku, 31 maka apa yang keluar dari pintu rumahku 

untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani 

Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN, dan aku akan mempersembah-

kannya sebagai korban bakaran.” 32 lalu  Yefta berjalan terus untuk 

berperang melawan bani Amon, dan TUHAN menyerahkan mereka ke dalam 

tangannya. 33 Ia menimbulkan kekalahan yang amat besar di antara mereka, 

mulai dari Aroer sampai dekat Minit – dua puluh kota banyaknya – dan 

sampai ke Abel-Keramim, sehingga bani Amon itu ditundukkan di depan 

orang Israel. 34 saat   Yefta pulang ke Mizpa ke rumahnya, tampaklah anak-

nya perempuan keluar menyongsong dia dengan memukul rebana serta 

menari-nari. Dialah anaknya yang tunggal; selain dari dia tidak ada anaknya 

laki-laki atau perempuan. 35 Demi dilihatnya dia, dikoyakkannyalah bajunya, 

sambil berkata: “Ah, anakku, engkau membuat hatiku hancur luluh dan eng-

kaulah yang mencelakakan aku; aku telah membuka mulutku bernazar 

kepada TUHAN, dan tidak dapat aku mundur.” 36 namun  jawabnya kepada-

nya: “Bapa, jika engkau telah membuka mulutmu bernazar kepada TUHAN, 

maka perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kauucapkan itu, 

sebab  TUHAN telah mengadakan bagimu pembalasan terhadap musuhmu, 

yakni bani Amon itu.” 37 Lagi katanya kepada ayahnya: “Hanya izinkanlah 

aku melakukan hal ini: berilah keluasan kepadaku dua bulan lamanya, 

susaha  aku pergi mengembara ke pegunungan dan menangisi kegadisanku 

bersama-sama dengan teman-temanku.” 38 Jawab Yefta: “Pergilah,” dan ia 

membiarkan dia pergi dua bulan lamanya. Maka pergilah gadis itu bersama-

sama dengan teman-temannya menangisi kegadisannya di pegunungan.  

39 sesudah  lewat kedua bulan itu, kembalilah ia kepada ayahnya, dan ayahnya 

melakukan kepadanya apa yang telah dinazarkannya itu; jadi gadis itu tidak 

pernah kenal laki-laki. Telah menjadi adat di Israel, 40 bahwa dari tahun ke 

tahun anak-anak perempuan orang Israel selama empat hari setahun 

meratapi anak perempuan Yefta, orang Gilead itu. 

Dalam perikop ini kita mendapati Yefta bersorak-sorak atas keme-

nangan gemilang yang diraihnya, namun , sebagai noda dari sukacita-

nya itu, ia dibuat susah dan berduka oleh nazar yang dengan gega-

bah telah diucapkannya. 

I. Kemenangan Yefta sungguh jelas, dan bersinar dengan sangat 

terang, baik bagi kehormatannya, dalam membela perkara yang 

benar, maupun bagi kehormatan Allah, dalam mengakui perkara 

yang benar itu. 

1. Allah memberikan roh yang luar biasa kepada Yefta, dan Yefta 

pun memanfaatkannya dengan berani (ay. 29). saat   tampak, 

melalui suara bulat seluruh rakyat yang memilihnya sebagai 

kepala mereka, bahwa Yefta mendapat panggilan yang begitu 

jelas untuk berperang melawan bani Amon, dan, melalui keke-

rasan hati raja bani Amon yang menolak untuk mendengarkan 

permohonan damai, bahwa Yefta memiliki  alasan yang be-

gitu benar untuk melaksanakan perang itu, pada saat itulah 

Roh Tuhan hinggap atasnya, dan sungguh meningkatkan sege-

nap kemampuan ragawi yang memang sudah dimilikinya. Roh 

Tuhan itu memenuhinya dengan kuasa dari atas, dan mem-

buatnya semakin berani dan semakin bijak daripada sebelum-

sebelumnya, dan semakin terbakar oleh semangat yang kudus 

untuk melawan musuh-musuh bangsanya. Dengan ini, Allah 

meneguhkan Yefta di dalam tugasnya, dan memberinya jamin-

an keberhasilan di dalam usaha nya. sesudah  digerakkan seperti 

itu, Yefta tidak membuang-buang waktu, dan dengan tekad 

yang gigih segera maju ke medan perang. Diberikan perhatian 

khusus tentang cara yang dipakai Yefta untuk berjalan menuju 

perkemahan musuh, mungkin sebab  dipilihnya cara itu men-

jadi contoh dari kebijaksanaan luar biasa yang dengannya Roh 

Tuhan telah memperlengkapi dia. Sebab barangsiapa hidup 

dengan jujur menurut Roh akan dipimpin ke jalan yang benar. 

2. Allah memberi Yefta keberhasilan yang gemilang, dan Yefta 

pun memanfaatkan pemberian itu dengan gagah berani (ay. 

32): TUHAN menyerahkan bani Amon ke dalam tangannya, dan 

dengan demikian memberikan penghakiman atas pembelaan 

Yefta dengan mendukung perkara yang benar, dan membuat 

orang-orang yang tidak mau tunduk kepada kekuatan akal 

budi, merasakan kekuatan perang. Sebab Dialah Hakim yang 

adil, yang duduk di atas takhta. Yefta tidak menyia-nyiakan 

keuntungan-keuntungan yang diberikan kepadanya, namun  

terus mengejar dan menuntaskan kemenangannya. sesudah  

mengalahkan habis-habisan pasukan bani Amon di medan pe-

rang, ia mengejar mereka hingga ke kota-kota mereka, dan di 

sana ia memukul dengan mata pedang semua orang yang di-

temuinya bersenjata, sehingga mereka dibuat sama sekali tidak 

berdaya untuk mengusik Israel (ay. 33). Akan namun , tidak 

tampak bahwa ia membinasakan bani Amon sampai habis, 

seperti Yosua yang telah menghabisi bangsa-bangsa yang di-

khususkan untuk ditumpas, atau bahwa Yefta mengajukan 

dirinya untuk menjadi penguasa atas negeri itu, meskipun 

sikap bani Amon yang mengaku-aku memiliki negeri Israel bisa 

saja memberinya alasan untuk bertindak demikian. Hanya 

saja Yefta memastikan agar bani Amon benar-benar ditunduk-

kan. Meskipun usaha  jahat orang lain kepada kita akan mem-

benarkan kita untuk mempertahankan hak kita, namun itu 

tidak memberi kita wewenang untuk menjahati mereka. 

