Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 14


 hasil

memapankan dirinya sebagai textus receptus.

Edisi kanonik utsmani, selaras dengan kenyataan sejarah, telah

mencakupkan keseluruhan wahyu ilahi yang diterima Nabi yang

semestinya dimasukkan ke dalamnya. ada  berbagai laporan

tentang eksistensi bagian-bagian tertentu al-Quran yang tidak

direkam secara tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd, dan

sebab  itu menggoyahkan otentisitas dan  integritas kodifikasi

Utsman. namun , sebagian besar laporan ini  secara pasti

merupakan fabrikasi belakangan. Ortodoksi Islam mengajukan

solusi lain tentangnya dengan mengaplikasikan doktrin al-nãsikh

wa-l-mansûkh dan menghitung materi-materi yang ada di dalam

laporan-laporan ini  masuk ke dalam kategori wahyu “yang

terhapus” baik hukum maupun bacaannya atau sekedar terhapus

bacaannya saja. Solusi ini jelas tidak realistik dan lebih merupakan

usaha  untuk menjustifikasi berbagai perbedaan dalam penafsiran

al-Quran.  Sementara beberapa  sekte Islam – seperti Syi‘ah dan

Khawarij – juga mengajukan skeptisismenya terhadap otentisitas

dan integritas mushaf utsmani, namun keberatan mereka lebih

bertumpu pada prasangka dogmatis atau etis dan tidak memiliki

pijakan apapun yang solid. Hal yang sama juga berlaku untuk

serangan lainnya yang datang dari beberapa  pengamat Barat.

usaha  Utsman untuk melakukan unifikasi atau standardisasi

teks dan bacaan al-Quran terlihat belum mencapai hasil yang

dihajatkan. Scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin al-

Quran saat  itu masih membuka peluang bagi pembacaan teks

kitab suci secara beragam. Selain non-eksistensi tanda-tanda vokal,

beberapa  konsonan yang berbeda dalam aksara ini dilambangkan

dengan simbol-simbol yang sama. Kekeliruan pembacaan teks al-

Quran (tashhîf ) yang disalin dalam aksara semacam itu tentu saja

bisa diminimalisasi atau dihindari jika seseorang mempunyai tradisi

hafalan yang kuat, atau paling tidak memiliki tingkat keakraban

yang tinggi terhadap teks al-Quran. Bahkan, ada  kesan  yang  kuat

bahwa scriptio defectiva juga turut berperan dalam memunculkan

variae lectiones. namun , asumsi semacam ini tidak dibenarkan dalam

pandangan dunia tradisional, yang menganggap bacaan-bacaan

ini  – khususnya dalam kategori mutawãtir (kiraah tujuh) dan

masyhûr (kiraah sepuluh) – merupakan bacaan-bacaan otentik

untuk al-Quran yang bersumber dari Nabi. Pandangan ini

dipijakkan pada beberapa  hadits yang mengungkapkan tentang

pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahrûf. Namun, hadits-hadits ini,

yang dipandang mutawãtir lantaran diriwayatkan beberapa  besar

sahabat Nabi, layak dipertanyakan keabsahannya. Kalangan Syi‘ah,

misalnya, tidak mengenal keberadaan hadits-hadits semacam itu

dan meyakini bahwa al-Quran hanya diwahyukan dalam satu harf.

Menurut penjelasan tradisional, kekeliruan pembacaan al-

Quranlah yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap

rasm al-Quran atas prakarsa otoritas politik, seperti Ziyad ibn

Samiyah dan al-Hajjaj ibn Yusuf. Langkah aktual penyempurnaan-

nya – yakni penciptaan tanda-tanda vokal, titik-titik diakritis untuk

pembedaan konsonan-konsonan bersimbol sama, dan  beberapa 

tanda ortografis lainnya – dikabarkan telah dilakukan oleh beberapa

pakar bahasa, seperti Abu al-Aswad al-Du‘ali, Nashr ibn Ashim,

Yahya ibn Ya‘mur, al-Khalil ibn Ahmad dan lainnya.

Versi tradisional tentang penyempurnaan aksara Arab itu, selain

berkontradiksi antara satu dengan lainnya, juga bertabrakan dengan

temuan-temuan paleografi atau manuskrip-manuskrip al-Quran

yang awal. Dari berbagai temuan ini, dapat disimpulkan bahwa

scriptio plena tidak muncul dalam sesaat , namun  diintroduksi

secara gradual melalui serangkaian perubahan yang bersifat

eksperimental. Penyempurnaan aksara Arab baru mencapai titik

finalnya pada penghujung abad ke-3H/9. Introduksi scriptio plena

dalam penulisan al-Quran juga tidak berlangsung mulus, namun 

penuh dengan kontroversi yang akut dan berkepanjangan di

kalangan sarjana Muslim.

Bentuk tulisan al-Quran, setelah diintroduksinya scriptio plena,

bisa dikatakan sebagai aksara “gado-gado,” lantaran tarik-menarik

dan kompromi antara kekuatan-kekuatan yang menghendaki

penyempurnaan ortografi utsmani dan yang mempertahankan

bentuk orisinalnya. Namun, ortodoksi Islam dengan tegas

menyatakan bahwa penyimpangan terhadap rasm utsmani, yang

diyakini bersifat tawqîfî dan disepakati (ijmã‘ ) dua generasi pertama

Islam, merupakan dosa yang tidak terampuni. Meskipun tidak

ada  keseragaman dalam textus receptus yang awal, namun 

penyimpangan-penyimpangan terhadap rasm al-Quran selalu

diusaha kan dengan berbagai cara untuk diperas keluar.

Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah

melakukan sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya

dipandang sebagai produk budaya manusia. Suatu usaha 

desakralisasi rasm utsmani mungkin perlu dilakukan, mengikuti

kaidah-kaidah yang lazim dalam penulisan, jika kepentingan

warga  Muslim awam non-Arab dimasukkan ke dalam

pertimbangan. Pada titik ini, kalangan tertentu sarjana Muslim

bahkan mengajukan proposal penggantian aksara Arab dengan

aksara Latin. Gagasan semacam ini mendapat angin dengan

munculnya transliterasi Latin al-Quran di Turki dan beredarnya

salinan tercetak surat-surat tertentu al-Quran dalam aksara Latin –

misalnya surat 36. namun , bentuk teks Arab yang lebih diakrabi

warga  awam tetap merupakan alternatif yang harus

diusaha kan.

Proses sakralisasi yang sama, seperti ditunjukkan dalam

lampiran pertama,  juga terjadi dengan bahasa Arab. Lantaran

dipandang sebagai lingua sacra, berbagai usaha  penerjemahan al-

Quran ke dalam bahasa-bahasa non-Arab telah mengalami

tantangan serius dari mayoritas ortodoksi Islam – kecuali mazhab

Hanafiyah – setidak-tidaknya hingga permulaan abad ke-20.

Sakralisasi bahasa Arab dengan jelas memposisikan al-Quran di

luar jangkauan mayoritas Muslim non-Arab. Kompromi dalam

bentuk kuasi-terjemahan interlinear memang berhasil dicapai, namun 

kemungkinan terjemahan harfiahnya telah ditolak berdasar 

pijakan-pijakan dogmatis. Dalam kasus inipun usaha  desakralisasi

mesti dilakukan. Adalah benar bahwa Tuhan, selaras dengan tradisi

pengutusan-Nya, telah membuat atau mewahyukan al-Quran dalam

bahasa Arab. namun , manusia juga bisa membuat kitab suci itu

menjadi berbahasa Persia, Turki, Urdu, negara kita , atau lainnya.

Kompromi lama tentang terjemahan interlinear barangkali mesti

dipertahankan dalam rangka memelihara kemurnian teks, asalkan

teks yang digunakan itu memberikan “kemudahan” bagi

pembacanya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam

terjemahan al-Quran adalah eksistensi keragaman teks dan bacaan

kitab suci ini . Tradisi yang sangat kaya ini, jika dieksploitasi

sebagaimana mestinya, jelas akan sangat membantu dalam proses

penerjemahan.

