dak bersalah dan juga bagi iman mereka,
yang memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan (1Ptr.
1:7; Mzm. 66:10).
Menuju orang benar anak panah Yang Mahakuasa melesat,
Sebab Ia senang orang yang tidak bersalah diuji,
Untuk menunjukkan pikiran mereka tetap dan menyerupai Allah,
Bukan hancur sebab penderitaan, namun sebab dihaluskan.
– Sir R. Blackmore
Biarlah hal ini memperdamaikan anak-anak Allah dengan se-
mua kesukaran mereka. Kesukaran itu hanyalah ujian, dirancang
untuk kehormatan dan keuntungan mereka. Dan, apabila Allah
berkenan mendatangkan kesukaran-kesukaran itu, janganlah
mereka merasa tidak senang. Apabila Ia mengolok-olok keputus-
asaan (KJV: menertawakan ujian bagi) orang yang tidak bersalah,
hendaklah mereka tahu betapa mulia hasil yang akan diperoleh
nanti. Dan biarlah mereka juga mengolok-olok kehancuran dan
kelaparan (5:22), dan bermegah di atasnya sambil berkata, Hai
maut, di manakah sengatmu? Di sisi lain, orang fasik begitu jauh
dari sasaran penghakiman Allah hingga bumi telah diserahkan ke
dalam tangan mereka (ay. 24). Mereka menikmati harta milik yang
banyak dan kuasa besar, memiliki apa pun yang mereka mau,
dan melakukan apa yang mereka kehendaki. Ke dalam tangan
orang fasik (dalam naskah asli, bentuk kata ini tunggal), yaitu si
Iblis, si jahat itu, disebut ilah zaman ini. Ia menyombongkan diri
bahwa ke dalam tangannyalah bumi telah diserahkan (Luk. 4:6).
Atau ke dalam tangan seorang fasik, yaitu (sebagaimana yang
diperkirakan Uskup Patrick dan Assembly’s Annotations) seorang
penguasa lalim terkemuka yang pada masa itu tinggal di kawasan
itu. Kejahatan dan kekayaannya yang luar biasa cukup dikenal
oleh Ayub dan sahabat-sahabatnya. Kepada orang fasik, bumi te-
lah diberikan, namun kepada orang benar, sorgalah yang diberikan,
dan manakah yang lebih baik, sorga tanpa bumi atau bumi tanpa
sorga? Dalam campur tangan-Nya, Allah memajukan orang-orang
fasik, sementara mata orang-orang yang pantas menjadi hakim
telah ditutup-Nya, yaitu orang-orang yang bijaksana dan baik
serta memenuhi syarat untuk memerintah. Ia mengubur orang-
orang bijaksana itu hidup-hidup dalam keadaan tidak dikenal,
mungkin juga membiarkan mereka diremehkan dan dikecam.
Wajah mereka ditutup bagaikan penjahat oleh orang-orang fasik,
yang ke dalam tangannya bumi telah diserahkan. Setiap hari kita
bisa melihat hal ini terjadi. Kalau bukan Allah yang melakukan-
nya, oleh siapa lagi? Siapa lagi selain Dia yang memerintah kera-
jaan-kerajaan manusia, dan memberikannya kepada siapa pun
yang dikehendaki-Nya? (Dan. 4:32). Namun demikian,
2. Haruslah diakui bahwa terdapat terlalu banyak amarah dalam
kata-kata Ayub di sini. Cara mengutarakan isi hatinya bernada
mengeluh. saat ia bermaksud bahwa Allah menyebabkan pen-
deritaan, ia seharusnya tidak berkata, yang tidak bersalah dan
yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya. saat ia bermak-
sud bahwa Allah menyukakan diri dengan ujian yang dialami
orang tidak bersalah, ia seharusnya tidak berkata, Ia mengolok-
olok, sebab Ia tidak mendatangkan penderitaan dengan rela hati.
saat roh menjadi panas, baik sebab perselisihan atau rasa
tidak puas, kita perlu menjaga bibir kita, supaya dapat bersikap
pantas seperti seharusnya dalam membicarakan hal-hal ilahi.
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(9:25-35)
25 Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada seorang pelari, lenyap tanpa
melihat bahagia, 26 meluncur lewat laksana perahu dari pandan, seperti raja-
wali yang menyambar mangsanya. 27 Bila aku berpikir: Aku hendak melupa-
kan keluh kesahku, mengubah air mukaku, dan bergembira, 28 maka takut-
lah aku kepada segala kesusahanku; aku tahu, bahwa Engkau tidak akan
menganggap aku tidak bersalah. 29 Aku dinyatakan bersalah, apa gunanya
aku menyusahkan diri dengan sia-sia? 30 Walaupun aku membasuh diriku
dengan salju dan mencuci tanganku dengan sabun, 31 namun Engkau akan
membenamkan aku dalam lumpur, sehingga pakaianku merasa jijik terhadap
aku. 32 sebab Dia bukan manusia seperti aku, sehingga aku dapat men-
jawab-Nya: Mari bersama-sama menghadap pengadilan. 33 Tidak ada wasit di
antara kami, yang dapat memegang kami berdua! 34 Biarlah Ia menyingkir-
kan pentung-Nya dari padaku, jangan aku ditimpa kegentaran terhadap Dia,
35 maka aku akan berbicara tanpa rasa takut terhadap Dia, sebab aku tidak
menyadari kesalahanku.”
Dalam perikop ini Ayub semakin bertingkah, dan ia tidak menutup
pasal ini dengan ungkapan penuh hormat tentang hikmat serta ke-
adilan Allah seperti pada mulanya. Orang-orang yang memperturut-
kan perilaku gemar mengeluh tidak tahu betapa sikap seperti ini
akan membawa mereka kepada ketidakpantasan, bahkan ketidak-
salehan. Memulai pertengkaran dengan Allah yaitu seperti membuka
jalan air; jadi undurlah sebelum perbantahan mulai. saat berada da-
lam kesesakan, kita boleh mengeluh kepada Allah, seperti yang sering
dilakukan sang pemazmur. Namun, janganlah sekali-kali mengeluh
tentang Allah seperti yang dilakukan Ayub di sini.
I. Dalam perikop ini, keluhannya perihal berlalunya hari-hari keber-
hasilannya memang cukup pantas (ay. 25-26): “Hari-hariku, arti-
nya, seluruh hari baikku, telah lenyap dan tidak akan pernah
kembali. Lenyap dengan tiba-tiba, hilang sebelum aku menyadari-
nya. Belum pernah terjadi pembawa berita datang secepat itu” se-
perti Kusyi dan Ahimaas, “membawa berita baik, begitu bergegas
secepat semua penghiburanku meninggalkanku. Belum pernah
terjadi kapal berlayar secepat itu menuju pelabuhan, belum per-
nah burung rajawali menyambar mangsanya dengan begitu cepat.
Tidak tersisa sedikit pun jejak dari keberhasilanku, seperti raja-
wali tidak meninggalkan jejak apa pun di udara atau kapal yang
berlayar di lautan,” (Ams. 30:19). Lihatlah di sini,
1. Betapa cepat pergerakan waktu. Waktu senantiasa terbang
dan melesat menuju akhirnya. Waktu tidak akan berhenti bagi
manusia. Betapa sedikit kita membutuhkan waktu luang, dan
betapa kita sangat perlu menebus waktu saat waktu mulai
habis, terbang cepat menuju kekekalan, yang pasti datang se-
mentara waktu berlalu!
