lihat ke zaman dahulu kala dan menimbang perasaan
dan pengamatan yang diiyakan oleh semua orang bijak dan baik.
Dan kebenaran yang tak diragukan itu yaitu , kalau kita melibat-
kan dunia lain, bahwa, jika bukan dalam kehidupan saat ini maka
mungkin dalam kehidupan yang akan datang, orang-orang fasik
akan kehilangan semua kepercayaan dan kemenangan mereka:
entah Bildad bermaksud demikian atau tidak, kita harus meneri-
manya. Mari kita amati cara pembuktian yang dipakai Bildad (ay.
8-10).
1. Ia tidak memaksakan penilaiannya sendiri atau teman-teman-
nya: Sebab kita, anak-anak kemarin, tidak mengetahui apa-apa
(ay. 9). Ia menangkap bahwa Ayub tidak punya penilaian ten-
tang kemampuan mereka, namun ia pikir mereka cuma tahu
sedikit. “Kita mengakui,” kata Bildad, “bahwa kita tidak tahu
apa-apa, siap mengakui kebodohan kita seperti engkau pasti
akan mengatakannya. Sebab kita yaitu anak-anak kemarin
dan hari-hari kita seperti bayang-bayang di bumi, dan cepat
berlalu seperti sebuah bayangan. Oleh sebab nya,
(1) “Kita tidak berada begitu dekat dengan sumber penyataan
ilahi” yang tampaknya saat disampaikan melalui tradisi,
“seperti zaman sebelumnya. Dan sebab nya kita harus me-
nanyakan apa yang mereka katakan dan menceritakan apa
yang telah kita ketahui tentang sikap mereka.” Terpujilah
Allah, sebab kita sekarang memiliki firman Allah secara
tertulis dan diminta untuk menyelidikinya, maka kita tidak
perlu menanyakan orang-orang zaman dahulu, atau mem-
perhatikan apa yang diselidiki para nenek moyang. Sebab,
kendati kita hanyalah anak-anak kemarin, namun firman
Allah di dalam Kitab Suci sangat dekat dengan kita seperti
dahulu bagi mereka (Rm. 10:8), dan lebih banyak nubuatan
yang pasti yang harus kita perhatikan. Jika kita mempela-
jari dan menyimpan hukum-hukum Allah, kita akan lebih
mengerti dari pada orang-orang tua di zaman dahulu (Mzm.
119:99-100).
(2) “Kita tidaklah hidup begitu lama seperi orang-orang pada
zaman dahulu, untuk melakukan pengamatan terhadap
cara-cara penyelenggaraan ilahi, dan sebab nya tidak
dapat menjadi hakim yang pantas seperti mereka dalam
perkara seperti yang dialami Ayub ini.” Perhatikanlah, sing-
katnya hidup kita menjadi suatu halangan besar bagi kita
untuk memanfaatkan pengetahuan kita, demikian pula ke-
rapuhan dan kelemahan tubuh kita. Vita brevis, ars longa,
kehidupan itu singkat, perkembangan seni tidaklah terbatas.
2. Bildad merujuk kepada kesaksian nenek moyang dan kepada
pengetahuan yang dimiliki oleh Ayub sendiri tentang sikap me-
reka. “Apakah engkau bertanya-tanya tentang orang-orang za-
man dahulu, maka biarlah mereka memberi tahu engkau,
tidak hanya penilaian mereka sendiri dalam hal ini, namun juga
penilaian para nenek moyang mereka (ay. 8). Mereka harus
mengajari engkau, dan memberi tahu engkau (ay. 10), bahwa
selama ini, di zaman mereka, hukuman Allah selalu mengikuti
orang-orang jahat. Tentang hal ini mereka akan melahirkan
kata-kata dari akal budi mereka, yaitu sebagaimana yang me-
reka yakini dengan kuat, yang sangat memengaruhi hati mere-
ka dan yang sangat ingin mereka beritahukan kepada orang
lain dan menggugah hati mereka dengannya.” Perhatikanlah,
(1) Untuk memahami Penyelenggaraan ilahi dengan benar dan
untuk menyingkapkan hal-hal yang sulit darinya, sangat-
lah berguna untuk membandingkan pengamatan dan peng-
alaman zaman dahulu dengan peristiwa-peristiwa di zaman
kita. Dan, juga perlu bagi kita untuk menyelidiki sejarah,
khususnya sejarah suci, yang paling kuno, infalibel, dan
ditulis bagi pembelajaran kita.
(2) Orang-orang yang ingin mendapat pengetahuan dari zaman
dahulu harus menyelidikinya dengan rajin, memperhatikan
apa yang diselidiki, dan bersusah-payah untuk menyelidiki-
nya.
(3) Kata-kata yang sangat mungkin dapat menyentuh hati para
pembelajar yaitu yang berasal dari hati para pengajar.
Mereka akan mengajar engkau yang terbaik yaitu kata-kata
dari akal budi mereka, yang berbicara berdasarkan peng-
alaman, dan bukan melalui hafalan, tentang hal-hal yang
rohani dan ilahi. Menurut cendekia Uskup Patrick, Bildad
sebagai seorang Suah, keturunan dari Suah salah seorang
putra Abraham dengan Ketura (Kej. 25:2), dengan merujuk
kepada sejarah, memiliki suatu penghargaan yang khusus
kepada upah yang dijaminkan oleh berkat Allah kepada ke-
turunan Abraham yang setia, yang sampai saat itu, dan
lama sesudahnya, terus hidup dalam agamanya. Sejarah
yang dirujuknya juga berkenaan dengan kemusnahan orang-
orang Timur, para tetangga Ayub (yang berdiam di negeri-
nya), sebab kejahatan mereka. Berdasarkan sejarah inilah
Bildad menyimpulkan bahwa begitulah cara yang biasa di-
pakai Allah, yaitu Ia memberkati orang benar dan mengha-
bisi orang yang jahat, kendati untuk sesaat mereka jaya.
II. Ia menjelaskan kebenaran ini melalui beberapa kiasan perban-
dingan.
1. Pengharapan dan sukacita orang fasik di sini dibandingkan
dengan pandan atau mensiang (ay. 11-13).
(1) Pandan dan mensiang dapat tumbuh dari lumpur dan air.
Orang fasik tidak dapat mencapai pengharapannya tanpa
tanah busuk atau semacamnya untuk mengangkatnya, dan
dengannya dapat menopang dan menjaganya tetap hidup.
Ia seperti pandan yang tidak dapat bertumbuh tanpa lum-
pur. Ia mendasarkan pengharapannya pada kemakmuran
duniawi, pada pengakuan keyakinannya yang pura-pura
pada agama, pada pendapat baik orang lain terhadap diri-
nya, dan pada kesombongannya sendiri mengenai dirinya.
Semuanya ini bukanlah fondasi kuat untuk membangun ke-
percayaan dirinya. Semuanya semata-mata hanyalah lum-
pur dan air. Dan pengharapan yang tumbuh darinya hanya-
lah seperti pandan dan mensiang.
(2) Pandan dan mensiang mungkin terlihat hijau dan segar
untuk sesaat (mensiang tumbuh lebih tinggi dari rumput),
namun ringan dan kosong dan tidak berguna untuk apa
pun. Hijaunya hanya untuk penampilan saja, namun tidak
ada gunanya.
(3) Ia layu sesaat , lebih dahulu daripada rumput lain (ay. 12).
Bahkan sementara dalam kehijauannya ia menjadi kering
dan lenyap dalam sekejap. Perhatikanlah, keadaan terbaik
dari orang fasik dan pelaku kejahatan berbatasan dengan
kelayuan. Bahkan saat ia hijau, ia lenyap. Rumput men-
jadi lisut dan layu (Mzm. 90:6). namun pandan tidak lisut,
namun layu juga, menjadi layu sebelum dicabut (Mzm.
