Tampilkan postingan dengan label ayub 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 9. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 9

 


dak bersalah dan juga bagi iman mereka, 

yang memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan (1Ptr. 

1:7; Mzm. 66:10). 

Menuju orang benar anak panah Yang Mahakuasa melesat, 

Sebab Ia senang orang yang tidak bersalah diuji, 

Untuk menunjukkan pikiran mereka tetap dan menyerupai Allah, 

Bukan hancur sebab  penderitaan, namun  sebab  dihaluskan.  

– Sir R. Blackmore 

Biarlah hal ini memperdamaikan anak-anak Allah dengan se-

mua kesukaran mereka. Kesukaran itu hanyalah ujian, dirancang 

untuk kehormatan dan keuntungan mereka. Dan, apabila Allah 

berkenan mendatangkan kesukaran-kesukaran itu, janganlah 

mereka merasa tidak senang. Apabila Ia mengolok-olok keputus-

asaan (KJV: menertawakan ujian bagi) orang yang tidak bersalah, 

hendaklah mereka tahu betapa mulia hasil yang akan diperoleh 

nanti. Dan biarlah mereka juga mengolok-olok kehancuran dan 

kelaparan (5:22), dan bermegah di atasnya sambil berkata, Hai 

maut, di manakah sengatmu? Di sisi lain, orang fasik begitu jauh 

dari sasaran penghakiman Allah hingga bumi telah diserahkan ke 

dalam tangan mereka (ay. 24). Mereka menikmati harta milik yang 

banyak dan kuasa besar, memiliki apa pun yang mereka mau, 

dan melakukan apa yang mereka kehendaki. Ke dalam tangan 

orang fasik (dalam naskah asli, bentuk kata ini tunggal), yaitu si 

Iblis, si jahat itu, disebut ilah zaman ini. Ia menyombongkan diri 

bahwa ke dalam tangannyalah bumi telah diserahkan (Luk. 4:6). 

Atau ke dalam tangan seorang fasik, yaitu (sebagaimana yang 

diperkirakan Uskup Patrick dan Assembly’s Annotations) seorang 

penguasa lalim terkemuka yang pada masa itu tinggal di kawasan 

itu. Kejahatan dan kekayaannya yang luar biasa cukup dikenal 

oleh Ayub dan sahabat-sahabatnya. Kepada orang fasik, bumi te-

lah diberikan, namun  kepada orang benar, sorgalah yang diberikan,

dan manakah yang lebih baik, sorga tanpa bumi atau bumi tanpa 

sorga? Dalam campur tangan-Nya, Allah memajukan orang-orang 

fasik, sementara mata orang-orang yang pantas menjadi hakim 

telah ditutup-Nya, yaitu orang-orang yang bijaksana dan baik 

serta memenuhi syarat untuk memerintah. Ia mengubur orang-

orang bijaksana itu hidup-hidup dalam keadaan tidak dikenal, 

mungkin juga membiarkan mereka diremehkan dan dikecam. 

Wajah mereka ditutup bagaikan penjahat oleh orang-orang fasik, 

yang ke dalam tangannya bumi telah diserahkan. Setiap hari kita 

bisa melihat hal ini terjadi. Kalau bukan Allah yang melakukan-

nya, oleh siapa lagi? Siapa lagi selain Dia yang memerintah kera-

jaan-kerajaan manusia, dan memberikannya kepada siapa pun 

yang dikehendaki-Nya? (Dan. 4:32). Namun demikian,  

2. Haruslah diakui bahwa terdapat terlalu banyak amarah dalam 

kata-kata Ayub di sini. Cara mengutarakan isi hatinya bernada 

mengeluh. saat  ia bermaksud bahwa Allah menyebabkan pen-

deritaan, ia seharusnya tidak berkata, yang tidak bersalah dan 

yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya. saat  ia bermak-

sud bahwa Allah menyukakan diri dengan ujian yang dialami 

orang tidak bersalah, ia seharusnya tidak berkata, Ia mengolok-

olok, sebab Ia tidak mendatangkan penderitaan dengan rela hati. 

saat  roh menjadi panas, baik sebab  perselisihan atau rasa 

tidak puas, kita perlu menjaga bibir kita, supaya dapat bersikap 

pantas seperti seharusnya dalam membicarakan hal-hal ilahi.  

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad 

 (9:25-35) 

25 Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada seorang pelari, lenyap tanpa 

melihat bahagia, 26 meluncur lewat laksana perahu dari pandan, seperti raja-

wali yang menyambar mangsanya. 27 Bila aku berpikir: Aku hendak melupa-

kan keluh kesahku, mengubah air mukaku, dan bergembira, 28 maka takut-

lah aku kepada segala kesusahanku; aku tahu, bahwa Engkau tidak akan 

menganggap aku tidak bersalah. 29 Aku dinyatakan bersalah, apa gunanya 

aku menyusahkan diri dengan sia-sia? 30 Walaupun aku membasuh diriku 

dengan salju dan mencuci tanganku dengan sabun, 31 namun Engkau akan 

membenamkan aku dalam lumpur, sehingga pakaianku merasa jijik terhadap 

aku. 32 sebab  Dia bukan manusia seperti aku, sehingga aku dapat men-

jawab-Nya: Mari bersama-sama menghadap pengadilan. 33 Tidak ada wasit di 

antara kami, yang dapat memegang kami berdua! 34 Biarlah Ia menyingkir-

kan pentung-Nya dari padaku, jangan aku ditimpa kegentaran terhadap Dia, 

35 maka aku akan berbicara tanpa rasa takut terhadap Dia, sebab  aku tidak 

menyadari kesalahanku.” 

Dalam perikop ini Ayub semakin bertingkah, dan ia tidak menutup 

pasal ini dengan ungkapan penuh hormat tentang hikmat serta ke-

adilan Allah seperti pada mulanya. Orang-orang yang memperturut-

kan perilaku gemar mengeluh tidak tahu betapa sikap seperti ini 

akan membawa mereka kepada ketidakpantasan, bahkan ketidak-

salehan. Memulai pertengkaran dengan Allah yaitu  seperti membuka 

jalan air; jadi undurlah sebelum perbantahan mulai. saat  berada da-

lam kesesakan, kita boleh mengeluh kepada Allah, seperti yang sering 

dilakukan sang pemazmur. Namun, janganlah sekali-kali mengeluh 

tentang Allah seperti yang dilakukan Ayub di sini. 

I. Dalam perikop ini, keluhannya perihal berlalunya hari-hari keber-

hasilannya memang cukup pantas (ay. 25-26): “Hari-hariku, arti-

nya, seluruh hari baikku, telah lenyap dan tidak akan pernah 

kembali. Lenyap dengan tiba-tiba, hilang sebelum aku menyadari-

nya. Belum pernah terjadi pembawa berita datang secepat itu” se-

perti Kusyi dan Ahimaas, “membawa berita baik, begitu bergegas 

secepat semua penghiburanku meninggalkanku. Belum pernah 

terjadi kapal berlayar secepat itu menuju pelabuhan, belum per-

nah burung rajawali menyambar mangsanya dengan begitu cepat. 

Tidak tersisa sedikit pun jejak dari keberhasilanku, seperti raja-

wali tidak meninggalkan jejak apa pun di udara atau kapal yang 

berlayar di lautan,” (Ams. 30:19). Lihatlah di sini, 

1. Betapa cepat pergerakan waktu. Waktu senantiasa terbang 

dan melesat menuju akhirnya. Waktu tidak akan berhenti bagi 

manusia. Betapa sedikit kita membutuhkan waktu luang, dan 

betapa kita sangat perlu menebus waktu saat  waktu mulai 

habis, terbang cepat menuju kekekalan, yang pasti datang se-

mentara waktu berlalu! 

