hasil
memapankan dirinya sebagai textus receptus.
Edisi kanonik utsmani, selaras dengan kenyataan sejarah, telah
mencakupkan keseluruhan wahyu ilahi yang diterima Nabi yang
semestinya dimasukkan ke dalamnya. ada berbagai laporan
tentang eksistensi bagian-bagian tertentu al-Quran yang tidak
direkam secara tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd, dan
sebab itu menggoyahkan otentisitas dan integritas kodifikasi
Utsman. namun , sebagian besar laporan ini secara pasti
merupakan fabrikasi belakangan. Ortodoksi Islam mengajukan
solusi lain tentangnya dengan mengaplikasikan doktrin al-nãsikh
wa-l-mansûkh dan menghitung materi-materi yang ada di dalam
laporan-laporan ini masuk ke dalam kategori wahyu “yang
terhapus” baik hukum maupun bacaannya atau sekedar terhapus
bacaannya saja. Solusi ini jelas tidak realistik dan lebih merupakan
usaha untuk menjustifikasi berbagai perbedaan dalam penafsiran
al-Quran. Sementara beberapa sekte Islam – seperti Syi‘ah dan
Khawarij – juga mengajukan skeptisismenya terhadap otentisitas
dan integritas mushaf utsmani, namun keberatan mereka lebih
bertumpu pada prasangka dogmatis atau etis dan tidak memiliki
pijakan apapun yang solid. Hal yang sama juga berlaku untuk
serangan lainnya yang datang dari beberapa pengamat Barat.
usaha Utsman untuk melakukan unifikasi atau standardisasi
teks dan bacaan al-Quran terlihat belum mencapai hasil yang
dihajatkan. Scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin al-
Quran saat itu masih membuka peluang bagi pembacaan teks
kitab suci secara beragam. Selain non-eksistensi tanda-tanda vokal,
beberapa konsonan yang berbeda dalam aksara ini dilambangkan
dengan simbol-simbol yang sama. Kekeliruan pembacaan teks al-
Quran (tashhîf ) yang disalin dalam aksara semacam itu tentu saja
bisa diminimalisasi atau dihindari jika seseorang mempunyai tradisi
hafalan yang kuat, atau paling tidak memiliki tingkat keakraban
yang tinggi terhadap teks al-Quran. Bahkan, ada kesan yang kuat
bahwa scriptio defectiva juga turut berperan dalam memunculkan
variae lectiones. namun , asumsi semacam ini tidak dibenarkan dalam
pandangan dunia tradisional, yang menganggap bacaan-bacaan
ini – khususnya dalam kategori mutawãtir (kiraah tujuh) dan
masyhûr (kiraah sepuluh) – merupakan bacaan-bacaan otentik
untuk al-Quran yang bersumber dari Nabi. Pandangan ini
dipijakkan pada beberapa hadits yang mengungkapkan tentang
pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahrûf. Namun, hadits-hadits ini,
yang dipandang mutawãtir lantaran diriwayatkan beberapa besar
sahabat Nabi, layak dipertanyakan keabsahannya. Kalangan Syi‘ah,
misalnya, tidak mengenal keberadaan hadits-hadits semacam itu
dan meyakini bahwa al-Quran hanya diwahyukan dalam satu harf.
Menurut penjelasan tradisional, kekeliruan pembacaan al-
Quranlah yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap
rasm al-Quran atas prakarsa otoritas politik, seperti Ziyad ibn
Samiyah dan al-Hajjaj ibn Yusuf. Langkah aktual penyempurnaan-
nya – yakni penciptaan tanda-tanda vokal, titik-titik diakritis untuk
pembedaan konsonan-konsonan bersimbol sama, dan beberapa
tanda ortografis lainnya – dikabarkan telah dilakukan oleh beberapa
pakar bahasa, seperti Abu al-Aswad al-Du‘ali, Nashr ibn Ashim,
Yahya ibn Ya‘mur, al-Khalil ibn Ahmad dan lainnya.
Versi tradisional tentang penyempurnaan aksara Arab itu, selain
berkontradiksi antara satu dengan lainnya, juga bertabrakan dengan
temuan-temuan paleografi atau manuskrip-manuskrip al-Quran
yang awal. Dari berbagai temuan ini, dapat disimpulkan bahwa
scriptio plena tidak muncul dalam sesaat , namun diintroduksi
secara gradual melalui serangkaian perubahan yang bersifat
eksperimental. Penyempurnaan aksara Arab baru mencapai titik
finalnya pada penghujung abad ke-3H/9. Introduksi scriptio plena
dalam penulisan al-Quran juga tidak berlangsung mulus, namun
penuh dengan kontroversi yang akut dan berkepanjangan di
kalangan sarjana Muslim.
Bentuk tulisan al-Quran, setelah diintroduksinya scriptio plena,
bisa dikatakan sebagai aksara “gado-gado,” lantaran tarik-menarik
dan kompromi antara kekuatan-kekuatan yang menghendaki
penyempurnaan ortografi utsmani dan yang mempertahankan
bentuk orisinalnya. Namun, ortodoksi Islam dengan tegas
menyatakan bahwa penyimpangan terhadap rasm utsmani, yang
diyakini bersifat tawqîfî dan disepakati (ijmã‘ ) dua generasi pertama
Islam, merupakan dosa yang tidak terampuni. Meskipun tidak
ada keseragaman dalam textus receptus yang awal, namun
penyimpangan-penyimpangan terhadap rasm al-Quran selalu
diusaha kan dengan berbagai cara untuk diperas keluar.
Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah
melakukan sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya
dipandang sebagai produk budaya manusia. Suatu usaha
desakralisasi rasm utsmani mungkin perlu dilakukan, mengikuti
kaidah-kaidah yang lazim dalam penulisan, jika kepentingan
warga Muslim awam non-Arab dimasukkan ke dalam
pertimbangan. Pada titik ini, kalangan tertentu sarjana Muslim
bahkan mengajukan proposal penggantian aksara Arab dengan
aksara Latin. Gagasan semacam ini mendapat angin dengan
munculnya transliterasi Latin al-Quran di Turki dan beredarnya
salinan tercetak surat-surat tertentu al-Quran dalam aksara Latin –
misalnya surat 36. namun , bentuk teks Arab yang lebih diakrabi
warga awam tetap merupakan alternatif yang harus
diusaha kan.
Proses sakralisasi yang sama, seperti ditunjukkan dalam
lampiran pertama, juga terjadi dengan bahasa Arab. Lantaran
dipandang sebagai lingua sacra, berbagai usaha penerjemahan al-
Quran ke dalam bahasa-bahasa non-Arab telah mengalami
tantangan serius dari mayoritas ortodoksi Islam – kecuali mazhab
Hanafiyah – setidak-tidaknya hingga permulaan abad ke-20.
Sakralisasi bahasa Arab dengan jelas memposisikan al-Quran di
luar jangkauan mayoritas Muslim non-Arab. Kompromi dalam
bentuk kuasi-terjemahan interlinear memang berhasil dicapai, namun
kemungkinan terjemahan harfiahnya telah ditolak berdasar
pijakan-pijakan dogmatis. Dalam kasus inipun usaha desakralisasi
mesti dilakukan. Adalah benar bahwa Tuhan, selaras dengan tradisi
pengutusan-Nya, telah membuat atau mewahyukan al-Quran dalam
bahasa Arab. namun , manusia juga bisa membuat kitab suci itu
menjadi berbahasa Persia, Turki, Urdu, negara kita , atau lainnya.
Kompromi lama tentang terjemahan interlinear barangkali mesti
dipertahankan dalam rangka memelihara kemurnian teks, asalkan
teks yang digunakan itu memberikan “kemudahan” bagi
pembacanya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam
terjemahan al-Quran adalah eksistensi keragaman teks dan bacaan
kitab suci ini . Tradisi yang sangat kaya ini, jika dieksploitasi
sebagaimana mestinya, jelas akan sangat membantu dalam proses
penerjemahan.