129:6): seperti tidak ada gunanya, demikian pula tidak ada
kelangsungannya. Demikianlah pengalaman semua orang
yang melupakan Allah (ay. 13). Mereka mengambil jalan
yang sama seperti halnya pandan, maka lenyaplah harapan
orang fasik. Perhatikanlah,
[1] Melupakan Allah sesungguhnya ada pada dasar hati
orang fasik dan kesia-siaan pengharapan yang dengan-
nya mereka membuai dan menipu diri sendiri dalam
kefasikannya. Manusia tidak akan menjadi fasik, jika
mereka tidak lupa bahwa Allah yang dengan-Nya mere-
ka harus berurusan, menyelidiki hati dan menghendaki
ada kebenaran di dalam hati, bahwa Ia yaitu Roh dan
mata-Nya tertuju kepada roh kita. Dan orang fasik tidak
akan memiliki pengharapan, jika mereka tidak lupa
bahwa Allah yaitu benar dan tidak akan membiarkan
diri-Nya dicemoohkan dengan onak dan duri.
[2] Pengharapan orang fasik yaitu suatu penipuan besar
terhadap diri sendiri dan, kendati mungkin dapat ber-
tumbuh sebentar, ia pasti akan musnah pada akhirnya,
dan ikut musnah pula orang fasik itu bersama pengha-
rapan mereka.
2. Orang fasik di sini dibandingkan dengan benang laba-laba, atau
sarang laba-laba, atau jaring laba-laba (ay. 14-15). Pengharapan
orang fasik,
(1) Dijalin dari dirinya sendiri. Pengharapannya merupakan
ciptaan dari khayalannya sendiri, dan muncul semata-mata
dari kesombongan akan jasa dan kecakapannya sendiri.
Ada banyak perbedaan antara pekerjaan lebah dan laba-
laba. Seorang Kristen yang rajin, seperti lebah pekerja,
mendapat semua penghiburannya dari embun sorgawi fir-
man Allah. namun orang fasik, seperti laba-laba licik, meng-
anyam penghiburannya dari suatu dugaan palsu buatan
sendiri mengenai Allah, seakan-akan Allah itu menjadi satu
dengan dirinya.
(2) Ia sangat menyukai pengharapannya itu, seperti laba-laba
menyukai sarangnya. Ia menyenangkan diri dengannya,
membungkus diri di dalamnya, menyebutnya rumahnya,
bersandar pada rumahnya dan menjadikannya tempat
berpegang. Dikatakan tentang laba-laba bahwa ia menjadi-
kannya tempat berpegang, dan ada di istana-istana raja
(Ams. 30:28). Demikian juga seorang manusia duniawi me-
meluk dirinya sendiri dalam kepenuhan dan keteguhan ke-
makmuran lahiriahnya. Ia bermegah diri di dalam rumah-
nya itu seperti istananya, membentengi dirinya di dalam-
nya sebagai istananya, dan memanfaatkannya seperti laba-
laba dengan jaringnya, untuk menjerat orang-orang yang
ingin dimangsa. Demikianlah yang diperbuat orang yang
mengaku-ngaku beribadah secara lahiriah. Ia memuji diri-
nya sendiri, tidak meragukan keselamatannya, yakin ma-
suk sorga, dan menipu dunia dengan kepercayaannya yang
sia-sia.
(3) Pengharapannya itu dengan mudah dan pasti akan tersapu,
seperti jaring laba-laba yang tersapu, saat Allah datang
untuk membersihkan rumah-Nya. Kemakmuran orang-orang
duniawi akan mengecewakan mereka saat mereka berharap
menemukan keamanan dan kebahagiaan di dalamnya. Mere-
ka berusaha untuk memegang erat harta kekayaan mereka,
namun Allah merenggut semua dari tangan mereka. Dan mi-
lik siapakah semuanya yang telah mereka sediakan itu?
Atau apa gunanya semuanya itu nanti untuk mereka? Ke-
yakinan orang-orang fasik akan mengecewakan mereka.
Pengharapan mereka itu akan berkata kepada mereka, Be-
lum pernah aku melihat engkau. Rumah yang dibangun di
atas pasir akan roboh oleh hempasan badai, di saat sang
pembangun paling membutuhkannya dan menjanjikan diri
akan menikmatinya. Pengharapan orang fasik gagal pada
kematiannya, dan harapan orang jahat menjadi sia-sia (KJV:
saat seorang fasik mati, habis pula pengharapannya). Da-
sar pengharapannya akan terbukti palsu. Ia akan kecewa
dengan apa yang diharapkannya, dan pengharapan bodoh-
nya yang dengannya dia mengangkat diri tinggi-tinggi akan
diubah menjadi rasa putus asa yang tanpa akhir. Demi-
kianlah pengharapannya akan diputus, jaringnya, tempat
perlindungan yang penuh kebohongan, akan disapu bersih,
dan dia hancur di dalamnya.
3. Orang fasik di sini dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan
yang tumbuh mekar dan berakar dalam-dalam. Ia menyangka
dirinya tidak akan layu, padahal dengan mudah akan dite-
bang, dan tempatnya tidak mengakuinya lagi. Orang berdosa
yang merasa aman dan makmur dapat saja menganggap orang
lain salah saat membandingkan dirinya dengan pandan dan
mensiang. Ia menganggap diri memiliki akar yang lebih baik.
“Kita biarkan dia menyombongkan diri,” kata Bildad, “dan
berilah dia semua keuntungan yang diinginkannya dan dengan
tiba-tiba dia akan dicabut.” Ia di sini dilambangkan seperti
halnya Nebukadnezar digambarkan di dalam mimpinya (Dan.
4:10) dengan sebuah pohon besar.
(1) Lihatlah pohon yang tumbuh mekar dan lebat ini (ay. 16),
seperti sebuah pohon aras Libanon (Mzm. 37:35), segar di
panas matahari, tetap hijau di tengah teriknya sinar mata-
hari yang menyengat, dan cabangnya, sulurnya menjulur di
bawah perlindungan pagar taman dan kesuburan tanah-
nya. Lihatlah, ia kokoh dan berakar dalam, sepertinya tidak
akan pernah digoncangkan oleh angin badai, sebab akar-
akarnya membelit timbunan batu (ay. 17). Ia bertumbuh di
dalam tanah yang padat, tidak seperti pandan yang tum-
buh di lumpur dan air. Demikianlah hidup seorang yang
jahat, saat dia makmur di dalam dunia, menganggap diri
aman. Kekayaannya yaitu sebuah tembok yang tinggi me-
nurut anggapannya.
(2) namun lihatlah pohon ini tumbang dan dilupakan, dicabut
dari tempatnya (ay. 18), dan seluruhnya lenyap sehingga
tidak akan ada sisa-sisa atau tanda bahwa dia pernah tum-
buh di sini. Tempat di mana dia pernah berkata, Belum per-
nah aku melihat engkau. Dan orang-orang yang pernah
melihatnya dahulu juga akan berkata yang sama. Aku men-
carinya namun tidak dapat menemukannya (Mzm. 37:36). Ia
membuat pertunjukan yang hebat dan kebisingan yang
besar untuk sementara waktu, namun dia tiba-tiba hilang,
sampai tidak ditinggalkannya akar dan cabangnya (Mal.