2. Betapa sia-sia menikmati waktu, yang mungkin saja akan 

diambil dari kita sementara waktu terus berjalan. Hari kita 

mungkin saja terasa lebih panjang daripada sinar surya keber-

hasilan kita. Dan, saat  waktu habis, rasanya seakan-akan 

tidak pernah ada. Kenangan akan selesainya tugas kita akan 

terasa menyenangkan sesudah itu. Tidak demikian halnya bila 

kita mengenang pernah memiliki kekayaan duniawi saat  se-

mua itu hilang lenyap. “Hari-hariku lenyap tanpa ada yang 

mengingatnya, tanpa melihat bahagia, dan tidak meninggalkan 

kenangan apa pun di belakangnya.” 

II. Keluhan Ayub perihal ketidaknyamanan yang sedang dirasakan-

nya itu dapat dimaafkan (ay. 27-28). 

1. Sepertinya, ia memang berusaha keras membungkam dan 

menenangkan diri sementara para sahabatnya menasihatinya. 

Itulah kebaikan yang hendak dilakukannya: ia akan rela me-

lupakan keluh kesahnya, mengubah air mukanya, dan bergem-

bira, dan memuji Allah, supaya ia layak berbincang, baik de-

ngan Allah maupun manusia. Namun, 

2. Ayub mendapati bahwa ia tidak mampu melakukan hal itu: 

“maka takutlah aku kepada segala kesusahanku. saat  aku 

berusaha sekeras mungkin melawan kesesakanku, ia justru 

mengalahkanku dan terbukti terlampau berat bagiku!” Dalam 

keadaan semacam ini, lebih mudah mengetahui apa yang 

harus kita lakukan daripada melakukannya. Lebih mudah me-

ngetahui bagaimana harus bersikap daripada bersikap. Mudah 

saja berkhotbah tentang kesabaran kepada orang-orang yang 

sedang mengalami kesesakan, dan menyuruh mereka melupa-

kan semua keluhan mereka serta menghibur diri. Namun, 

lebih mudah mengatakan daripada melakukannya. Rasa takut 

dan sedih merupakan hal-hal yang menyiksa tidak keruan, 

tidak mudah ditundukkan seperti seharusnya supaya seturut 

dengan agama dan akal sehat. Namun,  

III. Keluhan Ayub bahwa Allah berkeras hati dan tidak terubahkan 

serta tidak mungkin dicegah kehendak-Nya, sama sekali tidak 

dapat dimaafkan. Inilah tutur kata Ayub yang rusak. Ia sebenar-

nya tahu betul, dan sebelumnya begitu, jauh hatinya dari me-

nyimpan pikiran buruk semacam itu tentang Allah, namun  seka-

rang pikiran ini merasuki rohnya dan tercetus dalam bentuk 

keluhan-keluhan penuh amarah ini. Orang-orang baik memang 

tidak selalu berbicara seperti kebiasaan mereka. Meskipun demi-

kian, Allah yang mempertimbangkan keadaan dan kekuatan coba-

an yang mereka hadapi, sesudah itu mengizinkan mereka menarik 

kembali kata-kata mereka yang salah melalui pertobatan dan 

tidak mendakwa mereka. 

1. Sepertinya di sini Ayub berkata, 

(1) Seolah-olah ia kehilangan harapan akan memperoleh kele-

pasan ataupun pemulihan dari penderitaannya dari Allah, 

sekalipun ia mengajukan bukti-bukti kuat mengenai ketu-

lusannya: “Aku tahu, bahwa Engkau tidak akan mengang-

gap aku tidak bersalah. Penderitaan ini telah menderaku 

begitu lama, dan memburuk begitu cepat, hingga aku tidak 

berharap Engkau akan pernah membersihkan nama baik-

ku bahwa aku tidak bersalah, dengan cara melepaskanku 

dari semua penderitaan ini dan memulihkanku ke dalam 

kehidupan yang sejahtera. Benar atau salah, aku tetap 

diperlakukan seperti orang jahat. Sahabat-sahabatku akan 

terus berpikir seperti itu tentang diriku, dan Allah akan 

terus mendatangkan penderitaan ke atasku sehingga mem-

beri mereka alasan untuk berpikir demikian. Kalau begitu 

apa gunanya aku menyusahkan diri dengan sia-sia untuk 

membersihkan nama baikku dan memelihara ketulusan-

ku?” (ay. 29). Sungguh tidak ada gunanya berbicara ten-

tang perkara yang sudah dijatuhi hukuman sebelum dipe-

riksa. Bagi manusia, acap kali merupakan kerja keras yang 

sia-sia saja bagi orang-orang yang tidak bersalah untuk 

berusaha keras membersihkan nama baik mereka. Mereka 

tetap saja diputuskan bersalah, walaupun sangat jelas 

buktinya bahwa mereka tidak bersalah. Namun, bukan be-

gitulah perlakuan Allah kepada kita. Allah yaitu  pelin-

dung orang-orang tidak bersalah yang ditindas, dan tidak 

sia-sia mengajukan perkara yang benar kepada-Nya. Bah-

kan lebih dari itu, Ayub tidak saja kehilangan harapan 

akan memperoleh pelepasan, namun  juga yakin bahwa upa-

yanya untuk membersihkan diri justru akan membuatnya 

terlihat semakin menjijikkan (ay. 30-31). “Walaupun aku 

membasuh diriku dengan salju, dan membuat ketulusanku 

tampak sangat nyata, semua ini akan tidak berguna. Peng-

hakiman tetap dijatuhkan ke atasku. Engkau akan mem-

benamkan aku dalam lumpur” (lumpur kebinasaan, begitu 

menurut pendapat beberapa orang, atau juga kandang an-

jing kotor, atau selokan air kotor), “yang akan membuat 

bauku begitu menusuk hidung semua orang di sekelilingku 

sehingga pakaianku merasa jijik terhadap aku dan aku 

bahkan tidak sudi menyentuh diriku sendiri.” Ayub berang-

gapan bahwa semua penderitaannya berasal dari Allah. 

Itulah hal-hal yang di mata para sahabatnya membuatnya 

terlihat buruk. Dan, sebab  alasan itu, Ayub mengeluh ten-

tang penderitaannya termasuk keberlangsungannya. Ia me-

ngeluhkannya bukan saja sebagai kehancuran penghibur-

annya, namun  juga nama baiknya. Namun demikian, kata-

katanya itu juga dapat dijelaskan dengan baik. Apabila kita 

begitu giat membenarkan diri di hadapan manusia, dan 

memelihara kehormatan kita dengan mereka, apabila kita 

menjaga tangan kita tetap bersih dari pencemaran dosa 

berat yang terlihat oleh dunia, maka Allah yang mengenal 

hati kita mampu menuduh kita dengan begitu banyak dosa 

tersembunyi. Dan hal ini akan membukakan semua ke-

pura-puraan kita akan kemurnian dan ketulusan kita, ser-

ta membuat kita melihat diri sendiri menjijikkan di mata 

Allah yang suci. saat  masih menjadi orang Farisi, Paulus 

menjaga kebersihan tangan dengan cermat. Namun, saat  

perintah itu datang dan menyingkapkan dosa-dosa hatinya 

kepadanya, hal ini membuat dia mengenali hawa nafsu 

yang membenamkannya dalam lumpur. 

(2) Seolah-olah ia kehilangan harapan bahwa perkaranya akan 

diperiksa dengan adil oleh Allah, dan hal itu memang sung-

guh berat. 

[1] Ayub mengeluh bahwa ia tidak setara dengan Allah (ay. 

32): “Dia bukan manusia seperti aku. Aku bisa saja 

memberanikan diri berdebat dengan manusia seperti 

diriku sendiri (pecahan tembikar boleh beradu dengan 

pecahan tanah liat), namun  Ia tak terhingga jauh lebih 

tinggi daripadaku, dan oleh sebab itu aku tidak berani 

terlibat perdebatan dengan-Nya. Aku pasti akan tercam-

pak apabila bertengkar dengan-Nya.” Perhatikanlah, 

Pertama, Allah bukanlah manusia seperti kita. Me-

ngenai raja-raja terbesar kita boleh berkata, “Mereka 

juga manusia seperti kita,” namun  kita tidak dapat ber-

kata begitu tentang Allah yang agung. Segala pikiran 

dan jalan-jalan-Nya tak terhingga jauh lebih tinggi dari-

pada kita, dan kita tidak boleh mengukur Dia dengan 

diri kita. Manusia makhluk yang bodoh dan lemah, ra-

puh dan mudah berubah, namun tidak demikian halnya 

dengan Allah. Kita yaitu  makhluk-makhluk yang ham-

pir mati dan bergantung pada pihak lain. Allah tidak ber-

gantung pada siapa pun dan Dia yaitu  Pencipta yang 

kekal.  