2. Betapa sia-sia menikmati waktu, yang mungkin saja akan
diambil dari kita sementara waktu terus berjalan. Hari kita
mungkin saja terasa lebih panjang daripada sinar surya keber-
hasilan kita. Dan, saat waktu habis, rasanya seakan-akan
tidak pernah ada. Kenangan akan selesainya tugas kita akan
terasa menyenangkan sesudah itu. Tidak demikian halnya bila
kita mengenang pernah memiliki kekayaan duniawi saat se-
mua itu hilang lenyap. “Hari-hariku lenyap tanpa ada yang
mengingatnya, tanpa melihat bahagia, dan tidak meninggalkan
kenangan apa pun di belakangnya.”
II. Keluhan Ayub perihal ketidaknyamanan yang sedang dirasakan-
nya itu dapat dimaafkan (ay. 27-28).
1. Sepertinya, ia memang berusaha keras membungkam dan
menenangkan diri sementara para sahabatnya menasihatinya.
Itulah kebaikan yang hendak dilakukannya: ia akan rela me-
lupakan keluh kesahnya, mengubah air mukanya, dan bergem-
bira, dan memuji Allah, supaya ia layak berbincang, baik de-
ngan Allah maupun manusia. Namun,
2. Ayub mendapati bahwa ia tidak mampu melakukan hal itu:
“maka takutlah aku kepada segala kesusahanku. saat aku
berusaha sekeras mungkin melawan kesesakanku, ia justru
mengalahkanku dan terbukti terlampau berat bagiku!” Dalam
keadaan semacam ini, lebih mudah mengetahui apa yang
harus kita lakukan daripada melakukannya. Lebih mudah me-
ngetahui bagaimana harus bersikap daripada bersikap. Mudah
saja berkhotbah tentang kesabaran kepada orang-orang yang
sedang mengalami kesesakan, dan menyuruh mereka melupa-
kan semua keluhan mereka serta menghibur diri. Namun,
lebih mudah mengatakan daripada melakukannya. Rasa takut
dan sedih merupakan hal-hal yang menyiksa tidak keruan,
tidak mudah ditundukkan seperti seharusnya supaya seturut
dengan agama dan akal sehat. Namun,
III. Keluhan Ayub bahwa Allah berkeras hati dan tidak terubahkan
serta tidak mungkin dicegah kehendak-Nya, sama sekali tidak
dapat dimaafkan. Inilah tutur kata Ayub yang rusak. Ia sebenar-
nya tahu betul, dan sebelumnya begitu, jauh hatinya dari me-
nyimpan pikiran buruk semacam itu tentang Allah, namun seka-
rang pikiran ini merasuki rohnya dan tercetus dalam bentuk
keluhan-keluhan penuh amarah ini. Orang-orang baik memang
tidak selalu berbicara seperti kebiasaan mereka. Meskipun demi-
kian, Allah yang mempertimbangkan keadaan dan kekuatan coba-
an yang mereka hadapi, sesudah itu mengizinkan mereka menarik
kembali kata-kata mereka yang salah melalui pertobatan dan
tidak mendakwa mereka.
1. Sepertinya di sini Ayub berkata,
(1) Seolah-olah ia kehilangan harapan akan memperoleh kele-
pasan ataupun pemulihan dari penderitaannya dari Allah,
sekalipun ia mengajukan bukti-bukti kuat mengenai ketu-
lusannya: “Aku tahu, bahwa Engkau tidak akan mengang-
gap aku tidak bersalah. Penderitaan ini telah menderaku
begitu lama, dan memburuk begitu cepat, hingga aku tidak
berharap Engkau akan pernah membersihkan nama baik-
ku bahwa aku tidak bersalah, dengan cara melepaskanku
dari semua penderitaan ini dan memulihkanku ke dalam
kehidupan yang sejahtera. Benar atau salah, aku tetap
diperlakukan seperti orang jahat. Sahabat-sahabatku akan
terus berpikir seperti itu tentang diriku, dan Allah akan
terus mendatangkan penderitaan ke atasku sehingga mem-
beri mereka alasan untuk berpikir demikian. Kalau begitu
apa gunanya aku menyusahkan diri dengan sia-sia untuk
membersihkan nama baikku dan memelihara ketulusan-
ku?” (ay. 29). Sungguh tidak ada gunanya berbicara ten-
tang perkara yang sudah dijatuhi hukuman sebelum dipe-
riksa. Bagi manusia, acap kali merupakan kerja keras yang
sia-sia saja bagi orang-orang yang tidak bersalah untuk
berusaha keras membersihkan nama baik mereka. Mereka
tetap saja diputuskan bersalah, walaupun sangat jelas
buktinya bahwa mereka tidak bersalah. Namun, bukan be-
gitulah perlakuan Allah kepada kita. Allah yaitu pelin-
dung orang-orang tidak bersalah yang ditindas, dan tidak
sia-sia mengajukan perkara yang benar kepada-Nya. Bah-
kan lebih dari itu, Ayub tidak saja kehilangan harapan
akan memperoleh pelepasan, namun juga yakin bahwa upa-
yanya untuk membersihkan diri justru akan membuatnya
terlihat semakin menjijikkan (ay. 30-31). “Walaupun aku
membasuh diriku dengan salju, dan membuat ketulusanku
tampak sangat nyata, semua ini akan tidak berguna. Peng-
hakiman tetap dijatuhkan ke atasku. Engkau akan mem-
benamkan aku dalam lumpur” (lumpur kebinasaan, begitu
menurut pendapat beberapa orang, atau juga kandang an-
jing kotor, atau selokan air kotor), “yang akan membuat
bauku begitu menusuk hidung semua orang di sekelilingku
sehingga pakaianku merasa jijik terhadap aku dan aku
bahkan tidak sudi menyentuh diriku sendiri.” Ayub berang-
gapan bahwa semua penderitaannya berasal dari Allah.
Itulah hal-hal yang di mata para sahabatnya membuatnya
terlihat buruk. Dan, sebab alasan itu, Ayub mengeluh ten-
tang penderitaannya termasuk keberlangsungannya. Ia me-
ngeluhkannya bukan saja sebagai kehancuran penghibur-
annya, namun juga nama baiknya. Namun demikian, kata-
katanya itu juga dapat dijelaskan dengan baik. Apabila kita
begitu giat membenarkan diri di hadapan manusia, dan
memelihara kehormatan kita dengan mereka, apabila kita
menjaga tangan kita tetap bersih dari pencemaran dosa
berat yang terlihat oleh dunia, maka Allah yang mengenal
hati kita mampu menuduh kita dengan begitu banyak dosa
tersembunyi. Dan hal ini akan membukakan semua ke-
pura-puraan kita akan kemurnian dan ketulusan kita, ser-
ta membuat kita melihat diri sendiri menjijikkan di mata
Allah yang suci. saat masih menjadi orang Farisi, Paulus
menjaga kebersihan tangan dengan cermat. Namun, saat
perintah itu datang dan menyingkapkan dosa-dosa hatinya
kepadanya, hal ini membuat dia mengenali hawa nafsu
yang membenamkannya dalam lumpur.
(2) Seolah-olah ia kehilangan harapan bahwa perkaranya akan
diperiksa dengan adil oleh Allah, dan hal itu memang sung-
guh berat.
[1] Ayub mengeluh bahwa ia tidak setara dengan Allah (ay.
32): “Dia bukan manusia seperti aku. Aku bisa saja
memberanikan diri berdebat dengan manusia seperti
diriku sendiri (pecahan tembikar boleh beradu dengan
pecahan tanah liat), namun Ia tak terhingga jauh lebih
tinggi daripadaku, dan oleh sebab itu aku tidak berani
terlibat perdebatan dengan-Nya. Aku pasti akan tercam-
pak apabila bertengkar dengan-Nya.” Perhatikanlah,
Pertama, Allah bukanlah manusia seperti kita. Me-
ngenai raja-raja terbesar kita boleh berkata, “Mereka
juga manusia seperti kita,” namun kita tidak dapat ber-
kata begitu tentang Allah yang agung. Segala pikiran
dan jalan-jalan-Nya tak terhingga jauh lebih tinggi dari-
pada kita, dan kita tidak boleh mengukur Dia dengan
diri kita. Manusia makhluk yang bodoh dan lemah, ra-
puh dan mudah berubah, namun tidak demikian halnya
dengan Allah. Kita yaitu makhluk-makhluk yang ham-
pir mati dan bergantung pada pihak lain. Allah tidak ber-
gantung pada siapa pun dan Dia yaitu Pencipta yang
kekal.