4:1). Demikianlah kesukaan (yaitu, inilah akhir dan kesim-
pulannya) dari jalan hidup orang fasik (ay. 19). Inilah ujung
dari semua kesukaannya. Jalan orang fasik menuju kebina-
saan (Mzm. 1:6). Pengharapannya, disangkanya, akan di-
ubah menjadi kesukaan. Namun inilah hasilnya, inilah
sukacitanya. Panen akan segera lenyap pada hari kesakitan
dan hari penderitaan yang sangat payah (Yes. 17:11). Inilah
yang terbaik dari pengharapannya. Dan apakah yang ter-
buruk? Tidakkah dia akan meninggalkan keluarganya un-
tuk menikmati segala yang dipunyainya? Tidak, muncul
dari bumi (bukan dari akar si orang fasik itu) akan tumbuh
yang lainnya, yang tidak ada hubungan keluarga dengan-
nya, dan memenuhi tempatnya, dan berkuasa atas apa
yang telah dikerjakannya dahulu. Orang-orang lain, yaitu
orang lain yang punya semangat dan sikap yang sama,
akan bertumbuh di tempatnya dan merasa aman seperti ia
dahulu, tidak belajar dari kejatuhannya. Jalan orang-orang
duniawi yaitu kebodohan mereka, namun masih juga
orang berlomba-lomba mengikuti dan gemar akan perkata-
annya sendiri (Mzm. 49:14).
Seruan Bildad
(8:20-22)
20 Ketahuilah, Allah tidak menolak orang yang saleh, dan Ia tidak memegang
tangan orang yang berbuat jahat. 21 Ia masih akan membuat mulutmu ter-
tawa dan bibirmu bersorak-sorak. 22 Pembencimu akan terselubung dengan
malu, dan kemah orang fasik akan tidak ada lagi.”
Bildad di sini, dalam bagian penutup pembicaraannya, meringkaskan
apa yang masih ingin disampaikannya dalam beberapa patah kata,
memperhadapkan kepada Ayub hidup dan mati, berkat dan kutuk,
dengan meyakinkan dia bahwa sebab siapa dia adanya, maka dia
mengalami semuanya ini, dan sebab itu sahabat-sahabatnya itu me-
nyimpulkan bahwa sebab dia mengalami semuanya itu, maka
begitulah dia adanya.
1. Di satu pihak, seandainya dia seorang yang benar-benar jujur,
maka Allah tidak akan menolaknya (ay. 20). Kendati sekarang
tampaknya dia ditinggalkan oleh Allah, namun Dia akan kembali
kepadanya, dan secara bertahap akan mengubah ratapannya men-
jadi tarian (Mzm. 30:12) dan segala penghiburan akan mengalir ke
atasnya begitu melimpah sehingga mulutnya tertawa dan bibirnya
bersorak-sorak (ay. 21). Alangkah indahnya perubahan yang mem-
bahagiakan itu (Mzm. 126:2). Orang-orang yang mengasihi dia
akan bersukacita bersama dengan dia. namun mereka yang mem-
benci dia dan bermegah atas kejatuhannya akan menjadi malu
dengan penghinaan mereka, saat mereka melihat dia dipulihkan
kepada kemakmuran hidupnya yang semula. Nah, benarlah bah-
wa Allah tidak akan menolak orang yang yang saleh. Ia mungkin
dibuang untuk sesaat, namun dia tidak akan ditolak untuk selama-
nya. Benarlah bahwa, jika tidak di dalam dunia ini, namun di du-
nia lain, mulut orang benar akan dipenuhi dengan sukacita. Ken-
dati matahari mereka terbit di bawah tutupan awan, ia akan terbit
lagi dengan terang, dan tidak pernah ditutupi awan lagi. Kendati
mereka berkabung ke kuburan, hal itu tidak akan menghalangi
mereka untuk masuk ke dalam sukacita Tuhan mereka. Benarlah
bahwa musuh-musuh orang kudus akan ditutupi dengan malu,
saat mereka melihat orang kudus dimahkotai dengan kehor-
matan. Namun hal itu tidak berarti bahwa, seandainya Ayub tidak
dipulihkan dengan sempurna kepada kemakmurannya yang se-
mula, dia akan meninggalkan hati seorang yang benar.
2. Di pihak lain, seandainya dia yaitu seorang yang jahat dan pe-
laku kejahatan, maka Allah tidak akan menolongnya, melainkan
meninggalkannya binasa di dalam penderitaannya yang sekarang
(ay. 20), dan kemahnya tidak akan ada lagi (ay. 22). Dan di sini
juga benarlah bahwa Allah tidak memegang tangan orang yang
berbuat jahat. Mereka membuang diri keluar dari perlindungan-
Nya dan kehilangan perkenanan-Nya. Ia tidak akan memegang
tangan orang yang berbuat jahat, tidak akan berteman dan ber-
sekutu dengan mereka. Sebab persekutuan atau persamaan apa-
kah terdapat antara terang dan gelap? Ia tidak akan mengulurkan
tangan kepada mereka untuk menarik mereka keluar dari
kesengsaraan, kesengsaraan kekal, ke mana mereka telah men-
jatuhkan diri sendiri. Mereka lantas akan mengulurkan tangan
kepada-Nya untuk meminta tolong, namun hal itu sudah terlambat:
Ia tidak akan memegang mereka dengan tangan-Nya. Di antara
kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi. Me-
mang benar bahwa kemah orang fasik, lambat atau cepat, akan
tidak ada lagi. Hanya orang-orang yang menjadikan Allah tempat
perteduhan akan aman untuk selamanya (Mzm. 90:1; 91:1).
Orang-orang yang menjadikan hal-hal lain sebagai tempat perlin-
dungan mereka akan menjadi kecewa. Dosa membawa kehancur-
an kepada orang-orang dan keluarga-keluarga. Namun untuk me-
nuduh (seperti Bildad, saya ragu, dengan licik melakukannya) bah-
wa sebab keluarga Ayub tenggelam dan dirinya sendiri sekarang
tampak tak berdaya, maka dia tentu yaitu seorang yang jahat,
maka tuduhan ini sungguh tidak adil atau kejam, sepanjang tidak
tampak ada bukti lain akan kejahatan dan kefasikannya. Janganlah
kita menghakimi sebelum waktunya, namun menunggu sampai
segala rahasia semua hati diungkapkan, dan semua kesulitan oleh
sebab Penyelenggaraan ilahi sekarang ini dileburkan menjadi su-
kacita abadi dan menyeluruh, yaitu saat misteri Allah digenapi.
PASAL 9
alam pasal ini dan berikutnya, kita dapati jawaban Ayub atas
pembicaraan Bildad. Ia berbicara dengan penuh hormat tentang
Allah, dengan rendah hati tentang dirinya sendiri, dan dengan penuh
perasaan tentang kesesakannya. Namun, tidak sepatah kata pun ia
mencela sikap sahabat-sahabatnya itu, atau kekasaran mereka kepa-
danya. Ia juga tidak menjawab secara langsung apa yang dikatakan
Bildad. Dengan bijak ia tetap berpegang pada benar salahnya per-
karanya, dan tidak membuat tanggapan terhadap orang yang me-
nanggapinya, juga tidak mencari kesempatan untuk melawannya.
Dalam pasal ini kita membaca:
I. Asas ajaran tentang keadilan Allah dinyatakan (ay. 2).
II. Bukti asas ajaran itu, berdasarkan hikmat-Nya, kuasa-Nya,
dan kedaulatan-Nya (ay. 3-13).
III. Penerapan asas ajaran itu, di mana:
1. Ayub mengutuk dirinya sendiri, sebab tidak mampu be-
perkara dengan Allah, baik secara hukum maupun dalam
perbantahan (ay. 14-21).
2. Ia mempertahankan pendapatnya, bahwa kita tidak dapat
menilai tabiat manusia hanya dari keadaan luarnya saja
(ay. 22-24).
3. Ia mengeluhkan betapa besar kesesakannya, kebingung-
annya, dan kehilangan akalnya untuk menyampaikan apa
yang harus ia katakan atau lakukan (ay. 25-35).