Berdampingan dengan proses introduksi scriptio plena dalam

penyalinan al-Quran, usaha  unifikasi berbagai bacaan al-Quran

(variae lectiones) semakin mengkristal di dalam tubuh umat Is-

lam, seirama dengan penerimaan mushaf utsmani sebagai textus

receptus. usaha  ini mencapai momentumnya pada awal abad ke-

4H/10 setelah scriptio plena mencapai bentuk akhirnya. Proses

unifikasi variae lectiones berlangsung dalam dua etape: unifikasi

bacaan di dalam suatu wilayah, dan unifikasi bacaan antara wilayah-

wilayah. Proses ini berjalan lewat ikhtiyãr yang berorientasi kepada

prinsip mayoritas (ijmã‘ ). namun , saat  tengah berada di etape

kedua, muncul kecenderungan tradisionalisme yang kaku dan

sangat dominan – lantaran dukungan otoritas politik – dan  telah

mendistorsi jalannya proses unifikasi ini . Ibn Mujahid, lewat

kompilasi kiraah tujuhnya, mendesak bahwa penggabungan antara

ragam bacaan yang memiliki asal-usul berbeda tidak diperkenankan,

dan menuntut bahwa setiap sistem bacaan al-Quran mesti

disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan.

Hasilnya, ortodoksi Islam – dengan dukungan penuh otoritas

politik –  menyepakati eksistensi kiraah tujuh (al-qirã’ãt al-sab‘ )

yang dihimpun Ibn Mujahid sebagai bacaan-bacaan otentik atau

lectio vulgata  bagi textus receptus.

Sebagaimana dengan tulisan dan bahasa al-Quran, sakralisasi

juga dilakukan ortodoksi Islam terhadap bacaan kanonik yang

tujuh. Gagasan-gagasan yang berseberangan dengan kesepakatan

tentangnya selalu diusaha kan untuk diperas keluar, dan beberapa 

sarjana Muslim terpaksa menerima nasib sial sebab  menganut

pandangan berbeda. usaha  kritisisme terhadap keragaman bacaan

al-Quran lewat ikhtiyãr, sekalipun masih berlangsung beberapa

saat setelah Ibn Mujahid, tidak memiliki pengaruh yang berarti

dalam pandangan dunia tradisional dan kehilangan maknanya

saat  berhadapan dengan ortodoksi Islam. Kegagalan usaha -usaha 

ini  bisa – atau mesti – dikaitkan dengan kecenderungan umum

yang muncul saat  itu (sekitar abad ke-10) yang memandang bahwa

gerbang ijtihãd telah tertutup. sebab  itu, usaha  untuk

mengaplikasikan ikhtiyãr – yang merefleksikan salah satu aspek

ijtihãd – dalam rangka membangun suatu sistem bacaan yang

tersendiri, tentunya merupakan hal yang tidak diperkenankan lagi.

Seirama dengan pemiskinan konsep ijtihãd – setelah itu hanya

dibatasi pada ijtihãd parsial yang membolehkan reinterpretasi

dalam batas-batas mazhab yang dianut seseorang, atau dalam

masalah-masalah tertentu – iktiyãr juga mengalami proses

pemiskinan konseptualisasi. beberapa  besar otoritas yang

mempraktekkan ikhtiyãr tidak lagi menyeleksi berbagai bacaan

untuk membangun sistem bacaan yang mandiri, namun  hanya untuk

memilih diantara berbagai transmisi (riwãyãt dan thuruq) dalam

satu sistem bacaan kanonik untuk mengisi berbagai kekosongan

yang ada di dalamnya.

Kecenderungan kuat ke arah unifikasi bacaan semakin

mengkristal pada masa-masa selanjutnya. Penemuan mesin cetak

pada abad ke-15 dan penggunaannya dalam pencetakan al-Quran,

telah mempercepat penyebaran naskah yang dicetak menurut suatu

sistem bacaan. Sekalipun sistem bacaan yang tujuh disepakati dalam

teori sebagai bacaan-bacaan otentik al-Quran, namun dalam praxis

hanya dua dari empat belas versi (riwãyãt) bacaan ini  yang

dicetak dan digunakan dewasa ini di dunia Islam. Versi pertama,

kiraah Warsy ‘an Nafi‘, digunakan beberapa  kecil kaum Muslimin

di daerah barat dan baratlaut Afrika, dan  di Yaman, khususnya di

kalangan sekte Zaydiyah. Sementara versi kedua, bacaan Hafsh

‘an Ashim, digunakan mayoritas kaum Muslimin di hampir seluruh

dunia Islam, termasuk negara kita . Pencetakan al-Quran edisi standar

Mesir pada 1923, yang disalin dengan bacaan Hafsh ‘an Ashim,

telah menjadikannya semacam supremasi kanonik. Dapat

dibayangkan bahwa pada masa-masa mendatang bacaan Hafsh ‘an

Ashim akan mengeliminasi eksistensi tertulis bacaan lain yang

tersisa, seperti terjadi dengan teks al-Quran edisi  Fluegel di dunia

akademik Barat.

Pada titik ini, gagasan untuk melanjutkan proses unifikasi

bacaan yang terputus dengan munculnya tradisionalisme kaku Ibn

Mujahid bisa dijustifikasi. namun , sebagaimana terlihat, proses

ini  telah lama mandeg dan berbagai usaha  untuk mencairkan

kebekuannya telah berhadapan secara frontal dengan ortodoksi

Islam yang memainkan peran sebagai “polisi” penjaga akidah umat.

usaha -usaha  semacam ini tentunya akan dipandang sebagai bid‘ah

atau penyimpangan terhadap kesepakatan yang telah mapan dalam

pandangan dunia ortodoksi Islam, dan sebab  itu akan selalu

diusaha kan untuk diperas keluar dengan berbagai cara.

namun , implikasi dari proses unifikasi itu, dalam kenyataannya,

telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha  serius untuk

memikirkan kembali Islam yang dengan setia berpijak pada akar

spiritualnya. sebab  usaha -usaha  semacam ini hanya bisa bertumpu

pada “Korpus Resmi Tertutup” atau tradisi teks dan bacaan tunggal

yang disepakati. Solusi yang agak moderat dan mungkin bisa

diterima ortodoksi Islam adalah para mufassir modern barangkali

perlu menengok ke dalam tradisi penafsiran al-Quran yang awal –

seperti dicontohkan al-Thabari, Zamakhsyari, dan lainnya – saat 

menjalankan ikhtiyãr atas berbagai keragaman tradisi teks dan

bacaan al-Quran yang ada. Keragaman tradisi teks dan bacaan,

seperti disimpulkan di atas, merupakan fenomena yang menonjol

dalam perjalanan historis al-Quran yang awal. Dengan me-

manfaatkan khazanah yang amat kaya ini secara kritis dalam

penafsiran al-Quran, maka konsensus tentang tradisi teks dan

bacaan tunggal tidak akan dicederai. Di sini, desakralisasi teks dan

bacaan al-Quran hanya terjadi dalam wilayah penafsiran kitab suci

ini .

Akhirnya, tujuan dari kajian ini adalah mengusaha kan suatu

rekonstruksi yang agak rinci terhadap perjalanan historis al-Quran.

Namun, sebagaimana terlihat, tidak seluruh aspek kesejarahan al-

Quran berhasil direkonstruksi secara meyakinkan. Masalah tentang

kronologi pewahyuan al-Quran dan sejarah kemunculan berbagai

tradisi teks dan bacaan al-Quran yang awal – yang sebagian besarnya

telah menghilang di dalam limbo sejarah – dan  sejarah teks dan

bacaan al-Quran pada perkembangan formatifnya, masih tetap

menyimpan beberapa  besar misteri yang menuntut penelitian lebih

jauh dan mendalam tentangnya di masa-masa mendatang.

Wa-llãh a‘lam bi-l-shawãb.


Kaum Muslimin dan al-Quran

Penghafalan dan Pembacaan al-Quran

Dalam bab 4 telah diperlihatkan bahwa bentuk paling awaldari proses interaksi antara generasi pertama Islam dan kalam

ilahi adalah penghafalan wahyu-wahyu yang diterima Nabi. Bentuk

tulisan Arab saat  itu – secara teknis dikenal sebagai scriptio

defectiva – yang lebih merefleksikan dirinya sebagai alat untuk

memudahkan hafalan, telah menunjang proses pemeliharan ver-

bum dei ke dalam “dada-dada manusia.” Bahkan terminus technicus

yang digunakan untuk menunjukkan proses pengumpulan wahyu-

wahyu yang diterima Nabi – yakni jam‘u-l-qur’ãn – juga

mencakupkan hafalan sebagai salah satu kandungan maknanya.