Berdampingan dengan proses introduksi scriptio plena dalam
penyalinan al-Quran, usaha unifikasi berbagai bacaan al-Quran
(variae lectiones) semakin mengkristal di dalam tubuh umat Is-
lam, seirama dengan penerimaan mushaf utsmani sebagai textus
receptus. usaha ini mencapai momentumnya pada awal abad ke-
4H/10 setelah scriptio plena mencapai bentuk akhirnya. Proses
unifikasi variae lectiones berlangsung dalam dua etape: unifikasi
bacaan di dalam suatu wilayah, dan unifikasi bacaan antara wilayah-
wilayah. Proses ini berjalan lewat ikhtiyãr yang berorientasi kepada
prinsip mayoritas (ijmã‘ ). namun , saat tengah berada di etape
kedua, muncul kecenderungan tradisionalisme yang kaku dan
sangat dominan – lantaran dukungan otoritas politik – dan telah
mendistorsi jalannya proses unifikasi ini . Ibn Mujahid, lewat
kompilasi kiraah tujuhnya, mendesak bahwa penggabungan antara
ragam bacaan yang memiliki asal-usul berbeda tidak diperkenankan,
dan menuntut bahwa setiap sistem bacaan al-Quran mesti
disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan.
Hasilnya, ortodoksi Islam – dengan dukungan penuh otoritas
politik – menyepakati eksistensi kiraah tujuh (al-qirã’ãt al-sab‘ )
yang dihimpun Ibn Mujahid sebagai bacaan-bacaan otentik atau
lectio vulgata bagi textus receptus.
Sebagaimana dengan tulisan dan bahasa al-Quran, sakralisasi
juga dilakukan ortodoksi Islam terhadap bacaan kanonik yang
tujuh. Gagasan-gagasan yang berseberangan dengan kesepakatan
tentangnya selalu diusaha kan untuk diperas keluar, dan beberapa
sarjana Muslim terpaksa menerima nasib sial sebab menganut
pandangan berbeda. usaha kritisisme terhadap keragaman bacaan
al-Quran lewat ikhtiyãr, sekalipun masih berlangsung beberapa
saat setelah Ibn Mujahid, tidak memiliki pengaruh yang berarti
dalam pandangan dunia tradisional dan kehilangan maknanya
saat berhadapan dengan ortodoksi Islam. Kegagalan usaha -usaha
ini bisa – atau mesti – dikaitkan dengan kecenderungan umum
yang muncul saat itu (sekitar abad ke-10) yang memandang bahwa
gerbang ijtihãd telah tertutup. sebab itu, usaha untuk
mengaplikasikan ikhtiyãr – yang merefleksikan salah satu aspek
ijtihãd – dalam rangka membangun suatu sistem bacaan yang
tersendiri, tentunya merupakan hal yang tidak diperkenankan lagi.
Seirama dengan pemiskinan konsep ijtihãd – setelah itu hanya
dibatasi pada ijtihãd parsial yang membolehkan reinterpretasi
dalam batas-batas mazhab yang dianut seseorang, atau dalam
masalah-masalah tertentu – iktiyãr juga mengalami proses
pemiskinan konseptualisasi. beberapa besar otoritas yang
mempraktekkan ikhtiyãr tidak lagi menyeleksi berbagai bacaan
untuk membangun sistem bacaan yang mandiri, namun hanya untuk
memilih diantara berbagai transmisi (riwãyãt dan thuruq) dalam
satu sistem bacaan kanonik untuk mengisi berbagai kekosongan
yang ada di dalamnya.
Kecenderungan kuat ke arah unifikasi bacaan semakin
mengkristal pada masa-masa selanjutnya. Penemuan mesin cetak
pada abad ke-15 dan penggunaannya dalam pencetakan al-Quran,
telah mempercepat penyebaran naskah yang dicetak menurut suatu
sistem bacaan. Sekalipun sistem bacaan yang tujuh disepakati dalam
teori sebagai bacaan-bacaan otentik al-Quran, namun dalam praxis
hanya dua dari empat belas versi (riwãyãt) bacaan ini yang
dicetak dan digunakan dewasa ini di dunia Islam. Versi pertama,
kiraah Warsy ‘an Nafi‘, digunakan beberapa kecil kaum Muslimin
di daerah barat dan baratlaut Afrika, dan di Yaman, khususnya di
kalangan sekte Zaydiyah. Sementara versi kedua, bacaan Hafsh
‘an Ashim, digunakan mayoritas kaum Muslimin di hampir seluruh
dunia Islam, termasuk negara kita . Pencetakan al-Quran edisi standar
Mesir pada 1923, yang disalin dengan bacaan Hafsh ‘an Ashim,
telah menjadikannya semacam supremasi kanonik. Dapat
dibayangkan bahwa pada masa-masa mendatang bacaan Hafsh ‘an
Ashim akan mengeliminasi eksistensi tertulis bacaan lain yang
tersisa, seperti terjadi dengan teks al-Quran edisi Fluegel di dunia
akademik Barat.
Pada titik ini, gagasan untuk melanjutkan proses unifikasi
bacaan yang terputus dengan munculnya tradisionalisme kaku Ibn
Mujahid bisa dijustifikasi. namun , sebagaimana terlihat, proses
ini telah lama mandeg dan berbagai usaha untuk mencairkan
kebekuannya telah berhadapan secara frontal dengan ortodoksi
Islam yang memainkan peran sebagai “polisi” penjaga akidah umat.
usaha -usaha semacam ini tentunya akan dipandang sebagai bid‘ah
atau penyimpangan terhadap kesepakatan yang telah mapan dalam
pandangan dunia ortodoksi Islam, dan sebab itu akan selalu
diusaha kan untuk diperas keluar dengan berbagai cara.
namun , implikasi dari proses unifikasi itu, dalam kenyataannya,
telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha serius untuk
memikirkan kembali Islam yang dengan setia berpijak pada akar
spiritualnya. sebab usaha -usaha semacam ini hanya bisa bertumpu
pada “Korpus Resmi Tertutup” atau tradisi teks dan bacaan tunggal
yang disepakati. Solusi yang agak moderat dan mungkin bisa
diterima ortodoksi Islam adalah para mufassir modern barangkali
perlu menengok ke dalam tradisi penafsiran al-Quran yang awal –
seperti dicontohkan al-Thabari, Zamakhsyari, dan lainnya – saat
menjalankan ikhtiyãr atas berbagai keragaman tradisi teks dan
bacaan al-Quran yang ada. Keragaman tradisi teks dan bacaan,
seperti disimpulkan di atas, merupakan fenomena yang menonjol
dalam perjalanan historis al-Quran yang awal. Dengan me-
manfaatkan khazanah yang amat kaya ini secara kritis dalam
penafsiran al-Quran, maka konsensus tentang tradisi teks dan
bacaan tunggal tidak akan dicederai. Di sini, desakralisasi teks dan
bacaan al-Quran hanya terjadi dalam wilayah penafsiran kitab suci
ini .
Akhirnya, tujuan dari kajian ini adalah mengusaha kan suatu
rekonstruksi yang agak rinci terhadap perjalanan historis al-Quran.
Namun, sebagaimana terlihat, tidak seluruh aspek kesejarahan al-
Quran berhasil direkonstruksi secara meyakinkan. Masalah tentang
kronologi pewahyuan al-Quran dan sejarah kemunculan berbagai
tradisi teks dan bacaan al-Quran yang awal – yang sebagian besarnya
telah menghilang di dalam limbo sejarah – dan sejarah teks dan
bacaan al-Quran pada perkembangan formatifnya, masih tetap
menyimpan beberapa besar misteri yang menuntut penelitian lebih
jauh dan mendalam tentangnya di masa-masa mendatang.
Wa-llãh a‘lam bi-l-shawãb.
Kaum Muslimin dan al-Quran
Penghafalan dan Pembacaan al-Quran
Dalam bab 4 telah diperlihatkan bahwa bentuk paling awaldari proses interaksi antara generasi pertama Islam dan kalam
ilahi adalah penghafalan wahyu-wahyu yang diterima Nabi. Bentuk
tulisan Arab saat itu – secara teknis dikenal sebagai scriptio
defectiva – yang lebih merefleksikan dirinya sebagai alat untuk
memudahkan hafalan, telah menunjang proses pemeliharan ver-
bum dei ke dalam “dada-dada manusia.” Bahkan terminus technicus
yang digunakan untuk menunjukkan proses pengumpulan wahyu-
wahyu yang diterima Nabi – yakni jam‘u-l-qur’ãn – juga
mencakupkan hafalan sebagai salah satu kandungan maknanya.