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(9:1-13)
1 namun Ayub menjawab: 2 “Sungguh, aku tahu, bahwa demikianlah halnya,
masakan manusia benar di hadapan Allah? 3 Jikalau ia ingin beperkara de-
ngan Allah satu dari seribu kali ia tidak dapat membantah-Nya. 4 Allah itu
bijak dan kuat, siapakah dapat berkeras melawan Dia, dan tetap selamat
5 Dialah yang memindahkan gunung-gunung dengan tidak diketahui orang,
yang membongkar-bangkirkannya dalam murka-Nya; 6 yang menggeserkan
bumi dari tempatnya, sehingga tiangnya bergoyang-goyang; 7 yang memberi
perintah kepada matahari, sehingga tidak terbit, dan mengurung bintang-
bintang dengan meterai; 8 yang seorang diri membentangkan langit, dan me-
langkah di atas gelombang-gelombang laut; 9 yang menjadikan bintang Bi-
duk, bintang Belantik, bintang Kartika, dan gugusan-gugusan bintang Ruang
Selatan; 10 yang melakukan perbuatan-perbuatan besar yang tidak terduga,
dan keajaiban-keajaiban yang tidak terbilang banyaknya. 11 Apabila Ia
melewati aku, aku tidak melihat-Nya, dan bila Ia lalu, aku tidak mengetahui.
12 Apabila Ia merampas, siapa akan menghalangi-Nya? Siapa akan menegur-
Nya: Apa yang Kaulakukan? 13 Allah tidak menahani murka-Nya, di bawah
kuasa-Nya para pembantu Rahab membungkuk.
Bildad memulai pembicaraannya dengan sebuah teguran kepada Ayub,
bahwa Ayub terlalu banyak bicara (8:2). Namun Ayub tidak menang-
gapi hal itu, meskipun cukup mudah untuk membalaskannya kepada
Bildad. namun kemudian, dalam menyatakan pendiriannya, bahwa
Allah tidak pernah membelokkan penghakiman, Ayub setuju dengan
Bildad: Sungguh, aku tahu, bahwa demikianlah halnya (ay. 2). Per-
hatikanlah, kita harus siap mengakui sampai sejauh mana kita sepa-
kat dengan mereka yang bersengketa dengan kita. Jangan hanya me-
remehkan, apa lagi menolak, sebuah kebenaran, meskipun hal itu di-
kemukakan oleh pihak lawan dan didesakkan kepada kita. Sebalik-
nya, kita harus menerima kebenaran itu dalam terang dan kesukaan
terhadap kebenaran itu, meskipun salah diterapkan. “Sungguh, aku
tahu, bahwa demikianlah halnya, bahwa kejahatan membawa manu-
sia kepada kehancuran, sedangkan orang saleh akan dibawa ke
dalam perlindungan khusus Allah. Inilah kebenaran yang aku ikuti,
namun bagaimanakah manusia dapat menyatakan dirinya benar di
hadapan Allah?” Sebab di antara yang hidup, tidak seorangpun yang
benar di hadapan-Mu (Mzm. 143:2), masakan manusia benar di ha-
dapan Allah? Beberapa orang menafsirkan hal ini sebagai keluhan
penuh amarah terhadap keketatan dan sikap keras Allah, bahwa Ia
yaitu Allah yang tidak dapat ditawar-tawar. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam pasal ini terdapat beberapa ungkapan kejengkelan,
yang tampaknya mengandung bahasa seperti ini. namun saya lebih
suka menganggap ayat tadi sebagai pengakuan saleh dari seorang
yang penuh dosa, khususnya Ayub, bahwa jika Allah harus beper-
kara dengan kita sesuai dengan besarnya kedurhakaan kita, maka
pasti kita akan binasa.
I. Ayub membeberkan sebuah kebenaran, bahwa manusia bukanlah
tandingan yang setara dengan Penciptanya, baik dalam perdebat-
an maupun perselisihan.
1. Dalam perdebatan (ay. 3): Jikalau ia ingin beperkara dengan
Allah, baik secara hukum maupun dalam berpendapat, satu
dari seribu kali ia tidak dapat membantah-Nya.
(1) Allah dapat mengajukan ribuan pertanyaan yang penuh
teka-teki, yang tidak mampu dijawab oleh mereka yang ber-
tengkar dengan-Nya, dan yang melancarkan dakwaan kepa-
da-Nya. saat Allah berbicara kepada Ayub dari dalam
badai, Ia mengajukan banyak pertanyaan kepadanya; Tahu-
kah engkau ini? Dapatkah engkau mengerjakan itu?, dan
tidak ada satu pun yang dapat dijawab oleh Ayub (ps. 38-
39). Dengan mudah Allah dapat membuktikan kebodohan
para penipu hebat yang mengaku-ngaku berhikmat.
(2) Allah dapat mengajukan ribuan tuntutan atas pelanggaran
kita, juga dapat membukakan ribuan butir tuntutan atas
pelanggaran kita, dan terhadap satu pun darinya tidak
mampu kita berikan pembelaan supaya terbebas dari pe-
nuntutan. Kita pasti hanya berdiam diri, memberi persetu-
juan bahwa semua itu benar. Kita tidak bisa menyingkir-
kan satu tuntutan apa pun dengan berkata tidak tahu,
atau itu hanya hal yang sepele, atau tuntutan lain lagi se-
bagai tuntutan yang salah. Kita tidak bisa menyangkali ke-
nyataan dari suatu tuntutan dan membela diri tidak bersa-
lah, dan terhadap tuntutan lain menyangkal bahwa kita
tidak bersalah, mengakui dan membenarkan diri. Tidak,
kita tidak akan mampu menjawab-Nya. Sebaliknya, kita
harus menutup mulut dengan tangan saja, seperti yang dila-
kukan Ayub (39:37-38), dan berseru, bersalah, bersalah!
2. Dalam perselisihan (ay. 4): “Siapakah dapat berkeras melawan
Dia, dan tetap selamat?” Jawabannya sangat mudah. Kamu
tidak akan dapat menunjukkan contoh apa pun, dari awal
dunia hingga hari ini, tentang orang berdosa siapa pun yang
telah berani mengeraskan diri melawan Allah, yang telah ber-
sikeras memberontak melawan Dia, dan tidak mendapati Dia
terlampau kuat baginya, dan tidak membayar mahal atas ke-
bodohannya itu. Orang-orang berdosa semacam itu tidak se-
jahtera dan tidak merasa damai. Mereka sama sekali tidak
mengalami penghiburan maupun keberhasilan dalam hidup
mereka. Apa yang pernah didapat manusia dalam usahanya
menandingi Penciptanya atau untuk menuntut haknya dari
Dia? Semua perlawanan yang ditujukan kepada Allah hanya-
lah upaya menaruh ranting semak dan duri di depan api yang
menghanguskan. Begitu bodoh, begitu sia-sia, begitu menghan-
curkan upaya itu, Yes. 27:4, Yeh. 28:24, 1Kor. 10:22. Malaikat-
malaikat yang tidak taat, juga mengeraskan hati mereka terha-
dap Allah, namun tidak berhasil (2Ptr. 2:4). Si ular tua mela-
wan, namun dilemparkan (Why. 12:9). Orang-orang jahat me-
ngeraskan hati melawan Allah, memperdebatkan hikmat-Nya,
tidak mematuhi hukum-hukum-Nya, tidak menyesali dosa-
dosa mereka dan tidak dapat diperbaiki lagi di bawah penderi-
taan. Mereka menolak tawaran anugerah-Nya, dan melawan
upaya-upaya keras Roh-Nya. Mereka memandang enteng an-
caman-ancaman-Nya dan menentang kepentingan-Nya di du-
nia ini. namun , pernah berhasilkah mereka? Bisakah mereka
jaya? Sama sekali tidak, mereka hanya menimbun murka atas
diri mereka sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman
Allah yang adil akan dinyatakan. Siapa yang menggulung akan
tergulung sendiri.