II. Nazar Yefta itu gelap, terlalu mengawang-awang dan diucapkan 

dengan gegabah. Pada waktu Yefta berjalan keluar dari rumahnya 

untuk melaksanakan tugas berbahaya ini, di dalam doanya ke-

pada Allah untuk menyertainya, ia mengucapkan suatu sumpah 

atau nazar yang rahasia namun sungguh-sungguh kepada Allah. 

Yaitu bahwa jika  Allah dengan penuh rahmat mau membawa-

nya kembali pulang sebagai pemenang, maka siapa pun atau apa 

pun yang pertama kali keluar dari rumahnya untuk menyambut-

nya akan diserahkan kepada Allah, dan dipersembahkan sebagai 

korban bakaran. Sekembalinya pulang, oleh sebab  berita keme-

nangan Yefta telah sampai ke rumahnya mendahului dia, putri 

tunggalnya menyongsongnya dengan ungkapan-ungkapan suka-

cita yang memang pada tempatnya. Ini membuat pikiran Yefta 

sungguh kacau, namun semuanya sudah terlambat. sesudah  

mengambil beberapa saat untuk meratapi kemalangannya, putri 

Yefta dengan senang hati tunduk kepada nazar Yefta. Nah, 

1. Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat diambil dari 

kisah ini. 

(1) Bahwa bahkan di dalam hati orang yang sungguh-sungguh 

percaya pun tetap ada rasa tidak percaya dan keraguan. 

Yefta memiliki  cukup alasan untuk yakin bahwa ia akan 

berhasil, terutama saat   ia mendapati bahwa Roh Tuhan 

menghinggapinya, namun demikian, saat   ia betul-betul 

akan menghadapi bani Amon, ia tampak ragu (ay. 30): Jika 

Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke 

dalam tanganku, maka aku akan berbuat ini dan itu. Dan 

mungkin perangkap yang menjerat Yefta  oleh nazarnya ini 

dirancang untuk memperbaiki kelemahan imannya, dan 

keangkuhan yang dimilikinya bahwa ia tidak bisa menjanji-

kan dirinya sendiri kemenangan kecuali ia menawarkan 

sesuatu yang berharga untuk diserahkan kepada Allah 

sebagai gantinya. 

(2) Bahwa sekalipun begitu sangatlah baik, saat   kita sedang 

mengejar atau mengharapkan suatu belas kasih, untuk 

bernazar kepada Allah bahwa kita akan melayani-Nya de-

ngan suatu perbuatan yang dapat diterima. Bukan sebagai 

bayaran dari perkenanan yang kita inginkan, melainkan 

sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya serta kesa-

daran kita yang mendalam akan kewajiban-kewajiban kita 

untuk memberikan balasan menurut kebaikan yang dilaku-

kan kepada kita. Perkara yang mendasari nazar khusus se-

perti itu (Im. 27:2) haruslah merupakan sesuatu yang secara 

jelas dan langsung dapat membantu meninggikan kemuliaan 

Allah, serta memajukan kepentingan-kepentingan kerajaan-

Nya di antara manusia, atau membuat kita lebih giat dalam 

melayani-Nya, dan dalam melakukan apa yang sebelumnya 

memang sudah menjadi kewajiban kita. 

(3) Bahwa kita harus sangat berhati-hati dan penuh pertim-

bangan sebelum membuat nazar-nazar seperti itu,supaya  

jangan sampai, sebab  menuruti perasaan yang sedang 

kita rasakan, sekalipun itu semangat yang penuh kesaleh-

an, kita menjerat hati nurani kita sendiri, dan melibatkan 

diri kita dalam rupa-rupa kebingungan, serta pada akhir-

nya terpaksa berkata di hadapan utusan Allah bahwa kita 

khilaf (Pkh. 5:1-5). Suatu jerat bagi manusia ialah kalau ia 

tanpa berpikir dan terburu-buru mengatakan “Kudus” tan-

pa mempertimbangkan dengan semestinya quid valeant 

humeri, quid ferre recusent – apa yang mampu atau tidak 

mampu kita laksanakan, dan tanpa menyisipkan syarat dan 

ketentuan yang diperlukan, yang dapat mencegah kita ter-

jerat, dan sesudah bernazar baru menimbang-nimbang se-

gala sesuatu yang seharusnya sudah dipertimbangkan se-

belumnya (Ams. 20:25). Biarlah kemalangan Yefta ini men-

jadi peringatan bagi kita dalam perkara ini (lihat Ul. 23:22). 