Kedua, dengan merenungkan hal ini, kita sudah se-

harusnya bersikap sangat rendah hati dan terdiam di 

hadapan Allah. Janganlah berusaha menyamakan diri 

dengan Allah, namun  senantiasa memandang Dia sebagai 

Allah yang tak terhingga jauh di atas kita. 

[2] Bahwa tidak ada penengah atau wasit guna menyelaras-

kan perbedaan-perbedaan di antara Ayub dengan Allah 

dan untuk menentukan hasil perdebatan itu (ay. 33): 

Tidak ada wasit di antara kami. Keluhan tentang tidak 

adanya wasit, sebenarnya mengungkapkan keinginan 

yang mengharapkan hal itu. Di dalam Septuaginta ter-

tulis: O, seandainya saja terdapat penengah di antara 

kita! Dengan senang hati Ayub mau membawa perkara 

itu, namun  ternyata tidak ada satu makhluk pun yang 

mampu bertindak sebagai wasit, dan oleh sebab  itu ia 

harus membawa perkara itu kepada Allah sendiri dan 

bertekad untuk menerima saja penghakiman-Nya. Ye-

sus Tuhan kita yaitu  wasit terpuji, yang mengantarai 

sorga dan bumi, yang telah membentangkan tangan-

Nya antara kita dengan Allah. Kepada-Nya Allah Bapa 

telah menyerahkan semua penghakiman, dan begitu 

juga yang harus kita lakukan. Namun, pada waktu itu 

perkara Ayub ini belum dibawa ke dalam terang seperti 

pada zaman ini melalui Injil, sehingga sungguh tidak 

pantas mengutarakan keluhan semacam itu. 

[3] Bahwa semua kegentaran yang datang dari Allah, yang 

silih berganti menimpa Ayub, membuatnya begitu kebi-

ngungan hingga tidak tahu cara bagaimana ia harus 

mendekati Allah dengan keyakinan seperti yang dahulu 

biasa dipakai nya untuk menghampiri Dia (ay. 34-

35). “Di samping jarak yang memisahkanku oleh sebab  

keagungan-Nya yang tidak terbatas, tindakan-Nya seka-

rang ini terhadap diriku sangatlah mengecilkan hatiku: 

Biarlah Ia menyingkirkan pentung-Nya dari padaku.” 

Maksud Ayub bukan penderitaan jasmaniahnya, me-

lainkan beban yang menindih rohnya akibat ketakutan-

nya terhadap murka Allah. Ditimpa kegentaran terhadap 

Dia, itulah yang menakutkannya. “Kiranya kegentaran 

itu diangkat. Biarlah aku kembali melihat kasih setia-

Nya, dan tidak dibuat terkejut oleh pemandangan akan 

kedahsyatan kegentaran yang dari-Nya, supaya aku 

akan berbicara dan mengajukan perkaraku di hadapan-

Nya tanpa rasa takut terhadap Dia. Namun aku tidak 

menyadari kesalahanku. Awan itu belum juga menghi-

lang. Murka Allah masih tertuju kepadaku dan masih 

melahap semangatku seperti dahulu. Aku tidak tahu 

harus berbuat apa.” 

2. Dari semua hal ini, marilah kita mengambil kesempatan, 

(1) Untuk berdiri dengan takjub di hadapan Allah, dan takut 

kepada kekuatan murka-Nya. Apabila orang-orang baik saja 

telah dibuat begitu kebingungan olehnya, apakah yang akan 

terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa? 

(2) Untuk merasa iba terhadap orang-orang yang terluka roh-

nya, dan berdoa dengan sungguh bagi mereka, sebab da-

lam keadaan semacam itu, mereka tidak tahu cara men-

doakan diri sendiri. 

(3) Untuk dengan cermat menyimpan pikiran-pikiran yang baik 

tentang Allah dalam hati kita, sebab pikiran-pikiran buruk 

tentang diri-Nya merupakan jalan masuk banyak kejahatan. 

(4) Untuk memuji Allah sebab  kita tidak mengalami keadaan 

mengenaskan seperti Ayub yang malang itu, namun  berjalan 

dalam terang Tuhan. Marilah kita bersukacita dalam hal 

itu, namun ciumlah kaki-Nya dengan gemetar, bersukacita-

lah dengan gemetar. 

  

PASAL 10  

yub mengakui di sini bahwa dia sangat kebingungan (ay. 15), 

dan seperti dirinya yang bingung, begitu pula perkataannya: ia 

tidak tahu apa yang harus dikatakannya, dan mungkin terkadang 

hampir tidak menyadari apa yang telah dikatakannya. Di pasal ini, 

I. Ayub mengeluhkan kesukaran yang menimpanya (ay. 1-7), 

lalu menghibur dirinya sendiri dengan ini, bahwa ia berada di 

dalam tangan Allah yang membuatnya dan berseru kepada 

Allah akan hal itu (ay. 8-13).  

II. Ayub mengeluh lagi tentang beratnya perlakuan Allah kepa-

danya (ay. 14-17), lalu menghibur dirinya dengan ini, bahwa 

kematian akan mengakhiri penderitaannya (ay. 18-22). 

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad 

(10:1-7) 

1 “Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku, aku hen-

dak berbicara dalam kepahitan jiwaku. 2 Aku akan berkata kepada Allah: 

Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beper-

kara dengan aku. 3 Apakah untungnya bagi-Mu mengadakan penindasan, 

membuang hasil jerih payah tangan-Mu, sedangkan Engkau mendukung 

rancangan orang fasik? 4 Apakah Engkau mempunyai mata badani? Sama-

kah penglihatan-Mu dengan penglihatan manusia? 5 Apakah hari-hari-Mu se-

perti hari-hari manusia, tahun-tahun-Mu seperti hari-hari orang laki-laki,  

6 sehingga Engkau mencari-cari kesalahanku, dan mengusut dosaku, 7 pada-

hal Engkau tahu, bahwa aku tidak bersalah, dan bahwa tiada seorangpun 

dapat memberi kelepasan dari tangan-Mu? 

Di sini kita membaca,  

I. Tekad yang bulat untuk terus bersikukuh dalam keluhannya (ay. 

1). sebab  takut akan kemuliaan Allah, sehingga tidak dapat 

mengadukan perkaranya kepada Allah, Ayub bertekad untuk se-

dikit menenangkan dirinya dengan melampiaskan kemarahannya. 

Ia memulai dengan kata-kata yang keras: “Aku telah bosan hidup, 

bosan dengan tubuh ini, tidak sabar lagi untuk meninggalkannya, 

bertengkar dengan kehidupan, tidak suka padanya, muak pada-

nya, dan merindukan kematian.” sebab  kurangnya anugerah, ia 

malah berjalan ke arah yang berlawanan, sampai-sampai seperti 

mau memerintah alam sendiri. Kita lebih suka bersikap seperti 

manusia biasa daripada seperti orang kudus. Iman dan kesabaran 

akan menjaga kita dari merasa bosan akan hidup kita (dan muak 

padanya, begitulah beberapa orang menafsirkannya), bahkan saat 

Sang Penyelenggara membuat kita sangat bosan dengan hidup 

kita, sebab hal itu berarti bahwa kita bosan dengan teguran Allah. 