Hafalan, memang merupakan salah satu tradisi bangsa Arab

yang sangat menonjol saat  al-Quran diwahyukan. Lewat tradisi

ini, keseluruhan wahyu yang diterima Nabi telah dipelihara dari

kemusnahannya. Belakangan, saat  dilakukan kodifikasi resmi al-

Quran pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, komisi yang

dibentuknya – diketuai oleh Zayd ibn Tsabit – juga telah

memanfaatkan “dada-dada manusia,” yakni hafalan, sebagai sumber

kodifikasi, disamping sumber-sumber tertulis lainnya.

Setelah penyebarluasan salinan-salinan kodifikasi resmi al-Quran

ke berbagai wilayah utama Islam, transmisi al-Quran secara lisan

dalam bentuk hafalan dari generasi ke generasi tetap dipertahankan,

dan merupakan suatu tradisi oral independen yang terpisah dari

teks tertulis.1  Bentuk scriptio defectiva yang digunakan saat  itu

untuk menyalin al-Quran, memang menyulitkan orang untuk

berpijak semata-mata pada teks dalam pembacaan al-Quran. Lantaran

kelemahan scriptio defectiva, sebagian ulama mengungkapkan


laporan lainnya bahwa saat  Utsman mendistribusi salinan-salinan

mushaf resminya ke berbagai wilayah utama imperium Islam, ia

juga mengirim beberapa  qurrã’ menyertai salinan-salinan itu untuk

mengajarkan warga  di wilayah-wilayah ini  bagaimana

membaca teks resmi al-Quran secara tepat.2  namun , kisah semacam

ini tentunya tidak sejalan dengan keberadaan ragam bacaan kanonik

atau lectio vulgata – yakni bacaan tujuh – dan  ragam bacaan non-

utsmani. Jika Utsman telah melakukan kebijakan ini , tidak

mungkin muncul perbedaan bacaan yang relatif cukup banyak di

antara berbagai kawasan Islam ataupun di dalam tradisi bacaan

kanonik itu sendiri. Bahkan, seperti ditunjukkan dalam bab 9,

dalam kasus-kasus tertentu, bacaan-bacaan kanonik juga telah

menyimpang dari teks utsmani.

Menurut keyakinan kaum Muslimin, Al-Quran telah

disampaikan secara oral oleh Nabi kepada pengikut-pengikut

pertamanya (cf.27:92), yang kemudian ditransmisikan juga secara

oral dari generasi ke generasi. Sebagian kaum Muslim bahkan

meyakini bahwa verbum dei telah disampaikan secara oral oleh

Jibril – yang menjelma secara visual – kepada Nabi.4   namun ,

keyakinan terakhir ini mungkin sulit  dijelaskan,  sebab   al-Quran

sendiri menegaskan bahwa ia diwahyukan ke dalam hati Nabi

(26:193; 2:97; 42:4). Penyampaian oral wahyu al-Quran di sini

barangkali mesti ditafsirkan bahwa Nabi memang secara aktual

“mendengar” kata-kata wahyu, namun  dalam pengertian mental,

bukan akustik, sebab  agen wahyu (Jibril) dan “suara” wahyu itu

bersifat internal baginya.

ada  beberapa  hadits yang menjelaskan berbagai usaha 

Nabi dalam mendorong penghafalan wahyu-wahyu yang telah

diterimanya. Salah satu di antaranya adalah riwayat Utsman ibn

Affan bahwa Nabi pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu

adalah mereka yang mempelajari al-Quran kemudian

mengajarkannya.”6  Nabi, sebagaimana diberitakan, juga mengirim

para sahabat untuk mengajarkan Islam dan al-Quran di berbagai

daerah. Setelah Perjanjian Aqabah, Mus‘ab ibn Umair, misalnya,

diutus Nabi dari Makkah ke Madinah untuk mengajarkan Islam

dan al-Quran kepada orang-orang Islam di kota itu.7  Nabi bahkan

menyarankan kepada umat Islam untuk mempelajari al-Quran dari

Ibn Mas‘ud, Salim, Muadz dan Ubay.

Al-Quran sendiri memberikan rangsangan senada kepada

pembacaan dan penghafalannya. Menurut beberapa  sarjana Mus-

lim, permulaan wahyu yang disampaikan kepada Nabi adalah

perintah untuk membaca (96:1-5).  Dalam 75:18, Nabi

diperintahkan mengikuti pembacaan al-Quran, dan dalam 17:106

dijelaskan bahwa pewahyuan gradual al-Quran dimaksudkan agar

Nabi dapat membacakannya kepada manusia secara bertahap,

menurut kemampuan penerimaan mereka. saat  Nabi

membacakan al-Quran kepada khalayak ramai, Tuhan membuat

penghalang antara yang beriman dan tidak beriman (17:45).

Pengikut-pengikut Nabi, yang mendengar pembacaan al-Qurannya,

diminta untuk mendengar secara hikmat dan menyimak secara

saksama agar beroleh nikmat Tuhan (7:204). Mereka diperintahkan

membaca bagian-bagian termudah al-Quran di dalam shalat (73:20).

Perintah ini, secara jelas akan memotivasi kaum Muslimin untuk

menghafalkan al-Quran.

Dengan demikian, eksistensi beberapa  penghafal al-Quran –

qurrã’, “pembaca-pembaca,” atau hamalãt al-Qur’ãn, “pengemban

atau pembawa (tradisi) Quran,” belakangan juga dikenal sebagai

hãfizh, jamak huffãzh, “penghafal” – jelas merupakan suatu

keharusan sejarah. Dari generasi pertama Islam dikabarkan bahwa

orang pertama yang membaca bagian-bagian al-Quran dengan suara

lantang dan terbuka di Makkah adalah Ibn Mas‘ud, sekalipun ia

mendapat tantangan keras dari orang-orang Quraisy yang

melemparinya dengan batu.9  Diriwayatkan juga bahwa Abu Bakr

selalu membaca ayat-ayat al-Quran secara terang-terangan di depan

rumahnya.10  Lebih jauh hadits-hadits, sebagaimana telah

dikemukakan, melaporkan keberadaan beberapa  besar sahabat Nabi

yang menghafal al-Quran.11  namun , sebab  pewahyuan saat  itu

belum selesai, maka permasalahan tentang kadar hafalan al-Quran

para sahabat ini  tidak dapat ditetapkan secara pasti.

Dalam laporan lainnya, sebagaimana yang juga telah

dikemukakan, disebutkan sekitar 70 hingga 500 qurrã’ yang

meninggal pada pertempuran Yamamah (12H.).12  Laporan ini

tampaknya terlalu dibesar-besarkan, sebab  kebanyakan Muslim

yang meninggal pada pertempuran ini  – jumlahnya sekitar

1200  orang – hampir seluruhnya merupakan pengikut-pengikut

baru Islam. F. Schwallybahkan hanya menemukan dua penghafal


al-Quran – yakni Abd Allah ibn Hafsh ibn Ganim dan Salim ibn

Ma‘qil – yang tewas dalam pertempuran itu.

Sekalipun hanya ditemukan dua penghafal al-Quran yang

meninggal dalam pertempuran Yamamah, namun laporan semacam

ini secara implisit menunjukkan banyaknya kaum Muslimin yang

hafal al-Quran saat  itu, baik sebagian ataupun seluruhnya. namun ,

sebagaimana ditunjukkan di dalam beberapa bab yang lalu, ada 

keragaman bacaan   –   juga teks   –   di antara para  qurrã’,   yang

tetap  dipelihara  dalam transmisinya dari generasi ke generasi.

Setelah penerimaan umum terhadap teks utsmani sebagai textus

receptus, muncul usaha  di kalangan sarjana untuk membatasi

bacaan al-Quran yang bersesuaian dengan teks ini . Namun,

sebab  teks itu tertulis dalam scriptio defectiva, perbedaan-

perbedaan bacaan masih tetap eksis. Setelah proses penyempurnaan

aksara Arab selesai pada penghujung abad ke-9 dan diterapkan

dalam penyalinan al-Quran, muncul usaha  yang lebih kuat ke

arah keseragaman bacaan pada awal abad ke10, yang biasanya

dikaitkan dengan nama besar Ibn Mujahid. Dengan dukungan

otoritas politik, gerakan ini berhasil memeras beberapa  besar bacaan

yang eksis di kota-kota besar Islam saat  itu menjadi tujuh bacaan

(al-qirã’ãt al-sab‘ ), yang kemudian mendominasi pembacaan dan

penghafalan al-Quran di kalangan kaum Muslimin.