II. Ayub membuktikan hal itu dengan menunjukkan Allah seperti
apa Dia sesungguhnya, dengan siapa kita harus berurusan: Allah
itu bijak dan kuat. Itulah sebabnya kita tidak dapat menjawab Dia
di depan pengadilan. Ia itu kuat (KJV: perkasa dalam kekuatan-
Nya), dan itulah sebabnya kita tidak dapat melawan-Nya. Merupa-
kan kegilaan besar untuk mengira dapat berbantah dengan Allah
yang memiliki hikmat dan kuasa tanpa batas. Dia mengetahui
segala sesuatu, dan dapat berbuat segala sesuatu. Dia tidak dapat
diperdaya dan dikalahkan. Iblis berjanji kepada dirinya sendiri,
bahwa Ayub akan mengutuk Allah dan berbicara buruk tentang
Dia pada hari kemalangannya. namun , bukannya berlaku seperti
itu, Ayub malah menetapkan hatinya untuk menghormati Allah
dan memuliakan Dia. Meskipun begitu sangat kesakitan dan ha-
nyut dalam kesengsaraannya, namun saat memiliki kesempatan
untuk menyebut hikmat dan kuasa Allah, ia melupakan semua
keluh kesahnya, berdiam diri dengan gembira, dan bercakap-
cakap dengan panjang lebar mengenai pokok pembicaraan yang
mulia dan bermanfaat itu. Bukti-bukti tentang hikmat dan kuasa
Allah didapatnya,
1. Dari dunia alam semesta, di mana Allah semesta alam bertin-
dak dengan kekuatan yang tidak terkendalikan dan melaku-
kan apa saja yang diinginkan-Nya, sebab semua tata aturan
dan kuasa alam berasal dari Dia dan bergantung pada-Nya.
(1) saat berkenan, Ia mengubah jalan alam, dan memutar
balik arahnya (ay. 5-7). Menurut hukum alam yang berlaku
umum, biasanya letak gunung-gunung sudah tetap, dan
sebab itu disebut gunung-gunung yang sudah ada sejak
purba. Bumi ditegakkan dan tidak dapat digoyangkan, (Mzm.
93:1), dan tiang-tiangnya tidak dapat digoyangkan. Matahari
terbit pada waktunya. Bintang-bintang memancarkan penga-
ruh mereka ke atas dunia yang lebih rendah ini. namun ,
kalau Allah berkenan, Ia tidak saja dapat menyimpang dari
jalan umum itu, namun juga membalikkan semua aturan
dan mengubah hukum alam itu.
[1] Tidak ada yang lebih kokoh daripada pegunungan. saat
kita berbicara tentang memindahkan gunung-gunung,
yang kita bayangkan yaitu sesuatu yang mustahil. Wa-
laupun begitu, kuasa ilahi sanggup mengubah kedu-
dukan mereka: Dialah yang memindahkan gunung-gu-
nung dengan tidak diketahui orang. Ia memindahkan
gunung-gunung itu, tidak peduli gunung itu mau atau
tidak. Dia dapat memangkas puncak gunung itu, me-
ratakannya, dan membongkar-bangkirkannya dalam
murka-Nya. Ia dapat menyebar gunung-gunung semu-
dah seorang petani menyebar onggokan tanah, seberapa
pun tinggi, besar, dan berbatu-batu. Banyak usaha dan
tenaga diperlukan manusia untuk melewati gunung-
gunung itu, namun bila Allah berkenan, Ia dapat mele-
nyapkan gunung-gunung itu dalam sekejap. Ia mem-
buat gunung Sinai bergoyang (Mzm. 68:9). Gunung-gu-
nung melompat-lompat (Mzm. 114:4). Hancur gunung-gu-
nung yang ada sejak purba (Hab. 3:6).
[2] Tidak ada yang lebih terpancang kokoh erat daripada
bumi di atas gandarnya. Namun, Allah sanggup memi-
sahkannya, saat Ia berkenan, dan menggeserkan bumi
dari tempatnya, terangkat dari pusatnya, dan membuat
tiang-tiangnya bergetar. Apa yang tampak menopangnya
akan membutuhkan dukungan saat Allah memberi
kejutan kepada bumi. Lihatlah, betapa besarnya utang
kita pada kesabaran Allah. Ia memiliki cukup kuasa un-
tuk mengguncang bumi yang ditindih umat manusia
berdosa yang membuatnya mengerang di bawah beban
dosa, supaya orang-orang fasik dikebaskan dari pada-
nya (38:13). Walaupun begitu, Ia terus melangsungkan
keberadaan bumi beserta manusia di atasnya, dan tidak
membuatnya, seperti yang dulu pernah terjadi, menelan
para pemberontak.
[3] Tidak ada yang lebih tetap daripada matahari terbit,
yang tidak pernah melewatkan waktu yang sudah dite-
tapkan. Namun demikian, saat berkenan, Allah dapat
menghentikannya. Dia yang pertama-tama memerintah-
kan benda penerang itu terbit, sanggup membatalkan-
nya. Pernah pada suatu waktu matahari diperintahkan
berhenti dan mundur di waktu lain, untuk menunjuk-
kan bahwa matahari masih ada di bawah kendali Sang
Pencipta yang agung. Begitu besar kuasa Allah, dan be-
tapa besar pula kebaikan hati-Nya, yang membuat ma-
tahari bersinar bahkan juga ke atas orang-orang jahat
yang tidak tahu berterima kasih, meskipun Ia sanggup
menahan itu! Bila berkenan, Ia yang juga menciptakan
bintang-bintang, dapat menutup dan menyembunyikan-
nya dari mata kita. Melalui gempa bumi dan api bawah
tanah, kadang-kadang gunung berpindah dan bumi
berguncang: selama siang dan malam hari yang sangat
gelap dan berawan tampak bagi kita matahari seperti
dicegah untuk terbit dan bintang-bintang ditutup (Kis.
27:20). Pendeknya, di sini Ayub berbicara tentang apa
yang mampu dilakukan Allah. namun , jika kita harus
memahami tentang apa yang sebenarnya telah Ia laku-
kan, maka mungkin semua ayat ini harus diterapkan
pada peristiwa banjir besar Nuh, saat semua gunung
di bumi diguncang, dan matahari serta bintang-bintang
menjadi gelap. Dan dunia yang sekarang ini ada, kita
percaya dicadangkan untuk api itu, yang akan mengha-
nguskan gunung-gunung dan melelehkan bumi ini,
dengan panasnya yang luar biasa, hingga mengubah
matahari menjadi kegelapan.
(2) Selama masih berkenan, Ia mempertahankan jalan dan tata
aturan yang sudah ditentukan bagi alam semesta, dan ini
merupakan penciptaan yang berkelanjutan. Dia seorang diri,
dengan kekuatan-Nya sendiri, tanpa bantuan orang lain,
[1] Yang seorang diri membentangkan langit (ay. 8), tidak
hanya membentangkannya pada awalnya, namun juga te-
rus membentangkannya artinya, membuatnya terus-me-
nerus terbentang. Sebab kalau tidak, langit akan tergu-
lung seperti gulungan kertas.
[2] Dia melangkah di atas gelombang-gelombang laut. Arti-
nya, Ia menekan dan menahan mereka, supaya mereka
tidak membanjiri bumi kembali (Mzm. 104:9). Ayat ini
memberi alasan mengapa kita semua harus takut ke-
pada Allah dan takjub kepada-Nya (Yer. 5:22). Dia lebih
perkasa daripada ombak-ombak laut yang angkuh dan
ganas (Mzm. 93:4, 65:8).