Ayub, sebab  penat dengan hidupnya dan tidak bisa mendapat-

kan ketenangan dari mana pun juga, akhirnya bertekad untuk 

mengeluh, bertekad untuk bicara. Ia tidak akan melampiaskan ke-

marahan jiwanya dengan tangan yang keras, namun  akan melam-

piaskan kepahitan jiwanya dengan kata-kata yang keras. Pecun-

dang berpikir mereka boleh berbicara semaunya. Orang dengan ke-

inginan yang tidak dikekang, seperti juga hawa nafsu yang tidak 

terkendali, sering kali menganggapnya sebagai dalih untuk pe-

nyimpangan mereka bahwa mereka tidak dapat mencegahnya. Ka-

lau begitu, untuk apa kita memiliki hikmat dan anugerah, kalau 

bukan untuk menjaga mulut kita seperti dipasangi kekang? Kece-

maran Ayub berbicara di sini, namun anugerah ikut menyisipkan 

suatu perkataan.  

1. Ayub ingin berkeluh-kesah, namun  ia hendak melampiaskan 

keluhannya pada dirinya sendiri. Ia tidak akan menyalahkan 

Allah, tidak akan menuding-Nya telah melakukan ketidakadil-

an atau kelaliman. Meski Ayub tidak mengerti dasar sebenar-

nya Allah beperkara dengannya dan penyebab di balik tindak-

an-Nya, namun, secara umum, ia menganggap penyebab itu 

ada di dalam dirinya sendiri dan ia dengan rela hati menang-

gung kesalahan itu.  

2. Ayub hendak berbicara, namun  kepahitan jiwanya yang akan 

diungkapkannya, bukan tudingan penghakimannya. Jika aku 

salah bicara, bukan aku lagi yang memperbuatnya, namun  dosa 

yang ada di dalam aku, bukan jiwaku, namun  kepahitannya. 

II. Permohonan yang rendah hati kepada Allah. Ayub hendak ber-

bicara, namun  kata-kata pertamanya yaitu  doa, dan, sebagai-

mana saya ingin meyakininya, doa itu doa yang baik (ay. 2).  

1. Agar ia dilepaskan dari sengat penderitaannya, yaitu dosa: “Ja-

ngan mempersalahkan aku. Jangan pisahkan aku selamanya 

dari-Mu. Sekalipun aku harus tertimpa salib, janganlah sam-

pai aku tertimpa kutuk. Sekalipun aku harus dipukul dengan 

tongkat Bapa, janganlah sampai aku ditebas dengan pedang 

Hakim. Engkau memang menegur aku. Aku akan menang-

gungnya sekuatku, namun  janganlah kiranya mempersalahkan-

ku!” Inilah penghiburan bagi mereka yang ada di dalam Kris-

tus Yesus, meskipun mereka menderita, tidak ada penghukum-

an bagi mereka (Rm. 8:1). Bahkan, mereka dididik, supaya me-

reka tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia (1Kor. 

11:32). sebab  itu, hal inilah yang seharusnya kita tolak di 

atas segalanya saat  kita menderita. “Bagaimana pun Engkau 

ingin memperlakukan Aku, Ya Tuhan, janganlah mempersa-

lahkan aku. Sahabat-sahabatku mempersalahkan aku, namun  

janganlah Engkau mempersalahkan aku.” 

2. Agar ia diberi tahu penyebab penderitaannya yang sebenarnya, 

dan itu pun dosa: Tuhan, beritahukanlah aku, mengapa Eng-

kau beperkara dengan aku. Saat Allah menindas kita, Dia se-

dang beperkara dengan kita, dan saat Dia beperkara dengan 

kita, pasti ada alasan di baliknya. Allah tidak pernah marah 

tanpa sebab, meskipun kita pernah marah kepada Allah. Kita 

harus ingin mengetahui alasannya, agar kita dapat bertobat 

dari hal itu, mematikannya, dan meninggalkan dosa yang 

membuat Allah beperkara dengan kita. Saat mencari apa yang 

menjadi kesalahan kita itu, izinkanlah hati nurani kita me-

lakukan tugasnya dan menyatakan kepada kita apa adanya 

(Kej. 42:21). 

III. Bantahan yang keras kepala terhadap Allah mengenai perlakuan-

Nya kepada Ayub. Kini Ayub benar-benar berbicara dalam kepahit-

an jiwanya, dengan berburuk sangka terhadap kebenaran Allahnya. 

1. Menurut Ayub tidaklah pantas, jika dilihat dari kebaikan Allah 

dan sifat-Nya yang penuh belas kasihan, untuk berlaku begitu 

keras kepada ciptaan-Nya sampai-sampai memberinya beban 

lebih daripada yang dapat ditanggungnya (ay. 3): Apakah un-

tungnya bagi-Mu mengadakan penindasan? Tentu saja tidak 

ada. Hal yang tidak disetujui Allah untuk dilakukan manusia 

(Rat. 3:34-36), Dia sendiri tidak akan melakukannya. “Tuhan, 

dalam perlakuan-Mu kepadaku, Engkau seperti membuang 

hasil jerih payah tangan-Mu, dan mendukung musuh-Mu. Tu-

han, apakah makna semua ini? Berdasarkan sifat-Mu, hal ini 

tidak dapat menyenangkan-Mu, dan berdasarkan nama-Mu, 

hal ini tidak akan memberi kemuliaan bagi-Mu. Lalu, mengapa 

Engkau berlaku seperti itu kepadaku? Apakah untungnya ka-

lau darahku tertumpah?” Jauhlah dari Ayub untuk berpikir 

bahwa Allah telah melakukan kesalahan kepadanya, namun  ia 

kehabisan akal untuk dapat menarik benang merah antara 

penyelenggaraan-Nya dan keadilan-Nya, seperti yang sering 

kali dialami oleh orang benar, dan ia harus menunggu hingga 

waktu mengungkapkannya. sebab  itu, janganlah kita me-

nyimpan pikiran buruk mengenai Allah, sebab nanti kita pasti 

akan melihat bahwa tidak ada alasan untuk pikiran-pikiran 

seperti itu. 

2. Menurut Ayub tidaklah pantas bagi Allah yang pengetahuan-

Nya tidak terbatas untuk menindas tawanan-Nya seperti itu, 

seolah-olah dengan penyiksaan, untuk mendapatkan pengaku-

an darinya (ay. 4-6).  

(1) Ayub yakin bahwa Allah tidak mencari-cari sesuatu, atau 

menghakiminya, seperti manusia: Dia bukan mempunyai 

mata badani (ay. 4), sebab Dia yaitu  Roh. Mata badani 

tidak dapat melihat dalam gelap, namun  kegelapan tidak 

menggelapkan bagi Allah. Mata badani hanya bisa melihat 

ke satu tempat pada suatu waktu, dan hanya bisa melihat 

sedikit saja, namun  mata Tuhan ada di segala tempat, dan 

menjelajah seluruh bumi. Ada banyak hal yang tersembunyi 

bagi mata badani, bahkan mata yang paling penasaran dan 

jeli. Ada jalan setapak yang bahkan mata elang tidak meli-

hatnya. Namun tidak ada, atau tidak bisa ada, yang ter-

sembunyi dari mata Allah, yang bagi-Nya semua hal telan-

jang dan terbuka. Mata badani hanya melihat penampilan 

luar, dan dapat tertipu oleh deceptio visus – tipuan indra. 

Namun, Allah melihat segala sesuatu dengan benar. Pan-

dangan-Nya tidak dapat ditipu, sebab Dia menguji hati, dan 

menjadi saksi terhadap pikiran dan maksud hati orang. 