Dominasi ini bisa dilacak dalam berbagai sistem pengajaran

al-Quran dan kiraah yang berjalan setelah itu. Al-Syathibi (w. 590H),

misalnya, mengharuskan murid-muridnya yang hendak menjadi

pengajar al-Quran menamatkan secara keseluruhan tiga kali

pembacaan al-Quran menurut masing-masing kiraah dalam bacaan

tujuh – setiap kalinya menurut dua versi (riwãyah) dari tiap-tiap

kiraah,  kemudian sekali lagi dengan mengumpulkan kedua versi

itu secara bersama-sama (jam‘ ).14  Sebelum masa al-Syathibi,

tuntutan yang diajukan pengajar al-Quran lebih berat lagi. Al-

Hushri (w. 486H), mengharuskan 70 kali pengkhataman tujuh

bacaan kanonik.15  Di samping itu, dalam proses pembelajaran ini,

mata rantai periwayatan tiap-tiap kiraah mesti dikuasai.

Tradisi kaum Muslimin, dengan demikian, memberikan tempat

yang sangat khusus kepada pembacaan atau penghafalan al-Quran.

Bahkan, ada  penekanan yang tegas pada pentingnya

pembelajaran al-Quran dalam usia belia. Dikabarkan bahwa salah

satu khalifah banu Umaiyah, Hisyam ibn Abd al-Malik (w. 743),

setelah menunjuk Sulaiman ibn al-Kalbi sebagai tutor agama

anaknya, memberinya petuah: ”Nasihatku yang pertama kepadamu

adalah usaha kanlah agar ia (anakku) belajar Kitab Allah. Setelah

itu, barulah engkau bisa menyampaikan kepadanya karya-karya

puitis pilihan.”

Dikabarkan bahwa pernah menjadi kebiasaan di kalangan

kaum Muslimin untuk mulai mengajarkan anak mereka menghafal

al-Quran saat  berusia empat tahun. Praktek semacam ini biasanya

dihubungkan dengan hadits-hadits tertentu Nabi atau dengan

praktek generasi awal Islam. Jadi, Abu Abd Allah Muhammad ibn

Idris al-Syafi‘i (w. 820), pendiri mazhab Syafi‘iyah, misalnya,

dikabarkan telah menghafal keseluruhan al-Quran saat  berusia

tujuh tahun. namun  Malik ibn Anas tidak menyukai praktek

semacam itu, sebab  menguatirkan kekeliruan artikulasi kata-kata

al-Quran oleh anak-anak yang masih terlalu kecil. Di samping itu,

menurutnya, praktek ini  tentunya akan menghambat

kebebasan bermain mereka yang sangat vital untuk perkembangan

fisiknya.

Selama berabad-abad telah muncul di berbagai wilayah Islam

sekolah-sekolah khusus yang mengajarkan al-Quran kepada anak-

anak kaum Muslimin, baik dengan tujuan agar mereka “melek”

baca al-Quran ataupun mampu menghafalkannya. Nama populer

untuk sekolah ini sangat bervariasi,  namun   pada umumnya dikenal

sebagai kuttãb (jamak: katãtîb). Secara historis, sekolah semacam

itu pertama kali diinstruksikan pembangunannya oleh Khalifah

Umar ibn Khaththab. Sebelumnya, pengajaran al-Quran bagi anak-

anak hanya merupakan urusan pribadi kaum Muslimin, dan

biasanya orang tua mengajarkan anaknya secara privat.18

Sejalan dengan institusionalisasi pengajaran al-Quran, dan

terutama sekali setelah proses unifikasi bacaan al-Quran,

berkembang ilmu spesifik untuk pembacaan al-Quran yang dikenal

sebagai tajwîd – dari kata jawwada, “membuat sesuatu menjadi

lebih baik.” Tajwîd memberikan pedoman bagaimana membaca

al-Quran secara tepat, benar, sempurna, dan – sebab  itu – bertujuan

melindungi lidah melakukan kekeliruan dalam resitasi verbum

dei. Selain membahas masalah artikulasi huruf-huruf hijaiyah, ilmu

ini juga membicarakan tentang aturan-aturan yang mengatur


masalah pausa (waqf), inklinasi (imãlah), dan kontraksi (ikhtishãr),

dan lainnya.

Dalam khazanah literatur Islam, selain tajwîd, ada 

beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu

spesifik pembacaan al-Quran ini, yaitu:

(i) Tartîl , berasal dari kata rattala , “melagukan,”

“menyanyikan,” yang pada awal Islam hanya bermakna

pembacaan al-Quran secara melodik. Al-Suyuthi

menjelaskan bahwa tartîl mencakup pemahaman tentang

pausa dalam pembacaan dan artikulasi yang tepat huruf-

huruf hijaiyah. Dewasa ini, istilah ini  tidak hanya

merupakan suatu terma generik untuk pembacaan al-

Quran, namun  juga merujuk kepada pembacaannya secara

cermat dan perlahan-lahan.

(ii) Tilãwah, berasal dari kata talã, “membaca secara tenang,

berimbang dan menyenangkan.” Di masa pra-Islam, kata

ini digunakan untuk merujuk pembacaan syair.

Pembacaan semacam ini mencakup cara sederhana

pendengungan atau pelaguan yang disebut tarannum.

(iii) Qirã’ah, berasal dari kata qara’a, “membaca,” yang mesti

dibedakan dari penggunaannya untuk merujuk keragaman

bacaan al-Quran. Di sini, pembacaan al-Quran mencakup

hal-hal yang ada di dalam istilah-istilah lain, seperti

titinada tinggi dan rendah, penekanan pada pola-pola

durasi bacaan, pausa, dan sebagainya.

Secara historis, pembacaan al-Quran – sebagaimana dituju

dalam tajwîd – telah dimulai pada masa awal Islam. Al-Quran

barangkali telah dibaca sebagaimana pembacaan syair dan sajak

yang menjadi ciri periode ini . M. Talbi mengemukakan bahwa

generasi pertama Islam telah melantunkan al-Quran dengan lagu

yang sederhana.22  namun , setelah berkembang menjadi suatu

disiplin, ilmu tentang seni baca al-Quran ini telah menjadi basis

teoretis dan praxis pengajaran al-Quran di berbagai belahan dunia

Islam.

Di negara kita , pengajaran al-Quran dilakukan dalam bentuk

privat dan institusional.23  Dalam sistem privat, yang biasanya

diberikan di rumah atau di surau, penekanan utamanya hanya

pada tataran “melek” baca al-Quran dengan materi hafalan surat-

surat pendek. Sistem yang digunakan mengikuti kaidah bagdadiyah,

mulai dari pengenalan huruf hijaiyah, dilanjutkan dengan

pembacaan juz ‘amma (juz ke-30, surat 78-114) yang surat-suratnya

disusun terbalik – mulai surat-surat pendek ke arah surat-surat

yang lebih panjang. Pada tahap ini, penghafalan surat-surat pendek

dalam juz ini  ditekankan. Setelah itu, barulah pembacaan

aktual al-Quran dilakukan, mulai dari surat 1 sampai surat 114.

Sistem pengajaran semacam ini membutuhkan waktu yang relatif

cukup lama, namun  penghafalan surat-surat pendek al-Quran –

khususnya juz ‘amma – terlihat berhasil dicapai.

Lantaran berbagai kelemahannya, belakangan sistem

pengajaran ini disempurnakan dengan diintroduksinya metode

baru yang dikenal sebagai iqrã’. Metode ini – ditunjang dengan

beberapa  modul pengajaran – memperkenalkan cara cepat membaca

al-Quran.24  Dalam sistem ini, anak didik pertama-tama diharuskan

menyelesaikan enam modul,25  kemudian dilanjutkan dengan

pembacaan aktual al-Quran –  disebut “tadarus” – yang dimulai

dari surat pertama hingga surat terakhir, sesuai  dengan sekuensi

resmi mushaf  utsmani. Dalam berbagai tahapan pengajaran, anak

didik juga diharuskan menghafalkan surat-surat pendek, bacaan-

bacan untuk praktek ibadah, dan doa-doa sehari-hari, yang juga

memiliki modul tersendiri.

Metode iqrã’ tampaknya cukup berhasil. Hal ini bisa dilihat

dari kemunculan berbagai TPA (Taman Pendidikan al-Quran) dan

TKA (Taman Kanak-kanak Al-Quran) di seluruh wilayah Indone-

sia yang rata-rata menggunakan modul metode ini . namun ,

tujuan penghafalan surat-surat pendek al-Quran dalam sistem ini

terlihat tidak begitu berhasil dibandingkan dengan sistem

sebelumnya – kaidah bagdadiyah.