Hafalan, memang merupakan salah satu tradisi bangsa Arab
yang sangat menonjol saat al-Quran diwahyukan. Lewat tradisi
ini, keseluruhan wahyu yang diterima Nabi telah dipelihara dari
kemusnahannya. Belakangan, saat dilakukan kodifikasi resmi al-
Quran pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, komisi yang
dibentuknya – diketuai oleh Zayd ibn Tsabit – juga telah
memanfaatkan “dada-dada manusia,” yakni hafalan, sebagai sumber
kodifikasi, disamping sumber-sumber tertulis lainnya.
Setelah penyebarluasan salinan-salinan kodifikasi resmi al-Quran
ke berbagai wilayah utama Islam, transmisi al-Quran secara lisan
dalam bentuk hafalan dari generasi ke generasi tetap dipertahankan,
dan merupakan suatu tradisi oral independen yang terpisah dari
teks tertulis.1 Bentuk scriptio defectiva yang digunakan saat itu
untuk menyalin al-Quran, memang menyulitkan orang untuk
berpijak semata-mata pada teks dalam pembacaan al-Quran. Lantaran
kelemahan scriptio defectiva, sebagian ulama mengungkapkan
laporan lainnya bahwa saat Utsman mendistribusi salinan-salinan
mushaf resminya ke berbagai wilayah utama imperium Islam, ia
juga mengirim beberapa qurrã’ menyertai salinan-salinan itu untuk
mengajarkan warga di wilayah-wilayah ini bagaimana
membaca teks resmi al-Quran secara tepat.2 namun , kisah semacam
ini tentunya tidak sejalan dengan keberadaan ragam bacaan kanonik
atau lectio vulgata – yakni bacaan tujuh – dan ragam bacaan non-
utsmani. Jika Utsman telah melakukan kebijakan ini , tidak
mungkin muncul perbedaan bacaan yang relatif cukup banyak di
antara berbagai kawasan Islam ataupun di dalam tradisi bacaan
kanonik itu sendiri. Bahkan, seperti ditunjukkan dalam bab 9,
dalam kasus-kasus tertentu, bacaan-bacaan kanonik juga telah
menyimpang dari teks utsmani.
Menurut keyakinan kaum Muslimin, Al-Quran telah
disampaikan secara oral oleh Nabi kepada pengikut-pengikut
pertamanya (cf.27:92), yang kemudian ditransmisikan juga secara
oral dari generasi ke generasi. Sebagian kaum Muslim bahkan
meyakini bahwa verbum dei telah disampaikan secara oral oleh
Jibril – yang menjelma secara visual – kepada Nabi.4 namun ,
keyakinan terakhir ini mungkin sulit dijelaskan, sebab al-Quran
sendiri menegaskan bahwa ia diwahyukan ke dalam hati Nabi
(26:193; 2:97; 42:4). Penyampaian oral wahyu al-Quran di sini
barangkali mesti ditafsirkan bahwa Nabi memang secara aktual
“mendengar” kata-kata wahyu, namun dalam pengertian mental,
bukan akustik, sebab agen wahyu (Jibril) dan “suara” wahyu itu
bersifat internal baginya.
ada beberapa hadits yang menjelaskan berbagai usaha
Nabi dalam mendorong penghafalan wahyu-wahyu yang telah
diterimanya. Salah satu di antaranya adalah riwayat Utsman ibn
Affan bahwa Nabi pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu
adalah mereka yang mempelajari al-Quran kemudian
mengajarkannya.”6 Nabi, sebagaimana diberitakan, juga mengirim
para sahabat untuk mengajarkan Islam dan al-Quran di berbagai
daerah. Setelah Perjanjian Aqabah, Mus‘ab ibn Umair, misalnya,
diutus Nabi dari Makkah ke Madinah untuk mengajarkan Islam
dan al-Quran kepada orang-orang Islam di kota itu.7 Nabi bahkan
menyarankan kepada umat Islam untuk mempelajari al-Quran dari
Ibn Mas‘ud, Salim, Muadz dan Ubay.
Al-Quran sendiri memberikan rangsangan senada kepada
pembacaan dan penghafalannya. Menurut beberapa sarjana Mus-
lim, permulaan wahyu yang disampaikan kepada Nabi adalah
perintah untuk membaca (96:1-5). Dalam 75:18, Nabi
diperintahkan mengikuti pembacaan al-Quran, dan dalam 17:106
dijelaskan bahwa pewahyuan gradual al-Quran dimaksudkan agar
Nabi dapat membacakannya kepada manusia secara bertahap,
menurut kemampuan penerimaan mereka. saat Nabi
membacakan al-Quran kepada khalayak ramai, Tuhan membuat
penghalang antara yang beriman dan tidak beriman (17:45).
Pengikut-pengikut Nabi, yang mendengar pembacaan al-Qurannya,
diminta untuk mendengar secara hikmat dan menyimak secara
saksama agar beroleh nikmat Tuhan (7:204). Mereka diperintahkan
membaca bagian-bagian termudah al-Quran di dalam shalat (73:20).
Perintah ini, secara jelas akan memotivasi kaum Muslimin untuk
menghafalkan al-Quran.
Dengan demikian, eksistensi beberapa penghafal al-Quran –
qurrã’, “pembaca-pembaca,” atau hamalãt al-Qur’ãn, “pengemban
atau pembawa (tradisi) Quran,” belakangan juga dikenal sebagai
hãfizh, jamak huffãzh, “penghafal” – jelas merupakan suatu
keharusan sejarah. Dari generasi pertama Islam dikabarkan bahwa
orang pertama yang membaca bagian-bagian al-Quran dengan suara
lantang dan terbuka di Makkah adalah Ibn Mas‘ud, sekalipun ia
mendapat tantangan keras dari orang-orang Quraisy yang
melemparinya dengan batu.9 Diriwayatkan juga bahwa Abu Bakr
selalu membaca ayat-ayat al-Quran secara terang-terangan di depan
rumahnya.10 Lebih jauh hadits-hadits, sebagaimana telah
dikemukakan, melaporkan keberadaan beberapa besar sahabat Nabi
yang menghafal al-Quran.11 namun , sebab pewahyuan saat itu
belum selesai, maka permasalahan tentang kadar hafalan al-Quran
para sahabat ini tidak dapat ditetapkan secara pasti.
Dalam laporan lainnya, sebagaimana yang juga telah
dikemukakan, disebutkan sekitar 70 hingga 500 qurrã’ yang
meninggal pada pertempuran Yamamah (12H.).12 Laporan ini
tampaknya terlalu dibesar-besarkan, sebab kebanyakan Muslim
yang meninggal pada pertempuran ini – jumlahnya sekitar
1200 orang – hampir seluruhnya merupakan pengikut-pengikut
baru Islam. F. Schwallybahkan hanya menemukan dua penghafal
al-Quran – yakni Abd Allah ibn Hafsh ibn Ganim dan Salim ibn
Ma‘qil – yang tewas dalam pertempuran itu.
Sekalipun hanya ditemukan dua penghafal al-Quran yang
meninggal dalam pertempuran Yamamah, namun laporan semacam
ini secara implisit menunjukkan banyaknya kaum Muslimin yang
hafal al-Quran saat itu, baik sebagian ataupun seluruhnya. namun ,
sebagaimana ditunjukkan di dalam beberapa bab yang lalu, ada
keragaman bacaan – juga teks – di antara para qurrã’, yang
tetap dipelihara dalam transmisinya dari generasi ke generasi.
Setelah penerimaan umum terhadap teks utsmani sebagai textus
receptus, muncul usaha di kalangan sarjana untuk membatasi
bacaan al-Quran yang bersesuaian dengan teks ini . Namun,
sebab teks itu tertulis dalam scriptio defectiva, perbedaan-
perbedaan bacaan masih tetap eksis. Setelah proses penyempurnaan
aksara Arab selesai pada penghujung abad ke-9 dan diterapkan
dalam penyalinan al-Quran, muncul usaha yang lebih kuat ke
arah keseragaman bacaan pada awal abad ke10, yang biasanya
dikaitkan dengan nama besar Ibn Mujahid. Dengan dukungan
otoritas politik, gerakan ini berhasil memeras beberapa besar bacaan
yang eksis di kota-kota besar Islam saat itu menjadi tujuh bacaan
(al-qirã’ãt al-sab‘ ), yang kemudian mendominasi pembacaan dan
penghafalan al-Quran di kalangan kaum Muslimin.