(4) Bahwa apa yang telah kita nazarkan dengan sungguh-

sungguh kepada Allah harus kita laksanakan dengan pe-

nuh rasa tanggung jawab, jika  itu memang dapat di-

lakukan dan tidak melanggar hukum, meskipun itu sangat 

sulit dan menyusahkan bagi kita. Rasa tanggung jawab Yef-

ta yang sungguh besar terhadap nazarnya itu haruslah se-

nantiasa menjadi milik kita juga (ay. 35): “Aku telah mem-

buka mulutku bernazar kepada TUHAN, dan tidak dapat 

aku mundur,” artinya, “Aku tidak bisa menarik nazarku 

sendiri, sudah terlambat, dan tidak ada kuasa apa pun di 

bumi yang dapat menggugurkannya, atau melepaskanku 

dari ikatanku.” Nazar itu milikku sendiri, dan tetap dalam 

kuasaku (Kis. 5:4), namun  sekarang tidak demikian adanya. 

Bernazarlah dan bayarlah nazarmu itu (Mzm. 76:12). Kita 

menipu diri sendiri jika  kita mencoba mempermainkan 

Allah. jika  kita menerapkan sikap ini pada persetujuan 

yang telah kita berikan dengan sungguh-sungguh, dalam 

nazar suci kita, terhadap kovenan anugerah yang diadakan 

dengan para pendosa yang malang di dalam Kristus, betapa 

itu akan menjadi alasan yang kuat untuk melawan segala 

dosa, yang melalui nazar itu kita telah mengikat diri untuk 

tidak melakukannya, dan betapa itu menjadi pendorong 

yang kuat bagi kita untuk melaksanakan kewajiban, yang 

melalui nazar itu kita telah mengikat diri untuk melaku-

kannya, dan betapa itu menjadi jawaban yang siap sedia 

terhadap setiap godaan! “Aku telah membuka mulutku 

kepada TUHAN, dan tidak dapat aku mundur. Oleh sebab  

itu, aku harus terus maju. Aku telah bernazar, dan aku 

harus, aku akan, melaksanakannya. Janganlah pernah 

aku berani mempermainkan Allah.” 

(5) Bahwa sudah sepatutnya anak-anak dengan taat dan riang 

hati tunduk kepada orangtua mereka di dalam Tuhan, dan 

khususnya patuh terhadap tekad yang penuh kesalehan 

dari orangtua mereka untuk menghormati Allah dan men-

jaga agama di dalam keluarga mereka, meskipun orangtua 

mereka galak dan keras. Seperti orang-orang Rekhab, yang 

selama sekian banyak angkatan dengan saleh mematuhi 

perintah Yonadab bapa leluhur mereka untuk tidak minum 

anggur, dan seperti putri Yefta di sini, yang demi memuas-

kan tuntutan hati nurani ayahnya, dan demi kehormatan 

Allah serta negerinya, menyerahkan dirinya sebagai se-

orang yang dikhususkan untuk menjadi persembahan (ay. 

36): “Perbuatlah kepadaku sesuai dengan nazar yang kau-

ucapkan itu. Aku tahu bahwa aku ini kesayanganmu, namun  

aku siap menerima bahwa Allah harus menjadi yang lebih 

engkau sayangi.” Seorang ayah dapat membatalkan nazar 

apa pun yang diucapkan putrinya (Bil. 30:5), namun  putri-

nya itu tidak dapat membatalkan atau membuat tidak ber-

laku nazar yang diucapkan oleh sang ayah, sekalipun itu 

nazar yang seperti ini. Perbuatan ini mengagungkan perin-

tah Allah yang kelima. 

(6) Bahwa kesedihan sahabat-sahabat kita haruslah menjadi 

kesedihan kita. Pada waktu putri Yefta pergi untuk mena-

ngisi nasibnya yang malang, teman-temannya sesama gadis 

ikut pergi meratap bersamanya (ay. 38). Ia biasa bergaul 

dengan teman-teman perempuan sebayanya, yang sudah 

pasti berharap bahwa, sebab  sekarang ayahnya sesaat   

menjadi orang yang begitu hebat, segera sesudah  ayahnya 

itu kembali, mereka akan menari di pesta pernikahannya. 

Akan namun  mereka menjadi sangat kecewa saat   mereka 

diajak untuk pergi ke pegunungan bersamanya dan ikut 

berbagi dalam kepedihannya. Orang-orang yang hanya mau 

bersukaria bersama kita, dan tidak mau menangis bersama 

kita, tidak layak disebut sebagai sahabat. 

(7) Bahwa semangat kepahlawanan demi kehormatan Allah 

dan Israel, meskipun dinodai oleh kelemahan dan ketidak-

bijaksanaan, pantas diingat sepanjang masa. Sudah sepan-

tasnya anak-anak perempuan Israel setiap tahun meraya-

kan kenangan yang terhormat akan putri Yefta ini, yang 

bahkan tidak mengindahkan nyawanya sendiri seperti 

seorang pahlawan yang mulia, saat   Allah telah mengada-

kan pembalasan terhadap musuh-musuh Israel (ay. 36). 

Suatu perbuatan langka dari seseorang yang lebih meng-

utamakan kepentingan umum daripada nyawanya sendiri 

seperti itu tidak pernah boleh dilupakan. Kedudukannya 

sebagai perempuan melarangnya untuk ikut berperang, 

dan dengan begitu untuk ikut meregang nyawa di medan 

pertempuran, sehingga sebagai gantinya, ia mempertaruh-

kan nyawanya lebih jauh lagi untuk menyemarakkan ke-

menangan ayahnya. Mungkin ia melakukannya dengan pe-

nuh kesadaran, sebab  ia sudah tahu sedikit banyak ten-

tang nazar ayahnya, dan melakukannya dengan sengaja, 

sebab  ayahnya berkata kepadanya (ay. 35), engkau mem-

buat hatiku hancur luluh. Begitu gembiranya ia dengan 

kemenangan yang membawa kebaikan bagi semua orang 

itu, sehingga ia bersedia menyerahkan dirinya untuk diper-

sembahkan sebagai korban syukur untuk kemenangan itu, 

dan akan menganggap hidupnya dikorbankan untuk hal 

yang baik jika  diserahkan dalam peristiwa yang begitu 

besar itu. Putri Yefta memandang bahwa suatu kehormatan 

untuk mati, bukan sebagai korban pendamaian bagi dosa 

orang Israel sebab  kehormatan itu disediakan untuk Kris-

tus semata, melainkan sebagai korban syukur atas belas 

kasihan terhadap orang Israel. 