Sistem pengajaran al-Quran secara institusional diterapkan

dalam berbagai lembaga pendidikan umat Islam, seperti pesantren,

madrasah ataupun perguruan tinggi. Di sini, di samping berbagai

ilmu keislaman lainnya, al-Quran diajarkan secara lebih sistematis

dan dengan pijakan-pijakan teoritis – baik tradisional ataupun

modern – yang solid. Dalam lingkungan lembaga pendidikan

pesantren, ada  beberapa institusi yang mengkhususkan diri

pada penghafalan al-Quran.Pada tingkat perguruan tinggi,

ada  jurusan tafsir-hadits – yang mengikuti model universitas

al-Azhar di Mesir – pada fakultas syari’ah, yang kemudian ditransfer

ke fakultas ushuluddin, di berbagai IAIN (Institut Agama Islam

Negeri) yang ada. Bahkan ada  sebuah perguruan tinggi yang

mengkhususkan diri dalam studi-studi al-Quran, yakni Institut

Ilmu Al-Quran di Jakarta.

Setiap tiga tahun di negara kita  diadakan suatu turnamen

berskala nasional untuk pembacaan al-Quran. Para kontestannya

datang dari seluruh propinsi negeri ini, dan dibedakan menurut

jenis kelamin – pria dan wanita – untuk penjurian. Di samping

itu, pedan  yang buta juga membentuk satu kategori penilaian

yang mencakup penilaian hafalan. Turnamen yang disebut sebagai

MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an, “Kompetisi Pembacaan al-

Quran”) ini, secara luas dipandang kaum Muslimin negara kita 

sebagai suatu disiplin nasional. Kompetisi-kompetisi pada tingkat

kecamatan, kabupaten dan propinsi, biasanya diadakan terlebih

dahulu menjelang turnamen nasional.

namun , salahsatu negeri Islam yang paling terkemuka dalam

pembelajaran al-Quran adalah Mesir, tanah air salah satu perawi

kiraah tujuh, Warsy, yang dilukiskan al-Jazari sebagai syaikh al-

qurrã’.27  Dalam perjalanan sejarah Islam, negeri ini telah menjadi

salah satu pusat pengajaran al-Quran yang terkemuka, di mana

beberapa  mazhab kiraah terkenal berada. Hingga dewasa ini,

penghafalan al-Quran merupakan kesibukan utama anak-anak

kaum Muslimin pada sekolah-sekolah tingkat dasar di Mesir. Dalam

kenyataannya, mata pelajaran inti dalam kurikulum sekolah-sekolah

tingkat dasar, katãtîb dan sekolah-sekolah sejenis, adalah

penghafalan al-Quran. Mata pelajaran lain diajarkan sebagai

tambahan untuk mata pelajaran inti ini . Universitas al-Azhar,

dan pusat-pusat studi yang berafiliasi dengannya, seperti Dar al-

‘Ulum dan Akademi Hukum Syari‘ah, bahkan mensyaratkan

penerimaan mahasiswa yang hafal keseluruhan al-Quran.

Terjemahan al-Quran

Salah satu cara bagi kaum Muslimin non-Arab yang tidak bisa

berbahasa Arab untuk memahami al-Quran adalah lewat

terjemahan kitab suci itu ke dalam bahasa ibu mereka. namun ,

apakah al-Quran – yang menyatakan dirinya diturunkan dalam

bahasa Arab29  – bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa non-

Arab merupakan suatu masalah yang telah menimbulkan

kontroversi akut dan berkepanjangan di dalam sejarah Islam.

Pada masa Nabi, barangkali tidak ada yang pernah mem-

bayangkan kemungkinan bahwa al-Quran mesti diterjemahkan

secara sebagian atau seluruhnya ke dalam suatu bahasa asing.saat 

itu, Islam memang belum melangkah ke luar kawasan Arab. namun ,

dengan tersebarnya Islam memasuki kawasan-kawasan non-Arab,

khususnya Persia untuk tahap awal setelah wafatnya Nabi,

kebutuhan pemeluk-pemeluk baru Islam yang non-Arab akan suatu

terjemahan al-Quran dalam rangka memahami ajaran-ajaran

Islam mulai muncul ke permukaan.

Masalah terjemahan ini pertama kali muncul di kalangan

pengikut baru Islam asal Persia dalam kaitannya dengan pembacaan

al-Quran di dalam shalat: Apakah boleh membaca terjemahan al-

Quran dalam bahasa Persia saat  shalat? Abu Hanifah (w. 767),

pendiri mazhab Hanafiyah, mendeklarasikan kebolehannya baik

untuk yang mengetahui bahasa Arab ataupun tidak.30  Pandangan

ini memang bisa dikaitkan dengan asal-usul Persia Abu Hanifah.

namun , concern keagamaan yang sejati dan pertimbangan-

pertimbangan praktis – yakni membengkaknya pengikut baru Is-

lam non Arab yang berasal dari latar belakang etnis dan linguistik

berbeda – tampaknya lebih menonjol dalam membentuk opini

ini . Dengan demikian, gagasan Abu Hanifah mesti

dipandang sebagai suatu usaha  untuk memecahkan permasalahan

pelik yang dihadapi Muslim-Muslim non-Arab dengan adanya

kewajiban membaca bagian atau ayat-ayat pendek di dalam shalat.

Berbeda dengan mazhab Hanafiyah, mayoritas mazhab Sunni

lainnya – Malikiyah, Syafi‘iyah dan Hanbaliyah – menegaskan

bahwa teks al-Quran mesti dibaca dalam bahasa aslinya, yakni

bahasa Arab. saat  seorang Muslim tidak sanggup membaca al-

Fãtihah dalam bahasa Arab di dalam shalatnya, maka ia harus

menggantinya dengan bagian al-Quran lain yang ia kuasai, atau

berdiam diri, atau mengulang-ulang pembacaan nama Allah untuk

jangka waktu yang sama dengan pembacaan al-Fãtihah.32

Pandangan mazhab Hanafiyah tentang kebolehan penggunaan

terjemahan al-Quran telah memberi tanda bahaya dan bahkan

memperkeras gagasan ortodoksi Islam tentang masalah terjemahan

al-Quran pada umumnya. Untuk menentang penggunaan

terjemahan dalam shalat, fuqahã’ mazhab Sunni lainnya membatasi

persetujuan mereka terhadap penerjemahan al-Quran untuk tujuan-

tujuan di luar shalat dengan syarat-syarat yang tidak jarang

mengarah kepada pelarangannya. Dan gagasan semacam inilah

yang mendominasi ortodoksi Islam selama berabad-abad.

Menurut gagasan mayoritas dalam ortodoksi Islam, terjemahan

al-Quran – dalam pengertian yang sebenarnya dari kata ini  –

adalah suatu kemustahilan. Gagasan ini terutama didasarkan pada

karakter i‘jãz (“keunikan”) al-Quran, yang tidak bisa diimitasi atau

ditandingi manusia dengan cara apapun. Menurut sudut pandang

ini, karakteristik ini  akan hilang dalam terjemahan al-Quran,

sebab  terjemahan dibuat oleh manusia.

Seluruh keberatan ortodoksi Islam terhadap penerjemahan al-

Quran pada faktanya timbul secara logis dari doktrin i‘jãz. Untuk

memperkukuh sudut pandang yang semata-mata bersifat doktrinal

ini, superioritas bahasa Arab atas bahasa-bahasa lainnya dijadikan

sebagai argumen utama. Al-Jahiz (w. 869) dalam salah satu karyanya,

Kitãb al-Hayawãn, bahkan menegaskan kemustahilan penerjemahan

syair-syair Arab ke dalam bahasa-bahasa lainnya,  terlebih lagi bahan-

bahan yang berhubungan dengan agama Islam dan al-Quran

sendiri.Dengan demikian, gagasan-gagasan semacam ini telah

menjadikan bahasa Arab sebagai lingua sacra – bertentangan dengan

pandangan umum yang menganggap bahasa sebagai produk budaya

manusia.

Lebih jauh, ortodoksi Islam menegaskan bahwa suatu

terjemahan al-Quran yang sekaligus bersifat literal dan tepat dari

segi maknanya adalah mustahil. namun , suatu terjemahan dalam

pengertian tafsir dapat dilakukan berdasar  asumsi bahwa teks

orisinal al-Quran tidak tergantikan olehnya. Jadi, naskah-naskah

al-Quran, menurut sudut pandang ini, dapat dilengkapi dengan

semacam kuasi-terjemahan yang bersifat interlinear.  Dan inilah

yang dilakukan selama berabad-abad oleh sarjana Muslim, bahkan

hingga dewasa ini.