Dominasi ini bisa dilacak dalam berbagai sistem pengajaran
al-Quran dan kiraah yang berjalan setelah itu. Al-Syathibi (w. 590H),
misalnya, mengharuskan murid-muridnya yang hendak menjadi
pengajar al-Quran menamatkan secara keseluruhan tiga kali
pembacaan al-Quran menurut masing-masing kiraah dalam bacaan
tujuh – setiap kalinya menurut dua versi (riwãyah) dari tiap-tiap
kiraah, kemudian sekali lagi dengan mengumpulkan kedua versi
itu secara bersama-sama (jam‘ ).14 Sebelum masa al-Syathibi,
tuntutan yang diajukan pengajar al-Quran lebih berat lagi. Al-
Hushri (w. 486H), mengharuskan 70 kali pengkhataman tujuh
bacaan kanonik.15 Di samping itu, dalam proses pembelajaran ini,
mata rantai periwayatan tiap-tiap kiraah mesti dikuasai.
Tradisi kaum Muslimin, dengan demikian, memberikan tempat
yang sangat khusus kepada pembacaan atau penghafalan al-Quran.
Bahkan, ada penekanan yang tegas pada pentingnya
pembelajaran al-Quran dalam usia belia. Dikabarkan bahwa salah
satu khalifah banu Umaiyah, Hisyam ibn Abd al-Malik (w. 743),
setelah menunjuk Sulaiman ibn al-Kalbi sebagai tutor agama
anaknya, memberinya petuah: ”Nasihatku yang pertama kepadamu
adalah usaha kanlah agar ia (anakku) belajar Kitab Allah. Setelah
itu, barulah engkau bisa menyampaikan kepadanya karya-karya
puitis pilihan.”
Dikabarkan bahwa pernah menjadi kebiasaan di kalangan
kaum Muslimin untuk mulai mengajarkan anak mereka menghafal
al-Quran saat berusia empat tahun. Praktek semacam ini biasanya
dihubungkan dengan hadits-hadits tertentu Nabi atau dengan
praktek generasi awal Islam. Jadi, Abu Abd Allah Muhammad ibn
Idris al-Syafi‘i (w. 820), pendiri mazhab Syafi‘iyah, misalnya,
dikabarkan telah menghafal keseluruhan al-Quran saat berusia
tujuh tahun. namun Malik ibn Anas tidak menyukai praktek
semacam itu, sebab menguatirkan kekeliruan artikulasi kata-kata
al-Quran oleh anak-anak yang masih terlalu kecil. Di samping itu,
menurutnya, praktek ini tentunya akan menghambat
kebebasan bermain mereka yang sangat vital untuk perkembangan
fisiknya.
Selama berabad-abad telah muncul di berbagai wilayah Islam
sekolah-sekolah khusus yang mengajarkan al-Quran kepada anak-
anak kaum Muslimin, baik dengan tujuan agar mereka “melek”
baca al-Quran ataupun mampu menghafalkannya. Nama populer
untuk sekolah ini sangat bervariasi, namun pada umumnya dikenal
sebagai kuttãb (jamak: katãtîb). Secara historis, sekolah semacam
itu pertama kali diinstruksikan pembangunannya oleh Khalifah
Umar ibn Khaththab. Sebelumnya, pengajaran al-Quran bagi anak-
anak hanya merupakan urusan pribadi kaum Muslimin, dan
biasanya orang tua mengajarkan anaknya secara privat.18
Sejalan dengan institusionalisasi pengajaran al-Quran, dan
terutama sekali setelah proses unifikasi bacaan al-Quran,
berkembang ilmu spesifik untuk pembacaan al-Quran yang dikenal
sebagai tajwîd – dari kata jawwada, “membuat sesuatu menjadi
lebih baik.” Tajwîd memberikan pedoman bagaimana membaca
al-Quran secara tepat, benar, sempurna, dan – sebab itu – bertujuan
melindungi lidah melakukan kekeliruan dalam resitasi verbum
dei. Selain membahas masalah artikulasi huruf-huruf hijaiyah, ilmu
ini juga membicarakan tentang aturan-aturan yang mengatur
masalah pausa (waqf), inklinasi (imãlah), dan kontraksi (ikhtishãr),
dan lainnya.
Dalam khazanah literatur Islam, selain tajwîd, ada
beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu
spesifik pembacaan al-Quran ini, yaitu:
(i) Tartîl , berasal dari kata rattala , “melagukan,”
“menyanyikan,” yang pada awal Islam hanya bermakna
pembacaan al-Quran secara melodik. Al-Suyuthi
menjelaskan bahwa tartîl mencakup pemahaman tentang
pausa dalam pembacaan dan artikulasi yang tepat huruf-
huruf hijaiyah. Dewasa ini, istilah ini tidak hanya
merupakan suatu terma generik untuk pembacaan al-
Quran, namun juga merujuk kepada pembacaannya secara
cermat dan perlahan-lahan.
(ii) Tilãwah, berasal dari kata talã, “membaca secara tenang,
berimbang dan menyenangkan.” Di masa pra-Islam, kata
ini digunakan untuk merujuk pembacaan syair.
Pembacaan semacam ini mencakup cara sederhana
pendengungan atau pelaguan yang disebut tarannum.
(iii) Qirã’ah, berasal dari kata qara’a, “membaca,” yang mesti
dibedakan dari penggunaannya untuk merujuk keragaman
bacaan al-Quran. Di sini, pembacaan al-Quran mencakup
hal-hal yang ada di dalam istilah-istilah lain, seperti
titinada tinggi dan rendah, penekanan pada pola-pola
durasi bacaan, pausa, dan sebagainya.
Secara historis, pembacaan al-Quran – sebagaimana dituju
dalam tajwîd – telah dimulai pada masa awal Islam. Al-Quran
barangkali telah dibaca sebagaimana pembacaan syair dan sajak
yang menjadi ciri periode ini . M. Talbi mengemukakan bahwa
generasi pertama Islam telah melantunkan al-Quran dengan lagu
yang sederhana.22 namun , setelah berkembang menjadi suatu
disiplin, ilmu tentang seni baca al-Quran ini telah menjadi basis
teoretis dan praxis pengajaran al-Quran di berbagai belahan dunia
Islam.
Di negara kita , pengajaran al-Quran dilakukan dalam bentuk
privat dan institusional.23 Dalam sistem privat, yang biasanya
diberikan di rumah atau di surau, penekanan utamanya hanya
pada tataran “melek” baca al-Quran dengan materi hafalan surat-
surat pendek. Sistem yang digunakan mengikuti kaidah bagdadiyah,
mulai dari pengenalan huruf hijaiyah, dilanjutkan dengan
pembacaan juz ‘amma (juz ke-30, surat 78-114) yang surat-suratnya
disusun terbalik – mulai surat-surat pendek ke arah surat-surat
yang lebih panjang. Pada tahap ini, penghafalan surat-surat pendek
dalam juz ini ditekankan. Setelah itu, barulah pembacaan
aktual al-Quran dilakukan, mulai dari surat 1 sampai surat 114.
Sistem pengajaran semacam ini membutuhkan waktu yang relatif
cukup lama, namun penghafalan surat-surat pendek al-Quran –
khususnya juz ‘amma – terlihat berhasil dicapai.
Lantaran berbagai kelemahannya, belakangan sistem
pengajaran ini disempurnakan dengan diintroduksinya metode
baru yang dikenal sebagai iqrã’. Metode ini – ditunjang dengan
beberapa modul pengajaran – memperkenalkan cara cepat membaca
al-Quran.24 Dalam sistem ini, anak didik pertama-tama diharuskan
menyelesaikan enam modul,25 kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan aktual al-Quran – disebut “tadarus” – yang dimulai
dari surat pertama hingga surat terakhir, sesuai dengan sekuensi
resmi mushaf utsmani. Dalam berbagai tahapan pengajaran, anak
didik juga diharuskan menghafalkan surat-surat pendek, bacaan-
bacan untuk praktek ibadah, dan doa-doa sehari-hari, yang juga
memiliki modul tersendiri.
Metode iqrã’ tampaknya cukup berhasil. Hal ini bisa dilihat
dari kemunculan berbagai TPA (Taman Pendidikan al-Quran) dan
TKA (Taman Kanak-kanak Al-Quran) di seluruh wilayah Indone-
sia yang rata-rata menggunakan modul metode ini . namun ,
tujuan penghafalan surat-surat pendek al-Quran dalam sistem ini
terlihat tidak begitu berhasil dibandingkan dengan sistem
sebelumnya – kaidah bagdadiyah.