Kedua, dengan merenungkan hal ini, kita sudah se-
harusnya bersikap sangat rendah hati dan terdiam di
hadapan Allah. Janganlah berusaha menyamakan diri
dengan Allah, namun senantiasa memandang Dia sebagai
Allah yang tak terhingga jauh di atas kita.
[2] Bahwa tidak ada penengah atau wasit guna menyelaras-
kan perbedaan-perbedaan di antara Ayub dengan Allah
dan untuk menentukan hasil perdebatan itu (ay. 33):
Tidak ada wasit di antara kami. Keluhan tentang tidak
adanya wasit, sebenarnya mengungkapkan keinginan
yang mengharapkan hal itu. Di dalam Septuaginta ter-
tulis: O, seandainya saja terdapat penengah di antara
kita! Dengan senang hati Ayub mau membawa perkara
itu, namun ternyata tidak ada satu makhluk pun yang
mampu bertindak sebagai wasit, dan oleh sebab itu ia
harus membawa perkara itu kepada Allah sendiri dan
bertekad untuk menerima saja penghakiman-Nya. Ye-
sus Tuhan kita yaitu wasit terpuji, yang mengantarai
sorga dan bumi, yang telah membentangkan tangan-
Nya antara kita dengan Allah. Kepada-Nya Allah Bapa
telah menyerahkan semua penghakiman, dan begitu
juga yang harus kita lakukan. Namun, pada waktu itu
perkara Ayub ini belum dibawa ke dalam terang seperti
pada zaman ini melalui Injil, sehingga sungguh tidak
pantas mengutarakan keluhan semacam itu.
[3] Bahwa semua kegentaran yang datang dari Allah, yang
silih berganti menimpa Ayub, membuatnya begitu kebi-
ngungan hingga tidak tahu cara bagaimana ia harus
mendekati Allah dengan keyakinan seperti yang dahulu
biasa dipakai nya untuk menghampiri Dia (ay. 34-
35). “Di samping jarak yang memisahkanku oleh sebab
keagungan-Nya yang tidak terbatas, tindakan-Nya seka-
rang ini terhadap diriku sangatlah mengecilkan hatiku:
Biarlah Ia menyingkirkan pentung-Nya dari padaku.”
Maksud Ayub bukan penderitaan jasmaniahnya, me-
lainkan beban yang menindih rohnya akibat ketakutan-
nya terhadap murka Allah. Ditimpa kegentaran terhadap
Dia, itulah yang menakutkannya. “Kiranya kegentaran
itu diangkat. Biarlah aku kembali melihat kasih setia-
Nya, dan tidak dibuat terkejut oleh pemandangan akan
kedahsyatan kegentaran yang dari-Nya, supaya aku
akan berbicara dan mengajukan perkaraku di hadapan-
Nya tanpa rasa takut terhadap Dia. Namun aku tidak
menyadari kesalahanku. Awan itu belum juga menghi-
lang. Murka Allah masih tertuju kepadaku dan masih
melahap semangatku seperti dahulu. Aku tidak tahu
harus berbuat apa.”
2. Dari semua hal ini, marilah kita mengambil kesempatan,
(1) Untuk berdiri dengan takjub di hadapan Allah, dan takut
kepada kekuatan murka-Nya. Apabila orang-orang baik saja
telah dibuat begitu kebingungan olehnya, apakah yang akan
terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?
(2) Untuk merasa iba terhadap orang-orang yang terluka roh-
nya, dan berdoa dengan sungguh bagi mereka, sebab da-
lam keadaan semacam itu, mereka tidak tahu cara men-
doakan diri sendiri.
(3) Untuk dengan cermat menyimpan pikiran-pikiran yang baik
tentang Allah dalam hati kita, sebab pikiran-pikiran buruk
tentang diri-Nya merupakan jalan masuk banyak kejahatan.
(4) Untuk memuji Allah sebab kita tidak mengalami keadaan
mengenaskan seperti Ayub yang malang itu, namun berjalan
dalam terang Tuhan. Marilah kita bersukacita dalam hal
itu, namun ciumlah kaki-Nya dengan gemetar, bersukacita-
lah dengan gemetar.
PASAL 10
yub mengakui di sini bahwa dia sangat kebingungan (ay. 15),
dan seperti dirinya yang bingung, begitu pula perkataannya: ia
tidak tahu apa yang harus dikatakannya, dan mungkin terkadang
hampir tidak menyadari apa yang telah dikatakannya. Di pasal ini,
I. Ayub mengeluhkan kesukaran yang menimpanya (ay. 1-7),
lalu menghibur dirinya sendiri dengan ini, bahwa ia berada di
dalam tangan Allah yang membuatnya dan berseru kepada
Allah akan hal itu (ay. 8-13).
II. Ayub mengeluh lagi tentang beratnya perlakuan Allah kepa-
danya (ay. 14-17), lalu menghibur dirinya dengan ini, bahwa
kematian akan mengakhiri penderitaannya (ay. 18-22).
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(10:1-7)
1 “Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku, aku hen-
dak berbicara dalam kepahitan jiwaku. 2 Aku akan berkata kepada Allah:
Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beper-
kara dengan aku. 3 Apakah untungnya bagi-Mu mengadakan penindasan,
membuang hasil jerih payah tangan-Mu, sedangkan Engkau mendukung
rancangan orang fasik? 4 Apakah Engkau mempunyai mata badani? Sama-
kah penglihatan-Mu dengan penglihatan manusia? 5 Apakah hari-hari-Mu se-
perti hari-hari manusia, tahun-tahun-Mu seperti hari-hari orang laki-laki,
6 sehingga Engkau mencari-cari kesalahanku, dan mengusut dosaku, 7 pada-
hal Engkau tahu, bahwa aku tidak bersalah, dan bahwa tiada seorangpun
dapat memberi kelepasan dari tangan-Mu?
Di sini kita membaca,
I. Tekad yang bulat untuk terus bersikukuh dalam keluhannya (ay.
1). sebab takut akan kemuliaan Allah, sehingga tidak dapat
mengadukan perkaranya kepada Allah, Ayub bertekad untuk se-
dikit menenangkan dirinya dengan melampiaskan kemarahannya.
Ia memulai dengan kata-kata yang keras: “Aku telah bosan hidup,
bosan dengan tubuh ini, tidak sabar lagi untuk meninggalkannya,
bertengkar dengan kehidupan, tidak suka padanya, muak pada-
nya, dan merindukan kematian.” sebab kurangnya anugerah, ia
malah berjalan ke arah yang berlawanan, sampai-sampai seperti
mau memerintah alam sendiri. Kita lebih suka bersikap seperti
manusia biasa daripada seperti orang kudus. Iman dan kesabaran
akan menjaga kita dari merasa bosan akan hidup kita (dan muak
padanya, begitulah beberapa orang menafsirkannya), bahkan saat
Sang Penyelenggara membuat kita sangat bosan dengan hidup
kita, sebab hal itu berarti bahwa kita bosan dengan teguran Allah.