(8) Dari keprihatinan Yefta pada kesempatan ini, kita harus 

belajar untuk tidak menganggap aneh jika  hari-hari 

kemenangan kita di dunia ini, sebab  satu atau lain alas-

an, ternyata menjadi hari-hari kedukaan kita, dan sebab  

itu kita harus senantiasa bergembira dengan gentar. Kita 

mengharapkan datangnya hari kemenangan pada masa 

mendatang yang tidak akan ternodai.  

2. Akan namun , ada beberapa pertanyaan sulit yang benar-benar 

muncul perihal kisah ini, yang telah menjadi perbincangan di 

antara para cendekiawan. Saya hanya akan membahas sedikit 

mengenai hal ini, sebab  Matthew Poole (theolog Inggris abad 

ke-17 – pen.) telah mengupasnya dengan sangat mendalam di 

dalam artikel nya, English Annotations on the Holy Bible.  

(1) Sulit untuk mengatakan apa yang sesungguhnya dilakukan 

Yefta terhadap putrinya dalam rangka memenuhi nazarnya 

itu. 

[1] Sebagian penafsir berpendapat bahwa Yefta hanya me-

netapkan putrinya menjadi seorang biarawati. Dan bah-

wa sebab  mempersembahkan putrinya sebagai korban 

bakaran, menurut salah satu bagian nazarnya sebab  

mereka menganggap nazar itu bersifat pilihan, tidak 

diperbolehkan dalam hukum Taurat, maka menurut 

bagian yang lain dari nazarnya, Yefta menetapkan putri-

nya itu menjadi kepunyaan TUHAN. Artinya, putrinya 

itu sama sekali mengasingkan diri dari segala urusan 

duniawi, termasuk di dalamnya pernikahan, dan mem-

baktikan diri sepenuhnya untuk melakukan segenap 

pekerjaan Allah seumur hidupnya. Pandangan ini mun-

cul oleh sebab dikatakan bahwa putri Yefta itu mena-

ngisi kegadisannya (ay. 37-38), dan bahwa ia tidak per-

nah kenal laki-laki (ay. 39). Akan namun , jika  Yefta 

memang mempersembahkannya sebagai korban, maka 

cukup menjadi alasan bagi putrinya untuk meratapi. 

Bukan meratapi kematiannya, sebab  kematian itu di-

maksudkan bagi kehormatan Allah, dan ia akan ber-

sedia menjalaninya dengan penuh sukacita, melainkan 

keadaan yang tidak menyenangkan dari kematian itu, 

yang baginya lebih menyedihkan daripada perkara lain, 

sebab  ia merupakan anak tunggal ayahnya, harapan 

ayahnya untuk meneruskan namanya dan keluarganya. 

Yaitu bahwa ia tidak menikah, sehingga tidak mening-

galkan keturunan untuk mewarisi kehormatan dan ke-

kayaan ayahnya. Oleh sebab  itu, diberi perhatian se-

cara khusus (ay. 34) bahwa selain dirinya, Yefta tidak 

memiliki anak laki-laki ataupun perempuan. namun  

yang membuat saya berpikir bahwa Yefta tidak berlaku 

demikian untuk memenuhi nazarnya, atau lebih tepat-

nya untuk mengelak dari nazarnya, yaitu  bahwa kita 

tidak menjumpai adanya hukum, adat istiadat, atau 

kebiasaan, di dalam seluruh isi Perjanjian Lama, yang 

sedikit pun menyiratkan bahwa hidup selibat merupa-

kan suatu bagian atau peraturan dalam agama. Atau 

bahwa siapa pun, laki-laki atau perempuan, dipandang 

lebih kudus, atau lebih menjadi kepunyaan Tuhan, atau 

dikhususkan bagi-Nya, jika  ia hidup tidak menikah. 