Mata badani memahami sesuatu perlahan-lahan, dan, saat 

kita benar-benar melihat suatu hal, kita kehilangan pan-

dangan akan hal lain. namun  Allah melihat segala sesuatu 

dalam satu pandangan. Mata badani cepat lelah, harus di-

pejamkan setiap malam, namun  penjaga Israel tidak terlelap 

dan tidak tertidur, tidak pula pandangannya pernah me-

mudar. Allah tidak melihat seperti manusia melihat, yakni, 

Dia tidak menghakimi seperti manusia menghakimi. Se-

baik-baiknya pun manusia hanya menghakimi secundum 

allegata et probata – berdasarkan apa yang dikira dan di-

buktikannya, sebagaimana sesuatu kelihatan dan bukan 

sebagaimana adanya. Penghakiman manusia sering kali 

dibawa mengikuti arah perasaan, keinginan, prasangka, 

dan kepentingannya. namun  kita tahu bahwa penghakiman 

Allah berdasarkan pada kebenaran, dan bahwa Dia menge-

tahui kebenaran, bukan sebab  keterangan orang, namun  

sebab  penyelidikan-Nya sendiri. Manusia mengungkap ra-

hasia dengan melakukan pencarian, memeriksa saksi-saksi, 

membandingkan bukti dan memberi dugaan, dan membujuk 

atau memaksa pihak-pihak yang terlibat untuk mengaku. 

Namun, Allah tidak memerlukan satu pun dari cara-cara 

ini: Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah.  

(2) Ayub yakin Allah tidaklah berpikiran pendek, seperti ma-

nusia, dan Dia tidak berumur pendek (ay. 5): “Apakah hari-

hari-Mu seperti hari-hari manusia, sedikit saja dan buruk 

adanya? Apakah hari-hari-Mu silih berganti, atau pasti ber-

ubah, seperti hari-hari manusia? Tidak, tentu saja tidak.” 

Manusia bertumbuh menjadi semakin bijaksana lewat 

pengalaman dan menjadi semakin berpengetahuan lewat 

pengamatan sehari-hari. Bagi manusia, kebenaran berjalan 

beriringan dengan waktu, sebab  itu, mereka harus menye-

diakan waktu untuk mencari, dan, jika satu percobaan 

gagal, mereka harus mencoba yang lain. Namun tidak de-

mikian halnya dengan Allah. Bagi-Nya, tidak ada masa lalu, 

tidak ada masa depan, namun  segala sesuatu yaitu  masa 

sekarang. Hari-hari, yang dipakai untuk mengukur hidup 

manusia, tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ta-

hun-tahun kekekalan, yang di dalamnya kehidupan Allah 

terbungkus. 

(3) sebab  itu, sungguh aneh, menurut Ayub, bahwa Allah ha-

rus memperpanjang siksaannya, dan terus mengurungnya 

dalam penderitaan ini. Allah tidak membawanya ke dalam 

pencobaan atau memberinya kebebasan, seolah-olah Dia 

perlu banyak waktu untuk mencari-cari kesalahannya, dan 

memakai  cara-cara untuk mengusut dosanya (ay. 6). 

Bukannya seolah-olah Ayub berpikir bahwa Allah menyik-

sanya sedemikian agar Dia dapat mencari-cari kesalahan 

Ayub. Namun, ada segi dalam perlakuan Allah kepada Ayub 

yang tidak mulia bagi Allah, dan akan mendorong manusia 

untuk berpikir bahwa Dia seorang tuan yang kejam. “Tu-

han, jika Engkau tidak mau mempertimbangkan ketenang-

anku, pertimbangkanlah kehormatan-Mu sendiri. Lakukan-

lah sesuatu oleh sebab  nama-Mu yang besar, dan janganlah 

Engkau menghinakan takhta kemuliaan-Mu” (Yer. 14:21). 

3. Menurut Ayub, Allah seperti menyalahgunakan kemahakuasa-

an-Nya dengan menahan seorang pesakitan yang malang da-

lam penawanan-Nya, yang Dia tahu tidak bersalah. Menurut-

nya, Allah berbuat demikian sebab  memang tidak ada yang 

mampu melepaskan diri dari tangan-Nya: Engkau tahu bahwa 

aku tidak bersalah (ay. 7, KJV: Engkau tahu bahwa aku tidak 

fasik). Ayub sudah mengakui dirinya orang berdosa, dan ber-

salah di hadapan Allah. Namun, di sini, dia bersikeras bahwa 

dia tidak fasik, tidak melakukan dosa, bukan musuh Allah, 

bukan orang munafik dalam agamanya, bahwa dia tidak ber-

laku fasik terhadap Allahnya (Mzm. 18:22). “Akan namun , tidak 

ada yang dapat melepaskan dari tangan-Mu, dan sebab  itu 

tidak ada jalan keluar. Aku harus berpuas diri dengan ber-

baring saja di sana, menunggu waktu-Mu, dan memasrahkan 

diri pada belas kasihan-Mu, tunduk pada kedaulatan kehen-

dak-Mu.” Lihatlah di sini, 

(1) Hal yang seharusnya membuat kita tenang dalam kesulitan 

kita, yaitu bahwa tidak ada gunanya berbantah dengan 

yang Mahakuasa. 

(2) Hal yang akan sangat menghiburkan kita, yaitu jika kita 

mau mengadukan perkara kita kepada Allah, seperti yang

 dikatakan Ayub di sini, “Tuhan, Engkau tahu bahwa aku 

tidak fasik. Aku tidak dapat mengatakan bahwa aku tidak 

punya kekurangan, atau aku tidak lemah. Namun, dengan 

anugerah, aku dapat berkata, Aku tidak fasik: Engkau tahu 

aku tidak fasik, sebab Engkau tahu bahwa aku mengasihi 

Engkau.” 

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad  

(10:8-13) 

8 Tangan-Mulah yang membentuk dan membuat aku, namun  kemudian Eng-

kau berpaling dan hendak membinasakan aku? 9 Ingatlah, bahwa Engkau 

yang membuat aku dari tanah liat, namun  Engkau hendak menjadikan aku 

debu kembali? 10 Bukankah Engkau yang mencurahkan aku seperti air susu, 

dan mengentalkan aku seperti keju? 11 Engkau mengenakan kulit dan daging 

kepadaku, serta menjalin aku dengan tulang dan urat. 12 Hidup dan kasih 

setia Kaukaruniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.  

13 namun  inilah yang Kausembunyikan di dalam hati-Mu; aku tahu, bahwa 

inilah maksud-Mu: 

Dalam ayat-ayat ini, kita dapat mengamati, 

I. Betapa Ayub memandang Allah sebagai Pencipta dan pemelihara, 

dan menjelaskan ketergantungannya kepada Allah sebagai pen-

cipta dan penopang keberadaannya. Inilah hal pertama yang perlu 

kita semua ketahui dan renungkan. 

1. Bahwa Allah-lah yang menciptakan kita, Dia, bukan orangtua 

kita, yang hanya alat bagi kuasa dan penyelenggaraan-Nya 

dalam penciptaan kita. Dialah yang telah menjadikan kita dan 

punya Dialah kita. Tangan-Nyalah yang membentuk dan mem-

buat tubuh kita ini dan setiap bagiannya (ay. 8), dan kejadian 

kita dahsyat dan ajaib. Begitu pula dengan jiwa, yang meng-

hidupkan tubuh, yaitu  karunia-Nya. Ayub memperhatikan ke-

duanya di sini. 

(1) Tubuh dibuat dari tanah liat (ay. 9, KJV: dibuat seperti tanah 

liat), dicetak menjadi berbentuk, menjadi bentuk ini, seperti 

tanah liat dibentuk menjadi bejana, sesuai dengan keahlian 

dan kehendak si tukang periuk. Kita ini bejana tanah liat, 

hina asalnya, dan mudah hancur berkeping-keping, sebab  

dibentuk seperti tanah liat. Dapatkah yang dibentuk ber-

kata kepada yang membentuknya: Mengapakah engkau 

membentuk aku demikian? Kita tidak boleh bangga dengan 

tubuh kita, sebab  bahannya dari tanah, namun  juga jangan 

pula tidak menghormati tubuh kita, sebab cetakan dan 

bentuknya berasal dari hikmat ilahi. Pembentukan tubuh 

manusia di dalam rahim digambarkan dengan sebuah per-

bandingan yang anggun (ay. 10, Engkau yang mencurahkan 

aku seperti air susu, dan mengentalkan aku seperti keju), 

dan ditambahkan dengan beberapa perincian (ay. 11). Wa-

laupun kita datang ke dalam dunia telanjang, namun tu-

buh itu sendiri diberi pakaian dan senjata. Kulit dan daging 

pakaiannya. Tulang dan urat senjatanya, bukan untuk me-

nyerang, namun  mempertahankan diri. sebab  itu, bagian-

bagian yang vital, seperti jantung dan paru-paru, diberi 

pakaian yang demikian juga, agar tidak terlihat, dipagari, 

agar tidak terluka. Struktur tubuh manusia yang menga-

gumkan menjadi contoh gambaran kuasa hikmat, dan ke-

baikan Sang Pencipta. Alangkah sayangnya jika tubuh men-

jadi alat ketidakbenaran, padahal seharusnya bisa menjadi 

bait Roh Kudus! 