Perbedaan antara tafsir dan terjemah tentu saja sangat

mendasar. Analogi persamaan keduanya telah ditentang dengan

keras oleh ortodoksi Islam. Ilustrasi tentangnya bisa dilihat dalam

pernyataan al-Qaffal, seorang yuris mazhab Syafi‘iyah, saat 

pandangannya tentang terjemahan Persia al-Quran sebagai hal yang

mustahil dipermasalahkan: “Kalau begitu, apakah anda mengatakan

bahwa tidak seorang pun yang dapat menafsirkan al-Quran?” Al-

Qaffal tidak mengakui bahwa analogi tentang tafsir sebagai terjemah

ini benar, dan berkata: “Adalah memungkinkan dalam tafsir untuk

menangkap makna beberapa kata dari  firman Allah dan salah

menanggapi kata-kata lainnya; dalam terjemahan, yang

menggantikan satu kata dengan kata lainnya, adalah mustahil

menyampaikan seluruh makna kata-kata Tuhan.”  Jadi, dalam

kasus tafsir, teks orisinal wahyu tetap terjaga dalam bahasa Arab;

sementara dalam kasus terjemahan, teks orisinal wahyu digantikan

oleh terjemahan. Seluruh fuqahã’ bersepakat bahwa tafsir tidak

dapat dibaca dalam shalat, namun  mazhab Hanafiyah membolehkan

pembacaan terjemahan al-Quran.

Barangkali inilah keberatan utama terhadap terjemahan, yakni

ia bisa menggantikan pembacaan teks wahyu orisinal dalam shalat

dan mungkin akan dipandang sebagai al-Quran yang diwahyukan

– suatu gagasan yang dipandang sebagai kekeliruan nyata oleh

seluruh jajaran ortodoksi Islam, kecuali mazhab Hanafiyah. namun 

pandang mazhab Hanafiyah yang tersendiri ini tidak mendapatkan

pengakuan universal, bahkan ditolak di kalangan tertentu pengikut

mazhab ini .

Dengan demikian, pembacaan al-Quran dalam bahasa Persia

merupakan kebolehan teoritis, namun  dalam prakteknya terjemahan

parsial atau keseluruhan al-Quran juga telah diusaha kan. Sayangnya

manuskrip-manuskrip terjemahan al-Quran yang ada – paling awal

berasal dari abad ke-14 dan ke-15 – tidak memungkinkan untuk

menetapkan kapan terjemahan itu pertama kali dilakukan. Memang

ada  laporan bahwa suatu terjemahan al-Quran ke dalam bahasa

Persia telah digarap salah seorang sahabat Nabi, Salman al-Farisi,

pada masa empat khalifah pertama. Demikian pula, ada 

laporan tentang terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Berber

(127H) dan bahasa Sindhi (270H).39  Sayangnya, tak satu pun dari

terjemahan ini  sampai ke tangan kita, sehingga sulit

membuktikan kebenaran laporan-laporan tentangnya.

Dengan dominannya doktrin ortodoksi yang kaku mengenai

terjemahan al-Quran, adalah wajar jika berbagai usaha 

penerjemahan kitab suci ini  ke dalam bahasa-bahasa dunia

Islam non-Arab telah mengalami tantangan serius. Bahkan, sampai

ke masa Syah Wali Allah al-Dihlawi (w. 1762), masalah terjemahan

al-Quran masih tetap ditabukan. Wali Allah dikabarkan telah

menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Persia, yang diberinya

judul Fath al-Rahmãn. namun , usaha  ini mendapat reaksi keras

dari kalangan ulama saat  itu.

Lantaran kuatnya oposisi terhadap terjemahan, tidaklah

mengherankan jika usaha  awal untuk menerjemahkan al-Quran

ke dalam bahasa non Arab dilakukan dengan menerjemahkan

karya-karya tafsir. Salah satu karya tertua dalam bahasa Persia yang

bisa diselamatkan adalah terjemahan kitab tafsir al-Thabari, yang

digarap untuk Abu Shalih Manshur ibn Nuh, penguasa dinasti

Samani di Transoxania dan Khurasan (961-976). Sekalipun tidak

ada  catatan akurat tentang waktu penggarapannya –

diperkirakan digarap pada abad ke-10 –  dalam bagian

pendahuluannya dijelaskan bahwa Abu Shalih, setelah bertanya

kepada para ulama tentang legalitas terjemahan al-Quran ke dalam

bahasa Persia yang dijawab secara negatif, kemudian menitahkan

penggarapan terjemahan karya tafsir ini  kepada ulama dari

berbagai kota di wilayah kekuasaannya.

Di negara kita , cara semacam ini juga ditempuh Abd al-Rauf

Ali al-Fansuri (w. 1690), seorang ulama dari Singkel-Aceh. Menurut

Snouck Hurgronje, pada abad ke-17 Abd al-Rauf menggarap

semacam terjemahan tafsir al-Baydlawi, Anwãr al-Tanzîl, ke dalam

bahasa Melayu. Pendapat ini diikuti oleh penulis Sejarah al-Quran,

AbuBakar Aceh.42  namun , sebagaimana ditunjukkan A.H. Johns

yang digarap Abd al-Rauf adalah terjemahan Tafsîr al-Jalãlayn –

disusun oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi –

dengan tambahan beberapa  kutipan dari tafsir al-Baydlawi, bagian

ekstensif dari terjemah-tafsir Melayu surat al-Kahfi yang disusun

oleh al-Khazin, dan beberapa  bagian tentang qirã’ãt yang tidak

terambil dari Tafsîr al-Jalãlayn ataupun tafsir al-Baydlawi.

Permasalahan apakah al-Quran dapat dibaca dalam bahasa non-

Arab di dalam shalat dan  apakah boleh memproduksi dan

menggunakan terjemahan al-Quran, sekali lagi menjadi masalah

akut saat  otoritas politik Turki yang sekuler mulai melakukan

“nasionalisasi” terhadap berbagai bentuk ibadah Islam dan

menerbitkan suatu terjemahan al-Quran dalam bahasa Turki yang

tidak didan i dengan teks asli berbahasa Arab pada penghujung

abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. beberapa  besar otoritas

Sunni di Mesir dan Siria mengutuk usaha  “nasionalisasi” ini ,

bahkan sampai kepada penyitaan dan pelarangan beberapa  besar

terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris dan Turki. Pernyataan-

pernyataan yang dikemukakan dalam hal ini terutama lebih bersifat

polemis dan negatif. Syaikh Muhammad Syakir, mantan Wakîl

Universitas al-Azhar, misalnya, menolak kebolehan membaca

terjemahan al-Quran dalam shalat dan bahkan mencap usaha 

penerjemahannya sebagai perbuatan heretik (bid‘ah). Demikian

pula, Syaikh Muhammad Rasyid Ridla (w.1935) – murid Bapak

modernisme Islam Mesir, Muhammad Abduh (w. 1905) – mengutuk

keras usaha  “nasionalisasi” di Turki dan usaha  penerjemahan al-

Qurannya.46  Oposisi yang kuat terhadap berbagai kebijakan yang

dilakukan di Turki sebenarnya lebih bersifat politik ketimbang

religius. Penghapusan institusi kekhalifahan yang ada di Turki dan

sekularisasi ekstrem yang menjadi kebijakan pokok otoritas politik

di negeri itu, merupakan latar belakang utama dari berbagai

serangan ini .

namun , ulama Hanafiyah terkemuka dari al-Azhar, Musthafa

al-Maragi (w. 1945), dalam suatu artikelnya, “Bahts fî Tarjamat al-

Qur’ãn al-Karîm wa Ahkãmihã” yang dipublikasikan pada 1932,

mengemukakan bahwa seorang Muslim yang tidak memiliki

pengetahuan bahasa Arab secara mutlak wãjib membaca terjemahan

al-Quran yang memadai dalam shalat. Menurutnya, hal terpenting

di dalam shalat adalah makna teks al-Quran, bukan karakter i‘jãz-

nya, dan makna sebenarnya bisa ditransmisikan melalui terjemahan.