Sistem pengajaran al-Quran secara institusional diterapkan
dalam berbagai lembaga pendidikan umat Islam, seperti pesantren,
madrasah ataupun perguruan tinggi. Di sini, di samping berbagai
ilmu keislaman lainnya, al-Quran diajarkan secara lebih sistematis
dan dengan pijakan-pijakan teoritis – baik tradisional ataupun
modern – yang solid. Dalam lingkungan lembaga pendidikan
pesantren, ada beberapa institusi yang mengkhususkan diri
pada penghafalan al-Quran.Pada tingkat perguruan tinggi,
ada jurusan tafsir-hadits – yang mengikuti model universitas
al-Azhar di Mesir – pada fakultas syari’ah, yang kemudian ditransfer
ke fakultas ushuluddin, di berbagai IAIN (Institut Agama Islam
Negeri) yang ada. Bahkan ada sebuah perguruan tinggi yang
mengkhususkan diri dalam studi-studi al-Quran, yakni Institut
Ilmu Al-Quran di Jakarta.
Setiap tiga tahun di negara kita diadakan suatu turnamen
berskala nasional untuk pembacaan al-Quran. Para kontestannya
datang dari seluruh propinsi negeri ini, dan dibedakan menurut
jenis kelamin – pria dan wanita – untuk penjurian. Di samping
itu, pedan yang buta juga membentuk satu kategori penilaian
yang mencakup penilaian hafalan. Turnamen yang disebut sebagai
MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an, “Kompetisi Pembacaan al-
Quran”) ini, secara luas dipandang kaum Muslimin negara kita
sebagai suatu disiplin nasional. Kompetisi-kompetisi pada tingkat
kecamatan, kabupaten dan propinsi, biasanya diadakan terlebih
dahulu menjelang turnamen nasional.
namun , salahsatu negeri Islam yang paling terkemuka dalam
pembelajaran al-Quran adalah Mesir, tanah air salah satu perawi
kiraah tujuh, Warsy, yang dilukiskan al-Jazari sebagai syaikh al-
qurrã’.27 Dalam perjalanan sejarah Islam, negeri ini telah menjadi
salah satu pusat pengajaran al-Quran yang terkemuka, di mana
beberapa mazhab kiraah terkenal berada. Hingga dewasa ini,
penghafalan al-Quran merupakan kesibukan utama anak-anak
kaum Muslimin pada sekolah-sekolah tingkat dasar di Mesir. Dalam
kenyataannya, mata pelajaran inti dalam kurikulum sekolah-sekolah
tingkat dasar, katãtîb dan sekolah-sekolah sejenis, adalah
penghafalan al-Quran. Mata pelajaran lain diajarkan sebagai
tambahan untuk mata pelajaran inti ini . Universitas al-Azhar,
dan pusat-pusat studi yang berafiliasi dengannya, seperti Dar al-
‘Ulum dan Akademi Hukum Syari‘ah, bahkan mensyaratkan
penerimaan mahasiswa yang hafal keseluruhan al-Quran.
Terjemahan al-Quran
Salah satu cara bagi kaum Muslimin non-Arab yang tidak bisa
berbahasa Arab untuk memahami al-Quran adalah lewat
terjemahan kitab suci itu ke dalam bahasa ibu mereka. namun ,
apakah al-Quran – yang menyatakan dirinya diturunkan dalam
bahasa Arab29 – bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa non-
Arab merupakan suatu masalah yang telah menimbulkan
kontroversi akut dan berkepanjangan di dalam sejarah Islam.
Pada masa Nabi, barangkali tidak ada yang pernah mem-
bayangkan kemungkinan bahwa al-Quran mesti diterjemahkan
secara sebagian atau seluruhnya ke dalam suatu bahasa asing.saat
itu, Islam memang belum melangkah ke luar kawasan Arab. namun ,
dengan tersebarnya Islam memasuki kawasan-kawasan non-Arab,
khususnya Persia untuk tahap awal setelah wafatnya Nabi,
kebutuhan pemeluk-pemeluk baru Islam yang non-Arab akan suatu
terjemahan al-Quran dalam rangka memahami ajaran-ajaran
Islam mulai muncul ke permukaan.
Masalah terjemahan ini pertama kali muncul di kalangan
pengikut baru Islam asal Persia dalam kaitannya dengan pembacaan
al-Quran di dalam shalat: Apakah boleh membaca terjemahan al-
Quran dalam bahasa Persia saat shalat? Abu Hanifah (w. 767),
pendiri mazhab Hanafiyah, mendeklarasikan kebolehannya baik
untuk yang mengetahui bahasa Arab ataupun tidak.30 Pandangan
ini memang bisa dikaitkan dengan asal-usul Persia Abu Hanifah.
namun , concern keagamaan yang sejati dan pertimbangan-
pertimbangan praktis – yakni membengkaknya pengikut baru Is-
lam non Arab yang berasal dari latar belakang etnis dan linguistik
berbeda – tampaknya lebih menonjol dalam membentuk opini
ini . Dengan demikian, gagasan Abu Hanifah mesti
dipandang sebagai suatu usaha untuk memecahkan permasalahan
pelik yang dihadapi Muslim-Muslim non-Arab dengan adanya
kewajiban membaca bagian atau ayat-ayat pendek di dalam shalat.
Berbeda dengan mazhab Hanafiyah, mayoritas mazhab Sunni
lainnya – Malikiyah, Syafi‘iyah dan Hanbaliyah – menegaskan
bahwa teks al-Quran mesti dibaca dalam bahasa aslinya, yakni
bahasa Arab. saat seorang Muslim tidak sanggup membaca al-
Fãtihah dalam bahasa Arab di dalam shalatnya, maka ia harus
menggantinya dengan bagian al-Quran lain yang ia kuasai, atau
berdiam diri, atau mengulang-ulang pembacaan nama Allah untuk
jangka waktu yang sama dengan pembacaan al-Fãtihah.32
Pandangan mazhab Hanafiyah tentang kebolehan penggunaan
terjemahan al-Quran telah memberi tanda bahaya dan bahkan
memperkeras gagasan ortodoksi Islam tentang masalah terjemahan
al-Quran pada umumnya. Untuk menentang penggunaan
terjemahan dalam shalat, fuqahã’ mazhab Sunni lainnya membatasi
persetujuan mereka terhadap penerjemahan al-Quran untuk tujuan-
tujuan di luar shalat dengan syarat-syarat yang tidak jarang
mengarah kepada pelarangannya. Dan gagasan semacam inilah
yang mendominasi ortodoksi Islam selama berabad-abad.
Menurut gagasan mayoritas dalam ortodoksi Islam, terjemahan
al-Quran – dalam pengertian yang sebenarnya dari kata ini –
adalah suatu kemustahilan. Gagasan ini terutama didasarkan pada
karakter i‘jãz (“keunikan”) al-Quran, yang tidak bisa diimitasi atau
ditandingi manusia dengan cara apapun. Menurut sudut pandang
ini, karakteristik ini akan hilang dalam terjemahan al-Quran,
sebab terjemahan dibuat oleh manusia.
Seluruh keberatan ortodoksi Islam terhadap penerjemahan al-
Quran pada faktanya timbul secara logis dari doktrin i‘jãz. Untuk
memperkukuh sudut pandang yang semata-mata bersifat doktrinal
ini, superioritas bahasa Arab atas bahasa-bahasa lainnya dijadikan
sebagai argumen utama. Al-Jahiz (w. 869) dalam salah satu karyanya,
Kitãb al-Hayawãn, bahkan menegaskan kemustahilan penerjemahan
syair-syair Arab ke dalam bahasa-bahasa lainnya, terlebih lagi bahan-
bahan yang berhubungan dengan agama Islam dan al-Quran
sendiri.Dengan demikian, gagasan-gagasan semacam ini telah
menjadikan bahasa Arab sebagai lingua sacra – bertentangan dengan
pandangan umum yang menganggap bahasa sebagai produk budaya
manusia.
Lebih jauh, ortodoksi Islam menegaskan bahwa suatu
terjemahan al-Quran yang sekaligus bersifat literal dan tepat dari
segi maknanya adalah mustahil. namun , suatu terjemahan dalam
pengertian tafsir dapat dilakukan berdasar asumsi bahwa teks
orisinal al-Quran tidak tergantikan olehnya. Jadi, naskah-naskah
al-Quran, menurut sudut pandang ini, dapat dilengkapi dengan
semacam kuasi-terjemahan yang bersifat interlinear. Dan inilah
yang dilakukan selama berabad-abad oleh sarjana Muslim, bahkan
hingga dewasa ini.