(2) Jiwa itu kehidupan, jiwa itu manusia, dan ini karunia Allah. 

Hidup Kaukaruniakan kepadaku. Engkau mengembuskan 

ke dalamku napas hidup, yang tanpanya tubuh ini hanya-

lah bangkai yang tidak berguna. Allah itu Bapa segala roh. 

Dia membuat kita menjadi jiwa yang hidup, dan memper-

lengkapi kita dengan kuasa untuk berpikir. Dia memberi 

kita hidup dan perkenanan, dan hidup itu perkenanan – 

perkenanan yang besar, lebih besar daripada makanan, 

lebih besar daripada pakaian. Itu perkenanan yang mem-

bedakan, yang memberi kita kemampuan untuk menerima 

perkenanan yang lain. Nah, di sini Ayub berada dalam kon-

disi pikiran yang lebih baik dibandingkan saat dia berban-

tah dengan kehidupan sebagai beban, dan bertanya, Meng-

apa aku tidak mati waktu aku lahir? Atau, yang dimaksud 

Ayub dengan hidup dan perkenanan mungkin hidup dan 

semua kenyamanan hidup, yang mengacu pada kesejahtera-

annya dahulu. Ada masa saat  Ayub berjalan dalam cahaya 

perkenanan ilahi, dan berpikir, seperti Daud, bahwa oleh 

sebab  perkenanan itu, gunungnya berdiri kokoh.

2. Bahwa Allah memelihara kita. Setelah menyalakan pelita kehi-

dupan, Allah tidak membiarkannya terbakar di atas alasnya 

sendiri, namun  terus memperlengkapinya dengan minyak baru: 

“Pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku, membuatku tetap hidup, 

melindungiku dari musuh kehidupan, kematian yang mengeli-

lingi kita dan bahaya yang terus kita hadapi, dan memberkati-

ku dengan semua penopang hidup yang perlu dan bekal hari-

an yang dibutuhkan dan dirindukannya.” 

II. Bagaimana Ayub mengadukan hal ini kepada Allah, dan manfaat 

yang dipetik Ayub. Ayub mengingatkan Allah (ay. 9): Ingatlah, bah-

wa Engkau yang membuat aku. Lalu mengapa? Apa alasannya, 

1. “Engkau yang membuat aku, dan sebab  itu Engkau mengenal 

aku dengan sempurna (Mzm. 139:1-13), tidak perlu Engkau 

memeriksa aku dengan menyesah, atau menyiksa aku untuk 

menyelidiki yang ada di dalam hatiku.” 

2. “Engkau telah membuat aku, seperti tanah liat, dengan kedau-

latan kuasa-Mu. Jadi masakan Engkau hendak menghancur-

kan aku kembali dengan kedaulatan kuasa-Mu itu juga? Jika 

memang demikian, Aku harus tunduk.” 

3. “Apakah Engkau hendak menghancurkan perbuatan tangan-

Mu sendiri?” Inilah seruan yang sering dinaikkan orang kudus 

dalam doa, Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk 

kami (Yes. 64:8). Tangan-Mu telah menjadikan aku dan mem-

bentuk aku (Mzm. 119:73). Di sini, Engkau yang membuat aku, 

dan akankah Engkau menghancurkan aku lagi (ay. 8), apakah 

Engkau hendak menjadikan aku debu kembali? (ay. 9). “Tidak 

kasihankah Engkau terhadap aku? Tidak maukah Engkau me-

luputkan dan menolong aku, dan menopang perbuatan tangan-

Mu? (Lih. Mzm. 138:8). Engkau yang membuat aku dan me-

ngenal kekuatanku. Akankah Engkau membiarkan aku dite-

kan di luar batas kekuatanku? Apakah aku dijadikan untuk 

disengsarakan? Apakah aku diluputkan hanya untuk diper-

siapkan untuk malapetaka ini?” Jika kita mengatakan hal ini 

kepada diri kita sendiri sebagai pendorong untuk melakukan 

kewajiban kita, “Allah telah membentuk aku dan memelihara 

aku, sebab  itu aku akan melayani-Nya dan tunduk kepada-

Nya,” maka kita dapat mengemukakan hal ini kepada Allah se-

bagai permohonan untuk mendapat belas kasihan: Engkau 

telah membuat aku, menjadi baru, bentuklah aku. Aku kepu-

nyaan-Mu, selamatkanlah aku. Ayub tidak tahu bagaimana 

harus mendamaikan perkenanan Allah yang telah diterimanya 

sebelumnya dengan murka-Nya sekarang ini, sehingga ia me-

nyimpulkan (ay. 13), “Inilah yang Kausembunyikan di dalam 

hati-Mu. Perkenanan dan murka berasal dari rancangan hati-

Mu sendiri, dan sebab  itu keduanya pasti selaras, bagaimana 

pun kelihatannya.” Saat Allah tanpa dapat dimengerti meng-

ubah jalan-Nya, meskipun kita tidak dapat memahaminya, 

kita harus percaya bahwa ada alasan baik yang tersembunyi di 

dalam hati-Nya, yang akan segera dinyatakan. Bukanlah bagi-

an kita, atau dalam jangkauan kita, untuk menerangkan penye-

babnya, namun  aku tahu, bahwa inilah maksud-Mu. Allah menge-

tahui segala perbuatan-Nya. 

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad  

(10:14-22) 

14 kalau aku berbuat dosa, maka Engkau akan mengawasi aku, dan Engkau 

tidak akan membebaskan aku dari pada kesalahanku. 15 Kalau aku bersalah, 

celakalah aku! dan kalau aku benar, aku takkan berani mengangkat kepala-

ku, sebab  kenyang dengan penghinaan, dan sebab  melihat sengsaraku;  

16 Kalau aku mengangkat kepalaku, maka seperti singa Engkau akan memburu 

aku, dan menunjukkan kembali kuasa-Mu yang ajaib kepadaku. 17 Engkau 

akan mengajukan saksi-saksi baru terhadap aku, – Engkau memperbesar kege-

raman-Mu terhadap aku – dan pasukan-pasukan baru, bahkan bala tentara 

melawan aku. 18 Mengapa Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan? 

Lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku! 19 Maka aku seolah-olah 

tidak pernah ada; dari kandungan ibu aku langsung dibawa ke kubur. 20 Bu-

kankah hari-hari umurku hanya sedikit? Biarkanlah aku, supaya aku dapat 

bergembira sejenak, 21 sebelum aku pergi, dan tidak kembali lagi, ke negeri 

yang gelap dan kelam pekat, 22 ke negeri yang gelap gulita, tempat yang kelam 

pekat dan kacau balau, di mana cahaya terang serupa dengan kegelapan.”  

Pada perikop ini diceritakan mengenai, 

I.  Keluhan Ayub yang menggebu-gebu. Pada dawai kecapi yang ka-

sar dan tidak menyenangkan ini, Ayub banyak memetik. Walau-

pun tidak dapat dibenarkan, dia bisa dimaklumi. Dia mengeluh 

bukan tanpa sebab, seperti orang Israel yang bersungut-sungut, 

namun  ada alasan dia mengeluh. Jika menurut kita dia kelihatan 

buruk dengan keluhannya, biarlah hal itu menjadi peringatan 

bagi kita untuk menjaga suasana hati kita dengan lebih baik. 