Hidup selibat juga bukan merupakan bagian dari hu-

kum para imam atau orang nazir. Debora dan Hulda, 

keduanya nabiah, secara khusus dituliskan sebagai 

perempuan-perempuan yang menikah. Selain itu, sean-

dainya putri Yefta hanya ditetapkan untuk menjalani 

hidup selibat, maka ia tidak perlu meminta waktu se-

lama dua bulan ini untuk menangisi kegadisannya, ka-

rena ia memiliki  seumur hidupnya untuk melakukan 

itu, jika  ia melihat alasan untuk melakukannya. Dia 

pun tidak perlu bersedih seperti itu sebab  akan me-

ninggalkan teman-temannya, sebab  orang-orang yang 

mendukung pandangan ini memahami bahwa apa yang 

dikatakan dalam ayat 40 itu merupakan kunjungan 

teman-temannya untuk berbicara dengan anak perem-

puan Yefta, seperti dalam tafsiran yang agak luas, 

empat hari dalam setahun. Oleh sebab itu, 

[2] Lebih besar kemungkinan bahwa Yefta mempersembah-

kan putrinya sebagai korban, persis seperti nazarnya, 

oleh sebab kekeliruannya memahami hukum yang 

berbicara tentang orang-orang yang dikhususkan untuk 

ditumpas oleh kutukan Allah, seakan-akan hukum itu 

berlaku pula bagi orang-orang yang dikhususkan untuk 

ditumpas oleh nazar manusia (Im. 27:29, setiap orang 

yang dikhususkan, yang harus ditumpas di antara 

manusia, tidak boleh ditebus, pastilah ia dihukum mati), 

dan oleh sebab kekurangtahuannya akan kuasa yang 

diberikan hukum Taurat kepadanya dalam perkara ini 

untuk menebus putrinya. usaha  Abraham untuk mem-

persembahkan Ishak mungkin telah mengilhami Yefta, 

dan membuatnya berpikir, jika  Allah tidak berkenan 

terhadap korban yang telah dinazarkannya ini, maka 

Dia pasti akan mengirim seorang malaikat untuk 

menghentikan tangannya, seperti yang telah diperbuat-

Nya kepada Abraham. jika  putrinya itu memang 

sengaja keluar untuk dijadikan korban, sebab  siapa 

tahu memang demikian adanya, mungkin Yefta berpikir 

bahwa hal itu akan membuat perkaranya lebih jelas. 

Volenti non sit injuria – Bagi orang yang setuju bahwa ia 

akan terkena cedera, tidak dapat dianggap bahwa ia 

dicederai oleh pihak lain. Yefta mungkin berpikiran 

bahwa jika  tidak ada kemarahan ataupun kebenci-

an, maka tidak ada pembunuhan, dan bahwa niat baik-

nya akan menguduskan perbuatan keji ini. Dan, sebab  

ia telah membuat nazar seperti itu, ia memandang lebih 

baik membunuh putrinya daripada melanggar nazar-

nya, dan menyerahkan kesalahan kepada penyeleng-

garaan Allah, yang telah membawa putrinya keluar 

untuk menyongsongnya. 

(2) Namun demikian, anggap saja bahwa Yefta betul memper-

sembahkan putrinya, pertanyaannya yaitu  apakah tin-

dakan itu dibenarkan. 

[1] Beberapa orang membenarkan tindakannya, dan ber-

pendapat bahwa ia telah berbuat benar, sebagai orang 

yang lebih mengutamakan kehormatan Allah daripada 

apa yang paling dikasihinya di dunia ini. Nama Yefta 

disebutkan di antara orang-orang percaya yang ter-

nama, yang oleh iman telah melakukan perkara-perkara 

besar (Ibr. 11:32). Dan ini termasuk salah satu perkara 

besar yang dilakukan Yefta. Tindakan itu dilaksanakan 

dengan seksama, sesudah  melalui waktu pertimbangan 

dan pemikiran selama dua bulan. Yefta tidak pernah 

dipersalahkan atas perbuatannya itu oleh semua penu-

lis yang diilhami Allah. Meskipun perbuatan itu sangat 

menjunjung wewenang orangtua, namun itu tidak mem-

benarkan siapa pun untuk berbuat serupa. Yefta yaitu  

seorang yang sungguh luar biasa. Roh TUHAN meng-

hinggapi dia. Berbagai peristiwa di seputar kejadian 

tersebut, yang sekarang tidak kita ketahui, bisa jadi 

membuat tindakannya itu betul-betul luar biasa, dan 

membenarkannya, namun tidak sampai sedemikian 

rupa hingga dapat membenarkan perbuatan serupa. 

Sebagian cendekiawan memandang korban ini sebagai 

perlambang dari Kristus sang korban agung, yang sung-

guh suci dan murni tanpa noda, sama halnya dengan 

putri Yefta yang sungguh masih gadis murni. Kristus 

telah dikhususkan untuk mati oleh Bapa-Nya, dan 

dengan begitu dijadikan kutuk atau laknat bagi kita. 

Kristus menyerahkan diri-Nya, seperti halnya putri Yef-

ta, kepada kehendak Bapa-Nya: Janganlah seperti yang 

Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehen-

daki. Akan namun , 

[2] Kebanyakan orang mengutuk Yefta. Ia telah berbuat 

jahat dengan bernazar begitu gegabah, dan berbuat 

lebih jahat lagi dengan melaksanakannya. Ia tidak 

dapat terikat oleh nazarnya untuk melakukan apa yang 

telah dilarang Allah melalui perintah-Nya yang keenam: 

Jangan membunuh. Allah telah melarang korban per-

sembahan dalam wujud manusia, sehingga perbuatan 

Yefta itu (menurut Dr. Lightfoot) sesungguhnya merupa-

kan persembahan terhadap Molokh. Ada kemungkinan, 

alasan mengapa sang penulis kitab yang mendapat 

ilham ilahi ini membiarkan akhir kisah ini tidak pasti 

apakah Yefta pada akhirnya mengorbankan putrinya 

atau tidak, yaitu supaya  orang-orang yang di kemu-

dian hari benar-benar mengorbankan anak-anak mereka 

tidak memperoleh pembenaran dari peristiwa ini. Me-

ngenai bacaan ini dan sejumlah bacaan lain yang serupa 

di dalam sejarah suci, yang telah meninggalkan para 

cendekiawan di dalam gelap, membuat mereka terbagi-

bagi pendapat, dan merasa ragu, kita tidak perlu terlalu 

pusing memikirkannya. Apa yang penting bagi kesela-

matan kita, syukur kepada Allah, sudah cukup jelas.  

 

 

PASAL 12  

Di dalam pasal ini kita mendapati, 

I. Perjumpaan Yefta dengan orang-orang Efraim, dan darah yang 

tertumpah pada kesempatan yang tidak membahagiakan itu 

(ay. 1-6), serta akhir dari hidup dan pemerintahan Yefta (ay. 

7). 

II. Uraian singkat tentang tiga hakim lain dari hakim-hakim Is-

rael: Ebzan (ay. 8-10), Elon (ay. 11-12), dan Abdon (ay. 13-15). 