Perbedaan antara tafsir dan terjemah tentu saja sangat
mendasar. Analogi persamaan keduanya telah ditentang dengan
keras oleh ortodoksi Islam. Ilustrasi tentangnya bisa dilihat dalam
pernyataan al-Qaffal, seorang yuris mazhab Syafi‘iyah, saat
pandangannya tentang terjemahan Persia al-Quran sebagai hal yang
mustahil dipermasalahkan: “Kalau begitu, apakah anda mengatakan
bahwa tidak seorang pun yang dapat menafsirkan al-Quran?” Al-
Qaffal tidak mengakui bahwa analogi tentang tafsir sebagai terjemah
ini benar, dan berkata: “Adalah memungkinkan dalam tafsir untuk
menangkap makna beberapa kata dari firman Allah dan salah
menanggapi kata-kata lainnya; dalam terjemahan, yang
menggantikan satu kata dengan kata lainnya, adalah mustahil
menyampaikan seluruh makna kata-kata Tuhan.” Jadi, dalam
kasus tafsir, teks orisinal wahyu tetap terjaga dalam bahasa Arab;
sementara dalam kasus terjemahan, teks orisinal wahyu digantikan
oleh terjemahan. Seluruh fuqahã’ bersepakat bahwa tafsir tidak
dapat dibaca dalam shalat, namun mazhab Hanafiyah membolehkan
pembacaan terjemahan al-Quran.
Barangkali inilah keberatan utama terhadap terjemahan, yakni
ia bisa menggantikan pembacaan teks wahyu orisinal dalam shalat
dan mungkin akan dipandang sebagai al-Quran yang diwahyukan
– suatu gagasan yang dipandang sebagai kekeliruan nyata oleh
seluruh jajaran ortodoksi Islam, kecuali mazhab Hanafiyah. namun
pandang mazhab Hanafiyah yang tersendiri ini tidak mendapatkan
pengakuan universal, bahkan ditolak di kalangan tertentu pengikut
mazhab ini .
Dengan demikian, pembacaan al-Quran dalam bahasa Persia
merupakan kebolehan teoritis, namun dalam prakteknya terjemahan
parsial atau keseluruhan al-Quran juga telah diusaha kan. Sayangnya
manuskrip-manuskrip terjemahan al-Quran yang ada – paling awal
berasal dari abad ke-14 dan ke-15 – tidak memungkinkan untuk
menetapkan kapan terjemahan itu pertama kali dilakukan. Memang
ada laporan bahwa suatu terjemahan al-Quran ke dalam bahasa
Persia telah digarap salah seorang sahabat Nabi, Salman al-Farisi,
pada masa empat khalifah pertama. Demikian pula, ada
laporan tentang terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Berber
(127H) dan bahasa Sindhi (270H).39 Sayangnya, tak satu pun dari
terjemahan ini sampai ke tangan kita, sehingga sulit
membuktikan kebenaran laporan-laporan tentangnya.
Dengan dominannya doktrin ortodoksi yang kaku mengenai
terjemahan al-Quran, adalah wajar jika berbagai usaha
penerjemahan kitab suci ini ke dalam bahasa-bahasa dunia
Islam non-Arab telah mengalami tantangan serius. Bahkan, sampai
ke masa Syah Wali Allah al-Dihlawi (w. 1762), masalah terjemahan
al-Quran masih tetap ditabukan. Wali Allah dikabarkan telah
menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Persia, yang diberinya
judul Fath al-Rahmãn. namun , usaha ini mendapat reaksi keras
dari kalangan ulama saat itu.
Lantaran kuatnya oposisi terhadap terjemahan, tidaklah
mengherankan jika usaha awal untuk menerjemahkan al-Quran
ke dalam bahasa non Arab dilakukan dengan menerjemahkan
karya-karya tafsir. Salah satu karya tertua dalam bahasa Persia yang
bisa diselamatkan adalah terjemahan kitab tafsir al-Thabari, yang
digarap untuk Abu Shalih Manshur ibn Nuh, penguasa dinasti
Samani di Transoxania dan Khurasan (961-976). Sekalipun tidak
ada catatan akurat tentang waktu penggarapannya –
diperkirakan digarap pada abad ke-10 – dalam bagian
pendahuluannya dijelaskan bahwa Abu Shalih, setelah bertanya
kepada para ulama tentang legalitas terjemahan al-Quran ke dalam
bahasa Persia yang dijawab secara negatif, kemudian menitahkan
penggarapan terjemahan karya tafsir ini kepada ulama dari
berbagai kota di wilayah kekuasaannya.
Di negara kita , cara semacam ini juga ditempuh Abd al-Rauf
Ali al-Fansuri (w. 1690), seorang ulama dari Singkel-Aceh. Menurut
Snouck Hurgronje, pada abad ke-17 Abd al-Rauf menggarap
semacam terjemahan tafsir al-Baydlawi, Anwãr al-Tanzîl, ke dalam
bahasa Melayu. Pendapat ini diikuti oleh penulis Sejarah al-Quran,
AbuBakar Aceh.42 namun , sebagaimana ditunjukkan A.H. Johns
yang digarap Abd al-Rauf adalah terjemahan Tafsîr al-Jalãlayn –
disusun oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi –
dengan tambahan beberapa kutipan dari tafsir al-Baydlawi, bagian
ekstensif dari terjemah-tafsir Melayu surat al-Kahfi yang disusun
oleh al-Khazin, dan beberapa bagian tentang qirã’ãt yang tidak
terambil dari Tafsîr al-Jalãlayn ataupun tafsir al-Baydlawi.
Permasalahan apakah al-Quran dapat dibaca dalam bahasa non-
Arab di dalam shalat dan apakah boleh memproduksi dan
menggunakan terjemahan al-Quran, sekali lagi menjadi masalah
akut saat otoritas politik Turki yang sekuler mulai melakukan
“nasionalisasi” terhadap berbagai bentuk ibadah Islam dan
menerbitkan suatu terjemahan al-Quran dalam bahasa Turki yang
tidak didan i dengan teks asli berbahasa Arab pada penghujung
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. beberapa besar otoritas
Sunni di Mesir dan Siria mengutuk usaha “nasionalisasi” ini ,
bahkan sampai kepada penyitaan dan pelarangan beberapa besar
terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris dan Turki. Pernyataan-
pernyataan yang dikemukakan dalam hal ini terutama lebih bersifat
polemis dan negatif. Syaikh Muhammad Syakir, mantan Wakîl
Universitas al-Azhar, misalnya, menolak kebolehan membaca
terjemahan al-Quran dalam shalat dan bahkan mencap usaha
penerjemahannya sebagai perbuatan heretik (bid‘ah). Demikian
pula, Syaikh Muhammad Rasyid Ridla (w.1935) – murid Bapak
modernisme Islam Mesir, Muhammad Abduh (w. 1905) – mengutuk
keras usaha “nasionalisasi” di Turki dan usaha penerjemahan al-
Qurannya.46 Oposisi yang kuat terhadap berbagai kebijakan yang
dilakukan di Turki sebenarnya lebih bersifat politik ketimbang
religius. Penghapusan institusi kekhalifahan yang ada di Turki dan
sekularisasi ekstrem yang menjadi kebijakan pokok otoritas politik
di negeri itu, merupakan latar belakang utama dari berbagai
serangan ini .
namun , ulama Hanafiyah terkemuka dari al-Azhar, Musthafa
al-Maragi (w. 1945), dalam suatu artikelnya, “Bahts fî Tarjamat al-
Qur’ãn al-Karîm wa Ahkãmihã” yang dipublikasikan pada 1932,
mengemukakan bahwa seorang Muslim yang tidak memiliki
pengetahuan bahasa Arab secara mutlak wãjib membaca terjemahan
al-Quran yang memadai dalam shalat. Menurutnya, hal terpenting
di dalam shalat adalah makna teks al-Quran, bukan karakter i‘jãz-
nya, dan makna sebenarnya bisa ditransmisikan melalui terjemahan.