Ayub, sebab penat dengan hidupnya dan tidak bisa mendapat-
kan ketenangan dari mana pun juga, akhirnya bertekad untuk
mengeluh, bertekad untuk bicara. Ia tidak akan melampiaskan ke-
marahan jiwanya dengan tangan yang keras, namun akan melam-
piaskan kepahitan jiwanya dengan kata-kata yang keras. Pecun-
dang berpikir mereka boleh berbicara semaunya. Orang dengan ke-
inginan yang tidak dikekang, seperti juga hawa nafsu yang tidak
terkendali, sering kali menganggapnya sebagai dalih untuk pe-
nyimpangan mereka bahwa mereka tidak dapat mencegahnya. Ka-
lau begitu, untuk apa kita memiliki hikmat dan anugerah, kalau
bukan untuk menjaga mulut kita seperti dipasangi kekang? Kece-
maran Ayub berbicara di sini, namun anugerah ikut menyisipkan
suatu perkataan.
1. Ayub ingin berkeluh-kesah, namun ia hendak melampiaskan
keluhannya pada dirinya sendiri. Ia tidak akan menyalahkan
Allah, tidak akan menuding-Nya telah melakukan ketidakadil-
an atau kelaliman. Meski Ayub tidak mengerti dasar sebenar-
nya Allah beperkara dengannya dan penyebab di balik tindak-
an-Nya, namun, secara umum, ia menganggap penyebab itu
ada di dalam dirinya sendiri dan ia dengan rela hati menang-
gung kesalahan itu.
2. Ayub hendak berbicara, namun kepahitan jiwanya yang akan
diungkapkannya, bukan tudingan penghakimannya. Jika aku
salah bicara, bukan aku lagi yang memperbuatnya, namun dosa
yang ada di dalam aku, bukan jiwaku, namun kepahitannya.
II. Permohonan yang rendah hati kepada Allah. Ayub hendak ber-
bicara, namun kata-kata pertamanya yaitu doa, dan, sebagai-
mana saya ingin meyakininya, doa itu doa yang baik (ay. 2).
1. Agar ia dilepaskan dari sengat penderitaannya, yaitu dosa: “Ja-
ngan mempersalahkan aku. Jangan pisahkan aku selamanya
dari-Mu. Sekalipun aku harus tertimpa salib, janganlah sam-
pai aku tertimpa kutuk. Sekalipun aku harus dipukul dengan
tongkat Bapa, janganlah sampai aku ditebas dengan pedang
Hakim. Engkau memang menegur aku. Aku akan menang-
gungnya sekuatku, namun janganlah kiranya mempersalahkan-
ku!” Inilah penghiburan bagi mereka yang ada di dalam Kris-
tus Yesus, meskipun mereka menderita, tidak ada penghukum-
an bagi mereka (Rm. 8:1). Bahkan, mereka dididik, supaya me-
reka tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia (1Kor.
11:32). sebab itu, hal inilah yang seharusnya kita tolak di
atas segalanya saat kita menderita. “Bagaimana pun Engkau
ingin memperlakukan Aku, Ya Tuhan, janganlah mempersa-
lahkan aku. Sahabat-sahabatku mempersalahkan aku, namun
janganlah Engkau mempersalahkan aku.”
2. Agar ia diberi tahu penyebab penderitaannya yang sebenarnya,
dan itu pun dosa: Tuhan, beritahukanlah aku, mengapa Eng-
kau beperkara dengan aku. Saat Allah menindas kita, Dia se-
dang beperkara dengan kita, dan saat Dia beperkara dengan
kita, pasti ada alasan di baliknya. Allah tidak pernah marah
tanpa sebab, meskipun kita pernah marah kepada Allah. Kita
harus ingin mengetahui alasannya, agar kita dapat bertobat
dari hal itu, mematikannya, dan meninggalkan dosa yang
membuat Allah beperkara dengan kita. Saat mencari apa yang
menjadi kesalahan kita itu, izinkanlah hati nurani kita me-
lakukan tugasnya dan menyatakan kepada kita apa adanya
(Kej. 42:21).
III. Bantahan yang keras kepala terhadap Allah mengenai perlakuan-
Nya kepada Ayub. Kini Ayub benar-benar berbicara dalam kepahit-
an jiwanya, dengan berburuk sangka terhadap kebenaran Allahnya.
1. Menurut Ayub tidaklah pantas, jika dilihat dari kebaikan Allah
dan sifat-Nya yang penuh belas kasihan, untuk berlaku begitu
keras kepada ciptaan-Nya sampai-sampai memberinya beban
lebih daripada yang dapat ditanggungnya (ay. 3): Apakah un-
tungnya bagi-Mu mengadakan penindasan? Tentu saja tidak
ada. Hal yang tidak disetujui Allah untuk dilakukan manusia
(Rat. 3:34-36), Dia sendiri tidak akan melakukannya. “Tuhan,
dalam perlakuan-Mu kepadaku, Engkau seperti membuang
hasil jerih payah tangan-Mu, dan mendukung musuh-Mu. Tu-
han, apakah makna semua ini? Berdasarkan sifat-Mu, hal ini
tidak dapat menyenangkan-Mu, dan berdasarkan nama-Mu,
hal ini tidak akan memberi kemuliaan bagi-Mu. Lalu, mengapa
Engkau berlaku seperti itu kepadaku? Apakah untungnya ka-
lau darahku tertumpah?” Jauhlah dari Ayub untuk berpikir
bahwa Allah telah melakukan kesalahan kepadanya, namun ia
kehabisan akal untuk dapat menarik benang merah antara
penyelenggaraan-Nya dan keadilan-Nya, seperti yang sering
kali dialami oleh orang benar, dan ia harus menunggu hingga
waktu mengungkapkannya. sebab itu, janganlah kita me-
nyimpan pikiran buruk mengenai Allah, sebab nanti kita pasti
akan melihat bahwa tidak ada alasan untuk pikiran-pikiran
seperti itu.
2. Menurut Ayub tidaklah pantas bagi Allah yang pengetahuan-
Nya tidak terbatas untuk menindas tawanan-Nya seperti itu,
seolah-olah dengan penyiksaan, untuk mendapatkan pengaku-
an darinya (ay. 4-6).
(1) Ayub yakin bahwa Allah tidak mencari-cari sesuatu, atau
menghakiminya, seperti manusia: Dia bukan mempunyai
mata badani (ay. 4), sebab Dia yaitu Roh. Mata badani
tidak dapat melihat dalam gelap, namun kegelapan tidak
menggelapkan bagi Allah. Mata badani hanya bisa melihat
ke satu tempat pada suatu waktu, dan hanya bisa melihat
sedikit saja, namun mata Tuhan ada di segala tempat, dan
menjelajah seluruh bumi. Ada banyak hal yang tersembunyi
bagi mata badani, bahkan mata yang paling penasaran dan
jeli. Ada jalan setapak yang bahkan mata elang tidak meli-
hatnya. Namun tidak ada, atau tidak bisa ada, yang ter-
sembunyi dari mata Allah, yang bagi-Nya semua hal telan-
jang dan terbuka. Mata badani hanya melihat penampilan
luar, dan dapat tertipu oleh deceptio visus – tipuan indra.
Namun, Allah melihat segala sesuatu dengan benar. Pan-
dangan-Nya tidak dapat ditipu, sebab Dia menguji hati, dan
menjadi saksi terhadap pikiran dan maksud hati orang.