Amarah Orang Efraim dan  

Hukuman terhadap Orang Efraim  

(12:1-7) 

1 Dikerahkanlah orang Efraim, lalu mereka bergerak ke Zafon. Dan mereka 

berkata kepada Yefta: “Mengapa engkau bergerak untuk memerangi bani 

Amon dengan tidak memanggil kami untuk maju bersama-sama dengan 

engkau? Sebab itu kami akan membakar rumahmu bersama-sama kamu!”  

2 namun  jawab Yefta kepada mereka: “Aku dan rakyatku telah terlibat dalam 

peperangan yang hebat dengan bani Amon; lalu aku memanggil kamu, namun  

kamu tidak datang menyelamatkan aku dari tangan mereka. 3 saat   kulihat, 

bahwa tidak ada yang datang menyelamatkan aku, maka aku mempertaruh-

kan nyawaku dan aku pergi melawan bani Amon itu, dan TUHAN menyerah-

kan mereka ke dalam tanganku. Mengapa pada hari ini kamu mendatangi 

aku untuk berperang melawan aku?” 4 lalu  Yefta mengumpulkan se-

mua orang Gilead, lalu mereka berperang melawan suku Efraim. Dan orang-

orang Gilead mengalahkan suku Efraim itu. Sebab orang-orang itu mengata-

kan: “Kamulah orang-orang yang telah lari dari suku Efraim!” – kaum Gilead 

itu ada di tengah-tengah suku Efraim dan suku Manasye –. 5 Untuk meng-

hadapi suku Efraim itu, maka orang Gilead menduduki tempat-tempat 

penyeberangan sungai Yordan. jika  dari suku Efraim ada yang lari dan 

berkata: “Biarkanlah aku menyeberang,” maka orang Gilead berkata kepada-

nya: “Orang Efraimkah engkau?” Dan jika ia menjawab: “Bukan,” 6 maka 

mereka berkata kepadanya: “Coba katakan dahulu: syibolet.” Jika ia berkata: 

sibolet, jadi tidak dapat mengucapkannya dengan tepat, maka mereka me-

nangkap dia dan menyembelihnya dekat tempat-tempat penyeberangan 

sungai Yordan itu. Pada waktu itu tewaslah dari suku Efraim empat puluh 

dua ribu orang. 7 Yefta memerintah sebagai hakim atas orang Israel enam 

tahun lamanya. lalu  matilah Yefta, orang Gilead itu, lalu dikuburkan di 

sebuah kota di daerah Gilead. 

Dalam perikop ini kita mendapati, 

I. Kemarahan yang tidak masuk akal dari orang-orang Efraim ter-

hadap Yefta, sebab ia tidak mengajak mereka untuk membantu-

nya melawan bani Amon,supaya  mereka dapat ikut menikmati 

segala kemenangan dan jarahan yang diperoleh (ay. 1). Kesom-

bongan mendasari pertengkaran itu. Hanya sebab  kesombongan-

lah timbul pertikaian. Orang-orang sombong menganggap bahwa 

semua kehormatan telah lenyap jika  mereka sendiri tidak me-

nerimanya, dan siapa dapat tahan terhadap cemburu? Orang 

Efraim juga pernah bertengkar sebab  alasan serupa dengan 

Gideon (8:1), yang berasal dari suku Manasye di sisi sungai Yor-

dan yang mereka tempati, seperti Yefta berasal dari suku Manasye 

di seberang lain sungai Yordan. Efraim dan Manasye berhubung-

an darah lebih dekat dibanding suku-suku lain, sebab  keduanya 

yaitu  putra Yusuf. Namun demikian, mereka lebih cemburu satu 

terhadap yang lain dibanding suku-suku lain. Yakub telah menyi-

langkan tangannya dan lebih mengutamakan Efraim, dengan 

memandang jauh ke depan kepada kerajaan sepuluh suku yang 

akan dipimpin Efraim, sesudah kesepuluh suku itu memberontak 

terhadap keluarga Daud. sebab  itu suku Efraim, tanpa merasa 

puas dengan kehormatan yang terkandung di dalam janji itu, 

marah jika  sementara itu suku Manasye mendapatkan kehor-

matan apa saja. Sungguh disayangkan bahwa hubungan saudara 

atau kerabat, yang seharusnya menjadi dorongan untuk menga-

sihi dan menciptakan kedamaian, justru mendatangkan perseli-

sihan dan perpecahan, seperti yang terbukti sering terjadi. Sau-

dara yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang 

kuat, dan pertengkaran di antara saudara yaitu  seperti palang 

gapura sebuah puri. Amarah orang Efraim terhadap Yefta itu, 

1. Tidak berdasar dan tidak adil. Mengapa engkau tidak memang-

gil kami untuk maju bersama-sama dengan engkau? Tentu saja 

untuk alasan yang baik. sebab  orang Gileadlah yang telah 

mengangkat dia sebagai panglima mereka, dan bukan orang 

Efraim, sehingga ia tidak berwenang untuk memanggil orang 

Efraim. Seandainya usahanya itu gagal sebab  tidak adanya 

bantuan mereka, mereka mungkin masih pantas mempersa-

lahkan dia sebab  tidak menginginkan bantuan mereka. Akan 

namun , jika  pekerjaan itu sudah terlaksana, dan terlaksana 

dengan berhasil, sebab  bani Amon ditaklukkan dan Israel 

dibebaskan, maka tidak terjadi kerugian apa pun, meskipun 

tangan orang Efraim tidak diikutsertakan di dalamnya. 

2. Amarah orang Efraim terhadap Yefta itu kejam dan sungguh 

tidak pada tempatnya. Mereka dikerahkan dengan hiruk-

pikuk, menyeberangi sungai Yordan sampai sejauh Mizpa di 

Gilead, tempat Yefta tinggal. Tidak ada yang dapat memuaskan 

kegeraman mereka selain membakar rumahnya beserta dirinya 

sendiri di dalamnya. Terkutuklah kemarahan mereka, sebab 

amarahnya keras. Kebencian-kebencian yang paling tidak 

beralasan biasanya memendam kegeraman yang paling besar. 