Lebih jauh, al-Maragi menilai bahwa adalah tidak realistik

mewajibkan bagian terbesar warga  Muslim dari negeri-negeri

non-Arab untuk mempelajari bahasa Arab lantaran al-Quran yang

berbahasa Arab. Tesis bahwa al-Quran tidak lagi menjadi verbum

dei dalam terjemahan, menurut al-Maragi, hanya absah dengan

prasyarat tertentu. Terjemahan al-Quran secara sederhana tidak

merepresentasikan kata-kata manusia (kalãm al-nãs), sebab 

sekalipun tidak mengandung Kalam Allah secara harfiah,

kandungan terjemahan terdiri dari makna kata-kata Tuhan.  Sejalan

dengan ini, ulama terkenal Mesir lainnya, Farid Wajdi, juga

menunjukkan bahwa menerjemahkan makna (ma‘ãnî) al-Quran

itu diizinkan.

Beberapa saat menjelang dan setelah surutnya kontroversi

tentang “nasionalisasi” Islam di Turki, bermunculan beberapa 

terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa dunia Islam, seperti

dalam bahasa Persia, Urdu, Cina, Burma, Tionghoa dan lainnya.

Dalam bahasa negara kita , muncul beberapa terjemahan al-Quran

yang digarap antara lain oleh A. Hasan, Munawar Khalil, Mahmud

Yunus, dan Kemajuan Islam Yogyakarta. Penerjemahan al-Quran

ke dalam beberapa bahasa daerah di negara kita  – seperti bahasa

Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Makassar, dan lainnya – juga dilakukan.

Pada 1967, Pemerintah negara kita  secara resmi membentuk tim

penerjemah al-Quran yang beranggotakan beberapa  pakar al-Quran

terkemuka di negeri ini – seperti Hasbi Ashshiddieqy, Bustami A.

Gani, Muchtar Yahya, Mukti Ali, KH. A. Musaddad, KH. Ali

Maksum,  dan lainnya. Setelah bekerja selama delapan tahun, tim

ini berhasil menyelesaikan Al-Quran dan Terjemahnya, yang

kemudian diterbitkan dengan anggaran rutin Pemerintah Indone-

sia.

Sementara beberapa  sarjana Muslim lainnya – seperti Maulana

Muhammad Ali, Mirza Abu’l Fazl,50  Bashir al-Din Ahmad,

Muhammad Hamidullah, Sadr-ud-Din, Marmaduke Pickthall,

Muhammad Asad, dan lainnya – juga telah mengusaha kan

penerjamahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Dengan

pengecualian beberapa terjemahan ke dalam bahasa Eropa,

keseluruhan terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa ini,

sebagaimana dengan terjemahan al-Quran yang digarap pada masa-

masa sebelumnya, mengikuti praktek kuasi-terjemahan yang bersifat

interlinear, di mana setiap baris teks Arab diikuti dengan

terjemahannya, atau teks Arab dan terjemahannya diletakkan secara

berdampingan. Demikian pula, sebagian besar karya ini

menggunakan istilah tafsir sebagai judulnya.

Permasalahan tentang boleh tidaknya menerjemahkan al-

Quran barangkali mesti dilacak di dalam al-Quran sendiri dan

fenomena Islam yang awal. Memang benar bahwa al-Quran itu

diwahyukan dalam bahasa Arab, seperti yang diklaim kitab suci

itu dalam beberapa  kesempatan. namun , pewahyuan dalam bahasa

Arab ini juga mesti diselaraskan dengan doktrin lainnya tentang

universalisme Islam: risalah yang dibawa Nabi adalah untuk seluruh

umat manusia,51  bukan hanya untuk orang Arab.

Penelaahan terhadap konteks beberapa  bagian al-Quran yang

mengekspresikan pewahyuannya dalam bahasa Arab akan

menjelaskan bahwa pemilihan bahasa ini lebih didasarkan pada

tradisi Tuhan yang selalu mengutus rasul dengan bahasa kaumnya

(14:4), berdasar  pertimbangan agar mudah dipahami orang-

orang yang menjadi sasaran dakwah Nabi (12:2; 42:7; 43: 3;) dan

memudahkan bagi Nabi sendiri (19:97). Jika al-Quran diwahyukan

dalam bahasa non-Arab, maka hal ini – selain tidak patut, sebab 

Nabi adalah seorang Arab – akan sulit  dipahami oleh  orang-

orang yang menjadi sasaran dakwah Nabi (41:44). Jadi, alasan

pewahyuan al-Quran dalam bahasa Arab terlihat sangat naturalistik

dan logis, dan  tidak memberi kesan tentang bahasa Arab sebagai

lingua sacra. Penekanannya dalam hal ini adalah pada kemudahan

manusia dalam memahami pesan-pesan Ilahi. Dengan demikian,

doktrin universalisme pesan-pesan ilahi yang dibawa Nabi mesti

dipahami di dalam kerangka tradisi pengutusan ilahi dan

pertimbangan pemilihan bahasa yang sangat naturalistik dan logis

itu.

Di atas telah disinggung bahwa setelah wafatnya Nabi, terjadi

perluasan domain politik ke Persia, dan pada titik ini mulai muncul

masalah tentang terjemahan al-Quran. Ada dua laporan mengenai

aktivitas Salman al-Farisi dalam menangani masalah ini .

Laporan pertama mengemukakan bahwa beberapa orang Persia

meminta Salman menuliskan sesuatu dari al-Quran bagi mereka

dalam bahasa Persia. Salman kemudian menerjemahkan surat al-

Fãtihah untuk mereka. Laporan kedua mengungkapkan bahwa

orang-orang Persia berkirim surat kepada Salman memintanya

menerjemahkan surat al-Fãtihah ke dalam bahasa Persia, yang

dilakukannya. Mereka menggunakan terjemahan itu di dalam shalat

hingga terbiasa. Salman lalu menyampaikan hal ini kepada Nabi,

dan ia tidak mencelanya.

Laporan tentang terjemahan Salman di atas, terutama laporan

kedua, bisa diragukan otentisitasnya, sebab   pada masa Nabi do-

main politik Islam belum meluas ke Persia. Lebih jauh, apabila

Nabi menyetujui pembacaan bagian al-Quran dalam bahasa Per-

sia di waktu shalat, maka masalahnya telah selesai dan tidak

mungkin timbul kontroversi akut tentangnya pada masa

belakangan. Tampaknya, asal-usul Persia Salman, seorang sahabat

Nabi yang merupakan salah satu pengikut Islam pertama dari

kalangan non-Arab, telah membuatnya dijadikan otoritas untuk

fabrikasi kedua laporan ini .

Terlepas dari otentisitas kedua laporan di atas, elan dasar yang

dikandungnya terlihat bersesuaian dengan sikap Nabi terhadap

teks verbal wahyu, seandainya hadits-hadits tentang pewahyuan

al-Quran dalam tujuh ahrûf dipandang absah. Sebagaimana

ditunjukkan dalam bab 9, Nabi biasanya menyelesaikan masalah

perbedaan bacaan al-Quran di kalangan para pengikutnya yang

awal secara fleksibel dan toleran dengan mengungkapkan

pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf , dan  selalu

menekankannya sebagai  kemudahan dalam pembacaan kitab suci

itu.

Penyelesaian Nabi ini merupakan pijakan otoritatif bagi

keragaman bacaan yang mewarnai sejarah awal al-Quran,

sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa bab yang lalu,

khususnya bab 4 dan seterusnya. Kata-kata al-Quran, menurut alur

ini, dapat dibaca menurut berbagai dialek Arab dari mana

pembacanya berasal. namun , di sini timbul permasalahan: apakah

hal ini merupakan suatu lisensi untuk menyimpang secara harfiah

dari teks, dengan ketentuan spirit teksnya tetap terjaga? Al-Thabari,

saat  mendiskusikan berbagai keragaman bacaan al-Quran dalam

tafsirnya, memperlihatkan secara jelas bahwa perbedaan yang terjadi

dalam keragaman pembacaan al-Quran adalah dalam tilãwah,

bukan dalam ma‘ãnî.53  Dengan kata lain, perbedaan terjadi dalam

huruf-huruf teks, bukan dalam spirit teks. Dalam bab 4 dan 5 di

atas juga telah ditunjukkan bahwa dalam mashãhif para sahabat

Nabi – seperti Ali, Ubay, Ibn Mas‘ud dan Ibn Abbas – kemunculan

beberapa  kata yang merupakan sinonim untuk kata-kata dalam

teks utsmani, penyingkatan atau penambahan yang tidak

mempengaruhi makna, dan kasus lainnya yang sejenis, merupakan

hal yang lazim ditemui. Ibn Hajar juga mengemukakan bahwa al-

Quran biasanya dibaca para sahabat Nabi dengan menggunakan

sinonim-sinonim untuk kata-kata yang tidak bisa diucapkan,

sekalipun tidak ada  otoritas tentangnya.54  Sementara Ibn

Mas‘ud bahkan dikabarkan telah melangkah lebih jauh lagi dan

membolehkan pembacaan al-Quran menurut maknanya (al-qirã’-

ah bi-l-ma‘nã). namun , Ibn al-Jazari dengan keras menolak pekabaran

ini: “ wa ammã man yaqûlu innã ba‘da al-shahãbah ka ibn mas‘ûd

kãna yujîzu al-qirã’ah bi-l-ma‘nã  fa qad kadzaba.” 