Mata badani memahami sesuatu perlahan-lahan, dan, saat
kita benar-benar melihat suatu hal, kita kehilangan pan-
dangan akan hal lain. namun Allah melihat segala sesuatu
dalam satu pandangan. Mata badani cepat lelah, harus di-
pejamkan setiap malam, namun penjaga Israel tidak terlelap
dan tidak tertidur, tidak pula pandangannya pernah me-
mudar. Allah tidak melihat seperti manusia melihat, yakni,
Dia tidak menghakimi seperti manusia menghakimi. Se-
baik-baiknya pun manusia hanya menghakimi secundum
allegata et probata – berdasarkan apa yang dikira dan di-
buktikannya, sebagaimana sesuatu kelihatan dan bukan
sebagaimana adanya. Penghakiman manusia sering kali
dibawa mengikuti arah perasaan, keinginan, prasangka,
dan kepentingannya. namun kita tahu bahwa penghakiman
Allah berdasarkan pada kebenaran, dan bahwa Dia menge-
tahui kebenaran, bukan sebab keterangan orang, namun
sebab penyelidikan-Nya sendiri. Manusia mengungkap ra-
hasia dengan melakukan pencarian, memeriksa saksi-saksi,
membandingkan bukti dan memberi dugaan, dan membujuk
atau memaksa pihak-pihak yang terlibat untuk mengaku.
Namun, Allah tidak memerlukan satu pun dari cara-cara
ini: Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah.
(2) Ayub yakin Allah tidaklah berpikiran pendek, seperti ma-
nusia, dan Dia tidak berumur pendek (ay. 5): “Apakah hari-
hari-Mu seperti hari-hari manusia, sedikit saja dan buruk
adanya? Apakah hari-hari-Mu silih berganti, atau pasti ber-
ubah, seperti hari-hari manusia? Tidak, tentu saja tidak.”
Manusia bertumbuh menjadi semakin bijaksana lewat
pengalaman dan menjadi semakin berpengetahuan lewat
pengamatan sehari-hari. Bagi manusia, kebenaran berjalan
beriringan dengan waktu, sebab itu, mereka harus menye-
diakan waktu untuk mencari, dan, jika satu percobaan
gagal, mereka harus mencoba yang lain. Namun tidak de-
mikian halnya dengan Allah. Bagi-Nya, tidak ada masa lalu,
tidak ada masa depan, namun segala sesuatu yaitu masa
sekarang. Hari-hari, yang dipakai untuk mengukur hidup
manusia, tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ta-
hun-tahun kekekalan, yang di dalamnya kehidupan Allah
terbungkus.
(3) sebab itu, sungguh aneh, menurut Ayub, bahwa Allah ha-
rus memperpanjang siksaannya, dan terus mengurungnya
dalam penderitaan ini. Allah tidak membawanya ke dalam
pencobaan atau memberinya kebebasan, seolah-olah Dia
perlu banyak waktu untuk mencari-cari kesalahannya, dan
memakai cara-cara untuk mengusut dosanya (ay. 6).
Bukannya seolah-olah Ayub berpikir bahwa Allah menyik-
sanya sedemikian agar Dia dapat mencari-cari kesalahan
Ayub. Namun, ada segi dalam perlakuan Allah kepada Ayub
yang tidak mulia bagi Allah, dan akan mendorong manusia
untuk berpikir bahwa Dia seorang tuan yang kejam. “Tu-
han, jika Engkau tidak mau mempertimbangkan ketenang-
anku, pertimbangkanlah kehormatan-Mu sendiri. Lakukan-
lah sesuatu oleh sebab nama-Mu yang besar, dan janganlah
Engkau menghinakan takhta kemuliaan-Mu” (Yer. 14:21).
3. Menurut Ayub, Allah seperti menyalahgunakan kemahakuasa-
an-Nya dengan menahan seorang pesakitan yang malang da-
lam penawanan-Nya, yang Dia tahu tidak bersalah. Menurut-
nya, Allah berbuat demikian sebab memang tidak ada yang
mampu melepaskan diri dari tangan-Nya: Engkau tahu bahwa
aku tidak bersalah (ay. 7, KJV: Engkau tahu bahwa aku tidak
fasik). Ayub sudah mengakui dirinya orang berdosa, dan ber-
salah di hadapan Allah. Namun, di sini, dia bersikeras bahwa
dia tidak fasik, tidak melakukan dosa, bukan musuh Allah,
bukan orang munafik dalam agamanya, bahwa dia tidak ber-
laku fasik terhadap Allahnya (Mzm. 18:22). “Akan namun , tidak
ada yang dapat melepaskan dari tangan-Mu, dan sebab itu
tidak ada jalan keluar. Aku harus berpuas diri dengan ber-
baring saja di sana, menunggu waktu-Mu, dan memasrahkan
diri pada belas kasihan-Mu, tunduk pada kedaulatan kehen-
dak-Mu.” Lihatlah di sini,
(1) Hal yang seharusnya membuat kita tenang dalam kesulitan
kita, yaitu bahwa tidak ada gunanya berbantah dengan
yang Mahakuasa.
(2) Hal yang akan sangat menghiburkan kita, yaitu jika kita
mau mengadukan perkara kita kepada Allah, seperti yang
dikatakan Ayub di sini, “Tuhan, Engkau tahu bahwa aku
tidak fasik. Aku tidak dapat mengatakan bahwa aku tidak
punya kekurangan, atau aku tidak lemah. Namun, dengan
anugerah, aku dapat berkata, Aku tidak fasik: Engkau tahu
aku tidak fasik, sebab Engkau tahu bahwa aku mengasihi
Engkau.”
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(10:8-13)
8 Tangan-Mulah yang membentuk dan membuat aku, namun kemudian Eng-
kau berpaling dan hendak membinasakan aku? 9 Ingatlah, bahwa Engkau
yang membuat aku dari tanah liat, namun Engkau hendak menjadikan aku
debu kembali? 10 Bukankah Engkau yang mencurahkan aku seperti air susu,
dan mengentalkan aku seperti keju? 11 Engkau mengenakan kulit dan daging
kepadaku, serta menjalin aku dengan tulang dan urat. 12 Hidup dan kasih
setia Kaukaruniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.
13 namun inilah yang Kausembunyikan di dalam hati-Mu; aku tahu, bahwa
inilah maksud-Mu:
Dalam ayat-ayat ini, kita dapat mengamati,
I. Betapa Ayub memandang Allah sebagai Pencipta dan pemelihara,
dan menjelaskan ketergantungannya kepada Allah sebagai pen-
cipta dan penopang keberadaannya. Inilah hal pertama yang perlu
kita semua ketahui dan renungkan.
1. Bahwa Allah-lah yang menciptakan kita, Dia, bukan orangtua
kita, yang hanya alat bagi kuasa dan penyelenggaraan-Nya
dalam penciptaan kita. Dialah yang telah menjadikan kita dan
punya Dialah kita. Tangan-Nyalah yang membentuk dan mem-
buat tubuh kita ini dan setiap bagiannya (ay. 8), dan kejadian
kita dahsyat dan ajaib. Begitu pula dengan jiwa, yang meng-
hidupkan tubuh, yaitu karunia-Nya. Ayub memperhatikan ke-
duanya di sini.
(1) Tubuh dibuat dari tanah liat (ay. 9, KJV: dibuat seperti tanah
liat), dicetak menjadi berbentuk, menjadi bentuk ini, seperti
tanah liat dibentuk menjadi bejana, sesuai dengan keahlian
dan kehendak si tukang periuk. Kita ini bejana tanah liat,
hina asalnya, dan mudah hancur berkeping-keping, sebab
dibentuk seperti tanah liat. Dapatkah yang dibentuk ber-
kata kepada yang membentuknya: Mengapakah engkau
membentuk aku demikian? Kita tidak boleh bangga dengan
tubuh kita, sebab bahannya dari tanah, namun juga jangan
pula tidak menghormati tubuh kita, sebab cetakan dan
bentuknya berasal dari hikmat ilahi. Pembentukan tubuh
manusia di dalam rahim digambarkan dengan sebuah per-
bandingan yang anggun (ay. 10, Engkau yang mencurahkan
aku seperti air susu, dan mengentalkan aku seperti keju),
dan ditambahkan dengan beberapa perincian (ay. 11). Wa-
laupun kita datang ke dalam dunia telanjang, namun tu-
buh itu sendiri diberi pakaian dan senjata. Kulit dan daging
pakaiannya. Tulang dan urat senjatanya, bukan untuk me-
nyerang, namun mempertahankan diri. sebab itu, bagian-
bagian yang vital, seperti jantung dan paru-paru, diberi
pakaian yang demikian juga, agar tidak terlihat, dipagari,
agar tidak terluka. Struktur tubuh manusia yang menga-
gumkan menjadi contoh gambaran kuasa hikmat, dan ke-
baikan Sang Pencipta. Alangkah sayangnya jika tubuh men-
jadi alat ketidakbenaran, padahal seharusnya bisa menjadi
bait Roh Kudus!