[3] Ia menciptakan rasi bintang, tiga di antaranya diberi nama
untuk mewakili bintang-bintang selebihnya (ay. 9), yakni
bintang Biduk, bintang Belantik, bintang Kartika, dan
gugusan-gugusan bintang Ruang Selatan. Bintang-bin-
tang yang membentuk rasi-rasi ini diciptakan-Nya terle-
bih dahulu, kemudian digabungkan-Nya dalam rasi-rasi
dengan urutannya. Dan Ia masih terus membentuk me-
reka, menjaga keberadaan mereka, dan membimbing
gerakan-gerakan mereka. Dia menjadikan mereka seba-
gai apa seharusnya mereka bagi manusia, dan mencon-
dongkan hati manusia untuk mengamati mereka, peker-
jaan yang tidak mampu dilakukan oleh binatang. Tidak
hanya bintang-bintang yang kita lihat dan berikan na-
manya, namun juga segala benda yang berada di belahan
bumi lain, di kutub Antartika, yang mungkin tidak per-
nah kita lihat, yang disebut di sini dengan gugusan-
gugusan bintang Ruang Selatan, juga berada di bawah
arahan dan kekuasaan Allah. Jadi, betapa bijaksana-
nya, dan betapa perkasanya Ia adanya!
2. Dari kerajaan Sang Penyelenggara, yaitu Penyelenggaraan ilahi
yang istimewa yang mengetahui seluk-beluk segala urusan
anak-anak manusia. Pertimbangkan apa yang dikerjakan Allah
dalam mengatur dunia ini, maka engkau akan berkata, Allah
itu bijak dan kuat.
(1) Allah melakukan banyak hal dan perbuatan besar. Banyak
hal dan agung hingga mendatangkan kekaguman (ay. 10).
Di sini Ayub mengulang kata-kata yang sama seperti yang
diucapkan Elifas (5:9), dalam bahasa aslinya, dengan kata-
kata yang sama, tidak menolak untuk mengutip ucapannya,
meskipun Elifas sedang menjadi lawan debatnya. Allah ada-
lah Allah yang agung. Ia melakukan perbuatan-perbuatan
yang besar, Allah yang mengadakan keajaiban. Pekerjaan-
pekerjaan ajaib-Nya begitu banyak hingga kita tidak dapat
menghitungnya, dan begitu misterius, hingga kita tidak da-
pat menyingkapkan mereka. Wahai, betapa dalam putusan
hikmat-Nya!
(2) Ia bertindak tanpa terlihat dan tidak terselami (ay. 11) “Apa-
bila Ia melewati aku, aku tidak melihat-Nya, dan bila Ia lalu,
aku tidak mengetahui. Aku tidak melihat Dia. Melalui laut
jalan-Mu” (Mzm. 77:20). Tindakan-tindakan penyebab ke-
dua umumnya jelas terlihat oleh mata, namun Allah melaku-
kan segala sesuatu di depan mata kita semua, namun
walaupun begitu kita tetap tidak melihat Dia (Kis. 17:23).
Pemahaman kita yang terbatas tidak dapat memahami hik-
mat-Nya, atau mengerti semua gerak-gerik-Nya atau meng-
erti langkah-langkah yang diambil-Nya. Oleh sebab itu,
kita ini bukanlah hakim-hakim yang punya kemampuan
untuk menghakimi segala perbuatan Allah, sebab kita tidak
tahu apa yang Ia lakukan atau Ia rancangkan. Yang dise-
but arcana imperii – rahasia-rahasia pemerintahan yaitu
hal-hal yang berada di atas kita, sehingga janganlah kita
berlagak dapat menjelaskan atau mengulasnya.
(3) Allah bertindak dengan kedaulatan yang tidak dapat dila-
wan (ay. 11). Ia mengambil segala kenyamanan jasmani
dan apa yang menjadi sandaran kita, kapan saja sesuka
hati-Nya. Kalau mau, Ia akan mengambil kesehatan, harta
milik, pertalian hubungan, sahabat, bahkan kehidupan itu
sendiri. Apa pun yang terjadi, Dialah yang mengambil. Ta-
ngan apa pun yang mengambil semuanya itu, tangan-Nya
harus diakui berperan di dalamnya. Apabila Ia merampas,
siapa akan menghalangi-Nya? Siapa akan menegur-Nya: Apa
yang Kaulakukan? Siapa yang dapat mencegah-Nya atau
mengubah putusan-Nya? Siapa yang bisa menahan-Nya
atau menentang semua tindakan-Nya? Siapa yang dapat me-
ngendalikan-Nya atau meminta pertanggungjawaban-Nya?
Tindakan apa yang bisa dilakukan terhadap-Nya? Atau sia-
pa akan menegur-Nya: Apa yang Kaulakukan? Atau, meng-
apa Engkau lakukan demikian? (Dan. 4:35). Allah tidak
berkewajiban memberi alasan kepada kita atas apa yang
Dia lakukan. Makna cara kerja-Nya tidak dapat kita keta-
hui sekarang. Kelak kita akan mengetahuinya, saat men-
jadi jelas apa yang sekarang tampaknya dilakukan-Nya
tanpa dapat ditentang, ternyata dilakukan-Nya berdasar-
kan hikmat tak terhingga dan demi yang terbaik.
(4) Allah bertindak dengan kekuatan yang tidak tertahankan,
yang tidak bisa ditangkal oleh makhluk apa pun (ay. 13).
Jika Allah tidak menahan murka-Nya, dibawah kuasa-Nya,
maka para pembantu Rahab yang angkuh itu membungkuk
di bawah-Nya. Dia yaitu Allah atas murka-Nya. Biarlah
murka-Nya keluar atau dipanggil sesuai kehendak-Nya.
Artinya, Ia pasti akan mematahkan dan menghancurkan
orang-orang yang dengan angkuh saling membantu untuk
melawan Dia. Orang-orang angkuh menentang Allah dan
pekerjaan-Nya. Dalam perlawanan ini mereka saling ber-
gandengan tangan. Raja-raja dunia bersiap-siap dan para
pembesar bermufakat bersama-sama untuk mematahkan
kuk-Nya, melanggar kebenaran-kebenaran-Nya, dan meng-
aniaya umat-Nya. Hai orang-orang Israel, tolong! (Kis. 21:28;
Mzm. 83:9). Jika salah satu musuh kerajaan Allah jatuh di
bawah penghakiman-Nya, maka yang lain akan dengan
pongah membantunya, dan menyangka mereka mampu
melepaskan dia dari tangan-Nya. Namun, ini sia-sia saja.
Kecuali Ia berkenan menarik kembali murka-Nya yang acap
dilakukan-Nya sebab pada hari itu Ia bersabar, para peno-
long pongah tadi pasti membungkuk di bawah-Nya, dan ja-
tuh tersungkur bersama orang-orang yang hendak mereka
bantu itu. Siapakah yang mengenal kekuatan murka Allah?
Orang-orang yang menyangka memiliki kekuatan untuk
menolong orang lain tidak akan mampu menolong diri sen-
diri melawan murka-Nya.
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(9:14-21)
14 lebih-lebih aku, bagaimana aku dapat membantah Dia, memilih kata-
kataku di hadapan Dia? 15 Walaupun aku benar, aku tidak mungkin mem-
bantah Dia, malah aku harus memohon belas kasihan kepada yang men-
dakwa aku. 16 Bila aku berseru, Ia menjawab; aku tidak dapat percaya, bah-
wa Ia sudi mendengarkan suaraku; 17 Dialah yang meremukkan aku dalam
angin ribut, yang memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena, 18 yang
tidak membiarkan aku bernafas, namun mengenyangkan aku dengan kepahit-
an. 19 Jika mengenai kekuatan tenaga, Dialah yang mempunyai! Jika menge-
nai keadilan, siapa dapat menggugat Dia? 20 Sekalipun aku benar, mulutku
sendiri akan menyatakan aku tidak benar; sekalipun aku tidak bersalah, Ia
akan menyatakan aku bersalah. 21 Aku tidak bersalah! Aku tidak pedulikan
diriku, aku tidak hiraukan hidupku!