Sekarang Yefta sudah menjadi penakluk atas musuh-musuh 

Israel. Seharusnya mereka datang untuk memberi selamat 

kepadanya, dan menyampaikan kepadanya ucapan terima 

kasih dari suku mereka atas pekerjaan-pekerjaan baik yang 

telah dilakukannya. namun  janganlah kita menganggap aneh 

jika  kita menerima kejahatan dari orang-orang yang sepa-

tutnya memberi kita kebaikan. Yefta sedang berkabung seka-

rang atas malapetaka yang menimpa keluarganya terkait 

masalah putrinya, dan mereka seharusnya datang untuk ber-

belasungkawa dengannya dan menghiburnya. namun  orang-

orang biadab memang senang menambahkan penderitaan atas 

orang yang sedang menderita. Di dunia ini, akhir sebuah 

masalah sering kali ternyata merupakan awal dari masalah 

lain. Dan juga, janganlah kita pernah memegahkan diri seperti 

orang yang sudah menanggalkan pedang. 

II.  Usaha Yefta yang penuh semangat untuk membela diri. Dia tidak 

berusaha menenangkan mereka, seperti yang pernah dilakukan 

Gideon dalam keadaan serupa. Sekarang orang Efraim lebih kasar 

dibanding dahulu, sementara Yefta sama sekali tidak berwatak 

lembut dan tenang seperti Gideon. Entah orang Efraim mau dite-

nangkan atau tidak, Yefta berusaha, 

1. Untuk membenarkan dirinya sendiri (ay. 2-3). Ia menjelaskan 

bahwa mereka sama sekali tidak memiliki  alasan untuk 

berselisih dengannya, sebab, 

(1) Bukan demi mengejar kemuliaan ia telah melibatkan diri 

dalam peperangan ini, melainkan demi membela negerinya, 

yang dengannya bani Amon sedang terlibat peperangan 

hebat. 

(2) Yefta telah mengajak orang Efraim untuk datang dan ber-

gabung dengannya, meskipun ia tidak membutuhkan me-

reka ataupun terikat kewajiban apa pun untuk memberi-

kan penghormatan itu kepada mereka, namun mereka me-

nolak ajakan itu: Aku memanggil kamu, namun  kamu tidak 

datang menyelamatkan aku dari tangan mereka. Kalaupun 

tuduhan mereka kepadanya benar, itu bukanlah alasan 

yang dapat dibenarkan untuk bertikai. namun  sepertinya 

tuduhan itu tidak benar, dan, seperti yang sekarang ter-

lihat dari kejadian yang sesungguhnya, Yefta justru mem-

punyai alasan lebih besar untuk bertikai dengan mereka, 

sebab  mereka telah meninggalkan kepentingan-kepenting-

an bersama dari Israel saat   sedang dibutuhkan. Bukan 

hal baru jika  orang-orang yang paling bersalah justru 

paling ribut dalam menuduh orang yang tidak bersalah. 

(3) Usaha itu sangat berbahaya, dan lebih beralasan bagi 

orang Efraim untuk menaruh iba terhadap Yefta daripada 

marah kepadanya: Aku mempertaruhkan nyawaku, artinya 

“aku memperhadapkan diriku pada bahaya terbesar dalam 

apa yang kulakukan, sebab  aku hanya memiliki pasukan 

yang begitu kecil.” Kehormatan yang membuat mereka iri 

hati dibeli dengan harga yang sangat mahal. Mereka tidak 

perlu menggerutu kepadanya sebab  hal itu. Hanya sedikit 

dari mereka yang mau memberanikan diri untuk bertindak 

sedemikian jauh demi mendapatkan kehormatan itu. 

(4) Yefta tidak mengambil kemuliaan dari keberhasilan itu bagi 

dirinya sendiri, itu akan menjadi perbuatan yang tidak me-

nyenangkan, namun  memberikan seluruh kemuliaan bagi 

Allah: “TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tanganku. 

Jika Allah berkenan memakaiku sejauh ini demi kemulia-

an-Nya, mengapa kamu harus merasa sakit hati sebab -

nya? Apakah kamu memiliki  alasan apa saja untuk 

berperang melawan aku? Bukankah itu sebenarnya sama 

saja dengan berperang melawan Allah, yang di tangan-Nya 

aku hanyalah alat yang tidak layak?” 

2. saat   jawaban yang pantas ini (meskipun tidak selembut 

jawaban Gideon) tidak berhasil meredakan amarah mereka, 

Yefta berusaha  baik untuk membela diri dari kegeraman mere-

ka maupun untuk menghukum kekurangajaran mereka de-

ngan pedang, berdasar  wewenangnya sebagai hakim Israel. 

(1) Orang-orang Efraim tidak saja berselisih dengan Yefta, 

namun  juga, saat   para tetangga dan sahabat Yefta tampil 

untuk mendukungnya, mereka melecehkan para tetangga 

dan sahabat Yefta, dan memaki mereka dengan kata-kata 

kasar. Sebab di sini saya mengikuti apa yang dikatakan 

dalam terjemahan kita, dan memandang ucapan mereka 

itu sebagai kata-kata kasar (ay. 4). Mereka berkata dengan 

mencemooh, “Kalian orang Gilead yang tinggal di seberang 

sungai Yordan sini tidaklah lebih dari orang-orang yang 

telah lari dari suku Efraim, sampah dan ampas dari suku-

suku Yusuf, yang kepalanya yaitu  suku Efraim. Kalian 

hanyalah orang-orang buangan dari kaum itu, dan me-

mang dipandang demikian di antara suku Efraim dan suku 

Manasye. Siapa yang peduli terhadapmu? Semua tetang-

gamu tahu siapa kalian. Kalian tidak lebih daripada pelari-

an dan gelandangan, terpisah dari saudara-saudaramu, 

dan dihalau kemari ke sudut tempat ini.” Orang Gilead me-

rupakan orang Israel sejati seperti halnya suku-suku lain. 