(2) Jiwa itu kehidupan, jiwa itu manusia, dan ini karunia Allah.
Hidup Kaukaruniakan kepadaku. Engkau mengembuskan
ke dalamku napas hidup, yang tanpanya tubuh ini hanya-
lah bangkai yang tidak berguna. Allah itu Bapa segala roh.
Dia membuat kita menjadi jiwa yang hidup, dan memper-
lengkapi kita dengan kuasa untuk berpikir. Dia memberi
kita hidup dan perkenanan, dan hidup itu perkenanan –
perkenanan yang besar, lebih besar daripada makanan,
lebih besar daripada pakaian. Itu perkenanan yang mem-
bedakan, yang memberi kita kemampuan untuk menerima
perkenanan yang lain. Nah, di sini Ayub berada dalam kon-
disi pikiran yang lebih baik dibandingkan saat dia berban-
tah dengan kehidupan sebagai beban, dan bertanya, Meng-
apa aku tidak mati waktu aku lahir? Atau, yang dimaksud
Ayub dengan hidup dan perkenanan mungkin hidup dan
semua kenyamanan hidup, yang mengacu pada kesejahtera-
annya dahulu. Ada masa saat Ayub berjalan dalam cahaya
perkenanan ilahi, dan berpikir, seperti Daud, bahwa oleh
sebab perkenanan itu, gunungnya berdiri kokoh.
2. Bahwa Allah memelihara kita. Setelah menyalakan pelita kehi-
dupan, Allah tidak membiarkannya terbakar di atas alasnya
sendiri, namun terus memperlengkapinya dengan minyak baru:
“Pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku, membuatku tetap hidup,
melindungiku dari musuh kehidupan, kematian yang mengeli-
lingi kita dan bahaya yang terus kita hadapi, dan memberkati-
ku dengan semua penopang hidup yang perlu dan bekal hari-
an yang dibutuhkan dan dirindukannya.”
II. Bagaimana Ayub mengadukan hal ini kepada Allah, dan manfaat
yang dipetik Ayub. Ayub mengingatkan Allah (ay. 9): Ingatlah, bah-
wa Engkau yang membuat aku. Lalu mengapa? Apa alasannya,
1. “Engkau yang membuat aku, dan sebab itu Engkau mengenal
aku dengan sempurna (Mzm. 139:1-13), tidak perlu Engkau
memeriksa aku dengan menyesah, atau menyiksa aku untuk
menyelidiki yang ada di dalam hatiku.”
2. “Engkau telah membuat aku, seperti tanah liat, dengan kedau-
latan kuasa-Mu. Jadi masakan Engkau hendak menghancur-
kan aku kembali dengan kedaulatan kuasa-Mu itu juga? Jika
memang demikian, Aku harus tunduk.”
3. “Apakah Engkau hendak menghancurkan perbuatan tangan-
Mu sendiri?” Inilah seruan yang sering dinaikkan orang kudus
dalam doa, Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk
kami (Yes. 64:8). Tangan-Mu telah menjadikan aku dan mem-
bentuk aku (Mzm. 119:73). Di sini, Engkau yang membuat aku,
dan akankah Engkau menghancurkan aku lagi (ay. 8), apakah
Engkau hendak menjadikan aku debu kembali? (ay. 9). “Tidak
kasihankah Engkau terhadap aku? Tidak maukah Engkau me-
luputkan dan menolong aku, dan menopang perbuatan tangan-
Mu? (Lih. Mzm. 138:8). Engkau yang membuat aku dan me-
ngenal kekuatanku. Akankah Engkau membiarkan aku dite-
kan di luar batas kekuatanku? Apakah aku dijadikan untuk
disengsarakan? Apakah aku diluputkan hanya untuk diper-
siapkan untuk malapetaka ini?” Jika kita mengatakan hal ini
kepada diri kita sendiri sebagai pendorong untuk melakukan
kewajiban kita, “Allah telah membentuk aku dan memelihara
aku, sebab itu aku akan melayani-Nya dan tunduk kepada-
Nya,” maka kita dapat mengemukakan hal ini kepada Allah se-
bagai permohonan untuk mendapat belas kasihan: Engkau
telah membuat aku, menjadi baru, bentuklah aku. Aku kepu-
nyaan-Mu, selamatkanlah aku. Ayub tidak tahu bagaimana
harus mendamaikan perkenanan Allah yang telah diterimanya
sebelumnya dengan murka-Nya sekarang ini, sehingga ia me-
nyimpulkan (ay. 13), “Inilah yang Kausembunyikan di dalam
hati-Mu. Perkenanan dan murka berasal dari rancangan hati-
Mu sendiri, dan sebab itu keduanya pasti selaras, bagaimana
pun kelihatannya.” Saat Allah tanpa dapat dimengerti meng-
ubah jalan-Nya, meskipun kita tidak dapat memahaminya,
kita harus percaya bahwa ada alasan baik yang tersembunyi di
dalam hati-Nya, yang akan segera dinyatakan. Bukanlah bagi-
an kita, atau dalam jangkauan kita, untuk menerangkan penye-
babnya, namun aku tahu, bahwa inilah maksud-Mu. Allah menge-
tahui segala perbuatan-Nya.
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(10:14-22)
14 kalau aku berbuat dosa, maka Engkau akan mengawasi aku, dan Engkau
tidak akan membebaskan aku dari pada kesalahanku. 15 Kalau aku bersalah,
celakalah aku! dan kalau aku benar, aku takkan berani mengangkat kepala-
ku, sebab kenyang dengan penghinaan, dan sebab melihat sengsaraku;
16 Kalau aku mengangkat kepalaku, maka seperti singa Engkau akan memburu
aku, dan menunjukkan kembali kuasa-Mu yang ajaib kepadaku. 17 Engkau
akan mengajukan saksi-saksi baru terhadap aku, – Engkau memperbesar kege-
raman-Mu terhadap aku – dan pasukan-pasukan baru, bahkan bala tentara
melawan aku. 18 Mengapa Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan?
Lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku! 19 Maka aku seolah-olah
tidak pernah ada; dari kandungan ibu aku langsung dibawa ke kubur. 20 Bu-
kankah hari-hari umurku hanya sedikit? Biarkanlah aku, supaya aku dapat
bergembira sejenak, 21 sebelum aku pergi, dan tidak kembali lagi, ke negeri
yang gelap dan kelam pekat, 22 ke negeri yang gelap gulita, tempat yang kelam
pekat dan kacau balau, di mana cahaya terang serupa dengan kegelapan.”
Pada perikop ini diceritakan mengenai,
I. Keluhan Ayub yang menggebu-gebu. Pada dawai kecapi yang ka-
sar dan tidak menyenangkan ini, Ayub banyak memetik. Walau-
pun tidak dapat dibenarkan, dia bisa dimaklumi. Dia mengeluh
bukan tanpa sebab, seperti orang Israel yang bersungut-sungut,
namun ada alasan dia mengeluh. Jika menurut kita dia kelihatan
buruk dengan keluhannya, biarlah hal itu menjadi peringatan
bagi kita untuk menjaga suasana hati kita dengan lebih baik.