Apa yang dikatakan Ayub tentang ketidakmampuan manusia untuk
berbantah dengan Allah di sini ia pakai untuk menerapkannya ke-
pada dirinya sendiri. Dan sebagai akibatnya, ia menjadi putus asa
dalam mendapatkan kemurahan-Nya, sebab (menurut beberapa taf-
siran) ia punya pemikiran keras tentang Allah. Ia memikirkan Allah
itu melawan dirinya, benar atau salah, namun terlalu sukar baginya
untuk menandingi-Nya. Namun saya lebih suka menduga rasa putus
asanya muncul sebab ia merasa diri orang yang tidak benar, dan
juga sebab saat itu ia tidak mengerti sama sekali mengapa Allah
sampai murka kepadanya.
I. Ayub tidak berani berdebat dengan Allah (ay. 14): “Jika di bawah
kuasa-Nya para pembantu Rahab membungkuk; lebih-lebih aku,
bagaimana aku dapat membantah Dia, memilih kata-kataku di
hadapan Dia? Aku ini hanya seorang makhluk lemah yang ma-
lang, jauh dari menjadi seorang penolong, malah tanpa daya sama
sekali. Apa yang dapat kukatakan menentang apa yang dilakukan
Allah? Jika aku berdebat dengan-Nya, Ia tentu saja terlalu kuat ba-
giku.” Jika tukang periuk membuat tanah liat menjadi bejana yang
kurang berguna, atau menghancurkan bejana yang telah dibuat-
nya, akankah tanah liat atau bejana pecah itu berdebat dengan-
nya? Betapa tidak masuk akalnya manusia yang membantah Allah,
atau menyangka dapat membicarakan masalah itu dengan-Nya.
Tidak, biarlah semua manusia berdiam diri di hadapan-Nya.
II. Ayub tidak berani bersikeras membenarkan diri di hadapan Allah.
Walaupun mempertahankan ketulusannya sendiri di depan saha-
bat-sahabatnya, dan tidak mau mengalah dengan berkata bahwa
ia seorang yang munafik dan jahat seperti yang mereka katakan
kepadanya, ia tidak akan pernah membela diri benar di hadapan
Allah. “Aku tidak akan pernah berani coba-coba membahayakan
kovenan ketulusan (covenant of innocency), atau berpikir tidak
melanggarnya.” Ayub tahu begitu banyak tentang Allah, dan juga
tentang dirinya sendiri, hingga ia tidak berani bersikeras mem-
benarkan diri di hadapan Allah.
1. Ayub tahu begitu banyak tentang Allah sehingga ia tidak be-
rani menjalani pemeriksaan dengan-Nya (ay. 15-19). Ia tahu
membela diri di hadapan sahabat-sahabatnya, dan yakin mam-
pu berurusan dengan mereka. Namun, meskipun ia tahu keada-
an hidupnya lebih baik, ia juga tahu tidak ada gunanya berde-
bat dengan Allah.
(1) Allah mengenalnya lebih baik daripada ia mengenal dirinya
sendiri, dan oleh sebab itu (ay. 15), “Walaupun aku benar
menurut sangkaanku sendiri, dan hati nuraniku tidak
menuduhku, namun Allah yaitu lebih besar dari pada
hatiku. Ia mengetahui kesalahan-kesalahan serta kekeliru-
an-kekeliruanku yang tersembunyi dan tidak mampu ku-
pahami. Ia dapat menuduhku dengan hal-hal itu, dan oleh
sebab itu aku tidak mungkin membantah Dia.” Rasul Pau-
lus juga berbicara tentang pokok yang sama: Sebab me-
mang aku tidak sadar akan sesuatu. Aku sendiri tidak
menyadari adanya kejahatan yang berkuasa, namun bukan
sebab itulah aku dibenarkan (1Kor. 4:4). “Aku tidak berani
memperkarakan diriku benar, supaya jangan sampai Allah
malah mendakwa kepadaku hal-hal yang tidak kutemukan
dalam diriku sendiri.” Itulah sebabnya Ayub mengabaikan
pembelaan itu, dan memohon belas kasihan kepada yang
mendakwanya. Artinya, ia hendak menyerahkan diri ke-
pada belas kasih Allah, dan tidak terpikirkan untuk mem-
benarkan diri dengan perbuatannya.
(2) Ayub tidak mempunyai alasan untuk berpikir bahwa terda-
pat sesuatu dalam doa-doanya yang dapat membantu doa-
doa itu diterima Allah, atau untuk memperoleh jawaban
damai sejahtera. Tidak ada nilai atau kelayakan apa pun
yang dapat menyebabkan berhasilnya doa-doa itu. Sebalik-
nya, jawaban terhadap doanya murni diakibatkan oleh
sebab anugerah dan belas kasih Allah, yang menjawab
sebelum kita berseru, dan bukan sebab kita berseru. Ia
memberikan jawaban dengan murah hati atas doa-doa kita,
namun bukan sebab doa-doa tersebut (ay. 16): “Bila aku
berseru, Ia menjawab. Ia mengabulkan hal yang kumohon-
kan kepada-Nya, sekalipun doa-doaku begitu lemah dan
penuh kekurangan, hingga aku tidak dapat percaya, bahwa
Ia sudi mendengarkan suaraku. Aku tidak dapat berkata
bahwa Ia telah memberikan keselamatan dengan tangan
kanan-Nya dan menjawabku” (Mzm. 60:7), “namun bahwa Ia
melakukannya semata-mata demi kepentingan nama-Nya
sendiri.” Uskup Patrick menguraikannya sebagai berikut:
“Jika aku memanjatkan permohonan, dan Ia mengabulkan
keinginanku, maka aku tidak akan berpikir bahwa doaku-
lah yang telah membuat hal itu terjadi.” Bukan sebab
kamu Aku bertindak, ketahuilah itu.
(3) Semua kesengsaraan yang sekarang ditimpakan Allah ke-
pada Ayub sekalipun ia jujur dan setia, memberinya kesa-
daran yang begitu mendalam, bahwa dalam mengatur ke-
adaan lahiriah manusia di dunia ini, Allah bertindak dengan
kedaulatan-Nya. Dan, meskipun Ia tidak pernah melakukan
kesalahan kepada siapa pun, Ia juga tidak pernah mem-
berikan hak sepenuhnya kepada semua orang (artinya,
orang-orang terbaik tidak selalu paling berhasil, atau yang
terjahat senantiasa mengalami yang terburuk) dalam hidup
ini, sebab Ia menyimpan pembagian pahala dan hukuman
secara penuh dan tepat untuk masa mendatang. Ayub me-
mahami dirinya tidak pernah melakukan suatu kesalahan
luar biasa, namun tetap saja ia menderita kemalangan luar
biasa (ay. 17-18). Setiap orang memang harus menantikan
angin bertiup ke arahnya dan mengacaukannya, namun
Ayub diremukkan dalam angin ribut. Di tengah semua onak
dan duri, setiap orang tentu sadar ia akan tergores. Namun,
Ayub bahkan terluka, dan luka-lukanya bertambah ba-
nyak. Setiap orang harus menantikan akan memikul salib
setiap hari, dan sesekali mengecap dari cawan yang pahit.