1. Ayub mengeluh akan kerasnya penghakiman Allah dan kaku-

nya dakwaan-Nya terhadap Ayub, dan hampir-hampir menye-

butnya summum jus – keadilan yang hampir seperti kekejaman. 

(1) Bahwa Allah mencari-cari kelemahan Ayub: “Kalau aku ber-

buat dosa, maka Engkau akan mengawasi aku (ay. 14). Ka-

lau Aku salah dalam mengambil satu langkah saja, salah 

menempatkan satu kata, atau salah dalam melihat, aku 

pasti akan mendengarnya. Hati nuraniku, perwakilan-Mu, 

pasti akan menegurku dengan hal itu, dan memberitahuku 

bahwa teguran ini, sentakan nyeri ini, untuk menghukum-

ku sebab  hal itu.” Kalau Allah memang mengingat-ingat 

kesalahan seperti itu, maka binasalah kita. Namun, kita ha-

rus mengakui yang sebaliknya, bahwa sekalipun kita ber-

dosa, Allah tidak memperlakukan kita dengan sangat keras.  

(2) Bahwa Allah mengadili kelemahan itu sedalam-dalamnya: 

Engkau tidak akan membebaskan aku dari pada kesa-

lahanku. Dalam kesulitannya, Ayub tidak dapat merasakan 

penghiburan dari pengampunan-Nya, atau mendengar sua-

ra sukacita dan kesukaan. Begitu sulitnya melihat kasih 

dalam hati Allah saat kita melihat kernyitan di dahi-Nya 

dan tongkat di tangan-Nya. 

(3) Bahwa, apa pun wataknya, keadaannya saat ini sangat 

tidak menyenangkan (ay. 15). 

[1] Kalau ia fasik, ia pasti hancur di dunia yang lain: Kalau 

aku bersalah, celakalah aku! Perhatikanlah, keadaan 

bersalah yaitu  keadaan yang celaka. Hal ini harus di-

percayai oleh setiap kita, seperti Ayub di sini, dengan 

menerapkannya pada diri kita sendiri: “Kalau aku ber-

salah, walaupun dalam kelimpahan dan hidup dalam 

kesenangan, celakalah aku.” Beberapa orang khusus-

nya memiliki alasan untuk gentar akan celaka dua kali 

lipat jika mereka bersalah. “Aku memiliki pengetahuan, 

memiliki kesaksian yang luar biasa dalam agama, be-

gitu sering mendapat peneguhan yang kuat, dan telah 

membuat begitu banyak janji yang indah. Aku terlahir 

dari orangtua yang baik, diberkati dengan pendidikan 

yang baik, hidup dalam keluarga yang baik, dan sudah 

lama menikmati sarana anugerah. Kalau aku bersalah, 

celakalah, bahkan seribu kali celaka aku.”  

[2] Walau Ayub benar, tetap ia tidak berani mengangkat ke-

palanya, tidak berani membantah seperti sebelumnya 

(9:15). Ayub begitu tertekan dan kewalahan dengan ke-

sulitannya sampai-sampai ia tidak bisa mendongak de-

ngan perasaan nyaman dan yakin. Di luar ada perban-

tahan, di dalam ada ketakutan. sebab  itu, di antara 

keduanya, ia penuh dengan kebingungan, bukan hanya 

perasaan malu sebab  cela yang merendahkannya dan 

cercaan teman-temannya, namun  juga kebingungan roh. 

Pikirannya terus berpacu, dan ia hampir putus asa 

(Mzm. 88:16). 

2. Ayub mengeluhkan beratnya hukuman. Allah (menurut Ayub) 

bukan hanya menghukumnya untuk setiap kegagalan, namun  

juga menghukumnya dalam tingkatan yang tinggi (ay. 16-17). 

Kesengsaraannya, 

(1) Pedih, sangat pedih, ajaib, sangat ajaib. Allah memburunya 

seperti singa, seperti singa buas memburu dan menghabisi 

mangsanya. Allah bukan hanya asing baginya, namun  me-

nunjukkan kembali kuasa-Nya yang ajaib kepadanya, de-

ngan membawanya ke dalam kesulitan yang luar biasa 

sehingga menjadikannya contoh yang menakjubkan, tanda 

ajaib bagi banyak orang. Semua orang takjub bahwa Allah 

mau menindas dan bahwa Ayub sanggup menanggung se-

berat itu. Hal yang membuat kesengsaraan Ayub terasa 

sangat pedih yaitu  sebab  ia merasakan kegeraman Allah 

di dalamnya. Inilah yang membuat kesengsaraannya terasa 

begitu pahit dan begitu berat. Kesengsaraan itu saksi-saksi 

Allah terhadapnya, tanda ketidaksenangan-Nya. Hal ini mem-

buat barah di tubuhnya menjadi luka di rohnya. 

(2) Bertambah dan terus bertambah berat. Hal ini sangat dite-

kankan Ayub. saat  ia berharap arus pasang itu berbalik, 

dan mulai surut, ternyata arus itu terus naik dan naik, 

lebih tinggi lagi. Kesengsaraannya semakin berat, begitu 

pula kegeraman Allah dalam kesengsaraan itu. Dia men-

dapati dirinya tidak menjadi semakin baik, tidak mungkin 

semakin baik. Saksi-saksi baru diajukan terhadapnya, su-

paya jika yang satu tidak berhasil menuduhnya, yang lain 

berhasil. Perubahan-perubahan dan peperangan melawan 

dia. Jika ada perubahan bagi Ayub, perubahan itu bukan 

untuk kebaikan. Masih saja ia terkurung dalam keadaan 

perang. Selama kita ada di sini, di dunia ini, kita harus 

berharap bahwa awan akan berbalik setelah hujan, dan 

mungkin pencobaan yang paling berat dan paling tajam da-

pat disimpan sebagai pencobaan terakhir. Allah berperang 

melawan Ayub, dan hal itu suatu perubahan yang besar. 

Allah tidak biasanya seperti itu. Hal itu yang memberatkan 

kesengsaraan Ayub dan membuatnya menjadi benar-benar 

ajaib. Allah biasanya menampilkan dirinya baik hati kepa-

da umat-Nya. Jika pada suatu waktu Ia menampilkan diri-

Nya tidak demikian, itulah perbuatan-Nya yang tidak biasa, 

pekerjaan-Nya yang ajaib (Yes. 28:21, KJV), dan Dia mela-

kukannya untuk menampilkan diri-Nya menakjubkan.  

3. Ayub mengeluhkan hidupnya, dan bahwa ia dilahirkan untuk 

mengalami semua masalah dan penderitaan ini (ay. 18-19): 

“Jika ini sudah dirancangkan untuk menjadi bagianku, meng-

apa aku dikeluarkan dari kandungan, mengapa tidak dibiarkan 

aku terkubur di sana, atau mati lemas saat dilahirkan?” Inilah 

bahasa kemarahan Ayub, dan di sini ia terjatuh lagi dalam 

dosa yang sama sebelumnya. Baru saja ia menyebut hidup 

sebagai kasih setia (ay. 12), kini ia menyebutnya beban, dan 

berbantah dengan Allah sebab  memberikannya, dan lebih suka 

mengembalikannya kepada Allah. Tuan Caryl memberi penaf-

siran baik yang membela Ayub. “Kita bisa dengan baik hati 

menduga,” katanya, “bahwa yang menyusahkan Ayub bahwa 

ia sedang berada dalam kondisi kehidupan (menurut pema-

haman Tuan Caryl) yang menghalangi tujuan utama hidupnya, 

yaitu memuliakan Allah. Kecapinya telah digantungkannya di 

pohon gandarusa, dan dia sedikit sumbang dalam memuji 

Allah. Bahkan, Ayub takut kesusahannya menjadi kehinaan 

bagi Allah dan memberi kesempatan pada musuh-Nya untuk 

menghujat. Oleh sebab  itu, ia berharap, lebih baik aku bi-

nasa! Seorang yang saleh menganggap hidupnya tanpa tujuan 

jika ia tidak hidup untuk memuji dan memuliakan Allah.” Jika 

itu yang dimaksudkan Ayub, maka pemikiran itu memiliki da-

sar yang salah. Sebab, kita dapat memuliakan Tuhan di dalam 

api. Namun, ada hikmah ini yang dapat kita tarik dari perkara 

ini, bahwa janganlah kita terlalu suka pada hidup, sebab ada-

kalanya bahkan orang benar dan orang baik sekalipun menge-

luhkan hidup. Mengapa kita harus takut mati, atau begitu 

ingin dilihat manusia, sebab waktunya bisa saja terjadi saat  

kita berharap seandainya sudah mati dan tidak ada mata yang 

melihat kita? Mengapa kita harus berlebihan meratapi anak-

anak kita yang meninggal saat  masih bayi, yang seolah-olah 

tidak pernah ada, dan dari kandungan ibu langsung dibawa ke 

kubur, bila kita sendiri mungkin adakalanya berharap begitu-

lah nasib kita? 