Lebih jauh, al-Maragi menilai bahwa adalah tidak realistik
mewajibkan bagian terbesar warga Muslim dari negeri-negeri
non-Arab untuk mempelajari bahasa Arab lantaran al-Quran yang
berbahasa Arab. Tesis bahwa al-Quran tidak lagi menjadi verbum
dei dalam terjemahan, menurut al-Maragi, hanya absah dengan
prasyarat tertentu. Terjemahan al-Quran secara sederhana tidak
merepresentasikan kata-kata manusia (kalãm al-nãs), sebab
sekalipun tidak mengandung Kalam Allah secara harfiah,
kandungan terjemahan terdiri dari makna kata-kata Tuhan. Sejalan
dengan ini, ulama terkenal Mesir lainnya, Farid Wajdi, juga
menunjukkan bahwa menerjemahkan makna (ma‘ãnî) al-Quran
itu diizinkan.
Beberapa saat menjelang dan setelah surutnya kontroversi
tentang “nasionalisasi” Islam di Turki, bermunculan beberapa
terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa dunia Islam, seperti
dalam bahasa Persia, Urdu, Cina, Burma, Tionghoa dan lainnya.
Dalam bahasa negara kita , muncul beberapa terjemahan al-Quran
yang digarap antara lain oleh A. Hasan, Munawar Khalil, Mahmud
Yunus, dan Kemajuan Islam Yogyakarta. Penerjemahan al-Quran
ke dalam beberapa bahasa daerah di negara kita – seperti bahasa
Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Makassar, dan lainnya – juga dilakukan.
Pada 1967, Pemerintah negara kita secara resmi membentuk tim
penerjemah al-Quran yang beranggotakan beberapa pakar al-Quran
terkemuka di negeri ini – seperti Hasbi Ashshiddieqy, Bustami A.
Gani, Muchtar Yahya, Mukti Ali, KH. A. Musaddad, KH. Ali
Maksum, dan lainnya. Setelah bekerja selama delapan tahun, tim
ini berhasil menyelesaikan Al-Quran dan Terjemahnya, yang
kemudian diterbitkan dengan anggaran rutin Pemerintah Indone-
sia.
Sementara beberapa sarjana Muslim lainnya – seperti Maulana
Muhammad Ali, Mirza Abu’l Fazl,50 Bashir al-Din Ahmad,
Muhammad Hamidullah, Sadr-ud-Din, Marmaduke Pickthall,
Muhammad Asad, dan lainnya – juga telah mengusaha kan
penerjamahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Dengan
pengecualian beberapa terjemahan ke dalam bahasa Eropa,
keseluruhan terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa ini,
sebagaimana dengan terjemahan al-Quran yang digarap pada masa-
masa sebelumnya, mengikuti praktek kuasi-terjemahan yang bersifat
interlinear, di mana setiap baris teks Arab diikuti dengan
terjemahannya, atau teks Arab dan terjemahannya diletakkan secara
berdampingan. Demikian pula, sebagian besar karya ini
menggunakan istilah tafsir sebagai judulnya.
Permasalahan tentang boleh tidaknya menerjemahkan al-
Quran barangkali mesti dilacak di dalam al-Quran sendiri dan
fenomena Islam yang awal. Memang benar bahwa al-Quran itu
diwahyukan dalam bahasa Arab, seperti yang diklaim kitab suci
itu dalam beberapa kesempatan. namun , pewahyuan dalam bahasa
Arab ini juga mesti diselaraskan dengan doktrin lainnya tentang
universalisme Islam: risalah yang dibawa Nabi adalah untuk seluruh
umat manusia,51 bukan hanya untuk orang Arab.
Penelaahan terhadap konteks beberapa bagian al-Quran yang
mengekspresikan pewahyuannya dalam bahasa Arab akan
menjelaskan bahwa pemilihan bahasa ini lebih didasarkan pada
tradisi Tuhan yang selalu mengutus rasul dengan bahasa kaumnya
(14:4), berdasar pertimbangan agar mudah dipahami orang-
orang yang menjadi sasaran dakwah Nabi (12:2; 42:7; 43: 3;) dan
memudahkan bagi Nabi sendiri (19:97). Jika al-Quran diwahyukan
dalam bahasa non-Arab, maka hal ini – selain tidak patut, sebab
Nabi adalah seorang Arab – akan sulit dipahami oleh orang-
orang yang menjadi sasaran dakwah Nabi (41:44). Jadi, alasan
pewahyuan al-Quran dalam bahasa Arab terlihat sangat naturalistik
dan logis, dan tidak memberi kesan tentang bahasa Arab sebagai
lingua sacra. Penekanannya dalam hal ini adalah pada kemudahan
manusia dalam memahami pesan-pesan Ilahi. Dengan demikian,
doktrin universalisme pesan-pesan ilahi yang dibawa Nabi mesti
dipahami di dalam kerangka tradisi pengutusan ilahi dan
pertimbangan pemilihan bahasa yang sangat naturalistik dan logis
itu.
Di atas telah disinggung bahwa setelah wafatnya Nabi, terjadi
perluasan domain politik ke Persia, dan pada titik ini mulai muncul
masalah tentang terjemahan al-Quran. Ada dua laporan mengenai
aktivitas Salman al-Farisi dalam menangani masalah ini .
Laporan pertama mengemukakan bahwa beberapa orang Persia
meminta Salman menuliskan sesuatu dari al-Quran bagi mereka
dalam bahasa Persia. Salman kemudian menerjemahkan surat al-
Fãtihah untuk mereka. Laporan kedua mengungkapkan bahwa
orang-orang Persia berkirim surat kepada Salman memintanya
menerjemahkan surat al-Fãtihah ke dalam bahasa Persia, yang
dilakukannya. Mereka menggunakan terjemahan itu di dalam shalat
hingga terbiasa. Salman lalu menyampaikan hal ini kepada Nabi,
dan ia tidak mencelanya.
Laporan tentang terjemahan Salman di atas, terutama laporan
kedua, bisa diragukan otentisitasnya, sebab pada masa Nabi do-
main politik Islam belum meluas ke Persia. Lebih jauh, apabila
Nabi menyetujui pembacaan bagian al-Quran dalam bahasa Per-
sia di waktu shalat, maka masalahnya telah selesai dan tidak
mungkin timbul kontroversi akut tentangnya pada masa
belakangan. Tampaknya, asal-usul Persia Salman, seorang sahabat
Nabi yang merupakan salah satu pengikut Islam pertama dari
kalangan non-Arab, telah membuatnya dijadikan otoritas untuk
fabrikasi kedua laporan ini .
Terlepas dari otentisitas kedua laporan di atas, elan dasar yang
dikandungnya terlihat bersesuaian dengan sikap Nabi terhadap
teks verbal wahyu, seandainya hadits-hadits tentang pewahyuan
al-Quran dalam tujuh ahrûf dipandang absah. Sebagaimana
ditunjukkan dalam bab 9, Nabi biasanya menyelesaikan masalah
perbedaan bacaan al-Quran di kalangan para pengikutnya yang
awal secara fleksibel dan toleran dengan mengungkapkan
pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf , dan selalu
menekankannya sebagai kemudahan dalam pembacaan kitab suci
itu.
Penyelesaian Nabi ini merupakan pijakan otoritatif bagi
keragaman bacaan yang mewarnai sejarah awal al-Quran,
sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa bab yang lalu,
khususnya bab 4 dan seterusnya. Kata-kata al-Quran, menurut alur
ini, dapat dibaca menurut berbagai dialek Arab dari mana
pembacanya berasal. namun , di sini timbul permasalahan: apakah
hal ini merupakan suatu lisensi untuk menyimpang secara harfiah
dari teks, dengan ketentuan spirit teksnya tetap terjaga? Al-Thabari,
saat mendiskusikan berbagai keragaman bacaan al-Quran dalam
tafsirnya, memperlihatkan secara jelas bahwa perbedaan yang terjadi
dalam keragaman pembacaan al-Quran adalah dalam tilãwah,
bukan dalam ma‘ãnî.53 Dengan kata lain, perbedaan terjadi dalam
huruf-huruf teks, bukan dalam spirit teks. Dalam bab 4 dan 5 di
atas juga telah ditunjukkan bahwa dalam mashãhif para sahabat
Nabi – seperti Ali, Ubay, Ibn Mas‘ud dan Ibn Abbas – kemunculan
beberapa kata yang merupakan sinonim untuk kata-kata dalam
teks utsmani, penyingkatan atau penambahan yang tidak
mempengaruhi makna, dan kasus lainnya yang sejenis, merupakan
hal yang lazim ditemui. Ibn Hajar juga mengemukakan bahwa al-
Quran biasanya dibaca para sahabat Nabi dengan menggunakan
sinonim-sinonim untuk kata-kata yang tidak bisa diucapkan,
sekalipun tidak ada otoritas tentangnya.54 Sementara Ibn
Mas‘ud bahkan dikabarkan telah melangkah lebih jauh lagi dan
membolehkan pembacaan al-Quran menurut maknanya (al-qirã’-
ah bi-l-ma‘nã). namun , Ibn al-Jazari dengan keras menolak pekabaran
ini: “ wa ammã man yaqûlu innã ba‘da al-shahãbah ka ibn mas‘ûd
kãna yujîzu al-qirã’ah bi-l-ma‘nã fa qad kadzaba.”