Dan pada saat ini mereka telah membuat diri mereka me-

nonjol, baik dalam memilih Yefta maupun dalam bertempur 

melawan bani Amon, mengatasi semua kaum Israel. 

Namun demikian, mereka disebut pelarian dengan teramat 

hina dan tidak adil. Sungguh jahat memberikan julukan-

julukan dengan tujuan mencela kepada orang ataupun 

bangsa, seperti yang biasa terjadi, terutama kepada orang-

orang yang sedang ditimpa kemalangan lahiriah. Hal ini 

acap kali menyulut pertengkaran-pertengkaran yang ber-

akibat buruk, seperti yang terjadi di sini. Lihat juga betapa 

jahatnya lidah yang kasar itu, lidah yang suka mencaci 

maki, dan yang bertutur kata tak pantas: lidah itu menya-

lakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan 

oleh api neraka (Yak. 3:6). Sering juga lidah memotong le-

her orang yang menggunakannya, seperti yang terjadi di 

sini (Mzm. 64:9). Seandainya orang-orang Efraim ini bisa 

menahan diri dari kepuasan yang tidak seberapa untuk  

menyebut orang Gilead sebagai pelarian, maka pertumpah-

an darah yang hebat bisa saja dicegah. Sebab perkataan 

yang pedas membangkitkan marah, dan siapakah yang 

tahu betapa besar hutan yang bisa dibakar oleh api yang 

sekecil itu? 

(2) Penghinaan ini membuat orang Gilead naik darah. Dan 

penghinaan yang dilontarkan kepada mereka, seperti juga 

kepada panglima mereka, harus dibalas. 

[1] Mereka mengalahkan orang Efraim di medan pertem-

puran (ay. 4). Mereka berperang melawan orang Efraim, 

dan, sebab  Efraim hanyalah gerombolan perusuh yang 

tidak memiliki  pemimpin, mereka memukul mundur 

orang Efraim, dan membuat orang Efraim lari tunggang-

langgang. 

[2] Mereka mencegat orang Efraim sehingga orang Efraim 

tidak bisa melarikan diri, dan dengan demikian menun-

taskan pembalasan mereka (ay. 5-6). Orang Gilead, 

yang mungkin lebih mengenal tempat-tempat penyebe-

rangan sungai Yordan dibanding orang Efraim, meng-

amankan tempat-tempat itu dengan pengawal-pengawal 

yang kuat, yang diperintahkan untuk membunuh setiap 

orang Efraim yang mencoba menyeberangi sungai itu. 

Di sini kita mendapati, pertama, tindakan yang cukup 

kejam dalam membinasakan orang Efraim. Sudahlah 

cukup hukuman yang dijatuhkan oleh kebanyakan 

orang Gilead. saat   orang Efraim dikalahkan habis-

habisan di medan pertempuran, tidak perlu ada tindak 

kekerasan ini untuk membinasakan semua orang yang 

hendak melarikan diri. Haruskah pedang makan terus-

menerus? Apakah Yefta harus dipuji atas tindakan ini, 

saya tidak tahu. Ada kemungkinan ia memandangnya 

sebagai tindak keadilan yang diperlukan. Kedua, tin-

dakan yang cukup cerdik untuk mengenali orang Ef-

raim. Tampaknya orang Efraim, meskipun mengguna-

kan bahasa yang sama dengan orang Israel lainnya, 

memiliki  kebiasaan mengucapkan huruf Ibrani shin 

dengan lafal samekh menurut logat negeri mereka. Aneh-

nya, mereka sudah begitu terbiasa menggunakan logat 

itu hingga tidak mampu mengucapkannya dengan cara 

lain, bahkan untuk menyelamatkan nyawa mereka seka-

lipun. Kita belajar berbicara dengan cara meniru. Orang 

yang pertama-tama mengucapkan s sebagai pengganti 

sy, melakukannya entah sebab  bunyi itu lebih singkat 

atau sebab  terdengar lebih halus, dan anak-anak me-

reka pun belajar mengucapkannya seperti mereka, se-

hingga orang bisa mengenali orang Efraim dari hal ini. Di 

Inggris, kita bisa mengenali orang dari daerah pedesaan 

barat atau utara, bahkan mungkin orang dari Shrop-

shire dan Cheshire, melalui lafalnya. Engkau seorang 

Galilea, itu nyata dari bahasamu. Melalui cara ini orang 

Efraim dikenali. jika  orang Gilead mencegat sese-

orang yang mereka curigai sebagai orang Efraim, namun  

orang itu menyangkalnya, mereka menyuruh dia meng-

ucapkan kata syibolet. Entah sebab  orang itu memang 

tidak dapat mengucapkannya, sebagaimana terjemahan 

kita membacanya, ataukah sebab  ia tidak ambil peduli 

untuk melafalkannya dengan tepat, sebagaimana seba-

gian penafsir membacanya, maka dia mengucapkan 

sibolet. Dengan demikian ketahuanlah bahwa ia orang 

Efraim, dan lalu  langsung dibunuh. Syibolet ber-

arti sungai atau kali: “Mintalah izin untuk menyeberangi 

syibolet, sungai ini.” Orang-orang yang dibunuh dengan 

cara itu melengkapi seluruh