Namun, kesesakan-kesesakan Ayub yang malang itu da-
tang begitu beruntun menimpanya hingga ia tidak sempat
menarik napas, dan dipenuhi kepahitan. Dan ia beranggap-
an bahwa semua ini terjadi dengan tidak semena-mena,
tidak ada perbuatan jahat yang mengakibatkannya. Sampai
saat ini kita telah membuat anggapan yang terbaik menge-
nai apa yang dikatakan Ayub, walaupun hal ini berlawanan
dengan penilaian banyak penafsir yang bagus. Namun, di
sini tidak dapat diragukan lagi bahwa ia teledor dengan
kata-katanya. Ia merenungkan kebaikan Allah dengan ber-
kata bahwa ia tidak dibiarkan bernafas, padahal ia masih
dapat memakai akal sehat dan mulutnya sehingga
mampu berbicara seperti itu. Ia juga merenungkan keadil-
an-Nya dengan berkata bahwa keadilan-Nya tidak semena-
mena tanpa alasan. Bagaimanapun, memang benar bahwa
di satu sisi ada banyak orang yang didakwa dengan dosa
yang lebih banyak daripada pelanggaran umum sifat manu-
sia, dan meskipun demikian tidak merasa lebih sedih di-
banding kesedihan akibat malapetaka umum dalam hidup
manusia. Dan di sisi lain, ada banyak orang yang merasa-
kan lebih banyak malapetaka yang lazim dalam hidup ma-
nusia, namun dia sendiri tidak merasa melakukan banyak
pelanggaran umum sifat manusia.
(4) Ayub sama sekali tidak mampu menandingi Allah (ay. 19).
[1] Tidak melalui kekuatan tenaga. “Aku tidak berani ter-
libat perdebatan dengan Yang Mahakuasa. Sebab jika
mengenai kekuatan tenaga, Dialah yang mempunyai.
Bila aku berpikir akan berhasil melalui kekuatan te-
naga, maka lihatlah, Dialah yang kuat. Ia lebih kuat
daripada aku, dan pasti akan menguasaiku.” Tidak ada
perdebatan (kata seseorang kepada Kaisar) dengan dia
yang menguasai pasukan. Apalagi sampai berdebat de-
ngan Dia yang memiliki pasukan-pasukan besar malai-
kat. Apakah hatimu yaitu ketabahan dan akalmu. akan
tetap teguh dan tanganmu merasa kuat pada masa Aku
bertindak terhadap engkau? (Yeh. 22:14).
[2] Tidak melalui paksaan atau perdebatan. “Aku tidak be-
rani mencoba kecakapanku dalam perkara itu. Jika aku
berbicara mengenai keadilan, dan memaksakan hakku,
siapa dapat menggugat Dia? Tidak ada lagi kekuasaan
lebih tinggi kepada siapa aku dapat memohon. Tidak ada
pengadilan tinggi yang menentukan persidangan perkara
itu, sebab Ia Mahatinggi dan dari diri-Nya terlaksana
penghakiman atas setiap orang yang harus dipatuhinya.”
2. Ayub tahu begitu banyak tentang dirinya sendiri hingga ia tidak
berani diperiksa (ay. 20-21). “Sekalipun aku berusaha menyata-
kan diriku benar, dan membela kebenaranku sendiri, pembela-
anku akan berbalik menjadi tudingan terhadapku, mulutku
sendiri akan menyatakan aku tidak benar, bahkan saat mu-
lut itu berusaha membebaskanku.” Orang baik yang mengenal
ketidakjujuran hatinya sendiri, dan sangat menjaganya de-
ngan kesungguhan ilahi, serta sudah acap kali menemukan
kesalahan di situ yang sudah sejak lama tidak diketahui, akan
lebih mencurigai adanya lebih banyak kejahatan dalam dirinya
dibanding yang benar-benar disadarinya. Oleh sebab itu ia
sama sekali tidak akan terpikirkan untuk membenarkan diri di
hadapan Allah. Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa,
maka kita tidak saja menipu diri kita sendiri, namun juga meng-
hina Allah. Sebab kita berdosa apabila berkata demikian, dan
menimpakan dusta kepada Kitab Suci yang telah mengurung
segala sesuatu di bawah kekuasaan dosa. “Sekalipun aku ber-
kata bahwa aku tidak bersalah dan tidak berdosa, maka Allah
tidak akan mendakwa saya, justru perkataanku itulah yang
akan menyatakan aku bersalah, congkak, tidak berpengetahu-
an, dan pongah. Bahkan lebih dari itu, seandainyapun aku
tidak bersalah, sekalipun Allah menyatakan aku benar, aku
tidak pedulikan diriku. Aku tidak akan peduli memperpanjang
hidupku sementara didera semua kesengsaraan ini,” Atau,
“Walaupun aku bersih dari dosa besar, meskipun hati nurani-
ku tidak menuduhku melakukan kejahatan luar biasa, aku te-
tap tidak akan sejauh itu mempercayai hatiku sendiri sehingga
mempertahankan kemurnianku, atau berpikir hidupku pantas
diperjuangkan terhadap Allah.” Singkat kata, sungguh bodoh
untuk bertengkar dengan Allah, dan sebab itu kita harus bijak
serta wajib tunduk kepada-Nya dan tersungkur di kaki-Nya.
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(9:22-24)
22 Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: yang tidak bersalah
dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya. 23 Bila cemeti-Nya mem-
bunuh dengan tiba-tiba, Ia mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak
bersalah. 24 Bumi telah diserahkan ke dalam tangan orang fasik, dan mata
para hakimnya telah ditutup-Nya; kalau bukan oleh Dia, oleh siapa lagi?
Dalam perikop ini Ayub menyinggung sekilas pokok utama perdebat-
annya di antara dia dan sahabat-sahabatnya. Mereka mempertahan-
kan pendapat bahwa orang-orang yang benar dan baik akan senan-
tiasa berhasil dalam dunia ini, dan tidak seorang pun selain orang
fasik yang mengalami sengsara dan kesesakan. Sebaliknya, Ayub
menegaskan bahwa sudah lazim bagi orang fasik untuk berhasil dan
orang benar untuk sangat menderita. Inilah satu hal, hal utama,
yang berbeda pada dirinya dan sahabat-sahabatnya. namun mereka
belum membuktikan pernyataan mereka itu, dan oleh sebab itu
Ayub berpegang pada pernyataannya: “Aku telah mengatakannya,
dan mengatakannya lagi, bahwa segala sesuatu sama-sama menimpa
semua orang.” Nah,
1. Haruslah diakui bahwa terdapat banyak kebenaran dalam apa
yang dimaksudkan Ayub di sini. Yakni bahwa penghakiman se-
mentara di dunia ini, saat dijatuhkan, akan menimpa orang
baik maupun jahat. Malaikat yang mendatangkan kemusnahan
jarang sekali membeda-bedakan antara rumah-rumah orang Is-
rael dan orang Mesir, walau pernah juga melakukannya satu kali.
Namun, dalam penghakiman atas Sodom, yang disebut siksaan
api kekal (Yud. 7), jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat
demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang
fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik
(Kej. 18:25). Sebaliknya, dalam penghakiman yang hanya bersifat
sementara, orang-orang benar juga ikut menanggung akibatnya,
dan adakalanya jauh lebih berat. Sudah biasa pedang makan
orang ini atau orang itu, baik Yosia maupun Ahab. Demikianlah
yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan
Allah. Ia melibatkan keduanya dalam kehancuran yang sama.
Orang baik dan jahat dikirimkan ke Babel (Yer. 24:5, 9). Bila
cemeti-Nya membunuh dengan tiba-tiba, dan menyapu semua yang
berada di hadapannya, Allah akan senang melihat bagaimana ce-
meti yang sama dan menjadi kehancuran orang fasik itu menjadi
ujian bagi orang-orang ti