Sekalipun demikian, jika berbagai ragam bacaan dalam teks

Arab dipraktekkan dan dibolehkan, maka apakah hal ini, secara

analogis, menunjukkan kebolehan menerjemahkan al-Quran ke

dalam bahasa selain Arab?  ada  beberapa isyarat dalam

beberapa  surat Nabi yang dikirim ke berbagai penguasa dunia saat 

itu mengenai masalah ini.56  Jadi, saat  Nabi menulis surat dalam

bahasa Arab ke Penguasa Bizantium, ia tentunya berharap agar

suratnya – di dalamnya ada  suatu kutipan ayat al-Quran (3:64)

– diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, susaha  dapat dipahami

maksudnya. Sebagaimana dikabarkan Ibn Abbas dari Abu Sufyan

ibn Harb bahwa Heraclius memanggil seorang penerjemah untuk

membacakan surat Nabi itu dalam bahasa Yunani, yang berbunyi:

“Dengan Nama Allah Yang Pengasih Yang Penyayang. Dari

Muhammad Utusan Allah kepada Heraclius Penguasa Romawi ….

Hai ahli kitab, marilah menuju suatu kata yang sama antara kami

dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak

menyekutukan sesuatupun dengannya ….”

Dengan demikian, baik al-Quran maupun tradisi kesejarahan

Islam yang awal tidak memberikan petunjuk apapun bagi usaha 

sakralisasi bahasa al-Quran yang dilakukan pada masa belakangan.

Pelarangan terjemahan al-Quran ke dalam berbagai bahasa – sebagai

akibat dari sakralisasi ini  – telah menciptakan kesulitan bagi

pemeluk-pemeluk Islam non-Arab. Hal ini secara jelas bertentangan

dengan tujuan pewahyuan al-Quran – yakni agar manusia bisa

memahaminya – dan bertabrakan dengan keyakinan tentang

universalisme Islam. Adalah benar bahwa Tuhan telah membuat

atau mewahyukan al-Quran dalam bahasa Arab, namun  manusia

bisa membuatnya menjadi berbahasa Persia, Turki, Urdu, Cina,

negara kita , atau bahasa-bahasa dunia lainnya.

Tafsir al-Quran

usaha  lain untuk memahami al-Quran, yang dalam

kenyataannya paling banyak dilakukan di kalangan kaum

Muslimin, adalah melalui tafsir. Istilah tafsîr – berasal dari kata

fassara, “menjelaskan,” “menerangkan,” “menyingkap” atau

“menampakkan” – secara khusus bermakna penjelasan atas al-

Quran atau ilmu tentang penafsiran kitab suci ini .  Sinonim

untuk kata ini adalah syarh atau ta’wîl. Istilah syarh tidak digunakan

dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki makna senada,

sebab  telah menjadi terminologi teknis dalam ilmu-ilmu hadits

untuk komentar atas hadits. Sementara ta’wîl – berasal dari kata

awl, “kembali ke asal,” di dalam al-Quran bermakna “akibat,”

“kesudahan” (7:53; 10:39) – masih tetap eksis dalam perbendaharaan

kajian-kajian al-Quran. Pada awalnya, kata ini digunakan sebagai

sinonim untuk tafsîr dan tetap seperti itu setidak-tidaknya hingga

ke masa al-Thabari. Mufassir agung dalam jajaran tradisional ini

masih menggunakan kata ta’wîl sebagai sinonim untuk tafsîr dalam

magnum opus-nya. Bahkan judul karya agungnya, Jãmi‘ al-Bayãn

‘an Ta’wîl Ãy al-Qur’ãn, dengan jelas merefleksikan sinonim antara

kata tafsîr dan  ta’wîl.

Belakangan kata ta’wîl berubah menjadi istilah teknis untuk

penjelasan internal atas material atau kandungan al-Quran,

sedangkan tafsîr diterapkan untuk penjelasan filologis yang bersifat

eksternal terhadap al-Quran. Tafsîr mencakup penjelasan tentang

sebab pewahyuan suatu bagian al-Quran, kedudukan bagian

ini  dalam surat termaksud, dan kisah sejarahnya. Penjelasan

ini juga menyangkut penentuan masa pewahyuan (Makkiyah-

Madaniyah), muhkam-mutasyãbih, nãsikh-mansûkh, ‘ãm-khashsh

dan lainnya. Sementara ta’wîl mencakup penjelasan makna umum

maupun khusus kata-kata al-Quran,59  atau istilah teknis untuk

penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Quran.60  sebab  itu,

ta’wîl tidak begitu disukai kalangan ortodoksi Islam. Pembedaan

ini tampaknya dilakukan untuk menghantam berbagai

kecenderungan liar dalam penafsiran yang, lewat penjelasan alegoris,

telah memaksakan gagasan-gagasan “aneh” ke dalam teks literal

al-Quran.

Sebagai usaha  untuk memahami dan menjelaskan kandungan

pesan al-Quran, tafsir – berdasar  beberapa  pernyataan al-Quran

– dapat dikatakan telah eksis pada awal Islam dan dimotori oleh

Nabi Muhammad sendiri. Salah satu bagian al-Quran yang

mengungkapkan peran Muhammad sebagai penjelas wahyu ilahi

adalah 16:44, “Telah Kami turunkan kepadamu al-dzikr ( yakni al-

Quran), agar kamu jelaskan kepada umat manusia apa-apa yang

telah diturunkan kepada mereka” (cf. 16:64).

Penafsiran al-Quran yang dilakukan Nabi direkam dalam

berbagai koleksi hadits, biasanya dengan judul kitãb al-tafsîr, yang

disusun mengikuti sekuensi surat dalam mushaf utsmani.61  Jumlah

riwayat tafsir ini relatif sedikit dan tidak mencakup keseluruhan

al-Quran. Salah satu ilustrasi paling populer – di mana Nabi

menafsirkan kata zhulm  (6:82) sebagai syirk (31:13) – adalah yang

riwayat dari Abd Allah berikut ini:

saat  diturunkan ayat: “Orang-orang yang beriman dan tidak

mencampuradukkan iman mereka dengan zhulm…” (6:82),

maka ia menyusahkan para sahabat dan mereka berkata: “Siapa

di antara kita yang tidak mencampuradukkan keimanannya

dengan kezaliman?” Maka bersabdalah Nabi: “Ayat itu tidaklah

seperti yang kalian pikirkan, namun  seperti yang dikatakan

Luqman kepada anaknya: ‘Sesungguhnya sirik adalah

kezaliman yang besar’ (31:13).”

beberapa  sarjana Muslim lebih jauh menekankan bahwa

penjelasan Nabi terhadap al-Quran tidak hanya bersifat verbal,

namun  juga bersifat praktis. Prilaku (sunnah) aktual Nabi, dengan

demikian, dipandang sebagai penjelasan par exellence atas al-Quran.

Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbaliyah, misalnya,

menegaskan bahwa sunnah menerangkan al-Quran dan

menjelaskannya.63  Gagasan semacam inilah yang kemudian

menjadi basis teoritis eksploitasi hadits-hadits Nabi dalam

penafsiran al-Quran.

Generasi pertama Islam telah mentransmisikan berbagai

penjelasan Nabi atas al-Quran dan berbagai tindakan ekstra

quraniknya dari generasi ke generasi. Namun, sebab  pemahaman

mereka yang baik terhadap bahasa, pengetahuan mereka yang luas

terhadap suasana dan umwelt pewahyuan, dan  wawasan mereka

yang dalam tentang agama, para sahabat ini juga melengkapi

transmisi itu dengan penjelasan mereka sendiri. Proses transmisi

ini kemudian berujung pada pembukuan atau kompilasi hadits

yang terjadi pada masa peralihan dari dinasti Umaiyah