1. Ayub mengeluh akan kerasnya penghakiman Allah dan kaku-
nya dakwaan-Nya terhadap Ayub, dan hampir-hampir menye-
butnya summum jus – keadilan yang hampir seperti kekejaman.
(1) Bahwa Allah mencari-cari kelemahan Ayub: “Kalau aku ber-
buat dosa, maka Engkau akan mengawasi aku (ay. 14). Ka-
lau Aku salah dalam mengambil satu langkah saja, salah
menempatkan satu kata, atau salah dalam melihat, aku
pasti akan mendengarnya. Hati nuraniku, perwakilan-Mu,
pasti akan menegurku dengan hal itu, dan memberitahuku
bahwa teguran ini, sentakan nyeri ini, untuk menghukum-
ku sebab hal itu.” Kalau Allah memang mengingat-ingat
kesalahan seperti itu, maka binasalah kita. Namun, kita ha-
rus mengakui yang sebaliknya, bahwa sekalipun kita ber-
dosa, Allah tidak memperlakukan kita dengan sangat keras.
(2) Bahwa Allah mengadili kelemahan itu sedalam-dalamnya:
Engkau tidak akan membebaskan aku dari pada kesa-
lahanku. Dalam kesulitannya, Ayub tidak dapat merasakan
penghiburan dari pengampunan-Nya, atau mendengar sua-
ra sukacita dan kesukaan. Begitu sulitnya melihat kasih
dalam hati Allah saat kita melihat kernyitan di dahi-Nya
dan tongkat di tangan-Nya.
(3) Bahwa, apa pun wataknya, keadaannya saat ini sangat
tidak menyenangkan (ay. 15).
[1] Kalau ia fasik, ia pasti hancur di dunia yang lain: Kalau
aku bersalah, celakalah aku! Perhatikanlah, keadaan
bersalah yaitu keadaan yang celaka. Hal ini harus di-
percayai oleh setiap kita, seperti Ayub di sini, dengan
menerapkannya pada diri kita sendiri: “Kalau aku ber-
salah, walaupun dalam kelimpahan dan hidup dalam
kesenangan, celakalah aku.” Beberapa orang khusus-
nya memiliki alasan untuk gentar akan celaka dua kali
lipat jika mereka bersalah. “Aku memiliki pengetahuan,
memiliki kesaksian yang luar biasa dalam agama, be-
gitu sering mendapat peneguhan yang kuat, dan telah
membuat begitu banyak janji yang indah. Aku terlahir
dari orangtua yang baik, diberkati dengan pendidikan
yang baik, hidup dalam keluarga yang baik, dan sudah
lama menikmati sarana anugerah. Kalau aku bersalah,
celakalah, bahkan seribu kali celaka aku.”
[2] Walau Ayub benar, tetap ia tidak berani mengangkat ke-
palanya, tidak berani membantah seperti sebelumnya
(9:15). Ayub begitu tertekan dan kewalahan dengan ke-
sulitannya sampai-sampai ia tidak bisa mendongak de-
ngan perasaan nyaman dan yakin. Di luar ada perban-
tahan, di dalam ada ketakutan. sebab itu, di antara
keduanya, ia penuh dengan kebingungan, bukan hanya
perasaan malu sebab cela yang merendahkannya dan
cercaan teman-temannya, namun juga kebingungan roh.
Pikirannya terus berpacu, dan ia hampir putus asa
(Mzm. 88:16).
2. Ayub mengeluhkan beratnya hukuman. Allah (menurut Ayub)
bukan hanya menghukumnya untuk setiap kegagalan, namun
juga menghukumnya dalam tingkatan yang tinggi (ay. 16-17).
Kesengsaraannya,
(1) Pedih, sangat pedih, ajaib, sangat ajaib. Allah memburunya
seperti singa, seperti singa buas memburu dan menghabisi
mangsanya. Allah bukan hanya asing baginya, namun me-
nunjukkan kembali kuasa-Nya yang ajaib kepadanya, de-
ngan membawanya ke dalam kesulitan yang luar biasa
sehingga menjadikannya contoh yang menakjubkan, tanda
ajaib bagi banyak orang. Semua orang takjub bahwa Allah
mau menindas dan bahwa Ayub sanggup menanggung se-
berat itu. Hal yang membuat kesengsaraan Ayub terasa
sangat pedih yaitu sebab ia merasakan kegeraman Allah
di dalamnya. Inilah yang membuat kesengsaraannya terasa
begitu pahit dan begitu berat. Kesengsaraan itu saksi-saksi
Allah terhadapnya, tanda ketidaksenangan-Nya. Hal ini mem-
buat barah di tubuhnya menjadi luka di rohnya.
(2) Bertambah dan terus bertambah berat. Hal ini sangat dite-
kankan Ayub. saat ia berharap arus pasang itu berbalik,
dan mulai surut, ternyata arus itu terus naik dan naik,
lebih tinggi lagi. Kesengsaraannya semakin berat, begitu
pula kegeraman Allah dalam kesengsaraan itu. Dia men-
dapati dirinya tidak menjadi semakin baik, tidak mungkin
semakin baik. Saksi-saksi baru diajukan terhadapnya, su-
paya jika yang satu tidak berhasil menuduhnya, yang lain
berhasil. Perubahan-perubahan dan peperangan melawan
dia. Jika ada perubahan bagi Ayub, perubahan itu bukan
untuk kebaikan. Masih saja ia terkurung dalam keadaan
perang. Selama kita ada di sini, di dunia ini, kita harus
berharap bahwa awan akan berbalik setelah hujan, dan
mungkin pencobaan yang paling berat dan paling tajam da-
pat disimpan sebagai pencobaan terakhir. Allah berperang
melawan Ayub, dan hal itu suatu perubahan yang besar.
Allah tidak biasanya seperti itu. Hal itu yang memberatkan
kesengsaraan Ayub dan membuatnya menjadi benar-benar
ajaib. Allah biasanya menampilkan dirinya baik hati kepa-
da umat-Nya. Jika pada suatu waktu Ia menampilkan diri-
Nya tidak demikian, itulah perbuatan-Nya yang tidak biasa,
pekerjaan-Nya yang ajaib (Yes. 28:21, KJV), dan Dia mela-
kukannya untuk menampilkan diri-Nya menakjubkan.
3. Ayub mengeluhkan hidupnya, dan bahwa ia dilahirkan untuk
mengalami semua masalah dan penderitaan ini (ay. 18-19):
“Jika ini sudah dirancangkan untuk menjadi bagianku, meng-
apa aku dikeluarkan dari kandungan, mengapa tidak dibiarkan
aku terkubur di sana, atau mati lemas saat dilahirkan?” Inilah
bahasa kemarahan Ayub, dan di sini ia terjatuh lagi dalam
dosa yang sama sebelumnya. Baru saja ia menyebut hidup
sebagai kasih setia (ay. 12), kini ia menyebutnya beban, dan
berbantah dengan Allah sebab memberikannya, dan lebih suka
mengembalikannya kepada Allah. Tuan Caryl memberi penaf-
siran baik yang membela Ayub. “Kita bisa dengan baik hati
menduga,” katanya, “bahwa yang menyusahkan Ayub bahwa
ia sedang berada dalam kondisi kehidupan (menurut pema-
haman Tuan Caryl) yang menghalangi tujuan utama hidupnya,
yaitu memuliakan Allah. Kecapinya telah digantungkannya di
pohon gandarusa, dan dia sedikit sumbang dalam memuji
Allah. Bahkan, Ayub takut kesusahannya menjadi kehinaan
bagi Allah dan memberi kesempatan pada musuh-Nya untuk
menghujat. Oleh sebab itu, ia berharap, lebih baik aku bi-
nasa! Seorang yang saleh menganggap hidupnya tanpa tujuan
jika ia tidak hidup untuk memuji dan memuliakan Allah.” Jika
itu yang dimaksudkan Ayub, maka pemikiran itu memiliki da-
sar yang salah. Sebab, kita dapat memuliakan Tuhan di dalam
api. Namun, ada hikmah ini yang dapat kita tarik dari perkara
ini, bahwa janganlah kita terlalu suka pada hidup, sebab ada-
kalanya bahkan orang benar dan orang baik sekalipun menge-
luhkan hidup. Mengapa kita harus takut mati, atau begitu
ingin dilihat manusia, sebab waktunya bisa saja terjadi saat
kita berharap seandainya sudah mati dan tidak ada mata yang
melihat kita? Mengapa kita harus berlebihan meratapi anak-
anak kita yang meninggal saat masih bayi, yang seolah-olah
tidak pernah ada, dan dari kandungan ibu langsung dibawa ke
kubur, bila kita sendiri mungkin adakalanya berharap begitu-
lah nasib kita?