II. Permintaan Ayub yang rendah hati. Ia memohon,  

1. Agar Allah melihat sengsaranya (ay. 15), memperhatikan per-

karanya, dan mengambilnya ke dalam pertimbangan-Nya yang 

penuh belas kasihan. Demikianlah Daud berdoa, Tiliklah seng-

saraku dan kesukaranku (Mzm. 25:18). Demikianlah kita seha-

rusnya, dalam kesulitan kita, membawa diri kita kepada Allah, 

dan menenangkan diri kita dengan hal ini, bahwa Dia menge-

tahui kesesakan jiwa kita.  

2. Agar Allah memberinya sedikit ketenangan. Jika ia tidak dapat 

meminta agar kesusahannya dihapuskan, tidak bolehkah dia 

meminta sedikit jeda? “Tuhan, janganlah biarkan aku selalu 

dalam siksaan, selalu dalam kesesakan hebat: Biarkanlah aku, 

supaya aku dapat bergembira sejenak (ay. 20). Berikanlah aku 

sedikit kelegaan, waktu untuk bernapas, sedikit kenyamanan.” 

Hal ini dianggapnya berkat yang besar. Orang yang tidak ber-

syukur sebagaimana mestinya untuk kenyamanan yang terus-

menerus mereka nikmati, seharusnya berpikir betapa berhar-

ganya satu jam kenyamanan saat  mereka menderita kesakit-

an terus-menerus. Ada dua hal yang diserukan Ayub: 

(1) Bahwa kehidupan dan cahaya terangnya sangat singkat: 

“Bukankah hari-hari umurku hanya sedikit? (ay. 20). Ya, 

tentu saja, sangat sedikit. Tuhan, janganlah biarkan semua 

hari-hariku dalam kesengsaraan, seluruhnya dalam pende-

ritaan sehebat-hebatnya. Aku hanya memiliki sedikit waktu 

untuk hidup. Biarkanlah aku mendapatkan sedikit penghi-

buran hidup sebelum hidupku berakhir.” Permohonan ini 

dilabuhkan pada sifat kebaikan Allah, perenungan hal ini 

sangat menghibur bagi roh yang tertindas. Dan, jika kita 

memakai permohonan ini untuk memohon belas kasihan 

Allah (“Bukankah hari-hari umurku hanya sedikit? Tuhan, 

kasihanilah aku”), maka kita harus memakainya sebagai 

seruan kepada diri kita sendiri, untuk menyadarkan diri 

kita akan kewajiban kita: “Bukankah hari-hari umurku 

hanya sedikit? Maka, aku perlu mempergunakan waktu 

yang ada, untuk memanfaatkan kesempatan sebaik-baik-

nya, untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya segala 

yang dijumpai tanganku untuk dikerjakan, supaya aku 

siap menghadapi hari kekekalan, yang banyak jumlahnya.” 

(2) Bahwa kematian dan kegelapannya sangat dekat dan akan 

sangat lama (ay. 21-22): “Tuhan, berilah aku sedikit kete-

nangan sebelum aku mati,” artinya, “supaya jangan aku 

mati dalam kesakitanku.” Demikianlah Daud memohon 

(Mzm. 13:4), “Supaya jangan aku tertidur dan mati, sehing-

ga sudah terlambat untuk mengharapkan kelegaan. Sebab, 

bagaimana mungkin Kaulakukan keajaiban bagi orang-

orang mati?” (Mzm. 88:11). “Izinkanlah aku mendapatkan 

sedikit kelegaan sebelum aku mati, supaya aku meninggal-

kan dunia ini dengan tenang, dan bukan dalam kebingung-

an seperti yang kurasakan sekarang ini.” Demikianlah kita 

harus bersungguh-sungguh menginginkan anugerah, kare-

na itu kita harus berseru, “Tuhan perbaruilah manusia ba-

tiniahku. Tuhan, kuduskanlah aku sebelum aku mati, se-

bab jika tidak, hal itu tidak akan pernah terjadi.” Lihatlah 

bagaimana Ayub berbicara di sini tentang keadaan kemati-

an. 

[1] Kematian yaitu  keadaan yang tetap, dari sana kita tidak 

akan kembali lagi untuk menghidupi hidup seperti yang 

kita hidupi sekarang (7:10). Saat kematian tiba, kita 

harus mengucapkan selamat tinggal terakhir kepada 

dunia ini. Tubuh harus disemayamkan di tempatnya 

berbaring selamanya, dan jiwa ditentukan bagaimana 

keadaannya untuk selamanya. Persiapan itu harus dila-

kukan dengan benar, sebab hanya dapat dilakukan se-

kali, dan untuk selamanya. 

[2] Kematian yaitu  keadaan yang suram. Demikianlah hal 

itu tampaknya bagi kita. Jiwa-jiwa kudus, pada saat 

kematian, berpindah ke negeri terang, tempat kematian 

tidak ada. Namun, tubuh mereka ditinggalkan di negeri 

yang gelap dan kelam pekat. Ayub melontarkan banyak 

ungkapan di sini dengan pengertian yang sama untuk 

menunjukkan bahwa ia sendiri memiliki ketakutan dan 

kengerian besar akan kematian dan kubur, sama seper-

ti yang dirasakan orang lain secara alami. Hanya ke-

sengsaraan berat yang dialaminya yang membuat Ayub 

berharap untuk mati. Marilah dan coba melongok sedi-

kit ke dalam kubur, dan kita akan mendapati,  

Pertama, bahwa tidak ada aturan di sana: tempat itu 

kacau balau, terus-menerus malam, tanpa ada siang 

yang mengikuti. Semua terbaring di sana dengan ting-

katan yang sama, tidak ada pembedaan antara raja 

atau rakyat jelata, namun  budak bebas dari pada tuan-

nya (3:19). Tidak ada aturan yang diikuti dalam mengu-

burkan orang, bukan yang paling tua lebih dahulu, atau 

yang paling kaya, atau yang paling miskin, namun  setiap 

orang masuk ke kubur dalam urutannya sendiri, urutan 

yang ditetapkan oleh Allah atas kehidupan ini.  

Kedua, bahwa tidak ada terang di sana. Di dalam 

kubur ada kegelapan yang pekat, kegelapan yang me-

mang tidak dapat diraba, namun  tidak bisa tidak ditakuti 

oleh mereka yang menikmati terang hidup. Di dalam 

kubur tidak ada pengetahuan, tidak ada penghiburan, 

tidak ada sukacita, tidak ada puji-pujian kepada Allah, 

tidak ada pekerjaan untuk keselamatan, dan sebab  itu 

tidak ada terang. Ayub begitu malu kalau orang lain me-

lihat barahnya, dan begitu takut untuk melihatnya sen-

diri, sehingga kegelapan kubur, yang akan menyembu-

nyikan dan menimbun barahnya itu, sangat disambut