Sekalipun demikian, jika berbagai ragam bacaan dalam teks
Arab dipraktekkan dan dibolehkan, maka apakah hal ini, secara
analogis, menunjukkan kebolehan menerjemahkan al-Quran ke
dalam bahasa selain Arab? ada beberapa isyarat dalam
beberapa surat Nabi yang dikirim ke berbagai penguasa dunia saat
itu mengenai masalah ini.56 Jadi, saat Nabi menulis surat dalam
bahasa Arab ke Penguasa Bizantium, ia tentunya berharap agar
suratnya – di dalamnya ada suatu kutipan ayat al-Quran (3:64)
– diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, susaha dapat dipahami
maksudnya. Sebagaimana dikabarkan Ibn Abbas dari Abu Sufyan
ibn Harb bahwa Heraclius memanggil seorang penerjemah untuk
membacakan surat Nabi itu dalam bahasa Yunani, yang berbunyi:
“Dengan Nama Allah Yang Pengasih Yang Penyayang. Dari
Muhammad Utusan Allah kepada Heraclius Penguasa Romawi ….
Hai ahli kitab, marilah menuju suatu kata yang sama antara kami
dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak
menyekutukan sesuatupun dengannya ….”
Dengan demikian, baik al-Quran maupun tradisi kesejarahan
Islam yang awal tidak memberikan petunjuk apapun bagi usaha
sakralisasi bahasa al-Quran yang dilakukan pada masa belakangan.
Pelarangan terjemahan al-Quran ke dalam berbagai bahasa – sebagai
akibat dari sakralisasi ini – telah menciptakan kesulitan bagi
pemeluk-pemeluk Islam non-Arab. Hal ini secara jelas bertentangan
dengan tujuan pewahyuan al-Quran – yakni agar manusia bisa
memahaminya – dan bertabrakan dengan keyakinan tentang
universalisme Islam. Adalah benar bahwa Tuhan telah membuat
atau mewahyukan al-Quran dalam bahasa Arab, namun manusia
bisa membuatnya menjadi berbahasa Persia, Turki, Urdu, Cina,
negara kita , atau bahasa-bahasa dunia lainnya.
Tafsir al-Quran
usaha lain untuk memahami al-Quran, yang dalam
kenyataannya paling banyak dilakukan di kalangan kaum
Muslimin, adalah melalui tafsir. Istilah tafsîr – berasal dari kata
fassara, “menjelaskan,” “menerangkan,” “menyingkap” atau
“menampakkan” – secara khusus bermakna penjelasan atas al-
Quran atau ilmu tentang penafsiran kitab suci ini . Sinonim
untuk kata ini adalah syarh atau ta’wîl. Istilah syarh tidak digunakan
dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki makna senada,
sebab telah menjadi terminologi teknis dalam ilmu-ilmu hadits
untuk komentar atas hadits. Sementara ta’wîl – berasal dari kata
awl, “kembali ke asal,” di dalam al-Quran bermakna “akibat,”
“kesudahan” (7:53; 10:39) – masih tetap eksis dalam perbendaharaan
kajian-kajian al-Quran. Pada awalnya, kata ini digunakan sebagai
sinonim untuk tafsîr dan tetap seperti itu setidak-tidaknya hingga
ke masa al-Thabari. Mufassir agung dalam jajaran tradisional ini
masih menggunakan kata ta’wîl sebagai sinonim untuk tafsîr dalam
magnum opus-nya. Bahkan judul karya agungnya, Jãmi‘ al-Bayãn
‘an Ta’wîl Ãy al-Qur’ãn, dengan jelas merefleksikan sinonim antara
kata tafsîr dan ta’wîl.
Belakangan kata ta’wîl berubah menjadi istilah teknis untuk
penjelasan internal atas material atau kandungan al-Quran,
sedangkan tafsîr diterapkan untuk penjelasan filologis yang bersifat
eksternal terhadap al-Quran. Tafsîr mencakup penjelasan tentang
sebab pewahyuan suatu bagian al-Quran, kedudukan bagian
ini dalam surat termaksud, dan kisah sejarahnya. Penjelasan
ini juga menyangkut penentuan masa pewahyuan (Makkiyah-
Madaniyah), muhkam-mutasyãbih, nãsikh-mansûkh, ‘ãm-khashsh
dan lainnya. Sementara ta’wîl mencakup penjelasan makna umum
maupun khusus kata-kata al-Quran,59 atau istilah teknis untuk
penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Quran.60 sebab itu,
ta’wîl tidak begitu disukai kalangan ortodoksi Islam. Pembedaan
ini tampaknya dilakukan untuk menghantam berbagai
kecenderungan liar dalam penafsiran yang, lewat penjelasan alegoris,
telah memaksakan gagasan-gagasan “aneh” ke dalam teks literal
al-Quran.
Sebagai usaha untuk memahami dan menjelaskan kandungan
pesan al-Quran, tafsir – berdasar beberapa pernyataan al-Quran
– dapat dikatakan telah eksis pada awal Islam dan dimotori oleh
Nabi Muhammad sendiri. Salah satu bagian al-Quran yang
mengungkapkan peran Muhammad sebagai penjelas wahyu ilahi
adalah 16:44, “Telah Kami turunkan kepadamu al-dzikr ( yakni al-
Quran), agar kamu jelaskan kepada umat manusia apa-apa yang
telah diturunkan kepada mereka” (cf. 16:64).
Penafsiran al-Quran yang dilakukan Nabi direkam dalam
berbagai koleksi hadits, biasanya dengan judul kitãb al-tafsîr, yang
disusun mengikuti sekuensi surat dalam mushaf utsmani.61 Jumlah
riwayat tafsir ini relatif sedikit dan tidak mencakup keseluruhan
al-Quran. Salah satu ilustrasi paling populer – di mana Nabi
menafsirkan kata zhulm (6:82) sebagai syirk (31:13) – adalah yang
riwayat dari Abd Allah berikut ini:
saat diturunkan ayat: “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan zhulm…” (6:82),
maka ia menyusahkan para sahabat dan mereka berkata: “Siapa
di antara kita yang tidak mencampuradukkan keimanannya
dengan kezaliman?” Maka bersabdalah Nabi: “Ayat itu tidaklah
seperti yang kalian pikirkan, namun seperti yang dikatakan
Luqman kepada anaknya: ‘Sesungguhnya sirik adalah
kezaliman yang besar’ (31:13).”
beberapa sarjana Muslim lebih jauh menekankan bahwa
penjelasan Nabi terhadap al-Quran tidak hanya bersifat verbal,
namun juga bersifat praktis. Prilaku (sunnah) aktual Nabi, dengan
demikian, dipandang sebagai penjelasan par exellence atas al-Quran.
Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbaliyah, misalnya,
menegaskan bahwa sunnah menerangkan al-Quran dan
menjelaskannya.63 Gagasan semacam inilah yang kemudian
menjadi basis teoritis eksploitasi hadits-hadits Nabi dalam
penafsiran al-Quran.
Generasi pertama Islam telah mentransmisikan berbagai
penjelasan Nabi atas al-Quran dan berbagai tindakan ekstra
quraniknya dari generasi ke generasi. Namun, sebab pemahaman
mereka yang baik terhadap bahasa, pengetahuan mereka yang luas
terhadap suasana dan umwelt pewahyuan, dan wawasan mereka
yang dalam tentang agama, para sahabat ini juga melengkapi
transmisi itu dengan penjelasan mereka sendiri. Proses transmisi
ini kemudian berujung pada pembukuan atau kompilasi hadits
yang terjadi pada masa peralihan dari dinasti Umaiyah