II. Permintaan Ayub yang rendah hati. Ia memohon,
1. Agar Allah melihat sengsaranya (ay. 15), memperhatikan per-
karanya, dan mengambilnya ke dalam pertimbangan-Nya yang
penuh belas kasihan. Demikianlah Daud berdoa, Tiliklah seng-
saraku dan kesukaranku (Mzm. 25:18). Demikianlah kita seha-
rusnya, dalam kesulitan kita, membawa diri kita kepada Allah,
dan menenangkan diri kita dengan hal ini, bahwa Dia menge-
tahui kesesakan jiwa kita.
2. Agar Allah memberinya sedikit ketenangan. Jika ia tidak dapat
meminta agar kesusahannya dihapuskan, tidak bolehkah dia
meminta sedikit jeda? “Tuhan, janganlah biarkan aku selalu
dalam siksaan, selalu dalam kesesakan hebat: Biarkanlah aku,
supaya aku dapat bergembira sejenak (ay. 20). Berikanlah aku
sedikit kelegaan, waktu untuk bernapas, sedikit kenyamanan.”
Hal ini dianggapnya berkat yang besar. Orang yang tidak ber-
syukur sebagaimana mestinya untuk kenyamanan yang terus-
menerus mereka nikmati, seharusnya berpikir betapa berhar-
ganya satu jam kenyamanan saat mereka menderita kesakit-
an terus-menerus. Ada dua hal yang diserukan Ayub:
(1) Bahwa kehidupan dan cahaya terangnya sangat singkat:
“Bukankah hari-hari umurku hanya sedikit? (ay. 20). Ya,
tentu saja, sangat sedikit. Tuhan, janganlah biarkan semua
hari-hariku dalam kesengsaraan, seluruhnya dalam pende-
ritaan sehebat-hebatnya. Aku hanya memiliki sedikit waktu
untuk hidup. Biarkanlah aku mendapatkan sedikit penghi-
buran hidup sebelum hidupku berakhir.” Permohonan ini
dilabuhkan pada sifat kebaikan Allah, perenungan hal ini
sangat menghibur bagi roh yang tertindas. Dan, jika kita
memakai permohonan ini untuk memohon belas kasihan
Allah (“Bukankah hari-hari umurku hanya sedikit? Tuhan,
kasihanilah aku”), maka kita harus memakainya sebagai
seruan kepada diri kita sendiri, untuk menyadarkan diri
kita akan kewajiban kita: “Bukankah hari-hari umurku
hanya sedikit? Maka, aku perlu mempergunakan waktu
yang ada, untuk memanfaatkan kesempatan sebaik-baik-
nya, untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya segala
yang dijumpai tanganku untuk dikerjakan, supaya aku
siap menghadapi hari kekekalan, yang banyak jumlahnya.”
(2) Bahwa kematian dan kegelapannya sangat dekat dan akan
sangat lama (ay. 21-22): “Tuhan, berilah aku sedikit kete-
nangan sebelum aku mati,” artinya, “supaya jangan aku
mati dalam kesakitanku.” Demikianlah Daud memohon
(Mzm. 13:4), “Supaya jangan aku tertidur dan mati, sehing-
ga sudah terlambat untuk mengharapkan kelegaan. Sebab,
bagaimana mungkin Kaulakukan keajaiban bagi orang-
orang mati?” (Mzm. 88:11). “Izinkanlah aku mendapatkan
sedikit kelegaan sebelum aku mati, supaya aku meninggal-
kan dunia ini dengan tenang, dan bukan dalam kebingung-
an seperti yang kurasakan sekarang ini.” Demikianlah kita
harus bersungguh-sungguh menginginkan anugerah, kare-
na itu kita harus berseru, “Tuhan perbaruilah manusia ba-
tiniahku. Tuhan, kuduskanlah aku sebelum aku mati, se-
bab jika tidak, hal itu tidak akan pernah terjadi.” Lihatlah
bagaimana Ayub berbicara di sini tentang keadaan kemati-
an.
[1] Kematian yaitu keadaan yang tetap, dari sana kita tidak
akan kembali lagi untuk menghidupi hidup seperti yang
kita hidupi sekarang (7:10). Saat kematian tiba, kita
harus mengucapkan selamat tinggal terakhir kepada
dunia ini. Tubuh harus disemayamkan di tempatnya
berbaring selamanya, dan jiwa ditentukan bagaimana
keadaannya untuk selamanya. Persiapan itu harus dila-
kukan dengan benar, sebab hanya dapat dilakukan se-
kali, dan untuk selamanya.
[2] Kematian yaitu keadaan yang suram. Demikianlah hal
itu tampaknya bagi kita. Jiwa-jiwa kudus, pada saat
kematian, berpindah ke negeri terang, tempat kematian
tidak ada. Namun, tubuh mereka ditinggalkan di negeri
yang gelap dan kelam pekat. Ayub melontarkan banyak
ungkapan di sini dengan pengertian yang sama untuk
menunjukkan bahwa ia sendiri memiliki ketakutan dan
kengerian besar akan kematian dan kubur, sama seper-
ti yang dirasakan orang lain secara alami. Hanya ke-
sengsaraan berat yang dialaminya yang membuat Ayub
berharap untuk mati. Marilah dan coba melongok sedi-
kit ke dalam kubur, dan kita akan mendapati,
Pertama, bahwa tidak ada aturan di sana: tempat itu
kacau balau, terus-menerus malam, tanpa ada siang
yang mengikuti. Semua terbaring di sana dengan ting-
katan yang sama, tidak ada pembedaan antara raja
atau rakyat jelata, namun budak bebas dari pada tuan-
nya (3:19). Tidak ada aturan yang diikuti dalam mengu-
burkan orang, bukan yang paling tua lebih dahulu, atau
yang paling kaya, atau yang paling miskin, namun setiap
orang masuk ke kubur dalam urutannya sendiri, urutan
yang ditetapkan oleh Allah atas kehidupan ini.
Kedua, bahwa tidak ada terang di sana. Di dalam
kubur ada kegelapan yang pekat, kegelapan yang me-
mang tidak dapat diraba, namun tidak bisa tidak ditakuti
oleh mereka yang menikmati terang hidup. Di dalam
kubur tidak ada pengetahuan, tidak ada penghiburan,
tidak ada sukacita, tidak ada puji-pujian kepada Allah,
tidak ada pekerjaan untuk keselamatan, dan sebab itu
tidak ada terang. Ayub begitu malu kalau orang lain me-
lihat barahnya, dan begitu takut untuk melihatnya sen-
diri, sehingga kegelapan kubur, yang akan menyembu-
nyikan dan menimbun barahnya itu, sangat disambut